4
ii ABSTRAK SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEKTUR ISTANA KESULTANAN MELAYU DI KALIMANTAN BARAT Oleh URAY FERY ANDI NIM : 35211001 (Program Studi Doktor Arsitektur) Keraton/Istana kesultanan Melayu di Kalimantan Barat merupakan wujud arsitektur kebudayaan hinggil (high culture) yang menjadi bagian dari sejarah perkembangan suku bangsa Melayu di Kalimantan Barat. Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa dari 36 buah keraton/istana kesultanan yang pernah ada, hanya tersisa 9 keraton/istana yang masih utuh. Perkembangan arsitektur keraton kerajaan/istana kesultanan Melayu di Kalimantan Barat dipengaruhi oleh sejarah dan sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan yang berlaku pada setiap periode perkembangan, dimulai dari periode pemerintahan kerajaan, periode pemerintahan kesultanan, periode pemerintahan kolonial, dan periode pemerintahan Republik Indonesia (RI). Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian interpretive- historical, yaitu jenis strategi penelitian naratif yang berdasarkan pada data-data historis. Tujuan penelitian ialah memetakan sejarah perkembangan dan sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Melayu di Kalimantan Barat, dari mulai berdiri hingga saat ini; memerikan dinamika perkembangan arsitektur keraton kerajaan/istana kesultanan Melayu di Kalimantan Barat; dan menganalisis faktor- faktor yang berpengaruh pada perkembangan arsitektur keraton kerajaan/istana kesultanan Melayu di Kalimantan Barat serta keterkaitan antara faktor-faktor tersebut. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kearsipan dan literatur, wawancara dan pengamatan lapangan terhadap 9 kasus istana kesultanan eksisting. Analisis diakronik dan sinkronik dipergunakan untuk memetakan perubahan dan perkembangan historis serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika arsitektur keraton/istana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh perubahan sistem pemerintahan dan relasi kekuasaan terhadap arsitektur keraton/istana berbeda-beda pada setiap periode perkembangan kerajaan/kesultanan, meliputi lokasi, struktur dan konfigurasi spasial, fungsi dan susunan ruang, bentuk dan tampilan bangunan, dan ragam hias. Perubahan paling signifikan terjadi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda akibat status kesultanan sebagai subordinasi kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Republik Indonesia (RI), kekuasaan kesultanan secara politik dan kewilayahan menghilang akibat dileburnya wilayah kesultanan ke dalam wilayah administratif kabupaten/kota yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota.

SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEKTUR ISTANA … · Perubahan paling signifikan terjadi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda akibat status kesultanan ... mempertahankan dominasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEKTUR ISTANA … · Perubahan paling signifikan terjadi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda akibat status kesultanan ... mempertahankan dominasi

ii

ABSTRAK

SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEKTUR ISTANA KESULTANAN MELAYU DI KALIMANTAN BARAT

Oleh

URAY FERY ANDI NIM : 35211001

(Program Studi Doktor Arsitektur)

Keraton/Istana kesultanan Melayu di Kalimantan Barat merupakan wujud arsitektur kebudayaan hinggil (high culture) yang menjadi bagian dari sejarah perkembangan suku bangsa Melayu di Kalimantan Barat. Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa dari 36 buah keraton/istana kesultanan yang pernah ada, hanya tersisa 9 keraton/istana yang masih utuh. Perkembangan arsitektur keraton kerajaan/istana kesultanan Melayu di Kalimantan Barat dipengaruhi oleh sejarah dan sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan yang berlaku pada setiap periode perkembangan, dimulai dari periode pemerintahan kerajaan, periode pemerintahan kesultanan, periode pemerintahan kolonial, dan periode pemerintahan Republik Indonesia (RI). Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian interpretive-historical, yaitu jenis strategi penelitian naratif yang berdasarkan pada data-data historis. Tujuan penelitian ialah memetakan sejarah perkembangan dan sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Melayu di Kalimantan Barat, dari mulai berdiri hingga saat ini; memerikan dinamika perkembangan arsitektur keraton kerajaan/istana kesultanan Melayu di Kalimantan Barat; dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada perkembangan arsitektur keraton kerajaan/istana kesultanan Melayu di Kalimantan Barat serta keterkaitan antara faktor-faktor tersebut. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kearsipan dan literatur, wawancara dan pengamatan lapangan terhadap 9 kasus istana kesultanan eksisting. Analisis diakronik dan sinkronik dipergunakan untuk memetakan perubahan dan perkembangan historis serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika arsitektur keraton/istana.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh perubahan sistem pemerintahan dan relasi kekuasaan terhadap arsitektur keraton/istana berbeda-beda pada setiap periode perkembangan kerajaan/kesultanan, meliputi lokasi, struktur dan konfigurasi spasial, fungsi dan susunan ruang, bentuk dan tampilan bangunan, dan ragam hias. Perubahan paling signifikan terjadi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda akibat status kesultanan sebagai subordinasi kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Republik Indonesia (RI), kekuasaan kesultanan secara politik dan kewilayahan menghilang akibat dileburnya wilayah kesultanan ke dalam wilayah administratif kabupaten/kota yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota.

Page 2: SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEKTUR ISTANA … · Perubahan paling signifikan terjadi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda akibat status kesultanan ... mempertahankan dominasi

iii

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan arsitektur keraton/istana terdiri atas faktor ekonomi, politik, dan sosial budaya. Faktor ekonomi meliputi perkembangan jaringan global, monopoli dan penguasaan sumber daya. Faktor politik meliputi perubahan relasi kekuasaan dan peran raja/sultan, upaya-upaya mempertahankan dominasi dan legitimasi kekuasaan melalui arsitektur keraton/istana dan intervensi teknologi untuk perbaikan lingkungan yang mengubah kondisi geografis wilayah kesultanan.. Faktor sosial budaya meliputi perubahan dari stateless society menjadi sebuah kerajaan/kesultanan, perubahan sistem kepercayaan, pengaruh budaya kolonial dan budaya riparian.

Dinamika perkembangan arsitektur keraton/istana memperlihatkan perubahan makna, dari keraton sebagai simbol kekuasaan individu pada masa pemerintahan kerajaan, ke istana sebagai simbol kekuasaan institusi kesultanan pada masa pemerintahan kesultanan, ke istana sebagai cerminan subordinasi kekuasaan yang terjadi pada masa pemerintahan kolonial, dan akhirnya istana sebagai simbol budaya kesultanan pada masa pemerintahan Republik Indonesia.

Kontinuitas perkembangan arsitektur keraton kerajaan/istana kesultanan terbatas pada lokasi di tepian sungai, konfigurasi spasial mengikuti garis sempadan sungai, dan penggunaan ragam hias dan simbol yang merupakan bagian dari sistem kepercayaan dari periode-periode sebelumnya dan masih dipertahankan hingga kini. Sedangkan perubahan arsitektur keraton kerajaan/istana kesultanan terjadi pada hampir seluruh aspek arsitektur, mulai dari struktur spasial, fungsi dan susunan ruang, bentuk dan tampilan bangunan. Hasil penelitian dapat melengkapi penelitian tentang sejarah perkembangan arsitektur, khususnya arsitektur Melayu di Indonesia. Hasil penelitian juga dapat menjawab upaya pencarian identitas arsitektur Melayu di Kalimantan Barat yang selama ini diyakini mengacu pada arsitektur istana-istana kesultanan yang ada.

Kata kunci: arsitektur istana kesultanan, sejarah perkembangan, kesultanan Melayu di Kalimantan Barat

Page 3: SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEKTUR ISTANA … · Perubahan paling signifikan terjadi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda akibat status kesultanan ... mempertahankan dominasi

iv

ABSTRACT

THE HISTORY OF ARCHITECTURAL DEVELOPMENT OF MALAY SULTANATE PALACES IN WEST KALIMANTAN

URAY FERY ANDI

NIM : 35211001 (Program Studi Doktor Arsitektur)

The Malay sultanate palaces (keraton) in West Kalimantan which represent the architecture of high culture, were part of historical development of the Malay people in West Kalimantan). The architectural development of Malay sultanate palaces in West Kalimantan was influenced by the history and government systems of the kingdom/sultanate at each period of development, starting from the period of kingdom government, the period of sultanate government, the period of colonial rule, and the period of the Republic of Indonesia (RI) government. The study was conducted using interpretive-historical research method, a type of narrative research strategy based on historical data. The purpose of the research was to map the historical development of the government system of Malays kingdom/sultanate in West Kalimantan, from the beginning up to the present; describing the dynamics of architectural development of the Malay sultanate palaces in West Kalimantan; and analyzes the factors that influence the development and the interrelationship. Data were collected through archival and literature studies, interviews and field observations of the 9 existing sultanate palaces. Diachronic and synchronic analysis were used to outline the changes and historical development, and to identify factors that influence the architectural dynamics of the palaces. The research results showed that the effect of government system and power relations on architecture were varied in each period of development, in term of location, spatial configuration and pattern, function and arrangement of space, shape and building appearance, and ornament. The most significant change occurred during the reign of the Dutch East Indies as a result of subordinated status of the sultanates to the Dutch East Indies government. In the period of Republic of Indonesia (RI) government, the sultanates lost their political and territorial power as a result of the in separation of the sultanate system into the administrative area of the regency and the city, led by Regent / Mayor. Various factors affected the architectural development of the palace including economic, politic, and social. The economic factors include the development of a global network, monopoly and control over resources. The political factors include changes in power relations and the role of the king / sultan, the efforts to maintain the dominance and legitimation of power through the architecture of palaces and intervention of technology for environmental improvements that

Page 4: SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEKTUR ISTANA … · Perubahan paling signifikan terjadi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda akibat status kesultanan ... mempertahankan dominasi

v

change the geographical conditions of the sultanate region. Sociocultural factors include changes of stateless society into a kingdom, the change of belief systems, the influence of colonial culture and riparian culture. The dynamics of architectural development of the palace indicate some change of meaning, from the palace as a symbol of the individual power to palace as a symbol of institutions power during the reign of the sultanate, to palace as a reflection of subordinated power during the colonial rule, and finally to the palace as a cultural symbol during the reign of the Republic of Indonesia. The continues pattern of development of palace architecture was evident from the location which is situated on the river banks, spatial configuration in line with the river banks, and the use of ornaments and symbols that are part of the belief system of the previous periods still maintained until now. The discontinued pattern were evident in almost all architectural aspects, including spatial pattern, function and arrangement of space, shape and appearance of the building. The results of this study could complement research on the historical development of architecture, particularly on Malay architecture in Indonesia. The results also can answer the quest for identity of West Kalimantan Malay architecture which is believed to emulate the architecture of the sultanate palaces. Keywords: architecture of the sultante palaces, historical development, Malay sultanate in West Kalimantan