9
SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI HUKUM Seperti yang diketahui bahan dasar Antropologi menurut sejarahnya berasal dari etnografi, dengan kacamata yang etnosentris. Banyak para yokoh yang mendifinisikan hukum yang pertama-tama mengawali karya- karya pengkaji ilmu sosial yang mengkaji khusus tentang hukum. Berikut adalah beberapa tokoh yang hanya diperkenalkan sehubungan dengan definisi hukumnya saja secara ringkas. Menurut Radcliffe Brown, hukum adalah suatu sistem pengendalian sosial yang hanya ada dalam masyarakat bernegara, yang memiliki pengadilan, polisi bersenjata, penjara, pengacara, dan perangkat hukum yang lain.

Sejarah Perkembangan Antropologi Hukum Bab 2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sejarah Perkembangan Antropologi Hukum Bab 2

SEJARAH PERKEMBANGAN

ANTROPOLOGI HUKUM

Seperti yang diketahui bahan dasar Antropologi menurut

sejarahnya berasal dari etnografi, dengan kacamata yang

etnosentris. Banyak para yokoh yang mendifinisikan hukum yang

pertama-tama mengawali karya-karya pengkaji ilmu sosial yang

mengkaji khusus tentang hukum. Berikut adalah beberapa tokoh

yang hanya diperkenalkan sehubungan dengan definisi hukumnya

saja secara ringkas.

Menurut Radcliffe Brown, hukum adalah suatu sistem

pengendalian sosial yang hanya ada dalam masyarakat bernegara,

yang memiliki pengadilan, polisi bersenjata, penjara, pengacara,

dan perangkat hukum yang lain.

Menurut Bronislaw Malinowski, setiap masyarakat memiliki

pranata pengendalian sosial yaitu hukum, dan pengendalian sosial

itu dapat dikatakan sebagai hukum.

Leopold Pospisil yang tidak memberikan definisi hukum

secara ketat, memberikan bagaimana mengenali hukum itu melalui

Page 2: Sejarah Perkembangan Antropologi Hukum Bab 2

empat kriteria / atributnya yaitu attribute of authority, attribute of

intention of universal application, attribute of obligation, attribute of

sanction.

Seseorang yang selanjutnya memberi pengaruh kuat dalam

definisinya pada tradisi-tradisi berkembang dalam ilmu antropologi

hukum adalah Adamson Hoebel, definisinya mengenai hukum

selanjutnya akan sangat berdampak pada methodologi yang di

kembangkan. Menurutnya hukum yang senyata-nyatanya hidup

dalam masyarakat hanya dapat diketahui dari ditelusurinya suatu

sengketa dalam masyarakat.

Page 3: Sejarah Perkembangan Antropologi Hukum Bab 2

ERA EVOLUSIONISME

Fase pada teori klasik ini berbeda namun memiliki ciri yang

sama, seperti :

a) Mempunyai perspektif yang sama yaitu mengenai perubahan

secara perlahan-lahan.

b) Holistik, hukum dilihat kaitannya dengan aspek

kebudayaannya yang lain.

c) Tinjauannya bersifat komparatif

d) Tinjauan bersifat universal, hasil kajian berlaku universal.

Tema kajian pada fase awal studi-studi teoritis mengenai

hukum dengan pendekatan antropologis lebih difokuskan pada

fenomena hukum dalam masyarakat bersahaja (primitive),

tradisional (traditional), dan kesukuan (tribal) dalam skala evolusi

bentuk-bentuk organisasi sosial dan hukum yang mengiringi

perkembangan masyarakat manusia.

Sedangkan, metode kajian yang digunakan untuk memahami

fenomena hukum dalam masyarakat adalah apa yang dikenal

Page 4: Sejarah Perkembangan Antropologi Hukum Bab 2

sebagai armchair methodology, yaitu metodologi untuk memahami

hukum dalam perkembangan masyarakat melalui kajian-kajian

yang dilakukan di belakang meja, sambil duduk di kursi empuk,

dalam ruangan yang nyaman, dengan membaca dan menganalisis

sebanyak mungkin documentary data yang bersumber dari catatan-

catatan perjalanan para petualang atau pelancong, dari laporan-

laporan berkala dan dokumen resmi para missionaris, pegawai sipil

maupun para serdadu pemerintah kolonial dari daerah-daerah

jajahannya (F. von Benda-Beckmann, 1989).

Pada awal abad ke-20 metode kajian hukum dari belakang

meja mulai ditinggalkan, dan mulai memasuki perkembangan

metode studi lapangan (fieldwork methodology) dalam studi-studi

antropologis tentang hukum. Karya Barton, misalnya, yang berjudul

Ifugao Law yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1919

merupakan hasil dari fieldwork yang intensif dalam masyarakat

suku Ifugao di Pulau Luzon Philipina.

Kemudian, muncul karya Malinowski berjudul Crime and

Custom in Savage Society yang pertama kali dipublikasikan pada

tahun 1926 adalah hasil studi lapangan yang komprehensif dalam

masyarakat suku Trobrian di kawasan Lautan Pasific, dan

seterusnya sampai sekarang metode fieldwork menjadi metode

khas dalam studi-studi antropologi hukum.

Page 5: Sejarah Perkembangan Antropologi Hukum Bab 2

ERA FUNCTIONALISM

Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap pemikiran kaum

evolusionist. Dasar pemikirannya adalah masyarakat di analisa

sebagai bagian-bagian yang terpisah satu sama lain saling

tergantung berdasarkan fungsinya, contohnya adalah hukum dalam

masyarakat.

a) Teorinya tidak lagi bersifat Universal, tetapi mengenai

masyarakat atau suku bangsa atau desa tunggal.

b) Metodenya mulai turun ke lapangan dan membuat deskripsi

atau eksplanasi.

Selanjutnya pemahaman fungsionalistis tentang masyarakat

dan kebudayaan itu harus dituangkan dalam bentuk etnografi.

Menurut Radcliffe Brown, Fungsionalisme Brown ini

merupakan perkembangan dari teori Fungsional Durkheim. Fungsi

dari setiap kegiatan selalu berulang, seperti penghukuman

kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian

yang dimainkannya dalam kehidupan social sebagai keseluruhan

Page 6: Sejarah Perkembangan Antropologi Hukum Bab 2

dan, karena itu, merupakan sumbangan yang diberikan bagi

pemelihara kelangsungan structural.

Menurut Bronislaw Malinowski Secara garis besar Malinowski

merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari

kebudayaan manusia, yang disebutnya sutu teori fungsional

tentang kebudayaan atau “a functional theory of Culuture”. Dan

melalui teori ini banyak antropolog yang sering menggunakan teori

tersebut sebagai landasan teoritis hingga dekade tahun 1990-an,

bahkan dikalangan mahasiswa menggunakan teori ini untuk

menganalisis data penelitian untuk keperluan skripsi dan

sebagainya.

     

Ia berpendapat bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia

sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang

bersifat psikologis dan kebudayaan pada pokoknya memenuhi

kebutuhan tersebut. Semisal kebutuhan sex biologis manusia yang

dasarnya merupakan kebutuhan pokok, tetapi tidak serta merta

dilakukan atau dipenuhi secara sembarangan. Kondisi pemenuhan

kebutuhan tak terlepas dari sebuah proses dinamika perubahan ke

arah konstruksi nilai-nilai yang disepakati bersama dalam sebuah

masyarakat (dan bahkan proses yang dimaksud akan terus

bereproduksi) dan dampak dari nilai tersebut pada akhirnya

membentuk tindakan-tindakan yang terlembagakan dan dimaknai

sendiri oleh masyarakat bersangkutan yang pada akhirnya

memunculkan tradisi upacara perkawinan, tata cara dan lain

sebagainya yang terlembaga untuk memenuhi kebutuhan biologis

Page 7: Sejarah Perkembangan Antropologi Hukum Bab 2

manusia tersebut. Hal inilah yang kemudian menguatkan tese dari

Malinowski yang sangat menekankan konsep fungsi dalam melihat

kebudayaan. Ada tiga tingkatan oleh Malinowski yang harus

terekayasa dalam kebudayaan yakni,

1. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti

kebutuhan akan pangan dan prokreasi

2. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental,

seperti kebutuhan akan hukum dan pendidikan.

3. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti

agama dan kesenian.