Sejarah Dan Teori Arsitektur II

Embed Size (px)

Citation preview

y

Kerajaan Islam di Nusantara

Islam masuk ke Indonesia kurang lebih abad ke-13 sangat terkait dengan perkembangan perdagangan diwilayah Nusantara. Pada awalnya kedatangan Islam ke nusantara melalui pembauran para pedagang yangberasal dari Gujarat, sebuah wilayah di bagian barat India. Pada masa tersebut terdapat beberapa kotakotapelabuhan seperti Barus, Pasai, Banten, Demak, Madura yang menjadi titik pertemuan dan penyebaranIslam di nusantara.Dalam ekspedisi Marco Polo dari Tiongkok ke Persia tahun 1292, kemudian singgah di Peureula , bagianutara Sumatera (Aceh), pada waktu itu dijelaskan bahwa terdapat penduduk yang beragama Islam dan jugapedagang-pedagang dari India yang giat menyebarkan agama tersebut walaupun disekitar kota masihbanyak yang belum memeluk Islam. Tak lama setelah persinggahannya tersebut, pada tahun 1297 diSamudra, sebuah kerajaan di Aceh, ditemukan makam raja Islam, salah satunya makam Sultan Malik al-Saleh. Dari bukti sejarah ini, disimpulkan bahwa Kerajaan Samudra menjadi kerajaan Islam yang pertama diNusantara. Samudra menjadi pelabuhan niaga yang terpenting di Nusantara hingga akhir abad ke-14. Padaawal abad ke-15, Malaka timbul sebagai pusat perdagangan dan pangkal penyebaran agama Islam.Sementara di bagian Timur Nusantara timbul pula pusat kegiatan Islam, yaitu Ternate (1430) yangmeluaskan ajaran Islam hingga ke pantai timur Sulawesi. Kejayaan Malaka mencapai daerah Riau (Kampar,Indragiri), akan tetapi tidak lama bertahan hingga Portugis menakhlukan Malaka pada tahun 1511. Di pulauJawa, kerajaan Majapahit mendekati masa punjak kejayaannya dibawah pemerintahan raja Hayam Wuruk(1611). Demikian pula, Majapahit digantikan kedudukannya oleh Kerajaan Demak yang kemudian meluaskanagama Islam ke seluruh Jawa hingga bagian selatan Kalimantan sehingga tersebut kerajaan Mataram danBanten menjadi kerajaan Islam yang besar setelah Demak. Pada abad ke-16 juga timbul kerajaan Bruneiyang meluaskan ke Islaman hingga bagian barat Kalimantan, dan juga Filipina. Atas kegiatan orang-orangBugis, maka Islam masuk ke Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara dan juga beberapa pulau di NuSA Tenggara. Kerajaan Goa menjadi kerajaan besar Islam pada masa itu. Dari Ternate (Kesultanan Ternate danTidore), Islam meluas meliputi pulau-pulau di seluruh Maluku, dan di daerah pantai Timur Sulawesi sertaSulawesi Utara. Demikianlah, hingga akhir abad ke 16, boleh dikata bahwa Islam telah tersebar dan mulaimengakar di Nusantara. 1Penyebaran Islam keseluruh Kepulauan Indonesia terbagi dalam tiga tataolahsejarah berbeda (threedintinct historical processes), yang mana masing-masing dikaitkan dengan pola perkembangan. Pendiriannegara Islam di Sumatera utara mencerminkan pemunculan pemerintah baru bukan melalui penakhlukanatau peralihan kerajaan yang ada. Namun di Jawa, penguasa Islam menggantikan kekuasaN politis rajaHindu. Elit politik baru tidak sepenuhnya merombak ideologi ataupun lambang penampilan luar penguasalama; melainkan mereka sangat mempertahankan kesinambungan dengan masa sebelumnya serayamemperkuat peralihan dan perluasan pemerintahan Hindu terdahulu. Sementara di Indonesia timur(Kalimantan, Sulawesi dan Maluku), raja-raja dengan mudah beralih ke Islam, tidak ada perubahan berartidalam hukum dasar negara (kerajaan).2

Masa Islam Awal ditandai dengan ditemukannya bentuk monumen seperti makam, mesjid, kuburan dan keraton. Beberapa makam berasas Islam yang ditemukan diperkirakan dibangun pada masa sebelum masyarakat Indonesia sepenuhnya beralih ke Islam. Batu nisan Islam tertua di Indonesia adalah nisan seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun bin Habatallah ditemukan di Leran Surabaya sebelah barat, Jawa Timur. Akan tetapi tidak ada informasi yang detail mengenai wanita tersebut.4 Makam yang lain ditemukan di Aceh diyakini sebagai makam penguasa pelabuhan Samudra di pantai utara Aceh. Makam yang masih terawat hingga saat ini adalah makam Malik Ibrahim yang meninggal tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur. Dari segi perletakan, makam kadang-kadang berada di dekat mesjid, dan seringkali terletak di tanah lapang di luar desa/kota bersangkutan. Makam tidak pernah ditemukan dalam lingkungan istana setempat. Tidak ada bentuk dan hiasan makam yang spesifik, salah satu ciri utama bentuk makam yaitu balok batu persegi panjang yang menyerupai bangunan, terukir dengan ayat-ayat yang diambil dari Al Quran serta dibubuhi ragam hias yang disebut sayap; sedangkan jenis yang satu lagi lebih umum disebut sebagai bentuk jada atau club. Jenis ini dipakai oleh orang-orang sepanjang Sumatera, dekat kepulauan Riau, dan Semenanjung Malaka pada abad ke-15 dan 17. 5 Bentuk dan makam di Jawa dipengaruhi oleh budaya Hindu yang berkembang pada masa sebelumnya. Beberapa makam para sufi atau ulama sperti di Jawa dikenal dengan 9 wali menjadi tempat berziarah hingga saat ini.

Salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan kota pertama di Indonesia adalah peningkatan Perdagangan kelautan Asia secara umum pada abad ke-13 dan ke-14. Pada masa itu, perdagangan rempahrempah dari nusantara ke beberapa negara Asia seperti India dan China mengalami kemajuan yang pesat sementara bangsa Eropa mulai menapak kakinya menguasai pusat pemasok utama rempah-rempah saat itu di Banda. Pusat kerajaan Hindu dan Budha yang sebelumnya menjadi tempat tujuan dan persinggahan dari pedagang dan biksu China maupun India seperti Sriwijaya/Palembang, Mataram dan Trowulan telah tumbuh menjadi pemukiman perkotaan. Disamping itu pusat kerajaan Islam yang tumbuh setelah pudarnya kejayaan kerajaan Hindu Budha menjadi bandar-bandar baru sebagai titik pintu masuk menuju perairan internasional bersamaan dengan perkembangan kota-kota pelabuhan yang mulai dikuasai oleh Potugis dan VOC. Bukti kebahasaan sering dikaitkan dengan kemunculan tradisi pemukiman perkotaan di Asia Tenggara. Sebutan Bandar sering digunakan untuk kota-kota pelabuhan saat itu, kata ini berasal dari bahasa Persia yang berarti pelabuhan dagang resmi diterjemahkan secara bebas sebagai town dan city dalam bahasa

Inggris, cicade (Portugis), stad (Belanda). Sementara, istilah kota dalam babad tanah Jawi padanannya khita, kuta, kuto dan negeri, istilah yang sering digunakan sebelumnya pada masa Hindu. Sebutan kuto dalam beberapa sastra Jawa Kuno dan Jawa Peralihan juga dicantumkan seperti dalam Kitab Bomakywya, Ramayana, Bharatayuddha, dan Pararaton. Sebutan kuto ini memiliki persamaan dengan kata yang lazim didapatkan dalam bahasa Belanda sebagai burcht, kaasteel, vesting, vesterkte legerplaats. 3 Kemudian dalam bahasa Hindi, kota semula menggambarkan pemukiman bertembok atau benteng, tetapi kemudian menjadi pusat masyarakat, dan sekarang mencakup konsep kota Metropolitan. Dari bukti kebahasaan tersebut diketahui ada dua model kota yang dilihat dari pola modern kehidupan kota yaitu pelabuhan dan benteng.Pada saat itu,tampaknyaada dua jeniskota yangmuncul;pertama, kotasebagaipelabuhandagangdengan pintumasukmenuju jalurperairaninternasional, dankedua,kota sebagai pusat administratif dengan daerahpertanian yang makmur. Kota yang terletak di pesisir dan muara-muara sungai besar disebut sebagai pusat Kerajaan Maritim berfungsi sebagai pelabuhan atau titik masuk dan keluar pelayaran seperti Sriwijaya/Palembang, Aceh/Pasai, Banten, Batavia, Banjarmasin, Semarang, Demak, Jepara, Gersik, Tuban, Surabaya, Makassar, Ternate dan Banda. Sedangkan kota jenis kedua, kota yang berada di pedalaman (hinterland) seperti Pagaruyung, Jambi dan Mataram. Perkembangan

perdagangan monopoli rempah oleh Persekutuan Dagang Hindia Timur (VOC) juga mempengaruhi perkembangan kota-kota tersebut di atas pada masa pendudukan Belanda. Pertumbuhan kota dan permukiman pada kedua kota memiliki karakteristik dan pola sendiri. Kota pesisir di utara pulau Jawa dalam sejarah sangat berbeda dengan daerah pedalaman. Kota pedalaman dicirikan dengan kota dengan istana yang memiliki upacara yang rumit dengan arsitektur yang didasarkan pada penduduk yang bermata pencaharian utama pertanian. Sementara disepanjang pantai utara digambarkan sebagai masyarakat kosmopolitan dengan sederet bandar perdagangan yang lebih cenderung memandang ke luar daripada ke dalam. Perkembangan kota-kota pesisir ini mendapat dukungan dari Pemerintah Hindia Belanda sehingga pada abad ke-17 berkembang pesat dapat dilihat dari perwujudan arsitekturnya. Kemajuan kota-kota tersebut selain didukung oleh faktor geografi, politik dan ekonomi, juga tidak terlepas dari faktor magis-religius atau unsur kosmologi. Seperti halnya pada pendirian kota kerajaan di Indonesia seperti Yogyakarta, Surakarta, Demak, Cirebon, Banten, dan lain-lain biasanya dihubungkan simbol meru dalam mitologi Hindu. Umumnya kota-kota di Jawa mengikuti poros utara-selatan. Dari beberapa keterangan, lukisan, map, terhadap beberapa kota tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa morpologi kotakota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara mempunyai ciri antara lain : ada yang berpagar keliling/benteng (Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Demak, Banten) ada juga yang tidak berpagar keliling (kota Majapahit, Aceh, Gersik, Tuban, Surabaya), pasar, tempat peribadatan (mesjid),

y y y y y y y y y y y y

perkampungan, kelompok bangunan keraton, tempat raja atau penguasa yang biasanya terletak di bagian selatan. Pembuatan pagar keliling masa itu ber fungsi sebagai benteng pertahanan terhadap gangguan dari luar kota. Selain itu, dari sudut ekonomi, pagar keliling diperlukan sebagai tempat pemungutan beacukai barang-barang dagangan yang keluar masuk kota. Biasanya perkampungan pendatang atau pedagang baik dari wilayah Indonesia yang lain, maupun dari Gujarat, Parsi, Arab, dan Cina (perkampungan dan pasar berada di luar pagar keliling. Pengelompokan perkampungan pendatang ada yang berdasarkan etnis dan ada juga yang berdasarkan pekerjaannya. Sehingga pada saat itu terdapat sebutan Kampung Melayu, Kampung Makasar, Bugis, Ternate, Banda, dan Banjar dan lain sebagainya. Demikian pula kampung pendatang dari luar wilayah Indonesia dikenal dengan nama kampung Gujarat, Arab, Benggala dan Cina. Di Aceh, kampung pendatang juga dikelompokkan berdasarkan pekerjaannya seperti kampung Pande ( tukang), begitu pula halnya di kota Cirebon, ada yang disebut dengan Panjunan, adalah sebutan untuk kampung para pembuat periuk belanga (a jun). Elemen lain dalam kota masa Islam awal adalah lebuh

agung atau alun-alun, lapangan yang terletak di tengah-tengah kota dan berfungsi sebagai tempat berkumpul atau upacara ritual kerajaan/kota dan kegiatan hiburan. Perekembanganpesat padakota-kotapelabuhan dagang Islam membentuk titik perhatian utama pembaharuan arsitektur dan pembangunan kota saat itu, Masyarakat pertanian melanjutkan penyesuaian susunan ruang sejenis mandala pada zaman Hindu-Budha. Sementara itu, masjid menggantikan candi sebagai titik utama kehidupan keagamaan. Islam datang ke Indonesia tidak menyEbabkan revolusi dalam gaya bangunan, sehingga peralihan dari zaman Hindu-Budha ke era Islam memberikan suatu warna eklektisme seperti halnya yang terlihat peninggalan yang tersisa pemakaman Imogiri di Yogyakarta, Masjid Kudus, Istana Keraton Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Deli dan Ternate.

Berdasarkan uraian tentang kota-kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam awal dijelaskan bahwa mesjid menjadi tempat peribadatan menggantikan fungsi candi pada masa tersebut. Letak mesjid di kota-kota pusat kerajaan di Jawa disebelah barat alun-alun dan tidak terpisahkan dari komponen inti kota yaitu keraton. Dahulu, pusat kota kerajaan terdiri dari bangunan keraton/istana, alun-alun, masjid, dan tempat tinggal para bangsawan. Dari keterangan dan data sejarah disebutkan bahwa pada sebuah kota pusat kerajaan terdapat beberapa buah mesjid disamping beberapa langgar atau surau atau meunasah. Biasanya inisitaif dari mendirikan mesjid mula-mula timbul dari sultan atau wali, diperkuat dengan unsurunsur tradisional yang memandang raja atau sultan dan wali sebagai orang-orang magis. Menurut babad, mesjid-mesjid kuno yang didirikan di bawah pimpinan Wali Sanga secara gotong royong adlah mesjid Agung Demak dan Mesjid Agung Cirebon. Di Sumatera, pendirian mesjid juga di inisiasi oleh Sultan atua Raja, begitu juga dari segi letak, seringkali dekat dengan istana. Pada awalnya mesjid didirikan sebagai tempat ibadaah, sejalan dengan perkembangan politik dan pemerintahan, mesjid juga digunakan sebagai pusat kehidupan masyarakat yang berhubungan urusan keagamaan seperti wakaf, peradilan, hukum Islam, zakat.

y

Kronologis perkembangan arsitektur masjid

Mesjid-mesjid kuno di Indonesia menunjukkan kekhasan yang membedakannya arsitektur mesjid-mesjid di negeri Islam. Mesjid-mesjid kuno pada awal perkembangan Islam yang mengadopsi konsep-konsep arsitektur Candi (Hindu/Budha), arsitektur lokal serta arsitektur Cina. Kekhasan gaya arsitektur mesjidmesjid kuno ini dinyatakan oleh bentuk atap tumpang atau bertingkat 2,3,5, dengan puncaknya dihiasi mustaka atau memolo, denahnya persegiempat atau bujursangkar dengan serambi di depan atau di samping; fondasinya pejal dan tinggi, pada bagian depan atau samping terdapat parit berair (kulah) serta gerbang. Umumnya mesjid tua di Jawa berciri seperangkat empat tiang yang dikenal dengan saka guru seperti : Masjid Menara Kudus, di Kudus,Jawa Tengah Masjid Sendang Dawur di Lamongan, Cirebon Masjid Mantingan di Jepara, Jawa Tengah Masjid Lima Kaum, Tanah Datar di Sumatera Barat Surau Syeh Burhanuddin, di Ulakan, Padang Pariaman, Sumatera Barat. 2 Masjid Sultan Abdul Rahman, Kalimantan Masjid Agung Anke di Jakarta Masjid Sumenep di Madura Mesjid Angke dan Marunda di Jakarta Mesjid Agung Demak Mesjid Agung Banten Mesjid Baiturrahman pada masa Sultan Iskandar Muda Mesjid di Ternate tahun abad ke 19 (sebelum perubahan)

Kemudian, sekitar awal abad ke-19, arsitektur mesjidmesjid yang mendapat pengaruh arsitektur India, Timur Tengah dan Kolonial Belanda. Beberapa mesjid yang mendapat pengaruh gaya ini adalah : y Masjid Raya Baiturahman di Aceh y Masjid Raya Al Osmani di Labuhan, Deli y Masjid Azizi Tanjung Pura, Langkat y Masjid Raya Al Maksum di Deli, Medan y Masjid Agung di Palembang y Masjid Al Azhar di Jakarta y Masjid Agung Yogyakarta y Masjid Syuhada Yogyakarta y Masjid Agung di Banyuwangi

Perkembangan mesjid sangat pesat setelah kemerdekaanNegara Indonesia.Pada masa ini arsitektur mesjid dipengaruhi oleh gaya modern yangberkembang padamasa itu. Mesjid mesjid Pasca Kemerdekaan Indonesia awal yang menonjol yaitu Masjid Agung Istiqlal Jakarta dirancang oleh arsitek F.Silaban, kemudian masjid Salman di Bandung, dan masjid Agung di Jember

Arsitektur mesjid di Indonesia beragam, tidak ada suatu rancangan atau pola tertentu yang mengikat. Namun, pada umumnya arsitektur mesjid Indonesia mempunyai konsep dan elemen sebagai berikut: - Ruang Utama, ruang utama tempat sholat, terdapat didalamnya mihrab dan mimbar - Mihrab, ruang tempat berdiri imam ( pemimpin sholat berjamaah ) yang berbentuk ceruk atau relung di dinding sisi Kiblat - Mimbar, kursi atau singgahsana atau tahta tempat para pemimpin memberikan atau menyampaikan masalah-masalah kepada umat atau rakyat. - Maksurah, bilik berbentuk kotak, berdindingkan pagar atau terali sehingga tembus pandang yang diperuntukan khusus untuk pemimpin pada waktu sholat - Halaman Terbuka, bagian dari masjid yang berupa lapangan terbuku biasanya dibangun tamana dan sebuah kolam atau pancuran air sebagai tempat bersuci - Serambi, selasar atau koridor yang mengelilingi ruang utama, biasanya tidak berdinding penuh atau hanya dibatasi tiang saja. - Menara (minaret), bangunan tinggi tempat muazin mengumandangkan azan. - Tempat bersuci, tempat mengambil wudhu sebelum masuk ke dalam Masjid berupa kolam, pancuran dan kamar mandi Dibagian belakang dan samping mesjid kuno di Indonesia biasanya terdapat pula makam raja-raja atau sultan-sultan, anggota keluarga raja dan orang-orang yang dianggap keramat, H.A.R Gibb dan Kramer6 menjelaskan mengutip dari Masjid makam ini digolongkan sebagai masyhad, contohnya mesjid Demak, mesjid Kadilangu, mesjid Ampel, mesjeid Kuto Gede, Mesjid banten dan sebagainya.

Keraton atau istana selama masa Islam tumbuh subur di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sumbawa, Sulawesi dan Maluku. Setiap raja, besar atau kecil, membangun gugus bangunan lambang kejayaan dan kekuasaan. Umumnya keraton atau istana berada di dalam pagar keliling dan di pusat kota y kerajaan. Sehingga terdapat perbedaan di antara dunia dalam dan dunia luar yang diwakili oleh istana(di Jawa terkadng dikenal dengan Dalem) serta lingkungan alam sekitar di luar istana. Pagar keliling tersebutjuga membedakan antara ruang yang sakral dan profan. Lingkungan di dalam istana dikenal sebagai ruang yang bersifat sakral, beradab dan halus, dan lingkungan di luar istana sebagai sesuatu yang liar, kasar dan profan. Tata letak istana/keraton diibaratkan berporos pada gunung yang suci atau berada dalam satu garisimajiner dengan gunung dan laut, seperti halnya yang terjadi di Jawa, Sumatera, Sumbawa, dan ternate, dibelakang keraton/istana terdapat gunung yang dianggap suci. Didalam satu kompleks istana terdapat beberapa bangunan yang mana orientasi atau penempatannya mengekspresikan perumpamaan tingkatanatau hierarki dalam masyarakat tersebut. Hal ini terlihat dalam kompleks keraton Yogyakarta.Di Sumatera, terdapat beberapa istana Kerajaan Islam yang berkuasa pada masa lampau. Sekarang ini masih terdapat beberapa peninggalan bangunannya meskipun kekuasaan raja telah hilang karena perubahan sistem pemerintahan di negara Indonesia, dengan perkecualian Kesultanan Yogyakarta. Seperti halnya dengan mesjid, hampir tidak ada suatu pola khusus dalam rancangan istana. Unsur arsitektur lokal dan kolonial mendominasi konsep arsitektural istana pada abad ke-19 dan ke-20, seperti yang terlihat bangunan istana di Sumatera dan Ternate

Terima Kasih