29
DESKRIPSI KESUSASTRAAN BATAK Dosen Pengampu: Prof. Bani Sudardi, M.Hum Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah “Naskah Nusantara” Oleh: 1. Anisah Sholichah (C0209007) 2. Arintha Ayu W (C0209008) 3. Ayu Wulandari (C0209009) 4. Candra Rini (C0209011) 5. Christin Cahyoningrum (C0209012) FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

sastra batak

  • Upload
    ian-rush

  • View
    1.366

  • Download
    15

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: sastra batak

DESKRIPSI KESUSASTRAAN BATAK

Dosen Pengampu: Prof. Bani Sudardi, M.Hum

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

“Naskah Nusantara”

Oleh:

1. Anisah Sholichah (C0209007)

2. Arintha Ayu W (C0209008)

3. Ayu Wulandari (C0209009)

4. Candra Rini (C0209011)

5. Christin Cahyoningrum (C0209012)

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010

Page 2: sastra batak

BAB I

PENDAHULUAN

Sastra daerah baik lisan maupun tulisan merupakan kekayaan

budaya daerah yang kelestariannya ditentukan oleh pendukung budaya

daerah yang bersangkutan. Sastra daerah menyimpan nilai-nilai

kedaerahan dan akan memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi

perkembangan sastra di daerah dan Indonesia pada umumnya.

Salah satu sastra daerah yang berkembang di Indonesia adalah

sastra di daerah Sumatera Utara. Dilihat dari segi sosial budayanya,

daerah Sumatra Utara dibagi kedalam tiga kelompok etnis, yaitu : Batak,

Melayu dan Nias (walaupun sebagian ahli antropologi budaya

menemukan suku Nias itu kedalam etnis Batak).

Sastra yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sastra Batak.

Sastra Batak merupakan salah satu bentuk sastra yang tumbuh dan

berkembang di daerah Batak, Sumatera Utara. Yang termasuk kelompok

etnis Batak terdiri dari : TOBA (Tapanuli Utara), ANGKOLA-MANDAILING

(Tapanuli Selatan), KARO, SIMALUNGUN dan PAKPAK-DAIRI. Kelompok

etnis Melayu terdiri dari Melayu pantai Timur Sumatra Utara, meliputi

Langkat, Deli Serdang, Asahan dan Labuhanbatu.

Page 3: sastra batak

BAB II

PEMBAHASAN

Sastra Batak merupakan hasil kebudayaan yang berkenaan

dengan cerita rakyatnya, namun dalam hal ini hanya khusus pada

kelompok etnis Batak saja yang terdiri dari: Batak Toba (Tapanuli Utara),

Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola/ Mandailing (Tapanuli

Selatan), dan Batak Pak-Pak/ Dairi. Cerita rakyat daerah Sumatera Utara

biasanya bertemakan tokoh Mitologis dan Legendaris yang mengandung

nilai-nilai sosial budaya yang sesuai dengan nilai Pancasila.

Selain sastra Batak adapula Surat Batak adalah nama aksara yang

digunakan untuk menuliskan bahasa Batak. Sastra Batak masih

berkerabat dengan aksara Nusantara lainnya. Aksara ini memiliki

beberapa varian bentuk, tergantung bahasa dan wilayah. Secara garis

besar, ada empat varian surat Batak di Sumatra, yaitu Karo, Toba, Dairi,

Simalungun, dan Mandailing. Aksara ini wajib diketahui oleh para datu,

yaitu orang yang dihormati oleh masyarakat Batak karena menguasai ilmu

sihir, ramal, dan penanggalan. Kini, aksara ini masih dapat ditemui dalam

berbagai pustaha, yaitu kitab tradisional masyarakat Batak.

Dalam sastra Batak, terdapat beberapa jenis karya sastra yang

berkembang. Secara garis besar, jenis sastra Batak ada 2, yakni:

1. Jenis sastra prosa

2. Jenis sastra puisi

1. Jenis Sastra Prosa

Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi

karena variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta

bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa

Page 4: sastra batak

berasal dari bahasa Latin "prosa" yang artinya "terus terang". Jenis

tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta

atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar,

majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media

lainnya.prosa juga dibagi dalam dua bagian,yaitu prosa lama dan

prosa baru,prosa lama adalah prosa bahasa indonesia yang belum

terpengaruhi budaya barat,dan prosa baru ialah prosa yang dikarang

bebas tanpa aturan apa pun.

Prosa biasanya dibagi menjadi empat jenis: prosa naratif, prosa

deskriptif, prosa eksposisi, dan prosa argumentatif. Prosa kadangkala

juga disebut dengan istilah "gancaran".

Dalam sastra Batak, terdapat dua jenis sastra prosa :

a. Turi – turian (legenda)

b. Hikayat

a. Turi – turian (legenda)

Turi – turian atau legenda adalah cerita prosa rakyat yang

dianggap oleh yang empunya cerita sebagai sesuatu yang benar-

benar terjadi di daerah tersebut.

Beberapa judul dari turi- turian di antaranya:

1. Sampuraga

2. Batu Gantung-Parapat

3. Boru Saroding Pandiangan

4. Asal Mula Danau Si Losung dan Si Pinggan

5. Legenda Sipiso Somalim

b. Hikayat

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama

dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan

Page 5: sastra batak

dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun

kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian

serta mukjizat tokoh utama. Sebuah hikayat dibacakan sebagai

hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat juang.

Salah satu judul hikayat Batak adalah hikayat Boru Napuan.

2. Jenis Sastra Puisi

Puisi adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk

kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya.

Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan

sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakan puisi

dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan. Beberapa ahli

modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak

sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia,

yang menjadi sumber segala kreativitas.

Baris-baris pada puisi dapat berbentuk apa saja (melingkar,

zigzag, dll). Hal tersebut merupakan salah satu cara penulis untuk

menunjukkan pemikirannnya. Puisi kadang-kadang juga hanya berisi

satu kata/suku kata yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca hal

tersebut mungkin membuat puisi tersebut menjadi tidak dimengerti.

Tapi penulis selalu memiliki alasan untuk segala 'keanehan' yang

diciptakannya. Tak ada yang membatasi keinginan penulis dalam

menciptakan sebuah puisi. Ada beberapa perbedaan antara puisi

lama dan puisi baru.

3. Bentuk Sastra Batak

Kita mengenal berbagai bentuk sasra Batak kuno, antara lain

sebagai berikut:

Page 6: sastra batak

1. Puisi

2. Perumpamaan

3. Pantun-pantun

4. Doa-doa

5. Dongeng

6. Peribahasa

Beberapa Judul Sastra Batak

Sastra Batak memiliki banyak karya sastra. Di antara karya sastra yang

dikenal umum adalah sebagai berikut:

I. Cerita Orang Dewasa

Cerita orang dewasa yang menampilkan tokoh Mitologis terdiri dari:

a. Si Raja Omas (Cerita Rakyat Simalungun)

b. Lingga dan Purba (Cerita Rakyat Tapanuli Utara)

c. Putri Berdarah Putih (Batak Toba)

d. Si Boru Dayang (Batak Karo)

e. Balige Raja (Batak Toba)

f. Putri Dewa Gunung Lumut (Pak-pak Dairi)

g. Raja Dangol Halungunan

Cerita rakyat yang menampilkan tokoh Legendaris terdiri dari:

a. Terjadinya Tinggi Raja (Cerita rakyat Simalungun)

Page 7: sastra batak

b. Asal-usul Sidakalang (Cerita Rakyat Dairi)

c. Marga Purba (Cerita rakyat Karo)

d. Silahi Sabungan dan Siboru Batang Hari (Cerita rakyat Tapanuli

Utara)

e. Siboru Sanduduk (Cerita rakyat Tapanuli Utara)

f. Siboru Tumbaga ((Cerita rakyat Tapanuli Tengah)

g. Namora Pande Bosi Lubis (Cerita rakyat Tapanuli Selatan)

h. Baleo Mahato (Batak Angkola Mandailing)

i. Datu Kandibata/ Guru Kandibata (Batak Karo)

j. Si Boru Ginting Pase (Batak Karo)

k. Si Taganbulu (Batak Toba)

l. Keramat Kubah Pandan Perdagangan (Batak Simalungun)

II. Cerita anak-anak

a. Jonaha (Cerita rakyat Simalungun)

b. Carito Na Marudut (Cerita rakyat Tapanuli Selatan)

c. Si Betah-Betah (Batak Karo)

d. Asal-usul Padi Pulut (Pak-pak Dairi)

e. Anak yang Baik Hati (Batak Angkola Mandailing

f. Burung Beo (Pakpak Dairi)

Page 8: sastra batak

4. Tokoh-tokoh Sastra Batak

a. Sanusi Pane (1905-1968) 

Sanusi Pane, sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Pria

kelahiran Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905, ini juga

berprofesi sebagai guru dan redaktur majalah dan surat kabar. Ia juga

aktif dalam dunia pergerakan politik,  seorang nasionalis yang ikut

menggagas berdirinya “Jong Bataks Bond.” Karya-karyanya banyak

diterbitkan pada 1920 -1940-an. Meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968.

Bakat seni mengalir dari ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang

guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing

Natal. Mereka delapan bersaudara, dan semuanya terdidik dengan baik

oleh orang tuanya. Di antara saudaranya yang juga menjadi tokoh

nasional,adalah Armijn Pane (sastrawan), dan Lafran Pane salah

(seorang pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam).

Sanusi Pane menempuh pendidikan formal HIS dan ElS di Padang

Sidempuan, Tanjungbalai, dan Sibolga, Sumatera Utara. Lalu melanjut

ke MULO di Padang dan Jakarta, tamat 1922. Kemudian tamat dari

Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sahari, Jakarta, tahun 1925.

Setelah tamat, ia diminta mengajar di sekolah itu juga sebelum

dipindahkan ke Lembang dan jadi HIK. Setelah itu, ia mendapat

kesempatan melanjut kuliah Othnologi di Rechtshogeschool. Setelah

itu, pada 1929-1930, ia mengunjungi India. Kunjungan ke India ini

sangat mewarnai pandangan kesusasteraannya. Sepulang dari India,

selain aktif sebagai guru, ia juga aktif jadi redaksi majalah TIMBUL

(berbahasa Belanda, lalu punya lampiran bahasa Indonesia). Ia banyak

menulis karangan-karangan kesusastraan, filsafat dan politik.

b. Amir Hamzah, Tengku (1911-1946) 

Page 9: sastra batak

Amir Hamzah lahir sebagai seorang manusia penyair pada 28

Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara. Ia seorang

sastrawan Pujangga Baru. Pemerintah menganugerahinya Pahlawan

Nasional. Anggota keluarga kesultanan Langkat bernama lengkap

Tengku Amir Hamzah Indera Putera, ini wafat di Kuala Begumit, 20

Maret 1946 akibat revolusi sosial di Sumatera Timur. Sebagai seorang

keluarga istana (bangsawan), ia memiliki tradisi sastra yang kuat.

Menitis dari ayahnya, Tengku Muhammad Adil, seorang pangeran di

Langkat, yang sangat mencintai sejarah dan sastra Melayu. Sang Ayah

(saudara Sultan Machmud), yang menjadi wakil sultan untuk Luhak

Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai, Sumatra Timur,

memberi namanya Amir Hamzah adalah karena sangat mengagumi

Hikayat Amir Hamzah. Sejak masa kecil, Amir Hamzah sudah hidup

dalam suasana lingkungan yang menggemari sastra dan sejarah. Ia

bersekolah di Langkatsche School (HIS), sekolah dengan tenaga

pengajar orang-orang Belanda. Lalu sore hari, ia belajar mengaji di

Maktab Putih di sebuah rumah besar bekas istana Sultan Musa, di

belakang Masjid Azizi Langkat. Setamat HIS, Amir melanjutkan studi ke

MULO di Medan, tapi tidak sampai selesai. Ia pindah ke MULO di

Jakarta. Di Jawa perkembangan kepenyairannya makin terbentuk.

Apalagi sejak  sekolah di Aglemeene Middelbare School (AMS) jurusan

Sastra Timur di Solo, Amir menulis sebagian besar sajak-sajak

pertamanya. Di sini ia memperkaya diri dengan kebudayaan modern,

kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia lainnya.

c. Henry Guntur Tarigan

Henry Guntur Tarigan dilahirkan tanggal 23 September 1933, di

Linggajulu, Kabanjahe, Sumatra Utara. la menyelesaikan pendidikan di

Fakultas Keguruan dan llmu pendidikan Universitas Padjadjaran

Bandung (1962); mengikuti Studi Pascasarjana Lingustik di

Rijksuniversiteit Leiden, Belanda (1971—1973); meraih gelar doktor

Page 10: sastra batak

dalam bidang iinguistik dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia

(1975) dengan disertasi berjudul "Morfologi Bahasa Simalungun".

Karya-karyanya antara lain adalah Struktur Sosial Masyarakat

Simalungun, Morfologi Bahasa Simalungun, Prinsip-Prinsip Dasar Puisi,

Prinsip-Prinsip Dasar Fiksi, Prinsip-Prinsip Dasar Drama, Prinsip-

Prinsip Dasar Kritik Sastra, Pengantar Sintaksis, Bahasa Karo, Sastra

Lisan Karo, Percikan Budaya Karo, Psikolinguistik, Tata

BahasaTagmemik, Linguinstik Konstratif, Menyimak (Sebagai Suatu

Keterampilan Berbahasa), Berbicara (Sebagai Suatu Keterampilan

Berbahasa), Membaca (Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa).

d. Mula Harahap

Mula Harahap: Dari ‘Si Kuntjung’ ke Gunung Mulia Perawakannya

khas. Tinggi dan berambut gondrong sebahu. Melihat penampilannya,

orang tak akan menduga, jika dunia Mula Harahap adalah buku. Sejak

kecil, sosok ini sudah mencintai buku dan berharap suatu saat nanti

semua orang akan mudah mengakses buku di mana saja dan

terjangkau masyarakat luas. Mula Harahap memulai karir dengan

menulis cerita untuk anak-anak takala penulis Julius R Sjiranamual dan

Asmara Nababan menggembalakan majalah anak-anak “Kawanku.”

Kemudian dia selama bertahun-tahun menjadi editor penerbit buku BPK

Gunung Mulia, sebelum akhirnya mendirikan penerbit buku sendiri yaitu

“Komindo Mitra Utama,” sekaligus aktif menjadi Sekertaris IKAPI

(Ikatan Penerbit Indonesia) sejak tahun 1988 sampai 2006. Meskipun

tidak lagi menjabat sebagai Sekertaris IKAPI, aktivitas Mula Harahap

bukannya surut, dia tetap memberi waktu dan perhatiannya pada

IKAPI, lewat Yayasan Adi Karya, sebuah yayasan di bawah naungan

IKAPI yang memberikan award untuk buku-buku terbaik setiap tahun.

Kesibukannya yang lain sebagai care taker YOKOMA (Yayasan

Komunikasi Massa), sebuah organisasi di bawah naungan Persatuan

Page 11: sastra batak

Gereja Indonesia (PGI), yang di masa lalu sempat jadi tempat mangkal

seniman-seniman yang cukup punya nama, seperti Teguh Karya,

Enteng Tanamal, Julius R Sjiranamual, Franky Rorimpande dan banyak

lagi lainnya. Menjadi penerbit bukanlah pekerjaan sesederhana yang

dianggap banyak orang. Tidak semudah menjadi calon anggota

legislatif (caleg). Maka, tak heran begitu kecilnya minat orang untuk

menjadi penerbit. Cintanya pada buku membuat Mula tak terpisahkan

dari penerbitan, meskipun secara finansial dia lebih banyak menghitung

kerugian daripada laba. Mula Harahap beranggapan penerbit buku itu

satu keharusan. “Entah bagaimana pun caranya, penerbit buku ‘Mitra

Utama’ harus tetap jalan terus,” kata pria yang lahir di Palangkaraya

tahun 1953 ini. Pemikirannya selama aktif menjadi Sekertaris IKAPI

selalu mendapat respon dari para penerbit dan pemerhati buku. Antara

lain, kritiknya terhadap Undang-Undang Perbukuan, yang ditulisnya

secara komperhensif dan dengan sikap yang membela kepentingan

penerbit.

Menurutnya Undang Undang Perbukuan justru ikut membuat lesu

dunia penerbitan buku itu sendiri. Para penerbit buku jadi kehilangan

motivasi, karena sudah terbiasa dapat proyek dan menyerahkan segala

kebijakan pada pemerintah. Dalam hal ini, Mula merujuk pada

pemerintahan Orde Baru yang disebutnya Otoritarianisme ala Suharto.

Dampak lain dari undang-undang perbukuan itu, adalah bubarnya

PMGM (Pehimpunan Masyarakat Gemar Membaca). Pada waktu

PMGM itu dibentuk, IKAPI sebagai lembaga yang memayungi berbagai

penerbit buku, ikut masuk dalam lingkaran PMGM, karena arah angin

politik waktu itu memang ke sana, ditambah lagi keyakinan bahwa

PMGM akan dapat menyelesaikan masalah dan menyamakan persepsi

antar penerbitan buku. Namun, dalam perjalanannya, perhimpunan itu

merasa tidak nyaman lagi. Karena ada usaha dari struktur organisasi

PMGM untuk menggolkan Undang-Undang Perbukuan itu di parlemen.

Page 12: sastra batak

5. Bentuk Penyajian Karya Sastra Batak

Bentuk penyajian karya sastra Batak biasanya berbentuk prosa dan

puisi. Adapun bentuk penyajiannya sebagai berikut:

1. Bentuk penyajian Prosa

Berikut ini merupakan salah satu contoh karya sastra yang

berbentuk legenda yang berjudul “Asal Mula Danau Si Losung dan

Si Pinggan”. Legenda ini berasal dari daerah Silahan, Kecamatan

Lintong Ni Huta, Kabupaten Tapanuli Utara.

Asal Mula Danau Si Losung dan Si Pinggan

Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Silahan, Tapanuli

Utara, hiduplah sepasang suami-istri yang memiliki dua orang anak

laki-laki. Yang sulung bernama Datu Dalu, sedangkan yang bungsu

bernama Sangmaima. Ayah mereka adalah seorang ahli

pengobatan dan jago silat. Sang Ayah ingin kedua anaknya itu

mewarisi keahlian yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia sangat tekun

mengajari mereka cara meramu obat dan bermain silat sejak masih

kecil, hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pemuda yang gagah

dan pandai mengobati berbagai macam penyakit.

Pada suatu hari, ayah dan ibu mereka pergi ke hutan untuk

mencari tumbuhan obat-obatan. Akan tetapi saat hari sudah

menjelang sore, sepasang suami-istri itu belum juga kembali.

Akhirnya, Datu Dalu dan adiknya memutuskan untuk mencari

kedua orang tua mereka. Sesampainya di hutan, mereka

menemukan kedua orang tua mereka telah tewas diterkam

harimau.

Page 13: sastra batak

Dengan sekuat tenaga, kedua abang-adik itu membopong

orang tua mereka pulang ke rumah. Usai acara penguburan, ketika

hendak membagi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua

mereka, keduanya baru menyadari bahwa orang tua mereka tidak

memiliki harta benda, kecuali sebuah tombak pusaka. Menurut adat

yang berlaku di daerah itu, apabila orang tua meninggal, maka

tombak pusaka jatuh kepada anak sulung. Sesuai hukum adat

tersebut, tombak pusaka itu diberikan kepada Datu Dalu, sebagai

anak sulung.

Pada suatu hari, Sangmaima ingin meminjam tombak

pusaka itu untuk berburu babi di hutan. Ia pun meminta ijin kepada

abangnya.

“Bang, bolehkah aku pinjam tombak pusaka itu?”

“Untuk keperluan apa, Dik?”

“Aku ingin berburu babi hutan.”

“Aku bersedia meminjamkan tombak itu, asalkan kamu sanggup

menjaganya jangan sampai hilang.”

“Baiklah, Bang! Aku akan merawat dan menjaganya dengan baik.”

Setelah itu, berangkatlah Sangmaima ke hutan.

Sesampainya di hutan, ia pun melihat seekor babi hutan yang

sedang berjalan melintas di depannya. Tanpa berpikir panjang,

dilemparkannya tombak pusaka itu ke arah binatang itu.

“Duggg…!!!” Tombak pusaka itu tepat mengenai lambungnya.

Sangmaima pun sangat senang, karena dikiranya babi hutan itu

sudah roboh. Namun, apa yang terjadi? Ternyata babi hutan itu

melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.

Page 14: sastra batak

“Wah, celaka! Tombak itu terbawa lari, aku harus mengambilnya

kembali,” gumam Sangmaima dengan perasaan cemas.

Ia pun segera mengejar babi hutan itu, namun

pengejarannya sia-sia. Ia hanya menemukan gagang tombaknya di

semak-semak. Sementara mata tombaknya masih melekat pada

lambung babi hutan yang melarikan diri itu. Sangmaima mulai

panik.

“Waduh, gawat! Abangku pasti akan marah kepadaku jika

mengetahui hal ini,” gumam Sangmaima.

Namun, babi hutan itu sudah melarikan diri masuk ke dalam

hutan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan

memberitahukan hal itu kepada Abangnya.

“Maaf, Bang! Aku tidak berhasil menjaga tombak pusaka milik

Abang. Tombak itu terbawa lari oleh babi hutan,” lapor Sangmaima.

“Aku tidak mau tahu itu! Yang jelas kamu harus mengembalikan

tombok itu, apa pun caranya,” kata Datu Dalu kepada adiknya

dengan nada kesal.”

Baiklah, Bang! Hari ini juga aku akan mencarinya,” jawab

Sangmaima.

“Sudah, jangan banyak bicara! Cepat berangkat!” perintah Datu

Dalu.

Saat itu pula Sangmaima kembali ke hutan untuk mencari

babi hutan itu. Pencariannya kali ini ia lakukan dengan sangat hati-

hati. Ia menelesuri jejak kaki babi hutan itu hingga ke tengah hutan.

Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah lubang besar

yang mirip seperti gua. Dengan hati-hati, ia menyurusi lubang itu

Page 15: sastra batak

sampai ke dalam. Alangkah terkejutnya Sangmaima, ternyata di

dalam lubang itu ia menemukan sebuah istana yang sangat megah.

“Aduhai, indah sekali tempat ini,” ucap Sangmaima dengan takjub.

“Tapi, siapa pula pemilik istana ini?” tanyanya dalam hati.

Oleh karena penasaran, ia pun memberanikan diri masuk

lebih dalam lagi. Tak jauh di depannya, terlihat seorang wanita

cantik sedang tergeletak merintih kesakitan di atas

pembaringannya. Ia kemudian menghampirinya, dan tampaklah

sebuah mata tombak menempel di perut wanita cantik itu.

“Sepertinya mata tombak itu milik Abangku,” kata Sangmaima

dalam hati. Setelah itu, ia pun menyapa wanita cantik itu.

“Hai, gadis cantik! Siapa kamu?” tanya Sangmaima.

“Aku seorang putri raja yang berkuasa di istana ini.”

“Kenapa mata tombak itu berada di perutmu?”

“Sebenarnya babi hutan yang kamu tombak itu adalah

penjelmaanku.”

“Maafkan aku, Putri! Sungguh aku tidak tahu hal itu.”

“Tidak apalah, Tuan! Semuanya sudah terlanjur. Kini aku hanya

berharap Tuan bisa menyembuhkan lukaku.”

Berbekal ilmu pengobatan yang diperoleh dari ayahnya

ketika masih hidup, Sangmaima mampu mengobati luka wanita itu

dengan mudahnya. Setelah wanita itu sembuh dari sakitnya, ia pun

berpamitan untuk mengembalikan mata tombak itu kepada

abangnya.

Page 16: sastra batak

Abangnya sangat gembira, karena tombak pusaka

kesayangannya telah kembali ke tangannya. Untuk mewujudkan

kegembiraan itu, ia pun mengadakan selamatan, yaitu pesta adat

secara besar-besaran. Namun sayangnya, ia tidak mengundang

adiknya, Sangmaima, dalam pesta tersebut. Hal itu membuat

adiknya merasa tersinggung, sehingga adiknya memutuskan untuk

mengadakan pesta sendiri di rumahnya dalam waktu yang

bersamaan. Untuk memeriahkan pestanya, ia mengadakan

pertunjukan dengan mendatangkan seorang wanita yang dihiasi

dengan berbagai bulu burung, sehingga menyerupai seekor burung

Ernga. Pada saat pesta dilangsungkan, banyak orang yang datang

untuk melihat pertunjukkan itu.

Sementara itu, pesta yang dilangsungkan di rumah Datu

Dalu sangat sepi oleh pengunjung. Setelah mengetahui adiknya

juga melaksanakan pesta dan sangat ramai pengunjungnya, ia pun

bermaksud meminjam pertunjukan itu untuk memikat para tamu

agar mau datang ke pestanya.

“Adikku! Bolehkah aku pinjam pertunjukanmu itu?”

“Aku tidak keberatan meminjamkan pertunjukan ini, asalkan Abang

bisa menjaga wanita burung Ernga ini jangan sampai hilang.”

“Baiklah, Adikku! Aku akan menjaganya dengan baik.”

Setelah pestanya selesai, Sangmaima segera mengantar

wanita burung Ernga Itu ke rumah abangnya, lalu berpamitan

pulang. Namun, ia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan

menyelinap dan bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Ia

bermaksud menemui wanita burung Ernga itu secara sembunyi-

sembunyi pada saat pesta abangnya selesai.

Page 17: sastra batak

Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada malam harinya,

Sangmaima berhasil menemui wanita itu dan berkata:

“Hai, Wanita burung Ernga! Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi

dari sini tanpa sepengetahuan abangku, sehingga ia mengira kamu

hilang.”

“Baiklah, Tuan!” jawab wanita itu.

Keesokan harinya, Datu Dalu sangat terkejut.

Wanita burung Ernga sudah tidak di kamarnya. Ia pun mulai

cemas, karena tidak berhasil menjaga wanita burung Ernga itu.

“Aduh, Gawat! Adikku pasti akan marah jika mengetahui hal ini,”

gumam Datu Dalu. Namun, belum ia mencarinya, tiba-tiba adiknya

sudah berada di depan rumahnya.

“Bang! Aku datang ingin membawa pulang wanita burung Ernga itu.

Di mana dia?” tanya Sangmaima pura-pura tidak tahu.

“Maaf Adikku! Aku telah lalai, tidak bisa menjaganya. Tiba-tiba saja

dia menghilang dari kamarnya,” jawab Datu Dalu gugup.

“Abang harus menemukan burung itu,” seru Sangmaima.

“Dik! Bagaimana jika aku ganti dengan uang?” Datu Dalu

menawarkan.

Sangmaima tidak bersedia menerima ganti rugi dengan

bentuk apapun. Akhirnya pertengkaran pun terjadi, dan perkelahian

antara adik dan abang itu tidak terelakkan lagi. Keduanya pun

saling menyerang satu sama lain dengan jurus yang sama,

sehingga perkelahian itu tampak seimbang, tidak ada yang kalah

dan menang.

Page 18: sastra batak

Datu Dalu kemudian mengambil lesung lalu dilemparkan ke

arah adiknya. Namun sang Adik berhasil menghindar, sehingga

lesung itu melayang tinggi dan jatuh di kampung Sangmaima.

Tanpa diduga, tempat jatuhnya lesung itu tiba-tiba berubah menjadi

sebuah danau. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi

nama Danau Si Losung.

Sementara itu, Sangmaima ingin membalas serangan

abangnya. Ia pun mengambil piring lalu dilemparkan ke arah

abangnya. Datu Dalu pun berhasil menghindar dari lemparan

adiknya, sehingga piring itu jatuh di kampung Datu Dalu yang pada

akhirnya juga menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau

Si Pinggan.

2. Bentuk penyajian Puisi

Berikut ini merupakan salah satu bentuk penyajian puisi Batak

karangan Paulus Simangunsong. Puisi berjudul Poda (nasehat)

berkisah tentang seorang anak yg yakin merantau setelah mendapat

nasehat dari orangtua. "Hati-hati melangkah dan renungkan yg

sudah berlalu!" kata orangtuanya. Nasehat orangtua jadi pegangan

ketika jalan licin, cahaya pada gelap.Dan keriangan kala hening.

Poda

Onma pardalanan nahuparsitta

Borhat mardongan poda

Nauli mangerbang

Posma nang di roha

Page 19: sastra batak

Manat ahu mardalan

Manaili tu halausan

Asa ture di parjalangan

Podami amang inang

Manggohi roha mengihot hosa

Lamture lamtuhotna

Podami amang inang

Tokkot molo landit

Palito molo holom

Hariburon molo hohom

BAB III

PENUTUP

Sastra Batak merupakan hasil kebudayaan yang berkenaan

dengan cerita rakyatnya, namun dalam hal ini hanya khusus pada

kelompok etnis Batak saja yang terdiri dari: Batak Toba (Tapanuli Utara),

Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola/ Mandailing (Tapanuli

Selatan), dan Batak Pak-Pak/ Dairi. Cerita rakyat daerah Sumatera Utara

biasanya bertemakan tokoh Mitologis dan Legendaris yang mengandung

nilai-nilai sosial budaya yang sesuai dengan nilai Pancasila.

Page 20: sastra batak

Berdasarkan makalah yang telah dibahas di atas, dapat

disimpulkan bahwa sastra Batak pada dasarnya mempunyai dua jenis,

yaitu jenis prosa dan puisi. Adapun jenis-jenis prosa yang berkembang

dapat lagi digolongkan menjadi dua bagian, yakni hikayat dan turi-turian.

Sedangkan untuk jenis puisi, kebanyakan puisi Batak mberisi tentang

nasehat hidup kepada seseorang.

DAFTAR PUSTAKA

Bani Sudardi. 2010. Sastra Nusantara : Deskripsi Aneka Kekayaan Sastra Nusantara. Surakarta : Badan Penerbit sastra Indonesia.

Jacob Umar, dkk. 1982. Cerita Rakyat Daerah Sumatra Utara. Medan : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kozok, Uli. 2009. Surat Batak. Jakarta : KPG.

Sinuratni dan A.N Parda Sibarani. 1983. Barita Ni Japangko Na Togu Na Gabe Raja. Jakarta : Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Page 21: sastra batak

Tarigan, Henry Guntur dan Mista Ulung Sipayung. 1980. Cerita Rakyat Simalungun : Cerita Si Marsingkam. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Yayasan Harapan Kita. 1997. Aksara. Jakarta : Perum Percetakan RI.

“Jong Bataks Bond” dan Nasionalisme Sanusi Pane, dalam http://jejakpengelana.blogspot.com/2008/03/jong-bataks-bond-dan-nasionalisme_15.html

Sanusi Pane, TIM (www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/sanusi.html )

Abrar Yusra (ed), 1996. Amir Hamzah--1911-1946: Sebagai Manusia dan Penyair. Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, dalam http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/hamzah.html

Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman oleh: Sutan Takdir Alisjahbana, dalam http://id.shvoong.com/social-sciences/1686930-amir-hamzah/

http://www.wikipedia.com