20
1 ANALISIS POTENSI DAN OPTIMALISASI PAJAK HIBURAN TERHADAP PENERIMAAN PAJAK DAERAH TAHUN 2008 – 2011 DI PROVINSI DKI JAKARTA Lusy Marta Subekti, Ayuningtyas Hertianti Program Studi Ekstensi Akuntansi Fakultas Ekonomi ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi pajak hiburan, kendala, dan upaya optimalisasi pajak hiburan yang ada di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penilaian potensi pajak hiburan dengan menggunakan Kriteria Davey menunjukkan hasil bahwa pajak hiburan di Jakarta pada tahun 2008 adalah pajak yang potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah. Sedangkan untuk tahun 2009 kurang potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah. Tahun 2010 menunjukkan hasil bahwa penerimaan pajak hiburan potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah. Sedangkan tahun 2011 tidak potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah. Peneliti menyarankan agar Dinas Pelayanan Pajak melakukan koordinasi yang lebih baik dengan pihak terkait khususnya Dinas Pariwisata dan BPKD, mengintensifkan sosialisasi online system kepada wajib pajak, menerapkan mekanisme penagihan aktif, mengintensifkan pemeriksaan pajak hiburan, dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kata kunci : Pajak Daerah; Potensi Pajak; Pajak Hiburan; Optimalisasi Penerimaan ABSTRACT This study aimed to analyze the potential of entertainment tax, constraints and efforts to optimizing entertainment tax in Jakarta. This study is a qualitative research. Assessment of potential entertainment tax by using the criteria that disclosed by Davey, shows that entertainment tax in 2008 was a potential tax for local revenue in DKI Jakarta. Whereas in 2009 was less potential to increase the local revenue. In 2010, shows that the entertainment tax is potential to increase the local revenue. On the other hand, entertainment tax in 2011 was not potential. Researcher suggested that the Dinas Pelayanan Pajak to have a better coordination with the parties concerned, especially the Dinas Pariwisata and BPKD, intensifying socialization online system for taxpayers, implements active billing mechanism, intensifying the entertainment tax audit, and improve service to the public. Keywords: Local Taxes; Potential Tax; Entertainment Tax; Revenue Optimization Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

S46043-Lusy Marta Subekti

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pajak

Citation preview

Page 1: S46043-Lusy Marta Subekti

1

ANALISIS POTENSI DAN OPTIMALISASI PAJAK HIBURAN TERHADAP PENERIMAAN PAJAK DAERAH TAHUN 2008 – 2011

DI PROVINSI DKI JAKARTA

Lusy Marta Subekti, Ayuningtyas Hertianti

Program Studi Ekstensi Akuntansi Fakultas Ekonomi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi pajak hiburan, kendala, dan upaya optimalisasi pajak hiburan yang ada di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penilaian potensi pajak hiburan dengan menggunakan Kriteria Davey menunjukkan hasil bahwa pajak hiburan di Jakarta pada tahun 2008 adalah pajak yang potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah. Sedangkan untuk tahun 2009 kurang potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah. Tahun 2010 menunjukkan hasil bahwa penerimaan pajak hiburan potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah. Sedangkan tahun 2011 tidak potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah. Peneliti menyarankan agar Dinas Pelayanan Pajak melakukan koordinasi yang lebih baik dengan pihak terkait khususnya Dinas Pariwisata dan BPKD, mengintensifkan sosialisasi online system kepada wajib pajak, menerapkan mekanisme penagihan aktif, mengintensifkan pemeriksaan pajak hiburan, dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Kata kunci : Pajak Daerah; Potensi Pajak; Pajak Hiburan; Optimalisasi Penerimaan

ABSTRACT

This study aimed to analyze the potential of entertainment tax, constraints and efforts to optimizing entertainment tax in Jakarta. This study is a qualitative research. Assessment of potential entertainment tax by using the criteria that disclosed by Davey, shows that entertainment tax in 2008 was a potential tax for local revenue in DKI Jakarta. Whereas in 2009 was less potential to increase the local revenue. In 2010, shows that the entertainment tax is potential to increase the local revenue. On the other hand, entertainment tax in 2011 was not potential. Researcher suggested that the Dinas Pelayanan Pajak to have a better coordination with the parties concerned, especially the Dinas Pariwisata and BPKD, intensifying socialization online system for taxpayers, implements active billing mechanism, intensifying the entertainment tax audit, and improve service to the public.

Keywords: Local Taxes; Potential Tax; Entertainment Tax; Revenue Optimization

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 2: S46043-Lusy Marta Subekti

2

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah maka suatu daerah dituntut untuk lebih

meningkatkan kemampuannya dalam menggali potensi atau sumber-sumber Pendapatan Asli

Daerah (PAD). Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD), pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan

Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. PAD dapat

bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang

Dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang Sah.

Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia yang memiliki wilayah sebesar

662,33 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 sebanyak 10.187.595 jiwa ini tidak

memiliki sumber daya alam yang dapat dijadikan sebagai andalan pendapatan daerah. Oleh

karena itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan daerah

dari sektor lain. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, sektor jasa (tersier) sebagai tulang

punggung perekonomian Jakarta memiliki peranan sebesar 70% bila dilihat dari kontribusinya

pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pembentuk sektor tersier meliputi sektor

perdagangan, hotel, dan restoran yang mempunyai kontribusi terhadap perekonomian daerah

sebesar 20%, sektor jasa keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sekitar 31%, dan sisanya

diberikan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa-jasa lainnya. Ini

menunjukan struktur perekonomian Jakarta mengarah kepada struktur jasa (service city).

Menurut Laporan Realisasi APBD Provinsi DKI Jakarta, Pendapatan Asli Daerah (PAD)

menjadi sumber penerimaan yang dominan dalam struktur APBD Provinsi DKI Jakarta yakni

diatas 50% dari total penerimaan daerah setidaknya dalam 4 tahun terakhir. Besaran nilai realisasi

PAD juga meningkat dari tahun ke tahun. Pajak daerah menyumbangkan penerimaan terbesar

yakni diatas 80% dari total keseluruhan PAD tahun 2008-2011. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

menyelenggarakan fungsi pemungutan pajak daerah yang dilaksanakan oleh Dinas Pelayanan

Pajak (DPP).

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 3: S46043-Lusy Marta Subekti

3

Dari sebelas jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, salah satu

yang menarik untuk dicermati adalah pemungutan pajak hiburan. Hal ini dikarenakan Jakarta

sebagai ibukota negara, pusat bisnis dan pemerintahan, dan sebagai kota terbesar di Indonesia

sudah selayaknya dapat mengandalkan penerimaan dari sektor pajak hiburan sebagai kontribusi

terhadap PAD. Jakarta tumbuh sebagai kota metropolitan yang memiliki penduduk terpadat di

Indonesia. Pendapatan perkapita penduduk Jakarta sebesar Rp. 101,01 juta per tahun pada tahun

2011 atau tiga kali lipat dari pendapatan per kapita penduduk secara nasional yang tercatat

sebesar Rp. 30,80 juta per tahun. Hal tersebut membuat Jakarta menyimpan banyak potensi

dalam sektor pajak hiburan. Pada tahun 2011 kontribusi penerimaan pajak hiburan sebesar 1,94%

dari keseluruhan penerimaan pajak daerah atau sebesar 1,57% dari keseluruhan PAD. Dari data

tersebut dapat diketahui total penerimaan pajak hiburan cenderung mengalami peningkatan setiap

tahunnya kecuali terjadinya penurunan penerimaan di tahun 2011.

Melihat besarnya kontribusi pajak daerah terhadap PAD tersebut, maka Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta harus berupaya untuk menggali potensi penerimaan pajak yang ada, serta

melakukan upaya-upaya optimalisasi pemerimaan pajak daerah, termasuk dalam sektor pajak

hiburan. Dengan mengoptimalkan realisasi penerimaan khususnya dari pajak hiburan ini

diharapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat meningkatkan kemandirian dalam

pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah untuk penelitian ini adalah:

1. Bagaimana potensi pajak hiburan di DKI Jakarta?

2. Apa saja faktor kendala dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak hiburan?

3. Bagaimana upaya optimalisasi pajak hiburan yang ada di provinsi DKI Jakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui potensi pajak hiburan di wilayah DKI Jakarta

2. Untuk mengetahui apa saja faktor kendala dalam upaya pemungutan pajak hiburan

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 4: S46043-Lusy Marta Subekti

4

3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka optimalisasi

penerimaan pajak hiburan di Provinsi DKI Jakarta

2. TINJAUAN TEORITIS

2.1 Potensi Pajak Daerah

Untuk menilai potensi pajak sebagai penerimaan daerah diperlukan beberapa kriteria

(Davey, 1988). Terdapat 4 (empat) kriteria penilaian yaitu kecukupan dan elastisitas, keadilan,

kemampuan administratif, dan kesepakatan politis.

1. Kecukupan dan elastisitas

Persyaratan pertama untuk suatu sumber pendapatan adalah dimana sumber tersebut

harus menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya dengan dengan seluruh atau

sebagian biaya pelayanan yang akan dikeluarkan. Jika biaya meningkat maka pendapatan

juga harus meningkat. Elastisitas merupakan kualitas suatu sumber pajak yang penting.

Elastisitas dapat diukur dengan membandingkan hasil penerimaan selama atau beberapa

tahun dengan perubahan-perubahan dalam indeks harga, penduduk atau produk nasional

bruto (GNP). Perhitungan elastisitas dapat pula dilakukan dengan membandingkan dasar

pengenaan pajak per kapita secara riil (dengan mempertimbangkan tingkat inflasi) dengan

perubahan pendapatan per kapita dalam satu periode.

2. Keadilan

Keadilan pada prinsipnya adalah pengeluaran pemerintah haruslah dipikul oleh semua

golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan kesanggupan masing-masing

golongan. Konsep ini merupakan konsep keadilan sosial yang secara luas dianut oleh hampir

semua pemerintahan namun dalam prakteknya tidak selalu dilaksanakan. Keadilan dalam

perpajakan mempunyai tiga dimensi. Pertama, pemerataan secara vertikal hubungan dalam

pembebanan pajak atas tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Dimensi kedua dari keadilan

adalah keadilan horizontal, yaitu hubungan pembebanan pajak dengan sumber pendapatan.

Dimensi ketiga adalah keadilan geografis. Pembebahan pajak harus adil antar penduduk di

berbagai daerah.

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 5: S46043-Lusy Marta Subekti

5

3. Kemampuan Administratif

Administrasi perpajakan dalam pengertian pengelolaan pajak mencakup upaya

pemanfaatan seluruh sumber daya yang ada pada instansi perpajakan secara efektif dan

efisien untuk menghasilkan penerimaan pajak yang optimal (Ikhsan dan Salomo, 2002).

Menurut Devas (1989) salah satu dari tiga tolok ukur hasil kebijaksanaan anggaran adalah

hasil guna (effectiveness). Efektifitas menyangkut semua tahap administrasi penerimaan

pajak: menentukan wajib pajak, menetapkan nilai kena pajak, memungut pajak, menegakkan

sistem pajak, dan membukukan penerimaan.

4. Kesepakatan Politis

Tidak ada pajak yang populer, meski beberapa pajak lebih tidak populer bila

dibandingkan dengan yang lainnya. Kemauan politis diperlukan dalam mengenakan pajak,

menetapkan struktur tarif, memutuskan siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak itu

harus ditetapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi kepada pelanggar.

Hal ini pada gilirannya tergantung pada dua faktor yaitu kepekaan dan kejelasan dari pajak

tersebut dan adanya keleluasaan dalam mengambil keputusan.

2.2 Optimalisasi Pajak Daerah

Menurut McMaster (1991) dalam Sembiring (2007) beberapa upaya untuk pajak yang

dapat dilakukan diantaranya :

1. Memperbaharui dan memelihara basis pajak local yang sudah ada terutama pajak

kekayaan (potensi yang besar untuk peningkatan di kebanyakan negara-negara)

2. Meningkatkan administrasi pajak daerah, meninjau ulang pajak yang sudah ada,

memperketat pemeriksaan, menetapkan sistem target pemungutan dan menggunakan

metode pencatatan terkomputerisasi

3. Penghapusan pajak yang penerimaannya kecil, lalu berkonsentrasi pada pajak yang

memiliki potensi besar

4. Mendapatkan kemudahan dalam pengaturan tarif pajak lokal

5. Menambah sumber penerimaan dari pajak daerah yang baru

6. Meninjau ulang biaya pelayanan pajak

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 6: S46043-Lusy Marta Subekti

6

Untuk mewujudkan realisasi penerimaan yang optimal, administrator pendapatan daerah harus

memperhatikan penghindaran yang dimungkinkan oleh wajib pajak daerah dan retribusi daerah,

serta tindak penipuan dan kolusi yang mungkin timbul (Luthfi, 2006).

3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus

meliputi analisis mendalam dan kontekstual terhadap situasi yang mirip dalam organisasi lain,

dimana sifat dan definisi masalah yang terjadi adalah serupa dengan yang dialami dalam situasi

saat ini (Sekaran, 2009).

3.2 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Studi kepustakaan (Library research)

2. Wawancara (Interview)

3. Dokumentasi (Documentation)

Sumber data bisa diperoleh dari sumber data primer dan data sekunder (Sekaran, 2009):

1. Data Primer

Data primer pada penelitian ini data primer diperoleh dari hasil wawancara.

2. Data Sekunder

Data sekunder pada penelitian ini didapat dengan melakukan studi literatur dan

melakukan pencarian data-data pendukung dari berbagai sumber.

3.3 Teknik Analisis Data

Analisis data pada penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif induktif.

Untuk menentukan apakah pajak hiburan di DKI Jakarta merupakan sumber penerimaan yang

potensial atau tidak, akan dibahas dengan kriteria umum pajak daerah yang diungkapkan oleh

Davey (1988). Bachtiar (2003) dalam Septian (2011) menggunakan skala penilaian dengan

rentang nilai 1 sampai dengan 5 untuk menilai pajak tersebut potensial atau tidak. Penjelasan dari

penilaian adalah sebagai berikut :

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 7: S46043-Lusy Marta Subekti

7

1. Kecukupan dan elastisitas

a. Nilai 1 berarti pajak tersebut tidak memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak

daerah dan tidak elastis sempurna

b. Nilai 2 berarti pajak tersebut tidak memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak

daerah dan tidak elastis

c. Nilai 3 berarti pajak tersebut cukup memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak

daerah dan elastis uniter

d. Nilai 4 berarti pajak tersebut cukup memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak

daerah dan elastis

e. Nilai 5 berarti pajak tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan

pajak daerah dan elastis

Untuk menghitung elastisitas terlebih dahulu dihitung pertumbuhan penerimaan pajak

pajak hiburan dan pertumbuhan dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Untuk

menghitung pertumbuhan digunakan rumus sebagai berikut :

Elastisitas dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Kriteria ukuran untuk elastisitas Rahardja (2006) adalah sebagai berikut :

a. E > 1 : Elastis artinya penerimaan pajak akan berubah sebesar elastisitasnya ketika PDRB

mengalami perubahan sebesar 1%

b. E = 1 : Uniter artinya penerimaan pajak akan berubah sebesar perubahan yang terjadi

pada PDRB

c. E < 1 : Tidak elastis artinya penerimaan pajak akan berubah sebesar elastisitasnya ketika

PDRB mengalami perubahan sebesar 1%

Pertumbuhan pendapatan tahun t = Pendapatan tahun t – pendapatan tahun t-1 x 100%

Pendapatan tahun t-1

E = Δ Penerimaan Pajak / Δ PDRB

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 8: S46043-Lusy Marta Subekti

8

d. E = O : Tidak elastis sempurna artinya penerimaan pajak tidak terpengaruh oleh

perubahan PDRB

2. Keadilan

Skala penilaian keadilan dengan rentang nilai 1 sampai dengan 5 adalah sebagai

berikut (Septian, 2011) :

a. Nilai 1 berarti pajak tersebut tidak adil dalam penerapannya

b. Nilai 2 berarti penerapan tarif pajaknya proporsional, pembebanan pajak tidak adil dan

ada perbedaan dalam pembebanan pajak di tiap daerah

c. Nilai 3 berarti penerapan tarif pajaknya proporsional, pembebanan pajaknya adil namun

masih ada perbedaan dalam pembebanan pajaknya di daerah yang berbeda

d. Nilai 4 berarti penerapan tarif pajaknya proporsional, pembebanan pajaknya adil dan

sama di setiap daerah

e. Nilai 5 berarti penerapan tarif pajaknya progresif, pembebanan pajaknya adil dan sama di

setiap wilayah

3. Kemampuan administratif

Efektivitas pemungutan pajak diukur dengan rumus sebagai berikut :

Standar minimal rasio keberhasilan adalah 100% atau 1 (satu) dimana realisasi sama dengan

target yang telah ditentukan.

Nilai efektivitas secara umum dapat dikategorikan sebagai berikut (Septian, 2011):

Ø Sangat efektif : >100%

Ø Efektif : 100%

Ø Cukup efektif : 90% - 99%

Ø Kurang efektif : 75% - 89%

Ø Tidak efektif : < 75%

Efektivitas = Realisasi Penerimaan Pajak Daerah x 100%

Target Penerimaan Pajak Daerah

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 9: S46043-Lusy Marta Subekti

9

Skala penilaian kemampuan adinistratif dengan rentang nilai 1 sampai dengan 5

adalah sebagai berikut (Septian, 2011) :

a. Nilai 1 berarti pemungutan pajak daerah tersebut termasuk ke dalam kategori tidak

efektif

b. Nilai 2 berarti pemungutan pajak daerah tersebut termasuk ke dalam kategori kurang

efektif

c. Nilai 3 berarti pemungutan pajak daerah tersebut termasuk ke dalam kategori cukup

efektif

d. Nilai 4 berarti pemungutan pajak daerah tersebut termasuk ke dalam kategori efektif

e. Nilai 5 berarti pemungutan pajak daerah tersebut termasuk ke dalam kategori sangat

efektif

4. Kesepakatan politis

Skala penilaian kesepakatan politis dengan rentang nilai 1 sampai dengan adalah sebagai

berikut (Septian, 2011) :

a. Nilai 1 berarti pajak tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat dan tidak jelas

pengenaannya serta daerah tidak dapat mengambil keputusan terkait pajak daerah

b. Nilai 2 berarti pajak tersebut dapat diterima masyarakat namun masih memberatkan

masyarakat, tidak jelas pengenaannya dan daerah tidak dapat mengambil keputusan

terkait pajak daerah

c. Nilai 3 berarti pajak tersebut dapat diterima masyarakat namun masih memberatkan

masyarakat, jelas dalam pengenaannya dan daerah dapat mengambil keputusan

terkait pajak daerah namun dengan batasan tertentu.

d. Nilai 4 berarti pajak tersebut dapat diterima oleh masyarakat, jelas dalam

pengenaannya dan daerah dapat mengambil keputusan terkait pajak daerah namun

dengan batasan tertentu.

e. Nilai 5 berarti pajak tersebut dapat diterima oleh masyarakat, jelas dalam

pengenaannya dan daerah dapat mengambil keputusan terkait pajak daerah tanpa

adanya batasan.

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 10: S46043-Lusy Marta Subekti

10

Menurut Davey dalam Imam (2003), evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan skala

nilai untuk masing-masing kriteria dengan rentang nilai 1 sampai dengan 5 dengan penjelasan

masing-masing nilai yang sudah disebutkan di metode penelitian. Batasan jumlah nilai yang

digunakan dalam penelitian adalah :

- Nilai total sampai dengan 10 menunjukan bahwa pajak tersebut tidak potensial

- Nilai total lebih dari 10 sampai dengan 14 menunjukan bahwa pajak tersebut kurang

potensial

- Nilai total dimulai dari 15 sampai dengan 20 menunjukan bahwa pajak tersebut potensial

- Nilai total lebih dari 20 menunjukan bahwa pajak tersebut sangat potensial.

4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Potensi Penerimaan Pajak Hiburan di DKI Jakarta

Untuk menentukan apakah pajak hiburan merupakan penerimaan pajak yang potensial di

DKI Jakarta, digunakan empat kriteria Davey sebagai berikut:

1. Kecukupan dan Elastisitas

Terkait dengan kriteria dimana hasil pemungutan pajak harus lebih tinggi dari biaya yang

dikeluarkan untuk pelaksanaan pemungutannya, dapat diukur dari besaran jumlah penerimaan

pajak yang berhasil direalisasikan terhadap biaya pemungutannya. Sudjarwoko (2010) dalam

penelitiannya tentang Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tehadap PAD dan APBD

Provinsi DKI Jakarta, menggunakan data Realisasi Anggaran Belanja Dinas Pelayanan Pajak

DKI Jakarta sebagai besaran biaya pemungutan.

Tabel 4.1 Perbandingan antara Realisasi Anggaran Belanja dengan Penerimaan Pajak Daerah

2008 – 2011 (dalam Rupiah)

NO TAHUNTOTAL REALISASI

ANGGARAN BELANJA

REALISASI PENERIMAAN PAJAK

DAERAH

%(3 : 4)

1 2 3 4 5

1 2008 351.543.371.519 8.751.273.782.037 4,02

2 2009 252.781.156.200 8.560.134.926.182 2,95

3 2010 185.237.433.633 10.751.745.151.388 1,72

4 2011 454.490.494.001 15.221.249.152.689 2,99

Sumber : Data diolah oleh penulis

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 11: S46043-Lusy Marta Subekti

11

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa presentase biaya pemungutan pajak daerah relatif

rendah bila dibandingkan dengan penerimaan pajaknya dari tahun 2008–2011. Sedangkan

untuk melihat besaran kontribusi penerimaan pajak hiburan terhadap total penerimaan pajak

daerah dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 4.2 Penerimaan Pajak Daerah

Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008 - 2011 (dalam rupiah) REALISASI PENERIMAAN PAJAK DAERAH

2008 % 2009 % 2010 % 2011 %

1 PKB 2.618.745.860.159 29,92 2.766.961.102.529 32,32 3.107.744.107.420 28,90 3.664.400.165.006 24,07

2 BBN-KB 2.981.056.833.050 34,06 2.542.533.323.110 29,70 3.997.470.274.150 37,18 4.582.084.588.660 30,10

3 PBB-KB 767.232.997.858 8,77 671.464.087.091 7,84 727.327.812.376 6,76 848.569.568.929 5,57

4 Pajak AirTanah 60.597.213.743 0,69 126.446.931.536 1,48 156.690.521.376 1,46 114.442.293.835 0,75

5 Hotel 620.987.794.055 7,10 608.668.370.716 7,11 744.252.246.359 6,92 858.337.282.673 5,64

6 Restoran 649.762.445.252 7,42 755.473.014.869 8,83 880.920.581.945 8,19 1.031.995.530.296 6,78

7 Hiburan 249.541.265.022 2,85 267.735.587.255 3,13 293.356.000.260 2,73 296.519.831.376 1,95

8 Reklame 306.953.676.694 3,51 269.697.869.692 3,15 258.171.510.385 2,40 269.666.970.840 1,77

9 Penerangan Jalan 382.878.504.153 4,38 412.478.855.616 4,82 456.404.904.171 4,24 511.449.292.512 3,36

10 Parkir 113.517.192.051 1,30 138.675.783.768 1,62 129.407.192.946 1,20 158.256.146.738 1,04

11 BPHTB - - - 2.885.527.481.824 18,96

JUMLAH 8.751.273.782.037 100,00 8.560.134.926.182 100,00 10.751.745.151.388 100,00 15.221.249.152.689 100,00

NO JENIS PAJAK

Sumber : Laporan Realisasi APBD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008-2011

Point kedua dalam kriteria ini adalah elastisitas. Tabel 4.3 dan 4.4 menggambarkan besaran

elastisitas penerimaan pajak hiburan terhadap PDRB DKI Jakarta tahun 2008-2009.

Tabel 4.3 Pertumbuhan Pajak Daerah dan PDRB DKI Jakarta

Tahun 2008-2011

Pertumbuhan PKB BBN-KB

PBB-KB PAT Pajak

Hotel Pajak

Restoran Pajak

Hiburan Pajak

Reklame PPJ Pajak Parkir

PDRB Harga

Konstan

2008 (%) 10,55 34,57 27,53 3,00 16,51 34,07 32,36 19,08 10,39 14,84 6,23 2009 (%) 5,66 (14,71) (12,48) 108,67 (1,98) 16,27 7,29 (12,14) 7,73 22,16 5,02 2010 (%) 12,32 57,22 8,32 23,92 22,28 16,61 9,57 (4,27) 10,65 (6,68) 6,50 2011 (%) 17,91 14,62 16,67 (26,96) 15,33 17,15 1,08 4,45 12,06 22,29 6,71  

Sumber :hasil olahan menggunakan analisis pertumbuhan penduduk

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 12: S46043-Lusy Marta Subekti

12

Berdasarkan data pertumbuhan diatas, maka elastisitas masing-masing pajak terhadap PDRB

dapat dihitung. Elastisitas masing masing pajak daerah terhadap PDRB di DKI Jakarta adalah

sebagai berikut :

Tabel 4.4 Elastisitas Pajak Daerah DKI Jakarta terhadap PDRB

Tahun 2008-2011

Tahun PKB BBN-KB

PBB-KB

PAT Pajak Hotel

Pajak Restoran

Pajak Hiburan

Pajak Reklame

PPJ Pajak Parkir

2008 1,69 5,55 4,42 0,48 2,65 5,47 5,19 3,06 1,67 2,38 2009 1,13 (2,93) (2,49) 21,66 (0,40) 3,24 1,45 (2,42) 1,54 4,42 2010 1,89 8,80 1,28 3,68 3,42 2,55 1,47 (0,66) 1,64 (1,03) 2011 2,67 2,18 2,49 (4,02) 2,29 2,56 0,16 0,66 1,80 3,32  

Sumber : Hasil olahan menggunakan rumus elastisitas

2. Keadilan

Dimensi yang pertama adalah keadilan secara horizontal, yaitu hubungan pembebanan

pajak dengan sumber pendapatan. Dalam pelaksanaan pemungutan pajak hiburan di DKI

Jakarta dapat dikatakan sudah cukup adil secara horizontal. Ini dikarenakan pajak hiburan

tersebut dikenakan kepada pengunjung tempat hiburan, dimana pengunjung tempat hiburan

tersebut adalah kelompok dengan penghasilan yang cukup tinggi (golongan ekonomi

menengah keatas), sehingga pajak hiburan ini tidak terlalu membebani kelompok tersebut.

Sementara itu konsep keadilan secara vertikal berarti pemerataan secara vertikal

hubungan dalam pembebanan pajak atas tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Untuk

penerapan konsep keadilan secara vertikal dalam pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta

dilihat dari adanya perbedaan tarif dalam beberapa jenis hiburan. Dimensi ketiga dari prinsip

keadilan adalah keadilan geografis. Pembebanan pajak harus adil antar penduduk di berbagai

daerah. Dalam pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta dapat dikatakan sudah cukup adil

karena pengenaan tarif pajak diberlakukan yang sama di seluruh wilayah DKI Jakarta sesuai

dengan jenis hiburan masing-masing.

Untuk pembahasan kriteria keadilan pada tahun 2011 sedikit berbeda. Dengan

diberlakukannya Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak

Hiburan untuk menggantikan perda sebelumnya, terdapat poin perubahan yang berkaitan

dengan kriteria keadilan. Yakni masuknya permainan golf sebagai objek pajak hiburan. Di

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 13: S46043-Lusy Marta Subekti

13

satu sisi, masuknya permainan golf sebagai objek pajak hiburan adalah wujud dari

ekstensifikasi sumber pajak baru untuk mengoptimalkan penerimaan pajak hiburan. Namun

disisi lainnya adalah usaha golf telah terlebih dahulu merupakan objek PPN yang dipungut

oleh pemerintah pusat. Hal ini memungkinkan terjadinya pemungutan pajak ganda sehingga

pemungutan pajak hiburan ini kurang memenuhi prinsip keadilan.

3. Kemampuan Administratif

Menurut Devas (1989) salah satu tolok ukur administrasi penerimaan daerah adalah

mengitung tingkat efektivitas atau hasil guna pajak (tax effectivity).    

Tabel 4.5 Efektivitas Pajak Hiburan DKI Jakarta

Tahun 2008-2011

Tahun Rencana Penerimaan Realisasi Penerimaan Efektivitas (%)

2008 219.000.000.000 249.541.265.022 113,952009 300.000.000.000 267.735.587.255 89,252010 270.000.000.000 293.356.000.260 108,652011 350.000.000.000 296.519.831.376 84,72

99,14Rata-rata Sumber : hasil olahan menggunakan rasio efektivitas

4. Kesepakatan Politis

Dukungan politis dari pihak legislatif yakni DPRD diwujudkan dalam peraturan daerah

yang mengatur tentang pajak daerah yakni Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pajak Hiburan.

Dalam perda tersebut telah jelas diatur tentang subjek pajak hiburan, objek pajak hiburan,

tarif, dasar pengenaan pajak, sanksi dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pemungutan

pajak hiburan. Sehingga unsur kejelasan dalam pemungutan pajak hiburan telah terpenuhi.

Penerapan aturan-aturan terkait dengan industri hiburan di DKI Jakarta mengindikasikan

bahwa Pemerintah Daerah telah mampu mengambil keputusan terkait dengan pajak daerah

dan diterima oleh masyarakat. Namun segala peraturan yang telah ditetapkan tersebut harus

tetap dalam koridor undang-undang yang disusun oleh pemerintah. Yang dalam hal ini terkait

dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah.

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 14: S46043-Lusy Marta Subekti

14

Hampir sama dengan penilaian kriteria keadilan, penilaian kriteria kesepakatan politis

juga mengalami perubahan pada tahun 2011. Dengan masuknya permainan golf sebagai objek

pajak hiburan yang memicu adanya gugatan uji matreiil oleh para pengusaha golf ke

Mahkamah Konstitusi (MK). Adanya gugatan tersebut mengindikasikan bahwa pada tahun

2011 unsur kesepakatan politis kurang terpenuhi karena adanya sebagian masyarakat dalam

hal ini wajib pajak yang masih keberatan dengan pengenaan pajak hiburan tersebut.

Berdasarkan evaluasi diatas maka pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta dapat

diidentifikasi sebagai berikut :

Tabel 4.6 Evaluasi Pajak Hiburan di DKI Jakarta berdasarkan Kriteria Davey

Kriteria Tahun

Keterangan 2008 2009 2010 2011

Kecukupan dan Elastisitas 4 4 4 2

Tahun 2008 berkontribusi 2,85% terhadap pajak daerah dan elastisitas terhadap PDRB sebesar 5,47 (elastis), tahun 2009 kontribusi sebesar 3,13% dan elastisitas 1,45 (elastis), tahun 2010 kontribusi sebesar 2,73% dengan elastisitas 1,47 (elastis), dan tahun 2011 kontribusi sebesar 1,95% dengan elastisitas terhadap PDRB sebesar 0,16 (tidak elastis)

Keadilan 4

4 4 2

Pajak hiburan dikenakan kepada pengunjung tempat hiburan (keadilan secara horizontal), dengan tarif proporsional yang ditetapkan menurut per jenis hiburan (keadilan secara vertikal), dan ditetapkan sama di seluruh wilayah DKI Jakarta (keadilan secara geografis). Pengecualian pada tahun 2011 kurang memenuhi prinsip keadilan karena pajak hiburan dikenakan pada permainan golf yang mana merupakan objek PPN (pajak berganda)

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 15: S46043-Lusy Marta Subekti

15

Kemampuan Administratif

5

2 5 2

Efektivitas pemungutan pajak hiburan pada tahun 2008 sebesar 113,95% (sangat efektif), tahun 2009 sebesar 89,25% (kurang efektif), tahun 2010 sebesar 108,65% (sangat efektif) dan tahun 2011 sebesar 84,72% (kurang efektif)

Kesepakatan Politis 4 4 4 3

Adanya kesepakatan politis baik dari unsur pemerintah daerah, DPRD, masyarakat dan pengusaha hiburan sendiri. Pengenaannya jelas diatur dalam Perda dan Pergub yang terkait dengan pajak hiburan. Pemda dapat menentukan aturan-aturan terkait pajak hiburan asalkan tetap mengacu pada UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah. Pengecualian terjadi pada tahun 2011 dimana pengusaha golf (wajib pajak) melakukan gugatan uji materiil terhadap perda terkait pajak hiburan.

Jumlah 17 14 17 9

Tahun 2008 : Potensial Tahun 2009 : Kurang Potensial Tahun 2010 : Potensial Tahun 2011 : Tidak Potensial Sumber : Hasil olahan penulis

4.2 Optimalisasi Penerimaan Pajak Hiburan di Provinsi DKI Jakarta

Sejauh ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan upaya-upaya optimalisasi pajak

daerah. Berikut ini adalah penghitungan tax effort pajak daerah di DKI Jakarta :

Tabel 4.7 Perhitungan Usaha Pajak (Tax Effort) Pajak Daerah Provinsi DKI Jakarta 2008 – 2011 (dalam Triliun rupiah)

No. Tahun PDRB atas Harga Konstan

Realisasi Penerimaan Pajak Daerah

Tax Effort (%)

1 2008 353,72 8,7513 2,472 2009 371,47 8,5601 2,303 2010 395,63 10,7517 2,724 2011 422,16 15,2212 3,61

2,78Rata - rata Sumber : Data diolah oleh penulis

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 16: S46043-Lusy Marta Subekti

16

Dari tabel 4.7 dapat dilihat bahwa usaha pajak yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta terus mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011. Menurut Devas

(1989) apabila tax effort (usaha pajak) yang diperoleh mencapai 2% maka usaha pajak yang

dilakukan adalah baik. Sehingga dari hasil penghitungan diatas dapat disimpulkan bahwa usaha

pajak yang dilakukan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dapat dikatakan baik dengan rata-rata

sebesar 2,78 % (2008 – 2011).

Beberapa kendala dalam pengoptimalan penerimaan pajak hiburan dapat dijelaskan

sebagai berikut :

1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia

Berdasarkan hasil Kegiatan Analisis Kebutuhan Jabatan Dinas Pelayanan Pajak Tahun 2012

menunjukkan hasil bahwa DPP masih kekurangan karyawan sebanyak 587 orang.

2. Belum adanya formula baku untuk penghitungan potensi pajak hiburan

Sampai dengan tahun 2012 Dinas Pelayanan Pajak belum menetapkan suatu formula baku

dalam penghitungan potensi pajak daerah, akibatnya terdapat kemungkinan bahwa cara

penilaian potensi tidak sama antara wilayah satu dengan yang lainnya. Setelah adanya

rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada awal tahun 2013 telah dibuat

Surat Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak Nomor 376 Tahun 2013 tentang Penetapan

dan Formula Baku Perhitungan Potensi dan Rencana Penerimaan.

3. Kurangnya koordinasi antara pihak-pihak yang terkait

Yang pertama adalah kurangnya koordinasi antara DPP dengan Badan Pengelola Keuangan

Daerah terkait data penerimaan pajak hiburan (sistem yang belum terintegrasi) sehingga

harus dilakukan rekonsiliasi secara berkala. Kemudian koordinasi antara DPP dengan Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan terkait data izin usaha hiburan dan data jumlah wajib pajak

hiburan yang belum sama.

4. Kendala dalam penerapan online system bagi wajib pajak hiburan

Kendala teknis meliputi beragamnya merk dan tipe alat transaksi, beragamnya format data

yang harus disesuaikan dan alat transaksi yang masih manual. Selain itu kendala non teknis

yakni keengganan dari WP untuk menerapkan sistem online dalam administrasi usahanya.

Upaya optimalisasi penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta adalah sebagai berikut :

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 17: S46043-Lusy Marta Subekti

17

1. Intensifikasi pemungutan pajak hiburan

Upaya intensifikasi ini meliputi pengoptimalan peran seksi penagihan untuk melakukan

penagihan pajak kepada wajib pajak terutama untuk penagihan secara aktif, intensifikasi

pemeriksaan pajak hiburan dan percepatan pelaksanaan online system.

2. Ekstensifikasi sumber-sumber pajak hiburan

Upaya ekstensifikasi meliputi pendataan terhadap wajib pajak baru, yang mana petugas

Dinas Pelayanan Pajak harus lebih sering terjun ke lapangan untuk memantau adanya usaha

hiburan yang baru. Kemudian puaya lainnya adalah perluasan objek pajak hiburan.

3. Penambahan jumlah pegawai yang ada di DPP dan penyelenggaraan berbagai diklat yang

berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi DPP untuk meningkatkan keahlian dan

kompetensi pegawai

4. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat berupa penambahan lokasi gerai pajak di wilayah

kota administrasi, penyelenggaraan sosialisasi tentang pajak daerah, dan perbaikan

manajemen penanganan pengaduan mengenai pajak daerah

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

  Dari hasil analisis potensi penerimaan pajak hiburan berdasarkan empat kriteria Davey

yakni kecukupan dan elastisitas, keadilan, kemampuan administratif dan kesepakatan politis

tersebut, didapatkan hasil bahwa pada tahun 2008 pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta

termasuk ke dalam kategori potensial, tahun 2009 ke dalam kategori kurang potensial, tahun

2010 termasuk ke dalam kategori potensial dan tahun 2011 pemungutan pajak hiburan di DKI

Jakarta termasuk ke dalam kategori tidak potensial.

Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya disimpulkan bahwa terdapat beberapa kendala

dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak hiburan :

1. Keterbatasan sumber daya manusia

2. Belum adanya rumusan baku dalam penilaian potensi pajak hiburan sampai dengan tahun

2012

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 18: S46043-Lusy Marta Subekti

18

3. Kurangnya koordinasi antara pihak-pihak terkait

4. Adanya kendala teknis dan non teknis dalam penerapan online system bagi wajib pajak

hiburan.

Terdapat beberapa upaya untuk optimalisasi penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta :

1. Intensifikasi pemungutan pajak hiburan

2. Ekstensifikasi sumber-sumber pajak hiburan

3. Penambahan jumlah pegawai yang ada di Dinas Pelayanan Pajak dan penyelenggaraan

berbagai diklat yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi DPP untuk meningkatkan

keahlian dan kompetensi pegawai.

4. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat berupa penambahan lokasi gerai pajak di wilayah

kota administrasi, penyelenggaraan sosialisasi tentang pajak daerah, dan perbaikan

manajemen penanganan pengaduan mengenai pajak daerah.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian diatas, dapat direkomendasikan saran untuk

mengoptimalkan penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta sebagai berikut :

1. Perlunya koordinasi yang lebih baik antara Dinas Pelayanan Pajak (DPP) dengan Badan

Pengelola Keuangan Daerah (BPKD). Khususnya agar aplikasi yang terkait dengan

penerimaan pajak daerah di dua instansi tersebut dapat saling terintegrasi. Dengan

terintegrasinya sistem tersebut maka akan menghasilkan data penerimaan pajak yang lebih

akurat, sehingga tidak perlu lagi untuk melakukan rekonsiliasi setiap bulannya.

2. Perlunya koordinasi yang lebih baik antara DPP dengan Dinas Pariwisata terkait dengan data

usaha hiburan. Sebaiknya ada MoU yang menjelaskan bahwa secara berkala dua instansi

tersebut saling bertukar informasi dalam bentuk laporan yang berisi data usaha hiburan yang

telah mendapatkan izin usaha hiburan dari Dinas Pariwisata dan data usaha hiburan yang

telah ditunjuk sebagai wajib pajak oleh DPP. Hal ini untuk meminimalisasi kemungkinan

hilangnya potensi pajak hiburan. Selain itu, perlu disusun suatu payung hukum yang

mengatur bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan menjadi salah satu prasyarat dalam

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 19: S46043-Lusy Marta Subekti

19

pengajuan perpanjangan izin usaha hiburan oleh Dinas Pariwisata. Sehingga wajib pajak

yang masih mempunyai tunggakan pajak diharapkan dapat segera melunasi kewajibannya.

3. Mengintensifkan sosialisasi kepada wajib pajak agar bersedia menerapkan online system

dalam sistem transaksi mereka. Hal ini tentunya harus diikuti dengan perbaikan dari sistem

online tersebut agar kendala teknis dapat diatasi. Sehingga wajib pajak merasa tenang dan

yakin bahwa online system berjalan dengan lancar dan tidak menghambat sistem transaksi

mereka tetapi justru akan mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban

perpajakannya.

4. Segera menyusun mekanisme penagihan aktif untuk diterapkan di Dinas Pelayanan Pajak.

Selama ini penagihan yang dilakukan kepada wajib pajak sebatas penagihan pasif yaitu

dengan memberikan surat teguran atau surat peringatan kepada wajib pajak.

5. Mengintensifkan pemeriksaan pajak hiburan khususnya terhadap wajib pajak yang belum

menerapan online system. Dengan pemeriksaan yang lebih intensif maka akan mendorong

wajib pajak untuk melakukan pembayaran pajaknya secara tepat waktu dan tepat jumlah.

Selain itu, dalam rangka ekstensifikasi sumber-sumber pajak hiburan, petugas harus lebih

sering terjun ke lapangan untuk memantau keberadaan kegiatan hiburan yang belum ditunjuk

sebagai wajib pajak.

6. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dinas Pelayanan Pajak harus membuat

Standar Operational Procedure (SOP) yang jelas dalam melakukan pelayanan kepada

masyarakat untuk ditaati oleh seluruh karyawan sehingga image masyarakat terhadap

pelayanan pemerintah yang berbelit-belit dan lama dapat dihilangkan. Diperlukan internal

auditor untuk memastikan bahwa SOP yang telah disusun dilaksanakan dengan benar.

6. KEPUSTAKAAN

Bachtiar, Imam. (2003). Optimalisasi penarikan pajak daerah dalam rangka mendukung

penerimaan daerah (kasus pajak pju di Kabupaten Bekasi). Jakarta : Universitas Indonesia.

Davey, K.J. (1988). Pembiayaan pemerintah daerah : praktek-praktek internasional dan

relevansinya bagi dunia ketiga. Jakarta : UI-Press.

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013

Page 20: S46043-Lusy Marta Subekti

20

Devas, Nick. (1989). Keuangan pemerintah daerah di Indonesia. Jakarta : UI Press.

Luthfi, Achmad. (2006). “Penyempurnaan administrasi pajak daerah dan retribusi daerah : suatu

upaya dalam optimalisasi penerimaan PAD”. jurnal ilmu administrasi dan organisasi : bisnis

dan birokrasi, Vol. XIV, No.1.

Mardiasmo. (2002). Perpajakan. Yogyakarta : Andi

Mc. Master, James. (1991). Urban financial manajemen : A training manual. Washington : The

International Bank for Reconstruction and Development/ The World Bank.

Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah.

Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan.

Rahardja, Prathama. (2006). Teori ekonomi mikro : suatu pengantar. Jakarta : LPE.

Sekaran, Uma. (2009). Metode penelitian untuk bisnis (Edisi 4). Jakarta : Salemba Empat.

Sembiring, Fillyanto. (2007). Optimalisasi pajak parkir di Propinsi DKI Jakarta. Jakarta :

Universitas Indonesia.

Septian, Angga. (2011). Analisis potensi pajak reklame di Kota Depok dan optimalisasi

penerimaannya. Depok : Universitas Indonesia.

Simanjuntak. (2001). Analisis Potensi Pendapatan Asli Daerah Bunga Rampai Keuangan

Daerah. Yogyakarta : AMP YKPN

Sudjarwoko. (2010). Kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap pendapatan asli

daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi DKI Jakarta. Depok :

Universitas Indonesia.

Analisis Potensi..., Lusy Marta Subekti, FE UI, 2013