ringkasan imun

Embed Size (px)

Citation preview

TUBERKULOSIS Terdapat dua macam respon imun pertahanan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis yaitu respon imun selular (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin dan pertahanan secara humoral (anti bodi-mediated). Respon imun seluler lebih banyak memegang peranan dalam pertahan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis. Pertahanan secara humoral tidak bersifat protektif tetapi lebih banyak digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Untuk menimbulkan respons antibodi maka sel B dan sel T harus saling berinteraksi. Antigen yang berada di dalam makrofag atau yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) menyajikan antigen mikroba kepada sel Th. Aksi pengenalan itu sel Th bersama-sama ekspresi MHC kelas II kepada sel Th, mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen. Aktivasi sel T menyebabkan terjadinya diferensiasi B menjadi sel plasma yang kemudian menghasilkan antibodi. Sel B menerima signal dari sel T untuk berbagi dan berdiferensiasi menjadi antibodi forming cells (APC) dan sel memori B. Respon imun primer terjadi sewaktu antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh, yang ditandai dengan munculnya IgM beberapa hari setelah pemapara. Kadar IgM mencapai puncaknya pada hari ke-7. pada 6-7 hari setelah pemaparan, barulah bisa di deteksi IgG pada serum, sedangkan IgM mulai berkurang sebelum kadar IgG mencapai puncaknya yaitu 10-14 hari setelah pemaparan anti gen. Respon imun sekunder terjadi apabila pemaparan anti gen terjadi untuk yang kedua kalinya, yang di sebut juga booster. Puncak kadar IgM pada respon sekunder ini umumnya tidak melebihi puncaknya pada respon primer, sebaliknya kadar IgG meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lebih lama. Perbedaan dalam respon ini di sebabkan adanya sel B dan sel T memory akibat pemaparan yang pertama (Kardjito, 1996). Ketika Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam paru paru, proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri intaseluler berupa imunitas selular. Imunitas seluler terdiri dari sel CD4+ yang mengaktifkan makrofag yang memproduksi IFN- dan CD8+ yang memacu pembunuhan mikroba serta lisis sel terinfeksi. Makrofag yang diaktifkan sebagai respon terhadap mikroba intraseluler dapat pula membentuk granuloma dan menimbulkan kerusakan jaringan. Bakteri intraseluler dimakan makrofag dan dapat hidup dalam fagosom dan masuk dalam sitoplasma. CD4+ memberikan respon terhadap peptide antigen MHC-II asal bakteri intravesikular, memproduksi IFN- yang mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba dalam fagosom. CD4+ naif dapat berdeferensiasi menjadi sel Th1 yang mengaktifkan fagosit untuk membunuh mikroba yang dimakan. Beberapa jenis kuman, seperti kuman tuberkulosis (TB), lepra (morbus hansen), listeria dan brusela dapat hidup terus serta melanjutkan pertumbuhannya di dalam sitoplasma makrofag setelah mereka difagositosis. Induksi respons kekebalan spesifik sekunder terhadap sejenis mikroba dapat merangsang tubuh untuk serentak memberikan kekebalan nonspesifik pada mikroba lain yang mempunyai sifat pertumbuhan yang sama.

Bukti secara eksperimental menunjukkan bahwa pertahanan anti mikobakteri adalah makrofag dan limfosit T. Sel fagosit mononuklear atau makrofag berperan sebagai efektor utama sedangkan limfosit T sebagai pendukung proteksi atau kekebalan. Menurut Andersen (1994) M. tuberculosis di inhalasi sehingga masuk ke paru-paru, kemudian di telan oleh makrofag. Makrofag tersebut mempunyai 3 fungsi utama, yakni : Memproduksi enzim proteolitik dan metabolit lainnya yang memperlihatkan efek mycobactericidal. Memproduksi sitokin sebagai respon terhadap M. tuberculosis yakni IL-1, IL-6, IL-8, IL-10, TNF-a TGF-b. Sitokin mempunyai efek imunoregulator yang penting. Untuk memproses dan menyajikan anti gen terhadap limfosist T. Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi untuk menekan efek imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap tuberkulosis. IL-1 merupakan pirogen endogen menyebabkan demam sebagai karakteristik tuberkulosis. IL-6 akan meningkatkan produksi imunoglobulin oleh sel B yang teraktivasi, menyebabkan hiperglobulinemia yang banyak dijumpai pada pasien tuberkulosis. TGF berfungsi sama dengan IFN untuk meningkatkan produksi metabolit nitrit oksida dan membunuh bakteri serta diperlukan untuk pembentukan granuloma untuk mengatasi infeksi mikobakteri. Selain itu TNF dapat menyebabkan efek patogenesis seperti demam, menurunnya berat badan dan nekrosis jaringan yang merupakan ciri khas tuberkulosis. Akibat adanya akumulasi makrofag maka terjadi penimbunan pada daerah yang terdapat antigen dan terjagi granuloma yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Lesi jaringan oleh basil TBC pada dasarnya ada dua tipe, tipe eksudatif dan tipe produktif. Tipe eksudatif adalah suatu rekasi radang akut; terjadi udema sel leukosit polimorfonuklear, kemudian monosit terkumpul di sekeliling basil TBC yang bersarang di tempat itu. Lesi ini kemungkinan sembuh sempuma, nekrosis jaringan, atau berkembang menjadi tipe produktif. Tipe produktif ditandai timbunan sel radang di sekitar basil. Lesi ini tersusun alas banyak tuberkel yang kemudian membesar, atau mengelompok, atau mencair dan mengalami proses kaseasi. Pada tuberkulosis primer, perkembangan infeksi M. tuberculosis pada target organ tergantung pada derajat aktivitas anti bakteri makrofag dari sistem imun alamiah serta kecepatan dan kualitas perkembangan sistem imun yang di dapat. Oleh sistem imun alamiah, basil akan di eliminasi oleh kerja sama antara alveolar makrofag dan NK sel melalui sitokin yang dihasilkannya yakni TNF-a dan INF-g. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi ini terutama dilakukan oleh sel-sel pertahanan (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin. Pada limfonodi regional, terjadi perkembangan respon imun adaptif, yang akan mengenali basil tuberkulosis. Tipe respon imun ini sangat tergantung pada sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun alamiah. Dominasi produksi sitokin oleh makrofag yang mensekresikan IL-12 akan merangsang respon sel Th 1, sedangkan bila IL-4 yang lebih banyak disekresikan oleh sel-T maka akan

Aktivasi sel TMakrofag (MIF, MAF)aktifasi

IFN- dan IL-1 limfokin

lepaskan

Ab

makrofag

aktifasi

M. TuberBersifat sitotoksik Sel fagosit (PMN) Fagosit antigen

masuk

APC

Aktivasi sel T CD4+ dan CD8+

Menghancurkan sel+antigen

mempresentasikan anti gen kepada sel-T khususnya melalui jalur MHC kelas-II (Ilangumaran, 1994).

timbul respon oleh sel Th 2. Tipe respon imun ini akan menentukan kualitas aktivasi makrofag untuk

Kerusakan jaringan

Tahapan

respon

kekebalan

terhadap

Mycobacterium

tuberculosis.

Selama imunitas adaptif berkembang untuk mempercepat aktivasi makrofag/monosit, terjadilah bakteremia. Basil menggunakan makrofag sebagai sarana untuk menyebar dan selanjutnya tumbuh dan menetap pada sel-sel fagosit di berbagai organ tubuh. Peristiwa ini akan terjadi bila sel-T spesifik yang teraktivasi pada limfonodi mengalami resirkulasi dan melewati lesi yang meradang yang selanjutnya akan membentuk granuloma. Pada peristiwa ini TNF memegang peranan yang sangat vital. Bila respon imun adaptif berkembang tidak adekuat maka akan timbul manifestasi klinis akibat penyebaran basil yang berupa tuberkulosis milier atau tuberkulosis meningen (Zeiss, 1984).

Granuloma merupakan mekanisme pertahanan utama dengan cara membatasi replikasi bakteri pada fokus infeksi. Granuloma terutama terdiri atas makrofag dan sel-T. Selama interaksi antara anti gen spesifik dengan sel fagosit yang terinfeksi pada berbagai organ, sel-T spesifik memproduki IFN-g dan mengaktifkan

fungsi anti mikroba makrofag. Dalam granuloma terjadi enkapsulasi yang di picu oleh fibrosis dan kalsifikasi serta terjadi nekrosis yang menurunkan pasokan nutrien dan oksigen, sehingga terjadi kematian bakteri. Akan tetapi sering terjadi keadaan di mana basil tidak seluruhnya mati tapi sebagian masih ada yang hidup dan tetap bertahan dalam bentuk dorman. Infeksi yang terlokalisir sering tidak menimbulkan gejala klinis dan bisa bertahan dalam waktu yang lama (Kardjito, 1996).

Pada tuberkulosis post primer, pertahanan tubuh di dominasi oleh pembentukan elemen nekrotik yang lebih hebat dari kasus infeksi primer. Elemen-elemen nekrotik ini akan selalu dikelurkan sehingga akhirnya akan terbentuk kavitas. Limfadenitis regional jarang terjadi, M. tuberculosis menetap dalam makrofag dan pertumbuhannya di kontrol dalam fokus-fokus yang terbentuk. Pembentukan dan kelangsungan hidup granuloma di kontrol oleh sel-T, di mana komunikasi antara sel-T dan makrofag di perantarai oleh sitokin. IL-1b, TNF-a, GM-CSF, TGF-b, IL-6, INF-g dan TNF-b merupakan sitokin yang mengontrol kelangsungan granuloma, sebaliknya IL-4, IL-5 dan IL-10 menghambat pembentukan dan perkembangan granuloma (Kardjito, 1996).

Proses aktivasi makrofag oleh sitokin merupakan faktor sentral dalam imunitas terhadap tuberkulosis. Pada sistem ini, INF-g telah di identifikasikan sebagai sitokin utama untuk mengaktivasi makrofag, yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan patogen ini. Pembentukan granuloma dan kavitas di pengaruhi oleh berbagai macam sitokin sebagai hasil interaksi antara sel-T spesifik, makrofag yang teraktivasi dan berbagai macam komponen bakterial (Alfiano, 1998).

Peran Subset Sel T dan Sitokin

Proses fagositosis makrofag alveolar terhadap kuman TB terjadi melalui berbagai reseptor antara lain karbohidrat non spesifik, imunologlobulin Fc, sistem komplemen pada permukaan sel kuman dan sel fagositik. Mekanisme lain melalui peranan fibronectin binding protein pada proses fagositosis oleh sel fagositik mononuklerar. Dalam endosomal sel fagositik mononuklear kumam TB hidup bertahan hidup dengan jalan sebagai berikut: 1. Netralisasi fagosomal pada pH yang rendah 2. Interferensi fusi fagolisomone 3. Resisten terhadap enzim lisosomal 4. Inhalasi dari gugusan aksigen reaktif intermediate 5. Sintesa heat shock protein (HSP) 6. Menghindari dari masuk ke dalam sitoplasma

Kuman TB mati dan diluncurkan melalui proses aktivasi makrofag oleh sitokin sel T dan berbagai gugusan oksigen reaktif, nitrogen intermediate dan pengaturan level zat besi intraseluler. Antigen dari protein kuman TB yang didegradasikan bersama endosom diproses dan dipresentasikan kepada CD4+ sel T melalui MHC kelas II. Sedangkan antigen protein kuman TB yang berada dalam sitoplasma di presentasikan kepada CD8+ sel T melalui MHC kelas I. Limfosit T perifer memiliki reseptor sel T (TCR) dipermukaan sel dan berikatan secara non kovalen dengan CD3 berguna untuk transuksi signal antigenik ke sitoplasma. Didarah perifer dan organ limfoid 90% ekspresi sel T sebagai a/b TCR ekspresi sel T sebagai a/b TCR dan 10%g/s TCR. Peranan a/b TCR SC4+ cell adalah mengenal berbagai fragmen antigen yang berasal dari endosomal bersama molekul MHC kelas II untuk menghasilkan berbagai sitokin pada respons imun.

Pada kasus tertentu CD4+ sel T memiliki efektorlisis seperti pada CD8 + sel T, selanjutnya a/b TCR CD8+ cell berfungsi untuk mengenal fragmen antigen kuman TB dari sitosolik bersama MHC kelas I yang besar kemungkinan berasal dari kompartemen endosomal untuk kemudian ditransfer ke retikulum endoplasmik. Fungsi a/b TCR adalah mengenal antigen kuman TB melalui undertermited presenting molecules pada APC dan menghasilkan berbagai sitokin yang mirip dengan a/b TCR cell untuk tujuan efek sitotoksik pada sel target. Setelah proses pengenalan antigen selanjutnya T cell precursor mensekresi IL-2. sel T CD4+ terdiri dari 2 sub populasi yaitu sel CD4 + Th 1 mensekresi IL-2 dan IFN g serta sel CD4+ Th2 mensekresikan II-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Kedua subpopulasi Th 1 dan Th 2 mensekresi IL-3, GM-CSF da TNF a. Sel CD4+ Th-0 memiliki kemampuan untuk berdifrensiasi menjadi sel Th-1 atau Th-2. Sel Th-1 berperan untuk mengaktivasi makrofag melalui IFN-g dan DTH. Sel Th-2 berperan dalam hal produksi antibodi dan inhalasi aktivasi makrofag (IL-10).

Selanjutnya IFN-g yang dihasilkan oleh sel Th-1 menghambat profilerasi sel Th-2 sementara IL-4 yang dihasilkan Th-2 menghambat peningkatan sel Th-1. Peranan TNF-a adalah sebagai sitokin utama dalam proses pembentukan granuloma dan banyak ditemukan pada cairan pleura penderita pleuritis TB eksudativa. Sitokin IL-12 dihasilkan oleh makrofag dan sel B yang berperan untuk mengaktivasi Th-1. Fungsi utama CD4+ cell effector adalah untuk aktivasi sitolitik pada infeksi M. tuberkulosis. Sedangkan CD8+ T cell berfungsi pada mekanisme a/b TCR mediatedlysis sel terinfeksi dan mekanisme apoptosis sel target. Sehingga CD8+ T cell berperan untuk proteksi pada fase awal infeksi. Peranan g/s TCR cell adalah untuk memperoleh efek sitolitik monosit bersama antigen kuman TB dengan tujuan mensekresi sitokin pembentuk granuloma.

THYPUS Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat) dan melalui Feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, di dalam lambung sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung (HCL) dan Sebagian lolos masuk ke dalam usus lalu berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan, selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan berikatan dengan Sel M pada lamina propia saluran cerna kemudian dieliminasi oleh sel makrofag, sel dendrit, sel B dan sel T. Bila tak terjadi eliminasi akan menuju sirkulasi darah Kegagalan opsonisasi oleh sel fagosit disebabkan oleh Antigen VI yang dihasilkan Salmonella. Antigen Vi tersebut menghambat fusi lisosome, phagosome dan pembentukan intermediet oksigen Akibat difagositosisnya Salmonela, bakteri ini menjadi kebal terhadap respons imun PMN, komplemen, dan juga antibodi. Salmonela sudah berevolusi sedemikian rupa sehingga mampu menghindari/menunda proses pembunuhan oleh makrofag. Hal ini dikarenakan di dalam makrofag Salmonella Thypi terlindung oleh kepsel Vi yang dapat melindungi kuman terhadap fagosititosis sehingga kuman dapat bertahan hidup dan berkembang biak.selanjutnya basil kuman akan dibawa ke plak peyeri, terutama yang berada di ileum terminalis dan melalui saluran getah bening dibawa ke kelenjar limfe mesentrium didalam limpfe ini Salmonella Thypi menjadi basil ekstraseluler, maka basil tersebut akan segera difagositosis oleh sel fagosit seperti neutrofil,monosit dan histosit. Lipopolisakarida (LPS) yang merupakan komponen dari dinding sel Salmonella Thypi dapat mengaktifkan jalur alternative (C3 convertase) dari system komplemen yang berakhir dengan lisisnya bakteri. Pada proses ini endotoksin akan dikeluarkan yang dapat merangsang makrofag, endotel pembuluh darah dan sel imunokompeten yang lain untuk mensekresi sitokin seperti IL-1,IL-6,TNF , dan kemokin. Sitokin tersebut menginduksi proses adhesi terhadap Kuman yang masuk ke aliran darah kapiler prosecia pada kulit dan tidak hipertermi. Kuman selanjutnya masuk usus halus dan terjadi peradangan menyebabkan mual muntah atau anoreksia intake tidak adekuat sehingga terjadi kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh selain itu menyebabkan hiperperistaltik pada usus sehingga penderita dengan typoid sering terjadi diare, tindakan bedrest untuk mencegah kondisi penderita menjadi buruk. Kuman masuk ke hepar dan kandung empedu menyebabkan endotoksin meningkat dan kuman merusak hepar sehingga terjadi SGOT / SGPT meningkat. Kuman yang mencapai hipotalamus akan menekan system syaraf termoregulator menyebabkan hipertermi sehingga klien cepat lelah menjadi intoleransi aktifitas. Selain itu kuman pada organ intestinal menyebabkan perdarahan usus, peritonitis sedangkan di ekstraintestinal menyebabkan pneumoni serta meningitis.

HIV Virus HIV pertama kali terjangkit di dalam tubuh manusia akan mempengarui kinerja dari sel darah putih yang ada di dalam tubuh manusia yang bernama sel CD4+. Sel tersebut di dalam tubuh manusia sangat berperan penting dalam menjaga sistem imun manusia agar manusia tersebut terjaga dari serangan patogen - patogen atau faktor biologis lain nya yang akan masuk dan dapat menimbulkan penyakit. Tetapi apakah yang terjadi apabila sel CD4+ tersebut dirusak oleh virus HIV sehingga menurunkan jumlah dari sel CD4+, sistem imun atau kekebalan tubuh dari manusia itu sendiri lama kelamaan akan melemah dan berkurangan sehinggan potensi patogen patogen yang akan masuk ke dalam tubuh manusia akan semakin besar dan manusia tersebut gampang terserang berbagai macam penyakit. Lalu bagaimanakah respon awal tubuh terhadap masuk nya virus HIV yang dapat merusak kinerja dari sel CD4+, tubuh individu yang terjangkit virus HIV akan melakukan perlawanan imun yang intensif. Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik yang dapat spesifik terhadap berbagai protein virus. Karena terlalu banyak sel sel yang mengandung reseptor CD4+ yg di infeksi oleh HIV sehingga tempat untuk replikasi virus HIV semakin besar. Sehingga tubuh yang melakukan perlawanan imun yang intesif itu akan gagal dan sistem imun tubuh pun rusak. Sel yang terinfeksi kemudian melepaskan virion melalui permukaan sel atau sel yang lisis, yang dapat menginfeksi sel-sel lain. Beberapa virion HIV dibawa dari tempat infeksi ke limfa di mana sel sistem imun lain menjadi terinfeksi. Sejumlah virus dapat terperangkap di sini oleh sel bertentakel yang disebut Follicular Dendritic Cell (FDC) yang rentan terhadap infeksi namun dapat bertahan untuk waktu yang lama. Sel T dan CD4 sebagai target utama HIV, dapat terinfeksi ketika bertemu dengan HIV yang terjebak dalam FDC. Replikasi aktif HIV terjadi pada setiap tahap infeksi. Dalam periode tahunan, saat sejumlah kecil virus terdeteksi dalam darah, sejumlah signifikan virus terakumulasi dalam sel terinfeksi dan FDC. HIV yang terjebak dalam FDC terus menginfeksi sekalipun terlindung oleh antibodi. Dapat dilihat bahwa FDC adalah gudang untuk infeksi HIV dan dapat menjelaskan bagaimana momentum infeksi HIV dapat terjadi. Walaupun sel T dan CD4 adalah target utama HIV, sel sistem imun lain yang memiliki reseptor CD4 pada permukaannya juga dapat terinfeksi. Sel berumur panjang yang disebut monosit dan makrofag dapat mengandung sejumlah besar virus tanpa menjadi mati. Sel T dan CD4 juga adalah gudang yang penting untuk HIV, karena menyebabkan HIV dalam keadaan inaktif dan stabil. Proses normal imun akan menyebabkan produksi virion HIV. Di dalam dan sekitar germinal center, meningkatnya produksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF) dan IL-6 dapat mengaktivasi sel T dan CD4 yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HIV. Aktivasi menyebabkan sel yang tidak terinfeksi menjadi lebih mudah terinfeksi dan meningkatkan replikasi HIV pada sel yang terinfeksi. Sekresi sitokin berbanding terbalik dengan sekresi sel-sel regulasi fungsi normal sistem imun. Sekali terinfeksi, sel T dan CD4 dapat meninggalkan germinal center dan menginfeksi sel T dan CD4 lain yang berkumpul di daerah limfa di sekitarnya. Ada beberapa teori tentang bagaimana HIV menghancurkan sel T dan CD4, yaitu: Direct cell killing. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dihancurkan secara langsung ketika sejumlah besar virus diproduksi dan menembus permukaan sel, merusak membran sel, atau ketika protein viral dan asam nukleat yang tekumpuldalam sel menganggu sistem selular. Pembentukan syncytia. Sel terinfeksi dapat bergabung dengan sel tetangga yang tidak terinfeksi, membentuk sel raksasa seperti balon yang disebut syncytia. Apoptosis. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dapat terbunuh ketika regulasi selular terganggu oleh protein HIV, yang mungkin menyebabkan penghancuran sendiri sel yang dikenal sebagai apoptosis. Innocent bystanders. Sel yang tidak terinfeksi dapat mati dengan skenario innocent bystanders. Pertikel HIV dapat berikatan dengan permukaan sel, menyebabkan sel seakan-akan terinfeksi sehingga sel dihancurkan oleh sel T killer.

1.

2. 3. 4.

Pengaruh HIV terhadap sistem imun HIV terutama menginfeksi limfosit CD4 atau T helper (Th), sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin menurun. Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur sistem imunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respon imun seluler maupun respon imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun seluler. Jadi akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang menyebabkan hampir keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal. 1. Abnormalitas pada Imunitas seluler Untuk mengatasi organisme intra seluler seperti parasit, jamur dan bakteri intraseluler yang paling diperlukan adalah respon imunitas seluler yang disebut Cell Mediated Immunity (CMI). Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik, disamping secara spesifik membunuh sel yang di bungkus oleh antibody melalui mekanisme antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV. Sel Th : Jumlah dan fungsinya akan menurun. Pada umumnya penyakit indikator AIDS tidak terjadi sebelum jumlah CD4 mencapai 200/uL bahkan sebagian besar setelah CD4 mencapai 100/uL. Makrofag : Fungsi fagositosis dan kemotaksisnya menurun, termasuk juga kemampuannya menghancurkan organisme intra seluler, misalnya kandida albikans dan toksoplasma gondii. Sel Tc : Kemampuan sel T sitotoksik untuk menghancurkan sel yang terinfeksi virus menurun, terutama pada infeksi stadium lanjut, sehingga terjadi reaktivasi virus yang tadinya laten, seperti herpes zoster dan retinitis sitomegalo. Demikian juga sering terjadi differensiasi sel ke arah keganasan atau malignansi. Sel NK : Kemampuan sel NK untuk menghancurkan secara langsung antigen asing dan sel yang terinfeksi virus juga menurun. Belum diketahui dengan jelas apa penyebabnya, diperkirakan kemungkinan karena kurangnya IL-2 atau efek langsung HIV. 2. Abnormalitas pada imunitas humoral Imunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel plasma yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4 yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B cell growth factors) dan BCDF (B cell differentiation factors) akan merangsang limfosit B tumbuh dan berdifferensiasi menjadi sel Plasma. Dengan adanya antibody diharapkan akan meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui proses opsonisasi . HIV menyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara poliklonal dan non-spesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinaemia terutama IgA dan IgG. Disamping memproduksi lebih banyak immunoglobulin, limfosit B pada odha (orang dengan infeksi HIV/AIDS) tidak memberi respon yang tepat. Terjadi perubahan dari pembentukan antibodi IgM ke antibodi IgA dan IgG. Infeksi bakteri dan parasit intrasel menjadi masalah berat karena respons yang tidak tepat, misalnya reaktivasi Toxoplasma gondii atau CMV tidak direspons dengan pembentukan immunoglobulin M (IgM). Respons antibodi pasca vaksinasi dengan antigen protein atau polisaccharide sangat lemah, misalnya vaksinasi Hepatitis B, Influenza, pneumokokus, dll. Fungsi neutrofil juga terganggu, karena itu sering terjadi infeksi oleh stafilokokus aureus yang menyebabkan infeksi kulit dan pneumonia. Apalagi pemakaian obat antiretrovirus (ARV) seperti zidovudine atau antivirus sitomegalo yaitu ganciclovir dapat menimbulkan terjadinya neutropenia.

Banyak yang belum diketahui tentang antibodi terhadap HIV. Apakah antibodi bisa mencegah meluasnya infeksi HIV didalam tubuh, atau paling tidak berperan untuk menetralkan HIV. Produksi antibodi terutama neutralizing antibodi kasus AIDS stadium lanjut (dimana limfosit CD4 < 200/uL) bila dibandingkan dengan orang tanpa HIV, ternyata sangat berbeda. Sedangkan pada stadium sebelumnya dimana sel Th masih diatas 200-500/ uL, produksi anitibodi tidak begitu berbeda. Antibodi spesifik terutama neutralizing antibody baru mulai muncul pada minggu kedua atau ketiga, bahkan bisa mundur beberapa bulan setelah infeksi. Secara umum dapat dikatakan respon antibodi terhadap HIV sangat lemah, dan hanya sebagian kecil saja dari fraksi antibodi ini yang dapat menetralisasi HIV. Karena itu HIV dapat melewati respon antibodi sehingga dapat bertahan hidup dan menginfeksi sel lainnya.

SLE Individu dengan predisposisi genetik + faktor pemicu yang tepat* tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+ toleransi sel T terhadap self antigen hilang

muncul sel T autoreaktif

induksi dan ekspansi sel B baik yang memproduksi autoantibodi (ANA)** maupun yang berupa sel memori

ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi

karena penanganan kompleks imun dalam SLE juga terganggu***

terbentuk deposit kompleks imun

mengendap di berbagai organ m komplemen teraktivasi sehingga timbul reaksi radang terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut manifestasi klinis pada organ yang bersangkutan (ginjal, sendi, kulit dan sebagainya)

*faktor pemicu masih belum jelas tapi diduga hormon seks, sinar ultraviolet dan infeksi ikut berperan **pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terutama terhadap antigen yang terletak dalam nukleoplasma seperti DNA dan RNA (ciri khas autoantigen tersebut adalah tidak tissue-specific dan merupakan komponen integral semua sel) makanya disebut Anti Nuclear Antibody (ANA) ***gangguan tersebut berupa gangguan clearance kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa

LEPRA Cara masuk M. Leprae masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avilurens dengan toksis. Masuknya M. Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui 2 sinyal yaitu sinyal I dan sinyal II. Sinyal I adalah tergantung pada TCR-terkait antigen (T-cell reseptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC, sedangkan sinyal II adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD 8+. Adanya kedua sinyal ini akan mengaktivasi T0, sehingga T0 akan berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF alfa dan IL 12 akan membantu diferensiasi T0 menjad Th1. Th1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN gamma yang akan meningkatkan fagositosis makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M. Leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1, CR3, CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan poliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD 8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif dari anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gugul membunuh antigen, maka sitokin dan Growth Factors, akan terus dihasilkan dan merusak jaringan, akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organela dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag sudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma. Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktivasi dari eusinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktivasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktivasi sel B untuk menghasilkan IgG dan IgE. IL 4, IL 10, dan IL 13 akan mengaktivasi sel mast. Sinyal I tanpa adanya sinyal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada tuberkuloid leprosy, kita akan melihat bahwa Th1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2. Sedangkan pada lepromatus leprosy Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1. Respon imun pada penyakit kusta meliputi respon imun humoral atau antibody mediated immunity. Pada respon imun humoral, tubuh akan memproduksi antibodi untuk menghancurkan antigen yang masuk. Dengan CMI, bahan asing atau antigen akan memacu produksi sel pertahanan spesifik yang dapat dimobilisasi untuk menghancurkan antigen dan akan memicu terjadinya reaksi kusta. Sel pertahanan spesifik adalah limfosit yang tidak berkemampuan fagosit, sedangkan makrofag dapat memakan Mycobacterium leprae. Lepra dapat terjadi karena antigen yang persistent (yang berada di lapisan sel lipid) mengalami hipersensitivitas lambat, sehingga rilis limfokin yang mengandung IL dari sel T terus menerus sehingga merangsang makrofag-makrofag membentuk agregat dan terjadilah akumulasi makrofag yang kemudian menimbulkan perkejuan (akumulasi warna kuning yang berasal dari kumpulan eksudat, kumpulan leukosit, makrofag,dengan banyak cairan plasma yang sudah mati).

KANKER Proliferasi dan maturasi atau diferensiasi sel normal diatur secara ketat oleh sejumlah proto-onkogen yang merangsang pertumbuhan dan berbagai anti-onkogen atau gen supresor (tumor suppressor genes) yang menghambat pertumbuhan. Aktivasi proto-onkogen secara berlebihan dapat terjadi melalui perubahan struktur dalam gen, translokasi kromosom, peningkatan ekspresi gen atau mutasi pada elemen-elemen yang mengontrol ekspresi gen bersangkutan. Mutasi demikian sering tampak pada sel-sel yang berpolimerasi secara aktif. Proliferasi berlebihan dapat dicegah oleh gen supresor yang menghambat pertumbuhan, namun inaktivasi dan atau mutasi gen supresor mennyebabkan hilangnya fungsi supresi pertumbuhan. Amplifikasi onkogen dan atau inaktivasi fen supresor yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel mengakibatkan hilangnya Kontrol pertumbuhan dengan risiko terjadinya transformasi ganas, dan sel menunjukkan sifat pertumbuhan dan sifat-sifat biologik lainnya yang abnormal. Perubahan genetik ini menghasilkan populasi sel dengan sifat-sifat pertumbuhan tidak terkendali yang mrupakan ciri sel kanker dan memiliki kemampuan menginvasi jaringan normal disekitarnya serta kemampuan bermetastasis dan tumbuh di tempat yang letaknya jauh dari jaringan asal. Disamping mengekspresikan molekul-molekul yang menentukan sifat ganas, sel-sel kanker juga sering menunjukkan disregulasi gen yang produknya tidak secara langsung berhubungan dengan sifat pertumbuhan dan sifat invasif sel. Disregulasi genetik itu diantaranya menyebabkan perubahan ekspresi berbagai molekul permukaan, gangguan transkripsi dan translasi berbagai jenis molekul protein intraseluler maupun berbagai substansi yang disekresikan, sehingga sel atau jaringan tumor, yang pada dasarnya berasal dari jaringan sendiri, menjadi asing atau immunogenic. Karena itu, sebenarnya sistem imun yang normal harus mengenali sel-sel abnormal tersebut dan memusnahkannya. Fungsi sistem imun adalah fungsi protektif dengan mengenal dan menghancurkan sel-sel abnormal itu sebelum berkembang menjadi tumor atau membunuhnya kalau tumor itu sudah tumbuh. Peran sistem imun ini disebut immune surveillance. Beberapa bukti yang mendukung bahwa ada peran sistem imun dalam melawan tumor ganas diperoleh dari beberapa penelitian, diantaranya yang mendukung teori itu adalah : 1. Banyak tumor mengandung infiltrasi sel-sel mononuklear yang terdiri atas sel T, sel NK dan makrofag 2. Tumor dapat mengalami regresi secara spontan 3. Tumor lebih sering berkembang pada individu dengan imunodefisiensi atau bila fungsi sistem imun tidak efektif, bahkan imunosuspresi seringkali mendahului pertumbuhan tumor 4. Dilain pihak tumor seringkali menyebabkan imunosuspresi pada penderita. Bukti lain yang juga mendukung bahwa tumor dapat merangsang sistem imun adalah ditemukannya limfosit berpoliiferasi dalam kelenjar getah bening yang merupakan draining sites dari pertumbuhan tumor disertai peningkatan ekspresi MHC dan intercellular adhesion molecule (ICAM)yang mengindikasikan sistem imun yang aktif

Walaupun diyakini bahwa sistem imun dapat memberikan respons terhadap pertumbuhan tumor ganas, pada kenyataannya banyak tumor ganas yang tetap bias tumbuh karena immune surveillance menyingkirkan sel-sel ganas bergantung pada banyak faktor. Penelitian-penelitian tentang peran sistem imun dalam pertahan terhadap tumor akhir-akhir ini demikian luas, sehingga ruang lingkup imunologi tumor saat ini mencakup : pengetahuan tentang respons imun spesifik terhadap tumor, antigen pada permukaan tumor yang menginduksi respons imun, mekanisme efektor untuk melawan tumor, dan pendekatan imunologik untuk mendeteksi, menentukan diagnosis dan mengobati kanker. Pengetahuan tentang peran sistem imun spesifik maupun non-spesifik dalan mencegah pertumbuhan tumor spontan dan bagaimana memodulasinya diduga akan memegang peran penting di kemudian hari dalam meningkatkan surveillance terhadap tumor, menginduksi resistensi terhadap sisa sel ganas dan kekambuhan tumor, menghambat perkembangan tumor selanjutnya dan dalam menentukan jenis pengobatan. MALARIA Adapun daur hidup dari keempat spesies malara pada manusia umumnya sama. Proses ini terdiri atas fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes. Fase aseksual mempunyai 2 daur, yaitu: 1. Daur eritrosit dalam darah (skizogoni eritrosit) 2. Daur dalam sel parenkim hati (skizogoni eksoeritrosit)

Setelah nyamuk menggigit manusia, maka parasit akan terdeposit di kulit. Setelah itu, sebagian besar akan masuk ke peredaran darah dan menginfeksi hepatosit. Namun demikian, protein dari sporozoit ada yang tertinggal di kulit dan akan dipresentasikan ke nodus limfa. Adanya sel T CD8+ akan mengeliminasi parasit dalam hepatosit. Infeksi malaria alami terjadi dengan masuknya sporozoit melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang terinfeksi parasit. Infeksi dapat terjadi melalui tranfusi darah yang tercemar parasit. Dengan masuknya sporozoit ini dimulailah siklus aseksual plasmodium. Sporozoit ini segera hilang dari sirkulasi darah dan menetap di sel parenkim hati untuk bermultiplikasi dan berkembang menjadi skizon jaringan. Bagian siklus ini dikenal sebagai fase pre-eritrosit atau ekso-eritrosit yang berlangsung selama 5 -16 hari tergantung jenis plasmodium. Pada fase hepatik akan dihasilkan CD8+, adanya sel T CD8+ akan mengeliminasi parasit dalam hepatosit. Pada fase ini pasien belum memperlihatkan gejala. Setelah perkembangan beberapa generasi, skizon jaringan ini akan pecah dan melepaskan beribu-ribu merozoid ke sirkulasi darah. Bentuk merozoid ini akan memasuki eritrosit dan memulai fase eritrosit. Pada infeksi P.falciparum dan P.malariae, skizon pecah serentak. Sedangkan pada infeksi P.vivax dan P.ovale beberapa skizon tetap dalam keadaan laten yang kemudian akan menimbulkan relaps. Parasit dalam eritrosit memperbanyak diri membentuk trofozoit dan akhirnya skizon yang matang. Eritrosit yang mengandung

skizon ini kemudian pecah melepaskan 6 24 merozoid ke sirkulasi. Merozoid ini memasuki eritrosit lain dan mengulangi lagi fase skizogoni. Penghancuran eritrosit yang terjadi secara periodic inilah yang menimbulkan gejala khas malaria, yaitu demam yang diikuti menggigil. Imunitas tubuh berkembang secara berangsur-angsur, sejak mulai mausknya parasit (sporozoit) hingga timbulnya manifestasi klinis. Imunitas terhadap malaria diawali setelah eritrosit yang terinfeksi memberikan sinyal yang akan diterima reseptor CD36 di makrofag. Infeksi malaria dapat terjadi untuk pertama kali (primer) dan yang berikutnya (sekunder). Pada infeksi primer, antigen yang ditangkap oleh makrofag akan merangsang produksi sitokin TNF-, IL-1, IL-6 (pro-nflamasi), namun demikian makrofag ini belum teraktivasi sehingga antigen belum dapat dimatikan. Pada infeksi sekunder akan didapatkan jumlah sitokin pro-inflamasi yang lebih tinggi. Akibatnya, respons terhadap masuknya antigen lebih cepat sehingga panas pada pasien lebih cepat terjadi. Berikut adalah jalur pengaktifan makrofag saat infeksi sekunder :

Makrofag teraktivasi dihasilkan IL-12 merangsang sel Thelper 1 IL-2 perekrutan sel NK dihasilkan IFN-y aktivasi makrofag Nitric oxide (NO) memilki aktivitas parasitisidal (membunuh parasit) Sebagian merozoit berdiferensiasi menjadi gamet jantan dan betina yang bila berpindah ke nyamuk pada saat nyamuk menggigit pasien. Dengan demikian siklus seksual dimulai. Gametosit berdiferensiasi lebih lanjut menjadi gamet jantan dan betina. Pembuahan terjadi dalam usus nyamuk. Zigot yang terjadi berkembang menjadi sporozoit dan berpindah ke kelenjar ludah nyamuk yang kemudian akan mengingeksi manusia lain melalui gigitan nyamuk.

PROTOZOA & JAMUR

Beberapa mekanisme pertahanan tubuh bekerjasama dalam merespon jamur. Neutrofil, makrofag, dan monosit pada dasarnya merupakan sel-sel efektor antifungi. Fagosit berada pada organ target ketika terjadi infeksi untuk melawan atau merusak jamur. Sel efektor tambahan, termasuk neutrofil dan monosit dibawa ke tempat infeksi dengan aksi oleh sinyal antiinflamasi, seperti sitokin, kemokin, dan sistem komplemen. Jamur difagosit atau dirusak melalui produksi dan rilis ROS (reactive oxygen)dan peptida antimikroba. Sel menggunakan mekanisme anti jamur intrasel dan ekstrasel tergantung dari spesies, tipe, dan rute pemaparan. Sel dentritik menginisiasi sistem imun alamiah dan dapatan terhadap mikroorganisme. Sel-sel ini menangkap dan memproses antigen, mengekspresikan molekul stimulator limfosit, migrasi ke organ limfoid dan mensekresi sitokin untuk mengawali respon imun. Sel dendritik memiliki peranan dalam respon imun. Sinyal yang ditransmisikan oleh sel dendritikbervariasi tergantung dari jamur yang muncul atau tipe berbeda dengan hasil yang berbeda pada respon imun alami dan dapatan yang timbul. Diferensiasi CD4+ bersamaan dengan sel Th1 atau Th2 dan pengembangan respon Th spesifik, merupakan faktor penting yangmenentukan kerentanan atau resistensi terhadap serangan infeksi jamur. Pengembangan respon Th1 dipengaruhi oleh aksi sitokin, seperti interferon, interleukin, tumor necrosis factor, dan IL 12 dan adanya sitokin Th2 yang sedikit, seperti IL-4 dan IL-10. Sitokin yang dihasilkan Th1 dan Th2 berhubungan dengan proteksi terhadap myoces yang beragam.

Sistem Imun Alamiah Terhadap Bakteri Ekstraseluler (KOLERA) Prinsip utama mekanisme imunitas alamiah terhadap bakteri ekstraseluler adalah aktivasi complement, fagositosis, dan respon iflamasi.1 n _t en UTF-8 2

Bakteri gram positif mengandung peptidoglikan di dinding sel mereka yang mengaktifkan

jalur alternatif komplemen dengan mempromosikan pembentukan jalur alternatif convertase c3.en

LPS pada dinding sel bakteri gram negatif juga mengaktifkan jalur komplemen alternatif

karena tidak adanya antibody. Bakteri yang mengekspresikan manosa di permukaan mereka bisa mengikat manosa-dinding lectin, sehingga mengarah untuk melengkapi aktivasi oleh jalur lektin. Salah satu hasil dari aktivasi komplemen adalah opsonisasi dan meningkatkan fagositosis bakteri. Di samping itu, membran menyerang agar komplek bakteri lisis, terutama spesis nissria, dan komplemen merangsang respon inflamasi dengan merekrut dan mengaktifkan leukosit. Fagosit menggunakan berbagai reseptor dipermukaan, termasuk reseptor manose dan reseptor scavenger, untuk mengenali bakteri ekstraseluler, dan menggunakan reseptor Fc serta reseptor komplemen untuk mengenali bakteri yang diopsonisasi. Toll-like reseptors (TLRs) dari fagosit berpartisipasi dalam mengaktivasi fagosit sebagai hasil dari pertemuan dengan mikroba. berbagai reseptor memfagosit mikroba dan menstimulasi aktifitas dari mikrobicidal dari sel fagosit

(kemampuan sel fagosit dalam melawan bakteri). Di samping itu, fagosit aktif mensekresi sitokin yang menginduksi infiltrasi leukosit ke daerah infeksi (peradangan). Cedera pada jaringan normal adalah efek samping pathologik inflamasi. Sitokin juga menyebabkan manifestasi sistemik dari infeksi, termasuk demam dan sintesis protein fase akut. Sistem Imun Adaptif Terhadap Bakteri Ekstraseluler Imunitas humoral adalah respon kekebalan utama yang memberi perlindungan terhadap bakteri ekstraselular, dan berfungsi untuk memblokir infeksi, menghilangkan mikroba, serta menetralisir racun mereka. Tanggapan antibodi terhadap bakteri ekstraseluler diarahkan terhadap dinding sel antigen dan dikeluarkan dan racun yang terkait sel, yang mungkin polisakarida atau protein. Polisakarida antigen sel Thymus yang prototipe dan fungsi utama dari imunitas humoral adalah pertahanan terhadap bakteri yang kaya polisakarida dienkapsulasi. Mekanisme yang digunakan oleh efektor antibodi untuk memerangi infeksi ini mencakup netralisasi, opsonisasi dan fagositosis, dan aktivasi komplemen oleh pathway. Netralisasi dimediasi oleh afinitas IgG yang tinggi dan isotypes IgA, opsonisasi oleh beberapa subkelas dari IgG dan IgM melengkapi aktivasi oleh subkelas dari IgG. Antigen protein bakteri ekstraselular juga mengaktifkan sel-T helper CD4 +, yang memproduksi sitokin yang merangsang produksi antibodi, menyebabkan peradangan lokal, dan meningkatkan kegiatan fagositik dan mikrobisidal makrofag dan neutrofil. Interferon - (IFN ) adalah sitokin sel T yang bertanggung jawab untuk aktivasi makrofag, dan tumor necrosis factor (TNF) . Penelitian

terbaru, terutama dilakukan pada tikus, telah menunjukkan bahwa IL-17 diproduksi oleh sel Th17 bertanggung jawab untuk neutrofil yang kaya peradangan dan pertahanan terhadap beberapa infeksi bakteri.

Respon Imun Tubuh Terhadap Infeksi HBV Akut Setelah HBV masuk dalam tubuh dan akhirnya masuk ke dalam sel hati HBV akan mengalami replikasi. Pertama kali HBV akan berhubungan dengan respon imun nonspesifik yang mampu bekerja dalam waktu beberapa menit atau jam yang kemudian diikuti oleh naiknya kadar IFN. Proses eliminasi nonspesifik ini tidak disertai restriksi HLA dan melibatkan sel NK dan LKT yang dirangsang oleh IFN. Selanjutnya akan terjadi respon imun spesifik, baik yang bersifat seluler maupun humoral. Respon imun seluler berupa proses sitolitik yang akan menyebabkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi. Proses sitolitik tersebut disebabkan oleh aktivitas sel T sitolitik yang teIah diaktifkan. Di samping itu, juga terjadi eliminasi virus intraseluler tanpa menimbulkan pecahnnya sel-sel yang terinfeksi. Proses itu disebut proses eliminasi nonsitolitik yang terjadi karena aktivitas sitokin. Respon imun humoral terjadi melalui proses terbentuknya anti-HBs yang ikut membantu eliminasi HBV. Respon imun tubuh terhadap infeksi Hepatitis B Akut akan dijelaskan lebih rinci pada bab Hepatitis B Akut. Respon Imun tubuh pada Infeksi Hepatitis B Kronik Bila proses yang terjadi pada Hepatitis B akut tidak efektif sehingga sel yang terinfeksi tidak berhasil dihilangkan seluruhnya, akan terjadi infeksi Hepatitis B Kronik. Pada Hepatitis B Kronik antigen viral yang diekspresikan pada membran hepatosit adalah HBcAg atau HbeAg. Perlu diketahui bahwa antara HBcAg dan HBeAg terjadi reaksi imunologik silang pada tingkat sel T. Mekanisme respon imun HCV Antigen dari virus yang dibuat di dalam sitosol hepatosit akan merangsang MHC kelas 1 untuk membuat polipeptida yang mengangkut antigen tersebut ke permukaan sel untuk mempresentasikan antigen kepada limfosit T CD4+ mengaktivasi limfosit T CD8+,sel B dan TNF,IFN. Antigen di dalam hati di sitolitik oleh limfosit T CD8+, sedangkan sel B dan TNF,IFN mensitolitik antigen diluar sel hepar. Akibatnya akan terjadi peningkatan kadar ALT dalam serum penderita yang seringkali disertai oleh viremia. Beberapa peneliti menduga bahwa VHC mungkin dapat merusak sel hati secara langsung ( directly cytopathic) sebab ada kaitan antara beratnya kerusakan sel hati dengan banyaknya virus. Pola fluktuasi ALT serum pada hepatitis C khas periode peningkatan ALT diselingi oleh periode ALT yang normal atau mendekati normal. VHC atau beberapa bagian virus yang berada ekstraseluler dapat ditangkap oleh beberapa reseptor pada permukaan limfosit B, dimasukkan dalam vakuola, dan diproses, lalu dipaparkan pada permukaan limfosit B, dan ditangkap oleh reseptor limfosit T CD4 Th2. Sel CD4 Th2 yang teraktivasi akan mengalami transformasi blas menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi spesifik terhadap antigen VHC. Serokonversi biasanya terjadi 11-12 minggu setelah infeksi, bahkan dengan uji anti-HCV generasi 2, antibodi tersebut sudah dapat dilacak 7-8 minggu setelah infeksi, namun pada beberapa kasus, antibodi tersebut baru timbul setelah infeksi berjalan selama 6-12 bulan. Antibodi terhadap NS 3 biasanya timbul bersamaan atau sesaat setelah antibodi terhadap protein core, namun kadangkala ( anti C 33 c) dapat juga timbul sebelum anticore dapat dideteksi. Anti C 100-3 (NS 4) baru timbul 10-15 minggu setelah peningkatan ALT. Faktor yang berperan dalam perubahan hepatitis C akut menuju manahun, yaitu tingginya kadar ALT, sifat polifasik, usia lanjut, dan gangguan imunologis