Upload
ricko-handen-uria
View
215
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
blok 24
Leukemia Granulositik Kronis
Uria RickoTanguhno Handen
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida
Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
E-mail : [email protected]
Pendahuluan
Leukemia Granulositik Kronis (LGK) atau Leukemia Mielositik Kronis (LML) atau
Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan suatu Myeloproliferative Disorder (MPD)
yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada
apusan darah tepi dapat dengan mudah dilihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari
promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai granulosit.1 LGK terutama
dijumpai pada orang dewasa berusia 25 sampai 60 tahun, dengan insiden puncak pada dekade
keempat dan kelima kehidupan.2,3 LGK merupakan 15% dari semua jenis leukemia.3
LGK merupakan kelainan klonal dari sel punca pluripoten. Diagnosis LGK dibantu
dengan adanya kromosom Philadelphia (Ph) yang khas. Kromosom ini merupakan translokasi
antara kromosom 9 dan 22 sebagai akibat bagian dari onkogen ABL1 berpindah ke gen BCR
pada kromosom 22 dan bagian kromosom 22 berpindah ke kromosom 9. Kromosom Ph
menghasilkan gen chimeric BCR-ABL1 yang mengkode suatu protein gabungan yang memiliki
aktivitas tirosin kinase berlebih.4 Pada sebagian besar pasien kromosom Ph terlihat dengan
pemeriksaan kariotip sel tumor, tetapi pada sebagian kecil kasus, abnormalitas Ph tidak tampak
dengan mikroskop, namun dengan pemeriksaan molecular kromosom ini dapat tampak dengan
teknik yang lebih sensitive yaitu fluorescent in situ hybridization (FISH) atau polymerase chain
reaction (PCR). LGK dengan Ph-negatif BCR-ABL1 memiliki klinis sama seperti LGK Ph-
positif. Oleh karena kromosom Ph merupakan kelainan yang didapat pada sel punca
hematopoietic, kelainan dapat terlihat pada kedua jalur baik myeloid (granulositik, eritroid, dan
megakariositik) dan limfoid (sel B dan T). Pada LGK, jumlah leukosit dapat meningkat demikian
rupa (biasanya berjumlah 50.000-250.000/mm3), sehingga darah tampak berwarna keabu-abuan.
Anamnesis
Berikut hal-hal yang harus ditanyakan kepada pasien pada skenario ini :
1. Identitas pasien, Pria usia 60 tahun.
2. Keluhan utama: lemas sejak 2 bulan, sering demam, keringat malam.
3. Riwayat penyakit sekarang
Sifat demam
Batuk
Hal yang memperberat gejala
Penyakit yang sedang diderita saat ini
Riwayat keluhan sama berulang
Keluhan lain (anoreksia, penurunan BB, dll)
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit infeksi sebelum keluhan timbul
Riwayat penyakit kronis
Riwayat pengobatan
5. Riwayat keluarga dan sosial
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama
Pekerjaan pasien
Gaya hidup pasien (merokok, alcohol, pola makan, aktivitas)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital
yang meliputi tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, dan suhu. Pada pemeriksaan fisik
secara umum, dapat dilihat keadaan pasien yang tampak lemah dan pucat, serta ditemukan
conjungtiva anemis yang menunjukkan adanya anemia.
Pemeriksaan fisik pada abdomen, khususnya pemeriksaan pembesaran hati dan Schuffner
untuk memeriksa adanya splenomegali, sangat penting dilakukan oleh karena biasa ditemukan
hepatosplenomegali pada LGK. Hepatosplenomegali disebabkan oleh adanya hematopoiesis
ekstramedular yang sering dipersulit oleh infark local, terutama pada limpa.2 Splenomegali
ringan hingga berat paling sering ditemukan pada pemeriksaan fisik, sedangkan hepatomegali
hanya sesekali ditemui.5 Splenomegali yang menetap, meskipun telah diterapi, merupakan suatu
tanda akselerasi penyakit.5 Limfadenopati dan myeloid sarcoma tidak biasa dijumpai, kecuali
pada akhir perjalanan penyakit.5 Bila ditemui adanya limfadenopati dan myeloid sarcoma, maka
prognosisnya adalah dubia ad malam.
Pemeriksaan Penunjang
Hematologi rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun.1 Jumlah leukosit
biasanya >50.000/mm3.3,4 Persentasi eosinofil atau basofil meningkat. Trombosit biasanya
meningkat antara 500.000-600.000/mm3, tetapi dapat juga normal atau trombositopeni. Nilai
hematokrit antara 25-35%.4
Apus darah tepi
Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi
eritroblas asidofil atau polikromatofil. Leukosit dalam jumlah besar tampak dalam berbagai
stadium pematangan, baik immature maupun mature, umumnya persentasi sel mielosit dan
metamielosit meningkat dengan jumlah mielosit lebih banyak daripada metamielosit.1,4,5
Eosinofil dan/atau basofil meningkat pada stadium lanjut, menyebabkan pruritus, diare, dan
flushing.1,5 Aktivitas leukocyte alkaline phosphatase (LAP) hampir selalu rendah bahkan
mungkin turun sampai 0.4,5
Pada fase akselerasi, terjadi peningkatan derajat anemia yang ditandai dengan penurunan
kadar Hb oleh karena adanya pendarahan atau efek terapi, sel blast dalam darah dan sumsum
tulang antara 10 dan 20%, basofil darah dan sumsum tulang ≥20%, atau trombosit
<100.000/mm3.5
Fase krisis blast ditentukan sebagai leukemia akut dengan kadar blast dalam darah atau
sumsum tulang ≥20% . Mungkin ditemukan neutrofil hiposegmented (Pelger-Huet anomaly). Sel
blast bisa diklasifikasikan sebagai myeloid, cytochemical, dan immunologic features.5
Tabel 1. Morfologi Sel pada Tiap Fase LGK dari Spesimen Darah Tepi
Fase LGK Morfologi Sel
Fase awal Leukosit <50.000/µL, terdapat bentuk yang belum matang tersendiri
Basofil mungkin +
Fase kronik Leukosit 50.000-500.000
Granulopoiesis +, blas - , bagiannya tergantung dari jumlah sel
keseluruhan. Sebagian besar <5%
Basofil +, bentuk kerdil
Trombosit sering >400.000
Fase akselerasi Leukosit hingga 250.000
Bentuk yang belum matang ++ (promielosit 20-30%), blas hingga 10%
Basofil ++
Trombosit normal
Fase akhir
(krisis blas)
Sebagian besar >50%, prefinal hampir 100%
Blas 25% TdT atau PAS positif
Merupakan elemen sisa dari fase kronik dengan atipik yang
beranekaragam
Trombositopeni +
Apus sumsum tulang
Selularitas sumsum tulang meningkat akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga
rasio myeloid : eritrosit meningkat.1,5 Berbeda dengan sumsum tulang normal, yang biasanya
50% selular dan 50% lemak, sumsum tulang CML biasanya 100% selular dengan dominasi
precursor granulositik yang berada dalam proses maturasi. Meningkatnya jumlah megakariosit,
sering disertai oleh bentuk-bentuk displatik, juga sering dijumpai, sementara progenitor eritroid
biasanya berjumlah normal atau berkurang. Temuan khas adalah adanya histiosit dengan
sitoplasma keriput hijau-biru tersebar.2 Persentasi sel blast sumsum tulang umumnya normal atau
sedikit meningkat.5 Megakariosit juga tampak lebih banyak.1 Pada pewarnaan retikulin, tampak
bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis, meskipun hal ini jarang terlihat.
Tabel 2. Morfologi Sel pada Tiap Fase LGK dari Spesimen Sumsum Tulang
Fase LGK Morfologi Sel
Fase awal Sangat kaya sel
Granulopoesis bergeser ke kiri secukupnya
Indeks GE (perbandingan kuantitatif antara granulopoesis dan
eritopoesis) 5-6
Basofil dan eosinofil meningkat
Megakariosit dan mikrokariosit +
Fase kronik Sangat kaya sel, tidak ada sel lemak
Granulopoesis jelas bergeser ke kiri
Indeks GE >10
Basofil dan eosinofil ++
Blas –
Mikrokariosit +
Fase akselerasi Seperti fase kronik, namun terdapat pergeseran ke kiri yang meningkat
Peningkatan promielosit berlebihan
Blas ± 10%
Fase akhir
(krisis blas)
Blas sumsum sangat banyak, 25% dari fase akselerasi bereaksi positif
dengan PAS
Basofil muda +
Eritrosit –
Trombopoesis direduksi
Karyotipik
Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini
sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen In Situ
Hybridization) yang lebih akurat.1 Pada LGK, ditemukan kromosom Philadelphia yang
merupakan translokasi t(9; 22) (q34; q11). Semula, translokasi ini dikenal oleh keberadaan
pemendekan kromosom 22 (22q-), yaitu kromosom Ph yang muncul dari timbal balik t(9; 22).3,5
Beberapa pasien mungkin memiliki translokasi kompleks (dikenal sebagai variant
translocations) yang melibatkan tiga, empat, atau lima kromosom (biasanya meliputi kromosom
9 dan 22). Semua pasien harus memiliki bukti translokasi molekuler atau oleh sitogenetik atau
FISH untuk menegakkan diagnosis LGK.5
Gambar 1. Deteksi Gen Fusi BCR-ABL dengan Teknik FISH.2
Gambar di atas menunjukkan kromosom 9 dan kromosom 22 pada orang normal (kiri)
dan penderita LGK (kanan). Warna hijau menunjukkan probe ABL, sedangkan warna merah
adalah probe BCR. Pada kromosom normal (kiri), probe ABL dan probe BCR telah dihibridisasi
ke kromosom metaphase dan nucleus interfase yang dipersiapkan dari sel darah perifer orang
normal. Oleh karena pembentukan pasangan sister chromatids selama mitosis, sinyal-sinyal
kromosom metaphase dapat terlihat sebagai titik tunggal atau sepasang titik yang terlihat
berdekatan. Dua pasang sinyal merah dan dua sinyal hijau terlihat di kromosom metaphase,
sementara dua sinyal merah dan dua sinyal hijau terdapat di nucleus interfase, masing-masing
menunjukkan salinan ABL dan BCR yang terpisah normal.2
Sebaliknya, pada kromosom yang mengalami translokasi (kanan), kromosom metaphase
dan nucleus interfase yang diperoleh dari sel sumsum tulang pasien LGK memperlihatkan satu
sinyal ABL normal, satu sinyal BCR normal, dan satu sinyal kuning abnormal yang tercipta oleh
tumpang-tindih sebuah sinyal BCR dan sebuah sinyal ABL. Temuan ini menunjukkan adanya
gen fusi BSCR-ABL.2
Laboratorium lain
Kadar asam urat dalam serum dan urin umumnya meningkat oleh karena pemecahan
purin berlebih. Selain itu, mungkin dijumpai batu urat di dalam ginjal atau gout. LDH (Laktat
Dehidrogenase) meningkat, menunjukkan adanya peningkatan kerusakan protein. Kadar vitamin
B12 dalam serum dan protein pengikat vitamin B12 biasanya meningkat. Granulositosis berlebih
menyebabkan peningkatan transkobalamin dalam darah, yaitu suatu protein pengikat vitamin B12.
Peningkatan transkobalamin ini bertujuan untuk dapat mengikat vitamin B12 lebih banyak untuk
meningkatkan eritropoesis. Namun, oleh karena granulopoesis lebih besar daripada eritropoesis,
maka eritropoesis terhambat, sehingga terjadi anemia.
Diagnosis Banding
Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid (MMM)
MMM merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya timbunan substansi
kolagen berlebih dalam sumsum tulang. Kelainan merupakan kelainan stem sel hematopoesis
klonal, dihubungkan dengan chronic myeloproliferative disorders (CMPD), di mana adanya
hematopoesis ekstramedular merupakan gambaran yang mencolok. MMM menyerang golongan
umur menengah dan tua, rata-rata umur 60 tahun, pria dan wanita memiliki kemungkinan yang
sama.1
Pada 25% kasus MMM berpenampilan asimtomatis. Diagnosis ditegakkan dengan
adanya pemeriksaan darah yang abnormal atau secara insidentil terdapat splenomegali. Gejala
klinis pada umumnya adalah kelelahan otot dan penurunan berat badan (7-39%), sindrom
hipermetabolik (5-20% pasien), pendarahan dan memar, kadang terdapat massa dalam perut,
gout, dan kolik renal terdapat 4-6%, diare dengan sebab tidak jelas, dan nyeri substernal kadang
diketemukan.1
Tabel 3. Kelainan Klinis untuk Diagnosis Pasien dengan Mielofibrosis dengan Metaplasia
Mieloid1
Sangat sering ditemukan (>50% kasus)
Splenomegali, hepatomegali, fatique, anemia, leukositosis, trombositosis
Sering ditemukan (10-50% kasus)
Asimtomatik, penurunan berat badan, keringat malam, perdarahan, nyeri splenik,
leukositopenia, trombositopenia
Kurang sering ditemukan (<10% kasus)
Edema perifer, hipertensi portal, limfadenopati, ikterik, gout
Splenomegali yang cukup besar merupakan penemuan fisik yang utama. Hepatomegali
ditemukan pada separuh pasien, 2-6% terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti komplikasi:
asites, varises esophagus, perdarahan gastrointestinal, dan ensefalopatia hepatik. Juga ditemukan
ptekie, ekimosis, dan limpadenopatia. Beberapa pasien memperlihatkan adanya dermatosis
neutrofilik serupa pada sweet-syndrome dan mengalami hematopoesis ekstramedulare dermal,
osteosklerosis yang sebagian diikuti periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila permukaan
serosa terlibat dalam hematopoesis mungkin akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites.
Kadang diikuti komplikasi neuroplogis berupa tekanan intracranial meningkat, delirium, koma,
perdarahan subdural, kerusakan motorik, sensorik, dan paralisis.1
Pada pemeriksaan darah tepi, didapatkan sel eritrosit berbentuk tear drop yang
dihubungkan dengan adanya eritrosit berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan
platelet besar abnormal. Retikulosit meningkat: eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target
juga sering ditemukan.nabnormalitas morfologi ini diakibatkan adanya perubahan hematopoesis,
bebasnya sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoesis ekstramedular.1
Anemia dengan Hb <10 gr/dl, ditemukan 60% kasus yang dapat terjadi akibat hemodilusi
akibat volume plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum tulang, dan hemolisis.
Hapusan darah tepi didapat aniso-poikilositosis, oval dari eritrosit, reaksi leukomoid (samping
granulosit terdapat 1 metamielosit, 1 promielosit, dan 1 normoblas). Morfologi anemia tidak
khas pada umumnya normositik normokromik, makrositik bila defisiensi asam folat dan
mikrositik hipokromik bila defisiensi Fe atau perdarahan gastrointestinal. Jumlah leukosit
meningkat pada 50% kasus, diikuti eosinofilia dan basofilia, sedangkan jumlah limfosit normal.
Beberapa mieloblas ditemukan pada darah tepi, konsentrasi mieloblas >1% memberikan
prognosis buruk. Ditemukan juga neutrofil hipersegmen, kenaikan enzim neutrofil, trombosit
meningkat pada fase awal, pada progresifitas penyakit dapat terjadi trombositopenia. Platelet
baiasanya berukuran besar dan dalam sirkulasi ditemukan megakariosit utuh atau terfragmentasi.
Perubahan pada faktor pembekuan terlarut dapat terjadi karena abnormalitas platelet. Kadar asam
urat dan LDH hampir selalu meningkat, menggambarkan ada massa berlebih dari sel
hematopoetik atau ada hematopoesis inefektif atau keduanya. Enzim alkali fosfatase serum
meningkat yang menunjukkan keterlibatan tulang. Kadar albumin, kolesterol, dan lipoprotein
menurun. Dapat terjadi kenaikan kadar vitamin B12 pada pasien dengan leukositosis yang
merupakan refleksi dengan peningkatan massa neutrofil.1
Biopsi sumsum tulang diperlukan untuk menegakkan MMM. Kriteria yang harus ada
untuk membuat diagnosis MMM, antara lain fibrosis sumsum tulang, kelainan morfologi
hyperplasia sumsum tulang, dan hematopoesis ekstramedular. Pada pemeriksaan patologi, ada
osteosklerosis akibat fibrosis sumsum tulang, terutama pada kerangka aksial dan proksimal
tulang panjang. Korteks tulang mengalami penebalan dan pola normal trabekula menghilang.
Hematopoesis terutama terjadi di lien dengan adanya splenomegali. Hepar juga dapat terlibat
dengan adanya hepatomegali. Proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi ekstramedular daripada
dalam sumsum tulang. Hematopoesis ekstramedular ada tendensi indeks mitosis rendah, sel
imatur, dan megaloblastik yang tinggi daripada hematopoesis medulare.1
Reaksi Leukemoid
Reaksi leukemoid merupakan leukositosis reaktif yang berlebih dengan sel darah putih
matur dan imatur membanjiri sirkulasi. Karena gambaran darah mirip dengan leukemia kronis,
proses ini disebut reaksi leukemoid. Penyakit ini bukan penyakit primer sumsum tulang dan
biasanya sekunder terhadap penyakit lain. Granulosit paling sering terlibat, tetapi monositosis
yang mencolok dapat terjadi pada tuberkulosis, sedangkan limfositosis leukemoid pernah
dilaporkan pada tuberculosis, batuk rejan, dan mononucleosis infeksiosa.6
Granulositosis dengan proporsi leukemoid dapat menyertai tumor-tumor ganas dengan
atau tanpa metastasis ke tulang, infeksi tuberculosis atau piogenik yang parah, keracunan logam
berat, krisis sel sabit, gangguan metabolik berat yang mengenai ginjal atau hati, dan ketoasidosis
diabetes. Pasien yang baru pulih dari agranulositosis atau dari kemoterapi mungkin
memperlihatkan produksi berlebih sel darah putih menyerupai proliferasi pada leukemia, tetapi
leukopoesis dengan kecepatan seperti ini jarang menetapkan lebih dari seminggu.6
Apabila reaksi leukemoid terjadi karena penyakit mendasar yang sudah jelas, pembedaan
dengan leukemia tidak sulit. Namun, perlu diingat bahwa leukemia dapat timbul bersama dengan
penyakit lain. Leukemia dan tuberculosis, misalnya, dapat timbul bersama-sama, dan masing-
masing memperparah yang lain. Apabila penyakit yang primer tidak jelas, gambarannya
mengisyaratkan leukemia. Gambaran yang membedakan reaksi leukemoid dengan LGK
diperlihatkan pada table 4 di bawah ini.6
Tabel 4. Perbedaan Antara Reaksi Leukemoid dan Leukemia Granulositik Kronik6,7
Reaksi Leukemoid Leukemia Granulositik Kronik
Leukosit biasanya <50.000/µL Leukosit biasanya >50.000/µL
Granulasi toksik dan badan Dohle ++ Granulasi toksik ± / = 0
Basofilia dan eosinofilia tidak adaTerdapat basofilia dan eosinofilia, bisa juga
tidak ada
Sel batang menonjol Semua stadium ada, terutama mielosit
Tidak ada trombositopenia Terdapat trombositopenia
Anemia ringan atau tidak ada sama sekali Ada anemia, biasanya berat
Ada hiperseluler sumsum tulang Ada hiperseluler sumsum tulang (lebih berat)
Eritopoesis dan trombopoesis normalEritropoesis dan trombopoesis terhambat
oleh leukopoesis
Leukocyte Alkali Phosphatase (LAP)
meningkat (>100)LAP bisa meningkat atau tidak meningkat
Limpa biasanya tidak teraba Limpa biasanya membesar
Tidak terdapat kromosom PhiladelphiaKromosom Philadelphia terdapat pada 90%
kasus
Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja kasus tersebut adalah leukemia granulosit kronis (LGK) tahap akhir fase
kronis; berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan adanya conjungtiva anemis, sclera non ikterik,
dan splenomegali (Schuffner 3). Pada pemeriksaan laboratorium didapat data Hb: 9, Ht: 35%,
Leukosit: 100.000/mL, trombosit: 25.000/mL. Pada apus darah didapat retikulosit 4%, eritrosit
mikrositik hipokrom, sel blast 10%, hitung jenis 1 / 1 / 0 / 73 / 22 / 1 / 2, metamielosit 10.
Diagnosis LGK ditegakkan oleh adanya anemia, splenomegali (biasanya massif),
leukositosis berat (terutama mielosit, metamielosit, dan neutrofil), dan yang terpenting adalah
identifikasi ekspansi klonal stem cell hematopoietik yang memproses translokasi resiprokal
antara kromosom 9 dan 22.
Etiologi
Tidak ada korelasi yang jelas antara pajanan obat sitotoksik dengan LGK dan tidak
ditemukan bukti yang cukup kuat yang menjelaskan infeksi virus sebagai etiologi LGK. Pada era
pra-imatinib, rokok mempercepat progresi krisis blas. Korban bom atom Hiroshima dan
Nagasaki yang selamat mengalami peningkatan insiden LGK dengan massa sel LGK 10.000/µL
dalam 6,3 tahun. Diperkirakan hanya radiasi dosis besar yang bisa menginduksi LGK.5
Patofisiologi
Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk
pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini selain proliferasinya berlebih juga dapat
bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal karena gen BCR-ABL juga anti-apoptosis.
Dampak kedua mekanisme ini adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak
sistem hematopoiesis lainnya.1
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya
Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diketahui
secara pasti. Diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi
spontan. Diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL
BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9.1
Gambar 2. Translokasi Kromosom 9 Gen ABL dengan Kromosom 22 Gen BCR1
Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis suatu
protein yang berperan dalam lekemogenesis, sedangkan peranan gen resiprokal ABL-BCR tidak
diketahui.1
Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph. Varian-varian ini dapat
terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian
lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11, akan tetapi
dapat juga di daerah q12 atau q13, sehingga protein yang dihasilkan juga berbeda berat
molekulnya.1
Tabel 5. Variasi Kelainan Sitogenetik pada LGK1
Karyotipik Gen-Gen yang Terlibat Istilah Klinik
t(9; 22)(q34; q12) BCR-JAK LGK atipik
t(9; 22)(q34; q13) BCR-PDGFRB LGK atipik
t(9; 22)(q34; q11) BCR-FGFR1 LGK BCR-ABL negatif
t(8; 22)(p11; q11) BCR-FGFR1 LGK BCR-ABL negatif
t(4; 22)(q12; q11) BCR-PDGFRA LGK atipik
t(9; 12)(q34; p13) ABL-TEL LGK atipik
Del(4)(q12) FIP1L1-PDGFRA LGK hipereosinofilia
Jadi sebenarnya, gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua
pasien LGK, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien LGK. Dalam
perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom
tambahan. Hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas ditemukan
adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17 i(17)q. Dengan
kata lain, selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen lain yang berperan dalam patofisiologi LGK
atau terjadi abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16, dan gen Rb.1
Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau di
daerah e13-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr), kemudian
gen BCR-ABL akan mensintesa protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis
p210BCR-ABL. Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb atau e1 yang dikenal sebagai minor
bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa p190. Ditemukan juga variasi patahan ini
pada 3’ gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk p230. Daerah patahan ini
kemudian dikenal sebagai micro-bcr (µ-bcr). Tiga variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu
mayor, minor, dan mikro ternyata berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya. Pasien
LGK yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr berhubungan dengan trombositopenia, patahan di
m-bcr berhubungan dengan monositosis yang prominen, sedangkan patahan di µ-bcr
berhubungan dengan neutrofilia dan/atau trombositosis.1
Pada gambar 3, tampak bahwa p210BCR-ABL mempunyai potensi leukemogenesis dengan
cara sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai
aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini memiliki kemampuan untuk oto-fosforilasi
yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-
homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen
sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis.1
Gambar 3. Fusi Gen BCR-ABL1
Selanjutnya, fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam
sitoplasma, sehingga terjadilah transduksi sinyal yang yang bersifat onkogenik, seperti tampak
pada gambar 4 di bawah ini. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses
transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses
apoptosis.1
Gambar 4. Proses Aktivasi Sinyal Transduksi oleh Fusi Gen BCR-ABL1
Pada LGK, berbagai turunan myeloid, sel limfoid B dan mungkin sel limfoid T
mengekspresikan protein fusi BCR-ABL yang menunjukkan bahwa sasaran transformasi adalah
sel tunas pluripoten. Oleh sebab yang belum diketahui, efek BCR-ABL kinase yang terus
menerus aktif pada awal LGK, terutama tampak pada progenitor granulositik dan dengan derajat
yang lebih ringan, pada progenitor megakariositik.2
LGK secara alami berkembang lambat, bahkan tanpa pengobatan sekalipun, pasien dapat
diharapkan bertahan hidup 3 tahun. Setelah suatu periode yang bervariasi (sekitar 3 tahun),
sekitar 50% pasien masuk ke fase akselerasi. Pada fase ini, terjadi peningkatan anemia dan
trombositopeni, serta kadang-kadang eosinofilia darah tepi yang mencolok. Kelainan sitogenik
klonal lain, misalnya trisomi 8, isokromosom 17q, atau duplikasi Ph juga dapat ditemukan.
Dalam 6-12 bulan, fase percepatan berakhir dengan gambaran mirip dengan leukemia akut
(krisis blas). Di lain pihak, pada 50% sisanya krisis blas timbul secara mendadak tanpa diselingi
oleh fase percepatan. Pada 70% krisis blas, blas memperlihatkan gambaran morfologi dan
sitokimia mieloblas, sementara pada kebanyakan dari sisanya, blas mengandung enzim TdT dan
mengekspresikan penanda-penanda turunan B dini seperti CD 10 dan CD19. Meskipun jarang,
blas dapat mirip dengan sel T prekursor.
Epidemiologi
Kejadian LGK mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak
setelah leukemia limfositik kronik (LLK). Pada umumnya menyerang usia 40-50 tahun,
walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. Di Jepang, kejadiannya
meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia
setelah reactor Chernobil meledak.1
Insiden LGK adalah 1,5 per 100.000 orang per tahun dan insiden pada pria lebih tinggi
daripada wanita. Insiden LGK meningkat lambat sesuai pertambahan usia sampai pertengahan
usia 40 tahun akan meningkat cepat. Insiden LGK pada wanita agak menurun (1,8%) antara
tahun 1994 dan 2006 dibandingkan tahun 1975-1994.5
Manifestasi Klinis
Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase kronik, fase
akselerasi, dan fase krisis blas. Umumnya, saat diagnosis pertama kali ditegakkan, pasien masih
dalam fase kronis, bahkan seringkali diagnose LGK ditemukan secara kebetulan, misalnya saat
persiapan pra-operasi ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala infeksi.
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh perut terasa penuh atau cepat kenyang oleh
karena adanya splenomegali yang mendesak gaster. Kadang timbul nyeri mendadak seperti
diremas di perut kanan atas bila telah terjadi infark limpa. Keluhan lain sering tidak spesifik,
seperti cepat lelah, lemah, demam yang tidak terlalu tinggi, dan keringat malam. Penurunan berat
badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan gambaran
hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Hiperurikemia yang hebat dapat
mencetuskan nyeri yang hebat. Memar, epistaksis, dan pendarahan dari berbagai tempat bisa
terjadi oleh karena fungsi trombosit yang abnormal.
Tabel 6. Urutan Keluhan Pasien Berdasarkan Frekuensi1
Keluhan Frekuensi (%)
Splenomegali 95
Lemah 80
Penurunan BB 60
Hepatomegali 50
Keringat malam 45
Cepat kenyang 40
Perdarahan/purpura 35
Nyeri perut (infark limpa) 30
Demam 10
Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami
akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan pasien berada pada fase kronis, maka kelangsungan
hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi antara lain: leukositosis yang
sulit dikontrol dengan obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%,
promielosit >30%, dan trombosit <100.000. Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limpa yang
tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat,
timbul ptekie atau ekimosis bila disertai demam, biasanya ada infeksi. Diagnosis LGK pada fase
akselerasi menurut WHO, antara lain:
Blas 10-19% dari WBC pada darah tepi dan/atau dari sumsum tulang berinti
Basofil darah tepi atau sumsum tulang >20%
Trombositopenia persisten (<100.000) yang tidak dihubungkan dengan terapi,
atau trombositosis (>100.000) yang tidak responsif terhadap terapi
Peningkatan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada terapi
Perubahan sitogenik dengan abnormalitas baru selain kromosom Philadelphia
Fase krisis blas merupakan suatu perburukan dari tahap akselerasi mieloproliferatif.
Terjadi pada 80% pasien LGK. Fase ini ditandai dengan jumlah sel blas yang semakin
meningkat, adanya perdarahan, sepsis, dan pembesaran kelenjar getah bening. Gejala klinik pada
fase ini sama dengan leukemia akut dan jika sel blas mencapai lebih dari 100 000 per mm3 maka
penderita memiliki resiko terjadinya sindroma hiperleukositosis. Fase ini dibedakan dengan
leukemia akut di mana splenomegali tidak menonjol, basofilia dan adanya Ph’-2 kromosom.
Adapun kriteria tahap blas, antara lain:
Demam 5 hari tanpa adanya penyebab yang jelas
Darah tepi: mieloblas dan promielosit >30%
Hb <10,5 gr%, leukosit >30.000/mm3, trombosit <100.000/mm3
Sumsum tulang: mieloblas dan promielosit 30. Pada 20% kasus, sel blas adalah
limfoblas
Diagnosis klinis LGK fase krisis blas menurut WHO, antara lain:
Blas >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti
Proliferasi blas ekstramedular
Focus besar atau cluster sel blas dalam biopsy sumsum tulang
Penatalaksanaan
Secara umum tujuan terapi penderita LGK pada fase kronik adalah menghilangkan gejala
klinik dengan cara menurunkan leukositosis dan organomegali. Remisi komplit yaitu hilangnya
Ph’+ klon dan pergantian sel oleh sel normal jarang terjadi dengan pengobatan konvensional.
Walaupun demikian, dengan teknik transplantasi sumsum tulang, kesembuhan tersebut
memungkinkan, tujuan terapi LGK pada fase akselerasi dan blas adalah mengembalikan ke fase
kronik.
Pengobatan standar LMK fase kronik adalah dengan obat tunggal, walaupun kebanyakan
kasus jarang terjadi kesembuhan secara sempurna. Dengan pemberian obat tunggal tersebut akan
terjadi pengurangan organomegali dan leukosit dalam darah tepi menjadi normal tetapi
hiperplasia granulosit dan metaplasia Ph’+ di sumsum tulang tetap terjadi. Untuk menurunkan
kadar asam urat serum, allopurinol dapat diberikan. Transfusi trombosit dan eritrosit perlu
dilakukan bila terdapat anemia dan trombositopenia yang berat.
Hydroxyurea
Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologi pada LGK. Hidroksiurea lebih
efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan klorambusil. Efek mielosupresif masih berlangsung
beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat
menyebabkan anemia aplastik dan fibrosis paru.
Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Bila
leukosit >300.000, dosis boleh ditingkatkan sampai maksimal 2,5g/hari. Penggunaan dihentikan
sementara bila leukosit <8.000 atau trombosit <100.000. Interaksi obat dapat terjadi bila
digunakan bersamaan dengan 5-Fluorourasil (5-FU), menyebabkan neurotoksisitas.
Selama menggunakan obat ini, harus dilakukan pemantauan terhadap Hb, leukosit,
trombosit, fungsi ginjal, dan fungsi hepar.
Busulfan
Termasuk golongan alkil yang sangat kuat. Dosis 4-8mg/hari peroral, dapat ditingkatkan
hingga 12mg/hari. Pemakaian dihentikan bila leukosit antara 10.000 – 20.000, dan dimulai
kembali setelah leukosit >50.000. bila leukosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian busulfan
disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang baik.
Obat ini tidak dapat diberikan pada wanita hamil. Interaksi obat dengan asetaminofen,
siklofosfamid, dan itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan, sedangkan fenitoin akan
menurunkan efeknya. Efek samping busulfan adalah fibrosis paru dan supresi sumsum tulang
yang berkepanjangan.
Imatinib mesylate
Merupakan antibody monoclonal yang dibuat sebagai inhibitor spesifik dari protein
gabungan BCR-ABL1 untuk menghambat aktivitas tirosin kinase dengan cara bersaing pada
ikatan ATP. Imatinib merupakan obat lini pertama dalam penatalaksanaan LGK fase kronis.
Dosis 400mg/hari diberikan setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari bila
tidak mencapai respon hematologic setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai respon
yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik, yaitu Hb menjadi rendah dan/atau
leukosit meningkat dengan/tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan apabila
terjadi neutropeni berat (<500/mm3) atau trombositopeni berat (<50.000/mm3) atau peningkatan
sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat diberikan langsung
800mg/hari (400mg b.i.d).
Imatinib tidak dapat diberikan pada wanita hamil. Efek samping berupa reaksi
hipersensitivitas dapat timbul, walaupun sangat jarang. Interaksi obat dengan ketokonazol,
simvastatin, dan fenitoin akan meningkatkan efek imatinib mesilat.
Imatinib sangat efektif dalam menurunkan jumlah sel tumor di sumsum tulang dan harus
dipantau dengan pemeriksaan kariotip sumsum tulang bersama dengan pemeriksaan PCR
terhadap adanya transkripsi BCR-ABL di sumsum tulang atau darah tepi. Penilaian terhadap
respon diawali dengan penilaian sumsum tulang secara teratur 3 – 6 bulan untuk menilai
sitogenik metaphase. Respon sitogenik sempurna atau CCyR (complete cytogenetic response)
ditentukan berdasarkan tidak terdapatnya metaphase Ph-positif di sumsum tulang, dan apabila
CCyR tercapai, maka pemantauan dilanjutkan dengan perhitungan BCR-ABL dalam darah pada
rentang waktu tertentu. Respons optimal LGK terhadap imatinib adalah sebagai berikut:3
Respon hematologi komplit (hitung darah tepi normal) dan setidaknya terdapat respon
sitogenetik minimal (cytogenetic response/CyR) (Ph+ <95%) dalam 3 bulan
Setidaknya terdapat parsial CyR (Ph+ <35%) dalam 6 bulan
Komplit CyR dalam 12 bulan
Respons molecular mayor dengan setidaknya penurunan 3log pada transkripsi BCR-ABL
dalam 18 bulan (misalnya mencapai 0,1% atau lebih sedikit dari kadar sebelum
pengobatan)
Definisi gagal respons, antara lain:
Respon hematologi tidak komplit dalam 3 bulan
Tidak terdapat CyR (Ph+ >95%) dalam 6 bulan
Kurang dari parsial CyR (Ph+ >35%) dalam 12 bulan
Kurang dari CyR lengkap dalam 18 bulan
Kehilangan respon komplit yang sebelumnya pernah dicapai baik hematologi atau
sitogenetik.
Kondisi selain kondisi tersebut, didefinisikan sebagai respon suboptimal.
Pasien dengan respon optimal tetap melanjutkan imatinib, sedangkan pasien yang gagal
akan diobati dengan generasi kedua penghambat tirosin kinase atau transplantasi sumsum tulang.
Pasien dengan respon suboptimal dapat diobati dengan meningkatkan dosis imatinib mencapai
600 atau 800mg/hari, perubahan dalam terapi penghambat tirosin kinase, atau transplantasi sel
punca alogenik lebih awal.
Mekanisme resistensi penyakit terhadap pengobatan imatinib adalah terjadi mutasi dalam
protein gabungan BCR-ABL. Mutasi ini dapat dideteksi dengan mengurutkan gen BCR-ABL
dan pemeriksaan ini dilakukan pada banyak rumah sakit terhadap pasien yang gagal berespon
baik terhadap imatinib. Pola mutasi dapat digunakan untuk menentukan arah pengobatan untuk
memilih terapi lini kedua.
Jika transkripsi BCR-ABL pasien menjadi negatif, maka imatinib tidak dilanjutkan,
beberapa pasien tetap menjadi negatif. Untuk pasien yang menjadi positif kembali, lanjutan
imatinib biasanya akan menjadikan remisi negatif lebih lanjut. Imatinib dan beberapa obat
sejenis dalam perkembangannya sangat mungkin untuk dapat menyembuhkan beberapa pasien
LGK, tetapi dalam hal ini akan memerlukan pemantauan klinis lebih lama dari pada waktu
seharusnya.
Dasatinib dan Nilotinib
Dasatinib merupakan penghambat multikinase luas yang efektif pada kasus yang BCR-
ABL telah mengalami mutasi yang menyebabkan resisten terhadap imatinib. Obat ini secara luas
digunakan pada kasus tersebut meskipun retensi cairan dapat menjadi efek samping yang
bermasalah.
Nilotinib memiliki mekanisme kerja mirip dengan imatinib, namun memiliki afinitas
tinggi terhadap BCR-ABL kinase dan dapat efektif untuk kasus dengan mutasi resisten imatinib.
Baik nilotinib maupun dasatinib sekarang telah diuji banding dengan imatinib sebagai lini
pertama pengobatan LGK dan hasilnya, ternyata obat ini lebih unggul.
Interferon α-2a atau Interferon α-2b
Berbeda dengan imatinib, interferon tidak dapat menghasilkan remisi biologis walaupun
dapat mencapai remisi sitogenetik. Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai tercapai remisi
sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. berdasarkan data penelitian di Indonesia, dosis
yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2/hari. Saat ini sudah tersedia sediaan pegilasi
interferon, sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak perlu tiap hari.
Diperlukan premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian interferon
untuk mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flue-like syndrome. Komplikasi
lebih serius adalah anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien dapat mencapai
remisi jangka panjang dengan tidak adanya kromosom Ph pada pemeriksaan sitogenetik
meskipun gabungan BCR-ABL masih dapat terdeteksi dengan PCR. Interferon menyebabkan
perpanjangan fase kronik dengan peningkatan angka harapan hidup.
Interaksi obat dengan teofilin, simetidin, vinblastin, dan zidovudin dapat meningkatkan
efek toksik interferon. Hati-hati apabila diberikan pada usia lanjut, gangguan faal hepar dan renal
yang berat, serta pada pasien epilepsi.
Cangkok sumsum tulang
Merupakan terapi definitif untuk LGK. Data menunjukkan bahwa transplantasi sumsum
tulang dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada cangkok sumsum
tulang alogenik. Indikasi cangkok tulang, antara lain:1
1. Usia tidak lebih dari 60 tahun
2. Ada donor yang cocok, yaitu donor dengan HLA yang cocok dan tidak berelasi dengan
penerima
3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal
Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau BCR-
ABL negatif. Kekambuhan LGK setelah transplantasi merupakan masalah serius, namun infus
leukosit memiliki efektivitas tinggi pada LGK, khususnya bila kekambuhan didiagnosis dini
dengan pemeriksaan transkripsi BCR-ABL.3
Prognosis
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah diagnosis
ditegakkan. Saat ini, dengan ditemukannya beberapa obat baru, maka median kelangsungan
hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis
kombinasi hidrourea dan interferon, median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib
mesilat memberi hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup belum dapat
ditentukan karena masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung.1
Faktor – faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain:1
Pasien: lanjut usia, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti
penurunan BB, demam, dan keringat malam.
Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia,
kromosom Ph negatif, BCR-ABL negatif.
Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan
terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.
Hasil klinis pasien LGK bervariasi. Pada era pra-imatinib, kematian diperkirakan pada
10% pasien dalam 2 tahun dan sekitar 20% dalam lebih dari 2 tahun, serta median kelangsungan
hidup 4 tahun. Oleh karena itu, dikembangkan beberapa model prognostik. yang
mengidentifikasi kelompok risiko yang berbeda pada LGK. Prognostik yang paling banyak
digunakan adalah sistem staging yang berasal dari analisa multivariasi faktor prognostik.5
Indeks Sokal mengidentifikasi persentasi sirkulasi sel blas, ukuran limpa, jumlah
trombosit, usia, dan evolusi klonal sitogenik sebagai indikator prognostik terpenting. Sistem ini
dikembangkan berdasarkan pengobatan kemoterapi.5
Sistem Hasford dikembangkan berdasarkan pengobatan interferon α (IFN-α), yang
mengidentifikasi persentasi sirkulasi sel blas, ukuran limpa, jumlah platelet, usia, dan persentase
eosinofil dan basofil sebagai indikator prognostik terpenting. Sistem ini dibedakan dari sistem
sokal oleh pengabaian evolusi klonal dan penggabungan persentase eosinofil dan basofil. Ketika
diaplikasikan pada suatu data yang melibatkan 272 pasien yang telah diterapi dengan IFN-α,
sistem Hasford lebih baik daripada skor Sokal dalam memprediksi survival time. Sistem Hasford
mengidentifikasi lebih banyak pasien berisiko rendah, tetapi hanya tersisa sejumlah kecil kasus
pada kelompok berisiko tinggi. Hasil awal menunjukkan bahwa kedua sistem tersebut berlaku
untuk pasien yang telah diterapi oleh imatinib.
Pencegahan
Tidak ada pencegahan spesifik pada LGK mengingat leukemia merupakan salah satu
penyakit yang disebabkan oleh mutasi genetik atau suatu proses degenerasi. Upaya yang dapat
dilakukan adalah mencegah terjadinya mutasi genetik lebih dini. Menerapkan gaya hidup sehat
dan proteksi diri terhadap bahan-bahan karsinogenik merupakan cara terbaik.
Kesimpulan
Leukemia granulositik kronik adalah suatu penyakit mieloproliferatif yang bersifat kronik
dengan peningkatan sebagian besar myeloid sel di sumsum tulang oleh karena terjadinya
resiprokal translokasi pada kromosom 22 dan kromosom 9 dengan cirri khas adanya kromosom
Philadelphia. Perjalanan penyakit LGK dibagi dalam 3 fase yang digunakan dalam penentuan
terapi, yaitu fase kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
ditemukannya kromosom Ph pada pemeriksaan kromosom. Pada fase akselerasi, bisa ditemukan
adanya abnormalitas kromosom lain selain Ph.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. ed 4. Jakarta: FKUI; 2006.
2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. ed 7. Jakarta: EGC; 2007.
3. Hoffbrand AV, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. ed 6. Jakarta: EGC; 2013.
4. Kiswari R. Hematologi & Transfusi. Jakarta: Erlangga; 2014.
5. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s
principles of internal medicine volume 1. 18th ed. USA: McGraw-Hill; 2012.
6. Sacher RA, McPherson RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. ed 11.
Jakarta: EGC; 2004.
7. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: FK Ukrida; 2009.