43
BAB I Perubahan Fisiologis pada Janin Transisi fetus ke neonatus melibatkan perubahan fisiologis yang kompleks. Keterlambatan dalam proses adaptasi ini menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatus secara signifikan. Oleh karena itu penting bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses kelahiran untuk mengerti proses adaptasi fisiologis neonatus, sehingga dapat mempersiapkan alat – alat yang diperlukan dalam resusitasi, menilai risiko dan memprediksikan tindakan yang perlu diambil, serta melakukan tindakan resusitasi. 1 Sirkulasi Janin dalam Kandungan 1

Resusitasi Neonatus Finish

  • Upload
    epha

  • View
    1.104

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Resusitasi Neonatus Finish

BAB I

Perubahan Fisiologis pada Janin

Transisi fetus ke neonatus melibatkan perubahan fisiologis yang kompleks.

Keterlambatan dalam proses adaptasi ini menyebabkan peningkatan morbiditas dan

mortalitas neonatus secara signifikan. Oleh karena itu penting bagi seluruh pihak yang

terlibat dalam proses kelahiran untuk mengerti proses adaptasi fisiologis neonatus,

sehingga dapat mempersiapkan alat – alat yang diperlukan dalam resusitasi, menilai

risiko dan memprediksikan tindakan yang perlu diambil, serta melakukan tindakan

resusitasi. 1

Sirkulasi Janin dalam Kandungan

sumber : Professor Pat's Nursing Pages www. faculty.lagcc.cuny.edu/pdillon/FetalCirc/

1

Page 2: Resusitasi Neonatus Finish

Paru-paru janin dalam kandungan belum berfungsi dan pembuluh darah paru-paru

dalam keadaan konstriksi, sehingga janin tidak bernafas. Oleh karena itu seluruh

pertukaran gas dan metabolit diambil alih oleh plasenta. Ada 3 struktur

kardiovaskuler unik dari janin yang penting untuk mempertahankan sirkulasi paralel

yang dimiliki oleh janin, yaitu duktus venosus, foramen ovale dan duktus arteriosus.

Darah yang kaya oksigen dari plasenta mengalir melalui vena umbilical dan

terbagi 2 bagian, yaitu 50% darah masuk ke hati dan mengalami sirkulasi hepatik,

sementara sisanya melewati duktus venosus dan memasuki vena cava inferior dan

bergabung dengan darah yang miskin oksigen dari tubuh bagian bawah janin.

Kombinasi aliran darah ini akan memasuki jantung melewati atrium kanan, dan

sebagian besar langsung mengalir ke atrium kiri melalui foramen ovale. Sebagian

kecil darah yang tersisa akan bergabung dengan darah vena cava superior yang

berasal dari tubuh janin bagian atas , yang miskin akan oksigen, dan melewati katup

trikuspid menuju ventrikel kanan.

Dari ventrikel kanan, darah dipompa menuju paru melalui arteri pulmonalis.

Karena pembuluh darah paru mengalami konstriksi, maka hanya 10% darah yang

memasuki paru-paru, sisanya melewati duktus arteriosus menuju aorta desenden dan

bagian bawah tubuh janin. Setelah itu darah kembali ke plasenta melalui dua arteri

umbilikal. Sementara itu darah yang berada di atrium kiri melewati katup mitral

menuju ventrikel kiri dan dipompakan ke aorta ascenden, dan menuju bagian atas

tubuh janin.

Adaptasi Sistem Kardiovaskuler

Rendahnya resistensi pembuluh darah sistemik dan peranan dari foramen ovale

dan duktus arteriosus akan menyebabkan aliran right to left shunt pada sistem

sirkulasi janin. Penutupan tali pusat menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh

darah sistemik dan penutupan foramen ovale pada menit pertama dari kehidupan.

Karena tekanan yang besar dari sistemik, maka terjadi pembalikan aliran darah dalam

duktus arteriosus (left to right shunt). Namun karena duktus arteriosus baru menutup

beberapa hari atau minggu setelah kelahiran, dapat terjadi right to left shunt kembali

2

Page 3: Resusitasi Neonatus Finish

dalam sistem sirkulasi terutama pada saat resistansi pembuluh darah paru melebihi

tekanan sistolik sistemik, seperti pada keadaan meconium aspiration syndrome

(MAS). 1

Adaptasi Paru-paru1,4

Selama dalam kandungan, paru-paru janin terisi cairan dan tidak berfungsi dalam

pertukaran gas seperti pada neonatus. Walaupun ada konstriksi dari pembuluh darah

paru akibat keadaan hipoksemia relatif, peranan duktus arteriosus tetap menjamin

kecukupan oksigen janin.

Pada saat lahir, terjadi adaptasi paru- paru untuk menjamin pertukaran gas yang

efektif, antara lain mengeliminasi cairan yang ada dalam paru janin, memproduksi

surfaktan dan menstimulasi pusat pernafasan. Tekanan pada dinding dada saat janin

melewati jalan lahir berperan sedikit dalam eliminasi cairan paru janin. Sodium

channels di sel epitel alveoli memegang peranan utama dalam mengeliminasi cairan

dalam paru dan mekanisme ini diatur oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada

minggu – minggu terakhir kehamilan serta perubahan hormon menjelang kelahiran.

Penyerapan sodium melalui sodium channels menciptakan gradien osmotik yang

memungkinkan penyerapan air dalam paru sehingga udara dapat masuk dan mengisi

rongga paru. Surfaktan mengurangi ketegangan permukaan alveoli sehingga paru

dapat berkembang dan mencegah alveoli kolaps. Kematangan dari alveoli dan

jaringan kapiler bersamaan dengan produksi surfaktan yang mencukupi akan

menjamin pertukaran gas yang efektif.

Proses nafas spontan dimulai dari stimulasi inisial pada pusat pernafasan.

Hypercapnia, asidosis respiratorik, hypoxia serta rangsangan suhu dan taktil

dipercaya sebagai kunci utama yang mengaktifkan pusat pernafasan. 1

Adaptasi metabolisme

Dalam uterus, janin mendapat suplai glukosa sepenuhnya dari plasenta dan

sekitar umur 36 minggu terjadi peningkatan cadangan glukosa yang signifikan.

Ketika saat kelahiran semakin dekat, terjadi kenaikan kadar adrenalin, noradrenalin,

glukagon dan penurunan kadar insulin yang memungkinkan mobilisasi dari glukagon.

3

Page 4: Resusitasi Neonatus Finish

Cadangan ini menurun cepat jika tingkat kebutuhan yang tinggi tidak diimbangi

dengan suplai glukosa yang adekuat, sehingga menyebabkan keadaan hipoglikemia

pada bayi. 1

Adaptasi Suhu

Pengaturan suhu intrauterin merupakan suatu proses pasif yang tidak

membutuhkan pengeluaran energi janin, karena ditransfer oleh ibu melalui plasenta

dan uterus. Namun saat lahir, neonatus harus beradaptasi dengan suhu lebih rendah

dan keadaan basah dengan menciptakan panas sendiri. Selain itu, kulit yang tipis,

rasio luas permukaan tubuh tubuh dengan berat yang tinggi, insulin yang terbatas

dan cadangan metabolik yang rendah serta ketidakmampuan untuk menggigil

menyebabkan suhu tubuh bayi turun drastis sesaat setelah lahir.

Salah satu proses adaptasi fisiologis penting yang akan menentukan kesuksesan

neonatus untuk bertahan hidup dalam lingkungan di luar uterus adalah kemampuan

utuk menciptakan panas melalui non shivering thermogenesis (NST), yang dimulai

sesaat setelah lahir. NST merupakan proses yang tergantung pada oksigen

berdasarkan protein tak terkonyugasi yang ada pada jaringan lemak coklat (brown

adipose tissue), yang akan memicu uncoupling ATP pada mitokondria saat oksidasi

asam lemak.

Oleh karena itu, pada bayi yang baru lahir, keadaan hipoksia akan menyebabkan

kegagalan produksi panas yang menyebabkan hipotermia. Keadaan ini akan

menyebabkan kenaikan proses metabolik dalam tubuh dan meningkatkan kebutuhan

oksigen dan konsumsi energi. Selain itu, keadaan hipoksia memicu pergeseran

metabolisme dari aerob ke anaerob yang dapat menyebabkan asidosis metabolik.

Lebih lanjut, keadaan ini dapat menimbulkan hipertens pulmonal menetap dan

menyebabkan sirkulasi neonatus bergeser seperti sirkulasi janin dalam uterus

sehingga memperburuk hipoksia. Oleh karena itu, mencegah kehilangan panas pada

bayi yang baru lahir merupakan hal vital dalam resusitasi neonatus, terutama pada

neonatus yang mengalami gangguan pernafasan. 1

4

Page 5: Resusitasi Neonatus Finish

Bab II

Penilaian Risiko

Antisipasi untuk kebutuhan resusitasi dapat ditentukan dengan melakukan penilaian yang

seksama mengenai risiko. Dengan mengevaluasi faktor risiko ibu dan janin terhadap

peristiwa intrapartum dan postpartum, kebutuhan untuk resusitasi dapat dikenali pada

lebih dari setengah neonatus. Ada beberapa metode yang digunakan untuk mengevaluasi

keadaan janin selama periode intrapartum. Tujuan utama dari metode ini adalah untuk

mendeteksi hipoksia-iskemia pada janin, yang dapat mengakibatkan morbiditas dan

mortalitas yang signifikan pada neonatus. Dengan demikian, informasi yang

dikumpulkan dari penilaian intrapartum dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan

yang mungkin diperlukan untuk resusitasi.2

1. Pemantauan Denyut Jantung Janin

Ada dua metode yang biasa digunakan untuk mendeteksi laju jantung janin

intrapartum, yaitu: Continuous Electronic Fetal heart rate Monitoring (EFM) dan

Intermittent Auscultation (IA).

Electronic Fetal heart rate Monitoring (EFM), merekam perubahan relatif laju

jantung janin terhadap kontraksi uterus, telah menggantikan IA di kebanyakan institusi

dan dipertimbangkan sebagai metode utama dalam mengevaluasi keadaan janin.

Tujuan utama dari EFM adalah untuk mengidentifikasi janin dengan hypoxic

acidemia. EFM terdiri dari komponen akselerasi dan variabilitas laju jantung janin. Jika

terjadi penurunan variabilitas dan deselerasi laju jantung janin adalah indikasi terjadinya

fetal distress. EFM mempunyai keakuratan 90% dalam meramalkan nilai Apgar menit ke

5. ( Tabel 1).

5

Page 6: Resusitasi Neonatus Finish

sumber : http://www.fetalmonitorstrips.com/learn_more.html

Tabel 1

Nilai APGAR

Tanda 0 1 2

Warna

kulit

Seluruh tubuh

biru/ pucat

Tubuh

kemerahan,

ekstremitas biru

Seluruh tubuh

kemerahan

Laju

jantung

Tidak ada <100 >100 x/ menit

Refleks Tidak bereaksi Gerakan sedikit Reaksi melawan

Tonus otot Tidak ada

pergerakan

Ekstremitas

fleksi sedikit

Gerakan aktif

Usaha

napas

Tidak ada Lambat Menangis kuat

2. Scalp and Acoustic Stimulation

Fetal scalp stimulation melibatkan penggunaan jari atau alat untuk menekan vertex

janin. Pemeriksaan ini dilakukan jika serviks telah dilatasi dan ketuban pecah sehingga

alat berukuran kecil seperti penghapus pensil dan terbuat dari plastik dapat dimasukan.

Elektroda berupa kawat spiral diletakkan dibawah kulit kepala bayi. Karena monitor ini

6

Page 7: Resusitasi Neonatus Finish

menempel langsung pada bayi, sinyal denyut jantung janin kadang lebih jelas dan

konsisten daripada peralatan monitor eksternal seperti contohnya EFM.

sumber : https://www.beaumonthospitals.com/files/health-library/images/em_1986.gif

Acoustic stimulation adalah suatu pemeriksaan yang tidak invasif dimana sebuah

alat elektronik ditempatkan pada perut ibu, kemudian alat tersebut akan mengirimkan

suara kepada janin. Dari hasil yang diperoleh, jika laju jantung janin meningkat lebih dari

15 kali per menit diatas nilai normal selama lebih dari 15 menit, hal ini mungkin

menandakan janin mengalami asidosis.

3. Biophysical Profile Score

Penelitian telah menunjukkan beberapa keuntungan menggunakan Biophysical

Profile Score. Biophysical Profile Score menyediakan suatu ukuran langsung dan akurat

dari oksigenasi jaringan yang normal dengan kombinasi penilaian yang sonographic dari

(1) pergerakan nafas janin, (2) kereaktifan denyut jantung, (3) pergerakan seluruh tubuh,

(4) tonus janin, (5) volume cairan amnion. Setiap parameter diberi skor 0 ( jika kriteria

tidak terpenuhi) atau 2 (jika kriteria terpenuhi), dengan 0/0 adalah skor terendah yang

dapat dicapai dan 10/10 adalah skor yang paling tinggi. Skor >8 mengindikasikan

oksigenasi jaringan normal, score 0-4 kemungkinan terjadi asidosis dan berisiko tinggi

terjadi asfiksia dalam 1 minggu jika tidak ada intervensi. Skor 6 adalah meragukan. (

Tabel 2).

7

Page 8: Resusitasi Neonatus Finish

Table 2

Biophysical Profile Tests dan Kriteria

Biophysical Profile Test Kriteria

(0 poin jika kriteria tidak

terpenuhi)

Kereaktifan denyut jantung 2 poin jika reaktif

Pergerakan nafas janin 2 poin jika 1 episode nafas ritmik

atau lebih selama dari 20 detik

dalam periode 30 menit.

Tonus janin 2 poin jika ada 1 atau lebih

episode ekstensi ekstremitas

atau spinal dan kembali ke posisi

fleksi.

Volume cairan amnion 2 poin jika ada 1 kantung cairan

dengan ukuran lebih dari 2 cm

pada axis vertical.

Pergerakan seluruh tubuh (Fetal

Ultrasound)

2 poin untuk 2 atau lebih tubuh

yang terpisah atau pergerakan

tangan selama 30 menit.

Adapted from: Manning FA. Fetal biophysical profile. UpTo Date 15.3. May 3, 2006.

4. Fetal Pulse Oximetry

Fetal pulse oximetry adalah metode lain yang sekarang ini digunakan untuk menilai

janin intrapartum. Ada tiga sistem yang telah dikembangkan dan digunakan secara

komersial. Yaitu Sensor OB Scientific, Nonin Medical System dan Nellcor Sensor. Alat-

alat ini digunakan untuk mendeteksi saturasi oksigen janin. Jika SpO2 janin >30%,

menandakan saturasi oksigen janin baik dan tidak terjadi asidosis. Tapi jika SpO2 <30%,

menandakan saturasi oksigen janin tidak baik dan mungkin terjadi asidosis. Dan jika

8

Page 9: Resusitasi Neonatus Finish

SpO2 <30% menetap lebih dari 10menit, hal ini mungkin memprediksikan pH kulit kepala

kurang dari 7.2 dan memperlukan resusitasi intrauterin atau mempercepat kelahiran.

5. Fetal Doppler Ultrasound Study

Fetal Doppler Ultrasound Study adalah suatu metoda untuk mengevaluasi keadaan

janin yang sering digunakan bersama dengan Biophysical Profile Score. Fetal

Doppler Study menggunakan indeks denyut nadi dan bentuk gelombang percepatan arus

sebagai parameter diagnostik dan untuk menilai prognosis adaptasi janin. Ada beberapa

jenis Doppler yang digunakan untuk mengevaluasi ibu, janin dan sirkulasi plasenta.

Pertama, Doppler A. Uterina. Sering digunakan pada trimester kedua untuk menilai

efek sirkulasi ibu pada janin. Informasi yang didapat bermanfaat dalam memprediksikan

adanya pre-eclampsia dan keterlambatan pertumbuhan janin di dalam kandungan. Kedua,

Doppler A. Umbilikalis. Menilai efek defisiensi plasenta di berbagai sistem organ pada

janin, dan jika ditemukan adanya defisiensi plasenta akan menyebabkan keterlambatan

pertumbuhan janin dalam kandungan.

9

Page 10: Resusitasi Neonatus Finish

Bab III

Efek Anestesi pada Neonatus selama Persalinan

Selama proses persalinan dan kelahiran, keadaan janin dapat dipengaruhi obat-

obat analgesia dan anestesi yang digunakan, sehingga pemilihan obat-obatan ini harus

benar-benar diperhatikan. 2,3

I. Transmisi obat melalui plasenta

Obat yang digunakan selama proses persalinan dan kelahiran dapat mempengaruhi janin

melalui sirkulasi uteroplasental. Obat-obatan anestesi lokal dan golongan narkotik mudah

menembus sirkulasi uteroplasental.

II. Analgesia

a. Opioid

Obat-obatan golongan opioid intravena mudah ditransmisikan melalui sirkulasi

uteroplasenta dan dapat menyebabkan depresi nafas. Golongan morfin dapat

menyebabkan depresi nafas yang berat pada janin.

b. Antagonis opioid

Naloxone dapat digunakan untuk mengembalikan depresi nafas pada janin yang

diakibatkan penggunaan opioid.

c. Sedatif atau transquilizer

Barbiturat dapat melewati plasenta dengan cepat, mengakibatkan somnolen dan

hipoventilasi yang dapat berlangsung selama beberapa hari.

Pemberian diazepam pada dosis besar dapat menyebabkan hipotonia, lethargy, poor

feeding, dan gangguan termoregulasi, yang dapat bertahan selama beberapa hari.

Ketamin dalam dosis >1mg/kg dapat menyebabkan depresi pada neonatus. Namun, dosis

ketamin yang biasanya digunakan pada proses persalinan sebesar 0.1-0.2 mg/kg

merupakan batas yang aman.

10

Page 11: Resusitasi Neonatus Finish

d. Anestesi untuk operasi

a. Anestesi spinal

Abnormalitas pada neonatus sangat jarang terjadi dibandingkan dengan anestesi umum.

Dosis obat pada maternal dan fetal sangat rendah sehingga jarang mengakibatkan

abnormalitas.

b. Anestesi epidural

Terjadi transmisi dari obat anestesi, akan tetapi efek obat hanya dapat dideteksi dari

pemeriksaan fungsi luhur.

c. Anestesi umum

Thiopental ( 4mg/kg) digunakan untuk induksi pada anestesi umum. Nilai

APGAR tidak dipengaruhi thiopental dengan dosis 4mg/kg/dosis

Ketamin (1mg/kg) digunakan dalam induksi anestesi. Efek setelah pemberian

ketamin lebih baik daripada penggunaan thiopental.

Pelemas otot melewati sirkulasi uteroplasental dalam jumlah yang kecil sehingga

hanya mengakibatkan efek minimal pada neonatus.

Nitrous Oxide melewati plasenta dengan cepat. Pada pemberian konsentrasi yang

tinggi dapat mengakibatkan nilai APGAR yang rendah. Pemberian dengan

konsentrasi sampai dengan 50% masih merupakan batas yang aman, akan tetapi

neonatus membutuhkan suplementasi oksigen setelah kelahiran.

Zat anestesi halogen ( isoflurane, enflurane, sevoflurane, desflurane, dan

halothane) pada penggunaan dengan konsentrasi yang rendah, jarang

mengakibatkan anestesia pada neonatus. Pada penggunaan dengan konsentrasi

yang tinggi dapat menurunkan kontraktilitas uterus sehingga setelah proses

kelahiran, konsentrasinya harus diturunkan untuk mengurangi risiko terjadinya

atonia uteri.

11

Page 12: Resusitasi Neonatus Finish

Bab IV

LANGKAH-LANGKAH RESUSITASI NEONATUS

Neonatus aterm yang cairan ketubannya jernih dan bersih dari mekonium,

langsung bernafas, menangis, dan tonus ototnya baik memerlukan perawatan rutin,

seperti mengeringkan, menghangatkan, dan membersihkan jalan nafas dengan balon

penghisap atau kateter penghisap. Sebaliknya, neonatus yang tidak memenuhi kriteria di

atas memerlukan langkah-langkah resusitasi. Nilai Apgar dapat digunakan untuk

menentukan perlu tidaknya resusitasi.

Langkah-langkah resusitasi neonatus antara lain:

1. Stabilisasi

2. Ventilasi

3. Kompresi dada

4. Penggunakan medikasi

Setiap langkah memerlukan waktu 30 detik untuk menuju ke langkah berikutnya. Untuk

menuju ke langkah berikutnya diperlukan penilaian terhadap respirasi, detak jantung, dan

kulit bayi. Contohnya, apnea dan gasping merupakan indikasi bantuan ventilasi.

Peningkatan atau penurunan detak jantung dapat menunjukkan kondisi perbaikan atau

perburukan. Sianosis sentral, penurunan cardiac output, hipotermia, asidosis, atau

hipovolemia merupakan indikasi dari resusitasi lebih lanjut.2,7

12

Page 13: Resusitasi Neonatus Finish

Sumber : E1029 : 2005 American Heart Association (AHA) Guidelines for Cardiopulmonaryand Neonatal Patients: Neonatal Resuscitation GuidelinesResuscitation (CPR) and Emergency Cardiovascular Care (ECC) of Pediatric . Illinois: American Academy of Pediatrics . 2006.

13

Page 14: Resusitasi Neonatus Finish

Langkah Awal Resusitasi

Langkah awal untuk memulai resusitasi meliputi mengurangi pengeluaran panas,

memposisikan kepala pada sniffing position untuk membuka jalan nafas, membersihkan

jalan nafas, dan memberikan rangsangan.

1. Menghangatkan

Termoregulasi merupakan aspek penting dari langkah awal resusitasi. Hal ini dapat

dilakukan dengan meletakkan neonatus di bawah radiant warmer. Sebaiknya bayi yang

diletakkan di bawah radiant warmer dibiarkan tidak berpakaian agar dapat diobservasi

dengan baik serta mencegah terjadinya hipertermi. Bayi yang dengan berat kurang dari

1500 gram, mempunyai risiko tinggi terjadinya hipotermi. Untuk itu, sebaiknya bayi

tersebut dibungkus dengan plastik, selain diletakkan di bawah radiant warmer. Tujuan

dari resusitasi neonatus yaitu untuk mencapai normotermi dengan cara memantau suhu,

sehingga tidak terjadi hipertermi iatrogenik.2,7,10

2. Memposisikan Kepala dan Membersihkan Jalan Nafas

Setelah diletakkan di bawah radiant warmer, bayi sebaiknya diposisikan terlentang

dengan sedikit ekstensi pada leher pada posisi sniffing position. Kemudian jalan nafas

harus dibersihkan. Jika tidak ada mekonium, jalan nafas dapat dibersihkan dengan hanya

menyeka hidung dan mulut dengan handuk, atau dapat dilakukan suction dengan

menggunakan bulb syringe atau suction catheter jika diperlukan. Sebaiknya dilakukan

suction terhadap mulut lebih dahulu sebelum suction pada hidung, untuk memastikan

tidak terdapat sesuatu di dalam rongga mulut yang dapat menyebabkan aspirasi. Selain

itu, perlu dihindari tindakan suction yang terlalu kuat dan dalam karena dapat

menyebabkan terjadinya refleks vagal yang menyebabkan bradikardi dan apneu. 2,7

14

Page 15: Resusitasi Neonatus Finish

sniffing position

source : http://www.cgmh.org.tw/intr/intr5/c6700/N%20teaching/Neonatal%20Resuscitation%20Supplies%20and%20Equipment.htm l//

Jika terdapat mekonium tetapi bayinya bugar, yang ditandai dengan laju nadi

lebih dari 100 kali per menit, usaha nafas dan tonus otot yang baik, lakukan suction pada

mulut dan hidung dengan bulb syringe ( balon penghisap ) atau kateter penghisap besar

jika diperlukan. 5,7

Pneumonia aspirasi yang berat merupakan hasil dari aspirasi mekonium saat

proses persalinan atau saat dilakukan resusitasi. Oleh karena itu, jika bayi menunjukan

usaha nafas yang buruk, tonus otot yang melemah, dan laju nadi kurang dari 100 kali per

menit, perlu dilakukan suction langsung pada trachea dan harus dilakukan secepatnya

setelah lahir. Hal ini dapat dilakukan dengan laringoskopi langsung dan memasukan

kateter penghisap ukuran 12 French (F) atau 14 F untuk membersihkan mulut dan faring

posterior, dilanjutkan dengan memasukkan endotracheal tube, kemudian dilakukan

suction. Langkah ini diulangi hingga keberadaan mekonium sangat minimal. 5,6,7

Source : http://www.firstaidmonster.com/popup_image.php/pID/7122

15

Page 16: Resusitasi Neonatus Finish

sumber: http://healthprofessions.missouri.edu/cpd/RT/CRCE/nrpinfo.php

Sumber : http://journal.medscape.com/content/1999/00/43/71/437101/437101_fig.html

3. Mengeringkan dan Memberi Rangsangan

Ketika jalan nafas sudah dibersihkan, bayi dikeringkan untuk mencegah terjadinya

kehilangan panas, kemudian diposisikan kembali. Jika usaha nafas bayi masih belum

baik, dapat diberikan rangsang taktil dengan memberikan tepukan secara lembut atau

menyentil telapak kaki, atau dapat juga dilakukan dengan menggosok-gosok tubuh dan

ekstremitas bayi. 2,7

Penelitian laboratotium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama yang

berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal pernapasan

16

Page 17: Resusitasi Neonatus Finish

yang cepat maka peride selanjutnya disebut apnu primer. Rangsangan seperti

mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan menimbulkan pernapasan.7

Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan melakukan

beberapa usaha bernapas megap – megap dan kemudian masuk ke dalam periode apnu

sekunder. Selama masa apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali

usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan dengan ventilasi tekanan positif

harus diberikan untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen. Frekuensi jantung

akan mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer , tekanan darah akan tetap

bertahan sampai dimulainya apnu sekunder.7

sumber : http://www.fac.org.ar/scvc/llave/epi/niermeye/nierf3.gif

4. Evaluasi Pernafasan, Laju Nadi, dan Warna Kulit

Langkah terakhir dari langkah awal resusitasi yaitu evaluasi pernafasan, laju nadi dan

warna kulit. Pergerakan dada harus baik dan tidak ada megap megap (gasping ). Gasping

menunjukkan adanya usaha nafas yang tidak efektif dan memerlukan ventilasi tekanan

positif. Selain itu, laju nadi harus lebih dari 100 kali per menit, yang diukur dengan cara

melakukan palpasi tekanan nadi di daerah dasar umbilikus, atau dengan auskultasi

dinding dada sebelah kiri. Jika laju nadi kurang dari 100 kali per menit, segera lakukan

ventilasi tekanan positif.

17

Page 18: Resusitasi Neonatus Finish

sumber : http://healthprofessions.missouri.edu/cpd/RT/CRCE/nrpinfo.php

Penilaian warna kulit dapat dilakukan dengan memperhatikan bibir dan batang tubuh

bayi untuk menilai ada tidaknya sianosis sentral. Sianosis sentral menandakan terjadinya

hipoksemia, sehingga perlu diberikan oksigen tambahan. Jika masih terjadi sianosis

setelah diberikan oksigen tambahan, ventilasi tekanan positif perlu dilakukan, bahkan

dengan laju nadi lebih dari 100 kali per menit. Jika sianosis sentral masih terjadi dengan

ventilasi tekanan positif yang adekuat, perlu dipikirkan adanya penyakit jantung bawaan

atau adanya hipertensi pulmoner yang persisten.

PENILAIAN DAN PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS 2

Penilaian Jalan Nafas

Seperti yang sudah disebutkan, penilaian dan penatalaksanaan dari jalan nafas

dapat dilakukan dengan cara pembersihan jalan nafas, memposisikan bayi pada sniffing

position untuk membuka jalan nafas. Selain itu, dapat pula dilakukan evaluasi terhadap

laju nadi dan warna kulit bayi. Evaluasi ini harus dilakukan dengan baik karena bila ada

salah satu tanda vital yang abnormal, akan segera membaik jika diberikan ventilasi. Jadi,

di dalam resusitasi neonatus, pemberian ventilasi yang adekuat merupakan langkah yang

paling penting dan paling efektif.

Pemberian Oksigen

Pemberian oksigen diperlukan apabila neonatus dapat bernafas, laju nadi lebih

dari 100 kali per menit, tetapi masih terjadi sianosis sentral. Oksigen aliran bebas oksigen

18

Page 19: Resusitasi Neonatus Finish

diberikan dengan cara dialirkan ke hidung bayi secara pasif, dapat diberikan

menggunakan sungkup, T-piece resuscitator, atau selang oksigen (oxygen tubing) sesuai

dengan cara yang diperlukan. Untuk memastikan neonatus mendapatkan oksigen dengan

konsetrasi tinggi, sungkup harus diletakkan menempel pada wajah, agar menciptakan

tekanan yang setara dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) atau Positive

End Expiratory Pressure (PEEP). Jika menggunakan selang oksigen, posisi tangan harus

dibentuk seperti mangkok di ujung selang dan diletakkan di depan wajah bayi. Oksigen

tidak boleh diberikan lebih dari 10 liter per menit (LPM) untuk waktu yang lama.

Oksigen cukup diberikan dengan aliran 5 LPM dalam resusitasi. 2,11,12

Standar oksigen yang digunakan dalam resusitasi neonatus yaitu oksigen 100%.

Terdapat penelitian yang meneliti penggunaan udara ruangan (oksigen 21%) dan oksigen

100% untuk resusitasi neonatus. Disebutkan bahwa penggunaan oksigen 100% dapat

merugikan selama masa post asfiksia, hal ini berdasarkan teori :

1. Pada observasi in vitro , produksi oksigen radikal saat reoksigenasi hipoksia

bergantung pada konsentrasi oksigen

2. peningkatan konsentrasi hipoxantine di plasma selama hipoksia mencapai level

lebih tinggi pada saat resusitasi. Karena hipoxantine terakumulasi pada neonatus yang

asfiksia , maka dapat kita artikan bahwa limitasi oksigen pada masa post asfiksi secara

potensial dapat mengurangi luka akibat akumulasi dari oksigen radikal.

3. Selain itu hiperoksia memperlambat aliran darah pada bayi aterm maupun

preterm dan pemberian oksigen 100% saat persalinan dapat menyebabkan penurunan

aliran darah jangka panjang pada bayi preterm.

Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa mortalitas neonatus lebih rendah pada

penggunaan oksigen 21% daripada oksigen 100% ( 5,8 % dan 9,5% ) dan pada neonatus

preterm juga berlaku hal yang sama yaitu mortalitas pada penggunaan oksigen 21% lebih

rendah daripada oksigen 100% ( 21 % dan 35 % ). Hal ini menunjukkan resusitasi

menggunakan oksigen 21% ( udara ruangan) tampaknya potensial sebagai strategi untuk

menurunkan mortalitas neonatus bahkan pada neonatus preterm. Ini dapat berimplikasi

terhadap aturan di negara berkembang yang masih mencari cara lebih murah namun

dapat menurunkan angka kematian pada neonatus maupun bayi. 11, 12

19

Page 20: Resusitasi Neonatus Finish

Penggunaan oksigen memiliki efek samping seperti dapat merusak paru-paru dan

jaringan, terutama pada bayi prematur. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya

penggunaan oksigen dengan konsentrasi kurang dari 100%, yang dapat diperoleh dengan

menggunakan oxygen blender yang dapat mencampur oksigen dan udara untuk

menghasilkan konsentrasi udara yang diinginkan. Pada bayi yang menderita penyakit

jantung bawaan, penggunaan oksigen 100% dapat mengganggu perfusi jaringan. Secara

umum, saturasi oksigen harus dijaga antara 85-95%, dimana 70-80% didapatkan pada

menit awal kehidupan. 7,10

Pemberian oksigen tambahan juga diberikan pada bayi yang memerlukan ventilasi

tekanan positif. Indikasi dari ventilasi tekanan positif dengan oksigen tambahan antara

lain:

1. Bayi yang apnea

2. Laju nadi kurang dari 100 kali per menit setelah 30 detik

3. Terjadi sianosis sentral setelah diberikan oksigen tambahan

20

Page 21: Resusitasi Neonatus Finish

Ventilasi Tekanan Positif pada Bayi Aterm

Beberapa penelitian menunjukkan pada bayi yang mengalami apnea atau gasping

(megap megap), pemberian ventilasi tekanan positif dengan kecepatan 40-60 kali per

menit dengan oksigen 100% merupakan cara yang efektif untuk memcapai laju nadi

lebih dari 100 kali per menit. Tekanan yang diperlukan untuk dapat melakukan ventilasi

tekanan positif pada bayi aterm dan preterm dengan efektif yaitu antara 30-40 cm H2O,

walaupun dengan tekanan 20 cm H2O sudah cukup efektif. Tanda dari ventilasi yang

adekuat yaitu adanya peningkatan dari laju nadi. Apabila tidak terjadi peningkatan laju

nadi, reposisi ulang kepala dan sungkup, serta bersihkan kembali jalan nafas atau lakukan

suction lagi. Bila masih gagal dengan ventilasi yang non-invasif, perlu dilakukan

intubasi.

Ventilasi Tekanan Positif pada Bayi Preterm

Paru-paru pada bayi preterm lebih mudah terluka oleh volume inflasi yang besar,

sehingga lebih sulit untuk dilakukan ventilasi. Tekanan sebesar 20-25 cm H2O sudah

cukup adekuat dalam ventilasi pada bayi preterm. Pada bayi yang menunjukkan tanda-

tanda pernapasan yang buruk dan/atau sianosis dapat digunakan Continuous Positive

Airway Pressure (CPAP) sekitar 4-6 cm H2O. Sama seperti bayi aterm, jika masih gagal,

perlu dilakukan intubasi.

21

sumber : http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u04/u04b_p01.html//

sumber : www.emergent.in/images/Neopuff.gif

Page 22: Resusitasi Neonatus Finish

Alat-alat Ventilasi 7

Ventilasi pada neonatus dapat menggunakan beberapa macam alat seperti:

1. Self-inflating bags

2. Flow-inflating bag

3. T-piece resuscitator

4. Laryngeal mask airways

5. Endotracheal tube

Self-inflating bags merupakan alat yang paling banyak dipakai dalam ventilasi manual.

Alat ini memiliki katup pengaman yang menjaga tekanan inflasi sebesar 35 cm H2O.

Namun katup pengaman ini kurang efektif bila digunakan terlalu kuat. Positive End-

Expiratory Pressure (PEEP) dapat diberikan apabila katup PEEP disambungkan. Tetapi

self-inflating bags tidak dapat menggunakan CPAP. Selain itu, self-inflating bags tidak

dapat digunakan untuk mengalirkan oksigen aliran bebas (free-flow oxygen).

Sumber : http://www.nzdl.org/gsdl/collect/who/archives/HASH0176.dir/p05.gif

Flow-inflating bags atau balon tidak mengembang sendiri dapat mengembang apabila ada

sumber gas. Alat ini tidak memiliki katup pengaman, namun dengan alat ini dapat

dilakukan PEEP atau CPAP karena adanya katup yang dapat mengatur aliran udara.

Selain itu, dengan alat ini dapat dialirkan oksigen aliran bebas dan lebih baik dalam

resusitasi neonatus.

T-piece resuscitator merupakan alat yang dapat mengatur aliran udara serta juga dapat

membatasi tekanan yang diberikan. Tekanan inflasi yang diinginkan dan waktu inspirasi

lebih stabil dengan alat ini dibandingkan dengan self-inflating bags dan flow-inflating

22

Page 23: Resusitasi Neonatus Finish

bags. Selain itu, dengan alat ini dapat dilakukan PEEP dan dapat mengalirkan oksigen

aliran bebas.

Laryngeal mask airway (LMA) merupakan alat yang dapat digunakan apabila

penggunaan sungkup sudah tidak efektif. Ukuran yang biasa digunakan yaitu 1.

Sumber : http://www.hospitalmanagement.net/contractor_images/intersurgical_2/5_solus.jpg

Indikasi penggunaan endotracheal tube antara lain: 7,8,9

1. Penghisapan mekonium dari trakea

2. Saat ventilasi menggunakan sungkup sudah tidak efektif

3. Koordinasi dengan kompresi dada

4. Penggunaan Epinefrin

5. Keadaan resusitasi khusus (seperti hernia diafragma kongenital)

Untuk mengurangi terjadinya hipoksia saat melakukan intubasi, sebaiknya dilakukan pre-

oksigenasi, dengan cara memberikan oksigen aliran bebas selama 20 detik. Biasanya

digunakan blade yang lurus pada tindakan ini. Blade no.1 digunakan untuk bayi aterm,

no.0 untuk bayi preterm, dan no.00 untuk bayi yang sangat preterm. Ukuran dari

endotracheal tube dipilih berdasarkan berat dari neonatus. 9

Posisi dari endotracheal tube yang benar dapat ditandai dengan peningkatan laju nadi,

adanya pengeluaran CO2, terdengarnya suara nafas, pergerakan dinding dada, adanya

embun pada selang, dan tidak ada distensi abdomen saat ventilasi. Apabila tidak ada

peningkatan dari laju nadi dan tidak ada pengeluaran CO2, posisi dari endotracheal tube

harus diperiksa dengan laringoskop. 7,9

Ukuran ET Berat (gram) Usia gestasi (minggu)

23

Page 24: Resusitasi Neonatus Finish

2,5 <1000 <28

3,0 1000-2000 28-34

3,5 2000-3000 34-38

3,5-4,0 >3000 > 38

Kompresi Dada10

Kompresi dada harus dilakukan apabila laju nadi kurang dari 60 kali per menit

walaupun sudah dilakukan ventilasi secara adekuat dengan pemberian oksigen tambahan

selama 30 detik. Kompresi dada harus dilukan dengan kecepatan 90 kali per menit

dengan perbandingan kompresi dengan ventilasi 3:1 (90:30). Kompresi dilakukan di

bawah sela iga ketiga dengan kedalaman sepertiga dari diameter anterior dan posterior.

Ada 2 cara yang dapat digunakan, yaitu dengan metode 2 jari (2 finger method) dan

metode ibu jari ( thumb method).

Metode ibu jari lebih direkomendasikan karena tidak cepat lelah dan dapat

mengatur kedalaman tekanan dengan baik. Selain itu, menurut beberapa penelitian,

metode tangan melingkari dada menghasilkan tekanan sistolik, diastolik, mean arterial

pressure, dan perfusi jaringan yang lebih baik daripada metode 2 jari. Metode 2 jari

digunakan apabila dibutuhkan akses ke umbilikus untuk memasang umbilical catheter.

Setelah dilakukan kompresi dada selama 30 detik, lakukan penilaian kembali

terhadap laju nadi, laju pernafasan, dan warna kulit. Kompresi dada harus dilakukan

sampai laju nadi lebih dari atau sama dengan 60 kali per menit secara spontan.

Penghentian Resusitasi 10

Di dalam persalinan, ada kondisi dimana tidak dilakukan resusitasi, antara lain

bayi dengan masa gestasi kurang dari 23 minggu, bayi dengan berat lahir kurang dari 400

gram, anencephaly, dan bayi yang dipastikan menderita trisomi 13 dan 18. Sedangkan

penghentian resusitasi dapat dilakukan apabila tidak terjadi sirkulasi spontan dalam

waktu 15 menit.

24

Page 25: Resusitasi Neonatus Finish

25

Page 26: Resusitasi Neonatus Finish

Bab V

Medikasi

1. Epinefrin

Epinefrin sangat penting penggunaannya dalam resusitasi, terutama saat oksigenasi

dengan ventilasi dan kompresi dada tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Epinefrin

dapat menyebabkan vasokontriksi perifer, meningkatkan kontraktilitas jantung, dan

meningkatkan frekuensi jantung. Dosis yang digunakan 0.01-0.03 mg/kg yang dapat

diberikan IV atau dosis yang lebih tinggi 0.03 sampai 0.1 mg/kg melalui pipa

endotrakeal. Pemberian ini dapat diulang setiap 3-5 menit sekali. 2,3,13

2. Volume expanders

pada neonatus yang membutuhkan resusitasi, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya

hipovolemia terutama pada neonatus dengan respons yang tidak adekuat terhadap

resusitasi yang diberikan. Volume expanders yang dapat digunakan whole blood O-rh

negative 10ml/kg, atau Ringer Lactate 10ml/kg, dan normal saline 10 ml/kg. Semuanya

ini dapat diberikan secara intra vena selama 5-10 menit. 2,3

3. Naloxone hydrochloride

Merupakan antagonis opioid yang sebaiknya diberikan pada neonatus dengan depresi

nafas yang tidak responsif terhadap resusitasi ventilasi yang sebelumnya lahir dari ibu

dengan mendapatkan narkotik 4 jam sebelum kelahiran. Dosis yang diberikan 0.1 mg/kg

secara IV ataupun melalui pipa endotrakeal. Dosis ini dapat diulangi setiap 5 menit

apabila dibutuhkan. 2,3

4. Dextrose

Glukosa darah sewaktu harus diperiksa setidaknya 30 menit setelah lahir pada neonatus

yang mengalami asfiksia, neonatus yang lahir dari ibu dengan diabetes, atau prematur.

Bolus dextrosa 10% diberikan dengan dosis 1-2 ml/kg IV dan selanjutnya dapat diberikan

dextrosa 10% dengan laju 4-6ml/kg/menit (80-100ml/kg/hari) 2,3

26

Page 27: Resusitasi Neonatus Finish

KESIMPULAN

Transisi fetus ke neonatus melibatkan perubahan fisiologis yang kompleks.

Keterlambatan dalam proses adaptasi baik adaptasi system kardiovaskuler, paru paru ,

metabolisme dan suhu menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatus

secara signifikan. Oleh karena itu penting bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses

kelahiran untuk mengerti proses adaptasi fisiologis neonatus, sehingga dapat

mempersiapkan alat – alat yang diperlukan dalam resusitasi, menilai risiko dan

memprediksikan tindakan yang perlu diambil, serta melakukan tindakan resusitasi.

Dengan melakukan penilaian yang seksama mengenai risiko baik faktor risiko ibu

dan janin terhadap peristiwa intrapartum dan postpartum, kebutuhan untuk resusitasi

dapat dikenali pada lebih dari setengah neonatus. Ada beberapa metode yang digunakan

untuk mengevaluasi keadaan janin selama periode intrapartum , semua metode ini dapat

digunakan untuk menentukan kebutuhan yang mungkin diperlukan untuk resusitasi.

Metode tersebut antara lain : Electronic Fetal heart rate Monitoring (EFM) , Scalp and

Acoustic Stimulation, Biophysical Profile Score, Fetal Pulse Oximetry, Fetal Doppler

Ultrasound Study.

Selama proses persalinan dan kelahiran, keadaan janin dapat dipengaruhi obat-obat

analgesia dan anestesi yang digunakan. Pemilihan obat yang akan digunakan harus

diperhatikan karena ada kemungkinan obat tersebut dapat melewati sawar plasenta

sehingga berefek kepada janin. Efek obat pada janin tersebut harus telah kita pikirkan

sehingga dalam proses resusitasi tidak terganggu.

Neonatus aterm yang cairan ketubannya jernih dan bersih dari mekonium, langsung

bernafas, menangis, dan tonus ototnya baik memerlukan perawatan rutin, seperti

mengeringkan, menghangatkan, dan membersihkan jalan nafas dengan balon penghisap

atau kateter penghisap. Sebaliknya, neonatus yang tidak memenuhi kriteria di atas

memerlukan langkah-langkah resusitasi.

Langkah-langkah resusitasi neonatus antara lain:

1. Stabilisasi

2. Ventilasi

3. Kompresi dada

27

Page 28: Resusitasi Neonatus Finish

4. Penggunakan medikasi

Menghangatkan; Termoregulasi merupakan aspek penting dari langkah awal resusitasi.

Hal ini dapat dilakukan dengan meletakkan neonatus di bawah radiant warmer dan

dibiarkan tidak berpakaian agar dapat diobservasi dengan baik serta mencegah terjadinya

hipertermi.

Memposisikan Kepala dan Membersihkan Jalan Nafas ; bayi sebaiknya diposisikan

terlentang dengan sedikit ekstensi pada leher pada posisi sniffing position. Kemudian

jalan nafas harus dibersihkan. terhadap mulut lebih dahulu sebelum suction pada hidung,

untuk memastikan tidak terdapat sesuatu di dalam rongga mulut yang dapat

menyebabkan aspirasi. Hindari tindakan suction yang terlalu kuat dan dalam karena dapat

menyebabkan terjadinya refleks vagal yang menyebabkan bradikardi dan apneu.

Mengeringkan dan Memberi Rangsangan; bayi dikeringkan untuk mencegah

terjadinya kehilangan panas, kemudian diposisikan kembali. Rangsang taktil dapat

diberikan dengan cara tepukan secara lembut atau menyentil telapak kaki, atau dapat juga

dilakukan dengan menggosok-gosok tubuh dan ekstremitas bayi.

Evaluasi Pernafasan, Laju Nadi, dan Warna Kulit; Langkah terakhir dari langkah

awal resusitasi, Pergerakan dada harus baik dan tidak ada megap megap (gasping ). Jika

laju nadi kurang dari 100 kali per menit, segera lakukan ventilasi tekanan positif. warna

kulit dapat dilakukan dengan memperhatikan bibir dan batang tubuh bayi untuk menilai

ada tidaknya sianosis sentral sedangkan Sianosis perifer (akrosianosis) merupakan hal

yang normal pada neonatus.

Di dalam resusitasi neonatus, pemberian ventilasi yang adekuat merupakan

langkah yang paling penting dan paling efektif. Pemberian oksigen diperlukan apabila

neonatus dapat bernafas, laju nadi lebih dari 100 kali per menit, tetapi masih terjadi

sianosis sentral. Standar oksigen yang digunakan dalam resusitasi neonatus yaitu oksigen

100%. Namun pada penelitian menunjukkan resusitasi menggunakan oksigen 21%

( udara ruangan) tampaknya potensial sebagai strategi untuk menurunkan mortalitas

neonatus bahkan pada neonatus preterm.

Kompresi dada harus dilakukan apabila laju nadi kurang dari 60 kali per menit

walaupun sudah dilakukan ventilasi secara adekuat dengan pemberian oksigen tambahan

selama 30 detik. Metode ibu jari lebih direkomendasikan karena tidak cepat lelah dan

28

Page 29: Resusitasi Neonatus Finish

dapat mengatur kedalaman tekanan dengan baik. Kompresi dada harus dilakukan sampai

laju nadi lebih dari atau sama dengan 60 kali per menit secara spontan. Penghentian

resusitasi dapat dilakukan apabila tidak terjadi sirkulasi spontan dalam waktu 15 menit.

29

Page 30: Resusitasi Neonatus Finish

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman Richard, Kliegman Roberts, Jenson Hal. Nelson Textbook of

Pediatric.17th ed. Pennsylvania : An Imprint of Elsevier Science. 2004

2. Kaye D Alan, pickney LM,  Hall M. Stan, Baluch R.Amir, Frost Elizabeth,

Ramadhyani Usha. Update On Neonatal Resuscitation [serial online]. 2009.

available from URL : http://staff.aub.edu.lb/~webmeja/20_1.html//

3. Gomella TL. Neonatology: Management, Prcedures, On-call Problems, Diseases,

and Drugs. 5th ed. Baltimore: the McGraw-Hill Companies. 2004

4. E 45 : Wu TJ, Carlo W A.. Pulmonary Physiology of Neonatal Resuscitation.

Illinois: American Academy of Pediatrics . 2001.

5. Meconium aspiration : Carbine D N. , Serwint Janet R.. Meconium Aspiration .

Illinois: American Academy of Pediatrics . 2008

6. MAS : Klingner MC , Kruse J. Meconium Aspiration Syndrome:

Pathophysiology and Prevention . Journal of the American Board of Family

Medicine . 2002

7. Buku resusitasi : Kattwinkel J. Buku Panduan Resusitasi Neonatus. 5th ed. USA:

American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. 2006

8. 182 : Raupp P, Reynolds G. Intubation and Suction for Meconium Stained

Amniotic Fluid According to the Neonatal Resuscitation Program. Illinois:

American Academy of Pediatrics.2004.

9. E 16 : O'Donnell C, Kamlin O, Davis P, Morley C J. .Endotracheal Intubation

Attempts During Neonatal Resuscitation: Success Rates, Duration, and

Adverse Effects. Illinois: American Academy of Pediatrics.2006.

10. Evidence based : Niermeyer S . Evidence-based Guidelines for Neonatal

Resuscitation. Illinois: American Academy of Pediatrics . 2001.

11. 642 : Vento M, Asensi M, Sastre J, García SF, Federico V. P, et.al. Resuscitation

With Room Air Instead of 100% Oxygen Prevents Oxidative Stress in

Moderately Asphyxiated Term Neonates . Illinois: American Academy of

Pediatrics. 2001

30

Page 31: Resusitasi Neonatus Finish

12. O2 flow : Ramji S , Saugstad OD . Use of 100% Oxygen or Room Air in

Neonatal Resuscitation. Illinois: American Academy of Pediatrics . 2005.

13. 1028: Barber CA. , Wyckoff MH. . Use and Efficacy of Endotracheal Versus

Intravenous Epinephrine During Neonatal Cardiopulmonary Resuscitation

in the Delivery Room. Illinois: American Academy of Pediatrics.2006.

 

31