27
RESUSITASI CAIRAN John A. Myburgh, M.B., B.Ch., Ph.D., and Michael G. Mythen, M.D., M.B., B.S. Resusitasi cairan dengan menggunakan larutan koloid dan kristaloid merupakan jenis intervensi yang sering digunakan dalam pengobatan akut. Pemilihan dan penggunaan cairan resusitasi biasanya didasarkan pada prinsip fisiologis, namun dalam praktik klinis, pemilihan ini didasarkan atas keputusan para dokter, dan keputusan ini bervariasi di setiap daerah. Tidak ada satu pun cairan resusitasi yang ideal. Namun ada bukti yang menunjukkan bahwa jenis dan dosis cairan resusitasi kemungkinan besar dapat mempengaruhi kondisi pasien. Jika dilihat dari prinsip fisiologis, larutan koloid tidak begitu memberi hasil yang lebih dibandingkan dengan larutan kristaloid dalam mempengaruhi hemodinamika. Albumin dianggap sebagai standar larutan koloid, namun zat ini memiliki sejumlah keterbatasan jika harus digunakan dalam praktek rutin. Meskipun albumin dianggap aman sebagai larutan resusitasi pada pasien yang sakit berat dan yang mengalami sepsis dini, namun penggunaan zat ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas untuk pasien yang mengalami cedera otak traumatik. Penggunaan

Resusitasi Cairan.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Resusitasi Cairan.docx

RESUSITASI CAIRAN

John A. Myburgh, M.B., B.Ch., Ph.D., and Michael G. Mythen, M.D., M.B., B.S.

Resusitasi cairan dengan menggunakan larutan koloid dan kristaloid

merupakan jenis intervensi yang sering digunakan dalam pengobatan akut. Pemilihan

dan penggunaan cairan resusitasi biasanya didasarkan pada prinsip fisiologis, namun

dalam praktik klinis, pemilihan ini didasarkan atas keputusan para dokter, dan

keputusan ini bervariasi di setiap daerah. Tidak ada satu pun cairan resusitasi yang

ideal. Namun ada bukti yang menunjukkan bahwa jenis dan dosis cairan resusitasi

kemungkinan besar dapat mempengaruhi kondisi pasien.

Jika dilihat dari prinsip fisiologis, larutan koloid tidak begitu memberi hasil

yang lebih dibandingkan dengan larutan kristaloid dalam mempengaruhi

hemodinamika. Albumin dianggap sebagai standar larutan koloid, namun zat ini

memiliki sejumlah keterbatasan jika harus digunakan dalam praktek rutin. Meskipun

albumin dianggap aman sebagai larutan resusitasi pada pasien yang sakit berat dan

yang mengalami sepsis dini, namun penggunaan zat ini berhubungan dengan

peningkatan mortalitas untuk pasien yang mengalami cedera otak traumatik.

Penggunaan larutan hydroxyethyl starch (HES) berhubungan dengan peningkatan

insidensi terapi ganti ginjal dan efek samping lain jika digunakan untuk pasien

intensive care unit (ICU). Tidak ada bukti yang merekomendasikan penggunaan

larutan koloid semisintetik.

Larutan garam seimbang merupakan cairan resusitasi yang sering digunakan

pada awal terapi, namun hanya sedikit bukti langsung yang menunjukkan keamanan

dan khasiat zat ini. Penggunaan saline normal berhubungan dengan asidosis

metabolik dan cedera ginjal akut. Sedangkan tingkat keamanan larutan hipertonik

hingga saat ini belum diketahui.

Page 2: Resusitasi Cairan.docx

Semua larutan resusitasi dapat berkontribusi dalam terbentuknya edema

interstisial, terutama pada kondisi inflamasi yang mendapatkan terapi cairan resusitasi

berlebihan. Dokter perawatan kritis harus mengetahui cara menggunakan cairan

resusitasi, terutama ketika akan memberikan obat-obatan intravena lain. Pemilihan

cairan tertentu harus didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, dan efek toksik

potensial masing-masing cairan agar dapat memaksimalisasi khasiat dan

meminimalisasi toksisitas.

Riwayat Resusitasi Cairan

Pada tahun 1832, Robert Lewins menjelaskan tentang efek larutan garam

alkali yang diberikan secara intravena untuk pasien yang mengalami pandemik

kolera. Dia menemukan bahwa “kuantitas cairan yang perlu diinjeksikan pada pasien

kolera kemungkinan besar bergantung pada kuantitas serum yang hilang; tujuan

pemberian cairan adalah untuk mengembalikan sirkulasi pasien seperti keadaan

normalnya.” Observasi Lewin yang ditemukan pada 200 tahun lalu, masih relevan

dengan temuan terkini.

Resusitasi cairan tanpa menggunakan darah di era moderen semakin maju

akibat temuan Alexis Hartmann, yang berhasil memodifikasi larutan garam fisiologis

yang sebelumnya sudah dikembangkan oleh Sidney Ringer pada tahun 1885 untuk

rehidrasi pasien anak yang mengalami gastroenteritis. Dengan adanya pengembangan

fraksinasi darah pada tahun 1942, albumin manusia berhasil diberikan dalam jumlah

besar untuk pertama kalinya berguna menjadi resusitasi pasien yang mengalami luka

bakar akibat serangan di Pearl Harbour pada tahun yang sama.

Saat ini, cairan non-darah hampir digunakan pada semua pasien yang

menjalani anestesia untuk bedah mayor, pada pasien yang mengalami trauma dan

luka bakar berat, dan pada pasien yang dirawat di ICU. Pemberian cairan telah

menjadi salah satu intervensi yang paling sering digunakan dalam pengobatan akut.

Page 3: Resusitasi Cairan.docx

Terapi cairan hanyalah salah satu komponen dari suatu strategi resusitasi

hemodinamika. Tujuan utama pemberian cairan adalah mengembalikan volume

intravaskuler. Karena aliran balik vena setara dengan curah jantung, maka respon

simpatetik yang mengatur sirkulasi eferen kapasitansi (vena) dan aferen konduktansi

(arterial) hampir sama dengan yang mengatur kontraktilitas myokardial. Terapi

tambahan untuk resusitasi cairan, seperti penggunaan katekolamine untuk

meningkatkan kontraksi jantung dan aliran balik vena, dapat dipertimbangkan untuk

sebagai terapi awal untuk mendukung sirkulasi yang gagal. Selain itu, kita harus

mempertimbangkan efek pemberian cairan terhadap fungsi organ akhir dan

mikrosirkulasi organ vital yang terus-menerus mengalami perubahan saat berada

dalam kondisi patologis.

Gambar 1: Peranan lapisan

Glycocalyx Endotelial dalam

Resusitasi Cairan

Struktur dan fungsi lapisan glycocalyx endotelial, suatu jaringan glycoprotein dan proteoglikan berbentuk membran pada sel endotel, merupakan penentu utama permeabilitas membran dalam sistem vaskuler organ. Panel A merupakan lapisan glycocalyx endotelial sehat, sedangkan Panel B merupakan lapisan glycocalyx yang sudah rusak, yang mengakibatkan edema interstisial pada pasien, terutama untuk pasien yang mengalami inflamasi (seperti sepsis).

Page 4: Resusitasi Cairan.docx

Fisiologi Resusitasi Cairan

Selama beberapa dekade, para dokter melakukan pemilihan cairan resusitasi

berdasarkan model kompartemen klasik (secara spesifik, kompartemen klasik terdiri

atas kompartemen cairan intraseluler serta komponen cairan ekstrasluler yang terdiri

atas komponen interstisial dan intravaskuler ) dan faktor-faktor yang mempengaruhi

distribusi cairan pada masing-masing kompartemen. Pada tahun 1896, Ernest

Starling, seorang fisiolog Inggris, menemukan bahwa venula kapiler dan postkapiler

memiliki mekanisme kerja sebagai membran semipermeabel yang menyerap cairan

interstisial. Prinsip ini lalu diadaptasi untuk mengidentifikasi gradien tekanan

hidrostatik dan tekanan onkotik yang melalui membran semipermeabel, yang

kemudian dijadikan sebagai penentu utama dalam pertukaran transvaskuler.

Namun temuan terkini mulai meragukan model klasik tersebut. Suatu jaringan

glycoprotein dan proteoglikan berbentuk membran pada sel endotel, berhasil

diidentifikasi dan diberi nama lapisan glycocalyx endotelial (gambar 1). Ruang

subglycocalyx dapat menghasilkan tekanan onkotik koloid yang sangat penting dalam

mengatur aliran cairan transkapiler. Kapiler nonpermeabel yang melewati ruang

interstisial juga berhasil diidentifikasi, hal ini mengindikasikan bahwa absorpsi cairan

tidak terjadi melalui kapiler venosa. Semua cairan dari ruang interstisial, yang masuk

melalui banyak pori-pori, dikembalikan ke sirkulasi sebagai limfe, yang kemudian

dapat regulasi secara simpatetik.

Struktur dan fungsi lapisan glycocalyx endotelial merupakan salah satu

penentu utama permeabilitas membran pada berbagai sistem vaskuler organ.

Integritas, atau ‘kebocoran’ pada lapisan ini, dapat berpotensi mengakibatkan edema

interstisial, terutama pada kondisi inflamasi, seperti sepsis, dan pada kondisi pasca-

bedah atau trauma.

Page 5: Resusitasi Cairan.docx

Cairan Resusitasi Ideal

Cairan resusitasi ideal harus dapat menghasilkan efek yang dapat diprediksi

dan mampu meningkatkan volume intravaskuler secara bertahap, selain itu harus

memiliki komposisi kimiawi yang menyerupai cairan ekstraseluler, serta dapat

dimetabolisme dan diekskresi secara komplit tanpa terakumulasi dalam jaringan,

sehingga tidak menimbulkan efek sistemik dan metabolik, dan harus hemat untuk

meningkatkan kondisi pasien. Hingga saat ini, belum ada cairan seperti itu yang

tersedia secara klinis.

Cairan resusitasi secara umum terbagi menjadi larutan koloid dan larutan

kristaloid (Tabel 1). Larutan koloid merupakan suspensi molekul yang berada dalam

suatu larutan pengangkut yang relatif tidak mampu melewati membran kapiler

semipermeabel karena ukuran molekulnya yang besar. Kristaloid merupakan suatu

larutan ion yang bebas secara permeabel namun mengandung natrium dan klorida

yang mempengaruhi tonisitas larutan.

Para pendukung larutan koloid mengatakan bahwa koloid lebih efektif dalam

mengembangkan volume intravaskuler karena koloid dapat tertahan dalam ruang

intravaskuler dan dapat mempertahankan tekanan onkotik koloid. Efek koloid dalam

mempertahankan volume dianggap memiliki kesan yang lebih jika dibandingkan

dengan kristaloid, yang mana secara konvensional, rasio koloid terhadap kristaloid

dalam mempertahankan volume intravaskuler adalah 1:3. Koloid semisintetik

memiliki durasi kerja yang lebih singkat jika dibandingkan dengan larutan albumin

manusia namun zat tersebut lebih aktif termetabolisme dan terekskresi.

Para pendukung larutan kristaloid berpendapat bahwa koloid, terutama

albumin manusia, merupakan zat yang mahal dan tidak terlalu praktis digunakan

sebagai larutan resusitasi. Kristaloid merupakan zat yang tidak mahal, tersedia secara

luas meskipun belum terbukti berkhasiat, namun kristaloid telah menjadi terapi lini

Page 6: Resusitasi Cairan.docx

pertama dalam resusitasi cairan. Namun, penggunaan kristaloid diketahui

berhubungan dengan edema interstisial.

Jenis Resusitasi Cairan

Secara global, ada banyak variasi dalam pemilihan cairan resusitasi.

Pemilihan biasanya ditentukan oleh daerah dan pengalaman masing-masing dokter,

serta protokol institusi, ketersediaan, harga, dan pemasaran komersial. Dari konsensus

diketahui bahwa pemilihan resusitasi harus disesuaikan dengan populasi pasien

tertentu, namun rekomendasi seperti ini hanya didasarkan pada pendapat pakar atau

bukti klinis yang berkualitas rendah. Sejumlah tinjauan sistematik dari beberapa

percobaan acak terkontrol telah menunjukkan bahwa hanya sedikit bukti yang

mendukung keunggulan salah satu jenis cairan jika dibandingkan cairan lain dalam

menurunkan resiko kematian.

Albumin

Albumin manusia (4-5%) dalam saline dianggap sebagai larutan koloid

standar. Zat ini diproduksi dari proses fraksionasi darah, yang kemudian dipanaskan

untuk mencegah penyebaran virus patogenik. Zat ini cukup mahal untuk diproduksi

dan didistribusikan, serta sangat jarang ditemukan pada negara-negara yang miskin

atau berkembang.

Pada tahun 1998, Cochrane Injuries Group Albumin Reviewer

mempublikasikan sebuah meta-analisis mengenai efek albumin dan larutan kristaloid

lain untuk mengatasi pasien yang mengalami hipovolemia, luka bakar, atau

hipoalbuminemia. Mereka menyimpulkan bahwa pemberian albumin berhubungan

dengan peningkatan insidensi kematian yang signifikan (relative risk, 1.68; 95%

confidence interval [CI], 1.26-2.23; p<0.01). Meskipun memiliki sejumlah

keterbatasan, namun meta-analisis ini telah memberikan peringatan yang penting,

terutama untuk negara-negara yang sering menggunakan albumin untuk resusitasi.

Page 7: Resusitasi Cairan.docx
Page 8: Resusitasi Cairan.docx

Sebagai salah satu efek dari meta-analisis tersebut, para peneliti Australia dan

Selandia Baru melakukan penelitian Saline Versus Albumin Fluid Evaluation

(SAFE). Penelitian yang bersifat acak terkontrol dan tersamar ganda ini, melibatkan

6997 orang dewasa yang dirawat di ICU. Para pasien itu diberikan albumin selama

perawatan. Penelitian ini menakar efek resusitasi yang menggunakan albumin 4% dan

efek resusitasi yang menggunakan saline, terhadap insidensi kematian dalam 28 hari.

Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan antara albumin dan saline terhadap

insidensi kematian (relative risk, 0.99; 95% CI, 0.91 to 1.09; P = 0.87) maupun

terhadap insidensi kegagalan organ.

Analisis tambahan dari penelitian SAFE telah memberikan pemahaman baru

mengenai resusitasi cairan pada pasien yang dirawat di ICU. Resusitasi yang

menggunakan albumin berhubungan dengan peningkatan insidensi kematian dalam 2

tahun terutama untuk pasien cedera otak traumatik (relative risk, 1.63; 95% CI,

1.17 to 2.26; P = 0.003). Peningkatan insidensi kematian berhubungan erat dengan

peningkatan tekanan intrakranial, terutama selama minggu pertama setelah cedera.

Resusitasi dengan menggunakan albumin juga berhubungan dengan penurunan resiko

kematian selama 28 hari untuk pasien yang mengalami sepsis berat (odds ratio, 0.71;

95% CI, 0.52-0.97; P=0.03), hal ini menunjukkan bahwa albumin dapat bermanfaat

untuk pasien sepsis berat. Namun untuk pasien yang mengalami hipoalbuminemia,

pemberian albumin tidak mempengaruhi insidensi kematian dalam 28 hari (kadar

albumin, ≤ 25 g per liter) (odds ratio, 0.87; 95% CI,0.73-1.05).

Dari penelitian SAFE, tidak ditemukan adanya perbedaan antara kristaloid

dan koloid jika dilihat dari indikator hemodinamika, seperti MAP atau denyut

jantung, namun penggunaan albumin berhubungan dengan peningkatan tekanan vena

sentral. Rasio volume albumin terhadap volume saline yang diberikan untuk

mencapai hasil seperti itu adalah 1:1.4.

Page 9: Resusitasi Cairan.docx

Pada tahun 2011, para peneliti di Afrika sub-Sahara membuat penelitian acak,

terkontrol – Fluid Expansion as Supportive Therapy (FEAST) – yang

membandingkan penggunaan bolus albumin atau bolus saline dengan resusitasi cairan

tanpa bolus terhadap 3141 pasien pediatrik febris yang mengalami gangguan perfusi.

Pada penelitian ini diketahui bahwa resusitasi yang diberikan melalui bolus albumin

atau saline dapat mengakibatkan insidensi kematian dalam 48 jam yang hampir sama

jumlahnya, namun apabila dibandingkan dengan terapi non-bolus, maka terapi bolus

saline atau koloid memiliki insidensi kematian dalam 48 jam yang lebih tinggi

(relative rsik, 1.45;95% CI, 1.13-1.86; p=0.003). Penyebab utama kematian pada para

pasien tersebut justru kolaps kardiovaskuler, bukannya kelebihan cairan ataupun

faktor neurologis, hal ini menunjukkan bahwa ada interaksi yang merugikan antara

bolus resusitasi cairan dengan respon kompensasi neurohormonal. Meskipun

percobaan ini dilakukan pada populasi pediatrik tertentu yang fasilitas perawatan

kritisnya tidak ada atau terbatas, namun hasil penelitian ini juga mempertanyakan

peranan bolus resusitasi cairan, baik yang berupa albumin ataupun saline.

Berbagai penelitian tersebut meragukan konsep fisiologis mengenai khasiat

albumin dan peranannya sebagai cairan resusitasi. Pada penyakit akut, albumin

nampaknya memberikan efek hemodinamika dan luaran yang menyerupai saline.

Meskipun untuk populasi pasien tertentu, seperti sepsis berat, resusitasi albumin

masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut.

Koloid Semisintetik

Keterbatasan dan mahalnya albumin manusia telah memicu pengembangan

dan penggunaan cairan koloid semisintetik selama 40 tahun terakhir. Secara global,

cairan HES telah menjadi koloid semisintetik yang paling banyak digunakan,

terutama di Eropa. Koloid semisintetik lainnya antara lain gelatin suksinil, sediaan

gelatin-polygeline yang berikatan dengan urea, dan dextran. Penggunaan cairan

dextran telah tergantikan oleh jenis cairan koloid semisintetik lainnya.

Page 10: Resusitasi Cairan.docx

Cairan HES dihasilkan melalui subtitusi amylopectin oleh hydroxyethyl yang

diperoleh dari sorgum, maizena atau kentang. Subtitusi berderajat tinggi pada

molekul glukosa dapat memproteksi senyawa dari hidrolisis oleh amylase non-

spesifik di dalam darah, sehingga ekspansi intravaskuler bisa lebih lama, namun

mekanisme ini juga membuat HES berpotensi untuk terakumulasi dalam jaringan

retikuloendotelial, seperti kulit (mengakibatkan gatal), hati, dan ginjal.

Penggunaan HES, terutama sediaan yang bermolekul besar, berhubungan

dengan gangguan koagulasi – terutama perubahan dalam viskositas dan fibrinolisis –

namun, efek perubahan ini secara klinis masih perlu diteliti lagi, terutama untuk

populasi pasien trauma atau bedah. Beberapa penelitian meragukan tingkat keamanan

konsentrasi cairan HES (10%) dan besar molekulnya yang lebih dari 200 kD serta

rasio subtitusi molar HES yang lebih dari 0.5, terutama jika harus digunakan pada

pasien sepsis berat. Penelitian-penelitian itu menyebutkan bahwa HES berhubungan

dengan peningkatan insidensi kematian, cedera ginjal akut, dan terapi ganti ginjal.

Saat ini konsentrasi larutan HES mulai diturunkan (6%) dan besar molekulnya

hanya 130 kD serta subtitusi molar-nya berkisar antara 0.38 hingga 0.45. HES

tersedia dalam berbagai larutan vehikulum (carrier) kristaloid. HES telah digunakan

secara luas untuk pasien yang menjalani anestesia pada operasi besar, terutama untuk

strategi terapi cairan goal-directed, digunakan sebagai terapi lini pertama untuk

resusitasi di ruang operasi militer, dan pasien ICU. Karena HES berpotensi

mengalami akumulasi dalam jaringan, maka dosis harian maksimal HES adalah 33-55

mL per kilogram berat badan per hari.

Dari percobaan acak terkontrol, dan buta ganda yang melibatkan 800 pasien

sepsi berat di ICU, para peneliti Skandinavia melaporkan bahwa penggunaan HES

6% (130/0.42), jika dibandingkan dengan Ringer Asetat, berhubungan dengan

peningkatan angka kematian dalam 90 hari (relative risk, 1.17; 95% CI, 1.01-1.30;

p=0.03) dan peningkatan insidensi relatif terapi ganti ginjal hingga 35%. Hasil ini

Page 11: Resusitasi Cairan.docx

konsisten dengan percobaan terdahulu yang menggunakan HES 10% (200/0.5) pada

populasi pasien yang sama.

Dari percobaan acak terkontrol, tersamar ganda, yang disebut Crystalloid

versus Hydroxyethyl Starch Trial (CHEST), yang melibatkan 7000 orang dewasa di

ICU, penggunaan HES 6% (130/0.4) jika dibandingkan dengan saline, justru

ditemukan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam aspek insidensi kematian

selama 90 hari (relative risk, 1.06; 95% CI, 0.96-1.18; p=0.26). Namun, penggunaan

HES berhubungan dengan peningkatan relatif insidensi terapi ganti ginjal.

Penelitian Skandinavia dan CHEST menunjukkan bahwa HES dan kristaloid

tidak memiliki perbedaan yang signifikan jika ditilik dari indikator hemodinamika,

meskipun pada penelitian CHEST terlihat bahwa penggunaan HES dapat

meningkatkan tekanan vena sentral dan menurunkan penggunaan vasopressor. Rasio

penggunaan HES terhadap kristaloid pada penelitian ini mendekati 1:1.3, yang

konsisten dengan rasio albumin terhadap kristaloid pada penelitian SAFE maupun

penelitian-penelitian lain.

Pada penelitian CHEST diketahui bahwa HES berhubungan dengan

peningkatan curah urin pada pasien yang beresiko rendah mengalami cedera ginjal

akut namun pada saat yang bersamaan HES juga meningkatan kadar kreatinin serum

yang justru meningkatkan resiko cedera ginjal akut. Selain itu, penggunaan HES juga

berhubungan dengan peningkatan penggunaan produk darah dan peningkatan efek

samping, seperti gatal-gatal.

Namun hingga saat ini masih belum diketahui apakah hasil penelitian

mengenai HES dapat dijadikan patokan untuk larutan koloid semisintetik lainnya,

seperti gelatin atau polygeline. Hasil penelitian observasional terbaru telah

menimbulkan kekhawatiran mengenai resiko cedera ginjal akut pada penggunaan

larutan gelatin. Hanya saja, larutan koloid semisintetik lainnya belum pernah diteliti

dalam suatu percobaan acak terkontrol yang berkualitas tinggi. Dengan bukti-bukti

Page 12: Resusitasi Cairan.docx

yang ada saat ini, kita masih sulit untuk membenarkan pernyataan yang menyatakan

bahwa penggunaan koloid semisintetik tidak memberikan manfaat klinis, berpotensi

menimbulkan nefrotoksisitas, dan mahal.

Kristaloid

Natrium klorida (saline) merupakan larutan kristaloid yang paling sering

digunakan di seluruh dunia, terutama Amerika Serikat. Saline normal (0.9%)

mengandung natrium dan klorida dalam konsentrasi yang sama, hal ini yang

membuat larutan ini lebih isotonik jika dibandingkan cairan larutan ekstraseluler.

Istilah ‘saline normal’ berasal dari penelitian lisis eritrosit oleh fisiolog Belanda,

Hartog Hamburger pada tahun 1882 dan 1883, dari penelitian ini diketahui bahwa

0.9% merupakan konsentrasi garam dalam darah manusia, bukannya konsentrasi

aktual 0.6%.

Perbedaan ion kuat dalam saline 0.9% adalah nol, hampir tidak ada, sehingga

pemberian saline dalam jumlah besar dapat mengakibatkan asidosis metabolik

hiperkloremik. Efek samping seperti disfungsi imunitas dan disfungsi ginjal dapat

ditemukan pada asidosis metabolik, hanya saja konsekuensi klinis dari efek ini masih

belum diketahui.

Kekhawatiran mengenai kelebihan natrium dan air yang berhubungan dengan

resusitasi saline telah melahirkan konsep resusitasi kristaloid “volume kecil’ yang

menggunakan larutan saline hipertonik (3%, 5%, dan 7.5%). Namun penggunaan

saline hipertonik secara dini dalam resusitasi, terutama untuk pasien cedera otak

traumatik, tidak memperbaiki luaran jangka panjang maupun jangka pendek.

Kristaloid yang mengandung senyawa kimiawi yang mendekati cairan

ekstraseluler disebut juga dengan istilah larutan’seimbang’ atau larutan ‘fisiologis’.

Pada umumnya, larutan-larutan ini merupakan derivat dari larutan Hartmann dan

Page 13: Resusitasi Cairan.docx

Ringer. Hanya saja, tidak ada satu pun cairan tersebut yang benar-benar seimbang

atau fisiologis (Tabel 1).

Larutan garam seimbang relatif bersifat hipotonik karena konsentrasi

garamnya cenderung lebih rendah dari cairan ekstraseluler. Karena adanya instabilitas

larutan yang mengandung bikarbonat dalam kontainer plastik, maka anion alternatif,

seperti laktat, asetat, glukonat, dan malate lebih sering digunakan. Pemberian larutan

garam seimbang yang dilakukan secara berlebihan dapat mengakibatkan

hiperlaktatemia, alkalosis metabolik, dan hipotonisitas (untuk yang mengandung

natrium laktat) dan kardiotoksisitas (untuk yang mengandung asetat). Penambahan

kalsium pada beberapa larutan dapat mengakibatkan mikrotrombus jika

dikombinasikan dengan transfusi sel darah merah yang mengandung pengawet sitrat.

Karena adanya kekhawatiran yang berhubungan dengan kelebihan natrium

dan klorida yang berhubungan dengan saline normal, maka larutan garam seimbang

lebih sering direkomendasikan sebagai cairan resusitasi lini pertama untuk pasien

yang menjalani operasi, pasien trauma, dan pasien yang mengalami ketoasidosis

diabetik. Resusitasi dengan menggunakan larutan garam seimbang merupakan salah

satu komponen penting dalam penatalaksanaan awal pasien luka bakar, hanya saja hal

ini menimbulkan kekhawatiran mengenai efek samping pemberian cairan berlebihan,

oleh karena itu lahir konsep mengenai ‘hipovolemia permisif’ pada pasien-pasien

seperti itu.

Ada sebuah penelitian observasional kohort yang membandingkan insidensi

komplikasi mayor pada 213 pasien yang hanya mendapatkan 0.9% saline dan 714

pasien yang hanya mendapatkan larutan garam seimbang bebas kalsium (PlasmaLyte)

untuk mengganti cairan yang hilang selama operasi. Penggunaan larutan garam

seimbang berhubungan dengan penurunan insidensi komplikasi mayor (odds ratio,

0.79; 95% CI, 0.66-0.97; p<0.05), serta berhubungan dengan penurunan insidensi

infeksi postoperatif, terapi ganti ginjal, transfusi darah, dan asidosis.

Page 14: Resusitasi Cairan.docx

Dari penelitian observasional ICU, diketahui bahwa penggunaan strategi yang

minimal terhadap klorida (menggunakan larutan laktat dan larutan garam seimbang

bebas kalsium) untuk menggantikan cairan intravena yang kaya akan klorida (saline

0.9%, gelatin suksinil, atau albumin 4%) berhubungan dengan penurunan insidensi

cedera ginjal akut dan insidensi terapi ganti ginjal. Sejak meluasnya penggunaan

saline di seluruh dunia (untuk Amerika Serikat saja mencapai >200 juta liter per

tahun), maka diperlukan suatu percobaan acak terkontrol agar dapat mengukur tingkat

keamanan dan khasiat saline untuk kemudian dibandingkan dengan larutan garam

seimbang.

Dosis dan Volume

Kebutuhan dan respon resusitasi cairan untuk pasien-pasien yang sakit berat

biasanya berbeda-beda. Tidak ada satu pun pengukuran fisiologis atau biokimiawi

yang secara adekuat dapat memperkirakan penurunan cairan atau jumlah resusitasi

cairan pada pasien yang sakit akut. Namun, hipotensi sistolik dan oligouria pada

umumnya dijadikan sebagai pemicu untuk melakukan ‘fluid challenge’, yang kisaran

volume cairannya antara 200-1000 ml kristaloid atau koloid untuk pasien dewasa.

Penggunaan cairan resusitasi kristaloid dan koloid, yang seringkali diresepkan

oleh anggota tim klinis yang paling junior, serta penggunaan cairan ‘maintenance’

hipotonik, dapat mengakibatkan peningkatan dosis kumulatif natrium dan air.

Peningkatan ini berhubungan erat dengan pembentukan edema interstisial yang

berujung pada disfungsi organ.

Hubungan antara keseimbangan cairan kumulatif dan luaran buruk jangka

panjang pernah dilaporkan pada beberapa penelitian mengenai pasien sepsis. Pada

percobaan yang membandingkan strategi cairan liberal vs strategi goal-directed atau

strategi cairan restriktif pada pasien yang mengalami sindrom distres pernapasan akut

(terutama untuk pasien perioperatif), ditemukan bahwa strategi restriktif cairan

berhubungan dengan penurunan morbiditas. Namun, karena belum ada konsensus

Page 15: Resusitasi Cairan.docx

mengenai definisi strategi terapi restriktif cairan, maka diperlukan suatu percobaan

berkualitas tinggi pada populasi pasien tertentu untuk mengkonfirmasi temuan

sebelumnya.

Tabel 2: Rekomendasi untuk Resusitasi Cairan pada Pasien yang Mengalami

Penyakit Akut

Cairan harus diberikan secara hati-hati ketika digunakan secara bersamaan

dengan obat-obatan intravena

Pertimbangkan jenis, dosis, indikasi, dan kontraindikasi, toksisitas potensial,

dan biaya terapi

Resusitasi cairan merupakan suatu komponen dari proses fisiologis yang

kompleks

Identifikasi volume cairan yang kemungkinan besar dapat hilang dan ganti

cairan yang hilang dengan volume yang sama

Pertimbangkan natrium serum, osmolaritas, dan status asam-basa ketika

memilih cairan resusitasi

Pertimbangkan keseimbangan cairan kumulatif dan berat badan aktual ketika

memilih dosis cairan resusitasi

Pertimbangkan penggunaan katekolamin sebagai terapi kombinasi dalam

mengatasi syok

Kebutuhan cairan senantiasa berubah setiap saat pada pasien yang sakit berat

Dosis kumulatif resusitasi dan cairan maintenance berhubungan erat dengan

edema interstisial

Edema patologis berhubungan erat dengan luaran klinis yang merugikan

Oligouria merupakan respon yang normal terhadap hipovolemia dan tidak

boleh dijadikan sebagai satu-satunya indikator untuk resusitasi cairan,

terutama untuk pasien yang berada pada periode pasca-resusitasi

Penggunaan strategi ‘fluid challenge’ pada periode pasca-resusitasi (≥24 jam)

hingga saat ini masih dipertanyakan

Page 16: Resusitasi Cairan.docx

Penggunaan cairan maintenance hipotonik juga masih dipertanyakan jika

dehidrasi sudah berhasil terkoreksi

Pertimbangan tertentu harus digunakan pada kategori pasien yang lain

Pasien perdarahan membutuhkan kontrol perdarahan dan transfusi

menggunakan sel darah merah dan komponen darah lain sesuai indikasi

Cairan garam seimbang, isotonik merupakan cairan resusitasi yang sering

digunakan pada mayoritas pasien yang sakit berat

Pertimbangkan penggunaan saline pada pasien yang mengalami hipovolemia

dan alkalosis

Pertimbangkan penggunaan albumin selama resusitasi awal pada pasien yang

sepsis berat

Kristaloid isotonik atau saline diindikasikan untuk pasien yang mengalami

cedera otak traumatik

Albumin tidak diindikasikan untuk pasien yang mengalami cedera otak

traumatik

Hydroxyethyl starch tidak diindikasikan untuk pasien yang mengalami sepsis

atau pasien yang beresiko mengalami cedera ginjal akut

Tingkat keamanan koloid semisintetik lain hingga saat ini masih belum

diketahui, sehingga penggunaan larutan-larutan tersebut tidak diindikasikan.

Tingkat keamanan saline hipertonik juga belum diketahui

Jenis dan dosis cairan resusitasi yang tepat pada pasien yang mengalami luka

bakar juga masih belum diketahui.

Meskipun penggunaan cairan resusitasi telah menjadi salah satu intervensi

yang paling sering digunakan dalam kedokteran, hingga saat ini belum ada satu pun

Page 17: Resusitasi Cairan.docx

cairan resusitasi yang ideal. Pemilihan, penentuan waktu, dan dosis cairan intravena

harus dievaluasi secara hati-hati terutama ketika menggunakan obat-obatan intravena

jenis lain, agar kita dapat memaksimalisasi khasiat dan meminimalisasi toksisitas

iatrogenik.