Resume Buku Metodologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Resume Metodologi Folklore milik James Danandjaja

Citation preview

  • MATA KULIAH METODE KAJIAN BUDAYA PARIWISATA

    Resume: Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain

    oleh James Danandjaja

    Disusun oleh :

    MARISCA PUSPITA HAPSARI

    180130120511

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS PADJAJARAN

    BANDUNG

    2013

  • 1

    I. ABSTRAK

    Folklor, sebagai sebuah cabang ilmu, baru secara ramai mulai diteliti.

    Dicetuskan oleh William John Thoms pada 1846 dengan istilah folklore, atau

    yang dikenal sebagai folklor di Indonesia. Dalam area ilmu pengetahuan pada

    mulanya definisi folklor dipahami sebagai sebuah kekacauan antara sebuah

    kesalahan, bentuk fantasi dan distorsi1. Namun perlahan, seiring dengan

    semakin banyak munculnya para akademisi ilmu folklor, atau yang biasa yang

    disebut folklorist, pemahaman atas folklor mulai terformulasikan secara

    sistematis.

    Beberapa dari para peneliti terdahulu atas folklor adalah Alan Dundes,

    Dipahami sebagai sebuah tradisi lisan sebagai bagian dari kekayaan budaya

    dan sejarah bangsa di Indonesia sendiri ilmu folklor telah didalami semenjak

    Belanda masih menduduki Indonesia.

    James Danandjaja dalam tulisannya Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng,

    dan lain-lain mengantar para pembacanya untuk memahami hakikat folklor

    dengan menyarikannya dari para peneliti terdahulu. Pendapat-pendapat para

    ahli folklor dunia mengenai genre, metode pengklasifikasian genre folklor,

    teori-teori yang dianut demi kebutuhan pemahaman folklor serta fungsi serta

    fungsi folklor berdasarkan masing-masing genrenya dengan apik ditampilkan

    melalui contoh folklor yang telah dikenal dan yang terpenting juga disertai

    ilustras dari folklor Nusantara. Tidak lupa James turut melakukan penyesuaian

    dengan menambahkan, ataupun menginformasikan mengenai apa-apa yang

    patuh dikurangi, dalam kaitannya dengan kesesuaian terhadap folklor

    Indonesia.

    Akhir kata, resume Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain

    diharapkan mampu memberikan ilustrasi mengenai sebuah tulisan atas folklor 1 Jawaharlal Handoo diakses pada 4 Juni 2013

  • 2

    Nusantara yang dirasa sangat berharga bagi para insan pemerhati ataupun

    cendikia ilmu folklor. Resume ini bertujuan untuk menyarikan apa-apa yang

    James Danandjaja tuliskan dalam Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng,

    dan lain-lain tanpa bermaksud melakukan penambahan atau pengurangan

    yang menyimpang dari apa yang dituliskan dalam buku.

  • 3

    II. ISI

    Buku ini mengantar pembaca dengan memberi pemahaman mengenai arti

    dari kata folklore , atau yang dikenal sebagai folklor di Indonesia. Folklore

    berasal dari kata folk yang artinya sebagian kebudayaan yang diwariskan

    seara turun-temurun secara lisan atay melalui contoh yang disertai dengan

    gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).dan lore yang

    berarti tradisi. Yang kemudian disarikan oleh James sebagai sebagian

    kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di

    antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,

    baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat

    atau alat pembantu pengingat.

    Lebih lanjut lagi, penuturan mengenai folklor dibuka dengan paparan atas

    latar belakang historis munculnya istilah folklor itu sendiri. Dijelaskan bahwa

    istilah folklor muncul setelah lebih dulu dipergunakan istilah antiquities,

    popular antiquities, atau popular literatures, seperti yang dikutip dari Dundes

    (1965: 4). Diapaparkan bahwa istilah folklor, atau yang dikenal luas dengan

    folklore, diakui oleh William John Thoms2 sebagai sebuah istilah yang ia

    perkenalkan sebagai sebuah disiplin yang mencakup bahasan mengenai

    sopan santun Inggris, takhyul, balada, dan lain sebagainya dari masa lampau.

    Dengan memandang bahwa istilah folklor sebagai sebuah istilah yang telah

    dipahami secara internasional serta istilah folklor dipandang sebagai sebuah

    istilah yang dwitunggal, dimana pemahaman tidak hanya dilakukan pada lore

    (tradisi)-nya saja tetapi juga folk (masyarakat)-nya, maka James selanjutnya

    sepakat untuk menggunakan kata folklor sebagai sebuah istilah yang

    merujuk pada bagian dari budaya yang penyebarannya secara umum melalui

    pesan lisan. 2 Dituliskan oleh James bahwa istilah ini muncul dalam surat terbuka William John Thoms dalam majalah The Athenaeum pada tahun 1846 dengan nama samaran Ambrose Merton.

  • 4

    Terdapat pendapat yang menarik pada bab awal pada buku ini mengenai

    bagaimana James menyadari bahwa lahirnya istilah folklor jauh sebelum

    dikenalnya kosakata budaya. Sehingga menurutnya ada kemungkinan folklor,

    dimasa belum ditemukan istilah budaya, memaknai juga hal-hal yang

    menyangkut disiplin kebudayaan di masa tersebut. Hingga 19 tahun dari

    semenjak ditemukannya istilah folklor, ditemukanlah kata culture yang

    dicetuskan oleh E.B. Taylor pada 1865 yang kemudian terus berkembang

    sebagai sebuah disiplin ilmu yang dipandang James telah memiliki

    kesepakatan yang lebih baik di antara kalangan antropolog jika dibandingkan

    dengan folklor, dalam perkembangannya hingga kini.

    James memandang dalam tubuh ilmu folklor masih terdapat banyak

    persilangan pendapat mengenai hakekat folklor itu sendiri. Latar belakang

    ilmu para ahli folklor dinilainya yang memberi pengaruh, sehingga pandangan

    mengenai folklor belum memiliki kesatuan. Ditengah pencarian atas

    pemahaman mengenai folklor, James melalui Folklor Indonesia: Ilmu Gosip,

    Dongeng, dan lain-lain merangkumkan mengenai perjalanan panjang dalam

    pemahaman serta pengklasifikasian atas folklor yang telah dilakukan para

    folklorist terdahulu serta yang datang dari eranya. Dan lebih jauh lagi,

    dengan melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh para folklorist tersebut,

    James sendiri yang juga merupakan seorang ahli folklor, satu yang terbaik

    yang dimiliki Indonesia, memformulasikan kembali atas bagaimana folklor

    didefinisikan serta diklasifikasikan sebagai sebuah bagian dari budaya

    kenusantaraan Indonesia yang dituliskan sebagai sebuah pengantar menuju

    pemahaman yang kemudia menuju lebih dalam atas ilmu folklor Indonesia.

    Penelitian Folklor di Indonesia

    Dalam bab selanjutnya, James memaparkan bagaimana perkembangan

    penelitian folklor di Indonesia yang dibaginya ke dalam penelitian dari masa

    dahulu dan masa kini.

  • 5

    1. Masa Dahulu

    Di tahun 1908, pemerintah kolonial Belanda dengan Panitia Kesusastraan

    Rakyat-nya memiliki tujuan utuk mengumpulkan serta menerbitkan

    kesusastraan tradisional dan populer. Selain pemerintah Belanda yang

    saat itu menduduki Indonesia, James juga menyebutkan bahwa di masa

    dahulu folklor Indonesia juga dikumpulkan serta dipelajari oleh para

    sarjana dari disiplin ilmu yang beragam seperti: filologi, musikologi,

    antropologi budaya teologi, dan sebagainya,

    Namun sebagai akibat latar belakang disiplin ilmu para peneliti terdahulu

    yang kebanyakan bukan berasal dari ahli folklor, meskipun apa yang telah

    dilakukan dahulu berkontribusi bagi perkembangan folklor Indonesia,

    namun James menilai bahwa perkembangan ilmu foklor Indonesia saat ini

    masih berada di tahap permulaan. Menurutnya, jika diukur oleh

    perkembangan ilmu modern saat ini bahan folklor yang dikumpulkan di

    masa Perang Dunia II menjadi kurang berharga, mengutip dari apa yang

    dikemukakan oleh Alan Dundes, hal ini diakibatkan oleh tehnik

    pengumpulannya yang seumpama falsafah pengumpulan peninggalan

    zaman folklor antik (1966: 505). Tanpa bermaksud menyalahkan, hal ini

    dapat dipahami oleh James yang mengerti bahwa para penelitian

    terdahulu mendapat pengaruh dari para ahli folklor humanistis atau ahli

    folklor kesusastraan sehingga pengumpulan data atas folklor tidak

    interdisipliner.

    Kepincangan dalam pengumpulan folklor yang cenderung berat kepada

    aspek lore menimbulkan kesukaran ketika masuk ke dalam proses

    pengklasifikasian dan selanjutnya pada tahap analisa. Sehingga terjadilah

    pengambilan sikap dengan apa yang disebut James sebagai sebuah

    metode spekulatif yang melakukan tindakan analisa atas suatu folklor

    dengan memanfaatkan latar belakang kebudayaan maupun social dari

    suatu folk lain yang dianggap sama, padahal tidak. Seperti gambaran,

  • 6

    yang dipaparkan oleh James, para sarjana asing yang berusaha meneliti

    peribahasa Indonesia dari Minangkabau yang alih-alih menggunakan suku

    Minang justru menggunakan suku Palembang sebagai dasar analisis latar

    belakang kebudayaan peribahasa yang ingin diteliti itu.

    Terlepas dari kekurangan dari penelitian terdahulu yang dirasakan,

    bagaimanapun James juga mengidentifikasikan hasil pemikiran-pemikiran

    terdahulu yang tentunya memberi andil dalam membuka jalan bagi

    perkembangan khasanah pengetahuan folklor Indonesia saat ini. Beberapa

    diantaranya yang disebutkan adalah yang dilakukan oleh:

    a. George Alexnder Wilken dengan teori evolusi religi untuk menganalisa

    kepercayaan masyarakat Indonesia;

    b. W.H. Rassers dan J.P.B. de Joselin dengan memanfaatkan teori

    strukturalis social. Dimana Rassers menunjukkan bahwa legenda,

    upacara, dan struktur social Jawa adalah bagian yang tidak dapat

    dipisahkan. Sedangkan Joselin, yang mempelajari mitologi Indonesia,

    melalui teori strukturalis social mengupas dan kemudian menyimpulkan

    bahwa dalam system kepercayaan Indonesia dikenal dua hingga tiga

    macam dewa.;

    c. H. B. Sarkar yang menganalisa legenda tokoh Pandji dari Jawa Timur

    dengan menggunakan teori Solar Mythology berkesimpulan bahwa

    cerita ini tidak berhubungan dengan totemisme melainkan bentuk

    sebuah mite alam;

    d. L.H. Coster-Wijsman dengan mempergunakan teori difusionisme

    memperbandingkan tokoh-tokoh penipu, utamanya dari daerah

    Pasundan, dan berkesimpulan bahwa cerita Kabayan berasal dari

    Turki-Arabia;

    e. Jan de Vries, juga menggunakan teori difusionisme, memanfaatkan

    Tale Type Index milik Antti Aarne dan Stith Thompson. Vries berusaha

    membuktikan pentingnya penelitian atas folklor Indonesia yang

    dianggap memiliki kandungan berbagai motif cerita yang sama dengan

    yang dimiliki Eropa. Namun, dituliskan oleh James kembali, bahwa

  • 7

    motif-motif Indonesia dan Eropa ini merupakan bentuk adaptasi yang

    berdiri sendiri dari motif cerita yang sama;

    Menutup bagian perkembangan folklor Indonesia dari masa lalu, James

    juga memberikan catatan bahwa penilitian folklor dilakukan oleh para ahli

    antropologi Belanda untuk perkembangan ilmu antropologi Indonesia,

    berbeda dengan yang dilakukan para ahli folklor Belanda, kecuali Jan de

    Vries. Ditengarai oleh James bahwa para ahli folklor Belanda tidak

    melakukan penelitian folklor dikarenakan oleh paradigma dari Negeri

    Belanda yang menganggap folklor sebagai kebudayaan petani desa Eropa,

    sehingga kebudayaan Indonesia yang dianggap primitif tidak dimasukkan

    di dalamnya.

    2. Masa Kini

    Pengumpulan dan penginventarisasian folklor Indonesia di masa kekinian

    diyakini James terbagi dalam dua macam:

    a. Pengumpulan semua judul karangan (buku dan artikel). Metode

    pengumpulannya dalam bentuk penelitian di perpustakaan (library

    research);

    b. Pengumpulan bahan folklor langsung dari tutur kata orang-orang

    anggota kelompok empunya folklor. Sedangkan pada kegiatan

    pengumpulan ini, metode inventarisasi pengumpulannya melalui

    penelitian di tempat field research).

    Untuk kemudian tujuan penginventarisasian tersebut dibagi menjadi:

    a. Menghasilkan bibliografi biasa, berisikan nama pengarang, tempat dan

    tanggal terbit, penerbit serta judul karangan namun tanpa disertai

    anotasi (ringkasan karangan);

    b. Menghasilkan bibliografi beranotasi, yang berisikan seluruh informasi

    seperti halnya bibliografi biasa namun disertai anotasi judul karangan.

    Lebih lanjut lagi, James meyakini bahwa penginventarisasian folklor

  • 8

    Indonesia dengan tujuan untuk membuat sebuah bibliografi belum

    dilakukan hingga pada tahun sebelum 1970-an. Bibliografi beranotasi atas

    folklor Indonesia diyakini diprakarsai oleh James sendiri, yaitu pada tahun

    1972 atas folklor Jawa. Dan selanjutnya jejak tersebut diikuti oleh I.G.

    Ng. Arintonpudja dan Sugiarto Dakung di tahun 1973, secara berturut,

    atas folklor Bali dan folklor Sunda, sedangkan pada tahun 1978 dilakukan

    penyusunan bibliografi atas pengobatan rakyat Indonesia oleh A.A.M.

    Kalangie-Pandey, namun, menurut James, yang sangat disayangkan

    ketiga bibliografi tersebut tidak diterbitkan seperti halnya milik James.

    Pemaparan yang dilakukan oleh James diatas masih terfokus pada kaitan

    terhadap folklor lisan dan sebagian lisan saja. Menurutnya folklor bukan

    lisan di Indonesia masih belum banyak disentuh, namun sebagian besar

    bentuk folklor bkan lisan yang bersifat material menurutnya telah lama

    mulai dikumpulkan oleh orang-orang di Indonesia sebagai koleksi dari

    musem-musem di kota-kota besar, pusat dan atau daerah.

    Setelah mengupas mengenai bagaimana perkembangan folklor di masa

    dahulu hingga kini di Indonesia, James mengungkapkan mengenai hakikat

    penelitian folklor di Indonesia. Dimana folklor dianggap sebagai sebuah

    bentuk ungkapan secara sadar atau tidak tentang bagaimana folk-nya

    berpikir. Melalui beberapa contoh James berusaha mengungkapkan

    bagaimana folklor, lisan dan sebagian lisan.

    Yang menarik untuk digarisbawahi, lebih jauh lagi James menyatakan bahwa

    penelitian mengenai folklor Indonesia memiliki fungsi yang dinilainya akan

    menjadi sangat menarik untuk diselidiki terutama oleh para ahli dari latar

    berlakang keilmuan masyarakat dan psikologi. Dimana menurutnya hal

    tersebut akan memberikan andil dalam rangka pembangunan bangsa

    Indonesia.

    Pernyataan tersebut dilontarkan oleh James yang didasari pemaparan fungsi

  • 9

    penelitian folklor salah satunya seperti yang dicetuskan William R. Bascom.

    Dimana Bascom menyatakan terdapat empat fungsi penelitian folklor, yang

    meliputi sebagai3:

    a. Sistem proyeksi (projective system), sebagai cerminan angan-angan

    suatu kolektif;

    b. Alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan;

    c. Alat pendidikan anak (pedagogical device);

    d. Alat pemaksa dan pengawas agar nor-norma masyarakat akan selalu

    dipatuhi oleh kolektinya.

    Fungsi penelitian folklor lainnya yang juga penting ditilik adalah yang

    dinyatakan oleh Betty Wang, yaitu sebagai sebuah protes sosial.

    Sebagaimana yang diilustrasikan dalam buku atas kaisar Tiongkok Kuno yang

    melakukan pengklasifikasian serta pengarsipan atas nyanyian rakyat yang

    dikumpulkan dari para penyanyi rakyat di warung-warung teh disekitar

    kerajaan. Kumpulan folklor tersebut dijadikan sebagai sebuah alat ukur atas

    pelaksanaan kebijaksanaan Tiongkok Kuno dalam menjalankan

    pemerintahannya4.

    Menutup bab ini, James memberikan kesimpulan mengenai fungsi penelitian

    folklor Indonesia sebagai sebuah konsentrasi disiplin ilmu. Bahwa ketika

    Indonesia, yang pada masanya dinilai lebih condong kepada kebhineka-annya

    atas ekanya, mampu memiliki pemahaman atas ungkapan tradisional yang

    dimilikinya akan mulai mampu merengkuh jiwa persatuan dan kesatuan.

    James percaya bahwa Karena kenal timbullah cinta , yang dapat

    diwujudkan dengan melakukan pemahaman mendalam atas folklor kolektif

    sendiri maupun kolektif lain melalui penelitian folklor.

    Bentuk-bentuk Folklor Indonesia

    Secara garisbesar, pembagian umum folklor yang dipaparkan oleh James 3 Bascom, 1965: 3-20 4 Seperti yang dikutip oleh James Danandjaja dari Wang (1965: 312).

  • 10

    Danandjaja menggunakan sistem pembagian yang dicetuskan oleh Jan Harold

    Brunvand, ahli folklor Amerika Serikat. Dimana folklor dibagi ke dalam tiga

    bagian besar:

    1. Folklor lisan (verbal folklore), murni lisan. Yang termasuk ke dalam

    kategori ini diantaranya:

    a. Bahasa rakyat (folk speech), seperti logat, julukan, pangkat

    tradisional dan title kebangsawanan;

    b. Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo;

    c. Pertanyan tradisional, seperti teka-teki;

    d. Puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair;

    e. Cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng;

    f. Nyanyian rakyat.

    2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), merupakan campuran

    lisan dan unsur bukan lisan. Termasuk di dalam kategori ini adalah:

    a. Kepercayaan rakyat;

    b. Permainan rakyat;

    c. Teater rakyat;

    d. Tari rakyat;

    e. Adat istiadat;

    f. Upacara;

    g. Pesta rakyat

    h. Dan lain lain.

    3. Folklor bukan lisan (non verbal folklore), bentuknya bukan lisan meski

    dalam pembuatannya diajarkan secara lisan. Kategori ini dibagi lagi ke

    dalam dua kelompok besar, berupa:

    a. Material, termasuk di dalamnya:

    i. Arsitektur rakyat;

    ii. Kerajinan tangan rakyat;

    iii. Pakaian dan perhiasan tubuh adat

    iv. Makanan dan minuman rakyat; dan

    v. Obat-obatan tradisional.

    b. Bukan material, diantaranya meliputi:

  • 11

    i. Gerak isyarat tradisional (gesture);

    ii. Bunyi isyarat sebagai sebuah komunikasi rakyat; dan

    iii. Musik rakyat.

    Pengadopsian pembagian folklor milik Jan Harold Brunvand diatas dianggap

    yang baik pada masa itu, secara sementara, oleh James untuk

    menggolongkan folklor Indonesia. Pertimbangan James bahwa penggolongan

    folklor yang dilakukan Brunvand masih relevan dalam menggolongkan bahan-

    bahan folklor Indonesia juga diamini oleh Brunvand sendiri5.

    Lebih lanjut lagi James juga memasukkan pemikirannya atas penggolongan

    bentuk folklor Indonesia yang mengadpsi milik Brunvand. Beberapa yang

    dipaparkan James pada buku ini, disertai contoh folklor Indonesianya:

    A. Folklor Lisan Indonesia

    a. Bahasa Rakyat

    Termasuk di dalamnya logat bahasa Nusantara. James juga

    menyebutkan jenis-jenis bahasa rakyat selain logat yang termasuk

    di dalamnya. Slang yang merupakan bentuk bahsa rahasia berungsi

    untuk menyamarkan bahasa suatu komnitas tertentu dari kelompok

    luarnya Namun di masa kini slang dikenal denagn istilah cant yang

    memiliki arti khusus, .Salah satu yang diilustrasikan oleh James

    mengenai cant di Indonesia dari para kawanan pencopet atau

    jambret adalah penggunaan kata jengkol dan rumput, dimana

    James mengungkapkan bahwa rumput sebagai sebuah kode bagi

    polisi dan jengkol sebaga kacamata. James juga menyebutkan

    bentuk contoh cant yang berasal dari kelompok-keompok lain

    seperti yang berasal dari kelompok remaja Jakarta atau contoh

    lainnya yang berasal dari kelompok kaum gay.

    Selain cant, bentuk selanjutnya adalah colloquial ang merpakan 5 Persetujuan Brunvand (1973, 1973: 98) ini seperti yang disuratkan oleh James Danandjaja (2002: 22).

  • 12

    penyimpangan bahasa sehari-hari dari bentuk konvensional. Bentuk

    yang cukup dikenal dari bahasa orang Betawi di kalangan

    mahasiswa contohnya adalah ajegile (gila) dan gense (genit).

    Fungsi colloquial brhubungan dengan menambah keintiman

    hubungan.

    Sirkumlokusi atau ungkapan tidak langsung. Salah satu

    sirkumlokusi Jawa Tengah adalah penggunakan istilah eyang

    untuk menyatakan harimau. Dipercaya oleh masyarakat Jawa

    Tengah bahwa untuk menghindari terkaman sang raja hutan,

    dengan menyebut harimau dengan istilah eyang yang berarti

    kakek, yang digambarkan bahwa menurut logika orang Jawa bahwa

    kakek tidak akan menrkam cucunya sendiri.

    Gelar kebangsawanan atau jabatan tradisional ternyata juga

    merupakan bentuk bahasa rakyat. Seperti yang dicontohkan

    misalnya adalah gelar jabatan kuni di ulai Bali oleh anggota desa

    asat Trunya: kubuyan, bau mucuk, bau madenan, bau merapat,

    bau nem, saing pitu, saing kutus, saing sanga, saing diyesta, pasek,

    dan panyarikan6.

    Bahasa bertingkat, yang definisinya oleh James (1986) dituliskan

    sebagai bahasa yang dipergunakan dengan megingat akan adanya

    perbedaan dalam lapisan masyarakat, tingkat masarakat, atau

    tingkatan umur, memiliki nilai hubungan budaya dengan

    pemakainya dengan adat sopan santun. Sedikit ilustrasinya pada

    bahasa bertingkat orang Jawa Tengah yaitu bahasa ngoko, yang

    sifatnya kurang hormat serta tidak resmi,; bahasa madyo, yang

    sifatnya sedikit hormat serta setengah resmi; dan bahasa kromo,

    yang sifatnya hormat dan resmi7. 6 Seperti yang disarikan kembali dari Danandjaja (1980: 265-266). 7 Seperti yang dikutip dalam buku dari Poedjosoedarmo (1968).

  • 13

    Bahasa rakyat lainya adalah onomatopoetis, kata-kata yang

    dbentuk dengan mencontoh bunyi atau suara alamiah, seperti

    contoh kedomprangan dalam bahasa Betawi yang berasal dari

    kemiripan kata dasar prang sebagai kata dari suara piring pecah.

    Dan satu lagi jenis bahasa rakyat yang juga digambarkan James

    melalui islutrasi contoh bahasa raykat Indonesia adalah onomastis.

    Onomatis dimaknai sebagai nama tradisional jalan atau tempat-

    tempat tertentu tang mempunyai legenda sebagai sejarah

    terbentuknya. Salah satu bentuk ilutsrasinya adalah sejarah

    terbentuknya nama Betawi yang menurut folk Betawi berasal dari

    kata ambet dan tahi (kotoran manusia). Dimana ceritanya nama

    itu muncul ketika Belanda menyerang tentara Sultan Agung dari

    Jayakarta di bentengnya dengan menyemprotkan kotoran manusia.

    Sehingga tentara Sultan Agug yang tidak tahan baunya melarikan

    diri, dan semenjak saat itu menurut legenda Kota Jayakarta

    berubah nama menjadi Kota Betawi.

    Ilustrasi mengenai bahasa rakyat ditutup dengan rangkuman fungsi

    bahasa rakyat dalam kehidupan bermasyarakatnya menurut James:

    1. Memberi serta memperkokoh identitas folk-nya;

    2. Melindungi folk pemilik folklor dari ancaman kolektif lain atau

    penguasa (slang, bahasa rahasia, dan cant);

    3. Memperkokoh kedudukan folk-nya pada jenjang masyarakat

    (gelar dan bahasa bertingkat);

    4. Memperkokoh kepercayaan rakyat dari ifolk-nya

    (sirkumlokusi dan julukan yang diberikan kepada anak-anak

    yang buruk kesehatannya).

    b. Ungkapan Tradisional

    James tidak mendefinisikan sendiri mengenai pemaknaan ngkapan

  • 14

    tradisional yang dirasanya paling tepat. Namun ia menarik

    beberapa pendapat terdahulu untuk mengantarkan bagaimana

    ungkapan tradisional sebaiknya dimaknai. Mengambil pendapat

    milik Cervates bahwa ungkapan tradisional merupakan kalimat

    pendek yang disarikan dari pengalamn panjang, serta dari

    Bertrand Russel mengungkapkan bahwa ungkapan tradisional

    adalah kebijaksanaan orang banyak yang merupakan kecerdasan

    seseorang8.

    Yang patut digarisbawahi bahwa James menilik pendapat Russel,

    yang penting bagi metode penelitian dan anropologi, yang

    menyatakan meskipun ungkapan tradisional adalah milik kolektif,

    namun yang hanya segelintir saja dari mereka yang menguasai

    secara aktif. Carl Wilhelm con Sydow, folklorist Swedia, juga

    menyadari kondisi ini dan James menuliskan pendapatnya yang

    menggolongkan orang-orang yang mengetahui bentuk folkor

    menjadi:

    1. Pewaris pasif (passive bearer), mengetahui bentuk folklor

    namun tidak memiliki kemampuan dan tidak memiliki minat

    untuk menyebarkan secara aktif kepada orang lain.

    Golongan ini yang mayoritas terdapat;

    2. Pewaris aktif (active bearer),

    Bagi para peneliti yang hendak menelitinya, James mencatatkan

    bahwa terdapat tiga sifat hakiki ungkapan tradisional yang perlu

    diperhatikan9:

    1. Peribahasa harus berupa satu kalimat ungkapan, bentuk satu

    kata tradisional tidaklah cukup;

    2. Peribahasa ada dalam bentuknya yang sudah standar,

    semisal: seperti katak yang congkakadalah peribahasa, 8 Seperti yang dikutip James dari Dundes (1968). 9 Seperti yang dipaparkan kembali oleh James dari Brunvand (1968: 38).

  • 15

    namun seperti kodok yang sombong bukan peribahasa;

    3. Pribahasa memiliki vitalitas (daya hidup) tradisi lisan yang

    dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang

    berbentuk syair, iklan, reportase olahraga, dan sebagainya.

    Kemudian, peribahasa itu sendiri disarikan kembali dalam buku

    dengan meminjam pendapat Brunvand (1068: 40). Namun untuk

    membagi peribahasa Indonesia, James melakukan sedikit

    penyesuaian dengan tidak memasukkan satu klasifikasi Brunvand

    yang dianggap berlaku bagi peribahasa Amerika namun tidak dapat

    ditemukan jenisnya dalam peribahasa Indonesia, yaitu wellerism,

    sehingga James memandang peribahasa Indonesia hanya mampu

    dibagi menjadi empat golongan besar saja, yang meliputi:

    1. Peribahasa yang sesungguhnya (true proverb);

    2. Peribahasa yang tidak lengkap kalimatnya (proverbial

    phrase);

    3. Peribahasa perumpamaan (proverbial comparison);

    4. Ungkapan-ungkapan yang mirip dengan peribahasa.

    Selain pendapat Brunvand yang dikutip, James juga mencatat

    terdapat pembagian peribahasa Indonesia dari S. Keyzer (1862 dan

    1862a) yang sempat mengklasifikasikan himpunan peribahasa

    Jawa ke dalam lima golongan:

    1. Peribahasa mengenai binatang;

    2. Peribahasa mengenai tanam-tanaman;

    3. Peribahasa mengenai manusia;

    4. Peribahasa mengenai anggota kerabat;

    5. Peribahasa mengenai anggota tubuh.

    Selanjutnya juga dipaparkan bentuk klasifikasi lainnya terhadap

    peribahasa Nusantara yang dilakukan oleh folknya sendiri, semisal

    yang dilakukan oleh orang Bali. Mereka membagi ungkapan

  • 16

    tradisional ke dalam tiga golongan:

    1. Sesongan, peribahasa sesungguhnya (true proverb) yang

    dianggap berasal dari jenis yang mempergunakan kalimat

    sederhana;

    2. Sesenggakan, dianggap disamakan dengan aphorism,

    ungkapan pendek yang mengandung kebenaran;

    3. Seloka, disamakan dengan metaphor atau kiasan atau ibarat.

    c. Pertanyaan Tradisional

    Dinyatakan dikenal di Indonesia sebagai teka-teki, dengan bentuk

    pertanyaan tradisional yang memiliki jawaban yang tradisional

    pula. Pertama James memaparkan bagaimana teka-teki dibagi

    secara strukturalis menjadi dua kategori umum menurut Robert A.

    Georges dan Alan Dundes (1963: 113):

    1. Teka-teki yang tidak bertentangan (nonoppositional riddles),

    yang unsur-unsur pelukisannya dapat bersifat harfiah

    kembali dibagi dua menjadi:

    a. Seperti apa yang tertulis (literal) atau

    b. Kiasan (metaphorical).

    2. Teka-teki yang bertentangan (oppositional riddles), di

    dalamnya memiliki ciri pertentangan yang paling sedikit

    terdapat sepasang unsur pelukisannya (descriptive

    elements). Dalam kaitannya dengan tradisi lisan orang

    Inggris, Georges dan Dundes membagi teka-teki

    bertentangan ini menjadi tiga, yaitu:

    a. Kontradiksi yang berlawanan (antithetical contradictive);

    b. Kontradiksi yang mengurangi (privataional contradictive);

    c. Kontradiksi yang menyebabkan (causal contradictive).

    Pendapat lain mengenai pembagian jenis teka-teki yang

    dipaparkan di buku ini adalah dari milik Archer Taylor, folklorist

    Amerika Serikat, yang juga membagi teka-teki menjadi dua

  • 17

    golongan umum10:

    1. Teka-teki yang sesungguhnya (true riddle), dimana terdapat hubungan antara jawaban dan pertanyaan sehingga dapat

    dipecahkan dengan logika. Dipaparkan juga bahwa menurut

    Archer terdapat paling banyak enam unsur yang terkandung

    dalam suatu teka-teki sesunguhnya:

    a. Pengantar introduction;

    b. Pelukisan description;

    c. Nama name;

    d. Pembatas block;

    e. Penutup closing;

    f. Jawaban answer.

    Dicatatkan juga bagaimana penggolongan atas teka-teki

    yang dilakukan oleh peneliti terdahulu pernah diupayakan

    dibagi berdasarkan jawabannya, namun tidak berhasil. Lalu

    Archer Taylor kembali mencetuskan bentuk penggolongan

    teka-teki sesungguhnya berdasarkan sifat yang digambarkan

    dalam pertanyaan, sehingga muncul tujuh kategori umum

    yang membaginya:

    1. Persamaan dengan makhluk hidup;

    2. Persamaan dengan binatang;

    3. Persamaan dengan beberapa binatang;

    4. Persamaan dengan manusia;

    5. Persamaan dengan beberapa orang;

    6. Persamaan dengan tanaman;

    7. Persamaan dengan benda.

    Dan ditambahkan empat kategori lagi oleh Archer yang tidak

    termasuk dalam sifat hal yang digambarkan dalam

    pertanyaan, namun karena adanya pertambahan keterangan 10 Seperti yang disarikan kembali oleh James dari Brunvand (1968).

  • 18

    yang mendetail:

    8. Pertambahan keterangan perumpamaan;

    9. Pertambahan keteragan pada bentuk dan fungsi;

    10. Pertambahan keterangan pada warna;

    11. Pertambahan dalam tindakan.

    Tercatat dua jenis lagi teka-teki yang ditambahkan oleh

    Brunvand (1968: 58) selaian dari 11 jenis yang diutarakan

    Archer, yaitu:

    1. Teka-teki leher (neck riddle), tea-teki yang selalu

    diajukan kepada seseorang yang akan dihukum mati dan

    akan dapat menolong jiwanya;

    2. Teka-teki seolah cabul (pretended obscene), teka-teki

    yang jawabannya memberi kesan sesuatu yang cabul,

    namun ternyata tidak. Akan tetapi James berkesimpulan

    bahwa teka-teki yang dianggap menarik untuk diteliti ini

    memang termasuk cabul karena ditilik dari motivasi

    peanyanya yang memang cabul.

    2. Teka-teki yang tergolong bentuk lainnya, berbeda dengan teka-teki sesungguhya, tidak terdapat hubungan antara

    jawaban dan pertanyaan pada yang termasuk ke dalam

    golongan jenis teka-teki ini. Teka-teki ini, yang dikutip dari

    Brunvand (1968: 52-58) dibagi ke dalam lima golongan:

    1. Pertanyaan yang bersifat teka-teki (riddling questions),

    atau yang dinyatakan juga biasa disebut sebagai

    pertanyaan yang cerdik (clever questions) yait teka-teki

    yang jawabannya tidak dapat diramalkan sebelumnya;

    2. Pertanyaan yang bersifat permainan kata-kata

    (punning)atau dalam bahasa Inggris biasa disebut

    conundrum yaitu teka-teki yang terbentuk dari

    permainan kata-kata lucu;

  • 19

    3. Pertanyaan yang bersifat permasalahan (problem or

    puzzle) yaitu teka-teki yang berhubungan dengan Kitab

    Injil, ilmu hitung, silsilah atau pertanyaan praktis;

    4. Pertanyaan perangkap (catch questions) sifat teka-teki

    ini akan membuat oang yang kurang waspada malu

    karena terperdaya;

    5. Pertanyaan yang bernada lelucon (riddle jokes), dikenal

    juga sebagai moron jokes di Amerika Serikat yang

    dimaknai sebagai lelucin mengenai orang idiot. Bentuk

    lain yang juga termasuk kedalam kategori ini adalah

    lelucon berkisar mengenai makanan.

    Sebagaimana yang dinyatakan Brunvand, James juga

    menuliskan bahwa terdapat dua lagi jenis teka-teki

    golongan lain ini, namun dinyatakan bahwa jenis teka-teki

    ini tidak dapat sepenuhnya dimasukkan ke dalam jenis

    folklor lisan. Non-oral riddle atau teka-teki bukan lisan (198:

    54-55) yang bukan berasal dari bentuk kata-kata, namuan

    menggunakan gerak isyarat atau lukisan, terbagi menjadi

    dua yaitu rebus yang muncul dalam rupa deret gambar dan

    droodle teka-teki berupa gambar yang harus diterka isinya.

    Penggolongan-penggolongan diatas disadari James sebagai

    bentuk penggolongan teka-teki yang dibuat oleh Amerika untuk

    menggolokan teka-teki ala mereka, namun James sepakat

    bahwa beberapa daripada penggolongan tersebut masih dapat

    diaplikasikan untuk menggolongkan jenis teka-teki Nusantara.

    Namun tentu dengan penelitian yang dilakukan, ia berpendapat

    bahwa penggolongan tersebut perlu mendapat penyesuaian,

    baik dengan penambahan maupun pengurangan, untuk dapat

    dengan tepat mengklasifikasikan teka-teki Indonesia.

  • 20

    Beberapa yang dicatat James mengenai penggolongan teka-teki

    Nusantara yang pernah dilakukan adalah yang dilakukan oleh

    sarjana Belanda bernama Ranneft yang mempelajari teka-teki

    Jawa Tengah dan menggolongkannya menjadi dua:

    a. Berbentuk puisi;

    b. Berbentuk prosa, bentuk teka-teki berbentuk prosa kembali

    digolongkan menjadi empat:

    1. Teka-teki yang mengharapkan satu kata atau satu ide

    sebagai jawaban;

    2. Teka-teki yang terbentuk dari permainan kata-kata

    (pun), atau yang dalam bahsasa Jawa dikenal dengan

    istilah cangkriman;

    3. Teka-teki akronim;

    4. Teka-teki yang terbentuk dari huruf, angka, gambar,

    atau bentuk-bentuk geometris (rebus).

    Catatan yang perlu dicermati dari James adalah, dalam proses

    pengumpulan teka-teki Nusantara bahwa perlunya

    mengumpulkan juga istilah bahasa daerh teka-teki tersebut

    serta klasifikasi tradisionalnya dan pada kesempatan apakah

    teka-teki tersebut diajukan orang.

    Tidak lupa dalam bagian ini James memaparkan bagimana teki-

    teki memiliki fungsi dan guna, mengutip pemikirn Alan Dundes

    (1968: 8) fungsi dan guna teki-teki dijabarkan sebagai berikut:

    1. Menguji kepandaian seseorang;

    2. Untuk meramal;

    3. Sebagai bagian dari upcara perkawinan;

    4. Mengisi waktu bergadang menjaga jenazah;

    5. Untuk dapat melebihi orang lain.

    d. Sajak dan Puisi Rakyat

  • 21

    Karakter dari bentuk folklor lisan ini adalah kalimatnya yang terikat

    (fix phrase) tidak berbentuk bebas. Jenis follor lisan ini sudah

    memiliki bentuk tertentu, biasanya terjadi dari beberapa deret

    kalimat, dapat berdasarkan mantra, atau berdasarkan panjang

    pendek suku kata, lemah tekanan suara, ataupun berdasarkan

    irama.

    James tidak terlalu banyak memaparkan mengenai sajak dan puisi

    rakyat, namun cukup mencermati hal-hal penting mengenai jenis

    folklor ini. Bahwa sering kali ditemukan puisi-puisi rakyat

    Indonesia, juga bangsa lain, yang tumpang tindih dengan genre

    folklor lainnya seperti genre folklor teka-teki.

    Bagi bangsa Sunda, dituliskan bahwa puisi rakyat memiliki fungsi

    untuk menyampaikan sindiran. Hal ini disarikan dari pernyataan

    K.A.H. Hidding (1935), bahwa puisi rakyat orang Sunda yang

    berfungsi untuk menyindir, atau yang dikenal sebagai sisindiran,

    dibagi menjadi dua kategori menjadi apa yang disebut paparikan

    dan wawangsalan.

    Selanjutnya, teradapat beberapa bentuk sajak yang menurut

    James patut mendapat perhatian lebih yakni sajak rakyat untuk

    anak-anak (nursery rhyme), sajak permainan (play rhyme). Dan

    sajak untuk menentukan siapa yang jadi dalam suata permainan

    atau tuduhan (counting out rhyme).

    Di akhir bagian ini, James kembali memaparkan fungsi dari genri

    folklor lisan berbentuk sajak dan puisi rakyat memiliki fungsi

    berupa

    1. Sebagai alat kendali sosial, contohnya dapat dirasakan pada

    sajak sisindiran Sunda;

    2. Sebagai hiburan, terutama untuk anak bayi dan anak kecil

  • 22

    yang lebih besar;

    3. Untuk memulai suatu permainan;

    4. Untuk menekan atau mengganggu orang lain.

    e. Cerita Prosa Rakyat

    Inilah genre folklor lisan yang menurut James paling banyak

    mendapat perhatian para ahli folklor. Terbagi menjadi tiga

    golongan besar yang berdasarkan penggolongan yang dilakukan

    oleh William R. Bascom (1965b: 4), seperti yang disarikan dari

    James:

    a. Mite (myth), cerita prosa rakyat yang oleh empunya cerita

    dianggap benar-benar terjadi dan suci. Mite ditokohi oleh

    para dewa atau makhluk setengah dewa dan terjadi di dunia

    lain pada masa lampau.

    Di Indonesia, mite dibagi ke dalam dua macam berdasarkan

    tempat asalnya yaitu yang asli dari Indonesia dan yang

    berasal dari luar negeri (seperti India, Arab, dan Negara

    sekitar Laut Tengah) yang telah mengalami pengolahan lebih

    lanjut sehingga keasingannya tidak dirasakan. Untuk mite

    yang berasal dari luar negeri, James memahami bahwa telah

    terjadi apa yang dinyatakan Robert Redfield bahwa mite

    telah mengalami proses adaptasi (adaptation) yang

    mengurangi keasingannya.

    Bentuk mite Nusantara biasanya berkisar tentang terjadinya

    alam semesta (cosmogony); terjadinya susunan para dewa;

    dunia dewata (pantheon); trjadinya manusia pertama dan

    tokoh pembawa kebudayaan (culture hero); terjadinya

    makanan pokok untuk pertama kalinya.

    Beberapa dari mite Nusantara mendapat pengaruh dari luar

  • 23

    negeri, salah satunya dari India yang dituliskan telah diteliti

    oleh Raden S. Roosman dalam karangannya mengenai asal

    usul padi dari tubuh Dewi Sri. Motif cerita asal tanaman yang

    berasal dari jenazah manusia atau hewan ditengarai

    merupakan pinjaman dari India, yang disarikan James dapat

    dilihat pada Thompson dan Balys (1958: 52-56).

    Untuk memahami mengenai motif-motif mite yang asli

    berasal dari Indonesia atau yang berasal dari luar negeri,

    James menyarankan pada melakukan perbandingan mite-

    mite dengan menggunakan buku karangan Stith Thompson

    yang dianggapnya mampu mempermudah dan

    mempersingkat metode perbandingan mite. Dengan

    menggunakan Motif-Index of Folk Literature milik Thompson

    (1966) yang terdiri dari enam jilid, dirasa James mampu

    untuk membantu mempelajari apakah cerita rakyat yang

    tersebut memiliki keunikan ataukah cerita tersebut

    merupakan salah satu versi atau varian dari cerita rakyat

    dunia.

    Lebih lanjut lagi untuk memberi pengantar pemahaman atas

    karya Thompson, James menyampaikan bahwa istilah motif

    yang dimaksud dalam buku tersebut adalah unsur-unsur

    suatu cerita (naratives elements). Dimana unsur-unsur yang

    dimaksud dapat berupa benda, hewan luar biasa, suatu

    konsep, suatu perbuatan, penipuan terhadap tokoh, tipe

    orang tertentu, dan ribuan unsur lainnya yang secara

    sistematik disusun oleh Thompson11.

    Dengan memperhatikan motif-motif yang disusun Thompson 11 Contoh motif yang dipaparkan Thompson secara lebih mendalam dihantarkan oleh James pada halaman 54-55.

  • 24

    dapat ditemukan bahwa beberapa diantaranya mampu

    memberi gambaran adanya persamaan varian dari motif12

    yang dibukukan oleh Thompson yang dapat ditemukan pada

    beberapa tempat atau pada berbagai keyakinan. James

    menuliskan bahwa penjelasan persamaan varian tersebut

    hanya dapat diterangkan melalui dua kemungkinan ini yaitu:

    a. Monogenesis suatu penemuan yang diikuti proses

    difusi (diffusion) atau penyebaran. Beberapa teori

    yang digolongkan kedalam monogenesis adalah:

    a. Teori Grimm bersaudara, teori Jacob dan

    Wilhelm Grimm adalah yang banyak dianut

    kebanyakan ahli folklor dunia. Menekankan

    pada difusi (monogenesis) sebagai

    penyebab adanya kesejajaran/ persamaan,

    yang lebih lanjut mengatakan bahwa

    dongeng-dongeng Jerman yang mereka

    kumpulkan adalah mite yang sudah rusak

    yang berasal dari rumpun Indo-Eropa kuno;

    b. Teori mitologi matahari Max Muller, dengan

    pembandingan yang dilakukannya terhadap

    nama-nama para dewa dari beberapa

    mitologi Eropa terhadap nama-nama gejala

    alam dalam bahsa Sansekerta, Muller

    menyatakan bahwa mite sesungguhnya

    adalah kisah pengulangan kejadian pagi

    dan malam, dan dongeng Eropa diangap

    berasal dari mite karena mengandung

    perlambangan trjadinya siang dan malam13.

    Dituliskan oleh James bahwa penganut teori 12 Keterangan lebih jelas mengenai hal ini dapat ditemukan pada buku halaman 55-56. 13 Disarikan kembali oleh James dari Brunvand (1968: 84).

  • 25

    matahari beranggapan bahwa semua mite

    di dunia berasal dari India;

    c. Teori Indianist Theodore Benfey, meminjam

    pendapat Dundes bahwa sebenarnya teori

    ini bukan diutarakan pertama kali oleh

    Theodore Benfey, namun ialah yang

    pertama kali memperhatikan pendapat

    bahwa pencarian asal semua dongeng

    Eropa mungkin harus dilakukan di India

    (Loiseleur Deslongchamps, 1938),

    atau;

    b. Poligenesis adalah yang disebabkan oleh

    penemuan-penemuan sendiri (independent

    invention) atau sejajar (parallel invention) dari

    motif-motif cerita yang sama pada tempat

    berlainan dalam suatu masa, baik yang berlainan

    atau maupun yang sama. Bentuk teori yang

    termasuk kedalam golongan poligenesis yang

    disebutkan oleh James antara lain:

    a. Teori survival atau dipahami sebagai

    peninggalan yang dapat hidup terus dalam

    kebudayaan dari English antropologist.

    Dijelaskan melalui teori survival Andrew

    Lang bahwa paham ini menganggap setiap

    kebudayaan di dunia memiliki kemampuan

    untuk berevolusi, karena masing-masing

    folk dianggap memiliki kemampuan

    melahirkan unsur-unsur kebudayaan yang

    sama dalam setiap taraf evolusi yang sama.

    Maka setiap kesamaan yang ditemukan

    pada beberapa negara dalam motif cerita

    rakyatnya dianggap berasal dari

  • 26

    kemampuan masing-masing Negara

    tersebut untuk menciptakannya secara

    berdiri sendiri maupun sejajar ;

    b. Teori evolusi kebudayaan berasal dari teori

    biologi Charles Darwin yang digunakan

    sebagai dasar berpikir oleh para anggota

    English anthropologist yang menganut

    paham evolusi kebudayaan. James

    menyarikan apa yang dikatakan Andrew

    Lang bahwa pola berpikir paham evolusi

    kebudayaan mengibaratkan bahwa

    kemampuan kebudayaan untuk

    berkembang dari tingkat lebih rendah ke

    tingkat yang lebih tinggi diibaratkan seperti

    kemampuan biji yang dapat berkembang

    menjadi sebuah pohon besar;

    c. Teori psikoanalisa, berdasar dari pemikiran

    milik Sigmund Freud, Carl Yung, dan

    lainnya. Paham ini beranggapan bahwa

    kesamaan bukanlah berasal dari hasil difusi,

    namun lebih karena penemuan yang berdiri

    sendiri. Kemiripan yang terjadi dinyatakan

    sebagai kesadaran bersama yang

    terpendam (collective unconscious) oleh

    Carl Yung, seperti: keinginan untuk

    bersetubuh, keinginan untuk kembali ke

    rahim dan keinginan untuk dilahirkan

    kembali. Setiap manusia dinatakan memiliki

    collective unconscious, ang berupa mimpi-

    mip bertema universal sehingga persamaan

    dalam mite-mite di berbagai bangsa tidak

    dianggap aneh. Menurut para ahli

  • 27

    psikoanalis mite memang berasal dari

    mimpi14;

    d. Teori euhemerisme, merupakan teori yang

    dicetuskan oleh Euhemerus, seorang filsuf

    dari Sisilia yang mengganggap bahwa

    manusia yang menciptakan dewasnya atas

    dasar bentuk wajah dirinya. Lebih jauh lagi

    dituliskan bahwa pada hakikatnya mite

    adalah pendewaan mausia yang merupakan

    kisah nyata orang-orang yang pernah hidup

    namun mengalami distorsi15;

    e. Teori neo euhemerisme atau yang dikenal

    juga dengan nama heroic age theory

    merupakan hasil pengembangan yang

    berdasar dari teori euhemerisme oleh H.M.

    dan N.K. Chadwick dalam buku The Growth

    of Literature. Menurut pendapat mereka

    bahwa tokoh-tokoh mitologi, dari Eropa,

    memang hidp di zaman Eropa kun yang

    kemudia diwariskan pada generasi

    berikutnya dalam bentuk mite atau

    legenda;

    f. Myth-ritual theory milik F.R.S. Lord Raglan,

    merupakan bentuk anti-thesis dari teori

    Euhemerisme bahwa asal mite bukanlah

    dari sejarah. Para pahlawan-pahlawan mite

    memang tokoh sejarah namun sejarah

    pribadinya diambil dari riwayat hidup

    tradisional yang sudah ada dalam repertoar 14 Seperti yang disarikan James dari Karl Abraham yang mengutip karangan Dorson (1963: 105) yang menyatakan bahwa mimpi adalah mite perorangan (1913: 72). 15 Seperti yang disarikan James dari Websters New World Dictionary (1959: 501).

  • 28

    folklor. Dimana pola riwayat hidup

    merupakan penggambaran pola lingkaran

    hidup (Danandjaja dari Dundes, 1965:

    142)16.

    Demikian James menyarikan penggolongan mite menjadi

    dua besar oleh para ahli folklor. Kemudian lebih lanjut lagi ia

    berpendapat bahwa untuk mite Nusantara sendiri masih

    belum mendapat perhatian, namun beberapa jenis mite

    seperti misalnya mite Jawa dinyatakan dapat dipelajari

    dengan teori difusionisme yang banyak mendapat pengaruh

    dari epos Mahabarata dan Ramayana. Namun lain halnya

    dengan mite-mite liar Jawa yang kurang mendapat pengaruh

    Hindu-Budha, James menganggap bahwa teori poligenesis

    yang menang.

    b. Legenda (legend), prosa rakyat yang bercirikan dianggap

    benar telah terjadi namun tidak dirasa suci seperti halnya

    mite. Jika mite ditokohi oleh dewa atau manusia etengah

    dewa, maka legenda ditokohi manusia yang terkadang dapat

    ditemukan juga memiliki sifat luar biasa dan dibantu oleh

    makhluk ajaib. Tempat terjadinya di dunia yang dikenal kini

    dengan waktu yang belum terlalu lampau.

    Memiliki sifat migratoris (berpindah-pindah) dan mengutip

    pernyataan Alan Dundes bahwa jumlahnya lebih banyak

    daripada mite atau dongeng, dan di tiap zaman akan

    menyumbangkan legenda-legenda baru atau setidaknya

    dalam bentuk varian baru dai legenda lama17. 16 Lebih lanjut mengenai pemikiran Raglan dapat dibaca pada buku halaman 61-62. 17 Seperti yang disarikan James dari Dundes (1971: 25).

  • 29

    Legenda digolongkan menjadi empat kelompok, yang

    dipinjam dari pemikiran Jan Harold Brunvand, yakni menjadi:

    1. Legenda keagamaan;

    2. Legeda alam gaib;

    3. Legenda perseorangan;

    4. Legenda setempat.

    c. Dongeng (folktale), dianggap tidak benar-benar terjadi oleh

    empunya cerita yang tidak terikat waktu dan tempat.

    Dituliskan bahwa dongeng biasanya memiliki kalimat

    pembuka dan penutup yang klise.

    Untuk menggolongkan bentu-bentuk dongeng, James

    menyebutkan salah satu model klasifikasi yang cukup umum

    sehingga dianggap mampu diterapkan bagi dongeng-

    dongeng Eropa dan India milik Kaarle Krohn, pelopor

    penelitian dongeng modern. Oleh Antti Aarne dan Stith

    Thompson model penyusunan indeks dongeng Eropa yang

    digagas Krohn diterjemahkan dan diperluas lagi, awalnya

    oleh Thompson dalam buku The Types of the Folktale

    (Folklore Fellow Communications, No. 74) . Kemudian

    disempurnakan lagi dalam buku The Types of the Folktale

    (1964:19-20) bersama Antti Aarne yang membagi jenis

    dongeng ke dalam empat besar:

    1. Dongeng binatang, James menyarikan bahwa menurut

    Sir Richard Windsted (peneliti sejarah asal dongeng

    Kancil) dongeng-dongeng binatang telah diukirkan orang

    pada stupa di Barhud Allahabad, India yang berasal dari

    cerita agama Budha yang dikenal sebagai Jatakas. Dan

    banyak dongeng yang bersumber pada Jatakas seperti

    Pancatantra yang ditulis pada 300 Sesudah Masehi dan

  • 30

    dongeng binatang yang disebut fable daru Aesop.

    Dituliskan bahwa berdasarkan rekonstruksi yang

    dilakukan Winsted, diketahui bahwa menyebar keluar dari

    India hingga termasuk ke Indonesia. Melalui bukti-bukti

    yang ditemukannya, persamaan dongeng-dongeng di

    Asia Tenggara, Afrika, dan India terjadi akibat difusi dan

    bukan penemuan sejajar atau berdiri sendiri.

    Kemudian berkembang lagi penelitian atas dongeng

    binatang, yang awalnya dinyatakan bahwa dongeng

    binatang merupakan sebuah difusi namun ditemukan

    kelemahan. Diman proses difusi tidak mampu

    menjelaskan mengapa terjadi perubahan jenis tokoh,

    semisal yang awalnya jenis binatang lain yang menjadi

    tokoh kemudian berubah menjadi seekor kelinci

    setibanya di Afrika dan kancil di Indonesia. Fenomena itu

    kemudian diteliti lebih lanjut oleh McKan dengan

    menggunakan metode analisis strukturalis yang dipinjam

    dari Alan Dundes.

    Metode analisis strukturalis Dundes digunakan untuk

    membuktikan dongeng-dongeng orang Indian memiliki

    struktur, yang sedikitnya terjadi disequilibrium (keadaan

    tidak seimbang) ke equilibrium (keadaan seimbang). Oleh

    Dundes dirumuskan sebagai dua motifeme Lack (L) dan

    Lack Liquidated (LL). Namun terdapat jenis motifeme lain

    yang terdiri dari empat motifeme, oleh Dundes

    dirumuskan sebagai interdiction (larangan), violation

    (pelanggaran), consequence (akibat), dan attempted

    escape (usaha melarikan diri, yang dapat berhasil

  • 31

    maupun gagal)18.

    2. Dongeng biasa, jenis dongeng yang ditokohi manusia dan

    biasanya berkisah tentang suka duka seseorang.

    Diilustrasikan oleh James melalui contoh-contoh dongeng

    Nusantara bagaimana tipe suatu cerita dapat ditemukan

    juga di negara-negara lain (seperti yang dikutip dari

    Thompson, 1966: 34)19. James mengakui bahwa cerita

    rakyat Indonesia, terutama dari Jawa, Bali, dan Sunda,

    mendapat banyak pengaruh dari luar nmun pengaruh

    tersebut tidak semata-mata diambil alih begitu saja

    namun mengalami diolah, atau oleh Robert Redfield et al

    (1936: 152) diistilahkan sebagai mendapat proses

    adaptasi (adaptation). Sehingga pengaruh luar tersebut

    tidak lebih sesuai dengan kebudayaan mereka dan tidak

    terasa keasingannya. Melalui beberapa contoh yang

    diilustrasikan James dalam bukunya, ia menyimpulkan

    kebudayaan Indonesia saling mempengaruhi dan juga

    mendapat pengaruh dari budaya lain ;

    3. Lelucon dan anekdot, didefinisikan sebagai dongeng-

    dongeng yang dapat menimbulkan rsa menggelikan hati

    yang mampu menimbulkan tawa bagi yang mendengar

    maupun menceritakannya. Anekdot dipahami sebagai

    kisah fiktif lucu pribadi seorang tokoh atau beberapa

    tokoh yang benar-benar ada, sedangkan lellucon

    menangkut kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif yang

    dapat menyangkut suku bangsa, golongan, bangsa, dan

    ras. Dalam bagian ini James dalam melakukan

    penggolongan lelucon dan anekdot, dikemukakan

    gagasan milik Antti Aarne dan Stith Thompson (1964: 19-

    200) dan Jan Harold Brunvand (1968: 111). 18 Untuk lebih jelasnya dapat dibaca pada buku halaman 93-96. 19 Untuk lebih jelasnya dapat dibaca pada buku halaman 98-107.

  • 32

    Antti Aarne dan Stith Thompson menggolonkan lelucon

    dan anekdot ke dalam sepuluh golongan20:

    a. Cerita orang sinting;

    b. Cerita sepasang suami-istri;

    c. Cerita seorang wanita;

    d. Cerita seorang pria atau anak laki-laki;

    e. Cerita seorang lelaki yang cerdik;

    f. Cerita kecelakaan yang menguntungkan;

    g. Cerita lelaki bodoh;

    h. Lelucon mengenai pejabat agama dan badan

    keagamaan;

    i. Anekdot mengenai kolektif lain;

    j. Cerita dusta.

    Sedangkan penggolongan yang dilakukan oleh Brunvand

    mengklasifikasikan lelucon menjadi tiga besar: lelucon

    agama, lelucon bangsa, dan lelucon seks.

    James sendiri kemudian menarik kesimpulan dari

    penggolongan atas lelucon dan anekdot yang telah

    dilakukan terdahulu kemudian melahirkan usulan untuk

    membagi lelucon dan anekdot ke dalam tujuh kategori

    klasifikasi, yaitu:

    1. Lelucon dan anekdot agama:

    a. Tokoh agama, b. Tokoh agama tertentu, dan

    c. Ajaran agama tertentu;

    2. Lelucon dan anekdot seks:

    a. Seks bangsa atau suku bangsa, b. Seks tokoh

    agama, c. Seks tokoh agkatan bersenjata, d. Seks 20 Keterangan yang lebih menyeluruh disertai contoh yang dipaparkan James, terdapat dalam buku halaman 119-123.

  • 33

    tokoh politik, e. Seks orang biasa dewasa, f. Seks

    orang biasa kanak-kanak, dan g. Lainnya;

    3. Lelucon dan anekdot bangsa atau suku bangsa:

    a. Bangsa atau suku bangsa, b. Tokoh tertentu

    suatu bangsa atau suku bangsa;

    4. Lelucon dan anekdot politik:

    a. Tokoh politik; b. Paham politik tertentu;

    5. Lelucon dan anekdot angkatan bersenjata:

    a. Tokoh angkatan bersenjata; b. Kesatuan

    angkatan bersenjata;

    6. Lelucon dan anekdot seorang professor:

    a. Profesor tertentu, b. Profesor pada umumnya;

    7. Lelucon dan anekdot anggota kolektif lainnya.

    4. Dongeng berumus, memiliki struktur dari pengulangan

    dengan beberapa subbentuk, seperti yang dituliskan

    kembali oleh James dari Brunvand (1968: 117-118):

    a. Dongeng bertimbun banyak;

    b. Dongeng untuk mempermainkan orang;

    c. Dongeng yang tidak mempunyai akhir.

    Catatan dari James, bahwa tidak jarang diantara golongan genre

    cerita prosa rakyat ini memiliki ciri yang mirip dengan golongan

    prosa rakyat lainnya sehingga menimbulkan kesukaran dalam

    memasukkan ke dalam kategori yang mana. Namun dituliskan

    bahwa jika hal demikian terjadi, maka yang harus dilakukan adalah

    dengan mempertimbangkan ciri mana yang lebih berat terkandung

    di dalamnya. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan

    mengetahui folk pemilik atau pendukung cerita tersebut untuk

    menentukan suatu cerita termasuk ke dalam golongan mite,

    legenda atau dongeng.

  • 34

    Prosa rakyat juga memiliki hukum tersendiri dan dituliskan kembali

    dalam buku ini, penemuan ini dilakukan oleh Axel Olrik yang

    menyatakan bahwa cerita prosa rakyat (mite, legenda, dan

    dongeng) dan teks nyanyian rakyat tidak mengikuti hukum-

    hukum lain selain hukumnya sendiri. Hukum epos yang berlaku

    tersebut memberi batasan bagi kebebasan pengarang kesusastraan

    lisan jika dibandingkan dengan kesusastraan tulisan menjadi kurang

    bebas, berikut hukum-hukum yang berlaku21:

    1. Hukum pembukaan dan penutup;

    2. Hukum pengulangan;

    3. Hukum tiga kali;

    4. Hukum dua tokoh di dalam satu adegan;

    5. Hukum keadaan berlawanan;

    6. Hukum anak kembar;

    7. Hukum pentingnya tokoh-tokoh yang keluar pertama dan

    terakhir;

    8. Hukum ada satu pokok cerita saja dalam suatu cerita;

    9. Hukum bentuk berpola cerita rakyat;

    10. Hukum penggunaan adegan-adegan tablo;

    11. Hukum logika legenda;

    12. Hukum kesatupaduan rencana cerita;

    13. Hukum pemusatan pada rencana cerita;

    14. Hukum pemusatan pada tokoh utama dalam cerita rakyat itu.

    Namun dicatatkan oleh James bahwa hukum ini tidak serta merta

    dapat diterapkan dalam cerita rakyat Indonesia, namun pada

    prinsipnya menurut James hukum-hukum tersebut dapat juga

    terkandung di dalam cerita rakyat Indonesia.

    James menutup bahasan mengenai genre prosa rakyat dengan

    memaparkan fugsi genre ini, yang menurutny hampir semua fungsi 21 Dituliskan kembali oleh James dari Olrik (1965: 129-141). Untuk pemahaman lebih lanjut, keterangan yang lebih detail terdapat pada buku halaman 82-83).

  • 35

    telah dirumuskan oleh Bascom (1965a: 279-298). Beberapa fungsi

    lainnya yang juga disoroti oleh James yaitu legenda sebagai alat

    pengesahan pranata dan lebaga kebudayaan, dongeng berfungsi

    sebagai alat pendidikan anak (pedagogi) yang dapat ditemukan

    pada dongeng sang Kancil dan dongeng Ande-ande Lumut dan

    untuk dongeng lelucon dan anekdot sebagai penghibur hati

    penonton juga penyalur ketegangan yang ada pada masyarakat.

    f. Nyanyian Rakyat

    Merupakan salah satu genre folklor yang terdiri dari kata-kata dan

    lagu, yang beredar secara lisan di antra anggota kolektif tertent,

    berbentuk tradisional serta memiliki banyak varian, seperti yang

    dikutip James dari Brunvand (1968: 130). Nyanyian rakyat terdiri

    dari dua unsur penting yaitu lirik (kata-kata) dan lagu, sehingga

    menurut James dalam pengumpulan nyanyian rakyat, akan

    menjadi salah besar jika nyanyian rakyat dikumpulkan tidak

    dengan lagunya. Karena kedua unsur tersebut merupakan

    dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan.

    Dituliskan bahwa nyanyian rakyat dianggap terbagi menjadi

    nyanyian rakyat yang tidak sesungguhnya dan nyanyian rakyat

    yang sesungguhnya. Dimana nyanyian rakyat yang tidak

    sesungguhnya adalah bentuk nyanyian rakyat yang dianggap

    kurang sempurna. Proto folksong22 (nyanyian rakyat yang bersifat

    permulaan), jenis nyanyian rakyat yang liriknya jika dibandingkan

    lagunya tidak penting dan near song, nyanyian rakyat yang liriknya

    lebih menonjol dari lagunya, dianggap masuk ke dalam nyanyian

    rakyat yang tidak sesungguhnya, karena nyanyian rakyat

    sesungguhnya harus memiliki lagu dan lirik yang sama kuat.

    Sedangkan nyanyian rakyat yang sesungguhnya dibagi menjadi 22 Dituliskan kembali berdasarkan pendapat Brunvand.

  • 36

    tiga (dari Brunvand 1968: 136-144)23:

    1. Nyanyian rakyat yang berfungsi;

    2. Nyanyian rakyat yang bersifat liris;

    3. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah.

    B. Folklor Sebagian Lisan Indonesia

    Merupakan bentuk folklor gabungan dari unsur lisan dan bukan lisan.

    Beberapa contoh bentuk folklor sebagai lisan di Indonesia adalah

    sebagai berikut:

    a. Kepercayaan Rakyat

    Dikenal juga dengan istilah takhyul, namun dituliskan bahwa

    takhyul sering dianggap menghina atau merendahkan sehingga

    folklorist lebih sering menggunakan istilah kepercayaan rakyat.

    Kepercayaan rakyat atautakhyul ini berbeda dengan ungkapan

    tradisional lainnya, dimana takhyul berdasar pada asumsi atas

    kesadaran atau bukan kesadaran mengenai syarat-syarat dan

    akibat-akibat, sebab-akibat dalam dunia kehidupan sehari-hari.

    Meski tidak ilmia, aspek kepercayaan dan perbuatan takhyul

    sangat luas penyebarannya di semua lapisan masyarakat

    (seperti yang disarikan James dari Brunvand (1968: 179)).

    b. Permainan Rakyat

    Dituliskan oleh James bahwa permainan rakyat dimasukkan ke

    dalam genre folklor karena perolehannya melalui warisan lisan.

    Berdasatkan sifatnya, permainan rakyat dibagi menjadi dua

    golongan:

    1. Permainan untuk bermain, digunakan untuk mengisi

    waktu senggang atau rekreasi;

    2. Permainan untuk bertanding, memiliki lima sifat

    23 Dapat ditemukan paparan lebih mendalam pada buku halaman 147-152.

  • 37

    khusus24:

    a. Terorganisasi;

    b. Perlombaan;

    c. Harus dimainkan oleh paling sedikit dua orang;

    d. Mempunyai criteria untuk menentukan siapa yang

    menang da siapa yang kalah;

    e. Mempunyai peraturan permainan yg telah diterima

    bersama oleh para pesertanya.

    C. Folklor Bukan Lisan

    a. Makanan Rakyat

    Sedikit penjelasan menarik mengenai hubungan makanan dan

    budaya dari James, sesuai dengan pendapat George M. Foster dan

    Barbara Gallatin Anderson, bahwa kebudayaan adalah yang

    menentukan suatu itu merupakan makanan atau bukan (1978:

    265).

    Lebih lanjut lagi James kemudian secara lebih mendetail membahas

    mengenai bagaimana konsep makanan, cara memperoleh

    makanan, cara pengolahan makanan, cara penyajian serta fungsi

    makanan yang seluruh perlakuannnya, di tiap tujuan, tempat dan

    waktu yang berbeda, mendapat pengaruh dari kebudayaan tempat

    makanan itu berasal25.

    Pada resume ini saya hanya akan memaparkan apa yang dituliskan

    kembali oleh James mengenai fungsi makanan rakyat untuk

    mengetahui hakikat makanan sebagai sebuah folklor bukan lisan.

    Sebagai sebuah genre follor bukan lisan, makanan dipandang tidak

    hanya sebagai sebuah alat pemenuhan kebutuhan biologis oleh 24 Seperti yang dituliskan kembali oleh James dari Roberts, Arth, dan Bush (1959: 597). 25 Untuk keterangan yang lebih mendalam dapat ditemuka dalam buku pada halaman 182-187.

  • 38

    James, namun makanan memiliki kemampuan menjaga hubungan

    sosial. Mengutip apa yang dikemukakan oleh Foster dan Anderson

    (1975: 268-271), bahwa makanan secara simbolis merupakan

    ungkapan dari:

    1. Ikatan sosial;

    2. Solidaritas kelompok;

    3. Makanan dan ketegangan jiwa;

    4. Simbolisme.

    Metode Pengumpulan Folklor bagi Pengarsipan

    Dalam bab terakhir ini, James menyampaikan bahwa penelitian folklor terbagi

    menjadi tiga tahap:

    a. Pengumpulan;

    b. Penggolongan (penklasifikasian);

    c. Penganalisaan.

    Untuk penelitian dengan tujuan pengarsipan atau pendokumentasian,

    menurut James, berifat penelitian di tempat dan terdapat tiga tahap yang

    harus dilalui :

    a. Tahap prapenelitian di tempat, menurut James dapat dimulai

    dengan mengadakan persiapan yang matang dengan membuat

    rancangan penelitian yang harus mengandung keterangan pokok.

    Yang termasuk ke dalam keterangan pokok semisal:

    1. Bentuk folklor apa yang hendak dikumpulkan, misal jika

    cerita rakyat apakah genre mite saja atau juga legenda

    dan dongeng (Danandjaja, 1984: 193);

    2. Bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut

    diatas;

    3. Apakah cukup dengan melakukan wawancara atau

    dibutuhkan alat bantu perekam dan sebagainya.

    Salah satu yang dicatatkan oleh James bahwa membangun

  • 39

    rancangan penelitian, penilitian khusus harus dilakukan dikediaman

    si peneliti, semisal: membaca semua karangan suku bangsa atau

    kolektif yang akan diteliti. Pengetahuan mengenai kebudayaan, adat

    istiadat serta sopan santun suku bangsa yang akan diteliti juga

    dinilai James akan sangat membantu jalannya penelitian kelak.

    b. Tahap penelitian di tempat sesungguhnya, James mengisyaratkan

    bahwa membina hubungan akrab akan mempermudah penelitan di

    tempat, terutama terhadap para informan yang merupakan pewaris

    aktif. Beberapa cara yang diungkapkan oleh James utuk

    memperoleh bahan folklor di tempat adalah melalui wawancara dan

    pengamatan, kedua cara tersebut dinilai sudah cukup.

    Untuk kepentingan penelitian folklor, umumnya digunakan dua

    macam wawancara menurut James,yaitu:

    1. Wawancara tidak terarah (non directed) umumnya

    digunakan pada tahap pertama penelitian, bersifat bebas

    santai yan memberi informan kesempatan besar untuk

    memberi keterangan yang ditanyakan. Dianggap penting

    oleh James karena mampu memberi keterangan tak

    terduga, yang menurutnya tidak mampu digali dari cara

    wawancara terarah;

    2. Wawancara terarah, bersifat (directed), wawancara ini

    sudah tersusun dalam bentuk daftar tertulis. Dituliskan

    oleh James bahwa pada tahap ini diusahakan agar

    informan tidak melantur dan jawaban yang diharapkan

    sudah dibatasi dengan yang relevan.

    Selanjutnya setelah tahap wawancara selesai dilakukan, maka

    dilakukan pengujian kebenaran data wawancara untuk

    mempertanggunjawabkan mutu hasil wawancara. Beberapa cara yang

    dituliskan misalnya dengan melihat kenyataan berdasarkan

  • 40

    pengamatan pribadi, dengan catatan bahwa peneliti harus bersifat

    taktis dan berhati-hati.

    Kemudian melakukan pengamatan, James mengambilkan contoh

    penelitian tarian dalam konteks pemanggungan yang sebenarnya,

    maka hal-hal yang harus diamati:

    1. Lingkungan fisik suatu bentuk folklor yang

    dipertunjukkan;

    2. Lingkungan sosial suati bentuk folklor;

    3. Interaksi para peserta suatu pertunjukan bentuk folklor;

    4. Pertunjukan bentuk folklor itu sendiri;

    5. Masa pertunjukkan.

    Dalam melakukan pengamatan, disuratkan bahwa aktifitas ini harus

    dilakukan dengan cermat dan memanfaatkan cara pengamatan terbaru

    dan terkendali (1984: 199).

    Untuk membantu dalam pengamatan, dengan menyadari keterbatasan

    manusia, perlu dipergunakan alat bantuan bagi daya pengamatan.

    Penggunaan alat bantuan ini dinyatakan penting sebagai bahan

    pelengkap pengamatan, dimana hasil yang diperoleh dari alat bantu ini

    dapat dipelajari kembali sebagai alat bantu pengecekan di kemudian

    hari.

    c. Cara pembuatan naskah folklor bagi pengarsipan.

    James memaparkan secara jelas bagaimana format bentuk naskah

    folklor, dari Alan Dundes:

    1. Ditik spasi rangkap;

    2. Dengan kertas HVS tebal ukuran kuarto (21 cm x 28 cm);

    3. Dengan ketikan asli;

    4. Folklor dipisahkan untuk disusun berdasarkan genre atau

    bentuk, suku bangsa, dan sebagainya.

  • 41

    III. SIMPULAN

    Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain merupakan sebuah

    buku pengantar mengenai folklor pada umumnya, dan folklor Nusantara pada

    khususnya, yang baik bahkan bagi para pembaca awam, pemerhati, dan

    para cendikia folklor pemula. Buku ini dengan baik mampu memberikan

    informasi mengenai hakekat folklor dimulai dari munculnya istilah folklore itu

    sendiri sampai pada bagaimana perkembangan folklor di Indonesia.

    Salah satu yang saya nilai berharga dari buku ini adalah bagaimana pada

    bagian akhir James memberikan kerangka acuan serta tips yang perlu

    diperhatikan bagi para peneliti folklor Indonesia. Secara garis besar, buku ini

    merupakan sebuah buku paduan pengenalan dan paduan penelitian folklor

    yang sangat baik yang dapat digunakan untuk mengembangkan penelitian

    folklor Indonesia lebih jauh lagi dari seorang ahli folklor handal Indonesia.

    Sayangnya, buku ini belum memformulasikan secara khusus bagaimana

    hakikat model genre folklor Indonesia, yang tentu Saya yakin akan berbeda

    dengan model-model Barat meskipun aka nada kemiripan. Kealpaan hakikat

    model genre folklor Indonesia dalam buku ini dipahami karena memang,

    seperti yang dipaparkan James, perkembangan folklor Indonesia masih

    berada di tahap permulaan. Namun Saya yakin buku ini akan menjadi sebuah

    panduan yang berharga yang mampu mengantar para ahli folklor untuk

    membawa pengembangan penelitian dalam mengupas folklor Nusantara.

  • 42

    IV. Daftar Pustaka

    Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain

    lain (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti).

    Handoo, Jawaharlal. Growth of Folklore Theories: An Introduction. June 4,

    2013. < http://www.ciil-ebooks.net/html/folkintro/ch2.htm#5 >.