33
UNIVERSITAS INDONESIA RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME RESISTENSI TERHADAP PEMBERIAN TAMOXIFEN PADA PASIEN KANKER PAYUDARA TESIS dr. Shiera Septrisya NPM : 1006767355 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI ILMU BEDAH RUMAH SAKIT DR. CIPTOMANGUNKUSUMO JAKARTA JANUARI 2015 Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

UNIVERSITAS INDONESIA

RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA

MEKANISME RESISTENSI TERHADAP PEMBERIAN

TAMOXIFEN PADA PASIEN KANKER PAYUDARA

TESIS

dr. Shiera Septrisya

NPM : 1006767355

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM STUDI ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT DR. CIPTOMANGUNKUSUMO

JAKARTA

JANUARI 2015

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 2: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

UNIVERSITAS INDONESIA

RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA

MEKANISME RESISTENSI TERHADAP PEMBERIAN

TAMOXIFEN PADA PASIEN KANKER PAYUDARA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar dokter spesialis bedah

dr. Shiera Septrisya

NPM : 1006767355

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM STUDI ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT DR. CIPTOMANGUNKUSUMO

JAKARTA

JANUARI 2015

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 3: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 4: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 5: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memberikan hidup, kesehatan, umur panjang, dan kesempatan sehingga saya

dapat menyelesaikan penelitian ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka

memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Spesialis Bedah (Sp.B) pada

Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari

berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini maka

sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini.

Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. DR.dr.Toar JM Lalisang,Sp.B(K) BD selaku Kepala Departemen Ilmu Bedah

FKUI/RSCM yang telah memberikan kesempatan dan ijin kepada saya untuk

melakukan penelitian ini

2. Dr.Riana Pauline Tamba, SpB, SpBA, selaku Ketua Program Studi Ilmu

Bedah dan Dr. Wifanto, SpB, KBD, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu

Bedah, yang telah membimbing dan mengarahkan saya sehingga dapat

menyelesaikan pendidikan

3. Dr. Erwin Danil Julian, SpB(K)Onk, selaku pembimbing yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan

tulisan ini

4. Dr. Seluruh Staf Pengajar di Departemen Ilmu Bedah FKUI/RSCM yang

telah membimbing saya tanpa putus asa sehingga dapat menyelesaikan

pendidikan ini

5. Orang tua, Bapak Yongky Wibowo dan Ibu Henny Lawati Sudjono, adik,

Reginald Agussalim, dan seluruh keluarga besarku tercinta, yang telah

memberikan support baik moril maupun materiil, terutama doa yang tidak

putus untuk saya

6. Teman – teman seperjuangan residen bedah angkatan Juli 2010 terima kasih

sudah menjadi teman dalam suka dan duka

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 6: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

7. Mba Ati, Mbak Sarah, Mbak Dian, terima kasih atas dukungannya

8. Seluruh rekan – rekan residen bedah (KARIB UI) yang tidak dapat

disebutkan satu persatu

9. Seluruh perawat, karyawan, dan pasien di Departemen Bedah di Rumah Sakit

Cipto Mangunkusumo maupun di RS Mitra Pendidikan

Saya menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna dan adalah suatu

kehormatan bagi saya untuk menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga

penelitian ini membawa manfaat dalam pengembangan ilmu dan pelayanan di

bidang ilmu bedah terutama bedah onkologi.

Jakarta, Januari 2015

Penulis

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 7: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 8: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

ABSTRAK

Nama : dr. Shiera Septrisya

Program Studi : Ilmu Bedah

Judul : Respon Terapi Hormonal dan Timbulnya Mekanisme

Resistensi terhadap Pemberian Tamoxifen pada Pasien Kanker Payudara

LATAR BELAKANG

Di Indonesia, kanker payudara telah menjadi peringkat pertama dalam urutan

kanker tertinggi yang diderita perempuan dan terapi hormonal masih merupakan

pilihan terapi yang banyak digunakan pada penderita kanker payudara, termasuk

pada kasus lanjut. Telah ditemukan GPR30, yang turut mengikat estrogen, dan

hasil akhir dari kaskade yang diinisasi dari GPR30 ini adalah adanya proliferasi

atau pertumbuhan sel, survival dari sel (anti-apoptosis), serta migrasi atau

metastasis. Perilaku Tamoxifen juga disinyalir berbeda pada ER (estrogen

receptor) dan pada GPR30, yang ternyata bersifat agonis terhadap GRP30, dan

hasil akhirnya dapat menstimulasi timbulnya proliferasi.

METODE

Penelitian dilakukan secara kohor retrospektif, dilakukan di Poliklinik Bedah

Onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Penelitian

didasarkan pada data pasien dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir yaitu 2008-

2010. Jenis kegiatan riset ini berupa literature dan theoritical study. Sampel

penelitian dipilih secara consecutive sampling.

HASIL

Sebaran data berdasarkan hasil pemeriksaan didapatkan ER (-) pada 63,6%

sampel, PR (-) pada 64,8% sampel, dan C-ERB 2 (-) pada 61,3% sampel. Dari

sebaran data sampel berdasarkan status pemberian Tamoxifen didapatkan bahwa

61,4% sampel tidak mendapatkan terapi Tamoxifen. Dari sampel yang

mendapatkan terapi Tamoxifen, 25 dari 34 sampel (73,5%) mendapatkan terapi

hormonal ini kurang dari 2 tahun dan 26,5% sampel mendapatkan terapi lebih dari

2 tahun. Sebagian besar sampel (59,1%) memiliki compliance yang baik terhadap

pengobatan, dan secara keseluruhan sampel, ditemukan adanya metastasis pada

26,1% sampel. Dari sampel penelitian yang ditemukan timbulnya metastasis,

sebesar 69,6% sampel sudah terdapat metastasis jauh. Pada sampel yang

mendapat terapi Tamoxifen kurang dari 2 tahun, terlihat sebesar 84% sampel tidak

didapatkan timbulnya metastasis, sedangkan pada sampel yang mendapat terapi

Tamoxifen lebih dari 2 tahun, sebesar 77,7% sampel didapatkan timbulnya

metastasis.

KESIMPULAN

Terdapat kecenderungan yang kuat bahwa Tamoxifen, suatu antagonis ER yang

parsial, berperan sebagai agonis pada GPR30, dan mengemukakan suatu

penemuan baru bahwa sebenarnya terapi anti-estrogen konvensional selama ini,

dapat bersifat stimulasi daripada inhibisi perkembangan dari tumor yang resisten

terhadap Tamoxifen.

Kata Kunci: overexpression, GPR30, proliferasi, Tamoxifen, resistensi

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 9: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

ABSTRACT

Name : dr. Shiera Septrisya

Study programme : Surgery

Title : Hormonal Therapy Response and the Resistancy

Mechanism of Tamoxifen Therapy in Breast Cancer Patients

BACKGROUNDS

In Indonesia, breast cancer has become number one in the incidence of highest

number or cancers which is suffered by women, and hormonal therapy has still

been one of the choice, included in advanced cases. GPR30, a novel protein, has

been discovered, also binds estrogen, and the end result of this cascade is cell

proliferation and growth, cell survival (anti-apoptosis), and migration or even

metastases. The effect of Tamoxifen is also found different in ER (estrogen

receptor) and GPR30, which is an agonist for GPR30, and resulting proliferation

of cells.

METHODS

The research had been done in cohort retrospective, at Oncology Surgery

Outpatient Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. The research was based

from patients data in 2008 until 2010. This is a literature and theoritical study. The

samples were selected based from consecutive sampling.

RESULTS

The descriptive data finds ER (-) in 63,6% samples, PR (-) in 64,8% samples, and

C-ERB 2 (-) in 61,3% samples. It is also found that 61,4% samples did not get

Tamoxifen hormonal therapy. From the samples who got Tamoxifen hormonal

therapy, 25 from 34 samples (73,5%) got this hormonal therapy for less than two

years, and 26,5% samples got for more than two years. Most of the samples

(59,1%) have good compliance in taking the medicines, and based from all

samples, metastases were found in 26,1% samples, and from these samples,

69,6% samples has got distant metatases. Based on the samples who got

Tamoxifen hormonal therapy for less than two years, 84% samples did not have

metastases, whereas in samples who got it for more than two years, metastases

were found in 77,7% samples.

CONCLUSION

There is a strong preference that Tamoxifen, a partial ER antagonist, acts as

agonist in GPR30, and reveals a novel discovery that our conventional anti-

estrogen therapy which has been used all these times, may act in stimulation

rather than inhibition the tumor growth which is resistant in Tamoxifen.

Keywords: overexpression, GPR30, proliferation, Tamoxifen, resistancy

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 10: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

DAFTAR ISI

JUDUL ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS iii

HALAMAN PENGESAHAN iv

UCAPAN TERIMA KASIH v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vii

ABSTRAK VIIIIII..............................................................................viii

DAFTAR ISIDAFvv.vii ....................................................................... x..........

BAB.1. PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .......................................................................1

1.2. Perumusan masalah.................................................................. 6

1.3. Hipotesis ................................................................................ 6

1.4. Tujuan Penelitian .................................................................... 7

1.4.1. Tujuan Umum ............................................................ 7

1.4.2. Tujuan Khusus ........................................................... 7

1.5. Manfaat Penelitian ................................................................. 7

BAB. 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 9

BAB.3. METODE PENELITIAN ......................................................... 19

3.1. Desain Penelitian ................................................................. 19

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................ 19

3.3. Populasi Target dan Terjangkau ……………………………… 19

3.4. Kriteria inklusi dan eksklusi ................................................. 19

3.5. Cara pemilihan Sampel ………………………………………. 20

3.6. Jumlah sampel ………………………………………………… 20

3.7. Prosedur dan perlengkapan…………………………………… 20

3.8. Identifikasi variabel .............................................................. 20

BAB.4. HASIL PENELITIAN ......................................................... 22

BAB. 5. DISKUSI ........................................................................... 25

BAB. 6. SIMPULAN DAN SARAN ................................................. 28

BAB. 7. DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 29

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 11: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.1.1. Kanker payudara telah menjadi peringkat pertama dalam urutan kanker

tertinggi yang diderita perempuan Indonesia

Penderita kanker payudara di dunia saat ini terhitung lebih dari satu juta

perempuan per tahun dan menempati penyebab kematian kedua tertinggi pada

perempuan. Di Indonesia, kanker payudara telah menjadi peringkat pertama dalam

urutan kanker tertinggi yang diderita perempuan Indonesia dengan angka kejadian

26 per 100.000 perempuan, disusul oleh kanker leher rahim dengan 16 per

100.000 perempuan. Berdasarkan Pathological Based Registration, insidens

relatif kanker payudara di Indonesia sekitar 11,5%, diperkirakan insidens minimal

sebanyak 20.000 kasus baru per tahun, dengan kenyataan bahwa lebih dari

setengahnya merupakan stadium lanjut. Kanker payudara dapat menyerang pada

berbagai usia dan terdapat kecenderungan insidens akan meningkat dari tahun ke

tahun.

1.1.2. Terapi hormonal masih merupakan salah satu terapi ajuvan yang banyak

digunakan pada penderita kanker payudara

Selama ini, terapi endokrin atau hormonal masih merupakan pilihan terapi

yang banyak digunakan dan masih terjangkau untuk digunakan pada penderita

kanker payudara, termasuk pada kasus lanjut, asalkan memang masih estrogen-

dependent. Terapi Tamoxifen memang terbukti efektif untuk tumor yang

mengekspresikan ER dan telah mengurangi angka mortalitas secara signifikan

pada pasien-pasien kanker payudara. Dasar dari pemberian terapi hormonal

sebagai terapi ajuvan pada pasien kanker payudara ini adalah dari hasil

pemeriksaan reseptor dan juga status hormonal pasien.

1.1.3. Penemuan reseptor estrogen baru, yang dikenal sebagai GPR30

Eric Prossnitz, PhD, Profesor dalam Cell Biology and Physiology di

University of New Mexico (UNM), bersama-sama dengan kolega-koleganya di

UNM Cancer Center dan Department of Chemistry and Biochemistry di New

Mexico State University, telah menemukan bahwa sebuah G-Protein Coupled

Receptor baru pada permukaan sel, dikenal sebagai GPR30, yang turut mengikat

estogen.

Penemuan reseptor estrogen yang baru sangat penting karena estrogen

diyakini turut berperan dalam stimulasi pertumbuhan dari berbagai jenis kanker,

seperti di payudara, endometrium, dan ovarium. Meskipun estrogen tidak

menyebabkan timbulnya kanker secara langsung, estrogen diyakini dapat

menstimulasi proliferasi dari beberapa jenis sel kanker.

Estrogen 17-beta-estradiol (E2) yang aktif secara biologis, berikatan

dengan reseptor estrogen yang klasik (ER) dan menghasilkan dimerisasi reseptor.

Interaksi E2 dengan ER α turut mengaktivasi kaskade pengiriman sinyal yang

berperan dalam proliferasi sel, seperti aktivasi c-Src tyrosine kinase (Src).

Aktivasi Src menstimulasi kaskade matrix metalloproteinase (MMP), yang

berakibat pelepasan epidermal growth factor (EGF) yang terikat heparin (HEP)

pada permukaan sel. Ligan EGF bebas, berikatan dengan keluarga reseptor EGFR,

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 12: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

seperti misalnya HER2, yang akan mengaktivasi kaskade pengiriman sinyal

extracellular stimulus regulate kinase (ERK). Hasil akhir dari kaskade ini adalah

adanya proliferasi, survival dari sel, serta migrasi atau metastasis.

Di samping mekanisme aksi estrogen yang bersifat genomik atau klasik

pada reseptor intraseluler (ER α dan ER β), terdapat bukti bahwa estrogen

memiliki jalur alternatif lain, jalur non-genomik, yang menimbulkan aksi yang

dengan respon yang cepat, yang diinisiasi dari permukaan sel. Respon-respon ini

diyakini berasal dari adanya sinyal yang dikirimkan dari reseptor steroid di

sitoplasma dan permukaan sel, yang disebut sebagai sinyal non-klasik atau non-

genomik.

Pengiriman sinyal secara non-genomik ini memiliki berbagai karakteristik,

yaitu respon yang dihasilkan sangat cepat (hanya dalam beberapa detik atau

menit), tidak sensitif terhadap inhibitor mRNA dan sintesis protein, dan banyak

ditemukan pada sel-sel yang kurang memiliki reseptor steroid nuklear.

Sebenarnya aksi cepat dari estrogen dari membran plasma ini telah ditemukan

sejak dua dekade lalu, namun tidak dijadikan fokus oleh kelompok-kelompok

peneliti saat itu sehingga penelitian lebih lanjut mengenai reseptor ini tidak

dilakukan. Namun berbagai bukti menunjukkan bahwa 17β-estradiol (E2), suatu

mitogen yang poten, turut menghasilkan berbagai respon ekstranuklear atau non-

genomik. Misalnya, E2 dapat cepat meningkatkan second messengers intraseluler,

seperti kalsium dan cAMP, mengaktivasi mitogen-activated protein kinase

(MAPK) dan phospholipase C. Respon-respon intraseluler ini penting dalam

berbagai proses fisiologis, seperti untuk proteksi kardiovaskular, preservasi

tulang, proliferasi sel kanker, neuroproteksi, spermatogenesis, dan proliferasi

keratinosit.

GPR30 merupakan bagian dari G-protein coupled receptors yang

terbentang pada membran sebanyak tujuh kali, ada yang menyebutnya sebagai

heptahelical transmembrane proteins. GPR30 ini pada berbagai literatur

dikatakan terletak pada membran plasma namun juga terdapat beberapa literatur

yang mengatakan terletak di membran retikulum endoplasma. Masih diperlukan

penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sebagian besar letak GPR30 pada sel.

Reseptor yang terkait dengan protein G ini, juga diketahui dapat mengikat

berbagai peptida atau protein, sehingga menimbulkan pertanyaan akan adanya

kemungkinan reseptor ini memiliki ligan lainnya selain estrogen.

Melalui kaki β dan γ protein G (protein G merupakan protein trimerik,

memiliki 3 kaki yaitu α, β, dan γ), induksi E2 menimbulkan aktivasi dari SRC-like

tyrosine kinase, aktivasi dari metalloproteinase, dan pelepasan ekstraselular dari

heparin-bound epidermal growth factor (HB-EGF). Pelepasan dari HB-EGF

mengakibatkan aktivasi reseptor EGF (EGFR), yang akhirnya menginduksi jalur

mitogen activated kinase (MAPK). Kaki protein G yang lainnya, yaitu kaki α,

berperan dalam aktivasi jalur adenilat siklase dan produksi cAMP pada sel kanker

payudara.

Selain itu, E2 juga mengaktivasi phosphoinositide 3-kinases (PI3K)

melalui GPR30. Sebagai akibat dari akumulasi phosphatidylinositol 3,4,5-

triphosphate (PIP3), terjadi aktivasi dari AKT kinase yang berefek proliferatif dan

menghambat apoptosis hasil induksi tumor necrosis factor. PI3K diketahui juga

memediasi timbulnya efek seluler dari platelet-derived growth factor (PDGF) dan

vascular endothelial growth factor (VEGF). Peningkatan kalsium (Ca)

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 13: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

intraseluler juga terjadi sebagai respon cepat dari aktivasi GPR30 pada berbagai

sel. Namun, belum terdapat penjelasan yang memuaskan terhadap stimulasi

peningkatan kalsium ini dan dari mana kalsium ini berasal. Pelepasan simpanan

kalsium intraseluler ataupun influks dari luar sel, keduanya masih merupakan

penjelasan yang mungkin. Adanya peranan dari phospholipase C (PLC) dapat

dipertimbangkan namun tergantung dari tipe sel yang terkait ataupun mungkin

melibatkan fosfolipase lainnya.

Stimulasi connective tissue growth factor (CTGF) juga turut dimediasi

oleh GPR30 dan faktor ini berperan dalam terjadinya proliferasi dan migrasi sel.

Secara keseluruhan, dapat disimpulkan hasil akhir dari kaskade yang diinisasi dari

GPR30 ini adalah adanya proliferasi atau pertumbuhan sel, survival dari sel (anti-

apoptosis), serta migrasi atau metastasis.

I.1.4. Perilaku Tamoxifen yang ternyata disinyalir berbeda pada ER dan pada

GPR30, timbul pemahaman bahwa GPR30 turut berperan dalam karsinogenesis

Selective estrogen receptor modulator yang selama ini banyak digunakan,

hydroxytamoxifen (OHT), suatu antagonis ER parsial, ternyata bersifat agonis

terhadap GRP30, dan dapat menstimulasi timbulnya proliferasi.

Telah dikatakan di berbagai literatur bahwa estrogen diyakini dapat

menimbulkan efek proliferasi melalui GPR30. Hal ini menimbulkan suatu

pemahaman baru bahwa GPR30 memang dapat berperan dalam karsinogenesis.

Ekspresi berlebihan (overexpression) dari GPR30 berhubungan secara signifikan

dengan ukuran tumor (> 2 cm), munculnya metastasis jauh, dan peningkatan

ekspresi HER-2/neu. Hal ini turut memberikan kesimpulan bahwa adanya ekspresi

berlebihan dari GPR30 dapat menjadi prediktor adanya penyakit yang agresif.

Pada pasien-pasien dengan ekspresi GPR30 yang berlebihan, survival rate secara

keseluruhan secara signifikan terlihat lebih buruk dibandingkan dengan pasien-

pasien yang memiliki ekspresi GPR30 yang rendah.

Hanya sekitar dua pertiga dari semua kanker payudara yang

mengekspresikan ER α, dan 25% di antaranya tidak berespon terhadap terapi

Tamoxifen. Bahkan bila pada awalnya menunjukkan respon yang baik, banyak

pasien pada akhirnya juga mengalami lesi kanker refrakter, yang ditunjukkan

dengan pertumbuhan sel yang kembali cepat dan invasif. Hal ini mungkin

berhubungan dengan Tamoxifen yang bersifat sebagai agonis terhadap GPR30.

Fakta bahwa Tamoxifen, suatu antagonis ER yang parsial, berperan

sebagai agonis pada GPR30, mengemukakan suatu penemuan baru bahwa

sebenarnya terapi anti-estrogen konvensional selama ini, lebih bersifat stimulasi

daripada inhibisi perkembangan dari tumor yang resisten terhadap Tamoxifen.

Penyebab yang mengkontribusi perubahan atau progresi dari tumor yang sensitif

terhadap pemberian terapi hormonal menjadi tumor yang secara farmakologis

tidak sensitif lagi terhadap pemberian hormon, masih perlu diteliti lebih lanjut

melalui eksperimen-eksperimen.

1.1.5. Peranan GPR30 dalam mekanisme resistensi terhadap Tamoxifen

Terdapat penelitian dimana cell line MCF-7 pada kanker payudara

diberikan paparan Tamoxifen secara terus-menerus selama 6 bulan untuk

menimbulkan resistensi terhadap efek inhibisi dari Tamoxifen. Terapi Tamoxifen

jangka panjang (misalkan lebih dari 6 bulan) pada sel-sel MCF-7 ini mengubah

efek inhibisi dari Tamoxifen secara signifikan, hanya dengan konsentrasi

Tamoxifen yang lebih tinggi yang dapat mempertahankan efek inhibisi dari

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 14: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

Tamoxifen. Ternyata sel-sel yang kemudian mengalami resistensi terhadap

Tamoxifen (TAM-R) ini, akan mengalami peningkatan sensitivitas terhadap

stimulasi estrogen (E2) dan peningkatan kapabilitas GPR30 dalam memediasi aksi

estrogen pada sel. Pada sel-sel TAM-R ini tidak ditemukan peningkatan ekspresi

basal dari GPR30 namun terdapat sedikit peningkatan ekspresi basal EGFR.

Terdapat beberapa data yang mendukung peranan penting pengiriman sinyal

melalui GPR30/EGFR dalam terjadinya resistensi terhadap Tamoxifen. Inhibisi

kaskade ini merupakan salah satu pilihan untuk menimbulkan respon anti-

hormonal yang valid pada kanker payudara.

Terapi Tamoxifen memang terbukti efektif untuk tumor yang

mengekspresikan ER dan telah mengurangi angka mortalitas secara signifikan

pada pasien-pasien kanker payudara. Namun ternyata, hampir semua tumor akan

mengalami resistensi saat pengobatan berlangsung. Beberapa studi eksperimental

telah menunjukkan bahwa peningkatan pengiriman sinyal melalui growth factor

berperan besar dalam timbulnya resistensi terhadap Tamoxifen. Di samping itu,

adanya ekspresi GPR30 dan human epidermal growth factor receptor-2 (HER-2)

yang berlebihan (overexpressed) turut berperan dalam timbulnya fenomena

resistensi ini. Dapat dikatakan bahwa GPR30 tidak hanya memiliki kontribusi

dalam pertumbuhan sel tumor namun juga berperan dalam terjadinya resistensi

terhadap terapi hormonal. Knocking down terhadap GPR30 dan inhibisi

pengiriman sinyal melalui EGFR, mengembalikan efek inhibisi Tamoxifen

terhadap sel, menguatkan pentingnya cross talk dari GPR30/EGFR dalam

terjadinya resistensi Tamoxifen in vitro.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah gambaran sebaran data penderita kanker payudara di

RSCM di tahun 2008, yang didasarkan dari kelompok usia, hasil

pemeriksaan imunohistokimia (ER, PR, C-ERB 2), ada tidaknya operasi

yang dijalani dan jenis operasinya, ada tidaknya kemoterapi yang dijalani

dan jenis kemoterapinya, ada tidaknya pemberian Tamoxifen beserta rata-

rata lama pemakaian Tamoxifen, compliance dalam pengobatan, serta

hasil pemantauan ada tidaknya metastasis dan tipe metastasisnya.

2. Adakah kecenderungan ke arah resistensi terhadap pemberian Tamoxifen

dalam hubungannya dengan aktivitas GPR30 dalam respon terapi

hormonal.

1.3 Hipotesis

1. ER (estrogen receptor) bukan merupakan satu-satunya dasar pemakaian

terapi hormonal karena ternyata pun hanya sekitar dua pertiga dari semua

kanker payudara yang mengekspresikan ER α, dan 25% di antaranya tidak

berespon terhadap terapi Tamoxifen. Bahkan bila pada awalnya

menunjukkan respon yang baik, banyak pasien pada akhirnya juga

mengalami lesi kanker refrakter, yang ditunjukkan dengan pertumbuhan

sel yang kembali cepat dan invasif. Hal ini mungkin berhubungan dengan

adanya overexpression dari GPR30, sehingga pemakaian Tamoxifen yang

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 15: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

disinyalir sebagai agonis GPR30, semakin meningkatkan survival dari sel-

sel tumor.

2. Adanya overexpression GPR30 yang terus dipaparkan dengan pemakaian

Tamoxifen disinyalir dapat menginduksi timbulnya mekanisme resistensi

terhadap terapi hormonal, sehingga hasil akhir yang didapat adalah

hilangnya efek inhibisi dari Tamoxifen dan terus terjadinya proliferasi sel.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Memperkenalkan suatu reseptor estrogen baru, yaitu GPR30,

hubungannya terkait dengan respon terapi hormonal dan menggali hubungannya

terkait mekanisme timbulnya resistensi terhadap pemberian Tamoxifen pada

pasien kanker payudara.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran sebaran data penderita kanker payudara di RSCM

di tahun 2008, berdasarkan kelompok usia, hasil pemeriksaan

imunohistokimia (ER, PR, C-ERB 2), ada tidaknya operasi yang dijalani

dan jenis operasinya, ada tidaknya kemoterapi yang dijalani dan jenis

kemoterapinya, ada tidaknya pemberian Tamoxifen beserta rata-rata lama

pemakaian Tamoxifen, compliance dalam pengobatan, serta pemantauan

ada tidaknya metastasis dan tipe metastasisnya.

2. Mengetahui adanya kecenderungan ke arah resistensi terhadap pemberian

Tamoxifen dalam hubungannya dengan aktivitas GPR30 dalam respon

terapi hormonal pada pasien kanker payudara.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, memperkenalkan reseptor estrogen baru, yaitu GPR30,

beserta proses penerimaan dan pengiriman sinyalnya yang terkait dengan

estrogen (E2) dan juga Tamoxifen, kontribusinya dalam pertumbuhan sel

tumor dan peranannya dalam timbulnya resistensi terhadap terapi

hormonal.

2. Secara klinis, mengetahui penyebab adanya kemungkinan gagal respon

dengan terapi Tamoxifen dan adanya fenomena resistensi terhadap

pemberian terapi hormonal ini setelah beberapa waktu tertentu.

3. Terdapat beberapa data yang mendukung peranan penting pengiriman

sinyal melalui GPR30/EGFR dalam terjadinya resistensi terhadap

Tamoxifen. Oleh karena itu, adanya penelitian selanjutnya untuk inhibisi

kaskade ini merupakan salah satu pilihan untuk menimbulkan respon anti-

hormonal yang valid pada kanker payudara.

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 16: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penderita kanker payudara di dunia saat ini terhitung lebih dari satu juta

perempuan per tahun dan menempati penyebab kematian kedua tertinggi pada

perempuan. Di Indonesia, kanker payudara telah menjadi peringkat pertama dalam

urutan kanker tertinggi yang diderita perempuan Indonesia dengan angka kejadian

26 per 100.000 perempuan, disusul oleh kanker leher rahim dengan 16 per

100.000 perempuan. Berdasarkan Pathological Based Registration, insidens

relatif kanker payudara di Indonesia sekitar 11,5%, diperkirakan insidens minimal

sebanyak 20.000 kasus baru per tahun, dengan kenyataan bahwa lebih dari

setengahnya merupakan stadium lanjut. Kanker payudara dapat menyerang pada

berbagai usia dan terdapat kecenderungan insidens akan meningkat dari tahun ke

tahun1.

Pemeriksaan histopatologi tetap merupakan gold standard dalam

diagnosis. Dari pemeriksaan histopatologi yang dilakukan dengan potong beku

dan atau parafin tersebut, dilakukan pemeriksaan imunohistokimia yaitu estrogen

receptor (ER), progesteron receptor (PR), c-erbB-2, cathepsin-D, dan p53.

Pemeriksaan reseptor secara imunohistokimia dan status hormonal pasien

merupakan dasar dari pemberian terapi hormonal sebagai terapi ajuvan pada

pasien kanker payudara. Menurut protokol Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi

Indonesia (PERABOI) 2003, terapi hormonal diberikan untuk pasien-pasien

dengan ER(+)PR(+) atau ER(+)PR(-) atau ER(-)PR(+). Di Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo sendiri, selama ini pemberian terapi hormonal tidak diberikan

untuk pasien dengan ER negatif, meskipun pada beberapa kasus diberikan terapi

hormonal untuk alasan chemo prevention. Selama ini, terapi hormonal yang

banyak digunakan adalah Tamoxifen, sebagai Selective Estrogen Receptor

Modulator (SERM), bersifat antagonis kompetitif pada reseptor estrogen di sel

payudara1.

Beberapa tahun terakhir, Eric Prossnitz, PhD, Profesor dalam Cell Biology

and Physiology di University of New Mexico (UNM), bersama-sama dengan

kolega-koleganya di UNM Cancer Center dan Department of Chemistry and

Biochemistry di New Mexico State University, mengemukakan penemuan sebuah

G-Protein Coupled Receptor baru pada permukaan sel, dikenal sebagai GPR30,

yang ternyata turut mengikat estogen2.

Penemuan reseptor estrogen yang baru sangat penting karena estrogen

diyakini turut berperan dalam stimulasi pertumbuhan dari berbagai jenis kanker,

seperti di payudara, endometrium, dan ovarium. Reseptor estrogen memiliki

tempat khusus dimana hanya estrogen atau molekul lain yang berkaitan, yang

dapat terikat. Sewaktu molekul estrogen bersirkulasi di dalam aliran darah,

mereka hanya beraksi pada sel yang memiliki reseptor estrogen. Pada beberapa

jaringan, efek utama dari estrogen adalah pertumbuhan dan pembelahan sel,

sebuah proses yang dikenal dengan proliferasi sel. Meskipun estrogen tidak

menyebabkan timbulnya kanker secara langsung, estrogen diyakini dapat

menstimulasi proliferasi dari beberapa jenis sel kanker2.

Estrogen sebenarnya memiliki macam-macam target molekuler yang

berbeda, yang karakteristik di antaranya, reseptor estrogen nuklear α (ER α) dan

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 17: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

reseptor estrogen nuklear β (ER β). Beberapa analisa biokimiawi dan mikroskopis

telah membuktikan eksistensi kumpulan reseptor estrogen dengan lokasi yang

berbeda-beda, yaitu di membran plasma (Razandi et al., 1999), mitokondria (Chen

et al., 2004), dan retikulum endoplasma (Govind dan Thampan, 2003). Namun,

secara umum dapat dikatakan sekitar 80% reseptor estrogen terletak di dalam

nukleus. Reseptor estrogen yang teraktivasi hormon membentuk dimer, reseptor-

reseptor tersebut dapat membentuk homodimer seperti ER α (αα) atau ER β (ββ),

atau heterodimer yaitu ER αβ (αβ) 3.

Gambar 1

Kedudukan reseptor-reseptor estrogen dalam sel

Estrogen, seperti hormon steroid yang lain, berperan sebagai faktor

transkripsi nuklear, dengan cara memodulasi gen target melalui interaksi

kompleks dengan protein koaktivator atau protein korepresor, enzim yang

memodifikasi histon, dan juga protein-protein lain yang berkaitan dengan

transkripsi. Pengiriman signal secara genomik yang biasa dilakukan oleh steroid,

membutuhkan steroid bebas yang masuk ke dalam sel target secara difusi pasif

melalui membran plasma, sampai akhirnya steroid akan berikatan dengan afinitas

yang tinggi ke reseptornya. Sekali teraktivasi, maka reseptor estrogen (ER) akan

bertranslokasi ke nukleus. Ikatan estrogen dengan reseptornya menimbulkan

perubahan-perubahan konformasi reseptor (dalam struktur tersier dan kuaterner),

yang pada akhirnya menghasilkan kompleks ikatan reseptor-ligan yang

teraktivasi. Interaksi-interaksi regulatorik selanjutnya, menghasilkan sintesis

mRNA yang, pada proses selanjutnya, menghasilkan sintesis protein-protein yang

berguna untuk efek hormonal4,5

.

Estrogen 17-beta-estradiol (E2) yang aktif secara biologis, berikatan

dengan reseptor estrogen yang klasik (ER), menghasilkan terjadinya dimerisasi

reseptor. Interaksi E2 dengan ER α turut mengaktivasi kaskade pengiriman sinyal

yang berperan dalam proliferasi sel, seperti aktivasi c-Src tyrosine kinase (Src).

Aktivasi Src menstimulasi kaskade matrix metalloproteinase (MMP), yang

berakibat pelepasan epidermal growth factor (EGF) yang terikat heparin (HEP)

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 18: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

pada permukaan sel. Ligan EGF bebas, berikatan dengan keluarga reseptor EGFR,

seperti misalnya HER2, yang akan mengaktivasi kaskade pengiriman sinyal

extracellular stimulus regulate kinase (ERK). Hasil akhir dari kaskade ini adalah

adanya proliferasi, survival dari sel, serta migrasi atau metastasis4,5

.

Gambar 2

Skema pengiriman sinyal melalui jalur genomik (klasik) melalui ER

Estrogen selain bekerja melalui signal yang berasal dari reseptor nuklear,

juga menghasilkan respon non-genomik yang cepat melalui reseptor yang terkait

membran. Sejarah penemuan GPR30 diawali dari hasil pengamatan bahwa

estrogen dapat menstimulasi aktivitas adenilat siklase dan produksi cAMP pada

MCF7 cell line pada pasien dengan kanker payudara. Para penulis menyimpulkan

dari fakta saat itu bahwa sel kanker payudara MDA-MB-231 yang bersifat ER (-)

tidak dapat menghasilkan respon sel seperti yang dihasilkan pada sel MCF7. Yang

belum mereka ketahui saat itu adalah bahwa sel MCF7 mengekspresikan GPR30,

sedangkan MDA-MB-231 tidak5.

Di samping mekanisme aksi estrogen yang bersifat genomik atau klasik

pada reseptor intraseluler (ER α dan ER β), terdapat bukti bahwa estrogen

memiliki jalur alternatif lain, jalur non-genomik, yang menimbulkan aksi yang

dengan respon yang cepat, yang diinisiasi dari permukaan sel. Respon-respon ini

diyakini berasal dari adanya sinyal yang dikirimkan dari reseptor steroid di

sitoplasma dan permukaan sel, yang disebut sebagai sinyal non-klasik atau non-

genomik. Pengiriman sinyal secara non-genomik ini memiliki berbagai

karakteristik, yaitu respon yang dihasilkan sangat cepat (hanya dalam beberapa

detik atau menit), tidak sensitif terhadap inhibitor mRNA dan sintesis protein, dan

banyak ditemukan pada sel-sel yang kurang memiliki reseptor steroid nuklear.

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 19: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

Sebenarnya aksi cepat dari estrogen dari membran plasma ini telah ditemukan

sejak dua dekade lalu, namun tidak dijadikan fokus oleh kelompok-kelompok

peneliti saat itu sehingga penelitian lebih lanjut mengenai reseptor ini tidak

dilakukan. Namun berbagai bukti menunjukkan bahwa 17β-estradiol (E2), suatu

mitogen yang poten, turut menghasilkan berbagai respon ekstranuklear atau non-

genomik. Misalnya, E2 dapat cepat meningkatkan second messengers intraseluler,

seperti kalsium dan cAMP, mengaktivasi mitogen-activated protein kinase

(MAPK) dan phospholipase C. Respon-respon intraseluler ini penting dalam

berbagai proses fisiologis, seperti untuk proteksi kardiovaskular, preservasi

tulang, proliferasi sel kanker, neuroproteksi, spermatogenesis, dan proliferasi

keratinosit. Suatu protein pengikat estrogen yang baru, terletak transmembran,

suatu G-protein-coupled receptor (selanjutnya disebut sebagai GPR30) telah

ditemukan. Penemuan reseptor estrogen yang baru ini, menimbulkan berbagai

ketertarikan atas pencarian fungsi-fungsi lain yang belum diketahui dan

mekanisme lain yang dilakukan estrogen di luar nukleus2,4

.

GPR30 merupakan bagian dari G-protein coupled receptors yang

terbentang pada membran sebanyak tujuh kali, ada yang menyebutnya sebagai

heptahelical transmembrane proteins. GPR30 ini pada berbagai literatur

dikatakan terletak pada membran plasma namun juga terdapat beberapa literatur

yang mengatakan terletak di membran retikulum endoplasma. Masih diperlukan

penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sebagian besar letak GPR30 pada sel.

Reseptor yang terkait dengan protein G ini, juga diketahui dapat mengikat

berbagai peptida atau protein, sehingga menimbulkan pertanyaan akan adanya

kemungkinan reseptor ini memiliki ligan lainnya selain estrogen2,4

.

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 20: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

Gambar 3

Skema pengiriman sinyal melalui jalur GPR30

Melalui kaki β dan γ protein G (protein G merupakan protein trimerik,

memiliki 3 kaki yaitu α, β, dan γ), induksi E2 menimbulkan aktivasi dari SRC-like

tyrosine kinase, aktivasi dari metalloproteinase, dan pelepasan ekstraselular dari

heparin-bound epidermal growth factor (HB-EGF). Pelepasan dari HB-EGF

mengakibatkan aktivasi reseptor EGF (EGFR), yang akhirnya menginduksi jalur

mitogen activated kinase (MAPK). Kaki protein G yang lainnya, yaitu kaki α,

berperan dalam aktivasi jalur adenilat siklase dan produksi cAMP pada sel kanker

payudara.

Selain itu, E2 juga mengaktivasi phosphoinositide 3-kinases (PI3K)

melalui GPR30. Sebagai akibat dari akumulasi phosphatidylinositol 3,4,5-

triphosphate (PIP3), terjadi aktivasi dari AKT kinase yang berefek proliferatif dan

menghambat apoptosis yang diinduksi oleh tumor necrosis factor. PI3K diketahui

juga memediasi timbulnya efek seluler dari platelet-derived growth factor

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 21: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

(PDGF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Peningkatan kalsium

(Ca) intraseluler juga terjadi sebagai respon cepat dari aktivasi GPR30 pada

berbagai sel. Namun, belum terdapat penjelasan yang memuaskan terhadap

stimulasi peningkatan kalsium ini dan dari mana kalsium ini berasal. Pelepasan

simpanan kalsium intraseluler ataupun influks dari luar sel, keduanya masih

merupakan penjelasan yang mungkin. Adanya peranan dari phospholipase C

(PLC) dapat dipertimbangkan namun tergantung dari tipe sel yang terkait ataupun

mungkin melibatkan fosfolipase lainnya.

Stimulasi connective tissue growth factor (CTGF) juga turut dimediasi

oleh GPR30 dan faktor ini berperan dalam terjadinya proliferasi dan migrasi sel.

Secara keseluruhan, dapat disimpulkan hasil akhir dari kaskade yang

diinisasi dari GPR30 ini adalah adanya proliferasi atau pertumbuhan sel, survival

dari sel (anti-apoptosis), serta migrasi atau metastasis.

Perlu diketahui bahwa sel jaringan payudara yang normal memiliki ER α,

PR, dan juga GPR30. Terdapat asosiasi yang signifikan namun masih belum jelas

mengenai hubungan ekspresi kedua jenis reseptor ini.

17-β-Estradiol (E2) menunjukkan ikatan yang lebih lemah afinitasnya

terhadap GPR30, bila dibandingkan dengan ikatan fisiologisnya terhadap ER α

yang jauh lebih kuat. GPR30 tidak dapat memediasi aksi estrogen pada sel yang

tidak memiliki ER α maupun ER β dan beberapa laboratorium telah menunjukkan

bahwa efek E2 tidak berubah apabila dilakukan “knock down” terhadap GPR30

melalui RNA yang terkait. Fungsi-fungsi biologis lain juga tidak dipengaruhi oleh

hilangnya fungsi GPR30. Hal ini berbeda bila dilakukan “knock down” terhadap

ER α, maka dapat terlihat adanya berbagai abnormalitas fungsi dan perkembangan

organ. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa efek estrogen yang fisiologis tetap

memerlukan ER α. Namun, pada sel yang tidak memiliki ER α maupun GPR30,

seperti pada cell line MDA-MB-231, respon estrogen yang bersifat cepat dapat

ditransfer dengan cara dilakukan transfeksi vektor ekspresi GPR30. Pada sel yang

tidak memiliki ER α namun memiliki GPR30, seperti pada cell line SKBr3,

ternyata efek proliferasi sel juga masih sangat tergantung dari ikatan E2 dengan

GPR30. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya GPR30 menimbulkan efek

secara independen terhadap ER α maupun ER β, aksi yang ditimbulkan tidak

berkorelasi dengan ekspresi ER α maupun ER β4,5

.

Selain E2, ternyata selective estrogen receptor modulator yang selama ini

banyak digunakan, hydroxytamoxifen (OHT), suatu antagonis ER parsial, bersifat

agonis terhadap GRP30, dan dapat menstimulasi timbulnya proliferasi. Hal ini

berbeda dengan reseptor progesteron (PR) yang hanya berespon terhadap E26.

Telah dikatakan di berbagai literatur bahwa estrogen diyakini dapat

menimbulkan efek proliferasi melalui GPR30. Hal ini menimbulkan suatu

pemahaman baru bahwa GPR30 memang dapat berperan dalam karsinogenesis.

Ekspresi berlebihan (overexpression) dari GPR30 berhubungan secara signifikan

dengan ukuran tumor (> 2 cm), munculnya metastasis jauh, dan peningkatan

ekspresi HER-2/neu. Hal ini turut memberikan kesimpulan bahwa adanya ekspresi

berlebihan dari GPR30 dapat menjadi prediktor adanya penyakit yang agresif.

Pada pasien-pasien dengan ekspresi GPR30 yang berlebihan, survival rate secara

keseluruhan secara signifikan terlihat lebih buruk dibandingkan dengan pasien-

pasien yang memiliki ekspresi GPR30 yang rendah7,8

.

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 22: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

Selama ini, terapi endokrin atau hormonal masih merupakan pilihan terapi

yang banyak digunakan pada penderita kanker payudara, termasuk pada kasus

lanjut, asalkan memang masih estrogen-dependent. Hanya sekitar dua pertiga dari

semua kanker payudara yang mengekspresikan ER α, dan 25% di antaranya tidak

berespon terhadap terapi Tamoxifen. Bahkan bila pada awalnya menunjukkan

respon yang baik, banyak pasien pada akhirnya juga mengalami lesi kanker

refrakter, yang ditunjukkan dengan pertumbuhan sel yang kembali cepat dan

invasif9.

Tamoxifen, sebagai salah satu selective estrogen receptor modulator

(SERM), bersifat antagonis ER pada jaringan payudara, bekerja dalam bentuk

metabolit aktifnya, yaitu Hydroxytamoxifen. Sedangkan pada jaringan yang lain,

seperti pada tulang dan endometrium, Tamoxifen berperan sebagai agonis ER.

Dari literatur dikemukakan bahwa ternyata Tamoxifen memiliki efek yang

berbeda ketika berikatan dengan GPR30 dibandingkan bila berikatan dengan ER.

Fakta bahwa Tamoxifen, suatu antagonis ER yang parsial, berperan sebagai

agonis pada GPR30, mengemukakan suatu penemuan baru bahwa sebenarnya

terapi anti-estrogen konvensional selama ini, lebih bersifat stimulasi daripada

inhibisi perkembangan dari tumor yang resisten terhadap Tamoxifen. Penyebab

yang mengkontribusi perubahan atau progresi dari tumor yang sensitif terhadap

pemberian terapi hormonal menjadi tumor yang secara farmakologis tidak sensitif

lagi terhadap pemberian hormon, masih perlu diteliti lebih lanjut melalui

eksperimen-eksperimen9,10

.

Seperti yang kita ketahui bahwa Tamoxifen merupakan obat anti-

hormonal yang paling banyak digunakan dalam pengobatan kanker payudara yang

masih bersifat hormone-dependent11,12

. Terdapat penelitian dimana cell line MCF-

7 pada kanker payudara diberikan paparan Tamoxifen secara terus-menerus

selama 6 bulan untuk menimbulkan resistensi terhadap efek inhibisi dari

Tamoxifen. Terapi Tamoxifen jangka panjang (misalkan lebih dari 6 bulan) pada

sel-sel MCF-7 ini mengubah efek inhibisi dari Tamoxifen secara signifikan, hanya

dengan konsentrasi Tamoxifen yang lebih tinggi yang dapat mempertahankan efek

inhibisi dari Tamoxifen. Ternyata sel-sel yang kemudian mengalami resistensi

terhadap Tamoxifen (TAM-R) ini, akan mengalami peningkatan sensitivitas

terhadap stimulasi estrogen (E2) dan peningkatan kapabilitas GPR30 dalam

memediasi aksi estrogen pada sel. Pada sel-sel TAM-R ini tidak ditemukan

peningkatan ekspresi basal dari GPR30 namun terdapat sedikit peningkatan

ekspresi basal EGFR. Terdapat beberapa data yang mendukung peranan penting

pengiriman sinyal melalui GPR30/EGFR dalam terjadinya resistensi terhadap

Tamoxifen. Inhibisi kaskade ini merupakan salah satu pilihan untuk menimbulkan

respon anti-hormonal yang valid pada kanker payudara6,9

.

Terapi Tamoxifen memang terbukti efektif untuk tumor yang

mengekspresikan ER dan telah mengurangi angka mortalitas secara signifikan

pada pasien-pasien kanker payudara. Namun ternyata, hampir semua tumor akan

mengalami resistensi saat pengobatan berlangsung. Beberapa studi eksperimental

telah menunjukkan bahwa peningkatan pengiriman sinyal melalui growth factor

berperan besar dalam timbulnya resistensi terhadap Tamoxifen. Di samping itu,

adanya ekspresi GPR30 dan human epidermal growth factor receptor-2 (HER-2)

yang berlebihan (overexpressed) turut berperan dalam timbulnya fenomena

resistensi ini13

. Dapat dikatakan bahwa GPR30 tidak hanya memiliki kontribusi

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 23: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

dalam pertumbuhan sel tumor namun juga berperan dalam terjadinya resistensi

terhadap terapi hormonal. Knocking down terhadap GPR30 dan inhibisi

pengiriman sinyal melalui EGFR, mengembalikan efek inhibisi Tamoxifen

terhadap sel, menguatkan pentingnya cross talk dari GPR30/EGFR dalam

terjadinya resistensi Tamoxifen in vitro9,14

.

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 24: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian dilakukan secara kohor retrospektif.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Bedah Onkologi Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Penelitian didasarkan pada data pasien dalam

kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir yaitu 2008-2010.

3.3 Populasi Target dan Terjangkau

Sumber data merupakan data sekunder berupa rekam medis. Populasi target

adalah pasien kanker payudara yang belum memiliki metastasis (stadium I-III).

Populasi terjangkau adalah pasien kanker payudara yang belum memiliki

metastasis (stadium I-III) di Poliklinik Bedah Onkologi Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir yaitu

2008-2010. Sampel penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria

inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah:

1. Pasien dengan diagnosis awal di tahun 2008 dengan kanker payudara

stadium I-III

2. Menjalani pemeriksaan imunohistokimia

3. Pemeriksaan reseptor ER (+) dan atau PR (+) serta mendapatkan terapi

Tamoxifen

3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Pasien kanker payudara yang telah memiliki metastasis atau dengan

diagnosis awal stadium IV

2. Pemeriksaan reseptor ER (-)/PR (-) namun mendapatkan terapi Tamoxifen

untuk tujuan chemo prevention

3. Pasien yang menolak untuk menjalani terapi medis sesuai protokol dan

prosedur terapi kanker payudara di RSCM

4. Pasien kanker payudara yang tidak melakukan kontrol rutin di RSCM

setelah pengobatan (compliance yang rendah)

5. Pasien yang dilakukan konversi terapi dengan aromatase inhibitor

sebelum 2 tahun

3.5 Cara Pemilihan Sampel

Sampel penelitian dipilih secara consecutive sampling.

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 25: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

3.6 Jumlah Sampel

Jumlah subjek penelitian 88 sampel.

3.7 Prosedur dan Perlengkapan

Subjek penelitian berasal dari pasien yang berobat ke Poliklinik Bedah

Onkologi RSCM dengan diagnosis awal kanker payudara stadium I-III.

Diagnosis kanker payudara stadium I-III ditetapkan oleh sejawat Dokter

Spesialis Bedah dan Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah.

Selanjutnya dicari sampel penelitian yang menjalani pemeriksaan

imunohistokimia, pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak ada pada

kriteria eksklusi dimasukkan dalam penelitian.

3.8 Identifikasi Variabel

Stadium I-III : Klasifikasi stadium kanker payudara yang ditentukan berdasarkan

sistem TNM dari UICC/AJCC tahun 2002.

Terapi hormonal : Salah satu modalitas terapi kanker payudara, dengan macamnya

ada 2 (dua), yaitu aditif dengan pemberian Tamoxifen dan ablatif dengan

ooforektomi bilateral. Terapi hormonal yang dimaksud dalam pembahasan adalah

terapi dengan pemberian Tamoxifen, dengan salah satu dasar pemberiannya

adalah melalui pemeriksaan reseptor ER dan PR.

Multi modalitas terapi : Adanya berbagai cara atau modalitas terapi pada kanker

payudara, yaitu dengan cara operasi, radiasi, kemoterapi, terapi hormonal, dan

atau molecular targetting therapy (biology therapy).

Pemeriksaan imunohistokimia : Metode pemeriksaan reseptor hormon ER, PR,

dan GPR30 pada pasien kanker payudara.

Metastasis : Penyebaran sel-sel kanker ke kelenjar getah bening terkait maupun

ke organ-organ lain, yang dapat dicapai baik melalui jalur hematogen, limfogen,

atau per kontinuitatum.

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 26: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

BAB IV

HASIL PENELITIAN

1. Sebaran data sampel berdasarkan kelompok usia

Kelompok usia Jumlah

(n)

Persentase (%)

30-40 tahun 12 13,6

41-50 tahun 30 34,1

51-60 tahun 30 34,1

≥ 61 tahun 16 18,2

Total 88 100

2. Sebaran data sampel berdasarkan hasil pemeriksaan ER

Hasil pemeriksaan ER Jumlah

(n)

Persentase (%)

ER (+) 32 36,4

ER (-) 56 63,6

Total 88 100

3. Sebaran data sampel berdasarkan hasil pemeriksaan PR

Hasil pemeriksaan PR Jumlah

(n)

Persentase (%)

PR (+) 31 35,2

PR (-) 57 64,8

Total 88 100

4. Sebaran data sampel berdasarkan hasil pemeriksaan C-ERB 2

Hasil pemeriksaan C-ERB

2

Jumlah

(n)

Persentase (%)

C-ERB 2 (+) 27 30,7

C-ERB 2 (-) 54 61,3

Tidak ada data 7 8

Total 88 100

5. Sebaran data berdasarkan data sampel yang telah menjalani operasi

Prosedur terapi Jumlah

(n)

Persentase (%)

Operasi (+) 73 83,0

Operasi (-) 15 17,0

Total 88 100

6. Sebaran data sampel berdasarkan jenis operasi yang dijalani

Jenis operasi Jumlah (n) Persentase (%)

Breast Conserving Therapy (BCT) 2 2,3

Simple Mastectomy (SM) 2 2,3

Modified Radical Mastectomy (MRM) 50 56,8

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 27: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

Classic Radical Mastectomy (CRM) 18 20,5

Tidak dioperasi 16 18,2

Total 88 100

7. Sebaran data berdasarkan data sampel yang telah menjalani kemoterapi

Prosedur terapi Jumlah

(n)

Persentase (%)

Kemoterapi (+) 83 94,3

Kemoterapi (-) 5 5,7

Total 88 100

8. Sebaran data sampel berdasarkan jenis kemoterapi yang dijalani

Jenis kemoterapi Jumlah (n) Persentase (%)

CMF 1 1,1

CAF, CEF 81 92,0

Capecetabine 1 1,1

Tidak dikemoterapi 5 5,7

Jumlah 88 100

9. Sebaran data sampel berdasarkan status pemberian Tamoxifen

Pemberian Tamoxifen Jumlah (n) Persentase (%)

Tamoxifen (+) 34 38,6

Tamoxifen (-) 54 61,4

Total 88 100

10. Sebaran data sampel berdasarkan kelompok lama pemakaian Tamoxifen

Kelompok lama pemakaian

Tamoxifen

Jumlah (n) Persentase (%)

< 2 tahun 25 28,4

≥ 2 tahun 9 10,2

Tidak diberikan 54 61,4

Total 88 100

11. Sebaran data sampel berdasarkan compliance dalam pengobatan

Compliance dalam

pengobatan

Jumlah (n) Persentase (%)

Compliance (+) 52 59,1

Compliance (-) 36 40,9

Total 88 100

12. Sebaran data sampel berdasarkan ada tidaknya metastasis

Ada tidaknya metastasis Jumlah

(n)

Persentase (%)

Metastasis (+) 23 26,1

Metastasis (-) 36 40,9

Metastasis tidak diketahui 29 33,0

Total 88 100

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 28: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

13. Sebaran data sampel berdasarkan tipe metastasis

Tipe metastasis Jumlah

(n)

Persentase (%)

Lokal 3 3,4

Lokoregional 4 4,5

Jauh 16 18,2

Tidak ada atau tidak

diketahui

65 73,9

Total 88 100

14. Sebaran data berdasarkan ada tidaknya metastasis dari sampel yang

mendapat terapi Tamoxifen

Tamoxifen

(+)

N total = 34

sampel

Metastasis

(+)

Metastasis (-

)

Metastasis

tidak

diketahui

Total

Jml

(n)

(%) Jml

(n)

(%) Jml

(n)

(%) Jml

(n)

(%)

< 2 tahun 3 12 21 84 1 4 25 100

≥ 2 tahun 7 77,7 1 11,1 1 11,1 9 100

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 29: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

BAB V

PEMBAHASAN

Dari sebaran data sampel berdasarkan kelompok usia terlihat bahwa

kelompok usia terbanyak yang menderita kanker payudara ada pada kisaran usia

41-60 tahun, dimana masing-masing kelompok 41-50 tahun dan 51-60 tahun

mendapat persentase 34,1%. Hal ini sesuai dengan faktor risiko yang memang

meningkat dari 1 : 5900 ke 1 : 290 antara dekade ketiga dan dekade ke delapan.

Dari sebaran data berdasarkan hasil pemeriksaan imunohistokimia, berupa

estrogen receptor (ER), progesteron receptor (PR), dan C-ERB 2, didapatkan

hasil masing-masing sebagai berikut. Sebaran data berdasarkan hasil pemeriksaan

ER didapatkan hasil terbanyak ER (-) pada 63,6% sampel. Sebaran data

berdasarkan hasil pemeriksaan PR juga didapatkan hasil terbanyak PR (-) yaitu

pada 64,8% sampel. Sebaran data berdasarkan hasil pemeriksaan C-ERB 2

didapatkan hasil terbanyak C-ERB 2 (-) pada 61,3% sampel. Hasil sebaran data

pemeriksaan ER sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa hanya sekitar

dua pertiga dari semua kanker payudara yang mengekspresikan ER α.

Sebaran data berdasarkan data sampel yang menjalani operasi

menunjukkan bahwa 83% sampel menjalani operasi di RSCM, dan terbanyak

menjalani jenis operasi modified radical mastectomy (MRM), yaitu sebanyak

56,8%. MRM merupakan operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara beserta

tumor, nipple-areola complex, kulit di atas tumor, dan fascia pektoral, serta

diseksi aksila level I-II. MRM banyak dilakukan di RSCM karena memang paling

banyak pasien datang sudah dalam stadium lokal lanjut.

Sebaran data berdasarkan data sampel yang mendapat kemoterapi

menunjukkan bahwa 94,3% sampel mendapat kemoterapi di RSCM, dengan

persentase terbanyak mendapat kombinasi regimen CAF ataupun CEF, yaitu

sebanyak 92%. Diketahui bahwa terdapat 3 jenis/setting kemoterapi yaitu

adjuvant, neoadjuvant, dan primer (paliatif). Adjuvant kemoterapi adalah terapi

tambahan setelah terapi utama yaitu pembedahan. Tujuannya adalah untuk

mendapatkan penyembuhan yang sempurna, meningkatkan kuratifitas, dan

memperlama timbulnya metastasis. Adjuvant kemoterapi dapat menurunkan 25%

mortalitas pada kanker payudara. Sedangkan untuk pasien dengan stadium lokal

lanjut (stadium III A, III B, dan III C), dianjurkan neo-adjuvant kemoterapi, 3

siklus sebelum operasi dan 3 siklus pasca operasi. Neo-adjuvant kemoterapi

bertujuan untuk memperkecil ukuran tumor dan kontrol mikrometastasis.

Kemoterapi primer (paliatif) diberikan pada stadium lanjut (stadium IV) untuk

mempertahankan kualitas hidup yang baik, kontrol progresi tumor, dan

memperlama harapan hidup. Kemoterapi banyak dilakukan di RSCM karena

memang diketahui banyak pasien datang sudah dalam stadium lokal lanjut, yang

membutuhkan neo-adjuvant kemoterapi seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Dari sebaran data sampel berdasarkan status pemberian Tamoxifen

didapatkan bahwa 61,4% sampel tidak mendapatkan terapi Tamoxifen. Hal ini

sejalan dengan hasil sebaran data berdasarkan pemeriksaan imunohistokimia

dimana sebagian besar sampel penelitian memang didapakan ER (-) dan atau PR

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 30: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

(-), dan oleh karenanya memang bukan merupakan indikasi untuk diberikan terapi

hormonal Tamoxifen.

Dari sampel yang mendapatkan terapi Tamoxifen, 25 dari 34 sampel

(73,5%) mendapatkan terapi hormonal ini kurang dari 2 tahun dan 26,5% sampel

mendapatkan terapi lebih dari 2 tahun. Sebagian besar sampel (59,1%) memiliki

compliance yang baik terhadap pengobatan, dan secara keseluruhan sampel,

ditemukan adanya metastasis pada 26,1% sampel dan tidak ditemukan metastasis

pada 40,9% sampel, sedangkan sisanya yaitu sebesar 33% sampel tidak diketahui

timbul metastasis atau tidak, hal ini mungkin disebabkan oleh compliance pasien

yang kurang baik terhadap pengobatan, sehingga terapi serta respon terapi tidak

dapat dievaluasi dengan baik. Dari sampel penelitian yang ditemukan timbulnya

metastasis, sebesar 69,6% sampel sudah terdapat metastasis jauh.

Sehubungan dengan hipotesis penelitian ini yang mensinyalir Tamoxifen

sebagai agonis GPR30 dan adanya overexpression dari GPR30 yang terus

dipaparkan dengan pemakaian Tamoxifen juga disinyalir dapat menginduksi

timbulnya mekanisme resistensi terhadap terapi hormonal, sehingga hasil akhir

yang didapat adalah hilangnya efek inhibisi dari Tamoxifen dan terus terjadinya

proliferasi sel, maka dilihat sebaran data berdasarkan ada tidaknya metastasis dari

sampel yang mendapat terapi Tamoxifen, dan dibandingkan antara sampel yang

mendapat terapi hormonal ini kurang dari 2 tahun dan yang lebih dari 2 tahun.

Pada sampel yang mendapat terapi Tamoxifen kurang dari 2 tahun, terlihat

sebesar 84% sampel tidak didapatkan timbulnya metastasis, sedangkan pada

sampel yang mendapat terapi Tamoxifen lebih dari 2 tahun, sebesar 77,7% sampel

didapatkan timbulnya metastasis. Dari literatur, dikatakan bahwa hanya sekitar

dua pertiga dari semua kanker payudara yang mengekspresikan ER α, dan 25% di

antaranya tidak berespon terhadap terapi Tamoxifen. Bahkan bila pada awalnya

menunjukkan respon yang baik, banyak pasien pada akhirnya juga mengalami lesi

kanker refrakter, yang ditunjukkan dengan pertumbuhan sel yang kembali cepat

dan invasif. Dari literatur juga dikemukakan bahwa ternyata Tamoxifen memiliki

efek yang berbeda ketika berikatan dengan GPR30 dibandingkan bila berikatan

dengan ER. Fakta bahwa Tamoxifen, suatu antagonis ER yang parsial, berperan

sebagai agonis pada GPR30, mengemukakan suatu penemuan baru bahwa

sebenarnya terapi anti-estrogen konvensional selama ini, lebih bersifat stimulasi

daripada inhibisi perkembangan dari tumor yang resisten terhadap Tamoxifen.

Terdapat juga penelitian sebelumnya dimana cell line MCF-7 pada kanker

payudara diberikan paparan Tamoxifen secara terus-menerus selama 6 bulan

untuk menimbulkan resistensi terhadap efek inhibisi dari Tamoxifen. Terapi

Tamoxifen jangka panjang (misalkan lebih dari 6 bulan) pada sel-sel MCF-7 ini

mengubah efek inhibisi dari Tamoxifen secara signifikan, hanya dengan

konsentrasi Tamoxifen yang lebih tinggi yang dapat mempertahankan efek

inhibisi dari Tamoxifen. Ternyata sel-sel yang kemudian mengalami resistensi

terhadap Tamoxifen (TAM-R) ini, akan mengalami peningkatan sensitivitas

terhadap stimulasi estrogen (E2) dan peningkatan kapabilitas GPR30 dalam

memediasi aksi estrogen pada sel. Pada sel-sel TAM-R ini tidak ditemukan

peningkatan ekspresi basal dari GPR30 namun terdapat sedikit peningkatan

ekspresi basal EGFR. Terdapat beberapa data yang mendukung peranan penting

pengiriman sinyal melalui GPR30/EGFR dalam terjadinya resistensi terhadap

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 31: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

Tamoxifen. Inhibisi kaskade ini merupakan salah satu pilihan terapi di kemudian

hari untuk menimbulkan respon anti-hormonal yang valid pada kanker payudara.

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 32: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Terdapat kecenderungan yang kuat bahwa Tamoxifen, suatu antagonis ER yang

parsial, berperan sebagai agonis pada GPR30, dan mengemukakan suatu

penemuan baru bahwa sebenarnya terapi anti-estrogen konvensional selama ini,

dapat bersifat stimulasi daripada inhibisi perkembangan dari tumor yang resisten

terhadap Tamoxifen. Ternyata sel-sel yang mengalami resistensi terhadap

Tamoxifen ini, akan mengalami peningkatan sensitivitas terhadap stimulasi

estrogen (E2) dan peningkatan kapabilitas GPR30 dalam memediasi aksi estrogen

pada sel sehingga hasil akhir yang didapat adalah hilangnya efek inhibisi dari

Tamoxifen dan terus terjadinya proliferasi sel.

6.2 Saran

Adanya penelitian selanjutnya mengenai inhibisi kaskade melalui GPR30/EGFR

ini merupakan salah satu pilihan untuk menimbulkan respon terapi anti-hormonal

yang valid pada kanker payudara.

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015

Page 33: RESPON TERAPI HORMONAL DAN TIMBULNYA MEKANISME

BAB VII

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia. Protokol PERABOI 2003.

Bandung: PERABOI; 2004.

2. Maggiolini M, Picard D. The unfolding stories of GPR30, a new

membrane-bound estrogen receptor. Journal of Endocrinology 2010; 204:

105-14.

3. Levin ER. G protein-coupled receptor 30: estrogen receptor or

collaborator? Endocrinology 2009 Apr; 150(4): 1563-5.

4. Revankar CM, Cimino DF, Sklar LA, Arterburn JB, Prossnitz ER. A

transmembrane intracellular estrogen receptor mediates rapid cell

signaling. Science 2005 Mar 11; 307: 1625-30.

5. Manavathi B, Kumar R. Steering estrogen signals from the plasma

membrane to the nucleus: two sides of the coin. Journal of Cellular

Physiology 2006; 207: 594-604.

6. Ignatov A, Ignatov T, Roessner A, Costa SD, Kalinski T. Role of GPR30

in the mechanisms of tamoxifen resistance in breast cancer MCF-7 cells.

Breast Cancer Res Treat 2010; 123: 87-96.

7. Filardo EJ, Quinn JA, Frackelton AR, Bland KI. Estrogen action via the G

protein-coupled receptor, GPR30: stimulation of adenylyl cyclase and

cAMP-mediated attenuation of the epidermal growth factor receptor-to-

MAPK signaling axis. Molecular Endocrinology 2002; 16: 70-84.

8. Filardo EJ, Quinn JA, Bland KI, Frackelton AR. Estrogen-induced

activation of Erk-1 and Erk-2 requires the G protein-coupled receptor

homolog, GPR30, and occurs via trans-activation of the epidermal growth

factor receptor through release of HB-EGF. Molecular Endocrinology

2000; 14: 1649-1660.

9. Ring A, Dowsett M. Mechanisms of tamoxifen resistance. Endocrine-

Related Cancer 2004; 11: 643–658.

10. Mårtensson UEA, et al. Deletion of the G Protein-Coupled Receptor 30

impairs glucose tolerance, reduces bone growth, increases blood pressure,

and eliminates estradiol-stimulated insulin release in female mice.

Endocrinology 2009; 150(2): 687–698.

11. Early Breast Cancer Trialists Collaborative Group. Chemotherapy and

hormonal therapy for early breast cancer: effects on recurrence and 15 year

survival in an overview of the randomized trials. Lancet 2005:in press.

12. Wong ZW, Ellis MJ. Neoadjuvant endocrine therapy for breast cancer: an

overlooked option? Oncology 2004, 18: 411-420.

13. Dowsett M, Cuzick J, Wale C, Howell A, Houghton J, Baum M.

Retrospective analysis of time to recurrence in the ATAC trial according

to hormone receptor status. J Clin Oncol 2005: in press.

14. Jelovac D, Sabnis G, Long BJ, Macedo L, Brodie A. Strategies to oppose

loss of sensitivity to hormone therapy in breast cancer cells. 96th AACR

Annual Meeting, 2005.

Respon terapi..., Shiera Septrisya, FK UI, 2015