136
RESON NSI AZYUMARDI AZRA 2015 Sumber: Harian Republika dan www.republika.co.id 

Resonansi Azyumardi Azra 2015

  • Upload
    ekho109

  • View
    243

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 1/136

RESON NSI

AZYUMARDI AZRA

2015

Sumber:

Harian Republika dan www.republika.co.id

Page 2: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 2/136

Resonansi Azyumardi Azra 2

DAFTAR ISI

DUNIA ISLAM

Satu Pagi di Depan Ka’bah 5Asia-Arabia 8Ketika Sakralitas Diganti Teror 11KL Sentral 14

Proxy War (1) 17 Proxy War (2) 20Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim 23Makkah al-Mukarramah (1) 26Makkah al-Mukarramah (2) 29

Makkah al-Mukarramah (3) 32Kebebasan Berekspresi dan Respek pada Agama 35Milan 38Kerukunan, Kekerasan, dan Terorisme 41

KAJIAN KEISLAMAN DAN KEAGAMAAN

PISAI, Islam, dan Paus Francis (1) 45PISAI, Islam, dan Paus Francis (2) 48Islam, Biblioteca Ambrosiana, dan Co.Re.Is 51

Transnasionalisasi Islam Indonesia (1) 54Transnasionalisasi Islam Indonesia (2) 57Islam Nusantara (1) 60Islam Nusantara (2) 63Ramadhan, Lebaran, dan Ekonomi Indonesia 66Konvergensi Mazhab 69Pasca-Dua Muktamar 72Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (1) 75Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (2) 78Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (3) 81Agama: Tradisi, Memori, dan Modernitas (1) 84

Agama: Tradisi, Memori, dan Modernitas (2) 88Moderasi Islam 91

PENDIDIKAN DAN SOSIAL-BUDAYA

Dua Pesantren, Dua Budaya (1) 95Dua Pesantren, Dua Budaya (2) 98Dua Pesantren, Dua Budaya (3) 101Suatu Pagi di Tukang Pijat 104Kontroversi Buku Teks (1) 107Kontroversi Buku Teks (2) 110Pedagogik untuk Indonesia (1) 113

Page 3: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 3/136

Resonansi Azyumardi Azra 3

Pedagogik untuk Indonesia (2) 116Komunitas Keadaban 119Gelar Akademik dengan Ijazah Palsu 122Indonesia Setelah 70 Tahun 125Ujaran Kebencian dan Kebebasan 128

Quo Vadis Guru Besar? (1) 131Quo Vadis Guru Besar? (2) 134

Page 4: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 4/136

Resonansi Azyumardi Azra 4

DUNIA ISLAM

Page 5: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 5/136

Resonansi Azyumardi Azra 5

Satu Pagi di Depan Ka'bah

15 January 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Setiap kali kembali ke Masjid al-Haram dan lingkungannya selang hanya beberapa

tahun, ketika itu pula jamaah haji atau umrah bisa menyaksikan dan sekaligus

merasakan banyak perubahan. Renovasi atau pembangunan kembali Masjid al-

Haram seolah tidak pernah berhenti bertahun-tahun sepanjang ingatan.

Penulis “Resonansi ” ini juga merasakan hal yang sama ketika satu pagi Jumat,

Sayyid al- Ayyam (2 Januari 2015) melakukan ibadah umrah. Jama’a h pagi itu tidak

terlalu ramai di jalanan dan pelataran luar masjid. Teta pi seperti biasanya, jama’ah

yang sedang tawaf tetap berjubel. Begitu juga jama’ah yang mengerjakan sa’i —

memadati koridor antara Shafa dan Marwa.

Semua ritual ibadah umrah berlangsung di tengah konstruksi besar-besaran. Begitu

jamaah memasuki Masjid dari arah Pintu Raja Fahd atau pintu mana saja, terlihat

dua tingkatan jalan layang beton, semacam flyover untuk bertawaf, tidak jauh di atas

lingkaran luar Ka’bah. Kelihatan sangat mengganggu keindahan dan kesyahduan

bertawaf. Belakangan saya mendapat informasi, ‘jalan layang’ di atas Ka’bah itu

hanya sementara, yang bakal dibongkar ketika pembangunan selesai —sesuai

rencana —pada 2020.

Soal fly over itu hanya bagian kecil dari perubahan jauh lebih besar baik terkait

Masjid al-Haram maupun lingkungan di luar masjid. Dapat dikatakan, Masjid al-

Haram mengalami pembangunan kembali agar lebih besar dan konon lebih indah

(make over ). Penulis “Resonansi ” ini hampir tidak lagi mengenali lanskap masjid

seperti 2009 ketika menjalankan umrah Ramadhan.

Lebih jauh, di mana-mana terdapat dinding tinggi menutupi bagian masjid yang

Page 6: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 6/136

Resonansi Azyumardi Azra 6

sedang dikerjakan. Tak kurang, suara bising datang dari pekerjaan konstruksi yang

tengah dikerjakan juga muncul dari mana-mana.

Di bagian luar masjid, secara mencolok terdapat sejumlah gedung baru yang

menyatu menjadi semacam konglomerasi bangunan di tempat yang dulu adalah

benteng ‘Ajyad’, kini diberi nama ‘Abraj al -Bayt’. Konglomerasi gedung jangkung ini

terdiri dari mall sampai tingkat 5; seterusnya hotel mewah semacam Fairmont Hotel

and Resort berbintang lima; apartemen (tepatnya kondominium) dan istana —terlihat

sangat glamour .

Di puncak konglomerasi gedung ini bertengger Menara Jam Makkah (Mecca Clock

Tower), yang sering disebut bahkan oleh banyak warga Hijaz sebagai ‘Mecca Big

Ben’, seperti ‘London Big Ben’ yang jauh lebih tua (selesai 1858). Asosiasi ini sulit

terelakkan. Menara Jam Makkah setinggi 601 meter merupakan tower tertinggi

kedua di dunia pada 2012, mengalahkan ketinggian Gedung 101 Taipei. Kini Menara

Jam Makkah menduduki tempat ketiga tertinggi di dunia setelah Burj al-Arab Dubai

dan Shanghai Tower. Sebagai menara jam, Menara Jam Makkah adalah yang

tertinggi di dunia.

Dana yang dihabiskan untuk membangun kompleks Menara Jam Makkah ini tidak

sedikit. Menurut Kementerian Wakaf Saudi dan berbagai sumber lain, dana yang

dihabiskan sekitar 15 milyar dolar AS. Sedangkan biaya pembangunan kembali

Masjid al-Haram sampai selesai lima tahun ke depan diproyeksikan mencapai 60

miliar dolar.

Dari satu segi, pengembangan atau bahkan pembangunan kembali Masjid al-Harambisa dipahami karena meningkatnya jumlah jamaah haji mencapai sekitar lebih tiga

juta jamaah. Menurut Kementerian Haji Arab Saudi mencapai 3,65 juta pada musim

haji 2012, kemudian merosot sekitar satu juta orang pada 2013 dan 2014 karena

pengurangan kuota akibat pembangunan tersebut.

Pengurangan kuota jamaah haji mengakibatkan peningkatan jumlah jamaah umrah.

Sejak 2013 jumlah jamaah umrah mencapai lebih dari enam juta orang. Jumlah initerus meningkat tajam pada 2014 khususnya pada bulan Ramadhan yang diyakini

Page 7: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 7/136

Resonansi Azyumardi Azra 7

banyak jamaah umrah sebagai sama pahalanya dengan ibadah haji.

Tetapi pembangunan kembali Masjid al-Haram dan lingkungannya dengan alasan

masuk akal itu juga mengundang banyak kontroversi dan oposisi. Salah satu alasan

pokok, proyek ini mengakibatkan kian lenyapnya situs-situs historis, semacam

‘benteng Ajyad’ yang dibangun Dinasti Usmani, atau tiang -tiang Masjid al-Haram

yang telah berusia berabad-abad.

Menurut The Islamic Heritage Research Foundation, lembaga asal Teluk Persia

[atau Teluk Arab] yang berpusat di Washington DC, dalam 20 tahun terakhir,

perluasan atau pembangunan kembali Masjid al-Haram melenyapkan sekitar 95

persen bangunan dan lingkungan aslinya. Seorang perempuan Saudi asal Hijaz

dalam percakapan dengan penulis “Resonansi ” ini menyatakan kejengkelan karena

alasan sama. Bagi dia, proyek tersebut tidak lain merupakan penghancuran.

Selain itu, kritik juga tertuju pada ‘Abraj al -Bayt’ y ang menjanjikan fasilitas

serbamewah yang bukan tidak hedonistik semacam kamar suite hotel bertarif sekitar

7.000 dolar semalam atau fasilitas spa . Bentuk kemewahan yang ada di tempat lain,

kini juga dapat dinikmati di ‘Abraj al -Bayt’, yang bukan tidak bisa mengingatkan

orang dengan dunia gemerlap Las Vegas.

Di tengah kemewahan itu, terdapat masih banyak jamaah haji atau umrah yang

menggelandang di pinggir jalan. Mereka pergi haji atau umrah lebih didorong

keimanan-keislaman tanpa mempertimbangkan kesengsaraan yang mereka alami

karena keterbatasan dana. Satu pagi yang k ontras di depan Ka’bah yang terus

berlanjut di hari-hari esok.

Page 8: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 8/136

Resonansi Azyumardi Azra 8

Asia-Arabia

22 Januari 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Kebangkitan dramatis Asia, khususnya China, India dan kemudian juga Indonesia,

dalam dua atau tiga dasawarsa terakhir menimbulkan kesan mendalam dan

sekaligus pertanyaan di Arabia. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi semacam

reorientasi dalam perdagangan Arabia. Perdagangan di antara negara-negara Asia,termasuk Arabia, kini melebihi perdagangan antara Asia dan Barat.

Reorientasi perdagangan itu boleh jadi mempengaruhi tidak hanya bidang ekonomi,

tapi juga politik. Arabia yang dalam waktu lama berada di bawah hegemoni kekuatan

ekonomi dan politik kolonial Eropa patut menoleh ke Asia. Setelah Perang Dunia II,

hegemoni hampir sepenuhnya dipegang Amerika Serikat.

Meski sejak 1970-an sejumlah negara Arabia sejak dari Arab Saudi, Qatar, Kuwait

dan Uni Emirat Barat memperoleh bonanza keuangan berkat eksploitasi minyak dan

gas secara besar-besaran, mereka tidak tumbuh menjadi economic powerhouse .

Sebaliknya, negara-negara ini menghabiskan banyak dana untuk pertahanan dan

proyek mercusuar semacam ‘ burj al- ‘arab’ (menara Arab) yang kini merupakan

gedung tertinggi di dunia atau menara jam Makkah yang juga tertinggi di dunia

dalam kelasnya.

Bonanza minyak dan gas Arabia dengan demikian hampir tidak banyak berguna

untuk menciptakan konstelasi ekonomi dan politik baru di kawasan ini. Arabia tetap

merupakan wilayah penuh konflik yang tidak terselesaikan selama berpuluh tahun.

Bahkan konflik dan kekerasan baru muncul dan terus bergejolak di tengah hegemoni

AS yang tidak efektif menjadi kekuatan pemelihara sekuriti di wilayah Arabia.

Memandang berbagai realitas dan tren yang terus berkembang, wilayah yang sering

Page 9: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 9/136

Resonansi Azyumardi Azra 9

juga disebut sebagai Dunia Arab atau sedikit luas Timur Tengah kini

mempertimbangkan lebih serius lagi mengakselerasikan hubungan yang sudah

sangat lama —bahkan sejak masa sebelum datangnya Islam —dengan Asia.

Dalam konteks itu, Arabia mencoba menemukan kembali hubungan satu sama lain

dengan Asia melalui jaringan lama terkait agama, perdagangan, politik dan

diplomasi dan hubungan baru dalam hal ekspor-impor, pariwisata, pendidikan.

Semua hubungan ini, baik lama maupun baru sangat potensial dalam membangun

reorientasi Arabia dengan ‘ look to the East’ .

Hubungan dan jaringan Arabia dengan Asia, khususnya, China, India dan Indonesia,

menjadi pokok pembicaraan dalam The Rahmania Annual Seminar yang

diselenggarakan di al-Ghat, sebuah kawasan wadi sekitar 250 kilometer dari Riyadh

(3-5/1). Pembahasan berlanjut dalam Dialog Ammariyya tentang hubungan Arabia-

Asia di Wadi Ammariya, sekitar 50 kilometer di luar Kota Riyadh (6/1).

Tidak ragu Arab Saudi merupakan pemain utama dalam reorientasi ‘ look to East’

bukan hanya karena ukuran ekonominya yang termasuk salah satu terbesar di dunia

sehingga merupakan anggota G-20, tapi juga posisi sentralnya dalam ibadah haji.

Peningkatan jumlah jamaah haji secara signifikan tahun demi tahun juga menjadi

pendapatan ( revenue ) utama Arab Saudi.

Tetapi reorientasi ke Timur ini juga memerlukan perimbangan ulang ( rebalancing )

secara material menyangkut sumber-sumber ekonomi dan sekaligus sikap mental

dan intelektual. Hanya dengan perimbangan baru baik secara material maupun

mental, orientasi baru ke Timur dapat berhasil.

Seperti terungkap dalam pembicaraan pada kedua konferensi, secara mental dan

intelektual, masyarakat Arabia tidak mengetahui banyak tentang Dunia Timur.

Bahkan juga mereka tidak memiliki pengetahuan memadai tentang kehidupan

agama, sosial dan budaya yang ada di China, India dan Indonesia.

Para audiens Arab mafhum belaka bahwa Indonesia adalah negara muslim terbesardi dunia. Mereka juga tahu tentang jamaah haji Indonesia yang paling tertib dan

Page 10: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 10/136

Resonansi Azyumardi Azra 10

kalem ketika melaksanakan ibadah haji. Bagi mereka, jamaah haji Indonesia paling

terorganisasi baik.

Tetapi mereka tidak tahu banyak tentang Islam Indonesia. Seperti bisa diduga

mereka memandang Islam Indonesia dari kacamata Wahabi. Mereka merasa sedikit

aneh ketika penulis “Resonansi ” ini menjelaskan tentang kepaduan syariah dan

tasawuf dalam keilmuan dan praktik keislaman banyak ulama dan kaum muslimin

Indonesia.

Sepanjang sejarah keilmuan dan keulamaan Nusantara, khususnya sejak abad 17,

hampir seluruh ulama sejak dari Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Singkel, Muhammad

Yusuf al-Maqassari, Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdussamad al-Palimbani,

sampai Nawawi al-Bantani sangat menekankan pentingnya kepatuhan pada

syari’ah. Pada saat yang sama, mereka juga memandang pentingnya peningkatan

kualitas amal melalui pengamalan tasawuf.

Tetapi bagi banyak audiens Arab, tasawuf tidak lain merupakan bid’ah yang

merusak kemurnian Islam. Karena itu menurut mereka perlu ‘kompartementalisasi’

(pemisahan) antara syari’ah dengan tasawuf, sehingga tidak terjadi ‘sinkretisme’

dalam keimanan dan praktik Islam.

Persepsi semacam ini pastilah tidak ‘ nyambung ’ dengan realitas Islam Indonesia.

Jika Arabia benar-benar ingin memandang ke Timur ke Indonesia, sepatutnya

pemahaman dan apresiasi mereka pada tradisi Islam Indonesia perlu ditingkatkan.

Page 11: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 11/136

Resonansi Azyumardi Azra 11

Ketika Sakralitas Diganti Teror

26 March 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Sakralitas kelihatan kian lenyap di kawasan Timur Tengah. Teror demi teror

menghancurkan manusia, masjid, bangunan, pasar, jalan raya, dan seterusnya.

Sakralitas seolah tidak lagi tersisa berganti dengan teror yang menjadi order of the

day --acara wajib hari demi hari. Inilah wilayah tempat di mana banyak para nabi danrasul diutus, dan juga di mana banyak kitab suci diturunkan.

Lihatlah apa yang terjadi, misalnya, Jumat pekan lalu (20/3). Dua masjid, tempat

menyembah Allah SWT yang sakral menjadi sasaran teror di Yaman. Pembawa bom

pasti tahu, Jumat adalah sayyid al-ayyam . Bom bunuh diri bukan hanya

meluluhlantakkan bangunan masjid, tetapi lebih fatal lagi menewaskan sedikitnya

142 jamaah. Bangunan masjid bisa dibangun kembali, tetapi nyawa yang melayang

tidak pernah bisa direhab, direnovasi atau dibangun kembali.

Inilah salah satu bentuk kebiadaban sempurna --kebiadaban bukan hanya terhadap

kemanusiaan, tetapi juga kepada ketuhanan. Apakah yang ada di dalam benak

pembawa bom bunuh diri; apakah yang ada di kalbunya. Tak perlu akal canggih

atau diskusi panjang; tindakan semacam ini hanya bisa dilakukan orang tidak

beriman, meski ketika membawa dan memicu bom di dalam masjid sembari

meneriakkan nama Tuhan.

Kekerasan dan teror terus merajalela dengan kecenderungan meningkat dari hari ke

hari di Timur Tengah atau khususnya di berbagai wilayah dunia Arab. Puncak

kekerasan dan teror biasanya pada akhir pekan, yang bermula dengan Kamis sore,

Jumat, dan Sabtu yang merupakan hari libur di dunia Arab.

Meminjam ungkapan di Amerika atau Eropa, thanks God it’s Friday [TGIF], di dunia

Page 12: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 12/136

Resonansi Azyumardi Azra 12

Arab orang-orang lazim berucap al-yaum, yaum al-Khamis, alhamdulillah --ujung

pekan yang disusul dengan libur Jumat-Sabtu.

Tapi akhir pekan di banyak tempat di dunia Arab tampaknya tidak lagi merupakan

hari kedamaian --pada Jumat sekalipun, yang merupakan waktu menjalankan

ibadah Jumat. Sebaliknya, akhir pekan yang mencakup hari sakral --sakralitas

diganti teror. Jumat justru digunakan sebagai waktu memobilisasi orang dan

kelompok melakukan kekerasan dan teror, khususnya dengan bom bunuh diri.

Bom ditujukan bukan kepada siapa-siapa. Lazimnya tidak lain ditujukan kepada

sesama muslim baik yang berasal dari aliran dan mazhab berbeda atau yang sama,

baik dari kalangan aparat negara maupun rakyat biasa.

Bom bunuh diri secara sengaja guna menghancurkan musuh --dan pembawa bom

itu sendiri-- sejak dasawarsa 1980-an menjadi cara paling populer di berbagai

tempat di dunia. Dari tahun terus cara ini terus meningkat.

Di antara 1981-2006 terjadi sekitar 1.200 bom bunuh diri di seluruh dunia. Sekitar 90

persen serangan bom bunuh diri terjadi di Irak, Israel, dan wilayah-wilayah Palestina.

Sampai 2008, di Irak, misalnya, pelaku bom bunuh diri mencapai 1.121 orang

dengan jumlah korban tewas yang masif.

Meski angka pasti jumlah bom bunuh diri beserta korbannya yang tewas setiap

tahun sulit dikompilasikan, yang pasti pengeboman bunuh diri kian meningkat sejak

2008 tersebut. Pada 2014 di seluruh dunia terjadi 592 serangan bunuh diri --

meningkat 94 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada 2014 korban tewas karenaserangan bunuh diri mencapai sekitar 4.400 orang, meningkat dibandingkan 2013

yang mencapai 3.200-an.

Peningkatan terutama terjadi di negara-negara Arab. Pada 2014 terjadi sekitar 370

serangan bunuh diri di dunia Arab dengan jumlah korban tewas sekitar 2.750 orang.

Jumlah ini meningkat dibanding 2013 dengan 163 serangan bunuh diri dan jumlah

korban tewas sekitar 1.950. Peningkatan terjadi di Irak (271 pada 2014 berbanding98 pada 2013); Yaman (29 berbanding 10); Lebanon (13 berbanding 3); Libya (11

Page 13: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 13/136

Resonansi Azyumardi Azra 13

berbanding 1); Mesir (4 berbanding 6, menurun).

Eskalasi kekerasan bunuh diri juga terjadi di Suriah karena faktor ISIS. Sepanjang

2014 terjadi serangan bom bunuh diri dilakukan 382 pelaku dengan jumlah korban

tewas sekitar 420 jiwa.

Peningkatan bom bunuh diri terjadi pula di Afghanistan (124 pada 2014 berbanding

65 pada 2013); Pakistan (2014 dan 2013 angkanya nyaris sama 36 berbanding 35);

Nigeria (32 berbanding 3); Somalia (19 berbanding 14).

Melihat kecenderungan perkembangan yang masih tidak kondusif di negara-negara

berpenduduk mayoritas Muslim tersebut, kekerasan dan teror bom bunuh diri bakal

berlanjut secara signifikan pada 2015. Sangat sulit memprediksi kapan kekerasan

dengan bom bunuh berkurang jika tidak bisa dihilangkan sama sekali.

Yang pasti, sakralitas jiwa manusia, masjid, dan rumah ibadah lain atau pandam

pekuburan kian digantikan kekerasan dan teror. Masjid di negara-negara tersebut

tadi bukan lagi tempat berlindung yang aman. Tetapi kian menjadi target empuk

khususnya pada Jumatan ketika jamaah berkumpul dalam jumlah besar.

Indonesia, alhamdulillah, tidak mengalami nasib tragis seperti itu. Semua kita

berdoa, janganlah kejadian serupa --sakralitas digantikan kekerasan dan teror juga

menyebar ke tanah air ini. Menjadi kewajiban setiap dan seluruh bagian umat untuk

tidak tergoda melakukan kekerasan; dan sebaliknya tetap menghormati sakralitas

dalam kehidupan keislaman dan keindonesiaan.

Karena itu, adanya orang-orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS perlu

diwaspadai dan diberikan sanksi hukum yang tegas. Sebab, ketika mereka kembali

ke tanah air kelak, bisa diduga mereka dengan segera bakal mengganti sakralitas

dan kedamaian dengan kekerasan dan teror.

Page 14: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 14/136

Resonansi Azyumardi Azra 14

KL Sentral

11 Juni 2015REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

KL Sentral —kawasan populer di pusat kota Kuala Lumpur, ibukota negara federal

Malaysia. Terletak tak jauh dari kawasan KLCC —salah satu simbol kemajuan

ekonomi Malaysia —tak banyak gedung jangkung di kawasan KL Sentral. Inilah

kawasan yang belum banyak tersentuh pembangunan infrastruktur dan kemajuan

ekonomi. KL Sentral masih didominasi bangunan tua, kusam, cenderung kotor dan

bau yang penuh dengan pasar emperan, kedai kelontong dan warung makanan.

Kawasan KL Sentral sebagian besar masih menampilkan wajah KL lama. Kawasan

ini masih merupakan ‘kampung’ yang tidak banyak lagi tersisa. D i sini terletak

‘kampung India’ yang terlihat khas; juga kampung Melayu. Inilah kawasan di mana

kalangan masyarakat bawah dari tiga puak (etnis) Malaysia; Melayu, Cina, dan India

bertemu dalam lalu lalang —yang tak selalu mesti berbaur dan berpadu.

Mendapat akomodasi selama empat hari empat malam di kawasan KL Sentral ketika

menghadiri The Fifth Assembly of Asian Muslim Action Network (AMAN) pada 4-7

Juni 2015, penulis “Resonansi ” ini belakangan mengetahui, kawasan ini bukan

tempat yang pas bagi orang lurus. Ada tempat tertentu di lingkungan KL Sentral

yang merupakan lokasi ‘ red light’ . Karena itu, bagi mereka yang senang mesum,

mungkin pojok KL Sentral ini yang mereka cari.

Mengamati KL Sentral dari jalanan dan pasar saya menemukan sejumlah hal untuk

refleksi. Pemandangan selama berada di KL Sentral sepanjang perayaan Milad 25

tahun AMAN mendorong penulis —sejak 2013 didaulat menjadi Chairman AMAN

menggantikan Asghar Ali Engineer yang wafat —tidak hanya berefleksi tentang

AMAN yang aktif dalam program perdamaian, dialog antaragama, pemberdayaan

masyarakat dan penguatan Islam wasatiyah, tetapi juga pada dinamika masyarakatMalaysia, khususnya di kawasan KL Sentral.

Page 15: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 15/136

Resonansi Azyumardi Azra 15

Meski banyak kawasan KL cenderung kian macet, jelas kemacetannya jauh di

bawah Jakarta. Mengamati kendaraan yang lalu lalang di jalanan KL Sentral, saya

meminta beberapa kawan menyatakan apa yang mereka lihat. Sehari belum ada

komentar. Hari berikutnya baru ada komentar : “Lihat mobil dan motor begitu banyak

melintas. Bedanya, di jalanan Jakarta jauh lebih banyak mobil mengkilap dan fancy

yang harganya paling tidak antara setengah sampai dua miliar. Jarang terlihat mobil

sekelas Fortuner atau Alphard atau Lamborghini di j alanan KL”.

Memang, kebanyakan mobil di jalanan KL adalah Proton dengan berbagai jenisnya,

yang umumnya model lama atau beranjak tua. Lalu juga ada mobil Perodua kecil

yang menurut seorang kawan Malaysia sudah mengalahkan Proton. Selebihnya

adalah mobil buatan Jepang; yang juga terlihat cukup banyak adalah Kijang Innova

atau Avanza.

Apakah pemandangan kontras antara KL dan Jakarta mengindikasikan warga

Malaysia cenderung menjalani hidup lebih sederhana dan sebaliknya warga Jakarta

atau kota-kota lain di Indonesia lebih hedonistik dan show off? Ataukah

pemandangan di jalan raya KL menunjukkan gejala sosial-ekonomi lain yang

berakar jauh lebih dalam.

Gejala kendaraan di jalanan KL memperlihatkan, ekonomi Malaysia pada level

masyarakat ‘awam’ (umum) tidak be rtumbuh seperti terlihat dalam angka statistik.

Menurut berbagai data, estimasi, dan statistik, ekonomi Malaysia bertumbuh antara

6,0 sampai 5,4 persen dalam 10 tahun terakhir. Tetapi juga jelas, dalam beberapa

belakangan, pertumbuhan ekonomi Malaysia terus melambat.

Karena itu tidak heran jika Dato Saifuddin Abdullah, CEO Global Movement of

Moderates (GMM), Malaysia, mengimbau para pelancong (turis) berbelanja lebih

banyak. Dengan begitu, kata dia, ekonomi Malaysia dapat terdorong bangkit

kembali.

Pertumbuhan ekonomi Malaysia yang pernah fenomenal kelihatan merupakan faktor

penting yang dapat menjaga keutuhan ‘perpaduan’ antar -puak di Malaysia. Semakincepat dan besar pertumbuhan ekonomi, kian berkurang pula tensi dan ketegangan

Page 16: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 16/136

Resonansi Azyumardi Azra 16

antar-puak Malaysia.

Tetapi pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup tanpa pemerataan. Ketimpangan

pendapatan dan kesejahteraan masih lebar di antara tiga kelompok ‘puak’ dominan:

Melayu (sekitar 60 persen), Cina (kurang dari 30 persen), dan India (sekitar 8

persen). Meski puak Melayu dan India juga mengalami peningkatan kesejahteraan,

ekonomi Malaysia masih tetap didominasi etnis Cina.

Bertahannya kesenjangan ekonomi di antara ketiga kelompok etnis menyuburkan

kembali kecemburuan sosial, ekonomi dan politik. Jika puak Melayu dan India,

khususnya pada tingkat akar rumput, menyimpan kejengkelan karena kondisi

ekonomi dan kesejahteraan mereka yang tidak banyak berubah, sebaliknya puak

Cina mengendapkan ketidakpuasan terhadap apa yang mereka sebut sebagai

diskriminasi politik dan sosial berkelanjutan.

Kesenjangan ekonomi, politik, sosial dan agama terus berlanjut di Malaysia di

tengah berbagai dinamika negara ini. Karena itu pula hubungan antar-puak di

Malaysia masih menjadi agenda utama jika negara ini dapat tumbuh dengan

perpaduan dan kesatuan di antara para warganya.

Indonesia beruntung pada dasarnya tidak memiliki tensi dan konflik perpuakan,

perkauman dan etnisitas yang akut dan laten. Beragam puak dan kaum berbaur di

negeri ini —legacy dan aset sangat berharga bagi negara-bangsa Indonesia, yang

mesti diberdayakan untuk Indonesia yang lebih padu dan bersatu.

Page 17: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 17/136

Resonansi Azyumardi Azra 17

Proxy War (1)

13 Agustus 2015,

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Proxy war atau secara lebih spesifik ‘ proxy sectarian war’ —perang proxy karena

sektarianisme keagamaan. Secara singkat, ‘ proxy war’ adalah perang boneka di

antara dua negara atau lebih tanpa melibatkan secara langsung negara-negara atau

warga negara itu sendiri dalam perang terbuka di antara mereka. Perang justruterjadi dan berkobar di negara atau wilayah lain di antara kelompok pro dan anti

masing- masing negara yang menjadi semacam ‘boneka’ karena mendapat bantuan

dana, pelatihan dan persenjataan dari negara-negara yang bertarung.

Oleh karena itu, lazimnya proxy war terjadi dan sering berlangsung lama bukan di

negara yang berkontestasi. Biasanya proxy war terjadi di wilayah lain di luar kedua

negara yang saling bermusuhan dan ingin menghancurkan lawannya.

Isu proxy war menyelinap ke dalam pikiran penulis “Resonansi ” ini ke tika dalam

beberapa konferensi dan seminar di tanah air yang diselenggarakan perguruan

tinggi dan ormas Islam mendapat pernyataan dan pertanyaan berbau sektarianisme

bernada perang tentang ‘bahaya’ Syi’ah di Indonesia. Dengan nada seperti itu,

komunitas-komunitas agama berbeda, khususnya Islam Indonesia —sudah dekat

pada proxy war .

Kecenderungan meningkatnya pernyataan dan pertanyaan tentang subyek ini

terlihat di tanahair sedikitnya dalam masa sepuluh tahun terakhir. Peningkatan itu

juga lebih jelas bisa disimak di dunia maya. Banyak sekali situs memprovokasi umat

beragama melakukan tindakan yang tidak lain adalah proxy war.

Nada proxy war bahkan sempat menyelinap dalam percakapan di sela-sela

Muktamar Nahdlatul Ulama dan Muktamar Muhammadiyah awal Agustus 2015.

Page 18: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 18/136

Resonansi Azyumardi Azra 18

Meski pimpinan utama kedua ormas Islam telah dan terus menekankan pentingnya

dialog dan rekonsiliasi Sunni-Syiah, tetap saja ada segelintir orang yang berbicara

dengan nada proxy war.

Peningkatan sektarianisme bersemangat proxy war dewasa ini terkait banyak

dengan terus meningkat kontestasi politik, ekonomi dan agama di antara Arab Saudi

dengan Iran. Kontestasi ini bukan hal baru karena kedua negara telah terlibat dalam

perebutan pengaruh selama lebih dari 30 tahun tidak hanya di dunia Arab dan Asia

Selatan atau Asia Barat Daya, tetapi juga di banyak bagian lain dunia Islam, dan

bahkan juga di antara komunitas muslim yang berbeda etnis, tradisi sosial-budaya

dan paham keislaman di Eropa dan Amerika Utara.

Pertarungan di antara kedua negara yang menghasilkan proxy wars di Timur

Tengah dan Asia Selatan-Barat dalam masa kontemporer bermula sejak masa

sukses revolusi Ayatullah Khomeini di Iran pada 1979. Keberhasilan ini mendorong

pemerintah dan lembaga Iran mengekspor paham dan gerakan Syiah revolusioner

guna menumbangkan rejim otokratik dan despotik di wilayah dunia muslim lain.

Pada saat berbarengan Arab Saudi bangkit menjadi negara k aya ‘petro -riyal’ berkat

eksploitasi minyak besar-besaran sejak akhir 1970an. Dengan dana melimpah,

Saudi tidak hanya menjadi salah satu negara terkuat di Timur Tengah, tetapi juga

meningkatkan usaha penyebaran paham dan praksis Wahabisme di wilayah dunia

muslim lain dan di kalangan komunitas muslim di Barat.

Upaya kedua negara ini dalam penyebaran paham dan praksis Islam masing-masing

ke lingkungan kaum muslimin lain dapat dilihat dengan peningkatan bantuan danauntuk pembangunan masjid, Islamic Center, sekolah dan perguruan tinggi dan pusat

bahasa dan kebudayaan; penyediaan beasiswa untuk belajar di Saudi atau Iran;

pengadaan literatur untuk perpustakaan; penyelenggaraan konferensi atau seminar

dan seterusnya. Melalui berbagai program dan kegiatan semacam itu, kelompok-

kelompok muslim yang pro dan anti masing-masing negara juga menguat —

meningkatkan pertarungan Syiah versus Wahabisme.

Upaya akselarasi penyebaran kedua aliran ini mengalami kemunduran ( setback )

Page 19: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 19/136

Resonansi Azyumardi Azra 19

dengan terjadinya peristiwa besar seperti 9/11 pada 2001 di Amerika Serikat yang

diikuti penyerbuan Afghanistan oleh AS dan sekutunya untuk menghabisi Taliban

yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa ‘Nine -Eleven’. Afghanistan yang

sejak masa pendudukan Uni Soviet paroan kedua dasawarsa 1980-an menjadi

ajang proxy wars di antara komunitas agama berbeda yang mewakili kepentingan

sektarianisme keagamaan di negara-negara lain. Akibatnya sampai sekarang

Afghanistan masih terjerumus dalam lubang kelam tanpa dasar ( abyss ).

Ambruknya negara-negara kuat di dunia Arab dan sejak jatuhnya Presiden Saddam

membukakan ‘kotak pandora’ sektarianisme keagamaan san gat kompleks dan rumit.

Ada konflik antara Sunni dan Syiah dan antara berbagai aliran Sunni atau Syiah.

Sektarianisme keagamaan yang bersumber terutama dari kontestasi politik kian

bernyala-nyala terkait pengalaman historis panjang konflik dan perang yang diberi

justifikasi pemahaman dan praksis keagamaan tertentu.

Situasi kacau seperti itu memudahkan masuknya ‘tangan -tangan’ negara lain yang

menggunakan berbagai pihak terlibat konflik untuk kepentingan politiknya. Hasilnya

adalah proxy wars yang terus berlanjut, yang melibatkan kelompok radikal semacam

Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina, al-Qaedah dan terakhir sekali ISIS.

Apakah Indonesia bisa terjerumus ke dalam proxy war seperti terjadi di negara-

negara berpenduduk mayoritas muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan-Barat?

Page 20: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 20/136

Resonansi Azyumardi Azra 20

Proxy War (2)

20 Agustus 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Apakah Indonesia bisa terkena imbas proxy war yang terus berkecamuk di negara-

negara di dunia Arab dan Asia Selatan atau Asia Barat Daya? Seberapa besar

potensi munculnya proxy war di Indonesia umumnya dan intra-umat Islam Indonesia

atau antar-agama di Indonesia?

KSAD Gatot Nurmantyo (kini Panglima TNI) berulang kali menyatakan tentang

bahaya terjadinya proxy war di Tanah Air. Menurut Jenderal Gatot, cadangan energi

dunia kini tersisa untuk 45 tahun saja. Karena itu, berbagai negara berlomba

menguasai sumber energi yang kian langka. Ia melihat sekitar 70 persen konflik di

dunia —yang sebagian menjadi perang terbuka —berlatarbelakang perebutan energi.

Indonesia yang masih kaya dengan sumber alam juga menjadi sasaran perebutan.Karena kini tidak mungkin lagi dilakukan kolonialisasi, cara yang mereka tempuh

adalah melalui proxy war .

Dalam konteks itu, menurut Panglima TNI Gatot Nurmantyo, beragam cara

dilakukan dalam proxy war untuk menguasai Indonesia. “Mulai dari pembentukan

opini untuk rekayasa sosial, perubahan budaya, adu domba TNI-Polri, pecah-belah

partai, dan penyelundupan narkoba”, tegasnya .

Terlepas dari pernyataan yang khas bernada sekuriti, substansi pesannya sudah

jelas. Indonesia yang demikian besar —yang di luar dugaan dan mispersepsi banyak

kalangan asing —telah mampu bertahan mencapai 70 tahun kemerdekaan pada

2015. Meski masih ada potensi disintegrasi, misalnya terkait Papua, belum terlihat

tanda dan indikasi meyakinkan tentang bahaya proxy war yang dapat

menghancurkan Indonesia bersatu.

Page 21: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 21/136

Resonansi Azyumardi Azra 21

Walaupun demikian, bahaya proxy war tetap harus diwaspadai. Bahaya itu terkait

tidak hanya dengan perebutan sumber energi, peningkatan jumlah penduduk dunia,

kerawanan cadangan pangan misalnya, tetapi juga dengan kehidupan keagamaan.

Indonesia yang demokratis dan terbuka telah menjadi ruang terbuka lebar untuk

kontestasi berbagai aliran agama —baik intra maupun antar-agama —yang jika tidak

diwaspadai dapat menimbulkan proxy war .

Proxy war terkait sektarianisme aliran atau mazhab atau denominasi intra agama

bukan tidak mungkin terjadi. Tidak ada agama mana pun di Indonesia atau tempat

lain di muka bumi yang bersifat monolitik. Sebaliknya terdapat bermacam aliran dan

denominasi seperti misalnya bisa terlihat dalam Islam Indonesia dan Kristen

(Protestan) yang bisa terlibat dan kontestasi yang disponsori negara asing.

Agama yang disebut terakhir mengandung banyak denominasi atau gereja

berorientasi transnasional. Ada gereja yang karena sejarah dan doktrin berorientasi

ke negara-negara Eropa tertentu; juga ada yang berorientasi ke Protestanisme

Amerika yang agresif. Kasus Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara yang juga

menutup Gereja Advent —selain menyerang jamaah muslim yang sedang shalat

Idulfitri 1436--misalnya mengindikasikan kontestasi intra dan sekaligus antar-agama,

yang memiliki warna transnasional yang mengandung warna proxy war .

Islam Indonesia juga jelas tidak monolitik, tetapi mengandung berbagai aliran paham

dan praksis keislaman yang dalam batas tertentu berbeda satu sama lain. Meski ada

perbedaan dan keragaman, umat Islam Indonesia hampir sepenuhnya mengikut

Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Ja ma’ ah). Belakangan sejumlah kecil muslim Indonesia

juga menganut pemahaman dan praksis keislaman Syiah.

Perbedaan dalam pemahaman dan praksis di kalangan Sunni terwujud dalam

ormas-ormas Islam cukup banyak di negeri ini sejak dari Muhammadiyah, NU,

Jami’ at Khair, al-Irsyad, DDII, al- Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar, PUI, Persis,

Nahdlatul Wathan, al-Khairat, Hidayatullah dan sebagainya. Masing-masing ormas

memiliki sektarianisme tertentu dalam pemahaman dan praksis keagamaan, meski

lebih terkait hal bersifat furu’iyyah (‘ranting’), bukan hal pokok ( ushul ).

Page 22: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 22/136

Resonansi Azyumardi Azra 22

Meski ada perbedaan dalam soal furu’iyah , para pendukung ormas-ormas Islam

arus utama ( mainstream ) beserta jutaan muslim Indonesia lain memegangi Islam

wasathiyah —Islam jalan tengah yang inklusif, toleran dan damai. Tidak pernah

terjadi konflik fisik yang lama dan luas di antara para anggota dan pendukung

ormas-ormas jalan tengah satu sama lain. Islam Indonesia tidak memiliki sejarah

perang sektarianisme keagamaan signifikan.

Walaupun demikian, ada pula kalangan Sunni Indonesia berorientasi transnasional

yang berusaha mengubah tradisi Islam wasathiyah Indonesia. Mereka tergabung

dalam berbagai kelompok salafi dan wahabi, jamaah tablig dan semacamnya. Walau

mereka belum berhasil secara signifikan, tetapi pendekatan dan cara dakwah

mereka bukan tak menimbulkan ketegangan dan konflik yang jika tidak diwaspadai

dapat bermuara pada proxy war .

Kelompok-kelompok terakhir ini bahkan memiliki potensi besar terlibat proxy war

dengan kaum Syiah Indonesia. Beberapa kasus kekerasan terhadap pengikut Syiah

di Bangil dan Sampang Madura memperlihatkan adanya nuansa proxy war di antara

Iran (Syiah) dan Arab Saudi (Wahabisme).

Kaum muslimin Indonesia sepatutnya mewaspadai bahaya proxy war bernuansa

agama. Semestinya pula, kalangan kaum muslimin Indonesia tidak menjadi kaki

tangan paham dan praksis keagamaan negara-negara lain; dan tidak menjadikan

Indonesia sebagai kancah konflik dan kekerasan. Ini juga berlaku bagi kelompok

aliran dan denominasi agama-agama lain di Tanah Air.

Page 23: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 23/136

Resonansi Azyumardi Azra 23

Deklarasi Islam Tentang Perubahan Iklim

27 Agustus 2015

REPUBLIKA.CO.IDAzyumardi Azra

Bumi makin panas, sehingga makin banyak jumlah orang yang tewas karena

kepanasan. Sebaliknya di belahan bumi lain, cuaca kadang-kadang sangat dingin

sehingga juga menewaskan banyak manusia.

Musim kemarau dan musim hujan di kawasan seperti Indonesia juga terasa

semakin tidak menentu. Begitu juga musim panas dan musim dingin di bumi belahan

utara dan belahan selatan yang iklimnya terus berubah.Perubahan iklim bukan lagi

wacana akademik ilmiah teoretis, tetapi juga sudah secara kasat mata melanda

umat manusia di hampir seluruh penjuru dunia.

Karena itu, sangat tepat waktu belaka para pemimpin muslim dari sekitar 20

negara —termasuk Ketua MUI Din Syamsuddin dan Direktur Pusat Kajian Islam

Universitas Nasional, Fachruddin Mangunjaya —mengeluarkan ‘Deklarasi Islam

tentang Perubahan Iklim’. Bersama sejumlah pemimpin agama lain yang berkumpul

di Istanbul, Turki, pekan lalu (17-18/8/2015) mereka sepakat tentang perlunya

perhatian dan kepedulian bersama menghadapi masalah perubahan iklim.

Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim memaparkan ringkas berbagai gejala

perubahan iklim secara cepat, seperti pemanasan global ( global warming ) dalam

beberapa dasawarsa terakhir yang mengancam kelangsungan hidup manusia, dan

lingkungan hidup secara keseluruhan. Deklarasi Islam mengutip banyak ayat al-

Qur’an dan Hadit s yang mengajarkan kepada kaum muslimin [dan umat manusia

secara keseluruhan] untuk menjaga lingkungan hidup; tidak melakukan ‘kerusakan

baik di langit maupun di muka bumi’, misalnya. Deklarasi juga mengemukakan

bermacam Sunnah Nabi Muhammad SAW tentang pentingnya pemeliharaan

lingkungan hidup.

Page 24: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 24/136

Resonansi Azyumardi Azra 24

Sumber kerusakan lingkungan yang menimbulkan perubahan iklim juga

dikemukakan —hal yang sudah diketahui banyak kalangan masyarakat. Kerusakan

alam bersumber terutama bersumber dari tingkat konsumsi tidak terkendali di

negara-negara maju dan kaya (termasuk negara-negara muslim penghasil BBM

fosil). Gaya hidup tidak peduli ini misalnya meningkatkan emisi gas, salah satu

penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim.

Deklarasi Istanbul menyatakan, 1,6 miliar kaum Muslim turut memikul tanggung

jawab menghadapi perubahan iklim. Karena itu, selain menghimbau negara-negara

lain, Deklarasi juga menyeru negara-negara muslim kaya penghasil BBM fosil agar

berusaha serius menghasilkan energi terbarukan menjelang pertengahan abad 21.

Selain itu, Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim menyerukan agar negara-negara

kaya meningkatkan bantuan keuangan pada masyarakat yang rentan terhadap

perubahan iklim. “Negara -negara kaya memiliki kewajiban moral mengurangi

konsumsi, sehingga kaum miskin dapat mengambil manfaat dari apa yang masih

tersisa dari sumber alam yang tidak bisa terbarukan ”.

Dalam konteks itu, Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim benar belaka. Terdapat

dampak akumulatif perubahan iklim berlipat ganda di banyak negara muslim.

Berbagai dampak akumulatif itu misalnya terlihat dengan kian seringnya terjadi

banjir, longsor, kegagalan pertanian-peternakan, dan kian memburuknya kualitas

lingkungan hidup.

Dampak akumulatif itu terkait dengan masih banyaknya kaum muslim miskin di

berbagai negara di Asia dan Afrika. Konflik politik berkepanjangan yang terjadi dinegara-negara tersebut membuat pembangunan dan perbaikan ekonomi tidak bisa

terlaksana untuk memperbaiki keadaan.

Hasilnya, kaum miskin tidak berpendidikan dan keterampilan memadai berbondong

pergi ke wilayah urban —melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Menduduki

lahan di mana saja, di bantaran sungai, di bawah kolong jembatan dan tempat lain

yang tidak layak dan kumuh; mereka melakukan pekerjaan apa saja untukmendapatkan sesuap nasi.

Page 25: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 25/136

Resonansi Azyumardi Azra 25

Keadaan ini menimbulkan banyak dampak negatif lebih lanjut. Selain berlanjutnya

kemiskinan, yang terjadi juga adalah perusakan lingkungan hidup. Lingkungan hidup

di banyak negara muslim termasuk paling kotor di dunia, sejak dari lingkungan

pemukiman sampai sungai. Meski Eropa dan Amerika Utara juga mengalami

dampak perubahan iklim, tetapi lingkungan hidup, seperti pemukiman, taman, dan

hutan tetap terpelihara baik; masyarakatnya rata-rata cukup disiplin, misalnya

dengan tidak membuang sampah seenaknya.

Gejala ini juga terlihat jelas di Indonesia. Lingkungan hidup di negara ini termasuk

salah satu yang paling rusak di antara negara-negara lain. Bahkan, Indonesia

adalah salah satu di antara negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia,

terutama karena penebangan hutan —apakah resmi atau liar.

Jauh sebelum Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim dikeluarkan, MUI telah

mengeluarkan sejumlah fatwa terkait penyelamatan lingkungan hidup. Misalnya ada

Fatwa MUI No. 22/2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan; Fatwa MUI No.

47/2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Pencegahan Kerusakan Lingkungan;

Fatwa No. 4/2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan

Ekosistem. MUI Pusat bahkan sejak 2010 memiliki Lembaga Pemuliaan Lingkungan

Hidup dan Sumber Daya Alam.

Kenapa fatwa-fatwa itu nampaknya tidak efektif? Hal ini mengisyaratkan rendahnya

kesadaran kaum muslimin Indonesia tentang perlunya penyelamatan lingkungan

ekosistem guna mengurangi akumulasi dampak perubahan iklim. Inilah salah satu

‘pekerjaan rumah’ bagi setiap m uslim yang peduli.

Page 26: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 26/136

Resonansi Azyumardi Azra 26

Makkah al-Mukarramah (1)

08 Oktober 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Musim haji yang baru saja usai (1436 H/2015 M) menyisakan rasa duka pada para

jamaah, khususnya keluarga-keluarga dari berbagai negara yang wafat dalam dua

malapetaka yang terjadi di kota suci Makkah. Pertama, tumbangnya crane yangmenewaskan lebih 107 jamaah termasuk 11dari Indonesia; dan kedua musibah

tabrakan antarjamaah di Jalan 204 Mina yang mengorbankan lebih dari 1.000 jiwa,

termasuk sekitar 100 jiwa dari Indonesia.

Musibah demi musibah hampir selalu terulang dari tahun ke tahun. Meski

Pemerintah Arab Saudi telah berusaha meningkatkan sarana dan fasilitas untuk

penyelenggaraan prosesi ibadah haji, tetapi musibah yang mengorbankan banyak

jiwa tetap saja terjadi.

Ada beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya kejadian mengenaskan itu.

Pertama, SDM petugas Arab Saudi di lapangan yang tidak memadai secara

kuantitas maupun kualitas. Mereka tidak berdaya atau tidak punya kreativitas,

misalnya, untuk mengalihkan di antara arus jamaah haji yang pergi ke Jamarat

dengan yang pulang sehingga tidak terjadi tabrakan.

Musibah juga terjadi karena ada jamaah haji yang lebih mengutamakan fadha'il

(keutamaan) melontar Jamarat di pagi hari--waktu yang sebenarnya rawan dari

sudut keamanan. Jamaah haji umumnya dalam kondisi fisik tidak sepenuhnya segar

setelah berangkat dan wukuf di Arafah, dan selanjutnya pergi mabit di Mudzdalifah-

yang waktunya lebih afdal sampai selesai salat subuh untuk kemudian segera

dilanjutkan dengan melontar Jamarat di Mina dalam waktu yang dipandang lebih

utama.

Page 27: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 27/136

Resonansi Azyumardi Azra 27

Dalam kondisi fisik jamaah yang tidak kondusif--tapi didorong niat dan semangat

melontar Jamarat pada waktu lebih afdal--tanpa mempedulikan keselamatan diri

sendiri dan jamaah lain, mereka berdesak-desak dan kemudian bertabrakan di Jalan

204; saling dorong, jatuh dan terinjak-injak jamaah yang terus bergerak. Akibatnya,

korban terus berjatuhan, termasuk di antara mereka adalah jamaah haji Indonesia

yang tidak mematuhi jadwal melontar Jamarat sejak pukul 11.00 siang ke atas

seperti telah ditetapkan Kementerian Agama dan sebaliknya ikut arus jamaah haji

dari negara-negara lain yang mengejar waktu lebih utama.

Dalam konteks itu sangat menarik menyimak argumen Ziauddin Sardar tentang

penyebab musibah demi musibah yang terjadi di Makkah, khususnya seputar

prosesi melontar Jamarat. Simak insiden-insiden berikut: pada 1990 terjadi musibah

tabrakan antarjamaah di Terowongan al-Mu'assim yang menewaskan 1.426 jiwa.

Selanjutnya, musibah terus berulang di kawasan Jamarat: pada 1994 dengan

korban 270 jiwa; pada 1998 tewas 118; tahun 2001 tewas 35 orang; pada 2003

korban jiwa 14; tahun 2004 tewas 251; pada 2006 tewas 346; dan pada 2015 tewas

lebih 1.000 jiwa.

Di samping itu, ada insiden-insiden lain yang mengorbankan banyak jamaah.

Misalnya, kebakaran kemah pada 1975 yang menewaskan sekitar 200 jamaah dan

pada 1997 yang menewaskan 343 jiwa. Lalu ada kejadian robohnya Hotel al-Ghaza

yang menewaskan sekitar 76 jiwa.

Dalam buku Mecca: The Sacred City (2014), Sardar ber- hujah, penyebab

malapetaka di sekitar kawasan Jamarat dan Mina yang mengorbankan banyak jamaah adalah buruknya perencanaan pembangunan besar-besaran ( ill-conceived

grandiose developments ) di Makkah dan sekitarnya sehingga secara alamiah

menyimpan potensi bahaya. Menurut Sardar, di antara musibah demi musibah,

Pemerintah Arab Saudi membangun kembali wilayah Jamarat. “Tetapi kerangka

dasarnya tetap sama, dan karena itu risiko dan bahayanya tetap sama,” tulis Sardar.

Sardar melihat penyebab musibah dan malapetaka yang terjadi di wilayah Jamaratdan Makkah secara keseluruhan ke akar-akar masalah yang jauh lebih dalam dan

Page 28: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 28/136

Resonansi Azyumardi Azra 28

lebih rumit, yang tidak pernah dibayangkan banyak orang. “Dengan pembangunan

yang mengubah Makkah menjadi Disney Land berdasarkan visi buruk Saudi tentang

modernitas, Tanah Suci jelas bakal menjadi situs permanen bencana, satu bencana

besar yang saya prediksikan terjadi setiap tiga tahun."

Jika Sardar mengkritik keras pembangunan yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi

selama bertahun-tahun, khususnya sejak awal dasawarsa 1970-an, ia memiliki latar

belakang riset yang cukup kuat. Ia pernah bekerja selama lima tahun (1974-1975) di

Pusat Riset Haji yang didirikan Sami Angawi, arsitek asal Makkah (orang Hijazi)

bersama seorang intelektual Hijazi lain, Abdullah Nassef, penyandang gelar PhD

dalam geologi dari universitas di Inggris.

Pusat Riset Haji bertujuan menyelamatkan Makkah dari “pembantaian” modernitas

telanjang ( onslaught naked modernity ). Angawi yakin, penggunaan teknologi

semena-mena secara radikal telah mengubah Makkah, Madinah, dan Jeddah. Dana

dalam jumlah astronomis digelontorkan untuk mengubah Makkah menjadi semacam

Houston, Amerika Serikat, di mana banyak menteri dan pejabat tinggi Pemerintah

Saudi menghabiskan banyak waktu untuk studi lanjutan.

Sardar yang berkolaborasi erat dengan Angawi dan Nasseef sejak masa mahasiswa

dan bekerja sama dalam Pusat Riset Haji, tidak heran bersikap kritis. Dia adalah

salah satu dari sedikit intelektual muslim internasional yang berani bersikap kritis.

Maka, Sardar menyesali mengapa begitu sedikit orang yang mau berdiri tegak dan

mengkritik secara terbuka kebijakan resmi Pemerintah Arab Saudi tentang

pembangunan Tanah Suci. Kebanyakan negara-negara muslim terlalu terlalu takutpada Saudi--khawatir kalau jumlah kuota haji mereka dikurangi jika kritis .

Page 29: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 29/136

Resonansi Azyumardi Azra 29

Makkah Al-Mukarramah (2)

15 Oktober 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Mecca: The Sacred City (2014) karya Ziauddin Sardar adalah buku mutakhir tentang

Makkah. Buku yang cukup massif (xxxviii+408 halaman) dan komprehensif

mengungkapkan sejarah Makkah sejak masa paling awal sampai tahun-tahun awaldasawarsa 2010-an. Karena itu, pembaca dapat melihat berbagai peristiwa penting--

apakah menggembirakan maupun mengenaskan-- yang terjadi sepanjang sejarah

Makkah, khususnya Masjidil Haram dan lingkungannya.

Sardar, penulis produktif yang telah menghasilkan lebih 50 buku termasuk

Desperately Seeking Paradise , kini adalah direktur Pusat untuk Kajian Post-Normal

dan Masa Depan dan juga direktur Muslim Institute di London. Bukunya Mecca: The

Sacred City dapat dikatakan menampilkan semacam ‘sejarah sosial keagamaan dan

politik’ Makkah; karya ini bukanlah tentan g sejarah keulamaan dan pemikiran Islam

yang berkembang di Makkah.

Kota suci Makkah dalam perjalanan historisnya tidak hanya menjadi pusat ibadah --

sejak masa Islam menjadi pusat ibadah haji-- tetapi juga menjadi lokus kontestasi

dan pertarungan politik di antara kuasa-kuasa politik berbeda, dan juga kelompok

aliran keagamaan yang berlainan paham. Sebab itu pula, riwayat Makkah sebagai

Kota Suci Islam tidak selalu menggembirakan. Meski demikian, kecintaan kaum

muslimin tidak pernah berkurang --apalagi pudar-- pada Kota Suci ini bersama

dengan Madinah dengan Masjid Nabawi-nya.

Menurut r iwayat, Ka’bah yang menjadi epis entrum (titik pusat) Makkah didirikan Nabi

Ibrahim pada tahun 1812-1637 SM (Sebelum Masehi). Kemudian pada tahun 168-90

SM, adanya Ka’bah di M akkah sudah dicatat sejarawan Yunani Diodorus Siculus

Page 30: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 30/136

Resonansi Azyumardi Azra 30

dalam karyanya Bibliotheca Historica , dan disebut warga Roma-Mesir Claudius

Ptolemy dalam karyanya Geography .

Singkat riwayat, pada tahun 100-250 M, Makkah dikuasai kabilah Jurham Yaman,

dan pada tahun 250-380 M, Kota Suci ini dikuasai Kabilah Khuza. Baru pada tahun

400 M kaum Quraysh berhasil menguasai Makkah yang kemudian pada 552 M

gagal ditaklukkan Abrahah. Lahir pada 570 M, Muhammad SAW muda turut

membantu kaum Quraysh membangun ulang Ka’bah pa da 605 M.

Sepanjang masa pasca-Nabi Muhammad, Dinasti Umayyah sejak 661 M dan Dinasti

Abbasiyah pada tahun 747-750 dan 779-785 memperluas Masjidil Haram. Di sela-

sela masa pengembangan itu, pada 681-692 Ibn Zubayr yang memberontak Dinasti

Umayyah berhasil menguasai Makkah.

Salah satu malapetaka terburuk dalam sejarah Makkah adalah ketika kaum

Qarmatiyah yang ultrapuritan menyerbu Makkah pada 930. Kaum Qarmati yang

berasal dari Afrika Utara membunuh banyak jamaah haji, menjarah Ka’bah, dan

melarikan Hajar Aswad --yang berhasil dikembalikan setelah 30 tahun pada 950-

951.

Sejak tahun 590, penguasa Makkah adalah Syarif yang berada di bawah kuasa

sultan-sultan Dinasti Mamluk di Mesir atau Suriah. Kemudian, sejak 1495, Makkah

berada di bawah kuasa Dinasti Usmani; dan pada 1520-1566, Sultan Sulayman al-

Qanuni memperbaiki dan memperluas Masjidil Haram.

Musibah terjadi pada 1629 ketika Ka’bah hanyut dibawa banjir bandang dandibangun ulang oleh Sultan Murad IV. Malapetaka kembali terulang (1630-1631)

ketika pasukan Usmani yang memberontak kekuasaan Istanbul berhasil menduduki

Makkah dan pada saat yang sama, lagi- lagi Ka’bah dihancurkan banjir bandang

yang kemudian segera dibangun kembali oleh penguasa Dinasti Usmani.

Kuasa Arab Saudi sekarang ini --bermula sejak 1790 ketika pertikaian merebak

antara penguasa Makkah, Syarif Ghalib ibn Masaad dengan kaum Wahabi di bawahpimpinan Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al -Wahhab dan Muhammad ibn Saud. Pada

Page 31: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 31/136

Resonansi Azyumardi Azra 31

1803, Syarif Ghalib menyerahkan Kota Suci secara resmi kepada penguasa

Wahhabi, tetapi pihak terakhir ini mampu menguasai Makkah. Barulah setelah

mengepung kembali Makkah dengan pasukan besar sejak 1805, Makkah akhirnya

pada 1806 berhasil dikuasai kaum Wahhabi sepenuhnya.

Namun, penguasa Wahhabi tidak bisa bertahan lama. Pada 1813, Toulun, putra

Muhammad Ali, Pasha Mesir yang diangkat Sultan Dinasti Usmani, berhasil

mengalahkan kekuatan Wahhabi. Penaklukan ini dituntaskan Muhammad Ali Pasha

dengan memimpin sendiri pasukan yang memasuki Makkah pada 1815.

Tahap sejarah paling menentukan sejarah Makkah adalah ketika pemimpin

Wahhabi, ‘Abd Aziz ibn Saud pada 1926 mendeklarasikan diri sebagai Raja Hijaz. Ia

kemudian memperluas kekuasaannya dengan mendirikan Kerajaan Arab Saudi

pada 1932.

Pada tahun 1955-1964, Pemerintah Arab Saudi pertama kali memperluas Masjidil

Haram yang dilanjutkan tahap II pada 1982-1988; dan tahap III pada 1988-2005, dan

terakhir sejak 2011 tahap IV yang bakal menambah kapasitas Masjidil Haram untuk

bisa menampung sedikitnya dua juta jamaah sekaligus.

Di tengah berbagai perubahan sepanjang sejarah, gejolak agama dan politik, dan

kian membanjirnya jumlah jamaah dari tahun ke tahun, Sardar menyatakan bahwa

Makkah berubah secara sangat cepat. Tetapi, Makkah juga membeku ketika

keragaman budaya; pluralitas keagamaan; pembangkangan politik; pencapaian

intelektual dan seni tidak eksis --karena tidak selaras dengan ideologi politik--

keagamaan resmi Arab Saudi.

Page 32: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 32/136

Resonansi Azyumardi Azra 32

Makkah Al-Mukarramah (3)

22 Oktober 2015

REPUBLIKA.CO.IDAzyumardi Azra

Makkah, kota suci yang dimuliakan. Meski diyakini sakral, kota ini tidak luput dari

berbagai ironi dan kontradiksi sepanjang sejarahnya. Ziauddin Sardar dalam

karyanya, Mecca: The Sacred City (2014), menyatakan, kontradiksi itu kian

meningkat di masa modern-kontemporer.

Ironi dan kontradiksi itu bisa dipastikan tidak dirasakan atau luput dari pengamatan

para jamaah umumnya. Mereka ini datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji

atau umrah atas dorongan semangat keagamaan; mereka datang dengan

kesyahduan tanpa sempat berpikir panjang tentang apa yang sesungguhnya telah

dan tengah berlangsung di lingkungan Masjid al-Haram.

Tetapi bagi pengamat atau peneliti seperti Sardar, kontradiksi itu bisa terlihat di

mana- mana. Ini, misalnya, bermula dari nama “Mecca” yang biasa digunakan dalam

bahasa Inggris sebagai 'istilah generik yang berarti destinasi terakhir'; atau 'sebuah

magnet yang menarik orang-orang dalam jumlah besar'; atau 'pusat kegiatan untuk

orang-orang dengan minat yang sama'; atau 'tempat tertentu yang menarik

kumpulan orang-orang tertentu atau dengan minat tertentu'.

Dalam pengertian seperti itu, dalam bahasa Inggris bisa ditemukan, misalnya, 'Los

Angeles is the Mecca of show business' atau 'Paris is the Mecca of chic fashion' .

Penggunaan nama dan i stilah “Mecca” ini dengan demikian kian menjauh dari

makna dan konotasi aslinya.

Karena itulah sejak akhir 1980 Pemerintah Arab Saudi mengganti penulisan nama

kota suci ini menjadi Makkah atau lengkapnya Makkah al-Mukarramah. Meski

penulisannya telah diub ah, tetap saja “Mecca” dalam wacana internasional

Page 33: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 33/136

Resonansi Azyumardi Azra 33

digunakan dalam konotasi yang tidak selalu positif.

Sementara itu, kontradiksi lain terus berlanjut. Salah satu yang paling substantif

berkenaan dengan makna ibadah haji dan lingkungan yang mengitarinya di Makkah.

Ibadah haji sangat menekankan kesetaraan di antara jamaah haji yang datang dari

berbagai negara dengan latar belakang sosial-ekonomi dan budaya yang beragam.

Jamaah haji yang pejabat dan konglomerat setara dengan mereka yang melarat

yang menabung bertahun-tahun agar dapat menunaikan ibadah haji. Kesetaraan itu

tecermin dalam dua potong pakaian ihram sederhana berwarna putih yang

dikenakan para jamaah.

Tetapi kesetaraan dan kesederhanaan dalam ibadah haji itu kontradiktif dengan

lingkungan pelaksanaan ibadah haji. Sejak 1980-an, khususnya lingkungan Makkah

terus berubah secara cepat dengan kian banyak gedung-gedung pencakar langit

yang seolah berlomba satu sama lain memenuhi kaki langit Makkah dan sekaligus

melingkari atau bahkan seolah mengangkangi Masjid al-Haram dengan Ka'bahnya.

Gedung-gedung jangkung yang ini tidak bisa lain mengingatkan orang dengan gaya

hidup konsumeristik dan hedonistik di banyak bagian dunia lain. Dalam 10 tahun ini

sekitar 130 gedung pencakar langit sudah dan sedang diselesaikan

pembangunannya.

Hasilnya, begitu keluar dari Masjid al-Haram, jamaah bisa segera menemukan

kompleks hutan beton pencakar langit. Konglomerasi sejumlah bangunan dalam

satu kompleks yang menyatukan hotel, mal, dan fasilitas lain terbesar di dunia kinibisa ditemukan bukan di Manhattan, New York City, tetapi malah di Makkah, seperti

misalnya di kawasan Abraj al-Bayt. Dalam kawasan ini juga terdapat Menara Jam

Makkah (setinggi 601 meter) yang berdiri lebih belakangan dengan merobohkan

Benteng Ajyad yang didirikan penguasa Dinasti Usmani pada abad 18.

Di lingkungan Menara Jam Makkah Abraj al-Bayt juga ada hotel mewah semacam

Fairmont Hotel dan Resort. Sebelumnya, tidak kurang dari 12 hotel mewah barudibangun di kawasan terdekat Masjid al-Haram. Mereka umumnya hotel jaringan

Page 34: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 34/136

Resonansi Azyumardi Azra 34

kapitalisme dan liberalisme ekonomi-pasar internasional semacam Hyatt, Marriott,

atau Hilton.

Karena itu, jamaah haji Indonesia yang umumnya jamaah ONH (bukan ONH khusus

atau dulu disebut “ONH plus”) hanya bisa menempati hotel -hotel yang kian jauh dari

Masjid al-Haram--terlalu jauh untuk bisa ditempuh berjalan kaki. Dana ONH yang

jumlahnya pas-pasan untuk biaya perjalanan dan penyelenggaraan yang mereka

setor ke Kementerian Agama, sangat jauh daripada mencukupi untuk bisa tinggal di

hotel-hotel mewah (atau bahkan supermewah) yang ada di sekeliling Masjid al-

Haram.

Selain itu, Pemerintah Arab Saudi pada dasarnya membangun kembali Masjid al-

Haram dengan membuldozer seluruh bangunan masjid lama. Dengan begitu,

melenyapkan bagian tertua tersisa dari masjid ini, yang dibangun secara

berkelanjutan oleh para penguasa Dinasti Usmani sejak 1553 di masa Sultan

Sulayman dan sultan-sultan berikutnya.

Penghancuran sejarah. Sejak 1980-an sekitar 95 persen atau sekitar 400 situs

sejarah dan budaya sejak masa Nabi Muhammad dan para sahabat telah

dihancurkan Pemerintah Arab Saudi atas nama peningkatan fasilitas ibadah haji.

Penghancuran tersebut disertai dengan pengalihan fungsi yang tidak masuk akal;

misalnya, di atas rumah Siti Khadijah, istri Nabi, kini berdiri sejumlah blok toilet; di

atas bekas rumah sahabat Abu Bakar menjulang Hotel Hilton, dan banyak lagi.

Di sini kembali terdapat kontradiksi pahit. Pada satu pihak, Pemerintah Saudi terus

menghancurkan monumen sejarah dan budaya teramat penting bagi Islam, duniamuslim, dan peradaban dunia. Tetapi pada pihak lain, rezim Saudi dalam waktu

yang sama terus membangun sejarahnya sendiri yang hasilnya kontradiktif dengan

makna dan pesan ibadah haji itu sendiri.

Page 35: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 35/136

Resonansi Azyumardi Azra 35

Kebebasan Berekspresi dan Respekpada Agama

29 Oktober 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama termasuk di antara sejumlah

kebebasan lain yang dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(DUHAM). Kebebasan berekspresi merupakan prasyarat bagi adanya kebebasan

beragama, yakni mengimani, mempraktikkan, dan menyiarkan agama.

Tetapi bagi sebagian kalangan di Eropa dan di Amerika Utara, kebebasan

berekspresi dan sejumlah kebebasan lain terlihat mengkhawatirkan. Kasus terakhir

yang sering dikutip adalah serangan beberapa muslim terhadap kantor majalah

satiris Prancis Charlie Hebdo beberapa waktu lalu.

Menghadapi kejadian tidak menyenangkan ini, pertanyaannya adalah apakah

mungkin menjamin kebebasan berpendapat dan pada saat yang sama tetap

memberikan penghargaan kepada agama? Bagaimana demokrasi yang menjamin

kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama yang terkait satu sama lain dapat

berjalan lebih harmonis?

Masalah dan isu tentang peristiwa terkait dengan kejadian, wacana, dan persepsi

yang berkembang menjadi salah satu tema pokok dalam "Warsaw Dialogue for

Democracy (WDD)", Warsawa, Polandia (22-24/10/2015). Penulis “Resonansi ” ini

mendapat kesempatan baik turut berbicara pada Panel III WDD tentang "Freedom of

Expression and Respect for Freedom of Religion or Belief".

Page 36: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 36/136

Resonansi Azyumardi Azra 36

Menurut penulis, terkait peristiwa Charlie Hebdo dan sejumlah kasus lain seperti

kartun koran Denmark Jyllen Posten , Islam dan kaum muslim secara ngebyah

uyah sering dipersepsikan di Barat sebagai dogmatis, tidak toleran, dan tidak cocok

dengan kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan kebebasan lain yang

dinyatakan dalam DUHAM.

Persepsi ini tidak sepenuhnya salah. Banyak negara berpenduduk mayoritas muslim

di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika memiliki catatan buruk tentang kebebasan

berekspresi dan kebebasan beragama. Tidak kurang memprihatinkan, banyak

negara muslim, khususnya di dunia Arab, terus menunjukkan defisit demokrasi.

Gelombang demokrasi yang lazim disebut sebagai Arab Spring (Musim Semi Arab)

kini malah berganti dengan Arab Winter (Musim Dingin Arab) ketika transisi dan

konsolidasi demokrasi terlihat kian menjauh.

Negara-negara ini sejak dari Libya, Mesir, Yaman atau Suriah terus mengalami

gejolak kekerasan dan perang --instabilitas politik yang mengakibatkan eksodus

pengungsi dari Suriah, Libya, Irak, dan Afghanistan ke Eropa. Hanya Tunisia yang

berhasil melakukan transisi damai dan konsolidasi demokrasi.

Kenyataan ini bertolak belakang dengan ajaran Alquran yang menjamin kebebasan

berekspresi dan kebebasan beragama. Begitu juga dengan praktik Nabi Muhammad

SAW yang ketika menjadi pemimpin negara Madinah menerapkan Piagam Madinah

yang memberikan kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama kepada kaum

muslim maupun Yahudi --dengan demikian mencakup golongan non-muslim lain.

Lebih jauh, menurut penulis “Resonansi ” ini di depan audiens WDD, ada beberapafaktor yang menyebabkan tidak teraktualisasinya kebebasan berekspresi,

kebebasan beragama, kebebasan lain sesuai DUHAM, dan juga merajalelanya

defisit demokrasi di negara-negara tersebut.

Pertama adalah sistem politik. Sejak masa pasca-Perang Dunia II banyak negara

berpenduduk mayoritas muslim berada di bawah kekuasaan otoritarianisme rezim-

rezim militerisme, tribalisme, teokrasi, dan oligarki keluarga. Sampai munculgelombang demokrasi sejak akhir 2010, rezim-rezim penguasa melakukan represi

Page 37: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 37/136

Resonansi Azyumardi Azra 37

terhadap warganya. Kekerasan atas nama negara mendapat tantangan dari aktor

non-negara, yakni kelompok islamis radikal yang melakukan aksi kekerasan dan

terorisme. Hasilnya adalah lingkaran kekerasan dan teror yang tidak bisa dihentikan.

Faktor kedua adalah kuatnya sektarianisme agama, kabilah, dan politik.

Sektarianisme ini terjadi di antara sesama kaum Sunni atau sesama kaum Syi’i atau

di antara kaum Sunni umumnya dengan kaum Syi’i. Lingkaran sektarianisme ini juga

seolah tidak bisa diakhiri, bahkan sebaliknya meningkat di Suriah dan Yaman.

Masing-masing pihak didukung negara; golongan Sunni didukung Arab Saudi dan

Qatar khususnya, sedangkan kaum Syi’i didukung Iran.

Dalam keadaan seperti itu, faktor ketiga adalah absennya civil society (masyarakat

madani atau masyarakat sipil) yang mutlak untuk menjadi kekuatan pengimbang dan

sekaligus sebagai mediasi antara negara dan masyarakat luas. Civil society telah

sepenuh dikooptasi negara dan tercerai berai.

Tidak ada cara instan untuk memperbaiki keadaan. Tetapi jika kebebasan

berekspresi dan kebebasan beragama dan demokrasi bisa berjaya, konsolidasi

demokrasi menjadi keharusan --meski memerlukan waktu lama. Begitu juga

revitalisasi masyarakat madani mutlak dilakukan.

Tak kurang pentingnya adalah mengurangi sektarianisme agama dengan

mengembangkan Islam wasathiyah --Islam jalan tengah yang inklusif, akomodatif,

dan toleran baik intra-Islam maupun antaragama.

Dalam sesi penutup, Mr Wojciech Ponikiewski, direktur untuk Urusan PBB dan HAMKemenlu Polandia menyimpulkan, kebebasan berekspresi seyogianya terus dijaga

bersamaan dengan penguatan rasa hormat kepada agama. Karena itu, penggunaan

kebebasan berekspresi untuk melecehkan agama merupakan tindakan

kontraproduktif.

, 06:00 WIB

Page 38: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 38/136

Resonansi Azyumardi Azra 38

Milan26 November 2015

Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID

“Do you know Mister Thohir ?”. Massimo, pelayan Ristoranti Pizzeria Marruzella

Milan bertanya kepada penulis “Resonansi ” ini ketika 8 November 2015 sedang

menikmati pizza asli Italia —bukan pizza Amerika semacam Pizza Hut atau Domino

Pizza yang lazim ditemukan di beberapa kota besar Indonesia. Belum sempat saya

menjawab pertanyaan, dia langsung menambahkan: “ You know, Mr Thohir is now

the owner of Internazionale Milan. We are very happy that Inter play better now and

at the top of the table ”.

Massimo, sang waiter cukup fasih berbahasa Inggris —di atas rata-rata orang Italia

yang kalau ditanya dalam bahasa Inggris dijawab dengan bahasa Inggris patah-

patah atau bahasa Italia atau bahkan bahasa isyarat. Saya sering mengalami

keadaan ini ketika kesasar di jalanan Milan dan bertanya pada seorang perempuan

yang sedang mengajak anjingnya jalan-jalan. Perempuan ramah dan bersahabat ini

menjawab dengan bahasa Italia tambah ‘bahasa Tarzan’. Tapi saya cukup mengerti

dan bisa menemukan jalan.

Kembali kepada pertanyaan Massimo, saya tentu saja tahu yang dia maksudkandengan ‘Mister Thohir’ adalah Erick Thohir, pengusaha muda yang sangat aktif

dalam dunia olahraga —khususnya sepakbola —dan juga media massa. Saya jawab

pertanyaan itu dengan menyatakan; tentu saja saya mengenal baik Mister Thohir

dalam waktu yang cukup lama.

Saya bercerita lebih lanjut, saya ketemu Mister Thohir di Milan pada 30 Januari

2015, persisnya di atas pesawat Singapore Airlines yang terbang dari Bandara Milanmenuju Singapura dan terus ke Jakarta. Dalam pertemuan yang tidak terduga itu

Page 39: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 39/136

Resonansi Azyumardi Azra 39

kami sempat mengobrol tentang Inter, dunia sepak bola dan juga media massa.

Saya sering mendapat pertanyaan serupa dalam beberapa kali kesempatan ke

Italia —Milan dan Roma —sepanjang 2014 dan 2015. Di lingkungan ibukota Roma

dan kawasan Vatikan yang merupakan pusat hierarki Katolik, selalu saja ada orang

yang mengaku pendukung fanatik Inter yang mengajukan pertanyaan sama.

Sebagai warga Indonesia yang juga hobi nonton sepakbola —termasuk Lega

Calcio —saya merasa senang dan bangga Indonesia juga kian dikenal di Italia dan

Vatikan melalui tim sepakbola Inter Milan yang selama di tangan Erick Thohir

meningkat kembali prestasinya.

Inter Milan sedang berubah ke arah lebih baik. Tapi berbeda dengan perkembangan

Inter, Kota Milan justru tengah berubah ke arah yang tidak menyenangkan.

Meninggalkan Milan kembali ke Jakarta pada hari yang kemudian ternyata menjadi

tragedi pemboman Paris (13/11/15), penulis “Resonansi ” ini belakangan mengetahui

kota fesyen ini juga menjadi salah satu target teroris.

Sejauh ini ancaman terorisme terhadap Milan belum terbukti. Setiap manusia

berperikemanusiaan wajib berharap atau berdoa agar terorisme —yang sudah

mengorbankan begitu banyak orang tidak tahu apa tentang agenda kelompok

teroris —tidak lagi terjadi; apakah di Milan, di tempat lain di Eropa atau juga di

Indonesia yang juga mendapat ancaman ISIS pekan lalu.

Milan tengah berubah. Ketika menjelang akhir Januari 2015 datang ke Milan, saya

tidak melihat sesuatu agak ganjil di kota ini. Tetapi dalam kedatangan kedua tahun

ini, November lalu, saya menyaksikan banyak pengemis —laki-laki dan perempuan —mengemis di pinggir jalan, di depan supermarket, di gerbang pintu masuk Metro

(kereta bawah tanah) dan di lingkungan kampus. Banyak juga pengasong yang

menjajakan dagangan seadanya.

Para pengemis dan penjual asongan ini umumnya berwajah Afrika dan Timur

Tengah. Mereka pengungsi atau migran yang meningkat jumlahnya di berbagai

negara Eropa sejak musim panas 2015. Mereka datang dari Libya, Tunisia, Syria,dan Iraq untuk menyelamatkan diri dari kecamuk kekerasan dan terorisme akibat

Page 40: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 40/136

Resonansi Azyumardi Azra 40

konflik dan perang saudara di tanah air mereka. Menyeberangi Laut Tengah mereka

menuju pulau atau pantai Italia dan Yunani. Tidak sedikit di antara mereka tak

pernah sampai ke tempat tujuan —tenggelam di tengah laut.

Membanjirnya pengungsi atau migran kian tidak selalu welcoming —alias disenangi

masyarakat lokal. Meski orang Italia umumnya bersikap bersahabat —seperti

dikatakan Mr Thohir kepada saya —tapi kian banyak kalangan masyarakat

menggerutu. Ada kalangan mahasiswa dan dosen di lingkungan Universitas Katolik

Hati Suci Milan yang menyesalkan banjir migran —membuat kekumuhan baru di kota

mereka. Selain itu mereka juga menambah beban ekonomi bagi Italia yang

mengalami kesulitan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.

Banjir migran juga menyebabkan memburuknya citra Islam dan muslim. Dalam

percakapan dengan sejumlah kalangan, banjir migran adalah akibat kegagalan

kaum muslim di kawasan Afrika Utara dan Dunia Arab menyelesaikan masalah

secara damai. Konflik, kekerasan, dan terorisme yang terus terjadi di berbagai

tempat kawasan ini menjadi faktor pendorong bagi warga untuk meninggalkan tanah

air mereka.

Karena itu, sudah saatnya para penguasa, politisi dan aktivis di kawasan-kawasan

tersebut melakukan muhasabah untuk kemudian mengoreksi kekeliruan yang

menyebabkan terjadinya berbagai bencana kemanusiaan. Jika tidak, bukan hanya

Milan, tetapi juga kota-kota lain di Eropa menjadi lokus peningkatan sikap anti-Islam

dan anti-muslim.

Page 41: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 41/136

Resonansi Azyumardi Azra 41

Kerukunan, Kekerasan, dan Terorisme

31 Desember 2015

Oleh : Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID

Kerukunan intra dan antar-umat beragama merupakan agenda yang tak kunjung

selesai. Meski Indonesia secara umum adalah negara di mana kerukunan umatberiman yang berbeda aliran, mazhab, denominasi dan agama cukup baik,

perkembangan di dalam dan luar negeri bukan tidak sering memunculkan tensi,

konflik, kekerasan dan bahkan terorisme atas nama agama.

Dalam waktu empat tahun terakhir dapat dikatakan tidak terjadi peristiwa kekerasan

atau terorisme berskala besar. Kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik,

Banten terjadi empat tahun lalu (6/2/2011). Begitu juga bom bunuh diri di MasjidPolresta Cirebon (Jumat 15/4/2011). Lalu ada kekerasan terhadap penganut Syiah

di Sampang Madura (26/8/2012).

Selain itu ada kasus Gereja Yasmin Bogor yang penyelesaiannya belum diterima

semua pihak; lalu ada insiden Tolikara ketika massa Gereja Injili di Indonesia (GIDI)

membubarkan jamaah muslim yang sedang salat Idul Fitri (17/7/2015) dan

pembakaran gereja di Singkil (13/10/2015).

Semua kasus yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama berbeda itu

dapat disebut sebagai isolated cases —kasus-kasus terpencil; bukan merupakan

gejala umum yang berlaku di seluruh tanah air. Kasus-kasus itu lebih merupakan

letupan terkait situasi lokalitas tertentu sehingga tidak menyebar ke wilayah lain di

tanah air. Karena itu pula, secara umum dapat dikatakan kekerasan atas nama atau

bermotif agama menurun cukup signifikan.

Page 42: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 42/136

Resonansi Azyumardi Azra 42

Keadaan ini juga terlihat dari kesimpulan temuan Pusdiklat Kehidupan Agama,

Balitbang-Diklat yang diumumkan dan diekspos pada 22/12/15 lalu. Penelitian

menemukan secara umum terjadi peningkatan tingkat kerukunan di berbagai

provinsi Indonesia. Walaupun demikian, jelas masih terdapat sej umlah ‘titik panas’

(hot spots ) di beberapa kota atau kabupaten seperti tercermin dalam laporan Indeks

Toleransi (16/11/2015). Di kawasan kota atau kabupaten ini masih terdapat masalah

tertentu yang mengganggu kerukunan baik intra maupun antar-agama.

Dalam skala lebih serius, ancaman terhadap kerukunan atau bahkan stabilitas

sosial-politik Indonesia datang dari warga Indonesia yang tergabung dalam

kelompok, sel atau simpatisan IS (ISIS). Dalam silaturahim dengan para pimpinan

ormas dan tokoh Islam yang diprakarsai Wakil Presiden Jusuf Kalla (16/12/15),

terungkap ada sembilan kelompok atau sel di berbagai tempat di Tanah Air yang

aktif mendukung IS.

Menurut Kapolri Jenderal Polisi Badroddin Haiti, warga terindikasi terkait dengan IS

di seluruh Indonesia berjumlah 1.085 orang; kelompok inti 543, pendukung 246 dan

simpatisan 296 orang. Lalu ada 408 warga Indonesia yang sudah atau terindikasi

bakal bergabung dengan IS. Dari jumlah itu, tewas di IS 54 orang; kembali ke

Indonesia 47, dan rencana berangkat 70 orang.

Mereka ini, khususnya yang sudah kembali sebagai veteran atau bakal kembali nanti

potensial melakukan kekerasan atau aksi teror sebagai bukti loyalitas mereka

kepada IS. Mereka dapat memanfaatkan momentum tertentu seperti suasana

liburan keagamaan akhir dan penggantian tahun untuk melakukan aksi. Indonesia

patut mewaspadai kemungkinan ini, karena Indonesia sejauh ini terhindar dari aksikekerasan atau terorisme terkait IS.

Menghadapi gejala cukup mencemaskan terkait IS, Wakil Presiden menyatakan

pemer intah dan aparat kepolisian dan keamanan memilih ‘pendekatan lunak’ (soft

approach ) dari ‘pendekatan keras” (hard approach ). Para pimpinan ormas Islam

sepakat dengan pendekatan lunak; pemerintah dan aparat keamanan perlu

bertindak tegas tapi harus tetap terukur. Pendekatan keras bisa memunculkan

Page 43: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 43/136

Resonansi Azyumardi Azra 43

lingkaran kekerasan dan dendam yang sulit diakhiri. “Menghadapi kekerasan dan

tero risme tidak bisa dengan aliansi militer,” tegas Wapres Jusuf Kalla.

Karena itu, penguatan kerukunan dan pencegahan kekerasan dan terorisme

memerlukan pendekatan komprehensif. Dari sudut negara, Indonesia harus tetap

mampu memelihara stabilitas politik, ekonomi dan sosial. Alasannya jelas,

kekerasan dan terorisme seperti membiak di Timur Tengah bersumber dari negara

gagal ( failed states ) yang tidak mampu menciptakan ketidakstabilan politik. Di sini ini

pemerintah Indonesia berkewajiban menciptakan keadilan ekonomi, politik, sosial,

dan hukum. Kegagalan menciptakan keadilan menjadi sumber utama keresahan dan

pergolakan sosial dan politik.

Instabililitas politik karena berbagai faktor domestik maupun luar —seperti

penyerbuan AS dan sekutu ke Iraq —mendorong radikalisasi terutama di kalangan

mereka yang disebut Jusuf Kalla sebagai ‘anak -anak muda pemarah’ (angry young

people ). Banyak di antara mereka semula tidak akrab dengan agama, tetapi

kemudian melalui cuci otak dan indoktrinasi tertentu mengalami radikalisasi —siap

melakukan kekerasan dan terorisme.

Dalam konteks terakhir ini, ormas Islam yang memiliki jangkauan anggota, lembaga

dan jaringan sampai ke tingkat akar rumput berkewajiban senantiasa meneguhkan

pemahaman dan praksis Islam wasathiyah yang inklusif, toleran dan damai. Tak

kurang pentingnya, seperti ditegaskan Ketua Umum PB NU, KH Agil Siroj, perlu

penguatan kepaduan keislaman dan keindonesiaan. Kepaduan Islam dengan

nasionalisme Indonesia merupakan faktor penting untuk memelihara Indonesia yang

rukun, damai, dan berkeadaban.

Page 44: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 44/136

Resonansi Azyumardi Azra 44

KAJIAN KEISLAMAN DAN KEAGAMAAN

Page 45: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 45/136

Resonansi Azyumardi Azra 45

PISAI, Islam, dan Paus Francis (1)

29 Januari 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Pasca-penyerangan Charlie Hebdo , bisa dipastikan Islam dan kaum muslim di Eropa

menghadapi terjadinya peningkatan kecurigaan dan sikap bermusuhan di kalangan

masyarakat lokal. Hal ini terutama bersumber dari pandangan dan sikap hegemonik

masyarakat Eropa bahwa pemuatan karikatur, penerbitan dan pernyataan yangmelecehkan orang, kelompok orang, figur agama, pemimpin politik dan agama

tertentu merupakan ekspresi kebebasan berpendapat yang tidak dapat

dikompromikan.

Dengan sikap dasar seperti itu, pandangan di kalangan masyarakat Eropa lain yang

menganggap pelecehan agama dan pribadi tertentu sebagai sikap semena-mena

dan tidak bertanggungjawab nyaris seperti ‘batu jatuh ke lubuk’. Kalanganmasyarakat Eropa dan bagian dunia lain yang berpendapat seperti ini juga

mengecam keras aksi teror dalam bentuk apapun —termasuk ke kantor Charlie

Hebdo dan pasar swalayan di Paris. Namun pada saat yang sama bagi mereka

kebebasan berekspresi semestinya disertai dengan sensivitas dan tanggung jawab.

Pembicaraan tentang isu ini sedikit banyak turut mewarnai Konferensi Tahun Emas

50 Tahun (Golden Jubilee ) Pontificio Instituto di Studi Arabi e d’Islamistica (ataudalam bahasa Inggris, Pontifical Institute for the Study of Arab and Islam —Institut

Kepausan untuk Kajian Arab dan Islam) di Roma pada 22-24/1/2015. Menjadi

pembicara dalam Konferensi PISAI 50 Tahun, penulis “Resonansi ” ini untuk ketiga

kalinya kembali ke PISAI sejak pertama kali datang pada Juli 2006 ketika

menyampaikan kuliah umum bertajuk ‘Indonesian Muslims: Movements and

Organizations’.

Menyimak kiprah PISAI sejak pertengahan dasawarsa awal 2000-an, PISAI

Page 46: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 46/136

Resonansi Azyumardi Azra 46

merupakan lembaga pendidikan tinggi terpenting untuk kajian Islam dan masyarakat

muslim di lingkungan umat kristiani Eropa —tidak hanya Katolik tapi juga Kristen

(Protestan). Hampir tidak ragu lagi, PISAI memainkan peran penting dalam

menghasilkan sejumlah pastur, fungsionaris berbagai lembaga Katolik maupun

sarjana independen —termasuk muslim —yang memiliki pemahaman lebih baik dan

lebih akurat terhadap Islam dan kaum muslim.

Sejarah PISAI lebih tua daripada sekedar Jubilee 50 tahun. Kini berpusat di

lingkungan kota Vatikan sejak 1964, cikal bakal institusi PISAI didirikan Masyarakat

Misionaris [Katolik] yang sering juga disebut ‘White Fathers’ di Afrika di Manouba,

Tunisia pada 1926. Dipersiapkan sebagai pusat pelatihan misionaris yang bakal

bertugas di sejumlah wilayah muslim, sejak 1931 lembaga ini semula bernama

Institut de Belles Lettres de Arabes (IBLA). Seperti terlihat dari namanya ini,

pengajaran lebih ditekankan pada kemampuan bahasa Arab untuk membaca teks

Islam dan berkomunikasi dengan kalangan muslim Arab guna kepentingan

misionaris Katolik.

Pergeseran institut ini menjadi lebih akademis terjadi pada 1949 ketika pengajaran

dipisahkan dari kegiatan misionaris; dan sejak 1960 status kelembangaan

ditingkatkan menjadi Pontifical Institute for Oriental Studies. Selanjutnya 1964 ketika

dipindahkan ke Roma, nama PISAI diadopsi. Menjadi lembaga pendidikan tinggi,

PISAI memberi gelar license (S2) sejak 1966 dan gelar doktor (S3) sejak 1980.

Dalam pengalaman dan interaksi langsung dengan para pimpinan, dosen dan

mahasiswa PISAI, saya melihat lembaga ini memainkan peran penting dalam

menghasilkan sarjana dengan empati yang kuat pada agama dan umat beragama,tegasnya dalam hal ini Islam dan kaum muslimin. PISAI sendiri dalam penerbitan

resminya menekankan, berbagai matakuliah tentang Islam berusaha menghadirkan

Islam dan para penganutnya baik di masa lalu maupun sekarang secara saintifik

yang tidak bias.

Dengan demikian, dalam perkembangannya, PISAI dirancang Vatikan untuk

memberikan pengetahuan tentang berbagai aspek Islam dan masyarakat muslim.Vatikan memandang penting hal ini sebagai prasyarat bagi dialog kemanusiaan dan

Page 47: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 47/136

Resonansi Azyumardi Azra 47

teologis baik dalam konteks dialog antar-agama ( inter-religious ) maupun dialog

antar-budaya ( inter-cultural) .

Di tengah meningkatnya gejolak politik dan sekuriti yang terkait dengan segelintir

pemeluk Islam sejak Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat, pemboman di

Madrid 11 Maret 2004 dan di London 7 September 2005, berbagai pihak dan

lembaga Eropa —termasuk PISAI —meningkatkan dialog dengan para pemimpin,

‘ulama’ dan sarjana m uslim tidak hanya yang tinggal di Eropa, tetapi juga dari

wilayah muslim lain seperti Indonesia.

Kehadiran para sarjana muslim dalam berbagai kegiatan PISAI jelas merupakan

kesempatan sangat berharga untuk memberikan perpektif lebih akurat tentang Islam

dan kaum muslim. Bagi PISAI dan audiens Italia non-muslim, kehadiran para

pembicara muslim juga sangat penting untuk mendapatkan informasi dan

pandangan dari tangan pertama, seperti ditegaskan Paus Francis dalam

sambutannya menerima audiensi para peserta konferensi 50 Tahun PISAI.

Konferensi Jubileum Emas PISAI merupakan bagian penting dari dialog tersebut.

Kenyataan ini misalnya terlihat dar i tema yang diangkat: ‘ Studying and

Understanding the Religion of the Other: Towards Mutual Recognition between

Religions and Cultures in Today’s World ’. Dengan tema ini, konferensi menjadi

tempat berbagi pandangan dan pengalaman tentang bagaimana memahami Islam

dan minoritas muslim yang hidup di lingkungan masyarakat mayoritas Kristen.

Sebaliknya juga bagaimana memahami pengalaman umat minoritas kristiani di

lingkungan mayoritas muslim.

Page 48: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 48/136

Resonansi Azyumardi Azra 48

PISAI, Islam dan Paus Francis (2)

05 February 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Konferensi Jubileum Tahun Emas PISAI Vatikan (22-24/1/2015) berusaha

memberikan perspektif tentang umat beragama apakah sebagai mayoritas atau

sebaliknya minoritas dalam suatu negara atau wilayah tertentu. Dalam masyarakat

di manapun apakah sebagai mayoritas atau minoritas juga hampir selalu terdapat

kecenderungan memiliki pandangan stereotipikal, bias dan mispersepsi satu sama

lain. Persepsi tidak menguntungkan ini bisa menguat pada masing-masing pihak

karena faktor tertentu seperti krisis politik dan ekonomi atau konflik budaya.

Dengan demikian, pola hubungan antara umat mayoritas dengan minoritas sangat

dipengaruhi perkembangan internal dan eksternal masyarakat di satu negara atau

wilayah tertentu. Karena itu, perbaikan citra dan hubungan antara kedua belah pihakmemerlukan introspeksi yang dapat mendorong perubahan cara pandang dan sikap

secara internal umat beragama dan eksternal dalam interaksi dengan masyarakat

atau umat beragama lain.

Dalam konteks itu, penulis “Resonansi ” ini ketika berbicara tentang ‘‘Studying and

Understanding Islam in the Christian Milieu; An European Context ’ ’menyarankan

perlunya bagi kaum muslim Eropa melakukan introspeksi agar dapat memperbaikicitra Islam dan sekaligus hubungan dengan masyarakat mayoritas Kristen. Secara

internal, jelas kaum muslim Eropa —apakah keturunan imigan atau pribumi lokal —

adalah orang-orang yang hanya ingin hidup damai; dapat mencari nafkah,

meningkatkan kualitas hidup, dan menjalankan agama dengan baik.

Tetapi pada saat yang sama, terdapat gejala yang terus bertahan — jika tidak

meningkat--selama hampir satu setengah dasawarsa terakhir, yaitu radikalisasi

segelintir muslim yang siap melakukan aksi teror di bumi Eropa sendiri, seperti

Page 49: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 49/136

Resonansi Azyumardi Azra 49

pemboman Madrid 2004, London 2005 dan Charlie Hebdo 2014. Mereka juga siap

pergi dalam jumlah besar bergabung dengan aksi kekerasan dan teror ISIS di

wilayah Syria, Irak, dan Kurdistan.

Menghadapi gejala ini, perlu pengarusutamaan dan pemberdayaan Islam

wasatiyah — jalan tengah yang jauh dari berbagai bentuk ekstremisme, literalisme

dan radikalisme. Pengarusutamaan itu pertama-tama adalah dengan membawa

kaum muslim —khususnya anak muda —keluar dari kehidupan nestapa karena

menganggur di ghetto seperti yang mudah dapat ditemukan di pinggiran kota Paris

atau Berlin atau kota-kota besar Eropa lain.

Mereka yang hidup dalam kenestapaan terhinggapi perasaan teralienasi dan

sekaligus frustrasi. Karenanya mereka kian sulit terintegrasi ke dalam masyarakat

lokal. Dalam keadaan semacam itu mereka lebih rawan terekrut ke dalam sel

kekerasan yang ada di Eropa sendiri yang memiliki jaringan dengan kelompok

radikal dan teroris di Timur Tengah atau Asia Selatan.

Selain itu juga penting pengarusutamaan lembaga Islam sejak dari Islamic Center,

masjid, musala, sekolah, dan madrasah. Pengarusutamaan ini bukan hanya bakal

memperkuat mereka dari infiltrasi sel radikal, tetapi juga membuatnya lebih

fungsional bagi pembinaan masyarakat muslim.

Hal lain yang tak kurang pentingnya dalam konteks pembinaan umat muslim

minoritas adalah kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam di Eropa.

Dengan adanya lembaga pendidikan arus utama untuk menghasilkan imam,

muballigh dan fungsionaris Islam lain, maka Islam dan umat muslim dapat menjadibagian integral dari masyarakat Eropa secara keseluruhan.

Percepatan pengarusutamaan itu nampaknya lebih mungkin jika kaum muslim

sendiri lebih mengembangkan sensitivitas sosio-kultural lokal. Sepatutnya kaum

muslim yang beragam tidak berkutat menerapkan di tengah masyarakat Eropa

tradisi sosial-budaya yang sebenarnya bukan bersumber dari ajaran Islam semacam

burdah atau niqab yang mengundang kecurigaan dan masalah sekuriti. Kaummuslim Eropa sepantasnya menerapkan kearifan lokal semacam yang ada di

Page 50: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 50/136

Resonansi Azyumardi Azra 50

Indonesia: “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”, yang dalam bahasa Ing gris

diekspresikan dengan kalimat: “ When you are in Rome, do what the Romans do ”—

tentu saja tanpa mengorbankan prinsip dan ajaran pokok Islam.

Upaya pengarusutamaan di atas, sebagian besarnya memerlukan kerjasama para

pemimpin muslim dengan pemerintah dan masyarakat lokal. Untuk itu penting pula

bagi para pemimpin muslim membangun hubungan kerja yang fungsional dan

workable dengan kepemimpinan dan masyarakat lingkungannya, termasuk dengan

kepemimpinan keagamaan mayoritas (kristiani).

Hal semacam ini juga ditegaskan Paus Francis ketika menerima peserta Konferensi

(24/11) lalu di kantornya di Vatikan. Menurut Paus, adalah tugas pedagogis [bagi

setiap dan seluruh orang] untuk mengakui nilai-nilai orang lain; [dan pada saat yang

sama mencoba] mengerti concerns mereka yang tidak terungkapkan… Dengan

begitu kita semua dapat bertumbuh dalam pengetahuan timbal balik.

Paus Francis mengakui, meski masih ada salah paham dan kesulitan, banyak

kemajuan dalam dialog antar- agama Vatikan, khususnya dengan umat Islam. “Un tuk

itu, sangat esensial [bagi semua orang] melatih diri mendengar orang lain. …Dialog

Islam- Kristen khususnya memerlukan kesabaran dan kerendahan hati”.

Page 51: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 51/136

Resonansi Azyumardi Azra 51

Islam, Biblioteca Ambrosiana, danCo.Re.Is

12 Februari 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Seperti lazimnya kebanyakan lembaga dan warga Eropa, pengetahuan mereka

tentang Islam dan kaum muslimin umumnya dangkal dan telah terdistorsi. Aksi

kekerasan y ang dilakukan beberapa ‘oknum’ m uslim terhadap tabloid Charlie

Hebdo belum lama ini mengakibatkan kian terdistorsinya citra Islam di kalangan

masyarakat Eropa umumnya.

Pengetahuan mereka tentang Islam Indonesia, juga dapat dikatakan samar-samar.

Islam Indonesia dianggap identik dengan Islam Arab, Islam Maghrib, atau Islam

Anak Benua India. Tetapi, berbagai kejadian tidak meny enangkan terkait ‘oknum -

oknum’ m uslim seperti dalam kasus Charlie Hebdo membuat sebagian mereka,

khususnya yang bergerak di lembaga-lembaga resmi mulai berusaha mengetahui

lebih banyak tentang Islam Indonesia.

Salah satu lembaga penting di Italia dalam konteks itu adalah Biblioteca

Ambrosiana, Milan, yang melalui kerja sama dengan Co.Re.Is(Communita Religiosa

Islamica) Italiana dan Dubes RI untuk Vatikan, Budiarman Bahar, mengundang

penulis “Resonansi ” ini memberikan ceramah umum bertajuk ‘ ’ L’Islam e la LibertaReligiosa in Indonesia ’ ’. Masalah ini belakangan menjadi kian relevan dibicarakan

terkait tensi dan konflik yang berujung kekerasan di antara kebebasan berpendapat

termasuk melecehkan pemimpin agama pada satu pihak dengan pihak yang

memandang kebebasan tersebut mesti mempertimbangkan sensitivitas agama.

Lebih jauh pemilihan tajuk ini secara tersirat mengisyaratkan, dalam persepsi

kalangan Eropa masih ada masalah sejauh menyangkut Islam dan kebebasanberagama. Indonesia yang mereka ketahui merupakan negara dengan penduduk

Page 52: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 52/136

Resonansi Azyumardi Azra 52

muslim terbesar di dunia bagi mereka dapat memberikan perspektif tentang subyek

ini.

Biblioteca Ambrosiana sendiri merupakan salah satu perpustakaan tertua di dunia.

Didirikan Kardinal Milan, Federigo Borromeo antara 1603-1609, perpustakaan ini

lebih daripada sekadar tempat menyimpan koleksi buku dan manuskrip kuno yang

lebih satu juta kopi untuk dibaca dan diteliti para pembaca. Biblioteca ini juga tempat

koleksi lukisan terbaik semacam karya Leonardo da Vinci dan sekolah tinggi untuk

seni lukis, dan seminari untuk penuntut ilmu.

Sedangkan Co.Re.Is adalah organisasi muslim dengan mayoritas anggota warga

pribumi Italia yang memeluk Islam setelah satu atau dua generasi. Didirikan Imam

Abd al-Wahid Felice al-Pallavicini yang masuk Islam pada 1951, Co.Re.Is yang

berpusat di Masjid al-Wahid Milan, kini sehari-hari dipimpin puteranya Imam Sergio

Yahya Pallavicini. Masjid ini sekaligus menjadi pusat Tarekat Ahmadiyah,

Syadziliyah dan Idr isiyah pimpinan kedua imam dan pusat pelatihan imam dan da’i

yang datang dari berbagai negara Eropa. Co.Re.Is juga aktif dalam dialog intra dan

antaragama, dan Imam Yahya merupakan tokoh Muslim terpenting yang sering

dikonsultasi pemerintah Italia dalam hal ikhwal terkait Islam dan kaum Muslimin.

Baik Imam Abd al-Wahid dan Imam Yahya memiliki kedekatan dengan Nusantara.

Imam Abd al-Wahid dalam pencarian spiritualnya sepanjang dasawarsa 1940-an

dan 1950-an mengembara sejak dari Maroko, Jepang, dan berakhir di Singapura di

mana dia diinisiasi Syaikh Abd al-Rasyid al-Linki masuk tarekat Syadziliyah. Kembali

ke Italia, sejak 1980 dia mendapat ijazah dan otoritas sebagai mursyid tarekat

Ahmadiyah-Syadziliyah-Idrisiyah dan menjadi figur sufi terkemuka di Benua Eropa.

Sedangkan Imam Yahya yang punya ibu asal Jepang, beberapa kali mengunjungi

Indonesia dan terkait jaringan intelektual dan spiritual dengan sejumlah pemimpin

dan intelektual muslim Indonesia. Interaksi dan pengamatan langsung atas Islam

dan kaum muslimin Indonesia memperkaya perspektif Imam Yahya tentang Islam

Wasathiyah.

Sedangkan dari pihak Biblioteca Ambrosiana adalah Pastur DR Paolo Nicelli yang

Page 53: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 53/136

Resonansi Azyumardi Azra 53

melihat Islam Nusantara sebagai sebuah model yang perlu pengenalan lebih jauh di

Eropa. Melakukan riset untuk disertasi doktor di wilayah Moro Filipina selatan, Nicelli

melihat Islam Indonesia dapat memainkan peran kian penting dalam sosialisasi dan

pengembangan Islam Jalan Tengah ( Wasathiyah ). Ia mengetahui tentang

keterlibatan ormas Islam semacam Muhammadiyah dalam upaya resolusi konflik

dan penciptaan perdamaian di antara Bangsa Moro Muslim dengan pemerintah

Manila. Dia berharap ormas-ormas Islam Wasatiyah Indonesia dapat lebih proaktif

lagi dalam pengembangan Islam Wasathiyah Eropa.

Dalam kaitan itu, Nicelli tengah berusaha mengembangkan kajian Islam Wasathiyah

Nusantara di Biblioteca Nusantara. Di antara cara yang sedang dia kembangkan

adalah dengan mengembangkan semacam Pusat Kajian Islam Nusantara yang

menyelenggarakan diskusi, seminar dan konferensi tentang Islam Nusantara. Selain

itu adalah dengan memperbanyak koleksi buku dan manuskrip Islam Nusantara

yang dapat menjadi bahan bacaan dan riset bagi para pembaca dan peneliti yang

tertarik pada subyek ini.

Kerja sama antara Biblioteca Ambrosiana dan Co.Re.Is menyangkut sosialisasi dan

pengembangan Islam Wasathiyah Indonesia merupakan contoh sangat baik dalam

pengarusutamaan Islam rahmatan lil ‘alamin di Eropa. Kedua institusi ini bersama

sejumlah lembaga lain di Eropa dengan visi dan misi yang sama memberi

kesempatan baik bagi lembaga, ormas dan pemerintah Indonesia lebih aktif

memperkenalkan Islam Wasathiyah Nusantara. Dengan begitu Islam Indonesia kian

kontributif dalam membangun peradaban religius, maju dan damai.

Page 54: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 54/136

Resonansi Azyumardi Azra 54

Transnasionalisasi Islam Indonesia (1)

16 April 2015REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Islam merupakan agama kosmopolitan dan transnasional; bersifat internasional, baik

dari segi doktrin teologi maupun legal fiqhiyyah yang melintasi batas kabilah, suku,

bangsa, ras, dan seterusnya. Islam adalah agama bagi umat manusia yang beragam

dari berbagai segi.

Jika ada distingsi yang ditekankan doktrin Islam di tengah berbagai realitas

kosmopolitan dan transnasional maka itu adalah ketakwaan. Tidak ada beda satu

individu dan kelompok Muslim dengan individu dan kelompok lain, kecuali

ketakwaannya--ketundukan dan kepasrahan penuh kepada Allah SWT.

Pada saat yang sama, sebagai realitas sejarah yang melintasi waktu dan tempat,

Islam juga menjadi realitas lokal. Islam hidup di tengah masyarakat atau lokalitastertentu dan tidak imun dan bebas dari berbagai pengaruh faktor dan kekuatan

sejarah. Doktrin Islam yang semula bersifat transnasional kemudian mengalami

proses kontekstualisasi, vernakularisasi, dan indigenisasi. Melalui proses seperti ini,

Islam dalam perjalanan sejarah bukan hanya merupakan agama transnasional,

tetapi sekaligus menjadi realitas lokal.

Dalam konteks itu, menarik dan tepat waktu memperbincangkan gagasan

transnasionalisasi atau internasionalisasi Islam Indonesia. Perbincangan tentang

subjek ini menjadi tema seminar pra-Muktamar Muhammadiyah pada 14 April 2015

di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Sedangkan, Muktamar

Muhammadiyah ke-47 bakal diselenggarakan pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar.

Sejumlah pakar terlibat dalam percakapan yang intens mengingat tema ini jarang

diperbincangkan.

Tema tentang transnasionalisasi dan internasionalisasi Islam Indonesia bukan hanya

Page 55: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 55/136

Resonansi Azyumardi Azra 55

relevan dengan Muhammadiyah, melainkan juga dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan

ormas-ormas Islam Indonesia lain yang mewakili Islam wasatiyah . Dengan karakter

dan aktualisasi religius, sosio-budaya, dan politiknya yang khas, ormas-ormas Islam

Indonesia arus utama karena sejumlah alasan para ahli dari keahlian dan sudut

pandang masing-masing melihat sudah waktunya bagi ormas-ormas itu

mengakselerasikan transnasionalisasi dan internasionalisasi.

Banyak ormas Islam Indonesia sudah berusia panjang. Muhammadiyah sudah

berada dalam perjalanan abad kedua. NU dalam waktu 10 tahun ke depan menurut

kalender Masehi juga melintasi usia satu abad. Usia yang panjang juga telah

ditempuh kebanyakan ormas Islam lain--lebih tua dari usia Republik.

Ormas-ormas ini, khususnya Muhammadiyah dan NU--sebagai dua ormas terbesar

Islam Indonesia--mengandung banyak potensi akselerasi diri menjadi transnasional,

baik dari segi pemahaman maupun praksis keagamaan. Hal ini bisa diwujudkan

melalui proses internasionalisasi dalam berbagai bidang sejak dari teologi, visi, dan

misi keislaman, kelembagaan pendidikan, dakwah, kepenyantunan sosial,

kesehatan, ekonomi, dan seterusnya.

NU dan Muhammadiyah pada awalnya juga berangkat dari kerangka Islam

transnasional tersebut. NU berlambangkan bola dunia dengan bintang sembilan.

Sedangkan, Muhammadiyah memiliki lambang bola matahari yang memancarkan

sinar ke seluruh penjuru. Terlihat jelas pretensi transnasional masing-masing.

Sedangkan, pada tingkat doktrin dan ritual sesungguhnya tidak banyak perbedaan

dalam hal usuliyyah (pokok-pokok agama) antara Muhammadiyah dan NU dengankaum muslimin lain di mana pun. Perbedaan paling banter ada pada level 'ranting'

(furu'iyah ). Meski demikian, ormas-ormas Islam Indonesia juga mengakomodasi

doktrin dan praktik keagamaan yang semula mungkin tidak sepenuhnya kompatibel

dengan raison d'etre ideologisnya.

Pada segi lain, kemunculan ormas-ormas Islam sedikit banyak terkait dengan Islam

transnasional dari para pemikir dan aktivis semacam Jamaluddin al-Afghani,Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha. Berangkat dari keprihatinan

Page 56: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 56/136

Resonansi Azyumardi Azra 56

terhadap kenestapaan kaum muslim di berbagai banyak bagian dunia di bawah

ancaman dan cengkeraman kolonialisme Eropa, tokoh-tokoh ini menyeru kaum

muslim untuk bangkit memajukan diri dalam berbagai bidang sejak dari keagamaan,

pendidikan, sampai kepada politik.

Meski terkait dengan pemikiran dan gerakan transnasionalisme, ormas-ormas Islam

Indonesia sejak awal kelahirannya pada masa penjajahan Belanda juga merupakan

respons kontekstual terhadap realitas lokal. Tanpa kontekstualisasi dan akomodasi

terhadap realitas lokal, sangat boleh jadi ormas-ormas Islam menjadi tidak atau

kurang relevan dengan tantangan masyarakat muslim lokal di berbagai wilayah

Indonesia.

Sebaliknya, sebab ormas-ormas itu kontekstual dengan lingkungan masing-masing,

ia menjadi relevan bagi masyarakat muslim Indonesia sehingga ormas-ormas

tersebut tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang secara fenomenal

dari waktu ke waktu.

Muhammadiyah, NU, dan ormas-ormas Islam Indonesia lain dalam

perkembangannya lebih merupakan realitas translokal Indonesia daripada

transnasional--meski juga ada Muhammadiyah Singapura (berdiri 1957) atau NU

Afghanistan (berdiri Mei 2014). Kedua Muhammadiyah dan NU di mancanegara ini

beranggotakan masyarakat muslim lokal, bukan muslim Indonesia.

Di luar itu, Muhammadiyah dan NU tidak berusaha keras menjadi sebuah gerakan

transnasional. Kedua ormas ini tampaknya tidak memiliki agenda dan program

khusus untuk penyebaran paham dan praksis Islam Indonesia transnasional di duniainternasional.

Page 57: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 57/136

Resonansi Azyumardi Azra 57

Transnasionalisasi Islam Indonesia (3)

30 April 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Jelas sulit mencegah masuknya arus paham dan gerakan Islam transnasional ke

Indonesia, khususnya pada masa kini yang ditandai transmisi informasi secara

instan melalui dunia maya. Berkat kemajuan teknologi, penyebaran paham dan

gerakan transnasional yang tidak selalu kompatibel dengan Islam wasatiyah Indonesia dan Islam rahmatan lil ‘alamin seolah tidak bisa dibendung.

Apalagi secara historis, sejak masa awal kedatangan dan penyebaran Islam, seperti

terlihat dalam kajian penulis sendiri tentang ‘jaringan ulama’, benua maritim

Indonesia selalu terkait dan terlibat dalam kosmopolitanisasi dan globalisasi Islam,

mencakup pemahaman dan praksis keislaman transnasional.

Mengamati sejarah dan dinamika Islam Indonesia dalam konteks itu, muncul kritik

dari sejumlah pengkaji Islam Indonesia, seperti AH Johns (1976, 1981) dan Mona

Abaza (1994). Mereka berargumen, Islam Indonesia cenderung menjadi penerima

(recipients ) saja dari paham dan gerakan Islam transnasional. Bahkan, almarhum

Nurcholish Madjid pernah menyatakan, Islam Indonesia masih merupakan

‘konsumen’ pemikiran dan gerakan Islam transnasional luar daripada menjadi

‘produsen’ yang mampu ‘mengekspor’ pemikiran dan gerakan Islam Indonesia ke

mancanegara.

Pernyataan itu dalam segi tertentu bisa diperdebatkan. Tetapi, poin penting yang

perlu dikemukakan di sini adalah Islam Indonesia dengan warisan Islam ( Islamic

legacy ) yang begitu kaya --termasuk khususnya ormas-ormas wasatiyah- - sudah

waktunya mengakselarasikan ‘arus balik’ pemikiran dan gerakan Islam Indonesi a ke

mancanegara. Arus balik ini bukan hanya untuk sekadar ekspansi Islam Indonesia,

tetapi juga guna memberikan kontribusi penting pada peradaban dan kemanusiaan

Page 58: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 58/136

Resonansi Azyumardi Azra 58

universal lebih aman, harmonis, dan toleran.

Perlunya akselarasi internasionalisasi dan transnasionalisasi muncul sejak awal

milenium baru yang ditandai peristiwa di tingkat internasional semacam 11

September 2001 di Amerika Serikat, pengeboman di Madrid (11 Maret 2004),

London (7 Juli 2005). Peristiwa-peristiwa yang melibatkan individu dan kelompok

muslim itu selain meningkatkan ketegangan antara apa yang biasa disebut sebagai

‘Islam versus the West’ , juga memperkuat citra Islam dan Muslim sebagai ‘radikal’.

Meski generalisasi ini telah banyak dikoreksi, tetapi citra radikal terus bertahan

dengan konflik dan kekerasan seputar Arab Spring sejak akhir 2011 sampai

sekarang, kemunculan ISIS sejak 2014, dan konflik Yaman sekarang yang bisa

terjerumus menjadi perang regional ketika Arab Saudi membentuk Koalisi Arab

menyerang pemberontak Houthi yang menguasai berbagai wilayah Yaman.

Dalam konteks itu, masyarakat internasional --baik muslim maupun non-muslim--

merindukan Islam damai, ramah, akomodatif, inklusif, dan dapat hidup

berdampingan intra-muslim yang mengandung berbagai aliran dan non-muslim

antaragama. Itulah Islam wasatiyah Indonesia, yang dikembangkan, dipelihara, dan

diperkuat mayoritas mutlak muslim Indonesia, yang dalam jumlah besar juga

terwakili ormas-ormas Islam.

Itulah Islam yang dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi para pengikutnya; juga

bagi umat manusia lain yang menganut agama berbeda; bagi lingkungan alam

dengan makhluk Allah lain; dan bagi peradaban dan kemanusiaan universal.

Sekali lagi, ormas-ormas Islam Indonesia arus utama memiliki potensi besar dan

pengalaman panjang untuk mengakselerasikan transnasionalisasinya. Dari sudut

ortodoksi Islam Indonesia (kalam Asy’ariyah, fikih Syafi'i, dan tasawuf al-Ghazali),

kaum muslimin negeri ini membuktikan kebertahanan dan keberlanjutan paham

keislaman yang menekankan moderasi dan toleransi sesama muslim dan juga

dengan non-muslim. Dengan begitu, ormas-ormas Islam Indonesia dapat

meningkatkan eksistensi dan kiprahnya di tengah gelombang perubahan, baik ditingkat negara Indonesia maupun di tengah kehidupan masyarakat internasional.

Page 59: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 59/136

Resonansi Azyumardi Azra 59

Selain itu, ormas-ormas Islam Indonesia sangat kaya dengan kelembagaan dalam

berbagai bidang kehidupan sejak dari dakwah, pendidikan, kesehatan,

kepenyantunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Pada saat yang sama,

ormas-ormas Islam kian kaya dengan SDM terdidik yang mengisi berbagai sektor

kehidupan bangsa. Mereka ini sekaligus menjadi tulang punggung ( backbone ) kelas

menengah muslim.

Dengan semua potensi dan kekayaan warisan, ormas-ormas Islam Indonesia

berada pada posisi kuat untuk mengakselarasikan transnasionalisasinya. Untuk itu,

ormas-ormas Islam Indonesia arus utama mesti lebih asertif dan memperluas

jaringan di mancanegara, baik dengan kelompok dan komunitas Islam, dan juga

dengan lingkungan masyarakat dan pemerintahan lebih luas.

Transnasionalisasi ormas Islam tidak cukup hanya dengan memperbanyak cabang

khusus, seperti Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) atau Pengurus

Cabang Istimewa-NU (PCI-NU). Cabang Istimewa kedua ormas Islam ini ada,

misalnya, di Kairo atau Jeddah atau Den Haag. Tetapi, para anggotanya terbatas

pada WNI atau ‘orang sumando’ dari pasangan suami -istri yang kawin campur.

Mestinya PCIM atau PCI- NU mengalami ‘pribumisasi’ atau ‘indigenisasi’, menjadi

ormas lokal.

Jika strategi dan langkah seperti ini dapat dilakukan, insya Allah ormas-ormas Islam

Indonesia dapat menjadi paham dan gerakan transnasional Islam --mewakili Islam

wasatiyah Indonesia, yang selalu menekankan pentingnya mewujudkan

Islam rahmatan lil ‘alamin dalam semesta alam.

Page 60: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 60/136

Resonansi Azyumardi Azra 60

Islam Nusantara (1)

18 Juni 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

'Islam Nusantara', istilah yang belakangan ini menemukan momentum

popularitasnya, terutama setelah PBNU mengangkatnya menjadi tema Muktamar

ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015. Tema itu persisnya

berbunyi “Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan Dunia”.Istilah dan tema ini--terlepas beberapa hal problematik terkait--sangat relevan dan

tepat waktu waktu dalam konteks nasional maupun internasional.

Istilah 'Islam Nusantara' juga menjadi wacana Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam

berbagai kesempatan. Terakhir sekali, Presiden Jokowi juga menggunakan istilah

'Islam Nusantara' dalam kesempatan 'istighatsah kubra' yang diselenggarakan NU di

Jakarta (14/6/15) dalam rangka Munas Alim Ulama NU dan menyambut Ramadhan1436 H/2015 M.

Penulis “Resonansi” kemudian diminta tanggapan oleh BBC London tentang 'Islam

Nusantara' yang juga disinggung Presiden Jokowi tersebut (Haedar Affan, “Polemik

di Balik Istilah 'Islam Nusantara' ”, BBC London, 15/6/15). Apakah maksud istilah

'Islam Nusantara'? Apakah istilah ini sesuatu yang baru?

Dalam seminar internasional pra-Muktamar NU yang diselenggarakan Harian

Kompas (27/5/2015) dan Panitia Muktamar ke- 33 NU, penulis “Resonansi” ini

berusaha menjelaskan makna istilah 'Islam Nusantara'. Istilah mengandung konsep

dan konotasi berbeda ketika diterapkan pada wilayah berbeda di Nusantara.

Istilah 'Islam Nusantara' pada dasarnya tidaklah baru. Istilah ini mengacu pada Islam

di gugusan kepulauan atau benua maritim (nusantara) yang mencakup tidak hanya

kawasan yang sekarang menjadi negara Indonesia, tetapi juga wilayah muslim

Page 61: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 61/136

Resonansi Azyumardi Azra 61

Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga

Champa (Kampuchea).

Dengan cakupan seperti itu, 'Islam Nusantara' sama sebangun dengan 'Islam Asia

Tenggara' (Southeast Asian Islam). Secara akademik, istilah terakhir ini sering

digunakan secara bergantian dengan 'Islam Melayu-Indonesia' (Malay-Indonesian

Islam). Masalahnya kemudian, apakah absah berbicara tentang 'Islam Nusantara'

atau 'Islam Asia Tenggara' atau 'Islam Melayu-Indonesia'? Apakah 'Islam Nusantara'

memiliki distingsi, baik pada tingkat doktrin normatif maupun kehidupan sosial,

budaya, dan politik?

Dalam pandangan penulis “Resonansi”, secara normat if doktrinal, 'Islam Nusantara'

menganut Rukun Iman dan Rukun Islam yang sama dengan kaum Ahlus-Sunnah

wal-Jama'ah (Sunnah atau Sunni) lain di bagian dunia Islam mana pun seperti

disepakati jumhur (mayoritas) ulama otoritatif. Meski demikian, dalam batas tertentu

'Islam Nusantara' memiliki distingsi sendiri. Kenyataan ini bisa terlihat dari, misalnya

ortodoksi Islam Nusantara yang terbentuk mapan khususnya sejak abad ke-17

ketika murid-murid Jawi seperti Nuruddin ar-Raniri, 'Abdurrauf al-Singkili, dan

Muhammad Yusuf al-Maqassari kembali ke Nusantara setelah belajar selama

hampir dua dasawarsa dan terlibat dalam 'jaringan ulama' yang berpusat di Makkah

dan Madinah.

Ortodoksi Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga unsur utama, pertama, kalam

(teologi) Asy'ariyah; kedua, fikih Syafi'i--meski juga menerima tiga mazhab fikih

Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali, baik dipraktikkan secara individual atau

komunal maupun melalui tarekat sufi yang lebih terorganisasi lengkap denganmursyid, khalifah dan murid, dan tata cara zikir terentu. Sebagai perbandingan,

ortodoksi Islam Nusantara ini berbeda dengan ortodoksi Islam Arab Saudi. Dalam

dua konferensi dengan kalangan ulama dan intelektual Arab Saudi di Riyadh dan

wadi sekitar 300 kilometer dari Riyadh (3-7/1), p enulis “Resonansi” ini menyatakan,

ortodoksi Islam Arab Saudi mengandung hanya dua unsur, yaitu pertama, kalam

(teologi) Salafi-Wahabi dengan pemahaman Islam literal dan penekanan pada Islam

yang 'murni'.

Page 62: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 62/136

Resonansi Azyumardi Azra 62

Dengan pandangan kalam seperti itu, dalam perspektif doktrin ortodoksi Islam Arab

Saudi, tidak heran jika banyak muslimin lain dianggap sebagai pelaku bid'ah

dhalalah (ritual tambahan sesat) yang bakal membawa mereka masuk neraka.

Termasuk ke dalam bid'ah dhalalah itu adalah merayakan Maulid Nabi Muhammad

SAW yang ramai dirayakan kaum muslimin Indonesia. Unsur ortodoksi Islam Arab

Saudi kedua adalah fikih Hanbali yang merupakan mazhab paling ketat dalam

yurisprudensi Islam. Ortodoksi Islam Arab Saudi tidak mencakup tasawuf, justru

tasawuf ditolak karena dianggap mengandung banyak bid'ah dhalalah .

Dalam kedua konferensi ini selalu muncul pertanyaan dari peserta Arab Saudi yang

ditujukan kepada pe nulis “Resonansi” ini. “Kenapa m uslim Indonesia gemar

mempraktikkan tasawuf yang menurut mereka mengandung banyak bid'ah

dhalalah? " Pertanyaan ini bisa dipahami berangkat dari bias dan prasangka

terhadap tasawuf yang sebenarnya secara historis memainkan peran penting dalam

peningkatan maqamat spiritualitas muslim dan sekaligus pemeliharan integritas

kaum muslimin menghadapi berbagai tantangan dan realitas historis.

Ortodoksi Islam Salafi-Wahabi Arab Saudi terlalu kering dan sederhana bagi kaum

muslimin Nusantara. Umat muslimin Nusantara telah dan terus menjalani warisan

tradisi untuk mengamalkan Islam yang kaya da n penuh nuansa. Penulis “Resonansi”

ini menyebutnya sebagai 'Islam berbunga-bunga' ( flowery Islam ) dengan 'ritual' sejak

tahlilan, nyekar atau ziarah kubur, walimatus-safar (walimatul haj/umrah ), walimatul

khitan , tasyakuran, sampai empat bulanan atau tujuh bulanan kehamilan.

Page 63: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 63/136

Resonansi Azyumardi Azra 63

Islam Nusantara: Islam Indonesia (2)

25 Juni 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Islam Nusantara memiliki distingsi tidak hanya dalam tradisi dan praktik keislaman

yang kaya dan penuh nuansa, tetapi juga dalam kehidupan sosial, budaya dan

politik. Karena itu, penyebutan Islam Nusantara dengan memandang praktik

keagamaan adalah valid belaka.

Memang terdapat kalangan ulama dan intelektual muslim yang menganggap Islam

hanyalah satu entitas; sama bagi setiap wilayah dan bangsa. Profesor Abdel-

Moneem Fouad, Dekan Dirasah Islamiyah untuk Mahasiswa Internasional

Universitas al-Azhar, Kairo, dalam seminar pra-Muktamar NU-Kompas menyatakan

‘Islam hanya satu. Tidak ada Islam Nusantara, Islam Arab atau Islam Mesir’.

Pandangan Fouad menurut penulis “Resonansi ” ini berdasarkan kerangka idealistik.

Pandangan ini tidak mempertimbangkan realitas historis-empiris perjalanan Islam

sepanjang sejarah di berbagai wilayah beragam yang memiliki realitas sosial,

budaya, politik yang berbeda.

Dalam pandangan penulis “Resonansi ” ini, Islam satu hanya ada pada level Alquran.

Tetapi al- Qur’an (beserta hadits) perlu rumusan rinci agar amar (perintah) al -Qur’andapat dilaksanakan setiap dan seluruh umat muslim. Pada tahap inilah ayat-ayat

Alquran tertentu perlu ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya. Hasilnya adalah

kemunculan penafsiran dan penjelasan yang dalam batas tertentu berbeda satu

sama lain, yang kemudian menjadi mazhab dan aliran.

Kaum muslimin Nusantara mengikuti mazhab dan aliran tertentu yang kemudian

menjadi ortodoksinya yang bisa berbeda dengan umat Islam di bagian lain dunia

Page 64: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 64/136

Resonansi Azyumardi Azra 64

Islam. Sekali lagi, ortodoksi Islam Nusantara adalah; kalam (teologi) Asy’ariyah, fiki h

Syafi’i, dan tasawuf al -Ghazali.

Pembentukan ortodoksi Islam Nusantara terkait dengan perbedaan-perbedaan

(khilafiyah atau furu’iyah ) di kalangan ulama otoritatif sesuai mazhab dan alirannya.

Selanjutnya juga terkait dengan dinamika dan perkembangan historis kaum muslim

Nusantara sendiri. Sejak abad ke-17 misalnya, para ulama Jawi (Nusantara) yang

kembali dari Makkah dan Madinah —pusat jaringan ulama kosmopolitan di mana

mereka termasuk di dalamnya; mereka mengkonsolidasi doktrin dan praksis

ortodoksi Islam Nusantara. Ortodoksi Islam seperti itu diwarisi dan dipegangi setia

kaum muslimin Nusantara sampai hari ini.

Kaum muslim Nusantara tidak hanya memiliki ortodoksi Islam yang bersumber dari

para ulama otoritatif, tetapi wilayah Nusantara sendiri terbentuk menjadi ranah

budaya Islam ( Islamic cultural spheres) distingtif. Wilayah muslim Nusantara adalah

salah satu dari delapan ranah budaya Islam yang memiliki distingsi masing-masing.

Kedelapan ranah budaya Islam tersebut adalah; Arab; Persia atau Iran; Turki; Anak

Benua India; Nusantara; Sino-Islamic atau Asia Timur; Sudanic Afrika atau Afrika

Hitam atau Afrika sub-Sahara; dan Belahan Dunia Barat ( Western hemisphere ).

Masing-masing ranah budaya Islam memiliki faktor pemersatu seperti bahasa,

budaya dan tradisi sosial khas, sehingga ekspresi sosial-budaya dan politiknya pun

berbeda-beda.

Ranah budaya Islam Nusantara mengandung sejumlah faktor pemersatu, yang

membuat kaum muslimin Indonesia dari bermacam suku, tradisi, dan adat istiadatberada dalam kesatuan. Faktor-faktor pemersatu itu antara lain; tradisi keulamaan

dan keilmuan Islam yang sama, bahasa Melayu sebagai lingua franca dan tradisi

sosial-budaya dan adat istiadat yang memiliki lebih banyak komunalitas daripada

perbedaan. Berkat fluiditas (kecairan) dunia maritim, dunia maritim Nusantara

menjadi terintegrasi dalam ranah budaya Islam khas.

Tetapi ranah budaya Islam Nusantara juga tidak monolit. Sejak masa yang lamaterdapat keragaman dalam pemahaman dan praksis doktrin atau ekspresi sosial-

Page 65: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 65/136

Resonansi Azyumardi Azra 65

budaya kaum muslimin. Perbedaan ini terkait banyak dengan watak budaya suku

bangsa yang juga sangat beragam. Karena itu, ekspresi keislaman suku Aceh

misalnya mengandung perbedaan tertentu dengan ekspresi keislaman suku Jawa

atau suku Sunda dan seterusnya.

Perbedaan ini juga terlihat jelas di masa pasca-Perang Dunia II ketika wilayah Asia

Tenggara mencapai kemerdekaan. Perbedaan di antara negara-negara itu terutama

terkait modus relasi antara Islam-negara. Di Malaysia dan Brunei Darussalam,

misalnya, Islam merupakan agama resmi negara. Sedangkan di Indonesia, meski

kaum muslimin mayoritas mutlak, Islam tidak menjadi dasar negara atau agama

resmi negara. Kaum muslim merupakan umat minoritas di Singapura, Thailand dan

Filipina; di dua negara terakhir kaum muslimin terlibat konfrontasi dengan

pemerintahan pusat di Bangkok dan Manila.

Dalam relasi itu, Islam Malaysia dan Brunei sepenuhnya terkooptasi negara —

menjadi bagian integral struktur dan birokrasi negara. Sebaliknya di Indonesia, kaum

muslimin hampir sepenuhnya independen vis-à-vis negara. Karena itu Islam

Indonesia seperti diwakili ormas mainstream bergerak bebas sebagai organisasi

dakwah, pendidikan, kepenyantunan sosial dan masyarakat madani/masyarakat sipil

(civil society ) hampir tanpa intervensi negara.

Karena itu, jika berbicara tentang Islam Wasatiyah Nusantara, representasinya

paling ‘sempurna’ adalah Islam Indonesia. Inilah Islam inklusif, akomodatif, toleran

dan dapat hidup berdampingan secara damai baik secara internal sesama kaum

muslimin maupun dengan umat-umat lain.

Page 66: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 66/136

Resonansi Azyumardi Azra 66

Ramadhan, Lebaran, dan EkonomiIndonesia

09 Juli 2015REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Ramadhan dan Lebaran sering dipandang sementara kalangan sebagai kian

konsumtif. Bahkan, terlihat gejala konsumerisme yang juga kian meningkat di

kalangan kelas menengah ( middle class ) dan kelas atas ( upper class ) muslim.

Kecenderungan ini disebut melanda negara-negara muslim kaya di Timur Tengah

dan juga emerging economies , seperti Indonesia dan Malaysia.

Jika persepsi ini benar, gejala tersebut tidak selaras dengan ibadah puasa yang

mengajarkan kesederhanaan, menahan diri khususnya dari sikap konsumtif dan

konsumerisme. Sikap dan paham ini jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam yang

melarang perbuatan isyraf , berlebih-lebihan.

Akan tetapi, perlu dijelaskan tiga istilah terkait. Pertama, 'konsumsi' yang memang

meningkat sepanjang Ramadhan dan Lebaran karena banyak keluarga dan pejabat,

pengusaha, atau tokoh masyarakat menyediakan takjil, makanan iftar, dan sahur

untuk karib-kerabat, fakir, miskin, dhuafa, dan yatim piatu. Ini sesuai hadis Nabi

SAW bahwa orang yang menyediakan makanan untuk mereka yang puasa

mendapat pahala yang sama nilainya dengan sha'imin dan sha'imat .

Kedua, sikap konsumtif adalah mengeluarkan perbelanjaan--termasuk untuk

konsumsi--lebih daripada kebutuhan atau berlebih-lebihan sehingga terjadi

pemborosan ( isyraf ). Sedangkan, 'konsumerisme' adalah gaya hidup yang

berorientasi pada selera hedonis--hidup serbakebendaan dengan mengutamakan

brand name , barang-barang bermerek terkenal. Sikap konsumtif dan konsumerisme

jelas kian menggejala di kalangan kelas atas dan kelas menengah muslim. Gejala initerlihat dengan peningkatan pembelian barang mewah dan bermerek ( brand name )

Page 67: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 67/136

Resonansi Azyumardi Azra 67

sehingga menjadi gaya hidup. Namun, kalangan seperti ini jumlahnya relatif

terbatas--jauh daripada 'mewabah' pada lapisan kelas menengah bawah ( lower

middle class ) dan kelas bawah ( lower class ).

Dengan pengertian dan pemahaman ini, Ramadhan dan Lebaran jelas

meningkatkan konsumsi. Salah satu indikator peningkatan itu adalah dana yang

disiapkan Bank Indonesia (BI) dalam waktu antara sepekan sebelum dan sepekan

sesudah Lebaran (H-7 sampai H+7). Pada Lebaran 1435/2014 lalu, BI menyiapkan

dana Rp 118 triliun dan untuk 1436/2015 meningkat menjadi Rp 125,2 triliun.

Peningkatan dana ini terkait banyak dengan meningkatnya kebutuhan uang kontan

denominasi kecil bagi kaum muslim sepanjang Ramadhan dan Lebaran.

Peningkatan kebutuhan dana terkait erat dengan upaya menjalankan ajaran Islam

tentang giving and sharing , memberi dan berbagi, melalui ziswaf (zakat, infak,

sedekah, dan wakaf).

Menurut survei televisi berita CNN belum lama ini, kaum muslim Indonesia paling

pemurah dibanding muslimin di negara-negara muslim lain dalam giving and

sharing . Menurut survei CNN tersebut, 98 persen muslim Indonesia selalu atau

pernah memberikan ziswaf. Karena itulah, Ramadhan dan Lebaran selalu menjadi

masa puncak filantropi Islam. Amil zakat yang secara tradisional berpusat di masjid

atau lingkungan pertetanggaan maupun dalam bentuk lembaga modern semacam

DD (Dompet Dhuafa) atau Aksi Cepat Tanggap (ACT) atau Bazis atau Lazis yang

terkait pemerintah daerah atau ormas Islam selalu mencatat periode ini sebagai

masa penerimaan terbanyak dana ziswaf dibanding bulan-bulan lain.

Dengan peningkatan konsumsi dan pengeluaran dana sepanjang Ramadhan dan

seputar waktu sebelum dan sesudah Lebaran, cukup beralasan masa ini disebut

sebagai musim ekonomi spesial bagi Indonesia. Di tengah perlambatan

pertumbuhan ekonomi Indonesia dan penurunan konsumsi yang sangat terasa

sepanjang 2014-2015, peningkatan konsumsi dan pengeluaran dana selama

Ramadhan dan Lebaran sangat baik bagi ekonomi negeri ini.

Page 68: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 68/136

Resonansi Azyumardi Azra 68

Dalam konteks itu bisa dipahami mengapa the Conversation.com mengulas khusus

hal ini dalam laporan “Why Ramadan is a Special Economic Season in Indonesia”

(1/7/2015). The Conversation.com mencatat mengapa Ramadhan merupakan

musim ekonomi spesial bagi Indonesia.

Pertama, masyarakat berbelanja lebih banyak selama Ramadhan, khususnya

makanan dan pakaian. Menurut statistik, indeks penjualan eceran dalam kategori ini

rata-rata meningkat sekitar 30 persen.

Kedua, di Indonesia pemerintah dan swasta memberikan gaji ke-13 atau THR

kepada para pegawai dan buruh. Pendapatan ekstra ini memperbesar daya belanja

(spending power ) selama Ramadhan dan Lebaran.

Ketiga, selama Ramadhan kaum Muslimin lazimnya mengeluarkan alms --yang di

atas sudah disebut sebagai ziswaf. Penyaluran alms kepada orang-orang miskin

turut memperkuat daya belanja ( purchasing power ) mereka.

Pemerintah sering mengeluh tentang kenaikan inflasi sepanjang Ramadhan dan

Lebaran yang berdampak negatif terhadap ekonomi Indonesia. Namun, menurut the

Conversation.com , penyebaran dana dan bonus liburan panjang Lebaran

memainkan peran penting sebagai jejaring pengaman sosial bagi daya beli

masyarakat dan sekaligus kohesi sosial.

Kesimpulannya, Ramadhan dan Lebaran memiliki kontribusi signifikan dalam

memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia. Dengan peningkatan konsumsi,

perdagangan dan perjalanan, aktivitas ekonomi bisa bergerak. Masalahnyakemudian bagi pemerintah adalah mempertahankan atau meningkatkan kembali

ekonomi Indonesia pada masa pasca-Ramadhan dan Lebaran.

Page 69: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 69/136

Resonansi Azyumardi Azra 69

Konvergensi Mazhab

23 Juli 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Sepanjang sejarah pasca-Nabi Muhammad, Islam diwarnai keragaman mazhab dan

aliran pemikiran dan praktik keagamaan. Keragaman tidak terelakkan karena para

fuqaha, mutakallimun , dan pemikir muslim memiliki perbedaan dalam kemampuan

intelektual, kecenderungan keagamaan, dan lingkungan sosialisasi dan kehidupan.Semua ini mempengaruhi penafsiran mereka masing-masing ketika berusaha

memperjelas dan merinci ayat Alquran dan hadits tertentu.

Perbedaan dan keragaman sering lebih banyak terkait dengan hal ranting

(furu’iyyah ), bukan pada soal-soal pokok fundamental ( ushul ) yang hampir tidak ada

perbedaan. Salah satu contoh, sesuai amar ayat Alquran, semua ulama sepakat

salat lima waktu wajib dikerjakan setiap muslim; tetapi mereka berbeda pendapatapakah qunut perlu atau tidak perlu dilakukan pada waktu salat subuh.

Sejarah perbedaan dan keragaman di antara mazhab-mazhab fikih melampaui masa

yang panjang —lebih 14 abad. Meski para imam mazhab, khususnya Ahl al-Sunnah

wa al- Jama’ah (Sunni) sejak dari Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam

Hanbali menekankan toleransi bermazhab, tidak jarang kalangan umat Islam sangat

fanatik dengan mazhabnya masing-masing. Akibatnya, perbedaan-perbedaanfuru’iyah (trivial ) sering menjadi sumber pertikaian dan konflik.

Walhasil, perbedaan furu’iyyah berkembang menjadi sektarianisme agama yang

dalam skala tertentu bisa sangat bernyala-nyala, apalagi ketika sektarianisme

tersebut berkelindan dengan kabilahisme dan etnisitas serta kekuatan politik. Sekali

sektarianisme agama berbaur dengan pengelompokan sosiologis masyarakat

keagamaan dan sekaligus didukung kekuasaan politik, ketika itu keadaan menjadi

memburuk, membuat sangat sulit mengatasinya.

Page 70: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 70/136

Resonansi Azyumardi Azra 70

Sejauh ini perbedaan mazhab dan sektarianisme muslim Indonesia jauh lebih

beruntung dibanding umat muslim kawasan lain. Hal ini terkait banyak dengan

kenyataan, bahwa sejak masa awal penyebaran Islam secara massif pada abad 12,

mazhab fikih dominan adalah mazhab Syafi’i.

Hegemoni m azhab Syafi’i kian sempurna sejak abad 17 ketika ulama Indonesia

yang belajar di Haramayn —karena itu menjadi bagian integral jaringan ulama

kosmopolitan —kembali ke tanahair untuk mengajarkan dan menuliskan karya fikih

Syafi’i. Mazhab -mazhab fikih Sunni lain praktis sulit ditemukan sejak dulu sampai

sekarang di antara muslim Indonesia.

Meski mazhab Syafi’i dominan, hal ini b ukan karena dukungan politik. Sejak masa

kesultanan, proses hegemoni mazhab Syafi’i umumnya berlangsung secara

alamiah. Apalagi sejak masa kekuasaan Belanda, kebanyakan umat muslim

Indonesia menjauhkan diri dari kooptasi kolonialisme. Karena itu sejak masa kolonial

Belanda sampai sekarang umat Islam Indonesia independen vis-a-vis kekuasaan

politik seperti terlihat dalam posisi ormas-ormas Islam negeri ini.

Lebih jauh, mazhab fikih tidak terkait dengan suku bangsa atau kelompok etnis;

apalagi dengan ‘kabilah’ yang tidak eksis di Indonesia. Jauh daripada berbaur dan

terkait khusus dengan suku bangsa yang begitu beragam, sebaliknya mazhab fikih

yang sama justru mempersatukan mereka. Karena itu misalnya suku Aceh atau

Minang bisa merasa dekat dengan suku Jawa atau Bugis karena ibadah yang

mereka kerjakan hampir sepenuhnya berlandaskan mazhab fikih yang sama.

Karena itu sektarisme mazhab tidak pernah bernyala-nyala dalam masa pra-modern(abad 20) Islam Indonesia. Pertikaian mulai muncul ketika wacana dan praksis

modernisme atau reformisme Islam muncul dan berkembang di Indonesia terutama

sejak dasawarsa kedua abad 20.

Pertikaian mazhabi itu misalnya terjadi antara ‘Kaum Muda’ dengan ‘Kaum Tua’ di

Sumatera Barat, atau belakangan antara Muhammadiyah dengan NU. Pihak

pertama dengan semangat reformisme dan pemurnian berhadapan dengan pihakkedua yang membela paham dan praktik keagamaan yang telah mentradisi selama

Page 71: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 71/136

Resonansi Azyumardi Azra 71

berabad-abad.

Meski kedua pihak terlibat dalam suasana yang kadang-kadang kurang harmonis,

mereka tidak pernah terlibat dalam konflik dan kekerasan secara signifikan yang

berlangsung lama. Perbedaan dan pertikaian lebih banyak tersalur dalam wacana,

polemik dan perbedaan.

Dalam keadaan seperti itu, berbagai perubahan politik, sosial dan keagamaan juga

berlangsung cepat, khususnya sejak masa pasca-proklamasi kemerdekaan.

Perubahan-perubahan politik dan ekonomi yang cepat dan berdampak panjang

sejak pembangunan ekonomi Indonesia juga menimbulkan perubahan sosiologis-

keagamaan umat muslimin Indonesia yang menciptakan iklim kondusif bagi

konvergensi mazhab Islam Indonesia.

Peningkatan pendidikan dan ekonomi serta interaksi lebih intens antar-orang dan

masyarakat membuat kaum muslim Indonesia kian lebih bersikap terbuka, inklusif,

akomodatif dan toleran —termasuk dalam furu’iyah . Karena itu pertikaian furu’iyah

hampir tidak lagi menjadi isu.

Salah satu (jika tidak satu-satunya) masalah tersisa adalah terkait penentuan awal

dan akhir Ramadhan; perbedaan antara mazhab hisab dan mazhab ru’yat .

Perbedaan di antara kedua belah pihak ini sangat mungkin dapat terjembatani

sehingga menciptakan konvergensi. Di sinilah pemerintah perlu terus berupaya

membangun parameter dan kesepakatan di antara ormas-ormas Islam agar di masa

depan yang panjang tidak ada lagi perbedaan dalam mengawali puasa dan

merayakan Lebaran.

Page 72: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 72/136

Resonansi Azyumardi Azra 72

Pasca-Dua Muktamar

06 Agustus 2015,

REPUBLIKA.CO.IDAzyumardi Azra

Hal-hal penting apa saja yang bisa dicatat pasca-dua muktamar; Muktamar

Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang, Jawa Timur dan Muktamar Muhammadiyah ke-

47 di Makassar pada pekan pertama Agustus 2015? Satu hal sudah pasti, kedua

muktamar mendapat perhatian besar, bukan hanya dari puluhan juta anggotaorganisasi, tetapi juga para pengamat dalam dan luar negeri serta media massa

yang mengindikasikan signifikansi besar kedua ormas Islam Indonesia ini.

Mengamati kedua muktamar, satu hal penting lain juga juga perlu dicatat, yaitu

penegasan kembali komitmen dan kesetiaan kebangsaan-keindonesiaan

Muhammadiyah dan NU. Penegasan ini mencakup tentang telah finalnya integrasi

keislaman- keindonesiaan seperti terpatri dalam empat ‘perjanjian’ pokok yaitu UUD

1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Meski telah sering diulang dalam berbagai muktamar dan pernyataan pimpinan

kedua ormas Islam terbesar di dunia muslim ini, penegasan tetap diperlukan;

penegasan itu kini dan ke depan bahkan tetap tepat waktu ( timely ). Hal ini tidak lain

karena pada saat yang sama tantangan gagasan dan praksis transnasionalisme

Islam juga meningkat, yang paling menonjol sekarang adalah ISIS dengan ‘ khilafah ’

atau ‘dawlah Islamiyyah’ yang menggunakan kekerasan dan brutalitas.

Lebih jauh, dengan penegasan komitmen kebangsaan-keindonesiaan, kedua ormas

Islam wasathiyyah ini memastikan Indonesia tetap menjadi negeri yang secara

politik tetap aman dan damai. Peran NU dan Muhammadiyah dalam hal ini sangat

krusial mengingat posisi, pengaruh dan leverage- nya masing-masing yang sangat

besar sepanjang sejarah eksistensinya sejak masa pergerakan kebangsaan di masa

penjajahan Belanda mulai dasawarsa awal abad 20.

Page 73: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 73/136

Resonansi Azyumardi Azra 73

Penegasan komitmen kebangsaan-keindonesiaan sama pentingnya dengan

kesetiaan pada Islam wasathiyah —Islam Nusantara, atau lebih tepatnya Islam

Indonesia, yang berkemajuan untuk mewujudkan peradaban Indonesia sendiri dan

peradaban dunia yang rahmatan lil ‘alamin . Hanya Islam yang jauh dari berbagai

bentuk ekstremisme dan radikalisme yang memberikan iklim dan suasana kondusif

bagi kedua ormas Islam beserta para warganya dan umat Islam Indonesia lainnya

untuk dapat mengakselerasikan amal ibadah dalam berbagai aspek kehidupan.

Untuk fungsionalisasi dan aktualisasi Islam berkemajuan guna mewujudkan

peradaban rahmatan lil ‘alamin, Muhammadiyah dan NU tetap pula perlu senantiasa

setia pada khitah masing-masing sebagai ormas Islam untuk memajukan dakwah,

pendidikan, kepenyantunan sosial dan ekonomi-sosial umat muslim Indonesia. Telah

banyak kemajuan yang dicapai dalam ketiga bidang yang disebutkan pertama, tetapi

masih banyak hal yang mesti dilakukan untuk bidang terakhir; belum banyak muncul

usaha ekonomi signifikan dari kalangan umat muslim, dan juga masih banyak umat

Islam yang belum terangkat dari lembah kemiskinan.

Dalam konteks itu, baik Muhammadiyah dan NU beserta ormas-ormas Islam

wasathiyah lain di seluruh penjuru tanah air perlu tetap berteguh diri sebagai

gerakan Islam kultural daripada sebagai gerakan Islam politik. Sejarah dinamika

kedua ormas Islam ini khususnya sepanjang masa Orde Baru dan seterusnya

membuktikan, berbagai usaha memajukan umat-bangsa lebih berhasil melalui

pendekatan Islam kultural dengan mengembangkan dakwah, pendidikan dan

kepenyantunan sosial.

Sebab itu, NU dan Muhammadiyah seharusnya tetap tidak tergoda pada godaandan tarikan politik yang bisa memabukkan. Seperti terlihat dalam kedua muktamar,

godaan politik itu juga muncul, meski tidak secara jelas menguat. Jika para pimpinan

ormas tergoda politik kekuasaan, dampaknya adalah politik yang divisif dengan

segera dapat berimbas secara internal organisasi.

Oleh sebab itu, Muhammadiyah dan NU semestinya tetap mampu melakukan

penjarakan politik ( political disengagement ); tidak terlibat langsung dalam politikkekuasaan ( power politics ). Hanya dengan begitu, keduanya beserta banyak

Page 74: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 74/136

Resonansi Azyumardi Azra 74

Jam’iyyah Islamiyyah lain dapat terpelihara dari kegaduhan politik yang terus

berkembang dari waktu ke waktu.

Dengan tetap melakukan political disengagement bukan berarti NU dan

Muhammadiyah beserta ormas-ormas Islam lain bersikap apatis dan tidak peduli

pada politik. Sebaliknya, dengan political leverage yang mereka miliki, mereka justru

perlu meningkatkan peran politik untuk kemaslahatan negara-bangsa.

Peran politik itu selama ini telah dimainkan Muhammadiyah dan NU; yang kini dan

ke depan tetap diperlukan adalah peran politik sebagai civil society , masyarakat sipil

atau masyarakat madani, atau masyarakat kewargaan. Sebagai masyarakat madani,

keduanya beserta ormas lain sepatutnya meningkatkan peran membangun

tamaddun , peradaban; sebagai masyarakat sipil membangun kembali civic culture

dan public civility , keadaban publik yang terlihat merosot secara signifikan sepanjang

masa pasca-Soeharto.

Tak kurang pentingnya, sebagai civil society , NU dan Muhammadiyah seyogyanya

memperkuat kembali perannya sebagai kekuatan moral dan pengimbang terhadap

partai politik dan pemerintah yang sering terlibat kegaduhan politik sehingga

menelantarkan peningkatan kemaslahatan bangsa. Pada saat yang sama juga

menjadi mitra kritis ( critical partners ) bagi pemerintah dan pemangku kepentingan

lain guna mewujudkan Indonesia berkemajuan dan berperadaban.

Page 75: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 75/136

Resonansi Azyumardi Azra 75

Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (1)

10 September 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Meski bertetangga dekat, hubungan Australia dengan Indonesia tidak selalu mulus.

Secara umum hubungan kedua negara berlangsung baik, tetapi bukan tidak jarang

ada ketegangan, termasuk khususnya di masa pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott yang sudah berusia dua tahun sampai sekarang. Misalnya, kedua negara

sempat menarik duta besar masing-masing berikutan eksekusi hukuman mati pada

29 April 2015 di Nusakambangan terhadap dua warga Australia penyelundup

narkoba, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

Dalam psike banyak pejabat publik dan warga Australia, Indonesia yang begitu

besar wilayah dan penduduknya merupakan ancaman keamanan utama yangsenantiasa perlu diwaspadai. Dengan psike seperti itu, masalah politik, ekonomi dan

manusia perahu yang melintasi perairan Indonesia menuju Australia sering menjadi

sumber pertikaian.

Psike tidak sehat juga terkait agama, Indonesia dengan mayoritas absolut dari

penduduk sekitar 245 juta adalah negara muslim terbesar di dunia. Sementara

Australia berpenduduk sekitar 22,5 juta yang mayoritas (61 persen) adalahkristianitas dengan berbagai denominasi atau gereja —muslim hanya 2,2 persen.

Sejumlah kejadian besar kekerasan dan teror terkait orang atau kelompok muslim

sejak dari peristiwa 11 September 2001 di AS, pemboman di Madrid (11 Maret

2004), pemboman di London (2/7/2005) dan bom Bali I (12 Oktober 2002) yang

menewaskan banyak warga Australia dan bom Bali II (1 Oktober 2005), membuat

citra Islam dan kaum muslim kian memburuk.

Page 76: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 76/136

Resonansi Azyumardi Azra 76

Kemunculan Boko Haram dan IS yang menyebabkan eksodus migran dari Timur

Tengah ke Eropa dalam beberapa bulan terakhir menambah buruknya citra Islam

dan kaum muslim di mata banyak kalangan masyarakat non-muslim, termasuk di

Australia. Kekacauan politik dan kekerasan yang terus berlanjut di Siria, Irak, Libya

dan banyak wilayah di Timur Tengah turut menjadi faktor meningkatnya gelombang

migrasi ke Eropa.

Mencermati berbagai perkembangan tidak menguntungkan itu bagi citra Islam dan

kaum muslim itu, mudah dipahami kenapa sangat perlu peningkatan dialog Islam-

Kristen atau dunia muslim dan dunia Barat. Meski dialog antar-agama, antar-

peradaban dan antar-negara cukup meningkat sejak masa pasca-9/11, tetap masih

sangat perlu peningkatan dialog-dialog semacam itu.

Pemerintah Indonesia, khususnya melalui Kementerian Luar Negeri dan

Kementerian Agama pernah sangat aktif melakukan dialog-dialog antar agama dan

antar peradaban di berbagai negara dan benua pada masa pemerintahan Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono. Belum terlihat tanda peningkatan kembali kegiatan

sangat penting ini pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Selain Indonesia, ada juga negara lain seperti Australia yang cukup aktif melakukan

dialog antar-agama dengan melibatkan perguruan tinggi, institusi keagamaan dan

organisasi masyarakat sipil. Meski dialog antar-agama kelihatan cenderung lebih

terjadi pada level nasional —tidak banyak pada level tengah dan bawah —tetap saja

banyak manfaat yang bisa diambil, khususnya bagi para pemimpin kristianitas dan

Islam di negara ini.

Dialog publik antar-agama paling akhir di Australia diselenggarakan Australian

Centre for Christian and Culture, Charl es Sturt University (CSU). Bertajuk ‘Can

Christianity and Islam Co- Exist?’, dialog publik diselenggarakan di enam kota sejak

dari Adelaide, Brisbane, Port Macquairie, Melbourne, Canberra dan Sydney (1-

11/9/2015). Narasumber tetap untuk keenam dialog publik tersebut adalah Reverend

Profesor Ian James Haire, guru besar teologi CSU yang pernah menjabat Ketua

Konsil Nasional Gereja-gereja di Australia dan Presiden Uniting Church Australia;dan penulis “Resonansi ” ini.

Page 77: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 77/136

Resonansi Azyumardi Azra 77

Dapatkah Kristianitas dan Islam Eksis Bersama? Tema dialog publik ini kelihatan

provokatif karena dalam kenyataannya Kristen dan Islam telah hidup berdampingan

di banyak wilayah dunia selama berabad-abad. Meski demikian, tema ini

mengisyaratkan adanya masalah dalam hubungan Kristianitas dan Islam —atau lebih

tegas antara umat kristiani dan Muslim —yang mengakibatkan seolah-olah kedua

agama besar dunia ini tidak bisa hidup berdampingan secara damai.

Dalam dialog publik di Adelaide dan Brisbane, Reverend (Pendeta Utama) Haire

melihat, hubungan Kristen-Islam pada tingkat internasional umumnya baik, meski

ada kasus-kasus kekerasan di antara umat kristiani dan muslim semacam Perang

Salib di Eropa dan Palestina. Profesor Haire yang pernah bertugas di Sekolah Tinggi

Teologi di Halmahera juga menyebut hubungan antara Kristianitas dan Islam di

Indonesia umumnya baik. Meski demikian, kekerasan komunal pernah terjadi seperti

di kristiani dan muslim di Ambon pada 1999.

Bagi penulis “Resonansi ” ini, Kristianitas dan Islam dapat dan harus hidup bersama

sedikitnya pada dua level; doktrin dan historis. Pada level doktrin, Kristianitas

bersama agama Yahudi yang datang lebih awal mendapat tempat di dalam al -

Qur’an. Al -Qur’an sebagai kitab suci Islam unik karena tidak ada kitab suci agama

mana pun yang menyebut agama lain dalam ayat-ayatnya.

Bersama Islam yang datang paling belakangan, ketiga agama ini disebut sebagai

millah Ibrahim (Abrahamic religions) . Karena itu, pada dasarnya ketiga agama ini

adalah siblings (kakak-adik), yang selain umumnya hidup bersama secara damai,

juga kadang kala bertengkar atau bahkan berkelahi karena berebut mainan

misalnya.

Page 78: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 78/136

Resonansi Azyumardi Azra 78

Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (2)

17 September 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Can Christianity and Islam Co-Exist? Pertanyaan ini kembali muncul dalam masa

satu setengah dasawarsa terakhir, dan lebih khusus lagi sejak IS (Islamic State)

dengan kekerasan dan brutalitas menyentakkan dunia, baik di dunia Islam maupun

Barat. Gelombang migrasi dari Siria dan wilayah Timur Tengah lain meningkatkantensi dan antipati tersembunyi di kalangan umat Kristianitas dunia.

Misalnya saja dalam dialog publik di Port Macquarie (5/9/15), dua penganut

Kristianitas tanpa sungkan menyatakan, para teroris semacam IS tak lain hanya

menjalankan perintah Islam dan contoh yang diberikan Nabi. Keduanya meminta

penulis “Resonansi ” yang tampil dalam dialog publik bersama Reverend Profesor Ian

James Haire untuk mengutuk IS —hal yang memang patut dan sudah dilakukanpenulis “Resonansi ” ini sejak IS melakukan berbagai bentuk kebrutalan.

Kedua orang yang mengklaim banyak membaca tentang Alquran dan Nabi

Muhammad di dunia maya, menggeneralisasi Islam dan para pengikutnya sebagai

senang dengan kekerasan. Karena itu, bagi keduanya Kristianitas ini, sulit bagi

Kristianitas untuk hidup berdampingan secara damai dengan Islam.

Pernyataan ekstrem dan ngebyah uyah ini jelas bukan representasi penganut

Kristianitas di Australia —apalagi di seluruh dunia. Bahwa ada suara seperti itu di

kalangan penganut Kristianitas tidak mengagetkan. Selalu ada di dalam agama

mana pun orang atau kelompok yang memegang pendapat dan melakukan tindakan

ekstrem.

Seperti dikemukakan Profesor Ross Chambers, presenter dialog publik, jika ada

penganut Kristianitas semacam Hitler misalnya yang melakukan genosida terhadap

Page 79: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 79/136

Resonansi Azyumardi Azra 79

orang Yahudi, jelas ini tidak mewakili Kristianitas dan para penganutnya.Jelas

mayoritas terbesar umat Kristiani mengutuk tindakan genosida.

Tetapi pertanyaaan yang selalu mengganggu adalah; kenapa selalu ada orang atau

kelompok agama yang ekstrem? Pandangan dan aksi ekstrem-radikal bisa muncul

karena mereka mengambil ayat atau potongan ayat tertentu dalam kitab suci dan

kemudian menafsirkannya secara literal dan ad hoc tanpa melihat latar belakang

historis maupun konteksnya baik di masa lalu maupun sekarang.

Profesor James Haire mempunyai penjelasan lain yang tak terbayangkan bagi

banyak orang, khususnya para penganut Kristianitas. Menurut tokoh dan teolog

terkemuka gereja Australia ini, banyak penganut Kristianitas mengidap semacam

angst (bahasa Jerman), yaitu kegelisahan dan kemarahan yang bercampur aduk

dengan frustrasi dan kejengkelan karena absennya Kristianitas dalam ruang publik

( public space ) selama berabad-abad sejak pemisahan gereja dengan negara pasca-

reformasi Protestan abad 17.

Dalam perkembangannya, agama mengalami marjinalisasi menjadi hal privat, tidak

ada kaitannya dengan publik.Ketika kalangan penganut Kristianitas berusaha

menampilkan agama di ranah publik, mereka mendapat tantangan dan hambatan

dari pemerintahan yang menganut ideologi sekularisme.

“Selanjutnya, negara -negara mayoritas Kristianitas menerima kian banyak pemeluk

Islam yang menampilkan berbagai simbol Islam dalam ranah publik sejak dari

penampilan fisik, cara berpakaian, ketentuan makanan halal dan ketaatan kepada

syariah. Keadaan kontras ini menimbulkan masalah tak terpecahkan di kalanganumat Kristianitas, yang menjadi akar pandangan dan sikap ekstrem- radikal”, tegas

James Haire.

Menjelaskan posisi Islam dalam hal tersebut, penulis “Resonansi ” ini menegaskan

tentang tidak adanya pemisahan dalam Islam di antara hal privat dengan

publik.Mementingkan individual-personal, pada saat yang sama Islam meninggikan

jama’ah atau umat yang bersifat komunal. Karena itu Islam selalu ditampilkan parapenganutnya dalam ranah publik, yang dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat

Page 80: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 80/136

Resonansi Azyumardi Azra 80

keagamaan mayoritas di mana mereka menetap.

Di antara isu yang sering terutama dipersoalkan kalangan penganut Kristianitas

Australia misalnya tentang syariah dan makanan halal. Bagi mereka syariah hanya

mengancam ekuilibrium dan keutuhan negara-bangsa Australia.

Menjawab kecemasan itu Reverend James Haire menjelaskan, syariah memiliki

cakupan sangat luas dibandingkan dengan ‘hukum’ dalam masyarakat Barat.

Syariah selain menyangkut ketentuan tentang keimanan dan ibadah, juga mencakup

ajaran yang di Barat disebut moral dan etik.

Menyambung penjelasan tersebut, penulis “Resonansi ” ini menjelaskan, bagian

paling kontroversial dari syariah terkait hukum hudud , potong tangan bagi pencuri

dan rajam sampai mati bagi pezina. Dalam kenyataannya, hampir seluruh negara

Islam atau berpenduduk mayoritas muslim —kecuali hanya Arab Saudi —tidak

memberlakukan hudud. Sebaliknya mereka menerapkan penafsiran ulama modern

yang mengganti hudud dengan hukuman penjara.

Sedangkan dalam hal makanan halal, sesuai ketentuan syariah kaum muslim selalu

wajib mengusahakannya meski juga ada kelonggaran pada batas tertentu, misalnya

memakan kosher, makanan halal penganut agama Yahudi. Semestinya masalah

makanan halal tidak dibesar-besarkan masyarakat Australia.

Menurut penulis “Resonansi ” ini, Australia bakal rugi secara ekonomi; tidak hanya

terkait dengan hewan atau daging yang diekspor ke negara muslim seperti

Indonesia, tetapi juga dengan meningkatkan produk halal lain seperti ‘ sh ari’atourism’ yang kini sedang dipopulerkan di Jepang untuk menarik kian banyak

pelancong dari Indonesia misalnya. Karena itu, kehidupan halal-friendly justru

penting dan bermanfaat bagi Australia dan negara-negara lain.

Page 81: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 81/136

Resonansi Azyumardi Azra 81

Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (3)

01 Oktober 2015

REPUBLIKA.CO.IDAzyumardi Azra

Christianity and Islam Clearly Can and Should Co-Exist. Inilah salah satu kesimpulan

pokok dialog publik Kristianitas-Islam di enam kota utama Australia (1-1/9/2015).

Banyak tantangan yang dihadapi umat manusia di muka bumi, bakal dapat

terselesaikan --atau setidaknya terkurangi-- jika umat kedua agama ini bahu-membahu dalam hidup berdampingan secara damai.

Bayangkan penganut Kristianitas dengan beragam denominasi dan gereja berjumlah

sekitar 2,2 miliar jiwa. Sedangkan, umat muslimin mencapai lebih dari 1,6 miliar

orang --juga dengan beragam aliran dan mazhabnya.

Penganut kedua agama seyogianya meningkatkan pemahaman dan praksis untuk

penguatan kebajikan dan kemaslahatan bersama ( common good ). Nabi Muhammad

SAW, misalnya, mencontohkan pengembangan common good dengan menerapkan

Konstitusi Madinah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah ketika menjadi pemimpin

negara Kota Madinah.

Melalui Piagam Madinah (al-Mitsaq al-Madinah), Nabi Muhammad memberi

kebebasan beragama dan perlindungan atas nyawa dan harta benda kaum Yahudi -

-by extension juga penganut Kristianitas.

Sangat disayangkan dalam sejarah Islam masa pasca-Nabi Muhammad

pengembangan kemaslahatan bersama itu baik intra maupun antaragama sering

terganggu sektarianisme aliran dan mazhab. Keadaannya kian parah dengan

kebangkitan kembali ‘kabilahisme’. Sektarianisme keagamaan dan kabilahisme

adalah penyebab utama konflik dan perang yang terus berlanjut sampai sekarang

dalam masyarakat dan negara muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan, misalnya.

Page 82: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 82/136

Resonansi Azyumardi Azra 82

Konflik baik intra maupun antaragama dapat dicegah dengan dialog di antara

berbagai pemangku kepentingan, khususnya kepemimpinan agama. Melalui upaya

ini, pemahaman dan respek timbal balik lebih baik dapat dikembangkan dan pada

saat yang sama persahabatan dapat tercipta di antara mereka.

Berhadapan dengan berbagai masalah global yang sekarang dihadapi umat

manusia, Pendeta Haire dan penulis “Resonansi ” ini maupun audiens lintas agama

dalam ‘Scholars’ Forum’ di Sydney (11/9/15) bersepakat bahwa Islam dan

Kristianitas tetap relevan untuk menjawab tantangan modernitas dewasa ini dan ke

depan. Masalah serius seperti perubahan iklim, perusakan lingkungan hidup,

konsumerisme dan hedonisme, dan dekadensi moral memerlukan respons dan aksi

umat beragama.

Karena itu, umat kedua agama mesti membangun atau merekat kembali solidaritas

(ukhuwah ) internal umat yang beragam. Penulis “Resonansi ” ini dalam dialog publik

di Melbourne dan Canberra yang diikuti audiens antusias yang bukan hanya kristiani

dan muslim, tapi juga penganut agama Yahudi, menekankan pentingnya

membangun atau memperkuat tasamuh atau toleransi di antara aliran, mazhab atau

denominasi berbeda dalam satu agama.

Hanya dengan tasamuh bisa tercipta persaudaraan yang sangat penting dalam

menyelesaikan pertikaian, konflik, dan kekerasan internal. “ We must first put our

house in order in order to be able to create internal peace that can in turn be spread

out to the others ”. Selama konflik dan bah kan perang masih terjadi seperti di Suriah-

Irak dengan ISIS atau di Yaman dengan Hauthi dan Arab Saudi, selama itu pula

tragedi kemanusiaan terus terjadi.

Profesor Haire juga melihat perlunya peningkatan dialog internal berbagai

denominasi dan gereja yang bukan tidak sering terlibat dalam kontestasi dan

pertarungan menyangkut umat dan pemerintahan. Sejarah Australia, misalnya,

sangat diwarnai kontestasi dan perebutan pengaruh di antara Gereja Anglikan

dengan Gereja Katolik. Keadaan ini sedikit-banyak mempengaruhi hubungan

antargereja atau antardenominasi di benua kanguru.

Page 83: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 83/136

Resonansi Azyumardi Azra 83

Karena itu, Pendeta James menyarankan pentingnya penguatan hal-hal yang sama

atau komonalitas ( commonality ) di antara kedua agama dan para penganutnya.

Komonalitas sangat penting untuk mengembangkan persaudaraan sebangsa yang

dalam bahasa Islam disebut sebagai ukhuwah wathaniyah .

Reverend James memandang, di antara hal-hal penting yang membuatnya tergerak

(moved ) ketika melihat Islam adalah penekanan kuat pada egalitarianisme dan

moral individual-komunal (akhlak). Kedua hal ini sangat penting dalam meresponi

ketidaksetaraan umat dan kelonggaran moral individual-komunal dalam masyarakat

mayoritas kristiani seperti Australia.

Pada pihak lain, kaum muslimin di Australia atau negara lain di mana mereka

minoritas (serta di negara-negara di mana mereka mayoritas, seperti Indonesia)

mesti kembali kepada akhlak mulia yang sangat penting untuk membangun

kehidupan antarmanusia lebih baik. Hanya dengan keseimbangan yang diajarkan

dalam akhlaqul karimah kaum muslim dapat hidup lebih serasi dalam masyarakat

majemuk.

Selain itu, kaum muslim perlu meningkatkan sensitivitas pada realitas sosial-budaya

dan politik lokal di mana mereka menetap. Mereka sepatutnya menjalankan kearifan

lokal yang terkenal di I ndonesia, misalnya, ‘di mana bumi dipijak di situ langit

dijunjung’ yang tidak berarti mengorbankan akidah, ibadah, dan ajaran Islam lainnya.

Jika tidak, tensi dan konflik dapat selalu muncul dari waktu ke waktu.

Page 84: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 84/136

Resonansi Azyumardi Azra 84

Agama: Tradisi, Memori, danModernitas (1)

12 November 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Setiap perubahan dalam suatu masa dapat memunculkan tantangan serius tertentu

pada agama. Karena itu, tidak heran jika kalangan ilmuwan dan akademisi —

terutama yang bergerak dalam bidang agama dan perubahan sosial —memprediksi

dan membangun berbagai teori tentang kian merosot dan bahkan menghilangnya

agama dalam meningkatnya modernitas dalam berbagai lapangan kehidupan.

Bukan tidak jarang prediksi dan teori itu meleset jauh. Agama terus bertahan di

tengah gelombang perubahan demi perubahan yang terkait dengan modernitas —

termasuk globalisasi yang sering disebut para ahli sebagai salah satu puncak

modernitas. Kebertahanan agama —khususnya agama wahyu; agama Yahudi,

Kristianitas, dan Islam —terkait banyak dengan tradisi yang telah mapan selama

berabad-abad. Tradisi ini tidak mudah berubah karena bersumber dari wahyu yang

diyakini para penganut agama masing-masing sebagai permanen atau tidak

berubah.

Tradisi agama mendapat tambahan kekuatan dengan ingatan bersama ( collective

memory ) para penganutnya tentang doktrin dan praksis agama yang mendatangkan

banyak kebaikan, manfaat dan keselamatan bagi umat manusia. Memori yang

diabadikan dari waktu ke waktu dari satu generasi ke generasi berikutnya membuat

tradisi keagamaan kian tidak mudah lenyap begitu saja.

Page 85: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 85/136

Resonansi Azyumardi Azra 85

Subyek tentang agama dengan tradisinya dan memori para penganutnya dalam

tantangan modernitas masih menguasai imajinasi dunia akademis dan para ahli. Hal

ini misalnya terlihat dari konferensi selama tiga hari (9-11/11/2015) yang

diselenggarakan Accademia Ambrosiana, Milan, Italia. Mengangkat tema

‘Tradizione, Memoria e Modernita’, Konf erensi membahas tradisi ketiga agama

Abramik (agama Yahudi, Kristianitas, dan Islam) dalam kaitan dengan memori

penganutnya dalam menghadapi tantangan modernitas.

Penulis “Resonansi ” ini mendapat kesempatan baik bukan hanya sebagai salah satu

narasumber dalam Konferensi Akademi Ambrosiana ini, tetapi juga sekaligus

sebagai pembelajar. Pembicaraan tentang tradisi, memori dan modernitas terkait

agama Yahudi dan Kristianitas memberikan perspektif perbandingan yang kaya

dengan tradisi Islam dan memori kaum muslimin dalam menghadapi tantangan

modernitas.

Dalam pembicaraan tentang tradisi versus modernitas dalam agama Yahudi

misalnya, wahyu yang terkandung dalam kitab Torah (Taurat) memerlukan

interpretasi baru untuk dapat memberikan jawaban terhadap tantangan modernitas.

Tetapi interpretasi baru itu tidak bisa terlalu jauh dari teks, karena bisa dianggap

otoritas ortodoksi sebagai ‘menyimpang’. Jadi, teks tetap penting bersamaan dengan

perlunya pemahaman baru tentang konteks.

Salah satu kasus dalam konteks ini adalah tentang kedudukan perempuan. Secara

tradisional kitab suci semacam Torah dan Injil mengajarkan pandangan bias

terhadap perempuan. Dalam perspektif Torah misalnya, rahmat (blessing ) Tuhan

hanya diberikan kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Blessing ini dianggapsudah baku, yang kemudian diperkuat teks-teks yang dihasilkan ortodoksi

keagamaan, pemimpin dan fungsionaris agama.

Dalam masa sekarang bukan hanya teks ayat kitab suci yang perlu dipertimbangkan

kembali penafsirannya, tetapi juga mesti ditinjau ulang konteksnya —termasuk

sejarah munculnya perumusan doktrin tertentu oleh otoritas ortodoksi. Pemahaman

Page 86: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 86/136

Resonansi Azyumardi Azra 86

tentang blessing Tuhan hanya kepada laki-laki, tidak kepada perempuan adalah

interpretasi subyektif para penafsirnya.

Jelas, sebelum kemunculan masa modern dengan gagasan dan konsep tentangmodernitas, perempuan menduduki posisi marjinal dalam masyarakat Yahudi,

Kristiani dan bahkan juga muslim. Tetapi dengan penyebaran modernitas, secara

bertahap pandangan lebih positif terhadap perempuan mulai bertumbuh.

Dalam perspektif baru misalnya, perempuan dipandang memiliki kecenderungan

spiritualistik lebih kuat dan lebih dalam daripada laki-laki. Karena itu, doktrin yang

dihasilkan otoritas agama yang mendiskriminasikan perempuan dalam hal ibadah

perlu dipertimbangkan kembali.

Dalam Islam misalnya ada fiqh yang menganjurkan perempuan untuk beribadah di

rumah daripada ke masjid. Dalam perspektif baru, beribadah bersama antara

jamaah laki-laki dan perempuan dapat memperkaya pengalaman spiritualitas. Hal ini

tidak harus bertentangan dengan ortodoksi keagamaan.

Perspektif baru semacam ini memang bukan tanpa hambatan, khususnya dari

otoritas ortodoksi keagamaan. Terdapat kecenderungan kuat otoritas keagamaan

mana pun mempertahankan penguasaan menyeluruh (totalitarianisme) terhadap

pemahaman dan praksis doktrin yang telah menjadi tradisi dan melekat dalam

memori penganutnya.

Karena itu setiap upaya memberikan pemaknaan baru terhadap tradisi dan memori

selaras modernitas mengenai pengalaman historis keagamaan hampir selalu

mendapat resistansi dan penolakan otoritas ortodoksi. Penekanan kuat pada teks

dan konteks yang melibatkan hermeneutika dalam menemukan perspektif baru

mereka pandang berujung pada penyimpangan yang akhirnya menggoyahkan kitab

suci dan bahkan agama itu sendiri.

Hasilnya, pergulatan antara tradisi dan memori pada satu pihak dengan modernitas

bakal terus berlanjut. Namun dalam perjalanannya, kedua kubu ini juga dapat saling

Page 87: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 87/136

Resonansi Azyumardi Azra 87

mengakomodasi dalam batas tertentu, sehingga tradisi dan modernitas dapat eksis

berdampingan, walaupun bukan tanpa kecanggungan.

Page 88: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 88/136

Resonansi Azyumardi Azra 88

Agama: Tradisi, Memori, danModernitas (2)

19 November 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Ikhwal agama —dalam hal ini Islam —dalam kaitannya dengan modernitas pernah

menjadi wacana akademis dan intelektual pada awal 1970-an ketika banyak negara,

khususnya di Dunia Muslim —mulai melancarkan pembangunan ekonomi. Tetapi

setelah hampir setengah abad sejak masa itu, kebanyakan negara di wilayah Dunia

Muslim tetap berada pada pinggiran sejarah dan percaturan dunia. Banyak negara di

ranah ini gagal dalam pembangunan dan modernisasi; modernitas tidak dapat

berkembang baik guna memajukan kaum muslim.

Dalam konteks itu orang boleh jadi ingat pada Bernard Lewis dengan karyanya What

Went Wrong? The Clash between Islam and Modernity in the Middle East (2003).

Menurut Lewis, wilayah muslim Timur Tengah tidak bisa maju karena adanya

benturan di antara Islam dan modernitas. Argumen pokok Lewis, bahwa yang salah

dalam benturan itu adalah Islam yang tidak dapat berubah telah ditolak banyak ahli

lain dan tidak perlu diulangi di sini.

Meski demikian, ikhwal modernitas dalam kaitan dengan Islam dan masyarakat

muslim kembali menjadi perbincangan para ahli dan akademisi. Pada hari terakhir

konferensi tiga hari (9-11/11/2015) Accademia Ambrosiana, Milan, Italia bertema

‘Tradizione, Memoria e Modernita’ pembahasan secara khusus diabdikan untuk

mengkaji Islam dan modernitas.

Menurut Profesor Massimo Campanini, guru besar Universitas Trento Italia, yang

menyatakan tidak setuju dengan pandangan Lewis, kegagalan menjawab modenitas

itu lebih terkait dengan sejumlah faktor. Di antaranya adalah friksi dan konflik politik,

Page 89: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 89/136

Resonansi Azyumardi Azra 89

stagnasi ekonomi, dominasi fiqh terhadap ilmu alam dan filsafat, taklid buta terhadap

pemikiran kuno daripada hasil penelitian, dan penolakan atau ketidakmampuan

memperbarui sistem kebebasan dan HAM.

Karena itu, menurut Campanini, dengan adanya faktor tadi kegagalan dalam

modernitas tidak dapat dikaitkan dengan agama. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan,

masa klasik Islam kekuasaan politik muslim berjaya, ekonomi bertumbuh makmur,

ilmu alam dan filsafat mencapai kejayaannya dan masyarakat muslim sendiri

berkembang lebih kompleks dan terdiferensiasi.

Sejak abad pertengahan Dunia Muslim terhinggapi berbagai faktor tidak kondusif

yang menghalangi upaya membangkitkan kemajuan masyarakat muslim. Sementara

itu, khususnya sejak abad 17, Eropa mengalami renaisans dan revolusi industri

sehingga menjelang pertengahan abad 19 sebagian besar kawasan Dunia Muslim

jatuh ke tangan imperialisme dan kolonialisme Eropa.

Dalam pandangan Campanini, berhadapan dengan realitas pahit itu, ada dua

macam reaksi kaum intelektual muslim; pertama, memodernitaskan Islam atau

mengislamkan modernitas. Memodernitaskan Islam berarti percaya tradisi Islam

tidak lagi mampu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat

modern. Sedangkan mengislamkan modernitas percaya Islam sepenuhnya modern

dan rasional; karena itu mampu mengarahkan masyarakat atas dasar Alquran dan

tradisi.

Menurut Campanini, masing-masing reaksi kalangan intelektual muslim terhadap

modernitas juga mengandung ekses. Ada kalangan pendukung memodernitaskanIslam yang menganggap Islam tidak lagi relevan. Ada pula pendukung pengislaman

modernitas yang berusaha melawan sumber modernitas, yaitu Barat, dengan

kekerasan dan bahkan terorisme.

Meski demikian, reaksi kedua pihak tersebut mengandung gagasan tentang

perlunya kebangkitan ( nahdah ), pembaruan ( tajdid ) dan reformasi ( islah ) dalam

menghadapi modernitas. Sedangkan arus utama muslim menekankan perlunyakaum muslim dan pemikiran Islam untuk mengkaji modernitas secara mendalam dan

Page 90: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 90/136

Resonansi Azyumardi Azra 90

mengelaborasinya menjadi ‘modernitas Islam’.

Penulis “Resonansi ” ini dalam kesempatan yang sama (11/11/2015) turut membahas

modernitas dan Islam dalam konteks masyarakat demokratis dan kebebasan

beragama, khususnya di Indonesia. Sebelumnya, penulis (10/11/2015) juga

membahas subyek ‘Tradisi dan Modernitas di Dunia Muslim’ di Universita Cattolica,

Milan.

Menurut penulis, modernitas harus dilihat dalam dua perspektif; modernitas sebagai

nilai dan modernitas sebagai tahapan sejarah. Dalam hal modernitas sebagai nilai,

Islam mengandung banyak komonalitas dengan nilai-nilai modernitas termasuk

orientasi ke masa depan ( progressive ) daripada ke masa silam; etos kerja yang

tinggi; penggunaan akal pikiran;dan inovasi pengetahuan sains dan teknologi.

Tetapi modernitas sebagai tahapan sejarah terkait dengan Eropa dimulai dengan

percerahan ( aufklaruung ), renaisans, reformasi gereja, dan revolusi industri. Dalam

konteks Eropa, modernitas mengandung karakter pertumbuhan toleransi sebagai

prinsip politik dan sosial; penggunaan akal dengan orientasi anthroposentrik;

peningkatan sains dan teknologi, industrialisasi dan mekanisasi; kebangkitan

merkantilisme dan kapitalisme; dan ‘penemuan’ dan kol onisasi dunia non-Eropa.

Kaum muslim Indonesia menerima modernitas secara diam. Nilai dan proses

modernitas berjalan tanpa perdebatan substantif. Hasilnya, Indonesia dapat

melangkah lebih mulus dalam proses adopsi modernitas untuk kemajuan.

Tetapi banyak muslim di Timur Tengah, melihat modernitas tak lebih darieropanisasi atau westernisasi, liberalisasi dan sekularisasi. Karena itu, mereka

berusaha melawan modernitas dengan cara apa pun, termasuk dengan kekerasan

dan terorisme.

Page 91: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 91/136

Resonansi Azyumardi Azra 91

Moderasi Islam

17 Desember 2015

Oleh : Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID

Pembicaraan tentang konsep, wacana, dan praksis Islam wasathiyyah menemukan

momentum terkuat sejak Muktamar Muhammadiyah dan Muktamar Nahdlatul Ulama

(NU) yang sedikit berimpitan waktunya pada Agustus 2015. Tumpang-tindih dengan

wacana dan diskusi tentang Islam Nusantara, perlu elaborasi lebih jauh tentang

wacana dan praksis tentang Islam wasathiyyah beserta pranata dan lembaga yang

mutlak bagi aktualisasi Islam wasathiyyah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Elaborasi dan pengayaan wacana beserta praksis Islam wasathiyyah mendapat

sumbangan penting Mohammad Hashim Kamali dalam karyanya, The Middle Path

of Moderation in Islam: The Qur'anic Principle of Wasatiyyah (Oxford & New York:

Oxford University Press, 2015, xi+310 hlm). Seperti terlihat dalam judul ini, Kamali

tidak menggunakan istilah 'Islam wasathiyyah ', yang lazim digunakan di Indonesia.

Ia menggunakan istilah 'jalan tengah moderasi Islam' berdasarkan prinsip Alquran

tentang wasathiyyah .

Di Indonesia istilah 'moderasi Islam' atau 'moderasi dalam Islam' yang terkait dengan

istilah 'Islam moderat' sering dipersoalkan segelintir kalangan umat Islam sendiri.

Bagi mereka, Islam hanyalah Islam; tidak ada moderasi Islam atau Islam moderat.

Karena itulah, istilah 'Islam wasathiyyah' yang 'qur'ani'--bersumber dari ayat Alquran

(QS al-Baqarah [2]: 143) lebih diterima dan karena itu lebih lazim digunakan.

Terlepas dari soal peristilahan, buku Kamali, asal Afghanistan, yang sejak 1985

menjadi guru besar pada Universitas Islam Antar-Bangsa Kuala Lumpur dan Kepala

Institut Kajian Lanjutan Islam Malaysia, merupakan karya original komprehensif yangmembahas 'jalan tengah moderasi dalam Islam'. Dalam kerangka itu, ia

Page 92: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 92/136

Resonansi Azyumardi Azra 92

mendasarkan pembahasan pada prinsip qur'ani tentang wasathiyyah dari sudut

analisis konseptual, perspektif tematik yang kemudian disertai sejumlah

rekomendasi.

Dalam kajian tentang 'jalan tengah moderasi dalam Islam', Kamali menggunakan

banyak rujukan ayat Alquran dan hadis serta penafsiran ulama arus utama

(mainstream ). Ia tidak hanya memaparkan pembahasan subjek ini di kalangan

ulama dan pemikir Sunni, tapi juga ulama Syi'i. Bagi Kamali, pengikut Sunni,

pembahasan dengan mengikutkan kedua sayap besar kaum muslimin ini penting

dilakukan untuk mengeksplorasi pandangan masing-masing sehingga dapat

menumbuhkan saling pengertian dan bahkan kesatuan umat.

Menurut Hashim Kamali, wasathiyyah merupakan aspek penting Islam, yang sayang

agak terlupakan oleh banyak umatnya. Padahal, ajaran Islam tentang wasathiyyah

mengandung banyak ramifikasi dalam berbagai bidang yang menjadi perhatian

Islam. Moderasi diajarkan tidak hanya oleh Islam, tapi juga agama lain.

Misalnya, dalam keimanan dan tradisi Yunani-Yahudi dan Kristianitas, moderasi

disebut sebagai 'golden mean' , pertengahan yang diinginkan di antara dua sudut

ekstrem yang memunculkan berbagai macam ekses. Hal yang sama juga

ditekankan religio-filsafat Budhisme, yang menekankan kepada para penganutnya

menghindari asketisme keagamaan sangat ketat atau sebaliknya menikmati

kesenangan duniawi secara berlebihan. Sedangkan, dalam Konfusianisme ada

ajaran Zhongyong yang menekankan moderasi kehidupan.

Karena itu, panggilan untuk moderasi perlu diingatkan kembali kepada para pemeluksemua agama, filsafat, tradisi budaya, dan masyarakat. Lebih jauh, perlu advokasi

moderasi di muka bumi; di antara umat Islam, Kristianitas, Yahudi, Hindu, Buddha,

dan penganut agama lain.

Menggunakan istilah ‘wasathiyyah ’ dan ‘moderasi ’ secara bergantian, Kamali

memandang moderasi terutama menyangkut kebajikan moral,yang relevan tidak

hanya dengan kehidupan individual, tetapi juga integritas dan citra diri komunitasdan bangsa. Moderasi dalam proyeksi Qur'ani menyangkut identitas diri dan

Page 93: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 93/136

Resonansi Azyumardi Azra 93

pandangan dunia komunitas atau umat Islam. Lebih jauh, moderasi adalah kebajikan

yang membantu terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan

dan masalah personal, dalam keluarga dan masyarakat serta spektrum hubungan

antarmanusia lebih luas.

Kamali benar dengan menyatakan, kebutuhan pada pemahaman wasathiyyah

menemukan signifikansi dalam masyarakat yang kian plural atau majemuk dewasa

ini. Tetapi pada saat yang sama, ketegangan antarkelompok manusia juga kian

meningkat, khususnya setelah peristiwa 9/11 di Amerika Serikat, pengeboman di

Madrid, London, Bali, dan seterusnya sampai peristiwa terakhir di Paris belum lama

ini.

Penyebaran dan meningkatnya ekstremisme dan kekerasan menimbulkan korban

bukan hanya di berbagai tempat tadi, tetapi juga di berbagai kawasan Dunia Muslim.

Bahkan, jumlah korban nyawa dan kerusakan harta benda di banyak negara muslim

di Timur Tengah dan Asia Selatan jauh lebih besar.

Karena itu, menurut Hashim Kamali, peningkatan moderasi jalan tengah Islam

merupakan kebutuhan sangat mendesak bagi muslimin. Di sini Kamali mengutip

Buya Syafii Maarif yang menyatakan, orang-orang radikal muslim, sesungguhnya

sangat minoritas di tengah lautan umat moderat. “Karena itu, mayoritas moderat

memiliki kekuatan untuk mengutuk kelompok radikal. Sayang, mayoritas kaum

moderat lebih senang berdiam diri daripada mengonter orang radikal."

Page 94: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 94/136

Resonansi Azyumardi Azra 94

PENDIDIKAN DAN SOSIAL-BUDAYA

Page 95: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 95/136

Resonansi Azyumardi Azra 95

Dua Pesantren, Dua Budaya (1)

26 February 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Dua pesantren, dua budaya, dan dua realitas. Meski keduanya sama-sama

pesantren, masing-masing mencerminkan sejarah panjang relatif berbeda.

Perjalanan masing-masing pesantren hari ini dan ke depan meski memiliki banyak

kesamaan, tetapi tantangan yang dihadapi juga sangat berbeda.

Pesantren bisa dipastikan adalah salah satu warisan ( legacy ) Islam Indonesia yang

sulit ditemukan tolok bandingnya di wilayah Dunia Muslim lain. Pesantren bukan

hanya menjadi lembaga pendidikan tertua di Pulau Jawa khususnya, tetapi juga

merupakan salah satu simbol eksistensial pendidikan Islam Indonesia.

Meski zaman berganti, penguasa juga datang dan pergi, pesantren tetap bertahan.Kenapa bisa? Tidak lain karena kemampuan adaptif pesantren yang sangat tinggi.

Karenanya, zaman boleh berlanjut dan musim pun berganti; tetapi kebanyakan

pesantren bukan surut, tapi menemukan momentum baru di tengah perubahan

sangat cepat dan berdampak luas di lingkungan yang mengitarinya.

Tetapi kondisi masing-masing berbeda. Yang satunya berkembang pesat dengan

fasilitas relatif amat lengkap, sedangkan yang satunya lagi menampilkanperkembangan tidak fenomenal.

Perbedaan kondisi, fasilitas dan kelengkapan yang berbeda banyak terkait dengan

posisi masing-masing pesantren di lingkungannya. Watak, realitas dan

kecenderungan sosial-budaya keagamaan dalam kaitan dengan lembaga

pendidikan Islam semacam pesantren menjadi faktor pembeda sangat penting.

Begitu juga perspektif pemahaman dan praksis keagamaan yang berlaku menjadifaktor penting dalam dinamika pesantren di ranah kaum muslimin Indonesia yang

Page 96: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 96/136

Resonansi Azyumardi Azra 96

berbeda.

Jadi, meski pengamatan langsung tentang perkembangan dan dinamika pesantren

terbatas hanya pada dua pesantren, tetapi keduanya cukup representatif untuk

relevan dengan konteks lebih luas di wilayah-wilayah lain. Keduanya dapat menjadi

tipologi pesantren yang berbeda kondisinya karena pola hubungan dan posisi yang

berbeda dalam lingkungan masyarakat dengan realitas sosial-budaya dan

distingsinya masing-masing.

Dengan hujjah seperti itu, penulis “Resonansi ” ini merasa beruntung belum lama ini

dapat mengunjungi dua pesantren; melihat dan merasakan langsung denyut

pesantren. Pengamatan itu memperkuat argumen yang selama ini dipegangi penulis

terkait dinamika pesantren terkini secara keseluruhan.

Yang pertama terkunjungi adalah Pesantren an-Nuqayah, Guluk-guluk Sumenep,

kabupaten paling timur Pulau Madura, pada akhir Desember 2014 lalu. Sedangkan

satunya lagi adalah ‘Pesantren’ Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung, di

pinggiran timur Kota Bukittinggi, Sumatera Barat menjelang akhir Februari 2015.

Dengan lokasi ini, Pesantren an-Nuqayah merupakan pesantren tipikal di perdesaan

(rural pesantren ), sementara Pesantren MTI sudah berada di wilayah perkotaan dan,

karena itu, dapat disebut sebagai ‘pesantren urban’.

Meski usia masing-masing berjarak hampir setengah abad, keduanya termasuk

pesantren tua. Pesantren an-Nuqayah didirikan pada 1887 oleh KH Muhammad

Syarqawi, ulama yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah.

Masa perempatan terakhir abad 19 ini penting dicatat, seperti pernah dikemukakan

sejarawan terkemuka Indonesia, Sartono Kartodirdjo dalam satu bab bukunya The

Peasant’s Revolt of Banten 1888 (1966) adalah periode ‘ religious revival in Java’ .

Kebangkitan agama —dalam hal ini Islam —ditandai terus meningkatnya jumlah

pesantren yang didirikan kiyai-kiyai dan/atau haji yang baru kembali dari Tanah Suci

Haramayn.

Sedangkan ‘pesantren’ MTI Candung didirikan pada Mei 1928 oleh Syekh Sulaiman

Page 97: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 97/136

Resonansi Azyumardi Azra 97

ar- Rasuli yang belakangan juga dikenal sebagai ‘Inyiak Canduang’. Periode ini

dikenal sebagai masa kebangkitan nasional yang antara lain ditandai dengan

Sumpah Pemuda. Masa ini juga dikenal sebagai periode gejolak dan kontestasi

sosial, budaya dan agama di antara ‘Kaum Muda’ pada satu pihak berhadapan

dengan ‘Kaum Tua’ di pihak lain. Ar -Rasuli umumnya dipandang sebagai salah satu

representasi Kaum Tua.

MTI adalah contoh tipikal tepatnya transformasi surau, lembaga pendidikan Islam

tradisional khas Minangkabau. Semula berasal dari pengajian kitab turats (warisan

atau kitab kuning) sejak 1908 di Surau Baru Pakankamis, Candung, ar-Rasuli

berada dalam posisi defensif ketika Kaum Muda memperkenalkan tidak hanya

gagasan modernisme Islam, tetapi lembaga pendidikan modern baik dengan model

persekolahan Belanda maupun lembaga pendidikan Islam modernis dalam bentuk

madrasah klasikal semacam Adabiyah (1909) di Padang atau Sumatera Thawalib

(1918) atau Diniyah Putri (1923) di Padangpanjang.

Ekspansi sekolah dan madrasah modernis, sebagian besar dimungkinkan melalui

transformasi surau. Inilah gelombang transformasi kedua surau setelah pertama kali

terjadi pasca-Perang Padri (1821-37). Berhadapan dengan tantangan tersebut,

Sulaiman ar-Rasuli tidak melihat alternatif lain kecuali mengubah suraunya menjadi

madrasah klasikal dengan mempertahankan tradisionalismenya.

Pada pihak lain, an-Nuqayah seperti pesantren umumnya di Madura dan tempat-

tempat lain di Pulau Jawa muncul tidak sebagai hasil transformasi dari lembaga

pendidikan sebelumnya. Pesantren tidak tergoyahkan modernisme Islam yang

belakangan sampai ke Pulau Jawa dan wilayah lain di Nusantara.

Page 98: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 98/136

Resonansi Azyumardi Azra 98

Dua Pesantren, Dua Budaya (2)

05 March 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Dua pesantren, dua budaya. Masa dua puluh tahun terakhir, setidaknya sejak 1990-

an sampai sekarang, pesantren mengalami transformasi baik secara fisik,

kelembagaan maupun substansi pendidikan. Perubahan-perubahan itu agaknya

mungkin tidak pernah dibayangkan kalangan pesantren sendiri dan pemerhati

lembaga pendidikan ini —yang sejak masa awal pembangunan Orde Baru pada awal

1970-an telah berbicara tentang ‘krisis pesantren’.

Apa yang disebut sebagai ‘krisis’ terutama terkait identitas tradisional pesantren

seperti otoritas kiyai yang mutlak, santri yang mandiri, bersahaja, dan bekerja keras

untuk menuntut ilmu. Modernisasi yang dilancarkan pemerintah Orde Baru juga

masuk ke pesantren menyangkut pembaruan kurikulum dan fasilitas seperti ‘listrikmasuk pesantren’ yang membuat tersingkirnya sumur dan ember untuk digantikan

mesin pompa air, sehingga para santri tidak perlu lagi menimba air —yang

diasumsikan mengurangi kemandirian mereka.

Kedua pesantren, an-Nuqayah dan MTI Candung —seperti juga kebanyakan

pesantren lain, khususnya di Pulau Jawa dan Madura —mengalami banyak

perubahan baik fisik maupun substansi. Perubahan dalam berbagai aspek pesantrenitu tidak bisa lain juga menimbulkan perubahan citra pesantren dalam masyarakat

Indonesia.

Dari sudut populasi, Pesantren al-Nuqayah yang terdiri dari berbagai lembaga

pendidikan memiliki lebih dari 8.000 santri dengan pesantren cabang daerah sekitar

14. Sedangkan Pesantren MTI Candung memiliki sepersepuluhnya, sekitar 800

santri. Cabang pesantren MTI juga memiliki sejumlah cabang yang tersebar diberbagai tempat di Sumatera Barat.

Page 99: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 99/136

Resonansi Azyumardi Azra 99

Dalam hal perubahan citra, para santri pada kedua pesantren itu sudah lama tidak

lagi merupakan ‘santri budug’ (kudisan) karena asrama dan kamar tidur yang tidak

bersih, sehingga tempat tidur mereka dipenuhi budug alias kepinding. Kini mereka

hidup di lingkungan lebih higienis, bersih dan sehat. Perubahan ini dimungkinkan

karena perubahan lingkungan fisik pesantren secara keseluruhan.

Perubahan fisik itu sangat jelas terlihat. Pesantren an-Nuqayah misalnya kini berdiri

di atas lahan seluas 14 hektar. Di atas lahan itu ada dua masjid jami’; satunya

warisan lama, dan satunya lagi masih baru dan megah. Lalu masih ada sembilan

mushalla, 525 asrama santri 19 fasilitas perkantoran, 100 ruang kelas, satu kantor

pos, dua gedung sekolah tinggi, 102 kamar mandi dan kakus, satu perpustakaan

pesantren dan 14 perpustakaan daerah dan sekolah. Sebagian besar gedung di

lingkungan pesantren ini permanen berlantai tiga.

Data fisik an-Nuqayah jelas mengagumkan. Tak banyak lembaga pendidikan baik

umum maupun Islam yang memiliki fasilitas selengkap itu. Bahkan bisa dengan

mudah ditemukan masih cukup banyak lembaga pendidikan di negeri ini yang

memiliki fasilitas pas-pasan.

Pesantren MTI Candung agaknya termasuk ke dalam kelompok yang disebut

terakhir. Pesantren ini berada di lokasi tanah tidak begitu luas. Menjawab

pertanyaan penulis “Resonansi ”, seorang Tuanku Mudo (‘kiyai muda’) menyatakan

lahan MTI Candung sekitar 1,2 hektar yang sudah penuh sesak dengan bangunan —

yang beberapa di antaranya bertingkat dua. Ia menuturkan, MTI Candung sedang

mengusahakan pembelian lahan seluas 8.000 meter, tidak jauh dari lokasi pesantren

sekarang; tetapi harga sudah relatif mahal, hampir tidak terjangkau kemampuankeuangan pesantren. Itulah kendala utama Pesantren MTI, sehingga tidak bisa

ekspansi, misalnya saja asrama santri putra yang sudah lama direncanakan hingga

kini belum bisa dibangun karena ketiadaan lahan.

Dua pesantren, dua budaya. Di sinilah terletak kontras kedua pesantren dalam

konteks budaya masyarakatnya. Masyarakat Madura sering disebut sebagai ‘miskin’

karena tanahnya yang berkapur dan tandus. Berbeda dengan lingkungan Candungyang subur. Tetapi kedua masyarakat ini, baik Madura maupun Minang sama-sama

Page 100: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 100/136

Resonansi Azyumardi Azra 100

punya tradisi merantau; kelompok pertama karena susah penghidupan di negeri

sendiri, sedangkan kelompok kedua lebih karena tradisi sosial budaya yang

mengidealisasikan dan meromantisasi merantau.

Meski banyak orang Madura pergi merantau, mereka adalah muslim sangat

bersemangat. Sepanjang jalan sejak dari ujung Jembatan Suramadu menuju

Sumenep orang bisa menyaksikan deretan masjid demi masjid megah di sepanjang

jalan. Hal ini kontras dengan Sumatera Barat. Jika orang berkendara dari Bandara

Internasional Minang (BIM) di Kataping, Padang Pariaman, menuju Bukittinggi, jelas

tidak terlihat deretan masjid yang sambung-menyambung seperti yang bisa

ditemukan sepanjang perjalanan menuju Sumenep.

Karena semangat itu pula, kelihatan Pesantren an-Nuqayah tidak menemui kesulitan

berarti dalam hal lahan. Bahkan pesantren ini memiliki lahan wakaf yang dikelola

menjadi perkebunan tanaman palawija seluas sedikitnya 26 hektare. Pesantren an-

Nuqayah juga memiliki lahan wakaf lain seluas 19 hektare lebih.

Sementara itu, ketersediaan lahan merupakan masalah sangat pelik di Sumatera

Barat. Terkait kerumitan soal hak ‘ulayat’ atau ‘pusaka tinggi’, amat sulit memperoleh

lahan untuk kepentingan bisnis atau kepentingan keagamaan dan pendidikan.

Seperti terlihat dalam kasus Pesantren MTI dan lembaga pendidikan lain, sulit

sekali menemukan adanya pemberian wakaf lahan dalam jumlah hektaran di

Sumatera Barat.

Page 101: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 101/136

Resonansi Azyumardi Azra 101

Dua Pesantren, Dua Budaya (3)

12 Maret 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Dua pesantren, dua budaya. Kedua pesantren: an-Nuqayah Guluk-guluk, Sumenep,

Madura, dan MTI Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, jelas menampilkan

gambaran berbeda. Sistem sosial, adat, dan corak Islam yang tumbuh dan

berkembang dalam masing-masing suku sangat memengaruhi dinamika pasang dan

surutnya pesantren dan juga lembaga pendidikan Islam lain semacam madrasah.

Dalam masyarakat Madura, keterkaitan kuat antara pesantren dan masyarakat

masih bertahan. Meminjam kategori klasik Deliar Noer, Islam tradisionalis yang

menekankan ketundukan pada ulama yang berpusat di pesantren sebagian besar

juga masih berlanjut. Karena itu, pesantren tetap bertahan.

Sementara dalam masyarakat Minang terlihat ada kerenggangan--jika tidak

keterputusan--di antara masyarakat dan adat yang konon 'tidak lapuk karena hujan

dan tidak lekang karena panas' dengan pesantren. Islam modernis yang hegemonik

di Sumatera Barat, justru menggugat otoritas ulama yang berpusat pada surau,

lembaga pendidikan Islam tradisional Minang. Melekatnya citra yang tidak positif

terhadap surau memaksa para pengasuhnya mengadopsi istilah ‘pesantren ’.

Adopsi istilah ‘pesantren ’ khususnya sejak 1970-an oleh lembaga pendidikan Islam

tradisional di luar Pulau Jawa menjadi momentum yang tidak pernah bisa lagi

dimundurkan. Perubahan ini sekaligus merupakan konsolidasi lembaga pendidikan

Islam tradisional yang sangat krusial bagi perjalanan pesantren dalam masa

selanjutnya sampai sekarang.

Penting dicatat, sejak masa awal sejarahnya berbarengan dengan peningkatan

penyebaran Islam sejak akhir abad ke-13, pesantren memainkan peran lebih

Page 102: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 102/136

Resonansi Azyumardi Azra 102

daripada sekadar lembaga pendidikan. Sejak awal, pesantren menjadi salah satu

lembaga sentral dalam proses islamisasi. Adalah dari pesantren bermula transmisi

keilmuan dan kecakapan keislaman.

Mengalami ekspansi dan konsolidasi secara fenomenal sejak abad ke-19, pesantren

menjadi pusat keilmuan dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Hal terakhir

ini terjadi tidak lain karena pesantren sekali menjadi pusat tasawuf dan tarekat yang

sejak akhir abad ke-18 mengalami 'eksklusifisasi' dan 'radikalisasi'. Seperti dicatat

sejawaran Sartono Kartodirdjo, semua perkembangan terkait pesantren dan tarekat

ini memunculkan 'kebangkitan agama' ( religious revivalism ) dengan semangat anti-

kolonial yang terus meningkat.

Masa Orde Lama menyaksikan pesantren yang tetap bertahan dalam

kesendiriannya --tanpa kemajuan berarti. Dalam perspektif perbandingan, lembaga

pendidikan Islam tradisionalis berupa madrasah konvensional di wilayah dunia Arab,

misalnya sejak 1960-an, mengalami integrasi ke dalam sistem pendidikan umum.

Hasilnya, sekarang hampir tidak ada lagi lembaga pendidikan sebanding

(comparable ) dengan pesantren. Karena itulah, Indonesia merupakan negara

muslim terkaya dengan warisan lembaga pendidikan Islam tradisionalnya.

Pesantren menemukan momentum sejak masa Orde Baru ketika pemerintah

menginginkan pesantren tidak hanya sebagai 'objek', tetapi lebih lagi sebagai

'subjek', pelaku pembangunan masyarakat muslim, khususnya di perdesaan. Di sini

pesantren diharapkan meningkatkan perannya dalam pembinaan koperasi; ekonomi

mikro, kecil, dan menengah; kesehatan masyarakat; pemeliharaan lingkungan hidup,

keluarga berencana, dan seterusnya.

Harapan pada pesantren datang tidak hanya dari pemerintah, tetapi lebih-lebih lagi

dari masyarakat muslim sendiri. Secara konvensional, harapan umat itu mencakup

pesantren sebagai lokus transmisi ilmu Islam, pemeliharaan ortodoksi dan tradisi

Islam Indonesia, dan kaderisasi calon ulama.

Mobilitas pendidikan, sosial, dan ekonomi umat sejak 1980-an sampai sekarangmeningkatkan ekspektasi pada pesantren. Pesantren diharapkan tidak hanya

Page 103: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 103/136

Resonansi Azyumardi Azra 103

membekali para santri dengan ilmu keislaman, tetapi juga dengan ilmu umum yang

memperbesar ruang gerak mereka untuk melanjutkan pendidikan. Atas alasan itu,

pesantren juga mengembangkan pendidikan umum yang umumnya terbentuk

melalui madrasah umum sejak dari tingkat dasar ( ibtida'iyah ), menengah pertama

(tsanawiyah ), dan menengah atas ( aliyah ). Dalam bidang pendidikan ini saja,

banyak pesantren kini menjadi holding instution , lembaga induk yang mengikat

berbagai institusi pendidikan sejak dari tingkat TK/RA, dasar, menengah, dan tinggi,

baik yang berbasiskan pendidikan ilmu umum maupun agama.

Pesantren juga menjadi holding institution dalam bidang non-kependidikan, tegasnya

dalam lapangan pengembangan masyarakat, baik terkait ekonomi, teknologi,

kesehatan, dan seterusnya. Dengan demikian, pesantren menjadi lembaga yang

sangat esensial dalam lingkungan masyarakatnya.

Dua pesantren, dua budaya. Banyak pesantren tidak memiliki kapasitas

menjadi holding institution . Namun, harapan masyarakat tidak berkurang.

Menyangkut pesantren besar semacam an-Nuqayah, misalnya, Usep Fathuddin,

peneliti senior yang terlibat aktif dalam program LP3ES sejak pertengahan 1970-an

untuk pengembangan pesantren, menyarankan perlunya penelitian lebih lanjut

tentang berapa besar hasil pesantren terhadap lingkungannya; apakah masyarakat

sekitarnya menjadi lebih terdidik, lebih makmur, lebih damai --tidak lagi berlaku

seperti zaman jahiliyah dengan balas membalas secara kekerasan? Pertanyaan-

pertanyaan dapat menjadi langkah awal meneliti pesantren masa kini.

Page 104: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 104/136

Resonansi Azyumardi Azra 104

Suatu Pagi di Tukang Pijat

19 March 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Usai Subuh, menjelang matahari terbit, akhir pekan lalu di kawasan Tanah Kusir

Jakarta Selatan penulis “Resonansi ” ini sudah antri menunggu giliran dipijat. Pijat

dengan segala bentuk turunannya agaknya paling lengkap di Indonesia. Pernah

menetap dan keliling berbagai negara di lima benua, penulis “Resonansi ” ini tidak

menemukan jenis-jenis pijat selengkap di Tanah Air. Karena itu, tidak heran kalau

banyak pejabat sampai ke tingkat presiden memelihara tukang pijat, yang juga ikut

dibawa dalam perjalanan luarnegeri.

Menggemari selama puluhan tahun, pijat bukan hanya dapat menghilangkan rasa

capek dan pegal, tetapi juga bisa menyembuhkan atau sedikitnya lebih meringankan

penyakit semacam stroke, kejepit syaraf (yang pernah diderita penulis “Resonansi ”)atau imsomnia dan stres. Pijat bukan tidak sering bisa menyembuhkan penyakit

yang tak kunjung sembuh dengan dokter atau terapis. Kata orang, penyembuhan

penyakit ‘cocok -cocok- an’; ada yang cocoknya dengan dokter, tapi juga ada yang

cocoknya dengan tukang pijat.

Tapi hati-hati, jangan sampai terjebak tukang pijat yang juga melakukan praktek

perdukunan, yang tentu saja musyrik. Atau tukang pijat yang menjanjikanpenyembuhan ‘sempurna’ dengan bayaran yang sangat komersial— melibatkan

dana puluhan juta, tukang pijat seperti ini tidak lain con-man alias penipu yang

menjanjikan hal too good to be true , terlalu bagus untuk benar-benar bisa terwujud.

Bagi penulis “Resonansi ” ini, pergi ke tukang pijit adalah kesempatan emas untuk

merasakan ‘denyut jantung’ orang -orang yang datang dari berbagai lapisan sosial

sejak dari pejabat, pengusaha sampai kepada guru, buruh atau pensiunan. Merekaadalah kumpulan orang-orang yang bebas dari kungkungan berbagai struktur dan

Page 105: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 105/136

Resonansi Azyumardi Azra 105

batas; mereka adalah orang-orang yang dengan bebas dan polos mengungkapkan

hal-hal yang mereka rasakan. Inilah suara yang mungkin tidak terekam survei dan

juga tidak terungkap dalam media massa.

Adalah Pak Aceng misalnya yang sudah hampir setahun mengalami stroke, dan kini

sudah bisa berbicara dengan lancar dan runut. Pensiunan pekerja rendahan

rekanan Pemda DKI dalam penanganan hewan sembelihan ini mulai dengan

menyatakan kekecewaannya pada pemerintah Jokowi- JK. “Saya sekeluarga dulu

mencoblos banteng moncong putih dan juga pasangan JKW-JK. Tapi setelah sudah

hampir setengah tahun, tidak terlihat tanda-tanda perbaikan hidup rakyat. Malah

harga bahan pokok, terutama beras terus melonjak”.Akibatnya, semakin sedikit yang

bisa dibeli dengan rupiah.

Pak Aceng yang sejak pensiun hidup pas-pasan juga tahu dollar kian melejit, nyaris

tanpa kontrol memerosotkan nilai rupiah. Pak Aceng mencemaskan jika krisis

moneter yang terjadi beriringan dengan kenaikan harga barang menimbulkan krisis

ekonomi dan politik seperti 1997-1998 yang membuat jatuhnya pemerintahan

Presiden Soeharto.

Mpok Inah, pewarung kecil juga merasa dagangannya yang serbasedikit (masing-

masing satu panci; nasi, sayur tahu tempe, dan gorengan) makin tidak menyisakan

keuntungan. “Dulu ada sedikit keuntungan selain bisa makan dari dagangan. Kini

tidak bisa lagi bisa makan sekenyangnya dari dagangan”, kata Mpok Inah yang asli

Betawi ini.

Kembali ke Pak Aceng; ia melihat pemerintah tidak bisa bekerja dengan baik karenatidak bisa menyelesaikan kegaduhan kekuasaan dan politik yang terus berlanjut. Ia

melihat polisi yang sewenang-wenang dan terus menunjukkan arogansi kekuasaan.

“Presiden Jokowi ternyata tidak tegas meninda k petinggi Polri yang tidak

menjalankan perintahnya”.

Bicara soal Polri, Pak Hasan mempertanyakan fenomena agak aneh terkait isu

begal yang hampir secara serentak muncul di Indonesia sejak dari Aceh, SumateraUtama, Jabodetabek sampai Sulawesi Selatan dan Maluku. “Aneh ya, di tengah

Page 106: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 106/136

Resonansi Azyumardi Azra 106

kegaduhan kepolisian dengan KPK yang kelihatan terus berlanjut, para begal di

berbagai daerah dan kota muncul seolah ada pihak yang menggerakkan. Selama ini

selalu ada begal, tetapi tidak melakukan aksi dan menjadi pemberitaan meluas di

seluruh Indonesia”, ujar P ak Hasan yang pengusaha properti apartemen untuk kelas

menengah di selatan Jakarta.

Mendengar berbagai suara rakyat, yang terdengar umumnya adalah keluhan dan

kritik terhadap tidak berjalan baiknya pemerintahan. Mereka tidak berharap banyak

kecuali beban hidup lebih ringan, yang lebih bisa dipikul dengan pendapatan mereka

yang tidak banyak. Mereka tidak memimpikan hidup yang penuh

kemelimpahan (affluent ).

Dalam percakapan, terasakan juga kian merosotnya kepercayaan dan harapan

kepada pemerintah. Memang dalam Pilpres 2014 lalu, terdapat semacam eksplosi

harapan kepada pasangan JKW-JK. Tetapi, sejauh ini harapan itu kian menjauh

daripada terwujud.

Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla masih memiliki waktu cukup

banyak —sekitar 4,5 tahun —untuk bekerja, kembali menggenjot pembangunan.

Karena itu, sudah sepatutnya pemerintah melakukan evaluasi tentang berbagai

hambatan dan kendala yang membuat pemerintah tak efektif sejak dari kondisi

politik yang tidak kondusif sampai pada kebanyakan menteri kabinet yang tidak

menunjukkan gejala kinerja yang baik.

Page 107: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 107/136

Resonansi Azyumardi Azra 107

Kontroversi Buku Teks (1)

02 April 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Indonesia agaknya adalah salah satu negara yang paling sering mengalami

kehebohan dan kontroversi sekitar isi atau bagian tertentu buku teks sekolah —sejak

dari dasar sampai menengah hingga perguruan tinggi. Karena relatif sering

terjadinya kejadian seperti itu, sulit mencari kata lain, instansi dan pihak

bertanggungjawab dalam hal ihwal buku teks sangat ceroboh dan tidak bekerja

seperti diharapkan publik, orangtua, dan peserta didik.

Kehebohan dan kontroversi terakhir misalnya terkait adanya muatan ajaran radikal

dalam buku paket Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk SMA kelas XI yang dapat

diunduh dari Buku Sekolah Elektronik. Dalam Bab 10 yang bertajuk ‘Bangun dan

Bangkitlah Pejuang Islam’ termuat pada halaman 170 ada ulasan tentang Syaikh

Muhammad bin ‘Abdul Wahhab [pendiri paham dan gerakan Wahabiyah di Arab

Saudi]. Paham radikal Syaik h ‘Abdul Wahab yang dipegangi para pengikut

Wahabiyah disampaikan dalam buku teks itu, yakni: “Siapa yang menyembah selain

Allah SWT telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh”.

Tidak ragu lagi kalimat itu menunjukkan sikap ekstrem dan radikal paham

Wahabiyah. Jelas pula, pernyataan seperti bukan tidak mungkin mempengaruhi

pemahaman dan perilaku peserta didik, yang dapat mendorong radikalisasi di

kalangan siswa dan remaja muslim Indonesia. Jadi, kalimat semacam itu dapat

sangat berbahaya bagi kehidupan keislaman-keindonesian di hari ini dan ke depan.

Ada lagi buku PAI untuk SMA/MA kelas X yang dapat dipandang sebagai

melecehkan s ahabat Nabi, Sayyidina ‘Umar bin al -Khattab. Sahabat Nabi yang

merupakan khalifah kedua dari al- Khulafa’ al -Rasyidun memuat gambar [maaf, mirip

celeng] yang disebut sebagai ‘Umar bin al -Khattab. Imajinasi liar yang sangat

Page 108: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 108/136

Resonansi Azyumardi Azra 108

melecehkan. Gambar ini juga ada dalam Latihan Kerja Siswa (LKS).

Tetapi kehebohan terjadi bukan hanya terkait pelajaran agama. Tak kurang

seringnya juga adalah unsur ‘pornografi’ atau penggambaran hal terkait. Jelas hal

seperti itu juga tak pantas termuat dalam buku teks sekolah.

Pada Juli 2013 misalnya, masyarakat dihebohkan dengan adanya unsur ‘pornografi’

dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk kelas VI SD. Dalam buku teks yang

ditulis Ade Khusnul dan M Nur Arifin terdapat sejumlah kalimat asosiatif dengan

pornografi —di luar kepatutan untuk ada dalam buku teks.

Menurut komitesdnpolisi4.blogspot.com (10 Juli 2013 yang juga diturunkan

Republika 10 Juli 2013), terdapat kalimat dan kosakata jorok yang tidak patut dikutip

kembali di sini. Teks itu terkait dengan lelaki sangat bernafsu dengan jakun turun-

naik melihat perempuan molek PSK sehingga memperkosanya sampai hamil dan

akhirnya melahirkan bayi dari [maaf] ‘selangkangannya’.

Bagian tidak patut juga terdapat dalam buku teks bahasa Indonesia untuk kelas

VII/SMP Kurikulum 2013. Pada bagian lampiran buku teks tersebut ada kutipan dari

Cerpen ‘Gerhana’ karya Muhamm ad Ali yang dari segi substansi dan bahasa tidak

pantas disampaikan kepada peserta didik.

Kasus-kasus ini menunjukkan latennya unsur-unsur tidak patut masuk ke dalam

buku teks sekolah. Pertanyaannya, kenapa kejadian seperti ini selalu berulang?

Apakah naskah buku-buku teks itu diperiksa secara cermat oleh pihak-pihak

bertanggungjawab? Apakah penulis buku pernah diteliti rekam jejaknya sebelumdiizinkan menulis buku teks sekolah?

Bahwa kejadian seperti itu selalu berulang mengindikasikan, naskah buku teks

beserta penulisnya tidak pernah diteliti serius, cermat dan hati-hati. Dari waktu ke

waktu Mendiknas atau Mendikbud mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen)

penetapan sejumlah buku teks sekolah dalam berbagai mata pelajaran lengkap

dengan para penulis dan penerbitnya. Tetapi kasus demi kasus yangmenghebohkan memperlihatkan, Mendikbud tinggal tanda tangan setelah ada paraf

Page 109: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 109/136

Resonansi Azyumardi Azra 109

Dirjen dan Dirjen memaraf setelah ada paraf Direktur atau pejabat lain terkait.

Sesuai Permendikbud, pihak yang bertanggungjawab memeriksa naskah buku teks

adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerja sama dengan Pusat

Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud. Mereka berkewajiban

memeriksa kelayakan naskah buku teks untuk diterbitkan baik dari segi isi,

penyajian, bahasa dan kegrafikaan.

Tetapi, sekali lagi melihat kasus demi kasus yang terus menyeruak terlihat BSNP

dan Puskurbuk tidak memeriksa secara cermat dan hati-hati naskah buku teks

sekolah. Kelihatan mereka ceroboh bukan hanya dalam menilai substansi dan

bahasa naskah, tetapi juga tidak mengetahui persis latar belakang keilmuan,

kompetensi keilmuan dan kecenderungan pribadi-pribadi penulis dalam berbahasa

(jorok atau genit) atau dalam pemahaman keagamaan (keras atau radikal).

Buku teks sekolah jelas memiliki posisi strategis dalam pembentukan keilmuan,

pandangan hidup dan perilaku peserta didik pembacanya. Karena itu kecerobohan

dan ketidakseriusan membaca dan menilai naskah buku teks sekolah sehingga

meloloskan substansi dan bahasa tidak patut jelas tidak bisa dibiarkan terus

berlanjut.

Perlu segera pembenahan dalam sistem persetujuan penulisan buku teks dan

penulis serta penerbitnya. Sangat penting pula melibatkan para pemangku

kepentingan lain, khususnya orangtua murid. Dengan begitu, kerugian sangat besar

bagi dunia pendidikan kita dan masyarakat umumnya dapat dihindari.

Page 110: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 110/136

Resonansi Azyumardi Azra 110

Kontroversi Buku Teks (2)

09 April 2015,

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Jika di Indonesia hampir selalu terjadi kecerobohan menyangkut buku teks sekolah

dengan isinya yang tidak pantas dari sudut moral atau agama, bagaimana di negara-

negara lain? Bagaimana kebijakan negara lain menangani buku teks sekolah untuk

memastikan tidak ada isi yang bermasalah bagi peserta didik, orang tua murid, danpublik umumnya?

Satu hal sudah pasti. Jika orang mencoba mem- browsing di internet kebijakan,

panduan ( guidance ), ketentuan atau persyaratan buku teks sekolah Indonesia,

orang pasti menemui banyak kesulitan. Hampir tidak ada panduan yang

tersedia online , yang ada kebanyakannya adalah Permendikbud tentang penetapan

sejumlah buku teks sekolah dalam berbagai mata pelajaran. Tidak ada penjelasan

sedikit pun tentang buku teks yang diloloskan dan ditetapkan sah dipakai murid.

Hal ini berbeda dengan banyak negara lain, sejak dari Amerika Serikat, Jepang,

Kanada sampai Singapura. Negara-negara ini dengan secara terbuka lewat online ,

misalnya, memaparkan berbagai ketentuan, panduan, dan persyaratan bagi buku

teks sekolah.

Sesuai dengan desentralisasi pendidikan di AS, penetapan buku teks di Negara

Bagian Virginia, misalnya, dilakukan Badan Pendidikan. Badan ini memberikan

tanggung jawab pada penerbit untuk menjamin akurasi buku dari segi isi, bahasa,

dan tipografi. Dewan sekolah lokal juga berfungsi sama dengan melibatkan orang

tua murid untuk me- review dummy buku teks yang diusulkan.

Hal hampir sama juga diterapkan di Negara Bagian Ontario, Kanada. Menteri

Pendidikan Ontario menetapkan buku teks sekolah setelah memenuhi berbagai

Page 111: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 111/136

Resonansi Azyumardi Azra 111

persyaratan dan proses rumit. Selain harus sesuai dengan kurikulum, buku teks

yang diusulkan penerbit harus berdasarkan kesarjanaan dan keilmuan yang solid

serta memiliki relevansi kontemporer.

Isinya juga harus bebas dari berbagai bias dan prasangka serta mesti memiliki

orientasi ke Kanada —bukan ke negara lain. Pembahasan harus tidak hanya

menampilkan satu sudut pandang, bebas dari bahasa diskriminatif, eksklusif, dan

penuh muatan ideologis.

Seleksi dan penetapan buku teks sekolah jauh lebih ketat lagi di Jepang. Di Negara

Matahari Terbit ini penetapan buku dilakukan Kementerian Pendidikan setelah

melalui sejumlah proses. Pertama, penerbit membentuk tim akademik dan guru-guru

yang setelah melalui perencanaan matang menulis buku teks.

Kedua, naskah buku dalam bentuk dummy diserahkan kepada Kemendik untuk diuji

Dewan Riset Persetujuan Buku Teks yang memiliki otoritas meminta revisi substansi

yang tidak sesuai. Ketiga, buku yang telah disetujui Dewan dan Kemendik kemudian

diletakkan pada displai sekolah dan komunitas untuk diuji publik lokal —apakah

diterima pihak sekolah atau tidak sebagai keputusan final.

Selain harus sesuai dengan kurikulum, kandungan buku teks sekolah di Jepang

harus selaras dengan perkembangan mental dan psikologis peserta didik. Dalam hal

terkait politik dan agama, pembahasan harus imparsial, tidak ada bagian buku yang

mengkritik parpol atau agama dan aliran/mazhab serta ideologi atau kepercayaan

tertentu. Pada saat yang sama, juga tidak menampilkan pendapat satu sisi saja atau

bias terhadap subjek yang dibahas.

Tanpa berprasangka, penetapan buku teks sekolah di Indonesia tampaknya tidak

pernah seketat yang terjadi di negara-negara tersebut. Karena itu, sejak zaman

Orde Baru sampai sekarang, penetapan buku teks hampir selalu mengandung

kekacauan dan kehebohan.

Pada zaman Orde Baru, penetapan buku teks sekolah terlihat lebih sebagai‘kesepakatan’ di antara para pejabat Kemendikbud dengan pihak penerbit.

Page 112: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 112/136

Resonansi Azyumardi Azra 112

Penerbitan buku teks sekolah lebih merupakan ‘proyek’ kedua belah pihak ini.

Hanya otoritarianisme rezim Orde Baru yang membuat kekisruhan menyangkut buku

teks tidak muncul ke depan publik.

Pada zaman Reformasi pasca-Soeharto sampai sekarang yang penuh euforia

kebebasan, penetapan buku teks sekolah dalam hal tertentu agaknya mengalami

perubahan. Semangat pemberantasan korupsi cukup gencar membuat ‘proyek’ buku

teks agaknya tidak lagi mudah dilakukan —walaupun bukan tidak ada sama sekali.

Meski ada kemauan menyediakan buku teks lebih baik dengan memberikan mandat

kepada BSNP dan Puskurbuk, jelas seleksi ketat dan cermat tidak berjalan.

Akibatnya, tetap ada bagian isi atau substansi buku teks yang tidak patut disajikan

kepada murid, baik dari segi moral, akhlak, maupun agama.

Selain itu, standar keilmuan dan orientasi nilai para penulis tidak pernah

dipersoalkan. Keadaan ini kian mempersulit sekolah dan peserta didik. Telah banyak

penelitian yang, misalnya, mengindikasikan orientasi paham keagamaan

transnasional radikal dalam mata pelajaran PAI. Juga hampir tidak ada penjelasan

tentang keislaman-keindonesiaan; orientasi keindonesiaan yang kontekstual nyaris

absen.

Sudah waktunya memperbaiki buku teks sekolah secara lebih komprehensif.

Memperbaiki keadaan tidak cukup hanya dengan penarikan buku terkait. Ini hanya

menimbulkan kerugian besar pada peserta didik, orang tua murid, masyarakat, dan

penerbit. Tak kurang pentingnya, buku teks yang baik dan berkualitas merupakan

bagian sangat penting dalam upaya memajukan pendidikan.

Page 113: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 113/136

Page 114: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 114/136

Resonansi Azyumardi Azra 114

guru dan dosen dengan hampir 300 ribu sekolah dan perguruan tinggi, Indonesia

berada di tempat keempat terbesar setelah Tiongkok,India, dan Amerika Serikat.

Melihat kenyataan ini, orang bisa berapologi, bahwa tidak mudah mengurus

pendidikan Indonesia.

Apologi semacam itu hanya kontra-produktif. Lebih baik berpikir melakukan langkah

terobosan untuk mengatasi berbagai hambatan yang membuat pendidikan Indonesia

tidak juga maju secara signifikan. Dengan begitu, warga Indonesia dapat lebih

memiliki harapan pada pendidikan Indonesia.

Jelas, pencapaian pendidikan Indonesia masih jauh dari harapan. Sampai sekarang,

pendidikan Indonesia masih berada di rangking terbawah dalam bidang matematika,

sains, dan membaca. Menurut Laporan Learning Curve, Indeks Kemampuan Kognitif

dan Pencapaian Pendidikan (Pearson, 2014), pendidikan Indonesia berada pada

tingkat 40, di bawah Turki (34), Thailand (35), Kolombia (36), Argentina (37), Brazil

(38), dan Meksiko (39). Bandingkan dengan Korea Selatan (1), Jepang (2),

Singapura (3), Hongkong (4), Inggris (6), AS (14).

Melihat kenyataan yang tidak menyenangkan ini, berbagai upaya mesti dilakukan.

Karena itu pemikiran dan pembicaraan tentang masalah pendidikan Indonesia tetap

penting dan perlu dilakukan setiap dan seluruh pemangku kepentingan

(stakeholders ).

Salah satu rangkaian pemikiran penting yang kontributif bagi usaha memajukan

pendidikan Indonesia dituangkan H.A.R. Tilaar dalam buku terakhirnya, Pedagogik

Teoritis untuk Indonesia (Jakarta: Kompas, 2015). Dalam rangka Hari PendidikanNasional dan Dies Natalis ke 51 Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bekerjasama

dengan Komisi Kebudayaan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), karya ini

diluncurkan lewat diskusi publik dengan pembicara Sri-Edi Swasono, guru besar

ekonomi UI; Dja’ali, Rektor UNJ; dan penulis “ Resonansi ” ini.

Pedagogik Teoritis untuk Indonesia membahas sejumlah masalah mendasar dalam

pendidikan Indonesia khususnya, yaitu: pertama, apakah pedagogik teoritis atauilmu pendidikan teoritis itu; kedua, ilmu adalah universal, namun apakah ada ilmu

Page 115: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 115/136

Resonansi Azyumardi Azra 115

pendidikan yang khas Indonesia.

Dengan ‘panduan’ pertanyaan itu, bagi Tilaar, masalah mendasar mengenai

pendidikan mencakup: Hakikat Pedagogik (Ilmu Pendidikan) sebagai Ilmu Praksis;

Pedagogik Teoritis dan Filsafat Indonesia; Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia;

Proses Pendidikan yang Menghamba kepada Kepentingan Perkembangan Peserta

Didik yang Merdeka; Tujuan Pendidikan Nasional; Guru Indonesia sebagai Pamong;

Proses Belajar yang Mengembangkan Kemerdekaan Peserta Didik;

Mengembangkan Kreativitas Manusia Indonesia; dan Arah Pendidikan Nasional

Menyongsong Indonesia Emas 2045.

Kenapa pedagogik? Menurut Tilaar, guru besar emeritus UNJ, pengalaman dia

setelah mendapatkan pendidikan profesional sebagai guru lebih dari 20 tahun

dengan pengalaman kerja lebih dari 60 tahun menimbulkan keresahan. Kenapa?

Karena “ ilmu pendidikan Indonesia sebenarnya belum lahir. Kebanyakan referensi

ilmu pendidikan Indonesia [masih] berasal dari asing khususnya dari Barat”.

Lebih jauh, Tilaar memandang pedagogik teoretis sebagai bentuk filsafat terapan

memiliki sifat spesifik sebagai ilmu praksis. Dengan praksis pendidikan sesorang

dapat dibangkitkan kesadarannya tentang kemerdekaan yang dia miliki, yang

kemudian wajib dia kembangkan untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Page 116: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 116/136

Resonansi Azyumardi Azra 116

Pedagogik untuk Indonesia (2)

21 May 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Pedagogik Indonesia. HAR Tilaar, guru besar emeritus berusia 83 tahun (lahir 1932),

adalah salah satu di antara sedikit pengkaji dan praktisi pendidikan yang masih

sangat aktif dan prolifik menulis. Selain Pedagogik Teoritis untuk Indonesia (2015)

yang merupakan karya mutakhirnya, dia telah menulis 28 buku dan 21 buklettentang pendidikan. Belum lagi makalah dan artikel.

Tilaar adalah salah satu dari sedikit pemikir dan penggerak pedagogik kritis di

Indonesia bersama figur semacam Mansour Faqih dan Mochtar Buchori--yang

keduanya telah almarhum. Pemikiran pendidikan dan pedagogik kritis tokoh-tokoh ini

secara tipikal melihat pendidikan dalam kaitan dengan politik, sosial, budaya, filsafat,

atau agama.

Pendidikan lebih daripada sekadar teknologi pendidikan atau persiapan pengajaran

dan pembelajaran di kelas. Sayangnya, banyak kalangan yang berkecimpung dalam

dunia pendidikan --termasuk LPTK, perguruan/fakultas yang menghasilkan guru-

cenderung terbelenggu masalah teknis administratif yang bukan tidak menyita

waktu. Akibatnya, para guru dan belakangan juga dosen semakin tidak punya

kesempatan meningkatkan penguasaan substansi untuk mereka sampaikan kepada

peserta didik.

Keadaan ini kian parah dalam dasawarsa terakhir ketika dunia pendidikan Indonesia

sejak dari TK sampai perguruan tinggi mengalami proses birokratisasi terus-

menerus. Para guru dan dosen sibuk dalam berbagai usaha mendapatkan sertifikasi

atau mempertahankannya. Mereka menghabiskan waktu berhari-hari mengisi

borang semacam penilaian kinerja guru (PKG) atau beban kerja dosen (BKD)

dengan ketentuan dan poin yang sering tidak logis.

Page 117: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 117/136

Resonansi Azyumardi Azra 117

Jika mereka tidak mampu atau salah mengisi poin tertentu dalam borang semacam

PKG atau BKD, bukan tidak sering mereka mendapat intimidasi dari atasan atau

inspektorat kementerian. Mereka dengan mudah diancam sebagai 'melakukan

perbuatan melawan hukum' atau 'harus mengembalikan tunjangan sertifikasi yang

telah mereka terima'.

Karena itu, Tilaar mencatat, dunia pendidikan Indonesia terlalu dikuasai struktur

kekuasaan. Akibatnya, pemikiran dan ilmu pendidikan serta ilmu pedagogik tidak

dapat berkembang--atau bahkan disebut telah mati. Meminjam kerangka Raymond

Williams, pemikir asal Inggris yang sangat berpengaruh pada paruh kedua abad ke-

20, pedagogik di Indonesia berada dalam kondisi budaya dominan--di bawah

kekuasaan yang membelenggu.

Otonomi, kebebasan, dan kemerdekaan nyaris tidak ada lagi dalam dunia

pendidikan Indonesia. Lembaga pendidikan hanya menjadi sekadar unit pelaksana

teknis (UPT) kementerian yang terkait dengan pendidikan. Mereka menjadi sekadar

melaksanakan kebijakan para birokrat dan administrator pendidikan, yang sering

mengeluarkan ketentuan dan kebijakan salah kaprah, menyesatkan, dan

menjerumuskan pendidikan ke lubuk tanpa dasar.

Singkatnya, dalam pandangan Tilaar, lenyapnya kebebasan dan kemerdekaan

peserta didik karena disebabkan dua hal pokok, pertama, sekali lagi pendidikan

terlalu banyak dicampuri politik praktis. Berbagai kekuatan politik ingin melihat hasil

secara cepat dari sistem pendidikannya karena terkait anggaran.

Kedua, pendidikan terlalu dipengaruhi pandangan ekonomi yang melihat tujuan danhasil pendidikan untuk jangka pendek. Pendidikan dipandang sebagai investasi

untuk memperoleh profit dengan cepat; pendidikan bukan dilihat sebagai investasi

untuk pengembangan kapital budaya dan kapital sosial.

Jika pendidikan Indonesia dapat mencapai kemajuan--tidak hanya transfer ilmu, tapi

juga melahirkan warga Indonesia yang merdeka mengembangkan imajinasi,

kreativitas, dan harkat dirinya--perlu perubahan mendasar dan fundamental.Meminjam kerangka AP Hargreaves & DL Shirley dalam The Global Fourth

Page 118: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 118/136

Resonansi Azyumardi Azra 118

Way (2012), perubahan radikal perlu dilakukan dalam empat hal.

Pertama, pembatasan tugas mengajar bagi guru (dan juga dosen). Mereka

sebaiknya belajar lebih banyak dan lebih mendalam, termasuk dalam proses

pembelajaran. Dengan begitu, guru dan dosen tidak hanya kian berilmu, tapi juga

dapat semakin efektif dalam proses pembelajaran.

Kedua, transformasi organisasi guru (dan juga dosen) untuk dapat lebih efektif

memperjuangkan peningkatan penghargaan pada profesi guru dan dosen. Asosiasi

guru dan dosen juga mesti meningkatkan perannya dalam peningkatan kondisi

ekonomi dan kesejahteraan, sekaligus juga sebagai lokus peningkatan keilmuan dan

profesionalitas para anggotanya.

Ketiga, peningkatan penguasaan teknologi oleh para guru dan dosen dalam rangka

meningkatkan efektivitas pembelajaran. Dengan memanfaatkan dunia maya

melalui e-learning , misalnya, para peserta didik dapat memperkaya pengetahuan

dan sekaligus memecahkan berbagai hal yang mereka hadapi.

Keempat, pemberdayaan peran guru dan dosen sebagai dinamo perubahan. Mereka

tidak hanya merupakan guru dan dosen profesional, tetapi juga intelektual yang

menunjukkan jalan ke arah kemajuan peserta didik dan masyarakat.

Keempat rekomendasi ini tidak mudah diwujudkan, apalagi di tengah birokratisasi

pendidikan yang terus berlangsung. Namun, sesulit apa pun keadaan, mereka yang

cinta pada pendidikan Indonesia tidak boleh pernah menyerah.

Page 119: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 119/136

Resonansi Azyumardi Azra 119

Komunitas Keadaban

28 May 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Kemerosotan keadaban publik ( public civility ) dalam masyarakat Indonesia masa

pasca-Orde Baru merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi bangsa ini. Di

mana-mana orang bisa menyaksikan pelanggaran keadaban publik, mulai dari

pengendara yang tidak peduli dengan ketentuan lalu lintas, membuang sampah di jalan tol, buang air kecil di pinggir jalan, tidak mau tertib antrean sampai kepada

pencurian aset publik yang lebih dikenal sebagai korupsi.

Tindakan-tindakan semacam itu membuat para pelakunya seperti orang uncivilized

--tidak beradab atau tidak memiliki keadaban. Padahal, katanya, orang Indonesia

dari berbagai suku selalu mengklaim sebagai religius, berakhlak mulia, berbudi

pekerti luhur, dan seterusnya.

Memandang fenomena kemerosotan keadaban publik, penulis “Resonansi ” ini

merasa beruntung ketika memahami bahwa keadaban menjadi salah satu tema

pokok yang digagas dan dipraktikkan seorang tokoh pembaharu Islam Indonesia

asal Minangkabau, Abdullah Ahmad (1878-1933). Pembahasan tentang subjek ini

menjadi wacana penting dalam Seminar Nasional Peringatan 100 Tahun Perguruan

Adabiah (1915-2015) --lembaga pendidikan yang didirikan Abdullah Ahmad.

Tokoh ini adalah salah satu dari generasi pembaharu Islam yang dikenal sebagai

‘Kaum Muda’ --lokomotif modernisme dan reformisme Islam di Asia Tenggara yang

berawal dari Sumatera Barat. Mereka mencakup, antara lain, Haji Abdul Karim

Amrullah (1979-1945 atau Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka), Muhammad Tahir

Jalaluddin al-Minangkabawi al-Azhari (1869-1956), dan Muhammad Jamil Jambek

(1862-1947).

Page 120: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 120/136

Resonansi Azyumardi Azra 120

Meski Abdullah Ahmad merupakan tokoh terkemuka karena atribut yang melekat

pada dirinya sendiri ( on his own right ) --tidak mesti harus selalu dalam konteks

Kaum Muda-- tidak atau belum banyak kajian lengkap dan mendalam tentang sosok

ini. Selama ini ia hanya mendapat pembahasan selintas dalam kajian tentang

reformisme atau modernisme Islam Kaum Muda oleh sejarawan seperti Deliar Noer

atau Taufik Abdullah.

Termasuk ke dalam core jaringan ulama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 yang

berpusat di Makkah dalam figur guru utama, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi

(1860-1916), Abdullah Ahmad memilih untuk mengadopsi gagasan dan praksis

modernisme atau reformisme Islam. Memang di antara murid-murid Ahmad Khatib

ada yang menempuh jalan reformisme Islam, seperti Abdullah Ahmad dan Ahmad

Dahlan (1868-1923, pendiri Muhammadiyah 1912). Pada lain pihak ada pula yang

menganut tradisionalisme Islam, seper ti Hasyim Asy’ari (1871 -1947, pendiri NU

1926), dan Sulaiman al-Rasuli (1871-1970, pendiri Persatuan Tarbiyah

Islamiyah/Perti 1928).

Terkait dengan jaringan ulama yang berpusat di Makkah, Abdullah Ahmad memiliki

pengetahuan agama mendalam. Berada di Makkah (1895-1899) dasawarsa terakhir

abad 19, gagasan modernisme atau reformisme Islam yang diperkenalkan

Jamaluddin al-Afghani (1838-1896), Muhammad Abduh (1849-1905), dan

Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), sangat menarik bagi Abdullah Ahmad.

Karena itu, pandangan dunia dan praksis keislaman Abdullah Ahmad jelas tipikal

modernisme-reformisme. Ia berorientasi kuat pada Islam puritan, tidak menerima

kompromi Islam dengan budaya lokal dan sekaligus menolak bid’ah dan taklid.Paham keagamaan ini termasuk ke dalam aliran Salafi. Tetapi berbeda dengan

aliran dan kelompok Salafi tertentu yang agresif dan mudah melakukan kekerasan

demi ‘puritanisme Islam’, Abdullah Ahmad menempuh pendekatan dan cara damai.

Dalam berbagai tulisannya, ia menekankan pentingnya perdamaian dan

persaudaraan antarbangsa dan umat manusia secara keseluruhan.

Dalam konteks itu, Abdullah Ahmad memandang pembangunan keadaban sebagaicara terbaik dan paling strategis. Untuk itu, ia pada 1906 mendirikan ‘Jami’ah

Page 121: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 121/136

Page 122: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 122/136

Resonansi Azyumardi Azra 122

Gelar Akademik dengan Ijazah Palsu

04 Juni 2015,

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Gelar akademik dengan ijazah palsu kembali menjadi berita besar di tanah air.

Sejumlah ‘perguruan tinggi’ di negeri ini dicurigai sebagai pihak yang

bertanggungjawab mengeluarkan ijazah dan gelar akademik palsu ( fake degrees ).

Pihak ini tentu saja membantah. Tapi ada di antara mereka yang segera membuangkartu namanya dengan gelar akademik yang diperoleh secara tidak benar.

Pada akhir 1990an kehebohan yang sama juga terjadi di tanah air. Pada waktu

tersebut ada sejumlah pejabat tinggi, birokrat pemerintahan dan anggota legislatif

yang juga menggunakan gelar akademik yang mereka peroleh secara tidak wajar.

Misalnya saja, seluruh apa yang mereka kerjakan diberi nilai SKS sehingga mereka

tidak perlu kuliah beberapa semester seperti lazimnya. Kemudian mereka diwisuda

di Singapura atau Taiwan misalnya.

Dari pihak pemberi gelar akademik dengan ijazah palsu, motif pokoknya tidak lain

hanya bisnis dan keuntungan. ‘Usaha’ ini t ermasuk lukratif —mendatangkan banyak

uang karena mereka yang tergoda mendapatkan gelar akademik dan ijazah palsu

mau membayar biaya yang boleh jadi mencapai ratusan juta rupiah. Tawaran ini ‘ too

good to be true’ , ‘terlalu bagus untuk benar’; tapi tetap saj a ada orang-orang yang

‘termakan’, bahkan dengan biaya besar.

Tidak ada data berapa jumlah dana yang berhasil dikeruk pihak pemberi gelar dan

ijazah palsu di Indonesia atau negara-negara lain. Yang jelas pasti melibatkan dana

dalam jumlah besar —ratusan juta dolar setiap tahun.

Sebagai perbandingan, Harian The New York Times 17 Mei 2015 dan juga BBC 28

Mei 2015 melaporkan terbongkarnya sindikat pemberi gelar palsu di Pakistan. Gelar

Page 123: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 123/136

Resonansi Azyumardi Azra 123

akademik dan ijazah palsu itu diberikan perusahaan Axact dalam berbagai bidang

dengan bayaran antara USD 2,000 sampai USD 30 ribu. Bahkan ada kelompok

orang yang memperoleh gelar akademik dengan ijazah palsu secara patungan

mengumpulkan dana 600 ribu dolar.

Sulit diperkirakan jumlah mereka yang telah menjadi korban Axact yang didirikan

pada 1997 oleh seorang bernama Sheikh Shoaib. Kini ia memperkerjakan sekitar 25

ribu pegawai yang bekerja di 120 negara yang gentayangan menawarkan berbagai

gelar akademik palsu —termasuk melalui sekitar 370 situs di dunia maya. Jadi,

penjualan gelar akademik dan ijazah palsu ini bukan usaha bisnis main-main.

Koran The New York Times 14 Mei 2015 menyebutnya sebagai ‘kerajaan pendidikan

yang besar’ ( vast education empire ).

Nama ‘universitas’ yang lazim digunakan aneh dan tidak biasa semacam ‘Grant

Town University’, ‘Nixon University’, ‘Barkley University’— yang terakhir ini juga

beroperasi di Indonesia. Lazimnya mereka menggunakan nama yang mirip nama

universitas resmi, terkenal dan terakreditasi.

Tetapi bisa dipastikan, ‘universitas’ semacam ini ti dak ada dalam daftar nama

universitas yang diakui dan terakreditasi di Amerika Serikat atau negara lain di mana

mereka beroperasi.Tetapi sebagian lagi, pemberi gelar dan ijazah palsu itu terdaftar;

cuma mereka senang memberi ijazah dan ijazah tanpa memenuhi persyaratan.

Singkatnya, mereka ini ‘mengobral’ gelar dan ijazah.

Terlepas dari perbedaan kategorisasi semacam di atas, yang jelas mereka

memberikan gelar akademik dan ijazah dengan tidak memenuhi standar danparameter akademik yang lazim. Karena itu, di AS mereka lazim disebut sebagai

‘diploma mills’ alias ‘pabrik ijazah’.

Kenapa ‘pabrik ijazah’ merajalela di seluruh dunia? Pertama karena tidak ada hukum

yang tegas-tegas melarangnya, seperti di AS. Karena itu, mereka menggunakan

‘celah hukum’ untuk ter us mempertahankan bisnis gelar dan ijazah palsu tersebut ke

seluruh dunia.

Page 124: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 124/136

Resonansi Azyumardi Azra 124

Jika pun ada hukumnya —seperti ada di Indonesia —hampir tidak ada kontrol dan

pengawasan keras dan konsisten dari penanggungjawab pendidikan tinggi. Pihak ini

baru bertindak setelah ada kehebohan. Setelah itu kembali diam seolah tidak pernah

terjadi apa-apa. Lalu perbuatan nista ini kembali lagi berulang.

Penyebab kedua adalah gengsi terhadap kredensial akademik. Ada orang-orang

yang bekerja di lembaga pemerintah (atau pejabat publik) dan swasta yang

sebenarnya tidak memerlukan gelar akademik dalam pekerjaan masing-masing

justru memiliki pretensi untuk berbobot akademik. Dengan gelar (palsu) mungkin

mereka merasa lebih berwibawa dan, karena itu, bakal lebih dihormati publik.

Di pojok dunia mana pun, termasuk di AS, Indonesia dan banyak negara lain ada

orang-orang gila gelar seperti itu. Pada 2004, Laura Callahan, pejabat Kementerian

Keamanan Dalam Negeri AS, mengundurkan diri setelah dia diketahui menerima

gelar ‘PhD’ dari Hamilton University yang tidak terakreditasi. ‘Hamilton University’ ini

berbeda dengan Hamilton College yang terakreditasi sepenuhnya di Clinton, New

York.

Apakah ada pejabat publik Indonesia yang juga menggunakan gelar dan ijazah

palsu yang mau mengundurkan diri? Nampaknya bakalan tidak ada karena

gejalanya seolah tak ada lagi rasa malu melakukan perbuatan tercela itu.

Karena itu sudah waktunya pretensi akademik mereka yang tidak mengajar di

kampus dihilangkan. Pada saat yang sama rasa malu kembali diperkuat dan

dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa rasa malu dan rasa

bersalah —seperti dalam kasus gelar akademik dengan ijazah palsu —bakal tetapmerajalela.

Page 125: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 125/136

Resonansi Azyumardi Azra 125

Indonesia Setelah 70 Tahun

03 September 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Memasuki dasawarsa kedelapan setelah 70 tahun kemerdekaan Indonesia pada

2015, negeri ini tidak hanya mampu bertahan di tengah berbagai tantangan dan

kesulitan, tetapi juga mencapai banyak kemajuan signifikan dalam berbagai

lapangan kehidupan.

Tetapi kecemasan dan kerisauan masih melanda banyak kalangan masyarakat —

termasuk kalangan ahli dan spesialis —ketika Indonesia mulai melangkah memasuki

dasawarsa kedelapan kemerdekaan. Hal ini terlihat misalnya dalam Seminar

Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) XXVI dalam rangka Kongres IX pada

pekan lalu (27/8/2015).

Dalam ‘introspeksi’ dan ‘retrospeksi’ AIPI, segenap warga bangsa patut bersyukur

karena Indonesia tidak tercabik-cabik konflik komunal yang pernah melanda daerah

tertentu dari waktu ke waktu. Selain itu, AIPI juga mengapresiasi prestasi Indonesia

berdemokrasi selama lebih dari 15 tahun era Reformasi setelah sebelumnya

mengalami periode sistem otoriter yang panjang di bawah rejim Orde Lama dengan

Demokrasi Terpimpin (1959-65) dan rejim Orde Baru dengan Demokrasi Pancasila

(1966-98).

Di balik prestasi itu, AIPI juga mencatat tidak sedikit daftar kegagalan dan potret

buram negara- bangsa Indonesia dalam rentang usia 70 tahun itu. “Di antara

kegagalan itu dapat disebut misalnya kegagalan negara menegakkan pemerintahan

bersih dengan memberantas atau sedikitnya mengurangi korupsi secara signifikan;

kegagalan mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial; kegagalan mencerdaskan

kehidupan bangsa; dan kegagalan negara melindungi segenap bangsa dan tumpah

darah Indones ia, termasuk hak hidup bagi minoritas agama dan kepercayaan”.

Page 126: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 126/136

Resonansi Azyumardi Azra 126

Karena itu, AIPI merasa perlu mengajukan pertanyaan; ‘Apa yang salah? Mengapa

salah urus negara dan pemerintahan masih berlanjut terus dan hampir selalu

berulang meskipun Indonesia sudah 70 tahun merdeka? Tantangan apa saja yang

menghadang Indonesia menyongsong masa depannya? Apakah NKRI bisa

bertahan untuk 100 tahun berikutnya? ’

Pembicaraan dalam Sesi Panel Tokoh yang mencakup Menkumham Luhut B.

Panjaitan; ekonom dan pakar lingkungan hidup Emil Salim; Ketua Umum AIPI dan

Gubernur Sulawesi Utara SH Saru ndajang; dan penulis “Resonansi” ini tak bisa lain

kecuali terfokus pada masa depan Indonesia berdasarkan tantangan dan masalah

hari ini dan ke depan.

Secara umum, keempat panelis menyatakan optimis dengan masa depan

Indonesia —meski disertai sejumlah catatan kritis dan reflektif. Luhut merasa optimis

dengan masa depan Indonesia yang dengan demokrasi bisa membawa negeri ini ke

arah lebih baik. Tetapi ia wanti-wanti mengenai Indonesia yang penuh keragaman,

yang menghendaki pemimpin yang mampu berdiri di atas semua golongan.

“Indonesia membutuhkan pemimpin yang dapat menjadi teladan. Indonesia tidak

memerlukan pemimpin tanpa hati yang membuat rusak, pemimpin yang hanya

mementingkan dirinya, golonganny a dan kantongnya”.

Bagi Emil Salim, kerusakan masa depan Indonesia dapat disebabkan bangsa

Indonesia sendiri, khususnya kalangan politisi yang tidak memiliki logika dan

sensitivitas. Ia mengakui pentingnya para politisi dan parpol sebagai pilar demokrasi.

“Sayangnya politikus justru membuat demokrasi bukan menjadi jalan untuk

menciptakan keadilan sosial. Di tengah krisis ekonomi sekarang, ketika nilai dolarmenuju lima belas ribu rupiah, DPR malah mau membangun tujuh proyek prestisius.

Ke mana pikiran mere ka?”, tegas Emil Salim.

Berbicara setelah kedua panelis tadi, penulis “Resonansi ” ini mengingatkan tentang

pentingnya memelihara optimisme bangsa dalam menyongsong masa depan.

Indonesia sepanjang 70 tahun kemerdekaan membuktikan kemampuan tidak hanya

bertahan, tetapi juga mencapai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Jikakita lebih banyak pesimis, masa depan negara bangsa ini juga menjadi gelap gulita.

Page 127: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 127/136

Resonansi Azyumardi Azra 127

“Dalam perjalanan selama tujuh puluh tahun, Indonesia tetap menjadi negara -

bangsa yang utuh di tengah berbagai ancaman dan potensi disintegrasi. Perjalanan

sejarah selama tujuh puluh tahun mengajarkan bahwa di tengah segala skeptisisme,

ketidakpercayaan dan ketidakmungkinan, Indonesia yang sangat plural tetap utuh

dan bisa berdiri sampai sekarang”.

Banyak kalangan pengamat asing sejak masa pergerakan nasional, pasca-

kemerdekaan sampai sekarang ini masih bersikap skeptis terhadap masa depan

Indonesia. Bagi mereka, Indonesia adalah negara-bangsa yang tidak mungkin

(improbable nation ) yang merupakan ‘keajaiban’ ( miracle ) karena keragaman dan

kebhinnekaan dalam berbagai aspek kehidupan.

Meski merupakan ‘mukjizat’, menghadapi tantangan hari ini dan masa depan lebih

jauh —seperti 100 tahun kemerdekaan pada 2045 —pemerintah memiliki peran

tanggung jawab khusus menciptakan kondisi lebih kondusif bagi pemeliharaan dan

penguatan keindonesiaan.

Untuk itu, pemerintah semestinya mempercepat usaha mengatasi berbagai kesulitan

ekonomi yang kini kian meningkat. Jika keadaan ekonomi terus memburuk, kesulitan

hidup kian meningkat, dan jurang pendapatan kian lebar, maka potensi keresahan

sosial bakal juga meningkat. Pada tahap ini, jika tidak terkendali, potensi dan

ancaman disintegrasi dapat mewujudkan dirinya. Na’udzu billah min Dzalik.

Page 128: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 128/136

Resonansi Azyumardi Azra 128

Ujaran Kebencian dan Kebebasan

05 November 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Pro-kontra mencuat di kalangan masyarakat terkait Surat Edaran (SE) Kapolri No.

SE/06/X/2015 tentang penanganan ‘ujaran kebencian’ ( hate speech ) di ranah publik. Ada tujuh bentuk ujaran kebencian disebut dalam SE: penghinaan, pencemaran

nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut,

dan menyebarkan berita bohong. Semua tindakan ini memiliki tujuan atau

berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau

konflik sosial.

Dalam SE dinyatakan, ujaran kebencian bertujuan menghasut dan menyulut

kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat/komunitas berbeda

dalam aspek: suku, agama, ajaran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras,

antar-golongan, warna kulit, etnis, gender, difabel, dan orientasi seksual.

Ujaran kebencian bisa tersampaikan melalui berbagai media, antara lain: orasi

kegiatan kampanye [politik], spanduk atau banner, jejaring media sosial,

penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media

massa cetak maupun elektronik, dan pamflet.

Menurut SE yang ditandatangani Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober

2015, persoalan ujaran kebencian kian mendapat perhatian masyarakat nasional

dan internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan HAM.

Karena itu “dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan

ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan, akan berpotensi menimbulkan tindakan

Page 129: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 129/136

Resonansi Azyumardi Azra 129

diskriminasi, kekerasan atau penghilangan nyawa”.

Menghadapi ujaran kebencian, Polri menetapkan prosedur penanganan. Jika

tindakan preventif sudah dilakukan namun masalah tetap belum terselesaikan,

penyelesaian dilakukan melalui penegakan hukum sesuai KUHP, UU No. 1/2008

tentang ITE, UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU

No. 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri No. 8/2013

tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

Penulis “Resonansi ” ini menyambut baik SE Kapolri tersebut. Meski penerbitan SE

itu boleh dibilang terlambat; beberapa tahun lalu dalam s eminar tentang ‘Hate

Speech’ di Mabes Polri Jakarta untuk menyambut Hari Bhayangkara, penulis

menyarankan perlunya UU tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Tetapi,

nampaknya berbagai pihak terkait kurang peduli terhadap masalah ini sampai

kemudian Polri mengambil inisiatif dengan menerbitkan SE Kapolri tersebut.

Sejak masa pasca-Soeharto khususnya —masa euforia kebebasan, ujaran

kebencian terlihat merajalela dan mewabah di tanah air. Wabah itu paling jelas

terlihat di dunia maya dan media sosial. Orang dengan mudah menemukan berbagai

bentuk ujaran kebencian khususnya terkait SARA.

Ujaran kebencian juga sering terdengar dari mimbar agama, baik khutbah maupun

pengajian. Tidak jarang khatib atau penceramah menyampaikan ujaran kebencian

dengan menista kelompok lain baik intra maupun antar-agama, menuduh orang,

kelompok atau aliran lain sebagai thaghut dan sesat.

Mereka yang memberikan ujaran kebencian dalam ceramah dan khutbahnya telah

menyalahgunakan kebebasan berceramah agama di Indonesia. Negeri ini adalah

‘surga’ karena untuk berceramah tidak diperlukan izin; padahal di hampir seluru h

negara berpenduduk mayoritas muslim lain orang tidak boleh memberi ceramah dan

khutbah kecuali punya surat izin atau sertifikat dari lembaga resmi.

Hampir semua negara di dunia —termasuk yang paling bebas seperti AmerikaSerikat dan negara-negara Eropa Barat —memiliki UU atau peraturan lain tentang

Page 130: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 130/136

Resonansi Azyumardi Azra 130

penanganan ujaran kebencian. Uni Eropa misalnya menerbitkan manual tentang

ujaran kebencian; Anne Weber, Manual of Hate Speech (2011). Manual ini bertujuan

memberikan panduan kepada para pejabat pemerintah, ahli, aktivis LSM dan

masyarakat tentang kasus ujaran kebencian dalam kaitannya dengan kebebasan

berekspresi.

Dalam “Resonansi ” pekan lalu (29/10) penulis menjelaskan, kebebasan berekspresi

dan kebebasan beragama ( hurriyat al-ta`bir atau hurriyat al- ra’y ) termasuk yang

dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Kebebasan

berekspresi merupakan prasyarat kebebasan beragama. Tetapi masalahnya apakah

kebebasan berekspresi harus berarti kebebasan liar tidak bertanggungjawab yang

justru digunakan untuk penyiaran ujaran kebencian? Karena itu masalahnya adalah

bagaimana kebebasan berekspresi dapat dapat diwujudkan secara bertanggung

jawab.

Kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama bukan tanpa batas. Dalam

kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama terdapat hak orang lain untuk

tidak dinista dengan berbagai bentuk ujaran kebencian.

Banyak ayat Alquran juga melarang penyebaran kebencian. Islam memberi hak

kepada individu untuk menyatakan segala sesuatu asalkan ujaran itu tidak berupa

penistaan ( blasphemy ), fitnah, penghinaan atau pernyataan yang menimbulkan

kerusakan, permusuhan dan penghilangan nyawa. Islam mendorong kebebasan

berekspresi lewat pernyataan arif dan bijak, nasihat dan tausiyah yang baik dengan

kesabaran, bukan kemarahan.

Kebebasan berekspresi dalam kebebasan beragama mesti dijaga bersamaan

dengan penguatan rasa tanggung jawab. Karena itu, penggunaan kebebasan

berekspresi untuk menista penganut agama lain justru merupakan tindak

pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama.

Page 131: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 131/136

Resonansi Azyumardi Azra 131

Quo Vadis Guru Besar? (1)

03 Desember 2015

REPUBLIKA.CO.ID

Azyumardi Azra

Quo vadis guru besar atau mau ke mana para profesor Indonesia? Inilah pertanyaan

yang menjadi subjek yang diminta kepada penulis “Resonansi” ini untuk

disampaikan pada Konferensi Guru Besar Perguruan Tinggi Keagamaan Islam

(PTKI).

Konferensi tiga hari (29/11-1/12/2015) yang digelar Direktorat Pendidikan Tinggi

Islam (Diktis) Kementerian Agama menghadirkan sekitar 400 guru besar dari seluruh

Tanah Air; agaknya ini merupakan pertemuan terbesar profesor di Indonesia.

Konferensi guru besar PTKI (baik PTN maupun PTS) bukan hanya mempertanyakanmau ke mana para profesor (dan calon profesor). Pembicaraan juga menyangkut

tentang membincang ulang peran akademik guru besar; pengarusutamaan integrasi

keilmuan sebagai distingsi PTKI; merumuskan kembali konsorsium keilmuan PTKI;

kategorisasi rumpun ilmu dan Prodi Kajian Islam di PTKI; dan internasionalisasi dan

jaringan karya akademik guru besar-dosen PTKI.

Bagi penulis “Resonansi” ini, pertanyaan tentan g quo vadis tadi mengisyaratkanketidakmenentuan keadaan para guru besar Indonesia dan juga para dosen yang

secara gelar akademik dan kepangkatan sudah qualified , tetapi pesimistis bisa

menjadi guru besar. Dalam pertanyaan dan pesimisme itu tersirat pula sejumlah

masalah rumit yang mereka hadapi. Berhadapan dengan berbagai masalah

tersebut, tersirat pula belum ada titik terang penyelesaiannya.

Masalah guru besar tidak berdiri sendiri. Ia sangat terkait dengan berbagai masalah

pendidikan tinggi Indonesia secara keseluruhan; dan juga dengan kebijakan

Page 132: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 132/136

Resonansi Azyumardi Azra 132

pendidikan dan politik pendidikan negeri ini. Karena itu, pertanyaan tentang quo

vadis guru besar tidak bisa diselesaikan hanya di lingkungan guru besar itu sendiri,

tetapi juga mengharuskan penyelesaian benang kusut di dunia pendidikan tinggi dan

politik pendidikan Indonesia secara keseluruhan.

Pada satu segi, jelas jumlah guru besar Indonesia masih jauh daripada memadai.

Menurut Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi

Kemenristekdikti Ali Ghufron, jumlah guru besar di Indonesia baru mencapai 5.097

orang untuk sekitar 3.151 PTN dan PTS sampai akhir 2014. Jumlah ini, menurut

Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Sofian Effendi, mengakibatkan rasio

perbandingan guru besar dengan mahasiswa adalah 1:1.000 ( Kompas, 29/9/2015).

Selain rasio yang sangat timpang itu, penyebarannya juga sangat tidak merata.

Kebanyakan guru besar berada di PTN (PTUN+PTKIN) yang mapan. Bahkan,

sebagian besar PTN dan PTS tidak memiliki guru besar atau hanya ada satu atau

dua orang.

Idealnya, jumlah guru besar sebanding dengan prodi yang sampai akhir Oktober

2015 berjumlah sekitar 23.074 per bidang ilmu yang ada di sekitar 4.327 PTN dan

PTS. Setiap prodi idealnya dipimpin seorang guru besar karena prodi merupakan

tulang punggung PT.

Sedikitnya jumlah guru besar terkait banyak dengan berbagai ketentuan dan

persyaratan relatif sangat rigid untuk kenaikan pangkat akademis ke lektor kepala

dan--apalagi--ke guru besar. Berbagai ketentuan tersebut diharapkan dapat

meningkatkan kualitas guru besar. Para dosen maklum dan mendukung belakakeinginan pemerintah--dalam hal ini kementerian terkait--untuk meningkatkan

kualitas dosen dan sekaligus PT.

Tetapi, berbagai ketentuan itu sering tidak masuk akal--menjadi stumbling block bagi

mereka yang ingin menjadi guru besar. Akibatnya adalah hampir terhentinya

mobilitas dosen lektor kepala menjadi guru besar. Sementara, guru besar yang ada

kian banyak pensiun. Konsekuensinya, jumlah guru besar yang perlu untukpeningkatan nilai akreditasi dan ranking PT justru kian menyusut.

Page 133: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 133/136

Resonansi Azyumardi Azra 133

Sekali lagi, dalam waktu sekitar 10 tahun terakhir, persyaratan untuk menjadi guru

besar semakin sulit. Berbagai persyaratan menyangkut linearitas keilmuan,

penelitian, dan penulisan artikel ilmiah dalam jurnal terakreditasi, baik pada tingkat

nasional maupun internasional, tidak mudah dipenuhi dosen yang secara

kepangkatan fungsional sudah qualified untuk mengajukan professorship .

Persyaratan yang kian ketat tidak lagi memungkinkan bagi mereka yang telah

mencapai kum karena kerajinan dan ketekunan mengajar dan melakukan

pengabdian masyarakat untuk mengajukan diri menjadi guru besar. Mereka juga

tidak bisa sekadar melakukan penelitian seadanya. Mereka harus menghasilkan

buku sesuai standar tertentu atau artikel ilmiah dipublikasikan di jurnal ilmiah

terakreditasi--tidak cukup di tingkat nasional, tetapi juga pada level internasional.

Sebagian kalangan berargumen, persyaratan untuk menjadi guru besar di Indonesia

masih “jauh lebih ringan” dibandingkan negara -negara lain, seperti Malaysia dan

Singapura--untuk tidak menyebut Belanda, Jerman, Inggris, atau Amerika Serikat

dan Kanada. Di negara-negara Eropa lazimnya seorang PhD bisa menjadi profesor

hanya ketika terangkat menjadi chair pada departemen atau lembaga tertentu.

Sedangkan di AS, professorship dicapai melalui tenure track dengan persyaratan

sangat ketat.

Namun, tidak fair membandingkan persyaratan menjadi guru besar di Indonesia

dengan negara-negara tersebut karena realitas dan kondisinya sangat berbeda dari

sudut kebebasan akademi, gaji dan insentif, fasilitas, dan sebagainya. Apalagi, guru

besar dan dosen Indonesia juga dituntut memainkan peran sosial di luar lingkungan

kampus.

Page 134: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 134/136

Resonansi Azyumardi Azra 134

Quo Vadis Guru Besar? (2)

10 Desember 2015

Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID

Jauh tidak memadainya jumlah guru besar di Indonesia bersumber dari banyak

masalah yang membuat mereka sulit mencapat derajat profesor. Jumlah guru besar

relatif tidak banyak bertambah dalam sepuluh tahun terakhir. Jumlah guru besar

yang pensiun atau mangkat tidak tergantikan jumlah mereka yang berhasil

mendapat jabatan akademik guru besar dalam beberapa tahun terakhir.

Karena itu, para guru besar perlu dipertanyakan, baik dari segi kuantitas maupun

kualitas. Quo vadis guru besar atau mau ke mana para profesor Indonesia? Penulis

“Resonansi ” ini mendapat tugas dari Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis)

untuk menjawab pertanyaan yang rumit jawabannya dalam Konferensi Guru BesarPTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) tiga hari (29/11-1/12/2015) yang

menghadirkan sekitar 400-an guru besar dari seluruh Tanah Air.

Berbicara tentang kesulitan mencapai jabatan akademik fungsional professorship

terkait banyak dengan kian ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal

lingkungan akademik dan sosial di mana para dosen calon guru besar tidak kondusif

dari banyak segi.

Lihatlah misalnya para guru besar dan dosen lain harus berhadapan dengan

birokratisasi PT yang kian membunuh imajinasi dan kreativitas. Mereka diperlakukan

tidak ubahnya seperti buruh pabrik. Semua dosen diwajibkan hadir di kampus setiap

hari dengan absensi sidik jari ( fingerprint ) di waktu mulai jam kerja dan di akhir jam

kerja. Padahal kewajiban mengajar mereka bisa dilaksanakan sepenuhnya dalam

dua hari.

Page 135: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 135/136

Resonansi Azyumardi Azra 135

Berhadapan dengan ‘ancaman’ dicabut tunjangannya, para dosen tidak punya

pilihan kecuali ‘mematuhi’ kebijakan birokratisasi dosen dan PT secara keseluruhan.

Mereka tak ubahnya seperti karyawan administrasi yang memang harus melayani

berbagai urusan mahasiswa setiap hari.

Birokratisasi melalui finger print boleh jadi bisa dilakukan jika para dosen tinggal di

lingkungan dekat kampus. Tetapi jika banyak di antara mereka tinggal di tempat jauh

dari kampus —seperti di Bekasi atau di Bogor dalam kasus UIN Jakarta —sehingga

harus berhadapan dengan kemacetan luar biasa berjam-jam, jelas kebijakan

tersebut sangat menyiksa. Keadaan ini agaknya juga berlaku bagi para dosen di

kota-kota lain.

Selain itu, para dosen umumnya tidak punya kantor atau ruang privasi di mana

mereka bisa bekerja atau mangkal di kampus. Jadi,di mana mereka harus

menunggu sampai finger print di akhir jam kerja? Haruskah mereka luntang lantung;

atau kembali ke rumah dan bertarung lagi menghadapi kemacetan?

Birokratisasi paling akhir adalah kewajiban registrasi ulang PNS termasuk

dosen/guru besar ( e-PUPNS ). Menurut estimasi, mempertimbangkan tenggat waktu

15 September 2015, sekitar 120 ribu dosen terancam bakal kehilangan status PNS

karena ’malas’ atau ‘enggan’ melakukan her -registrasi PNS. Bayangkan kerepotan

dosen/GB yang harus menyiapkan ijazah sejak dari SD sampai S2, S3, segala

macam SK (CPNS dan PNS), surat izin belajar, Buku Nikah sampai Berita Acara

Sumpah PNS, dan banyak lagi.

Selain itu, para dosen PNS sebagai aparatur sipil negara juga wajib melaporkanharta kekayaan sesuai Surat Edaran MenPAN-RB No. 1/2015. Kini bukan hanya

dosen yang mendapat tugas tambahan sebagai pimpinan akademik dan manajerial

di lingkungan PT yang harus melaporkan harta kekayaan, tetapi juga mereka yang

sejak pengangkatan menjadi PNS hanya dosen biasa —tidak pernah menjadi pejabat

dan/atau PPK (pejabat pembuat komitmen) yang tidak pernah mendapat tunjangan

jabatan, remunerasi, dan honorarium ini dan itu.

Birokratisasi di atas merupakan rentetan dari sejumlah birokratisasi lain. Misalnya

Page 136: Resonansi Azyumardi Azra 2015

8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015

http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 136/136

lagi, para dosen —termasuk guru besar harus mempersiapkan [laporan] Beban Kerja

Dosen (BKD) yang memerlukan waktu cukup lama untuk mengisi borang dan

mempersiapkan bukti penunjangnya.

Berbagai kebijakan birokratisasi tersebut tidak selalu bersumber dari keinginan

meningkatkan kualitas guru besar/dosen. Beberapa tahun lalu pernah ada

pernyataan dari pejabat Dikti-Dikbud, banyak dosen yang baru memperoleh gelar

DR atau PhD buru-buru ingin jadi profesor karena tunjangan guru besar yang telah

cukup besar. Jadi, motifnya dicurigai hanya untuk mengejar duit.

Dalam waktu lebih akhir, terlihat juga kecurigaan pejabat tinggi di lingkungan

Kemenristek-Dikti dan KemenPAN-RB terkait PUPNS bahwa para dosen harus

menyerahkan kembali seluruh ijazahnya sejak dari SD sampai PT karena dicurigai

ada yang menggunakan ijazah palsu.

Begitu juga dengan laporan harta kekayaan yang juga terlihat muncul dari persepsi

ala model KPK yang diadopsi Inspektorat Jenderal Kementerian, bahwa setiap

orang, khususnya PNS, harus dicurigai potensial korupsi. Jelas ada PNS —di PT

baik dosen atau tenaga administratif —yang korupsi, tetapi mencurigai setiap dan

seluruh orang melakukan korupsi jelas bukan sikap yang benar dan baik dalam