Upload
ekho109
View
238
Download
0
Embed Size (px)
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 1/136
RESON NSI
AZYUMARDI AZRA
2015
Sumber:
Harian Republika dan www.republika.co.id
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 2/136
Resonansi Azyumardi Azra 2
DAFTAR ISI
DUNIA ISLAM
Satu Pagi di Depan Ka’bah 5Asia-Arabia 8Ketika Sakralitas Diganti Teror 11KL Sentral 14
Proxy War (1) 17 Proxy War (2) 20Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim 23Makkah al-Mukarramah (1) 26Makkah al-Mukarramah (2) 29
Makkah al-Mukarramah (3) 32Kebebasan Berekspresi dan Respek pada Agama 35Milan 38Kerukunan, Kekerasan, dan Terorisme 41
KAJIAN KEISLAMAN DAN KEAGAMAAN
PISAI, Islam, dan Paus Francis (1) 45PISAI, Islam, dan Paus Francis (2) 48Islam, Biblioteca Ambrosiana, dan Co.Re.Is 51
Transnasionalisasi Islam Indonesia (1) 54Transnasionalisasi Islam Indonesia (2) 57Islam Nusantara (1) 60Islam Nusantara (2) 63Ramadhan, Lebaran, dan Ekonomi Indonesia 66Konvergensi Mazhab 69Pasca-Dua Muktamar 72Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (1) 75Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (2) 78Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (3) 81Agama: Tradisi, Memori, dan Modernitas (1) 84
Agama: Tradisi, Memori, dan Modernitas (2) 88Moderasi Islam 91
PENDIDIKAN DAN SOSIAL-BUDAYA
Dua Pesantren, Dua Budaya (1) 95Dua Pesantren, Dua Budaya (2) 98Dua Pesantren, Dua Budaya (3) 101Suatu Pagi di Tukang Pijat 104Kontroversi Buku Teks (1) 107Kontroversi Buku Teks (2) 110Pedagogik untuk Indonesia (1) 113
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 3/136
Resonansi Azyumardi Azra 3
Pedagogik untuk Indonesia (2) 116Komunitas Keadaban 119Gelar Akademik dengan Ijazah Palsu 122Indonesia Setelah 70 Tahun 125Ujaran Kebencian dan Kebebasan 128
Quo Vadis Guru Besar? (1) 131Quo Vadis Guru Besar? (2) 134
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 4/136
Resonansi Azyumardi Azra 4
DUNIA ISLAM
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 5/136
Resonansi Azyumardi Azra 5
Satu Pagi di Depan Ka'bah
15 January 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Setiap kali kembali ke Masjid al-Haram dan lingkungannya selang hanya beberapa
tahun, ketika itu pula jamaah haji atau umrah bisa menyaksikan dan sekaligus
merasakan banyak perubahan. Renovasi atau pembangunan kembali Masjid al-
Haram seolah tidak pernah berhenti bertahun-tahun sepanjang ingatan.
Penulis “Resonansi ” ini juga merasakan hal yang sama ketika satu pagi Jumat,
Sayyid al- Ayyam (2 Januari 2015) melakukan ibadah umrah. Jama’a h pagi itu tidak
terlalu ramai di jalanan dan pelataran luar masjid. Teta pi seperti biasanya, jama’ah
yang sedang tawaf tetap berjubel. Begitu juga jama’ah yang mengerjakan sa’i —
memadati koridor antara Shafa dan Marwa.
Semua ritual ibadah umrah berlangsung di tengah konstruksi besar-besaran. Begitu
jamaah memasuki Masjid dari arah Pintu Raja Fahd atau pintu mana saja, terlihat
dua tingkatan jalan layang beton, semacam flyover untuk bertawaf, tidak jauh di atas
lingkaran luar Ka’bah. Kelihatan sangat mengganggu keindahan dan kesyahduan
bertawaf. Belakangan saya mendapat informasi, ‘jalan layang’ di atas Ka’bah itu
hanya sementara, yang bakal dibongkar ketika pembangunan selesai —sesuai
rencana —pada 2020.
Soal fly over itu hanya bagian kecil dari perubahan jauh lebih besar baik terkait
Masjid al-Haram maupun lingkungan di luar masjid. Dapat dikatakan, Masjid al-
Haram mengalami pembangunan kembali agar lebih besar dan konon lebih indah
(make over ). Penulis “Resonansi ” ini hampir tidak lagi mengenali lanskap masjid
seperti 2009 ketika menjalankan umrah Ramadhan.
Lebih jauh, di mana-mana terdapat dinding tinggi menutupi bagian masjid yang
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 6/136
Resonansi Azyumardi Azra 6
sedang dikerjakan. Tak kurang, suara bising datang dari pekerjaan konstruksi yang
tengah dikerjakan juga muncul dari mana-mana.
Di bagian luar masjid, secara mencolok terdapat sejumlah gedung baru yang
menyatu menjadi semacam konglomerasi bangunan di tempat yang dulu adalah
benteng ‘Ajyad’, kini diberi nama ‘Abraj al -Bayt’. Konglomerasi gedung jangkung ini
terdiri dari mall sampai tingkat 5; seterusnya hotel mewah semacam Fairmont Hotel
and Resort berbintang lima; apartemen (tepatnya kondominium) dan istana —terlihat
sangat glamour .
Di puncak konglomerasi gedung ini bertengger Menara Jam Makkah (Mecca Clock
Tower), yang sering disebut bahkan oleh banyak warga Hijaz sebagai ‘Mecca Big
Ben’, seperti ‘London Big Ben’ yang jauh lebih tua (selesai 1858). Asosiasi ini sulit
terelakkan. Menara Jam Makkah setinggi 601 meter merupakan tower tertinggi
kedua di dunia pada 2012, mengalahkan ketinggian Gedung 101 Taipei. Kini Menara
Jam Makkah menduduki tempat ketiga tertinggi di dunia setelah Burj al-Arab Dubai
dan Shanghai Tower. Sebagai menara jam, Menara Jam Makkah adalah yang
tertinggi di dunia.
Dana yang dihabiskan untuk membangun kompleks Menara Jam Makkah ini tidak
sedikit. Menurut Kementerian Wakaf Saudi dan berbagai sumber lain, dana yang
dihabiskan sekitar 15 milyar dolar AS. Sedangkan biaya pembangunan kembali
Masjid al-Haram sampai selesai lima tahun ke depan diproyeksikan mencapai 60
miliar dolar.
Dari satu segi, pengembangan atau bahkan pembangunan kembali Masjid al-Harambisa dipahami karena meningkatnya jumlah jamaah haji mencapai sekitar lebih tiga
juta jamaah. Menurut Kementerian Haji Arab Saudi mencapai 3,65 juta pada musim
haji 2012, kemudian merosot sekitar satu juta orang pada 2013 dan 2014 karena
pengurangan kuota akibat pembangunan tersebut.
Pengurangan kuota jamaah haji mengakibatkan peningkatan jumlah jamaah umrah.
Sejak 2013 jumlah jamaah umrah mencapai lebih dari enam juta orang. Jumlah initerus meningkat tajam pada 2014 khususnya pada bulan Ramadhan yang diyakini
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 7/136
Resonansi Azyumardi Azra 7
banyak jamaah umrah sebagai sama pahalanya dengan ibadah haji.
Tetapi pembangunan kembali Masjid al-Haram dan lingkungannya dengan alasan
masuk akal itu juga mengundang banyak kontroversi dan oposisi. Salah satu alasan
pokok, proyek ini mengakibatkan kian lenyapnya situs-situs historis, semacam
‘benteng Ajyad’ yang dibangun Dinasti Usmani, atau tiang -tiang Masjid al-Haram
yang telah berusia berabad-abad.
Menurut The Islamic Heritage Research Foundation, lembaga asal Teluk Persia
[atau Teluk Arab] yang berpusat di Washington DC, dalam 20 tahun terakhir,
perluasan atau pembangunan kembali Masjid al-Haram melenyapkan sekitar 95
persen bangunan dan lingkungan aslinya. Seorang perempuan Saudi asal Hijaz
dalam percakapan dengan penulis “Resonansi ” ini menyatakan kejengkelan karena
alasan sama. Bagi dia, proyek tersebut tidak lain merupakan penghancuran.
Selain itu, kritik juga tertuju pada ‘Abraj al -Bayt’ y ang menjanjikan fasilitas
serbamewah yang bukan tidak hedonistik semacam kamar suite hotel bertarif sekitar
7.000 dolar semalam atau fasilitas spa . Bentuk kemewahan yang ada di tempat lain,
kini juga dapat dinikmati di ‘Abraj al -Bayt’, yang bukan tidak bisa mengingatkan
orang dengan dunia gemerlap Las Vegas.
Di tengah kemewahan itu, terdapat masih banyak jamaah haji atau umrah yang
menggelandang di pinggir jalan. Mereka pergi haji atau umrah lebih didorong
keimanan-keislaman tanpa mempertimbangkan kesengsaraan yang mereka alami
karena keterbatasan dana. Satu pagi yang k ontras di depan Ka’bah yang terus
berlanjut di hari-hari esok.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 8/136
Resonansi Azyumardi Azra 8
Asia-Arabia
22 Januari 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Kebangkitan dramatis Asia, khususnya China, India dan kemudian juga Indonesia,
dalam dua atau tiga dasawarsa terakhir menimbulkan kesan mendalam dan
sekaligus pertanyaan di Arabia. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi semacam
reorientasi dalam perdagangan Arabia. Perdagangan di antara negara-negara Asia,termasuk Arabia, kini melebihi perdagangan antara Asia dan Barat.
Reorientasi perdagangan itu boleh jadi mempengaruhi tidak hanya bidang ekonomi,
tapi juga politik. Arabia yang dalam waktu lama berada di bawah hegemoni kekuatan
ekonomi dan politik kolonial Eropa patut menoleh ke Asia. Setelah Perang Dunia II,
hegemoni hampir sepenuhnya dipegang Amerika Serikat.
Meski sejak 1970-an sejumlah negara Arabia sejak dari Arab Saudi, Qatar, Kuwait
dan Uni Emirat Barat memperoleh bonanza keuangan berkat eksploitasi minyak dan
gas secara besar-besaran, mereka tidak tumbuh menjadi economic powerhouse .
Sebaliknya, negara-negara ini menghabiskan banyak dana untuk pertahanan dan
proyek mercusuar semacam ‘ burj al- ‘arab’ (menara Arab) yang kini merupakan
gedung tertinggi di dunia atau menara jam Makkah yang juga tertinggi di dunia
dalam kelasnya.
Bonanza minyak dan gas Arabia dengan demikian hampir tidak banyak berguna
untuk menciptakan konstelasi ekonomi dan politik baru di kawasan ini. Arabia tetap
merupakan wilayah penuh konflik yang tidak terselesaikan selama berpuluh tahun.
Bahkan konflik dan kekerasan baru muncul dan terus bergejolak di tengah hegemoni
AS yang tidak efektif menjadi kekuatan pemelihara sekuriti di wilayah Arabia.
Memandang berbagai realitas dan tren yang terus berkembang, wilayah yang sering
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 9/136
Resonansi Azyumardi Azra 9
juga disebut sebagai Dunia Arab atau sedikit luas Timur Tengah kini
mempertimbangkan lebih serius lagi mengakselerasikan hubungan yang sudah
sangat lama —bahkan sejak masa sebelum datangnya Islam —dengan Asia.
Dalam konteks itu, Arabia mencoba menemukan kembali hubungan satu sama lain
dengan Asia melalui jaringan lama terkait agama, perdagangan, politik dan
diplomasi dan hubungan baru dalam hal ekspor-impor, pariwisata, pendidikan.
Semua hubungan ini, baik lama maupun baru sangat potensial dalam membangun
reorientasi Arabia dengan ‘ look to the East’ .
Hubungan dan jaringan Arabia dengan Asia, khususnya, China, India dan Indonesia,
menjadi pokok pembicaraan dalam The Rahmania Annual Seminar yang
diselenggarakan di al-Ghat, sebuah kawasan wadi sekitar 250 kilometer dari Riyadh
(3-5/1). Pembahasan berlanjut dalam Dialog Ammariyya tentang hubungan Arabia-
Asia di Wadi Ammariya, sekitar 50 kilometer di luar Kota Riyadh (6/1).
Tidak ragu Arab Saudi merupakan pemain utama dalam reorientasi ‘ look to East’
bukan hanya karena ukuran ekonominya yang termasuk salah satu terbesar di dunia
sehingga merupakan anggota G-20, tapi juga posisi sentralnya dalam ibadah haji.
Peningkatan jumlah jamaah haji secara signifikan tahun demi tahun juga menjadi
pendapatan ( revenue ) utama Arab Saudi.
Tetapi reorientasi ke Timur ini juga memerlukan perimbangan ulang ( rebalancing )
secara material menyangkut sumber-sumber ekonomi dan sekaligus sikap mental
dan intelektual. Hanya dengan perimbangan baru baik secara material maupun
mental, orientasi baru ke Timur dapat berhasil.
Seperti terungkap dalam pembicaraan pada kedua konferensi, secara mental dan
intelektual, masyarakat Arabia tidak mengetahui banyak tentang Dunia Timur.
Bahkan juga mereka tidak memiliki pengetahuan memadai tentang kehidupan
agama, sosial dan budaya yang ada di China, India dan Indonesia.
Para audiens Arab mafhum belaka bahwa Indonesia adalah negara muslim terbesardi dunia. Mereka juga tahu tentang jamaah haji Indonesia yang paling tertib dan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 10/136
Resonansi Azyumardi Azra 10
kalem ketika melaksanakan ibadah haji. Bagi mereka, jamaah haji Indonesia paling
terorganisasi baik.
Tetapi mereka tidak tahu banyak tentang Islam Indonesia. Seperti bisa diduga
mereka memandang Islam Indonesia dari kacamata Wahabi. Mereka merasa sedikit
aneh ketika penulis “Resonansi ” ini menjelaskan tentang kepaduan syariah dan
tasawuf dalam keilmuan dan praktik keislaman banyak ulama dan kaum muslimin
Indonesia.
Sepanjang sejarah keilmuan dan keulamaan Nusantara, khususnya sejak abad 17,
hampir seluruh ulama sejak dari Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Singkel, Muhammad
Yusuf al-Maqassari, Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdussamad al-Palimbani,
sampai Nawawi al-Bantani sangat menekankan pentingnya kepatuhan pada
syari’ah. Pada saat yang sama, mereka juga memandang pentingnya peningkatan
kualitas amal melalui pengamalan tasawuf.
Tetapi bagi banyak audiens Arab, tasawuf tidak lain merupakan bid’ah yang
merusak kemurnian Islam. Karena itu menurut mereka perlu ‘kompartementalisasi’
(pemisahan) antara syari’ah dengan tasawuf, sehingga tidak terjadi ‘sinkretisme’
dalam keimanan dan praktik Islam.
Persepsi semacam ini pastilah tidak ‘ nyambung ’ dengan realitas Islam Indonesia.
Jika Arabia benar-benar ingin memandang ke Timur ke Indonesia, sepatutnya
pemahaman dan apresiasi mereka pada tradisi Islam Indonesia perlu ditingkatkan.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 11/136
Resonansi Azyumardi Azra 11
Ketika Sakralitas Diganti Teror
26 March 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Sakralitas kelihatan kian lenyap di kawasan Timur Tengah. Teror demi teror
menghancurkan manusia, masjid, bangunan, pasar, jalan raya, dan seterusnya.
Sakralitas seolah tidak lagi tersisa berganti dengan teror yang menjadi order of the
day --acara wajib hari demi hari. Inilah wilayah tempat di mana banyak para nabi danrasul diutus, dan juga di mana banyak kitab suci diturunkan.
Lihatlah apa yang terjadi, misalnya, Jumat pekan lalu (20/3). Dua masjid, tempat
menyembah Allah SWT yang sakral menjadi sasaran teror di Yaman. Pembawa bom
pasti tahu, Jumat adalah sayyid al-ayyam . Bom bunuh diri bukan hanya
meluluhlantakkan bangunan masjid, tetapi lebih fatal lagi menewaskan sedikitnya
142 jamaah. Bangunan masjid bisa dibangun kembali, tetapi nyawa yang melayang
tidak pernah bisa direhab, direnovasi atau dibangun kembali.
Inilah salah satu bentuk kebiadaban sempurna --kebiadaban bukan hanya terhadap
kemanusiaan, tetapi juga kepada ketuhanan. Apakah yang ada di dalam benak
pembawa bom bunuh diri; apakah yang ada di kalbunya. Tak perlu akal canggih
atau diskusi panjang; tindakan semacam ini hanya bisa dilakukan orang tidak
beriman, meski ketika membawa dan memicu bom di dalam masjid sembari
meneriakkan nama Tuhan.
Kekerasan dan teror terus merajalela dengan kecenderungan meningkat dari hari ke
hari di Timur Tengah atau khususnya di berbagai wilayah dunia Arab. Puncak
kekerasan dan teror biasanya pada akhir pekan, yang bermula dengan Kamis sore,
Jumat, dan Sabtu yang merupakan hari libur di dunia Arab.
Meminjam ungkapan di Amerika atau Eropa, thanks God it’s Friday [TGIF], di dunia
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 12/136
Resonansi Azyumardi Azra 12
Arab orang-orang lazim berucap al-yaum, yaum al-Khamis, alhamdulillah --ujung
pekan yang disusul dengan libur Jumat-Sabtu.
Tapi akhir pekan di banyak tempat di dunia Arab tampaknya tidak lagi merupakan
hari kedamaian --pada Jumat sekalipun, yang merupakan waktu menjalankan
ibadah Jumat. Sebaliknya, akhir pekan yang mencakup hari sakral --sakralitas
diganti teror. Jumat justru digunakan sebagai waktu memobilisasi orang dan
kelompok melakukan kekerasan dan teror, khususnya dengan bom bunuh diri.
Bom ditujukan bukan kepada siapa-siapa. Lazimnya tidak lain ditujukan kepada
sesama muslim baik yang berasal dari aliran dan mazhab berbeda atau yang sama,
baik dari kalangan aparat negara maupun rakyat biasa.
Bom bunuh diri secara sengaja guna menghancurkan musuh --dan pembawa bom
itu sendiri-- sejak dasawarsa 1980-an menjadi cara paling populer di berbagai
tempat di dunia. Dari tahun terus cara ini terus meningkat.
Di antara 1981-2006 terjadi sekitar 1.200 bom bunuh diri di seluruh dunia. Sekitar 90
persen serangan bom bunuh diri terjadi di Irak, Israel, dan wilayah-wilayah Palestina.
Sampai 2008, di Irak, misalnya, pelaku bom bunuh diri mencapai 1.121 orang
dengan jumlah korban tewas yang masif.
Meski angka pasti jumlah bom bunuh diri beserta korbannya yang tewas setiap
tahun sulit dikompilasikan, yang pasti pengeboman bunuh diri kian meningkat sejak
2008 tersebut. Pada 2014 di seluruh dunia terjadi 592 serangan bunuh diri --
meningkat 94 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada 2014 korban tewas karenaserangan bunuh diri mencapai sekitar 4.400 orang, meningkat dibandingkan 2013
yang mencapai 3.200-an.
Peningkatan terutama terjadi di negara-negara Arab. Pada 2014 terjadi sekitar 370
serangan bunuh diri di dunia Arab dengan jumlah korban tewas sekitar 2.750 orang.
Jumlah ini meningkat dibanding 2013 dengan 163 serangan bunuh diri dan jumlah
korban tewas sekitar 1.950. Peningkatan terjadi di Irak (271 pada 2014 berbanding98 pada 2013); Yaman (29 berbanding 10); Lebanon (13 berbanding 3); Libya (11
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 13/136
Resonansi Azyumardi Azra 13
berbanding 1); Mesir (4 berbanding 6, menurun).
Eskalasi kekerasan bunuh diri juga terjadi di Suriah karena faktor ISIS. Sepanjang
2014 terjadi serangan bom bunuh diri dilakukan 382 pelaku dengan jumlah korban
tewas sekitar 420 jiwa.
Peningkatan bom bunuh diri terjadi pula di Afghanistan (124 pada 2014 berbanding
65 pada 2013); Pakistan (2014 dan 2013 angkanya nyaris sama 36 berbanding 35);
Nigeria (32 berbanding 3); Somalia (19 berbanding 14).
Melihat kecenderungan perkembangan yang masih tidak kondusif di negara-negara
berpenduduk mayoritas Muslim tersebut, kekerasan dan teror bom bunuh diri bakal
berlanjut secara signifikan pada 2015. Sangat sulit memprediksi kapan kekerasan
dengan bom bunuh berkurang jika tidak bisa dihilangkan sama sekali.
Yang pasti, sakralitas jiwa manusia, masjid, dan rumah ibadah lain atau pandam
pekuburan kian digantikan kekerasan dan teror. Masjid di negara-negara tersebut
tadi bukan lagi tempat berlindung yang aman. Tetapi kian menjadi target empuk
khususnya pada Jumatan ketika jamaah berkumpul dalam jumlah besar.
Indonesia, alhamdulillah, tidak mengalami nasib tragis seperti itu. Semua kita
berdoa, janganlah kejadian serupa --sakralitas digantikan kekerasan dan teror juga
menyebar ke tanah air ini. Menjadi kewajiban setiap dan seluruh bagian umat untuk
tidak tergoda melakukan kekerasan; dan sebaliknya tetap menghormati sakralitas
dalam kehidupan keislaman dan keindonesiaan.
Karena itu, adanya orang-orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS perlu
diwaspadai dan diberikan sanksi hukum yang tegas. Sebab, ketika mereka kembali
ke tanah air kelak, bisa diduga mereka dengan segera bakal mengganti sakralitas
dan kedamaian dengan kekerasan dan teror.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 14/136
Resonansi Azyumardi Azra 14
KL Sentral
11 Juni 2015REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
KL Sentral —kawasan populer di pusat kota Kuala Lumpur, ibukota negara federal
Malaysia. Terletak tak jauh dari kawasan KLCC —salah satu simbol kemajuan
ekonomi Malaysia —tak banyak gedung jangkung di kawasan KL Sentral. Inilah
kawasan yang belum banyak tersentuh pembangunan infrastruktur dan kemajuan
ekonomi. KL Sentral masih didominasi bangunan tua, kusam, cenderung kotor dan
bau yang penuh dengan pasar emperan, kedai kelontong dan warung makanan.
Kawasan KL Sentral sebagian besar masih menampilkan wajah KL lama. Kawasan
ini masih merupakan ‘kampung’ yang tidak banyak lagi tersisa. D i sini terletak
‘kampung India’ yang terlihat khas; juga kampung Melayu. Inilah kawasan di mana
kalangan masyarakat bawah dari tiga puak (etnis) Malaysia; Melayu, Cina, dan India
bertemu dalam lalu lalang —yang tak selalu mesti berbaur dan berpadu.
Mendapat akomodasi selama empat hari empat malam di kawasan KL Sentral ketika
menghadiri The Fifth Assembly of Asian Muslim Action Network (AMAN) pada 4-7
Juni 2015, penulis “Resonansi ” ini belakangan mengetahui, kawasan ini bukan
tempat yang pas bagi orang lurus. Ada tempat tertentu di lingkungan KL Sentral
yang merupakan lokasi ‘ red light’ . Karena itu, bagi mereka yang senang mesum,
mungkin pojok KL Sentral ini yang mereka cari.
Mengamati KL Sentral dari jalanan dan pasar saya menemukan sejumlah hal untuk
refleksi. Pemandangan selama berada di KL Sentral sepanjang perayaan Milad 25
tahun AMAN mendorong penulis —sejak 2013 didaulat menjadi Chairman AMAN
menggantikan Asghar Ali Engineer yang wafat —tidak hanya berefleksi tentang
AMAN yang aktif dalam program perdamaian, dialog antaragama, pemberdayaan
masyarakat dan penguatan Islam wasatiyah, tetapi juga pada dinamika masyarakatMalaysia, khususnya di kawasan KL Sentral.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 15/136
Resonansi Azyumardi Azra 15
Meski banyak kawasan KL cenderung kian macet, jelas kemacetannya jauh di
bawah Jakarta. Mengamati kendaraan yang lalu lalang di jalanan KL Sentral, saya
meminta beberapa kawan menyatakan apa yang mereka lihat. Sehari belum ada
komentar. Hari berikutnya baru ada komentar : “Lihat mobil dan motor begitu banyak
melintas. Bedanya, di jalanan Jakarta jauh lebih banyak mobil mengkilap dan fancy
yang harganya paling tidak antara setengah sampai dua miliar. Jarang terlihat mobil
sekelas Fortuner atau Alphard atau Lamborghini di j alanan KL”.
Memang, kebanyakan mobil di jalanan KL adalah Proton dengan berbagai jenisnya,
yang umumnya model lama atau beranjak tua. Lalu juga ada mobil Perodua kecil
yang menurut seorang kawan Malaysia sudah mengalahkan Proton. Selebihnya
adalah mobil buatan Jepang; yang juga terlihat cukup banyak adalah Kijang Innova
atau Avanza.
Apakah pemandangan kontras antara KL dan Jakarta mengindikasikan warga
Malaysia cenderung menjalani hidup lebih sederhana dan sebaliknya warga Jakarta
atau kota-kota lain di Indonesia lebih hedonistik dan show off? Ataukah
pemandangan di jalan raya KL menunjukkan gejala sosial-ekonomi lain yang
berakar jauh lebih dalam.
Gejala kendaraan di jalanan KL memperlihatkan, ekonomi Malaysia pada level
masyarakat ‘awam’ (umum) tidak be rtumbuh seperti terlihat dalam angka statistik.
Menurut berbagai data, estimasi, dan statistik, ekonomi Malaysia bertumbuh antara
6,0 sampai 5,4 persen dalam 10 tahun terakhir. Tetapi juga jelas, dalam beberapa
belakangan, pertumbuhan ekonomi Malaysia terus melambat.
Karena itu tidak heran jika Dato Saifuddin Abdullah, CEO Global Movement of
Moderates (GMM), Malaysia, mengimbau para pelancong (turis) berbelanja lebih
banyak. Dengan begitu, kata dia, ekonomi Malaysia dapat terdorong bangkit
kembali.
Pertumbuhan ekonomi Malaysia yang pernah fenomenal kelihatan merupakan faktor
penting yang dapat menjaga keutuhan ‘perpaduan’ antar -puak di Malaysia. Semakincepat dan besar pertumbuhan ekonomi, kian berkurang pula tensi dan ketegangan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 16/136
Resonansi Azyumardi Azra 16
antar-puak Malaysia.
Tetapi pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup tanpa pemerataan. Ketimpangan
pendapatan dan kesejahteraan masih lebar di antara tiga kelompok ‘puak’ dominan:
Melayu (sekitar 60 persen), Cina (kurang dari 30 persen), dan India (sekitar 8
persen). Meski puak Melayu dan India juga mengalami peningkatan kesejahteraan,
ekonomi Malaysia masih tetap didominasi etnis Cina.
Bertahannya kesenjangan ekonomi di antara ketiga kelompok etnis menyuburkan
kembali kecemburuan sosial, ekonomi dan politik. Jika puak Melayu dan India,
khususnya pada tingkat akar rumput, menyimpan kejengkelan karena kondisi
ekonomi dan kesejahteraan mereka yang tidak banyak berubah, sebaliknya puak
Cina mengendapkan ketidakpuasan terhadap apa yang mereka sebut sebagai
diskriminasi politik dan sosial berkelanjutan.
Kesenjangan ekonomi, politik, sosial dan agama terus berlanjut di Malaysia di
tengah berbagai dinamika negara ini. Karena itu pula hubungan antar-puak di
Malaysia masih menjadi agenda utama jika negara ini dapat tumbuh dengan
perpaduan dan kesatuan di antara para warganya.
Indonesia beruntung pada dasarnya tidak memiliki tensi dan konflik perpuakan,
perkauman dan etnisitas yang akut dan laten. Beragam puak dan kaum berbaur di
negeri ini —legacy dan aset sangat berharga bagi negara-bangsa Indonesia, yang
mesti diberdayakan untuk Indonesia yang lebih padu dan bersatu.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 17/136
Resonansi Azyumardi Azra 17
Proxy War (1)
13 Agustus 2015,
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Proxy war atau secara lebih spesifik ‘ proxy sectarian war’ —perang proxy karena
sektarianisme keagamaan. Secara singkat, ‘ proxy war’ adalah perang boneka di
antara dua negara atau lebih tanpa melibatkan secara langsung negara-negara atau
warga negara itu sendiri dalam perang terbuka di antara mereka. Perang justruterjadi dan berkobar di negara atau wilayah lain di antara kelompok pro dan anti
masing- masing negara yang menjadi semacam ‘boneka’ karena mendapat bantuan
dana, pelatihan dan persenjataan dari negara-negara yang bertarung.
Oleh karena itu, lazimnya proxy war terjadi dan sering berlangsung lama bukan di
negara yang berkontestasi. Biasanya proxy war terjadi di wilayah lain di luar kedua
negara yang saling bermusuhan dan ingin menghancurkan lawannya.
Isu proxy war menyelinap ke dalam pikiran penulis “Resonansi ” ini ke tika dalam
beberapa konferensi dan seminar di tanah air yang diselenggarakan perguruan
tinggi dan ormas Islam mendapat pernyataan dan pertanyaan berbau sektarianisme
bernada perang tentang ‘bahaya’ Syi’ah di Indonesia. Dengan nada seperti itu,
komunitas-komunitas agama berbeda, khususnya Islam Indonesia —sudah dekat
pada proxy war .
Kecenderungan meningkatnya pernyataan dan pertanyaan tentang subyek ini
terlihat di tanahair sedikitnya dalam masa sepuluh tahun terakhir. Peningkatan itu
juga lebih jelas bisa disimak di dunia maya. Banyak sekali situs memprovokasi umat
beragama melakukan tindakan yang tidak lain adalah proxy war.
Nada proxy war bahkan sempat menyelinap dalam percakapan di sela-sela
Muktamar Nahdlatul Ulama dan Muktamar Muhammadiyah awal Agustus 2015.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 18/136
Resonansi Azyumardi Azra 18
Meski pimpinan utama kedua ormas Islam telah dan terus menekankan pentingnya
dialog dan rekonsiliasi Sunni-Syiah, tetap saja ada segelintir orang yang berbicara
dengan nada proxy war.
Peningkatan sektarianisme bersemangat proxy war dewasa ini terkait banyak
dengan terus meningkat kontestasi politik, ekonomi dan agama di antara Arab Saudi
dengan Iran. Kontestasi ini bukan hal baru karena kedua negara telah terlibat dalam
perebutan pengaruh selama lebih dari 30 tahun tidak hanya di dunia Arab dan Asia
Selatan atau Asia Barat Daya, tetapi juga di banyak bagian lain dunia Islam, dan
bahkan juga di antara komunitas muslim yang berbeda etnis, tradisi sosial-budaya
dan paham keislaman di Eropa dan Amerika Utara.
Pertarungan di antara kedua negara yang menghasilkan proxy wars di Timur
Tengah dan Asia Selatan-Barat dalam masa kontemporer bermula sejak masa
sukses revolusi Ayatullah Khomeini di Iran pada 1979. Keberhasilan ini mendorong
pemerintah dan lembaga Iran mengekspor paham dan gerakan Syiah revolusioner
guna menumbangkan rejim otokratik dan despotik di wilayah dunia muslim lain.
Pada saat berbarengan Arab Saudi bangkit menjadi negara k aya ‘petro -riyal’ berkat
eksploitasi minyak besar-besaran sejak akhir 1970an. Dengan dana melimpah,
Saudi tidak hanya menjadi salah satu negara terkuat di Timur Tengah, tetapi juga
meningkatkan usaha penyebaran paham dan praksis Wahabisme di wilayah dunia
muslim lain dan di kalangan komunitas muslim di Barat.
Upaya kedua negara ini dalam penyebaran paham dan praksis Islam masing-masing
ke lingkungan kaum muslimin lain dapat dilihat dengan peningkatan bantuan danauntuk pembangunan masjid, Islamic Center, sekolah dan perguruan tinggi dan pusat
bahasa dan kebudayaan; penyediaan beasiswa untuk belajar di Saudi atau Iran;
pengadaan literatur untuk perpustakaan; penyelenggaraan konferensi atau seminar
dan seterusnya. Melalui berbagai program dan kegiatan semacam itu, kelompok-
kelompok muslim yang pro dan anti masing-masing negara juga menguat —
meningkatkan pertarungan Syiah versus Wahabisme.
Upaya akselarasi penyebaran kedua aliran ini mengalami kemunduran ( setback )
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 19/136
Resonansi Azyumardi Azra 19
dengan terjadinya peristiwa besar seperti 9/11 pada 2001 di Amerika Serikat yang
diikuti penyerbuan Afghanistan oleh AS dan sekutunya untuk menghabisi Taliban
yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa ‘Nine -Eleven’. Afghanistan yang
sejak masa pendudukan Uni Soviet paroan kedua dasawarsa 1980-an menjadi
ajang proxy wars di antara komunitas agama berbeda yang mewakili kepentingan
sektarianisme keagamaan di negara-negara lain. Akibatnya sampai sekarang
Afghanistan masih terjerumus dalam lubang kelam tanpa dasar ( abyss ).
Ambruknya negara-negara kuat di dunia Arab dan sejak jatuhnya Presiden Saddam
membukakan ‘kotak pandora’ sektarianisme keagamaan san gat kompleks dan rumit.
Ada konflik antara Sunni dan Syiah dan antara berbagai aliran Sunni atau Syiah.
Sektarianisme keagamaan yang bersumber terutama dari kontestasi politik kian
bernyala-nyala terkait pengalaman historis panjang konflik dan perang yang diberi
justifikasi pemahaman dan praksis keagamaan tertentu.
Situasi kacau seperti itu memudahkan masuknya ‘tangan -tangan’ negara lain yang
menggunakan berbagai pihak terlibat konflik untuk kepentingan politiknya. Hasilnya
adalah proxy wars yang terus berlanjut, yang melibatkan kelompok radikal semacam
Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina, al-Qaedah dan terakhir sekali ISIS.
Apakah Indonesia bisa terjerumus ke dalam proxy war seperti terjadi di negara-
negara berpenduduk mayoritas muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan-Barat?
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 20/136
Resonansi Azyumardi Azra 20
Proxy War (2)
20 Agustus 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Apakah Indonesia bisa terkena imbas proxy war yang terus berkecamuk di negara-
negara di dunia Arab dan Asia Selatan atau Asia Barat Daya? Seberapa besar
potensi munculnya proxy war di Indonesia umumnya dan intra-umat Islam Indonesia
atau antar-agama di Indonesia?
KSAD Gatot Nurmantyo (kini Panglima TNI) berulang kali menyatakan tentang
bahaya terjadinya proxy war di Tanah Air. Menurut Jenderal Gatot, cadangan energi
dunia kini tersisa untuk 45 tahun saja. Karena itu, berbagai negara berlomba
menguasai sumber energi yang kian langka. Ia melihat sekitar 70 persen konflik di
dunia —yang sebagian menjadi perang terbuka —berlatarbelakang perebutan energi.
Indonesia yang masih kaya dengan sumber alam juga menjadi sasaran perebutan.Karena kini tidak mungkin lagi dilakukan kolonialisasi, cara yang mereka tempuh
adalah melalui proxy war .
Dalam konteks itu, menurut Panglima TNI Gatot Nurmantyo, beragam cara
dilakukan dalam proxy war untuk menguasai Indonesia. “Mulai dari pembentukan
opini untuk rekayasa sosial, perubahan budaya, adu domba TNI-Polri, pecah-belah
partai, dan penyelundupan narkoba”, tegasnya .
Terlepas dari pernyataan yang khas bernada sekuriti, substansi pesannya sudah
jelas. Indonesia yang demikian besar —yang di luar dugaan dan mispersepsi banyak
kalangan asing —telah mampu bertahan mencapai 70 tahun kemerdekaan pada
2015. Meski masih ada potensi disintegrasi, misalnya terkait Papua, belum terlihat
tanda dan indikasi meyakinkan tentang bahaya proxy war yang dapat
menghancurkan Indonesia bersatu.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 21/136
Resonansi Azyumardi Azra 21
Walaupun demikian, bahaya proxy war tetap harus diwaspadai. Bahaya itu terkait
tidak hanya dengan perebutan sumber energi, peningkatan jumlah penduduk dunia,
kerawanan cadangan pangan misalnya, tetapi juga dengan kehidupan keagamaan.
Indonesia yang demokratis dan terbuka telah menjadi ruang terbuka lebar untuk
kontestasi berbagai aliran agama —baik intra maupun antar-agama —yang jika tidak
diwaspadai dapat menimbulkan proxy war .
Proxy war terkait sektarianisme aliran atau mazhab atau denominasi intra agama
bukan tidak mungkin terjadi. Tidak ada agama mana pun di Indonesia atau tempat
lain di muka bumi yang bersifat monolitik. Sebaliknya terdapat bermacam aliran dan
denominasi seperti misalnya bisa terlihat dalam Islam Indonesia dan Kristen
(Protestan) yang bisa terlibat dan kontestasi yang disponsori negara asing.
Agama yang disebut terakhir mengandung banyak denominasi atau gereja
berorientasi transnasional. Ada gereja yang karena sejarah dan doktrin berorientasi
ke negara-negara Eropa tertentu; juga ada yang berorientasi ke Protestanisme
Amerika yang agresif. Kasus Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara yang juga
menutup Gereja Advent —selain menyerang jamaah muslim yang sedang shalat
Idulfitri 1436--misalnya mengindikasikan kontestasi intra dan sekaligus antar-agama,
yang memiliki warna transnasional yang mengandung warna proxy war .
Islam Indonesia juga jelas tidak monolitik, tetapi mengandung berbagai aliran paham
dan praksis keislaman yang dalam batas tertentu berbeda satu sama lain. Meski ada
perbedaan dan keragaman, umat Islam Indonesia hampir sepenuhnya mengikut
Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Ja ma’ ah). Belakangan sejumlah kecil muslim Indonesia
juga menganut pemahaman dan praksis keislaman Syiah.
Perbedaan dalam pemahaman dan praksis di kalangan Sunni terwujud dalam
ormas-ormas Islam cukup banyak di negeri ini sejak dari Muhammadiyah, NU,
Jami’ at Khair, al-Irsyad, DDII, al- Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar, PUI, Persis,
Nahdlatul Wathan, al-Khairat, Hidayatullah dan sebagainya. Masing-masing ormas
memiliki sektarianisme tertentu dalam pemahaman dan praksis keagamaan, meski
lebih terkait hal bersifat furu’iyyah (‘ranting’), bukan hal pokok ( ushul ).
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 22/136
Resonansi Azyumardi Azra 22
Meski ada perbedaan dalam soal furu’iyah , para pendukung ormas-ormas Islam
arus utama ( mainstream ) beserta jutaan muslim Indonesia lain memegangi Islam
wasathiyah —Islam jalan tengah yang inklusif, toleran dan damai. Tidak pernah
terjadi konflik fisik yang lama dan luas di antara para anggota dan pendukung
ormas-ormas jalan tengah satu sama lain. Islam Indonesia tidak memiliki sejarah
perang sektarianisme keagamaan signifikan.
Walaupun demikian, ada pula kalangan Sunni Indonesia berorientasi transnasional
yang berusaha mengubah tradisi Islam wasathiyah Indonesia. Mereka tergabung
dalam berbagai kelompok salafi dan wahabi, jamaah tablig dan semacamnya. Walau
mereka belum berhasil secara signifikan, tetapi pendekatan dan cara dakwah
mereka bukan tak menimbulkan ketegangan dan konflik yang jika tidak diwaspadai
dapat bermuara pada proxy war .
Kelompok-kelompok terakhir ini bahkan memiliki potensi besar terlibat proxy war
dengan kaum Syiah Indonesia. Beberapa kasus kekerasan terhadap pengikut Syiah
di Bangil dan Sampang Madura memperlihatkan adanya nuansa proxy war di antara
Iran (Syiah) dan Arab Saudi (Wahabisme).
Kaum muslimin Indonesia sepatutnya mewaspadai bahaya proxy war bernuansa
agama. Semestinya pula, kalangan kaum muslimin Indonesia tidak menjadi kaki
tangan paham dan praksis keagamaan negara-negara lain; dan tidak menjadikan
Indonesia sebagai kancah konflik dan kekerasan. Ini juga berlaku bagi kelompok
aliran dan denominasi agama-agama lain di Tanah Air.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 23/136
Resonansi Azyumardi Azra 23
Deklarasi Islam Tentang Perubahan Iklim
27 Agustus 2015
REPUBLIKA.CO.IDAzyumardi Azra
Bumi makin panas, sehingga makin banyak jumlah orang yang tewas karena
kepanasan. Sebaliknya di belahan bumi lain, cuaca kadang-kadang sangat dingin
sehingga juga menewaskan banyak manusia.
Musim kemarau dan musim hujan di kawasan seperti Indonesia juga terasa
semakin tidak menentu. Begitu juga musim panas dan musim dingin di bumi belahan
utara dan belahan selatan yang iklimnya terus berubah.Perubahan iklim bukan lagi
wacana akademik ilmiah teoretis, tetapi juga sudah secara kasat mata melanda
umat manusia di hampir seluruh penjuru dunia.
Karena itu, sangat tepat waktu belaka para pemimpin muslim dari sekitar 20
negara —termasuk Ketua MUI Din Syamsuddin dan Direktur Pusat Kajian Islam
Universitas Nasional, Fachruddin Mangunjaya —mengeluarkan ‘Deklarasi Islam
tentang Perubahan Iklim’. Bersama sejumlah pemimpin agama lain yang berkumpul
di Istanbul, Turki, pekan lalu (17-18/8/2015) mereka sepakat tentang perlunya
perhatian dan kepedulian bersama menghadapi masalah perubahan iklim.
Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim memaparkan ringkas berbagai gejala
perubahan iklim secara cepat, seperti pemanasan global ( global warming ) dalam
beberapa dasawarsa terakhir yang mengancam kelangsungan hidup manusia, dan
lingkungan hidup secara keseluruhan. Deklarasi Islam mengutip banyak ayat al-
Qur’an dan Hadit s yang mengajarkan kepada kaum muslimin [dan umat manusia
secara keseluruhan] untuk menjaga lingkungan hidup; tidak melakukan ‘kerusakan
baik di langit maupun di muka bumi’, misalnya. Deklarasi juga mengemukakan
bermacam Sunnah Nabi Muhammad SAW tentang pentingnya pemeliharaan
lingkungan hidup.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 24/136
Resonansi Azyumardi Azra 24
Sumber kerusakan lingkungan yang menimbulkan perubahan iklim juga
dikemukakan —hal yang sudah diketahui banyak kalangan masyarakat. Kerusakan
alam bersumber terutama bersumber dari tingkat konsumsi tidak terkendali di
negara-negara maju dan kaya (termasuk negara-negara muslim penghasil BBM
fosil). Gaya hidup tidak peduli ini misalnya meningkatkan emisi gas, salah satu
penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim.
Deklarasi Istanbul menyatakan, 1,6 miliar kaum Muslim turut memikul tanggung
jawab menghadapi perubahan iklim. Karena itu, selain menghimbau negara-negara
lain, Deklarasi juga menyeru negara-negara muslim kaya penghasil BBM fosil agar
berusaha serius menghasilkan energi terbarukan menjelang pertengahan abad 21.
Selain itu, Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim menyerukan agar negara-negara
kaya meningkatkan bantuan keuangan pada masyarakat yang rentan terhadap
perubahan iklim. “Negara -negara kaya memiliki kewajiban moral mengurangi
konsumsi, sehingga kaum miskin dapat mengambil manfaat dari apa yang masih
tersisa dari sumber alam yang tidak bisa terbarukan ”.
Dalam konteks itu, Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim benar belaka. Terdapat
dampak akumulatif perubahan iklim berlipat ganda di banyak negara muslim.
Berbagai dampak akumulatif itu misalnya terlihat dengan kian seringnya terjadi
banjir, longsor, kegagalan pertanian-peternakan, dan kian memburuknya kualitas
lingkungan hidup.
Dampak akumulatif itu terkait dengan masih banyaknya kaum muslim miskin di
berbagai negara di Asia dan Afrika. Konflik politik berkepanjangan yang terjadi dinegara-negara tersebut membuat pembangunan dan perbaikan ekonomi tidak bisa
terlaksana untuk memperbaiki keadaan.
Hasilnya, kaum miskin tidak berpendidikan dan keterampilan memadai berbondong
pergi ke wilayah urban —melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Menduduki
lahan di mana saja, di bantaran sungai, di bawah kolong jembatan dan tempat lain
yang tidak layak dan kumuh; mereka melakukan pekerjaan apa saja untukmendapatkan sesuap nasi.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 25/136
Resonansi Azyumardi Azra 25
Keadaan ini menimbulkan banyak dampak negatif lebih lanjut. Selain berlanjutnya
kemiskinan, yang terjadi juga adalah perusakan lingkungan hidup. Lingkungan hidup
di banyak negara muslim termasuk paling kotor di dunia, sejak dari lingkungan
pemukiman sampai sungai. Meski Eropa dan Amerika Utara juga mengalami
dampak perubahan iklim, tetapi lingkungan hidup, seperti pemukiman, taman, dan
hutan tetap terpelihara baik; masyarakatnya rata-rata cukup disiplin, misalnya
dengan tidak membuang sampah seenaknya.
Gejala ini juga terlihat jelas di Indonesia. Lingkungan hidup di negara ini termasuk
salah satu yang paling rusak di antara negara-negara lain. Bahkan, Indonesia
adalah salah satu di antara negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia,
terutama karena penebangan hutan —apakah resmi atau liar.
Jauh sebelum Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim dikeluarkan, MUI telah
mengeluarkan sejumlah fatwa terkait penyelamatan lingkungan hidup. Misalnya ada
Fatwa MUI No. 22/2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan; Fatwa MUI No.
47/2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Pencegahan Kerusakan Lingkungan;
Fatwa No. 4/2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan
Ekosistem. MUI Pusat bahkan sejak 2010 memiliki Lembaga Pemuliaan Lingkungan
Hidup dan Sumber Daya Alam.
Kenapa fatwa-fatwa itu nampaknya tidak efektif? Hal ini mengisyaratkan rendahnya
kesadaran kaum muslimin Indonesia tentang perlunya penyelamatan lingkungan
ekosistem guna mengurangi akumulasi dampak perubahan iklim. Inilah salah satu
‘pekerjaan rumah’ bagi setiap m uslim yang peduli.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 26/136
Resonansi Azyumardi Azra 26
Makkah al-Mukarramah (1)
08 Oktober 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Musim haji yang baru saja usai (1436 H/2015 M) menyisakan rasa duka pada para
jamaah, khususnya keluarga-keluarga dari berbagai negara yang wafat dalam dua
malapetaka yang terjadi di kota suci Makkah. Pertama, tumbangnya crane yangmenewaskan lebih 107 jamaah termasuk 11dari Indonesia; dan kedua musibah
tabrakan antarjamaah di Jalan 204 Mina yang mengorbankan lebih dari 1.000 jiwa,
termasuk sekitar 100 jiwa dari Indonesia.
Musibah demi musibah hampir selalu terulang dari tahun ke tahun. Meski
Pemerintah Arab Saudi telah berusaha meningkatkan sarana dan fasilitas untuk
penyelenggaraan prosesi ibadah haji, tetapi musibah yang mengorbankan banyak
jiwa tetap saja terjadi.
Ada beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya kejadian mengenaskan itu.
Pertama, SDM petugas Arab Saudi di lapangan yang tidak memadai secara
kuantitas maupun kualitas. Mereka tidak berdaya atau tidak punya kreativitas,
misalnya, untuk mengalihkan di antara arus jamaah haji yang pergi ke Jamarat
dengan yang pulang sehingga tidak terjadi tabrakan.
Musibah juga terjadi karena ada jamaah haji yang lebih mengutamakan fadha'il
(keutamaan) melontar Jamarat di pagi hari--waktu yang sebenarnya rawan dari
sudut keamanan. Jamaah haji umumnya dalam kondisi fisik tidak sepenuhnya segar
setelah berangkat dan wukuf di Arafah, dan selanjutnya pergi mabit di Mudzdalifah-
yang waktunya lebih afdal sampai selesai salat subuh untuk kemudian segera
dilanjutkan dengan melontar Jamarat di Mina dalam waktu yang dipandang lebih
utama.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 27/136
Resonansi Azyumardi Azra 27
Dalam kondisi fisik jamaah yang tidak kondusif--tapi didorong niat dan semangat
melontar Jamarat pada waktu lebih afdal--tanpa mempedulikan keselamatan diri
sendiri dan jamaah lain, mereka berdesak-desak dan kemudian bertabrakan di Jalan
204; saling dorong, jatuh dan terinjak-injak jamaah yang terus bergerak. Akibatnya,
korban terus berjatuhan, termasuk di antara mereka adalah jamaah haji Indonesia
yang tidak mematuhi jadwal melontar Jamarat sejak pukul 11.00 siang ke atas
seperti telah ditetapkan Kementerian Agama dan sebaliknya ikut arus jamaah haji
dari negara-negara lain yang mengejar waktu lebih utama.
Dalam konteks itu sangat menarik menyimak argumen Ziauddin Sardar tentang
penyebab musibah demi musibah yang terjadi di Makkah, khususnya seputar
prosesi melontar Jamarat. Simak insiden-insiden berikut: pada 1990 terjadi musibah
tabrakan antarjamaah di Terowongan al-Mu'assim yang menewaskan 1.426 jiwa.
Selanjutnya, musibah terus berulang di kawasan Jamarat: pada 1994 dengan
korban 270 jiwa; pada 1998 tewas 118; tahun 2001 tewas 35 orang; pada 2003
korban jiwa 14; tahun 2004 tewas 251; pada 2006 tewas 346; dan pada 2015 tewas
lebih 1.000 jiwa.
Di samping itu, ada insiden-insiden lain yang mengorbankan banyak jamaah.
Misalnya, kebakaran kemah pada 1975 yang menewaskan sekitar 200 jamaah dan
pada 1997 yang menewaskan 343 jiwa. Lalu ada kejadian robohnya Hotel al-Ghaza
yang menewaskan sekitar 76 jiwa.
Dalam buku Mecca: The Sacred City (2014), Sardar ber- hujah, penyebab
malapetaka di sekitar kawasan Jamarat dan Mina yang mengorbankan banyak jamaah adalah buruknya perencanaan pembangunan besar-besaran ( ill-conceived
grandiose developments ) di Makkah dan sekitarnya sehingga secara alamiah
menyimpan potensi bahaya. Menurut Sardar, di antara musibah demi musibah,
Pemerintah Arab Saudi membangun kembali wilayah Jamarat. “Tetapi kerangka
dasarnya tetap sama, dan karena itu risiko dan bahayanya tetap sama,” tulis Sardar.
Sardar melihat penyebab musibah dan malapetaka yang terjadi di wilayah Jamaratdan Makkah secara keseluruhan ke akar-akar masalah yang jauh lebih dalam dan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 28/136
Resonansi Azyumardi Azra 28
lebih rumit, yang tidak pernah dibayangkan banyak orang. “Dengan pembangunan
yang mengubah Makkah menjadi Disney Land berdasarkan visi buruk Saudi tentang
modernitas, Tanah Suci jelas bakal menjadi situs permanen bencana, satu bencana
besar yang saya prediksikan terjadi setiap tiga tahun."
Jika Sardar mengkritik keras pembangunan yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi
selama bertahun-tahun, khususnya sejak awal dasawarsa 1970-an, ia memiliki latar
belakang riset yang cukup kuat. Ia pernah bekerja selama lima tahun (1974-1975) di
Pusat Riset Haji yang didirikan Sami Angawi, arsitek asal Makkah (orang Hijazi)
bersama seorang intelektual Hijazi lain, Abdullah Nassef, penyandang gelar PhD
dalam geologi dari universitas di Inggris.
Pusat Riset Haji bertujuan menyelamatkan Makkah dari “pembantaian” modernitas
telanjang ( onslaught naked modernity ). Angawi yakin, penggunaan teknologi
semena-mena secara radikal telah mengubah Makkah, Madinah, dan Jeddah. Dana
dalam jumlah astronomis digelontorkan untuk mengubah Makkah menjadi semacam
Houston, Amerika Serikat, di mana banyak menteri dan pejabat tinggi Pemerintah
Saudi menghabiskan banyak waktu untuk studi lanjutan.
Sardar yang berkolaborasi erat dengan Angawi dan Nasseef sejak masa mahasiswa
dan bekerja sama dalam Pusat Riset Haji, tidak heran bersikap kritis. Dia adalah
salah satu dari sedikit intelektual muslim internasional yang berani bersikap kritis.
Maka, Sardar menyesali mengapa begitu sedikit orang yang mau berdiri tegak dan
mengkritik secara terbuka kebijakan resmi Pemerintah Arab Saudi tentang
pembangunan Tanah Suci. Kebanyakan negara-negara muslim terlalu terlalu takutpada Saudi--khawatir kalau jumlah kuota haji mereka dikurangi jika kritis .
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 29/136
Resonansi Azyumardi Azra 29
Makkah Al-Mukarramah (2)
15 Oktober 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Mecca: The Sacred City (2014) karya Ziauddin Sardar adalah buku mutakhir tentang
Makkah. Buku yang cukup massif (xxxviii+408 halaman) dan komprehensif
mengungkapkan sejarah Makkah sejak masa paling awal sampai tahun-tahun awaldasawarsa 2010-an. Karena itu, pembaca dapat melihat berbagai peristiwa penting--
apakah menggembirakan maupun mengenaskan-- yang terjadi sepanjang sejarah
Makkah, khususnya Masjidil Haram dan lingkungannya.
Sardar, penulis produktif yang telah menghasilkan lebih 50 buku termasuk
Desperately Seeking Paradise , kini adalah direktur Pusat untuk Kajian Post-Normal
dan Masa Depan dan juga direktur Muslim Institute di London. Bukunya Mecca: The
Sacred City dapat dikatakan menampilkan semacam ‘sejarah sosial keagamaan dan
politik’ Makkah; karya ini bukanlah tentan g sejarah keulamaan dan pemikiran Islam
yang berkembang di Makkah.
Kota suci Makkah dalam perjalanan historisnya tidak hanya menjadi pusat ibadah --
sejak masa Islam menjadi pusat ibadah haji-- tetapi juga menjadi lokus kontestasi
dan pertarungan politik di antara kuasa-kuasa politik berbeda, dan juga kelompok
aliran keagamaan yang berlainan paham. Sebab itu pula, riwayat Makkah sebagai
Kota Suci Islam tidak selalu menggembirakan. Meski demikian, kecintaan kaum
muslimin tidak pernah berkurang --apalagi pudar-- pada Kota Suci ini bersama
dengan Madinah dengan Masjid Nabawi-nya.
Menurut r iwayat, Ka’bah yang menjadi epis entrum (titik pusat) Makkah didirikan Nabi
Ibrahim pada tahun 1812-1637 SM (Sebelum Masehi). Kemudian pada tahun 168-90
SM, adanya Ka’bah di M akkah sudah dicatat sejarawan Yunani Diodorus Siculus
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 30/136
Resonansi Azyumardi Azra 30
dalam karyanya Bibliotheca Historica , dan disebut warga Roma-Mesir Claudius
Ptolemy dalam karyanya Geography .
Singkat riwayat, pada tahun 100-250 M, Makkah dikuasai kabilah Jurham Yaman,
dan pada tahun 250-380 M, Kota Suci ini dikuasai Kabilah Khuza. Baru pada tahun
400 M kaum Quraysh berhasil menguasai Makkah yang kemudian pada 552 M
gagal ditaklukkan Abrahah. Lahir pada 570 M, Muhammad SAW muda turut
membantu kaum Quraysh membangun ulang Ka’bah pa da 605 M.
Sepanjang masa pasca-Nabi Muhammad, Dinasti Umayyah sejak 661 M dan Dinasti
Abbasiyah pada tahun 747-750 dan 779-785 memperluas Masjidil Haram. Di sela-
sela masa pengembangan itu, pada 681-692 Ibn Zubayr yang memberontak Dinasti
Umayyah berhasil menguasai Makkah.
Salah satu malapetaka terburuk dalam sejarah Makkah adalah ketika kaum
Qarmatiyah yang ultrapuritan menyerbu Makkah pada 930. Kaum Qarmati yang
berasal dari Afrika Utara membunuh banyak jamaah haji, menjarah Ka’bah, dan
melarikan Hajar Aswad --yang berhasil dikembalikan setelah 30 tahun pada 950-
951.
Sejak tahun 590, penguasa Makkah adalah Syarif yang berada di bawah kuasa
sultan-sultan Dinasti Mamluk di Mesir atau Suriah. Kemudian, sejak 1495, Makkah
berada di bawah kuasa Dinasti Usmani; dan pada 1520-1566, Sultan Sulayman al-
Qanuni memperbaiki dan memperluas Masjidil Haram.
Musibah terjadi pada 1629 ketika Ka’bah hanyut dibawa banjir bandang dandibangun ulang oleh Sultan Murad IV. Malapetaka kembali terulang (1630-1631)
ketika pasukan Usmani yang memberontak kekuasaan Istanbul berhasil menduduki
Makkah dan pada saat yang sama, lagi- lagi Ka’bah dihancurkan banjir bandang
yang kemudian segera dibangun kembali oleh penguasa Dinasti Usmani.
Kuasa Arab Saudi sekarang ini --bermula sejak 1790 ketika pertikaian merebak
antara penguasa Makkah, Syarif Ghalib ibn Masaad dengan kaum Wahabi di bawahpimpinan Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al -Wahhab dan Muhammad ibn Saud. Pada
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 31/136
Resonansi Azyumardi Azra 31
1803, Syarif Ghalib menyerahkan Kota Suci secara resmi kepada penguasa
Wahhabi, tetapi pihak terakhir ini mampu menguasai Makkah. Barulah setelah
mengepung kembali Makkah dengan pasukan besar sejak 1805, Makkah akhirnya
pada 1806 berhasil dikuasai kaum Wahhabi sepenuhnya.
Namun, penguasa Wahhabi tidak bisa bertahan lama. Pada 1813, Toulun, putra
Muhammad Ali, Pasha Mesir yang diangkat Sultan Dinasti Usmani, berhasil
mengalahkan kekuatan Wahhabi. Penaklukan ini dituntaskan Muhammad Ali Pasha
dengan memimpin sendiri pasukan yang memasuki Makkah pada 1815.
Tahap sejarah paling menentukan sejarah Makkah adalah ketika pemimpin
Wahhabi, ‘Abd Aziz ibn Saud pada 1926 mendeklarasikan diri sebagai Raja Hijaz. Ia
kemudian memperluas kekuasaannya dengan mendirikan Kerajaan Arab Saudi
pada 1932.
Pada tahun 1955-1964, Pemerintah Arab Saudi pertama kali memperluas Masjidil
Haram yang dilanjutkan tahap II pada 1982-1988; dan tahap III pada 1988-2005, dan
terakhir sejak 2011 tahap IV yang bakal menambah kapasitas Masjidil Haram untuk
bisa menampung sedikitnya dua juta jamaah sekaligus.
Di tengah berbagai perubahan sepanjang sejarah, gejolak agama dan politik, dan
kian membanjirnya jumlah jamaah dari tahun ke tahun, Sardar menyatakan bahwa
Makkah berubah secara sangat cepat. Tetapi, Makkah juga membeku ketika
keragaman budaya; pluralitas keagamaan; pembangkangan politik; pencapaian
intelektual dan seni tidak eksis --karena tidak selaras dengan ideologi politik--
keagamaan resmi Arab Saudi.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 32/136
Resonansi Azyumardi Azra 32
Makkah Al-Mukarramah (3)
22 Oktober 2015
REPUBLIKA.CO.IDAzyumardi Azra
Makkah, kota suci yang dimuliakan. Meski diyakini sakral, kota ini tidak luput dari
berbagai ironi dan kontradiksi sepanjang sejarahnya. Ziauddin Sardar dalam
karyanya, Mecca: The Sacred City (2014), menyatakan, kontradiksi itu kian
meningkat di masa modern-kontemporer.
Ironi dan kontradiksi itu bisa dipastikan tidak dirasakan atau luput dari pengamatan
para jamaah umumnya. Mereka ini datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji
atau umrah atas dorongan semangat keagamaan; mereka datang dengan
kesyahduan tanpa sempat berpikir panjang tentang apa yang sesungguhnya telah
dan tengah berlangsung di lingkungan Masjid al-Haram.
Tetapi bagi pengamat atau peneliti seperti Sardar, kontradiksi itu bisa terlihat di
mana- mana. Ini, misalnya, bermula dari nama “Mecca” yang biasa digunakan dalam
bahasa Inggris sebagai 'istilah generik yang berarti destinasi terakhir'; atau 'sebuah
magnet yang menarik orang-orang dalam jumlah besar'; atau 'pusat kegiatan untuk
orang-orang dengan minat yang sama'; atau 'tempat tertentu yang menarik
kumpulan orang-orang tertentu atau dengan minat tertentu'.
Dalam pengertian seperti itu, dalam bahasa Inggris bisa ditemukan, misalnya, 'Los
Angeles is the Mecca of show business' atau 'Paris is the Mecca of chic fashion' .
Penggunaan nama dan i stilah “Mecca” ini dengan demikian kian menjauh dari
makna dan konotasi aslinya.
Karena itulah sejak akhir 1980 Pemerintah Arab Saudi mengganti penulisan nama
kota suci ini menjadi Makkah atau lengkapnya Makkah al-Mukarramah. Meski
penulisannya telah diub ah, tetap saja “Mecca” dalam wacana internasional
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 33/136
Resonansi Azyumardi Azra 33
digunakan dalam konotasi yang tidak selalu positif.
Sementara itu, kontradiksi lain terus berlanjut. Salah satu yang paling substantif
berkenaan dengan makna ibadah haji dan lingkungan yang mengitarinya di Makkah.
Ibadah haji sangat menekankan kesetaraan di antara jamaah haji yang datang dari
berbagai negara dengan latar belakang sosial-ekonomi dan budaya yang beragam.
Jamaah haji yang pejabat dan konglomerat setara dengan mereka yang melarat
yang menabung bertahun-tahun agar dapat menunaikan ibadah haji. Kesetaraan itu
tecermin dalam dua potong pakaian ihram sederhana berwarna putih yang
dikenakan para jamaah.
Tetapi kesetaraan dan kesederhanaan dalam ibadah haji itu kontradiktif dengan
lingkungan pelaksanaan ibadah haji. Sejak 1980-an, khususnya lingkungan Makkah
terus berubah secara cepat dengan kian banyak gedung-gedung pencakar langit
yang seolah berlomba satu sama lain memenuhi kaki langit Makkah dan sekaligus
melingkari atau bahkan seolah mengangkangi Masjid al-Haram dengan Ka'bahnya.
Gedung-gedung jangkung yang ini tidak bisa lain mengingatkan orang dengan gaya
hidup konsumeristik dan hedonistik di banyak bagian dunia lain. Dalam 10 tahun ini
sekitar 130 gedung pencakar langit sudah dan sedang diselesaikan
pembangunannya.
Hasilnya, begitu keluar dari Masjid al-Haram, jamaah bisa segera menemukan
kompleks hutan beton pencakar langit. Konglomerasi sejumlah bangunan dalam
satu kompleks yang menyatukan hotel, mal, dan fasilitas lain terbesar di dunia kinibisa ditemukan bukan di Manhattan, New York City, tetapi malah di Makkah, seperti
misalnya di kawasan Abraj al-Bayt. Dalam kawasan ini juga terdapat Menara Jam
Makkah (setinggi 601 meter) yang berdiri lebih belakangan dengan merobohkan
Benteng Ajyad yang didirikan penguasa Dinasti Usmani pada abad 18.
Di lingkungan Menara Jam Makkah Abraj al-Bayt juga ada hotel mewah semacam
Fairmont Hotel dan Resort. Sebelumnya, tidak kurang dari 12 hotel mewah barudibangun di kawasan terdekat Masjid al-Haram. Mereka umumnya hotel jaringan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 34/136
Resonansi Azyumardi Azra 34
kapitalisme dan liberalisme ekonomi-pasar internasional semacam Hyatt, Marriott,
atau Hilton.
Karena itu, jamaah haji Indonesia yang umumnya jamaah ONH (bukan ONH khusus
atau dulu disebut “ONH plus”) hanya bisa menempati hotel -hotel yang kian jauh dari
Masjid al-Haram--terlalu jauh untuk bisa ditempuh berjalan kaki. Dana ONH yang
jumlahnya pas-pasan untuk biaya perjalanan dan penyelenggaraan yang mereka
setor ke Kementerian Agama, sangat jauh daripada mencukupi untuk bisa tinggal di
hotel-hotel mewah (atau bahkan supermewah) yang ada di sekeliling Masjid al-
Haram.
Selain itu, Pemerintah Arab Saudi pada dasarnya membangun kembali Masjid al-
Haram dengan membuldozer seluruh bangunan masjid lama. Dengan begitu,
melenyapkan bagian tertua tersisa dari masjid ini, yang dibangun secara
berkelanjutan oleh para penguasa Dinasti Usmani sejak 1553 di masa Sultan
Sulayman dan sultan-sultan berikutnya.
Penghancuran sejarah. Sejak 1980-an sekitar 95 persen atau sekitar 400 situs
sejarah dan budaya sejak masa Nabi Muhammad dan para sahabat telah
dihancurkan Pemerintah Arab Saudi atas nama peningkatan fasilitas ibadah haji.
Penghancuran tersebut disertai dengan pengalihan fungsi yang tidak masuk akal;
misalnya, di atas rumah Siti Khadijah, istri Nabi, kini berdiri sejumlah blok toilet; di
atas bekas rumah sahabat Abu Bakar menjulang Hotel Hilton, dan banyak lagi.
Di sini kembali terdapat kontradiksi pahit. Pada satu pihak, Pemerintah Saudi terus
menghancurkan monumen sejarah dan budaya teramat penting bagi Islam, duniamuslim, dan peradaban dunia. Tetapi pada pihak lain, rezim Saudi dalam waktu
yang sama terus membangun sejarahnya sendiri yang hasilnya kontradiktif dengan
makna dan pesan ibadah haji itu sendiri.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 35/136
Resonansi Azyumardi Azra 35
Kebebasan Berekspresi dan Respekpada Agama
29 Oktober 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama termasuk di antara sejumlah
kebebasan lain yang dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM). Kebebasan berekspresi merupakan prasyarat bagi adanya kebebasan
beragama, yakni mengimani, mempraktikkan, dan menyiarkan agama.
Tetapi bagi sebagian kalangan di Eropa dan di Amerika Utara, kebebasan
berekspresi dan sejumlah kebebasan lain terlihat mengkhawatirkan. Kasus terakhir
yang sering dikutip adalah serangan beberapa muslim terhadap kantor majalah
satiris Prancis Charlie Hebdo beberapa waktu lalu.
Menghadapi kejadian tidak menyenangkan ini, pertanyaannya adalah apakah
mungkin menjamin kebebasan berpendapat dan pada saat yang sama tetap
memberikan penghargaan kepada agama? Bagaimana demokrasi yang menjamin
kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama yang terkait satu sama lain dapat
berjalan lebih harmonis?
Masalah dan isu tentang peristiwa terkait dengan kejadian, wacana, dan persepsi
yang berkembang menjadi salah satu tema pokok dalam "Warsaw Dialogue for
Democracy (WDD)", Warsawa, Polandia (22-24/10/2015). Penulis “Resonansi ” ini
mendapat kesempatan baik turut berbicara pada Panel III WDD tentang "Freedom of
Expression and Respect for Freedom of Religion or Belief".
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 36/136
Resonansi Azyumardi Azra 36
Menurut penulis, terkait peristiwa Charlie Hebdo dan sejumlah kasus lain seperti
kartun koran Denmark Jyllen Posten , Islam dan kaum muslim secara ngebyah
uyah sering dipersepsikan di Barat sebagai dogmatis, tidak toleran, dan tidak cocok
dengan kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan kebebasan lain yang
dinyatakan dalam DUHAM.
Persepsi ini tidak sepenuhnya salah. Banyak negara berpenduduk mayoritas muslim
di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika memiliki catatan buruk tentang kebebasan
berekspresi dan kebebasan beragama. Tidak kurang memprihatinkan, banyak
negara muslim, khususnya di dunia Arab, terus menunjukkan defisit demokrasi.
Gelombang demokrasi yang lazim disebut sebagai Arab Spring (Musim Semi Arab)
kini malah berganti dengan Arab Winter (Musim Dingin Arab) ketika transisi dan
konsolidasi demokrasi terlihat kian menjauh.
Negara-negara ini sejak dari Libya, Mesir, Yaman atau Suriah terus mengalami
gejolak kekerasan dan perang --instabilitas politik yang mengakibatkan eksodus
pengungsi dari Suriah, Libya, Irak, dan Afghanistan ke Eropa. Hanya Tunisia yang
berhasil melakukan transisi damai dan konsolidasi demokrasi.
Kenyataan ini bertolak belakang dengan ajaran Alquran yang menjamin kebebasan
berekspresi dan kebebasan beragama. Begitu juga dengan praktik Nabi Muhammad
SAW yang ketika menjadi pemimpin negara Madinah menerapkan Piagam Madinah
yang memberikan kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama kepada kaum
muslim maupun Yahudi --dengan demikian mencakup golongan non-muslim lain.
Lebih jauh, menurut penulis “Resonansi ” ini di depan audiens WDD, ada beberapafaktor yang menyebabkan tidak teraktualisasinya kebebasan berekspresi,
kebebasan beragama, kebebasan lain sesuai DUHAM, dan juga merajalelanya
defisit demokrasi di negara-negara tersebut.
Pertama adalah sistem politik. Sejak masa pasca-Perang Dunia II banyak negara
berpenduduk mayoritas muslim berada di bawah kekuasaan otoritarianisme rezim-
rezim militerisme, tribalisme, teokrasi, dan oligarki keluarga. Sampai munculgelombang demokrasi sejak akhir 2010, rezim-rezim penguasa melakukan represi
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 37/136
Resonansi Azyumardi Azra 37
terhadap warganya. Kekerasan atas nama negara mendapat tantangan dari aktor
non-negara, yakni kelompok islamis radikal yang melakukan aksi kekerasan dan
terorisme. Hasilnya adalah lingkaran kekerasan dan teror yang tidak bisa dihentikan.
Faktor kedua adalah kuatnya sektarianisme agama, kabilah, dan politik.
Sektarianisme ini terjadi di antara sesama kaum Sunni atau sesama kaum Syi’i atau
di antara kaum Sunni umumnya dengan kaum Syi’i. Lingkaran sektarianisme ini juga
seolah tidak bisa diakhiri, bahkan sebaliknya meningkat di Suriah dan Yaman.
Masing-masing pihak didukung negara; golongan Sunni didukung Arab Saudi dan
Qatar khususnya, sedangkan kaum Syi’i didukung Iran.
Dalam keadaan seperti itu, faktor ketiga adalah absennya civil society (masyarakat
madani atau masyarakat sipil) yang mutlak untuk menjadi kekuatan pengimbang dan
sekaligus sebagai mediasi antara negara dan masyarakat luas. Civil society telah
sepenuh dikooptasi negara dan tercerai berai.
Tidak ada cara instan untuk memperbaiki keadaan. Tetapi jika kebebasan
berekspresi dan kebebasan beragama dan demokrasi bisa berjaya, konsolidasi
demokrasi menjadi keharusan --meski memerlukan waktu lama. Begitu juga
revitalisasi masyarakat madani mutlak dilakukan.
Tak kurang pentingnya adalah mengurangi sektarianisme agama dengan
mengembangkan Islam wasathiyah --Islam jalan tengah yang inklusif, akomodatif,
dan toleran baik intra-Islam maupun antaragama.
Dalam sesi penutup, Mr Wojciech Ponikiewski, direktur untuk Urusan PBB dan HAMKemenlu Polandia menyimpulkan, kebebasan berekspresi seyogianya terus dijaga
bersamaan dengan penguatan rasa hormat kepada agama. Karena itu, penggunaan
kebebasan berekspresi untuk melecehkan agama merupakan tindakan
kontraproduktif.
, 06:00 WIB
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 38/136
Resonansi Azyumardi Azra 38
Milan26 November 2015
Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID
“Do you know Mister Thohir ?”. Massimo, pelayan Ristoranti Pizzeria Marruzella
Milan bertanya kepada penulis “Resonansi ” ini ketika 8 November 2015 sedang
menikmati pizza asli Italia —bukan pizza Amerika semacam Pizza Hut atau Domino
Pizza yang lazim ditemukan di beberapa kota besar Indonesia. Belum sempat saya
menjawab pertanyaan, dia langsung menambahkan: “ You know, Mr Thohir is now
the owner of Internazionale Milan. We are very happy that Inter play better now and
at the top of the table ”.
Massimo, sang waiter cukup fasih berbahasa Inggris —di atas rata-rata orang Italia
yang kalau ditanya dalam bahasa Inggris dijawab dengan bahasa Inggris patah-
patah atau bahasa Italia atau bahkan bahasa isyarat. Saya sering mengalami
keadaan ini ketika kesasar di jalanan Milan dan bertanya pada seorang perempuan
yang sedang mengajak anjingnya jalan-jalan. Perempuan ramah dan bersahabat ini
menjawab dengan bahasa Italia tambah ‘bahasa Tarzan’. Tapi saya cukup mengerti
dan bisa menemukan jalan.
Kembali kepada pertanyaan Massimo, saya tentu saja tahu yang dia maksudkandengan ‘Mister Thohir’ adalah Erick Thohir, pengusaha muda yang sangat aktif
dalam dunia olahraga —khususnya sepakbola —dan juga media massa. Saya jawab
pertanyaan itu dengan menyatakan; tentu saja saya mengenal baik Mister Thohir
dalam waktu yang cukup lama.
Saya bercerita lebih lanjut, saya ketemu Mister Thohir di Milan pada 30 Januari
2015, persisnya di atas pesawat Singapore Airlines yang terbang dari Bandara Milanmenuju Singapura dan terus ke Jakarta. Dalam pertemuan yang tidak terduga itu
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 39/136
Resonansi Azyumardi Azra 39
kami sempat mengobrol tentang Inter, dunia sepak bola dan juga media massa.
Saya sering mendapat pertanyaan serupa dalam beberapa kali kesempatan ke
Italia —Milan dan Roma —sepanjang 2014 dan 2015. Di lingkungan ibukota Roma
dan kawasan Vatikan yang merupakan pusat hierarki Katolik, selalu saja ada orang
yang mengaku pendukung fanatik Inter yang mengajukan pertanyaan sama.
Sebagai warga Indonesia yang juga hobi nonton sepakbola —termasuk Lega
Calcio —saya merasa senang dan bangga Indonesia juga kian dikenal di Italia dan
Vatikan melalui tim sepakbola Inter Milan yang selama di tangan Erick Thohir
meningkat kembali prestasinya.
Inter Milan sedang berubah ke arah lebih baik. Tapi berbeda dengan perkembangan
Inter, Kota Milan justru tengah berubah ke arah yang tidak menyenangkan.
Meninggalkan Milan kembali ke Jakarta pada hari yang kemudian ternyata menjadi
tragedi pemboman Paris (13/11/15), penulis “Resonansi ” ini belakangan mengetahui
kota fesyen ini juga menjadi salah satu target teroris.
Sejauh ini ancaman terorisme terhadap Milan belum terbukti. Setiap manusia
berperikemanusiaan wajib berharap atau berdoa agar terorisme —yang sudah
mengorbankan begitu banyak orang tidak tahu apa tentang agenda kelompok
teroris —tidak lagi terjadi; apakah di Milan, di tempat lain di Eropa atau juga di
Indonesia yang juga mendapat ancaman ISIS pekan lalu.
Milan tengah berubah. Ketika menjelang akhir Januari 2015 datang ke Milan, saya
tidak melihat sesuatu agak ganjil di kota ini. Tetapi dalam kedatangan kedua tahun
ini, November lalu, saya menyaksikan banyak pengemis —laki-laki dan perempuan —mengemis di pinggir jalan, di depan supermarket, di gerbang pintu masuk Metro
(kereta bawah tanah) dan di lingkungan kampus. Banyak juga pengasong yang
menjajakan dagangan seadanya.
Para pengemis dan penjual asongan ini umumnya berwajah Afrika dan Timur
Tengah. Mereka pengungsi atau migran yang meningkat jumlahnya di berbagai
negara Eropa sejak musim panas 2015. Mereka datang dari Libya, Tunisia, Syria,dan Iraq untuk menyelamatkan diri dari kecamuk kekerasan dan terorisme akibat
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 40/136
Resonansi Azyumardi Azra 40
konflik dan perang saudara di tanah air mereka. Menyeberangi Laut Tengah mereka
menuju pulau atau pantai Italia dan Yunani. Tidak sedikit di antara mereka tak
pernah sampai ke tempat tujuan —tenggelam di tengah laut.
Membanjirnya pengungsi atau migran kian tidak selalu welcoming —alias disenangi
masyarakat lokal. Meski orang Italia umumnya bersikap bersahabat —seperti
dikatakan Mr Thohir kepada saya —tapi kian banyak kalangan masyarakat
menggerutu. Ada kalangan mahasiswa dan dosen di lingkungan Universitas Katolik
Hati Suci Milan yang menyesalkan banjir migran —membuat kekumuhan baru di kota
mereka. Selain itu mereka juga menambah beban ekonomi bagi Italia yang
mengalami kesulitan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.
Banjir migran juga menyebabkan memburuknya citra Islam dan muslim. Dalam
percakapan dengan sejumlah kalangan, banjir migran adalah akibat kegagalan
kaum muslim di kawasan Afrika Utara dan Dunia Arab menyelesaikan masalah
secara damai. Konflik, kekerasan, dan terorisme yang terus terjadi di berbagai
tempat kawasan ini menjadi faktor pendorong bagi warga untuk meninggalkan tanah
air mereka.
Karena itu, sudah saatnya para penguasa, politisi dan aktivis di kawasan-kawasan
tersebut melakukan muhasabah untuk kemudian mengoreksi kekeliruan yang
menyebabkan terjadinya berbagai bencana kemanusiaan. Jika tidak, bukan hanya
Milan, tetapi juga kota-kota lain di Eropa menjadi lokus peningkatan sikap anti-Islam
dan anti-muslim.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 41/136
Resonansi Azyumardi Azra 41
Kerukunan, Kekerasan, dan Terorisme
31 Desember 2015
Oleh : Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID
Kerukunan intra dan antar-umat beragama merupakan agenda yang tak kunjung
selesai. Meski Indonesia secara umum adalah negara di mana kerukunan umatberiman yang berbeda aliran, mazhab, denominasi dan agama cukup baik,
perkembangan di dalam dan luar negeri bukan tidak sering memunculkan tensi,
konflik, kekerasan dan bahkan terorisme atas nama agama.
Dalam waktu empat tahun terakhir dapat dikatakan tidak terjadi peristiwa kekerasan
atau terorisme berskala besar. Kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik,
Banten terjadi empat tahun lalu (6/2/2011). Begitu juga bom bunuh diri di MasjidPolresta Cirebon (Jumat 15/4/2011). Lalu ada kekerasan terhadap penganut Syiah
di Sampang Madura (26/8/2012).
Selain itu ada kasus Gereja Yasmin Bogor yang penyelesaiannya belum diterima
semua pihak; lalu ada insiden Tolikara ketika massa Gereja Injili di Indonesia (GIDI)
membubarkan jamaah muslim yang sedang salat Idul Fitri (17/7/2015) dan
pembakaran gereja di Singkil (13/10/2015).
Semua kasus yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama berbeda itu
dapat disebut sebagai isolated cases —kasus-kasus terpencil; bukan merupakan
gejala umum yang berlaku di seluruh tanah air. Kasus-kasus itu lebih merupakan
letupan terkait situasi lokalitas tertentu sehingga tidak menyebar ke wilayah lain di
tanah air. Karena itu pula, secara umum dapat dikatakan kekerasan atas nama atau
bermotif agama menurun cukup signifikan.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 42/136
Resonansi Azyumardi Azra 42
Keadaan ini juga terlihat dari kesimpulan temuan Pusdiklat Kehidupan Agama,
Balitbang-Diklat yang diumumkan dan diekspos pada 22/12/15 lalu. Penelitian
menemukan secara umum terjadi peningkatan tingkat kerukunan di berbagai
provinsi Indonesia. Walaupun demikian, jelas masih terdapat sej umlah ‘titik panas’
(hot spots ) di beberapa kota atau kabupaten seperti tercermin dalam laporan Indeks
Toleransi (16/11/2015). Di kawasan kota atau kabupaten ini masih terdapat masalah
tertentu yang mengganggu kerukunan baik intra maupun antar-agama.
Dalam skala lebih serius, ancaman terhadap kerukunan atau bahkan stabilitas
sosial-politik Indonesia datang dari warga Indonesia yang tergabung dalam
kelompok, sel atau simpatisan IS (ISIS). Dalam silaturahim dengan para pimpinan
ormas dan tokoh Islam yang diprakarsai Wakil Presiden Jusuf Kalla (16/12/15),
terungkap ada sembilan kelompok atau sel di berbagai tempat di Tanah Air yang
aktif mendukung IS.
Menurut Kapolri Jenderal Polisi Badroddin Haiti, warga terindikasi terkait dengan IS
di seluruh Indonesia berjumlah 1.085 orang; kelompok inti 543, pendukung 246 dan
simpatisan 296 orang. Lalu ada 408 warga Indonesia yang sudah atau terindikasi
bakal bergabung dengan IS. Dari jumlah itu, tewas di IS 54 orang; kembali ke
Indonesia 47, dan rencana berangkat 70 orang.
Mereka ini, khususnya yang sudah kembali sebagai veteran atau bakal kembali nanti
potensial melakukan kekerasan atau aksi teror sebagai bukti loyalitas mereka
kepada IS. Mereka dapat memanfaatkan momentum tertentu seperti suasana
liburan keagamaan akhir dan penggantian tahun untuk melakukan aksi. Indonesia
patut mewaspadai kemungkinan ini, karena Indonesia sejauh ini terhindar dari aksikekerasan atau terorisme terkait IS.
Menghadapi gejala cukup mencemaskan terkait IS, Wakil Presiden menyatakan
pemer intah dan aparat kepolisian dan keamanan memilih ‘pendekatan lunak’ (soft
approach ) dari ‘pendekatan keras” (hard approach ). Para pimpinan ormas Islam
sepakat dengan pendekatan lunak; pemerintah dan aparat keamanan perlu
bertindak tegas tapi harus tetap terukur. Pendekatan keras bisa memunculkan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 43/136
Resonansi Azyumardi Azra 43
lingkaran kekerasan dan dendam yang sulit diakhiri. “Menghadapi kekerasan dan
tero risme tidak bisa dengan aliansi militer,” tegas Wapres Jusuf Kalla.
Karena itu, penguatan kerukunan dan pencegahan kekerasan dan terorisme
memerlukan pendekatan komprehensif. Dari sudut negara, Indonesia harus tetap
mampu memelihara stabilitas politik, ekonomi dan sosial. Alasannya jelas,
kekerasan dan terorisme seperti membiak di Timur Tengah bersumber dari negara
gagal ( failed states ) yang tidak mampu menciptakan ketidakstabilan politik. Di sini ini
pemerintah Indonesia berkewajiban menciptakan keadilan ekonomi, politik, sosial,
dan hukum. Kegagalan menciptakan keadilan menjadi sumber utama keresahan dan
pergolakan sosial dan politik.
Instabililitas politik karena berbagai faktor domestik maupun luar —seperti
penyerbuan AS dan sekutu ke Iraq —mendorong radikalisasi terutama di kalangan
mereka yang disebut Jusuf Kalla sebagai ‘anak -anak muda pemarah’ (angry young
people ). Banyak di antara mereka semula tidak akrab dengan agama, tetapi
kemudian melalui cuci otak dan indoktrinasi tertentu mengalami radikalisasi —siap
melakukan kekerasan dan terorisme.
Dalam konteks terakhir ini, ormas Islam yang memiliki jangkauan anggota, lembaga
dan jaringan sampai ke tingkat akar rumput berkewajiban senantiasa meneguhkan
pemahaman dan praksis Islam wasathiyah yang inklusif, toleran dan damai. Tak
kurang pentingnya, seperti ditegaskan Ketua Umum PB NU, KH Agil Siroj, perlu
penguatan kepaduan keislaman dan keindonesiaan. Kepaduan Islam dengan
nasionalisme Indonesia merupakan faktor penting untuk memelihara Indonesia yang
rukun, damai, dan berkeadaban.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 44/136
Resonansi Azyumardi Azra 44
KAJIAN KEISLAMAN DAN KEAGAMAAN
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 45/136
Resonansi Azyumardi Azra 45
PISAI, Islam, dan Paus Francis (1)
29 Januari 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Pasca-penyerangan Charlie Hebdo , bisa dipastikan Islam dan kaum muslim di Eropa
menghadapi terjadinya peningkatan kecurigaan dan sikap bermusuhan di kalangan
masyarakat lokal. Hal ini terutama bersumber dari pandangan dan sikap hegemonik
masyarakat Eropa bahwa pemuatan karikatur, penerbitan dan pernyataan yangmelecehkan orang, kelompok orang, figur agama, pemimpin politik dan agama
tertentu merupakan ekspresi kebebasan berpendapat yang tidak dapat
dikompromikan.
Dengan sikap dasar seperti itu, pandangan di kalangan masyarakat Eropa lain yang
menganggap pelecehan agama dan pribadi tertentu sebagai sikap semena-mena
dan tidak bertanggungjawab nyaris seperti ‘batu jatuh ke lubuk’. Kalanganmasyarakat Eropa dan bagian dunia lain yang berpendapat seperti ini juga
mengecam keras aksi teror dalam bentuk apapun —termasuk ke kantor Charlie
Hebdo dan pasar swalayan di Paris. Namun pada saat yang sama bagi mereka
kebebasan berekspresi semestinya disertai dengan sensivitas dan tanggung jawab.
Pembicaraan tentang isu ini sedikit banyak turut mewarnai Konferensi Tahun Emas
50 Tahun (Golden Jubilee ) Pontificio Instituto di Studi Arabi e d’Islamistica (ataudalam bahasa Inggris, Pontifical Institute for the Study of Arab and Islam —Institut
Kepausan untuk Kajian Arab dan Islam) di Roma pada 22-24/1/2015. Menjadi
pembicara dalam Konferensi PISAI 50 Tahun, penulis “Resonansi ” ini untuk ketiga
kalinya kembali ke PISAI sejak pertama kali datang pada Juli 2006 ketika
menyampaikan kuliah umum bertajuk ‘Indonesian Muslims: Movements and
Organizations’.
Menyimak kiprah PISAI sejak pertengahan dasawarsa awal 2000-an, PISAI
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 46/136
Resonansi Azyumardi Azra 46
merupakan lembaga pendidikan tinggi terpenting untuk kajian Islam dan masyarakat
muslim di lingkungan umat kristiani Eropa —tidak hanya Katolik tapi juga Kristen
(Protestan). Hampir tidak ragu lagi, PISAI memainkan peran penting dalam
menghasilkan sejumlah pastur, fungsionaris berbagai lembaga Katolik maupun
sarjana independen —termasuk muslim —yang memiliki pemahaman lebih baik dan
lebih akurat terhadap Islam dan kaum muslim.
Sejarah PISAI lebih tua daripada sekedar Jubilee 50 tahun. Kini berpusat di
lingkungan kota Vatikan sejak 1964, cikal bakal institusi PISAI didirikan Masyarakat
Misionaris [Katolik] yang sering juga disebut ‘White Fathers’ di Afrika di Manouba,
Tunisia pada 1926. Dipersiapkan sebagai pusat pelatihan misionaris yang bakal
bertugas di sejumlah wilayah muslim, sejak 1931 lembaga ini semula bernama
Institut de Belles Lettres de Arabes (IBLA). Seperti terlihat dari namanya ini,
pengajaran lebih ditekankan pada kemampuan bahasa Arab untuk membaca teks
Islam dan berkomunikasi dengan kalangan muslim Arab guna kepentingan
misionaris Katolik.
Pergeseran institut ini menjadi lebih akademis terjadi pada 1949 ketika pengajaran
dipisahkan dari kegiatan misionaris; dan sejak 1960 status kelembangaan
ditingkatkan menjadi Pontifical Institute for Oriental Studies. Selanjutnya 1964 ketika
dipindahkan ke Roma, nama PISAI diadopsi. Menjadi lembaga pendidikan tinggi,
PISAI memberi gelar license (S2) sejak 1966 dan gelar doktor (S3) sejak 1980.
Dalam pengalaman dan interaksi langsung dengan para pimpinan, dosen dan
mahasiswa PISAI, saya melihat lembaga ini memainkan peran penting dalam
menghasilkan sarjana dengan empati yang kuat pada agama dan umat beragama,tegasnya dalam hal ini Islam dan kaum muslimin. PISAI sendiri dalam penerbitan
resminya menekankan, berbagai matakuliah tentang Islam berusaha menghadirkan
Islam dan para penganutnya baik di masa lalu maupun sekarang secara saintifik
yang tidak bias.
Dengan demikian, dalam perkembangannya, PISAI dirancang Vatikan untuk
memberikan pengetahuan tentang berbagai aspek Islam dan masyarakat muslim.Vatikan memandang penting hal ini sebagai prasyarat bagi dialog kemanusiaan dan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 47/136
Resonansi Azyumardi Azra 47
teologis baik dalam konteks dialog antar-agama ( inter-religious ) maupun dialog
antar-budaya ( inter-cultural) .
Di tengah meningkatnya gejolak politik dan sekuriti yang terkait dengan segelintir
pemeluk Islam sejak Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat, pemboman di
Madrid 11 Maret 2004 dan di London 7 September 2005, berbagai pihak dan
lembaga Eropa —termasuk PISAI —meningkatkan dialog dengan para pemimpin,
‘ulama’ dan sarjana m uslim tidak hanya yang tinggal di Eropa, tetapi juga dari
wilayah muslim lain seperti Indonesia.
Kehadiran para sarjana muslim dalam berbagai kegiatan PISAI jelas merupakan
kesempatan sangat berharga untuk memberikan perpektif lebih akurat tentang Islam
dan kaum muslim. Bagi PISAI dan audiens Italia non-muslim, kehadiran para
pembicara muslim juga sangat penting untuk mendapatkan informasi dan
pandangan dari tangan pertama, seperti ditegaskan Paus Francis dalam
sambutannya menerima audiensi para peserta konferensi 50 Tahun PISAI.
Konferensi Jubileum Emas PISAI merupakan bagian penting dari dialog tersebut.
Kenyataan ini misalnya terlihat dar i tema yang diangkat: ‘ Studying and
Understanding the Religion of the Other: Towards Mutual Recognition between
Religions and Cultures in Today’s World ’. Dengan tema ini, konferensi menjadi
tempat berbagi pandangan dan pengalaman tentang bagaimana memahami Islam
dan minoritas muslim yang hidup di lingkungan masyarakat mayoritas Kristen.
Sebaliknya juga bagaimana memahami pengalaman umat minoritas kristiani di
lingkungan mayoritas muslim.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 48/136
Resonansi Azyumardi Azra 48
PISAI, Islam dan Paus Francis (2)
05 February 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Konferensi Jubileum Tahun Emas PISAI Vatikan (22-24/1/2015) berusaha
memberikan perspektif tentang umat beragama apakah sebagai mayoritas atau
sebaliknya minoritas dalam suatu negara atau wilayah tertentu. Dalam masyarakat
di manapun apakah sebagai mayoritas atau minoritas juga hampir selalu terdapat
kecenderungan memiliki pandangan stereotipikal, bias dan mispersepsi satu sama
lain. Persepsi tidak menguntungkan ini bisa menguat pada masing-masing pihak
karena faktor tertentu seperti krisis politik dan ekonomi atau konflik budaya.
Dengan demikian, pola hubungan antara umat mayoritas dengan minoritas sangat
dipengaruhi perkembangan internal dan eksternal masyarakat di satu negara atau
wilayah tertentu. Karena itu, perbaikan citra dan hubungan antara kedua belah pihakmemerlukan introspeksi yang dapat mendorong perubahan cara pandang dan sikap
secara internal umat beragama dan eksternal dalam interaksi dengan masyarakat
atau umat beragama lain.
Dalam konteks itu, penulis “Resonansi ” ini ketika berbicara tentang ‘‘Studying and
Understanding Islam in the Christian Milieu; An European Context ’ ’menyarankan
perlunya bagi kaum muslim Eropa melakukan introspeksi agar dapat memperbaikicitra Islam dan sekaligus hubungan dengan masyarakat mayoritas Kristen. Secara
internal, jelas kaum muslim Eropa —apakah keturunan imigan atau pribumi lokal —
adalah orang-orang yang hanya ingin hidup damai; dapat mencari nafkah,
meningkatkan kualitas hidup, dan menjalankan agama dengan baik.
Tetapi pada saat yang sama, terdapat gejala yang terus bertahan — jika tidak
meningkat--selama hampir satu setengah dasawarsa terakhir, yaitu radikalisasi
segelintir muslim yang siap melakukan aksi teror di bumi Eropa sendiri, seperti
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 49/136
Resonansi Azyumardi Azra 49
pemboman Madrid 2004, London 2005 dan Charlie Hebdo 2014. Mereka juga siap
pergi dalam jumlah besar bergabung dengan aksi kekerasan dan teror ISIS di
wilayah Syria, Irak, dan Kurdistan.
Menghadapi gejala ini, perlu pengarusutamaan dan pemberdayaan Islam
wasatiyah — jalan tengah yang jauh dari berbagai bentuk ekstremisme, literalisme
dan radikalisme. Pengarusutamaan itu pertama-tama adalah dengan membawa
kaum muslim —khususnya anak muda —keluar dari kehidupan nestapa karena
menganggur di ghetto seperti yang mudah dapat ditemukan di pinggiran kota Paris
atau Berlin atau kota-kota besar Eropa lain.
Mereka yang hidup dalam kenestapaan terhinggapi perasaan teralienasi dan
sekaligus frustrasi. Karenanya mereka kian sulit terintegrasi ke dalam masyarakat
lokal. Dalam keadaan semacam itu mereka lebih rawan terekrut ke dalam sel
kekerasan yang ada di Eropa sendiri yang memiliki jaringan dengan kelompok
radikal dan teroris di Timur Tengah atau Asia Selatan.
Selain itu juga penting pengarusutamaan lembaga Islam sejak dari Islamic Center,
masjid, musala, sekolah, dan madrasah. Pengarusutamaan ini bukan hanya bakal
memperkuat mereka dari infiltrasi sel radikal, tetapi juga membuatnya lebih
fungsional bagi pembinaan masyarakat muslim.
Hal lain yang tak kurang pentingnya dalam konteks pembinaan umat muslim
minoritas adalah kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam di Eropa.
Dengan adanya lembaga pendidikan arus utama untuk menghasilkan imam,
muballigh dan fungsionaris Islam lain, maka Islam dan umat muslim dapat menjadibagian integral dari masyarakat Eropa secara keseluruhan.
Percepatan pengarusutamaan itu nampaknya lebih mungkin jika kaum muslim
sendiri lebih mengembangkan sensitivitas sosio-kultural lokal. Sepatutnya kaum
muslim yang beragam tidak berkutat menerapkan di tengah masyarakat Eropa
tradisi sosial-budaya yang sebenarnya bukan bersumber dari ajaran Islam semacam
burdah atau niqab yang mengundang kecurigaan dan masalah sekuriti. Kaummuslim Eropa sepantasnya menerapkan kearifan lokal semacam yang ada di
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 50/136
Resonansi Azyumardi Azra 50
Indonesia: “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”, yang dalam bahasa Ing gris
diekspresikan dengan kalimat: “ When you are in Rome, do what the Romans do ”—
tentu saja tanpa mengorbankan prinsip dan ajaran pokok Islam.
Upaya pengarusutamaan di atas, sebagian besarnya memerlukan kerjasama para
pemimpin muslim dengan pemerintah dan masyarakat lokal. Untuk itu penting pula
bagi para pemimpin muslim membangun hubungan kerja yang fungsional dan
workable dengan kepemimpinan dan masyarakat lingkungannya, termasuk dengan
kepemimpinan keagamaan mayoritas (kristiani).
Hal semacam ini juga ditegaskan Paus Francis ketika menerima peserta Konferensi
(24/11) lalu di kantornya di Vatikan. Menurut Paus, adalah tugas pedagogis [bagi
setiap dan seluruh orang] untuk mengakui nilai-nilai orang lain; [dan pada saat yang
sama mencoba] mengerti concerns mereka yang tidak terungkapkan… Dengan
begitu kita semua dapat bertumbuh dalam pengetahuan timbal balik.
Paus Francis mengakui, meski masih ada salah paham dan kesulitan, banyak
kemajuan dalam dialog antar- agama Vatikan, khususnya dengan umat Islam. “Un tuk
itu, sangat esensial [bagi semua orang] melatih diri mendengar orang lain. …Dialog
Islam- Kristen khususnya memerlukan kesabaran dan kerendahan hati”.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 51/136
Resonansi Azyumardi Azra 51
Islam, Biblioteca Ambrosiana, danCo.Re.Is
12 Februari 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Seperti lazimnya kebanyakan lembaga dan warga Eropa, pengetahuan mereka
tentang Islam dan kaum muslimin umumnya dangkal dan telah terdistorsi. Aksi
kekerasan y ang dilakukan beberapa ‘oknum’ m uslim terhadap tabloid Charlie
Hebdo belum lama ini mengakibatkan kian terdistorsinya citra Islam di kalangan
masyarakat Eropa umumnya.
Pengetahuan mereka tentang Islam Indonesia, juga dapat dikatakan samar-samar.
Islam Indonesia dianggap identik dengan Islam Arab, Islam Maghrib, atau Islam
Anak Benua India. Tetapi, berbagai kejadian tidak meny enangkan terkait ‘oknum -
oknum’ m uslim seperti dalam kasus Charlie Hebdo membuat sebagian mereka,
khususnya yang bergerak di lembaga-lembaga resmi mulai berusaha mengetahui
lebih banyak tentang Islam Indonesia.
Salah satu lembaga penting di Italia dalam konteks itu adalah Biblioteca
Ambrosiana, Milan, yang melalui kerja sama dengan Co.Re.Is(Communita Religiosa
Islamica) Italiana dan Dubes RI untuk Vatikan, Budiarman Bahar, mengundang
penulis “Resonansi ” ini memberikan ceramah umum bertajuk ‘ ’ L’Islam e la LibertaReligiosa in Indonesia ’ ’. Masalah ini belakangan menjadi kian relevan dibicarakan
terkait tensi dan konflik yang berujung kekerasan di antara kebebasan berpendapat
termasuk melecehkan pemimpin agama pada satu pihak dengan pihak yang
memandang kebebasan tersebut mesti mempertimbangkan sensitivitas agama.
Lebih jauh pemilihan tajuk ini secara tersirat mengisyaratkan, dalam persepsi
kalangan Eropa masih ada masalah sejauh menyangkut Islam dan kebebasanberagama. Indonesia yang mereka ketahui merupakan negara dengan penduduk
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 52/136
Resonansi Azyumardi Azra 52
muslim terbesar di dunia bagi mereka dapat memberikan perspektif tentang subyek
ini.
Biblioteca Ambrosiana sendiri merupakan salah satu perpustakaan tertua di dunia.
Didirikan Kardinal Milan, Federigo Borromeo antara 1603-1609, perpustakaan ini
lebih daripada sekadar tempat menyimpan koleksi buku dan manuskrip kuno yang
lebih satu juta kopi untuk dibaca dan diteliti para pembaca. Biblioteca ini juga tempat
koleksi lukisan terbaik semacam karya Leonardo da Vinci dan sekolah tinggi untuk
seni lukis, dan seminari untuk penuntut ilmu.
Sedangkan Co.Re.Is adalah organisasi muslim dengan mayoritas anggota warga
pribumi Italia yang memeluk Islam setelah satu atau dua generasi. Didirikan Imam
Abd al-Wahid Felice al-Pallavicini yang masuk Islam pada 1951, Co.Re.Is yang
berpusat di Masjid al-Wahid Milan, kini sehari-hari dipimpin puteranya Imam Sergio
Yahya Pallavicini. Masjid ini sekaligus menjadi pusat Tarekat Ahmadiyah,
Syadziliyah dan Idr isiyah pimpinan kedua imam dan pusat pelatihan imam dan da’i
yang datang dari berbagai negara Eropa. Co.Re.Is juga aktif dalam dialog intra dan
antaragama, dan Imam Yahya merupakan tokoh Muslim terpenting yang sering
dikonsultasi pemerintah Italia dalam hal ikhwal terkait Islam dan kaum Muslimin.
Baik Imam Abd al-Wahid dan Imam Yahya memiliki kedekatan dengan Nusantara.
Imam Abd al-Wahid dalam pencarian spiritualnya sepanjang dasawarsa 1940-an
dan 1950-an mengembara sejak dari Maroko, Jepang, dan berakhir di Singapura di
mana dia diinisiasi Syaikh Abd al-Rasyid al-Linki masuk tarekat Syadziliyah. Kembali
ke Italia, sejak 1980 dia mendapat ijazah dan otoritas sebagai mursyid tarekat
Ahmadiyah-Syadziliyah-Idrisiyah dan menjadi figur sufi terkemuka di Benua Eropa.
Sedangkan Imam Yahya yang punya ibu asal Jepang, beberapa kali mengunjungi
Indonesia dan terkait jaringan intelektual dan spiritual dengan sejumlah pemimpin
dan intelektual muslim Indonesia. Interaksi dan pengamatan langsung atas Islam
dan kaum muslimin Indonesia memperkaya perspektif Imam Yahya tentang Islam
Wasathiyah.
Sedangkan dari pihak Biblioteca Ambrosiana adalah Pastur DR Paolo Nicelli yang
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 53/136
Resonansi Azyumardi Azra 53
melihat Islam Nusantara sebagai sebuah model yang perlu pengenalan lebih jauh di
Eropa. Melakukan riset untuk disertasi doktor di wilayah Moro Filipina selatan, Nicelli
melihat Islam Indonesia dapat memainkan peran kian penting dalam sosialisasi dan
pengembangan Islam Jalan Tengah ( Wasathiyah ). Ia mengetahui tentang
keterlibatan ormas Islam semacam Muhammadiyah dalam upaya resolusi konflik
dan penciptaan perdamaian di antara Bangsa Moro Muslim dengan pemerintah
Manila. Dia berharap ormas-ormas Islam Wasatiyah Indonesia dapat lebih proaktif
lagi dalam pengembangan Islam Wasathiyah Eropa.
Dalam kaitan itu, Nicelli tengah berusaha mengembangkan kajian Islam Wasathiyah
Nusantara di Biblioteca Nusantara. Di antara cara yang sedang dia kembangkan
adalah dengan mengembangkan semacam Pusat Kajian Islam Nusantara yang
menyelenggarakan diskusi, seminar dan konferensi tentang Islam Nusantara. Selain
itu adalah dengan memperbanyak koleksi buku dan manuskrip Islam Nusantara
yang dapat menjadi bahan bacaan dan riset bagi para pembaca dan peneliti yang
tertarik pada subyek ini.
Kerja sama antara Biblioteca Ambrosiana dan Co.Re.Is menyangkut sosialisasi dan
pengembangan Islam Wasathiyah Indonesia merupakan contoh sangat baik dalam
pengarusutamaan Islam rahmatan lil ‘alamin di Eropa. Kedua institusi ini bersama
sejumlah lembaga lain di Eropa dengan visi dan misi yang sama memberi
kesempatan baik bagi lembaga, ormas dan pemerintah Indonesia lebih aktif
memperkenalkan Islam Wasathiyah Nusantara. Dengan begitu Islam Indonesia kian
kontributif dalam membangun peradaban religius, maju dan damai.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 54/136
Resonansi Azyumardi Azra 54
Transnasionalisasi Islam Indonesia (1)
16 April 2015REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Islam merupakan agama kosmopolitan dan transnasional; bersifat internasional, baik
dari segi doktrin teologi maupun legal fiqhiyyah yang melintasi batas kabilah, suku,
bangsa, ras, dan seterusnya. Islam adalah agama bagi umat manusia yang beragam
dari berbagai segi.
Jika ada distingsi yang ditekankan doktrin Islam di tengah berbagai realitas
kosmopolitan dan transnasional maka itu adalah ketakwaan. Tidak ada beda satu
individu dan kelompok Muslim dengan individu dan kelompok lain, kecuali
ketakwaannya--ketundukan dan kepasrahan penuh kepada Allah SWT.
Pada saat yang sama, sebagai realitas sejarah yang melintasi waktu dan tempat,
Islam juga menjadi realitas lokal. Islam hidup di tengah masyarakat atau lokalitastertentu dan tidak imun dan bebas dari berbagai pengaruh faktor dan kekuatan
sejarah. Doktrin Islam yang semula bersifat transnasional kemudian mengalami
proses kontekstualisasi, vernakularisasi, dan indigenisasi. Melalui proses seperti ini,
Islam dalam perjalanan sejarah bukan hanya merupakan agama transnasional,
tetapi sekaligus menjadi realitas lokal.
Dalam konteks itu, menarik dan tepat waktu memperbincangkan gagasan
transnasionalisasi atau internasionalisasi Islam Indonesia. Perbincangan tentang
subjek ini menjadi tema seminar pra-Muktamar Muhammadiyah pada 14 April 2015
di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Sedangkan, Muktamar
Muhammadiyah ke-47 bakal diselenggarakan pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar.
Sejumlah pakar terlibat dalam percakapan yang intens mengingat tema ini jarang
diperbincangkan.
Tema tentang transnasionalisasi dan internasionalisasi Islam Indonesia bukan hanya
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 55/136
Resonansi Azyumardi Azra 55
relevan dengan Muhammadiyah, melainkan juga dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan
ormas-ormas Islam Indonesia lain yang mewakili Islam wasatiyah . Dengan karakter
dan aktualisasi religius, sosio-budaya, dan politiknya yang khas, ormas-ormas Islam
Indonesia arus utama karena sejumlah alasan para ahli dari keahlian dan sudut
pandang masing-masing melihat sudah waktunya bagi ormas-ormas itu
mengakselerasikan transnasionalisasi dan internasionalisasi.
Banyak ormas Islam Indonesia sudah berusia panjang. Muhammadiyah sudah
berada dalam perjalanan abad kedua. NU dalam waktu 10 tahun ke depan menurut
kalender Masehi juga melintasi usia satu abad. Usia yang panjang juga telah
ditempuh kebanyakan ormas Islam lain--lebih tua dari usia Republik.
Ormas-ormas ini, khususnya Muhammadiyah dan NU--sebagai dua ormas terbesar
Islam Indonesia--mengandung banyak potensi akselerasi diri menjadi transnasional,
baik dari segi pemahaman maupun praksis keagamaan. Hal ini bisa diwujudkan
melalui proses internasionalisasi dalam berbagai bidang sejak dari teologi, visi, dan
misi keislaman, kelembagaan pendidikan, dakwah, kepenyantunan sosial,
kesehatan, ekonomi, dan seterusnya.
NU dan Muhammadiyah pada awalnya juga berangkat dari kerangka Islam
transnasional tersebut. NU berlambangkan bola dunia dengan bintang sembilan.
Sedangkan, Muhammadiyah memiliki lambang bola matahari yang memancarkan
sinar ke seluruh penjuru. Terlihat jelas pretensi transnasional masing-masing.
Sedangkan, pada tingkat doktrin dan ritual sesungguhnya tidak banyak perbedaan
dalam hal usuliyyah (pokok-pokok agama) antara Muhammadiyah dan NU dengankaum muslimin lain di mana pun. Perbedaan paling banter ada pada level 'ranting'
(furu'iyah ). Meski demikian, ormas-ormas Islam Indonesia juga mengakomodasi
doktrin dan praktik keagamaan yang semula mungkin tidak sepenuhnya kompatibel
dengan raison d'etre ideologisnya.
Pada segi lain, kemunculan ormas-ormas Islam sedikit banyak terkait dengan Islam
transnasional dari para pemikir dan aktivis semacam Jamaluddin al-Afghani,Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha. Berangkat dari keprihatinan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 56/136
Resonansi Azyumardi Azra 56
terhadap kenestapaan kaum muslim di berbagai banyak bagian dunia di bawah
ancaman dan cengkeraman kolonialisme Eropa, tokoh-tokoh ini menyeru kaum
muslim untuk bangkit memajukan diri dalam berbagai bidang sejak dari keagamaan,
pendidikan, sampai kepada politik.
Meski terkait dengan pemikiran dan gerakan transnasionalisme, ormas-ormas Islam
Indonesia sejak awal kelahirannya pada masa penjajahan Belanda juga merupakan
respons kontekstual terhadap realitas lokal. Tanpa kontekstualisasi dan akomodasi
terhadap realitas lokal, sangat boleh jadi ormas-ormas Islam menjadi tidak atau
kurang relevan dengan tantangan masyarakat muslim lokal di berbagai wilayah
Indonesia.
Sebaliknya, sebab ormas-ormas itu kontekstual dengan lingkungan masing-masing,
ia menjadi relevan bagi masyarakat muslim Indonesia sehingga ormas-ormas
tersebut tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang secara fenomenal
dari waktu ke waktu.
Muhammadiyah, NU, dan ormas-ormas Islam Indonesia lain dalam
perkembangannya lebih merupakan realitas translokal Indonesia daripada
transnasional--meski juga ada Muhammadiyah Singapura (berdiri 1957) atau NU
Afghanistan (berdiri Mei 2014). Kedua Muhammadiyah dan NU di mancanegara ini
beranggotakan masyarakat muslim lokal, bukan muslim Indonesia.
Di luar itu, Muhammadiyah dan NU tidak berusaha keras menjadi sebuah gerakan
transnasional. Kedua ormas ini tampaknya tidak memiliki agenda dan program
khusus untuk penyebaran paham dan praksis Islam Indonesia transnasional di duniainternasional.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 57/136
Resonansi Azyumardi Azra 57
Transnasionalisasi Islam Indonesia (3)
30 April 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Jelas sulit mencegah masuknya arus paham dan gerakan Islam transnasional ke
Indonesia, khususnya pada masa kini yang ditandai transmisi informasi secara
instan melalui dunia maya. Berkat kemajuan teknologi, penyebaran paham dan
gerakan transnasional yang tidak selalu kompatibel dengan Islam wasatiyah Indonesia dan Islam rahmatan lil ‘alamin seolah tidak bisa dibendung.
Apalagi secara historis, sejak masa awal kedatangan dan penyebaran Islam, seperti
terlihat dalam kajian penulis sendiri tentang ‘jaringan ulama’, benua maritim
Indonesia selalu terkait dan terlibat dalam kosmopolitanisasi dan globalisasi Islam,
mencakup pemahaman dan praksis keislaman transnasional.
Mengamati sejarah dan dinamika Islam Indonesia dalam konteks itu, muncul kritik
dari sejumlah pengkaji Islam Indonesia, seperti AH Johns (1976, 1981) dan Mona
Abaza (1994). Mereka berargumen, Islam Indonesia cenderung menjadi penerima
(recipients ) saja dari paham dan gerakan Islam transnasional. Bahkan, almarhum
Nurcholish Madjid pernah menyatakan, Islam Indonesia masih merupakan
‘konsumen’ pemikiran dan gerakan Islam transnasional luar daripada menjadi
‘produsen’ yang mampu ‘mengekspor’ pemikiran dan gerakan Islam Indonesia ke
mancanegara.
Pernyataan itu dalam segi tertentu bisa diperdebatkan. Tetapi, poin penting yang
perlu dikemukakan di sini adalah Islam Indonesia dengan warisan Islam ( Islamic
legacy ) yang begitu kaya --termasuk khususnya ormas-ormas wasatiyah- - sudah
waktunya mengakselarasikan ‘arus balik’ pemikiran dan gerakan Islam Indonesi a ke
mancanegara. Arus balik ini bukan hanya untuk sekadar ekspansi Islam Indonesia,
tetapi juga guna memberikan kontribusi penting pada peradaban dan kemanusiaan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 58/136
Resonansi Azyumardi Azra 58
universal lebih aman, harmonis, dan toleran.
Perlunya akselarasi internasionalisasi dan transnasionalisasi muncul sejak awal
milenium baru yang ditandai peristiwa di tingkat internasional semacam 11
September 2001 di Amerika Serikat, pengeboman di Madrid (11 Maret 2004),
London (7 Juli 2005). Peristiwa-peristiwa yang melibatkan individu dan kelompok
muslim itu selain meningkatkan ketegangan antara apa yang biasa disebut sebagai
‘Islam versus the West’ , juga memperkuat citra Islam dan Muslim sebagai ‘radikal’.
Meski generalisasi ini telah banyak dikoreksi, tetapi citra radikal terus bertahan
dengan konflik dan kekerasan seputar Arab Spring sejak akhir 2011 sampai
sekarang, kemunculan ISIS sejak 2014, dan konflik Yaman sekarang yang bisa
terjerumus menjadi perang regional ketika Arab Saudi membentuk Koalisi Arab
menyerang pemberontak Houthi yang menguasai berbagai wilayah Yaman.
Dalam konteks itu, masyarakat internasional --baik muslim maupun non-muslim--
merindukan Islam damai, ramah, akomodatif, inklusif, dan dapat hidup
berdampingan intra-muslim yang mengandung berbagai aliran dan non-muslim
antaragama. Itulah Islam wasatiyah Indonesia, yang dikembangkan, dipelihara, dan
diperkuat mayoritas mutlak muslim Indonesia, yang dalam jumlah besar juga
terwakili ormas-ormas Islam.
Itulah Islam yang dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi para pengikutnya; juga
bagi umat manusia lain yang menganut agama berbeda; bagi lingkungan alam
dengan makhluk Allah lain; dan bagi peradaban dan kemanusiaan universal.
Sekali lagi, ormas-ormas Islam Indonesia arus utama memiliki potensi besar dan
pengalaman panjang untuk mengakselerasikan transnasionalisasinya. Dari sudut
ortodoksi Islam Indonesia (kalam Asy’ariyah, fikih Syafi'i, dan tasawuf al-Ghazali),
kaum muslimin negeri ini membuktikan kebertahanan dan keberlanjutan paham
keislaman yang menekankan moderasi dan toleransi sesama muslim dan juga
dengan non-muslim. Dengan begitu, ormas-ormas Islam Indonesia dapat
meningkatkan eksistensi dan kiprahnya di tengah gelombang perubahan, baik ditingkat negara Indonesia maupun di tengah kehidupan masyarakat internasional.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 59/136
Resonansi Azyumardi Azra 59
Selain itu, ormas-ormas Islam Indonesia sangat kaya dengan kelembagaan dalam
berbagai bidang kehidupan sejak dari dakwah, pendidikan, kesehatan,
kepenyantunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Pada saat yang sama,
ormas-ormas Islam kian kaya dengan SDM terdidik yang mengisi berbagai sektor
kehidupan bangsa. Mereka ini sekaligus menjadi tulang punggung ( backbone ) kelas
menengah muslim.
Dengan semua potensi dan kekayaan warisan, ormas-ormas Islam Indonesia
berada pada posisi kuat untuk mengakselarasikan transnasionalisasinya. Untuk itu,
ormas-ormas Islam Indonesia arus utama mesti lebih asertif dan memperluas
jaringan di mancanegara, baik dengan kelompok dan komunitas Islam, dan juga
dengan lingkungan masyarakat dan pemerintahan lebih luas.
Transnasionalisasi ormas Islam tidak cukup hanya dengan memperbanyak cabang
khusus, seperti Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) atau Pengurus
Cabang Istimewa-NU (PCI-NU). Cabang Istimewa kedua ormas Islam ini ada,
misalnya, di Kairo atau Jeddah atau Den Haag. Tetapi, para anggotanya terbatas
pada WNI atau ‘orang sumando’ dari pasangan suami -istri yang kawin campur.
Mestinya PCIM atau PCI- NU mengalami ‘pribumisasi’ atau ‘indigenisasi’, menjadi
ormas lokal.
Jika strategi dan langkah seperti ini dapat dilakukan, insya Allah ormas-ormas Islam
Indonesia dapat menjadi paham dan gerakan transnasional Islam --mewakili Islam
wasatiyah Indonesia, yang selalu menekankan pentingnya mewujudkan
Islam rahmatan lil ‘alamin dalam semesta alam.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 60/136
Resonansi Azyumardi Azra 60
Islam Nusantara (1)
18 Juni 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
'Islam Nusantara', istilah yang belakangan ini menemukan momentum
popularitasnya, terutama setelah PBNU mengangkatnya menjadi tema Muktamar
ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015. Tema itu persisnya
berbunyi “Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan Dunia”.Istilah dan tema ini--terlepas beberapa hal problematik terkait--sangat relevan dan
tepat waktu waktu dalam konteks nasional maupun internasional.
Istilah 'Islam Nusantara' juga menjadi wacana Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam
berbagai kesempatan. Terakhir sekali, Presiden Jokowi juga menggunakan istilah
'Islam Nusantara' dalam kesempatan 'istighatsah kubra' yang diselenggarakan NU di
Jakarta (14/6/15) dalam rangka Munas Alim Ulama NU dan menyambut Ramadhan1436 H/2015 M.
Penulis “Resonansi” kemudian diminta tanggapan oleh BBC London tentang 'Islam
Nusantara' yang juga disinggung Presiden Jokowi tersebut (Haedar Affan, “Polemik
di Balik Istilah 'Islam Nusantara' ”, BBC London, 15/6/15). Apakah maksud istilah
'Islam Nusantara'? Apakah istilah ini sesuatu yang baru?
Dalam seminar internasional pra-Muktamar NU yang diselenggarakan Harian
Kompas (27/5/2015) dan Panitia Muktamar ke- 33 NU, penulis “Resonansi” ini
berusaha menjelaskan makna istilah 'Islam Nusantara'. Istilah mengandung konsep
dan konotasi berbeda ketika diterapkan pada wilayah berbeda di Nusantara.
Istilah 'Islam Nusantara' pada dasarnya tidaklah baru. Istilah ini mengacu pada Islam
di gugusan kepulauan atau benua maritim (nusantara) yang mencakup tidak hanya
kawasan yang sekarang menjadi negara Indonesia, tetapi juga wilayah muslim
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 61/136
Resonansi Azyumardi Azra 61
Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga
Champa (Kampuchea).
Dengan cakupan seperti itu, 'Islam Nusantara' sama sebangun dengan 'Islam Asia
Tenggara' (Southeast Asian Islam). Secara akademik, istilah terakhir ini sering
digunakan secara bergantian dengan 'Islam Melayu-Indonesia' (Malay-Indonesian
Islam). Masalahnya kemudian, apakah absah berbicara tentang 'Islam Nusantara'
atau 'Islam Asia Tenggara' atau 'Islam Melayu-Indonesia'? Apakah 'Islam Nusantara'
memiliki distingsi, baik pada tingkat doktrin normatif maupun kehidupan sosial,
budaya, dan politik?
Dalam pandangan penulis “Resonansi”, secara normat if doktrinal, 'Islam Nusantara'
menganut Rukun Iman dan Rukun Islam yang sama dengan kaum Ahlus-Sunnah
wal-Jama'ah (Sunnah atau Sunni) lain di bagian dunia Islam mana pun seperti
disepakati jumhur (mayoritas) ulama otoritatif. Meski demikian, dalam batas tertentu
'Islam Nusantara' memiliki distingsi sendiri. Kenyataan ini bisa terlihat dari, misalnya
ortodoksi Islam Nusantara yang terbentuk mapan khususnya sejak abad ke-17
ketika murid-murid Jawi seperti Nuruddin ar-Raniri, 'Abdurrauf al-Singkili, dan
Muhammad Yusuf al-Maqassari kembali ke Nusantara setelah belajar selama
hampir dua dasawarsa dan terlibat dalam 'jaringan ulama' yang berpusat di Makkah
dan Madinah.
Ortodoksi Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga unsur utama, pertama, kalam
(teologi) Asy'ariyah; kedua, fikih Syafi'i--meski juga menerima tiga mazhab fikih
Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali, baik dipraktikkan secara individual atau
komunal maupun melalui tarekat sufi yang lebih terorganisasi lengkap denganmursyid, khalifah dan murid, dan tata cara zikir terentu. Sebagai perbandingan,
ortodoksi Islam Nusantara ini berbeda dengan ortodoksi Islam Arab Saudi. Dalam
dua konferensi dengan kalangan ulama dan intelektual Arab Saudi di Riyadh dan
wadi sekitar 300 kilometer dari Riyadh (3-7/1), p enulis “Resonansi” ini menyatakan,
ortodoksi Islam Arab Saudi mengandung hanya dua unsur, yaitu pertama, kalam
(teologi) Salafi-Wahabi dengan pemahaman Islam literal dan penekanan pada Islam
yang 'murni'.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 62/136
Resonansi Azyumardi Azra 62
Dengan pandangan kalam seperti itu, dalam perspektif doktrin ortodoksi Islam Arab
Saudi, tidak heran jika banyak muslimin lain dianggap sebagai pelaku bid'ah
dhalalah (ritual tambahan sesat) yang bakal membawa mereka masuk neraka.
Termasuk ke dalam bid'ah dhalalah itu adalah merayakan Maulid Nabi Muhammad
SAW yang ramai dirayakan kaum muslimin Indonesia. Unsur ortodoksi Islam Arab
Saudi kedua adalah fikih Hanbali yang merupakan mazhab paling ketat dalam
yurisprudensi Islam. Ortodoksi Islam Arab Saudi tidak mencakup tasawuf, justru
tasawuf ditolak karena dianggap mengandung banyak bid'ah dhalalah .
Dalam kedua konferensi ini selalu muncul pertanyaan dari peserta Arab Saudi yang
ditujukan kepada pe nulis “Resonansi” ini. “Kenapa m uslim Indonesia gemar
mempraktikkan tasawuf yang menurut mereka mengandung banyak bid'ah
dhalalah? " Pertanyaan ini bisa dipahami berangkat dari bias dan prasangka
terhadap tasawuf yang sebenarnya secara historis memainkan peran penting dalam
peningkatan maqamat spiritualitas muslim dan sekaligus pemeliharan integritas
kaum muslimin menghadapi berbagai tantangan dan realitas historis.
Ortodoksi Islam Salafi-Wahabi Arab Saudi terlalu kering dan sederhana bagi kaum
muslimin Nusantara. Umat muslimin Nusantara telah dan terus menjalani warisan
tradisi untuk mengamalkan Islam yang kaya da n penuh nuansa. Penulis “Resonansi”
ini menyebutnya sebagai 'Islam berbunga-bunga' ( flowery Islam ) dengan 'ritual' sejak
tahlilan, nyekar atau ziarah kubur, walimatus-safar (walimatul haj/umrah ), walimatul
khitan , tasyakuran, sampai empat bulanan atau tujuh bulanan kehamilan.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 63/136
Resonansi Azyumardi Azra 63
Islam Nusantara: Islam Indonesia (2)
25 Juni 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Islam Nusantara memiliki distingsi tidak hanya dalam tradisi dan praktik keislaman
yang kaya dan penuh nuansa, tetapi juga dalam kehidupan sosial, budaya dan
politik. Karena itu, penyebutan Islam Nusantara dengan memandang praktik
keagamaan adalah valid belaka.
Memang terdapat kalangan ulama dan intelektual muslim yang menganggap Islam
hanyalah satu entitas; sama bagi setiap wilayah dan bangsa. Profesor Abdel-
Moneem Fouad, Dekan Dirasah Islamiyah untuk Mahasiswa Internasional
Universitas al-Azhar, Kairo, dalam seminar pra-Muktamar NU-Kompas menyatakan
‘Islam hanya satu. Tidak ada Islam Nusantara, Islam Arab atau Islam Mesir’.
Pandangan Fouad menurut penulis “Resonansi ” ini berdasarkan kerangka idealistik.
Pandangan ini tidak mempertimbangkan realitas historis-empiris perjalanan Islam
sepanjang sejarah di berbagai wilayah beragam yang memiliki realitas sosial,
budaya, politik yang berbeda.
Dalam pandangan penulis “Resonansi ” ini, Islam satu hanya ada pada level Alquran.
Tetapi al- Qur’an (beserta hadits) perlu rumusan rinci agar amar (perintah) al -Qur’andapat dilaksanakan setiap dan seluruh umat muslim. Pada tahap inilah ayat-ayat
Alquran tertentu perlu ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya. Hasilnya adalah
kemunculan penafsiran dan penjelasan yang dalam batas tertentu berbeda satu
sama lain, yang kemudian menjadi mazhab dan aliran.
Kaum muslimin Nusantara mengikuti mazhab dan aliran tertentu yang kemudian
menjadi ortodoksinya yang bisa berbeda dengan umat Islam di bagian lain dunia
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 64/136
Resonansi Azyumardi Azra 64
Islam. Sekali lagi, ortodoksi Islam Nusantara adalah; kalam (teologi) Asy’ariyah, fiki h
Syafi’i, dan tasawuf al -Ghazali.
Pembentukan ortodoksi Islam Nusantara terkait dengan perbedaan-perbedaan
(khilafiyah atau furu’iyah ) di kalangan ulama otoritatif sesuai mazhab dan alirannya.
Selanjutnya juga terkait dengan dinamika dan perkembangan historis kaum muslim
Nusantara sendiri. Sejak abad ke-17 misalnya, para ulama Jawi (Nusantara) yang
kembali dari Makkah dan Madinah —pusat jaringan ulama kosmopolitan di mana
mereka termasuk di dalamnya; mereka mengkonsolidasi doktrin dan praksis
ortodoksi Islam Nusantara. Ortodoksi Islam seperti itu diwarisi dan dipegangi setia
kaum muslimin Nusantara sampai hari ini.
Kaum muslim Nusantara tidak hanya memiliki ortodoksi Islam yang bersumber dari
para ulama otoritatif, tetapi wilayah Nusantara sendiri terbentuk menjadi ranah
budaya Islam ( Islamic cultural spheres) distingtif. Wilayah muslim Nusantara adalah
salah satu dari delapan ranah budaya Islam yang memiliki distingsi masing-masing.
Kedelapan ranah budaya Islam tersebut adalah; Arab; Persia atau Iran; Turki; Anak
Benua India; Nusantara; Sino-Islamic atau Asia Timur; Sudanic Afrika atau Afrika
Hitam atau Afrika sub-Sahara; dan Belahan Dunia Barat ( Western hemisphere ).
Masing-masing ranah budaya Islam memiliki faktor pemersatu seperti bahasa,
budaya dan tradisi sosial khas, sehingga ekspresi sosial-budaya dan politiknya pun
berbeda-beda.
Ranah budaya Islam Nusantara mengandung sejumlah faktor pemersatu, yang
membuat kaum muslimin Indonesia dari bermacam suku, tradisi, dan adat istiadatberada dalam kesatuan. Faktor-faktor pemersatu itu antara lain; tradisi keulamaan
dan keilmuan Islam yang sama, bahasa Melayu sebagai lingua franca dan tradisi
sosial-budaya dan adat istiadat yang memiliki lebih banyak komunalitas daripada
perbedaan. Berkat fluiditas (kecairan) dunia maritim, dunia maritim Nusantara
menjadi terintegrasi dalam ranah budaya Islam khas.
Tetapi ranah budaya Islam Nusantara juga tidak monolit. Sejak masa yang lamaterdapat keragaman dalam pemahaman dan praksis doktrin atau ekspresi sosial-
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 65/136
Resonansi Azyumardi Azra 65
budaya kaum muslimin. Perbedaan ini terkait banyak dengan watak budaya suku
bangsa yang juga sangat beragam. Karena itu, ekspresi keislaman suku Aceh
misalnya mengandung perbedaan tertentu dengan ekspresi keislaman suku Jawa
atau suku Sunda dan seterusnya.
Perbedaan ini juga terlihat jelas di masa pasca-Perang Dunia II ketika wilayah Asia
Tenggara mencapai kemerdekaan. Perbedaan di antara negara-negara itu terutama
terkait modus relasi antara Islam-negara. Di Malaysia dan Brunei Darussalam,
misalnya, Islam merupakan agama resmi negara. Sedangkan di Indonesia, meski
kaum muslimin mayoritas mutlak, Islam tidak menjadi dasar negara atau agama
resmi negara. Kaum muslim merupakan umat minoritas di Singapura, Thailand dan
Filipina; di dua negara terakhir kaum muslimin terlibat konfrontasi dengan
pemerintahan pusat di Bangkok dan Manila.
Dalam relasi itu, Islam Malaysia dan Brunei sepenuhnya terkooptasi negara —
menjadi bagian integral struktur dan birokrasi negara. Sebaliknya di Indonesia, kaum
muslimin hampir sepenuhnya independen vis-à-vis negara. Karena itu Islam
Indonesia seperti diwakili ormas mainstream bergerak bebas sebagai organisasi
dakwah, pendidikan, kepenyantunan sosial dan masyarakat madani/masyarakat sipil
(civil society ) hampir tanpa intervensi negara.
Karena itu, jika berbicara tentang Islam Wasatiyah Nusantara, representasinya
paling ‘sempurna’ adalah Islam Indonesia. Inilah Islam inklusif, akomodatif, toleran
dan dapat hidup berdampingan secara damai baik secara internal sesama kaum
muslimin maupun dengan umat-umat lain.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 66/136
Resonansi Azyumardi Azra 66
Ramadhan, Lebaran, dan EkonomiIndonesia
09 Juli 2015REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Ramadhan dan Lebaran sering dipandang sementara kalangan sebagai kian
konsumtif. Bahkan, terlihat gejala konsumerisme yang juga kian meningkat di
kalangan kelas menengah ( middle class ) dan kelas atas ( upper class ) muslim.
Kecenderungan ini disebut melanda negara-negara muslim kaya di Timur Tengah
dan juga emerging economies , seperti Indonesia dan Malaysia.
Jika persepsi ini benar, gejala tersebut tidak selaras dengan ibadah puasa yang
mengajarkan kesederhanaan, menahan diri khususnya dari sikap konsumtif dan
konsumerisme. Sikap dan paham ini jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam yang
melarang perbuatan isyraf , berlebih-lebihan.
Akan tetapi, perlu dijelaskan tiga istilah terkait. Pertama, 'konsumsi' yang memang
meningkat sepanjang Ramadhan dan Lebaran karena banyak keluarga dan pejabat,
pengusaha, atau tokoh masyarakat menyediakan takjil, makanan iftar, dan sahur
untuk karib-kerabat, fakir, miskin, dhuafa, dan yatim piatu. Ini sesuai hadis Nabi
SAW bahwa orang yang menyediakan makanan untuk mereka yang puasa
mendapat pahala yang sama nilainya dengan sha'imin dan sha'imat .
Kedua, sikap konsumtif adalah mengeluarkan perbelanjaan--termasuk untuk
konsumsi--lebih daripada kebutuhan atau berlebih-lebihan sehingga terjadi
pemborosan ( isyraf ). Sedangkan, 'konsumerisme' adalah gaya hidup yang
berorientasi pada selera hedonis--hidup serbakebendaan dengan mengutamakan
brand name , barang-barang bermerek terkenal. Sikap konsumtif dan konsumerisme
jelas kian menggejala di kalangan kelas atas dan kelas menengah muslim. Gejala initerlihat dengan peningkatan pembelian barang mewah dan bermerek ( brand name )
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 67/136
Resonansi Azyumardi Azra 67
sehingga menjadi gaya hidup. Namun, kalangan seperti ini jumlahnya relatif
terbatas--jauh daripada 'mewabah' pada lapisan kelas menengah bawah ( lower
middle class ) dan kelas bawah ( lower class ).
Dengan pengertian dan pemahaman ini, Ramadhan dan Lebaran jelas
meningkatkan konsumsi. Salah satu indikator peningkatan itu adalah dana yang
disiapkan Bank Indonesia (BI) dalam waktu antara sepekan sebelum dan sepekan
sesudah Lebaran (H-7 sampai H+7). Pada Lebaran 1435/2014 lalu, BI menyiapkan
dana Rp 118 triliun dan untuk 1436/2015 meningkat menjadi Rp 125,2 triliun.
Peningkatan dana ini terkait banyak dengan meningkatnya kebutuhan uang kontan
denominasi kecil bagi kaum muslim sepanjang Ramadhan dan Lebaran.
Peningkatan kebutuhan dana terkait erat dengan upaya menjalankan ajaran Islam
tentang giving and sharing , memberi dan berbagi, melalui ziswaf (zakat, infak,
sedekah, dan wakaf).
Menurut survei televisi berita CNN belum lama ini, kaum muslim Indonesia paling
pemurah dibanding muslimin di negara-negara muslim lain dalam giving and
sharing . Menurut survei CNN tersebut, 98 persen muslim Indonesia selalu atau
pernah memberikan ziswaf. Karena itulah, Ramadhan dan Lebaran selalu menjadi
masa puncak filantropi Islam. Amil zakat yang secara tradisional berpusat di masjid
atau lingkungan pertetanggaan maupun dalam bentuk lembaga modern semacam
DD (Dompet Dhuafa) atau Aksi Cepat Tanggap (ACT) atau Bazis atau Lazis yang
terkait pemerintah daerah atau ormas Islam selalu mencatat periode ini sebagai
masa penerimaan terbanyak dana ziswaf dibanding bulan-bulan lain.
Dengan peningkatan konsumsi dan pengeluaran dana sepanjang Ramadhan dan
seputar waktu sebelum dan sesudah Lebaran, cukup beralasan masa ini disebut
sebagai musim ekonomi spesial bagi Indonesia. Di tengah perlambatan
pertumbuhan ekonomi Indonesia dan penurunan konsumsi yang sangat terasa
sepanjang 2014-2015, peningkatan konsumsi dan pengeluaran dana selama
Ramadhan dan Lebaran sangat baik bagi ekonomi negeri ini.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 68/136
Resonansi Azyumardi Azra 68
Dalam konteks itu bisa dipahami mengapa the Conversation.com mengulas khusus
hal ini dalam laporan “Why Ramadan is a Special Economic Season in Indonesia”
(1/7/2015). The Conversation.com mencatat mengapa Ramadhan merupakan
musim ekonomi spesial bagi Indonesia.
Pertama, masyarakat berbelanja lebih banyak selama Ramadhan, khususnya
makanan dan pakaian. Menurut statistik, indeks penjualan eceran dalam kategori ini
rata-rata meningkat sekitar 30 persen.
Kedua, di Indonesia pemerintah dan swasta memberikan gaji ke-13 atau THR
kepada para pegawai dan buruh. Pendapatan ekstra ini memperbesar daya belanja
(spending power ) selama Ramadhan dan Lebaran.
Ketiga, selama Ramadhan kaum Muslimin lazimnya mengeluarkan alms --yang di
atas sudah disebut sebagai ziswaf. Penyaluran alms kepada orang-orang miskin
turut memperkuat daya belanja ( purchasing power ) mereka.
Pemerintah sering mengeluh tentang kenaikan inflasi sepanjang Ramadhan dan
Lebaran yang berdampak negatif terhadap ekonomi Indonesia. Namun, menurut the
Conversation.com , penyebaran dana dan bonus liburan panjang Lebaran
memainkan peran penting sebagai jejaring pengaman sosial bagi daya beli
masyarakat dan sekaligus kohesi sosial.
Kesimpulannya, Ramadhan dan Lebaran memiliki kontribusi signifikan dalam
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia. Dengan peningkatan konsumsi,
perdagangan dan perjalanan, aktivitas ekonomi bisa bergerak. Masalahnyakemudian bagi pemerintah adalah mempertahankan atau meningkatkan kembali
ekonomi Indonesia pada masa pasca-Ramadhan dan Lebaran.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 69/136
Resonansi Azyumardi Azra 69
Konvergensi Mazhab
23 Juli 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Sepanjang sejarah pasca-Nabi Muhammad, Islam diwarnai keragaman mazhab dan
aliran pemikiran dan praktik keagamaan. Keragaman tidak terelakkan karena para
fuqaha, mutakallimun , dan pemikir muslim memiliki perbedaan dalam kemampuan
intelektual, kecenderungan keagamaan, dan lingkungan sosialisasi dan kehidupan.Semua ini mempengaruhi penafsiran mereka masing-masing ketika berusaha
memperjelas dan merinci ayat Alquran dan hadits tertentu.
Perbedaan dan keragaman sering lebih banyak terkait dengan hal ranting
(furu’iyyah ), bukan pada soal-soal pokok fundamental ( ushul ) yang hampir tidak ada
perbedaan. Salah satu contoh, sesuai amar ayat Alquran, semua ulama sepakat
salat lima waktu wajib dikerjakan setiap muslim; tetapi mereka berbeda pendapatapakah qunut perlu atau tidak perlu dilakukan pada waktu salat subuh.
Sejarah perbedaan dan keragaman di antara mazhab-mazhab fikih melampaui masa
yang panjang —lebih 14 abad. Meski para imam mazhab, khususnya Ahl al-Sunnah
wa al- Jama’ah (Sunni) sejak dari Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam
Hanbali menekankan toleransi bermazhab, tidak jarang kalangan umat Islam sangat
fanatik dengan mazhabnya masing-masing. Akibatnya, perbedaan-perbedaanfuru’iyah (trivial ) sering menjadi sumber pertikaian dan konflik.
Walhasil, perbedaan furu’iyyah berkembang menjadi sektarianisme agama yang
dalam skala tertentu bisa sangat bernyala-nyala, apalagi ketika sektarianisme
tersebut berkelindan dengan kabilahisme dan etnisitas serta kekuatan politik. Sekali
sektarianisme agama berbaur dengan pengelompokan sosiologis masyarakat
keagamaan dan sekaligus didukung kekuasaan politik, ketika itu keadaan menjadi
memburuk, membuat sangat sulit mengatasinya.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 70/136
Resonansi Azyumardi Azra 70
Sejauh ini perbedaan mazhab dan sektarianisme muslim Indonesia jauh lebih
beruntung dibanding umat muslim kawasan lain. Hal ini terkait banyak dengan
kenyataan, bahwa sejak masa awal penyebaran Islam secara massif pada abad 12,
mazhab fikih dominan adalah mazhab Syafi’i.
Hegemoni m azhab Syafi’i kian sempurna sejak abad 17 ketika ulama Indonesia
yang belajar di Haramayn —karena itu menjadi bagian integral jaringan ulama
kosmopolitan —kembali ke tanahair untuk mengajarkan dan menuliskan karya fikih
Syafi’i. Mazhab -mazhab fikih Sunni lain praktis sulit ditemukan sejak dulu sampai
sekarang di antara muslim Indonesia.
Meski mazhab Syafi’i dominan, hal ini b ukan karena dukungan politik. Sejak masa
kesultanan, proses hegemoni mazhab Syafi’i umumnya berlangsung secara
alamiah. Apalagi sejak masa kekuasaan Belanda, kebanyakan umat muslim
Indonesia menjauhkan diri dari kooptasi kolonialisme. Karena itu sejak masa kolonial
Belanda sampai sekarang umat Islam Indonesia independen vis-a-vis kekuasaan
politik seperti terlihat dalam posisi ormas-ormas Islam negeri ini.
Lebih jauh, mazhab fikih tidak terkait dengan suku bangsa atau kelompok etnis;
apalagi dengan ‘kabilah’ yang tidak eksis di Indonesia. Jauh daripada berbaur dan
terkait khusus dengan suku bangsa yang begitu beragam, sebaliknya mazhab fikih
yang sama justru mempersatukan mereka. Karena itu misalnya suku Aceh atau
Minang bisa merasa dekat dengan suku Jawa atau Bugis karena ibadah yang
mereka kerjakan hampir sepenuhnya berlandaskan mazhab fikih yang sama.
Karena itu sektarisme mazhab tidak pernah bernyala-nyala dalam masa pra-modern(abad 20) Islam Indonesia. Pertikaian mulai muncul ketika wacana dan praksis
modernisme atau reformisme Islam muncul dan berkembang di Indonesia terutama
sejak dasawarsa kedua abad 20.
Pertikaian mazhabi itu misalnya terjadi antara ‘Kaum Muda’ dengan ‘Kaum Tua’ di
Sumatera Barat, atau belakangan antara Muhammadiyah dengan NU. Pihak
pertama dengan semangat reformisme dan pemurnian berhadapan dengan pihakkedua yang membela paham dan praktik keagamaan yang telah mentradisi selama
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 71/136
Resonansi Azyumardi Azra 71
berabad-abad.
Meski kedua pihak terlibat dalam suasana yang kadang-kadang kurang harmonis,
mereka tidak pernah terlibat dalam konflik dan kekerasan secara signifikan yang
berlangsung lama. Perbedaan dan pertikaian lebih banyak tersalur dalam wacana,
polemik dan perbedaan.
Dalam keadaan seperti itu, berbagai perubahan politik, sosial dan keagamaan juga
berlangsung cepat, khususnya sejak masa pasca-proklamasi kemerdekaan.
Perubahan-perubahan politik dan ekonomi yang cepat dan berdampak panjang
sejak pembangunan ekonomi Indonesia juga menimbulkan perubahan sosiologis-
keagamaan umat muslimin Indonesia yang menciptakan iklim kondusif bagi
konvergensi mazhab Islam Indonesia.
Peningkatan pendidikan dan ekonomi serta interaksi lebih intens antar-orang dan
masyarakat membuat kaum muslim Indonesia kian lebih bersikap terbuka, inklusif,
akomodatif dan toleran —termasuk dalam furu’iyah . Karena itu pertikaian furu’iyah
hampir tidak lagi menjadi isu.
Salah satu (jika tidak satu-satunya) masalah tersisa adalah terkait penentuan awal
dan akhir Ramadhan; perbedaan antara mazhab hisab dan mazhab ru’yat .
Perbedaan di antara kedua belah pihak ini sangat mungkin dapat terjembatani
sehingga menciptakan konvergensi. Di sinilah pemerintah perlu terus berupaya
membangun parameter dan kesepakatan di antara ormas-ormas Islam agar di masa
depan yang panjang tidak ada lagi perbedaan dalam mengawali puasa dan
merayakan Lebaran.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 72/136
Resonansi Azyumardi Azra 72
Pasca-Dua Muktamar
06 Agustus 2015,
REPUBLIKA.CO.IDAzyumardi Azra
Hal-hal penting apa saja yang bisa dicatat pasca-dua muktamar; Muktamar
Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang, Jawa Timur dan Muktamar Muhammadiyah ke-
47 di Makassar pada pekan pertama Agustus 2015? Satu hal sudah pasti, kedua
muktamar mendapat perhatian besar, bukan hanya dari puluhan juta anggotaorganisasi, tetapi juga para pengamat dalam dan luar negeri serta media massa
yang mengindikasikan signifikansi besar kedua ormas Islam Indonesia ini.
Mengamati kedua muktamar, satu hal penting lain juga juga perlu dicatat, yaitu
penegasan kembali komitmen dan kesetiaan kebangsaan-keindonesiaan
Muhammadiyah dan NU. Penegasan ini mencakup tentang telah finalnya integrasi
keislaman- keindonesiaan seperti terpatri dalam empat ‘perjanjian’ pokok yaitu UUD
1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Meski telah sering diulang dalam berbagai muktamar dan pernyataan pimpinan
kedua ormas Islam terbesar di dunia muslim ini, penegasan tetap diperlukan;
penegasan itu kini dan ke depan bahkan tetap tepat waktu ( timely ). Hal ini tidak lain
karena pada saat yang sama tantangan gagasan dan praksis transnasionalisme
Islam juga meningkat, yang paling menonjol sekarang adalah ISIS dengan ‘ khilafah ’
atau ‘dawlah Islamiyyah’ yang menggunakan kekerasan dan brutalitas.
Lebih jauh, dengan penegasan komitmen kebangsaan-keindonesiaan, kedua ormas
Islam wasathiyyah ini memastikan Indonesia tetap menjadi negeri yang secara
politik tetap aman dan damai. Peran NU dan Muhammadiyah dalam hal ini sangat
krusial mengingat posisi, pengaruh dan leverage- nya masing-masing yang sangat
besar sepanjang sejarah eksistensinya sejak masa pergerakan kebangsaan di masa
penjajahan Belanda mulai dasawarsa awal abad 20.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 73/136
Resonansi Azyumardi Azra 73
Penegasan komitmen kebangsaan-keindonesiaan sama pentingnya dengan
kesetiaan pada Islam wasathiyah —Islam Nusantara, atau lebih tepatnya Islam
Indonesia, yang berkemajuan untuk mewujudkan peradaban Indonesia sendiri dan
peradaban dunia yang rahmatan lil ‘alamin . Hanya Islam yang jauh dari berbagai
bentuk ekstremisme dan radikalisme yang memberikan iklim dan suasana kondusif
bagi kedua ormas Islam beserta para warganya dan umat Islam Indonesia lainnya
untuk dapat mengakselerasikan amal ibadah dalam berbagai aspek kehidupan.
Untuk fungsionalisasi dan aktualisasi Islam berkemajuan guna mewujudkan
peradaban rahmatan lil ‘alamin, Muhammadiyah dan NU tetap pula perlu senantiasa
setia pada khitah masing-masing sebagai ormas Islam untuk memajukan dakwah,
pendidikan, kepenyantunan sosial dan ekonomi-sosial umat muslim Indonesia. Telah
banyak kemajuan yang dicapai dalam ketiga bidang yang disebutkan pertama, tetapi
masih banyak hal yang mesti dilakukan untuk bidang terakhir; belum banyak muncul
usaha ekonomi signifikan dari kalangan umat muslim, dan juga masih banyak umat
Islam yang belum terangkat dari lembah kemiskinan.
Dalam konteks itu, baik Muhammadiyah dan NU beserta ormas-ormas Islam
wasathiyah lain di seluruh penjuru tanah air perlu tetap berteguh diri sebagai
gerakan Islam kultural daripada sebagai gerakan Islam politik. Sejarah dinamika
kedua ormas Islam ini khususnya sepanjang masa Orde Baru dan seterusnya
membuktikan, berbagai usaha memajukan umat-bangsa lebih berhasil melalui
pendekatan Islam kultural dengan mengembangkan dakwah, pendidikan dan
kepenyantunan sosial.
Sebab itu, NU dan Muhammadiyah seharusnya tetap tidak tergoda pada godaandan tarikan politik yang bisa memabukkan. Seperti terlihat dalam kedua muktamar,
godaan politik itu juga muncul, meski tidak secara jelas menguat. Jika para pimpinan
ormas tergoda politik kekuasaan, dampaknya adalah politik yang divisif dengan
segera dapat berimbas secara internal organisasi.
Oleh sebab itu, Muhammadiyah dan NU semestinya tetap mampu melakukan
penjarakan politik ( political disengagement ); tidak terlibat langsung dalam politikkekuasaan ( power politics ). Hanya dengan begitu, keduanya beserta banyak
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 74/136
Resonansi Azyumardi Azra 74
Jam’iyyah Islamiyyah lain dapat terpelihara dari kegaduhan politik yang terus
berkembang dari waktu ke waktu.
Dengan tetap melakukan political disengagement bukan berarti NU dan
Muhammadiyah beserta ormas-ormas Islam lain bersikap apatis dan tidak peduli
pada politik. Sebaliknya, dengan political leverage yang mereka miliki, mereka justru
perlu meningkatkan peran politik untuk kemaslahatan negara-bangsa.
Peran politik itu selama ini telah dimainkan Muhammadiyah dan NU; yang kini dan
ke depan tetap diperlukan adalah peran politik sebagai civil society , masyarakat sipil
atau masyarakat madani, atau masyarakat kewargaan. Sebagai masyarakat madani,
keduanya beserta ormas lain sepatutnya meningkatkan peran membangun
tamaddun , peradaban; sebagai masyarakat sipil membangun kembali civic culture
dan public civility , keadaban publik yang terlihat merosot secara signifikan sepanjang
masa pasca-Soeharto.
Tak kurang pentingnya, sebagai civil society , NU dan Muhammadiyah seyogyanya
memperkuat kembali perannya sebagai kekuatan moral dan pengimbang terhadap
partai politik dan pemerintah yang sering terlibat kegaduhan politik sehingga
menelantarkan peningkatan kemaslahatan bangsa. Pada saat yang sama juga
menjadi mitra kritis ( critical partners ) bagi pemerintah dan pemangku kepentingan
lain guna mewujudkan Indonesia berkemajuan dan berperadaban.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 75/136
Resonansi Azyumardi Azra 75
Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (1)
10 September 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Meski bertetangga dekat, hubungan Australia dengan Indonesia tidak selalu mulus.
Secara umum hubungan kedua negara berlangsung baik, tetapi bukan tidak jarang
ada ketegangan, termasuk khususnya di masa pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott yang sudah berusia dua tahun sampai sekarang. Misalnya, kedua negara
sempat menarik duta besar masing-masing berikutan eksekusi hukuman mati pada
29 April 2015 di Nusakambangan terhadap dua warga Australia penyelundup
narkoba, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Dalam psike banyak pejabat publik dan warga Australia, Indonesia yang begitu
besar wilayah dan penduduknya merupakan ancaman keamanan utama yangsenantiasa perlu diwaspadai. Dengan psike seperti itu, masalah politik, ekonomi dan
manusia perahu yang melintasi perairan Indonesia menuju Australia sering menjadi
sumber pertikaian.
Psike tidak sehat juga terkait agama, Indonesia dengan mayoritas absolut dari
penduduk sekitar 245 juta adalah negara muslim terbesar di dunia. Sementara
Australia berpenduduk sekitar 22,5 juta yang mayoritas (61 persen) adalahkristianitas dengan berbagai denominasi atau gereja —muslim hanya 2,2 persen.
Sejumlah kejadian besar kekerasan dan teror terkait orang atau kelompok muslim
sejak dari peristiwa 11 September 2001 di AS, pemboman di Madrid (11 Maret
2004), pemboman di London (2/7/2005) dan bom Bali I (12 Oktober 2002) yang
menewaskan banyak warga Australia dan bom Bali II (1 Oktober 2005), membuat
citra Islam dan kaum muslim kian memburuk.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 76/136
Resonansi Azyumardi Azra 76
Kemunculan Boko Haram dan IS yang menyebabkan eksodus migran dari Timur
Tengah ke Eropa dalam beberapa bulan terakhir menambah buruknya citra Islam
dan kaum muslim di mata banyak kalangan masyarakat non-muslim, termasuk di
Australia. Kekacauan politik dan kekerasan yang terus berlanjut di Siria, Irak, Libya
dan banyak wilayah di Timur Tengah turut menjadi faktor meningkatnya gelombang
migrasi ke Eropa.
Mencermati berbagai perkembangan tidak menguntungkan itu bagi citra Islam dan
kaum muslim itu, mudah dipahami kenapa sangat perlu peningkatan dialog Islam-
Kristen atau dunia muslim dan dunia Barat. Meski dialog antar-agama, antar-
peradaban dan antar-negara cukup meningkat sejak masa pasca-9/11, tetap masih
sangat perlu peningkatan dialog-dialog semacam itu.
Pemerintah Indonesia, khususnya melalui Kementerian Luar Negeri dan
Kementerian Agama pernah sangat aktif melakukan dialog-dialog antar agama dan
antar peradaban di berbagai negara dan benua pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Belum terlihat tanda peningkatan kembali kegiatan
sangat penting ini pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Selain Indonesia, ada juga negara lain seperti Australia yang cukup aktif melakukan
dialog antar-agama dengan melibatkan perguruan tinggi, institusi keagamaan dan
organisasi masyarakat sipil. Meski dialog antar-agama kelihatan cenderung lebih
terjadi pada level nasional —tidak banyak pada level tengah dan bawah —tetap saja
banyak manfaat yang bisa diambil, khususnya bagi para pemimpin kristianitas dan
Islam di negara ini.
Dialog publik antar-agama paling akhir di Australia diselenggarakan Australian
Centre for Christian and Culture, Charl es Sturt University (CSU). Bertajuk ‘Can
Christianity and Islam Co- Exist?’, dialog publik diselenggarakan di enam kota sejak
dari Adelaide, Brisbane, Port Macquairie, Melbourne, Canberra dan Sydney (1-
11/9/2015). Narasumber tetap untuk keenam dialog publik tersebut adalah Reverend
Profesor Ian James Haire, guru besar teologi CSU yang pernah menjabat Ketua
Konsil Nasional Gereja-gereja di Australia dan Presiden Uniting Church Australia;dan penulis “Resonansi ” ini.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 77/136
Resonansi Azyumardi Azra 77
Dapatkah Kristianitas dan Islam Eksis Bersama? Tema dialog publik ini kelihatan
provokatif karena dalam kenyataannya Kristen dan Islam telah hidup berdampingan
di banyak wilayah dunia selama berabad-abad. Meski demikian, tema ini
mengisyaratkan adanya masalah dalam hubungan Kristianitas dan Islam —atau lebih
tegas antara umat kristiani dan Muslim —yang mengakibatkan seolah-olah kedua
agama besar dunia ini tidak bisa hidup berdampingan secara damai.
Dalam dialog publik di Adelaide dan Brisbane, Reverend (Pendeta Utama) Haire
melihat, hubungan Kristen-Islam pada tingkat internasional umumnya baik, meski
ada kasus-kasus kekerasan di antara umat kristiani dan muslim semacam Perang
Salib di Eropa dan Palestina. Profesor Haire yang pernah bertugas di Sekolah Tinggi
Teologi di Halmahera juga menyebut hubungan antara Kristianitas dan Islam di
Indonesia umumnya baik. Meski demikian, kekerasan komunal pernah terjadi seperti
di kristiani dan muslim di Ambon pada 1999.
Bagi penulis “Resonansi ” ini, Kristianitas dan Islam dapat dan harus hidup bersama
sedikitnya pada dua level; doktrin dan historis. Pada level doktrin, Kristianitas
bersama agama Yahudi yang datang lebih awal mendapat tempat di dalam al -
Qur’an. Al -Qur’an sebagai kitab suci Islam unik karena tidak ada kitab suci agama
mana pun yang menyebut agama lain dalam ayat-ayatnya.
Bersama Islam yang datang paling belakangan, ketiga agama ini disebut sebagai
millah Ibrahim (Abrahamic religions) . Karena itu, pada dasarnya ketiga agama ini
adalah siblings (kakak-adik), yang selain umumnya hidup bersama secara damai,
juga kadang kala bertengkar atau bahkan berkelahi karena berebut mainan
misalnya.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 78/136
Resonansi Azyumardi Azra 78
Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (2)
17 September 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Can Christianity and Islam Co-Exist? Pertanyaan ini kembali muncul dalam masa
satu setengah dasawarsa terakhir, dan lebih khusus lagi sejak IS (Islamic State)
dengan kekerasan dan brutalitas menyentakkan dunia, baik di dunia Islam maupun
Barat. Gelombang migrasi dari Siria dan wilayah Timur Tengah lain meningkatkantensi dan antipati tersembunyi di kalangan umat Kristianitas dunia.
Misalnya saja dalam dialog publik di Port Macquarie (5/9/15), dua penganut
Kristianitas tanpa sungkan menyatakan, para teroris semacam IS tak lain hanya
menjalankan perintah Islam dan contoh yang diberikan Nabi. Keduanya meminta
penulis “Resonansi ” yang tampil dalam dialog publik bersama Reverend Profesor Ian
James Haire untuk mengutuk IS —hal yang memang patut dan sudah dilakukanpenulis “Resonansi ” ini sejak IS melakukan berbagai bentuk kebrutalan.
Kedua orang yang mengklaim banyak membaca tentang Alquran dan Nabi
Muhammad di dunia maya, menggeneralisasi Islam dan para pengikutnya sebagai
senang dengan kekerasan. Karena itu, bagi keduanya Kristianitas ini, sulit bagi
Kristianitas untuk hidup berdampingan secara damai dengan Islam.
Pernyataan ekstrem dan ngebyah uyah ini jelas bukan representasi penganut
Kristianitas di Australia —apalagi di seluruh dunia. Bahwa ada suara seperti itu di
kalangan penganut Kristianitas tidak mengagetkan. Selalu ada di dalam agama
mana pun orang atau kelompok yang memegang pendapat dan melakukan tindakan
ekstrem.
Seperti dikemukakan Profesor Ross Chambers, presenter dialog publik, jika ada
penganut Kristianitas semacam Hitler misalnya yang melakukan genosida terhadap
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 79/136
Resonansi Azyumardi Azra 79
orang Yahudi, jelas ini tidak mewakili Kristianitas dan para penganutnya.Jelas
mayoritas terbesar umat Kristiani mengutuk tindakan genosida.
Tetapi pertanyaaan yang selalu mengganggu adalah; kenapa selalu ada orang atau
kelompok agama yang ekstrem? Pandangan dan aksi ekstrem-radikal bisa muncul
karena mereka mengambil ayat atau potongan ayat tertentu dalam kitab suci dan
kemudian menafsirkannya secara literal dan ad hoc tanpa melihat latar belakang
historis maupun konteksnya baik di masa lalu maupun sekarang.
Profesor James Haire mempunyai penjelasan lain yang tak terbayangkan bagi
banyak orang, khususnya para penganut Kristianitas. Menurut tokoh dan teolog
terkemuka gereja Australia ini, banyak penganut Kristianitas mengidap semacam
angst (bahasa Jerman), yaitu kegelisahan dan kemarahan yang bercampur aduk
dengan frustrasi dan kejengkelan karena absennya Kristianitas dalam ruang publik
( public space ) selama berabad-abad sejak pemisahan gereja dengan negara pasca-
reformasi Protestan abad 17.
Dalam perkembangannya, agama mengalami marjinalisasi menjadi hal privat, tidak
ada kaitannya dengan publik.Ketika kalangan penganut Kristianitas berusaha
menampilkan agama di ranah publik, mereka mendapat tantangan dan hambatan
dari pemerintahan yang menganut ideologi sekularisme.
“Selanjutnya, negara -negara mayoritas Kristianitas menerima kian banyak pemeluk
Islam yang menampilkan berbagai simbol Islam dalam ranah publik sejak dari
penampilan fisik, cara berpakaian, ketentuan makanan halal dan ketaatan kepada
syariah. Keadaan kontras ini menimbulkan masalah tak terpecahkan di kalanganumat Kristianitas, yang menjadi akar pandangan dan sikap ekstrem- radikal”, tegas
James Haire.
Menjelaskan posisi Islam dalam hal tersebut, penulis “Resonansi ” ini menegaskan
tentang tidak adanya pemisahan dalam Islam di antara hal privat dengan
publik.Mementingkan individual-personal, pada saat yang sama Islam meninggikan
jama’ah atau umat yang bersifat komunal. Karena itu Islam selalu ditampilkan parapenganutnya dalam ranah publik, yang dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 80/136
Resonansi Azyumardi Azra 80
keagamaan mayoritas di mana mereka menetap.
Di antara isu yang sering terutama dipersoalkan kalangan penganut Kristianitas
Australia misalnya tentang syariah dan makanan halal. Bagi mereka syariah hanya
mengancam ekuilibrium dan keutuhan negara-bangsa Australia.
Menjawab kecemasan itu Reverend James Haire menjelaskan, syariah memiliki
cakupan sangat luas dibandingkan dengan ‘hukum’ dalam masyarakat Barat.
Syariah selain menyangkut ketentuan tentang keimanan dan ibadah, juga mencakup
ajaran yang di Barat disebut moral dan etik.
Menyambung penjelasan tersebut, penulis “Resonansi ” ini menjelaskan, bagian
paling kontroversial dari syariah terkait hukum hudud , potong tangan bagi pencuri
dan rajam sampai mati bagi pezina. Dalam kenyataannya, hampir seluruh negara
Islam atau berpenduduk mayoritas muslim —kecuali hanya Arab Saudi —tidak
memberlakukan hudud. Sebaliknya mereka menerapkan penafsiran ulama modern
yang mengganti hudud dengan hukuman penjara.
Sedangkan dalam hal makanan halal, sesuai ketentuan syariah kaum muslim selalu
wajib mengusahakannya meski juga ada kelonggaran pada batas tertentu, misalnya
memakan kosher, makanan halal penganut agama Yahudi. Semestinya masalah
makanan halal tidak dibesar-besarkan masyarakat Australia.
Menurut penulis “Resonansi ” ini, Australia bakal rugi secara ekonomi; tidak hanya
terkait dengan hewan atau daging yang diekspor ke negara muslim seperti
Indonesia, tetapi juga dengan meningkatkan produk halal lain seperti ‘ sh ari’atourism’ yang kini sedang dipopulerkan di Jepang untuk menarik kian banyak
pelancong dari Indonesia misalnya. Karena itu, kehidupan halal-friendly justru
penting dan bermanfaat bagi Australia dan negara-negara lain.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 81/136
Resonansi Azyumardi Azra 81
Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (3)
01 Oktober 2015
REPUBLIKA.CO.IDAzyumardi Azra
Christianity and Islam Clearly Can and Should Co-Exist. Inilah salah satu kesimpulan
pokok dialog publik Kristianitas-Islam di enam kota utama Australia (1-1/9/2015).
Banyak tantangan yang dihadapi umat manusia di muka bumi, bakal dapat
terselesaikan --atau setidaknya terkurangi-- jika umat kedua agama ini bahu-membahu dalam hidup berdampingan secara damai.
Bayangkan penganut Kristianitas dengan beragam denominasi dan gereja berjumlah
sekitar 2,2 miliar jiwa. Sedangkan, umat muslimin mencapai lebih dari 1,6 miliar
orang --juga dengan beragam aliran dan mazhabnya.
Penganut kedua agama seyogianya meningkatkan pemahaman dan praksis untuk
penguatan kebajikan dan kemaslahatan bersama ( common good ). Nabi Muhammad
SAW, misalnya, mencontohkan pengembangan common good dengan menerapkan
Konstitusi Madinah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah ketika menjadi pemimpin
negara Kota Madinah.
Melalui Piagam Madinah (al-Mitsaq al-Madinah), Nabi Muhammad memberi
kebebasan beragama dan perlindungan atas nyawa dan harta benda kaum Yahudi -
-by extension juga penganut Kristianitas.
Sangat disayangkan dalam sejarah Islam masa pasca-Nabi Muhammad
pengembangan kemaslahatan bersama itu baik intra maupun antaragama sering
terganggu sektarianisme aliran dan mazhab. Keadaannya kian parah dengan
kebangkitan kembali ‘kabilahisme’. Sektarianisme keagamaan dan kabilahisme
adalah penyebab utama konflik dan perang yang terus berlanjut sampai sekarang
dalam masyarakat dan negara muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan, misalnya.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 82/136
Resonansi Azyumardi Azra 82
Konflik baik intra maupun antaragama dapat dicegah dengan dialog di antara
berbagai pemangku kepentingan, khususnya kepemimpinan agama. Melalui upaya
ini, pemahaman dan respek timbal balik lebih baik dapat dikembangkan dan pada
saat yang sama persahabatan dapat tercipta di antara mereka.
Berhadapan dengan berbagai masalah global yang sekarang dihadapi umat
manusia, Pendeta Haire dan penulis “Resonansi ” ini maupun audiens lintas agama
dalam ‘Scholars’ Forum’ di Sydney (11/9/15) bersepakat bahwa Islam dan
Kristianitas tetap relevan untuk menjawab tantangan modernitas dewasa ini dan ke
depan. Masalah serius seperti perubahan iklim, perusakan lingkungan hidup,
konsumerisme dan hedonisme, dan dekadensi moral memerlukan respons dan aksi
umat beragama.
Karena itu, umat kedua agama mesti membangun atau merekat kembali solidaritas
(ukhuwah ) internal umat yang beragam. Penulis “Resonansi ” ini dalam dialog publik
di Melbourne dan Canberra yang diikuti audiens antusias yang bukan hanya kristiani
dan muslim, tapi juga penganut agama Yahudi, menekankan pentingnya
membangun atau memperkuat tasamuh atau toleransi di antara aliran, mazhab atau
denominasi berbeda dalam satu agama.
Hanya dengan tasamuh bisa tercipta persaudaraan yang sangat penting dalam
menyelesaikan pertikaian, konflik, dan kekerasan internal. “ We must first put our
house in order in order to be able to create internal peace that can in turn be spread
out to the others ”. Selama konflik dan bah kan perang masih terjadi seperti di Suriah-
Irak dengan ISIS atau di Yaman dengan Hauthi dan Arab Saudi, selama itu pula
tragedi kemanusiaan terus terjadi.
Profesor Haire juga melihat perlunya peningkatan dialog internal berbagai
denominasi dan gereja yang bukan tidak sering terlibat dalam kontestasi dan
pertarungan menyangkut umat dan pemerintahan. Sejarah Australia, misalnya,
sangat diwarnai kontestasi dan perebutan pengaruh di antara Gereja Anglikan
dengan Gereja Katolik. Keadaan ini sedikit-banyak mempengaruhi hubungan
antargereja atau antardenominasi di benua kanguru.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 83/136
Resonansi Azyumardi Azra 83
Karena itu, Pendeta James menyarankan pentingnya penguatan hal-hal yang sama
atau komonalitas ( commonality ) di antara kedua agama dan para penganutnya.
Komonalitas sangat penting untuk mengembangkan persaudaraan sebangsa yang
dalam bahasa Islam disebut sebagai ukhuwah wathaniyah .
Reverend James memandang, di antara hal-hal penting yang membuatnya tergerak
(moved ) ketika melihat Islam adalah penekanan kuat pada egalitarianisme dan
moral individual-komunal (akhlak). Kedua hal ini sangat penting dalam meresponi
ketidaksetaraan umat dan kelonggaran moral individual-komunal dalam masyarakat
mayoritas kristiani seperti Australia.
Pada pihak lain, kaum muslimin di Australia atau negara lain di mana mereka
minoritas (serta di negara-negara di mana mereka mayoritas, seperti Indonesia)
mesti kembali kepada akhlak mulia yang sangat penting untuk membangun
kehidupan antarmanusia lebih baik. Hanya dengan keseimbangan yang diajarkan
dalam akhlaqul karimah kaum muslim dapat hidup lebih serasi dalam masyarakat
majemuk.
Selain itu, kaum muslim perlu meningkatkan sensitivitas pada realitas sosial-budaya
dan politik lokal di mana mereka menetap. Mereka sepatutnya menjalankan kearifan
lokal yang terkenal di I ndonesia, misalnya, ‘di mana bumi dipijak di situ langit
dijunjung’ yang tidak berarti mengorbankan akidah, ibadah, dan ajaran Islam lainnya.
Jika tidak, tensi dan konflik dapat selalu muncul dari waktu ke waktu.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 84/136
Resonansi Azyumardi Azra 84
Agama: Tradisi, Memori, danModernitas (1)
12 November 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Setiap perubahan dalam suatu masa dapat memunculkan tantangan serius tertentu
pada agama. Karena itu, tidak heran jika kalangan ilmuwan dan akademisi —
terutama yang bergerak dalam bidang agama dan perubahan sosial —memprediksi
dan membangun berbagai teori tentang kian merosot dan bahkan menghilangnya
agama dalam meningkatnya modernitas dalam berbagai lapangan kehidupan.
Bukan tidak jarang prediksi dan teori itu meleset jauh. Agama terus bertahan di
tengah gelombang perubahan demi perubahan yang terkait dengan modernitas —
termasuk globalisasi yang sering disebut para ahli sebagai salah satu puncak
modernitas. Kebertahanan agama —khususnya agama wahyu; agama Yahudi,
Kristianitas, dan Islam —terkait banyak dengan tradisi yang telah mapan selama
berabad-abad. Tradisi ini tidak mudah berubah karena bersumber dari wahyu yang
diyakini para penganut agama masing-masing sebagai permanen atau tidak
berubah.
Tradisi agama mendapat tambahan kekuatan dengan ingatan bersama ( collective
memory ) para penganutnya tentang doktrin dan praksis agama yang mendatangkan
banyak kebaikan, manfaat dan keselamatan bagi umat manusia. Memori yang
diabadikan dari waktu ke waktu dari satu generasi ke generasi berikutnya membuat
tradisi keagamaan kian tidak mudah lenyap begitu saja.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 85/136
Resonansi Azyumardi Azra 85
Subyek tentang agama dengan tradisinya dan memori para penganutnya dalam
tantangan modernitas masih menguasai imajinasi dunia akademis dan para ahli. Hal
ini misalnya terlihat dari konferensi selama tiga hari (9-11/11/2015) yang
diselenggarakan Accademia Ambrosiana, Milan, Italia. Mengangkat tema
‘Tradizione, Memoria e Modernita’, Konf erensi membahas tradisi ketiga agama
Abramik (agama Yahudi, Kristianitas, dan Islam) dalam kaitan dengan memori
penganutnya dalam menghadapi tantangan modernitas.
Penulis “Resonansi ” ini mendapat kesempatan baik bukan hanya sebagai salah satu
narasumber dalam Konferensi Akademi Ambrosiana ini, tetapi juga sekaligus
sebagai pembelajar. Pembicaraan tentang tradisi, memori dan modernitas terkait
agama Yahudi dan Kristianitas memberikan perspektif perbandingan yang kaya
dengan tradisi Islam dan memori kaum muslimin dalam menghadapi tantangan
modernitas.
Dalam pembicaraan tentang tradisi versus modernitas dalam agama Yahudi
misalnya, wahyu yang terkandung dalam kitab Torah (Taurat) memerlukan
interpretasi baru untuk dapat memberikan jawaban terhadap tantangan modernitas.
Tetapi interpretasi baru itu tidak bisa terlalu jauh dari teks, karena bisa dianggap
otoritas ortodoksi sebagai ‘menyimpang’. Jadi, teks tetap penting bersamaan dengan
perlunya pemahaman baru tentang konteks.
Salah satu kasus dalam konteks ini adalah tentang kedudukan perempuan. Secara
tradisional kitab suci semacam Torah dan Injil mengajarkan pandangan bias
terhadap perempuan. Dalam perspektif Torah misalnya, rahmat (blessing ) Tuhan
hanya diberikan kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Blessing ini dianggapsudah baku, yang kemudian diperkuat teks-teks yang dihasilkan ortodoksi
keagamaan, pemimpin dan fungsionaris agama.
Dalam masa sekarang bukan hanya teks ayat kitab suci yang perlu dipertimbangkan
kembali penafsirannya, tetapi juga mesti ditinjau ulang konteksnya —termasuk
sejarah munculnya perumusan doktrin tertentu oleh otoritas ortodoksi. Pemahaman
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 86/136
Resonansi Azyumardi Azra 86
tentang blessing Tuhan hanya kepada laki-laki, tidak kepada perempuan adalah
interpretasi subyektif para penafsirnya.
Jelas, sebelum kemunculan masa modern dengan gagasan dan konsep tentangmodernitas, perempuan menduduki posisi marjinal dalam masyarakat Yahudi,
Kristiani dan bahkan juga muslim. Tetapi dengan penyebaran modernitas, secara
bertahap pandangan lebih positif terhadap perempuan mulai bertumbuh.
Dalam perspektif baru misalnya, perempuan dipandang memiliki kecenderungan
spiritualistik lebih kuat dan lebih dalam daripada laki-laki. Karena itu, doktrin yang
dihasilkan otoritas agama yang mendiskriminasikan perempuan dalam hal ibadah
perlu dipertimbangkan kembali.
Dalam Islam misalnya ada fiqh yang menganjurkan perempuan untuk beribadah di
rumah daripada ke masjid. Dalam perspektif baru, beribadah bersama antara
jamaah laki-laki dan perempuan dapat memperkaya pengalaman spiritualitas. Hal ini
tidak harus bertentangan dengan ortodoksi keagamaan.
Perspektif baru semacam ini memang bukan tanpa hambatan, khususnya dari
otoritas ortodoksi keagamaan. Terdapat kecenderungan kuat otoritas keagamaan
mana pun mempertahankan penguasaan menyeluruh (totalitarianisme) terhadap
pemahaman dan praksis doktrin yang telah menjadi tradisi dan melekat dalam
memori penganutnya.
Karena itu setiap upaya memberikan pemaknaan baru terhadap tradisi dan memori
selaras modernitas mengenai pengalaman historis keagamaan hampir selalu
mendapat resistansi dan penolakan otoritas ortodoksi. Penekanan kuat pada teks
dan konteks yang melibatkan hermeneutika dalam menemukan perspektif baru
mereka pandang berujung pada penyimpangan yang akhirnya menggoyahkan kitab
suci dan bahkan agama itu sendiri.
Hasilnya, pergulatan antara tradisi dan memori pada satu pihak dengan modernitas
bakal terus berlanjut. Namun dalam perjalanannya, kedua kubu ini juga dapat saling
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 87/136
Resonansi Azyumardi Azra 87
mengakomodasi dalam batas tertentu, sehingga tradisi dan modernitas dapat eksis
berdampingan, walaupun bukan tanpa kecanggungan.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 88/136
Resonansi Azyumardi Azra 88
Agama: Tradisi, Memori, danModernitas (2)
19 November 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Ikhwal agama —dalam hal ini Islam —dalam kaitannya dengan modernitas pernah
menjadi wacana akademis dan intelektual pada awal 1970-an ketika banyak negara,
khususnya di Dunia Muslim —mulai melancarkan pembangunan ekonomi. Tetapi
setelah hampir setengah abad sejak masa itu, kebanyakan negara di wilayah Dunia
Muslim tetap berada pada pinggiran sejarah dan percaturan dunia. Banyak negara di
ranah ini gagal dalam pembangunan dan modernisasi; modernitas tidak dapat
berkembang baik guna memajukan kaum muslim.
Dalam konteks itu orang boleh jadi ingat pada Bernard Lewis dengan karyanya What
Went Wrong? The Clash between Islam and Modernity in the Middle East (2003).
Menurut Lewis, wilayah muslim Timur Tengah tidak bisa maju karena adanya
benturan di antara Islam dan modernitas. Argumen pokok Lewis, bahwa yang salah
dalam benturan itu adalah Islam yang tidak dapat berubah telah ditolak banyak ahli
lain dan tidak perlu diulangi di sini.
Meski demikian, ikhwal modernitas dalam kaitan dengan Islam dan masyarakat
muslim kembali menjadi perbincangan para ahli dan akademisi. Pada hari terakhir
konferensi tiga hari (9-11/11/2015) Accademia Ambrosiana, Milan, Italia bertema
‘Tradizione, Memoria e Modernita’ pembahasan secara khusus diabdikan untuk
mengkaji Islam dan modernitas.
Menurut Profesor Massimo Campanini, guru besar Universitas Trento Italia, yang
menyatakan tidak setuju dengan pandangan Lewis, kegagalan menjawab modenitas
itu lebih terkait dengan sejumlah faktor. Di antaranya adalah friksi dan konflik politik,
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 89/136
Resonansi Azyumardi Azra 89
stagnasi ekonomi, dominasi fiqh terhadap ilmu alam dan filsafat, taklid buta terhadap
pemikiran kuno daripada hasil penelitian, dan penolakan atau ketidakmampuan
memperbarui sistem kebebasan dan HAM.
Karena itu, menurut Campanini, dengan adanya faktor tadi kegagalan dalam
modernitas tidak dapat dikaitkan dengan agama. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan,
masa klasik Islam kekuasaan politik muslim berjaya, ekonomi bertumbuh makmur,
ilmu alam dan filsafat mencapai kejayaannya dan masyarakat muslim sendiri
berkembang lebih kompleks dan terdiferensiasi.
Sejak abad pertengahan Dunia Muslim terhinggapi berbagai faktor tidak kondusif
yang menghalangi upaya membangkitkan kemajuan masyarakat muslim. Sementara
itu, khususnya sejak abad 17, Eropa mengalami renaisans dan revolusi industri
sehingga menjelang pertengahan abad 19 sebagian besar kawasan Dunia Muslim
jatuh ke tangan imperialisme dan kolonialisme Eropa.
Dalam pandangan Campanini, berhadapan dengan realitas pahit itu, ada dua
macam reaksi kaum intelektual muslim; pertama, memodernitaskan Islam atau
mengislamkan modernitas. Memodernitaskan Islam berarti percaya tradisi Islam
tidak lagi mampu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat
modern. Sedangkan mengislamkan modernitas percaya Islam sepenuhnya modern
dan rasional; karena itu mampu mengarahkan masyarakat atas dasar Alquran dan
tradisi.
Menurut Campanini, masing-masing reaksi kalangan intelektual muslim terhadap
modernitas juga mengandung ekses. Ada kalangan pendukung memodernitaskanIslam yang menganggap Islam tidak lagi relevan. Ada pula pendukung pengislaman
modernitas yang berusaha melawan sumber modernitas, yaitu Barat, dengan
kekerasan dan bahkan terorisme.
Meski demikian, reaksi kedua pihak tersebut mengandung gagasan tentang
perlunya kebangkitan ( nahdah ), pembaruan ( tajdid ) dan reformasi ( islah ) dalam
menghadapi modernitas. Sedangkan arus utama muslim menekankan perlunyakaum muslim dan pemikiran Islam untuk mengkaji modernitas secara mendalam dan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 90/136
Resonansi Azyumardi Azra 90
mengelaborasinya menjadi ‘modernitas Islam’.
Penulis “Resonansi ” ini dalam kesempatan yang sama (11/11/2015) turut membahas
modernitas dan Islam dalam konteks masyarakat demokratis dan kebebasan
beragama, khususnya di Indonesia. Sebelumnya, penulis (10/11/2015) juga
membahas subyek ‘Tradisi dan Modernitas di Dunia Muslim’ di Universita Cattolica,
Milan.
Menurut penulis, modernitas harus dilihat dalam dua perspektif; modernitas sebagai
nilai dan modernitas sebagai tahapan sejarah. Dalam hal modernitas sebagai nilai,
Islam mengandung banyak komonalitas dengan nilai-nilai modernitas termasuk
orientasi ke masa depan ( progressive ) daripada ke masa silam; etos kerja yang
tinggi; penggunaan akal pikiran;dan inovasi pengetahuan sains dan teknologi.
Tetapi modernitas sebagai tahapan sejarah terkait dengan Eropa dimulai dengan
percerahan ( aufklaruung ), renaisans, reformasi gereja, dan revolusi industri. Dalam
konteks Eropa, modernitas mengandung karakter pertumbuhan toleransi sebagai
prinsip politik dan sosial; penggunaan akal dengan orientasi anthroposentrik;
peningkatan sains dan teknologi, industrialisasi dan mekanisasi; kebangkitan
merkantilisme dan kapitalisme; dan ‘penemuan’ dan kol onisasi dunia non-Eropa.
Kaum muslim Indonesia menerima modernitas secara diam. Nilai dan proses
modernitas berjalan tanpa perdebatan substantif. Hasilnya, Indonesia dapat
melangkah lebih mulus dalam proses adopsi modernitas untuk kemajuan.
Tetapi banyak muslim di Timur Tengah, melihat modernitas tak lebih darieropanisasi atau westernisasi, liberalisasi dan sekularisasi. Karena itu, mereka
berusaha melawan modernitas dengan cara apa pun, termasuk dengan kekerasan
dan terorisme.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 91/136
Resonansi Azyumardi Azra 91
Moderasi Islam
17 Desember 2015
Oleh : Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID
Pembicaraan tentang konsep, wacana, dan praksis Islam wasathiyyah menemukan
momentum terkuat sejak Muktamar Muhammadiyah dan Muktamar Nahdlatul Ulama
(NU) yang sedikit berimpitan waktunya pada Agustus 2015. Tumpang-tindih dengan
wacana dan diskusi tentang Islam Nusantara, perlu elaborasi lebih jauh tentang
wacana dan praksis tentang Islam wasathiyyah beserta pranata dan lembaga yang
mutlak bagi aktualisasi Islam wasathiyyah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Elaborasi dan pengayaan wacana beserta praksis Islam wasathiyyah mendapat
sumbangan penting Mohammad Hashim Kamali dalam karyanya, The Middle Path
of Moderation in Islam: The Qur'anic Principle of Wasatiyyah (Oxford & New York:
Oxford University Press, 2015, xi+310 hlm). Seperti terlihat dalam judul ini, Kamali
tidak menggunakan istilah 'Islam wasathiyyah ', yang lazim digunakan di Indonesia.
Ia menggunakan istilah 'jalan tengah moderasi Islam' berdasarkan prinsip Alquran
tentang wasathiyyah .
Di Indonesia istilah 'moderasi Islam' atau 'moderasi dalam Islam' yang terkait dengan
istilah 'Islam moderat' sering dipersoalkan segelintir kalangan umat Islam sendiri.
Bagi mereka, Islam hanyalah Islam; tidak ada moderasi Islam atau Islam moderat.
Karena itulah, istilah 'Islam wasathiyyah' yang 'qur'ani'--bersumber dari ayat Alquran
(QS al-Baqarah [2]: 143) lebih diterima dan karena itu lebih lazim digunakan.
Terlepas dari soal peristilahan, buku Kamali, asal Afghanistan, yang sejak 1985
menjadi guru besar pada Universitas Islam Antar-Bangsa Kuala Lumpur dan Kepala
Institut Kajian Lanjutan Islam Malaysia, merupakan karya original komprehensif yangmembahas 'jalan tengah moderasi dalam Islam'. Dalam kerangka itu, ia
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 92/136
Resonansi Azyumardi Azra 92
mendasarkan pembahasan pada prinsip qur'ani tentang wasathiyyah dari sudut
analisis konseptual, perspektif tematik yang kemudian disertai sejumlah
rekomendasi.
Dalam kajian tentang 'jalan tengah moderasi dalam Islam', Kamali menggunakan
banyak rujukan ayat Alquran dan hadis serta penafsiran ulama arus utama
(mainstream ). Ia tidak hanya memaparkan pembahasan subjek ini di kalangan
ulama dan pemikir Sunni, tapi juga ulama Syi'i. Bagi Kamali, pengikut Sunni,
pembahasan dengan mengikutkan kedua sayap besar kaum muslimin ini penting
dilakukan untuk mengeksplorasi pandangan masing-masing sehingga dapat
menumbuhkan saling pengertian dan bahkan kesatuan umat.
Menurut Hashim Kamali, wasathiyyah merupakan aspek penting Islam, yang sayang
agak terlupakan oleh banyak umatnya. Padahal, ajaran Islam tentang wasathiyyah
mengandung banyak ramifikasi dalam berbagai bidang yang menjadi perhatian
Islam. Moderasi diajarkan tidak hanya oleh Islam, tapi juga agama lain.
Misalnya, dalam keimanan dan tradisi Yunani-Yahudi dan Kristianitas, moderasi
disebut sebagai 'golden mean' , pertengahan yang diinginkan di antara dua sudut
ekstrem yang memunculkan berbagai macam ekses. Hal yang sama juga
ditekankan religio-filsafat Budhisme, yang menekankan kepada para penganutnya
menghindari asketisme keagamaan sangat ketat atau sebaliknya menikmati
kesenangan duniawi secara berlebihan. Sedangkan, dalam Konfusianisme ada
ajaran Zhongyong yang menekankan moderasi kehidupan.
Karena itu, panggilan untuk moderasi perlu diingatkan kembali kepada para pemeluksemua agama, filsafat, tradisi budaya, dan masyarakat. Lebih jauh, perlu advokasi
moderasi di muka bumi; di antara umat Islam, Kristianitas, Yahudi, Hindu, Buddha,
dan penganut agama lain.
Menggunakan istilah ‘wasathiyyah ’ dan ‘moderasi ’ secara bergantian, Kamali
memandang moderasi terutama menyangkut kebajikan moral,yang relevan tidak
hanya dengan kehidupan individual, tetapi juga integritas dan citra diri komunitasdan bangsa. Moderasi dalam proyeksi Qur'ani menyangkut identitas diri dan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 93/136
Resonansi Azyumardi Azra 93
pandangan dunia komunitas atau umat Islam. Lebih jauh, moderasi adalah kebajikan
yang membantu terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan
dan masalah personal, dalam keluarga dan masyarakat serta spektrum hubungan
antarmanusia lebih luas.
Kamali benar dengan menyatakan, kebutuhan pada pemahaman wasathiyyah
menemukan signifikansi dalam masyarakat yang kian plural atau majemuk dewasa
ini. Tetapi pada saat yang sama, ketegangan antarkelompok manusia juga kian
meningkat, khususnya setelah peristiwa 9/11 di Amerika Serikat, pengeboman di
Madrid, London, Bali, dan seterusnya sampai peristiwa terakhir di Paris belum lama
ini.
Penyebaran dan meningkatnya ekstremisme dan kekerasan menimbulkan korban
bukan hanya di berbagai tempat tadi, tetapi juga di berbagai kawasan Dunia Muslim.
Bahkan, jumlah korban nyawa dan kerusakan harta benda di banyak negara muslim
di Timur Tengah dan Asia Selatan jauh lebih besar.
Karena itu, menurut Hashim Kamali, peningkatan moderasi jalan tengah Islam
merupakan kebutuhan sangat mendesak bagi muslimin. Di sini Kamali mengutip
Buya Syafii Maarif yang menyatakan, orang-orang radikal muslim, sesungguhnya
sangat minoritas di tengah lautan umat moderat. “Karena itu, mayoritas moderat
memiliki kekuatan untuk mengutuk kelompok radikal. Sayang, mayoritas kaum
moderat lebih senang berdiam diri daripada mengonter orang radikal."
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 94/136
Resonansi Azyumardi Azra 94
PENDIDIKAN DAN SOSIAL-BUDAYA
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 95/136
Resonansi Azyumardi Azra 95
Dua Pesantren, Dua Budaya (1)
26 February 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Dua pesantren, dua budaya, dan dua realitas. Meski keduanya sama-sama
pesantren, masing-masing mencerminkan sejarah panjang relatif berbeda.
Perjalanan masing-masing pesantren hari ini dan ke depan meski memiliki banyak
kesamaan, tetapi tantangan yang dihadapi juga sangat berbeda.
Pesantren bisa dipastikan adalah salah satu warisan ( legacy ) Islam Indonesia yang
sulit ditemukan tolok bandingnya di wilayah Dunia Muslim lain. Pesantren bukan
hanya menjadi lembaga pendidikan tertua di Pulau Jawa khususnya, tetapi juga
merupakan salah satu simbol eksistensial pendidikan Islam Indonesia.
Meski zaman berganti, penguasa juga datang dan pergi, pesantren tetap bertahan.Kenapa bisa? Tidak lain karena kemampuan adaptif pesantren yang sangat tinggi.
Karenanya, zaman boleh berlanjut dan musim pun berganti; tetapi kebanyakan
pesantren bukan surut, tapi menemukan momentum baru di tengah perubahan
sangat cepat dan berdampak luas di lingkungan yang mengitarinya.
Tetapi kondisi masing-masing berbeda. Yang satunya berkembang pesat dengan
fasilitas relatif amat lengkap, sedangkan yang satunya lagi menampilkanperkembangan tidak fenomenal.
Perbedaan kondisi, fasilitas dan kelengkapan yang berbeda banyak terkait dengan
posisi masing-masing pesantren di lingkungannya. Watak, realitas dan
kecenderungan sosial-budaya keagamaan dalam kaitan dengan lembaga
pendidikan Islam semacam pesantren menjadi faktor pembeda sangat penting.
Begitu juga perspektif pemahaman dan praksis keagamaan yang berlaku menjadifaktor penting dalam dinamika pesantren di ranah kaum muslimin Indonesia yang
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 96/136
Resonansi Azyumardi Azra 96
berbeda.
Jadi, meski pengamatan langsung tentang perkembangan dan dinamika pesantren
terbatas hanya pada dua pesantren, tetapi keduanya cukup representatif untuk
relevan dengan konteks lebih luas di wilayah-wilayah lain. Keduanya dapat menjadi
tipologi pesantren yang berbeda kondisinya karena pola hubungan dan posisi yang
berbeda dalam lingkungan masyarakat dengan realitas sosial-budaya dan
distingsinya masing-masing.
Dengan hujjah seperti itu, penulis “Resonansi ” ini merasa beruntung belum lama ini
dapat mengunjungi dua pesantren; melihat dan merasakan langsung denyut
pesantren. Pengamatan itu memperkuat argumen yang selama ini dipegangi penulis
terkait dinamika pesantren terkini secara keseluruhan.
Yang pertama terkunjungi adalah Pesantren an-Nuqayah, Guluk-guluk Sumenep,
kabupaten paling timur Pulau Madura, pada akhir Desember 2014 lalu. Sedangkan
satunya lagi adalah ‘Pesantren’ Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung, di
pinggiran timur Kota Bukittinggi, Sumatera Barat menjelang akhir Februari 2015.
Dengan lokasi ini, Pesantren an-Nuqayah merupakan pesantren tipikal di perdesaan
(rural pesantren ), sementara Pesantren MTI sudah berada di wilayah perkotaan dan,
karena itu, dapat disebut sebagai ‘pesantren urban’.
Meski usia masing-masing berjarak hampir setengah abad, keduanya termasuk
pesantren tua. Pesantren an-Nuqayah didirikan pada 1887 oleh KH Muhammad
Syarqawi, ulama yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah.
Masa perempatan terakhir abad 19 ini penting dicatat, seperti pernah dikemukakan
sejarawan terkemuka Indonesia, Sartono Kartodirdjo dalam satu bab bukunya The
Peasant’s Revolt of Banten 1888 (1966) adalah periode ‘ religious revival in Java’ .
Kebangkitan agama —dalam hal ini Islam —ditandai terus meningkatnya jumlah
pesantren yang didirikan kiyai-kiyai dan/atau haji yang baru kembali dari Tanah Suci
Haramayn.
Sedangkan ‘pesantren’ MTI Candung didirikan pada Mei 1928 oleh Syekh Sulaiman
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 97/136
Resonansi Azyumardi Azra 97
ar- Rasuli yang belakangan juga dikenal sebagai ‘Inyiak Canduang’. Periode ini
dikenal sebagai masa kebangkitan nasional yang antara lain ditandai dengan
Sumpah Pemuda. Masa ini juga dikenal sebagai periode gejolak dan kontestasi
sosial, budaya dan agama di antara ‘Kaum Muda’ pada satu pihak berhadapan
dengan ‘Kaum Tua’ di pihak lain. Ar -Rasuli umumnya dipandang sebagai salah satu
representasi Kaum Tua.
MTI adalah contoh tipikal tepatnya transformasi surau, lembaga pendidikan Islam
tradisional khas Minangkabau. Semula berasal dari pengajian kitab turats (warisan
atau kitab kuning) sejak 1908 di Surau Baru Pakankamis, Candung, ar-Rasuli
berada dalam posisi defensif ketika Kaum Muda memperkenalkan tidak hanya
gagasan modernisme Islam, tetapi lembaga pendidikan modern baik dengan model
persekolahan Belanda maupun lembaga pendidikan Islam modernis dalam bentuk
madrasah klasikal semacam Adabiyah (1909) di Padang atau Sumatera Thawalib
(1918) atau Diniyah Putri (1923) di Padangpanjang.
Ekspansi sekolah dan madrasah modernis, sebagian besar dimungkinkan melalui
transformasi surau. Inilah gelombang transformasi kedua surau setelah pertama kali
terjadi pasca-Perang Padri (1821-37). Berhadapan dengan tantangan tersebut,
Sulaiman ar-Rasuli tidak melihat alternatif lain kecuali mengubah suraunya menjadi
madrasah klasikal dengan mempertahankan tradisionalismenya.
Pada pihak lain, an-Nuqayah seperti pesantren umumnya di Madura dan tempat-
tempat lain di Pulau Jawa muncul tidak sebagai hasil transformasi dari lembaga
pendidikan sebelumnya. Pesantren tidak tergoyahkan modernisme Islam yang
belakangan sampai ke Pulau Jawa dan wilayah lain di Nusantara.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 98/136
Resonansi Azyumardi Azra 98
Dua Pesantren, Dua Budaya (2)
05 March 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Dua pesantren, dua budaya. Masa dua puluh tahun terakhir, setidaknya sejak 1990-
an sampai sekarang, pesantren mengalami transformasi baik secara fisik,
kelembagaan maupun substansi pendidikan. Perubahan-perubahan itu agaknya
mungkin tidak pernah dibayangkan kalangan pesantren sendiri dan pemerhati
lembaga pendidikan ini —yang sejak masa awal pembangunan Orde Baru pada awal
1970-an telah berbicara tentang ‘krisis pesantren’.
Apa yang disebut sebagai ‘krisis’ terutama terkait identitas tradisional pesantren
seperti otoritas kiyai yang mutlak, santri yang mandiri, bersahaja, dan bekerja keras
untuk menuntut ilmu. Modernisasi yang dilancarkan pemerintah Orde Baru juga
masuk ke pesantren menyangkut pembaruan kurikulum dan fasilitas seperti ‘listrikmasuk pesantren’ yang membuat tersingkirnya sumur dan ember untuk digantikan
mesin pompa air, sehingga para santri tidak perlu lagi menimba air —yang
diasumsikan mengurangi kemandirian mereka.
Kedua pesantren, an-Nuqayah dan MTI Candung —seperti juga kebanyakan
pesantren lain, khususnya di Pulau Jawa dan Madura —mengalami banyak
perubahan baik fisik maupun substansi. Perubahan dalam berbagai aspek pesantrenitu tidak bisa lain juga menimbulkan perubahan citra pesantren dalam masyarakat
Indonesia.
Dari sudut populasi, Pesantren al-Nuqayah yang terdiri dari berbagai lembaga
pendidikan memiliki lebih dari 8.000 santri dengan pesantren cabang daerah sekitar
14. Sedangkan Pesantren MTI Candung memiliki sepersepuluhnya, sekitar 800
santri. Cabang pesantren MTI juga memiliki sejumlah cabang yang tersebar diberbagai tempat di Sumatera Barat.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 99/136
Resonansi Azyumardi Azra 99
Dalam hal perubahan citra, para santri pada kedua pesantren itu sudah lama tidak
lagi merupakan ‘santri budug’ (kudisan) karena asrama dan kamar tidur yang tidak
bersih, sehingga tempat tidur mereka dipenuhi budug alias kepinding. Kini mereka
hidup di lingkungan lebih higienis, bersih dan sehat. Perubahan ini dimungkinkan
karena perubahan lingkungan fisik pesantren secara keseluruhan.
Perubahan fisik itu sangat jelas terlihat. Pesantren an-Nuqayah misalnya kini berdiri
di atas lahan seluas 14 hektar. Di atas lahan itu ada dua masjid jami’; satunya
warisan lama, dan satunya lagi masih baru dan megah. Lalu masih ada sembilan
mushalla, 525 asrama santri 19 fasilitas perkantoran, 100 ruang kelas, satu kantor
pos, dua gedung sekolah tinggi, 102 kamar mandi dan kakus, satu perpustakaan
pesantren dan 14 perpustakaan daerah dan sekolah. Sebagian besar gedung di
lingkungan pesantren ini permanen berlantai tiga.
Data fisik an-Nuqayah jelas mengagumkan. Tak banyak lembaga pendidikan baik
umum maupun Islam yang memiliki fasilitas selengkap itu. Bahkan bisa dengan
mudah ditemukan masih cukup banyak lembaga pendidikan di negeri ini yang
memiliki fasilitas pas-pasan.
Pesantren MTI Candung agaknya termasuk ke dalam kelompok yang disebut
terakhir. Pesantren ini berada di lokasi tanah tidak begitu luas. Menjawab
pertanyaan penulis “Resonansi ”, seorang Tuanku Mudo (‘kiyai muda’) menyatakan
lahan MTI Candung sekitar 1,2 hektar yang sudah penuh sesak dengan bangunan —
yang beberapa di antaranya bertingkat dua. Ia menuturkan, MTI Candung sedang
mengusahakan pembelian lahan seluas 8.000 meter, tidak jauh dari lokasi pesantren
sekarang; tetapi harga sudah relatif mahal, hampir tidak terjangkau kemampuankeuangan pesantren. Itulah kendala utama Pesantren MTI, sehingga tidak bisa
ekspansi, misalnya saja asrama santri putra yang sudah lama direncanakan hingga
kini belum bisa dibangun karena ketiadaan lahan.
Dua pesantren, dua budaya. Di sinilah terletak kontras kedua pesantren dalam
konteks budaya masyarakatnya. Masyarakat Madura sering disebut sebagai ‘miskin’
karena tanahnya yang berkapur dan tandus. Berbeda dengan lingkungan Candungyang subur. Tetapi kedua masyarakat ini, baik Madura maupun Minang sama-sama
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 100/136
Resonansi Azyumardi Azra 100
punya tradisi merantau; kelompok pertama karena susah penghidupan di negeri
sendiri, sedangkan kelompok kedua lebih karena tradisi sosial budaya yang
mengidealisasikan dan meromantisasi merantau.
Meski banyak orang Madura pergi merantau, mereka adalah muslim sangat
bersemangat. Sepanjang jalan sejak dari ujung Jembatan Suramadu menuju
Sumenep orang bisa menyaksikan deretan masjid demi masjid megah di sepanjang
jalan. Hal ini kontras dengan Sumatera Barat. Jika orang berkendara dari Bandara
Internasional Minang (BIM) di Kataping, Padang Pariaman, menuju Bukittinggi, jelas
tidak terlihat deretan masjid yang sambung-menyambung seperti yang bisa
ditemukan sepanjang perjalanan menuju Sumenep.
Karena semangat itu pula, kelihatan Pesantren an-Nuqayah tidak menemui kesulitan
berarti dalam hal lahan. Bahkan pesantren ini memiliki lahan wakaf yang dikelola
menjadi perkebunan tanaman palawija seluas sedikitnya 26 hektare. Pesantren an-
Nuqayah juga memiliki lahan wakaf lain seluas 19 hektare lebih.
Sementara itu, ketersediaan lahan merupakan masalah sangat pelik di Sumatera
Barat. Terkait kerumitan soal hak ‘ulayat’ atau ‘pusaka tinggi’, amat sulit memperoleh
lahan untuk kepentingan bisnis atau kepentingan keagamaan dan pendidikan.
Seperti terlihat dalam kasus Pesantren MTI dan lembaga pendidikan lain, sulit
sekali menemukan adanya pemberian wakaf lahan dalam jumlah hektaran di
Sumatera Barat.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 101/136
Resonansi Azyumardi Azra 101
Dua Pesantren, Dua Budaya (3)
12 Maret 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Dua pesantren, dua budaya. Kedua pesantren: an-Nuqayah Guluk-guluk, Sumenep,
Madura, dan MTI Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, jelas menampilkan
gambaran berbeda. Sistem sosial, adat, dan corak Islam yang tumbuh dan
berkembang dalam masing-masing suku sangat memengaruhi dinamika pasang dan
surutnya pesantren dan juga lembaga pendidikan Islam lain semacam madrasah.
Dalam masyarakat Madura, keterkaitan kuat antara pesantren dan masyarakat
masih bertahan. Meminjam kategori klasik Deliar Noer, Islam tradisionalis yang
menekankan ketundukan pada ulama yang berpusat di pesantren sebagian besar
juga masih berlanjut. Karena itu, pesantren tetap bertahan.
Sementara dalam masyarakat Minang terlihat ada kerenggangan--jika tidak
keterputusan--di antara masyarakat dan adat yang konon 'tidak lapuk karena hujan
dan tidak lekang karena panas' dengan pesantren. Islam modernis yang hegemonik
di Sumatera Barat, justru menggugat otoritas ulama yang berpusat pada surau,
lembaga pendidikan Islam tradisional Minang. Melekatnya citra yang tidak positif
terhadap surau memaksa para pengasuhnya mengadopsi istilah ‘pesantren ’.
Adopsi istilah ‘pesantren ’ khususnya sejak 1970-an oleh lembaga pendidikan Islam
tradisional di luar Pulau Jawa menjadi momentum yang tidak pernah bisa lagi
dimundurkan. Perubahan ini sekaligus merupakan konsolidasi lembaga pendidikan
Islam tradisional yang sangat krusial bagi perjalanan pesantren dalam masa
selanjutnya sampai sekarang.
Penting dicatat, sejak masa awal sejarahnya berbarengan dengan peningkatan
penyebaran Islam sejak akhir abad ke-13, pesantren memainkan peran lebih
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 102/136
Resonansi Azyumardi Azra 102
daripada sekadar lembaga pendidikan. Sejak awal, pesantren menjadi salah satu
lembaga sentral dalam proses islamisasi. Adalah dari pesantren bermula transmisi
keilmuan dan kecakapan keislaman.
Mengalami ekspansi dan konsolidasi secara fenomenal sejak abad ke-19, pesantren
menjadi pusat keilmuan dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Hal terakhir
ini terjadi tidak lain karena pesantren sekali menjadi pusat tasawuf dan tarekat yang
sejak akhir abad ke-18 mengalami 'eksklusifisasi' dan 'radikalisasi'. Seperti dicatat
sejawaran Sartono Kartodirdjo, semua perkembangan terkait pesantren dan tarekat
ini memunculkan 'kebangkitan agama' ( religious revivalism ) dengan semangat anti-
kolonial yang terus meningkat.
Masa Orde Lama menyaksikan pesantren yang tetap bertahan dalam
kesendiriannya --tanpa kemajuan berarti. Dalam perspektif perbandingan, lembaga
pendidikan Islam tradisionalis berupa madrasah konvensional di wilayah dunia Arab,
misalnya sejak 1960-an, mengalami integrasi ke dalam sistem pendidikan umum.
Hasilnya, sekarang hampir tidak ada lagi lembaga pendidikan sebanding
(comparable ) dengan pesantren. Karena itulah, Indonesia merupakan negara
muslim terkaya dengan warisan lembaga pendidikan Islam tradisionalnya.
Pesantren menemukan momentum sejak masa Orde Baru ketika pemerintah
menginginkan pesantren tidak hanya sebagai 'objek', tetapi lebih lagi sebagai
'subjek', pelaku pembangunan masyarakat muslim, khususnya di perdesaan. Di sini
pesantren diharapkan meningkatkan perannya dalam pembinaan koperasi; ekonomi
mikro, kecil, dan menengah; kesehatan masyarakat; pemeliharaan lingkungan hidup,
keluarga berencana, dan seterusnya.
Harapan pada pesantren datang tidak hanya dari pemerintah, tetapi lebih-lebih lagi
dari masyarakat muslim sendiri. Secara konvensional, harapan umat itu mencakup
pesantren sebagai lokus transmisi ilmu Islam, pemeliharaan ortodoksi dan tradisi
Islam Indonesia, dan kaderisasi calon ulama.
Mobilitas pendidikan, sosial, dan ekonomi umat sejak 1980-an sampai sekarangmeningkatkan ekspektasi pada pesantren. Pesantren diharapkan tidak hanya
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 103/136
Resonansi Azyumardi Azra 103
membekali para santri dengan ilmu keislaman, tetapi juga dengan ilmu umum yang
memperbesar ruang gerak mereka untuk melanjutkan pendidikan. Atas alasan itu,
pesantren juga mengembangkan pendidikan umum yang umumnya terbentuk
melalui madrasah umum sejak dari tingkat dasar ( ibtida'iyah ), menengah pertama
(tsanawiyah ), dan menengah atas ( aliyah ). Dalam bidang pendidikan ini saja,
banyak pesantren kini menjadi holding instution , lembaga induk yang mengikat
berbagai institusi pendidikan sejak dari tingkat TK/RA, dasar, menengah, dan tinggi,
baik yang berbasiskan pendidikan ilmu umum maupun agama.
Pesantren juga menjadi holding institution dalam bidang non-kependidikan, tegasnya
dalam lapangan pengembangan masyarakat, baik terkait ekonomi, teknologi,
kesehatan, dan seterusnya. Dengan demikian, pesantren menjadi lembaga yang
sangat esensial dalam lingkungan masyarakatnya.
Dua pesantren, dua budaya. Banyak pesantren tidak memiliki kapasitas
menjadi holding institution . Namun, harapan masyarakat tidak berkurang.
Menyangkut pesantren besar semacam an-Nuqayah, misalnya, Usep Fathuddin,
peneliti senior yang terlibat aktif dalam program LP3ES sejak pertengahan 1970-an
untuk pengembangan pesantren, menyarankan perlunya penelitian lebih lanjut
tentang berapa besar hasil pesantren terhadap lingkungannya; apakah masyarakat
sekitarnya menjadi lebih terdidik, lebih makmur, lebih damai --tidak lagi berlaku
seperti zaman jahiliyah dengan balas membalas secara kekerasan? Pertanyaan-
pertanyaan dapat menjadi langkah awal meneliti pesantren masa kini.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 104/136
Resonansi Azyumardi Azra 104
Suatu Pagi di Tukang Pijat
19 March 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Usai Subuh, menjelang matahari terbit, akhir pekan lalu di kawasan Tanah Kusir
Jakarta Selatan penulis “Resonansi ” ini sudah antri menunggu giliran dipijat. Pijat
dengan segala bentuk turunannya agaknya paling lengkap di Indonesia. Pernah
menetap dan keliling berbagai negara di lima benua, penulis “Resonansi ” ini tidak
menemukan jenis-jenis pijat selengkap di Tanah Air. Karena itu, tidak heran kalau
banyak pejabat sampai ke tingkat presiden memelihara tukang pijat, yang juga ikut
dibawa dalam perjalanan luarnegeri.
Menggemari selama puluhan tahun, pijat bukan hanya dapat menghilangkan rasa
capek dan pegal, tetapi juga bisa menyembuhkan atau sedikitnya lebih meringankan
penyakit semacam stroke, kejepit syaraf (yang pernah diderita penulis “Resonansi ”)atau imsomnia dan stres. Pijat bukan tidak sering bisa menyembuhkan penyakit
yang tak kunjung sembuh dengan dokter atau terapis. Kata orang, penyembuhan
penyakit ‘cocok -cocok- an’; ada yang cocoknya dengan dokter, tapi juga ada yang
cocoknya dengan tukang pijat.
Tapi hati-hati, jangan sampai terjebak tukang pijat yang juga melakukan praktek
perdukunan, yang tentu saja musyrik. Atau tukang pijat yang menjanjikanpenyembuhan ‘sempurna’ dengan bayaran yang sangat komersial— melibatkan
dana puluhan juta, tukang pijat seperti ini tidak lain con-man alias penipu yang
menjanjikan hal too good to be true , terlalu bagus untuk benar-benar bisa terwujud.
Bagi penulis “Resonansi ” ini, pergi ke tukang pijit adalah kesempatan emas untuk
merasakan ‘denyut jantung’ orang -orang yang datang dari berbagai lapisan sosial
sejak dari pejabat, pengusaha sampai kepada guru, buruh atau pensiunan. Merekaadalah kumpulan orang-orang yang bebas dari kungkungan berbagai struktur dan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 105/136
Resonansi Azyumardi Azra 105
batas; mereka adalah orang-orang yang dengan bebas dan polos mengungkapkan
hal-hal yang mereka rasakan. Inilah suara yang mungkin tidak terekam survei dan
juga tidak terungkap dalam media massa.
Adalah Pak Aceng misalnya yang sudah hampir setahun mengalami stroke, dan kini
sudah bisa berbicara dengan lancar dan runut. Pensiunan pekerja rendahan
rekanan Pemda DKI dalam penanganan hewan sembelihan ini mulai dengan
menyatakan kekecewaannya pada pemerintah Jokowi- JK. “Saya sekeluarga dulu
mencoblos banteng moncong putih dan juga pasangan JKW-JK. Tapi setelah sudah
hampir setengah tahun, tidak terlihat tanda-tanda perbaikan hidup rakyat. Malah
harga bahan pokok, terutama beras terus melonjak”.Akibatnya, semakin sedikit yang
bisa dibeli dengan rupiah.
Pak Aceng yang sejak pensiun hidup pas-pasan juga tahu dollar kian melejit, nyaris
tanpa kontrol memerosotkan nilai rupiah. Pak Aceng mencemaskan jika krisis
moneter yang terjadi beriringan dengan kenaikan harga barang menimbulkan krisis
ekonomi dan politik seperti 1997-1998 yang membuat jatuhnya pemerintahan
Presiden Soeharto.
Mpok Inah, pewarung kecil juga merasa dagangannya yang serbasedikit (masing-
masing satu panci; nasi, sayur tahu tempe, dan gorengan) makin tidak menyisakan
keuntungan. “Dulu ada sedikit keuntungan selain bisa makan dari dagangan. Kini
tidak bisa lagi bisa makan sekenyangnya dari dagangan”, kata Mpok Inah yang asli
Betawi ini.
Kembali ke Pak Aceng; ia melihat pemerintah tidak bisa bekerja dengan baik karenatidak bisa menyelesaikan kegaduhan kekuasaan dan politik yang terus berlanjut. Ia
melihat polisi yang sewenang-wenang dan terus menunjukkan arogansi kekuasaan.
“Presiden Jokowi ternyata tidak tegas meninda k petinggi Polri yang tidak
menjalankan perintahnya”.
Bicara soal Polri, Pak Hasan mempertanyakan fenomena agak aneh terkait isu
begal yang hampir secara serentak muncul di Indonesia sejak dari Aceh, SumateraUtama, Jabodetabek sampai Sulawesi Selatan dan Maluku. “Aneh ya, di tengah
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 106/136
Resonansi Azyumardi Azra 106
kegaduhan kepolisian dengan KPK yang kelihatan terus berlanjut, para begal di
berbagai daerah dan kota muncul seolah ada pihak yang menggerakkan. Selama ini
selalu ada begal, tetapi tidak melakukan aksi dan menjadi pemberitaan meluas di
seluruh Indonesia”, ujar P ak Hasan yang pengusaha properti apartemen untuk kelas
menengah di selatan Jakarta.
Mendengar berbagai suara rakyat, yang terdengar umumnya adalah keluhan dan
kritik terhadap tidak berjalan baiknya pemerintahan. Mereka tidak berharap banyak
kecuali beban hidup lebih ringan, yang lebih bisa dipikul dengan pendapatan mereka
yang tidak banyak. Mereka tidak memimpikan hidup yang penuh
kemelimpahan (affluent ).
Dalam percakapan, terasakan juga kian merosotnya kepercayaan dan harapan
kepada pemerintah. Memang dalam Pilpres 2014 lalu, terdapat semacam eksplosi
harapan kepada pasangan JKW-JK. Tetapi, sejauh ini harapan itu kian menjauh
daripada terwujud.
Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla masih memiliki waktu cukup
banyak —sekitar 4,5 tahun —untuk bekerja, kembali menggenjot pembangunan.
Karena itu, sudah sepatutnya pemerintah melakukan evaluasi tentang berbagai
hambatan dan kendala yang membuat pemerintah tak efektif sejak dari kondisi
politik yang tidak kondusif sampai pada kebanyakan menteri kabinet yang tidak
menunjukkan gejala kinerja yang baik.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 107/136
Resonansi Azyumardi Azra 107
Kontroversi Buku Teks (1)
02 April 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Indonesia agaknya adalah salah satu negara yang paling sering mengalami
kehebohan dan kontroversi sekitar isi atau bagian tertentu buku teks sekolah —sejak
dari dasar sampai menengah hingga perguruan tinggi. Karena relatif sering
terjadinya kejadian seperti itu, sulit mencari kata lain, instansi dan pihak
bertanggungjawab dalam hal ihwal buku teks sangat ceroboh dan tidak bekerja
seperti diharapkan publik, orangtua, dan peserta didik.
Kehebohan dan kontroversi terakhir misalnya terkait adanya muatan ajaran radikal
dalam buku paket Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk SMA kelas XI yang dapat
diunduh dari Buku Sekolah Elektronik. Dalam Bab 10 yang bertajuk ‘Bangun dan
Bangkitlah Pejuang Islam’ termuat pada halaman 170 ada ulasan tentang Syaikh
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab [pendiri paham dan gerakan Wahabiyah di Arab
Saudi]. Paham radikal Syaik h ‘Abdul Wahab yang dipegangi para pengikut
Wahabiyah disampaikan dalam buku teks itu, yakni: “Siapa yang menyembah selain
Allah SWT telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh”.
Tidak ragu lagi kalimat itu menunjukkan sikap ekstrem dan radikal paham
Wahabiyah. Jelas pula, pernyataan seperti bukan tidak mungkin mempengaruhi
pemahaman dan perilaku peserta didik, yang dapat mendorong radikalisasi di
kalangan siswa dan remaja muslim Indonesia. Jadi, kalimat semacam itu dapat
sangat berbahaya bagi kehidupan keislaman-keindonesian di hari ini dan ke depan.
Ada lagi buku PAI untuk SMA/MA kelas X yang dapat dipandang sebagai
melecehkan s ahabat Nabi, Sayyidina ‘Umar bin al -Khattab. Sahabat Nabi yang
merupakan khalifah kedua dari al- Khulafa’ al -Rasyidun memuat gambar [maaf, mirip
celeng] yang disebut sebagai ‘Umar bin al -Khattab. Imajinasi liar yang sangat
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 108/136
Resonansi Azyumardi Azra 108
melecehkan. Gambar ini juga ada dalam Latihan Kerja Siswa (LKS).
Tetapi kehebohan terjadi bukan hanya terkait pelajaran agama. Tak kurang
seringnya juga adalah unsur ‘pornografi’ atau penggambaran hal terkait. Jelas hal
seperti itu juga tak pantas termuat dalam buku teks sekolah.
Pada Juli 2013 misalnya, masyarakat dihebohkan dengan adanya unsur ‘pornografi’
dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk kelas VI SD. Dalam buku teks yang
ditulis Ade Khusnul dan M Nur Arifin terdapat sejumlah kalimat asosiatif dengan
pornografi —di luar kepatutan untuk ada dalam buku teks.
Menurut komitesdnpolisi4.blogspot.com (10 Juli 2013 yang juga diturunkan
Republika 10 Juli 2013), terdapat kalimat dan kosakata jorok yang tidak patut dikutip
kembali di sini. Teks itu terkait dengan lelaki sangat bernafsu dengan jakun turun-
naik melihat perempuan molek PSK sehingga memperkosanya sampai hamil dan
akhirnya melahirkan bayi dari [maaf] ‘selangkangannya’.
Bagian tidak patut juga terdapat dalam buku teks bahasa Indonesia untuk kelas
VII/SMP Kurikulum 2013. Pada bagian lampiran buku teks tersebut ada kutipan dari
Cerpen ‘Gerhana’ karya Muhamm ad Ali yang dari segi substansi dan bahasa tidak
pantas disampaikan kepada peserta didik.
Kasus-kasus ini menunjukkan latennya unsur-unsur tidak patut masuk ke dalam
buku teks sekolah. Pertanyaannya, kenapa kejadian seperti ini selalu berulang?
Apakah naskah buku-buku teks itu diperiksa secara cermat oleh pihak-pihak
bertanggungjawab? Apakah penulis buku pernah diteliti rekam jejaknya sebelumdiizinkan menulis buku teks sekolah?
Bahwa kejadian seperti itu selalu berulang mengindikasikan, naskah buku teks
beserta penulisnya tidak pernah diteliti serius, cermat dan hati-hati. Dari waktu ke
waktu Mendiknas atau Mendikbud mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen)
penetapan sejumlah buku teks sekolah dalam berbagai mata pelajaran lengkap
dengan para penulis dan penerbitnya. Tetapi kasus demi kasus yangmenghebohkan memperlihatkan, Mendikbud tinggal tanda tangan setelah ada paraf
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 109/136
Resonansi Azyumardi Azra 109
Dirjen dan Dirjen memaraf setelah ada paraf Direktur atau pejabat lain terkait.
Sesuai Permendikbud, pihak yang bertanggungjawab memeriksa naskah buku teks
adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerja sama dengan Pusat
Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud. Mereka berkewajiban
memeriksa kelayakan naskah buku teks untuk diterbitkan baik dari segi isi,
penyajian, bahasa dan kegrafikaan.
Tetapi, sekali lagi melihat kasus demi kasus yang terus menyeruak terlihat BSNP
dan Puskurbuk tidak memeriksa secara cermat dan hati-hati naskah buku teks
sekolah. Kelihatan mereka ceroboh bukan hanya dalam menilai substansi dan
bahasa naskah, tetapi juga tidak mengetahui persis latar belakang keilmuan,
kompetensi keilmuan dan kecenderungan pribadi-pribadi penulis dalam berbahasa
(jorok atau genit) atau dalam pemahaman keagamaan (keras atau radikal).
Buku teks sekolah jelas memiliki posisi strategis dalam pembentukan keilmuan,
pandangan hidup dan perilaku peserta didik pembacanya. Karena itu kecerobohan
dan ketidakseriusan membaca dan menilai naskah buku teks sekolah sehingga
meloloskan substansi dan bahasa tidak patut jelas tidak bisa dibiarkan terus
berlanjut.
Perlu segera pembenahan dalam sistem persetujuan penulisan buku teks dan
penulis serta penerbitnya. Sangat penting pula melibatkan para pemangku
kepentingan lain, khususnya orangtua murid. Dengan begitu, kerugian sangat besar
bagi dunia pendidikan kita dan masyarakat umumnya dapat dihindari.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 110/136
Resonansi Azyumardi Azra 110
Kontroversi Buku Teks (2)
09 April 2015,
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Jika di Indonesia hampir selalu terjadi kecerobohan menyangkut buku teks sekolah
dengan isinya yang tidak pantas dari sudut moral atau agama, bagaimana di negara-
negara lain? Bagaimana kebijakan negara lain menangani buku teks sekolah untuk
memastikan tidak ada isi yang bermasalah bagi peserta didik, orang tua murid, danpublik umumnya?
Satu hal sudah pasti. Jika orang mencoba mem- browsing di internet kebijakan,
panduan ( guidance ), ketentuan atau persyaratan buku teks sekolah Indonesia,
orang pasti menemui banyak kesulitan. Hampir tidak ada panduan yang
tersedia online , yang ada kebanyakannya adalah Permendikbud tentang penetapan
sejumlah buku teks sekolah dalam berbagai mata pelajaran. Tidak ada penjelasan
sedikit pun tentang buku teks yang diloloskan dan ditetapkan sah dipakai murid.
Hal ini berbeda dengan banyak negara lain, sejak dari Amerika Serikat, Jepang,
Kanada sampai Singapura. Negara-negara ini dengan secara terbuka lewat online ,
misalnya, memaparkan berbagai ketentuan, panduan, dan persyaratan bagi buku
teks sekolah.
Sesuai dengan desentralisasi pendidikan di AS, penetapan buku teks di Negara
Bagian Virginia, misalnya, dilakukan Badan Pendidikan. Badan ini memberikan
tanggung jawab pada penerbit untuk menjamin akurasi buku dari segi isi, bahasa,
dan tipografi. Dewan sekolah lokal juga berfungsi sama dengan melibatkan orang
tua murid untuk me- review dummy buku teks yang diusulkan.
Hal hampir sama juga diterapkan di Negara Bagian Ontario, Kanada. Menteri
Pendidikan Ontario menetapkan buku teks sekolah setelah memenuhi berbagai
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 111/136
Resonansi Azyumardi Azra 111
persyaratan dan proses rumit. Selain harus sesuai dengan kurikulum, buku teks
yang diusulkan penerbit harus berdasarkan kesarjanaan dan keilmuan yang solid
serta memiliki relevansi kontemporer.
Isinya juga harus bebas dari berbagai bias dan prasangka serta mesti memiliki
orientasi ke Kanada —bukan ke negara lain. Pembahasan harus tidak hanya
menampilkan satu sudut pandang, bebas dari bahasa diskriminatif, eksklusif, dan
penuh muatan ideologis.
Seleksi dan penetapan buku teks sekolah jauh lebih ketat lagi di Jepang. Di Negara
Matahari Terbit ini penetapan buku dilakukan Kementerian Pendidikan setelah
melalui sejumlah proses. Pertama, penerbit membentuk tim akademik dan guru-guru
yang setelah melalui perencanaan matang menulis buku teks.
Kedua, naskah buku dalam bentuk dummy diserahkan kepada Kemendik untuk diuji
Dewan Riset Persetujuan Buku Teks yang memiliki otoritas meminta revisi substansi
yang tidak sesuai. Ketiga, buku yang telah disetujui Dewan dan Kemendik kemudian
diletakkan pada displai sekolah dan komunitas untuk diuji publik lokal —apakah
diterima pihak sekolah atau tidak sebagai keputusan final.
Selain harus sesuai dengan kurikulum, kandungan buku teks sekolah di Jepang
harus selaras dengan perkembangan mental dan psikologis peserta didik. Dalam hal
terkait politik dan agama, pembahasan harus imparsial, tidak ada bagian buku yang
mengkritik parpol atau agama dan aliran/mazhab serta ideologi atau kepercayaan
tertentu. Pada saat yang sama, juga tidak menampilkan pendapat satu sisi saja atau
bias terhadap subjek yang dibahas.
Tanpa berprasangka, penetapan buku teks sekolah di Indonesia tampaknya tidak
pernah seketat yang terjadi di negara-negara tersebut. Karena itu, sejak zaman
Orde Baru sampai sekarang, penetapan buku teks hampir selalu mengandung
kekacauan dan kehebohan.
Pada zaman Orde Baru, penetapan buku teks sekolah terlihat lebih sebagai‘kesepakatan’ di antara para pejabat Kemendikbud dengan pihak penerbit.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 112/136
Resonansi Azyumardi Azra 112
Penerbitan buku teks sekolah lebih merupakan ‘proyek’ kedua belah pihak ini.
Hanya otoritarianisme rezim Orde Baru yang membuat kekisruhan menyangkut buku
teks tidak muncul ke depan publik.
Pada zaman Reformasi pasca-Soeharto sampai sekarang yang penuh euforia
kebebasan, penetapan buku teks sekolah dalam hal tertentu agaknya mengalami
perubahan. Semangat pemberantasan korupsi cukup gencar membuat ‘proyek’ buku
teks agaknya tidak lagi mudah dilakukan —walaupun bukan tidak ada sama sekali.
Meski ada kemauan menyediakan buku teks lebih baik dengan memberikan mandat
kepada BSNP dan Puskurbuk, jelas seleksi ketat dan cermat tidak berjalan.
Akibatnya, tetap ada bagian isi atau substansi buku teks yang tidak patut disajikan
kepada murid, baik dari segi moral, akhlak, maupun agama.
Selain itu, standar keilmuan dan orientasi nilai para penulis tidak pernah
dipersoalkan. Keadaan ini kian mempersulit sekolah dan peserta didik. Telah banyak
penelitian yang, misalnya, mengindikasikan orientasi paham keagamaan
transnasional radikal dalam mata pelajaran PAI. Juga hampir tidak ada penjelasan
tentang keislaman-keindonesiaan; orientasi keindonesiaan yang kontekstual nyaris
absen.
Sudah waktunya memperbaiki buku teks sekolah secara lebih komprehensif.
Memperbaiki keadaan tidak cukup hanya dengan penarikan buku terkait. Ini hanya
menimbulkan kerugian besar pada peserta didik, orang tua murid, masyarakat, dan
penerbit. Tak kurang pentingnya, buku teks yang baik dan berkualitas merupakan
bagian sangat penting dalam upaya memajukan pendidikan.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 113/136
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 114/136
Resonansi Azyumardi Azra 114
guru dan dosen dengan hampir 300 ribu sekolah dan perguruan tinggi, Indonesia
berada di tempat keempat terbesar setelah Tiongkok,India, dan Amerika Serikat.
Melihat kenyataan ini, orang bisa berapologi, bahwa tidak mudah mengurus
pendidikan Indonesia.
Apologi semacam itu hanya kontra-produktif. Lebih baik berpikir melakukan langkah
terobosan untuk mengatasi berbagai hambatan yang membuat pendidikan Indonesia
tidak juga maju secara signifikan. Dengan begitu, warga Indonesia dapat lebih
memiliki harapan pada pendidikan Indonesia.
Jelas, pencapaian pendidikan Indonesia masih jauh dari harapan. Sampai sekarang,
pendidikan Indonesia masih berada di rangking terbawah dalam bidang matematika,
sains, dan membaca. Menurut Laporan Learning Curve, Indeks Kemampuan Kognitif
dan Pencapaian Pendidikan (Pearson, 2014), pendidikan Indonesia berada pada
tingkat 40, di bawah Turki (34), Thailand (35), Kolombia (36), Argentina (37), Brazil
(38), dan Meksiko (39). Bandingkan dengan Korea Selatan (1), Jepang (2),
Singapura (3), Hongkong (4), Inggris (6), AS (14).
Melihat kenyataan yang tidak menyenangkan ini, berbagai upaya mesti dilakukan.
Karena itu pemikiran dan pembicaraan tentang masalah pendidikan Indonesia tetap
penting dan perlu dilakukan setiap dan seluruh pemangku kepentingan
(stakeholders ).
Salah satu rangkaian pemikiran penting yang kontributif bagi usaha memajukan
pendidikan Indonesia dituangkan H.A.R. Tilaar dalam buku terakhirnya, Pedagogik
Teoritis untuk Indonesia (Jakarta: Kompas, 2015). Dalam rangka Hari PendidikanNasional dan Dies Natalis ke 51 Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bekerjasama
dengan Komisi Kebudayaan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), karya ini
diluncurkan lewat diskusi publik dengan pembicara Sri-Edi Swasono, guru besar
ekonomi UI; Dja’ali, Rektor UNJ; dan penulis “ Resonansi ” ini.
Pedagogik Teoritis untuk Indonesia membahas sejumlah masalah mendasar dalam
pendidikan Indonesia khususnya, yaitu: pertama, apakah pedagogik teoritis atauilmu pendidikan teoritis itu; kedua, ilmu adalah universal, namun apakah ada ilmu
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 115/136
Resonansi Azyumardi Azra 115
pendidikan yang khas Indonesia.
Dengan ‘panduan’ pertanyaan itu, bagi Tilaar, masalah mendasar mengenai
pendidikan mencakup: Hakikat Pedagogik (Ilmu Pendidikan) sebagai Ilmu Praksis;
Pedagogik Teoritis dan Filsafat Indonesia; Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia;
Proses Pendidikan yang Menghamba kepada Kepentingan Perkembangan Peserta
Didik yang Merdeka; Tujuan Pendidikan Nasional; Guru Indonesia sebagai Pamong;
Proses Belajar yang Mengembangkan Kemerdekaan Peserta Didik;
Mengembangkan Kreativitas Manusia Indonesia; dan Arah Pendidikan Nasional
Menyongsong Indonesia Emas 2045.
Kenapa pedagogik? Menurut Tilaar, guru besar emeritus UNJ, pengalaman dia
setelah mendapatkan pendidikan profesional sebagai guru lebih dari 20 tahun
dengan pengalaman kerja lebih dari 60 tahun menimbulkan keresahan. Kenapa?
Karena “ ilmu pendidikan Indonesia sebenarnya belum lahir. Kebanyakan referensi
ilmu pendidikan Indonesia [masih] berasal dari asing khususnya dari Barat”.
Lebih jauh, Tilaar memandang pedagogik teoretis sebagai bentuk filsafat terapan
memiliki sifat spesifik sebagai ilmu praksis. Dengan praksis pendidikan sesorang
dapat dibangkitkan kesadarannya tentang kemerdekaan yang dia miliki, yang
kemudian wajib dia kembangkan untuk meningkatkan taraf hidupnya.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 116/136
Resonansi Azyumardi Azra 116
Pedagogik untuk Indonesia (2)
21 May 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Pedagogik Indonesia. HAR Tilaar, guru besar emeritus berusia 83 tahun (lahir 1932),
adalah salah satu di antara sedikit pengkaji dan praktisi pendidikan yang masih
sangat aktif dan prolifik menulis. Selain Pedagogik Teoritis untuk Indonesia (2015)
yang merupakan karya mutakhirnya, dia telah menulis 28 buku dan 21 buklettentang pendidikan. Belum lagi makalah dan artikel.
Tilaar adalah salah satu dari sedikit pemikir dan penggerak pedagogik kritis di
Indonesia bersama figur semacam Mansour Faqih dan Mochtar Buchori--yang
keduanya telah almarhum. Pemikiran pendidikan dan pedagogik kritis tokoh-tokoh ini
secara tipikal melihat pendidikan dalam kaitan dengan politik, sosial, budaya, filsafat,
atau agama.
Pendidikan lebih daripada sekadar teknologi pendidikan atau persiapan pengajaran
dan pembelajaran di kelas. Sayangnya, banyak kalangan yang berkecimpung dalam
dunia pendidikan --termasuk LPTK, perguruan/fakultas yang menghasilkan guru-
cenderung terbelenggu masalah teknis administratif yang bukan tidak menyita
waktu. Akibatnya, para guru dan belakangan juga dosen semakin tidak punya
kesempatan meningkatkan penguasaan substansi untuk mereka sampaikan kepada
peserta didik.
Keadaan ini kian parah dalam dasawarsa terakhir ketika dunia pendidikan Indonesia
sejak dari TK sampai perguruan tinggi mengalami proses birokratisasi terus-
menerus. Para guru dan dosen sibuk dalam berbagai usaha mendapatkan sertifikasi
atau mempertahankannya. Mereka menghabiskan waktu berhari-hari mengisi
borang semacam penilaian kinerja guru (PKG) atau beban kerja dosen (BKD)
dengan ketentuan dan poin yang sering tidak logis.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 117/136
Resonansi Azyumardi Azra 117
Jika mereka tidak mampu atau salah mengisi poin tertentu dalam borang semacam
PKG atau BKD, bukan tidak sering mereka mendapat intimidasi dari atasan atau
inspektorat kementerian. Mereka dengan mudah diancam sebagai 'melakukan
perbuatan melawan hukum' atau 'harus mengembalikan tunjangan sertifikasi yang
telah mereka terima'.
Karena itu, Tilaar mencatat, dunia pendidikan Indonesia terlalu dikuasai struktur
kekuasaan. Akibatnya, pemikiran dan ilmu pendidikan serta ilmu pedagogik tidak
dapat berkembang--atau bahkan disebut telah mati. Meminjam kerangka Raymond
Williams, pemikir asal Inggris yang sangat berpengaruh pada paruh kedua abad ke-
20, pedagogik di Indonesia berada dalam kondisi budaya dominan--di bawah
kekuasaan yang membelenggu.
Otonomi, kebebasan, dan kemerdekaan nyaris tidak ada lagi dalam dunia
pendidikan Indonesia. Lembaga pendidikan hanya menjadi sekadar unit pelaksana
teknis (UPT) kementerian yang terkait dengan pendidikan. Mereka menjadi sekadar
melaksanakan kebijakan para birokrat dan administrator pendidikan, yang sering
mengeluarkan ketentuan dan kebijakan salah kaprah, menyesatkan, dan
menjerumuskan pendidikan ke lubuk tanpa dasar.
Singkatnya, dalam pandangan Tilaar, lenyapnya kebebasan dan kemerdekaan
peserta didik karena disebabkan dua hal pokok, pertama, sekali lagi pendidikan
terlalu banyak dicampuri politik praktis. Berbagai kekuatan politik ingin melihat hasil
secara cepat dari sistem pendidikannya karena terkait anggaran.
Kedua, pendidikan terlalu dipengaruhi pandangan ekonomi yang melihat tujuan danhasil pendidikan untuk jangka pendek. Pendidikan dipandang sebagai investasi
untuk memperoleh profit dengan cepat; pendidikan bukan dilihat sebagai investasi
untuk pengembangan kapital budaya dan kapital sosial.
Jika pendidikan Indonesia dapat mencapai kemajuan--tidak hanya transfer ilmu, tapi
juga melahirkan warga Indonesia yang merdeka mengembangkan imajinasi,
kreativitas, dan harkat dirinya--perlu perubahan mendasar dan fundamental.Meminjam kerangka AP Hargreaves & DL Shirley dalam The Global Fourth
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 118/136
Resonansi Azyumardi Azra 118
Way (2012), perubahan radikal perlu dilakukan dalam empat hal.
Pertama, pembatasan tugas mengajar bagi guru (dan juga dosen). Mereka
sebaiknya belajar lebih banyak dan lebih mendalam, termasuk dalam proses
pembelajaran. Dengan begitu, guru dan dosen tidak hanya kian berilmu, tapi juga
dapat semakin efektif dalam proses pembelajaran.
Kedua, transformasi organisasi guru (dan juga dosen) untuk dapat lebih efektif
memperjuangkan peningkatan penghargaan pada profesi guru dan dosen. Asosiasi
guru dan dosen juga mesti meningkatkan perannya dalam peningkatan kondisi
ekonomi dan kesejahteraan, sekaligus juga sebagai lokus peningkatan keilmuan dan
profesionalitas para anggotanya.
Ketiga, peningkatan penguasaan teknologi oleh para guru dan dosen dalam rangka
meningkatkan efektivitas pembelajaran. Dengan memanfaatkan dunia maya
melalui e-learning , misalnya, para peserta didik dapat memperkaya pengetahuan
dan sekaligus memecahkan berbagai hal yang mereka hadapi.
Keempat, pemberdayaan peran guru dan dosen sebagai dinamo perubahan. Mereka
tidak hanya merupakan guru dan dosen profesional, tetapi juga intelektual yang
menunjukkan jalan ke arah kemajuan peserta didik dan masyarakat.
Keempat rekomendasi ini tidak mudah diwujudkan, apalagi di tengah birokratisasi
pendidikan yang terus berlangsung. Namun, sesulit apa pun keadaan, mereka yang
cinta pada pendidikan Indonesia tidak boleh pernah menyerah.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 119/136
Resonansi Azyumardi Azra 119
Komunitas Keadaban
28 May 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Kemerosotan keadaban publik ( public civility ) dalam masyarakat Indonesia masa
pasca-Orde Baru merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi bangsa ini. Di
mana-mana orang bisa menyaksikan pelanggaran keadaban publik, mulai dari
pengendara yang tidak peduli dengan ketentuan lalu lintas, membuang sampah di jalan tol, buang air kecil di pinggir jalan, tidak mau tertib antrean sampai kepada
pencurian aset publik yang lebih dikenal sebagai korupsi.
Tindakan-tindakan semacam itu membuat para pelakunya seperti orang uncivilized
--tidak beradab atau tidak memiliki keadaban. Padahal, katanya, orang Indonesia
dari berbagai suku selalu mengklaim sebagai religius, berakhlak mulia, berbudi
pekerti luhur, dan seterusnya.
Memandang fenomena kemerosotan keadaban publik, penulis “Resonansi ” ini
merasa beruntung ketika memahami bahwa keadaban menjadi salah satu tema
pokok yang digagas dan dipraktikkan seorang tokoh pembaharu Islam Indonesia
asal Minangkabau, Abdullah Ahmad (1878-1933). Pembahasan tentang subjek ini
menjadi wacana penting dalam Seminar Nasional Peringatan 100 Tahun Perguruan
Adabiah (1915-2015) --lembaga pendidikan yang didirikan Abdullah Ahmad.
Tokoh ini adalah salah satu dari generasi pembaharu Islam yang dikenal sebagai
‘Kaum Muda’ --lokomotif modernisme dan reformisme Islam di Asia Tenggara yang
berawal dari Sumatera Barat. Mereka mencakup, antara lain, Haji Abdul Karim
Amrullah (1979-1945 atau Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka), Muhammad Tahir
Jalaluddin al-Minangkabawi al-Azhari (1869-1956), dan Muhammad Jamil Jambek
(1862-1947).
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 120/136
Resonansi Azyumardi Azra 120
Meski Abdullah Ahmad merupakan tokoh terkemuka karena atribut yang melekat
pada dirinya sendiri ( on his own right ) --tidak mesti harus selalu dalam konteks
Kaum Muda-- tidak atau belum banyak kajian lengkap dan mendalam tentang sosok
ini. Selama ini ia hanya mendapat pembahasan selintas dalam kajian tentang
reformisme atau modernisme Islam Kaum Muda oleh sejarawan seperti Deliar Noer
atau Taufik Abdullah.
Termasuk ke dalam core jaringan ulama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 yang
berpusat di Makkah dalam figur guru utama, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
(1860-1916), Abdullah Ahmad memilih untuk mengadopsi gagasan dan praksis
modernisme atau reformisme Islam. Memang di antara murid-murid Ahmad Khatib
ada yang menempuh jalan reformisme Islam, seperti Abdullah Ahmad dan Ahmad
Dahlan (1868-1923, pendiri Muhammadiyah 1912). Pada lain pihak ada pula yang
menganut tradisionalisme Islam, seper ti Hasyim Asy’ari (1871 -1947, pendiri NU
1926), dan Sulaiman al-Rasuli (1871-1970, pendiri Persatuan Tarbiyah
Islamiyah/Perti 1928).
Terkait dengan jaringan ulama yang berpusat di Makkah, Abdullah Ahmad memiliki
pengetahuan agama mendalam. Berada di Makkah (1895-1899) dasawarsa terakhir
abad 19, gagasan modernisme atau reformisme Islam yang diperkenalkan
Jamaluddin al-Afghani (1838-1896), Muhammad Abduh (1849-1905), dan
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), sangat menarik bagi Abdullah Ahmad.
Karena itu, pandangan dunia dan praksis keislaman Abdullah Ahmad jelas tipikal
modernisme-reformisme. Ia berorientasi kuat pada Islam puritan, tidak menerima
kompromi Islam dengan budaya lokal dan sekaligus menolak bid’ah dan taklid.Paham keagamaan ini termasuk ke dalam aliran Salafi. Tetapi berbeda dengan
aliran dan kelompok Salafi tertentu yang agresif dan mudah melakukan kekerasan
demi ‘puritanisme Islam’, Abdullah Ahmad menempuh pendekatan dan cara damai.
Dalam berbagai tulisannya, ia menekankan pentingnya perdamaian dan
persaudaraan antarbangsa dan umat manusia secara keseluruhan.
Dalam konteks itu, Abdullah Ahmad memandang pembangunan keadaban sebagaicara terbaik dan paling strategis. Untuk itu, ia pada 1906 mendirikan ‘Jami’ah
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 121/136
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 122/136
Resonansi Azyumardi Azra 122
Gelar Akademik dengan Ijazah Palsu
04 Juni 2015,
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Gelar akademik dengan ijazah palsu kembali menjadi berita besar di tanah air.
Sejumlah ‘perguruan tinggi’ di negeri ini dicurigai sebagai pihak yang
bertanggungjawab mengeluarkan ijazah dan gelar akademik palsu ( fake degrees ).
Pihak ini tentu saja membantah. Tapi ada di antara mereka yang segera membuangkartu namanya dengan gelar akademik yang diperoleh secara tidak benar.
Pada akhir 1990an kehebohan yang sama juga terjadi di tanah air. Pada waktu
tersebut ada sejumlah pejabat tinggi, birokrat pemerintahan dan anggota legislatif
yang juga menggunakan gelar akademik yang mereka peroleh secara tidak wajar.
Misalnya saja, seluruh apa yang mereka kerjakan diberi nilai SKS sehingga mereka
tidak perlu kuliah beberapa semester seperti lazimnya. Kemudian mereka diwisuda
di Singapura atau Taiwan misalnya.
Dari pihak pemberi gelar akademik dengan ijazah palsu, motif pokoknya tidak lain
hanya bisnis dan keuntungan. ‘Usaha’ ini t ermasuk lukratif —mendatangkan banyak
uang karena mereka yang tergoda mendapatkan gelar akademik dan ijazah palsu
mau membayar biaya yang boleh jadi mencapai ratusan juta rupiah. Tawaran ini ‘ too
good to be true’ , ‘terlalu bagus untuk benar’; tapi tetap saj a ada orang-orang yang
‘termakan’, bahkan dengan biaya besar.
Tidak ada data berapa jumlah dana yang berhasil dikeruk pihak pemberi gelar dan
ijazah palsu di Indonesia atau negara-negara lain. Yang jelas pasti melibatkan dana
dalam jumlah besar —ratusan juta dolar setiap tahun.
Sebagai perbandingan, Harian The New York Times 17 Mei 2015 dan juga BBC 28
Mei 2015 melaporkan terbongkarnya sindikat pemberi gelar palsu di Pakistan. Gelar
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 123/136
Resonansi Azyumardi Azra 123
akademik dan ijazah palsu itu diberikan perusahaan Axact dalam berbagai bidang
dengan bayaran antara USD 2,000 sampai USD 30 ribu. Bahkan ada kelompok
orang yang memperoleh gelar akademik dengan ijazah palsu secara patungan
mengumpulkan dana 600 ribu dolar.
Sulit diperkirakan jumlah mereka yang telah menjadi korban Axact yang didirikan
pada 1997 oleh seorang bernama Sheikh Shoaib. Kini ia memperkerjakan sekitar 25
ribu pegawai yang bekerja di 120 negara yang gentayangan menawarkan berbagai
gelar akademik palsu —termasuk melalui sekitar 370 situs di dunia maya. Jadi,
penjualan gelar akademik dan ijazah palsu ini bukan usaha bisnis main-main.
Koran The New York Times 14 Mei 2015 menyebutnya sebagai ‘kerajaan pendidikan
yang besar’ ( vast education empire ).
Nama ‘universitas’ yang lazim digunakan aneh dan tidak biasa semacam ‘Grant
Town University’, ‘Nixon University’, ‘Barkley University’— yang terakhir ini juga
beroperasi di Indonesia. Lazimnya mereka menggunakan nama yang mirip nama
universitas resmi, terkenal dan terakreditasi.
Tetapi bisa dipastikan, ‘universitas’ semacam ini ti dak ada dalam daftar nama
universitas yang diakui dan terakreditasi di Amerika Serikat atau negara lain di mana
mereka beroperasi.Tetapi sebagian lagi, pemberi gelar dan ijazah palsu itu terdaftar;
cuma mereka senang memberi ijazah dan ijazah tanpa memenuhi persyaratan.
Singkatnya, mereka ini ‘mengobral’ gelar dan ijazah.
Terlepas dari perbedaan kategorisasi semacam di atas, yang jelas mereka
memberikan gelar akademik dan ijazah dengan tidak memenuhi standar danparameter akademik yang lazim. Karena itu, di AS mereka lazim disebut sebagai
‘diploma mills’ alias ‘pabrik ijazah’.
Kenapa ‘pabrik ijazah’ merajalela di seluruh dunia? Pertama karena tidak ada hukum
yang tegas-tegas melarangnya, seperti di AS. Karena itu, mereka menggunakan
‘celah hukum’ untuk ter us mempertahankan bisnis gelar dan ijazah palsu tersebut ke
seluruh dunia.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 124/136
Resonansi Azyumardi Azra 124
Jika pun ada hukumnya —seperti ada di Indonesia —hampir tidak ada kontrol dan
pengawasan keras dan konsisten dari penanggungjawab pendidikan tinggi. Pihak ini
baru bertindak setelah ada kehebohan. Setelah itu kembali diam seolah tidak pernah
terjadi apa-apa. Lalu perbuatan nista ini kembali lagi berulang.
Penyebab kedua adalah gengsi terhadap kredensial akademik. Ada orang-orang
yang bekerja di lembaga pemerintah (atau pejabat publik) dan swasta yang
sebenarnya tidak memerlukan gelar akademik dalam pekerjaan masing-masing
justru memiliki pretensi untuk berbobot akademik. Dengan gelar (palsu) mungkin
mereka merasa lebih berwibawa dan, karena itu, bakal lebih dihormati publik.
Di pojok dunia mana pun, termasuk di AS, Indonesia dan banyak negara lain ada
orang-orang gila gelar seperti itu. Pada 2004, Laura Callahan, pejabat Kementerian
Keamanan Dalam Negeri AS, mengundurkan diri setelah dia diketahui menerima
gelar ‘PhD’ dari Hamilton University yang tidak terakreditasi. ‘Hamilton University’ ini
berbeda dengan Hamilton College yang terakreditasi sepenuhnya di Clinton, New
York.
Apakah ada pejabat publik Indonesia yang juga menggunakan gelar dan ijazah
palsu yang mau mengundurkan diri? Nampaknya bakalan tidak ada karena
gejalanya seolah tak ada lagi rasa malu melakukan perbuatan tercela itu.
Karena itu sudah waktunya pretensi akademik mereka yang tidak mengajar di
kampus dihilangkan. Pada saat yang sama rasa malu kembali diperkuat dan
dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa rasa malu dan rasa
bersalah —seperti dalam kasus gelar akademik dengan ijazah palsu —bakal tetapmerajalela.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 125/136
Resonansi Azyumardi Azra 125
Indonesia Setelah 70 Tahun
03 September 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Memasuki dasawarsa kedelapan setelah 70 tahun kemerdekaan Indonesia pada
2015, negeri ini tidak hanya mampu bertahan di tengah berbagai tantangan dan
kesulitan, tetapi juga mencapai banyak kemajuan signifikan dalam berbagai
lapangan kehidupan.
Tetapi kecemasan dan kerisauan masih melanda banyak kalangan masyarakat —
termasuk kalangan ahli dan spesialis —ketika Indonesia mulai melangkah memasuki
dasawarsa kedelapan kemerdekaan. Hal ini terlihat misalnya dalam Seminar
Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) XXVI dalam rangka Kongres IX pada
pekan lalu (27/8/2015).
Dalam ‘introspeksi’ dan ‘retrospeksi’ AIPI, segenap warga bangsa patut bersyukur
karena Indonesia tidak tercabik-cabik konflik komunal yang pernah melanda daerah
tertentu dari waktu ke waktu. Selain itu, AIPI juga mengapresiasi prestasi Indonesia
berdemokrasi selama lebih dari 15 tahun era Reformasi setelah sebelumnya
mengalami periode sistem otoriter yang panjang di bawah rejim Orde Lama dengan
Demokrasi Terpimpin (1959-65) dan rejim Orde Baru dengan Demokrasi Pancasila
(1966-98).
Di balik prestasi itu, AIPI juga mencatat tidak sedikit daftar kegagalan dan potret
buram negara- bangsa Indonesia dalam rentang usia 70 tahun itu. “Di antara
kegagalan itu dapat disebut misalnya kegagalan negara menegakkan pemerintahan
bersih dengan memberantas atau sedikitnya mengurangi korupsi secara signifikan;
kegagalan mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial; kegagalan mencerdaskan
kehidupan bangsa; dan kegagalan negara melindungi segenap bangsa dan tumpah
darah Indones ia, termasuk hak hidup bagi minoritas agama dan kepercayaan”.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 126/136
Resonansi Azyumardi Azra 126
Karena itu, AIPI merasa perlu mengajukan pertanyaan; ‘Apa yang salah? Mengapa
salah urus negara dan pemerintahan masih berlanjut terus dan hampir selalu
berulang meskipun Indonesia sudah 70 tahun merdeka? Tantangan apa saja yang
menghadang Indonesia menyongsong masa depannya? Apakah NKRI bisa
bertahan untuk 100 tahun berikutnya? ’
Pembicaraan dalam Sesi Panel Tokoh yang mencakup Menkumham Luhut B.
Panjaitan; ekonom dan pakar lingkungan hidup Emil Salim; Ketua Umum AIPI dan
Gubernur Sulawesi Utara SH Saru ndajang; dan penulis “Resonansi” ini tak bisa lain
kecuali terfokus pada masa depan Indonesia berdasarkan tantangan dan masalah
hari ini dan ke depan.
Secara umum, keempat panelis menyatakan optimis dengan masa depan
Indonesia —meski disertai sejumlah catatan kritis dan reflektif. Luhut merasa optimis
dengan masa depan Indonesia yang dengan demokrasi bisa membawa negeri ini ke
arah lebih baik. Tetapi ia wanti-wanti mengenai Indonesia yang penuh keragaman,
yang menghendaki pemimpin yang mampu berdiri di atas semua golongan.
“Indonesia membutuhkan pemimpin yang dapat menjadi teladan. Indonesia tidak
memerlukan pemimpin tanpa hati yang membuat rusak, pemimpin yang hanya
mementingkan dirinya, golonganny a dan kantongnya”.
Bagi Emil Salim, kerusakan masa depan Indonesia dapat disebabkan bangsa
Indonesia sendiri, khususnya kalangan politisi yang tidak memiliki logika dan
sensitivitas. Ia mengakui pentingnya para politisi dan parpol sebagai pilar demokrasi.
“Sayangnya politikus justru membuat demokrasi bukan menjadi jalan untuk
menciptakan keadilan sosial. Di tengah krisis ekonomi sekarang, ketika nilai dolarmenuju lima belas ribu rupiah, DPR malah mau membangun tujuh proyek prestisius.
Ke mana pikiran mere ka?”, tegas Emil Salim.
Berbicara setelah kedua panelis tadi, penulis “Resonansi ” ini mengingatkan tentang
pentingnya memelihara optimisme bangsa dalam menyongsong masa depan.
Indonesia sepanjang 70 tahun kemerdekaan membuktikan kemampuan tidak hanya
bertahan, tetapi juga mencapai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Jikakita lebih banyak pesimis, masa depan negara bangsa ini juga menjadi gelap gulita.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 127/136
Resonansi Azyumardi Azra 127
“Dalam perjalanan selama tujuh puluh tahun, Indonesia tetap menjadi negara -
bangsa yang utuh di tengah berbagai ancaman dan potensi disintegrasi. Perjalanan
sejarah selama tujuh puluh tahun mengajarkan bahwa di tengah segala skeptisisme,
ketidakpercayaan dan ketidakmungkinan, Indonesia yang sangat plural tetap utuh
dan bisa berdiri sampai sekarang”.
Banyak kalangan pengamat asing sejak masa pergerakan nasional, pasca-
kemerdekaan sampai sekarang ini masih bersikap skeptis terhadap masa depan
Indonesia. Bagi mereka, Indonesia adalah negara-bangsa yang tidak mungkin
(improbable nation ) yang merupakan ‘keajaiban’ ( miracle ) karena keragaman dan
kebhinnekaan dalam berbagai aspek kehidupan.
Meski merupakan ‘mukjizat’, menghadapi tantangan hari ini dan masa depan lebih
jauh —seperti 100 tahun kemerdekaan pada 2045 —pemerintah memiliki peran
tanggung jawab khusus menciptakan kondisi lebih kondusif bagi pemeliharaan dan
penguatan keindonesiaan.
Untuk itu, pemerintah semestinya mempercepat usaha mengatasi berbagai kesulitan
ekonomi yang kini kian meningkat. Jika keadaan ekonomi terus memburuk, kesulitan
hidup kian meningkat, dan jurang pendapatan kian lebar, maka potensi keresahan
sosial bakal juga meningkat. Pada tahap ini, jika tidak terkendali, potensi dan
ancaman disintegrasi dapat mewujudkan dirinya. Na’udzu billah min Dzalik.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 128/136
Resonansi Azyumardi Azra 128
Ujaran Kebencian dan Kebebasan
05 November 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Pro-kontra mencuat di kalangan masyarakat terkait Surat Edaran (SE) Kapolri No.
SE/06/X/2015 tentang penanganan ‘ujaran kebencian’ ( hate speech ) di ranah publik. Ada tujuh bentuk ujaran kebencian disebut dalam SE: penghinaan, pencemaran
nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut,
dan menyebarkan berita bohong. Semua tindakan ini memiliki tujuan atau
berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau
konflik sosial.
Dalam SE dinyatakan, ujaran kebencian bertujuan menghasut dan menyulut
kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat/komunitas berbeda
dalam aspek: suku, agama, ajaran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras,
antar-golongan, warna kulit, etnis, gender, difabel, dan orientasi seksual.
Ujaran kebencian bisa tersampaikan melalui berbagai media, antara lain: orasi
kegiatan kampanye [politik], spanduk atau banner, jejaring media sosial,
penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media
massa cetak maupun elektronik, dan pamflet.
Menurut SE yang ditandatangani Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober
2015, persoalan ujaran kebencian kian mendapat perhatian masyarakat nasional
dan internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan HAM.
Karena itu “dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan
ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan, akan berpotensi menimbulkan tindakan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 129/136
Resonansi Azyumardi Azra 129
diskriminasi, kekerasan atau penghilangan nyawa”.
Menghadapi ujaran kebencian, Polri menetapkan prosedur penanganan. Jika
tindakan preventif sudah dilakukan namun masalah tetap belum terselesaikan,
penyelesaian dilakukan melalui penegakan hukum sesuai KUHP, UU No. 1/2008
tentang ITE, UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU
No. 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri No. 8/2013
tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Penulis “Resonansi ” ini menyambut baik SE Kapolri tersebut. Meski penerbitan SE
itu boleh dibilang terlambat; beberapa tahun lalu dalam s eminar tentang ‘Hate
Speech’ di Mabes Polri Jakarta untuk menyambut Hari Bhayangkara, penulis
menyarankan perlunya UU tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Tetapi,
nampaknya berbagai pihak terkait kurang peduli terhadap masalah ini sampai
kemudian Polri mengambil inisiatif dengan menerbitkan SE Kapolri tersebut.
Sejak masa pasca-Soeharto khususnya —masa euforia kebebasan, ujaran
kebencian terlihat merajalela dan mewabah di tanah air. Wabah itu paling jelas
terlihat di dunia maya dan media sosial. Orang dengan mudah menemukan berbagai
bentuk ujaran kebencian khususnya terkait SARA.
Ujaran kebencian juga sering terdengar dari mimbar agama, baik khutbah maupun
pengajian. Tidak jarang khatib atau penceramah menyampaikan ujaran kebencian
dengan menista kelompok lain baik intra maupun antar-agama, menuduh orang,
kelompok atau aliran lain sebagai thaghut dan sesat.
Mereka yang memberikan ujaran kebencian dalam ceramah dan khutbahnya telah
menyalahgunakan kebebasan berceramah agama di Indonesia. Negeri ini adalah
‘surga’ karena untuk berceramah tidak diperlukan izin; padahal di hampir seluru h
negara berpenduduk mayoritas muslim lain orang tidak boleh memberi ceramah dan
khutbah kecuali punya surat izin atau sertifikat dari lembaga resmi.
Hampir semua negara di dunia —termasuk yang paling bebas seperti AmerikaSerikat dan negara-negara Eropa Barat —memiliki UU atau peraturan lain tentang
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 130/136
Resonansi Azyumardi Azra 130
penanganan ujaran kebencian. Uni Eropa misalnya menerbitkan manual tentang
ujaran kebencian; Anne Weber, Manual of Hate Speech (2011). Manual ini bertujuan
memberikan panduan kepada para pejabat pemerintah, ahli, aktivis LSM dan
masyarakat tentang kasus ujaran kebencian dalam kaitannya dengan kebebasan
berekspresi.
Dalam “Resonansi ” pekan lalu (29/10) penulis menjelaskan, kebebasan berekspresi
dan kebebasan beragama ( hurriyat al-ta`bir atau hurriyat al- ra’y ) termasuk yang
dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Kebebasan
berekspresi merupakan prasyarat kebebasan beragama. Tetapi masalahnya apakah
kebebasan berekspresi harus berarti kebebasan liar tidak bertanggungjawab yang
justru digunakan untuk penyiaran ujaran kebencian? Karena itu masalahnya adalah
bagaimana kebebasan berekspresi dapat dapat diwujudkan secara bertanggung
jawab.
Kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama bukan tanpa batas. Dalam
kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama terdapat hak orang lain untuk
tidak dinista dengan berbagai bentuk ujaran kebencian.
Banyak ayat Alquran juga melarang penyebaran kebencian. Islam memberi hak
kepada individu untuk menyatakan segala sesuatu asalkan ujaran itu tidak berupa
penistaan ( blasphemy ), fitnah, penghinaan atau pernyataan yang menimbulkan
kerusakan, permusuhan dan penghilangan nyawa. Islam mendorong kebebasan
berekspresi lewat pernyataan arif dan bijak, nasihat dan tausiyah yang baik dengan
kesabaran, bukan kemarahan.
Kebebasan berekspresi dalam kebebasan beragama mesti dijaga bersamaan
dengan penguatan rasa tanggung jawab. Karena itu, penggunaan kebebasan
berekspresi untuk menista penganut agama lain justru merupakan tindak
pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 131/136
Resonansi Azyumardi Azra 131
Quo Vadis Guru Besar? (1)
03 Desember 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Quo vadis guru besar atau mau ke mana para profesor Indonesia? Inilah pertanyaan
yang menjadi subjek yang diminta kepada penulis “Resonansi” ini untuk
disampaikan pada Konferensi Guru Besar Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
(PTKI).
Konferensi tiga hari (29/11-1/12/2015) yang digelar Direktorat Pendidikan Tinggi
Islam (Diktis) Kementerian Agama menghadirkan sekitar 400 guru besar dari seluruh
Tanah Air; agaknya ini merupakan pertemuan terbesar profesor di Indonesia.
Konferensi guru besar PTKI (baik PTN maupun PTS) bukan hanya mempertanyakanmau ke mana para profesor (dan calon profesor). Pembicaraan juga menyangkut
tentang membincang ulang peran akademik guru besar; pengarusutamaan integrasi
keilmuan sebagai distingsi PTKI; merumuskan kembali konsorsium keilmuan PTKI;
kategorisasi rumpun ilmu dan Prodi Kajian Islam di PTKI; dan internasionalisasi dan
jaringan karya akademik guru besar-dosen PTKI.
Bagi penulis “Resonansi” ini, pertanyaan tentan g quo vadis tadi mengisyaratkanketidakmenentuan keadaan para guru besar Indonesia dan juga para dosen yang
secara gelar akademik dan kepangkatan sudah qualified , tetapi pesimistis bisa
menjadi guru besar. Dalam pertanyaan dan pesimisme itu tersirat pula sejumlah
masalah rumit yang mereka hadapi. Berhadapan dengan berbagai masalah
tersebut, tersirat pula belum ada titik terang penyelesaiannya.
Masalah guru besar tidak berdiri sendiri. Ia sangat terkait dengan berbagai masalah
pendidikan tinggi Indonesia secara keseluruhan; dan juga dengan kebijakan
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 132/136
Resonansi Azyumardi Azra 132
pendidikan dan politik pendidikan negeri ini. Karena itu, pertanyaan tentang quo
vadis guru besar tidak bisa diselesaikan hanya di lingkungan guru besar itu sendiri,
tetapi juga mengharuskan penyelesaian benang kusut di dunia pendidikan tinggi dan
politik pendidikan Indonesia secara keseluruhan.
Pada satu segi, jelas jumlah guru besar Indonesia masih jauh daripada memadai.
Menurut Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Kemenristekdikti Ali Ghufron, jumlah guru besar di Indonesia baru mencapai 5.097
orang untuk sekitar 3.151 PTN dan PTS sampai akhir 2014. Jumlah ini, menurut
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Sofian Effendi, mengakibatkan rasio
perbandingan guru besar dengan mahasiswa adalah 1:1.000 ( Kompas, 29/9/2015).
Selain rasio yang sangat timpang itu, penyebarannya juga sangat tidak merata.
Kebanyakan guru besar berada di PTN (PTUN+PTKIN) yang mapan. Bahkan,
sebagian besar PTN dan PTS tidak memiliki guru besar atau hanya ada satu atau
dua orang.
Idealnya, jumlah guru besar sebanding dengan prodi yang sampai akhir Oktober
2015 berjumlah sekitar 23.074 per bidang ilmu yang ada di sekitar 4.327 PTN dan
PTS. Setiap prodi idealnya dipimpin seorang guru besar karena prodi merupakan
tulang punggung PT.
Sedikitnya jumlah guru besar terkait banyak dengan berbagai ketentuan dan
persyaratan relatif sangat rigid untuk kenaikan pangkat akademis ke lektor kepala
dan--apalagi--ke guru besar. Berbagai ketentuan tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kualitas guru besar. Para dosen maklum dan mendukung belakakeinginan pemerintah--dalam hal ini kementerian terkait--untuk meningkatkan
kualitas dosen dan sekaligus PT.
Tetapi, berbagai ketentuan itu sering tidak masuk akal--menjadi stumbling block bagi
mereka yang ingin menjadi guru besar. Akibatnya adalah hampir terhentinya
mobilitas dosen lektor kepala menjadi guru besar. Sementara, guru besar yang ada
kian banyak pensiun. Konsekuensinya, jumlah guru besar yang perlu untukpeningkatan nilai akreditasi dan ranking PT justru kian menyusut.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 133/136
Resonansi Azyumardi Azra 133
Sekali lagi, dalam waktu sekitar 10 tahun terakhir, persyaratan untuk menjadi guru
besar semakin sulit. Berbagai persyaratan menyangkut linearitas keilmuan,
penelitian, dan penulisan artikel ilmiah dalam jurnal terakreditasi, baik pada tingkat
nasional maupun internasional, tidak mudah dipenuhi dosen yang secara
kepangkatan fungsional sudah qualified untuk mengajukan professorship .
Persyaratan yang kian ketat tidak lagi memungkinkan bagi mereka yang telah
mencapai kum karena kerajinan dan ketekunan mengajar dan melakukan
pengabdian masyarakat untuk mengajukan diri menjadi guru besar. Mereka juga
tidak bisa sekadar melakukan penelitian seadanya. Mereka harus menghasilkan
buku sesuai standar tertentu atau artikel ilmiah dipublikasikan di jurnal ilmiah
terakreditasi--tidak cukup di tingkat nasional, tetapi juga pada level internasional.
Sebagian kalangan berargumen, persyaratan untuk menjadi guru besar di Indonesia
masih “jauh lebih ringan” dibandingkan negara -negara lain, seperti Malaysia dan
Singapura--untuk tidak menyebut Belanda, Jerman, Inggris, atau Amerika Serikat
dan Kanada. Di negara-negara Eropa lazimnya seorang PhD bisa menjadi profesor
hanya ketika terangkat menjadi chair pada departemen atau lembaga tertentu.
Sedangkan di AS, professorship dicapai melalui tenure track dengan persyaratan
sangat ketat.
Namun, tidak fair membandingkan persyaratan menjadi guru besar di Indonesia
dengan negara-negara tersebut karena realitas dan kondisinya sangat berbeda dari
sudut kebebasan akademi, gaji dan insentif, fasilitas, dan sebagainya. Apalagi, guru
besar dan dosen Indonesia juga dituntut memainkan peran sosial di luar lingkungan
kampus.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 134/136
Resonansi Azyumardi Azra 134
Quo Vadis Guru Besar? (2)
10 Desember 2015
Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID
Jauh tidak memadainya jumlah guru besar di Indonesia bersumber dari banyak
masalah yang membuat mereka sulit mencapat derajat profesor. Jumlah guru besar
relatif tidak banyak bertambah dalam sepuluh tahun terakhir. Jumlah guru besar
yang pensiun atau mangkat tidak tergantikan jumlah mereka yang berhasil
mendapat jabatan akademik guru besar dalam beberapa tahun terakhir.
Karena itu, para guru besar perlu dipertanyakan, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Quo vadis guru besar atau mau ke mana para profesor Indonesia? Penulis
“Resonansi ” ini mendapat tugas dari Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis)
untuk menjawab pertanyaan yang rumit jawabannya dalam Konferensi Guru BesarPTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) tiga hari (29/11-1/12/2015) yang
menghadirkan sekitar 400-an guru besar dari seluruh Tanah Air.
Berbicara tentang kesulitan mencapai jabatan akademik fungsional professorship
terkait banyak dengan kian ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal
lingkungan akademik dan sosial di mana para dosen calon guru besar tidak kondusif
dari banyak segi.
Lihatlah misalnya para guru besar dan dosen lain harus berhadapan dengan
birokratisasi PT yang kian membunuh imajinasi dan kreativitas. Mereka diperlakukan
tidak ubahnya seperti buruh pabrik. Semua dosen diwajibkan hadir di kampus setiap
hari dengan absensi sidik jari ( fingerprint ) di waktu mulai jam kerja dan di akhir jam
kerja. Padahal kewajiban mengajar mereka bisa dilaksanakan sepenuhnya dalam
dua hari.
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 135/136
Resonansi Azyumardi Azra 135
Berhadapan dengan ‘ancaman’ dicabut tunjangannya, para dosen tidak punya
pilihan kecuali ‘mematuhi’ kebijakan birokratisasi dosen dan PT secara keseluruhan.
Mereka tak ubahnya seperti karyawan administrasi yang memang harus melayani
berbagai urusan mahasiswa setiap hari.
Birokratisasi melalui finger print boleh jadi bisa dilakukan jika para dosen tinggal di
lingkungan dekat kampus. Tetapi jika banyak di antara mereka tinggal di tempat jauh
dari kampus —seperti di Bekasi atau di Bogor dalam kasus UIN Jakarta —sehingga
harus berhadapan dengan kemacetan luar biasa berjam-jam, jelas kebijakan
tersebut sangat menyiksa. Keadaan ini agaknya juga berlaku bagi para dosen di
kota-kota lain.
Selain itu, para dosen umumnya tidak punya kantor atau ruang privasi di mana
mereka bisa bekerja atau mangkal di kampus. Jadi,di mana mereka harus
menunggu sampai finger print di akhir jam kerja? Haruskah mereka luntang lantung;
atau kembali ke rumah dan bertarung lagi menghadapi kemacetan?
Birokratisasi paling akhir adalah kewajiban registrasi ulang PNS termasuk
dosen/guru besar ( e-PUPNS ). Menurut estimasi, mempertimbangkan tenggat waktu
15 September 2015, sekitar 120 ribu dosen terancam bakal kehilangan status PNS
karena ’malas’ atau ‘enggan’ melakukan her -registrasi PNS. Bayangkan kerepotan
dosen/GB yang harus menyiapkan ijazah sejak dari SD sampai S2, S3, segala
macam SK (CPNS dan PNS), surat izin belajar, Buku Nikah sampai Berita Acara
Sumpah PNS, dan banyak lagi.
Selain itu, para dosen PNS sebagai aparatur sipil negara juga wajib melaporkanharta kekayaan sesuai Surat Edaran MenPAN-RB No. 1/2015. Kini bukan hanya
dosen yang mendapat tugas tambahan sebagai pimpinan akademik dan manajerial
di lingkungan PT yang harus melaporkan harta kekayaan, tetapi juga mereka yang
sejak pengangkatan menjadi PNS hanya dosen biasa —tidak pernah menjadi pejabat
dan/atau PPK (pejabat pembuat komitmen) yang tidak pernah mendapat tunjangan
jabatan, remunerasi, dan honorarium ini dan itu.
Birokratisasi di atas merupakan rentetan dari sejumlah birokratisasi lain. Misalnya
8/20/2019 Resonansi Azyumardi Azra 2015
http://slidepdf.com/reader/full/resonansi-azyumardi-azra-2015 136/136
lagi, para dosen —termasuk guru besar harus mempersiapkan [laporan] Beban Kerja
Dosen (BKD) yang memerlukan waktu cukup lama untuk mengisi borang dan
mempersiapkan bukti penunjangnya.
Berbagai kebijakan birokratisasi tersebut tidak selalu bersumber dari keinginan
meningkatkan kualitas guru besar/dosen. Beberapa tahun lalu pernah ada
pernyataan dari pejabat Dikti-Dikbud, banyak dosen yang baru memperoleh gelar
DR atau PhD buru-buru ingin jadi profesor karena tunjangan guru besar yang telah
cukup besar. Jadi, motifnya dicurigai hanya untuk mengejar duit.
Dalam waktu lebih akhir, terlihat juga kecurigaan pejabat tinggi di lingkungan
Kemenristek-Dikti dan KemenPAN-RB terkait PUPNS bahwa para dosen harus
menyerahkan kembali seluruh ijazahnya sejak dari SD sampai PT karena dicurigai
ada yang menggunakan ijazah palsu.
Begitu juga dengan laporan harta kekayaan yang juga terlihat muncul dari persepsi
ala model KPK yang diadopsi Inspektorat Jenderal Kementerian, bahwa setiap
orang, khususnya PNS, harus dicurigai potensial korupsi. Jelas ada PNS —di PT
baik dosen atau tenaga administratif —yang korupsi, tetapi mencurigai setiap dan
seluruh orang melakukan korupsi jelas bukan sikap yang benar dan baik dalam