Upload
devi-rosalina
View
229
Download
53
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Artikel ini membahas mengenai pandangan Picard tentang bagaimana pariwisata budaya dikhawatirkan akan beralih menjadi budaya pariwisata. Beberapa kritik dan saran juga diberikan terkait topik yang dibahas.
Citation preview
Michel Picard. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Bab 7: Budaya Pariwisata.
Denpasar: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006. 45 halaman.
Putu Devi Rosalina (1491061017)
Eksotisme pemandangan alam dan keunikan budaya merupakan modal utama industri
pariwisata Bali. Semenjak kontak pertama Bali dengan dunia barat di tahun 1597, sampai saat ini
Bali semakin menunjukkan eksistensinya di mata dunia. Pemerintah juga menunjukkan
keseriusannya dengan menetapkan Perda Nomor 3 tahun 1974 juncto Perda Nomor 3 tahun 1991
yang menetapkan bahwa konsep pengembangan pariwisata di Bali adalah pariwisata budaya
(saat ini diatur dalam Perda No.2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali). Namun,
seiring perjalannya, pariwisata Bali kini seakan berada dalam dilema dan mengalami pergeseran
menuju Budaya Pariwisata, seperti yang diungkapkan Picard pada bab 7 bahwa “Hal yang kini
diperhatikan orang Bali adalah bagaimana memanfaatkan budaya mereka demi pariwisata, bukan
lagi menilai dampak pariwisata terhadap kebudayaan mereka.”
Kekhawatiran akan adanya dampak negatif terhadap eksploitasi budaya ini pernah
diramalkan oleh Covarrubias (1937) bahwa undoubtedly Bali will soon enough be spoiled for
those fastidious travelers who abhor all that which they bring with them1. Kedatangan wisatawan
dapat mempengaruhi eksistensi budaya Bali dan semakin menantang Bali untuk menyiapkan
budaya menarik yang bisa dipertontonkan, padahal tidak semua budaya dapat dipertontokan
karena alasan kesakralan dan agama. Tantangan tersebut pun ditanggapi dengan “mengorbankan
usaha pembinaan kebudayaan”. Pada bab ini, Picard menegaskan pembahasannya pada bab
sebelumnya yang secara khusus mengulas mengenai bagaimana tarian bali dikemas menjadi
atraksi budaya. Bab terakhir ini kemudian menganalisa dampak negatif dari pengeksploitasian
budaya tersebut, dengan secara gamblang mengulas bagaimana konsentrasi dan perubahan fokus
para pelaku pariwisata yang berubah menjadi semakin mengeruk potensi budaya demi
perkembangan pariwisata.
Picard mengawali tulisannya dengan mengulang kembali serta memberikan gambaran
terlebih dahulu mengenai Pariwisata Budaya. Juga berulang kali disebutkan bagaimana budaya
sangat memiliki potensi dan dianggap sebagai pemeran utama dalam hal pengembangan
1 Miguel Covarrubias, Island of Bali (Hong Kong: Periplus Editions Ltd, 1937).
pariwisata. Diungkapkan bahwa awal pergeseran konsep dari “Pariwisata Budaya” menjadi
“Budaya Pariwisata” terjadi sejak tahun 1980-an. Pergeseran konsep ini mengubah pandangan
media dan akademisi bahwa pariwisata justru tidak dianggap lagi sebagai “polusi kebudayaan”
melainkan “renaisans budaya”. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dampak negatif yang terjadi
pada kebudayaan Bali dianggap sesuatu hal yang lumrah, pantas terjadi dan bukan hal yang
harusnya dipermasalahkan. Picard terlihat jelas menolak kepasrahan masyarakat Bali untuk
menganut konsep ini dengan mengkritisi kembali maknanya bahwa Renaisans Budaya dianggap
sebagai “proses turistifikasi dan sekaligus Indonesianisasi dari Kebudayaan Bali”. Pembahasan
kemudian dibagi menjadi tiga bagian, yakni: pengembangan pariwisata internasional dan
pembinaan kebudayaan nasional, wacana pariwisata budaya, serta citra dan tanda identitas.
Mengawali ulasan kritis ini, terdapat beberapa perspektif yang digunakan untuk menilai, antara
lain: ketertarikan judul bab; rasionalitas setiap permasalahan yang diberikan yakni berupa alasan
yang melatar belakangi kejadian tersebut; peraturan perundangan yang berlaku dan contoh
relevan. Elaborasi kritikkan ini kemudian juga diberikan contoh dan perbandingan dengan
kondisi pariwisata saat ini.
Budaya Pariwisata Sebagai Pesan Terakhir
Sangat terlihat di sini bahwa Picard cerdik dalam memainkan kata-kata, hanya dengan
mengubah urutan kata “pariwisata” dan “budaya” muncul konsep dengan makna yang sangat
kontras, hal ini tentunya dapat menimbulkan rasa penasaran pembaca. Penempatan ulasannya
juga sangat tepat yakni terletak di paling akhir dari buku ini. Jadi, jika pada bab sebelumnya
Picard mengulas mengenai bagaimana budaya dikomodifikasi untuk menjadi bagian dari
pariwisata, kini pada akhirnya muncul semacam kekhawatiran yang justru dapat
“membudayakan” kebiasaan pelaku pariwisata untuk mengeksploitasi budaya tersebut, hingga
dikatakan mengalami pergeseran dari nilai budaya menjadi nilai ekonomi, serta dari warisan
menjadi modal. Namun, terdapat kurangnya konsistensi dari argumentasi yang disampaikan pada
akhir bab: Dengan demikian, orang Bali, oleh karena didorong untuk melestarikan dan
mempromosikan identitas budayanya dengan mengacu pada pandangan dunia luar terhadap
mereka, pada akhirnya mencari dalam cermin yang disodorkan oleh wisatawan penegasan atas
kebalian mereka (Picard, 2006:291). Sehingga, jika diinterpretasikan, budaya pariwisata
bukanlah sesuatu kekhawatiran, karena hal ini seakan siklus yang mana pengemasan budaya
kepada wisatawan akan membantu masyarakat untuk semakin menguatkan kembali budaya asli
mereka, serta penguatan ini akan menjadi daya tarik wisata budaya yang otentik. Padahal, pada
ulasan sebelumnya, Picard memberikan contoh ancaman untuk keutuhan keaslian budaya Bali,
salah satunya melalui pernyataan ini: …dikelabui oleh prestise reputasi pariwisata Bali di luar
negeri dan tidak menyadari bahwa keslian identitas budaya Bali sudah terancam (Picard,
2006:288). Dengan demikian, pesan terakhir ini justru membingungkan pembaca untuk
menyimpulkan keberpihakan Picard untuk pro atau kontra terhadap budaya pariwisata, atau
mungkin ini semacam pendinginan untuk menenangkan ketakutan akan dampak negatif tersebut.
Pesta Kesenian Bali dan Sanur Village Festival
Berbicara mengenai budaya, definisi kebudayaan yang ditangkap oleh masyarakat Bali
sepertinya belum terlihat secara jelas2. Secara semantik, bahasa Bali sendiri tidak memiliki istilah
untuk membedakan seni dan budaya, sehingga definisinya pun terkesan rancu. Picard kemudian
beranggapan bahwa kebudayaan yang dimaksud di sini adalah bentuk-bentuk eskspresi seni atau
yang hanya sebatas untuk kebutuhan estetis, padahal budaya bisa mencakup lebih luas dari itu.
Ilustrasi budaya sebagai seni tersebut ditunjukkan melalui Pesta Kesenian Bali (PKB) mulai
tahun 1979 yang dilaksanakan setahun sekali hingga saat ini. Bisa dikatakan PKB merupakan
diorama dari pariwisata budaya yang diharapkan dapat mengembangkan pariwisata.
Sayangnya, sasarannya lebih berhasil untuk menarik wisatawan domestik dibanding asing,
seperti yang disebut Picard, “Namun janganlah peristiwa ini dikira suatu atraksi wisata: terbukti
orang Bali merupakan bagian terbesar pengunjungnya”. Walaupun demikian, Picard tidak
memberikan secara detail alasan mengapa hal ini bisa terjadi, entah memang ditujukan seperti itu
atau kurangnya keseriusan pemerintah untuk memasarkan, serta sangat disayangkan jika pesta
megah ini ujung-ujungnya hanya untuk memuaskan euphoria masyarakat lokal. Bahkan hingga
saat ini, PKB terbukti belum mampu menarik wisman, seperti yang diungkapkan media surat
Kabar Pos Bali yang mengulas mengenai pelaksanaan PKB 2014, “Dinilai dari biaya dan tenaga
yang dikeluarkan tak imbang dengan hasil yang didapat. Di mana sampai saat ini PKB belum
bisa menarik minat wisatawan asing.”3
2 Patut diingat di sini bahwa bahasa Bali tidak mengenal istilah untuk menerjemahkan apa yang disebut sebagai “art” atau “culture” (Picard, 2006:251)3 http://posbali.com/pkb-biaya-dan-hasil-tak-imbang/
Melihat kenyataan saat ini, kita bisa berasumsi beberapa alasan yang memicu keengganan
wisman untuk berkunjung, yakni memang konsepnya seperti itu, serta promosi dan suasana yang
kurang kondusif4. Sampai saat ini konsep pariwisata budaya juga dikembangkan untuk menarik
kunjungan ke Desa tertentu, kita dapat melirik kegiatan serupa, yakni Sanur Village Festival
(SVF), tidak dipungkiri festival yang baru berjalan sembilan kali ini mampu menyedot wisman
lebih banyak dibanding PKB5. Festival ini juga menampilkan seni, budaya, olahraga dan kuliner,
sehingga konsepnya seperti replika dari PKB namun keberhasilannya dalam menarik wisman
jauh melampaui PKB. Selain itu, SVF juga mengambil lokasi yang strategis bertempat di daerah
pantai, dibandingkan dengan PKB yang tidak berada di kawasan wisata. Kemudian, jika
dibandingkan dari segi nama yang juga merupakan salah satu aspek dalam pemasaran, SVF
menggunakan bahasa Inggris yang tentunya lebih menarik perhatian wisatawan asing. Secara
umum, SVF terlihat lebih terorganisir dibanding PKB, hal ini sekaligus tantangan dan contoh
bagi pemerintah untuk sebaiknya lebih kreatif lagi dalam mengembangkan atraksi wisata yang
ditawarkan sehingga tidak monoton dan menciptakan atmosfir yang lebih kondusif bagi wisman.
Dapat disimpulkan pula bahwa, festival, pameran, pesta (atau sejenisnya yang menghadirkan
produk berupa seni) justru bisa menjadi salah satu promosi jitu untuk memperkenalkan
kebudayaan lokal.
Menyinggung mengenai PKB, pementasan sendratari Ramayana dikatakan sebagai tradisi
Bali yang asli. Padahal mengutip dari Dibia (dalam Wijaya, 2012:148)6:
Setelah ditilik asal muasalnya, ternyata sebagian besar seni yang dipentaskan dalam PKB dapat disebut sebagai invented tradition. Salah satu contohnya adalah sendratari Ramayana. Sendratari ini dipentaskan pertama pada tahun 1961 di Pelataran Candi Prambanan, yang dibawakan oleh ratusan penari…diciptakan oleh Letnan Jendral G.P.H Djatikusumo sebagai tontonan wisatawan. Sendratari Ramayana Jawa itu kemudian diadopsi oleh seniman Bali, setelah melalui berbagai modifikasi, sehingga lahirlah sendratari Ramayana Bali
Sehingga, menyebutkan sendratari ini asli Bali bukanlah hal yang tepat. Apalagi di sisi lain,
menentukan keaslian budaya tidaklah mudah karena pasti akan mengalami perubahan,
4 I Nyoman Darma Putra dalam artikelnya PKB = Pengibingnya Kadang Bule ,diposkan tanggal 28 Juni 2010, diakses dari: http://dasarbali.wordpress.com/2010/06/28/pkb-pengibingnya-kadang-bule/5 I Komang Suparta dalam artikelnya Sanur Village Festival Magnet Wisatawan ke Bali, diposkan tanggal 12 Agustus 2014, diakses dari http://www.antarabali.com/berita/57085/sanur-village-festival-magnet-wisatawan-ke-bali6 I Nyoman Wijaya berjudul Relasi-Relasi Kekuasaan Dibalik Pengelolaan Industri Pariwisata Bali dalam Jurnal Humaniora Vol. 24, No.2 Juni 2012, diakses dari: http://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/
perkembangan dan akulturasi dengan budaya lain. Walaupun memang, sangat perlu untuk
menjaga otentisitas tersebut.
Kekhawatiran terhadap TMII, Kain Endek dan Arsitektur Stil Bali
Menurut Ritchie dan Zins (dalam Putra, 2007:66-67), terdapat 12 unsur kebudayaan yang
dapat menarik kedatangan wisatawan, yaitu bahasa, kebiasaan masyarakat, kerajinan tangan,
makanan dan kebiasaan makan, musik dan kesenian, sejarah suatu tempat, cara kerja dan
teknologi, agama yang dinyatakan dalam bentuk cerita dan sesuatu yang dapat disaksikan,
bentuk dan karakteristik arsitektur, tata cara berpakaian penduduk setempat, sistem pendidikan,
serta aktivitas pada waktu senggang7. Namun, Picard hanya membahas beberapa unsur budaya
seperti: pengambilan puncak kebudayaan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), batasan sakral
seni tari, agama Hindu, kain endek, arsitektur stil bali, sistem subak, aktivitas tajen, filsafat Tri
Hita Karana dan Karma Phala, sarana pariwisata terkait budaya Garuda Wisnu Kencana dan
Bali Nirwana Resort. Alangkah baiknya jika Picard juga membahas unsur lainnya sehingga bisa
menjadi lebih kompleks dan komprehensif.
Disamping itu, Picard (2006:260) terkesan kurang sepaham dengan konsep yang
disodorkan TMII, dengan pernyataan “Fokus kristalisasi identitas telah bergeser dari suku ke
Provinsi.” dan mengungkapkan bahwa pengunjungnya kebanyakan orang Indonesia. Padahal,
salah satu misi TMII adalah untuk memperkenalkan kebudayaan dan kekayaan alam kepada
bangsa indonesia dan bangsa lain. Jadi, berkunjungnya orang Indonesia justru merupakan suatu
pencapaian. Kemudian, TMII sangat optimal dalam tahap “memperkenalkan”, jadi bukan hal
yang salah jika hanya diambil puncak kebudayaan. Lagipula, berkaitan dengan efisiensi waktu,
tentunya tidak semua wisatawan memiliki waktu untuk berkunjung ke seluruh wilayah di
Indonesia, hanya untuk melihat keaslian. Jadi TMII menjadi semacam alternatif untuk melihat
kekayaan kebudayaan Indonesia dan bisa juga menjadi perangsang wisatawan untuk nantinya
secara langsung mengunjungi daerah yang ditampilkan di TMII.
Kekhawatiran lainnya adalah pada kain Endek. Picard (2006:261) menyatakan namun
dengan semakin meluas penggunaanya, endek semakin kehilangan ciri khas Balinya, apalagi
diproduksi juga di Jawa dan Lombok. Lalu, yang menjadi pertanyaan apakah endek harus tetap
hanya digunakan di Bali saja agar keasliannya terjaga? Selain itu, Endek juga sebenarnya bukan
7 Putra, Agus Muriawan. 2007. Bali, Pariwisata Budaya yang Samar. Jurnal Manajemen Pariwisata, Vol.7, No.1. Denpasar: Universitas Udayana. Diakses dari: jurnal.triatmajaya.ac.id/
hanya dimiliki Bali, ada juga endek Lombok dan Palembang, dengan ciri khasnya sendiri. Dalam
bidang produksi, sangat kecil kemungkinan endek diproduksi di luar Bali, bahkan masing-
masing daerah di Bali memiliki endek yang sangat berbeda. Hal ini dikarenakan sumber daya
manusianya yang mempunyai seni berbeda dalam menenun. Contoh Endek gringsing di
Karangasem belum tentu bisa dibuat oleh penenun di singaraja. Jadi, kemungkinannya hanya
diperjual-belikan di luar daerah, bukan diproduksi. Ataupun kalau memang ada diproduksi di
luar Bali, sebaiknya Picard memberikan bukti, sehingga terlihat lebih faktual.
Contoh Indonesianisasi lainnya yang diambil adalah arsitektur Gianyar yang kini menjadi
arsitektur Indonesia. Picard mengatakan hal ini sebagai “folklorisasi budaya” yakni terlalu
menggeneralisasikan budaya dengan mencabutnya dari lingkungan asli. Padahal sebenarnya di
sisi lain, arsitektur Bali juga merupakan serapan dari berbagai daerah. Berbagai pengaruh
Arsitektur Asing dalam Arsitektur Tradisional Bali, seperti China, Belanda, Arab, India,
Thailand, dan lain-lainnya melalui wujud, struktur, bahan, pewarnaan, dan ornamen, dari waktu
ke waktu seolah-olah telah menjadi miliknya (Salain, 2011)8. Arsitektur Bali dapat menjadi ciri
khas yang juga menjadi wakil Indonesia tentunya akan sangat baik dan merupakan hal
membanggakan, apalagi kalau sampai bisa menyentuh pasar internasional.
Agama Bali
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, mayoritas agama di Bali adalah agama Hindu
dengan prosentase sebesar 83,46%. Tidak dipungkiri agama Hindu di Bali juga berkontribusi
dalam pembentukan budaya Bali. Meskipun agama Hindu dan budaya Bali sangat memiliki
keterkaitan, merupakan hal yang kurang tepat ketika istilah ini dijadikan satu: Agama Bali.
Seperti yang diungkapkan Picard (2006:286) bahwa “Para investor bersedia merubah periklanan
mereka untuk menangkis kecaman bahwa mereka mengeksploitasi agama Bali untuk tujuan
komersial.” Hal ini dikarenakan agama Hindu di Bali pun bukan asli Bali, melainkan campuran
8 Putu Rumawan Salain. 2011 Arsitektur Tradisional Bali pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar (Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana
agama Hindu dari India, Jawa dan perkembangannya di Bali itu sendiri9. Selain itu, Bali
ditujukan untuk kelompok etnis, bukan agama.
Secara keseluruhan, Picard menunjukkan kekhawatiran berlebihan yang membuat pembaca
terbawa arus, sehingga pembaca yang sama sekali tidak tahu Bali bisa dengan mudah
mempercayai tulisan tersebut. Secara kesimpulan, indonesianisasi terlihat sangat negatif. Padahal
Bali juga salah satu provinsi di Indonesia, jadi merupakan suatu kewajiban untuk berkontribusi
terhadap negaranya dalam rangka mempromosikan kebudayaannya kepada internasional.
Namun, pastinya dengan tetap selalu memperkenalkan kepada khalayak bahwa budaya mana
yang berasal dari mana. Sebagai penutup, sedikit mengutip dari Pitana (2002:98)
mengungkapkan bahwa masyarakat sering secara tidak sadar menempatkan pariwisata sebagai
fokus perusak budaya, seakan menjadi ‘terdakwa tunggal’. Karena terfokusnya, orang lalu lupa
bahwa banyak usaha-usaha yang tidak terkait langsung dengan pariwisata justru sesungguhnya
membawa dampak yang tidak kalah hebatnya, sementara sumbangannya kepada budaya Bali
nyaris tidak ada10. Jadi, mulai saat ini, sebaiknya kita berhenti menyalahkan pariwisata dan mulai
memikirkan langkah untuk bagaimana membuat budaya semakin kuat dengan pariwisata, tidak
lagi menyebutkan berbagai kekhawatiran akan pudarnya budaya akibat pariwisata.
9 Seperti yang diungkapkan Picard (1937:237-239) bahwa agama yang dianut orang Bali terlalu dekat dengan bumi, terlalu animistic, dikaitkan dengan agama Hindu di India, “They are the backbone of Balinese Religion, which is generally referred to as Hinduism, but which is in reality too close to the earth, too animistic, to be taken as the same esoteric religion as that of the Hindus of India.” Agama Hindu di Bali juga mengadopsi dari agama Hindu di Jawa, “In later times Bali adopted the modified, highly Javanized religion of Majapahit, when Hinduism had become strongly tinged with native Indonesian ideas.” Terlebih mengalami pula asimiliasi sesuai kebutuhannya di Bali, “Every time a new idea was introduced into the island, instead of repudiating it, they took it for what it was worth and, if they found it interesting enough, assimilated it into their religion.”10 I Gde Pitana. 2002. Analisis Kritis Terhadap Kepariwisataan Bali. Denpasar: PrintWorks
Jumlah kata: 1.992
TUGAS PARIWISATA BUDAYA
Critical ReviewBab 7 Budaya Pariwisata
dalam buku Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisataoleh Michel Picard
PUTU DEVI ROSALINA1491061017
PROGRAM MAGISTER KAJIAN PARIWISATAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2014