67
I.1 Anatomi Kolon dan Rektum Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum, kolon descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus. Mukosa usus besar terdiri dari epitel selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet, pada lapisan submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah luar longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli. Lapisan serosa membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang disebut appendices epiploicae. Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat kelenjar limfa, terdapat lipatan-lipatan yaitu plica semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa dan lapisan submukosa ikut pula lapisan otot sirkuler. Diantara dua plica semilunares terdapat saku yang disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan oleh adanya taenia coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat berpindah pindah atau menghilang.

refrat tumor kolon fani.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: refrat tumor kolon fani.docx

I.1 Anatomi Kolon dan Rektum

Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum, kolon

descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus. Mukosa usus besar terdiri dari

epitel selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet, pada

lapisan submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan

sebelah luar longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli.

Lapisan serosa membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang

disebut appendices epiploicae. Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat

kelenjar limfa, terdapat lipatan-lipatan yaitu plica semilunaris dimana kecuali lapisan

mukosa dan lapisan submukosa ikut pula lapisan otot sirkuler. Diantara dua plica

semilunares terdapat saku yang disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan oleh

adanya taenia coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat berpindah

pindah atau menghilang.

Gambar 1 : Anatomi kolon dan rektum

Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteri mesenterica superior dan

arteri mesenterica inferior, membentuk marginal arteri seperti periarcaden, yang

memberi cabang-cabang vasa recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal

arteri adalah arteri ileocolica, arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica

sinistra dan arteri sigmoidae. Hanya arteri ciloca sinistra dan arteri sigmoideum yang

merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior, sedangkan yang lain dari arteri

mesenterica superior. Pada umumnya pembuluh darah berjalan retroperitoneal kecuali

Page 2: refrat tumor kolon fani.docx

arteri colica media dan arteri sigmoidae yang terdapat didalam mesocolon transversum

dan mesosigmoid. Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama

dengan arteri colica media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena

mengikuti pembuluh darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior dan arteri

mesenterica inferior yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran limfe mengalir menuju

ke Lnn. ileocolica, Lnn. colica dextra, Lnn. colica media, Lnn. colica sinistra dan Lnn.

mesenterica inferior. Kemudian mengikuti pembuluh darah menuju truncus intestinalis.

Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa iliaca

dextra sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan, terletak

di sebelah ventral ren dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi

letak colon ascendens ini retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya langsung

melekat pada dinding dorsal abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum

dan ren dextra. Arterialisasi colon ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic

dextra yang berasal dari arteri mesentrica superior.

Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra sampai

flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan

pankreas di sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra

letaknya lebih tinggi daripada yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga

lebih tajam sudutnya dan kurang mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan

facies visceralis hepar (lobus dextra bagian caudal) yang terletak di sebelah ventralnya.

Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica media. Arterialisasi colon

transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri mesenterica

superior pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat

arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior.

Page 3: refrat tumor kolon fani.docx

Gambar 2 : Arteri Mesenterica Superior

Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang memfiksasi colon

transversum sehingga letak alat ini intraperitoneal. Pangkal mesokolon transversa

disebut radix mesokolon transversa, yang berjalan dari flexura coli sinistra sampai

flexura coli dextra. Lapisan cranial mesokolon transversa ini melekat pada omentum

majus dan disebut ligamentum gastro (meso) colica, sedangkan lapisan caudal melekat

pada pankreas dan duodenum, didalamnya berisi pembuluh darah, limfa dan syaraf.

Karena panjang dari mesokolon transversum inilah yang menyebabkan letak dari colon

transversum sangat bervariasi, dan kadangkala mencapai pelvis.

Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra sampai

fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak retroperitoneal karena

hanya dinding ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus quadratus

lumborum dan erat hubungannya dengan ren sinistra. Arterialisasi didapat dari cabang-

cabang arteri colica sinistra dan cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari

arteri mesenterica inferior.

Page 4: refrat tumor kolon fani.docx

Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperi toneal,

dan terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid mempunyai perlekatan

yang variabel pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang

tergantung isinya didalam lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke

dalam cavum pelvis melalui aditus pelvis, bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke

arah ventral dan ke kanan dan akhirnya ke dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri

kedalam rectum pada dinding mediodorsal pada aditus pelvis di sebelah depan os

sacrum. Arterialisasi didapat dari cabang- cabang arteri sigmoidae dan arteri

haemorrhoidalis superior cabang arteri mesenterica inferior. Aliran vena yang

terpenting adalah adanya anastomosis antara vena haemorrhoidalis superior dengan

vena haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga vena ini yang bermuara kedalam

vena porta melalui vena mesenterica inferior hanya vena haemorrhoidalis superior,

sedangkan yang lain menuju vena iliaca interna. Jadi terdapat hubungan antara vena

parietal (vena iliaca interna) dan vena visceral (vena porta) yang penting bila terjadi

pembendungan pada aliran vena porta misalnya pada penyakit hepar sehingga

mengganggu aliran darah portal. Mesosigmoideum mempunyai radix yang berbentuk

huruf V dan ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan percabangan arteri iliaca

communis sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan diantara kaki-kaki huruf V ini

terdapat reccessus intersigmoideus.

Gambar 3 : Lapisan otot dari kolon

Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita, yang disebut tenia* (tenia;

taenia = pita) yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon berlipat-lipat dan

Page 5: refrat tumor kolon fani.docx

berbentuk seperti sakulus* (sakulus; saculus=saccus kecil; saccus=kantong), yang

disebut haustra*(haustra; haustrum=bejana).

Kolon transversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan dilengkapi

dengan mesenterium.

A. FISIOLOGI KOLON 1,2

Secara garis besar, fungsi kolon adalah sebagai pencerna nutrien, sedangkan dimana

fungsi rektum adalah eleminasi feses. Pencernaan nutrien tergantung pada koloni flora

normal, motilitas usus, dan absorpsi dan ekskresi mukosa.

1. Pencernaan Nutrien

Saat terjadi proses pencernaan, nutrien yang masuk ke dalam tubuh tercampur

oleh cairan biliopankreas dan GI. Usus halus mengabsorpsi sebagian besar nutrien,

dan juga beberapa cairan garam empedu yang tersekresi ke lumen. Namun untuk

cairan, elektrolit, dan nutrien yang sulit terabsorpsi oleh usus halus akan diabsorpsi

oleh kolon agar tidak kehilangan cairan, elektrolit, nitrogen, dan energi terlalu

banyak. Untuk mencapai ini, kolon sangat bergantung pada flora normal yang ada.

Kira-kira sebanyak 30% berat kering feses mengandung bakteri sebanyak 1011

sampai 1012 bakteri/gram feses. Orgnasime yang paling banyak adalah bakteri anaerob

dengan spesies yang terbanuak dari kelas Bacteroides (1011 sampai 1012

organisme/mL). Eschericia coli merupakan bakteri spesies yang paling banyak 108

sampai 1010 organisme/mL). Flora normal ini berguna untuk memecah karbohidrat

dan protein serta mempunyai andil dalam metabolism bilirubin, asam empedu,

estrogen, dan kolesterol, dan juga vitamin K. Flora normal juga berguna untuk

menekan jumlah bakteri patogen, seperti Clostridium difficile. Jumlah bakteri yang

tinggi dapat menyebabkan sepsis pada pasien dengan keadaan umum yang buruk dan

dapat menyebabkan sepsis inta-abdomen, abses, dan infeksi pada luka post-operasi

kolektomi.

2. Urea Recycling

Urea merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen. Pada manusia dan

sebagian besar mamalia tidak mempunyai enzim urease, namun flora normal bakteri

Page 6: refrat tumor kolon fani.docx

pada ususnya kaya akan enzim urease. Kondisi patologis urea yang paling umum

adalah gagal hepar. Ketika hepar tidak mampu menggunakan kembali urea nitrogen

yang diabsorpsi kolon, ammonia masuk ke blood-brain barrier dan menyebabkan

gangguan neurotransmiter, dimana akan menyebabkan koma hepatik.

3. Absorpsi

Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang masuk

kedalam kolon perharinya mencapai 1000 – 1.500 mL. Air yang tersisa di kolon

hanya sekitar 100 – 150 mL/hari. Absorpsi natrium per harinya juga cukup tinggi,

yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari yang masuk ke kolon, pada feses

hanya tersisa 25 – 50 mEq/L.

Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi; namun, n-butirat

akan teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan keton. Karena sel mamalia

tidak bisa menghasilkan n-butirat, epitel kolon bergantung pada bakteri lumen untuk

memproduksinya dengan cara fermentasi. Kurangnya n-butirat disebabkan oleh

inhibisi fermentasi akibat antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan kurangnya

absorpsi sodium dan air sehingga menyebabkan diare.

Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa kolon

menyerap asam empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos terserap dari ileus

terminalis, sehingga membuat kolon menjadi bagian sirkulasi enterohepatika. Ketika

absorpsi asam empedu pada di kolon melewati batas, bakteri akan mengkonjugasi

asam empedu. Asam empedu yang terkonjugasi akan mengganggu absorpsi natrium

dan air, sehingga menyebabkan diare sekretoris atau diare koleretik. Diare sekretoris

dapat dilihat saat setelah hemikolektomi sebagai fenomena transien dan lebih

permanen reseksi ileus ekstensif.

4. Motilitas

Fermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi kolon. Kolon

dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra, kolon sinistra, dan rektum.

Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi pada traktus GI, dengan sekum sebagai

segmen kolon yang memiliki aktivitas bakteri yang aktif. Kolon bagian kiri

merupakan tempat penyimpanan sementara dan dehidrasi feses. Transit pada kolon

diatur oleh system saraf autonom. Sistem saraf parasimpatis mensuplai kolon melalui

Page 7: refrat tumor kolon fani.docx

nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-serat saraf saat mencapai kolon akan

membentuk beberapa pleksus;pleksus subserosa, pleksus myenterika (Auerbach),

submukosa (Meissner), dan pleksus mukosa.

Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon sebelah kanan,

gelombang antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan aliran retrograd sehingga isi

dari usus terdorong kembali ke sekum. Pada kolon sebelah kiri, isi dari lumen usus

terdorong ke arah kaudal oleh kontraksi tonis, sehingga terpisah-pisah menjadi

globulus-globulus. Kontraksi yang ketiga, mass peristaltic, merupakan gabungan

antara gerakan retropulsif dan tonis.

Page 8: refrat tumor kolon fani.docx

BAB III

TUMOR KOLON

A. DEFINISI

Neoplasma atau tumor adalah suatu massa abnormal dari sebuah jaringan akibat dari

pertumbuhan atau pembelahan yang abnormal dari suatu sel. Tumor dapat memiliki sifat

jinak (benign), potensi ganas (malignan) atau ganas.

Dalam hal ini, tumor kolon berarti terdapatnya suatu massa abnormal di dalam kolon

atau usus besar, berarti tidak hanya kolon saja namun juga appendix dan rektum. Massa

tersebut dapat bersifat jinak atau ganas, dan dapat menyebabkan gejala atau tidak

menyebabkan gejala.

B. EPIDEMIOLOGI

Karsinoma kolon adalah penyebab kematian kedua akibat karsinoma. Kemungkinan

mengidapnya adalah 1 dalam 17. Insidennya berkurang 2 peratus setahun sejak 1985

hingga 1995 tetapi baru-baru ini peratusannya meningkat kembali. Ini menunjukkan

keberhasilan deteksi awal melalui program skrining.

Tumor terjadi ditempat yang berada dalam colon, kira-kira pada bagian :

 26 % pada caecum dan ascending colon

 10 % pada transfersum colon

 15 % pada desending colon

 20 % pada sigmoid colon

 30 % pada rectum

Insiden karsinoma kolon menunjukkan variasi geografik. Negara industri kecuali

Jepang mempunyai insiden tertinggi. Manakala Negara Amerika Selatan dan China

mempunyai angka kejadian yang relative rendah. Ini disebabkan oleh perbedaan diet

antara negara berkenaan dan faktor lingkungan 

Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus tetapi belum ada

angka yang pasti berapa insiden karsinoma kolon. Sjamsuhidajat (1986) dari evaluasi

Page 9: refrat tumor kolon fani.docx

data-data di Departemen Kesehatan mendapatkan 1,8 per 100.000

penduduk.2 Tirtosugondo (1986) untuk Kodya Semarang. Kira-kira 152.000 orang di

amerika serikat terdiagnosa karsinoma Colon pada tahun 1992 dan 57.000 orang

meninggal karena karsinoma ini pada tahun yang sama (ACS 1993). Sebagian besar

klien pada karsinoma Colon mempunyai frekuensi yang sama antara laki-laki dan

perempuan. Karsinoma pada colon kanan biasanya terjadi pada wanita dan Ca pada

rektum biasanya terjadi pada laki-laki. Insidennya meningkat sesuai dengan usia

(kebanyakan pada pasien yang berusia lebih dari 55 tahun) dan makin tinggi pada

individu dengan riwayat keluarga yang mengalami karsinoma kolon.

C. ETIOLOGI (FAKTOR RESIKO) 3

Identifikasi faktor risiko untuk perkembangan kanker kolorektar merupakan hal yang

penting untuk menentukan program screening dan surveilans pada populasi dengan faktor

risiko.

1. Usia

Usia merupakan faktor risiko yang dominan pada kanker kolorektal, dengan

insidens yang meningkat pada umur >50 tahun (sebanyak 90% kasus). Umur ini

dijadikan dasar rasionalitas untuk melakukan skrining pada orang dengan gejala yang

asimptomatis. Namun kanker kolorektal dapat terjadi pada seluruh usia, maka jika ada

gejala seperti perubahan keadaan usus, perdarahan rektum, melena, anemia tanpa

sebab yang jelas, atau penurunan berat badan maka diperlukan pemeriksaan yang

lebih mendetail.

2. Faktor Herediter

Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya riwayat

keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan penelitian yang

lebih luas terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk diagnosis dini.

Karena pertimbangan medikolegal dan etika yang terlibat dengan pemeriksaan ini,

seluruh pasien harus dilakukan konseling genetik jika memang ada suspek keluarga

yang dulunya terkena kanker kolorektal.

3. Faktor Diet dan Lingkungan

Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi

dengan faktor diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya intake serat, sehingga

terdapat sebuah hipotesis bahwa faktor tersebut berkontribusi untuk menimbulkan

Page 10: refrat tumor kolon fani.docx

kanker. Diet yang tinggi unsaturated fatty acid atau polyunsaturated fatty acid

meningkatkan risiko kanker kolorektal, sedangkan diet yang tinggi asam oleat

(minyak zaitun, minyak kelapa sawit, dan minyak ikan) tidak meningkatkan resiko.

Pada penelitian dengan hewan menunjukkan lemak tersebut bersifat toksik langsung

terhadap mukosa kolon sehingga mungkin dapat menyebabkan perubahan maligna.

Sebaliknya, diet yang tinggi serat sayur nampaknya bersifat lebih protektif. Intake

kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E, karotenoid, dan fenol dapat mengurangi

kejadian kanker kolorektal. Studi ini menjadi dasar preventif primer untuk

mengeradikasi kanker kolorektal dengan cara mengatur diet dan gaya hidup.

4. Inflammatory Bowel Disease (IBD)

Pasien dengan penderita kolitis kronis mempunyai faktor risiko untuk terkena

kanker kolorektal. Telah ditarik sebuah hipotesis bahwa inflamasi kronis akan

membuat perubahan struktur pada mukosa kolon menjadi struktur maligna dan hal ini

juga dipengaruhi dengan derajat berat inflamasinya. Pada ulseratif pankolitis, risiko

terkena kanker meningkat sebanyak 2% setelah 10 tahun, 8% setelah 20 tahun, dan

18% setelah 30 tahun. Kolitis daerah sebelah sinistra tanpa alasan yang jelas

mempunyai risiko yang relatif rendah. Akibatnya, pasien dengan kolitis

direkomendasikan agar diperiksa kolonoskopi dengan biopsy mukosa acak 8 tahun

setelah terdiagnosis pankolitis dan 12 – 15 tahun kemudian pada pasien dengan

pankolitis sinistra.

5. Faktor Risiko Lain

Merokok dapat meningkatkan risiko terkena adenoma kolon, terutama ketika

merokok lebih dari 35 tahun. Pasien dengan uterosigmoidestomi juga mempunyai

peningkatan faktor risiko adenoma maupun karsinoma. Akromegali, dimana terjadi

peningkatan growth hormone dan insulin-like growth factor I, juga menambah faktor

risiko.

D. JENIS TUMOR KOLON 4

1. POLIP EPITELIAL NON-NEOPLASTIK

Mayoritas polip intestinal muncul secara sporadik dan frekuensinya meningkat seiring

bertambahnya waktu.

a. Polip Hiperplasia

Page 11: refrat tumor kolon fani.docx

Polip epitelial ini biasanya memiliki diameter kurang dari 5 mm. Mereka

ditemukan di dalam rectum dan sigmoid seringkali pada puncak lipatan mukosa dan

valvula. Biasanya polip ini muncul secara multipel, bila hanya satu maka penderita

tidak akan merasakan gejalanya.

Pada pemeriksaan endoskopik, mereka berwarna seperti mukosa rektum. Pada

penelitian, bahwa sel yang membentuk polip hyperplasia memiliki jangka hidup yang

lebih panjang dibanding sel-sel mukosa lain yang berdekatan. Polip-polip hiperplasia

secara kasat mata tidak memiliki potensi malginansi.

Pada penelitian, sensitifitas dalam mendeteksi adenoma sekitar 69%, sedang

spesifitasnya (akurat-tidaknya diagnosis polip hiperplasia) adalah 86%. Satu dari

polip hiperplasia multipel harus diangkat untuk mengetahui sifat sesungguhnya dari

tumor tersebut.

b. Hamartomas

Hamartoma adalah jaringan normal yang tidak tersusun dengan teratur atau

dengan semestinya. Hamartoma dapat muncul secara sporadik atau diikuti oleh

autosomal dominant juvenile polyposis syndrome.

Juvenile polyps

Juvenile polyp (congenital polyp, retention polyp, juvenile adenoma) biasanya

muncul pada anak-anak dibawah umur 10 tahun. Insiden pada pria lebih tinggi

dibanding pada perempuan. Adalah tumor yang paling sering terjadi pada anak-anak.

80% tumor muncul di rectum, namun bisa saja menyebar di seluruh kolon. Polip ini

biasanya berdiameter lebih dari 1 cm. Polip tampak kistik dengan ruangan berisi

mukus.

Diagnosis dikonfirmasi dengan mengambil polip yang direseksi dan diperiksa

histologinya. Pada kasus juvenile polyp, seluruh kolon sebaiknya dieksplorasi.

Juvenile polyp tidak bersifat neoplasia ataupun dalam kondisi premaligna.

Juvenile polyposis syndrome adalah kondisi yang tidak umum dimana juvenile

polyp muncul multipel tidak hanya di kolon namun juga di saluran usus halus. Sekitar

Page 12: refrat tumor kolon fani.docx

20-50% pasien memiliki riwayat keluarga dengan diagnosis yang sama. Juvenile

polyp yang soliter memiliki kemungkinan rekuren < 20%, pada kasus familial

mendekati 90%. Gejala dapat berupa hematochezia, anemia defisiensi besi,

hipoproteinemia, dan hipokalemia. Ada juga manifestasi ekstrakolon yang kongenital

dan didapat seperti makrosefali, alopesia, pembengkakan tulang, bibir sumbing

(labioschisis), glomerulonefritis akut, pelvis renalis dan ureter ganda, undesensus

testis, uterus dan vagina bifida. Bentuk fatal dari juvrnile polyposis pada bayi

dikarakterisasi dengan diare yang berlebihan, enteropati yang mengakibatkan

kehilangan protein, perdarahan dan prolapsus recti. Bentuk juvenile ini sangat jarang,

biasanya muncul dengan disertai oleh neoplasma yang benign atau maligna. Kasus ini

biasanya muncul pada masa anak-anak.

Semua juvenile polyp sebaiknya direseksi dengan kolonoskopi, terutama

Juvenile polyposis syndrome karena berpotensi premaligna. Bila polip terlalu banyak

maka restorative proctocolectomy dengan kantung ileal dapat dipertimbangkan.

Follow-up berkala dengan kolonoskopi dan endoskopi saluran cerna atas dapat

diperhitungkan.

Peutz-Jeghers’ polyps

Peutz-Jeghers’ polyps pada sindroma Peutz-Jegher’s (penyakit autosomal

dominan) muncul soliter atau multipel. Polip multipel ini tersebar di seluruh saluran

gastro-intestinal, disertai mukosa melanotik, pigmentasi kutaneus disekitar bibir,

mukosa mulut, wajah, genitalia dan permukaan palmar tangan.

Pada sindroma ini, kemungkinan polip ini muncul di usus halus adalah 100%,

pada kolon 30%, pada gaster 25%. Diagnosis sindroma ini berdasarkan riwayat

keluarga, pigmentasi kulit dan gejala gastrointestinal. Gejala yang paling umum

adalah nyeri abdomen akibat obstruksi (baik akibat polip itu sendiri atau intususepsi).

Perdarahan rektal adalah gejala umum lainnya. Pemeriksaan kontras dan endoskopi

menunjukkan luas penyakit, sedang hasil histology menunjukkan lesi dengan proses

hamartomatosa atau malformasi sel dibandingkan dengan gambaran neoplasma.

Peutz-Jeghers’ polyps yang soliter dapat direseksi dengan kolonoskopi. Fokus organ

sesuai dengan prevalensi frekuensi polip ini adalah usus halus dan duodenum. Polip

usus halus dapat direseksi saat laparotomi dengan menggunakan endoskopi atau

enterotomi. Pendekatan agresif untuk reseksi endoskopik dibenarkan karena frekuensi

Page 13: refrat tumor kolon fani.docx

tumor yang berkurang seiring bertambahnya usia. Reseksi usus dapat diperhitungkan

dengan indikasi restriktif.

Juvenile polyps sendiri tidak memiliki potensi maligna, namun pada pasien

dengan penyakit ini memiliki peningkatan resiko berkembangnya karsinoma

pankreas, payudara, paru, ovarium dan uterus. Adenokarsinoma gastrointestinal pada

penyakit ini muncul dari lesi adenomatosa yang potensial, bukan berasal dari polip

juvenile. Lokasi yang paling umum adalah kolon dan rektum.

c. Polip Inflamatorik

Polip inflamatorik (pseudo-polip) mewakili tonjolan kecil dari inflamasi mukosa

yang sedang mengalami regenerasi yang dikelilingi oleh ulserasi. Jenis ini terlihat

pada pasien yang mengalami inflamasi usus jangka panjang (colitis ulseratif atau

penyakit Crohn).

d. Polip Limfoid

Polip limfoid (hiperplasia limfoid, limfoma benigna) adalah polip jinak yang

fokal atau difus yang muncul secara tipikal dimana sekelompok folikel-folikel limfoid

muncul di ileum terminalis atau rectum. Pada hasil radiografi, polip limfoid muncul

dengan ciri-ciri lesi polipoid yang kecil, seragam terlokalisasi atau generalisata.

Pemeriksaan endoskopi dan biopsi akan mengkonfirmasi sifat polip. Polip ini terdiri

dari jaringan limfoid yang cukup terdiferensiasi. Lesi pada rektal memiliki gejala

yang tidak jelas, sedangkan pada kolon gejala dapat tampak sebagai perdarahan, nyeri

abdomen, perubahan sifat pencernaan, dan intususepsi terutama pada anak-anak.

2. POLIP EPITELIAL NEOPLASTIK

Adenoma

Adenoma adalah neoplasma yang paling sering ditemui. Sesuai definisi, adenoma

adalah lesi benigna yang berhubungan dengan perkembangan kanker invasif. Ada 3 jenis

adenoma kolon, yaitu: tubular, vilosa, dan campuran.

Adenoma tubular adalah yang tersering; sekitar 5-10% adenoma jenis

tubulovillous dan hanya 1% yang villous. Adenoma muncul sebagai hasil dari displasia

Page 14: refrat tumor kolon fani.docx

proliferatif. Lesi premaligna atau karsinoma in situ dapat muncul dari ketiga bentuk ini.

Karsinoma in situ adalah bentuk preinvasif dari neoplasia stadium tinggi tanpa bukti

mikroskopik bahwa invasi sudah melewati membrana basalis. Resiko maligna dari polip

adenomatosa berhubungan dengan ukuran polip, arsitektur histologis, dan keparahan

displasia epitel. Jarang sekali adenoma tubular dengan besar < 1cm bersifat invasif.

Displasia yang parah sering ditemukan pada daerah yang villosa, dan biasanya ukuran

akan berlipat ganda setelah 10 tahun.

Adenoma tubular

Setengah dari adenoma tubular ditemukan di rektosigmoid dan munculnya

satu per satu. Pemeriksaan histologis memperlihatkan struktur kelenjar atau kistik di

submukosa.

Adenoma villosa

Adenoma villosa sering ditemukan di rektum dan sigmoid. Berbentuk seperti

kembang kol. Resiko kanker sebesar 40% (tinggi) pada adenoma dengan besar > 4cm.

Adenoma tubulo-vilosa

Adenoma ini menunjukkan keadaan pertengahan antara lesi tubular dan vilosa.

Resiko perkembangan menjadi karsinoma tergantung dari besar atau luas dari daerah

yang villous dari lesi.

A. PATOFISIOLOGI

Polip

Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi

kanker kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang

bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation,

perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker.

Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion

memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan

peningkatan displasia dan invasif karsinoma.

Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu

proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen

Page 15: refrat tumor kolon fani.docx

gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan

pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis

(kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen,

karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel.

Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat

molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA,

menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas

genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi

pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker.

Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan

melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-

onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi

ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan

baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus sel.

Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi

melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan

menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian

sel akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang

tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga

kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang sering terjadi adalah

mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak berfungsi baik,

akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia

adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak

diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.

Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non

neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik

yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip),

limfoid aggregate dan inflamatory polip.

Page 16: refrat tumor kolon fani.docx

Gambar : Adenoma Carcinoma Sequences

Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna ; dan

berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous

adenoma dan villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous,

dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous

adenoma dibawah 5%.2

Gambar : Adenomatous Polip

Page 17: refrat tumor kolon fani.docx

Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari

adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif

karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi

dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur. Polip yang diameternya lebih

besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi tergolong sebagai villous

adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk menjadi kanker kolorektal.

Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan meningkatnya

timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4 fold jika

polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 fold pada pasien yang mempunyai multipel

polip. Dari penelitian didapatkan bahwa polip yang lebih besar dari 1 cm jika tidak

ditangani menunjukkan risiko menjadi kanker sebesar 2,5% pada 5 tahun, 8% pada

10 tahun dan 24% pada 20 tahun. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi

malignansi tergantung beratnya derajat displasia. Tiga koma lima tahun untuk

displasia sedang dan 11,5 tahun untuk atypia ringan.

Gambar : Polip Neoplastik. (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C)

tubulovillous adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular

adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul dari sebuah villous

adenoma.

Page 18: refrat tumor kolon fani.docx

B. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

1. Ulseratif Kolitis

Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar

1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko

perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena

kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif

kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan

18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang

dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan

mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total

proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun.

Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa

dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif

menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat

esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang

berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa

mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya

invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada

pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para

ahli patologi anatomi.

2. Penyakit Crohn’s

Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk

menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan

ulseratif kolitis.

Page 19: refrat tumor kolon fani.docx

Gambar : Ulseratif Colitis

Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar

20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari

adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma

meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari dinding

intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah

dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat

pada fistula kronik pasien dengan crohn’s disease.

 

Gambar : Penyakit Crohn’s

Page 20: refrat tumor kolon fani.docx

3. Faktor Genetik

Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat

kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat

yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita

kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang

yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.

4. Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat

berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan

penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya

hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang

menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.

Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi

antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal.

Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan

perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin,

trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini

mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga

memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal

tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua

adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat

karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut dapat

disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel

disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar

toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik

ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan

lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis

dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses

ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan

lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme

tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan

Page 21: refrat tumor kolon fani.docx

kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat

menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.

5. Gaya Hidup

Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga

kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.

Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua

setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar.

Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika

dihubungkan dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan

hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.

Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas,

obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap

hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari

kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan

pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker

kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang

berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat

diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya

adenoma.

6. Usia

Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita

adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali

(2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4

kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang

berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari kanker yang terdiagnosa

pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker

paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48%

kanker yang terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker

payudara (248 per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000), kanker paru paru

(118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per 100.000).

Page 22: refrat tumor kolon fani.docx

Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker

kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal

meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50

tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang

dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada

usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang

dari 65 tahun, dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65

tahun.

Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal

sebesar 5%. Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker

kolorektal adalah pada usia diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah

empat puluh tahun hanya memiliki kemungkinan menderita kanker kolorektal

kurang dari 10%. Dari tahun 2000-2003, rata-rata usia saat terdiagnosa

menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun. Insidensi berdasarkan usia

dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%, 35-44 tahun

sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74

tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.

Pada kebanyakan kasus kanker terdapat variasi geografik pada insiden yang

ditemukan pada usia lanjut yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi,

terutama antara Negara berkembang dan Negara maju. Bila di Negara maju

angka kejadian penyakit ini meningkat tajam setelah seseorang berusia 50

tahun dan hanya 3 persen di bawah 40 tahun, di Indonesia berdasarkan data

Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI,

1996-1999) menunjukkan persentase yang lebih tinggi yakni 35,25%.

Proporsi dari orang yang berusia lanjut telah meningkat di berbagai Negara

beberapa dekade terakhir, dan akan terus meningkat lebih jauh beberapa tahun

mendatang. Tingkat harapan hidup di Indonesia pada saat kelahiran

diperkirakan adalah 67,86 tahun untuk pria dan wanita. Peningkatan usia

harapan hidup yang ada beserta populasi Indonesia yang menduduki peringkat

4 dunia akan menjadikan Indonesia pada tahun 1990-2025 akan mempunyai

jumlah usia lanjut paling tinggi di dunia. Meningkatnya jumlah orang yang

Page 23: refrat tumor kolon fani.docx

berusia lebih tua akan menambahkan beban ganda pada penyakit, dengan

umumnya penyakit yang menular di satu sisi, dan meningkatnya prevalansi

penyakit yang tidak menular di sisi lainnya. Kanker pada usia lanjut di masa-

masa yang akan datang merupakan masalah yang perlu ditangani dengan

serius dikarenakan perubahan populasi penduduk dengan kelompok usia lanjut

yang semakin banyak. Oleh karena itu sangat perlunya penggalakan penelitian

mengenai pencegahan kanker dan perencanaan terapi pada orang yang berusia

lanjut.

E. STADIUM KARSINOMA5

Stadium dan faktor prognostis kanker kolorektal dapat dilihat pada tabel dan gambar di

bawah ini:

Klasifikasi karsinoma rektum menurut Dukes:

 Tahap A: Infiltrasi karsinoma terbatas pada dinding usus (survive for 5 years 97 %)

 Tahap B: Infiltrasi karsinoma sudah menembus lapisan muskularis mukosa (80 %)

 Tahap C: Terdapat metastasis ke dalam kelenjar limfe

 C1: Beberapa kelenjar limfe dekat tumor primer (65 %)

 C2: Dalam kelenjar limfe jauh (35 %)

Page 24: refrat tumor kolon fani.docx

 Tahap D: Metastasis jauh (< 5 %)

Klasifikasi TNM 

T – Tumor primer

Tx - Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 - Tidak ada tumor primer

T1 - Invasi tumor di lapisan sub mukosa

T2 - Invasi tumor di lapisan otot propria

T3 - Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke perikolik yang

tidak dilapisi peritoneum atau perirektal

T4 - Invasi tumor terhadap organ atau struktur sekitarnya atau peritoneum viseral

N – Kelenjar limfe regional

Nx - Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai

N1 - Metastasis di 1-3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal

N2 - Metastasis di ≥ 4 kelenjar limfe perikolik atau perirektal

M – Metastasis jauh

Mx - Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 - tidak ada metastasis jauh

M1 - terdapat metastasis jauh

Page 25: refrat tumor kolon fani.docx

Harapan hidup pasien dengan kanker kolon bergantung pada derajat

penyebaran saat pasien datang. Prognosis pasien berhubungan dengan dalamnya

penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan KGB regional atau metastasis jauh,

penyebaran lokal yang dapat menyebabkan perlekatan dengan struktur yang tak dapat

diangkat, dan derajat histologi yang tinggi.. Prognosis yang buruk juga terjadi pada

pasien dengan usia muda, menderita kanker koloid, dan menunjukkan gejala

obstruksi atau perforasi.

F. GEJALA KARSINOMA

Page 26: refrat tumor kolon fani.docx

Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan

umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk. Keluhan yang

paling sering dirasakan pasien adalah perubahan pola buang air besar, perdarahan per

anus (hematosezia dan konstipasi). Kanker ini umumnya berjalan lamban, keluhan dan

tanda-tanda fisik timbul sebagaia bagian dari komplikasi seperti obstruksi. Perdarahan

invasi lokal kakheksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di kolon transversum. Kolon

desendens dan kolon sigmoid karena ukuran lumennya lebih sempit daripada kolon yang

proksimal. Obstruksi parsial awalnya ditandai dengan nyeri abdomen, namun bila

obstruksi total terjadi akan menimbulkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi. Kanker

kolon dapat berdarah sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami ulserasi.

Meskipun perdarahan umumnya tersamar namun hematochesia timbul pada sebagian

kasus. Tumor yang terletak lebih distal umumnya disertai hematoseczhia atau darah

tumor dalam feses, tapi tumor yang proksimal sering disertai dengan anemia defisiensi

besi. Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih

berulang dan obstruksi uretra. Abdomen akut dapat terjadi bilamana tumor tersebut

menimbulkan perforasi. Kadang timbul fistula antara kolon dengan lambung atau usus

halus. Asites maligna dapat terjadi akibat invasi tumor ke lapisan serosa dan sebaran ke

peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan nyeri perut, ikterus dan hipertensi

portal. 4

Tanda dan gejala karsinoma kolon bervariasi tergantung dari lokasi kanker di

dalam usus besar. Ukuran dan ekstenbilitas usus ukuran kanan kira-kira enam kali lebih

besar daripada daerah sigmoid dan mengandung aliran fekal yang cair. Tumor yang

terletak di usus bagian kanan walaupun besar cenderung menggantung (fungating) dan

lunak, yang tidak tumbuh mengelilingi usus. Sebagai salah satu akibatnya gejala dari

tumor yang timbul di kolon kanan tidak disebabkan oleh obstruksi walaupun pasien dapat

mengalami rasa yang tidak enak atau kolik di abdomen yang samar-samar. Lebih sering,

penyakit disertai dengan kehilangan darah kronis yang dideteksi dengan tes darah samar.

Sebaliknya tumor di daerah kiri cenderung keras dan tumbuh mengelilingi usus, dan

fungsi normal dalam daerah ini adalah sebagai penyimpan massa feses yang keras. Gejala

obstruksi akut atau kronis adalah gambaran klinis yang penting. Di samping itu pasien

dapat mengalami perubahan dalam pola defekasi (bowel habits), memerlukan laksatif,

atau penurunan kaliber feses. Perdarahan adalah lebih jelas, dengan darah gelap atau

darah merah yang melapisi permukaan feses.1

Page 27: refrat tumor kolon fani.docx

Gambaran klinis kanker kolorektal tergantung pada tempat tumor. Sekitar

seperempat tumor usus besar terletak pada kolon kanan. Kolon transversal dan kolon

desenden relatif jarang terkena, sehingga kebanyakan tumor terletak pada kolon sigmoid

dan rektum. Gejala berdasarkan lokasi kanker dibagi menjadi 2

Kolon kanan

a. Pasien dengan obstruksi : sekitar seperempat pasien datang dengan tanda obstruksi

usus kecil di bagian bawah yaitu kolik, muntah, konstipasi dan distensi. Foto polos

abdomen memperlihatkan dilatasi usus kecil.

b. Tanpa obstruksi : banyak pasien yang datang tanpa obstruksi tiadak mempunyai

gejala yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Mereka memberikan riwayat

anemia dan penurunan berat badan akibat perdarahan gastrointestinal samar. Gejala

yang kompleks ini memberikan kemungkinan karsinoma lambung, tetapi karsinoma

kolon kanan (yang seharusnya lebih membutuhkan terapi) seringkali terlewatkan.

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya massa yang dapat dipalpasi dalam fossa

iliaka kanan. Apakah ini ada atau tidak, seluruh kolon harus diperiksa dengan

kolonoskopi atau pada pemeriksaan barium enema.

Kolon kiri

a. Pasien dengan obstruksi : pada semua 25-30% pasiendatang dengan lesi pada kolon

kiri datang sebagai pasien gawat darurat. Pasien dapat menderita perforasi dengan

abses perikolik atau bahkan peritonitis umum tetapi lebih sering obstruksi usus besar.

Sejauh ini penyebab paling umum dari obstruksi usus besar adalah karsinoma, penting

untuk menyingkirkan penyebab lain yang mungkin dapat ditangani dengan terapi

konservatif. Pemeriksaan barium enema darurat diindikasikan pada semua kasus

obstruksi usus besar untuk mengkonfirmasi derajat obstruksi dan untuk mendiagnosis

pseudo-obstruksi yang tidak membutuhkan pembedahan. Kolonoskopi darurat telah

dianjurkan sebagai alternatif dari pemeriksaan barium enema.

b. Pasien tanpa obstruksi : gangguan kebiasaan defekasi merupakan keluhan pasien

yang datang tanp obstruksi. Hal ini bisa berupa konstipasi yang meninkat, diare atau

berubah-ubah antara kedua hal tersebut, pasien biasanya menemukan darah bersama

Page 28: refrat tumor kolon fani.docx

feses dan mengeluh nyeri atau rasa tidak enak pada abdomen bawah. Penurunan berat

badan umum ditemukan dan pada umumnya merupakan tanda yang buruk. Karsinoma

kadang-kadang bisa diraba dengan palpasi abdomen.

Karsinoma rektum

Pasien dengan karsinoma rektum hampir tidak pernah datang sebgai pasien gawat

darurat. Pasien mengalami perdarahan yang jelas melalui rektum. Mungkin terdapat

perubahan kebiasaan defekasi dan sering tenesmus, perasaan defekasi yang belum

selesai dengan keinginan defekasi yang berulang-ulang, tetapi yang keluar hanya

lendir dan darah. Tumor sampai 10 cm dari anal biasanya dapat dilihat dengan

sigmoidoskopi.

G. PENDEKATAN DIAGNOSIS 6

A. Anamnesis

Pada stadium dini, karsinoma kolon tidak memberikan gejala. Gejala

biasanyamuncu l s aa t pe r j a l anan penyak i t s udah l an j u t . P a s i e n denga n

ka r s inoma ko lon biasanya mengeluh rasa tidak enak, kembung, tidak bisa

flatus, sampai rasa nyeri dipe ru t . D ida pa t kan juga pe ruba han keb ia sa an

buang a i r be s a r be rupa d i a r e a t au sebaliknya, obstipasi, kadang disertai darah

dan lendir. Buang air besar yang disertaidengan darah dan lendir biasanya

dikeluhkan oleh pasien dengan karsinoma kolon bag ia n p roks i ma l . Ha l

i n i d i se babkan ka re na da r ah ya ng d ike l ua rkan o l e h

ka r s inoma   tersebut sudah bercampur dengan feses.  Ge ja l a um um l a in

yang d ike luhka n o l eh  pasien berupa kelemahan, kehilangan nafsu makan dan

penurunan berat badan.

B. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik mungkin tidak banyak menolong dalam menegakkan

diagnosis.T u mor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi abdomen, bila

teraba menunjukkan keadaan yang sudah lanjut. Bila tumor sudah metastasis ke hepar

akan teraba hepar yang noduler dengan bagian yang keras dan yang kenyal. Asites

biasa didapatkan jika tumor sudah metastasis ke peritoneal. Perabaan

limfonodi inguinal,iliaka, dan supraklavikular penting untuk mengetahui ada atau

tidaknya metastasis ke limfonodi tersebut. Pada pasien yang diduga menderita

Page 29: refrat tumor kolon fani.docx

karsinoma kolorektal harus dilakukan rectal toucher. B i l a l e t ak t u m or a da

d i r e k t u m a t au r e k t o s ig m oi d , ak a n teraba massa maligna (keras dan

berbenjol-benjol dengan striktura) di rektum atau rektosigmoid teraba keras

dan kenyal. Biasanya pada sarung tangan akan terdapat  lendir dan darah.

C. Pemeriksaan penunjang 

1. Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika

terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi

maka sikat sitologi akan sangat berguna.

2. Tes Occult Blood

Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi berwarna

biru oleh oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis, oksidase

menjadi sempurna dengan adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi

sayangnya terdapat berbagai katalis di dalam diet. Seperti contohnya daging

merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menghindari hal ini.

Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari occult

blood mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10

mg hb/gr feses, Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai

masalah yang perlu dicermati dalam menggunakan tes occult blood untuk

screening, karena semua sumber perdarahan akan menghasilkan hasil positif.

Kanker mungkin hanya akan berdarah secara intermitten atau tidak berdarah sama

sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan,

Page 30: refrat tumor kolon fani.docx

manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan

mempengaruhi keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes

occult blood dalam menurunkan mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas

dan efikasi dari tes ini sebagai screening kanker kolorektal masih memerlukan

evaluasi lebih lanjut.

3. Barium Enema

Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium

enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang

berukuran >1 cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel

sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti

kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau

digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai

riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan

menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat

kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada

barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang

dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya

sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk

menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.

Page 31: refrat tumor kolon fani.docx

Gambar 9 : Gambaran colon in loop

a. Persiapan Penderita dalam Pemeriksaan Colon in Loop

a.1 Mengubah pola makanan penderita

Makanan hendaknya mempunyai konsistensi lunak, low residue, dan tidak

mengandung lemak. Ini dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya

bongkahan-bongkahan tinja yang keras.

a.2 Minum sebanyak-banyaknya

Oleh karena penyerapan air di saluran cernaterbanyak di kolon, maka

pemberian minum ini dapat menjaga tinja agar tetap lembek. Untuk

menjaga kebutuhan kalori dan keseimbangan elektrolit dapat diberikan oral

enteral feeding berupa bubuk yang dilarutkan dalam air.

a.3 Pemberian Pencahar

Apabila kedua hal di atas dijalankan dengan benar, maka pemberian

pencahar hanyalah sebagai pelengkap saja. Pada beberapa keadaan, seperti :

orang tua, rawat baring yang lama, dan sembelit kronis, pencahar ini mutlak

diberikan.

Sebaliknya dipilih pencahar yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

- Melembekkan tinja dan meningkatkan peristaltis

- Mempunyai cita rasa yang enak

- Mempunyai kemasan yang menarik

Page 32: refrat tumor kolon fani.docx

Umumnya pemakaian pencahar hanyalah bersifat sementara, walaupun

demikian harus tetap diwaspadai terjadinya kebiasaan memakai laxative

(laxative habits). Magnesium sulfat dapat diberikan sebagai alternatif dan

memberikan hasil yang cukup baik dalam 6-8 jam setelah pemakaian.

Pengalaman menunjukkan salah satu kegagalan persiapan disebabkan

keengganan penderita untuk memakan pencahar oleh karena tidak

mempunyai sifat-sifat tadi.

b. Teknik pemeriksaan

b.1 Tahap pengisian

Di sini terjadi pengisian larutan barium ke dalam lumen kolon. Sampai

bagian kolon manakah pengisian tersebut sangat bergantung pada panjang

pendeknya kolon itu sendiri. Umumnya dapat dikatakan cukup bila sudah

mencapai fleksura lienalis atau pertengahan kolon transversum. Bagian

kolon yang belum terisi dapat diisi dengan merubah posisi penderita dari

telentang (supine) menjadi miring kanan (right decubitus)

b.2 Tahap pelapisan

Dengan menunggu 1-2 menit dapat diberikan kesempatan pada larutan

barium untuk melapisi (coating) mukosa kolon.

b.3 Tahap pengosongan

Setelah diyakini mukosa kolon terlapisi sempurna, maka sisa larutan

barium dalam lumen kolon perlu dibuang sebanyak yang dapat

dikeluarkan kembali. Caranya dengan memiringkan penderita ke kiri (left

decubitus) dan menegakkan meja pemeriksaan (upright)

b4 Tahap pengembangan

Di sini dilakukan pemompaan udara ke dalam lumen kolon. Usahakan

jangan sampai terjadi pengembangan yang berlebihan (overdistention)

karena akan timbul hal-hal yang tidak diingini.

b.5 Tahap pemotretan

Setelah seluruh kolon mengembang sempurna, maka dilakukan

pemotretan atau eksposun radiografik. Posisi penderita saat pemotretan

Page 33: refrat tumor kolon fani.docx

tergantung pada bentuk kolonnya atau kelainan yang ditemukan. Hal yang

sama juga berlaku untuk jumlah film yang dipakai.

c. Lama pemeriksaan

Dianjurkan lama pemeriksaan tidak melebihi 5 menit. Makin lama pemeriksaan

itu berlangsung, kemungkinan terjadinya kerak-kerak barium di sepanjang

kolon makin besar.

d. Alat-alat yang dipakai

Irigator plastic dengan balon dan pompa udara terpasang sangat disukai untuk

dipakai karena sifatnya yang fleksibel sehingga penderita tidak perlu

meninggalkan meja pemeriksaan pada tahap pengosongan.

e. Gambaran Karsinoma Kolon dengan Colon in Loop

Karsinoma kolon secara radiologi member gambaran :

- Penonjolan ke dalam lumen (protruded lession)

Bentuk klasik tipe ini adalah polip. Polip dapat bertangkai (pedunculated)

dan tidak bertangkai (sessile). Dinding kolon seringkali masih baik.

- Kerancuan dinding kolon (colonic wall deformity)

Dapat bersifat simetris (napkin ring) atau asimetris (apple core). Lumen

kolon sempit dan irregular. Kerap kali hal ini sulit dibedakan dengan colitis

Crohn

- Kekakuan dinding kolon (rigidity colonic wall)

Bersifat segmental, terkadang mukosa masih baik. Lumen kolon dapat tidak

menyempit. Bentuk ini sukar dibedakan dengan colitis ulseratif.

4. Endoskopi

Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari

pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai

polip premaligna.

Page 34: refrat tumor kolon fani.docx

Gambar : metode pemeriksaan endoscopy tumor kolon

Gambar : karsinoma kolon yang dilihat dengan pemeriksaan endoskopi

5. Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa

kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160

cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan

polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan

kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang

keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan

untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.

Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama

(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2%

pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk

mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut

Page 35: refrat tumor kolon fani.docx

divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non

toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada

kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan

komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan

komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik.

Gambar : Metode pemeriksaan kolonoskopi

6. Imaging Tehnik

MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging

yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker

kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.

a. CT scan

CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre

operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal,

ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat

berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang

meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan

mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan

kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan stage dari lesi sebelum

tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke

dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran

Page 36: refrat tumor kolon fani.docx

kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.19 Penggunaan CT dengan

kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada

hepar dan daerah intraperitoneal.

Gambar 8 : CT scan pelvis menunjukkan adanya tumor kolon yang

sudah metastasis pada hepar dan daerah intraperitoneal

Page 37: refrat tumor kolon fani.docx

Gambar 9 : CT scan pelvis yang menunjukkan adanya karsinoma kolon

b. MRI

MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering

digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan

menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT

scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar.

Page 38: refrat tumor kolon fani.docx

Gambar : MRI dari karsinoma kolon

c. Endoskopi UltraSound (EUS)

EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman

invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar

95%, 70% untuk CT dan 60% untuk digital rektal examination. Pada kanker

rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan digital

rektal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat

meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan

pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi.

Transrektal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah

bimbingan EUS.

H. TATALAKSANA6

Kemoprevensi

Obat Anti Inflamatori Steroid (OAIN) termasuk aspirin dianggap berhubungan dengan

penurunan motalitas kanker kolon. Bebrapa OAIN seperti sulindac dan celecoxib telah

terbukti sewcara efektif menurunkan insidens berulangnya adenoma pada pasien dengan

Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Data epidemiologi menunjukkan adanaya

penurunan risiko kanker di kalangan pemakai OAIN namun bukti yang mendukung manfaat

pembrian aspirin dan OAIN lainnya untuk mencegah kanker kolon sporadik masih lemah.

(FKUI)

Page 39: refrat tumor kolon fani.docx

Endoskopi dan operasi

Umumnya polip adenomentasi dapat diangkat dengan tingkat polipektomi. Bila ukuran

<5mm maka pengangkatan cukup dengan biopsi atau elektrokoagulasi bipolar. Di samping

polipektomi dapat diatasi dengan operasi, indikasi untuk hemikolektomi adalah tumor di

caecum, kolon ascenden, kolon transversum tetapi lesi di fleksura lienalis dan kolon desenden

di atasi dengan hemikolektomi kiri. Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat

dengan tindakan Low Anterior Resection (LAR). Angka mortalitas akibat operasi sekitar 5%

tetapi bila operasi dikerjakan secara emergensi maka angka mortalitas menjadi lebih tinggi.

Reseksi terhadap metastasis di hepar dapat memberikan hasil 23-35% rata-rata bebas tumor.

Terapi utama untuk kanker usus besar adalah pembedahan dengan eksisi luas,

mencakup daerah drainase limfe yang tepat. Untuk kebanyakan pasien, eksisi yang tepat

adalah hemikolektomi kiri atau kanan, tetapi pada beberapa pasien dengan beberapa adenoma

dan pasien muda dengan kanker, beberapa ahli bedah menyarankan kolektomi total dan

anastomosis ileorektal (Jones dan Schofield, 1996).

a. Kanker kolon kanan

kanker kolon kanan dengan atau tanpa obstruksi diterapi dengan hemikolektomi kanan

dan anstomosis promer. Reseksi diindikasikan meskipun ada metastasis hepatik, karena

reseksi merupakan paliasi terbaik. Pada pasien dengan obstruksi yang nyata, operasi harus

dilakukan sebagai tindakan darurat. Kadang-kadang reseksi tidak mungkin dilakukan, dan

ahli bedah harus memintas tumor dengan menganastomosis ileum ke kolon transversal.

Pengangkatan usus kanan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Page 40: refrat tumor kolon fani.docx

(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)

b. Kanker kolon kiri

Jika tidak ada obstruksi usus, maka terpai pilihan untuk kanker kolon kiri adalah eksisi

luas dengan hemikolektomi kiri atau kolektomi sigmoid dengan anstomosis primer. Reseksi

dilakukan meskipun ada tumor sekunder dari hepar, karena reseksi memberikan paliasi

terbaik. Kolostomi saja tidak pernah dipertimbangkan bila tidak ada obstruksi, karena

mempunyai nilai paliatif yang kecil. Hemikolektomi kiri dapat dilihat pada gambar di bawah

ini :

(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)

Pada kasus dengan obstruksi kolon kiri, metode tradisional yang digunakan adalah

prosedur 3 tahap:

1. Kolostomi saja

2. Reseksi dengan anastomosis

3. Penutupan kolostomi

Page 41: refrat tumor kolon fani.docx

Perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya kecenderungan ke arah reseksi

sebagai prosedur primer. Seringkali tidak dilakukan anastomosis pada operasi darurat. Kolon

atas yang tersisa dikeluarkan seperti pada kolostomi, dan kolon bawah dikeluarkan (dengan

menghasilkan fistula mukus) atau ditutup (dengan prosedur Hartmann). Operasi kedua dapat

dilakukan jika pasien sudah benar-benar pulih dan kesinambungan usus dapat dipertahankan.

Tindakan lebih lanjut dapat dilakukan dengan cara tidak hanya mereseksi tumor tetapi

juga melakukan anastomosis primer. Hal ini dibantu dengan pembilasan kolon di atas meja

operasi, yang membersihkan kolon dari feses dan mengurangi disproporsi ukuran antara usus

yang di atas dan di bawah karsinoma yang direseksi. Pilihan lebih lanjut adalah melakukan

kolektomi subtotal dan anastomosis usus kecil ke sisa kolon distal atau rektum.

c. Karsinoma rektum

Karsinoma setengah bagian atas rektum yang dioperasi dapat dieksisi secara adekuat

dan dianastomosis dengan baik. Prosedur ini disebut reseksi anterior dan rektum.

Anastomosis dapat dilakukan dengan penjahitan manual, tetapi dengan adanya alat stapler

sirkuler secara teknik mempermudah untuk dilakukannya beberapa reseksi anterior. Prosedur

reseksi pada kaarsinoma rektum dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)

Pilihan terapi untuk kanker rektum bagian bawah lebih bervariasi, terapi standar untuk

tumor <6cm dari tepi anal masih dengan eksisi abdominoperineal rektum dengan kolostomi

Page 42: refrat tumor kolon fani.docx

ujung. Terapi pilihan lain dapat dipertimbangkan. Beberapa tumor yang berdiameter 5-6 cm

dapat ditangani dengan eksisi rektal dan anstomosis koloanal. Pada tumor kecil yang

berdiameter kurang dari 3-4 cm tanpa terlihat penyebaran ekstra rektal, terapi lokal mungkin

efektif; dengan pemilihan cermat, hasil akhir dapat sangata baik. Metode yang memuaskan

adalah eksisi lokal, dekstruksi dengan diatermi dan radioterapi lokal.

Terapi ajuvan

Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi. Kemoterapi

ajuvan dimaksudakan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker kolon setelah operasi.

Pasien dengan kriteria Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU secara signifikan

meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor. Kemoterapi ajuvan tidak

berpengaruh pada pasien dengan kriteria Dukes B. Irinotecan (CPT11) inhibitor topoisomer

dapat memperpanjang masa harapan hidup. Oxaliplatin analog platinum juga memperbaiki

respon setelah diberikan 5FU dan leucoverin. Manajemen kanker kolon yang tidak reseksibel

meliputi : Nd-YAG foto koagulasi laser dan self expanding metal endoluminal stent.

Pemilihan terapi pada pasien disesuaikan dengan stadium penyakitnya, seperti gambar

dibawah ini:

Pertimbangan untuk melakukan terapi bedah dilakukan berdasarkan stadium kanker

pasien, seperti bagan bawah ini:

Page 43: refrat tumor kolon fani.docx

(sumber : Schein, 1997)

Keterangan :

A. Tumor dengan klasifikasi Dukes A atau B1, dimana tumor belum mempenetrasi

keseluruhan tebal dinding usus, bentuk kemoterapi ajuvan tidak diperlukan, tetapi

rencana pengawasan ketat untuk dteksi dini adanya rekurensi harus dilakukan.

Tindakan tersebut harus termasuk adanya pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

carciniembryogenik antigen (CEA) tiap 3 bulan dan foto dada dengan interval 6

bulan. Kolonoskopi harus diulangi dalam waktu 1 tahun untuk mendeteksi secara dini

adanya pembentukan polip dan, jika negatif selanjutnya harus diulangi dengan

interval 3 tahun. Follow-up yang lebih ketat diperlukan pada pasien dengan tumor

yang timbul pada keadaan peradangan usus (inflammatory bowel disease) atau

sindroma poliposis herediter. Pada kasus tersebut, harus diambil pertimbangan untuk

melakukan kolektomi profilaksis.

B. Bagi pasien dengan lesi dukes B2 dan C, dengan penetrasi melalui lapisan muskularis

dan/metastasis kelenjar getah bening regional, harus diambil pertimbangan untuk

Tumor metastasis

Penentuan stadium

Tumor Dukes A dan B1 Tumor Dukes B2 dan C

Pembedahan radikalPembedahan radikal Pembedahan paliatif

Observasi Observasi

KemoterapiPercobaan klinis dengan terapi ajuvan

A C B

Page 44: refrat tumor kolon fani.docx

memasukkan pasien ke dalam percobaan terapi klinis terapi ajuvan. Pada saat ini, data

dari percobaan terkontrol tidak mengharuskan pemakaian rutin kemoterapi ajuvan

dengan 5-flourouracil (5-FU) atau dengan kombinasi 5-FU dengan semustine

(methyl-CCNU [methyl-cyclohexyl chloroethylni-trosoureal]).

C. Pada keadaan metastasis, pertimbangan pertama harus diberikan terhadap reseksi

paliatif tumor primer. Komplikasi berupa obstruksi, perdarahan, dan perforasi

mungkin ditemukan. Metastasis simptomati harus dihilangkan dengan kemoterapi.

Walaupun pemberian 5-FU secara intravena dengan jadwal setiap minggu atau tiap 5

hari merupakan seni dalammemberikan pengobatan, penelitian sekarang masih dalam

perkembangan untuk mencari bentuk pengobatan yang lebih efektif baik dengan

kombinasi 5-FU dengan leucovorin dan/methotrexate, atau dengan memberikan infus

intravena setiap 2 minggu dengan cis-platinum. Bagi pasien dengan metastasis ke

hepar, pasien tertentu dengan nodul tumor tunggal mungkin merupakan calon untuk

reseksi hepar parsial yang dalam beberapa penelitian telah menyebabkan

kemungkinan hidup yang lama dan bebas dari penyakit pada 25% kasus. Selain itu,

penggunaan infs 5-FU atau 5-FUDR (5=fluorodeoxyuridine) ke dalam sirkulasi arteri

hepatik telah dilaporkan meningkatkan paliasi dalam beberapa serial, walaupun belum

dibuktikan dapat memperbaiki kemungkinan bertahan hidup dalam kontrol lengkap.

I. DIAGNOSA BANDING

Gejala dari tumor kolon dapat menyerupai beberapa penyakit seperti :

1. Divertikulitis

Terutama divertikulitis yang terjadi di daerah sigmoid atau kolon descendens, dimana

pada kolon dan divertikulitis sama-sama ditemukan feces yang bercampur dengan

darah dan lendir.

2. Colitis Ulcerative

Pada colitis ulcerativa juga ditemukan feces yang berdarah dan berlendir, tenesmus,

mules dan nyeri perut. Tetapi pada colitis ulserativa terdapat diare sedangkan pada

tumor kolon biasanya feces berbentuk kecil-kecil seperti kotoran kambing.

3. Appendicitis Infiltrat

Pada appendicitis infiltrat terasa nyeri dan panas yang mirip dengan tumor sekum

stadium lanjut (tumor sekum pada stadium awal bersifat mobile).

Page 45: refrat tumor kolon fani.docx

4. Haemoroid

Pada haemoroid, feces juga bercampur darah namun pada haemoroid darah keluar

sesudah feces keluar baru kemudian bercampur. Sedangkan pada tumor kolon darah

keluar bersamaan dengan feces.

5. Tumor Ovarium

Pada tumor ovarium dan tumor kolon kiri sama-sama sering ditemukan gangguan

konstipasi. Pada tumor ovarium, juga didapati pembesaran abdomen namun tumor ini

tidak menyebabkan keluarnya darah bersama feces. Selain itu tumor ovarium

menyebabkan gangguan pada miksi berupa peningkatan frekuensi di mana hal ini

tidak dijumpai pada tumor kolon.

J. KOMPLIKASI

1. Anemia

Anemia pada tumor kolon terutama disebabkan akibat adanya perdarahan. Anemia

yang terjadi adalah anemia hipokrom mikrositik.

2. Perforasi

Perforasi terjadi karena adanya sumbatan oleh tumor yang akan mengganggu pasase

dari feses.

3. Metastasis

Terutama ke hepar, paru, tulang, dan otak.

K. PROGNOSIS7

Stage 5-Year ObservedSurvival Rate

I 74%IIA 65%IIB 52%IIC 32%IIIA 74%*IIIB 45%*IIIC 33%IV 6%

DAFTAR PUSTAKA

Page 46: refrat tumor kolon fani.docx

1. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB,

Pollock RE: Schwartz’s Principles of Surgery, 9th Edition).

2. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 17th ed., Copyright © 2004 Elsevier.

3. Norton, JA, et al: Surgery. Basic Science and Clinical Evidence. 2000. Springer.

4. Zuber M, Harder F. Benign tumors of the colon and rectum; in Surgical Treatment:

Evidence-based and Problem-Oriented. Available at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK6994. Accessed on july 9, 2014.

5. Staging of colorectal cancer. Available at:

http://www.hopkinscoloncancercenter.org/CMS/CMS_Page.aspx?

CurrentUDV=59&CMS_Page_ID=EEA2CD91-3276-4123-BEEB-BAF1984D20C7.

Accessed on july 9, 2014

6. Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

edisi IV jilid I. FKUI : Jakarta hal: 373-378

7. Staging of colorectal cancer. Available at:

http://www.cancer.org/cancer/colonandrectumcancer/overviewguide/colorectal-

cancer-overview-survival-rates Accessed on july 9, 2014