51
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tiroiditis merupakan istilah yang mencakup segolongan kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang timbul mendadak dengan disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid. Tiroiditis dapat dibagi berdasar atas etiologi, patologi, atau penampilan klinisnya. Penampilan klinis dilihat dari perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit pada tiroid (1). Berdasarkan penampilan klinis tersebut, maka tiroidis dibagi atas tiroiditis akut, subakut, dan kronis. Tiroiditis akut contohnya tiroiditis infeksiosa akut, tiroiditis karena radiasi, dan tiroiditis traumatika. Tiroiditis subakut dibagi menjadi yang disertai rasa sakit seperti tiroiditis de Quervain, sedangkan yang tidak disertai rasa sakit seperti tiroiditis limfositik subakut, post partum, dan oleh

refrat tiroiditis hashimoto

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: refrat tiroiditis hashimoto

BAB I

PENDAHULUAN

 

I.1 Latar Belakang

Tiroiditis merupakan istilah yang mencakup segolongan kelainan yang

ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang

timbul mendadak dengan disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid. Tiroiditis

dapat dibagi berdasar atas etiologi, patologi, atau penampilan klinisnya.

Penampilan klinis dilihat dari perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit pada

tiroid (1).

Berdasarkan penampilan klinis tersebut, maka tiroidis dibagi atas tiroiditis

akut, subakut, dan kronis. Tiroiditis akut contohnya tiroiditis infeksiosa akut,

tiroiditis karena radiasi, dan tiroiditis traumatika. Tiroiditis subakut dibagi

menjadi yang disertai rasa sakit seperti tiroiditis de Quervain, sedangkan yang

tidak disertai rasa sakit seperti tiroiditis limfositik subakut, post partum, dan oleh

karena obat-obatan. Tiroiditis kronis meliputi tiroiditis Hashimoto, Riedel, dan

infeksiosa kronis (1).

Tiroiditis Hashimoto merupakan salah satu penyakit tiroid autoimun yang

paling umum dan bersifat organ-specific. Ditemukan oleh Hakaru Hashimoto

pada tahun 1912, dengan istilah lain struma limfomatosa. Disebut pula sebagai

tiroiditis autoimun kronis dan merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah

yang iodiumnya cukup. Penyakit ini sering mengenai wanita berumur antara 30-

50 tahun. Hampir semua pasien mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi,

Page 2: refrat tiroiditis hashimoto

infiltrasi limfositik termasuk sel B dan T, dan apoptosis sel folikel tiroid.

Penyebabnya sendiri diduga kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan (1,2,3).

Tiroiditis Hashimoto ini ditandai oleh munculnya antibodi terhadap

tiroglobulin dalam darah. Pada tahun 1956, Roitt dkk untuk pertama kalinya

menemukan antibodi terhadap tirogobulin, yang bertindak sebagai autoantigen,

dalam serum penderita penyakit Hashimoto sehingga terjadi inflamasi akibat

autoimun. Perjalanan penyakitnya sendiri pada awalnya mungkin dapat terjadi

hipertiroid oleh adanya proses inflamasi, tetapi kemudian kerusakan dan

penurunan fungsi tiroid yang luas dapat menyebabkan hipotiroidisme. Kelenjar

tiroidnya bisa membesar membentuk nodul goiter. Sekali mulai timbul hipotiroid

maka gejala ini akan menetap sehingga diperlukan terapi hormon tiroid yang

bertujuan mengatasi defisiensi tiroid serta memperkecil ukuran goiter (1,4,5).

Mengingat pentingnya pengetahuan tentang penyakit Tiroiditis Hashimoto

ini, maka penulis mencoba memaparkan mengenai aspek patofisiologi, gejala

klinis, diagnosis, dan pengobatan dari Tiroiditis Hashimoto ini.

I.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui aspek

patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, dan pengobatan dari penyakit Tiroiditis

Hashimoto.

2

Page 3: refrat tiroiditis hashimoto

I.3 Manfaat

Pada penulisan referat ini penulis berharap dapat memberikan pengetahuan

pada pembaca mengenai Tiroiditis Hashimoto secara lebih mendalam.

3

Page 4: refrat tiroiditis hashimoto

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kelenjar Tiroid

II.1.1 Struktur Kelenjar tiroid

Kelenjar tiroid terletak pada leher bagian depan, tepat di bawah kartilago

krikoid, disamping kiri dan kanan trakhea. Pada orang dewasa beratnya lebih

kurang 18 gram. Kelenjar ini terdiri atas dua lobus yaitu lobus kiri kanan yang

dipisahkan oleh isthmus. Masing-masing lobus kelenjar ini mempunyai ketebalan

lebih kurang 2 cm, lebar 2,5 cm dan panjangnya 4 cm. Tiap-tiap lobus mempunyai

lobuli yang di masing-masing lobuli terdapat folikel dan parafolikuler. Di dalam

folikel ini terdapat rongga yang berisi koloid dimana hormon-hormon disintesa

(1,6,7).

Gambar 2.1. Anatomi Tiroid

4

Page 5: refrat tiroiditis hashimoto

Kelenjar tiroid mendapat sirkulasi darah dari arteri tiroidea superior dan

arteri tiroidea inferior. Arteri tiroidea superior merupakan percabangan arteri

karotis eksternal dan arteri tiroidea inferior merupakan percabangan dari arteri

subklavia. Lobus kanan kelenjar tiroid mendapat suplai darah yang lebih besar

dibandingkan dengan lobus kiri. Dipersarafi oleh saraf adrenergik dan kolinergik.

Saraf adrenergik berasal dari ganglia servikalis dan kolinergik berasal dari nervus

vagus (6,7).

Unit struktural daripada tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat, berupa

ruangan bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk gepeng, kubus

sampai kolumnar. Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel tiroid ini dipengaruhi oleh

aktivitas fungsional daripada kelenjar tiroid itu sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan

inaktif, sel-sel folikel menjadi gepeng dan akan menjadi kubus atau kolumnar bila

kelenjar dalam keadaan aktif. Pada keadaan hipertiroidism, sel-sel folikel menjadi

kolumnar dan sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid

(7,8) .

Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen

eosinofilik. Variasi densiti dan warna daripada koloid ini juga memberikan gambaran

fungsional yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis berhubungan dengan

aktivitas fungsional, sedangkan koloid eosinofilik yang tebal dan banyak dijumpai

pada folikel dalam keadaan inaktif dan beberapa kasus keganasan. Pada keadaan yang

belum jelas diketahui penyebabnya, sel-sel folikel ini akan berubah menjadi sel-sel

yang besar dengan sitoplasma banyak dan eosinofilik, kadang-kadang dengan inti

hiperkromatik, yang dikenal sebagai oncocytes (bulky cells) atau Hürthle cells (7,8 ).

5

Page 6: refrat tiroiditis hashimoto

Gambar.2.2 Histologi kelenjar tiroid normal

Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yaitu T3, T4 dan sedikit

kalsitonin. Hormon ini diangkut oleh protein pengangkut, protein pengangkut itu

adalah TBG (thyroxine binding globulin), TBPA (thyroxine binding prealbumin),

T3U (T3 resin uptake) dan TBI (thyroxine binding index). Peningkatan protein

pengangkut TBG menyebabkan peningkatan hormon T4 dan penurunan protein

pengangkut T3U. Peningkatan TBG disebabkan oleh pengobatan estrogen,

perfenazin, kehamilan, bayi baru lahir, hepatitis infeksiosa dan peningkatan

sintesis herediter. Sedangkan penurunan kadar TBG dipengaruhi oleh pengobatan

steroid anabolik dan androgen, sakit berat atau pembedahan, sindroma nefrotik

dan defisiensi kongenital (6,7,8).

Tubuh memiliki mekanisme yang rumit untuk menyesuaikan kadar

hormon tiroid. Mekanisme pengaturan sekresi hormone tiroid tersebut dapat

6

Page 7: refrat tiroiditis hashimoto

dilihat pada gambar 2.2. Hipotalamus (terletak tepat di atas kelenjar hipofisa di

otak) menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH), yang menyebabkan

kelenjar hipofisa mengeluarkan thyroid-stimulating hormone (TSH). Sesuai

dengan namanya, TSH ini merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan

hormon tiroid. Jika jumlah hormon tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu,

maka kelenjar hipofisa menghasilkan TSH dalam jumlah yang lebih sedikit,

sebaliknya jika kadar hormon tiroid dalam darah berkurang, maka kelenjar

hipofisa mengeluarkan lebih banyak TSH. Hal ini disebut mekanisme umpan

balik (7,8).

Gambar 2.3. Pengaturan sekresi hormon tiroid.

7

Page 8: refrat tiroiditis hashimoto

II.1.2 Proses Pembentukan Hormon Tiroid

Hormon T3 dan T4 dihasilkan oleh folikel sedangkan kalsitonin dihasilkan

oleh parafolikuler. Bahan dasar pembentukan hormon-hormon ini adalah yodium

yang diperoleh dari makanan dan minuman. Yodium yang dikomsumsi akan

diubah menjadi ion yodium (yodida) yang masuk secara aktif ke dalam sel

kelenjar dan dibutuhkan ATP sebagai sumber energi. Proses ini disebut pompa

iodida, yang dapat dihambat oleh ATP-ase, ion klorat dan ion sianat. Sel folikel

membentuk molekul glikoprotein yang disebut tiroglobulin yang kemudian

mengalami penguraian menjadi monoiodotironin (MIT) dan diiodotironin (DIT).

Selanjutnya terjadi reaksi penggabungan antara MIT dan DIT yang akan

membentuk triiodotironin atau T3 dan DIT dengan DIT akan membentuk

tetraiodotironin atau tiroksin (T4). Proses penggabungan ini dirangsang oleh TSH

namun dapat dihambat oleh tiourea, tiourasil, sulfonamid, dan metil

kaptoimidazol. Hormon T3 dan T4 berikatan dengan protein plasma dalam bentuk

PBI (protein binding iodine) (1,7,8,9).

Gambar 2.4. Sintesis hormon tiroid pada folikel tiroid

8

Page 9: refrat tiroiditis hashimoto

II.1.3 Fungsi Kelenjar Tiroid

Fungsi dari hormon-hormon tiroid antara lain adalah (1,7,8,9) :

a. Mengatur laju metabolisme tubuh. Baik T3 dan T4 kedua-duanya

meningkatkan metabolisme karena peningkatan komsumsi oksigen dan

produksi panas. Efek ini pengecualian untuk otak, lien, paru-paru dan testis.

b. T3 lebih cepat dan lebih kuat reaksinya tetapi waktunya lebih singkat

dibanding dengan T4. T3 lebih sedikit jumlahnya dalam darah. T4 dapat

dirubah menjadi T3 setelah dilepaskan dari folikel kelenjar.

c. Memegang peranan penting dalam pertumbuhan fetus khususnya

pertumbuhan saraf dan tulang.

d. Mempertahankan sekresi GH dan gonadotropin.

e. Efek kronotropik dan inotropik terhadap jantung yaitu menambah kekuatan

kontraksi otot dan menambah irama jantung.

f. Merangsang pembentukan sel darah merah.

g. Mempengaruhi kekuatan dan ritme pernapasan sebagai kompensasi tubuh

terhadap kebutuhan oksigen akibat metabolisme.

h. Bereaksi sebagai antagonis insulin.

i. Tirokalsitonin mempunyai jaringan sasaran tulang dengan fungsi utama

menurunkan kadar kalsium serum dengan menghambat reabsorpsi kalsium di

tulang. Faktor utama yang mempengaruhi sekresi kalsitonin adalah kadar kalsium

serum. Kadar kalsium serum yang rendah akan menekan pengeluaran

tirokalsitonin dan sebaliknya peningkatan kalsium serum akan merangsang

pengeluaran tirokalsitonin. Faktor tambahan adalah diet kalsium dan sekresi

gastrin di lambung.

9

Page 10: refrat tiroiditis hashimoto

II.2 Definisi Tiroiditis Hashimoto

Tiroiditis berasal dari kata tiroid yaitu kelenjar tiroid sedangkan –itis

menandakan adanya proses peradangan (inflamasi) dengan beragam penyebab.

Bila dilihat dari aspek waktu kejadian maka tiroiditis dibagi menjadi tiroiditis

akut (muncul mendadak atau durasi penyakit singkat), tiroiditis subakut (antara

akut dan kronik) dan tiroiditis kronik (durasi penyakit lama) (1,10).

Berdasarkan penyebabnya, tiroiditis dibagi menjadi tiroiditis karena

infeksi, tiroiditis autoimun, tiroiditis pasca persalinan, tiroiditis karena obat-

obatan dan tiroiditis Riedel. Berdasarkan ada atau tidaknya nyeri, dibagi menjadi

tiroiditis dengan nyeri dan tiroiditis tanpa nyeri. Tiroiditis yang paling sering

ditemukan adalah tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis postpartum (timbul setelah

melahirkan) (1,10).

Tiroiditis Hashimoto adalah tiroiditis yang disebabkan oleh proses

autoimun dan berdasarkan waktu kejadian termasuk tiroiditis kronik. Jika jaringan

tiroid yang mengalami tiroiditis diperiksa dibawah mikroskop maka akan tampak

gambaran peradangan berupa infiltrasi sel-sel limfosit (1,5,10).

Tiroiditis autoimun yang terserang terutama wanita berusia antara 30 – 50

tahun dan dicirikan dengan adanya kelenjar tiroid yang keras, membesar difus, tak

nyeri. Pasien biasanya eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Hipotiroid

terjadi jika hormon tiroid yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan tubuh.

Kelenjar tiroid juga bisa membesar membentuk goiter (4,5).

10

Page 11: refrat tiroiditis hashimoto

II.3 Patofisiologi Tiroiditis Hashimoto

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan

faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan

faktor pemicu lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen

tiroid (2).

Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui,

berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan

dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan

seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler

yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T

tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan

dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi.

Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang

bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang

bertindak sebagai autoantigen (2,11).

Gambar 2.4 memperlihatkan secara skematik mekanisme terjadinya PTAI,

diawali paparan faktor pemicu lingkungan pada individu yang memiliki gen

suseptibel. Interaksi antara sel-sel imun dengan autoantigen tiroid menimbulkan

tiroiditis Hashimoto atau penyakit Graves atau pembentukan antibodi antitiroid

tanpa gejala klinik (asymptomatic autoimmune thyroid disease).

11

Page 12: refrat tiroiditis hashimoto

Gambar 2.5. Gambar skematik mekanisme terjadinya PTAI.Auto-Ag’s: Thyroid Autoantigens; Tab’s : Thyroid antibodies

Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat

dari faktor genetik dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen

dan autoantibodi tiroid, ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis

yang diperkirakan terjadi pada proses penyakit ini.

a. Faktor genetik

Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon

imun seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta

antibodi, dan gen yang mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti

tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase), transporter iodium, TSHR (TSH

Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru enam gen yang dapat

diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4), CD40,

HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR (2,12).

12

Page 13: refrat tiroiditis hashimoto

Gambar 2.6 Aktivasi sel T oleh Antigen Presenting Cell (APC). APC memunculkan antigen peptid yang terikat molekul HLA kelas II, dan peptid ini dikenal oleh reseptor sel T.

Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul

kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting

Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide

antigen yang terikat protein HLA kelas II pada permukaan reseptor sel T.

Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang diekspresikan pada PC

(seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan reseptor (CD28,

CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi

antigen (2).

CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang

dapat meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain.

CTLA-4 berasosiasi dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis

Hashimoto, penyakit Graves, dan pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan

13

Page 14: refrat tiroiditis hashimoto

penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1, penyakit Addison, dan

myasthenia gravis (2).

Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu

jelas. Hal ini menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang

sering kontroversial. Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari

hanya ditemukan antibodi antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa

gangguan fungsi (asymptomatic autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran

kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik dengan kegagalan fungsi tiroid.

Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits Hashimoto dengan HLA-

DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus dilaporkan

asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang

dan dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina (2).

b. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai

penyebab penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah,

kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan

obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres,

variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat radiasi, serta

infeksi virus dan bakteri (11).

Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α,

amiodarone dan Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid.

Pada Tabel 2.1 disajikan beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi PTAI,

berikut ringkasan mekanisme dan fenotipenya.

14

Page 15: refrat tiroiditis hashimoto

Tabel 2.1 Faktor lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis autoimun

Faktor Lingkungan Mekanisme FenotipeBerat lahir rendah Maturasi thymik tidak sempurna Antibodi TPOEkses iodium Tidak terjadi escape effect Wolff-

Chaikoff; Jod-BasedowHT

GDDefisiensi selenium Tidak diketahui; viral? HTJarak proses reproduktif yang panjang

Efek estradiol HT

Kontraseptif oral Protektif Antibdi TPOMikrokhimerisme fetal Sel laki-laki di sel tiroid

menimbulkan efek antitiroidHT dan GD

Stress Upregulasi sumbu HPA GDAlergi Tidak diketahui; kadar IgE tinggi GDRokok Hipoksia?; Kadar IgE tinggi GD; terutama GOInfeksi Yersinia enterocolitica Mimikri molekuler GD

Keterangan : HT : Hashimoto thyroiditisGD : Graves’ diseaseGO : Graves’ ophthalmopathy

Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit

tertentu seperti penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan selama

kehamilan dapat menyebabkan intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa,

serta rendahnya berat thymus dan limpa mengakibatkan menurunnya sel T

supresor. Mungkin ada faktor intrauterin tertentu yang menghambat

pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan pertama yang

terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian hari (11).

Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid.

Hipotiroid lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan

dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di

daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan di daerah

cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman kegagalan

15

Page 16: refrat tiroiditis hashimoto

tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium

berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang

mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium

dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau goiter akibat gagal lepas dari efek

Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional

atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan

menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena

tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid

pada sistem imun, yang pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun.

Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan pula faktor risiko terjadinya

PTAI (11).

Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis

selenocysteine, yang juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium

mempengaruhi sistem imun. Defisiensi selenium akan menyebabkan individu

lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie, mungkin karena

limfosit T memerlukan selenium (13).

Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan mengurangi

pembentukan radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon

tiroid, karena dua enzim yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione

peroxidase, berperan dalam produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium

dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian akibat kanker (cancer

mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan meningkatkan

volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit.

16

Page 17: refrat tiroiditis hashimoto

Agen Infeksi(virus, bakteri)

Induksi Gen-VSel-T restriksi

Stimulasi langsung pada sel-

T

Infeksi langsung pada sel tiroid

Proses APC klasik

A B C

Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti

lain memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroid

subklinik akan menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan

kualitas hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid (11).

Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat

stress sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi,

menimbulkan efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai

pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem imun

menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan memfasilitasi

keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral

meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu

seringkali didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit

Graves. Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor

stress (11).

Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis

PTAI. Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor

pencetus PTAI seperti yang digambarkan pada Gambar 2.7 (14).

17

Page 18: refrat tiroiditis hashimoto

Gambar 2.7. Tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi sebagai pencetus PTAI.

A. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;B. Induksi molekul MHC kelas II untuk mempresentasikan autoantigen oleh

tirosit pada sel T;C. Molekul superantigen yang dibentuk oleh agen infeksi menginduksi sel T

autoreaktif.

Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru,

juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi

poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga

18

Induksi reaksi antibodi silang

Page 19: refrat tiroiditis hashimoto

Aktivasi proses autoimun

Faktor lingkungan

Elevasi TPOAb

TSH sedikit meningkat (subklinik) Hipotiroidisme

menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko kekambuhan

penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah pengobatan dengan

iodium radioaktif (12).

c. Autoantigen dan autoantibodi tiroid

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan

perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan

seluler.Kerusakan seluler terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi (sensitized)

dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran sel, menyebabkan lisis sel

dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja autoantibodi

yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga

autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO),

tiroglobulin, dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai

”thyroid microsomal antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam

hormogenesis tiroid (15).

Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells

merupakan penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak

menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut

berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai petanda (marker)

penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid. Di lain pihak

beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik

terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang

menyertai hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik (15,16).

19

Page 20: refrat tiroiditis hashimoto

Gambar 2.8. Perubahan kadar antibodi anti-TPO dan terjadinya disfungsi tiroid pada PTAI.

Pada gambar 2.8 di atas diperlihatkan perubahan kadar antibodi anti-TPO

yang mendahului terjadinya disfungsi tiroid pada individu dengan predisposisi

genetik yang dipicu faktor lingkungan, sejalan dengan bertambahnya waktu

(umur) (16).

Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup

iodium, penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan

kadar Tg, karena bila ada antibodi anti-Tg akan menganggu metode penentuan

kadar Tg. Sedangkan di daerah kurang iodium, penentuan kadar antibodi anti-

Tg berguna untuk mendeteksi PTAI pada penderita struma nodusa dan

pemantauan hasil terapi iodida pada struma endemik (15,16).

Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur antibodi antitiroid,

khususnya terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon Receptor). Misalnya

20

Page 21: refrat tiroiditis hashimoto

dikenal istilah LATS = Long Acting Thyroid Stimulator; LATS-P = Long

Acting Thyroid Stimulator-Protector; TSI=Thyrotropin Stimulating

Immunoglobulin; TBII = Thyrotropin Binding Inhibitor Immunoglobulin;

TSBAb = Thyroid Stimulating Blocking Antibody; dan TRAb=Thyrotropin

Receptor Antibody). Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan

menjadi (17, 18) :

1. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon

tiroid;

2. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam

merangsang sintesis hormon tiroid;

3. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang

pertumbuhan sel folikel;

4. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang

pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema).

Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya

diskrepansi antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada

penderita dengan kelenjar tiroid besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau

sebaliknya (18).

Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid

kedua (second colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor

TSH, antibodi terhadap hormon tiroid T3 dan T4, serta antibodi terhadap

antigen membran otot mata (disebut sebagai ophthalmic immunoglobulin) (19).

21

Page 22: refrat tiroiditis hashimoto

Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi

hipo-tiroidi, keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity.

Contohnya konversi menjadi hipertiroid Graves pada penderita yang

sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit Hashimoto, dan konversi dari

tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita Graves; beberapa

mekanisme mungkin berperan (17).

d. Mekanisme apoptosis

Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam

PTAI – tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+),

CD25(+) T regulatory cells akan merusak (breaks) toleransi host dan

menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan menfasilitasi apoptosis.

Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi proses apoptosis pada HT dan

GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan apoptosis pada GD

akan mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan

mekanisme apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk respons

autotimun berbeda yang akhirnya akan menimbulkan manifestasi tiroiditis

Hashimoto dan penyakit Graves (20).

e. Peran sitokin

Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin

dapat bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper

terdiri dari sel Th1, terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-

22

Page 23: refrat tiroiditis hashimoto

2 (IL-2), yang menimbulkan respon imun langsung pada sel (cellmediated

immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan terutama IL-4, IL-5, dan IL-13

yang akan mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3 menghasilkan

terutama TGFβ yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari

penyakit autoimun (21).

Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B

intratiroid dan menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk

upregulasi MHC kelas I dan II, serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga

merangsang sel folikel tiroid untuk menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO)

dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan meningkatkan reaksi inflamasi

dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi

sel folikel tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi terhadap disfungsi

tiroid (21).

Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama

thyroid-associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan

retrobulbar pada penderita dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan

menghasilkan sitokin, yang akan memperluas proses inflamasi melalui

beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC kelas II, Heat Shock Protein

(HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan retrobulbar. Sitokin

akan meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu

pembentukan sel-sel radang baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga

meningkatkan akumulasi matriks ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek

stimulatorik pada glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor

23

Page 24: refrat tiroiditis hashimoto

metalloproteinase oleh fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas,

memodulasi produksi sitokin atau menghambat kerja sitokin di jaringan

retrobulbar dapat dipertimbangkan untuk menangani oftalmopati yang sampai

saat ini sukar diobati (21).

II.4 Gejala Klinis Tiroiditis Hashimoto

Penyakit Hashimoto tidak memiliki tanda-tanda dan gejala selama

bertahun-tahun dan tidak terdiagnosis sampai ditemukannya pembesaran kelanjar

tiriod atau hasil pemeriksaan darah yang abnormal pada pemeriksaan kesehatan

rutin. Gejala yang berkembang berhubungan dengan efek tekanan lokal pada leher

yang disebabkan pembesaran kelenjar tiroid tersebut, atau akibat penurunan kadar

hormon tiroid dalam darah. Tanda pertama penyakit ini mungkin berupa bengkak

tidak nyeri pada leher depan bagian bawah. Efek tekanan lokal akibat pembesaran

kelenjar tiroid dapat menambah gejala seperti kesulitan menelan (1,5).

Tanda-tanda dan gejala hipotiroidisme sangat bervariasi, tergantung pada

tingkat keparahan kekurangan hormon. Gambaran klinis awalnya didahului

dengan gejala-gejala hipertiroid (kadar hormon tiroid meningkat) lalu normal

(eutoroid) dan akhirnya berubah menjadi hipotiroid (kadar hormon menurun)

berkepanjangan. Pada awalnya, mungkin gejala jarang terlihat, seperti kelelahan

dan kelesuan, atau tanda-tanda menua. Tetapi semakin lama penyakit

berlangsung, gejala dan tanda makin jelas (1,4).

Pasien tiroiditis Hashimoto yang berkembang mengalami hipotiroid

biasanya menunjukkan tanda dan gejala meliputi kelelahan dan kelesuan, sering

24

Page 25: refrat tiroiditis hashimoto

mengantuk, jadi pelupa, kesulitan belajar, kulit kering dan gatal, rambut dan kuku

yang rapuh, wajah bengkak, konstipasi, nyeri otot, penambahan berat badan,

peningkatan sensitivitas terhadap banyak pengobatan, menstruasi yang banyak,

peningkatan frekuensi keguguran pada wanita yang hamil (1,5).

II.5 Penegakan Diagnosis

Pada tiroiditis Hashimoto, pemeriksaan goiter yang terbentuk dapat

diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik, dan keadaan hipotiroid diketahui dengan

identifikasi gejala dan tanda fisik yang khas, serta melalui hasil pemeriksaan

laboratorium (1,5).

Peningkatan antibodi antitiroid merupakan bukti laboratorik paling

spesifik pada tiroiditis Hashimoto, namun tidak semuanya dijumpai pada kasus.

Pemeriksaan hormon tiroid biasanya diperiksa kadar TSH dan FT4. Dikatakan

hipotiroid apabila peningkatan kadar TSH disertai penurunan FT4 (5).

Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan secara histopatologis melalui

biopsi. Kelainan histopatologisnya dapat bermacam – macam yaitu antara lain

infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid, dan fibrosis. Aspirasi jarum

halus biasanya tidak dibutuhkan pada penderita tiroiditis ini, namun dapat

dijadikan langkah terbaik untuk diagnosis pada kasus yang sulit dan merupakan

prosedur yang dibutuhkan jika nodul tiroid terbentuk (1,4,5,10).

Makna klinis penentuan antibodi antitiroid

25

Page 26: refrat tiroiditis hashimoto

Tiga antibodi yang paling sering ditentukan kadarnya di klinik adalah

TRAb (Thyrotropin Receptor Antibody), TPOAb (anti TPO antibody), TgAb

(ATA: anti Tg antibody), dan penentuan berbagai antibodi lainnya lebih bersifat

minat akademik. Perlu diketahui bahwa autoantibodi tiroid tidak selalu ditemukan

dalam serum penderita PTAI, antara lain disebabkan oleh sensitivitas metoda

assay (16).

TRAb ditemukan pada sebagian besar penderita yang pernah atau sedang

menderita penyakit Graves. Selama kehamilan, karena dapat melewati sawar

plasenta, TRAb merupakan faktor resiko disfungsi tiroid fetal maupun neonatal.

Prevalensi antibodi antitiroid meningkat pada penderita penyakit autoimun organ

specific lain seperti DM tipe 1 dan anemia pernisiosa, serta juga dengan

bertambahnya umur (prevalensi PTAI meningkat seiring dengan bertambahnya

umur) (16).

Antibodi anti-TPO merupakan faktor resiko disfungsi tiroid, termasuk

tiroiditis postpartum dan penyulit autoimun akibat penggunaan obat-obat tertentu.

Antibodi anti-TPO merupakan kelainan yang pertama ditemukan pada hipotiroidi

akibat tiroiditis Hashimoto. Lebih dari 95% penderita tiroiditis Hashimoto dan

sekitar 85% penderita penyakit Graves mempunyai antibodi anti-TPO (16).

Pada tabel 2.2 tercantum indikasi penentuan kadar antibodi anti-TPO

menurut rekomendasi National Academy of Clinical Biochemistry tahun 2003

(16).

Tabel 2.2 Indikasi penentuan antibodi anti-TPODiagnosis PTAI

26

Page 27: refrat tiroiditis hashimoto

Faktor risiko untuk PTAIFaktor risiko untuk hipotiroid pada pengobatan dengan Interferon α, IL-2 & lithium

Faktor risiko disfungsi tiroid pada pengobatan AmiodaroneFaktor risiko hipotiroid pada penderita Sindrom Down

Faktor risiko disfungsi tiroid selama kehamilan dan tiroiditis post-partumFaktor risiko untuk keguguran dan kegagalan fertilisasi in-vitro

Penentuan antibodi anti-tiroglobulin terutama dilakukan sebagai pelengkap

penentuan kadar Tg serum pada pemantauan hasil pengobatan karsinoma tiroid

berdiferensiasi pascaablasi; antibodi anti-Tg yang positif akan menganggu

penentuan kadar tiroglobulin. Antibodi anti-Tg positif pada penderita karsinoma

tiroid berdiferensiasi yang telah dinyatakan sembuh akan menjadi negatif dalam

waktu 1-4 tahun, sedangkan peningkatan kadarnya dapat digunakan sebagai

petunjuk awal rekurensi (16).

II.6 Penatalaksanaan

Jika penyakit Hashimoto dengan goiter tiroid, atau menyebabkan

kekurangan hormon tiroid, penderita memerlukan terapi penggantian hormon

tiroid yang bertujuan mengatasi defisiensi tiroid serta mengecilkan ukuran nodul

goiter. Pengobatan dengan penggunaan sehari-hari dari hormon tiroid sintetis

sepertii levotiroksin (levothroid, Levoxyl, Synthroid). Levotiroksin sintetis

identik dengan tiroksin, versi alami hormon ini dibuat oleh kelenjar tiroid (5).

Kadang tidak diperlukan pengobatan karena strumanya kecil dan

asimtomatik. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan tindakan

pengangkatan, sebaiknya operasi ini ditunda karena kelenjar tiroid tersebut dapat

mengecil sejalan dengan waktu. Pemberian tiroksin dapat mempercepat hal

27

Page 28: refrat tiroiditis hashimoto

tersebut. Disamping itu tiroksin juga dapat diberikan pada keadaan hipotiroidisme

(1,4).

Pada pasien usia tua, dosis dimulai dengan yang rendah dan ditingkatkan

secara bertahap. Pasa pasien usia muda, dapat langsung dimulai dengan dosis

besar. Aksi hormon tiroid sangat lambat pada tubuh, sehingga pengobatan

memerlukan waktu beberapa bulan sambil melihat perkembangan gejala atau

ukuran goiter. Karena secara umum gejala hipotiroid pada penyakit ini bersifat

menetap, maka kadang dibutuhkan pengobatan seumur hidup dengan dosis yang

disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai keadaan individual pasien (5).

Dosis yang tidak adekuat dapat mengakibatkan bertambah besarnya goiter,

dan gejala hipotiroid terus-menerus. Kondisi ini dihubungkan pula dengan

peningkatan kolesterol serum, peningkatan resiko atherosklerosis dan penyakit

jantung. Sedangkan apabila dosis berlebihan, dapat menimbulkan gejala

hipertiroid, mengakibatkan kerja jantung yang berlebihan dan meningkatkan

resiko osteoporosis (5).

Bila terjadi hipertiroidisme dapat diberikan obat antitiroid. Pemberian

glukokortikoid dapat menyebabkan regresi struma dan mengurangi titer antibodi.

Tetapi mengingat efek samping dan kenyataan bahwa aktivitas penyakit dapat

kambuh kembali sesudah pengobatan dihentikan, maka pemakaian obat golongan

ini tidak dianjurkan pada keadaan biasa (1,10).

II.7 Kelainan Lain yang Berhubungan dengan Tiroiditis Hashimoto

28

Page 29: refrat tiroiditis hashimoto

Beberapa penyakit tertentu dilaporkan terkait dengan penyakit tiroid

autoimun (PTAI), walaupun beberapa diantaranya masih kontroversial seperti

yang terlihat pada tabel 2.3 (5).

Tabel 2.3 Beberapa penyakit yang dilaporkan terkait dengan PTAI

Penyakit Autoimun Keganasan Lain-LainOrgan-Spesific Non-organ-specificPenyakit celiac SLE Kanker Payudara SarcoidosisPenyakit Addison Artritis reumatoid Leukemia Helicobacter pyloriVitiligo Sklerosis sistemik Kanker Gastric IBDDM tipe 1 Sindrom Sjogren Hepatitis CDefisiensi ACTH Juvenile Artritis

kronikPolimyalgia rheumatica

Anemia pernisiosa Giant cell arteritisAlopecia areata Cushing’s diseasePremature ovarian failure

Urtikaria kronik

Sklerosis multipelMyasthenia gravisPrimary biliary cirrhosisSind.GoodpastureHepatitis kronik aktif

Hubungan dengan penyakit autoimun lain sudah lama ditengarai, mungkin

terjadi karena adanya kesamaan faktor genetik dan patogenesis. Masih diperlukan

penelitian lebih lanjut untuk memastikannya. Beberapa contoh penyakit yang

berhubungan dengan PTAI disampaikan berikut ini.

a. DM tipe 1

Baik penyakit tiroid autoimun maupun diabetes mellitus tipe 1 (DM1)

merupakan penyakit autoimun yang organ specific. DM1 sering ditemukan

bersamaan dengan penyakit autoimun lain, termasuk penyakit tiroid autoimun.

Perros et al (1995) melaporkan prevalensi disfungsi tiroid pada DM1 sekitar

29

Page 30: refrat tiroiditis hashimoto

31.4%, sedangkan pada DM tipe 2 hanya sekitar 6.8%. Perlu perhatian khusus

dalam mengelola penderita DM1 yang disertai penyakit tiroid autoimun, karena

disfungsi tiroid juga akan mempengaruhi homeostasis glukosa. Disfungsi tiroid

ditemukan pada sekitar 30% wanita DM1 terutama yang berusia tua, biasanya

dalam bentuk hipotiroidi atrofik primer dan tiroiditis Hashimoto. Wanita DM1

juga beresiko tinggi menderita disfungsi tiroid postpartum; tiroiditis post-

partum ditemukan 3 kali lebih sering pada penderita diabetes dibanding wanita

normal (22,23,24).

b. Hepatitis C dan Interferon-α

Terdapat peningkatan prevalensi PTAI pada penderita hepatitis C. Infeksi

virus hepatitis C dapat menyebabkan PTAI, mungkin melalui peningkatan

kecenderungan non-spesifik terhadap proses autoimunitas atau langsung dari

infeksi virusnya sendiri (25,26).

Interferon-α merupakan pengobatan standar Hepatitis C. Autoimunitas

tiroid dilaporkan merupakan efek samping pengobatan Interferon-α, dengan

kejadian antara 2.5%-45.3%. Carella menyimpulkan bahwa (1). tidak ada

autoantibodi tiroid setelah pengobatan interferon-α merupakan faktor protektif

terhadap terjadinya PTAI beberapa tahun setelah pengobatan interferon-α

dihentikan; (2). PTAI akibat interferon-α tidak semuanya reversible karena

beberapa di antaranya menjadi tiroiditis khronik; (3). Kadar antibodi antitiroid

tinggi pada akhir pengobatan interferon-α berhubungan dengan risiko

terjadinya PTAI khronik; dan, (4). adanya antibodi anti-Tg dan anti-TPO secara

bersamaan pada akhir pengobatan interferon-α merupakan faktor prediktif

30

Page 31: refrat tiroiditis hashimoto

untuk disfungsi tiroid, walaupun subklinik, beberapa tahun setelah IFN-α

dihentikan (25).

c. Myasthenia Gravis

Dari data penelitian terungkap bahwa 10,4% penderita myasthenia gravis

juga menderita PTAI, dan sekitar 5.4% adalah penyakit Graves. Myasthenia

gravis yang disertai PTAI dilaporkan mempunyai perjalanan klinik lebih

ringan, lebih sering okuler, frekuensi penyakit timus lebih rendah, serta

frekuensi antibodi reseptor asetilkolin lebih rendah, menyiratkan adanya

interaksi antara kedua keadaan. Walaupun datanya masih kontroversial,

asumsinya adalah bahwa prevalensi penyakit Graves memang meningkat pada

myasthenia gravis (26).

d. Vitiligo

Terdapat hubungan antara PTAI dengan vitiligo, yang merupakan stigmata

autoimun. Sejumlah 6,8% penderita PTAI mempunyai vitiligo, dan 7,8%

penderita vitiligo di Jerman menderita PTAI (26).

BAB III

PENUTUP

 

III.1. Kesimpulan

Tiroiditis Hashimoto merupakan penyakit autoimun kronik organ specific,

dengan penyebab multifaktorial, terjadi pada individu yang mempunyai

predisposisi genetik dengan pemicu faktor lingkungan. Pada tiroiditis Hashimoto

antibody anti-TPO merupakan petanda utama. Manifestasi klinis awalnya

31

Page 32: refrat tiroiditis hashimoto

mungkin saja hipertiroid akibat proses inflamasi hingga akhirnya terjadi

kerusakan yang luas pada kelenjar tiroid menyebabkan hipotiroid yang menetap.

Pengobatan Hashimoto dengan obat antitiroid dan pemberian l-tiroksin bukan

bersifat kuratif, artinya tidak mengubah patogenesis penyakitnya. Diharapkan di

masa datang dengan perkembangan dalam bidang biomolekuler dan pemahaman

yang lebih mendalam tentang respons imun dari antigen spesifik, penanganan

penyakit tiroiditis autoimun akan lebih mendasar dan bersifat kausal.

III.2. Saran

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai praktisi

klinis diharapkan dapat memahami memahami penyebab terjadinya, patofisiologi,

serta bagaimana mendiagnosis Tiroiditis Hashimoto dan bagaimana

penanganannya sehingga diharapkan nantinya bila kita menemukan kasus ini kita

dapat memberikan penanganan yang tepat kepada penderita.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tim Penyusun. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : FKUI.

2. Tomer Y, Davies TF. Searching for the autoimmune disease susceptibility genes : from gene mapping to gene function. Endocrine Rev.2003;24(5):694-717.

3. Chen HI, Akpolat I, et al. Restricted κ/λ ight chain ratio by flow cytometry in germinal center b cells in hashimoto thyroiditis. Am J Clin Pathol. 2006;125:42-48

4. Campbell PN, Doniach D, Hudson RV, Roitt IM. Autoantibodies in Hashimoto’ s disease (lymphadenoid goiter). Lancet 1956;271(6947):820-821.

5. Hashimoto’s Thyroiditis. www.thyroidawareness.com 6. http://elisa.ugm.ac.id/files/ariana/KFNunveC/35.%20Kelenjar%20Tiroid.pdf

32

Page 33: refrat tiroiditis hashimoto

7. Barrett, E.J. The thyroid gland. In Boron WF, Boulpaep EL. Medical physiology.A cellular and molecular approach. Ist Edition. Saunders. Philadelphia. 2003 : 1035- 1048.

8. Magner JA : Thyroid stimulating hormone: biosynthesis, cell biology and bioactivity. Endocr Rev 1990; 11:354

9. Glinoer D. Regulation of maternal thyroid during pregnancy. J Clin Endocrinol Metab 1990;71: 276

10. Wall JR. Autoimmune thyroid disease. Endocrinol Metab Clin North Am 1987;229:1

11. Prummel MF, Strieder T, Wiersinga WM. The environment and autoimmune thyroid diseases.Eur J Endocrinol 2004;150:605-618.

12. Jacobson EM, Tomer Y. The CD40, CTLA-4, thyroglobulin, TSH receptor, and PTPN22 gene quintet and its contribution to thyroid autoimmunity : back to the future. J Autoimmun 2007;28:85-98.

13. Ridgway EC, Tomer Y, McLachlan SM. Update in Thyroidology. J Clin Endocrinol Metab 2007;92:3755-3761.

14. Tomer Y, Davies TF. Infection, Thyroid Disease, and Autoimmunity. Endocrine Rev. 1993;14(1):107-120.

15. Rapoport B, McLachlan SM. Thyroid autoimmunity. J Clin Invest 2001;108:1253-1259.

16. The National Academy of Clinical Biochemistry. Laboratory Medicine Practice Guidelines; Laboratory Support for the Diagnosis and Monitoring of Thyroid Disease. Thyroid 2003;13(1):45-56.

17. Ludgate M, Emerson CH. Metamorphic thyroid autoimmunity. Thyroid 2008;18(10):1035- 1037.

18. Van Ouwerkerk BM, Krening EP, Docter R, Benner R, Hennemann G. Autoimmunity of thyroid disease. With emphasis on Graves’ disease. Neth J Med 1985;28:

19. Amino N. Autoimmunity and hypothyroidism. Clin Endocrinol Metab 1988;2(3):591-617.

20. Wang SH, Baker JR. The role of apoptosis in thyroid autoimmunity.Thyroid 2007;17(10):975-9.

21. Weetman AP, Ajjan RA. Cytokines and autoimmune thyroid disease. Hot Thyroidology. www. hotthyroidology.com. June 1, 2002.

22. Perros P, McCrimmon R, Shaw G, Frier B. Frequency of thyroid dysfunction in diabetic patients ; value of annual screening. Diabet Med 1995;7:622-627

23. Wu P. Thyroid disease and diabetes. Clinical Diabetes 2000;18(1):38-39.24. Gerstein HC. Incidence of postpartum thyroid dysfunction in patients with

Type 1 diabetes mellitus. Ann Intern Med 1993;118(6):419-423.25. Carella C, Maziotti G, Morisco F, Manganella G, Rotondi M, Tuccillo C, et al.

Long-Term outcome of interferon-alfa- induced thyroid autoimmunity and prognostic influence of thyroid autoantibody pattern at the end of treatment. J Clin Endocrinol Metab 2001;86;1925-1929.

26. Jenkins RC, Weetman AP. Disease associations with autoimmune thyroid disease. Thyroid 2002;12(11):977-988.

33

Page 34: refrat tiroiditis hashimoto

34