40
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindroma Horner merupakan akibat dari terganggunya suplai persarafan simpatis ke mata dan bercirikan dengan triad klasik antara lain miosis, ptosis parsial dan anhidrosis hemifasial. Sindroma Horner merupakan pertanda dari masalah medis seperti tumor, cedera sumsum tulang belakang atau stroke yang merusak saraf di wajah. Terkadang kasus penyebab utamanya tidak dapat ditemukan karena sindroma Horner sebenarnya bukanlah penyakit. Sindroma Horner tidak mempunyai penatalaksanaan spesifik. Namun jika dimungkinkan, penatalaksanaan diarahkan pada penyebab utamanya. 1,2 Orang pertama yang memperkenalkan sindroma ini adalah Johann Friedrich Horner, seorang ahli oftalmologi berkebangsaan Swiss (1831 – 1886). Dimana ia menemukan beberapa kelainan dari gejala klinis pada orang yang terpengaruhi luas. Kelainan tersebut sangat khas, yaitu adanya ptosis parsial, miosis ipsilateral, enophtalmos, dan anhidrosis hemifasial. 1,2 Dalam suatu rangkaian kasus besar, 40% dari kasus sindroma Horner yang tidak diketahui diagnosisnya, dianggap berhubungan dengan penyakit vaskular. Dari sisa 270 pasien, 13% berhubungan dengan lesi sentral, 44% lesi preganglionik, dan 43% lesi postganglionik. 1

Refrat Sindroma Horner

Embed Size (px)

DESCRIPTION

saraf

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindroma Horner merupakan akibat dari terganggunya suplai persarafan

simpatis ke mata dan bercirikan dengan triad klasik antara lain miosis, ptosis

parsial dan anhidrosis hemifasial. Sindroma Horner merupakan pertanda dari

masalah medis seperti tumor, cedera sumsum tulang belakang atau stroke yang

merusak saraf di wajah. Terkadang kasus penyebab utamanya tidak dapat

ditemukan karena sindroma Horner sebenarnya bukanlah penyakit. Sindroma

Horner tidak mempunyai penatalaksanaan spesifik. Namun jika dimungkinkan,

penatalaksanaan diarahkan pada penyebab utamanya.1,2

Orang pertama yang memperkenalkan sindroma ini adalah Johann

Friedrich Horner, seorang ahli oftalmologi berkebangsaan Swiss (1831 – 1886).

Dimana ia menemukan beberapa kelainan dari gejala klinis pada orang yang

terpengaruhi luas. Kelainan tersebut sangat khas, yaitu adanya ptosis parsial,

miosis ipsilateral, enophtalmos, dan anhidrosis hemifasial. 1,2

Dalam suatu rangkaian kasus besar, 40% dari kasus sindroma Horner yang

tidak diketahui diagnosisnya, dianggap berhubungan dengan penyakit vaskular.

Dari sisa 270 pasien, 13% berhubungan dengan lesi sentral, 44% lesi

preganglionik, dan 43% lesi postganglionik. Pada anak, penyebab sindroma

Horner terutama berhubungan dengan kongenital atau lesi didapat/post-operasi. 1

Sindroma Horner preganglionik mengindikasikan keparahan patologi yang

mendasari dan berhubungan dengan insidensi tinggi malignansi. Keterlibatan

postganglionik mempunyai penyebab primer benigna.2

1.2 Tujuan

Tujuan dari penyusunan referat “Sindroma Horner” ini adalah sebagai

berikut:

1. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dan

pembaca, terutama mengenai sindroma Horner.

2. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu penyakit

Saraf di Rumah Sakit Umum dr Soebandi jember

1

1.3 Manfaat

Manfaat dari penyusunan makalah ini yaitu dapat lebih memahami dan

mengenali etiologi, patofisiologi dan manifestasi klinis sindroma Horner,

sehingga dapat melakukan deteksi dini dan penatalaksanaan awal yang yang tepat,

serta menambah pengetahuan dan wawasan pembaca terhadap sindroma ini.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Neuroanatomi Mata

Mata adalah organ penglihatan yang mendeteksi cahaya. Yang dilakukan

mata yang  paling sederhana tak lain hanya mengetahui apakah lingkungan

sekitarnya adalah terang atau gelap. Mata yang lebih kompleks dipergunakan

untuk memberikan pengertian visual.3

Gambar 1. Anatomi mata.3

Anatomi mata antara lain:

a) Palpebra, berfungsi untuk melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi

kelenjarnya membentuk film air mata di depan kornea. Palpebra juga

merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi bolamata

terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan mata. Bola mata, pada orang

dewasa, diameter antero-posterior sebesar 24,5 mm.4

3

b) Konjungtiva, merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata

bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui

konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel

goblet. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar

digerakkan dari tarsus.

- Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakan dari sklera

dibawahnya.

- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal

dengan konjungtiva bulbi. 5

Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan dengan sangat

longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. 6

Gambar 2. Konjungtiva bulbi.5

c) Sklera, adalah pembungkus fibrosa pelindung mata bagian luar. Tebalnya

rata- rata 1 milimeter tetapi pada insersi otot, menebal menjadi 3

milimeter. Jaringan ini padat dan berwarna putih, menyambung dengan

kornea di anterior dan durameter optikus di belakang. Permukaan luar

sklera dibungkus oleh sebuah lapisan tipis dari jaringan elastik halus yaitu

episklera yang mengandung banyak pembuluh darah yang memasok

sklera. 5,7

d) Kornea, yaitu selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus

cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan,

merupakan bagian terluar dari bola mata yang menerima cahaya dari

sumber cahaya. Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu : 3,5,7

1. Epitel

4

Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang

saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke

depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel

gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel

poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini

menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan

barrier. Epitel berasal dari ektoderm permukaan. 5

2. Membran Bowman

Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan

kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari

bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi. 5

3. Stroma

Terdiri atas lamela yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu

dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang

di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali

serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai

15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan

fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit

membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio

atau sesudah trauma. 5

4. Membrane descement

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma

kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai

tebal 40µm.5

5. Endotel

Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-

40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui

hemidesmosom dan zonula okluden. 5

5

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari

saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf kranialis V saraf siliar longus

berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus

membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel

dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus

Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi

saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.5

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan

sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan

terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.5

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola

mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea,

dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan

oleh kornea. 5

Gambar 3. Histologi kornea.7

e) Uvea, terdiri dari iris, korpus siliare, dan koroid, bagian ini adalah lapisan

tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera, bagian ini ikut

mensuplai darah ke retina.5

- Pupil dan Iris

Pupil menetukan kuantitas cahaya yang masuk ke bagian mata yang lebih

dalam. Pupil mata akan melebar jika kondisi ruangan yang gelap, dan

akan menyempit jika kondisi ruangan terang. Sedangkan iris adalah

6

perpanjangan dari korpus siliare ke anterior. Iris mengendalikan

banyaknya cahaya yang masuk kedalam mata, ukuran pupil

pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat

aktivitas parasimpatis yang di hantarkan melelui n.kranialis III dan

dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatik.5

- Korpus siliaris

Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudinal, sirkuler dan

radial. Fungsinya untuk kontraksi dan relaksasi serat-serat zonula, yang

berorigo di lembah-lembah di antara prosesus siliaris, otot ini mengubah

tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat menyesuaikan berbagai

fokus dengan baik.5

- Koroid, adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera.5

f) Lensa, suatu struktur bikonveks, avaskuler, tidak berwarna dan hampir

transparan sempurna, tebal 4 mm, diameter 9 mm. Lensa ditahan di

tempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula zinii, yang

tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliare dan menyisip

dalam ekuator lensa. Fungsi lensa mata adalah mengatur fokus cahaya,

sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik kuning retina. Untuk melihat objek

yang jauh (cahaya datang dari jauh), lensa mata akan menipis. Sedangkan

untuk melihat objek yang dekat (cahaya dari dekat), lensa mata menebal.5,7

g) Retina, terdiri dari selembar tipis jaringan tipis yang semi transparan dan

multilapis yang melapisi bagian dalam dua sepertiga posterior dinding bola

mata. Retina adalah bagian mata yang paling peka terhadap cahaya,

khususnya bagian retina yang disebut bintik kuning. Setelah retina, cahaya

diteruskan ke saraf optik. Lapisan retina dari dalam:

1. membrana limitans interna

2. lapisan serat saraf 

3. lapisan sel ganglion

4. lapisan pleksiform dalam

5. lapisan inti dalam badan sel bipolar (amakrin dan sel horizontal)

6. lapisan pleksiform luar 

7. lapisan inti luar sel fotoreseptor 

7

8. membrana limitans eksterna

9. lapisan fotoreseptor, segmen dalam/luar batang dan kerucut

10.epitelium pigmen retina5,7

h) Badan Vitreous adalah suatu badan gelatin yang jernih atau avaskuler,

yang membentuk 2/3 dari volume dan berat mata, vitreous merupakan

ruangan yang di batasi lensa, retina dan diskus optikus. Vitreous berisi 99 %

air, 1 % meliputi 2 komponen, kolagen dan asam hialuranat yang

memberikan bentuk dan konsistensi mirip gelombang pada vitreous karena

kemampuannya mengikat banyak air.5

i) Saraf Optikus

Saraf yang memasuki sel batang dan kerucut dalam retina, untuk menuju ke

otak3. Berikut adalah sistem kerja penglihatan pada saraf optik (visual

pathway):7

Retina merupakan reseptor permukaan untuk informasi visual.

Sebagaimana halnya nervus optikus, retina merupakan bagian dari otak

meskipun secara fisik terletak di perifer dari sistem saraf pusat (SSP).

Komponen yang paling utama dari retina adalah sel-sel reseptor sensoris

atau fotoreseptor dan beberapa jenis neuron dari jaras penglihatan. Lapisan

terdalam (neuron pertama) retina mengandung fotoreseptor (sel batang dan

sel kerucut) dan dua lapisan yang lebih superfisial mengandung neuron

bipolar (lapisan neuron kedua) serta sel-sel ganglion (lapisan neuron ketiga).

Sekitar satu juta akson dari sel-sel ganglion ini berjalan pada lapisan serat

retina ke papila atau kaput nervus optikus. Pada bagian tengah kaput nervus

optikus tersebut keluar cabang-cabang dari arteri sentralis retina yang

merupakan cabang dari arteri oftalmika.7

8

Gambar 4. Lapisan Neuron pada Retina.7

Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum.

Di depan tuber sinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan

bergabung menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum. Di depan tuber

sinerium nervus optikus kanan dan kiri bergabung menjadi satu berkas

membentuk kiasma optikum, dimana serabut bagian nasal dari masing-

masing mata akan bersilangan dan kemudian menyatu dengan serabut

temporal mata yang lain membentuk traktus optikus dan melanjutkan

perjalanan untuk ke korpus genikulatum lateral dan kolikulus superior.

Chiasma optikum terletak di tengah anterior dari sirkulus Willisi. Serabut

saraf yang bersinaps di korpus genikulatum lateral merupakan jaras visual

sedangkan serabut saraf yang berakhir di kolikulus superior menghantarkan

impuls visual membangkitkan refleks opsomatik seperti refleks pupil.3,7

Gambar 5. Perjalanan Serabut Saraf Nervus Optikus (tampak basal) 7,8

9

Setelah sampai di korpus genikulatum lateral, serabut saraf yang

membawa impuls penglihatan akan berlanjut melalui radiatio optika (optic

radiation) atau traktus genikulokalkarina ke korteks penglihatan primer di

girus kalkarina. Korteks penglihatan primer tersebut mendapat vaskularisasi

dari arteri kalkarina yang merupakan cabang dari arteri serebri posterior.

Serabut yang berasal dari bagian medial korpus genikulatum lateral

membawa impuls lapang pandang bawah sedangkan serabut yang berasal

dari lateral membawa impuls dari lapang pandang atas (gambar 6).7,8

Gambar 6. Radiatio Optika 4

Pada refleks pupil, setelah serabut saraf berlanjut ke arah kolikulus superior,

saraf akan berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron interkalasi yang

berhubungan dengan nukleus Eidinger-Westphal (parasimpatik) dari kedua

sisi menyebabkan refleks cahaya menjadi bersifat konsensual. Saraf eferen

motorik berasal dari nukleus Eidinger-Westphal dan menyertai nervus

okulomotorius (N.III) ke dalam rongga orbita untuk mengkonstriksikan otot

sfingter pupil (gambar 7).7

10

Gambar 7. Jaras Refleks Pupil 7

2.2 Anatomi Jalur Persarafan Simpatis ke Mata

Serabut simpatis sentral keluar dari hipotalamus posterolateral, turun

melalui otak tengah dan pons, dan berakhir dalam sel intermediolateral dari

sumsum tulang belakang pada servikal kedelapan hingga torakal kedua (C8-T2

[pusat siliospinal Budge]). 2

Serabut pupillomotor preganglionik keluar dari sumsum tulang belakang

setinggi torakal pertama (T1), dan memasuki rantai simpatis serviks, dimana

berada di dekat puncak paru dan arteri subklavia. Serabut naik melalui

rantai simpatik dan sinaps di ganglion servikal superior di tingkat bifurkasio dari

arteri karotid komunis (servikal ketiga hingga servikal keempat [C3-C4]). 2

Serabut pupillomotor postganglionik keluar dari ganglion servikal superior

dan naik di sepanjang arteri karotid internal. Setelah serabut postganglionic

meninggalkan vasomotor ganglion servikal superior, lalu berjalan di

sepanjang arteri karotid eksternal untuk menginervasi pembuluh darah dan

kelenjar keringat pada wajah. Serabut pupillomotor naik sepanjang arteri karotis

interna, masuk ke sinus kavernosa. 2

Kemudian, serabut meninggalkan pleksus karotis untuk bergabung dengan

nervus abdusen (N.VI) pada sinus kavernosus dan masuk orbita melalui

fisura orbital superior bersama dengan cabang oftalmikus dari nervus trigeminus

11

(N.VI) melalui nervus ciliary longus. Kemudian menginervasi dilator iris dan

otot Müller. 2

Gambar 8. Ilustrasi yang Menggambarkan Jalur Simpatis dari Hipotalamus. 9

2.3 Sindroma Horner

2.3.1 Definisi

Menurut Dorland, 2006, sindroma Horner adalah suatu sindroma yang

terdiri dari kelainan berupa masuknya bola mata, ptosis kelopak mata atas,

kelopak mata atas sedikit naik, kontraksi dari pupil, penyempitan dari fissura

palpebra, anhidrosis dan warna kemerahan di sisi wajah yang sakit, disebabkan

oleh paralisa saraf-saraf simpatis servikal.10

Sindroma Horner juga disebut dengan Bernard’s Syndrome, Bernard-

Horner’s Syndrome dan Horner’s Ptosis. 10

2.3.2 Etiologi

12

Sindroma Horner terutama disebabkan oleh adanya kerusakan atau

gangguan pada jalur saraf simpatis. 6,11

Sindroma Horner dapat merupakan kongenital, didapat ataupun murni

herediter (autosomal dominant). Terganggunya serat-serat simpatis dapat terjadi

secara sentral (misalnya, antara hippothalamus dan titik tempat keluar serat-serat

dari sumsum tulang belakang servikal kedelapan hingga torakal kedua [C8-T2])

atau secara perifer (misalnya, pada rantai simpatis servikal, pada ganglion

servikalis superior, atau sepanjang arteri karotis). 2

Lesi-lesi yang menyebabkan sindroma Horner mengganggu serat-serat

preganglion ketika lesi-lesi ini mendesak toraks bagian atas. Semua lesi yang

menyebabkan disfungsi simpatis postganglionik berlokasi di intrakranial atau

intraorbita karena ganglion servikalis superior terletak dekat tulang tengkorak.

Sindroma Horner preganglionik mengindikasikan keparahan patologi yang

mendasari dan berhubungan dengan insidensi tinggi malignansi. Keterlibatan

postganglionik mempunyai penyebab primer benigna (misalnya, biasanya

vascular headache). 2

Tabel 1. Penyebab Sindroma Horner Pada Orang Dewasa1

13

2.3.3 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Seperti yang telah diterangkan di atas, bahwa sindroma Horner’s terdiri

dari ptosis, miosis, enoftalmus dan anhidrosis. Semua gejala klinis ini disebabkan

oleh karena adanya proses di tulang belakang pada servikal VIII sampai dengan

torakal I. Di sini ada saraf simpatis yang berpengaruh pada ptosis. Pemeriksaan

tulang belakang servikal tidak boleh dilupakan pada setiap penderita yang

mengemukakan keluhan bahwa kuduk, bahu dan lengan sakit. Adanya Sindroma

Horner harus dihubungkan dengan proses patologik di leher dan fosa

supraklavikularis. Penelitian terhadap gerakan leher, kepala, lengan dan tangan

adalah penting untuk menentukan adanya nyeri pada persendian atau selaputnya.

Nyeri yang disebabkan oleh proses patologik setempat dapat ditunjuk oleh

penderita dengan tepat sebagai “pegal atau linu”, sering kali tidak dapat

dilokalisasikan oleh penderita dengan tepat.

Dalam hal ini sindroma Horner melengkapi gambaran penyakit tersebut

bersamaan dengan parastesia, paresis serta anhidrosis pada lengan. Sindroma

Horner berkolerasi dengan lesi pleksus brakhialis, mengingat sindroma Horner itu

dihasilkan oleh terputusnya hubungan ortosimpatetik dari ganglion servikal

superior yang terletak di daerah pleksus brakhialis.

Jenis Dejerine-Klumpke, menyatakan bahwa hal yang dikemukakan

seorang ibu yang membawa bayinya dengan lesi pleksus brakhialis ialah terjadi

kelumpuhan dari tangan dan jari-jari bayinya. Gerakan lengan pada sendi bahu

dan siku masih utuh tetapi tangan dan jari-jari sisi ulnar tidak tampak bergerak.

Tangan yang terkena menunjukan ciri-ciri “claw hand” yang ringan, yaitu jari

kelingking dan jari manis menekuk tidak dapat diluruskan secara volunter. Jika

bayi sudah sering membuka matanya maka akan terlihat adanya ptosis ringan sisi

tangan yang abnormal, itulah sebagai sindroma Horner. Orang dewasa

menunjukan syndroma lesi pleksus brakhialis bahwa (Jenis Dejerine-Klumpke)

jelas mirip syndoma Horner’s pada sisi tangan yang lumpuh. Kelumpuhan

tersebut menimbulkan claw hend yang disertai hipestesia atau parestesia pada

kulit yang menutupi ulnar tangan dan pergelangan tangan.

Pada blokade ganglion stelatum secara tepat akan didapat sindroma Horner

langsuntg setelah xylocain disuntikan. Pada saat itu juga wajah dan leher sisi

14

ipsilateral menjadi merah, serta mukosa hidung menjadi bengkak sehingga hidung

tersumbat. Dengan blokade ganglion stelatum 3 – 5 kali dengan interval 3 – 5 hari

perbaikan yang sempurna dapat diperoleh. Paralisis lower motor neuron akibat

lesi di pleksus dan fasikulus tidak berbahaya, berbeda dengan kelumpuhan yang

terjadi akibat lesi di nervus radialis dan nervus medianus. Selain data anamnestik

dan pemeriksaan sensoris, masih ada satu gejala penting yang dapat

mengungkapkan lokalisasi lesi di pleksus atau fasikulus yaitu sindroma Horner’s.

Sindrom ini terdapat miosis, enoftalmus, ptosis dan anhidrosis hemifasialis. Yang

hampir selamanya dijumpai ialah ptosis, miosis, dan anhidrosis hemifasialis.

Proses neoplastik yang berada di kutub paru-paru dapat menimbulkan

kelumpuhan-kelumpuhan pada otot-otot bahu dan lengan yang disertai sindroma

Horner’s pada sisi ipsilateral. Ptosis atau blefaroptosis adalah menurunnya

palpebra superior, akibat pertumbuhan yang tidak baik atau paralisa dari muskulus

levator palpebra. Ada bermacam-macam derajat ptosis. Bila hebat dan

mengganggu penglihatan oleh karena palpebra superior menutupi pupil, maka ia

mencoba menaikkan palpebra tersebut dengan memaksa muskulus

occipitofrontalis berkontraksi, sehingga di dahi timbul berkerut-kerut dan alisnya

terangkat. Kalau lebih hebat lagi, untuk dapat mengatasinya, supaya penglihatan

tercapai sebaik-baiknya maka penderita akan menjatuhkan kepalanya ke belakang.

Tanda-tanda ini adalah karakteristik untuk ptosis. Pada ptosis didapat pula garis

lipatan kulit yang berbentuk seperti huruf S, pada palpebranya.

Penyebab dari ptosis, ada yang kongenital dan akwisita. Yang kongenital

biasanya bilateral, disebabkan oleh gangguan bentuk muskulus levator palpebra.

Kadang-kadang dengan kelainan kongenital yang lainnya. Bisa herediter, yang

herediter bersifat dominan autosom. Sedang yang akuisita biasanya unilateral,

akibat: (1) paralisis N.III, yang mengurus muskulus levator palpebra. Seringkali

bersamaan dengan paralisa muskulus rectus superior. Hal ini dapat ditemukan

pada Myastenia gravis (melumpuhnya otot secara progresif). Terjadinya perlaha-

lahan, mulai timbul pada malam hari karena capai, sembuh keesokan harinya,

kemudian menetap; (2) syndrome Hoerner’s.

Miosis adalah suatu keadaan dimana garis tengah pupil kurang dari 2 mm.

Dimana ukuran normal garis tengah pupil tersebut adalah antara 4 – 5 mm pada

15

penerangan sedang. Pupil sangat peka terhadap rangsangan cahaya dengan

persarafan afferent nervus kranialis II sedangkan efferentnya nervus kranialis III.

Sehingga mengecil bila cahaya datang (miosis) dam membesar bila tidak ada atau

sangat sedikit sekali cahaya (remang-remang), keadaan ini disebut dengan

midriasis yaitu diameter pupil lebih dari 5 mm.

Enoftalmus, merupakan dimana bola mata letaknya lebih ke dalam, di

dalam ruang orbita. Penyebabanya antara lain: (1) kelainan kongenital, (2) lanjut

umur, karena berkurangnya jaringan lemak di orbita, (3) fraktur dari salah satu

dinding orbita terutam dasar orbita, dimana bola mata dapat masuk ke dalam sinus

maksilaris, (4) enoftalmus pada orang berumur dibawah 25 tahun, merupakan

bagian dari sindroma Horner’s yang terdiri dari ptosis, miosis, enoftalmus dan

anhidrosis. Anhidrosis merupakan suatu gejala karena kuman lues menyerang

sistem persarafan, sehingga produksi minyak terhambat atau kurangnya produksi

minyak disebabkan oleh proses yang abnormal dikarenakan oleh kuman lues

tersebut. Gejala-gejala miosis, ptosis dan anhidrosis yang merupakan manifestasi

blokade aktivitas simpatik dikenal sebagai sidroma Horner’s.

Pada penyakit-penyakit hipertensi juga terdapat sindroma Horner’s yang

mencerminkan terputusnya serabut-serabut simpatetik servikal. Pada lesi vaskuler

parsial dapat terjadi bahwa kombinasi hemiparastesia parsilaris dan hemiataksia

ipsilateral saja yang ditemukan. Bila juga terjadi bahwa sindroma tersebut timbul

bersama dengan sindroma Hoerner’s.

Pada sindroma Horner, adanya suatu patologi dalam jalur simpatik

bermanifestasi sebagai miosis ipsilateral, ptosis parsial, enophthalmos dan

anhidrosis. Miosis ipsilateral, perbedaan sekitar 1-2 mm, terjadi karena kegagalan

dari otot dilator pupillae. Ptosis parsial, perbedaan sekitar 1-2 mm, merupakan

akibat dari kegagalan dari otot Muller. Enophtalmos disebabkan kegagalan

refraktor kelopak mata bawah yang belum sempurna, hal ini membuat mata

tampak lebih kecil. Penurunan sekresi kelenjar keringat, hanya pada gangguan

preganglionik dimana kelenjar keringat menerima suplai saraf melalui karotid

eksternal. 6,12

16

A.

B.

Gambar 9. Sindroma Horner pada mata kanan (A) dan mata kiri (B).11

2.3.4 Diagnosis

Diagnosis sindroma Horner dapat ditegakkan dengan penggunaan cocaine

topikal atau apraclonidine tetes. 13

Mekanisme kerja cocaine adalah dengan mengeblok reuptake norepinefrin

yang normalnya dilepaskan dari ujung–ujung saraf. Jika, terjadi gangguan pada

jalur simpatis, norepinefrin tidak dilepaskan, cocaine tidak mempunyai efek

adrenergik. Pupil yang terpengaruh pada pasien dengan sindroma Horner kurang

berdilatasi dengan cocaine dibanding pupil yang normal. Cocaine hydrochloride

10% diteteskan pada kedua mata dan setelah 60 menit, anisokoria semakin jelas,

karena pupil yang normal lebih berdilatasi dibanding pupil Horner. 13,14,15

Baru-baru ini, telah dianjurkan uji menggunakan Apraclonidine 0.5%

untuk mendiagnosis sindroma Horner sebagai pengganti cocaine. 30 menit

sesudah Apraclonidine topikal ke kedua mata, mata yang miosis dengan defek

okulosimpatis berdilatasi dan anisokoria membaik. Apraclonidine menyebabkan

perbaikan anisocoria dengan dilatasi pupil yang terpengaruh (yang lebih kecil)

dan tidak ada efek pada pupil normal. Pada pasien dengan anisokoria akibat

penyebab lain, seperti anisokoria fisiologis, tidak ada midriasis yang terjadi. 13,14,15

17

Tetes mata Hydroxyamphetamine 1% membantu menentukan letak lesi

pada sindroma Horner. Hydroxyamphetamine melepaskan norepinefrin dari

penyimpanan pada ujung-ujung saraf simpatis. Pengujian amat sederhana –

diameter kedua pupil diukur sebelum dan 40-60 menit sesudah

hydroxyamphetamine diteteskan pada kedua mata. Perubahan anisokoria pada

ruang terang dicatat. Jika pupil yang terpengaruh (yang lebih kecil) kurang

berdilatasi dibanding pupil normal, peningkatan anisokoria terjadi dan lesi

terdapat pada neuron postganglionik. Jika pupil yang lebih kecil sekarang

berdilatasi hingga menjadi lebih besar, lesi adalah preganglionik dan neuron

postganglionik intak.13,14,15

Investigasi Penyebab Sindroma Horner

Menguji pupil dengan tetes mata cocaine dapat mengkonfirmasi diagnosis

sindroma Horner. Hydroxyamphetamine 1% dapat digunakan membedakan lesi

sentral dan preganglionik dari postganglionik, bagaimanapun, dalam praktik

sehari-hari pengujian farmakologik jarang dilakukan. Akan tetapi, untuk

membedakan penyakit sentral, pre- dan postganglionik bergantung pada tanda-

tanda klinis yang ada. Sebagai contoh, seorang pasien dengan lesi pada sinus

kavernosus akan sering bersamaan dengan defisit neurologis yang mempengaruhi

berbagai derajat nervus kranialis III, IV, V, dan VI.1

Pada pasien yang diketahui memiliki keganasan paru menunjukkan gejala

berupa nyeri pada bahu dan lengan, sindroma Horner mungkin merupakan ciri

tambahan dari tumor Pancoast. kebanyakan pasien yang hadir dengan sindroma

Horner dalam isolasi tanpa tambahan. Gambaran klinis akan memiliki lesi

postganglionik atau mungkin idiopatik, yaitu, tidak ada kelainan pencitraan dapat

ditunjukkan. 1

Dalam suatu rangkaian kasus besar, 40% dari kasus sindroma Horner yang

tidak diketahui diagnosisnya, dianggap berhubungan dengan penyakit vaskular.

Dari sisa 270 pasien, 13% berhubungan dengan lesi sentral, 44% lesi

preganglionik, dan 43% lesi postganglionik. Pada anak, penyebab sindroma

Horner terutama berhubungan dengan kongenital atau lesi didapat/post-operasi. 1

a. Sentral

18

Penyebab sentral yang paling sering teridentifikasi adalah infark dari arteri

cerebellar posterior inferior atau penyumbatan arteri vetebralis distal yang

menghasilkan sindroma medullary lateral (gambar 10). Pasien ini juga

mengeluhkan vertigo, kesulitan menelan, mati rasa wajah unilateral, dan

kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada tungkai yang berlawanan. Tanda-tanda

sensoris atau motorik tersilang sangat mungkin dari sebuah lesi batang otak.

Patologi dalam otak tengah menghasilakan lumpuhnya saraf keempat

kontralateral. Tumor, trauma, stroke, dan penyakit vaskular lainnya, seperti

malformasi arteriovenosus, yang dapat meliputi otak dan spinal cord, semuanya

telah terlibat. Penyebab yang lebih jarang meliputi “acute disseminated

encephalomyelitis”. 1

Gambar 10. Infark cerebellar posterior inferior kanan. 1

Ket: Seorang pria 47 tahun menunjukkan secara mendadak sulit bicara/cadel,

nistagmus, kelemahan sisi kanan tubuh, dan sindroma Horner ipsilateral. 1

b. Preganglionik

Sindroma Horner preganglionik sering disebabkan oleh trauma atau tumor.

Avulsi akar saraf mengganggu jalur simpatik dapat menghasilkan gejala mencapai

distribusi plexus brachialis. Pada bayi baru lahir, penyebab iatrogenik seperti

persalinan dengan forcep dapat bertanggung jawab. Tumor di apeks (puncak)

paru-paru, tumor Pancoast dan tumor neurogenik (gambar 11) merupakan yang

paling sering berhubungan. Hal ini lebih sering ganas daripada jinak. 1

19

Penyebab lain termasuk paraganglioma dari rantai simpatik antara lain

kista hidatidosa, insersi drain intercostal, anestesi blok regional, simpatektomy,

aneurysma arteri subclavia, keganansan thyroid, dan prolaps discus. Digre et al.

Menyediakan protocol untuk investigasi magnetic resonance imaging (MRI) dari

sindroma Horner preganglionik. Cakupan seluruh tulang leher pada tiga pesawat

ortogonal direkomendasikan, untuk melibatkan tulang thorakal atas dan thoracic

inlet. Potongan koronal dengan dan tanpa supresi lemak dapat memberikan detail

dari setiap cedera pleksus brakhialis. Jika sebuah lesi apikal paru-paru atau sebuah

tumor dalam mediastinum atas atau leher depan dianggap mungkin diperlukan

axial contrast-enhanced computed tomography (CT). 1

Gambar 11. Neuroma apikal. 1

Ket : Seorang wanita 37 tahun dengan nyeri sisi kanan leher yang timbul gradual

dan sindroma Horner ipsilateral. (a) radiografi dada menunjukkan lesi massa pada

aspek medial dari apeks lobus kanan atas. (b) pencitraan CT reformat dengan

peningkatan kontras multiplanar parasagital oblique dari leher menunjukkan detail

kedua vaskular dan hubungan massa terhadap vetebra pada level tulang thorakal

atas. (c) MRI dengan T2-weighted parasagital oblique menunjukkan massa apikal

berukuran 4 cm. 1

c. Postganglionik

Sindroma Horner postganglionik dapat disebabkan oleh kondisi mulai dari

relatif sepele mengancam jiwa sampai yang mengancam jiwa. Nyeri sering

merupakan gejala yang menyertai. Distribusi anatomikal meluas dari arteri carotis

interna sampai ke basis kranii, sinus cavernosus dan apeks orbita. Penyebab

paling umum adalah diseksi arteri carotis spontan atau traumatik (gambar 12),

sering bersamaan dengan carotydynia (nyeri dari wajah dan leher). Thrombosis

20

dalam vessel merangsang hemiplegia kontralateral. Pasien dengan gangguan

jaringan ikat, seperti fibromuscular dysplasia atau sindrom Ehlerse Danlos,

mungkin lebih rentan. Baik tumor dan trauma dapat mengganggu saraf ketiga

dalam basis kranii dan sinus cavernosus (gambar 13). 1

Terjadinya kelumpuhan saraf kranial III, IV, V, dan VI menunjukkan

sebuah lesi dalam sinus cavernosus atau fissura orbita superior. Sebuah lesi apeks

orbita juga dapat menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai tambahan. Sakit

kepala tipe cluster dianggap merupakan akibat cedera serabut simpatik dalam

tulang canalis carotikus. Riwayat pasien sering tipikal; unilateral berat, sakit

kepala singkat yang terlokalisir ke area orbita, temporal dan pertengahan wajah

dimana pencitraan mungkin tidak membantu. Umumnya, pencitraan memiliki

hasil positif yang lebih besar pada penyakit postganglionik jika gejalanya akut

dibandingkan kronik. Angiografi digital dengan formal kateter merupakan teknik

yang berharga yntuk mendeteksi diseksi arteri carotis interna, tapi sedang

digantikan dengan magnetic resonance (MR) dan computed tomography (CT)

angiografi. MRI axial leher dengan T1-weighted, lemak ditekan dan magnetic

resonance angiography (MRA) akan mendeteksi sebagian besar diseksi arteri

karotis interna. 1

21

Gambar 12. Diseksi Arteri Carotis

Interna. 1

Ket : Seorang wanita berusia 50 tahun dengan carotydynia dan sindroma Horner

sisi kanan. (a) axial T2-weighted MRI setinggi basis kranii menunjukkan

perubahan sinyal tinggi menggantikan kekosongan aliran normal dalam arteri

carotis interna ekstrakranial kanan (panah putih). (b) axial T1-weighted enhanced

MRI menunjukkan diseksi flap dan sinyal tinggi dalam lumen yang menyempit. 1

Gambar 13. Metastasis Sinus Kavernosus. 1

22

Ket: Seorang pria berusia 55 tahun dengan riwayat karsinoma nasopharyngeal

berkembang menjadi sindroma Horner pada sisi kanan yang berhubungan dengan

ophthalmoplegia. (a) axial T1-weighted MRI dari kepala sampai setinggi basis

kranii menunjukkan massa jaringan lunak yang isointense terhadap otak mengisi

sinus cavernosus kanan dan meluas sepanjang dasar fossa kranial tengah.

Intracavernosus arteri carotis interna sebagian tertekan. (b) axial T1-weighted

MRI setelah intravena gadolinium menunjukkan peningkatan massa sinus

cavernosus.1

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Tergantung pada lokalisasi dan etiologi yang dicurigai, tes laboratorium

yang dapat dipertimbangkan dalam hubungannya dengan konsultasi medis yang

tepat, meliputi hitung sel darah lengkap, tes fluorescent treponemal antibody

absorption (FTA-ABS), tes Venereal Disease Research Laboratory (VDRL), tes

purified protein derivative (PPD), serta tes urine (sebagai contoh,

vanillylmandelic acid [VMA], homovanillic acid [HVA]) untuk menyingkirkan

neuroblastoma pada sindroma Horner anak. 2

b. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis dapat dilakukan bersamaan dengan konsultasi

medis tergantung dari lokalisasi dan etiologi yang dicurigai. Diantaranya termasuk

magnetic resonance imaging (MRI)/magnetic resonance angiography (MRA),

angiografi, ekstrakranial Ultrasonografi Doppler dan rontgen dada. 2

Radiografi dada sebaiknya dilakukan, karsinoma bronkogenik apikal

merupakan penyebab paling umum sindroma Horner. Jika stroke dicurigai,

computed tomography (CT) kepala diperiksa. 2

Sindroma Horner yang nyeri menunjukkan kemungkinan diseksi arteri

karotid, dan pasien harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut (misalnya,

MRI/MRA otak dan leher) untuk menyingkirkan kemungkinan ini. Diseksi arteri

karotid interna mengancam kehidupan dan menimbulkan resiko bahwa pasien

mungkin akan mengalami stroke. 2

23

Ultrasonografi dipertimbangkan tetapi ditemukan tidak reliabel untuk

mendiagnosis diseksi arteri karotid pada pasien dengan sindroma Horner. 2

2.3.6 Diagnosis Banding

Diagnosis utama untuk sindroma Horner adalah Argyll Robertson pupil.

Argyll Robertson pupil diakibatkan oleh cedera pada jalur parasimpatis sentral di

area periaquaduktus. Secara klasik, Argyll Robertson pupil merupakan tanda khas

dari penyakit meningovaskular sifilis (misalnya, neurosifilis, tabes dan parese

yang umum) dan sesekali dapat ditemukan pada ensefalitis batang otak,

alkoholisme, pinealoma dan diabetes mellitus yang lanjut. Argyll Robertson pupil

ditandai dengan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya, pupil tidak berkontraksi

meskipun cahaya terang dipancarkan ke mata. Miosis biasanya ada dan bilateral.

Ketika cocaine diteteskan ke mata, pupil akan berdilatasi pada sisi kontralateral.

Juga dijumpai dilatasi pupil yang tidak sempurna setelah penetesan atropine. 16

Kondisi-kondisi atau penyakit-penyakit lain yang dipertimbangkan sebagai

diagnosis banding sindroma Horner meliputi: pemakaian unilateral obat-obatan

miotikum dan keracunan obat-obatan sistemik, serta lesi pada pons. Obat-obatan

miotikum yang dapat menyebabkan miosis unilateral antara lain: pilocarpine,

neostigmine, physostigmine, carbachol, Methacholine, dan lain-lain. Sedangkan

keracunan obat-obatan sistemik menyebabkan miosis bilateral antara lain:

narcotika, barbiturat, phentolamine, meprobamate, kolinergik, mariyuana,

guanethidine, reserpine, dan lain-lain. Perdarahan intrapontine biasanya

berhubungan dengan pin-point pupil, kehilangan kesadaran, dan tetraparese

spastik dengan refleks yang meningkat.16

2.3.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang sesuai untuk sindroma Horner tergantung pada

etiologi yang mendasarinya. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengeradikasi

proses penyakit yang mendasarinya. Pada banyak kasus, bagaimana pun juga,

tatalaksana yang efektif tidak diketahui. 2

Intervensi pembedahan diindikasikan dan dilakukan berdasarkan etiologi

tertentu, termasuk diantaranya bedah saraf pada sindroma Horner yang terkait

24

aneurisma, dan juga bedah vaskular untuk penyebab seperti diseksi arteri karotis

atau aneurisma. 2

25

BAB III

PENUTUP

1. Sindroma Horner adalah suatu sindrom yang terdiri dari kelainan berupa

masuknya bola mata, ptosis kelopak mata atas, kelopak mata atas sedikit naik,

kontraksi dari pupil, penyempitan dari fissura palpebra, anhidrosis dan warna

kemerahan di sisi wajah yang sakit, disebabkan oleh paralisa saraf-saraf

simpatis servikal.

2. Sindroma Horner terutama disebabkan oleh adanya kerusakan pada jalur saraf

simpatis baik sentral, preganglionik maupun postganglionik.

3. Sindroma Horner preganglionik mengindikasikan keparahan patologi yang

mendasari dan berhubungan dengan insidensi tinggi malignansi. Keterlibatan

postganglionik mempunyai penyebab primer benigna.

4. Menguji pupil dengan tetes mata cocaine hydrochloride 10%dapat

mengkonfirmasi diagnosis sindroma Horner. 1% hydroxyamphetamine dapat

digunakan membedakan lesi sentral dan preganglionik dari postganglionik.

5. Bagaimana pun, dalam praktik sehari-hari pengujian farmakologik diagnostik

jarang dilakukan. Akan tetapi, untuk membedakan penyakit sentral, pre- dan

postganglionik bergantung pada tanda-tanda klinis yang ada.

6. Pemeriksaan radiologis dapat dilakukan bersamaan dengan konsultasi medis

tergantung dari lokalisasi dan etiologi yang dicurigai. Diantaranya termasuk

MRI/MRA, angiografi, ekstrakranial Ultrasonografi Doppler dan rontgen dada.

7. Penatalaksanaan yang sesuai untuk sindroma Horner tergantung pada etiologi

yang mendasarinya. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengeradikasi

proses penyakit yang mendasarinya. Pada banyak kasus, bagaimana pun juga,

tatalaksana yang efektif tidak diketahui.

8. Intervensi pembedahan diindikasikan dan dilakukan berdasarkan etiologi

tertentu, termasuk diantaranya bedah saraf pada sindroma Horner yang terkait

aneurisma, dan juga bedah vaskular untuk penyebab seperti diseksi arteri

karotis atau aneurisma.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. George A., Haydar A.A., Adams W.M., 2008. Imaging of Horner’s

Syndrome. United Kingdom: http://www.sepeap.org/archivos/pdf/10967.pdf.

2. Horner Syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/1220091-overview.

3. Tank, P.W., Gest, T.R., 2009. Lippincott Williams & Wilkins Atlas of

Anatomy. 1st Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 353-354.

4. Kanski, J.J., 2006. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 6th

Edition. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier.

5. Riordan-eva, P., Withcher, J.P., 2007. Vaughan and Asbury’s General

Opthalmology. 17th Edition. New York: McGraw Hill-Lange.

6. Crick, R.P., Khaw, P.T., 2003. Textbook of Clinical Ophthalmology. 3rd

Edition. New Jersey: World Scientific Publishing, 41-420.

7. Waxman, S.G., 2002. Clinical neuroanatomy: The Visual System. 25th

Edition. New Haven: Lange, 322-344.

8. Lang, Gerhard K, 2000. Ophtalmology: A Pockets Textbook Atlas. 2nd

Edition. New York: Thieme Stutgart, 389-391.

9. Ilustrasi sindrom Horner. http://ryosakai.net/horners-syndrome.

10. Dorland. 2006. Kamus Kedokteran. Edisi 29. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

11. Lang, Gerhard K, 2000. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas. 2nd

Edition. New York: Thieme Stuttgart, 229-230.

12. Ming, A.L.S., Constable, I.J., 2007. Color atlas of ophthalmology. 3rd

edition. New Jersey: World Scientific Publishing.

13. Smit, Derrick P. Pharmacological testing in Horner's syndrome - A new

paradigm. South African Medical Journal, S. Afr. med. j. vol.100 no.11 Cape

Town Nov. 2010.

14. American Academy of Ophtalmology, 2011. Pediatric Ophtalmology and

Strabismus Section 6. San Francisco: The Eye M.D. Association.

15. Wiggs et al., 2009. Yanofff and Duker Ophtalmology. 2nd Edition.

Philadelphia: Elvesier Inc.

27

16. Tsementzis, 2000. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery.

New York: Thieme Stuttgart, 85-92.

28