47
BAB I PENDAHULUAN Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan kematian. Prevalensi di negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi daripada negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 per 1000 orang dan 5-74 per 1000 orang di negara sedang berkembang. Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) di negara maju diperkirakan sekitar >0,9%, lebih tinggi dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Hal ini disebabkan insiden yang rendah dan angka harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi lebih tinggi berdasarkan jenis kelamin di negara Asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita. 1 Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini masih dianggap sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh yang kurang baik dari epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh obat anti epilepsi terhadap janin. Kehamilan berkaitan dengan peningkatan kadar estrogen dan 1

Refrat epilepsi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

refrat epilepsi

Citation preview

BAB I

PENDAHULUANEpilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan kematian. Prevalensi di negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi daripada negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 per 1000 orang dan 5-74 per 1000 orang di negara sedang berkembang. Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) di negara maju diperkirakan sekitar >0,9%, lebih tinggi dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Hal ini disebabkan insiden yang rendah dan angka harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi lebih tinggi berdasarkan jenis kelamin di negara Asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita.1Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini masih dianggap sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh yang kurang baik dari epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh obat anti epilepsi terhadap janin. Kehamilan berkaitan dengan peningkatan kadar estrogen dan progesteron yang bermakna serta perubahan metabolisme hormon dan obat antilepsi. Kedua hal tersebut akan memengaruhi frekuensi bangkitan. Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan meningkat selama hamil, dengan beberapa kemungkinan komplikasi-komplikasi pada saat kehamilan, persalinan dan pada janin.1 Dalam menghadapi kehamilan resiko tinggi seperti ini maka ibu hamil dengan epilepsi sebaiknya dibutuhkan penanganan secara terpadu antara ahli kebidanan dan ahli saraf agar dapat bebas dari serangan epileptik, serta ahli anak untuk memantau adanya gangguan perkembangan dan kelainan kongenital.2BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EPILEPSI

2.1.1 Definisi 12.1.1.1 Definisi konseptual Epilepsi

Kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial.

Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik.

Bangkitan epileptik

Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak2.1.1.2 Definisi operasional Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi / gejala berikut :

Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak waktu antarbangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam

Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi/bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi struktural dan epileptiform discharges)

Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi2.1.2.Etiologi

Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut :1. Idiopatik : tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.

2. Kriptogenik : dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lrnnox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

3. Simtomatis : bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.1Seorang anak dapat mewarisi epilepsi dari kedua orang tua. Risiko terkena epilepsi pada anak lebih tinggi jika ibu yang terkena epilepsi (2,9 8,7%) dibanding ayah yang terkena (1-3,6%). Risiko anak terkena epilepsi dari orang tua dengan epilepsi idiopatik yang terjadi sebelum usia 20 tahun yaitu sekitar 4%, dibandingkan dengan 0,5% pada populasi umum. Jika ada satu saudara yang menderita epilepsi sebelum usia 10, risiko meningkat menjadi 6%, jika salah satu orang tua dan saudara menderita epilepsi risiko sekitar 10%, dan jika salah satu orang tua memiliki epilepsi dan ada keluarga lain yang terkena epilepsi, risiko sekitar 15%. Waktu pertama kali orang tua terkena epilepsi juga mempengaruhi penurunan epilepsi pada anak. Jika orang tua terdiagnosis epilepsi sebelum usia 20 tahun maka risiko epilepsi pada anak sebesar 2,3-6%, sementara jika terkena diatas usia 20 tahun risiko sebesar 1-3,6%.2Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi.6,7,8Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi.2 2.1.3 Klasifikasi1Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981 dan tahun 1989.International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi): 1. Bangkitan parsial/fokal a. Bangkitan parsial sederhana (kesadaran baik)

- Dengan gejala motorik

- Dengan gejala sensorik

- Dengan gejala otonom

- Dengan gejala psikis

b. Bangkitan parsial kompleks (kesadaran terganggu) - Bangkitan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran

- Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder- Parsial sederhana yang menjadi umum- Parsial kompleks menjadi umum

- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks lalu menjadi umum 2. Bangkitan umum

a. Absence (Lena)- Tipikal lena

- atipikal lena b. Mioklonik

c. Klonik

d. Tonik

e. Atonik (Astatik)

f. Tonik-klonik

3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang lengkap). Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu

- Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak.

- Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua belahan otak.

Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah :

1. Fokal/partial (localized related) a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan) Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal spikes) Epilepsi benigna dengan gelombang paroksisimal pada daerah oksipital Epilepsi primer saat membaca ( primary reading epilepsy)

b. Simptomatik

- Epilepsi partial kontinu yang kronis progrsif pada anak-anak (Kojenikows Syndrome) - Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca) - Epilepsi lobus temporal

- Epilepsi lobus frontal

- Epilepsi lobus parital - Epilepsi lobus oksipital2. Epilepsi Umum

a. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai usia awitan) - Kejang neonatus familial benigna

- Kejang neonatus benigna

- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

- Epilepsi lena pada anak

- Epilepsi lena pada remaja

- Epilepsi mioklonik pada remaja

- Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga

- Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas - Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik b. Simptomatik atau kriptogenikn(berurutan sesuai dengan peningkatan usia) - Sindroma West (spasme infantil dan spasme salam)

- Sindroma Lennox Gastaut - Epilepsi mioklonik astatik

- Epilepsi mioklonik lena

c. Simtomatis - Etiologi non spesifik Ensefalopati mioklonik dini

Ensefalopati pada infantil dini dengan burst supression

Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas

- Sindrom spesifik

- Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum - Bangkitan neonatal - Epilepsi mioklonik berat pada bayi - Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam - Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner) - Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas

4. Sindrom khusus

- Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu

Kejang demam

Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut, atau toksik, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemia nonketotik

Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG).62.1.3 Patofisiologi

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.6Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah: Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory neurotransmitter.

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.3,4Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis - jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu1,2,6: Keadaaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis).18,19 Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.3,4 Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait : Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk menimbulkan bangkitan. Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron. Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.3,4Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.5Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain. 3,5Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.5 Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.42.2 PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP EPILEPSIKehamilan pada wanita penyandang epilepsi tergolong mempunyai faktor risiko tinggi. Banyak penelitian mengatakan terdapat peningkatan risiko komplikasi obstetrik pada wanita penyandang epilepsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Hal ini disebabkan adanya pengaruh kehamilan terhadap epilepsi dan sebaliknya, pengaruh epilepsi terhadap janin dan pengaruh obat anti epilepsi terhadap perkembangan janin.8,10,11Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi didapatkan sepertiga wanita akan mengalami peningkatan serangan epilepsi, sepertiga wanita akan mengalami perubahan serangan dan sepertiga wanita lagi akan mengalami penurunan frekuensi serangan.9 Beberapa peneliti lain mendapatkan pengaruh kehamilan terhadap epilepsi seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Pengaruh kehamilan terhadap frekuensi serangan epilepsi Studi (tahun)KehamilanPeningkatan (%)Tidak ada perubahanPenurunan (%)

Burnett (1946)1942526

Mc clure (1955)20552520

Sabin & Ozorn (1956)55335315

Klingman (1957)12061336

Knight & Rhind (1975)8445505

Total kehamilan298

Berat rata-rata (%)50428

Dikutip dari Donaldson dan Cartlidge 9Peningkatan frekuensi serangan epilepsi ini tidak ada hubungan dengan jenis serangan, usia wanita penyandang epilepsi, lama menderita epilepsi, obat anti epilepsi atau frekwensi serangan pada kehamilan yang lalu.9Wanita penyandang epilepsi yang makin sering mengalami serangan kejang setiap bulannya sebelum hamil, frekuensi serangannya akan meningkat selama kehamilan, sedangkan wanita penyandang epilepsi yang dalam waktu sembilan bulan tidak pernah kejang atau hanya satu kali, tidak akan mengalami peningkatan serangan kejang selama hamil. Penderita lebih dari dua tahun bebas serangan maka risiko timbulnya serangan epilepsi selama hamil menurun atau tidak timbul.9,10Wanita penyandang epilepsi yang sering mengalami serangan kejang umum atau fokal sebelum konsepsi akan lebih sering mengalami serangan selama kehamilan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa frekuensi serangan epilepsi meningkat pada waktu mengandung bayi laki-laki (64%) sedangkan waktu mengandung bayi perempuan (30%) tetapi beberapa peneliti lain tidak berpendapat demikian.2Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering terjadi pada kehamilan, terutama pada trimester I dan hanya sedikit meningkat trimester III. Meningkatnya frekuensi serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi selama kehamilan ini disebabkan oleh2,6,8,9 :A. Perubahan hormonal Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat secara bertahap selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ketiga. Sedangkan kadar hormon khorionik gonadotropin mencapai puncak pada kehamilan trimester pertama yang kemudian menurun terus sampai akhir kehamilan. Seperti diketahui bahwa serangan kejang pada epilepsi berkaitan erat dengan rasio estrogen-progesteron, sehingga wanita penyandang epilepsi dengan rasio estrogen-progesteron yang meningkat akan lebih sering mengalami kejang dibandingkan dengan yang rasionya menurun. Kerja hormon estrogen adalah menghambat transmisi GABA (dengan merusak enzim glutamat dekarboksilase). Sedangkan kita ketahui bahwa GABAmerupakan neurotransmiter inhibitorik, sehingga nilai ambang kejang makin rendah dengan akibat peningkatan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi. Sebaliknya kerja hormon progesteron adalah menekan pengaruh glutamat sehingga menurunkan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi.6,7,8 B. Perubahan metabolik

Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan retensi air dan garam serta perubahan metabolik seperti terjadinya perubahan metabolisme di hepar yang dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (terutama proses eliminasi), terjadinya alkalosis respiratorik dan hipomagnesemia. Keadaan ini dapat menimbulkan kejang, meskipun masih selalu diperdebatkan. C. Deprivasi tidur

Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan beberapa keadaan seperti rasa mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin dalam kandungan, nokturia akibat tekanan pada kandung kencing dan stress psikis. Semuanya ini dapat meningkatkan serangan kejang. Mual muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat mengganggu pencernaan dan absorbsi obat anti epilepsi. Dimethicone merupakan salah satu obat yang sering digunakan untuk hiperasiditas, gastritis, dyspepsia, ulkus duodenal dan abdominal distention dapat menurunkan absorbsi phenytoin sebanyak 71%. Kaolin menurunkan absorbsi sebanyak 60% dan magnesium trisilikat efeknya tidak nyata. Tonus lambung dan pergerakannya menurun pada kehamilan sehingga menghambat pengosongan lambung. D. Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi

Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa keadaan antara lain berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume distribusi, penurunan protein binding plasma, berkurangnya kadar albumin dan meningkatnya kecepatan drug clearance pada trimester terakhir. Penurunan serum albumin sesuai dengan bertambahnya usia gestasi mempengaruhi kadar plasma obat anti epilepsi, sehingga obat anti epilepsi yang terikat dengan protein berkurang dan menyebabkan peningkatan obat anti epilepsi bebas. Namun obat anti epilepsi ini akan cepat dikeluarkan sesuai dengan meningkatnya drug clearance yang disebabkan oleh induksi enzim mikrosom hati akibat peningkatan hormon steroid (estrogen dan progesteron). Pada umumnya dalam beberapa hari-minggu setelah partus kadar obat anti epilepsi akan kembali normal.E. Suplementasi asam folat

Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada penderita yang telah lama mendapat obat anti epilepsi, pada kehamilan trimester ketiga menjelang partus dan pada masa puerperium bagi ibu hamil yang sebelumnya tidak pernah mendapat suplemen asam folat. Wanita hamil dengan epilepsi lebih mungkin menjadi anemia 11% (anemia mikrositer), karena sebagian besar obat anti epilepsi yang dikonsumsi berperan sebagai antagonis terhadap asam folat dan juga didapatkan thrombositopenia.Suplementasi asam folat dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (phenytoin dan phenobarbital) sehingga mempengaruhi kadarnya dalam plasma. Namun dapat dikatakan tidak sampai meningkatkan jumlah serangan kejang.Rendahnya asam folat selama kehamilan mempunyai risiko terjadinya insiden abortus spontan dan anomali neonatal, gangguan perkembangan pada bayi yang dilahirkan.12 Jadi walaupun terdapat sedikit kekhawatiran terhadap pemberian asam folat namun dosis rendah minimal 0,4 mg/hari tiap hari secara teratur masih dianggap aman dan dapat dilanjutkan selama kehamilan pada wanita penyandang epilepsi. Dosis tinggi (4 mg/hari) diberikan pada wanita hamil yang sebelumnya melahirkan anak dengan kelainan neural tube defect, terutama wanita yang mendapat obat anti epilepsi asam valproat dan karbamazepin.12F. Psikologik (stres dan ansietas)

Stres dan ansietas sering berhubungan dengan peningkatan jumlah terjadinya serangan kejang. Keadaan ini sering disertai dengan gangguan tidur, hiperventilasi, gangguan nutrisi dan gangguan psikologik sekunder. G. Penggunaan alkohol dan zat

Penggunaan alkohol yang berlebihan akan menginduksi enzim hati dan menurunkan kadar plasma obat anti epilepsi (phenobarbital, phenytoin dan karbamazepin) sehingga timbul kejang. Disamping itu intoksikasi alkohol mapun obat-obatan terlarang akan menyebabkan gangguan siklus tidur normal sehingga meningkatkan frekuensi kejang. Hal lain yang meningkatkan frekuensi serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi selama kehamilan adalah faktor kesengajaan menghentikan makan obat karena takut efek obat terhadap janin yang dikandungnya. Dari penelitian terhadap 125 wanita hamil dengan epilepsi, 27% tidak meneruskan penggunaan obatnya dengan alasan ketakutan akan efek samping (termasuk teratogenik) dan kekhawatiran pengaruhnya pada bayi yang diberi ASI. Sebenarnya obat anti epilepsi di ASI jumlahnya relatif sedikit. Jadi pada wanita penyandang epilepsi, obat anti epilepsi bukanlah kontraindikasi untuk pemberian ASI.62.3 PENGARUH EPILEPSI DAN OBAT ANTI EPILEPSI TERHADAP KEHAMILAN DAN JANIN

2.3.1 Pengaruh terhadap kehamilan

Komplikasi serangan epilepsi pada kehamilan terjadi 1,5 sampai 4 kali, yaitu perdarahan pervaginam sekitar 7%-10% pada trimester I dan III, hiperemesis gravidarum sebagian besar akibat dosis tinggi obat anti epilepsi, herpes maternal ditemukan 6 kali lebih sering dan resiko timbulnya preeklampsia sebesar 50%.4Risiko pada ibu dapat terjadi trauma fisik, menurunnya kemampuan neuropsikologik dan kemungkinan untuk dilakukannnya seksio sesaria. Sedangkan kematian ibu hamil sewaktu serangan kejang sangat jarang sekali (di Inggris hanya sekitar 1 per tahun) dan penyebab kematian karena asfiksia pada saat serangan.11,15Pada wanita hamil penyandang epilepsi, insiden komplikasi eklampsia tidak meningkat, yang lebih sering ditemukan adalah preeklampsia.12 Eklampsia atau Pregnancy Induced Hypertension (PIH) adalah hipertensi ensefalopati yang mendadak timbul menyebabkan fibrinoid arterio nekrosis disertai perdarahan dengan akibat disrupsi atau kerusakan tunika media arteriola, merembesnya protein serum terjadilah edema vasogenik. Pada pemeriksaan CT Scan dan MRI kepala ditemukan edema difus dan perdarahan otak. Hal ini harus segera diatasi dengan menurunkan tekanan darah misalnya dengan Ca channel blocker, mengatasi edema dengan hiperventilasi dan pemberian kortikosteroid.6,15Tabel 2. Komplikasi maternal dan janin pada wanita hamil penyandang epilepsi Komplikasi maternal dan janinEpilepsiBukan epilepsi

Total kehamilan 371125.423

Hiperemesis gravidarum1-3%0,8%

Perdarahan pervaginam5,1%2,2%

Preeclampsia7,5%4,7%

Lahir dengan SC

EF/EV3,2%6,3%1,1%2,4%

Usia gestasi