Upload
estyjayanti
View
33
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
refrat bedah anakappendisitis akut pada anak
Citation preview
REFRAT BEDAH ANAK
APENDISITIS AKUT PADA ANAK
OLEH :
Esty Jayanti
G99142087
RESIDEN PEMBIMBING
dr. Saiful dr. Suwardi, SpB.SpBA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................3BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi.................................................................................................4
B. Fisiologi ................................................................................................6
C. Etiologi .................................................................................................7
D. Patofisiologi .........................................................................................9
E. Gejala klinis.........................................................................................11
F. Pemeriksaan fisik ................................................................................11
G. Diagnosis .............................................................................................15
H. Pemeriksaan penunjang........................................................................17
I. Diagnosis banding................................................................................18
J. Tatalaksana ..........................................................................................20
K. Komplikasi ..........................................................................................24
L. Prognosis .............................................................................................25
BAB III PENUTUP ..............................................................................................26DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………27
M.
2
BAB I
PENDAHULUAN
Apendiks disebut juga umbai cacing organ berbentuk tabung, panjangnya
kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit
dibagian proksimal dan melebar dibagian distal (Sjamsuhidajat, 2010).
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis
akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Di
Indonesia insidens apendisitis akut jarang dilaporkan Ruchiyat mendapatkan
insidens apendiksitis akut pada pria 242 sedang pada wanita 218 dari keseluruhan
460 kasus ( Taufik, 2011).
Hasil survey Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2008
Angka kejadian appendiksitis di sebagian besar wilayah indonesia hingga saat ini
masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien yang menderita penyakit apendiksitis
berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di 2 Indonesia atau sekitar 179.000
orang. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia,
apendiksitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa
indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidensi
apendiksitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan
abdomen lainya (Depkes, 2008). Jawa Tengah tahun 2009 menurut dinas
kesehatan jawa tengah, jumlah kasus appendiksitis dilaporkan sebanyak 5.980 dan
177 diantaranya menyababkan kematian. Jumlah penderita appendiksitis tertinggi
ada di Kota Semarang, yakni 970 orang. Hal ini mungkin terkait dengan diet serat
yang kurang pada masyarakat modern (Taufik, 2011).Komplikasi utama pada
apendisitis adalah perforasi apendiksyang dapatberkembang menjadi
peritonitisatau abses.Insidens perforasiberkisar 10%sampai 32%.Insidens lebih
tinggi pada anak kecil dan lansia (Smeltzer and Bare, 2002).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer
patch (analog dengan Bursa Fabricus) yang membentuk produk
immunoglobulin. Appendiks adalah suatu struktur kecil, berbentuk seperti
tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya
terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat
Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula
appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di
ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera,
taenia colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal
appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara
umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan (Van De
Graaff, 2001).
Gambar 1. Posisi appendix
4
Appendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks
(mesenteriolum) yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada
daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi arteri Apendikularis (cabang
arteri ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal.
Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh
appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil(Van De Graaff,
2001).
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu
mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan
sirkuler) dan serosa. Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya
membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar
dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan
appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat dan jaringan
elastik membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara
Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu
lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta
lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner
circular layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh
pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks.
Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari appendiks
(Gartner LP and Hiatt, 2002).
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi
minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat
antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan
menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup
ileosekal (Sadler, 2002).
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks
terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak
dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
5
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal,
yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral
kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks
(Van De Graaff, 2001).
Posisi appendiks
a) Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah
promontorium sacri
b) Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon
ascenden dan biasanya retroperitoneal.
c) Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.
d) Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang
caecum.
e) Pelvic descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis
minor
f) Retrocaecal : intraperitoneal atau retroperitoneal;
appendiks berputar ke atas ke belakang caecum.
Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral
pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus (Van De Graaff, 2001).
Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis, cabang
dari arteri Ileocecalis, cabang dari arteri Mesenterica superior. Arteri
Appendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami
gangren (Van De Graaff, 2001)
2. Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
6
sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan
pada patogenesis appendisitis (Guyton and Hall, 2006).
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan
bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks
adalahimunoglobulin A (IgA). Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks
tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi
di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
dan di seluruh tubuh. Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada
apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama
pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti
umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks
dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit (Guyton and Hall, 2006).
3. Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya
proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus
diantaranya Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan
cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal
dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
A. Faktor sumbatan (obstruksi)
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya
apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60%
obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringanlymphoid sub
mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan
sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan
cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui
pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya; fekalith
7
ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65%
pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90%
pada kasus apendisitis akut dengan ruptur.
B. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer
pada apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks
yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi,
karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah
kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu
Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes
splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi
adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.
C. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang
herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang,
vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi
apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan
makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat
dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan
obstruksi lumen.
D. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola
makanan sehari-hari.Bangsa kulit putih yang dulunya pola
makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara
yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang,
kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola
makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara
berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke
pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih
tinggi (Bashin, et al., 2007)
8
4. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan (obtruksi)
lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing,
striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas
lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat
meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan
salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi
peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau
terjadi perforasi.Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan
apendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi
mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks
bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan
perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat
berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.Bila sekresi
mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan
9
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang
dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum,
usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular.
Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh
dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.Pada anak-anak, karena omentum lebih
pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan
tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi
mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.Kecepatan
rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme,
daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang
lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini.
Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka
akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi
masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum
abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat
(bedrest).Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan
10
berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang
akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut (De Jong, 2004).
5. Gejala Klinis
A. Gejala klinis appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Secara klasik
nyeri timbul pertama kali ditengah bagian bawah epigastrium atau
daerah umbilicus, menetap, kadang disertai rasa kram yang
intermitten. Setelah periode 12 jam, biasanya antara 4-6 jam lokasi
nyeri terlokalisir di kuadran kanan bawah di titik McBurney. Kadang
tidakada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena mempermudah terjadinya perforasi.
B. Variasi letak appendiks akan menyebabkan letak nyeri yang bervariasi
juga. Appendiks yang terletak retrosekal akan menyebabkan nyeri peda
daerah sisi dan nyeri punggung, sedangkan appendiks yang terletak
pelvic akan menyebabkan nyeri pada suprapubis, serta yang terletak
retroileal dapat menyebabkan nyeri pada daerah testis.
C. Bila terjadi peritonitis, dapat ditemukan nyeri tekan yang difus,
defence muskuler, bising usus yang menurun atau hilang pada distensi
abdomen. Pasien juga sering mengeluhkan adanya sakit perut saat
batuk atau saat berjalan.
D. Anoreksia hampir selalu menyertai appendisitis.
E. Vomitus terjadi pada kira-kira 75% pasien tetapi tidak terus menerus,
sebagian besar pasien mengalami vomitus hanya 1-2 kali.
F. Obstipasi sebagian besar terjadi sebelum nyeri abdomen dan merasa
bahwa defekasi dapat mengurangi rasa nyeri perutnya. Diare dapat
terjadi pada beberapa pasien.
6. Pemeriksaan Fisik
11
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,50 C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu
aksilar dan rektal sampai 10C(Humes and Simpson, 2007).
a. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil
bungkuk dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan.
Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada
massa atau abses appendikuler.
b. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-
tanda peritonitis lokal yaitu:
Nyeri tekan di Mc. Burney
Nyeri lepas
Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietal.Pada appendiks
letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak
ada, yang ada nyeri pinggang.
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
Nyeri tekan kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri
dilepaskan (Blumberg)
Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti
nafas dalam, berjalan, batuk, mengejan.
Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat
dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah (Gartner LP and Hiatt,
2002).
c. Auskultasi
12
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang
karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat
appendisitis perforata.
d. Pemeriksaan colok dubur
Dari pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri
kuadran kanan pada jam 9-12. Pada appendisitis pelvika akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pada
apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
Colok dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas
dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan
untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila
apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan
untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil.
Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada
posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan
nyeri.
Gambar 2. Pemeriksaan rektal touche
e. Pemeriksaan tambahan
13
1. Psoas sign
Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan.
Pasien dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha
kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul /
pangkal paha kanan.Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks
yang mengalami peradangan kontak dengan otot psoas
yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).
Gambar 3. Pemeriksaan psoas sign
2. Tes Obturator
Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha
pasien difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai
bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi
samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi
femur kedalam.Dasar Anatomi dari tes obturator :
Peradangan apendiks dipelvis yang kontak dengan otot
obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.
14
Gambar 4. Pemeriksaan obturator sign
3. Tes rovsing’s sign
Dengan cara penekanan pada kuadran kiri bawah
menyebabkan refleks nyeri pada daerah kuadran kanan
bawah.
Gambar 5. Pemeriksaan rovsing’s sign
7. Diagnosis
Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan
hanya berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya
komunikasi antara anak, orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk
mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah
pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka appendiktomi negatif
sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30%. Salah satu upaya
15
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat
diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan
insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor
Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa
dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif. Alfredo Alvarado
tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga
tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada
temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis.
Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi
migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di
abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan, Temperatur lebih dari
37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan
bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-
masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan
jumlah skor 10 (Rezak, et al., 2011).
Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:
Manifestasi nilai
Simptom Nyeri yang berpindah 1
Mual 1
Muntah 1
tanda Nyeri pada perut kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan temperatur> 37,30C 1
laboratorium Pergeseran leukosit ke kiri (neutrofil > 75%) 1
Leukositosis> 10x103/L 2
Total point 10
Keterangan skor Alavarado:
16
Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point
Modified Alvarado score tanpa observasi of Hematogram:
1 s/d 4 : kemungkinan kecil appendisitis
5 / 6 : possible appendisitis
7 / 8 : appendisitis akut perlu pembedahan
9 / 10 : sangat possible appendisitis
Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
5 - 6 : observasi
7 – keatas : appendektomi
(Rezak, et al., 2011)
8. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada
kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan
komplikasi, C-reaktif protein meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED
akan meningkat.
2. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan
bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu
ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan
appendisitis.
b. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
c. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses.
Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding
seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
d. Barium enema
17
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi
dari appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat
akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk menegakkan
diagnosis appendisitis khronis. Dimana akan tampak pelebaran/penebalan
dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan
usus oleh fekalit.
e.CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga
dapat menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
f.Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang
dimasukan dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara
langsung. Teknik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila
pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks
maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks
(Saber and Ellabban, 2011).
9. Diagnosis Banding
A. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik
sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan dengan appendisitis.
B. Limfadenitis mesenterica
18
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai
dengan nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan
disertai dengan perasaan mual-muntah.
C. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak
jarang anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi,
appendiktomi insidental diindikasikan untuk menghilangkan gejala yang
membingungkan.
D. DHF
Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni,
leukopeni, rumple leed (+), hematokrit meningkat.
E. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang
kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau
adnecitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat
kontak sexual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri
perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada
colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri.
F. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan
perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan
mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vagina
didapatkan nyeri dan penonjolan di cavum Douglas, dan pada
kuldosentesis akan didapatkan darah.
G. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi
kadang-kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan
dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan
gejala-gejala appendisitis.
H. Batu ureter atau batu ginjal
19
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto
polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit
tersebut.
10. Tata Laksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses
atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan
sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak
masalah.
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula,
massa yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-
bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan
secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi
rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum,
massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera
menjadi abses yang jelas batasnya.
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah.
Masalah ini adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli
bedah akan mengoperasi untuk membuang apendiks yang mungkin
gangrene dari dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat
berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi
dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu
pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus
halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi
20
diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja.
Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang
dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan
diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya
peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat
dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat
ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses
apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya
angka leukosit.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan,
karena dikhawatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum.
Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat
penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis
sederhana tanpa perforasi (De Jong, 2004).
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut,
tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih
banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila
dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada
anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi
secepatnya.
21
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat
maka luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif
pada periapendikular infiltrat:
1. Total bed rest
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang
aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang,
yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah
terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah
6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun,
dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda
radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan
nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat,
tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy.
Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya
pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak
juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera
dibuka dan didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral
dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai
secara ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil
karena apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar
dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan
ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang
berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase
didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai
dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inch tiap hari.
Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk
mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di RT.
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang:
22
LED
Jumlah leukosit
Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila:
1. Anamesa: penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
2. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh
(diukur rectal dan aksiler)
Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada
tetapi lebih kecil dibanding semula.
3. Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
1. Bila LED telah menurun kurang dari 40
2. Tidak didapatkan leukositosis
3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah
tidak mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
Apakah penderita sudah bed rest total
Pemakaian antibiotik penderita
Kemungkinan adanya sebab lain.
4. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak
ada perbaikan, operasi tetap dilakukan.
5. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi
abses dan terapi adalah drainase.
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai
melalui insisi Mc Burney. Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis
akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui
laparotomi.7
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :
1. Cutis 6. MOI
23
2. Sub cutis 7. Musculus Transversus
3. Fascia Scarfa 8. Fascia transversalis
4. Fascia Camfer 9. Pre Peritoneum
5. Aponeurosis MOE 10. Peritoneum
Garis insisi pada appendektomi:
1. Insisi Gridiron
Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi parallel dengan otot
obliquus eksternal, melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang
menghubungkan spina iliaca anterior superior kanan dan umbilikus.
2. Lanz transverse incision
Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada garis
miklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih
baik dari pada insisi gridiron.
3. Insisi paramedian kanan bawah
Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di bawah umbilikus sampai
di atas pubis.
4. Insisi
Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis
umum.
5. Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney. Dilakukan jika apendiks
terletak di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.
11. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah
24
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan
apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah:
nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri
abdomen menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
Bising usus berkurang
Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal.
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri
masuk kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan
kematian.
12. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi
bila appendiks tidak diangkat.
25
BAB III
PENUTUP
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah
nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Sjamsuhidajat, 2010).
26
DAFTAR PUSTAKA
Amy Rezak, MD; Hussain M. A. Abbas, MD; Michael S. Ajemian, MD; Stanley J. Dudrick, MD; Edward M. Kwasnik, MD. 2011. Decreased Use of Computed Tomography With a Modified Clinical Scoring System in Diagnosis of Pediatric Acute Appendicitis. Arch Surg. 2011;146(1):64-67. doi:10.1001/archsurg.2010.297
Bashin SK et al.2007.Vermiform Appendix and Acute Appendicitis. JK Science.
De Jong W, Sjamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.
Depkes RI . 2008. Kasus Appendiksitis . diakses dari : http ://www.artikelkedokteran.com/arsip/kasus-appendiksitis-di-indonesiapada-tahun-2008.hmtl
Gartner LP, Hiatt JL. 2002.Color Textbook of Histology 3rd Ed. Massachusets: Saunders.
Guyton AC, Hall JE.2006.Textbook of Medical Physiology 11th Ed. Philadelphia: Saunders.
Humes DJ, Simpson J. 2007. Acute Appendicitis. BMJ
Khan I.2005. Application of Alvarado Scoring System in Diagnosis of Acute Appendicitis. J Ayub Medical Collection.
Saber, M. Gad and G. Ellabban. 2011. Patient Safety in Delayed Diagnosis of AcuteAppendicitis. Surgical Science, Vol. 2 No. 6, pp. 318-321
Sadler TW. 2002.Langman’s Medical Embriology 9th Ed. New York: Mc Graw Hill.
Sjamsuhidajat, R, De Jong, W. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo…(dkk). Jakarta: EGC.
Van De Graaff. 2001.Human Anatomy 6th Ed.New York: Mc Graw Hill.
27