REFEREAT DIARE

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat

Citation preview

BAB I

PENDAHULUANDiare masih merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortalitas anak di negara yang sedang berkembang. Dalam berbagai hasil Survei kesehatan Rumah Tangga diare menempati kisaran urutan ke-2 dan ke-3 berbagai penyebab kematian bayi di Indonesia1. Sebagian besar diare akut disebabkan oleh infeksi. Banyak dampak yang terjadi karena infeksi seluran cerna antara lain pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi sel epitel, penetrasi ke lamina propria serta kerusakan mikrovili dapat menimbulkan keadaan maldiges dan malabsorpsi2. Bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat pada akhirnya dapat mengalami invasi sistemik2.

Secara umum penanganan diare akut ditujukan untuk mencegah/menanggulangi dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, kemungkinan terjadinya intolerasi, mengobati kausa diare yang spesifik, mencegah dan menanggulangi gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta. Untuk melaksanakan terapi diare secara komprehensif, efisien dan efekstif harus dilakukan secara rasional. Pemakaian cairan rehidrasi oral secara umum efektif dalam mengkoreksi dehidrasi. Pemberian cairan intravena diperlukan jika terdapat kegagalan oleh karena tingginya frekuensi diare, muntah yang tak terkontrol dan terganggunya masukan oral oleh karena infeksi. Beberapa cara pencegahan dengan vaksinasi serta pemakaian probiotik telah banyak diungkap dan penanganan menggunakan antibiotika yang spesifik dan antiparasit3BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Menurut WHO tahun 1998, diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari. Sedangkan menurut Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, definisi diare berbeda pada neonatus dan bayi > 1 bulan serta anak. Neonatus dikatakan diare bila frekuensi BAB >4 kali, sedangkan bayi > 1 bulan dan anak dikatakan diare bila frekuensi BAB > 3 kali.

Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi BAB lebih dari 3-4 kali perhari, keadaan ini tidak dapat disebut diare tetapi masih bersifat fisiologis atau normal selama berat badan bayi meningkat normal. Hal demikian merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara ekslusif, definisi diare yang praktis adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang menurut ibunya tidak seperti biasanya. Kadang-kadang pada seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari tetapi konsistensinya cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare.

Diare akut didefinisikan sebagai abnormalitas tingginya kandungan air dalam feses, pada keadaan normal mendekati 10 ml/kg/hari pada bayi dan anak sedangkan pada remaja dan dewasa mendekati 200 g/hari. (Stefano, 2010)

Diare adalah kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih dari 3 kali/hari), serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 gram/hari) dan konsistensi feses cair (Suzanne C Smeltzer, th 2002)

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cairan (setengah padat) dengan demiikian kandungan air dalam tinja lebih banyak dari biasanya (normal 100-200 ml perjam tinja) (Sarwono waspadji, th 1996)Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat lebih dari 3x/hari dengan konsistensi tinja cair, bersifat mendadak, dan berlangsung dalam waktu kurang dari satu minggu (Mansjoer dkk, 1999).

Diare akut menurut Cohen4 adalah keluarnya buang air besar sekali atau lebih yang berbentuk cair dalam satu hari dan berlangsung kurang 14 hari. Menurut Noerasid5 diare akut ialah diare yang terjadi secara mendakak pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat. Sedangkan American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan diare dengan karakteristik peningkatan frekuensi dan/atau perubahan konsistensi, dapat disertai atau tanpa gejala dan tanda seperti mual, muntah, demam atau sakit perut yang berlangsung selama 3 7 hari6.

Menurut World Gastroenterology Organisation guidelines 2005, diare akut didefinisikan sebagai pasase tinja yang cair dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang dari 14 hari. Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.

Diare persisten didefinisikan sebagai berlanjutnya episode diare selama 14 hari atau lebih yang dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah (disentri). (WHO CDD, 1988)Diare persisten merupakan istilah yang dipakai di luar negeri yang menyatakan diare berlangsung 15-30 hari yang merupakan kelanjutan dari diare akut (peralihan antara diare akut dan kronik, dimana lama diare kronik yang dianut yaitu berlangsung lebih dari 30 hari). (IPD, 2006)Di lingkungan masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada dua jenis diare yang berlangsung 14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi.

B. Epidemiologi

Setiap tahun diperikirakan lebih dari satu milyar kasus diare di dunia dengan 3,3 juta kasus kematian sebagai akibatnya7. Diperkirakan angka kejadian di negara berkembang berkisar 3,5 7 episode per anak pertahun dalam 2 tahun pertama kehidupan dan 2 5 episode per anak per tahun dalam 5 tahun pertama kehidupan8. Hasil survei oleh Depkes. diperoleh angka kesakitan diare tahun 2000 sebesar 301 per 1000 penduduk angka ini meningkat bila dibanding survei pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk. Diare masih merupakan penyebab utama kematian bayi dan balita. Hasil Surkesnas 2001 didapat proporsi kematian bayi 9,4% dengan peringkat 3 dan proporsi kematian balita 13,2% dengan peringkat 29.

Di Indonesia dilaporkan bahwa setiap anak mengalami diare sebanyak 1-2 episode per tahun (Depkes, 2003). Berdasarkan survei demografi kesehatan indonesia tahun 2002-2003, prevalensi diare pada anak-anak dengan usia kurang dari 5 tahun di indonesia adalah laki-laki 10,8% dan perempuan 11,2%. Berdasarkan umur, prevalensi tertinggi terjadi pada usia 6-11 bulan (19,4%), 12-23 bulan (14,8%) dan 24-35 bulan (12%). (Biro pusat statistik, 2003)

C. Etiologi

Diare secara garis besar dibagi atas radang dan non radang. Diare radang dibagi lagi atas infeksi dan non infeksi. Diare non radang bisa karena hormonal, anatomis, obat-obatan dan lain-lain. Penyebab infeksi bisa virus, bakteri, parasit dan jamur, sedangkan non infeksi karena alergi, radiasi. (Lung. McGraw Hill, 2003).

Mekanisme penularan utama untuk patogen diare adalah fecal-oral, dengan air dan makanan yang merupakan penghantar untuk kerjadian terbanyak.

Bagan etiologi diare WHO :Adapun beberapa penyebab diare pada anak yaitu :

1. Infeksi

A. Virus

Ada beberapa jenis virus yang dapat menyebabkan diare akut, antara lain Rotavirus (sebanyak 40-60%), Norwalk virus, Adenovirus. Norwalk virus dan Adenovirus sering menyebabkan diare akut pada anak besar dan dewasa, sedangkan Rotavirus sering terjadi pada anak usia dibawah 5 tahun terutama usia dibawah 2 tahun.10

B. Bakteri

Ada beberapa bakteri yang menyebabkan diare akut pada anak :

E.Coli

Ada 5 subtipe yang menimbulkan diare akut. E. Coli ini merupakan penyebab kedua diare akut setelah Rotavirus dengan frekuensi 20-30%. Subtipe E. Coli tersebut adalah :

Entero Pathogenic E. Coli (EPEC)

EPEC melekat pada submukosa usus dengan cara khusus. Perlekatan setempat melekat longgar pada mikrovilli sel epitel melalui bangunan seperti tali disebut villi pembentuk berkas,disertai perlekatan pada selepitel melalui kerja gene eae. Perlekatan menyebabkan kenaikan kadar kalsium intraseluler dan polimerisasiaktin padat pada sisi perlekatan. Namun belum ada penjelasan mengapa perubahan sitoskeletal ini menyebabkan diare.10 Entero Toxigenic E. Coli (ETEC)

ETEC merupakan penyebab penting diare cair akut pada anak dan dewasa di negara berkembang. ETEC tidak masuk ke dalam mukosa usus namun diare yang terjadi disebabkan karena toksin. Ada dua jenis toksin ETEC yaitu toksin yang tidak tahan panas (LT) dan toksin yang tahan panas (ST). Toksin LT sangat mirip dengan toksin kolera, yakni akan terikat pada ganglioside GM1 pada dinding sel mukosa usus tapi ikatannya tidak sekuat toksin kolera. Kemudian setelah terikat akan mengaktifkan adenylate cyclase dengan cara mirip toksin kolera sehingga menyebabkan peningkatan sekresi cairan isotonik. Sedangkan toksin ST menimbulkan aksi yang sangat cepat dan tidak terikat pada ganglioside dari dinding sel mukosa, ST bekerja dengan mengaktifkan guanylate cyclase dan menghasilkan cGMP pada sel mukosa yang mengakibatkan peningkatan sekresi caitan isotonik.10 Entero Invasive E. Coli (EIEC)

Strain ini menimbulkan diare berdarah karena strain tersebut dapat menembus sel mukosa usus besar sehingga terjadi kerusakan dari mukosa usus. Akibatnya terjadi gangguan absorbsi cairan. Patogenesis EIEC ini hampir sama dengan Shigella.10 Entero Hemorrhagic E. Coli (EHEC)

Dua toksin utama dihasilkan oleh EHEC. Satu identik dengan shigatoksin, exotoksin Shigella Dysentriae serotipe 1 penghambat sintesis protein (SLT-1/VT-1). Kedua toksin lebih jauh terkait dengan Shigatoksin (SLT-II/VT-II). Kedua toksin menghambat sintesis protein dan mengakibatkan kematian sel. 10 Entero Aggregative E. Coli (EAEC)

Shigella

Di negara berkembang diperkirakan insidensi shigella sekitar 10% dari oenyebab diare akut tetapi di Indonesia hanya sekitar 1-2% saja. Ada 4 spesies yang sering menyebabkan diare akut yaitu : Shigella flexneri

Shigella sonnei

Shigella dysentriae

Shigella boydii

Shigella sp. menimbulkan diare berdarah (dysentriform diarrhea). 10 Campylobacter yeyuni

Di negara berkembang insidensinya berkisar antara 5-14%, di RSCM menemukan 5% penyebab diare akut pada tahun 1981. Campylobacter yeyuni juga menyebabkan diare berdarah (dysentriform diarrhea). 10 Salmonella sp.

Golongan Salmonella sp. yang menyebabkan diare akut disebut non Thyphoidal salmonellosis dan paling sering disebabkan oleh Salmonella paratyphii. Lima persen golongan Salmonella sp. ini menimbulkan diare berdarah.10 Yersinia

Merupakan bakteri penyebab diare akut berdarah atau dysentriform,di Indonesia belum diketahui frekuensinya karena belum ada penelitian mengenai hal ini karena susanya media untuk perbenihan. 10 Vibrio

Vibrio sering menimbulkan kejadian luar biasa diare akut. Ada 2 biotipe yaitu tipe ELTOR dan Classic dengan dua serotipe Ogawa dan Inaba. Insidensinya berkisar 1-2% dari diare akut.10C. Parasit

Entamoeba Histolytica.Insidensinya kurang dari 1% Giardia Lamblia. Biasanya menyerang anak usia 1-5 tahun.

Crytosporidium. Di negara berkembang frekuensinya antara 4-115. Sering terjadi pada penderita AIDS. 102. Malabsorbsi

Karbohidrat

Disakarida (laktosa, maltosa, sukrosa)

Monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa)

Lemak

Terutama Long Chain Triglyceride

Biasanya malabsorbsi karbohidrat disebabkan oleh defisiensi enzim laktase sehingga terjadi intoleransi laktosa. Malabsorbsi tersebut menyebabkan diare osmotik karena terjadi peningkatan tekanan osmotik lumen usus sehingga cairan tertarik dari intraseluler ke lumen usus. Jarang sekali diare akut disebabkan oleh malabsorbsi lemak atau protein. Malabsorbsi lemak bisa disebabkan karena lipolisis yang tidak memadai misalnya akibat insufisiensi pankreas, dan juga disebabkan penurunan garam-garam empedu terkonjugasi. 103. Alergi

Diantaranya yaitu :

Alergi susu

Alergi makanan

CMPSE (cows milk protein enteropathy). 104. Keracunan

Makanan yang mengandung zat kimia beracun Makanan mengandung mikroorganisme yang mengeluarkan toksin, misalnya : Clostridium spp, Staphylococcus spp.

5. Imunodefisiensi

Diare sering terjadi pada penderita AIDS. 106. Sebab Lain

Pemberian antibiotik, defek anatomis seperti malrotasi, Hisrchrsprungs disease dan Shor Bowel Syndrome.10. D. Patofisiologi

Menurut patofisiologinya diare dibedakan dalam beberapa kategori yaitu diare osmotik, sekretorik dan diare karena gangguan motilitas usus (IDAI, 2010).

Diare osmotik

Terjadi karena terdapatnya bahan yang tidak dapat diabsorpsi menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat perbedaan tekanan osmosis antara lumen usu dan darah maka pada segmen usus jejunum yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah lumen jejunum sehingga air akan banyak terkumpul di dalam lumen usus. Natrium akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar natrium yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan tetapi lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak diserap seperti Mg, Glukose, sukrose, laktose, maltose di segmen ileum dan melebihi kemampuan absorpsi kolon sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dari jus buah atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan akan memberikan dampak yang sama. Diare sekretorik

Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy serta asam lemak rantai panjang.

Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP atau Ca2+ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase. Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk ke dalam lumen usus bersama Cl-.

Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase. Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler, meningkatkan permeabilitas intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat menyebabkan sekresi intestinal. Penyakit malabropsi seperti reseksi ileum, penyakit Crohn dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi garam empedu, lemak.

Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang umumnya disebabkan enterotoksin E.Coli atau Cholera. Berbdeda dengan negara berkembang di negara maju, diare sekretorik jarang ditemukan, apabila ada kemungkinan disebabkan obat atau tumor seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP. Pada orang dewasa, diare sekretorik berat disebabkan neoplasma pankreas, sel non-beta yang menghasilkan VIP, polipeptida pankreas, hormon sekretorik lainnya. Diare yang disebabkan tumor ini sangat jarang.

Diare karena gangguan motilitas usus

Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorpsi tetapi perubahan motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorpsi. Baik peningkatan ataupun penurunan motilitas, keduanya menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau nutrisi akan meningkatkan absopsi. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsopsi. Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena hipermotilitas pada kasus kolon irritable pada bayi. Gangguan motilitas mungkin merupakan penyebab diare pada tirotoksikosis, malabsopsi asam empedu dan penyakit lain. Diare ini juga terjadi akibat adanya gangguan pada kontrol otonomik, misal pada diabetik neuropathi, post vagotomi, post reseksi usus serta hipertiroid.7

Diare terkait imunologi

Diare terkait iunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III, dan IV. Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen makanan. Reaksi tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan reaksi tipe IV terdapat pada coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang selanjutnya akan diikat oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Bila terjadi aktivasi akibat pajanan berulang dengan antigen yang spesifik, sel mast akan melepaskan mediator seperti histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. Pada reaksi tipe III terjadi reaksi kompleks antigen antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah yang mengakibatkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan Macrophage Chemotactic Factor yang akan merangsang sel mast dan basofil melepas berbagai mediator. Pada reaksi tipe IV terjadi respon imun seluler, disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari luar dipresentasikan sel APC (Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang MHC-II dependen. Terjadi pelepasan berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan INF- oleh Th1. Sitokin tersebut akan mengaktivasi makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan.Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang akibat kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan air.

Alergi susu sapi

Bahan yang dipergunakan untuk membuat susu formula sebagian besar berasal dari susu hewani terutama sapi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa sekitar 2%-3% anak usia di bawah 2 tahun mengalami alergi terhadap susu sapi terutama terhadap kandungan proteinnya.

Protein di susu sapi berada dalam bentuk yang disebut dengan kasein sebanyak 80% dan whey (20%). Paling sering berperan sebagai elergen (yang menyebabkan elergi) adalah protein dalam bentuk kasein, alfa laktalbumin, beta laktoglobulin, beta serum albumin, dan gamma globulin.

Mulai terjadinya alergi susu sapi terutama pada tahun-tahun pertama kehidupan bayi, dan akan tampak lebih jelas sewaktu bayi mulai disapih. Gejala klinis yang muncul sangat bervariasi mulai dari yang ringan sampai berat, dan mulai munculnya gejala dapat cepat terlihat setelah beberapa menit meminum atau memakan bahan makanan yang terbuat dari susu sapi atau setelah beberapa jam kemudian. Gejala klinis yang paling sering muncul adalah diare yang berkepanjangan, dapat disertai kram, kolik (sakit perut yang periodik) dan muntah.

Diare alergi susu sapi dapat juga muncul pada bayi-bayi yang meminum ASI yang di dalam diet ibunya mengandung susu sapi karena alergen protein susu sapi dapat melewati ASI.

Gejala diare oleh alergi susu sapi harus dibedakan dengan diare yang disebabkan oleh intoleran susu sapi (tidak diterimanya susu) oleh susu bayi, terutama intoleran terhadap laktosa, yaitu karbohidrat utama yang terdapat di dalam susu.

Diare karena intoleran laktosa disebabkan karena kekurangan enzim laktase di dalam saluran cerna bayi, yang berperan menghidrolisis (mengubah) laktosa yang ada di dalam susu menjadi glukosa dan galaktosa (gula susu) yang mudah diserap oleh usus bayi.

Kekurangan enzim laktase dapat terjadi primer yaitu dibawa sejak lahir, atau didapat setelah lahir seperti bayi yang lahir sebelum cukup bulan (prematur), setelah diare mendadak yang disebabkan infeksi seperti infeksi virus yang menyebabkan rusaknya mukosa (permukaan usus) yang berperan memproduksi enzim laktase.

Mekanisme diare alergi susu sapi berbeda dengan diare yang disebabkan intoleran laktosa, bukan karena kekurangan enzim laktase, tetapi terjadi melalui perantaraan reaksi imunologik tubuh (zat anti dari sistem pertahanan tubuh) terhadap protein susu.

Reaksi ini akan melepaskan bahan-bahan yang disebut dengan mediator (seperti histamin, prostaglandin, leukotrin) yang menimbulkan gejala klinis tergantung dari organ tempat terjadinya reaksi tersebut. Bila menyerang saluran cerna, gejala yang paling sering muncul adalah diare yang bisa terjadi berkepanjangan selama meminum atau memakan makanan yang berasal dari susu sapi, dapat pula disertai gejala kolik, kran, mual, dan muntah.

Di samping melepaskan bahan-bahan mediator, reaksi imunologik yang terjadi dapat pula menyebabkan kerusakan (peradangan) pada mukosa usus yang disebut dengan proktitis, enterokolitis dengan gejala diare yang dapat bercampur darah.

Bila didapatkan gejala-gejala sepeti yang telah dijelaskan dari susu sapi, maka segeralah berkonsultasi dengan dokter spesialis anak.

Mekanisme primer yang menyebabkan diare akut adalah

1. Rusaknya vili-vili disekitar daerah brush border usus halus, yang menyebabkan malabsorbsi yang menyebabkan diare karena gangguan osmotik.

2. Kuman yang melepaskan toksin yang berkaitan dengan enterosit reseptor yang spesifik yang menyebabkan terlepasnya ion klorida ke dalam membran intestinal sehingga menyebabkan gangguan absorbsi kemudian diare. (Santoso, 2001).Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang masuk melalui makanan dan minuman sampai ke enterosit, akan menyebabkan infeksi dan kerusakan villi usus halus. Enterosit yang rusak diganti dengan yang baru yang fungsinya belum matang, villi mengalami atropi dan tidak dapat mengabsorpsi cairan dan makanan dengan baik, akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan meningkatkan motilitasnya sehingga timbul diare.4,7

Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bekteri ini dapat menembus (invasi) sel mukosa usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik. Toksin shigella juga dapat masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri. 5,7

E. Manifestasi Klinis

Mula-mula anak cengeng, gelisah, suhu tubuh naik, nafsu makan berkurang kemudian timbul diare. Tinja mungkin disertai lendir dan darah. Daerah anus dan sekitarnya timbul luka lecet karena sering defekasi dan tinja yang asam akibat laktosa yang tidak diabsorbsi usus selama diare. Gejala muntah dapat timbul sebelum atau selama diare dan dapat disebabkan karena lambung turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.

Bila kehilangan cairan terus berlangsung tanpa pergantian yang memadai maka gejala dehidrasi mulai tampak yaitu berat badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun cekung (bayi), selaput lendir bibir, mulut, dan kulit kering. Bila keadaan ini terus berlanjut maka akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala takikardi, denyut jantung menjadi cepat, nadi lemah dan tidak teraba, tekanan darah turun, pasien tampak lemah dan kesadaran menurun, diuresis berkurang.

Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit dan sering disertai dengan asidosis metabolik karena kehilangan basa, bila hal ini terjadi maka pasien akan tampak pucat, napas cepat dan dalam (Kusmaul). Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan elektrolit. Pada dehidrasi ringan terjadi kehilangan cairan kurang dari 5%, Pada dehidrasi sedang terjadi kehilangan cairan antara 5%-10% dan pada dehidrasi berat terjadi kehilangan cairan lebih dari 10%.7,15

Derajat DehidrasiGejala & TandaKeadaan UmumMataMulut/ LidahRasa HausKulit% Penurunan BBEstimasi def. cairan

Tanpa DehidrasiBaik, SadarNormalBasahMinum Normal, Tidak HausDicubit kembali cepat< 550 cc

Dehidrasi Ringan SedangGelisah RewelCekungKeringTampak KehausanKembali lambat5 1050100

Dehidrasi BeratLetargik, Kesadaran MenurunSangat cekung dan keringSangat keringSulit, tidak bisa minumKembali sangat lambat>10100 cc

Sumber : Sandhu 200116

Penentuan derajat dehidrasi menurut WHOPenilaian Tanpa DehidrasiDehidrasi ringan sedangDehidrasi Berat

Keadaan UmumBaik, Sadar*Gelisah, Rewel*Lesu, Lunglai/ Tidak Sadar

Mata NormalCekungSangat Cekung

Air MataAda Tidak AdaKering

Mulut dan LidahBasahKeringSangat Kering

Rasa HausMinum biasa tidak haus*Haus ingin minum banyak*Malas minum/ tidak bisa minum

Periksa Turgor KulitKembali Cepat*Kembali Lambat*Kembali sangat lambat

Hasil PemriksaanTanpa dehidrasiDehidrasi ringan sedang/Bila ada 1 tanda* ditambah 1 atau lebih tanda lainDehidrasi BeratBila ada 1 tanda* ditambah 1 atau lebih tanda lain.

Terapi Rencana terapi ARencana terapi BRencana terapi C

Berdasarkan konsentrasi Natrium plasma tipe dehidrasi dibagi 3 yaitu : dehidrasi hiponatremia ( < 130 mEg/L ), dehidrasi iso-natrema ( 130m 150 mEg/L ) dan dehidrasi hipernatremia ( > 150 mEg/L ). Pada umunya dehidrasi yang terjadi adalah tipe iso natremia (80%) tanpa disertai gangguan osmolalitas cairan tubuh, sisanya 15 % adalah diare hipernatremia dan 5% adalah diare hiponatremia.

Kehilangan bikarbonat bersama dengan diare dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan anion gap yang normal (8-16 mEg/L), biasanya disertai hiperkloremia. Selain penurunan bikarbonat serum terdapat pula penurunan pH darah, kenaikan pCO2. Hal ini akan merangsang pusat pernapasan untuk meningkatkan kecepatan pernapasan sebagai upaya meningkatkan eksresi CO2 melalui paru (pernapasan Kussmaul). Untuk pemenuhan kebutuhan kalori terjadi pemecahan protein dan lemak yang mengakibatkan meningkatnya produksi asam sehingga menyebabkan turunnya nafsu makan bayi. Keadaan dehidrasi berat dengan hipoperfusi ginjal serta eksresi asam yang menurun dan akumulasi anion asam secara bersamaan menyebabkan berlanjutnya keadaan asidosis.17

Kadar kalium plasma dipengaruhi oleh keseimbangan asam basa sehingga pada keadaan asidosis metabolik dapat terjadi hipokalemia. Kehilangan kalium juga melalui cairan tinja dan perpindahan K+ ke dalam sel pada saat koreksi asidosis dapat pula menimbulkan hipokalemia. Kelemahan otot merupakan manifestasi awal dari hipokalemia, pertama kali pada otot anggota badan dan otot pernapasan. Dapat terjadi arefleks, paralisis dan kematian karena kegagalan pernapasan. Disfungsi otot harus menimbulkan ileus paralitik, dan dilatasi lambung. EKG mnunjukkan gelombang T yang mendatar atau menurun dengan munculnya gelombang U. Pada ginjal kekurangan K+ mengakibatkan perubahan vakuola dan epitel tubulus dan menimbulkan sklerosis ginjal yang berlanjut menjadi oliguria dan gagal ginjal.7Diare pada Anak HIV

Diare persisten merupakan salah satu manifestasi klinis yang banyak dijumpai pada penderita HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih tinggi pada anak-anak dengan HIV seropoditif. Faktor penting yang meningkatkan kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode diare akut sebelumnya. setiap episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5 kali untuk terjadinya diare persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan bahwa skrining yang dilakukan di India menunjukkan 4,1% anak dengan diare persisten berstatus HIV seropositif.

Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA sekretorik dan peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan bakteri.F. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan tinja

Makroskopik

Tinja yang watery dan tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau infeksi diluar saluran gastrointestinal.

Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti E. histolytica, B. coli, dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E. histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides.

MikroskopikLeukosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon. Leukosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasif atau kuman yang memproduksi sitokin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, C. difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P. shigelloides. Leukosit yang ditemukan umumnya adalah PMN kecuali pada S. typhii mononuklear.Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome, diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare dan pada penderita immunocompromised.

2. Pemeriksaan darah: darah perifer lengkap, analisis gas darah dan elektrolit (terutama Na, K, Ca, dan P serum pada diare yang disertai kejang), kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotik.3. Duodenal intubation (biopsi duodenum), untuk mengetahui kuman penyebab secara kuantitatif dan kualitatif terutama pada diare kronik yang disebabkan Giardiasis, Strongyloides, dan protozoa yang membentuk spora.

G. Tata laksana

Pengantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting dalam terapi efektif diare akut.6 Beratnya dehidrasi secara akurat dinilai berdasarkan berat badan yang hilang sebagai persentasi kehilangan total berat badan dibandingkan berat badan sebelumnya sebagai baku emas.18

Pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau parateral. Pemberian secara oral dapat dilakukan untuk dehidrasi ringan sampai sedang dapat menggunakan pipa nasogastrik, walaupun pada dehidrasi ringan dan sedang. Bila diare profus dengan pengeluaran air tinja yang banyak ( > 100 ml/kgBB/hari ) atau muntah hebat (severe vomiting) sehingga penderita tak dapat minum sama sekali, atau kembung yang sangat hebat (violent meteorism) sehingga upaya rehidrasi oral tetap akan terjadi defisit maka dapat dilakukan rehidrasi parenteral walaupun sebenarnya rehidrasi parenteral dilakukan hanya untuk dehidrasi berat dengan gangguan sirkulasi15. Keuntungan upaya terapi oral karena murah dan dapat diberikan dimana-mana. AAP merekomendasikan cairan rehidrasi oral (ORS) untuk rehidrasi dengan kadar natrium berkisar antara 75-90 mEq/L dan untuk pencegahan dan pemeliharaan dengan natrium antara 40-60mEq/L.11 Anak yang diare dan tidak lagi dehidrasi harus dilanjutkan segera pemberian makanannya sesuai umur6. Menurut buku pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, WHO tahun 2005, penatalaksanaan diare dibagi menjadi 3 rencana terapi yakni rencana terapi A untuk penanganan diare di rumah, rencana terapi B untuk dehidrasi ringan/sedang, terapi C untuk dehidrasi berat.

Rencana Terapi A Oralit yang harus diberikan sebagai tambahan bagi kebutuhan cairannya sehari-hari : < 2 tahun : 50-100 ml tiapkali BAB

>2 tahun : 100-200ml tiap BAB

Beri tablet Zink

Pada anak berumur 2 bulan ke atas, beri tablet zink selama 10 hari dengan dosis

Umur < 6 bulan : tablet (10 mg) per hari

Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari

Rencana Terapi B

(Dehidrasi Ringan Sedang)Rehidrasi pada dehidrasi ringan dan sedang dapat dilakukan dengan pemberian oral sesuai dengan defisit yang terjadi namun jika gagal dapat diberikan secara intravena sebanyak : 75 ml/kgBB/3jam. Pemberian cairan oral dapat dilakukan setelah anak dapat minum sebanyak 5ml/kgbb/jam. Biasanya dapat dilakukan setelah 3-4 jam pada bayi dan 1-2 jam pada anak . Penggantian cairan bila masih ada diare atau muntah dapat diberikan sebanyak 10ml/kgbb setiap diare atau muntah.17Beri tablet zink selama 10 hari dengan dosis yang sama seperti pada rencana terapi A.Meskipun belum terjadi dehidrasi berat tetapi bila anak sama sekali tidak bisa minum oralit mislanya karena anak muntah profus, dapat diberikan infus dengan intravena secepatnya.Berikan 70 ml/kg BB cairan RL / Ringer Asetat (atau jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut : Bayi (dibawah 12 bulan) : 70 ml/kgBB/5 jam

Anak (12 bulan sampai 5 tahun) : 70 ml/kgBB/2,5 jam

(Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, WHO, 2009)

Secara ringkas kelompok Ahli gastroenterologi dunia memberikan 9 pilar yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan diare akut dehidrasi ringan sedang pada anak, yaitu12 :

1. Menggunakan CRO ( Cairan rehidrasi oral )

2. Cairan hipotonik

3. Rehidrasi oral cepat 3 4 jam

4. Realiminasi cepat dengan makanan normal

5. Tidak dibenarkan memberikan susu formula khusus

6. Tidak dibenarkan memberikan susu yang diencerkan

7. ASI diteruskan

8. Suplemen dengan CRO ( CRO rumatan )

9. Anti diare tidak diperlukan Rencana Terapi CPenderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan anak dan menunjukkan gangguan tanda-tanda vital tubuh (somnolen-koma, pernafasan Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi) memerlukan pemberian cairan elektrolit parenteral. Penggantian cairan parenteral menurut panduan WHO diberikan sebagai berikut 12,15,17 :Usia 12 bln: 30ml/kgbb/1/2 jam, selanjutnya 70ml/kgbb/2 jam

Pada keadaan dehidrasi berat dan syok maka dilakukan rehidrasi parenteral 20 -30 ml/kg BB, kemudian evaluasi 30 - 60 menit, bila hemodinamik stabil maka rehidrasi sesuai dehidrasi berat. (Depkes RI)Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan penderita akan kalori, namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya menyangkut waktu yang pendek. Apabila penderita telah kembali diberikan diet sebagaimana biasanya . Segala kekurangan tubuh akan karbohidrat, lemak dan protein akan segera dapat dipenuhi. Itulah sebabnya mengapa pada pemberian terapi cairan diusahakan agar penderita bila memungkinkan cepat mendapatkan makanan / minuman sebagai biasanya bahkan pada dehidrasi ringan sedang yang tidak memerlukan terapi cairan parenteral makan dan minum tetap dapat dilanjutkan.18

Rencana Terapi C (Dehidrasi berat)

Pemilihan jenis cairan

Cairan Parenteral dibutuhkan terutama untuk dehidrasi berat dengan atau tanpa syok, sehingga dapat mengembalikan dengan cepat volume darahnya, serta memperbaiki renjatan hipovolemiknya. Cairan Ringer Laktat (RL) adalah cairan yang banyak diperdagangkan dan mengandung konsentrasi natrium yang tepat serta cukup laktat yang akan dimetabolisme menjadi bikarbonat. Namun demikian kosentrasi kaliumnya rendah dan tidak mengandung glukosa untuk mencegah hipoglikemia. Cairan NaCL dengan atau tanpa dekstrosa dapat dipakai, tetapi tidak mengandung elektrolit yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup. Jenis cairan parenteral yang saat ini beredar dan dapat memenuhi kebutuhan sebagai cairan pengganti diare dengan dehidrasi adalah Ka-EN 3B.16 Sejumlah cairan rehidrasi oral dengan osmolaliti 210 268 mmol/1 dengan Na berkisar 50 75 mEg/L, memperlihatkan efikasi pada diare anak dengan kolera atau tanpa kolera.19

Komposisi cairan Parenteral dan Oral :

Osmolalitas(mOsm/L)Glukosa(g/L)Na+(mEq/L)CI-(mEq/L)K+(mEq/L)Basa(mEq/L)

NaCl 0,9 %308-154154--

NaCl 0,45 %+D5428507777--

NaCl 0,225%+D52535038,538,5--

Riger Laktat273-1301094Laktat 28

Ka-En 3B29027505020Laktat 20

Ka-En 3B2643830288Laktat 10

Standard WHO-ORS311111908020Citrat 10

Reduced osmalarity WHO-ORS24570756520Citrat 10

EPSGAN recommendation21360607020Citrat 3

Komposisi elektrolit pada diare akut :

MacamKomposisi rata-rata elektrolit mmol/L GLUKOSA mmol/L

NaKClHCO3

Diare Kolera 101279232

Diare Non Kolera 56255514

Rotavirus2644177

Larutan Oralit 75 20 65Citrat 10 75

Sumber : Ditjen PPM dan PLP,199920Antisekretorik - Antidiare Salazer lindo E dkk 22 dari Department of Pedittrics, Hospital Nacional Cayetano Heredia, Lima, Peru, melaporkan bahwa pemakaian Racecadotril ( acetorphan ) yang merupakan enkephalinace inhibitor dengan efek anti sekretorik serta anti diare ternyata cukup efektif dan aman bila diberikan pada anak dengan diare akut oleh karena tidak mengganggu motilitas usus sehingga penderita tidak kembung. Bila diberikan bersamaan dengan cairan rehidrasi oral akan memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan hanya memberikan cairan rehidrasi oral saja. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Cojocaru dkk dan cejard dkk. Untuk pemakaian yang lebih luas masih memerlukan penelitian lebih lanjut yang bersifat multi senter dan melibatkan sampel yang lebih besar.23

Tidak ada bukti klinis dari anti diare dan anti motilitis dari beberapa uji klinis.18 Obat anti diare hanya simtomatis bukan spesifik untuk mengobati kausa, tidak memperbaiki kehilangan air dan elektrolit serta menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Antibiotik yang tidak diserap usus seperti streptomisin, neomisin, hidroksikuinolon dan sulfonamid dapat memperberat yang resisten dan menyebabkan malabsorpsi.21 Sebagian besar kasus diare tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotika oleh karena pada umumnya sembuh sendiri (self limiting).12 Antibiotik hanya diperlukan pada sebagian kecil penderita diare misalnya kholera shigella, karena penyebab terbesar dari diare pada anak adalah virus (Rotavirus). Kecuali pada bayi berusia di bawah 2 bulan karena potensi terjadinya sepsis oleh karena bakteri mudah mengadakan translokasi kedalam sirkulasi, atau pada anak/bayi yang menunjukkan secara klinis gajala yang berat serta berulang atau menunjukkan gejala diare dengan darah dan lendir yang jelas atau segala sepsis15. Anti motilitis seperti difenosilat dan loperamid dapat menimbulkan paralisis obstruksi sehingga terjadi bacterial overgrowth, gangguan absorpsi dan sirkulasi.21

Beberapa antimikroba yang sering dipakai antara lain (WHO, 2006)

Kolera :

Tetrasiklin 12,5 mg/kg/x (4 x sehari selama 3 hari)

Eritromisin 12,5 mg/kg/x (4 x sehari selama 3 hari)

Shigella :

Ciprofloxasin 15 mg/ kgBB (2 x sehari selama 3 hari)

Amebiasis:

Metronidasol 10mg/kg/x (3 x sehari selama 5 hari / 10 hari pada kasus berat)

Giardiasis :

Metronidasol 5mg/kg/x (3 x sehari selama 5 hari)

Seng (Zinc)

Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara berkembang dan dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun dan meningkatnya kejadian infeksi yang serius. Seng merupakan mikronutrien komponen berbagai enzim dalam tubuh, yang penting untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT, seng dapat menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi diare sampai 25%. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg/hari selama 10-14 hari dan pada bayi< 6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama 10-14 hari.ProbiotikProbiotik merupakan bakteri hidup yang mempunyai efek yang menguntungkan pada host dengan cara meningkatkan kolonisasi bakteri probiotik didalam lumen saluran cerna sehingga seluruh epitel mukosa usus telah diduduki oleh bakteri probiotik melalui reseptor dalam sel epitel usus. Dengan mencermati fenomena tersebut bakteri probiotik dapat dipakai dengan cara untuk pencegahan dan pengobatan diare baik yang disebabkan oleh Rotavirus maupun mikroorganisme lain, pseudomembran colitis maupun diare yang disebabkan oleh karena pemakaian antibiotika yang tidak rasional rasional (antibiotic associated diarrhea) dan travellerss diarrhea. 14,15,24

Terdapat banyak laporan tentang penggunaan probiotik dalam tatalaksana diare akut pada anak. Hasil meta analisa Van Niel dkk 25 menyatakan lactobacillus aman dan efektif dalam pengobatan diare akut infeksi pada anak, menurunkan lamanya diare kira-kira 2/3 lamanya diare, dan menurunkan frekuensi diare pada hari ke dua pemberian sebanyak 1 2 kali. Kemungkinan mekanisme efekprobiotik dalam pengobatan diare adalah : Perubahan lingkungan mikro lumen usus, produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa patogen, kompetisi nutrien, mencegah adhesi patogen pada anterosit, modifikasi toksin atau reseptor toksin, efektrofik pada mukosa usus dan imunno modulasi.14,24PrebiotikPrebiotik bukan merupakan mikroorganisme akan tetapi bahan makanan. Umumnya kompleks karbohidrat yang bila dikonsumsi dapat merangsang pertumbuhan flora intestinak yang menguntungkan kesehatan.Oligosakarida yang ada dalam ASI dianggap sebagai prototipe prebiotik oleh karena dapat merangsang pertumbuhan Lactobacilli dan Bifidobacteria di dalamkolon bayi yang minum ASI. Data menunjukkan angka kejadian diare akut lebih rendah pada bayi yang minum ASI. Tetapi pada dua penelitian RCT di Peru tahun 2003, bayi-bayi dikomunitas yang diberi cereal yang disuplementasi dengan fruktooligosakabrida (FOS) tidak menunjukkan penurunan angka kejadian diare. Penemmuan lain yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1998, suatu penelitian RCT yang melibatkan 124 penderita diare dengan tanpa melihat perbedaan penyebabnya menunjukkan adanya perbedaan bermakna lamanya diare, dimana pada penderita yang mendapat FOS lebih pendek masa diarenya dibanding placebo.Rekomendasi penggunaannya untuk aspek pencegahan diare akut masih perlu penelitian-penelitian selanjutnya.

H. Komplikasi

Dehidrasi Hipoglikemi Gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik)

Asidosis metabolik terjadi karena beberapa hal, yakni :

Kehilangan Na-bikarbonat bersama feses

Adanya ketosis kelaparan. Metabolisme lemak yang tidak sempurna sehingga benda keton tertimbun dalam tubuh.

Terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan

Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal

Pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler. (Suraatmaja, 2005)

Secara klinis asidosis dapat diketahui dengan memperhatikan pernapasan yakni pernapasan cepat, teratur dan dalam yang disebut pernapasan Kusmaul. Pernapasan ini merupakan homeostasis respiratorik yaitu usaha dari tubuh untuk mempertahankan pH darah. (Suraatmaja, 2005). Gangguan elektrolit Hipernatremia

Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau nasogastik meenggunakan oralitadalah cara terbaik dan paling aman.

Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45% saline 55 dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normallanjutkan dengan rumatan, bila sebaliknya lanjtukan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline 5% dextrose, perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.

Hiponatremia

Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremia (Na < 130 mol/L). hiponatremia sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan edema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremia. Bila tidak berhasil, koreksi Na dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu memakai Ringer Laktat atau normal saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 kadar Na serum yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.

Hiperkalemia

Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas 10% 0,5-1 ml/kgBB i.v pelan-pelan dalam 5-10 menit dengan monitor detak jantung.

Hipokalemia

Dikatakan hipokalemia bila K < 3,5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar K : jika kadar kalium 2,5-3,5 mEq/L diberikan peroral 75 mcg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam.Dosisnya : (3,5 - kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20 jam berikutnya adalah (3,5 - kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB)

Hipokalemia dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemia dapat dicegah dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya kalium selama diare dan sesudah diare berhenti.

KejangPada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang sebelum atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebutdapat disebabkan oleh karena hipoglikemik, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia, hiponatremia atau hipernatremia. Gangguan sirkulasi

Sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, dapat terjadi gangguan sirkulasi darah berupa renjatan/syok hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia dan asidosis bertambah berat. Kemudian dapat mengakibatkan perdarahan di otak yang menimbulkan penurunan kesadaran dan bila tidak diatasi dengan segera maka pasien dapat meninggal. (Suraatmaja, 2005)

I. Pencegahan

Sejumlah intervensi telah diusulkan untukmencegah diare pada anak, kebanyakan meliputi cara yang berhubungan dengan cara pemberian makanan kepada bayi, kebersihan perseorangan, kebersihan makanan, penyediaan air bersih, pembuangan tinja yang aman dan imunisasi. Ada 7 cara diidentifikasi sebagai sasaran untuk promosi, yaitu :1. Pemberian ASI

2. Perbaikan makanan pendamping ASI

3. Penggunaan air bersih untuk kebersihan dan untuk minum

4. Cuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar dan sebelum makan.5. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis6. Pembuangan tinja yang aman

7. Imunisasi campakPenderita yang dirawat inap harus ditempatkan pada tindakan pencegahan enteric, termasuk cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita, penggunaan jas panjang bila ada kemungkinan pencemaran dan sarung tangan bila menyentuh bahan yang terinfeksi. Penderita dan keluarganya harus dididik mengenai cara penularan enteropatogen dan cara-cara mengurangi penularan. (Behrman, 2000)

BAB III

KESIMPULAN

Diare akut merupakan masalah yang sering terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju. Angka kematian yang disebabkan oleh diare menduduki peringkat ke-2 untuk balita dan peringkat ke-3 untuk bayi. Sebagian besar bersifat self limiting sehingga hanya perlu diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Bila ada tanda dan gejala diare akut karena infeksi bakteri dan parasit dapat diberikan terapi antimikrobial secara empirik, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan terapi spesifik sesuai dengan hasil kultur. Pengobatan simtomatik dapat diberikan karena efektif dan cukup aman bila diberikan sesuai dengan aturan. Pemenuhan kebutuhan cairan pada anak diare merupakan salah satu penanganan yang sangat penting. Prognosis diare akut infeksi bakteri baik, dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Dengan higiene dan sanitasi yang baik merupakan pencegahan untuk penularan diare.

DAFTAR PUSTAKA1. Kandun NI. Upaya pencegahan diare ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat dalam kumpulan makalah Kongres nasional II BKGAI juli 2003 hal 29

2. Barkin RM Fluid and Electrolyte Problems. Problem Oriented Pediatric Diagnosis Little Brown and Company 1990;20 23.

3. Booth IW, CuttingWAM. Current Concept in The Managemnt of Acute in Children Postgraad Doct Asia 1984 : Dec : 268 274

4. Coken MB Evaluation of the child with acute diarrhea dalam: Rudolp AM,Hofman JIE,Ed Rudolps pediatrics: edisi ke 20 USA 1994 : prstice Hall international,inc hal 1034-36

5. Norasid H,Surratmadja S, Asnil PO. Gastroenteritis (Diare ) akut dalam: Gastroenterologi anak praktis, Ed Suharyono, Aswitha B,EM Halimun : edisi ke2 Jakarta 1994: Balai penerbit FK-UI hal 51-76

6.American Academy of Pediatrics Propesional commite on Quality improvement subcommitte. Acute Gastroenteritis Pratice parameter : the management of acute gastroeneritis in young children Pediatrics 1996:97:424-35

7. Irwanto,Roim A, Sudarmo SM. Diare akut anak dalam ilmu penyakit anak diagnosa dan penatalaksanaan ,Ed Soegijanto S : edisi ke 1 jakarta 2002 : Salemba Medika hal 73-103

8. Barnes GL,Uren E, stevens KB dan Bishop RS Etiologi of acute Gastroenteritis in Hospitalized Children in Melbourne, Australia,from April 1980 to March 1993 Journal of clinical microbiology, Jan 1998,p,133-138

9. Departemen kesehatan RI Profil Kesehatan Indonesia 2001. Jakarta 2002

10. Boediarso, Aswitha dkk. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare Buku Ajar Diare Pegangan mahasiswa. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I DITJEN PPM dan PLP. 1999. Hal 1011. American Academy of Pediatrics Commite on Nutrition.Use of oral fluid therapy and post-treatment feeding following enteritis in children in a developed country. Pediatrics 1985;75;358-61

12. Hegar B, Kadim M. Tatalaksana diare akut pada anak dalam Majalah kesehatan Kedokteran indonsia Vol 1 No 06,2003

13.Smith-Walker JA.Masalah Pediatri di Bidang Gastroenterologi Tropis dalam Problem Gastroenterologi Daerah Tropis Ed GC Cook,edisi ke 1 jakarta 2003; EGC 113-41

14. Firmansyah A. Terapi probiotik dan prebiotik pada penyakit saluran cerna.dalam Sari pediatric Vol 2,No. 4 maret 2001

15. Subijanto MS,Ranuh R, Djupri Lm, Soeparto P. Managemen disre pada bayi dan anak. Dikutip dari URL : http://www.pediatrik.com/

16. Sandhu BK. Pratical guideline for the management of gastroenteritis in children J Ped Gastroenterol Nutr 2001;33:S36-9

17. Dwipoerwantoro PG.Pengembangan rehidrasi perenteral pada tatalaksana diare akut dalam kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Juli 2003

18. Armon K. Stephenson T, Macfaul R, Eccleston P, Warneke U. An evidence and consensus based guideline for acute diarrhea management Arch Dis Child 2001;85:132-42.

19. Bhan MK.Current consepts in management of acute diarrhea Indian Pediatrics 2003:40:463-76

20. Ditjen PPM dan PLP,1999,Tatalaksana Kasus Diare Departemen Kesehatan RI hal 24-25

21. Sinuhaji AB Peranan obat antidiare pada tatalaksana diare akut dalam kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI juli 2003

22. Salazar-Lindo E. Santisteban-Ponces J, Chea WooE,Gutierez M. Rececaddotril in treatment of acute watery diarrea in children N. Eng J med 23003;34;463-7

23. Firmansyah A.Peran obat dalam tatalaksana diare pada anak.Dalam Majalah Kesehatan Kedokteran Indonesia Vol 1 No07,2003,

24. Rohim A, Soebijanto MS.Probiotik dan flora normal usus dalam Ilmu penyakit anak diagnosa dan penatalaksanaan . Ed Soegijanto S. Edisi ke 1 Jakarta 2002 Selemba Medika hal 93-103

25. Van Niel Cornelis W, Feudtner C, Garisson MM, Dimitri A. Lactobacillus Therapy for Acute InfectiousDiarrehe Children : A.Meta-analysis Pediatrics 2002;109;678-684

26. Sazawal S dkk.Zine supplementation in young children with acute diarrhea in India N Enggl J Med 1995;333:839-44

27. Strand TA dkk.Effectiveness and Efficacy of Zine for the Treatment of Aucte Diarrhea in Young Children Pediatrics 2002;109;898-903

28. Bhandari N, Bahl R, Sazawal Sand.Bhan MK Breast-Feeding Status Alters the Effect of Viatmin A Threatment During Aucte Diarrhea in Children J. Nutr:127;1997:59-63

29. Baker SS;Davis AM.Hypocaloric oral therapyduring an episode of diarrhea and vomiting can lead to severe malnutrition J Pediatr Gastroenterol Nutr 1998 Jul;27(1)1-5.

30. Lama More RA;Gil-Alberdi Gonzalez B. Effect of nucleotides as dietary supplement on diarrhea in healthy infants An Esp Pediatr 1998 Apr;48(4):371-5

31. CDC Recommendation and report The Management of Acute Diarrhea in Children Oral Rehydration, Maintenance,and Nutritional Therapy 1992

32. Suharyono.Terapi nutrisi diare kronik Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan ilmu Kesehatan Anak ke XXXI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1994.

33. Ditjen PPM&PLP Depkes RI.Tatalaksana Kasus Diare Bermaslah. Depkes RI 1999 ; 3126