28
1 BAB 1. LAMBUNG 1.1 Anatomi dan Fisiologi Lambung Lambung (Gaster /ventriculus) merupakan suatu kantong yang terletak di bawah diafragma, berbentuk huruf J. Fungsi lambung secara umum adalah tempat di mana makanan dicerna dan sejumlah kecil sari-sari makanan diserap. Lambung dapat dibagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan pilorus. Kardia adalah bagian atas, daerah pintu masuk makanan dari esofagus. Fundus adalah bagian tengah, bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian bawah, daerah yang berhubungan dengan duodenum. Gambar 1.1 Anatomi Gaster Keterangan: 1.Esofagus, 2.Kardia, 3.Fundus, 4.Selaput Lendir, 5.Lapisan Otot, 6.Mukosa Lambung, 7.Korpus, 8.Antrum Pilorik, 9.Pilorus, 10.Duodenum Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa, submukosa, muscularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel mengeluarkan berbagai jenis cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon. Lapisan ini berbentuk seperti palung untuk memperbesar perbandingan antara luas dan volume sehingga memperbanyak volume getah lambung yang dapat dikeluarkan. Submukosa ialah lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena

Referat Ulkus Peptikum

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Referat Ulkus Peptikum

1

BAB 1. LAMBUNG

1.1 Anatomi dan Fisiologi Lambung

Lambung (Gaster /ventriculus) merupakan suatu kantong yang terletak di

bawah diafragma, berbentuk huruf J. Fungsi lambung secara umum adalah tempat

di mana makanan dicerna dan sejumlah kecil sari-sari makanan diserap. Lambung

dapat dibagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan pilorus. Kardia

adalah bagian atas, daerah pintu masuk makanan dari esofagus. Fundus adalah

bagian tengah, bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian bawah, daerah yang

berhubungan dengan duodenum.

Gambar 1.1 Anatomi Gaster

Keterangan:

1.Esofagus, 2.Kardia, 3.Fundus, 4.Selaput Lendir, 5.Lapisan Otot,

6.Mukosa Lambung, 7.Korpus, 8.Antrum Pilorik, 9.Pilorus, 10.Duodenum

Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa,

submukosa, muscularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel

mengeluarkan berbagai jenis cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon.

Lapisan ini berbentuk seperti palung untuk memperbesar perbandingan antara luas

dan volume sehingga memperbanyak volume getah lambung yang dapat

dikeluarkan. Submukosa ialah lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena

Page 2: Referat Ulkus Peptikum

2

dapat ditemukan untuk menyalurkan nutrisi dan oksigen ke sel-sel lambung

sekaligus untuk membawa nutrisi yang diserap, urea, dan karbon dioksida dari

sel-sel tersebut. Muscularis adalah lapisan otot yang membantu lambung dalam

pencernaan mekanis. Lapisan ini dibagi menjadi 3 lapisan otot polos, yaitu otot

obliq, circuler dan longitudinal. Kontraksi dari ketiga macam lapisan otot tersebut

mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak peristaltik

menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar yaitu

serosa berfungsi sebagai lapisan pelindung lambung. Sel-sel di lapisan ini

mengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara

lambung dengan anggota tubuh lainnya.

Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan,

yaitu sel goblet (goblet cell), sel parietal (parietal cell), dan sel chief (chief cell).

Sel goblet berfungsi untuk memproduksi mucus atau lendir untuk menjaga lapisan

terluar sel agar tidak rusak karena enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal

berfungsi untuk memproduksi asam lambung (Hydrochloric acid) yang berguna

dalam pengaktifan enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi

1.5 mol dm-3 asam lambung yang membuat tingkat keasaman dalam lambung

mencapai pH 2 yang bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi

pepsinogen, yaitu enzim pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi

dalam bentuk tidak aktif agar enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki

oleh sel tersebut yang dapat menyebabkan kematian pada sel tersebut.

Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar-kelenjar yang

menghasilkan getah lambung. Aroma, bentuk, warna, dan selera terhadap

makanan secara refleks akan menimbulkan sekresi getah lambung. Getah lambung

mengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan renin. Asam lambung

berperan sebagai pembunuh mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogen

menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah protein menjadi

molekul yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa protein yang melicinkan

makanan. Renin merupakan enzim khusus yang hanya terdapat pada mamalia,

berperan sebagai kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca2+ dari

Page 3: Referat Ulkus Peptikum

3

susu sehingga dapat dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya renin, susu yang berwujud

cair akan lewat begitu saja di dalam lambung dan usus tanpa sempat dicerna.

Gambar 1.2 Histologi Gaster

Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan

menjadi lembut seperti bubur, disebut chime (kim). Otot lambung bagian pilorus

mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum. Otot pilorus

yang mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika tersentuh kim yang

bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke duodenum aka n

berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Bila kim yang bersifat asam tiba di

pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga makanan lewat. Oleh

karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus menutup. Makanan

tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan yang bersifat basa

dibelakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka. Akibatnya,

makanan yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian seterusnya.

Makanan melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi segumpal agar

makanan tersebut dapat tercerna efektif setelah 2 samapi 5 jam, lambung kosong

kembali.

Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormon. Impuls

parasimpatik yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan

Page 4: Referat Ulkus Peptikum

4

motilitas, secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan

lambung. Refleks pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh,

kadar lemak yang tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini

disebabkan oleh hormon saluran cerna terutama sekretin dan kholeistokinin-

pankreo-zimin, yang dibentuk dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama

aliran darah ke lambung. Dengan demikian proses pengosongan lambung

merupakan proses umpan balik humoral.

1. 2 Asam Lambung

Kelenjar di lambung setiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah

lambung. Diantaranya merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis

dengan pH antara 0,8-1,5. Asam klorida menyebabkan denaturasi protein

makanan dan menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam klorida

juga menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah pepsinogen

yang tak aktif menjadi pepsin. Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang

terbawa bersama makanan.

Pengaturan sekresi getah lambung sangat kompleks. Seperti pada

pengaturan motilitas lambung serta pengosongannya, disini pun terjadi pengaturan

oleh saraf maupun hormon. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi getah

lambung dibagi atas fase sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).

Fase sefalik diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan, penciuman,

pikiran, dan rasa akan menimbulkan impuls saraf eferen, yang disistem saraf pusat

akan merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan

dibebaskannya asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimulus

langsung pada sel parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel

G antrum (G cell). Melalui aliran darah, gastrin akan sampai pada sel parietal dan

akan menstimulasinya sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi

asam klorida ini, histamin juga ikut berperan. Histamin ini dibebaskan oleh

mastosit karena stimulasi vagus. Secara tak langsung dengan pembebasan

histamine ini gastrin dapat bekerja.

Page 5: Referat Ulkus Peptikum

5

Gambar 1.3 Fase Sefalik

Fase lambung, Sekresi getah lambung disebabkan oleh makanan yang

masuk kedalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai protein,

kafein atau alkohol, akan menimbulkan refleks kolinergik local dan pembebasan

gastrin. Jika pH turun dibawah 3, pembebasan gastrin akan dihambat.

Page 6: Referat Ulkus Peptikum

6

Gambar 1.4 Fase Lambung

Pada fase intestinal, mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian

akan diikuti dengan penurunan sekresi getah lambung. Jika kim yang asam masuk

ke duodenum, maka sekretin akan dibebaskan. Ini akan menekan sekresi asam

klorida dan merangsang pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi getah

lambung lainnya dilakukan oleh kholesitokinin pankreozimin, terutama jika kim

yang banyak mengandung lemak sampai pada usus halus bagian atas.

Disamping zat-zat yang sudah disebutkan, ada hormon saluran cerna

lainnya yang berperan pada sekresi dan motilitas. GIP (gastric inhibitory

polypeptide) menghambat sekresi HCl dari lambung dan merangsang sekresi

insulin dari kelenjar pankreas.

Page 7: Referat Ulkus Peptikum

7

Gambar 1.5 Fase Intestinal

Page 8: Referat Ulkus Peptikum

8

BAB 2. ACID RELATED DISEASE

2.1 Pendahuluan

Acid related disease atau penyakit terkait asam adalah istilah yang

digunakan untuk menggambarkan berbagai macam kondisi dimana asam

merupakan penyebab dari penyakit. Acid related disease melibatkan berbagai

gangguan yang dapat memengaruhi esofagus, lambung dan duodenum.

Prevalensi penyakit terkait asam kronis di Amerika Serikat adalah sekitar 2,3%,

dimana lebih dari setengahnya adalah gastro esofageal reflux disease (GERD).

American College of Gastroenterology (ACG) memperkirakan bahwa leb ih dari

60 juta orang di Amerika Serikat mengeluhkan gejala nyeri dada seperti terbakar

(heartburn), setidaknya sekali dalam sebulan, dan beberapa survei menunjukkan

bahwa lebih dari 15 juta orang Amerika mengeluhkan gejala tersebut setiap

harinya.

Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara

sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat

yang diwakili Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia

Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya

adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992)

menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia.

Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-RSUPN

Cipto Mangunkusumo didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua

pasien yang menjalani endoskopi atas dasar dispepsia. Kondisi ini mengurangi

kualitas hidup dan meningkatkan biaya perawatan untuk pasien, dan akhirnya

dapat berkembang menjadi keganasan seperti adenokarsinoma.

2.2 Gastroesophageal Reflux Diseas

2.2.1 Definisi

Berdasarkan Genval Workshop, definisi pasien GERD adalah semua

individu yang terpapar risiko komplikasi fisik akibat refluks gastroesofageal, atau

mereka yang mengalami gangguan nyata terkait dengan kesehatan (kualitas hidup)

Page 9: Referat Ulkus Peptikum

9

akibat gejala-gejala yang terkait dengan refluks. Secara sederhana, definisi GERD

adalah gangguan berupa regurgitasi isi lambung yang menyebabkan heartburn dan

gejala lain. Terdapat dua kelompok GERD. Yang pertama adalah GERD erosif

(esofagitis erosif), didefinisikan sebagai GERD dengan gejala refluks dan

kerusakan mukosa esofagus distal akibat refluks gastroesofageal. Pemeriksaan

baku emas untuk diagnosis GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas.

Yang kedua adalah penyakit refluks nonerosif (non-erosive reflux disease,

NERD), yang juga disebut endoscopic-negative GERD, didefinisikan sebagai

GERD dengan gejala-gejala refluks tipikal tanpa kerusakan mukosa esofagus saat

pemeriksaan endoskopi saluran cerna. Saat ini, telah diusulkan konsep yang

membagi GERD menjadi tiga kelompok, yaitu penyakit refluks non-erosif,

esofagitis erosif, dan esofagus Barrett.

2.2.2 Etiologi dan Patogenesis

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis

dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam

waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2).

Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus. Esofagus dan gaster

dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan

oleh kontraksi LES. Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan

kecuali pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus

melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3

mmHg).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :

1). Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd

yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya

tekanan intra abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis

terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus

(pemisah anti refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel

esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat.

Page 10: Referat Ulkus Peptikum

10

Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya

tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya

peningkatan intraabdomen. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat

akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh

proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh

kelenjar saliva dan kelenjar esofagus. Mekanisme bersihan ini sangat penting,

karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esofagus (waktu transit

esofagus), makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Refluks pada malam

hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esofagus

karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif.

Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD

adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis,

antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric

emptying.

Peranan infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) dalam patogenesis GERD

relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H.

pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta

pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Tingginya angka infeksi H. pylori di

Asia dengan rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya, telah

dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia lebih

rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat. Dalam keadaan di mana bahan

refluksat bukan bersifat asam atau gas (non acid reflux), timbulnya gejala GERD

diduga karena hipersensitivitas viseral.

Page 11: Referat Ulkus Peptikum

11

Gambar 2.1 Patogenesis GERD

Gambar 2.2 Penyebab Heartburn

2.2.3 Manifestasi Klinik

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di

epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai

rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia

(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau

Page 12: Referat Ulkus Peptikum

12

demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak selalu

berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak

retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan

makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang

berkembang dari Barret’s esophagus. Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi

ulserasi esofagus yang berat.

Gejala tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa t imbul yang

meliputi nyeri dada non kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara serak,

laringitis, batuk, asma, bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain- lain. Di lain pihak,

beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD

karena terjadi perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressure zone

akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES, misalnya theofilin.

Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi

episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu,

umumnya pasien dengan GERD memerlukan tatalaksana secara medis.

2.2.4 Diagnosis

Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis

dan pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang

dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran

cerna bagian atas, pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein, manometri esofagus,

sintigrafi gastroesofageal, dan tes supresi asam/proton pump inhibitor (PPI).

ACG mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and

Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease, yaitu :

a. Anamnesis gejala khas GERD

b. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka diuji dengan

terapi empiris (termasuk modifikasi gaya hidup). Bila tidak ada respon, tidak

mengeluarkan dari diagnosis GERD.

c. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi

dugaan Barret’s esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi

harus dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk

Page 13: Referat Ulkus Peptikum

13

mengevaluasi displasia. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pasien dengan

gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD).

Tabel 2.2 Klasifikasi Los Angeles

Derajat Kerusakan Gambaran Endoskopi

A Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan

diameter< 5 mm

B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5

mm tanpa saling berhubungan

C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi

seluruh lumen

D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial

(mengelilingi seluruh lumen )

d. Ambulator pemantau refluks (ambulatory reflux monitoring) esofagus, dengan

tes pH merupakan cara terbaik untuk mengetahui adanya bahan refluksat. Cara ini

membantu untuk konfirmasi adanya reluks gastroesofageal pada pasien dengan

gambaran endoskopi normal, dan dengan gejala menetap (baik khas maupun tidak

khas) meskipun pasien menjalani tes supresi asam atau terapi.

e. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan

ambulatory pH monitoring probes dan dapat membantu sebelum dilakukannya

pembedahan anti refluks.

Selain karena gejala-gejala pada pasien GERD yang seringkali tidak

menunjukkan gejala khas (heartburn, regurgitasi) sehingga menyulitkan untuk

diagnosis akurat, banyak pasien GERD tidak memiliki kelainan gambaran

endoskopi, sehingga evaluasi tingkat keparahan gejala, kualitas hidup serta respon

terapi menjadi sangat penting. Kuesioner berisi gejala-gejala yang dinilai oleh

pasien sendiri saat ini merupakan instrumen kunci pada berbagai penelitian klinis.

Salah satu kuesioner diagnostik yang banyak digunakan adalah Frequency Scale

for the Symptoms of GERD (FSSG). FSSG terdiri dari 12 pertanyaan yang

berhubungan dengan gejala-gejala yang tersering dialami oleh pasien, tidak hanya

Page 14: Referat Ulkus Peptikum

14

heartburn dan acid taste, tetapi juga gejala-gejala dispepsia seperti ’perut penuh’

dan ’merasa cepat kenyang’. Diagnosis GERD dinyatakan dengan kuesioner ini

pada nilai cut-off 8 poin.

Tabel 2.3 Frequency Scale for the Symptoms of GERD

2.2.5 Penatalaksanaan

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya

hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta terapi endoskopik (dalam tahap

penelitian). Target penatalaksanaan GERD adalah: 1) menyembuhkan lesi

esofagus, 2) menghilangkan gejala/keluhan, 3) mencegah kekambuhan, 4)

memperbaiki kualitas hidup, 5) mencegah timbulnya komplikasi.

Modifikasi gaya hidup tidak direkomendasikan sebagai pengobatan primer

GERD. Penelitian objektif belum memperlihatkan bahwa alkohol, diet, dan faktor

psikologis berperan signifikan dalam GERD. Modifikasi gaya hidup dapat

mengurangi episode refluks individual; pasien yang mengalami eksaserbasi gejala

refluks yang berhubungan dengan makanan atau minuman tertentu dapat

direkomendasikan untuk menghindari makanan atau minuman bersangkutan.

Algoritme penatalaksanaan GERD atas alur proses diagnostik, menurut

PAPDI adalah sebagai berikut.

Page 15: Referat Ulkus Peptikum

15

Gambar 2.5 Algoritme dugaan GERD

Gejala peringatan untuk rujukan dini endoskopi saluran cerna atas meliputi

penurunan berat badan, anemia, hematemesis atau melena, riwayat kanker

lambung dan/ atau esofagus dalam keluarga, penggunaan obat antiinflamasi

nonsteroid, disfagia progresif, odinofagia, dan usia >40 tahun di daerah prevalensi

tinggi kanker lambung.

Terapi medikamentosa untuk memperingan gejala GERD mencakup

pemberian antasida, prokinetik, antagonis H2, sukralfat dan PPI. Pembedahan

dengan funduplikasi merupakan terapi alternatif yang penting bila terapi

medikamentosa gagal.

Page 16: Referat Ulkus Peptikum

16

Antasida berfungsi sebagai buffer terhadap asam. Antasida doen I

merupakan tablet kunyah dengan kandungan Magnesium hydroxide 200 mg.

Dosis 4 dd tab I atau 4 dd tab II.

Antagonis H2 berfungsi sebagai penekan sekresi asam lambung. Golongan

obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang

serta tanpa komplikasi. Dosis pemberian sebagai berikut. Simetidin 2 x 800 mg

atau 4 x 400mg. Ranitidine 4 x 150 mg. Famotidine 2 x 20 mg. Nizatidine 2 x 150

mg.

PPI merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat

ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan memengaruhi enzim

H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam

lambung. Dosis omeprazole 2x20mg. Lansoprazole 2x30mg. Pantoprazole

2x40mg. Rabeprazole 2x10mg. Esomeprazole 2x40mg. Umumnya pengobatan

diberikan selama 6-8 minggu (terapi awal) yang dapat dilanjutkan dengan dosis

pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on demand therapy,

tergantung dari derajat esofagitisnya. Efektivitas golongan obat ini semakin

bertambah jika dikombinasi dengan golongan prokinetik.

Prokinetik berfungsi untuk meningkatkan motilitas LES.

Metoklopramide 3x10mg. Domperidone 3x10-20mg. Obat ini bekerja sebagai

antagonis reseptor dopamin.

Sukralfat (Amonium hidroksida + sukrosa oktasulfat). Obat ini bekerja

dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap

HCl di esofagus, serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat

ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi). Dosis

4x1gram.

Page 17: Referat Ulkus Peptikum

17

Gambar 2.6 Farmakodinamik obat

2.3 Ulkus Peptikum

2.3.1 Definisi

Penyakit ulkus peptikum adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung

yang meluas sampai di bawah epitel. Penyakit ulkus peptikum umumnya terjadi di

duodenum dan lambung, Ini juga dapat terjadi pada esofagus, pylorum, dan

jejenum. Penyakit ulkus peptikum terjadi ketika faktor agresif (gastrin, pepsin)

menembus faktor defensif yang melibatkan resistensi mukosa (mucus, bikarbonat,

mikrosirkulasi, prostaglandin, dinding mukosa) dan dari efek Helicobacter pylori.

2.3.2 Patogenesis

A. Faktor Asam Lambung “No Acid No Ulcer”

Sel parietal/oxyntic mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik/ zimogen

mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCl diubah jadi pepsin dimana HCl dan

pepsin adalah faktor agresif terutama pepsin dengan pH < 4. Bahan iritan akan

menimbulkan defek barier mukosa dan terjadi difusi balik ion H+. Histamin

terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan

peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung,

gastritis akut/kronik dan ulkus lambung.

Page 18: Referat Ulkus Peptikum

18

Produksi asam lambung (HCl) distimulasi oleh gastrin yang disekresi oleh

sel G pada antrum, asetilkolin dilepaskan oleh nervus vagus dan histamin

dilepaskan oleh sel entero-chromaffin- like (ECL), yang semuanya menstimulasi

reseptor pada sel parietal yang merupakan penghasil asam.

Ulkus duodenum sangat jarang terjadi pada orang yang tidak

menghasilkan asam lambung, ulkus rekuren terjadi ketika produksi asam sangat

meningkat, sebagai contoh, oleh tumor yang mensekresi gastrin. Bagaimanapun,

produksi asam lambung biasanya rendah pada orang-orang dengan ulkus lambung

dan ini dapat menghasilkan gastritis kronik.

B. Obat Anti Inflamasi Non- Steroid (OAINS)

Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) merupakan salah satu obat yang

paling sering digunakan dalam berbagai keperluan. Pemakaian OAINS secara

kronik dan reguler dapat menyebabkan terjadinya resiko perdarahan

gastrointestinal 3 kali lipat dibanding yang tidak menggunakannya.

Patogenesis terjadinya kerusakan mukosa terutama gastroduodenal

penggunaan OAINS adalah akibat efek toksik/ iritasi langsung pada mukosa yang

memerangkap OAINS yang bersifat asam sehingga terjadi kerusakan epitel dalam

berbagai tingkat, namun yang paling utama adalah efek OAINS yang

menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat

sehingga menekan produksi prostaglandin/prostasiklin. Seperti diketahui,

prostaglandin endogen sangat berperan dalam memelihara keutuhan mukosa

dengan mengatur aliran darah mukosa, proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan

bikarbonat, mengatur fungsi immunosit mukosa serta sekresi basal asam lambung.

Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada

penggunaan OAINS melalui 4 tahap, yaitu : menurunnya sekresi mukus dan

bikarbonat, terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa,

berkurangnya aliran darah mukosa dan kerusakan mikrovaskular yang diperberat

oleh kerja sama platelet dan mekanisme koagulasi.

C. Helicobacter pylori

Bakteri spiral pada lambung telah diketahui selama lebih ratusan tahun,

dan menjadi lebih signifikan pada tahun 1982 ketika Warren dan Marshall

Page 19: Referat Ulkus Peptikum

19

melakukan kultur dari 11 pasien dengan gastritis dan dr Marshall

mendemonstrasikan bahwa hal itu menyebabkan gastritis. Infeksi H. Pylori

sebagian besar ditemukan pada pasien dengan ulkus peptikum, meskipun hanya

sekitar 15% dari infeksi tersebut berkembang menjadi ulkus. Eradikasi infeksi H.

Pylori secara permanent dapat mengobati sebagian besar pasien dengan ulkus

peptikum.

Kebanyakan kuman patogen memasuki barier dari mukosa lambung, tetapi

HP sendiri jarang sekali memasuki epitel mukosa lambung ataupun bagian yang

lebih dalam dari mukosa tersebut. Bila HP bersifat patogen maka yang pertama

kali terjadi adalah HP dapat bertahan dalam suasana asam di lambung; kemudian

terjadi penetrasi terhadap mukosa lambung; dan pada akhirnya HP berkolonisasi

di lambung tersebut. Pada keadaan tersebut beberapa faktor dari HP memainkan

peranan penting diantaranya urease memecah urea menjadi amoniak yang bersifat

basa lemah yang melindungi kuman tersebut terhadap asam lambung.

Infeksi H. Pylori pada antrum gaster, yang menstimulasi produksi gastrin,

menyebabkan hipersekresi asam dan ulkus duodenum, sementara infeksi pada

corpus lambung, dimana terdapat sel parietal paling banyak, menyebabkan

berkurangnya produksi asam lambung dan dihubungkan dengan gastritis, ulkus

lambung, kanker lambung, dan lymphoma gaster.

Ulkus peptikum merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara faktor

gastroprotektif, seperti lapisan mukus dan prostaglandins, dan faktor agresif,

seperti asam lambung dan efek dari merokok, alkohol, dan NSAIDs. Ulkus

lambung kebanyakan disebabkan infeksi HP (30- 60%) dan OAINS sedangkan

ulkus duodenum hampir 90% disebabkan oleh HP, penyebab lain adalah Sindrom

Zollinger Elison.

Page 20: Referat Ulkus Peptikum

20

Gambar 2.7 Ulkus Peptikum

2.3.3 Gambaran Klinis

Secara umum, pasien dengan ulkus peptikum biasanya mengeluh

dispepsia. Dispepsia adalah suatu sindroma klinik/ kumpulan gejala pada saluran

cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa

penuh dan cepat merasa kenyang.

Pada ulkus duodenum rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa

sakit bisa membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan

dan minum obat antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR). Sakit yang

dirasakan seperti rasa terbakar, rasa tidak nyaman yang mengganggu dan tidak

terlokalisir.

Pada ulkus lambung rasa sakit timbul setelah makan, rasa sakit di rasakan

sebelah kiri, anoreksia, nafsu makan berkurang, dan kehilangan berat badan.

Walaupun demikian, rasa sakit saja tidak dapat menegakkan diagnosis ulkus

lambung karena dispepsia non ulkus juga dapat menimbulkan rasa sakit yang

sama. Muntah juga kadang timbul pada ulkus peptikum yang disebabkan edema

dan spasme seperti pada ulkus kanal pilorik (obstruction gastric outlet).

Page 21: Referat Ulkus Peptikum

21

Klasifikasi

Klasifikasi ulkus berdasarkan lokasi:

Ulkus duodenal Ulkus Lambung

Insiden

Usia 30-60 tahun

Pria: wanita3:1

Terjadi lebih sering daripada ulkus lambung

Insiden

Biasanya 50 tahun lebih

Pria:wanita 2:1

Tanda dan ge jala

Nyeri terjadi 2-3 jam setelah makan; sering

terbangun dari tidur antara jam 1 dan 2 pagi.

Makan makanan menghilangkan nyeri

Hemoragi jarang terjadi dibandingkan ulkus

lambung tetapi bila ada melena lebih umum

daripada hematemesis.

Lebih mungkin terjadi perforasi daripada

ulkus lambung.

Tanda dan ge jala

Nyeri terjadi ½ sampai 1 jam setelah makan;

jarang terbangun pada malam hari;

Makan makanan tidak membantu dan kadang

meningkatkan nyeri.

Hemoragi lebih umum terjadi daripada ulkus

duodenal, hematemesis lebih umum terjadi

daripada melena.

Kemungkinan Malignansi

Jarang

Kemungkinan malignansi

Kadang-kadang

2.3.4 Diagnosis

Diagnosis ulkus peptikum ditegakkan berdasarkan: 1) anamnesis

(dispepsia/ rasa sakit pada ulu hati); 2) pemeriksaan penunjang (radiologi dengan

barium meal kontras/ colon in loop dan endoskopi); dan 3) hasil biopsi untuk

pemeriksaan kuman H. Pylori.

Ulkus Duodenum, Upper Gastrointestinal Endoscopy (UGIE) atau Upper

Gastrointestinal barium radiografi. Ulkus lambung, Upper Gastrointestinal

Endoskopi. Deteksi H. Pylori, Deteksi antibodi pada serum dan rapid urease test

pada biopsi antral. Urea breath test umumnya digunakan untuk mengetahui

eradikasi dari H. Pylori jika perlu.

Page 22: Referat Ulkus Peptikum

22

2.3.5 Terapi

Tujuan terapi adalah menghilangkan keluhan, menyembuhkan/

memperbaiki ulkus, mencegah kekambuhan/rekurensi ulkus, dan mencegah

komplikasi. Walaupun ulkus lambung dan ulkus duodenum sedikit berbeda dalam

patofisiologi tetapi respon terhadap terapi sama. Ulkus lambung biasanya

ukurannya lebih besar, akibatnya memerlukan waktu terapi yang lebih lama.

Untuk pengobatan ulkus lambung sebaiknya dilakukan biopsi untuk

menyingkirkan adanya suatu keganasan/kanker lambung.

Terapi terhadap ulkus peptikum terdiri dari: Non-medikamentosa,

medikamentosa, dan tindakan operasi.

Terapi Non-Medikamentosa

Diet. Walaupun tidak diperoleh bukti yang kuat terhadap berbagai bentuk

diet yang dilakukan, namun pemberian diet yang mudah cerna khususnya pada

ulkus yang aktif perlu dilakukan. Makan dalam jumlah sedikit dan lebih sering,

lebih baik daripada makan yang sekaligus kenyang.

Mengurangi makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung/

pepsin, makanan yang merangsang timbulnya nyeri dan zat-zat lain yang dapat

mengganggu pertahanan mukosa gastroduodenal. Beberapa peneliti menganjurkan

makanan biasa, lunak, tidak merangsang dan diet seimbang.

Merokok menghalangi penyembuhan ulkus, menghambat sekresi

bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus duodeni, menambah refluks

duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus sekaligus meningkatkan

kekambuhan ulkus. Merokok sebenarnya tidak mempengaruhi sekresi asam

lambung tetapi dapat memperlambat pemyembuhan luka serta meningkatkan

angka kematian karena efek peningkatan kekambuhan penyakit saluran

pernafasan dan penyakit jantung koroner.

Alkohol belum terbukti mempunyai bukti yang merugikan. Air jeruk yang

asam, coca-cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik tetapi dapat

menambah sekresi asam lambung dan belum jelas dapat menghalangi

penyembuhan luka dan sebaiknya jangan diminum sewaktu perut kosong.

Page 23: Referat Ulkus Peptikum

23

Terapi Medikamentosa

1. Antasida.

Pada saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida sering digunakan

untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Preparat yang mengandung

magnesium tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena menimbulkan

hipermagnesemia dan kehilangan fosfat sedangkan alumunium menyebabkan

konstipasi dan neurotoksik tapi bila dikombinasi dapat menghilangkan efek

samping. Dosis anjuran 4 x 1 tablet, 4 x 30 cc.

2. Koloid Bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/Cbs Dan Bismuth

Subsalisilat/Bss).

Mekanisme belum jelas, kemungkinan membentuk lapisan penangkal

bersama protein pada dasar ulkus dan melindunginya terhadap pengaruh asam

dan pepsin, berikatan dengan pepsin sendiri, merangsang sekresi PG,

bikarbonat, mukus. Efek samping jangka panjang dosis tinggi khusus CBS

neuro toksik.

Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2 serta

adanya efek bakterisidal terhadap Helicobacter pylori sehingga kemungkinan

relaps berkurang. Dosis anjuran 2x2 tablet sehari dengan efek samping berupa

tinja berwarna kehitaman sehingga menimbulkan keraguan dengan

perdarahan.

3. Sukralfat.

Suatu kompleks garam sukrosa dimana grup hidroksil diganti dengan

aluminium hidroksida dan sulfat. Mekanisme kerja kemungkinan melalui

pelepasan kutub aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif

molekul protein membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar ulkus, yang

melindungi ulkus dari pengaruh agresif asam dan pepsin. Efek lain membantu

sintesa prostaglandin, menambah sekresi bikarbonat dan mukus,

meningkatkan daya pertahanan dan perbaikan mukosal. Dosis anjuran 4x1 gr

sehari.

4. Prostaglandin.

Page 24: Referat Ulkus Peptikum

24

Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah sekresi

mukus, bikarbonat, dan meningkatkan aliran darah mukosa serta pertahanan

dan perbaikan mukosa. Efek penekanan sekresi asam lambung kurang kuat

dibandingkan dengan ARH2. Biasanya digunakan sebagai penangkal

terjadinya ulkus lambung pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis

anjuran 4x200 mg atau 2x400 mg pagi dan malam hari. Efek samping diare,

mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi otot uterus sehingga tidak

dianjuran pada orang hamil dan yang menginginkan kehamilan.

5. Antagonis Reseptor H2/ARH2.

Struktur homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya memblokir efek

histamin pada sel parietal sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk

mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel. Pengurangan

sekresi asam post prandial dan nokturnal, yaitu sekresi nokturnal lebih

dominan dalam rangka penyembuhan dan kekambuhan ulkus.

Dosis terapeutik :

Cimetidin : dosis 2x400 mg atau 800 gr malam hari

Ranitidin : 300 mg malam hari

Nizatidine : 1x300 mg malam hari

Famotidin : 1x40 mg malam hari

Roksatidin : 2x75 mg atau 150 mg malam hari

Dosis terapetik dari keempat ARH2 dapat menghambat sekresi asam

dalam potensi yang hampir sama, tapi efek samping simetidin lebih besar dari

famotidin karena dosis terapeutik lebih besar.

6. Proton Pump Inhibitor/ PPI.

Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+ H+ ATPase yang

akan memecah K+ H+ ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk

mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung.

PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan

pengurangan rasa sakit pasien ulkus, mengurangi aktivitas faktor agresif

pepsin dengan pH>4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh triple drugs

regimen.

Page 25: Referat Ulkus Peptikum

25

Dosis Terapetik :

Rabeprazole 2x 20 mg/ hari

Omeprazole 2x 20 mg/ hari

Esomesoprazole 2x 20 mg/ hari

Lanzoprazole 2x 30 mg/ hari

Pantoprazole 2x 40 mg/ hari

7. Regimen Terapi Helicobacter Pylori

Page 26: Referat Ulkus Peptikum

26

Bila belum berhasil, dianjurkan kultur dan tes sensitivitas.

2.3.6 Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul pada umumnya perdarahan : hematemesis/

melena dengan tanda syok apabila perdarahan masif dan perdarahan tersembunyi.

Anemia : Anemia dapat terjadi apabila terjadi kekurangan daraha berlebihan dan

anemia kronik. Perforasi : nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis.

Gastric Outlet Obstruction : keluhan pasien akibat komplikasi ini berupa cepat

kenyang, muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah makan/

post prandial, berat badan menurun. Obstruksi yang terjadi akibat peradangan

daerah peri pilorik timbul odema, spasme. Bisa obstruksi permanen akibat fibrosis

dari suatu tukak sehingga mekanisme pergerakan antro duodenal terganggu.

2.3.7 Prognosis

Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit dan komplikasi yang terjadi.

Kebanyakan pasien berhasil diobati dengan eradikasi infeksi H pylori,

menghindari NSAID, dan penggunaan yang tepat terapi anti sekresi.

Page 27: Referat Ulkus Peptikum

27

BAB 3. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di lambung

terdapat beberapa jenis sel, diantaranya adalah sel parietal yang memproduksi

asam lambung yang dapat mencapai pH 2. Asam yang dihasilkan lambung

nantinya dapat menjadi bahan refluksat yang menyebabkan terjadinya penyakit

terkait asam. Acid related disease atau penyakit terkait asam adalah istilah yang

digunakan untuk menggambarkan berbagai macam kondisi dimana asam

merupakan penyebab dari penyakit. Acid related disease memiliki prevalensi yang

tinggi, dimana lebih dari setengahnya adalah GERD.

GERD didefinisikan sebagai terpaparnya mukosa esofagus oleh refluks

kandungan lambung. Gejala klinik yang khas dari GERD adalah rasa terbakar

(heartburn) dan atau regurgitasi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri

dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta terapi

endoskopik (dalam tahap penelitian). Terapi medikamentosa untuk memperingan

gejala GERD mencakup pemberian antasida, prokinetik, antagonis H2, sukralfat

dan PPI. Pembedahan dilakukan bila terapi medikamentosa gagal.

Ulkus peptikum adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang

meluas sampai di bawah epitel. Terapi ulkus peptikum meliputi non

medikamentosa dan medikamentosa.

Page 28: Referat Ulkus Peptikum

28

DAFTAR PUSTAKA

AGA Institute. 2008. American Gastroenterological Association Institute

Technical Review on the Management of Gastroesophageal Reflux Disease.

Gastroenterology, 135: 1392-1413.

Bestari, Muhammad Begawan. 2013. Penatalaksanaan GERD. Bandung:

Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Makmun, Dadang. 2009. Penyakit Refluks Gastroesofageal Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI.

Mejia, Alex. 2009. Acid Peptic Disease: Pharmacological Approach To

Treatment. Expert Rev Clin Pharmacol, 2(3): 295-314.

Kusano, dkk. 2011. A Review of the Management of Gastric Acid-Related

Disease: Focus on Rabeprazole. Clinical Medicine Insight: Gastroenterology, 3:

31-43.

Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. 2011. 18th Edition

Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill

Professional.

Practicing Clinicians. 2010. Acid-Related Disorders: Successful

Management Strategies in Primary Care : 85-102. www.practicingclinicians.com.

Qadeer, Mohammed dan Falk, Gary. 2010. Acid Peptic Disorders.

http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/gastroent

erology/acid-peptic-disorders/.

Soll, Andrew H, dan Feldman, Mark. 2012. Phisiology of Gastric Acid

Secretion. Uptodate Editorial: Uptodate Inc.

Tim Revisi Formularium. 2008. Formularium Rumah Sakit Umum Dokter

Soetomo. Surabaya: Tim Penerbit.