Referat Ulkus Kornea E.coli

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat mata

Citation preview

REFERAT

ULKUS KORNEA KARENA ESCHERICIA COLI

Pembimbing:dr. Agah Gadjali, Sp. Mdr. Hermansyah, Sp. Mdr. Gartati Ismail, Sp. Mdr. Mustafa, Sp. Mdr. Henry A. W., Sp. M

Penyaji:Milani Suryakanto (2010-061-114)Tjoa DebbyAngela Tjoanda(2010-061-143)Nicholas Hardi(2011-061-167)Saphira Evani(2011-061-168)

Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya IndonesiaKepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit MataRumah Sakit Bhayangkara Tk. I Raden Said Sukanto, Jakarta7 Januari 9 Februari 2013

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas kesempatan menyusun referat ini, serta bimbingan dan berkatNya yang tiada habisnya bagi penulis, sehingga dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada segenap dokter-dokter spesialis mata di Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I Raden Said Sukanto Bagian Mata selaku pembimbing sehingga penulis dapat menyusun referat ini.Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, apabila terdapat kesalahan kata atau ketidaksempurnaan dalam referat ini, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya, dan penulis akan sangat berterimakasih apabila pembaca memberi kritik dan saran yang membangun sehingga penulis dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang disadari maupun yang tidak disadari.Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat membantu pembaca dalam memahami lebih mendalam mengenai ulkus kornea karena Escherichia Coli agar dapat memperluas wawasan dan bermanfaat dalam berkarir kelak.

Jakarta, 15 Januari 2013

Penulis

iv

DAFTAR ISI

JUDULKATA PENGANTAR...........................................................................................................iiDAFTAR ISI.........................................................................................................................iiiDAFTARGAMBAR dan TABEL ........................................................................................ivBAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................11.1. Latar Belakang...................................................................................................11.2. Manfaat Penulisan..............................................................................................2BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA..............................................................32.1. Anatomi Kornea ...............................................................................................32.2. Fisiologi Kornea ................................................................................................5BAB III ULKUS KORNEA................................................................................................73.1 Klasifikasi Ulkus Kornea..................................................................................73.2 Etiopatogenesis...................................................................................................83.3 Diagnosis ..........................................................................................................113.3.1 Anamnesis..........................................................................................113.3.2 Pemeriksaan Fisik ..............................................................................123.3.3 Pemeriksaan Penunjang .....................................................................133.4 Tatalaksana .......................................................................................................133.5 Komplikasi .......................................................................................................193.6 Prognosis .......................................................................................................20BAB IV KESIMPULAN......................................................................................................21DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................22

DAFTAR GAMBAR dan TABELDAFTAR GAMBARGambar 1. Struktur Internal Bola Mata..............................................................................3Gambar 2. Lapisan Kornea Potongan Melintang .............................................................. 5Gambar 3. Ulkus Kornea Tipe Sentral Dengan Hipopion Akibat Infeksi Bakteri.............7Gambar 4. Ulkus Kornea Tipe Perifer................................................................................8Gambar 5. Patologi Ulkus Kornea: A.Infiltrasi; B.Ulserasi Aktif; C.Regresi;D.Pembentukan Sikatrik...................................................................................10Gambar 6. Ulkus Kornea .....................................................................................................12Gambar 7. Ulkus Kornea pada Tes Flourescein....................................................................13Gambar 8. Stadium Keratitis Modifikasi Jones...................................................................16Gambar 9. Colagen cross-linking (CXL) ...........................................................................17

DAFTAR TABELTabel 1. Antibiotik Bakteri Gram Negatif Bentuk Batang...................................................15

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangUlkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea hingga lapisan stroma akibat kematian jaringan kornea. Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak ditemukan adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Dikenal dua bentuk ulkus pada kornea yaitu ulkus kornea sentral dan ulkus kornea marginal atau perifer.1,2Penyebab terbanyak adalah bakteri, jamur, dan virus. Selain itu dapat juga disebabkan oleh trauma yang merusak epitel kornea, dapat berupa abrasi karena benda asing, insufisiensi air mata, malnutrisi, atau penggunaan lensa kontak yang semakin meningkat seiring dengan penambahan insidensi ulkus kornea. Pengunaan obat kortikosteroid topikal kini juga dapat memicu terjadinya ulkus kornea.1,2 Pada ulkus kornea yang disebabkan oleh bakteri, paling banyak disebabkan oleh Staphylococcus aureus (19,13%), diikuti oleh Streptococcus pneumoniae (10,93%), Streptococcus pyogens (0,55%), Pseudomonas aeruginosa (4,92%), Klebsiella sp. (2,74%), Escherichia coli (1,10%) dan Proteus mirabilis (0,55%).3Perjalanan penyakit ulkus kornea dapat progresif, regresi atau membentuk jaringan parut. Pembentukan parut akibat ulserasi kornea adalah penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia dan merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia. Kebanyakan gangguan penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya bila diagnosis penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai.1,2Insidensi ulkus kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, sedangkan predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak terutama yang dipakai hingga keesokan harinya, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya. Ulkus kornea dapat mengenai semua umur tergantung dengan adanya faktor risiko. Kelompok yang berusia di bawah 30 tahun adalah mereka yang memakai lensa ontak dan/atau dengan trauma okuler sedangkan kelompok yang berusia di atas 50 tahun memiliki risiko apabila pernah menjalani operasi mata.4 Ulkus kornea memberikan gejala mata merah, sakit mata ringan hingga berat, fotofobia, ketajaman penglihatan menurun dan kadang kotor. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis yang baik serta dibantu slit lamp. Pemeriksaan laboratorium seperti mikroskopik dan kultur menunjang diagnosis kausa.5 Secara umum tatalaksana kornea bersifat terapi kausatif, berupa antibiotik. Pengobatan dihentikan bila sudah terjadi epitelisasi dan mata terlihat tenang, kecuali bila disebabkan Pseudomonas aeruginosa sebaiknya pengobatan dilanjutkan 1-2 minggu. Pada ulkus kornea dilakukan pembedahan atau keratoplasti apabila dengan pengobatan tidak sembuh atau terjadinya jaringan parut yang mengganggu penglihatan.1Pada referat ini akan dibahas mengenai tatalaksana ulkus kornea yang disebabkan oleh bakteri E. Coli (Escherichia coli).

1.2 Tujuan Penulisan Untuk meningkatkan wawasan penulis

21

Untuk melengkapi tugas kepaniteraan bagian ilmu penyakit mata RS Bhayangkara R. Said Sukanto20

BAB 2ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA2.1 Anatomi KorneaKornea berasal dari bahasa Latin cornum yang berarti seperti tanduk. Kornea terletak di bagian depan sklera, berupa selaput bening yang tembus cahaya.6 Kornea masuk ke bagian sklera di daerah limbus. Ketebalan kornea 550 m di bagian tengah, serta memiliki diameter horizontal 11,75 mm dan diameter vertikal 10,6 mm.5 Kornea memiliki kelengkungan yang lebih besar dibandingkan sklera.6

Gambar 1. Struktur Internal Bola MataSumber: Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of The Eye. Dalam: Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008: 8-10

Kornea terbagi menjadi lima lapisan dari anterior ke posterior sebagai berikut5,6: Epitel Memiliki ketebalan 50 m, terdiri atas lima lapisan sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat proses mitosis, sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal didepannya melalui desmosom dan makula okluden. Ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan dapat mengakibatkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan. Membran Bowman Merupakan lapisan aselular yang terletak di bawah membran basal epitel kornea. Terbentuk dari kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini tidak memiliki kemampuan regenerasi. Stroma Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang tersusun sejajar satu dengan yang lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedangkan di bagian perfier serat kolagen ini bercabang. Pembentukan serat kolagen tersebut membutuhkan waktu sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea berupa fibroblas yang terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. Membran Descemet Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea. Memiliki ketebalan 3 m saat lahir dan akan berkembang terus seumur hidup sehingga mencapai ketebalan 10-12 m saat usia dewasa. Endotel Berasal dari mesotelium, terdiri dari satu lapisan, berbentuk heksagonal, besarnya 20-40 m. Endotel melekat pada membran Descemet melalui hemidesmosom dan zonula okluden. Berperan dalam menjaga keadaan dehidrasi relatif dari stroma kornea. Endotel cukup rentan mengalami kerusakan dan kehilangan sel seiring dengan pertambahan usia. Perbaikan endotel terbatas pada pembesaran dan pergeseran sel yang sudah ada, dengan kemampuan pembelahan sel yang minimal. Kegagalan fungsi endotel mengakibatkan edema kornea.

Gambar 2. Lapisan Kornea Potongan MelintangSumber: Mller LJ, Pels E, Vrensen GF. The specific architecture of the anterior stroma accounts for maintenance of corneal curvature. Br J Ophthalmol 2001; 85(4):437-43.

Kornea dipersarafi oleh cabang saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V. Saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwann. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong membutuhkan waktu 3 bulan.6

2.2 Fisiologi KorneaKornea berfungsi sebagai membran pelindung dan sebagai jendela sehingga sinar datang dapat tembus dan sampai ke retina. Sifat transparan kornea disebabkan karena struktur yang uniformis, avaskular, dan deturgesensi. Deturgesensi merupakan keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif lapisan endotel dan fungsi barrier dari epitel dan endotel. Lapisan endotel lebih penting dibandingkan epitel dalam mekanisme dehidrasi, dan kerusakan pada endotel akan lebih berat dibandingkan pada epitel. Kerusakan sel endotel akan menyebabkan edema pada kornea dan kehilangan transparansinya (kekeruhan kornea), yang cenderung akan menetap karena keterbatasan kemampuan perbaikan endotel. Kerusakan pada lapisan epitel biasanya menimbulkan edema yang bersifat sementara dan terbatas pada stroma kornea yang cepat hilang karena kemampuan regenerasi sel epitel yang cepat. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menyebabkan keadaan hipertonis pada lapisan tersebut, sehingga menarik air dari bagian superfisial stroma kornea untuk mempertahankan keadaan dehidrasi. Penetrasi obat-obatan melalui kornea yang intak bersifat bifasik. Zat yang larut lemak dapat melalui epitel yang intak, sedangkan zat yang larut air dapat menembus stroma yang intak. Sehingga untuk dapat menembus kornea, sifat obat harus dapat larut dalam lemak maupun air.1 Lapisan epitel merupakan barrier yang efisien untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam kornea. Ketika epitel mengalami trauma, walaupun avaskular, stroma dan membran Bowman menjadi rentan terinfeksi oleh berbagai jenis organisme, antara lain bakteri, amoeba, dan jamur. Streptococcus pneumonia adalah bakteri patogen kornea, patogen lainnya membutuhkan inokulum yang berat dan host dengan gangguan imun untuk menimbulkan infeksi.1

BAB 3ULKUS KORNEA

3.1 Klasifikasi Ulkus KorneaTerdapat dua bentuk ulkus pada kornea, yaitu sentral dan perifer (marginal).1,6 Ulkus Kornea Tipe SentralUlkus kornea tipe sentral biasanya merupakan ulkus infeksi akibat kerusakan pada epitel. Lesi terletak di sentral, jauh dari limbus vaskuler. Etiologi ulkus kornea sentral biasanya bakteri (pseudomonas, pneumokok, Moraxela liquefaciens, Streptococcus beta hemoliticus, E.coli, proteous), virus (herpes simpleks, herpes zoster), jamur (Candida albicans, Fusarium solani, spesies nokardia, sefalosporium dan aspergilus).Mikroorganisme ini tidak mudah masuk ke dalam kornea dengan epitel yang sehat. Terdapat faktor predisposisi untuk terjadinya ulkus kornea seperti erosi pada kornea, keratitis neurotrofik, pemakaian kortikosteroid atau imunosupresif, pemakaian obat anestesi lokal, pemakaian Idoxyuridine (IDU), pasien diabetes melitus dan usia lanjut.

Gambar 3. Ulkus Kornea Tipe Sentral Dengan Hipopion Akibat Infeksi BakteriSumber: http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/561/resources/image/bp/3.html

Ulkus Kornea Tipe Perifer (marginal)Ulkus kornea marginal merupakan peradangan kornea bagian perifer berbentuk khas yang biasanya terdapat daerah jernih antara limbus kornea dengan tempat kelainannya. Dapat disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, autoimun, infeksi, dan penyakit kolagen vaskular. Infeksi pada ulkus kornea tipe perifer biasanya disebabkan oleh kuman Staphylococcus aureus, H.influenza, dan M. lacunata. Sumbu memanjang daerah peradangan biasanya sejajar dengan limbus kornea. Ulkus yang terdapat terutama di bagian perifer kornea, biasanya terjadi akibat alergi, toksik, infeksi dan penyakit kolagen vaskuler. Infiltrat dan ulkus marginal mulai berupa infiltrat linear atau lonjong, terpisah dari limbus oleh interval bening, dan hanya pada akhirnya menjadi ulkus dan mengalami vaskularisasi.

Gambar 4. Ulkus Kornea Tipe PeriferSumber: Wang QS, Yuan J, Zhou SY, Chen JQ. Chronic hepatitis C virus infection is not associated with Mooren's ulcer. Diakses dari http://www.nature.com/eye/journal/v22/n5/fig_tab/6702788f1.html.

3.2 EtiopatogenesisFaktor resiko terjadinya ulkus kornea adalah mata kering, alergi berat, riwayat kelainan inflamasi, penggunaan lensa kontak, immunosuppresi, trauma dan infeksi umum. Ulkus dikarakteristikan dengan defek pada kornea dengan inflamasi dan terjadinya nekrosis pada stroma. Ulkus kornea cenderung sembuh dengan jaringan parut, yang menyebabkan kekeruhan pada kornea dan penurunan visus.1,6 Escherichia coli merupakan flora normal usus halus dan masuk ke dalam kelompok Enterobacteriaceae, gram batang negatif, anaerobik fakultatif, dan tidak membentuk spora. Bakteri enterik lainnya seperti Proteus, Enterobacter, Klebsiella, Morganella juga merupakan flora normal usus halus namun berjumlah lebih sedikit dibandingkan E. Coli.7 Escherichia coli jarang ditemukan sebagai flora normal di daerah konjungtiva dan biasanya merupakan sumber infeksi pada ophtalmia neonatorum. Konjungtivitis pada bayi berat badan lahir rendah dan usia gestasi yang kurang kemungkinan disebabkan oleh bakteri gram negatif.8 Escherichia coli sendiri dapat menimbulkan ulkus kornea indolen yang biasanya ditemukan pada pasien dengan daya tahan tubuh menurun atau imunokompromais, serta pada kornea yang mengalami kelainan patologik.9 Pada ulkus kornea yang disebabkan oleh bakteri, biasanya didahului oleh kerusakan epitel kornea. Mikrotrauma akibat abrasi benda asing, akibat insufisiensi air mata, malnutrisi, ataupun karena penggunaan lensa kontak menyebabkan epitel tidak intak sehingga menjadi tempat masuk infeksi. Berdasarkan patogenesis, ulkus kornea terbagi atas tiga bentuk, yakni10: Ulkus bersifat lokal dan mengalami penyembuhan. Terjadi penetrasi yang lebih dalam dan menimbulkan perforasi kornea. Menyebar secara cepat di seluruh bagian kornea yang menyebabkan ulkus kornea sloughing.Setelah invasi bakteri, perkembangan ulkus kornea meliputi empat proses perkembangan penyakit, yaitu infiltrasi, ulserasi aktif, regresi, dan pembentukan sikatriks. Tahap akhir perkembangan ulkus kornea tergantung pada virulensi agen infeksi, imunitas tubuh host, dan terapi. Tahap infiltrasi progresifDitandai dengan proses infiltrasi sel-sel polimorfonuklear dan limfosit ke dalam lapisan epitel dari sirkulasi perifer serta disuplemen oleh sel-sel serupa dari stroma apabila jaringan ini terlibat. Kemudian terjadi nekrosis pada jaringan yang rusak, tergantung pada tingkat virulensi agen infeksi dan daya tahan tubuh host.10 Tahap ulserasi aktifUlserasi aktif terjadi akibat nekrosis dan peluruhan (sloughing) epitel, membran Bowman, dan stroma yang terlibat. Dinding ulkus aktif menunjukkan gambaran pembengkakan lamel akibat imbibisi cairan dan penumpukan leukosit di antara lamel. Zona infiltrasi ini dapat menyebabkan ulkus lebih lebar dan dalam. Pada tahap ini, sisi dan dasar ulkus memberi gambaran infiltrat keabuan dan sloughing. Di tahap ulserasi aktif, terjadi hiperemia akibat pembuluh darah di sekitar kornea yang menyebabkan akumulasi eksudat purulen di atas kornea. Dapat pula terjadi kongesti dari pembuluh darah pada iris dan badan siliaris dan iritis akibat absorpsi toksin dari ulkus. Eksudasi ke dalam kamera okuli anterior dari pembuluh darah iris dan badan siliaris menimbulkan pembentukan hipopion. Ulserasi dapat berkembang ke arah lateral membentuk ulserasi superfisial yang difus atau infeksi dapat melakukan penetrasi lebih dalam sehingga menimbulkan pembentukan Descemetokel dan kemungkinan terjadinya perforasi kornea.10 Tahap regresiProses regresi diinduksi oleh mekanisme pertahanan tubuh alami (produksi antibodi humoral dan imunitas seluler) dan terapi pengobatan yang menambah respon imun tubuh. Pada daerah sekitar ulkus akan terbentuk garis batas yang terdiri dari leukosit yang menetralisasi dan memfagosit organisme dan debris sel nekrotik. Digesti materi nekrotik akan menyebabkan pembesaran daerah ulkus. Proses ini dapat diikuti dengan vaskularisasi superfisial yang meningkatkan respon imunitas humoral dan seluler. Ulkus akan mulai sembuh dan epitel tumbuh dari bagian tepi.10

Gambar 5. Patologi Ulkus Kornea: A.Infiltrasi; B.Ulserasi Aktif; C.Regresi; D.Pembentukan SikatrikSumber: Khurana AK. Diseases of Cornea. Dalam: Ophthalmology. Edisi ke-3. New Delhi: New Age International Limited Publishers; 2003

Tahap pembentuk sikatriksPada tahapan ini, proses penyembuhan terus berlanjut dengan epitelisasi yang progresif yang akan menutupi ulkus secara permanen. Di bawah epitel, jaringan fibrosa yang terdiri sebagian oleh fibroblas kornea dan sebagian oleh sel-sel endotel pembuluh darah baru. Stroma yang terus menebal akan mengisi bagian bawah epitel dan mendorong permukaan epitel ke arah anterior. Pembentukan jaringan parut pada tahap ini bervariasi. Jika ulkus yang terjadi bersifat superfisial hanya melibatkan epitel, maka ulkus dapat sembuh tanpa meninggalkan kekeruhan. Namun, jika ulkus melibatkan membran Bowman dan lamel stroma, dapat timbul jaringan parut nebula. Makula dan leukoma dapat timbul setelah penyembuhan ulkus yang mengenai satu sepertiga atau lebih bagian stroma kornea.103.3 DiagnosisDiagnosis ulkus kornea bakterial secara klinis bergantung pada riwayat paparan terhadap sumber infeksi dan gambaran morfologi inflamasi kornea.11 Tingkat keparahan dari infeksi kornea bergantung pada kondisi awal kornea dan patogenitas dari bakteri yang menginfeksi.123.3.1 AnamnesaPada anamnesa, tanyakan mengenai gejala dan faktor risiko yang berhubungan dengan ulkus kornea. Gejala subjektif yang dikeluhkan biasanya berupa nyeri hebat pada mata, mata merah, penglihatan buram, dan silau jika melihat cahaya. Pada ulkus kornea, nyeri biasanya hebat karena kornea memiliki banyak serabut nyeri dan diperhebat lagi oleh gesekan palpebra (terutama palpebra superior) pada kornea dan rasa nyeri ini menetap sampai sembuh. Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan terutama jika letak lesinya di pusat. Fotofobia terjadi akibat kontraksi iris yang meradang, yang juga menimbulkan rasa nyeri. Sekret biasanya tampak pada ulkus bakterial purulen.1Keratitis bakteri jarang terjadi tanpa adanya faktor predisposisi. Hingga kini banyak kasus yang berhubungan dengan trauma okular (abrasi, laserasi, penetrasi) atau penyakit okular superfisial (infeksi herpes sebelumnya, keratopati bulosa, dry eye syndrome), blefaritis, dan kelainan kelopak mata. Penggunaan kontak lens yang meningkat belakangan ini meningkatkan insiden keratitis akibat penggunaan kontak lens. Pada penelitian Bourcier et al, faktor risiko sistemik yang berhubungan yaitu diabetes mellitus, penyakit autoimun, penggunaan kortikosteroid lokal maupun sistemik, serta gangguan psikiatri.1,9,11,12

3.3.2 Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan bola mata ditemukan tanda-tanda inflamasi pada kelopak mata dan konjungtiva. Biasanya ditemukan injeksi siliar. Eksudat purulen dapat terlihat pada sakus konjungtiva dan pada permukaan ulkus, dan infiltrasi stroma dapat menunjukkan opaksitas kornea berwarna krem. Ulkus biasanya berbentuk bulat atau oval, dengan batas yang tegas. Pada pemeriksaan dengan slit lamp, seringkali iris, pupil, dan lensa sulit dinilai karena terdapat kekeruhan pada kornea, atau ditemukan tanda-tanda iritis dan hipopion. Pada pemeriksaan visus, didapatkan penurunan visus pada mata yang mengalami infeksi karena adanya defek pada kornea sehingga menghalangi cahaya masuk ke dalam media refraksi.1,9

Gambar 6. Ulkus KorneaSumber: http://odlarmed.com/?p=3695

Gambaran klinis ulkus kornea bervariasi terutama jika sebelumnya telah diobati. Meskipun demikian, gambaran klinis klasik yaitu organisme Gram positif cenderung menghasilkan ulkus diskrit, lesi seperti abses kecil sedangkan pada bakteri Gram negatif berupa lesi difus dan lesi nekrotik yang cepat menyebar. Edema kelopak, kemosis konjungtiva, dan eksudat purulen umumnya berhubungan dengan organisme Gram negatif, terutama infeksi Gonokokal.13 Infeksi bakteri Gram negatif berhubungan dengan inflamasi berat pada bilik mata depan, demikian juga infiltratnya akan lebih luas. Hal ini disebabkan bakteri Gram negatif memiliki patogenitas yang lebih tinggi dibanding bakteri Gram positif.123.3.3 Pemeriksaan PenunjangTanda penting ulkus kornea yaitu hilangnya sebagian permukaan kornea yang nampak pada pewarnaan fluoresen. Daerah defek pada epitel kornea ditunjukkan oleh warna hijau, sedangkan warna biru menunjukkan daerah yang intak.1, 9

Gambar 7. Ulkus Kornea pada Tes FlouresceinSumber: http://blog.anterior-slit-lamp-imaging.eyephotosystems.com/2011/04/hd-fluorescein-corneal-ulcer-92285.html

Pemeriksaan laboratorium terhadap agen infeksi dari sampel kornea direkomendasikan, namun bukan merupakan pemeriksaan rutin karena memakan waktu, biaya dan masalah ketersedian pemeriksaan tersebut. Terapi antimikroba awal sering dipandu oleh interpretasi subjektif dari gambaran klinis yang tampak.11Pewarnaan Gram dan kultur diindikasikan pada kasus dimana infiltrat kornea besar dan melebihi setengah dari dalamnya stroma, pada kasus kronik yang tidak berespon terhadap antibiotik berspektrum luas, atau gambaran klinis yang atipikal. Sampel untuk hapusan diambil dari goresan kornea. Sensitifitas pemeriksaan pewarnaan Gram pada ulkus kornea bakterial sebesar 37%. Untuk menyingkirkan jamur sebagai agen penyebabnya dapat dilakukan pemeriksaan KOH.14 Kultur dimaksudkan untuk mengetahui organisme kausatif dan untuk menentukan sensitifitas terhadap antibiotik. Kultur berguna dalam modifikasi antibiotik pada pasien yang kurang berespon dengan antibiotik awal dan untuk menurunkan toksisitas dengan mengeliminasi obat yang tidak perlu. Tersedia pula teknik identifikasi mikroorganisme penyebab dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR).9, 14, 15

3.4 TatalaksanaUlkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani dengan baik agar tidak terjadicedera yang lebih parah.16 Secara umum ulkus kornea diobati dengan : Tidak dibebat, karena dapat menyebabkan kenaikan suhu yang akan berfungsi sebagai inkubator. Selain itu pembebatan dengan kassa akan menghalangi jalan keluar sekret sehingga kassa menjadi media yang baik untuk tumbuhnya kuman. Membersihkan sekret yang terbentuk 4 kali satu hari/debridemen. Menghentikan penggunaan obat-obatan topikal yang mengandung steroid. Mengedukasi pasien supaya jangan menggunakan obat-obatan tradisional, tidak menggosok mata yang meradang, mencuci tangan sesering mungkin, jika menggunakan softlens segera lepaskan. Memberikan analgetik bila nyeri. Memberikan pengobatan konstitusi yaitu mengatasi faktor-faktor predisposisi yang mendasari terjadinya ulkus dan menjadi penyulit. Memperhatikan kemungkinan terjadinya glaukoma sekunder. Pasien dirawat jika menunjukkan gejala perforasi, memerlukan pengobatan sistemik, atau pasien tidak dapat menggunakan obat sendiri. Memberikan pengobatan yang sesuai dengan penyebabnya. Bila penyebabnya adalah bakteri maka diberikan antibiotik, virus maka diberikan antivirus, sedangkan jamur maka diberikan anti jamur.Tujuan terapi ulkus kornea adalah untuk memberantas bakteri hidup dari kornea dan untuk meminimalkan reaksi inflamasi yang ditimbulkan oleh bakteri tersebut. Tujuan ini dapat dicapai dengan terapi inisiasi yang cepat dengan antimikroba yang spesifik. Setelah eleminasi bakteri telah dilakukan, baru dilakukan koreksi pada faktor-faktor predisposisi yang mempengaruhi perkembangan infeksi. Untuk kasus infeksi bakteri dianjurkan untuk memberikan terapi awal berupa antibiotik spektrum luas. Escherichia coli termasuk dalam bakteri gram negatif berbentuk batang.1 Pemilihan antimikroba terhadap infeksi E. coli tergantung dari tempat, jenis, dan tingkat keparahan infeksi. Sejumlah antibiotik efektif terhadap E. coli tetapi tidak semua obat seragam dan aktif terhadap semua strain E coli, sehingga perlu dilakukan uji sensitivitas untuk panduan pemilihan antibiotik yang akan digunakan.9 Dahulu infeksi Escherichia coli yang ringan, antibiotik awal yang dapat digunakan adalah ampisilin 2-4 gram perhari IV atau IM. Selain itu dapat juga digunakan golongan penisilin yang lain seperti -laktamase inhibitor, sefalosporin, nitrofurantoin, trimetoprim, dan sulfametoksazol. Untuk infeksi sedang dapat digunakan ampisilin atau sulbaktam 3 gram IV setiap 6 jam. Pemberian imipenem, siprofloksasin, sefotaksim juga dapat dipertimbangkan. Sedangkan untuk infeksi Escherichia coli yang berat dapat diberikan kanamisin 15 mg/kgBB IM setiap 6-8 jam.Antibiotik awal yang dapat diberikan pada ulkus kornea karena E. coli antara lain adalah golongan fluorokuinolon, ciproflokasin, tobramisin atau gentamisin. Selain itu dapat diberikan juga antibiotik alternatif lainnya seperti golongan fluorokuinolon lainnya, polimiksin B atau karbanisilin.17Fluorokuinolon merupakan antibiotik spektrum luas yang biasanya digunakan untuk keratitis bakteri. Fluorokuinolon bekerja dengan menghambat girase DNA (topoisomerase II) dan topoisomerase IV yang merupakan enzim kunci yang terlibat dalam replikasi dan transkripsi DNA. Girase DNA ini merupakan target utama bagi bakteri gram negatif. Generasi pertama dari fluorokuinolon, yaitu asam nalidiksat digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih. Yang termasuk dalam fluorokuinolon generasi kedua adalah siprofloksasin dan ofloksasin sedangkan generasi ketiga adalah levofloksasin. Meningkatnya insiden resistensi terhadap fluorokuinolon generasi sebelumnya menunjukkan keperluan terhadap antibiotik generasi baru. Hal ini ditunjukkan melalui hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan antibiotik spektrum luas terhadap 16 jenis bakteri dan kejadian resistensi kuinolon terhadap E. coli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kuinolon di rumah sakit mempengaruhi kejadian resistensi kuinolon terhadap E. coli.18 Telah ditemukan golongan fluorokuinolon generasi keempat, yaitu moksifloksasin dan gatifloksasin yang menunjukkan kemajuan dalam struktur molekul sehingga dapat menginhibisi girase DNA pada bakteri gram negatif dan topoisomerase IV pada bakteri gram positif. Kemajuan ini menyebabkan fluorokuinolon generasi keempat berpotensi tinggi untuk bakteri gram positif namun tetap menjadi antibiotik spektrum luas yang baik untuk bakteri gram negatif. Potensi antibiotik terhadap bakteri dicerminkan melalui konsentrasi inhibisi terkecil (minimun inhibitory concentration/MCI). Moksifloksasin mempunyai nilai MCI yang lebih rendah terhadap bakteri gram positif sedangkan gatifloksasin mempunyai nilai MCI yang rendah terhadap sebagian besar bakteri gram negatif. Selain itu, potensi moksifloksasin dan gatifloksasin tinggi, yaitu 92.8% and 95.5% pada bakteri yang dapat diobati dengan kedua obat tersebut. Karena inilah moksifloksasin dan gatifloksasin menjadi antibiotik yang lebih efektif dibandingkan fluorokuinolon generasi sebelumnya.19Dari beberapa hasil penelitian in vitro yang telah dilakukan, didapatkan bahwa siprofloksasin (fluorokuinolon generasi kedua) mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan dengan golongan fluorokuinolon generasi ketiga dan keempat untuk bakteri gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa siprofloksasin memiliki nilai MCI yang paling rendah diantara antibiotik lainnya terhadap bakteri gram negatif. Akan tetapi hasil penelitian in vitro tersebut masih belum dapat dijadikan sebagai landasan efektifitas terapi bagi penyakit mata karena potensi sebagai obat topikal masih belum ditemukan.19Penggantian jenis antibiotik dapat dilakukan bila didapatkan respon pengobatan yang lambat dan bila didapatkan adanya hasil sensitifitas antibiotik terhadap organisme yang telah diisolasi. Pemilihan jenis sediaan yang akan digunakan didasarkan dengan derajat keparahan dari keratitis tersebut.20 Pada terapi topikal intensif, diberikan tiap jam tiap hari, diikuti tiap 2 jam tiap malam pada minimal setelah 48 jam pertama, lalu perlahan dikurangi. Pemberian topikal antibotik ini diberikan sampai infeksi sembuh.9 Terapi sistemik berguna pada ulkus kornea yang mencapai limbus atau yang dihubungkan dengan skleritis atau endoftalmitis sehingga tidak selalu diperlukan. ObatTopikalSubkonjungtivalSistemik

Moxifloksasin5 mg/mL (solutio)--

Gatifloksasin3 mg/mL (solutio)--

Ciproflokasin3 mg/mL-500750 mg oral tiap 12 jam

Tobramisin1020 mg/mL (fortifikasi)20 mg/0.5 mL/dosis-

Gentamisin1020 mg/mL (fortifikasi)20 mg/0.51 mL/dosis-

Polimiksin B12 mg/mL10 mg/0.5 mL dosis-

Carbanisilin4 mg/mL125 mg/0.5 mL/dosis100200 mg/kg/d IV dalam 4 dosis

Tabel 1. Antibiotik Bakteri Gram Negatif Bentuk Batang

Gambar 8. Stadium Keratitis Modifikasi JonesSumber: Aaberg T M, Abbot R L, et al. Duanes Clinical Opthalmology. Lippincott Williams & Wilkins, 2005

Colagen cross-linking (CXL) adalah teknik terapi yang menggunakan riboflavin dan sinar ultraviolet-A (UVA) meningkatkan kekuatan jaringan kornea yang mengalami peningkatan kekakuan. Sebuah temuan di Jepang menunjukkan bahwa riboflavin (vitamin B2), mikronutrien alami yang berperan dalam menjaga kesehatan manusia, yang terpapar cahaya tampak atau UV dapat digunakan untuk menonaktifkan RNA yang mengandung virus mosaik tembakau. Riboflavin berinteraksi dengan sinar UV-A dalam memperkuat pembentukan ikatan kimia antara fibril kolagen pada stroma kornea dan membantu meningkatkan perlawanan terhadap pencernaan enzimatik. Aktivasi riboflavin dengan sinar UV ini menyebabkan kerusakan RNA dan DNA dari mikroorganisme oleh proses oksidasi dan menyebabkan lesi pada untai kromosom. Selain itu, radiasi UV memiliki efek sporisidal dan virusidal. Pemberian riboflavin dilakukan setelah pemberian obat tetes mata anestesi. Pemberian obat tetes mata ini untuk menghilangkan epitel longgar dan epitel di sekitar ulkus. Tujuan menghilangkan epitel kornea adalah untuk mencapai penetrasi yang memadai tetes mata riboflavin. Riboflavin (riboflavin / dekstran solusi 0,5-0,1%) ditanamkan di atas permukaan kornea untuk jangka waktu 20-30 menit dengan interval 2-3 menit. Hal ini diikuti dengan pencahayaan kornea menggunakan lampu UV-X, UV-A 365 nm, dengan radiasi dari 3,0 mW/cm2 dan dosis total 5,4 J/cm2.19Sampai saat ini, hanya beberapa dokumen dalam literatur telah melaporkan efek terapi photodynamic (kolagen CXL) dalam pengelolaan keratitis menular. Hasil dari uji coba yang menjanjikan dan menyiratkan bahwa modalitas pengobatan baru mungkin berguna dalam pengobatan ulkus kornea tidak menular atau sebagai tambahan untuk pengobatan antibiotik standar. Namun, karena semua penelitian yang diterbitkan mengenai CXL sebagai pengobatan keratitis menular yang baik didasarkan pada hewan atau sejumlah kecil pasien, skala yang lebih besar acak, percobaan terkontrol harus dilakukan untuk mengevaluasi efek menguntungkan tambahan CXL di keratitis menular di atas konvensional topikal antibiotik. Selain itu, bukti-bukti lebih lanjut diperlukan sebelum itu akan dianjurkan untuk menggunakan CXL sebagai pengobatan lini pertama untuk ulkus kornea yang menular.

Gambar 9. Colagen cross-linking (CXL)Sumber: Wong R.L.M., Gangwani R.A, Yu. L.W.H., Lai J. S. M. New Treatments for Bacterial Keratitis. Journal of Ophthalmology. Aug 19.2012

Selain itu dapat diberikan terapi tambahan berupa sikloplegik, kortikosteroid, analgesik, dan anti glaukoma dapat diberikan jika terdapat indikasi yang sesuai. Sikloplegik dapat digunakan pada semua jenis kasus. Sikloplegik mencegah terjadinya sinekia posterior dan menghilangkan spasme siliar. Sikloplegik yang dapat diberikan antara lain adalah topikal skopolamin 0,25%, homatropin 5% atau atropin 1% digunakan 2-3 kali dalam satu hari. Penggunaan kortikosteroid dalam pengelolaan keratitis bakteri masih kontroversial.15 Alasan penggunaan kortikosteroid dalam kondisi keratitis bakteri adalah untuk mengendalikan kerusakan yang dihasilkan oleh invasi leukosit polimorfonuklear dan enzim yang merusak dan mengurangi kehilangan penglihatan dari pasca-inflamasi kornea jaringan parut. Alasan untuk menghindari penggunaan kortikosteroid topikal termasuk potensi untuk mengganggu mekanisme pertahanan host dengan merusak fagositosis bakteri, menghambat penyembuhan luka kornea, dan meningkatkan risiko perforasi kornea. Terapi steroid topikal paling sering terdiri dari suspensi prednisolon asetat 1% dengan frekuensi penggunaan yang sama seperti antibiotik.2Untuk menghindari penjalaran ulkus dapat dilakukan17:1. Kauterisasi. Dapat dilakukan dengan zat kimia dengan iodine, larutan murni asam karbolik, larutan trikloroasetat. Selain itu dapat juga dengan panas yaitu dengan elektrokauter atau termopor. Dengan instrumen ini dengan ujung alatnya yang mengandung panas disentuhkan pada pinggir ulkus sampai berwarna keputih-putihan.2. Pengerokan epitel yang sakit. Paratesa dilakukan bila dengna pengobatan medikamentosa tidak menunjukkan adanya perbaikan. Tindakan ini dilakukan dengan mengganti bilik mata depan yang lama dengan yang baru yang banyak mengandung antibodi dengan harapan luka menjadi cepat sembuh. Lalu dilakukan penutupan ulkus dengan flap konjungtiva dengan melepaskan konjungtiva dari sekitar limbus kemudian ditarik menutupi ulkus dengan tujuan memberi perlindungan dan nutrisi pada ulkus untuk mempercepat penyembuhan ulkus. Bila ulkus sudah sembuh, maka flap konjungtiva ini dapat dibuka kembali.Pada pasien dengan ulkus kornea yang mengalami perforasi dapat diberikan sulfas atropin, antibiotik, dan pembebatan yang kuat. Pasien dianjurkan untuk segera berbaring dan tidak banyak melakukan gerakan-gerakan. Bila perforasi yang terjadi disertai dengan prolaps iris dan baru saja terjadi, maka dapat dilakukan: Iridektomi dari iris yang prolaps. Reposisi iris. Penjahitan dan penutupuan kornea dengan flap konjungtiva. Pemberian sulfas atropin, antibiotik, dan pembebatan yang kuat.Keratoplasti dapat dilakukan pada pasien ulkus kornea yang tidak memberikan respon yang baik terhadap pengobatan diatas.21 Indikasi dari keratoplasi adalah1. Adanya jaringan parut yang mengganggu penglihatan.2. Turunnya ketajaman penglihatan akibat kekeruhan kornea.3. Terdapat beberapa kriteria berikut:a. Adanya kemunduran visus yang cukup mengganggu aktivitas penderita.b. Kelainan kornea yang mengganggu mental penderita.c. Kelainan kornea yang tidak disertai ambliopia.

3.5 KomplikasiUlkus kornea yang terlambat atau tidak mendapat pengobatan yang adekuat dapat mengakibatkan perforasi kornea walaupun hal ini jarang terjadi. Hal ini dikarenakan lapisan kornea semakin tipis dibanding dengan normal sehingga ketika terjadi peningkatan tekanan intraokuler bagian yang tipis ini tidak dapat menahannya. Jaringan parut kornea yang terbentuk dapat menyebabkan perlekatan antara kornea dengan iris (sinekia anterior). Kuman yang kelur akibat perforasi menyebabkan endoftalmitis bahkan dapat menjadi panoftalmitis. Komplikasi lain berupa katarak, glaukoma, serta hilangnya penglihatan.1, 9

3.6 PrognosisPrognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi tingkat keparahan dan lambatnya mendapatkan pertolongan serta timbulnya komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama mungkin juga dipengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini, apabila tidak ada ketaatan penggunaan obat terjadi padapenggunaan antibiotika maka dapat menimbulkan resistensi. Ulkus kornea harus membaik setiap harinya dan harus disembuhkan denganpemberian terapi yang tepat. 2,9

BAB IVKESIMPULAN

Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea hingga lapisan stroma akibat kematian jaringan kornea. Penyebabnya dapat berupa agen infeksi salah satunya adalah bakteri, paling banyak disebabkan oleh Staphylococcus aureus sebesar 19.13%, selain itu dapat juga disebabkan oleh E. Coli sebanyak 1,10%.Prekembangan ulkus kornea terjadi melalui empat proses, yaitu infiltrasi, ulserasi aktif, regresi dan pembentukan sikatriks. Bakteri E. coli biasanya menyebabkan ulkus kornea sentral. Invasi bakteri ke dalam kornea dengan epitel yang sehat tidak mudah terjadi sehingga perlu diperhatikan adanya faktor predisposisi agar bakteri dapat masuk ke lapisan di bawah kornea seperti erosi pada kornea, keratitis neurotrofik, pemakaian kortikosteroid atau imunosupresif, pemakaian obat anestetika lokal, pemakaian Idoxyuridine (IDU), penggunaan lensa kontak, pasien diabetes melitus, dan usia lanjut.Gejala subjektif yang muncul biasanya berupa nyeri hebat pada mata, mata merah, penglihatan buram, dan silau jika melihat cahaya. Selain itu dapat ditemukan dengan adanya tanda-tanda inflamasi berupa injeksi siliar, eksudat purulen, dan infiltrasi stroma. Ketajaman penglihatan juga dapat mengalami penurunan. Pada bakteri gram negatif biasanya inflamasi berat pada bilik mata depan, demikian juga infiltratnya akan lebih luas. Pemeriksaan dengan slit lamp dapat ditemukan adanya kekeruhan pada kornea atau tanda-tanda iritis dan hipopion. Diagnosis dapat ditunjang dengan pewarnaan fluoresen, dimana warna hijau menunjukkan area yang terganggu sedangkan warna biru menunjukkan sebaliknya. Tatalaksana ulkus kornea karena E. coli bersifat kausatif dengan antibiotik. Pemberian dapat berupa topikal atau sistemik tergantung indikasi. Saat ini, antibiotik yang diberikan berupa golongan fluorokuinolon generasi 2 (siproflokasin), fluoroquinolon generasi 4 (motifloksasin atau gatifloksasin), polimiksin B atau karbanisilin. Terapi sistemik berguna pada ulkus kornea yang mencapai limbus atau yang dihubungkan dengan skleritis atau endoftalmitis. Selain itu, dapat juga diberikan terapi dengan kombinasi riboflavin dengan UV A, CXL, sikloplegik, kortikosteroid, dan analgesik.Perbaikan keadaan pasien bergantung pada tingkat keparahan dan cepat lambatnya mendapatkan pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada tidaknya komplikasi yang timbul. Apabila tatalaksana tidak berjalan dengan baik, dapat menyebabkan perforasi kornea. Selain itu dapat juga menyebabkan katarak, glaukoma, serta hilangnya penglihatan. DAFTAR PUSTAKA1. Biswell R. Cornea. Dalam Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008: 126-49.2. Mills TJ, Corneal Ulceration and Ulcerative Keratitis in Emergency Medicine. [cited 2012 Maret 9] Avaible from: http://www.emedicine.com/emerg/topic 115.htm. [11 Januari 2013]3. Wani MG, Mkangamwi NA, Gurumatunhu S. Prevalence of causative organisms in corneal ulcers seen at Sekuru Kaguvi Eye Unit, Harare, Zimbabwe.Cent Afr J Med. 2001. 47(5) : 119-23.4. Suhardjo, Widodo Fatah, Dewi Upik M. Tingkat Keparahan Ulkus Kornea diRS Dr. Sardjito Sebagai Tempat Pelayanan Mata Tertier. Available from: http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/art-1.htm [12 Januari 2013]5. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI ; 2008: 4-6.6. Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of The Eye. Dalam: Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008: 8-10.7. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA. Enteric Gram-Negative Rods (Enterobacteriaceae). Dalam: Jawets, Melnick & Adelbergs Medical Microbiology 24th ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2007.8. Chen CJ, Starr CE. Epidemiology of gram-negative conjunctivitis in neonatal intensive care unit patients. Am J Ophthalmol. Jun 2008; 145(6): 966 70.9. Khurana AK. Diseases of Cornea. Dalam: Ophthalmology. Edisi ke-3. New Delhi: New Age International Limited Publishers; 2003.10. Dahlgren MA, Lingappan A, Wilhelmus KR. The clinical diagnosis of microbial keratitis. Am J Ophthalmol. 2007;143(6): 9404.11. Bourcier T, Thomas F, Borderie V, Chaumeil C, Laroche L. Bacterial keratitis: predisposing factors, clinical and microbiological review of 300 cases. Br J Ophthalmol. 2003;87:8348.12. Suh DW. Ophthalmologic manifestations of Escherichia coliclinical presentation. [cited 2013 Jan 13]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1203472-clinical#showall [12 Januari 2013]13. Srinivasan M, Mascarenhas J, Prashanth CN. Distinguishing infectious versus noninfectious keratitis. Indian J Ophthalmol. 2008;56:203-7.14. American Academy of Ophtalmology. Prefferd Practice Pattern Guidelines; Bacterial keratitis limited revision. San Fransisco, CA: American Academy of Ophtalmology; 2011.15. Gopinathan U, Sharma S, Garg P, Rao GN. Review of epidemiological features, microbiological diagnosis and treatment outcome of microbial keratitis: experience of a over decade. Indian J Ophtalmol. 2009;57:273-9.16. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI ; 2008: l59 64.17. Eisenstein BI. Escherichia coli infections. Dalam: Harrison's Principles of Internal Medicine 17th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2008: 661-3.18. Batard E, Ollivier F, Boutoille D, Hardouin JB, Montassier E, Caillon J, et al. Relationship between hospital antibiotic use and quinolone resistance in Escherichia coli. Int J Infect Dis. Nov 22 2012.19. Wong R.L.M., Gangwani R.A, Yu. L.W.H., Lai J. S. M. New Treatments for Bacterial Keratitis. Journal of Ophthalmology. Aug 19.2012.20. Aaberg T M, Abbot R L, et al. Duanes Clinical Opthalmology. Lippincott Williams & Wilkins, 2005.21. Schlote T, Rohrbach J, Greub M, Mielke J. Pocket Atlas Ophtalmology 1st ed. Thieme: New York; 2006.