Referat TUBERKULOSIS otak

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tuberkulosis (TB) tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian baik di negara sedang berkembang maupun dinegara maju. Saat ini diperkirakan setiap 15 detik seseorang meninggal karena menderita tuberkulosis (Safitri, 2004). WHO melaporkan bahwa di seluruh dunia sejak tahun 1990-1999 sekitar 30 juta orang meninggal sia-sia karena tuberkulosis. Sepertiga populasi dunia terinfeksi oleh kuman TB dan setiap tahun dijumpai 8 juta kasus baru dengan angka kematian 3 juta (Sadjimin, 2004). Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB, karena pada sebagian besar di dunia, penyakit TB tidak terkendali. Ini disebabkan banyaknya pendeita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular (BTA positif). Munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia, diperkirakan penderita TB akan meningkat. Pada saat yang sama multidrug resistance yang diakibatkan tatalaksana pengobatan yang buruk, berkembang menjadi masalah yang sangat serius di beberapa negara (Gunawan, 2004) Di Indonesia pada tahun 1995, hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernafasan pada semua

kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002). Pada bulan maret 2000, Menteri Kesehatan dan Menteri Perencanaan Pembangunan dari 22 negara dengan beban TB tinggi (High burden countries) melakukan komitmen bersama dan menghasilkan Deklarasi Amsterdam . Deklarasi ini mengikat semua negara peserta untuk memprioritaskan masalah penanggulangan TB di negara masing-masing. Deklarasi ini kemudian ditindak lanjuti dengan Global DOTS Expansion Plan dan Washington Commitment pada Oktober 2001 sebagai tindak lanjut operasional dengan beberapa target, antara lain penyusunan rencana strategis pada masing-masing negara. Target penemuan kasus TB BTA (+) > 70% dari kasus yang diperkirakan, dengan angka kesembuhan >85% akan dicapai pada akhir tahun 2005. Tuberkulosis lebih sering menyerang paru-paru sebagai pulmonary tuberculocis, tetapi bakteri tuberkulosis juga dapat menyerang ke sistem nervous central (otak dan saraf), sistem limfatik, sistem sirkulasi, sistem genitouinari, tulang, persendian, kulit dan bahkan seluruh tubuh (Wikipedia, 2007). Tuberkuloma cerebra (tuberculosis otak) merupakan penyakit yang jarang didapatkan tetapi menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi walaupun metode diagnostic dan pengobatan sudah modern (WY Lee, KY Pang, dan CK Wong, 2002). Tuberkuloma cerebral menyebabkan masa lesi intracerebral. Diagnosis cepat berdasarkan penemuan tanda patologi dapat meningkatkan prognosis (H Yanardag, S Uygun, V Yumuk, M Caner, dan B Canbaz, 2005).

B. RUMUSAN MASALAH Dari uraian diatas dapat diambil rumusan masalah yaitu Tuberkulosis cerebral merupakan penyakit yang memerlukan diagnosis dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih lanjut untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang radiologik yang tepat dan sesuai. C. TUJUAN PENULISAN 1. Mengetahui gejala-gejala klinis Tuberkulosis Cerebral sehingga dapat segera ditegakkan diagnosis secara tepat. 2. Mengetahui gambaran radiologis dari Tuberkulosis Cerebral.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis Cerebral adalah salah satu bentuk tuberkulosis yang menyerang sistem central nervous yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi otak. Tuberkulosis cerebral merupakan suatu proses peradangan kronik dan destruktif yang disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dari fokus jauh, dan hampir selalu berasal dari paruparu. Penyebaran basil ini dapat terjadi pada waktu infeksi primer atau pasca primer. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak, gangguan sistem imun, dan penderita AIDS.

B. EPIDEMIOLOGI Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB.

Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif. Ekstrapulmonal Tuberkulosis kejadiannya diperkirakan 20 % dari kejadian semua tuberkulosis dan kejadiannya meningkat setiap tahunnya. Tuberkulosis sistem central nervous kejadiannya diperkirakan hanya 5 % dari kejadian ekstrapulmonal tuberkulosis, sedangkan untuk tuberkulosis cerebral tidak ada data pasti sebanyak apa tingkat kejadiannya, karena bentuk tuberkulosis ini sangat jarang terjadi dan juga jarang dilaporkan.

C. ETIOLOGI Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium Tuberculosa. Kuman ini dapat menginfeksi manusia, seperti M. bovis, M. kansasii, M. intracellular. Pada manusia paru-paru merupakan pintu gerbang utama masuknya infeksi pada organ lain, bahkan bisa sampai menginfeksi otak.

D. PATOGENESIS Kuman Mycobacterium tuberculosisi berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (DepKesRI, 2003).

Mycobacterium tuberculosis adalah tahan asam, tidak berspora, tidak berkapsul, dan obligat aerob. Pertumbuhannya lambat, yaitu waktu

penggandaannya adalah 12 24 jam, 2 6 minggu pada media yang padat. Tumbuh baik pada suhu badan. Dapat bertahan hidup dalam kondisi kering dalam beberapa lama, tetapi dapat mati oleh cahaya langsung matahari, sinar Ultraviolet, 60C dalam 20 menit, atau phenol (zat asam karbol) dalam 12 jam (Anonim, 2004).

E. PATOFISIOLOGI Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet nuclei (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saliran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Basil TB masuk dan bersarang di jaringan paru (bronkiolus dan alveolus) membentuk fokus primer yang predileksinya di semua lobus, 70% terletak di subpleura. Fokus primer dapat mengalami penyembuhan sempurna, kalsifikasi, perkejuan atau penyebaran lebih lanjut. Dari fokus primer basil TB melalui saluran limfe mencapai kelenjar limfe regional (hilus, paratrakeal,

supraklavikular, sedikit aksilar dan abdominal) dan menimbulkan peradangan

sepanjang perjalanannya (limfangitis), sedangkan yang melalui aliran darah mencapai berbagai organ tubuh (Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 1999). Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak negatip (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (DepKesRI, 2003).

Infeksi Primer Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosiliter bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimlai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi ampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa

kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadangkadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa blan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mula terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan (DepKesRI, 2003).

Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB) Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pluera (DepKesRI, 2003).

Infeksi Tuberkulosis Cerebral Beberapa penderita tuberkulosis cerebral merupakan hasil penyebaran secara hematogen dari suatu infeksi primer fokus jauh. Fokus primer mungkin terjadi di paru-paru atau di lymphonode mediastinum, mesentry, daerah cervical dan ginjal. Infeksi menjangkau sistem nervous central melalui saluran vaskuler, tetapi dapat juga terinfeksi tanpa di dahului focus primer yang terjadi di paruparu.

Bakteri tuberkulosis yang masuk ke jaringan otak menyebabkan infeksi dan peradangan di otak sehingga menyebabkan pembentukan eksudat dan transudat, terjdilah edema otak yang dapat meningkatkan tekanan intracranial, selain itu proses inflamasi dapat menyebabkan iritasi dan destruksi pada area kortek cerebral dan saraf-saraf cranial mengaikbatkan gangguan neurologi pada bagian yang terkena infeksi.

F.

GEJALA KLINIS Keluhan yang dirasakan pasien tuberculosis cerebral dapat bermacam-

macam atau malah ditemukan tanpa keluhan yang berarti. Biasnya terdapat gangguan neurologis sesusi dengan tingkat keparahan penyakit dan lokasi infeksi sedang berlangsung. Gejala yang seing didapatkan adalah deficit neurologic fokal (73%), sakit kepala (47%), demam (46%), kejang (35%), dan gangguan / perubahan kesadaran (24%). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda tanda deficit neurolofik fokal seperti gangguan bicara, gangguan motorik. Medan penglihatan menurun, hemiparesis, dan hiperreflek. Gambaran klinis tuberkulosa cerebral tanpa ada kelainan di paru sebagai fokal infeksi memberikan gambaran menyerupai tumor intracranial, abses cerebral, neurosarcoidosis. Pada suatu case report, pasien dengan tuberculosis cerebral datang dengan keluhan yang tidak khas seperti nyeri kepala dan leher, mual, muntah, strabismus, diplopia, gangguan gaya berjalan, penglihatan teganggu, dan mempunyai riwayat kejang. Gejala ini dapat membingungkan jika pada pasien tidak ditemukan tanda tanda infeksi sepeti demam dan tidak adanya riwayat tuberculosis sebelumnya, sehingga dapat mengaburkan dalam membuat diagnosis. G. DIAGNOSA

Untuk menegakkan diagnosis tuberculosis cerebral cukup sulit, hal ini disebabkan kejadiannya sangat jarang, gejalanya menyerupai tumor intrakrnial, dan proses infeksi tubekulosis cerebral dapat tanpa didahului oleh fokal infeksi di paru. Di negara maju diagnosis tuberkulosis cerebral ditegakkan dengan menggunakan CT scan dan MRI disertai pemeriksaan kultur bakteri dan histopatologi. Pemeriksaan tes sptum BTA dan foto thoraks PA dapat berguna untuk menentukan apakah infeksi berasal dari penyebaran TB paru, sehingga diagnosa dapat diarahkan kepada tuberculosis cerebral.

H. PENATALAKSANAAN Tujuan dari pengobatan Tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Pengobatan tuberkulosa cerebral ada 2 macam yaitu dengan pembedahan craniotomy dan medikamentosa. Jenis dan Dosis OAT o Isoniasid ( H ) Dikenal dengan INH, bersifat bacterisida, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolic aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dengan dosis 10 mg/ kg BB (WHO, 1997).

o

Rifampisin Bersifat bakterisida, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu (WHO, 1997).

o

Pirazinamid Bersifat bakterisida, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB (WHO, 1997).

o

Streptomisin Bersifat bakterisida, dosis yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita yang berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari (WHO, 1997).

o

Etambutol Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB (WHO, 1997). Prinsip pengobatan Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Sedangkan

ditahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjut ini penting untuk membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (WHO, 1997). Panduan OAT di Indonesia WHO merekomendasikan panduan OAT standart, yaitu : Kategori 1 : o 2HRZE/1H3R3 o 2HRZE/1HR o 2HRZE/6HE Kategori 2 : o 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 o 2HRZES/HRZE/5HRE Kategori 3 : o 2HRZ/1H3R3 o 2HRZ/1HR o 2HRZ/6HE Kategori 1 diberikan pada : o penderita baru TB paru BTA positif o penderita TB paru BTA negative, Rontgen positif sakit berat o penderita TB ekstra paru beratTabel 1 : Panduan OAT Kategori 1.Tahap pengabatan Lama pengobatan INH 300 mg Kaplet ripampisin Tablet pirazinamid Tablet etambulot Jumlah kali minum obat

@150 mg Tahap intensif (dosis harian) Tahap lanjutan(dosis 3xseminggu) 1 bln 2 1 2 bln 1 1

@S500 mg 3

500 mg 3 60

-

-

51

Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 Kg

Kategori 2 diberikan pada : o penderita kambuhan o penderita gagal o penderita dengan pengobatan setelah lalaiTabel 2 : Panduan OAT Kategori 2.

Tahap

Lama pengobat an

INH 300 mg

Tablet ripampisi n 150 mg

Tablet pirazinamid @500 mg 3 3 -

Etambutol 250 mg 500 mg

Streptomisin inj

Jumlah kali minum obat 60 30 66

Tahap intensif (dosis harian) Tahap lanjutan(dosis 3xseminggu)

2 bln 1 bln 5 bln

1 1 2

1 1 1

3 3 1

2

0,75 gr -

Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 Kg

Kategori 3 diberikan pada : o penderita TB paru BTA negative, Rontgen positif sakit ringan o penderita ekstra paru ringan, yaitu TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif unilateral, TB kulit, TB tulang dan kelenjar adrenal

Tabel 3 : Panduan OAT Kategori 3.

Tahap pengabatan Tahap intensif (dosis

Lama pengobatan

INH 300 mg

Tablet ripampisin @150 mg

Tablet pirazinamid @500 mg 3

Jumlah kali minum obat

2 bln

1

1

60

harian) Tahap lanjutan(dosis 3xseminggu) Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 Kg 1 bln 2 1 51

BAB III PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Pemeriksaan radilogik pada penyakit Tuberkulosis (dapat dilakukan foto toraks PA, lateral, fluoroskopi) masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi, ini dilakukan pada pasien yang dicurugai adanya infeksi TB paru. Untuk menegakkan diagnosis pada penyakit TB cerebral dapat dilakukan CT-Scan kepala dan MRI kepala. CT scan dan MRI kepala pada tuberkulosa cerebral memberikan gambaran yang mirip dengan brain abscess dan brain metastasis, dengan penampakan multiple enhancing lesion dengan perifocal cerebral oedema. Pada Computed tomography (CT) menunjukan adanya massa solid enhanced, hypodense lesion dengan significant associated edema, dan space occupying lesions. Pada Magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan adanya gambaran difus hypointense dengan central region isointensity , ring - enhancing lesion.

Fig 1. Contrast-enhanced computed tomography scan of case 1, showing a large unique ring-enhancing lesion in the left cerebellum, sourrounded by discrete edema

Fig 2. A. Contrast-enhanced computed tomography scan of case 2, showing multiple nodular and ring-enhancing lesions in subcortical areas, with discrete edema. B. After two months of treatment, CT scan showing absence of focal lesions.

Ring-enhancing lesion in the occipital with surrounding edema.

Three-year follow-up CT scan lobe showing complete resolution of the lesion

Fig 3. Case 3. A, T1-weighted sagittal image (500/30/2) shows an illdefined isointense mass (arrows) with surrounding edema of slight hypointensity in the right frontal lobe. B, T2-weighted axial image (3000/80/1) shows a slightly heterogeneous hyperintense mass containing hypointense foci (arrows). C, Gadolinium-enhanced T1-weighted coronal image (500/30/2) shows a round enhancing mass containing unenhancing foci (arrows) corresponding to areas of caseation necrosis of conglomerate tubercles. D, Photomicrograph of histologic examination demonstrated multiple varioussized conglomerated tubercles. Each tubercle contains central caseation necrosis (long arrow) surrounded by layers of collagen fiber (short arrow) and inflammatory cellular infiltrates (arrowhead)

Magnetic resonance imaging of the brain (a ,b) T2-weighted images; and (c,d) post-gadolinium T1-weighted images showing three layers of brain tuberculoma: the central, isodense, caseous, necrotic core (iso-intense and hypo-intense signals in T1-weighted image and T2-weighted images, respectively); the middle Langhans giant cells (enhancing and hyperintense signals in T1-weighted images and T2weighted images, respectively); and the outer capsule (iso-intense and hypo-intense signals in T1-weighted image and T2-weighted images, respectively

Tuberculoma and surrounding cerebritis in T1/T2 and flair series; the central hypointense region in all series is tuberculoma.

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN B. Tuberkulosis Cerebral adalah salah satu bentuk tuberkulosis yang menyerang sistem central nervous yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi otak. Tuberkulosis cerebral merupakan suatu proses peradangan kronik dan destruktif yang disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dari fokus jauh, dan hampir selalu berasal dari paru-paru. Penyebaran basil ini dapat terjadi pada waktu

infeksi primer atau pasca primer. Penyakit ini sering terjadi pada anakanak, gangguan sistem imun, dan penderita AIDS.. Gejala klinis: deficit neurologic fokal (73%), sakit kepala (47%), demam (46%), kejang (35%), dan gangguan / perubahan kesadaran (24%). Diagnosis Tuberkulosis tulang dapat ditegakkan dengan menggunakan CT scan dan MRI disertai pemeriksaan kultur bakteri dan histopatologi C. SARAN Dengan pemeriksaan penunjang radiologik yang tepat dan sesuai dapat menegakkan diagnosa dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat sehingga dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.