31
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tinea kapitis merupakan penyakit dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut. Dermatofita masuk ke dalam stratum korneum scalp, diikuti dengan peradangan batang rambut, kemudian menyebar ke folikel-folikel rambut lainnya dan menyebabkan terbentuknya lesi non- inflamasi dan inflamasi. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan, alopesia, dan kadang terjadi gambaran klinis yang berat. 1,2 Faktor respon imun host dapat berperan dalam manifestasi klinis respon imun selular maupun reaksi hiprensitivitas tipe lambat. Gejala klinis berdasarkan penyebab dibedakan menjadi infeksi ektothrix dan infeksi endothrix. Gray patch merupakan contoh varian ektothrix, sedangkan black dot, kerion dan favus merupakan varian dari endothrix. Trichophyton spp. sering menyebabkan infeksi endothrix sedangkan Microsporum spp. sering menyebabkan infeksi ektothrix. 2 Berdasarkan penelitian retrospektif oleh Andina, dkk., dari data pasien tinea kapitis yang berobat di Poliklinik IKKK RSCM, Jakarta periode Januari 2005 hingga Desember 2010. Dilaporkan 23 kasus tinea

Referat Tinea Kapitis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinea kapitis

Citation preview

1

BAB IPENDAHULUAN

1.1Latar BelakangTinea kapitis merupakan penyakit dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut. Dermatofita masuk ke dalam stratum korneum scalp, diikuti dengan peradangan batang rambut, kemudian menyebar ke folikel-folikel rambut lainnya dan menyebabkan terbentuknya lesi non-inflamasi dan inflamasi. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan, alopesia, dan kadang terjadi gambaran klinis yang berat. 1,2 Faktor respon imun host dapat berperan dalam manifestasi klinis respon imun selular maupun reaksi hiprensitivitas tipe lambat.Gejala klinis berdasarkan penyebab dibedakan menjadi infeksi ektothrix dan infeksi endothrix. Gray patch merupakan contoh varian ektothrix, sedangkan black dot, kerion dan favus merupakan varian dari endothrix. Trichophyton spp. sering menyebabkan infeksi endothrix sedangkan Microsporum spp. sering menyebabkan infeksi ektothrix.2 Berdasarkan penelitian retrospektif oleh Andina, dkk., dari data pasien tinea kapitis yang berobat di Poliklinik IKKK RSCM, Jakarta periode Januari 2005 hingga Desember 2010. Dilaporkan 23 kasus tinea kapitis, yang merupakan 0,53% (23 dari 4274) dari seluruh pasien dermatomikosis yang berobat antara tahun 2005 sampai 2010. Usia awitan 22 bulan sampai 65 tahun, dengan persentase tertinggi (73,91%) pada golongan usia 0 sampai 14 tahun. Bentuk klinis tersering adalah inflamasi (65,21%). Pada 26,08% kasus disertai bentuk dermatofitosis lain. Kultur tumbuh 56,52% spesimen, dengan spesies terbanyak Microsporum canis (69,23%).4Diagnosis tinea kapitis ditegakkan melalui gambaran klinis dan bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan lampu Wood, pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20%, pemeriksaan kultur fungi, dan atau dengan pemeriksaan histopatologis. 1,2,5Obat antifungi pada dasarnya ada yang bersifat fungisidal dan fungistatik. Terapi dermatofitosis awal sering dengan griseofulvin yang bersifat fungistatik. Terbinafin sebagai alternatif lain untuk terapi awal tinea kapitis dan merupakan contoh antifungi yang bersifat fungisidal dan dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin. Selain itu ada juga golongan azole seperti itrakonazole, flukonazole, ketokonazole, vorikonazole yang bersifat fungistatik. Kortikosteroid dapat digunakan untuk pengobatan tinea kapitis tipe kerion.1,5 Dalam aplikasi klinis pada pasien di Poliklinik IKKK RSCM, yang sebagian besar disebabkan oleh spesies Microsporum canis mendapat terapi utama griseofulvin (73,91% kasus yang dapat diamati), dengan rerata masa terapi lima minggu. Terapi lain dilakukan dengan itrakonazol dan terbinafin. Efek samping akibat griseofulvin yang tampak pada tiga pasien, berupa erupsi obat alergik tipe fotodermatitis dan peningkatan enzim hati.4Infeksi jamur superfisial (mikosis superfisialis) di Indonesia cukup banyak terjadi termasuk tinea kapitis. Hal ini disebabkan oleh keadaan di Indonesia sendiri yang merupakan negara beriklim tropis, memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi, sehingga mendukung pertumbuhan jamur. Oleh karena itu, referat ini penulis susun untuk dapat menambah pengetahuan pembaca sehingga mampu menegakkan diagnosis dan memberi penatalaksanaan yang sesuai terutama dalam kasus tinea kapitis.

1.2 Tujuan Penulisan1.2.1Untuk mengetahui definisi tinea kapitis1.2.2Untuk mengetahui patogenesis tinea kapitis1 1.1 1.1.1 1.1.2 1.2.3Untuk mengetahui klasifikasi tinea kapitis 1.2.4Untuk mengetahui gambaran klinis tinea kapitis 1.2.5Untuk mengetahui diagnosis banding tinea kapitis 1.2.6Untuk mengetahui cara diagnosis tinea kapitis1.2.7Untuk mengetahui penatalaksanaan tinea kapitis

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiTinea Kapitis atau ringworm of the scalp merupakan kelainan pada rambut dan kulit kepala yang disebabkan oleh infeksi dari spesies dermatofita. Golongan jamur ini mempunyai sifat keratolitik, dermatofita terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.1

2.2 EtiologiTinea Kapitis dapat disebabkan oleh spesies Microsporum dan Trichophyton.1 Setiap negara dan daerah memiliki perbedaan pada spesies penyebab tinea kapitis misalnya di Amerika Serikat, dalam hal frekuensi T. tonsurans lebih dari 95 % menyebabkan tinea kapitis, dibandingkan dengan yang disebabkan oleh M. canis yang tentunya lebih jarang terjadi.2 Di Inggris M. canis tetap menjadi penyebab umum yang menyebabkan Tinea Kapitis, yang bias didapatkan dari kucing maupun anak anjing.6

2.3 EpidemiologiTinea kapitis lebih sering mengenai balita dan anak-anak usia sekolah (6-10 tahun). Penyakit ini lebih sering terjadi pada orang kulit hitam dibandingkan kulit putih di Amerika Serikat.2 Tinea kapitis telah dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius selama beberapa dekade, jarang terjadi pada orang dewasa dan lebih sering menyerang wanita di sekitar menopause dan wanita tua mungkin karena perubahan pH kulit kepala dan peningkatan asam lemak yang mempunyai peran protektif.7

2.4 PatogenesisGolongan jamur dermatofita menyerang jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku.1,8 Infeksi disebabkan oleh arthrospora atau conidia. Secara umum, dermatofita dapat masuk ke tubuh melalui kulit yang terluka, bekas luka, dan luka bakar. Patogen sebagian besar masuk melalui jaringan mati, lapisan kulit yang mengandung keratin, menghasilkan ekso-enzim pektinase dan menyebabkan reaksi peradangan pada lokasi infeksi.3 Reaksi peradangan ini dapat menimbulkan berbagai gambaran klinis pada lokasi infeksi seperti kemerahan (rubor), bengkak (indurasi), panas dan alopesia. Pergerakan hifa jamur tumbuh secara sentrifugal menjauh dari lokasi infeksi pada stratum korneum menimbulkan gambaran klasik lesi cincin.3,8

Gambar 1. Skema Masuknya Dermatofita ke Sistem Host 8

Infeksi jamur pada folikel rambut, menyebabkan jamur terus bertumbuh ke dalam lapisan kulit hingga folikel rambut kemudian menyebar ke atas pada lokasi pertumbuhan rambut (dapat dilihat dipermukaan kulit pada hari ke 12-14) dan rambut menjadi rapuh kemudian tampak kerusakan rambut yang nyata pada minggu ketiga.8

Gambar 2: Infeksi dermatofita pada folikel rambut.Infeksi mengenai batang rambut (bintik merah) mengakibatkan kerusakan dan rambut mudah patah. Apabila infeksi dermnatofita lebih jauh ke dalam hingga folikel rambut dapat menyebabkan respon inflamasi yang lebih dalam (bintik hitam). Manifestasinya terbentuk nodul inflamasi yang lebih dalam, pustula folikular, dan abses2

2.5Klasifikasi2,92.5.1 Infeksi Ektothrix Invasi terjadi pada batang rambut luar. Hifa fragmen ke arthroconidia, menyebabkan kerusakan kutikula. Infeksi ini disebabkan oleh Microsporum spp. (M. audouinii dan M. canis). Gray patch merupakan variasi ektothix yang menunjukkan lesi non-inflamasi.

Gambar 3. Dermatophytic folikulitis. Tipe ektothrix: mycelia dan arthroconidia terlihat pada permukaan folikel rambut (extrapilary). Tipe endothrix: hifa dan arthroconidia terdapat dalam batang rambut (intrapilary).2

2.5.2 Infeksi Endothrix Infeksi terjadi di dalam batang rambut tanpa kerusakan kutikula. Arthroconidia ditemukan dalam batang rambut. Infeksi ini disebabkan oleh Trichophyton spp. (T. tonsurans di Amerika Utara, T. violaceum di Eropa, Asia, sebagian Afrika). Black Dot Merupakan varian endothrix yang menyerupai dermatitis seboroik. Kerion Merupakan varian endothrix dengan plak inflamasi. Favus Merupakan varian endothrix dengan arthroconidia dalam batang rambut. Sangat jarang di Eropa Barat dan Amerika Utara. Di beberapa bagian dunia (Timur Tengah, Afrika Selatan) masih endemik .

2.6 Gejala KlinisGejala klinis tinea kapitis sangat bervariasi, tergantung pada organisme penyebab, jenis invasi rambut dan tingkat respon inflamasi penderita. Umumnya akan memberikan gambaran rambut rontok dalam berbagai tingkat skala.5 Kelainan pada tinea kapitis dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia dan kadang terjadi gambaran yang lebih berat yang disebut kerion, limfadenopati servical dan oksipital.7

2.6.1 Gray Patch Gejala klinis terutama disebabkan oleh M. audouinii dan M.ferrigineum yang sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit timbul akibat invasi rambut ektothrix.7 Gejala dimulai dengan papul kemerahan disekitar rambut, lama kelamaan akan melebar secara sentrifugal dan membentuk bercak yang berubah menjadi pucat, bersisik, dan lesi terasa gatal. Tampak minimal inflamasi, pembentukan skuama masif, dan gambaran plak anular batas tegas, tertutup skuama putih, sedangkan pada M.canis gambaran klinis hampir sama tetapi lebih menunjukkan gambaran peradangan. Warna rambut berubah menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi karena tertutup arthrospora. Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah tercabut sehingga dapat terbentuk alopesia setempat.1,9

Gambar 4. Tinea Kapitis tipe Gray patch.2

2.6.2 Black dotBlack dot tinea kapitis sering disebut sebagai tipe seborrhoic like.9 Tipe ini terutama disebabkan oleh T. tonsurans dan T. violaceum. Gambaran klinis yaitu karena arthrospora terdapat didalam batang rambut sehingga rambut sangat rapuh dan patah pada permukaan scalp, tepat pada muara folikel. Ujung rambut yang hitam di dalam folikel rambut ini memberikan gambaran khas yaitu black dot. Ujung rambut yang patah dapat tumbuh kedalam, masuk ke bawah permukaan kulit. Gambaran lesi yang terbentuk dapat multipel dengan tepi anular. 1 Lesi ini cenderung tersebar disertai rambut rontok minimal dan peradangan minimal sehingga menyerupai dermatitis seboroik atau psoriasis.2

Gambar 5. Tinea Kapitis tipe Black dot 2

2.6.3 Kerion1,5,9Kerion merupakan reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa edema yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan sel radang yang padat disekitarnya. Gambaran klinis ditandai dengan adanya nyeri, plak atau nodul yang meradang mungkin soliter atau multiple, diatasnya didapatkan pustula maupun krusta yang tebal. Limfadenopati regional dengan demam dan nyeri dapat terlibat apabila lesi luas. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap. Dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh infeksi endothrix baik disebabkan oleh T. tonsurans atau T. violaceum, terutama di daerah perkotaan. Selain itu, biasanya juga disebabkan oleh spesies zoofilik (T.verrucosum dan T.mentagrophytes) atau geofilik (M.gypseum).

Gambar 6. Tinea Kapitis tipe Kerion22.6.4 FavusGejala tinea yang jarang didapatkan, disebabkan T. schoenleinii, dapat menyerang kulit dan kuku. Gambaran klinis awalnya menunjukkan eritema perifolikular dan rambut kusut, kemudian ditandai dengan krusta kekuningan yang dikenal sebagai skutula disekitar rambut berisi debris kulit dan hifa yang menembus batang rambut. Skutula memiliki berbau yang khas yaitu berbau tidak sedap seperti tikus moussy odor dan rambut secara ekstensif akan hilang menjadi alopesia dan atrofi.2

Gambar 7. Tinea Kapitis tipe Favus 2

Tabel 1. Diagnosis Banding Tinea Kapitis Berdasarkan Jenis Lesi 92.7 Diagnosa Banding 1,2,9

Jenis Lesi Diagnosis Banding

Gray PatchDermatitis seboroik, Psoriasis, Dermatitis atopik, Lichen simplex chronicus, Alopesia areata

Black DotDermatitis seboroik, Psoriasis, Seborrhiasis, Dermatitis atopik, Lichen simplex chronicus, Chronic cutaneous lupus erythematosus, Alopesia areata

KerionSelulitis, Furunkel, Karbunkel

FavusImpetigo, Ektima, Skabies berkrusta

2.7.1Dermatitis Seboroik Dermatitis seboroik merupakan kelainan kulit yang berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea, dengan manifestasi klinis yaitu mengenai kulit kepala berupa skuama halus dan kasar, berminyak dan kekuningan pada area seboroik yang menjadi ciri khasnya, serta batasnya tidak tegas. Rambut pada penderita dermatitis seboroik cenderung rontok, mulai di bagian vertex dan frontal. Sering meluas ke dahi, glabela, telinga post auricular dan leher. Dapat pula meluas ke daerah seboroik lainnya yaitu daerah sternal, areola mammae, lipatan payudara, interskapular, ummbilikus, lipat paha, dan daerah anogenital. 2.7.2Psoriasis Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, auspitz dan kobner. Penyakit ini mengenai semua umur namun umumnya pada dewasa dan pria lebih banyak dibandingkan wanita. Predileksi psoriasis adalah scalp, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta lutut serta lumbosacral. Alopesia yang terjadi bukan disebabkan karena psoriasis tetapi alopesia androgenetik.Seborrhiasis atau dikenal juga dengan sebutan psoriasis seboroik (sebopsoriasis) merupakan kondisi kulit yang memiliki gambaran klinik gabungan antara psoriasis dengan dermatitis seboroik. Gambaran klinis ditandai dengan plak tertutup skuama tebal yang biasanya kering menjadi agak berminyak dan agak lunak pada hair line dan scalp. Selain berlokasi pada tempat yang lazim seperti wajah, anterior chest, juga terdapat pada area seboroik lainnya. 2.7.3Dermatitis Atopik Dermatitis atopik merupakan peradangan kulit kronis dan residif, yang umumnya terjadi selama masa anak-anak, penderita biasanya memliki riwayat atopi. Manifestasi klinis penderita umumnya memiliki kulit yang kering, gejala utama di dapatkan pruritus hilang timbul sepanjang hari namun hebat pada malam hari, sehingga penderita akan menggaruk dan timbul berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, krusta. Predileksi pada anak biasanya di muka dan pipi sedangkan dewasa pada lipat siku, lipat lutut, samping leher dan sekitar mata. Terdapat criteria diagnosis menurut Hanifin dan Rajka yaitu kriteria mayor (pruritus, morfologi dan distribusi lesi khas, didapatkan dermatitis kronik dan sering kambuh, riwayat atopi) dan minor (xerosis, daerah mata berwarna gelap, pytiriasis alba, gatal waktu berkeringat, keratosis pilaris, dll)2.7.4Liken Simpleks KronikusLiken Simpleks Kronikus merupakan peradangan kulit yang bersifat kronis, penderita biasanya mengeluh sangat gatal pada lesi. Bentuk khas yaitu lesi biasanya tunggal, pada awalnya berupa plak eritematosa, sedikit edematosa, lama kelamaan kulit menjadi tebal dan terdapat likenifikasi akibat garukan atau gesekan yang berulang, kulit sekitarnya hiperpigmentasi dan batas tidak jelas. Predileksinya di scalp, tengkuk, samping leher, lengan bagian ekstensor, pubis, vulva, skrotum, perianal, paha bagian medial / atas, lutut, tungkai bawah lateral, pergelangan kaki bagian depan, dan punggung kaki.2.7.5Alopesia Areata Gejala klinis alopesia areata ditandai dengan bercak berbentuk bulat atau lonjong dan terjadi kerontokan rambut pada kulit kepala, alis, janggut, dan bulu mata. Tepi lesi dapat eritema pada stadium awal penyakit tetapi warna kembali normal pada stadium selanjutnya. Terdapat tanda exclamation hair mark, yakni rambut bila dicabut terlihat bulbus yang atrofi, sisa rambut terlihat seperti tanda seru dimana batang rambut yang ke arah pangkal makin halus sedangkan rambut disekitarnya tampak normal tetapi mudah dicabut. Etiologi alopesia areata belum diketahui, sering dihubungkan dengan adanya infeksi lokal, kelainan endokrin dan stress emosional.

2.7.6Chronic cutaneous lupus erythematosus (CCLE)Gambaran klinis dari CCLE ditandai dengan papul kemerahan yang dapat menjadi plak, batas tegas, dengan skuama melekat. Predileksinya sering pada wajah, scalp, lengan bawah, tangan, jari-jari tangan dan kaki. CCLE pada scalp dapat memberi gambaran eritema dengan complete hair loss, atrofi, dan white scarring.2.7.7SelulitisSelulitis merupakan kelainan kulit berupa infiltrat yang difus pada subkutan dengan tanda-tanda radang akut. Terdapat gejala konstitusi seperti demam dan malaise. Predileksinya biasanya di tungkai bawah.2.7.8Furunkel & KarbunkelFurunkel merupakan radang folikel rambut dan sekitarnya biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Sedangkan karbunkel adalah kumpulan dari furunkel. Gejala klinis biasanya pasien mengeluh nyeri, lesi berupa nodus eritematosa, ditengahnya terdapat pustule. Tempat predileksinya ialah tempat yang banyak mendapat gesekan, misalnya aksila dan bokong.2.7.9ImpetigoImpetigo merupakan pioderma superfisialis (terbatas pada epidermis). Terdapat 2 bentuk yakni impetigo krustosa dan impetigo bulosa. Predileksi impetigo krustosa di muka, sekitar lubang hidung dan mulut berupa eritema, vesikel cepat pecah sehingga tampak krusta tebal warna kuning seperti madu. Predileksi impetigo bulosa di ketiak, dada, punggung berupa eritema, bula, dan bula hipopion, kadang tampak vesikel/bula pecah membentuk koleret dengan dasar yang masih eritematosa.2.7.10EktimaEktima merupakan ulkus superficial yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus. Gejala klinisnya tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning, jika krusta diangkat ternyata lekat dan tampak ulkus dangkal. Tempat predileksi utama yaitu daerah tungkai bawah yang relative banyak mendapat trauma

2.8 DiagnosisGambaran klinis bervariasi tergantung organisme penyebab, tipe invasi, dan derajat respon inflamasi host. Gambaran klinis pada umumnya meliputi alopesia, skuama, inflamasi folikular, eritema. Pada anak-anak, gambaran klinis berupa skuama pada kulit kepala disertai rasa gatal dan alopesia. Diagnosis hanya berdasarkan gambaran klinis saja terutama pada anak-anak sering kali sulit, sehingga bila curiga tinea kapitis dapat dilakukan pemeriksaan KOH dan atau kultur untuk menunjang diagnosis.7 Selain itu beberapa pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk menunjang pemilihan obat terapi sistemik yang sesuai dengan organisme penyebab. 5 Cara pengambilan spesimen dapat dilakukan dengan cara, rambut dicabut dari daerah kulit yang berkelainan kemudian kulit di daerah terinfeksi dikerok untuk mengumpulkan skuama. 1,5Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain: Pemeriksaan Lampu Wood 5Pemeriksaan ini berguna pada infeksi spesies Microsporum spp. (M.canis, M. audouinii dan M. ferrugineum) menunjukkan fluoresensi hijau terang dari rambut yang terinfeksi dibawah pemeriksaan lampu Wood. Pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu (artinya warna tetap ungu) pada infeksi nonfluorescent M. gypsium dan Trichophyton spp. (kecuali T. schoenleinii dapat memberi hasil fluoresensi positif hijau gelap). Pemeriksaan Sediaan Langsung dengan KOH 10-20% 2Cara pengambilan sampel adalah membersihkan kulit yang akan dikerok dengan kapas alkohol 70%, kemudian membuat kerokan kulit pada bagian yang aktif. Sediaan diletakkan diatas gelas obyek dan ditetesi 1-2 tetes larutan KOH 10% untuk kulit dan larutan KOH 20% untuk rambut dan kuku. Setelah tercampur, biarkan 15-20 menit untuk melarutkan jaringan atau dihangatkan diatas nyala api selama beberapa detik (hindari terjadi penguapan yang dapat membentuk kristal KOH) untuk mempercepat proses lisis. Sediaan kemudian dilihat dibawah mikroskop.1 Infeksi Ektothrix : Hifa dan arthroconidia menutupi bagian luar batang rambut dengan kerusakan kutikel, tetapi sisanya di permukanan rambut. Bentuk ini merupakan karakteristik dari Microsporum spp. (M. Canis dan M. audouinii), tetapi juga dapat pada T.verrucosum.2 Infeksi Endothrix : Batang rambut terisi dengan hifa dan arthroconidia. Bentuk ini merupakan karakteristik dari Trichophyton spp. (T.violaceum dan T.tonsurans)3 Favus: Terdapat rantai arthrospora yang renggang dan celah-celah udara pada batang rambut. Kultur fungi 2,5Pemeriksaan ini untuk mengetahui jenis jamur yang menginfeksi yaitu dilakukan dengan menanamkan sampel pada media agar dextrose sabouraud. Pertumbuhan dermatofita biasanya tampak pada 10-14 hari. Dermoscopy 5 Immunologic Study dan Pemeriksaan Histopatologi 7

2.9 Penatalaksanaan Berdasarkan British Association of Dermatologists Guidelines for the Management of Tinea Capitis, tujuan pengobatan antara lain adalah mengeliminasi organisme penyebab, mengurangi gejala, mencegah jaringan parut, dan mengurangi transmisi penularan ke orang lain. Terapi topikalTerapi topikal sebagai monoterapi tidak direkomendasikan sebagai management tinea kapitis. Terapi topikal digunakan untuk mengurangi transmisi spora, shampo povidone-iodine, zinc pyrithione, ketokonazole 2% dan selenium sulfida 1% menunjukan efektifitas pada kasus ini. 1,5 Shampo diaplikasikan pada kulit kepala dan rambut selama 5 menit, seminggu 2 x, kurang lebih dalam 2-4 minggu atau dapat seminggu 3 x hingga pasien secara klinis dan mikologi dinyatakan sembuh. Selanjutnya dapat diberikan krim atau lotion topikal fungisidal sekali setiap hari selama 1 minggu. Terbinafine solution 0,01% dapat membunuh arthroconidia pada kelima spesies Trichophyton setelah terpapar selama 15-30 menit. 10,11 Terapi oralGriseofulvin ataupun terbinafine menjadi pilihan terapi awal (rst-line treatments) secara umum terbinafine lebih efektif melawan spesies Trichophyton (T.tonsurans, T.violaceum, T.soudanense) sedangkan Griseofulvin lebih efektif melawan spesies Microsporum (M.canis, M.audouinii). 1,51 Griseofulvin Merupakan obat fungistatik dan menghambat mitosis dermatofita dengan berinteraksi dengan mikrotubulus dan mengganggu spindle mitosis, sehingga merupakan pilihan terapi baik untuk dermatofita yang sedang aktif tumbuh. 11 Dosis yang dapat diberikan untuk anak-anak 10-25 mg / kgBB dan untuk dewasa 0,5-1 g single dose atau dosis terbagi selama 6-12 minggu rata-rata 8 minggu. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab dan keadaan imun penderita. Pada infeksi Trichophyton dosis perlu ditingkatkan dan pengobatan lebih lama (12-18 minggu). Efek samping yang sering muncul adalah gangguan gastrointestinal seperti diare, kemerahan dan nyeri kepala. Obat ini juga bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar. 1,52 TerbinafineTermasuk obat kelas allyamine, generasi baru agen antifungi. Sifat terbinafine adalah fungisidal dengan menghambat squalene epoxidase, enzim pengikat membran dalam jalur biosintesis untuk membentuk sterol dari membran sel fungi.11 Lebih efektif terhadap infeksi Trichophyton daripada infeksi Microsporum. Dosis bergantung berat badan. Berat badan < 20 kg diberikan 62,5 mg / hari, berat badan 20-40 kg dapat diberikan 125 mg/hari sedangkan berat badan > 40 kg dapat diberi 250 mg/hari selama 2-4 minggu. Efek samping gangguan gastrointestinal dan kemerahan lebih rendah. 1,53. ItrakonazoleMerupakan obat yang memiliki kerja fungistatik ataupun fungisidal tergantung konsentrasi di jaringan, namun mode aksi utama adalah fungistatik dengan menghambat enzim dependent sitokrom P-450, memblok sistesis ergosterol, komponen utama membran sel fungi. 11 Dosis yang dapat diberikan adalah 100-200 mg selama 2-4 minggu untuk dewasa atau 5 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu untuk anak-anak. Itrakonazole juga dapat dipakai sebagai second line treatment ataupun rst-line treatments karena memiliki aktifitas melawan baik Microsporum spp. ataupun Trichophyton spp. dan apabila digunakan sebagai terapi awal maka untuk terapi berikutnya dapat diganti terbinafine apabila infeksi disebabkan oleh Trichophyton spp. dan ganti terapi dengan Griseofulvin bila disebabkan oleh Microsporum spp. 1,54.FlukonazoleDapat digunakan sebagai terapi alternatif dari terbinafine, tetapi jarang dipakai. 55.KetokonazoleTerutama digunakan untuk kasus yang resisten terhadap griseofulvin. Dosis yang dapat diberikan adalah 3-6 mg / kgBB/hari untuk anak-anak atau 200 mg / hari untuk dewasa selama 10 hari 2 minggu. Ketokonazole kontraindikasi pada pasien dengan kelainan hepar karena bersifat hepatotoksik. 1,56.KortikosteroidBaik oral maupun topikal dapat digunakan untuk tinea kapitis tipe kerion atau tinea kapitis reaksi berat atau tinea kapitis dengan bentuk lesi kerion untuk menghambat respon inflamasi host, mengurangi keluhan umum dan gatal, serta dapat meminimalkan risiko jaringan parut, namun penggunaannya masih kontroversial. 5,12Antoni Bennassar dan Ramon Grimalt, dalam artikelnya yang berjudul Management of Tinea Capitis in Childhood menyatakan bahwa beberapa data menunjukkan manfaat steroid pada kerion celsi untuk mengurangi scaling dan rasa gatal tetapi tidak menurunkan waktu clearance dibandingkan dengan terapi griseofulvin saja. Prednisolon dapat digunakan sebagai pengobatan oral dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 7 hari, walaupun hal ini tidak dianjurkan sebagai bagian routine care kerion. Selain itu, mereka menyatakan untuk reaksi dermatophytid (autoeczematization), topikal steroid mungkin diperlukan untuk mengontrol gejala namun biasanya terapi oral antifungi tidak perlu dihentikan. 11Laura E. Proudfoot, Elisabeth M. Higgins, dan Rachael Morris-Jones dalam penelitiannya yang berjudul A Retrospective Study of the Management of Pediatric Kerion in Trichophyton Tonsurans Infection menyarankan pengobatan kerion didasarkan pada dermatofita yang menginfeksi. Kortikosteroid oral dan intralesi tidak perlu ditambahkan pada terapi antifungal pada anak-anak dengan tinea kapitis kerion. 127.AntihistaminPada pasien dengan keluhan gatal, antihistamin dapat mengurangi keluhan dan dapat mencegah distribusi spora melalui garukan (finger scratching). 11

BAB IIIRINGKASAN

Tinea Kapitis merupakan kelainan pada rambut dan kulit kepala yang disebabkan oleh infeksi dari spesies dermatofita yang mempunyai sifat keratolitik. Tinea kapitis sering mengenai balita dan anak-anak usia sekolah (6-10 tahun). Infeksi jamur pada folikel rambut, menyebabkan rambut menjadi rapuh dan rusak.Infeksi jamur pada tinea kapitis dapat dibagi menjadi infeksi ektothrix disebabkan oleh Microsporum spp. dan infeksi endothrix disebabkan oleh Trichophyton spp. Pada infeksi ektothrix, mycelia dan arthroconidia terlihat pada permukaan folikel rambut (ekstrapilary) sedangkan pada infeksi endothrix, hifa dan arthroconidia terdapat dalam batang rambut (intrapilary).Diagnosis dapat dilakukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan lampu Wood dan pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20%. Berdasarkan gambaran klinis tinea kapitis dapat dibagi menjadi lesi non-inflamasi (Gray patch dan Black dot), serta lesi inflamasi (Kerion dan Favus). Gray patch ditandai dengan bercak putih tertutup skuama, gatal dan warna rambut berubah abu-abu serta mudah patah sehingga terdapat alopesia setempat. Black dot ditandai dengan rambut sangat rapuh dan patah pada permukaan scalp, tepat pada muara folikel sehingga memberi gambaran khas. Kerion merupakan reaksi reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis ditandai dengan rasa nyeri, edema, plak atau nodul meradang diatasnya terdapat pustula atau krusta tebal. Favus merupakan bentuk inflamasi yang jarang terjadi ditandai dengan adanya skutula, yaitu krusta folikular kekuningan, cup-shaped, moussy odor, dan rambut secara ekstensif hilang menjadi alopesia dan atrofi.Penatalaksanaan dapat dengan terapi topikal dan terapi oral. Terapi topikal dapat menggunakan shampo ketokonazole 2% dan selenium sulfida 1%. Pilihan terapi antifungi oral yang dapat diberikan antara lain griseofulvin, terbinafine, itrakonazole. Serta sebagai terapi tambahan dapat diberikan antihistamin untuk mengurangi gejala gatal.DAFTAR PUSTAKA

1 Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.2 Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, et al. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th ed. New York Mc Graw Hill.3 Lakshmipathy, D. T., and Kannabiran, K. 2010. Review on dermatomycosis:pathogenesis and treatment. Natural Science: Vol.2, No.7, 726-731.4 Sari, A.B., dkk. 2012. Tinea Kapitis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Periode Tahun 2005 2010. MDVI 2012; 39/3:113 117. Diakses dari http://www.perdoski.org/index.php/public/information/mdvi-detail-content/143 tanggal 03 Juni 20155 L.C. Fuller et al. 2014. British Association of Dermatologists Guidelines for the Management of Tinea Capitis. British Journal of Dermatology.6 Brent D. Michaels, James Q. Del Rosso Sanchez. 2012. Tinea Capitis in Infants, Recognition, Evaluation, and Management Suggestions. The Journal of Clinical Aesthetic Dermatology.7 N Rebollo, AP Lpez-Barcenas, R Arenas. 2008. Review Article : Tinea Capitis. Actas Dermosifiliogr Mexico City.8 Kao, Grace F. 2014. Tinea Capitis. Medscape. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1091351-overview tanggal 03 Juni 2015.9 Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. 2013. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, Seventh Edition. New York Mc Graw Hill.10. Kakourou, T. and Uskal, U. 2010. Guidelines for the Management of Tinea Capitis in Children. PediatricDermatology Vol.27No.3226228,2010. WileyPeriodicals,Inc.11. Bennassar, A., and Grimalt, R. 2010. Management og Tinea Capitis in Childhood. Dove Press Journal: Clinical, Cosmetic and Investigational Dermatology 2010:3 8998.12. Proudfoot, LE., Higgins, E. M., and Morris-Jones, R. 2011. A Retrospective Study of the Management of Pediatric Kerion in Trichophyton Tonsurans Infection. Pediatric Dermatology. Vol 28, Issue 6: Nov/Dec 2011. Pages 655657. Diakses darihttp://onlinelibrary.wiley.com/enhanced/doi/10.1111/j.1525-1470.2011.01645.x/ tanggal 7 Juni 2015.