Author
dedeh-asliah
View
22
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
interna
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama
terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan
penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene
industri pengolahan makanan yang masih rendah. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak
spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium.1
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus
demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan
sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/
tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi
karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid.
(Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan
menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi.
Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling)
minuman/makanan.2
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Demam tifoid merupakan
penyakit yang mudah menular dan menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah. Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada
saluran cerna, dan gangguan kesadaran.1
2.2 Epidemiologi
Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid jarang terjadi di negara industri. Namun,
tetap menjadi masalah kesehatan serius di sebagian wilayah dunia seperti Uni Soviet, India,
Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika. Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus
per tahun dan 600 ribu berakhir kematian. Sekitar 70% dari seluruh kasus kematian itu menimpa
penderita demam tifoid di Asia
Pada tahun 2000 insidensi demam tifoid di Amerika Latin sebesar 53 per 100 ribu
penduduk dan di Asia Tenggara sebesar 110 per 100 ribu penduduk. Di Indonesia demam tifoid
dapat ditemukan sepanjang tahun. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella subspesies
enterika serovar typhi dan paratyphi A. CDC Indonesia melaporkan insidensi demam tifoid
mencapai 358-810 per 100 ribu populasi pada tahun 2007 dengan 64% ditemukan pada usia 3-19
tahun dan angka mortalitas antara 3,1-10,4% pada pasien rawat inap.3
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan nyata antara
insidensi pada laki-laki maupun perempuan. Insidensi penderita demam tifoid dengan usia 12-30
tahun sekitar 70-80%, usia 31-40 tahun sekitar 10-20%, dan usia > 40 tahun sekitar 5-10%.
2.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi dari genus
Salmonella. Kuman ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul, dan mempunyai flagela (rambut getar). Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan
fakultatif anaerob pada suhu 15-41o C (suhu pertumbuhan optimal 37o C) serta pH pertumbuhan
6-8. Kuman ini bertahan hidup beberapa minggu di alam bebas seperti di air, es, sampah, dan
2
debu serta hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu. Kuman ini mati dengan
pemanasan (suhu 60o C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi.4
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu:
1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini mempunyai
struktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan
alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari kuman. Antigen
ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pembentukan 3 macam antibodi
yang lazim disebut aglutinin.
Gambar 2.1 Bakteri Salmonella Typhi
2.4 Faktor Risiko
Perbedaan insiden demam tifoid di daerah perkotaan biasanya terkait dengan penyediaan
air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang
kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Karena itu, faktor risiko terkenanya demam
tifoid adalah bagi individu yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang kurang baik dan
mengalami kontak langsung dengan orang yang merupakan karier tifoid.
3
Basil salmonella menular manusia ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi
makanan dan minuman yang di konsumsi manusia telah tercemar oleh komponen feses atau urin
dari pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan menusia yang sangat berperan adalah :
1. Hygiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa. Hal ini
jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.
2. Hygiene makanan dan minuman yang rendah . faktor ini paling berperan pada penularan
tifoid. Banyak sekali contoh diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang
terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja
manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah atau dihinggapi lalat, air minum
yang tidak dimasak, dan sebagainya.
3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kecuali sampah yang tidak
memenuhi syarat-syarat kesehatan.
4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.
5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.
6. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.
7. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid.
2.5 Patogenesis
Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak terdapat di masyarakat
dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi
masuk ke tubuh manusia melalui makanan atau minuman yang tercemar dan dapat juga melalui
kontak langsung dengan jari penderita yang terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau
pus. Selain itu, transmisi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke janin.
Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan
berkembang biak.
Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang berfungsi untuk
mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan untuk imunitas humoral sistemik
diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis kuman oleh makrofag. Imunitas seluler
sendiri berfungsi untuk membunuh kuman intraseluler.3
Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman akan menembus sel-
sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
4
difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag.
Selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan ke kelenjar limfe mesenterika. Melalui
duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia ke-1 yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hepar, lien, dan sumsum tulang. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid kemudian
masuk ke sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia ke-2 dengan disertai tanda dan
gejala klinis.2
Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang biak kemudian
disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke lumen usus, sebagian keluar bersama
feses, dan sebagian lagi menembus usus kembali dan difagosit oleh makrofag yang sudah
teraktivasi dan hiperaktif sehingga melepaskan sitokin reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu
timbul demam, sakit kepala, sakit perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler, gangguan
koagulasi, dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di plaque peyeri, makrofag hiperaktif
sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan perdarahan saluran cerna (erosi vaskuler di
sekitar plaque peyeri). Jika kuman terus menembus lapisan usus hingga lapisan otot dan serosa
usus, dapat mengakibatkan perforasi.
Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler sehingga dapat timbul komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan lain-lain. Kuman dapat menetap atau bersembunyi pada 1 tempat dalam tubuh
penderita. Hal ini mengakibatkan terjadinya relaps atau karier.
5
2.6 Manifestasi Klinis
Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Spektrum klinis
demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti panas disertai diare sampai dengan
klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala septik, ensefalopati, atau timbul komplikasi
gastrointestinal berupa perdarahan dan perforasi usus. Hal ini mempersulit penegakkan diagnosis jika
hanya berdasarkan gambaran klinisnya.
Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid.
Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai
septikemia karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada Salmonella typhi. Menggigil tidak
biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada malaria. Namun, demam tifoid dan malaria dapat
timbul bersamaan pada 1 penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat
6
menyerupai gejala meningitis. Nyeri perut kadang tidak dapat dibedakan dengan apendiksitis. Pada
tahap lanjut dapat muncul gejala peritonitis akibat perforasi usus.
Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40 oC), nyeri kepala,
epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut, nyeri otot, dan malaise.
Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas berwarna putih (lidah kotor),
bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, dan bahkan gangguan kesadaran
(delirium, stupor, koma, atau psikosis).
Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu ke-1,
terutama sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam terus-
menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun secara lisis. Demam tidak hilang dengan
antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang disertai epistaksis. Gangguan
gastrointestinal meliputi bibir kering dan pecah-pecah disertai lidah kotor, berselaput putih, dan
tepi hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Lien membesar, lunak, dan nyeri
tekan. Pada awal penyakit umumnya terjadi diare kemudian menjadi obstipasi.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan hematologi, urinalisis,
kimia klinis, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi molekuler. Pemeriksaan ini untuk
membantu menegakkan diagnosis, menentukan prognosis, serta memantau perjalanan penyakit,
hasil pengobatan, dan timbulnya komplikasi.2
1. Hematologi
a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi perdarahan atau
perforasi usus.
b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.
c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.
d. Laju endap darah (LED) meningkat.
e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).
2. Urinalisis
a. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).
b. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi.
3. Kimia klinis
7
Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran radang sampai
hepatitis akut.
4. Imunoserologi
a. Widal
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah terhadap antigen bakteri
Salmonella typhi atau paratyphi (reagen). Pada uji ini hasil positif jika terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen dengan antibodi yang disebut aglutinin. Oleh karena itu,
antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh
banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil
positif palsu dapat disebabkan pernah vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain
(Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor
reumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan sudah mendapatkan terapi
antibiotik, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum
buruk, dan adanya penyakit imun lain.
Interpretasi hasil pemeriksaan:
1. Positif bila titer O meningkat lebih dari 1/160 atau peningkatan > 4x pada
pengambilan serum yang berangkaian.
2. Nilai O 1/80 menunjukkan suggestif tifoid. sedangkan untuk titer H nilai positif
adalah > 1/800 semua hasil tersebut dengan syarat tidak menerima vaksinasi
typhoid dalam 6 bulan terakhir.
3. Peninggian titer H > 1/160 menunjukkan bahwa penderita pernah divaksinasi
atau terinfeksi Salmonella typhi.
4. Titer Vi (antigen kapsul) meninggi pada pembawa kuman atau karier.
b. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM
Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk mendiagnosis demam
tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut sedangkan lgG positif menandakan
pernah kontak, terinfeksi, reinfeksi, atau di daerah endemik.
8
5. Mikrobiologi (kultur)
Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk demam tifoid. Jika
hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika hasil negatif, belum tentu bukan
demam tifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan jumlah darah terlalu
sedikit (< dari 2 ml), darah tidak segera dimasukkan ke media gall (darah membeku
dalam spuit sehingga kuman terperangkap dalam bekuan), saat pengambilan darah
masih dalam minggu ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotik, dan sudah
vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu
waktu untuk pertumbuhan kuman (positif antara 2-7 hari, jika belum ada ditunggu 7 hari
lagi). Spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium
lanjut atau carrier digunakan urin dan feses.4
6. Biologi molekular
PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan. Cara ini dilakukan dengan
perbanyakan DNA kuman kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik.
Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitivitas)
dan spesifisitas tinggi. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh
lain, dan jaringan biopsi.
2.8 Diagnosis
Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji sampel feses atau darah untuk
mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp dengan membiakkan pada 14 hari awal setelah
terinfeksi.(5)
Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif pada hari ke-10 dan titer akan
meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari jika peningkatan
aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.
Biakan feses dilakukan pada minggu ke-2 dan ke-3 serta biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4
dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya bakteri Salmonella.
Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopenia
polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-10 dari demam, arah demam
tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis PMN, berarti terdapat infeksi sekunder kuman di
9
dalam lesi usus. Peningkatan cepat dari leukositosis PMN waspada akan terjadinya perforasi
usus. Tidak mudah mendiagnosis karena gejala yang timbul tidak khas. Ada penderita yang
setelah terpapar kuman hanya mengalami demam kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu
dapat terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman langsung
sakit, tergantung dari banyaknya kuman dan imunitas seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang
masuk saluran cerna, dapat langsung dimatikan oleh sistem imun.
2.9 Tatalaksana
Tatalaksana umum, asuhan keperawatan, dan asupan gizi merupakan aspek penting dalam
pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik. Tatalaksana demam tifoid meliputi:(5,8)
1. Tirah baring
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil, maupun buang air besar dapat mempercepat penyembuhan.
Kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai juga perlu dijaga.
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, dan
pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau ±
14 hari. Tirah baring bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan atau
perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus diubah pada waktu tertentu
untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan
buang air kecil harus diperhatikan karena kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.
2. Managemen nutrisi
Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan mengikuti petunjuk diet
berikut:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
10
Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan tidak merangsang
saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi
perdarahan atau perforasi usus.
3. Managemen medis
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti demam, diare,
obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi > 3 hari, perlu dibantu dengan
parafin atau lavase dengan glistering. Obat laksansia atau enema tidak dianjurkan
karena dapat mengakibatkan perdarahan maupun perforasi usus.
Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan penderita seperti
pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan keseimbangan cairan. Penggunaan
kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid (disertai gangguan kesadaran
dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam batas normal)
atau demam tifoid yang mengalami syok septik. Regimen yang digunakan adalah
deksametason dengan dosis 3 x 5 mg. Pada anak digunakan deksametason intravena
dengan dosis 3 mg/kg BB dalam 30 menit sebagai dosis awal dilanjutkan dengan 1 mg/kg
BB tiap 6 jam hingga 48 jam.
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman. Antibiotik yang
dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:
a. Kloramfenikol.
Drug of Choice adalah Chloramfenicol dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 7 hari
afebris atau sampai 1 minggu bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan
karena dapat terjadi hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri. Tingginya angka
kekambuhan (10-25%), masa penyakit memanjang, karier kronis, depresi sumsum
tulang (anemia aplastik), dan angka mortalitas yang tinggi merupakan perhatian yang
perlu terhadap kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama.
Penurunan demam terjadi pada hari ke-5.
Kontra indikasi :
11
Tidak boleh diberikan pada wanita hamil trisemester 3.
Grey baby syndrome.
Partus premature.
Kematian intrauterine (IUFD)
Menyebabkan depresi sumsum tulang, sehingga tidak boleh berikan pada
pasien dengan keadaan leukopenI
Pengobatan dianggap gagal (chloramfenicol resisten) bila dalam 10 hari pemberian
pasien tetap demam, gunakan antibiotik yang lain.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol 4 x 500 mg. Demam menurun pada
hari ke-6.
c. Ampisilin dan kotrimoksazol
Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis orang dewasa 2 x 2
tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan trimetoprin 80 mg)
diberikan selama 2 minggu. Diberikan karena meningkatnya angka mortalitas akibat
resistensi kloramfenikol. Munculnya strain Salmonella typhi MDR menjadikan
ampisilin dan kotrimoksazol resisten.
d. Kuinolon
Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in vitro serta mencapai
konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu. Siprofloksasin mempunyai efektivitas
tinggi terhadap strain Salmonella typhi MDR dan tidak menyebabkan karier. Kuinolon
yang dapat digunakan untuk demam tifoid meliputi:
1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.
2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.
3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.
12
4) Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
5) Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan demam sedikit lambat
pada penggunaan norfloksasin.
e. Sefalosporin generasi III
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi III yang terbukti efektif untuik demam
tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc selama 30 menit per infus 1 x diberikan 3-5 hari.
f. Kombinasi antibiotik
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu seperti
toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok septik di mana pernah terbukti ditemukan
2 macam organisme dalam kultur darah selain bakteri Salmonella typhi. Kepekaan
kuman terhadap antibiotik yaitu:
1) Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin mempunyai kepekaan
95,12%.
2) Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%. 11,12
g. Obat untuk Ibu Hamil
Pengobatan demam tifoid pada wanita hamil, memerlukan perhatian khusus.
Tiamfenikol tidak boleh diberikan pada trimester pertama Karena kemungkinan
efek teratogenik terhadap fetus manusia belum dapat disingkirkan, pada
kehamilam lebih lanjut tiamfenikol baru dapat digunakan. Kloramfenikol tidak
dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi
13
demam tifoid
tanpa
komplikasi
sensitif à fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin) 5-7 hari
MDR à fluorokuinolon 5-7 hari atau sefiksim 7-14 hari
resisten kuinolon à azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari
demam tifoid
dengan
komplikasi
sensitif à fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari
MDR à fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari
resisten kuinolon à azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari
partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonatus.
Obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan
untuk mengobati demam tifoid pada ibu hamil. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid yaitu:
1. Intestinal
a. Perdarahan usus
Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat terbentuk tukak. Jika
tukak menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah, terjadi perdarahan. Jika
tukak menembus dinding usus, terjadi perforasi. Perdarahan juga dapat terjadi karena
gangguan koagulasi darah (DIC). Sekitar 25% penderita mengalami perdarahan minor
yang tidak membutuhkan transfusi darah. Namun, perdarahan hebat dapat terjadi
hingga penderita mengalami syok. Jika transfusi dapat mengimbangi perdarahan yang
terjadi, biasanya perdarahan ini merupakan suatu proses self limiting yang tidak perlu
bedah.
b. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ke-3 tetapi dapat juga terjadi pada minggu ke-1. Penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut hebat terutama di kuadran kanan bawah yang
menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda ileus. Peristaltik melemah pada 50%
penderita dan pekak hepar kadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di
abdomen. Tanda perforasi lain adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan
syok.
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Jika pada
foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada rongga peritoneum, hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam
tifoid.
2. Miokarditis dan endokarditis
14
Didapatkan pada 1-5% kasus demam tifus. Biasanya miokarditis dan endokarditis akibat demam
tifus akan menyebabkan kematian. tanda klinis yang terlihat berupa :
1. Takikardia.
2. Nadi kecil dan lemah.
3. Bunyi jantung redup.
4. Gallop rhythm.
5. Tekanan darah turun atau peningkatan tekanan vena tanpa ada gejala dekompresi lain.
3. Kolesistitis
Kantung empedu, merupakan sumber kuman yang dapat tetap utuh, dapat terjadi kolesistitis akut
terutama pada wanita tua dan gemuk. Karier sering terjadi pada penderita dengan kolesistitis
kronik dan batu empedu. Meteorismus, harus hati-hati untuk tanda perforasi/adanya perdarahan
pada usus.
4. Thypoid toxic
Secara klinis terjadi perubahan mental yang terdiri dari disorientasi, kebingungan, delirium > 5
hari, yang dapat diikuti dengan/tanpa munculnya gejala neurologis : afasia, ataxia, perubahan
refleks, konvulsi dan lain-lainnya. Thypoid toxic dapat dibagi menjadi :
Meningocerebral
– Demam > 6 hari dan menjadi delirium, setengah sadar atau tidak sadar.
– Selalu ada kaku kuduk.
– Tanda Kernig dapat positif atau negatif.
– Refleks tendo menjadi meninggi terutama APR.
– Liquor cerebro spinal normal.
– Prognosa: dapat sembuh sempurna.
Ensefalitis difus
– Demam tinggi diikuti penurunan kesadaran.
– Refleks tendo dapat positif atau menurun, refleks dinding perut negatif.
– Rangsang meningen negatif.
– Setelah berlangsung lebih dari 1 minggu akan sembuh sempurna.
Ensefalitis akut
– Tiba-tiba hiperpireksia.
– Tidak sadar dan kejang umum 24 jam setelah onset.
– Bisa timbul kejang ulang.
15
– Prognosa : buruk.
Meningitis akut
– Liquor cerebro spinal : jernih dengan pleositosis ringan.
– Elektroensefalografi : gambaran encephalopati.
Bisa terjadi karena dikaitkan dengan sistem imunologis atau kekebalan seseorang.
Dapat dikaitkan pula dengan kepribadian seseorang, orang yang gampang histeris, akan lebih
gampang jatuh ke dalam toxic typhoid.
Pasien dalam keadaan delirium / bicara ngaco / berteriak-teriak dan mengalami agitasi.
Terdapat gerakan-gerakan seperti menarik-narik seprei.
5. Hepatitis typhosa
Ikterus ringan dapat muncul pada penderita demam enterik yang mungkin disebabkan oleh
hepatitis, kolangitis, kolesistitis dan hemolisis. Pada biopsi hepar didapatkan hepatosit yang
membengkak, terdegradasi dan terdapat vakuol. Dan terdapat “typhoid nodules”.
6. Respirasi
Gejala yang akan timbul seperti batuk dan bronkitis ringan. Gangguan respirasi yang diakibatkan
oleh toksikemi pada demam tifus terdapat pada 11-86% kasus. Bronkopneumoni dan pnemonia
lobaris jarang ditemukan.
2.11 Pencegahan
Pencegahan juga dapat dilakukan melalui pemberian vaksin. Vaksin untuk demam tifoid
pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektifitas vaksin telah ditegakkan,
keberhasilan proteksi senesar 51-88% (WHO). Vaksinasi tifoid belum dianjurkan rutin di USA
ataupun di daerah lain. Indikasi pemberian vaksin ini adalah bila:
a. Hendak mengunjungi daerah endemic, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi
untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika)
a. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid.
b. Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
2.12 Prognosis
16
Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan umum, status imunitas, jumlah dan
virulensi kuman, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Prognosis buruk jika terdapat gejala klinis
yang berat seperti hiperpireksia atau febris kontinyu, kesadaran menurun, malnutrisi, dehidrasi,
asidosis, peritonitis, bronkopneumonia, dan komplikasi lain. Di negara maju dengan terapi
antibiotik yang adekuat angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang angka mortalitas > 10%,
biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Angka mortalitas pada anak-anak
2,6% dan pada orang dewasa 7,4% dengan rata-rata 5,7%.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan bakteri Salmonella typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak
rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam
tifoid.
17
BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama
terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan
penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene
industri pengolahan makanan yang masih rendah. Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui
berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan
higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi
demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga
kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar
Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual
(keliling) minuman/makanan.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Brusch JL. Typhoid Fever. Accessed on March 1st 2014. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview.
2. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
3. Vyas JM. Typhoid Fever. Accessed on March 1st 2014. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001332.htm.
4. Jawetz, Melnick, Adelbergh’s.. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika. 2005.
5. Bhutta Zulfiqar A. Current concepts in the diagnosis and treatment of
typhoid fever. BMJ. 2006;333;78-72.
19