37
Referat Carcinoma Nasofaring Oleh : Nama : Muhammad Nauval NIM : H1A 007 042 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN

Referat THT CA Nasofaring

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat THT CA Nasofaring

Citation preview

Page 1: Referat THT CA Nasofaring

Referat

Carcinoma Nasofaring

Oleh :

Nama : Muhammad Nauval

NIM : H1A 007 042

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2011

Page 2: Referat THT CA Nasofaring

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring adalah karsinoma yang bertumbuh (berawal) dari mukosa

nasofaring, dimana terdapat bukti adanya differensiasi skuamosa baik secara mikroskopik

atau ultrastruktural (WHO, 2005)

Secara global, pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 65.000 kasus baru dan 38.000

kematian yang diakibatkan oleh kanker nasofaring (WHO, 2005). Sedangkan di Indonesia,

frekusensi pasien hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo

Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60

kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, dan 11 kasus di Padang dan Bukit

Tinggi (Adham, 2007)

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di

antara tumor ganas THT di Indonesia. Dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima

besar tumor ganas , dengan frekwensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor

payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher

menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah

kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor

ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa

Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid

berubah menjadi epitel skuamosa. (Adham, 2007) .

Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data

patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair  Surabaya (1973 – 1976)

diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan

127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan

pada tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma

nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di

seluruh Indonesia. (Adham, 2007)

Page 3: Referat THT CA Nasofaring

BAB II

ANATOMI

FARING

Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring,

orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas

faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat

pada bagian tengan faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual

epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada

dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran

napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas (Adams, 1997).

Nasofaring

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di

sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital,

sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan

di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak

pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas

belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago

Eustachius ( Ballenger, 1997).

Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting (Adams dalam

Adams et al, 1997):

Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.

Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal

sebagai fossa Rosenmuller.

Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba

eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral

nasofaring di atas perlekatan palatum mole.

Koana posterior rongga hidung.

Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit

nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan

asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.

Page 4: Referat THT CA Nasofaring

Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus

inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri

faringeal asenden.

Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan

bagian lateral atap nasofaring.

Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

Batas-batas nasofaring: Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas

ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum. Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh os

vomer Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa

bagian atas Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior, muara

tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller

Page 5: Referat THT CA Nasofaring

BAB III

KARSINOMA NASOFARING

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI

Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7

kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh

Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara

“pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF

berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair 

Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT

Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCMJakarta ditemukan

lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang

25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam

pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari

ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.

Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari

penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer)

dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964

(MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak

temuan penting di semua aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam

daerah yg jelas, ras, serta agregasi family.

KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara berbagai

Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/105 di

semua area. Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk

Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-

50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer)

tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000

kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak

kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika

utara dan timur (Lu, 2010).

Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan

apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan

Page 6: Referat THT CA Nasofaring

factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF

berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah

insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daeraj dengan insiden

tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada umur 40-59 tahun dan

menurun setelahnya.

Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan

cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,

Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan

Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi

epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah

satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF)

pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China

town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam

terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan

penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan

Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi.

Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang

masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal

terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang

dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’

untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama

di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi

maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang

Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan

konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu

adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi

yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan. (Lu.

2010)

Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat

people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak

mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti

epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang

dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh

Page 7: Referat THT CA Nasofaring

keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000). (Lu.

2010)

Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah

mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang

peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi

IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan

tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit

keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa

menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak

cukup untuk menimbulkan proses keganasan. (Lu. 2010)

Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring (KNF)

jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan

dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan

tetap ada peneliti yg mencoba menghubungkannya dengan merokok , secara umum resiko

terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009).

ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong

merupakan hasil dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor

kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF

dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak

dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan

dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina

makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih. (Lu. 2010)

Tentang factor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari

pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu cintoh terkenal di Cina selatan,

satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita

tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring

menderita keganasan organ lain. (Lu. 2010)

Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu

kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami

(Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara

terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB

dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yg laten. Seperti pada TPA

Page 8: Referat THT CA Nasofaring

( Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika

dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan

di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi

cell-mediated immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF (genesis) (Lu.

2010).

PATOLOGI

Nasofaring berhubungan dengan beberapa struktur. Ke anterior nasofaring berhubungan

dengan rongga hidung melalui koana, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang

sering timbul. Penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat muara tuba Eustachius sehingga

akan menimbulkan gangguan pendengaran dan penumpukan cairan di telinga tengah. Di

bagian posterior dinding nasofaring melengkung ke atas dan kedepan, terletak di bawah

korpus os sphenoid dan bagian basilar os oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin

timbul di tempat-tempat tersebut. Di supero-posterior torus tubarius terdapat resesus faring

atau fossa Rosenmuleri dan tepat di ujung posterosuperiornya terdapat foramen laserum.

Tumor dapat menjalar ke arah intracranial dalam dua arah, yang masing-masing

menimbulkan gejala neurologis yang khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke

sinus kavernosus dan fossa cranii media menyebabkan gangguan pada N.III, N.IV, N.VI, dan

kadang N.II. Penyebaran ke kelenjar faring lateral dan di sekitar selubung karotis/jugularis

pada ruang retroparotis akan menyebabkan gangguan pada N.IX, N.X, N.XI, dan N.XII. Di

nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral dan bermuara di

kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere) (Ballenger, 1997).

Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu :

1. Bentuk ulseratif

Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fosa

rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius dan

pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan

yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya.

Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa deengan

diferensiasi baik.

2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative

Page 9: Referat THT CA Nasofaring

Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara tuba

eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah anggur atau polipoid. Jarang

dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil. Gambaran

histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.

3. Bentuk eksofitik

Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya

ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin. Tumor jenis ini biasanya

tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor nini

dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke

dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala

nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis, atau gejala di leher.

Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis rigan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring

harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala

belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh, atau tumor tidak tampak karena masih berada

dibawah (creeping tumor) (Adham, 2007)

Gangguan pada telinga merupakan gangguan dini yang timbul karena tempat asal

tumor dekat muara tuba eustasius (fossa rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa

tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan

gangguan pendengaran ini kemudian baru di sadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma

nasofaring (Adham, 2007)

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa

lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini.

Penjalaran melalui foramen lacerum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula

ke V, sehingga tidak jarang diplopialah gejalayang membawa pasien terlebih dahulu ke

dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf

jika belum terdapat keluhan lain yang berarti (Adham, 2007)

Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika

penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring.

Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak

Page 10: Referat THT CA Nasofaring

disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila

sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk (Adham, 2007).

Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien

untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan ini (Adham, 2007).

STADIUM

Berdasarkan kesepakatan UICC tahun 1992, stadium karsinoma nasofaring dibagi

menjadi: (Adham, 2007)

T : tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar, dan perluasannya

T0 : Tidak tampak tumor

T1 : Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring

T2 : Tumor meluas lebih dari satu lokasi, tetapi masih dalam rongga nasofaring

T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan atauorofaring

T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan atau sudah mengenai saraf otak

N : nodul, menggambarkan kedaan kelenjar limfe regional

N0 : tidak terdapat pembesaran kelenjar

N1 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan

N2 : terdapat pembesaran kelenjar kontralateral atau bilateral yang masih dapat

digerakkan

N3 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral, kontralateral, atau bilateral yang sudah

melekat dengan jaringan sekitar

M : metastasis, menggambarkan keberadaan metastasis jauh

M0 : tidak terdapat metastasis jauh

M1 : terdapat metastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut, stadium dapat dibagi menjadi:

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium II : T2 N0 M0

Stadium III : T3 N0 M0

T1, T2, T3, N1 M0

Stadium IV : T4 N0, N1 M0

T1 – T4 N2,N3 M0

Page 11: Referat THT CA Nasofaring

T1 – T4 N0 – N3 M1

DIAGNOSIS

Beberapa cara yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis karsinoma

nasofaring:

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

2. Pemeriksaan nasofaring

3. Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang

dengan diagnosis histologis dan sitologis. Materi biopsi yang diperiksa adalah hasil

biopsi cucian, aspirasi, atau sikatan (brush). Biopsi nasofaring dilakukan dengan anestesi

topikal melalui 2 jalur, yaitu melalui hidung dan mulut:

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).

Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke

nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.

Biopsi melalui mulut dilakukan dengan bantuan kateter nelaton yang

dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang merada dalam mulut ditaik

dan diklem bersama dengan ujung kateter di hidung, sehingga palatum molle

tertarik ke atas. Daerah nasofaring dilihat dengan kaca laring. Biopsi dilakukan

dengan melihat tumor melalui kaca tersebut. Tumor akan terlihat lebih jelas

menggunakan nasofaringoskop. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan

hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret di daerah

lateral nasofaring dalam keadaan narkosis. (Wolden, 2001)

4. Pemeriksaan patologi anatomi

Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO sebelum tahun

1991 terbagi menjadi 3 tipe, yaitu:

1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi, yang terbagi lagi menjadi tipe diferensiasi

baik, sedang, dan buruk.

2. Karsinoma non-keratinisasi. Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, dan pada

umumnya batas sel cukup jelas.

3. Karsinoma tidak terdiferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individual

memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang

prominen. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.

Page 12: Referat THT CA Nasofaring

Tipe tanpa keratinisasi dan tanpa diferensiasi bersifat radiosensitif, sedangkan jenis

dengan keratinisasi tidak terlalu sensitif dengan radioterapi.

Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO pada tahun

1991 hanya terbagi menjadi 2 tipe, yaitu:

1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi

2. Karsinoma non-keratinisasi

Kedua tipe ini dibagi lagi menjadi tipe terdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi (WHO,

2005).

4. Pemeriksaan radiologi

Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah unutk memberikan diagnosis yang

lebih pasti pada kecurigaan tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang

lebih tepat, mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitar.

Foto polos

Karsinoma yang dapat dideteksi secara jelas denga foto polos pada

umumnya adalah tumor eksofitik yang cukup besar, sedangkan bula kecil

mungkin tidak terdeteksi. Perluasan tumor yang terjadi pada submukosa, atau

penyebaran yang belum terlalu luas tidak akan terdeteksi melalui foto polos.

Beberapa posisi foto polos perlu dibuat untuk mencari kemungkian tumor

pada daerah nasofaring, yaitu: (Wolden, 2001)

o Posisi lateral dengan teknik foto jaringan lunak

o Posisi basis cranii atau submentoforteks

o Tomogram lateral daerah nasofaring

o Tomogram anteroposterior daerah nasofaring

CT-Scan

Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos adalah kemampuan

untuk membedakan berbagai densitas pada daerah nasofaring. CT Scan mampu

membedakan berbagai densitas pada jaringan lunak maupun perubahan-

perubahan pada tulang. Dapat dinilai lebih akurat mengenai perluasan tumor ke

jaringan sekitar, destruksi tulang, dan penyebaran intracranial (Wolden, 2001).

DIAGNOSIS BANDING

1. Hiperplasia adenoid

Page 13: Referat THT CA Nasofaring

Biasanya terdapat pada anak-anak, jarnag pada orang dewasa, pada anak-anak

hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu

massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya

simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seprti

tampak pada karsinoma.

2. Angiofibroma juvenilis

Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai

KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto

polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses

dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan

destruksi tulang hanay erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada

pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenals

ebgai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vascular maka arterigrafi carotis

eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang

sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.

3. Tumor sinus sphenooidalis

Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya

tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan

pertama.

4. Neurofibroma

Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga

menyerupai keganasan didnding lateral nasofaring. secara C.T. Scan, pendesakan

ruang para faring kea rah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini

dengan KNF.

5. Tumor kelenjarr parotis

Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak

dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. pada

sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kea rah medial yang

tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.

6. Chordoma

Page 14: Referat THT CA Nasofaring

Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat

KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk

membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di

daerah clivus. CT dapat membantu ,elihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical

bagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar

tersebuts edangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.

7. Menigioma basis kranii

Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai

KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT

meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikanzat

kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.

Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.

TATALAKSANA

1. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan

karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah

radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,

karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi

dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan

akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer

didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas,

bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan

preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan

memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna

memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius

pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah

memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker

atau pada kasus kambuh lokal.

perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi

yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit

Page 15: Referat THT CA Nasofaring

mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy )

telah digunakan dibeberapa negara maju. (Harry, 2002)

Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA “Ribose

Nucleic Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA terutama terdapat paa

khromosom “ ionizing radiation “ menghambat metabolisme DNA dan menghentikan

aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi

granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.

Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis

merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya

yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas.

Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral

kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu

penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih

terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai

4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat .

Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh

antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap

dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi

sampai sekitar 7000 rad.

Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis

kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad,

sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer

yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla

spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya

diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah. (Harry, 2002)

Dosis radiasi

Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu dengan

periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang biasanya dipakai ialah “cobalt 60”,

“megavoltage”orthovoltage”

Respon radiasi

Page 16: Referat THT CA Nasofaring

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon

dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di

nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :

- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.

- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.

- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.

- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

Komplikasi radioterapi dapat berupa :

a) Komplikasi dini

Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :

- Xerostomia - Mual-muntah

- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang

diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum

- Anoreksi

- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar

parotis yang terkena radiasi)

- Eritema

b) Komplikasi lanjut

Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :

- Kontraktur

- Penurunan pendengaran

- Gangguan pertumbuhan

-

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama

pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan

sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien

mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi

keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya

bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis

diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi

local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea,

Page 17: Referat THT CA Nasofaring

anorexia dan sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti

avomit, avopreg. (Harry, 2002)

2. Kemoterapi

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat

meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan

kambuh. (Harry, 2002)

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila

setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara

makroskopis.

- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko

kekambuhan dan metastasis jauh).

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi

menjadi

1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului

pembedahan dan radiasi)

2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan

bersamaan dengan penyinaran atau operasi)

3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau

radiasi )

Efek Samping Kemoterapi

Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang

membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro

intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang

memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah

anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan

rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel

rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel

Page 18: Referat THT CA Nasofaring

kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi

oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker. (Wolden, 2001)

Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung,

yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru.

Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal

hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping

pemberian kemoterapi. (Wolden, 2001)

Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi

dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien

dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi. (Harry, 2001)

Manfaat Kemoradioterapi adalah

1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil

terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan

radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa

tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.

2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap

radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki

manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar

radiasi.

Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum

radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed

tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,

kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal

mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan

overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.

Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat

mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). (Wolden,

2001)

Page 19: Referat THT CA Nasofaring

Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan

kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat

memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or

concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.

Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi

dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.

Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,

membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel

kanker yang sublethal. (Wolden, 2001)

Kelemahan Kemoradioterapi

Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,

leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan

sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat

fatal.

Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan

dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak

diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal

pemberian. (Harry, 2001)

Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal (single

agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel

kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah

Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.

3. Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan

nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau

adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan

dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi

paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring

yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

4. Imunoterapi

Page 20: Referat THT CA Nasofaring

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus

Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi..

KOMPLIKASI

1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus

kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan

kelainan :

Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri

pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang

terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

Ptosis palpebra ( N. III )

Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

2. Retroparidean sindrom

Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke

sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan

retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X,

N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta

gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai

gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum

mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan

fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

Page 21: Referat THT CA Nasofaring

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,

mengenaiorgan tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah

tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.

Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat

mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %,

sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.

PROGNOSIS

Faktor terpenting untuk menentukan prognosis adalah stadium dari kanker. Pada

studi tahun 2002 yang menggunakan TNM staging system, menunjukkan angka

harapan hidup 5 tahun untuk stadium I sebesar 98%, stadium II A-B, 95%,

stadium III 86%, dan stadium IV 73%.

Faktor penting lainnya adalah host. Dimana bila pasien yang terlena berumur lebih

muda (<40 tahun) dan berjenis kelamin wanita, memiliki prognosis yang lebih

baik.

Selain itu tatalaksana yang baik juga merupakan faktor yang dapat menentukan

prognosis dari pasien (WHO, 2005)

PENCEGAHAN

Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr

yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko

tinggi.

Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.

Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan

untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan

sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan

faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara

massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma

nasofaring secara lebih dini.

Page 22: Referat THT CA Nasofaring

BAB III

PENUTUP

I. KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan

dan menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh.

Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu

(1)Aadanya infeksi EBV,

(2) Faktor lingkungan

(3) Genetik

Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia.

Pada stadium dini yang diberikan adalah penyinaran dan hasilnya baik.

II. SARAN

Diagnosis dini perlu diperhatikan pada pasien dewasa yang sering

mimisan, hidung tersumbat, keluhan kurang dengar, salit kepala dan

penglihatan dobel. Sebagai gejala lanjut ialah pembesaran kelenjar limfe

leher dan kelumpuhan saraf otak.

Bila dijumpai gejala seperti yang disebutkan di atas, maka sebaiknya

dilakukan pemeriksaan lengkap sampai karsinoma nasofaring dapat

disingkirkan.

Bagi para penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi

diharapkan melalukan vaksinasi virus EBV.

Diharapkan dengan meningkatkan penemuan kasus dini penangulangan

terhadap penyakit ini dapat diperbaiki. Sehingga angka kematian dapat

ditekan.

Page 23: Referat THT CA Nasofaring

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,

Esofagus, dan Leher, dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta:

EGC. Hal: 263-271

Adham, M. Dan Rozein, A. 2007. Karsinoma Nasofaring, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: FKUI.

Hal:182-187

Ballenger, JJ. 1997. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring, dalam Ballenger:

Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Hal: 1020-1039

Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan: FK

USU,2002.h. 1-11.

Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma

In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.

Wolden, Suzanne L. 2001. Cancer of Nasopharynx, dalam buku Atlas of Clinical Oncology:

Cancer of the Head and Neck. London: BC Decker inc. Page: 142-156

World Health Organization. 2005. World Health Organization Classification Head and Neck

Tumours. Lyon: IARC Press. Available at: www.iarc.fr/IARCPress/pdfs/index1.php

accessed: 19 December 2011.