36
DAFTAR ISI Daftar Isi......................................................... ............................................................ .........1 BAB I Pendahuluan................................................. ............................................................ ............2 BAB II Anatomi dan Fisiologi Tiroid……………………………………………………………..3 BAB III Pembahasan.................................................. ............................................................ ............6 3.1 Struma Difusa Toksik…………………….............................................. ......................7 3.2 Struma Nodosa Toksik……………………………………………………………….11 3.3 Struma Difusa Nontoksik…………………………………………………………….12 3.4 Struma Nodosa Nontoksik….………………………………………………………..14

Referat Struma

Embed Size (px)

DESCRIPTION

struma

Citation preview

DAFTAR ISI

Daftar Isi..............................................................................................................................1

BAB I

Pendahuluan.........................................................................................................................2

BAB II

Anatomi dan Fisiologi Tiroid……………………………………………………………..3

BAB III

Pembahasan..........................................................................................................................6

3.1 Struma Difusa Toksik……………………....................................................................7

3.2 Struma Nodosa Toksik……………………………………………………………….11

3.3 Struma Difusa Nontoksik…………………………………………………………….12

3.4 Struma Nodosa Nontoksik….………………………………………………………..14

3.5 Karsinoma Tiroid…………………………………………………………………….15

3.6 Langkah-langkah Penegakkan Diagnosis Struma ………………………………….17

Kesimpulan.......................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………..23

BAB I

PENDAHULUAN

Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan

jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang menyebabkan

perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak mempengaruhi fungsi. Struma

merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai sehari-hari, dengan anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan atau tanpa kelainan fungsi metabolisme

dapat didiagnosis secara tepat.

Survey epidemiologi untuk struma endemik sering ditemukan di daerah

pegunungan seperti pegunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan dan daerah pegunungan

lainnya. Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada wanita dibanding

pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1.000 wanita, sedangkan pria 1-5 dari

1.000 pria.

1

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan tiroid, perlu diingat kembali tentang

anatomi tiroid. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali

sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu

penyakit atau kelainan.

2.1 Anatomi Tiroid

Kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus dextra, lobus sinistra dan

isthmus yang terletak di bagian tengah. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian keempat

yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari garis tengah.

Lobus ini merupakan sisa jaringan embrional tiroid yang masih tertinggal.

Kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25 – 30 gram dan terletak antara tiroidea

dan cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu lapisan yang

disebut true capsule.

2

Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari :

. 1) A. Tiroidea superior yang merupakan cabang dari A. Carotis Externa

2) A. Tiroidea Inferior yang merupakan cabang dari A. Subclavia

3) A. Tiroidea Ima yang merupakan cabang dari Arcus Aorta

Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal

tiroid sebelum masuk ke laring.

3

2.2 Fisiologi Tiroid

Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan hormon

Tiroksin atau T4, triiodotironin atau T3 dan kalsitonin. Di dalam darah sebagian besar T3

dan T4 terikat oleh protein plasma yaitu albumin, Thyroxin Binding Pre Albumin

(TBPA) dan Thyroxin Binding Globulin (TGB). Sebagian kecil T3 dan T4 bebas beredar

dalam darah dan berperan dalam mengatur sekresi TSH. Hormon tiroid dikendalikan oleh

thyroid-stimulating hormone ( TSH ) yang dihasilkan lobus anterior glandula hypofise

dan pelepasannya dipengaruhi oleh thyrotropine-releasing hormone ( TRH ). Kelenjar

thyroid juga mengeluarkan calcitonin dari parafolicular cell, yang dapat menurunkan

kalsium serum berpengaruh pada tulang.

Fungsi hormon tiroid antara lain :

1) meningkatkan kecepatan metabolisme

2) efek kardiogenik

3) simpatogenik

4) pertumbuhan dan sistem saraf

4

5

BAB III

PEMBAHASAN

Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek

fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi menjadi :

1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh,

berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi

a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus,

seperti yang ditemukan pada Grave’s disease.

b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah

satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummer’s disease.

2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada

tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi

a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter

b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid

Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :

1) Hiperplasia dan Hipertrofi

Setiap organ apabila dipicu untuk bekerja akan mengalami kompensasi

dengan cara memperbesar dan memperbanyak jumlah selnya. Demikian

juga dengan kelenjar tiroid pada saat pertumnuhan akan dipacu untuk

bekerja memproduksi hormon tiroksin sehingga lama kelamaan akan

membesar, misalnya saat pubertas dan kehamilan.

6

2) Inflamasi atau Infeksi

Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada tiroiditis akut,

tiroiditis subakut (de Quervain) dan tiroiditis kronis (Hashimoto)

3) Neoplasma

Jinak dan ganas

Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar hormon

tiroid di dalam darah. Kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon tiroid dalam kadar

berlebih atau biasa disebut hipertiroid maupun dalam kadar kurang dari normal atau biasa

disebut hipotiroid. Gejala yang timbul pada hipertiroid adalah :

Peningkatan nafsu makan dan penurunan berat badan

Tidak tahan panas dan hiperhidrosis

Palpitasi, sistolik yang tinggi dan diastolik yang rendah sehingga

menghasilkan tekanan nadi yang tinggi (pulsus celler) dan dalam jangka

panjang dapat menjadi fibrilasi atrium

Tremor

Diare

Infertilitas, amenorrhae pada wanita dan atrofi testis pada pria

Exophtalmus

Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :

Nafsu makan menurun dan berat badan bertambah

Tidak tahan dingin dan kulit kering bersisik

Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang lemah

7

Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak mata dan

tungkai

3.1 Struma Difusa Toksik

3.1.1 Definisi

Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Grave’s Disease. Penyakit ini juga

biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus,

hipertiroidi dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda

dengan gejala seperti berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi

terhafap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi

berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan

adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang terdapat juga manifestasi pada mata berupa

exophthalmus dan miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak

diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap

reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit

ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.

Gambar : penderita penyakit Graves

8

3.1.2 Patofisiologi

Grave’s Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan system

imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid Receptor

Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara

berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid

dalam tubuh menjadi meningkat.

3.1.3 Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan

metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas.

Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan seringkali

asupan ( intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat

badan secara drastis.

Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk

peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/ cardiac

output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi

meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus celer; penderita akan

mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom

dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan

fibrilasi ventrikel.

Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul

polidefekasi dan diare.

Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita sulit

tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi,

kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat

menggangu.

Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang

tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya

9

cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan

elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut.

Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.

Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap reseptor

pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan

lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata

terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata

akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.

Gambar : Skema patogenesis penyakit Graves

3.1.4 Tatalaksana

Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/

hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol.

Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan

yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi

10

dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid

besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen

meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

3.2 Struma Nodosa Toksik

3.2.1 Definisi

Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus

yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia

dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun

dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit Grave’s oleh Plummer, maka

disebut juga Plummer’s disease.

3.2.2 Patofisiologi

Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar tiroid

yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera diobati, dalam

15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang mempengaruhi

perubahan dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah

menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan penyakit autoimun), pemberian hormon

tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif sebagai pengobatan.

3.2.3 Gejala Klinis

Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Grave’s disease dengan

Plummer’s disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang

membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat

merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu lobus.

3.2.4 Tatalaksana

Terapi yang diberikan pada Plummer’s Disease juga sama dengan Grave’s

yaitu ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian

11

antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih

antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau

tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika

pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang

baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai

terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

3.3 Struma Difusa Nontoksik

3.3.1 Definisi

Struma endemik Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan

pembesaran kelenjar tiroid yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan

berhubungan dengan defisiensi diet dalam harian. Epidemologi Endemik goiter

diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada populasi anak sekolah dasar/preadolescent

(6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa penelitian. Goiter endemik terjadi karena

defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter endemik sering terjadi di derah pegnungan,

seperti di himalaya, alpens, daerah dengan ketersediaan yodium alam dan cakupan

pemberian yodium tambahan belum terlaksana dengan baik

3.3.2 Patofisiologi

Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya

defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh kelainan

sintesis hormon tiroid kongenital ataupun goitrogen (agen penyebab goiter

seperti intake kalsium berlebihan maupun sayuran familiBrassica). Kurangnya iodin

menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu

peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone) ke dalam darah sebagai efek

kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari

sel folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran

ini dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut

kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi

12

iodin endemik, pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada.

Kondisi itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid

mengikuti level dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.

Goiter Difus

Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang

tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik

(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat juga

disebut sebagai goiter koloid karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya

dipenuhi oleh koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik.

Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya

mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah

teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya. 

Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh

berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis hormon tiroid atau

gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter.

Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi koloid.

Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris, walaupun

pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya dilapisi

oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di

keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan

tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga terbentuk

folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik tiroid akan

terlihat coklat dan translusen, sementara secara histologis akan terlihat bahwa folikel

dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.

3.3.3 Gejala Klinis

Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran kelenjar

tiroid. Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun sebagian lagi

mengalami keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-anak

dengan defek biosintetik sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer yodium.

13

3.3.4 Tatalaksana

Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma dan

mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli selama

4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan kemudian

tapering off dalam 4 minggu. Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga

mengecil maka pengobatan medikamentosa tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan

operatif.

3.4 Struma Nodosa Nontoksik

3.4.1 Definisi

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik

teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma

nodosa menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang

menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda

toksisitas pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa

nontoksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-

tanda keganasan yang mungkin ada.

3.4.2 Patofisiologi

SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi 10%

populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang

yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang

belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis

hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil,

fenilbutazone, atau aminoglutatimid.

3.4.3 Gejala Klinis

14

Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak

ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya

gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi

dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai

membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.

Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala

kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup

dengan strumanya tanpa keluhan.

Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena

menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila

pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan

sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan

gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan

sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa

berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga

terasa berat karena terfiksasi pada trakea.

3.4.4 Tatalaksana

Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam

teknik operasinya antara lain :

a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan

seberat 3 gram

b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus

c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid

d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan dan

sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk

mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus

15

3.5 Karsinoma Tiroid

3.5.1 Definisi

Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari sel)

yang terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu keganasan pada tiroid yang

memiliki 4 tipe yaitu: papiler, folikuler, anaplastik dan meduller. Kanker tiroid jarang

menyebabkan pembesaran kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul)

dalam kelenjar. Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid bisa

disembuhkan

Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan menyerap yodium dan

membatasi kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi kadang menghasilkan cukup

banyak hormon tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.

3.5.2 Klasifikasi karsinoma tiroid

1. Karsinoma papiler

 karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan merupakan jenis paling umum dari

karsinoma tiroid. Lebih sering terdapat pada anak dan dewasa muda dan lebih

banyak pada wanita. Terkena radiasi semasa kanak ikut menjadi sebab keganasan

ini. Pertama kali muncul berupa benjolan teraba pada kelenjar tiroid atau sebagai

pembesaran kelenjar limfe didaerah leher. Metastasis dapat terjadi melalui limfe

ke daerah lain pada tiroid atau, pada beberapa kasus, ke paru.

2. Karsinoma folikuler

karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan merupakan 20-25 % dari karsinoma

tiroid. Karsinoma folikuler terutama menyerang pada usia  di atas 40

tahun.Karsinoma folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering

daripada pria. Pemaparan terhadap sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan

resiko jenis keganasan ini. Jenis ini lebih infasif daripada jenis papiler.

3. Karsinoma anaplastik

16

karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10% dari kanker tiroid. Sedikit lebih

sering pada wanita daripada pria. Metastasis terjadi secara cepat, mula-

mula disekitarnya dan kemudian keseluruh bagian tubuh. Pada mulanya orang

yang hanya mengeluh tentang adanya tumor didaerah tiroid. Dengan

menyusupnya kanker ini disekitar, timbul suara serak, stridor, dan sukar menelan.

Harapan hidup setelah ditegakkan diagnosis, biasanya hanya beberapa bulan.

4. Karsinoma parafolikular

karsinoma parafolikular atau meduller adalah unik diantara kanker tiroid.

Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada wanita daripada pria dan paling

sering di atas 50 tahun. Karsinoma ini dengan cepat bermetastasis, sering

ketempat jauh seperti paru, tulang, dan hati. Ciri khasnya adalah kemampuannya

mensekresi kalsitonin karena asalnya. Karsinoma ini sering dikatakan herediter.

3.5.3 Perbedaan Nodul Tiroid Jinak dan Ganas

Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul

tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :

1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar

digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan

kemudian menjadi lunak.

2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul

yang mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang

sudah berlangsung lama.

3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan, walaupun nodul

ganas tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis, dan

enoftalmus merupakan tanda infiltrasi ke jaringan sekitar

4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas.

17

5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas terutama

yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif

6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening

regional atau perubahan suara menjadi serak.

7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus

sternokleidomastoideus karena desakan pembesaran nodul (Berry’s Sign)

3.6 Langkah-langkah Penegakkan Diagnosis Struma

3.5.1 Anamnesis

Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa benjolan

di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau

hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali lebih

jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan

menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada

tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan

tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk mengetahui apakah ada kecendrungan

ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-

gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo

dan ada tidaknya benjolan di leher.

3.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama

dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-

tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.

Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut benar

adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien

18

diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak

saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan

pembesaran kelenjar getah bening leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :

- Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus

- Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang

- Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)

- Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras

- Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi

- Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus

sternokleidomastoidea

- Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak

3.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit tiroid

terbagi atas :

1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk

mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan

teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma

darah. Kadar normal T4 total pada orang dewasa adalah 50-120 ng/dl.

Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl.

2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi

terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum

penderita dengan penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin

dan thyroid stimulating hormone antibody

3. Pemeriksaan radiologis

19

Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau

pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis

pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral

biasanya menjadi pilihan.

USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul,

membedakan antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya

jaringan kanker yang tidak menangkap iodium dan bisa dilihat

dengan scanning tiroid.

Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131

yang didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan

ukuran, bentuk lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian

tiroid (distribusi dalam kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam 24

jam. Dari hasil scanning tiroid dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu cold

nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal dibandingkan

dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah

dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm

nodule bila uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan fungsi

yang nodul sama dengan bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot

nodule bila uptake lebih dari normal, berarti aktifitasnya berlebih

dan jarang pada neoplasma.

4. FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat

agar jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil

FNAB saja.

3.5.4 Tindakan Pembedahan

Indikasi operasi pada struma adalah :

1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa

20

2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan

3. Struma dengan gangguan kompresi

4. Kosmetik

Kontraindikasi pada operasi struma :

1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya

2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang

belum terkontrol

3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit

digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang

demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosisnya.

Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukanreseksi

trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher

yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.

Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah

nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut

suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.

Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi

insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan

debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek

maligna yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan

isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi

tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan

terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.

Komplikasi pembedahan tiroid :

a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior

b. Dispneu

21

c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring

terjadi kelemahan

d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita

menjadi lenih lemah dan sukar mengontrol suara nada tinggi,

karena terjadi pemendekan pita suara oleh karena relaksasi M.

Krikotiroid. Kemungkinan nervus terligasi saat operasi

22

BAB IV

KESIMPULAN

Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting

untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk

mengetahui ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar

hormon tiroid dalam tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat

diketahui secara dini.

Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk

menentukan diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan menegakkan diagnosis

pasti maka kita dapat mnentukkan tatalaksana yang tepat bagi struma yang dialami oleh

pasien. Apakah memerlukan tindakan pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam

jangka waktu tertentu.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Widjosono, Garitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor Syamsuhidayat

R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925-952.

2. Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik & Hipertiroidisme :

Buku Ajar Ilmu Pneyakit Dalam, Edisi Keiga, Penerbit FKUI, Jakarta, 1996 : 757-

778.

3. Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat, Buku

Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.

4. Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit

Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.

24