59
REFERAT REHABILITASI MEDIK PADA FRAKTUR COLLUM FEMUR Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Menyelesaikan Pendidikan Dokter Pada Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik Di RSO Prof. Dr. Soeharso Surakarta Pembimbing : dr. Harry H, Sp.KFR Disusun Oleh: Dwi Lestari Kurnia Yuniati Rahmaniar Dwi Hartati KEPANITERAAN KLINIK ILMU REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN 1

Referat Rm Fraktur Collum Femur

Embed Size (px)

DESCRIPTION

rehabilitasi medik

Citation preview

REFERAT

REHABILITASI MEDIK PADA FRAKTUR COLLUM FEMUR

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Menyelesaikan Pendidikan Dokter

Pada Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik

Di RSO Prof. Dr. Soeharso Surakarta

Pembimbing : dr. Harry H, Sp.KFR

Disusun Oleh:

Dwi Lestari

Kurnia Yuniati

Rahmaniar Dwi Hartati

KEPANITERAAN KLINIK ILMU REHABILITASI MEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2015

1

BAB I

PENDAHULUAN

Collum femur merupakan lokasi fraktur tersering yang banyak terjadi

pada orang lanjut usia. Fraktur ini banyak terjadi pada orang ras Kaukasia,

wanita lebih sering dari pada pria, usia dekade ketujuh dan kedelapan, dan pada

orang yang menderita osteoporosis. Oleh karena itu, tingkat insidensi fraktur

collum femur dapat dijadikan sebagai salah satu parameter tingkat insidensi

osteoporosis di suatu Negara. Faktor resiko lainnya ialah adanya penyakit yang

mengakibatkan kelemahan atau penurunan kekuatan pada tulang, seperti

osteomalasia, diabetes mellitus, stroke, dan konsumsi alkohol.

Selain itu, orang lanjut usia sering kali memiliki otot-otot yang lebih

lemah dan keseimbangan yang kurang baik sehingga memiliki tendensi yang

lebih tinggi untuk jatuh yang mungkin mengakibatkan fraktur collum femur ini.

Adanya hubungan antara fraktur collum femur dengan hilangnya massa tulang

akibat osteoporosis post menopause meningkatkan usaha screening untuk

osteoporosis sebagai salah satu bentuk pencegahan terjadinya fraktur tersebut.

Sebaliknya, trauma ini sangat jarang ditemukan pada orang-orang dengan massa

tulang yang tinggi, seperti pada orang yang menderita osteoartritis. Fraktur

collum femur juga lebih jarang ditemukan pada orang-orang ras Negroid,

dibandingkan dengan orang Kaukasia dan Asia.

Rendahnya tingkat insidensi pada orang Negroid belum sepenuhnya

diketahui. Namun, ada berbagai hipotesis untuk menjelaskan hal tersebut, yakni

karena massa tulang orang Negroid lebih tinggi, tingkat kehilangan massa tulang

setelah menopause yang lebih lambat, dan adanya perbedaan struktur tulang

dibandingkan orang Kaukasia. Tingkat kejadian fraktur collum femur

diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam 30 tahun ke depan. Hal ini

terjadi sebagai akibat semakin meningkatnya angka harapan hidup, khususnya

hingga di atas usia 65 tahun yang juga semakin meningkatkan resiko terjadinya

2

osteoporosis. Oleh karena itu, saat ini usaha pencegahan yang efektif dan efisien

terus dikembangkan mengingat tingginya beban ekonomi yang akan ditimbulkan

untuk terapi, rehabilitasi, dan penanganan lebih lanjut bagi para penderitanya.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Os Femur

Femur adalah tulang terpanjang dan terberat dari tubuh. Femur terdiri

dari  bagian proksimal, corpus dan distal. Bagian proksimal femur terdiri dari

caput, collum/cervikal dan 2(dua) trochanter (major dan minor). Caput femur

dilapisi oleh kartilago articular kecuali bagian medial yang diganti dengan

cekungan/fovea untuk tempat caput ligamentum. Collum femur berbentuk

trapezoidal. Diantara trochanter major dan minor terdapat linea intertrochanterica.

Bagian distal femur terbagi menjadi dua oleh lengkungan spiral menjadi condylus

medial dan lateral. Condilus femoral ini membentuk sendi dengan condilus tibia

dan disebut articulation genu.

4

B. Fisiologi

Sistem muskuloskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan berperan dalam

pergerakan. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligament,

bursa dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur tersebut.

Tulang adalah jaringan ikat yang keras, yang zat-zat intersekulernya keras,

terutama mengandung banyak mineral yang mengandung zat perekat dan zat

kapur. Fungsi jaringan tulang : menjaga berdirinya tubuh, membentuk rongga

untuk menyimpan (melindungi) organ-organ yang halus, Membentuk persendian

dan sebagai tempat melekatnya ligamen dan otot.

Sendi adalah pertemuan dua buah tulang atau beberapa tulang dari

kerangka, tulang ini dipadukan dengan berbagai cara, misalnya dengan kapsul

sendi, pita fibrosa, ligamen tendon, fasia atau otot.

Otot merupakan suatu organ/alat yang memungkinkan tubuh dapat

bergerak, ini adalah suatu sifat penting bagi organisme, sebagian besar otot tubuh

ini melekat pada kerangka dalam suatu letak yang tertentu. Jadi otot, khususnya

otot kerangka merupakan sebuah alat yang menguasai gerak aktif dan memelihara

sikap tubuh. C. Fraktur Femur

1. Karakteristik Umum

Fraktur femur terjadi diantara ujung permukaan articular dari caput

femur dan region intertrochanterica. Fraktur ini ialah fraktur, intracapsular

dimana cairan sinovial panggul dapat menghambat penyembuhannya.

Penyembuhan juga semakin terhambat akibat hancurnya suplai pembuluh

darah arterial ke lokasi fraktur dan caput femur, dengan adanya fraktur collum

femur, cabang cervical ascendens lateralis dari arteri sircum flexi femoris

medialis mempunyai resiko yang besar untuk terkena. Terputusnya aliran

darah ini meningkatkan resiko nonunion pada lokasi fraktur dan beresiko

untuk terjadinya nekrosis avaskular pada caput femoris.

5

2. Epidemiologi

Insidensi fraktur collum femur meningkat sejalan dengan usia. Insidensi

tertinggi terjadi pada usia antara 70-80 tahun. Fraktur ini terjadi lebih sering pada

wanita dibandingkan dengan laki-laki, yakni dengan rasio sekitar 5 : 1. Hal ini

dikarenakan populasi wanita yang lebih banyak pada usia tersebut dan juga

karena arsitektur dari upper en of femur sehubungan dengan osteoporosis dimana

prevalesninya lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki. Lesi ini jarang

terjadi pada orang yang menderita osteoarthritis pada panggulnya.

3. Mekanisme Terjadinya Fraktur

Farktur collum femur biasanya terjadi akibat jatuh, tetapi pada orang

yang menderita osteoporosis, kecelakaan yang sangat ringan sekalipun sudah

dapat menyebabkan fraktur, mislanya akibat kaki yang tersandung karpet dan

menyebabkan sendi panggul mengalami exorotasi

Pada orang dengan usia musa, fraktur biasanya terjadi akibat jatuh dari

ketinggian atau akibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan hingga

terlempar ke jalan. Pada pasien ini sering kali mengalami jejas multiple dan 20%

diantaranya juga mengalami fraktur corpus femur

4. Klasifikasi

a. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomis

Berdasar lokasi anatomis dari garis frakturnya, fraktur collum femur

diklasifikasikan menjadi dua bagian besar yaitu, fraktur intracapsular dan

fraktur extracapsular. Fraktur collum femur meliputi fraktur intracapsular

yang terdiri dari fraktur subcapital, transcervical, dan basilar (basiservikal),

sedangkan fraktur extracapsular terdiri dari fraktur intertrochanteric dan

subtrochanteric.

6

Gambar 1. Klasifikasi Fraktur Femur Bagian Proksimal

(A)Fraktur Intracapsular, (B) Fraktur Extracapsular

a) Fraktur Intracapsular

Fraktur intracapsular disebut juga sebagai fraktur letak tinggi collum

femur. Pada kelompok ini, fragmen proksimal sering kehilangan bagian

pembuluh darahnya dan oleh karena itu, penyatuan kembali (union) fraktur

sangatlah sulit. Hal ini merupakan kejadian serius  pada pasien usia lanjut. Pada

pasien yang sangat tua dan lemah, hal ini akan mencetuskan terjadinya ketidak

seimbangan metabolisme. Dengan demikian, dapat terjadi terminal illness oleh

karena uremia, infeksi paru, mendengkur sewaktu tidur, ataupun akibat penyakit

fatal lainnya. Fraktur intracapsular diklasifikasikan lagi berdasarkan daerah

collum femur yang dilalui oleh garis fraktur , antara lain:

Fraktur subcapital

Garis frakturnya melintasi collum femur tepat di bawah caput femur.

7

Gambar 2. Fraktur subcapital

Fraktur Transcervical

Garis fraktur biasanya melewati setengah panjang collum femur. Seperti

pada fraktur subcapital, bila terjadi displaced pada fraktur, caput femur biasanya

akan kehilangan suplai darahnya dan ikut mengalami kerusakan. Oleh karena itu,

pada penanganan sebagian besar fraktur ini juga harus dilakukan penggantian

caput femur dengan implantasi metal, dari pada berusaha menyatukan fraktur

yang sulit sembuh dan akhirnya menjadi kolaps.

8

Gambar 3. Fraktur Transcervical

Fraktur Basilar atau Basiservikal

Garis frakturnya melintasi bagian basis collum femur. Jenis fraktur ini

berada pada perbatasan collum femur sehingga sempat diperdebatkan apakah

termasuk fraktur ntracapsular atau fraktur extracapsular. Pada daerah ini

mempunyai suplai darah yang baik dan bila terjadi fraktur disini tidak mungkin

mempengaruhi viabilitas dari caput femur. Biasanya fraktur ini ditangani dengan

internal fixation, sering hasilnya baik.

9

Gambar 4 Fraktur Basilar atau Basiservikal

b) Fraktur Extracapsular

Fraktur extracapsular yang termasuk dalam fraktur collum femur merupakan

fraktur –fraktur yang terjadi pada daerah intertrochanteric dan daerah

subtrochanteric.

Fraktur Intertrochanteric

Pada fraktur ini, garis fraktur melintang dari trochanter mayor ke

trochanter minor. Tidak seperti fraktur intracapsular, salah satu tipe fraktur

extracapsular ini dapat menyatu dengan lebih baik. Resiko untuk terjadinya

komplikasi non-union dan nekrosis avaskular sangat kecil jika dibandingkan

dengan resiko pada fraktur intracapsular.

Fraktur dapat terjadi akibat trauma langsung pada trochanter mayor atau akibat

trauma tidak langsung yang menyebabkan twisting pada daerah tersebut.            

Berdasarkan klasifikasi Kyle (1994), fraktur intertrochanteric dapat dibagi

menjadi 4 tipe menurut kestabilan fragmen-fragmen tulangnya.Fraktur

dikatakan tidak stabil jika:

10

1) Hubungan antarfragmen tulang kurang baik.

2) Terjadi force yang berlangsung terus menerus yang menyebabkan

displaced tulang menjadi semakin parah.

3) Fraktur disertai atau disebabkan oleh adanya osteoporosis.

                Gambar 5. menunjukkan klasifikasi Kyle untuk fraktur intertrochanteric.

Fraktur Subtrochanteric

Fraktur subtrochanteric biasanya terjadi pada orang usia muda yang

disebabkan oleh trauma berkekuatan tinggi atau pada orang lanjut usia dengan

osteoporosis atau penyakit-penyakit lain yang mengakibatkan kelemahan pada

tulang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada fraktur ini, antara lain:

1) Perdarahan yang terjadi cenderung lebih massif dibandingkan

perdarahan pada fraktur collum femur lainnya. Hal ini terjadi karena

pada daerah subtrochanteric terdapat anastomosis dari cabang-cabang

arteri femoral bagian medial dan lateral.

2) Fragmen fraktur dapat terextensi ke region intertrochanteric yang

mungkin menyulitkan pelaksanaan internal fixation.

3) Bagian proksimal mengalami abduksi, exorotasi, dan flexi akibat

11

psoas sehingga corpus femur harus diposisikan sedemikian rupa untuk

menyamai posisi tersebut. Jika tidak, maka resiko untuk terjadinya

non-union atau malunion akan sangat tinggi..              

Pada X-ray dapat ditemukan gambaran-gambaran fraktur yang perlu

diperhatikan sebagai suatu bentuk warning sign, seperti ditunjukkan pada gambar 4.7

berikut ini.

 

 Gambar 6. Fracture Subtrochanteric – Warning sign pada X-ray

Keterangan Gambar 6.

(a)     Comminution, dengan extensi ke fossa piriformis

(b)     Displacement pada fragmen medial, termasuk trochanter minor

(c)      Lytic lesion pada femur

b. Klasifikasi Menurut Garden

Klasifikasi fraktur collum femur yang banyak digunakan ialah klasifikasi

menurut Garden yang dikemukakan pada tahun 1961. Garden

mengklasifikasikan fraktur intracapsulari ni secara simple dan logis berdasarkan

berbagai stadium dari displacement yang terlihat pada foto x-ray sebelum

tereduksi. Fraktur collum femur dibagi menjadi 4 stadium berdasarkan derajat

displacement dari fragmen fraktur.

12

Klasifikasi ini juga memberikan informasi yang jelas tentang derajat

kehancuran korteks posterior dan inferior dan apakah retinakulum posterior masih

menempel atau tidak (stuktur dimana pembuluh darah utama menuju ke caput

femoris) dan membantu dalam menentukan prognosis dari setiap stadium fraktur

yang terjadi.

• Stadium I  : Fraktur incomplete atau fraktur impaksi valgus (valgus malalignment)

tanpa displaced tulang

• Stadium II : Fraktur complete tanpa displaced tulang

• StadiumIII :Fraktur complete dengan displaced sebagian dari fragmen-fragmen 

tulang yang mengalami fraktur

• Stadium IV : Fraktur complete dengan displaced total atau seluruh fragmen-

fragmen tulang yang mengalami fraktur

Gambar 7. Klasifikasi Fraktur Collum Femur Menurut Garden

13

c. Klasifikasi Menurut Pauwell

Klasifikasi Pauwell telah digunakan sejak tahun 1935. Berdasarkan

besarnya sudut yang dibentuk oleh garis fraktur dengan sumbu horizontal pada

corpus femur, Pauwell mengklasifikasikan fraktur collum femur, sebagai berikut:

Tipe I :Garis fraktur membentuk sudut <30 0dari sumbu horizontal.

Tipe II :Garis fraktur membentuk sudut 30o – 50o dari sumbu horizontal.

Tipe III :Garis fraktur membentuk sudut >70o dari sumbu horizontal.

Gambar 7. Klasifikasi Pauwell

d. Klasifikasi Menurut Hence

Hence mengklasifikasikan fraktur collum femur intracapsular menjadi 2

bagian besar dan lebih sederhana, yaitu:

1) Fraktur non-displaced

Fraktur tanpa disertai adanya pergeseran fragmen-fragmen tulang.

2) Fraktur displaced

Fraktur dengan disertai adanya pergeseran fragmen-fragmen tulang, baik

sebagian ataupun seluruhnya.

14

e. Klasifikasi Menurut Linton

Klasifikasi Linton membagi fraktur collum femur intracapsular

berdasarkan garis fraktur dan posisi fragmen-fragmen tulangnya dengan

pembagian sebagai berikut:

Stage I     : fraktur e incomplete

Stage II    : fraktur complete, undisplaced

Stage III   : fraktur complete dengan displaced parsial

Stage IV    : fraktur complete dengan displaced total

5. Etiologi

Latihan yang salah merupakan faktor resiko tersering, termasuk

peningkatan mendadak dari kuantitas dan intensitas latihan serta perpindahan ke

aktivitas yang baru. Faktor lain yang berperan antara lain densitas tulang yang

rendah, komposisi tubuh yang abnormal, defisiensi makanan, abnormalitas

biomekanik, dan menstruasi yang tak teratur.

Beberapa faktor predisposisi fraktur collum femur ialah variasi anatomi,

osteopenia relatif, kondisi fisik yang buruk, kondisi medis sistemik yang

menyebabkan demineralisasi dari tulang, atau inaktivitas beberapa saat, dapat

membuat tulang lebih mudah mendapatkan stress fracture.

Seperti yang dilaporkan oleh Monteleone pada tahun 1995, penelitian

menunjukkan bahwa wanita mempunyai insidensi lebih banyak terhadap stress

fracture, yang diakibatkan karena variasi anatomi. Wanita cenderung untuk

mendapatkan direct axial force saat latihan beban berat dari beberapa aksis

tulang panjang dibandingkan dengan pria. Wanita juga mempunyai 25% otot

lebih sedikit dibandingkan dengan pria. Hal ini membuat tekanan terpusat dan

stabilitas tahanan melalui anatomi tulang.

Pada tahun 1987, Markey melaporkan bahwa Hersman, et al

mendokumentasikan bahwa wanita mempunyai insidensi stress fracture yang

lebih tinggi.Tingginya insidensi ini akibat perbedaan mekanik dan variasi

15

anatomi antara wanita dan pria. Perbedaan pada wanita ini meliputi stride

lengths, number of strides per distance, pelvis yang lebih lebar, coxa vara, dan

genu valgum.

Latihan yang menginduksi abnormalitas endokrin diketahui dengan baik dapat

mengakibatkan amenorrhea atau defisiensi nutrisi, yang dapat menyebabkan

demineralisasi dari tulang dan membuat pasien beresiko terhadap jejas. Stress

fracture, khususnya pada tulang trabekular, telah menunjukkan penurunan isi

mineral pada tulang. Penurunan ini dapat mengakibatkan penurunan esterogen pada

sirkulasi, yang terjadi pada atlet wanita yang mengalami amenorrhea. Kurangnya

proteksi dari esterogen mengakibatkan penurunan massa tulang. Trias atlet wanita

yaitu amenorrhea, osteoporosis, dan gangguan makan mempengaruhi beberapa

wanita aktif. Kehilangan massa tulang yang irreversibel pada pasien akan

meningkatkan terjadinya resiko fraktur lebih besar.

Kebanyakan individu bukan atlet yang kompetitif dan tidak akan pada tingkat

latihan yang optimal. Individu sering memaksa dirinya untuk berpartisipasi pada

tingkat dimana mereka tidak merasa tubuhnya sehat. Flexibilitas, Kekuatan otot, dan

koordinasi neuromuskular memberikan kontribusi pada luka bila mereka tidak

dilatih.

6. Patofisiologi

Caput femoris mendapat suplai darah dari tiga sumber, yaitu pembuluh

intramedula pada collum femur (arteri-arteri metafiseal inferior), pembuluh

servikal asendens pada retinakulum kapsular (arteri-arteri epifiseal lateralis); dan

pembuluh darah pada ligamentum kapitis femoris (arteri ligamentum teres).

Pasokan intramedula selalu terganggu oleh fraktur, pembuluh retinakular juga

dapat terobek kalau terdapat banyak pergeseran.

Pada manula, pasokan yang tersisa dalam ligamentum teres sangat kecil

dan pada 20% kasus tidak ada. Itulah yang menyebabkan tingginya insidensi

nekrosis avaskular pada fraktur collum femur yang disertai pergeseran.

Fraktur Transcervical

16

Fraktur trans-servikal, menurut definisi, bersifat intracapsular. Fraktur ini

penyembuhannya kurang baik karena:

1) Dengan robeknya pembuluh darah intrakapsul, cedera itu melenyapkan

persediaan darah utama pada caput

2) Tulang intra-articular hanya mempunyai periosteum yang tipis dan tidak ada

kontak dengan jaringan lunak yang dapat membantu pembentukan kalus

3) Cairan sinovial mencegah pembekuan hematoma akibat fraktur itu. Karena

itu ketepatan aposisi dan impaksi fragmen tulang menjadi lebih penting dari

biasanya. Terdapat bukti bahwa aspirasi hemartrosis dapat meningkatkan

aliran darah dalam caput femoris dengan mengurangi tamponade.

7. Manifestasi Klinis

Biasanya terdapat riwayat jatuh, yang diikuti nyeri panggul.Tungkai pasien

terletak pada rotasi lateral, dan kaki tampak pendek.Tetapi hati-hati, tidak semua

fraktur panggul demikian jelas. Pada fraktur yang terimpaksi pasien mungkin

masih dapat berjalan, dan pasien yang sangat lemah atau cacat mental mungkin

tidak mengeluh sekalipun mengalami fraktur bilateral.

Selain itu juga pasien biasanya berusia lanjut dengan riwayat jatuh dan

ketidak mampuan untuk berjalan. Pada inspeksi, gambaran luka terletak pada

posisi exorotasi dan ada pemendekan dari kaki. Perlekatan kapsul ke fragmen

distal mencegah exorotasi yang berlebihan pada kaki. Pada palpasi, terdapat nyeri

tekan di sekitar otot panggul bagian anterior dan lateral. Trochanter mayor

terevelasi pada tempat luka. Semua pergerakan menyebabkan nyeri kecuali pada

kasus yang sangat jarang dari fraktur impaksi.

Pada pemeriksaan foto X-Ray, dua pertanyaan harus terjawab: apakah

terdapat fraktur dan apakah mengalami pergeseran. Biasanya patahan itu jelas,

tetapi fraktur yang terimpaksi dapat terlewatkan bila tidak hati-hati. Pergeseran

dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang abnormal dan tingkat ketidak cocokan

garis trabekular pada caput femoris dan ujung Collum femur.

17

Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tak bergeser

(stadium I dan II Garden) dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara fraktur

yang displaced sering mengalami non-union dan nekrosis avaskular.

8. Diagnosis

Terdapat 3 situasi dimana fraktur collum femur dapat terlewatkan, kadang-

kadang dengan akibat yang menakutkan:

a) Fraktur -tekanan. Pasien orang lanjut usia dengan nyeri panggul yang

tidak diketahui mungkin mengalami fraktur-tekanan, pemeriksaan sinar-

X hasilnya normal tetapi scan tulang akan memperlihatkan hot area.

b) Fraktur yang terimpaksi. Garis fraktur tidak terlihat, tetapi bentuk caput

dan Collum femoris berubah, selalu bandingkan kedua sisi.

c) Fraktur yang tidak nyeri. Pasien yang berada di tempat tidur dapat

mengalami silent fracture.

a. Anamnesis

Menegakkan diagnosis pada seorang atlet yang mengalami nyeri di

daerah panggul dan inguinal dimulai dengan anamnesis lengkap dan

pemeriksaan fisik.Anamnesis dasar harus ditanyakan seperti keluhan akhir-akhir

ini dan deskripsi lengkap dari keluhan tersebut.Seorang ahli harus menanyakan

pasien apakah gejala-gejala tersebut berhubungan dengan olahraga tertentu

ataukah pada aktivitas tertentu.Anamnesis aktivitas secara komprehensif

haruslah dilakukan, seperti perubahan aktivitas, peralatan yang digunakan,

intensitas, dan teknik yang dilakukan haruslah dicatat.Beberapa hal penting

yang perlu ditanyakan, antara lain:

1. Anamnesis mengenai riwayat menstruasi harus dilakukan juga pada semua

pasien wanita. Amenorrhea sering berhubungan dengan penurunan level serum

esterogen. Kurangnya perlindungan esterogen dapat mencetus penurunan massa

tulang. Trias seorang atlet wanita, yaitu amenorrhea, osteoporosis, dan

gangguan makanan mempengaruhi beberapa wanita aktif. Tanda dan gejala dari

trias tersebut meliputi rasa lemah, anemia, depresi, ‘flu’ like syndrome, lanugo,

18

erosi enamel gigi, penggunaan laksatif.

2. Kebiasaan makan yang buruk dapat menimbulkan gangguan sistem endokrin,

kardiovaskular, dan gastrointestinal dan dapat menyebabkan kehilangan massa tulang

yang irreversibel. Seorang ahli harus waspada akan timbulnya stress fracture dan

cepat mengetahui tanda-tanda trias wanita, khususnya mencatat fracture jarang terjadi

karena trauma yang minimal.

3. Kebanyakan seorang atlet mengatakan bahwa onset nyeri yang sangat terjadi

selama 2-3 minggu, dimana berhubungan dengan perubahan segera pada aktivitas dan

peralatan yang digunakan. Secara khusus, seorang pelari (runners) selalu menambah

jarak dan intensitas lari mereka, mengubah medan yang ditempuh, atau mengganti

sepatu lari mereka. Disini, seorang ahli tentunya harus menanyakan tentang catatan

latihan dan seberapa jauh jarak lari seorang atlet dengan lengkap.

4. Ciri khas dari semua stress fracture seperti:

• Partisipasi pada aktivitas repetitive cyclic

• Onset nyeri yang tiba-tiba

• Perubahan aktivitas dan perlatan saat ini

• Pernah trauma

• Nyeri dengan beban berat

• Nyeri hilang sewaktu istirahat

• Menstruasi yang tidak teratur

• Presdisposisi osteopenia

5. Pasien biasanya melaporkan riwayat nyeri yang bertambah ataupun akut pada

panggul depan,inguinal, atau lutut yang bertambah berat bila beraktivitas. Ciri khas

yang tampak pada stress fracture adalah riwayat latihan yang berhubungan dengan

lokasi nyeri yang bertambah dengan aktivitas dan berkurang bila beristirahat atau

dengan aktivitas yang tidak memerlukan beban berat. Nyeri biasanya bertambah

buruk dengan latihan yang terus-menerus. Nyeri dapat dicetuskan dengan aktivitas

yang diulang-ulang, dan reda bila beristirahat.

6. Pemeriksa harus menanyakan apakah gejala-gejala tersebut pernah terjadi di masa

19

lalu, dan bila pernah, apakah pasien pernah berusaha menggunakan es atau

penghangat atau obat-obat tertentu (seperti asetaminofen, aspirin, NSAID).

Pertanyaan yang harus ditanyakan adalah keikutsertaan pasien pada program terapi

fisik sebelumnya, dan seorang ahli juga harus mengerti mengapa pada masa lalu itu

dipilih penatalaksanaan yang seperti itu.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik yang komprehensif dari seorang atlet dengan nyeri

panggul dan inguinal harus dilakukan dengan cermat dan harus juga dievaluasi

sistem neurologi dan muskuloskeletalnya. Gabungan penemuan bermakna dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik haruslah dapat dijadikan patokan dan pegangan

untuk proses evaluasi lebih lanjut. Derajat dan tipe fracture biasanya menentukan

derajat klinis dari deformitas yang terjadi.

Inspeksi

Pemeriksaan dimulai dengan observasi pasien.Wajah yang menyeringai

menahan sakit atau gaja berjalan seorang pasien tentunya membuat pola tertentu.

Pasien dengan displaced fraktur collum femur biasanya tidak dapat berdiri atau

biasanya dibawa dengan tempat tidur. Perhatikan pucak iliaca apakah ada perbedaan

tinggi antara kiri dan kanan, sehingga dapat ditentukan apakah tinggi dan fungsi dari

kaki kiri dan kanan berbeda. Alignment dan panjang dari ekstremitas biasanya

normal. Namun, gejala klasik pasien dengan displaced fraktur adalah ekstremitas

yang memendek dan dari luar tampak terputar. Pemeriksaan setiap otot yang atrofi

ataupun tidak simetris juga merupakan suatu hal yang penting.

Palpasi

Menentukan setiap titik nyeri tekan di regio panggul dan inguinal bagian

depan. Tanda fisik yang paling sering ditemukan pada stress fracture pada umumnya

adalah nyeri tekan tulang setempat; Namun, biasanya collum femur letaknya dalam

dan nyeri tulang atau nyeri tekan biasanya tidak ditemukan. Palpasi pada trochanter

dengan nyeri tekan biasanya mengindikasikan bursitis pada trochanter.

20

Range of Motion

Menentukan range of motion dari panggul dengan memflexi, extensi,

abduksi, adduksi, endorotasi serta eksternal dan flexi dan extensi dari lutut.

Penemuannya seperti nyeri dan keterbatasan gerak pasif pada panggul. Melakukan

passive straight-leg raise, Thomas, dan rectus femoris stretch test. Memeriksa

iliotibial band dengan tes Ober. Sebagai tambahan pemeriksaan untuk range of

motion pada panggul, dapat dilakukan pemeriksaan tulang belakang (spine) dan sendi

pada extremitas inferior lainnya karena pola nyeri alih dapat membingungkan.

Pemeriksaan kedua low back,baik aktif maupun pasif, dengan melihat flexi ke depan,

side bending, dan extensi. Lakukan juga straight-leg raise test dan Tes Laseque dan

Bragard sign. Pasien dengan nyeri di regio femoralis anterior dan lutut bisa

mempunyai patologi di sendi panggulnya. Nyeri yang dihasilkan pada pasien dengan

endorotasi, exorotasi, atau manuver provokasi lainnya dapat menyingkirkan patologi

panggul akibat gangguan tulang bel akang (spine).

Tabel 1. Range of Motion pada Sendi Panggul

Gerakan ROM

Flexi 120o

Extensi 30o

Abduksi 45 – 50o

Adduksi 20 – 30o

Endorotasi 35 – 45o

Exorotasi 35 – 45o

Tes Passive Straight Leg Raise

• Tujuan : memeriksa low back pain akibat herniasi diskus

• Langkah-langkah pemeriksaan:

1) Pasien berbaring supine, kedua tungkai dalam posisi lurus.

21

2) Pemeriksa meletakkan salah satu tangan di bawah lutut dan tangan lainnya

untuk mengangkat tungkai hingga pasien merasakan nyeri.

Tes Thomas

• Tujuan : memeriksa hip flexion contracture

• Langkah-langkah pemeriksaan:

1) Pasien berbaring dalam posisi supine, menekuk salah satu tungkai ke arah

dada dan tungkai lainnya tetap dalam keadaan extensi.

2) Hasil tes positif jika pasien tidak dapat mempertahankan tungkai dalam posisi

tersebut.

Tes Ober

• Tujuan : memeriksa kontraktur pada iliotibial band

• Langkah-langkah pemeriksaan:

1) Pasien berbaring miring ke arah tungkai yang sehat sehingga tungkai sehat

berada di bawah dalam keadaan ditekuk dan tungkai yang bermasalah di

bagian atas dalam keadaan lurus.

2) Pemeriksa meletakkan tangan di krista iliaka superior untuk stabilisasi,

kemudian angkat kaki yang atas, lakukan extensi, dan arahkan ke bagian

belakang kaki sehat. Lihat apakah kaki tersebut bisa beradduksi ke bawah dan

belakang meja periksa.

▪ Hasil test positif jika pasien tidak dapat adduksi melewati meja periksa.

Muscle Strength (Kekuatan Otot)

Penentuan kekuatan otot secara manual sangatlah penting untuk dilakukan

apakah terdapat kelemahan ataukah lokasi kelemahan itu berhubungan dengan cedera

saraf.Sebagai tambahan, pengevaluasian stabilitas dinamis dari pelvis, termasuk otot-

otot fleksor, ekstensor, dan abduktor panggul.Gaya berjalan Trendelenburg

menandakan kelemahan abduksi dari panggul.Tes flexi panggung (L2, L3), extensi

(L5, S1, S2), abduksi (L4, L5, S1), dan adduksi (L3, L4).

Pemeriksaan Sensoris

Selama dilakukan pemeriksaan sensoris, penurunan atau hilangnya

22

sensibilitas dapat mengindikasikan atau menyingkirkan kerusakan saraf yang spesifik.

Refleks otot-otot sangat membantu untuk mengevaluasi pasien dengan nyeri panggul.

Refleks yang abnormal menandakan abnormalitas fleksus saraf. Refleks yang

asimetris adalah hal yang sangat signifikan, sehingga, refleks dari pasien harus

dibandingkan antara kiri dan kanan.

Hop Test (Tes Lompat)

Sekitar 70% pasien dengan stress fracture pada femur mempunyai hasil

yang positif pada Hop Test. Pada Hop test, pasien melompat pada sisi kaki yang

terkena untuk menimbulkan gejala. Manuver lain yang dapat menyebabkan stress

pada femur juga dapat merangsang timbulnya rasa nyeri.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Radiologi

Foto X-ray

Foto polos mempunyai sensitivitas yang rendah. Adanya formasi tulang

periosteal, sklerosis, kalus, atau garis fraktur memberi petunjuk terjadinya stress

fracture; walaupun demikian, pemeriksaan radiologi foto polos dapat memberikan

gambaran normal pada pasien dengan fraktur collum femur, dan perubahan radiografi

tidak akan pernah berubah.

Pemeriksaan radiologi standar pada panggul meliputi foto AP (Antero-

Posterior) dari panggul dan pelvis dan Foto Lateral. Posisi frog-leg lateral tidak

dianjurkan karena dapat mengakibatkan displaced fraktur. Bila fraktur collum femur

dicurigai, foto endorotasi dari panggul dapat membantu mengindentifikasi fraktur

yang non-displaced atau fraktur impaksi. Bila dicurigai adanya fraktur panggul tetapi

tidak terlihat pada pemeriksaan X-ray standar, scanning tulang atau MRI harus

dilakukan.

9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan fraktur collum femur harus dimulai secepat mungkin

23

setelah terjadinya trauma. Cegah semua pergerakan tungkai dan lakukan

imobilisasi. Hal ini sangat penting karena apabila kita mengangkat pasien dalam

posisi yang tidak tepat, makadapat mengubah fraktur simpel undisplaced menjadi

fraktur complete dan displaced.

Segera lakukan foto x-ray dengan posisi antero-posterior (AP) dan lateral.

Ketika hal ini dilakukan, asisten membuat traksi pada tungkai untuk mencegah

trauma yang lebih jauh pada sisi fraktur. Hasil x-ray akan dijadikan sebagai

patokan atau acuan untuk menentukan kualitas dan menentukan apa yang akan

dilakukan terhadap fraktur yang terjadi. Bila memungkinkan, lakukan reduksi

dan fiksasi pada fraktur pada 12 jam pertama dan tidak melebihi 24 jam; perlu

diingat bahwa insidensi nonunion akan lebih rendah jika pasien dioperasi dalam

12 jam pertama daripada yang dioperasi setelah 48 jam.

Terapi operatif lebih disukai dan dipilih pada penanganan fraktur collum

femur. Tipe sfesifik dari terapi operatif yang akan digunakan tergantung dari usia

pasien dan karakteristik dari fraktur, seperti lokasi, displaced atau non displaced,

dan derajat comminution. Pada pasien lanjut usia dengan klasifikasi fracture

Garden I atau II juga dapat dilakukan parallel cannulated screw fixation,

walaupun hal ini biasanya dilakukan secara in situ. Hemiarthroplasty merupakan

prosedur yang dipilih pada pasien usia lanjut dengan displaced fraktur collum

femur. Level aktivitas pasien sebelumnya juga sangat penting dalam menentukan

tipe hemiarthroplasty yang akan dilakukan.

 Independent ambulator berguna pada cemented hemiarthroplasty, karena

nyeri setelah operasi dan hilangnya komponen sangat minimal pada pendekatan

ini. Hemiarthroplasty merupakan pendekatan yang paling sering dilakukan pada

pasien dengan posisi lateral dekubitus.Setelah insisi dibuat dan terlihat otot, caput

femorus diekstrasi dan collum femur dipotong untuk penempatan protesisnya.

Penggantian Prostetik

Beberapa ahli menyampaikan bahwa prognosis untuk fracture stadium III

24

dan IV tidak dapat diramalkan sehingga penggantian prostetik selalu lebih baik.

Pandangan ini meremehkan morbiditas yang menyertai penggantian. Karena itu,

kebijaksanaan kita adalah mencoba reduksi dan fiksasi pada semua pasien yang

berumur di bawah 75 tahun dan mempersiapkan penggantian atau replacement bagi

pasien-pasien berikut ini:

1 Pasien yang sangat tua dan sangat lemah

2. Pasien yang gagal menjalani reduksi tertutup. Penggantian yang paling rendah

resiko traumanya adalah prostesis femur atau prostesis bipolar tanpa semen yang

dimasukkan dengan pendektatan posterior.

Total Hip Replacement (THR)

Total Hip Replacement adalah prosedur operasi dimana tulang dan kartilago

persendian panggul yang rusak diganti dengan sendi artifisal.Sendi artifisial ini

disebut sebagai prostesis dan difiksasi dengan semen tulang yang dikenal sebagai

methylmethacrilate

Pemasangan Implan

Terdapat tiga cara pemasangan implan yang biasa digunakan dalam prosedurTotal

Hip Replacement, yaitu:

1.  Cemented Hip Implant

Dengan cara ini implan yang sudah terpasang difiksasi dengan

menggunakan semen tulang yang disebut methylmethacrilate. Cara ini

direkomendasikan bagi mereka yang berusia diatas 60 tahun, dan bagi pasien

usiamuda dengan kualitas dan densitas tulang yang kurang baik.

2. Porous Hip Implant

Cara ini dirancang agar implan dapat langsung terpasang pada tulang

tanpa perlu menggunakan semen. Implan yang digunakan dengan cara ini

memiliki topografi permukaan yang kondusif bagi pertumbuhan tulang baru. Cara

ini direkomendasikan untuk mereka yang berusia di bawah 50 tahun, bagi pasien

yang aktif, dan bagi pasien dengan kualitas tulang yang baik.

3. Hybrid Hip Implant

25

Cara ini merupakan gabungan dari cemented hip implant dan porous hip

implant. Bagian cup biasanya dipasang tanpa semen sedangkan bagian corpus

dipasang dengan semen.

Terapi Medikamentosa

Pada semua kasus fraktur, penatalaksanaan nyeri harus diutamakan.

Analgetik seperti acetaminophen atau NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory

Drugs) dapat diberikan pada fase akut dari fraktur. Walupun demikian, penambahan

penghilang nyeri mungkin diperlukan bila nyeri pasien tidak hilang hanya dengan

pemberian acetaminophen atau NSAID. Pada kasus seperti ini, golongan opiate

mungkin dapat digunakan, khususnya untuk mengatasi rasa nyeri yang hebat.

Penyesuaian terhadap rasa nyeri harus dilakukan, terutama pada fase akut.

10. Komplikasi

a) Komplikasi Umum

Pasien yang mengalami fraktur collum femur, yang sebagian besar

merupakan orang lanjut usia, beresiko untuk mengalami komplikasi yang

umum terjadi pada semua penderita fraktur, di mana mereka mengalami proses

imobilisasi yang cukup lama. Komplikasi umum tersebut ialah terjadinya deep

vein thrombosis, emboli pulmonal, pneumonia, dan ulkus dekubitus akibat

berbaring dalam jangka waktu yang lama secara terus menerus.

Walaupun saat ini penangan paska operasi sudah sangat berkembang,

angka mortalitas pada orang lanjut usia masih mencapai 20%, yang terjadi

dalam 4 bulan pertama setelah trauma. Pada pasien-pasien berusia lebih dari 80

tahun yang dapat bertahan hidup, hampir setengahnya tidak dapat berjalan

seperti saat sebelum trauma

b) Nekrosis Avaskular

Nekrosis caput femur akibat proses iskemik terjadi pada 30% pasien

yang mengalami fraktur displaced dan pada 10% pasien dengan fraktur

undisplaced. Komplikasi ini belum dapat didiagnosis atau diketahui pada saat

26

awal terjadinya fraktur. Setelah beberapa minggu setelah terjadinya fraktur,

melalui pemeriksaan bone scan, baru mulai tampak dan ditemukan adanya

gangguan vaskularisasi tersebut.

c) Non-Union

Lebih dari 30% kasus fraktur collum femur mengalami kegagalan untuk

menyatu kembali dan resiko ini akan semakin meningkat pada fraktur-fraktur

dengan displaced yang parah. Ada beberapa penyebab terjadinya komplikasi ini,

antara lain karena suplai darah yang kurang baik, reduksi yang tidak sempurna,

fiksasi yang tidak adekuat, dan adanya tardy healing yang merupakan ciri khas

fraktur intra-articular. Pada komplikasi non-union, pasien akan mengeluhkan rasa

nyeri, tungkai yang mengalami fraktur tampak lebih pendek dari tungkai yang

sehat, dan mengalami kesulitan untuk berjalan.

d) Osteoartritis

Nekrosis avaskular yang terjadi pada caput femur, setelah beberapa tahun

kemudian, dapat menyebabkan timbulnya osteoartritis sekunder pada panggul.

11. Pencegahan

Pencegahan fraktur femur dapat dilakukan berdasarkan penyebabnya.

Pada umumnya fraktur disebabkan oleh peristiwa trauma benturan atau terjatuh

baik ringan maupun berat. Pada dasarnya upaya pengendalian kecelakaan dan

trauma adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan

yang menyebabkan fraktur.

a. Pencegahan Primer

Dapat dilakukan dengan upaya menghindari terjadinya trauma benturan,

terjatuh atau kecelakaan lainnya. Dalam melakukan aktifitas yang berat atau

mobilisasi yang cepat dilakukan dengan cara hati-hati, memperhatikan

pedoman keselamatan dengan memakai alat pelindung diri.

b. Pencegahan Sekunder

Dilakukan untuk mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari terjadinya

27

fraktur dengan memberikan pertolongan pertama yang tepat dan terampil pada

penderita. Mengangkat penderita dengan posisi yang benar agar tidak

memperparah bagian tubuh yang terkena fraktur untuk selanjutnya dilakukan

pengobatan. Pengobatan yang dilakukan dapat berupa traksi, pembidaian

dengan gips atau dengan fiksasi internal maupun ekternal

c. Pencegahan Tersier

Bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat dan

memberikan tindakan pemulihan yang tepat untuk menghindari atau

mengurangi kecacatan. Pengobatan yang dilakukan disesuaikan dengan jenis

dan beratnya fraktur dengan tindakan operatif dan rehabilitative. Rehabilitasi

medis diupayakan untuk mengembalikan fungsi tubuh untuk dapat kembali

melakukan mobilisasi seperti biasannya. Penderita fraktur yang telah

mendapat pengobatan atau tindakan operatif, memerlukan latihan fungsional

perlahan untuk mengembalikan fungsi gerakan dari tulang yang patah. Upaya

rehabilitasi dengan mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan

mempertahankan reduksi dan imobilisasi antara lain meminimalkan edem,

memantau status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri, latihan dan

pengaturan otot, partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari,dan melakukan

aktivitas ringan secara bertahap.

12. Prognosis

Tergantung pada sifat frakturnya, seorang atlet dapat kembali ke keadaan

sebelum terjadinya fraktur tersebut.Displacedstress fracture pada fraktur collum

femur dapat mengakibatkan kelumpuhan walaupun diterapi dengan baik.

Diagnosis dan penatalaksanaan awal dapat mencegah terjadinya displaced pada

fraktur dan memperbaiki prognosis yang akan terjadi.

BAB III

REHABILITASI MEDIS FRAKTUR FEMUR

28

1. Indikasi Operatif pada fraktur femur :

a. Untuk menurunkan resiko terjadinya nekrosis avaskular

b. Kekakuan kedua sendi Hip

c. Keterbatasan salah satu fungsi tungkai karena nyeri dan kaku pada

sebagaimana atau seluruh sendi (multiple stiff joint)

d. Luasnya nyeri, gerak dan keterbatasan fungsi.

2. Program Rehabilitasi Medis Post Operatif

Masalah rehabilitasi pada fraktur femur:

a. Nyeri

b. Edema

c. Keterbatasan gerak

d. Gangguan fungsional dalam ADL (Activity Daily Live)

Rehabilitasi Medik

Terapi yang digunakan pada kasus fraktur dapat berupa terapi latihan

maupun terapi dengan modalitas. Terapi dengan modalitas yang sering

digunakan yaitu traksi, yang dapat mereposisi kembali tulang yang fraktur,

sekaligus juga dapat mengurangi nyeri yang timbul di daerah fraktur.

Sedangkan terapi latihan dapat berupa:

1) Range of Motion (ROM)

Gerakan sebuah sendi dengan jangkauan parsial atau penuh yang bertujuan

untuk mejaga meningkatkan jangkauan gerak sendi.

a) ROM penuh

Artinya ROM yang sesuai dengan dasar anatomi dari sendi itu sendiri.

b) ROM Fungsional

Adalah gerakan sendi yang diperlukan dalam melakukan aktifitas sehari-hari

atau kegiatan pasien yang spesifik.

29

c) ROM aktif

Pasien disuruh melakukan gerakan sendi secara parsial atau penuh tanpa

bantuan orang lain. Tujuannya memelihara ROM dan kekuatan minimal

akibat kurang aktifitas.

d) ROM aktif assistive

Pada latihan ini pasien disuruh kintraksikan ototnya untuk menggerakkan

sendi, dan ahli terapi membantu pasien dalam melakukannya.

e) ROM pasif

Latihan ini dengan menggerakkan sendi tanpa kontraksi otot pasien. Seluruh

gerakan dilakukan oleh dokter atau terapis. Tujuannya memelihara mobilitas

sendi ketika kintrol dari otot-otot volunteer/sendi hilang tau pasien tidak

sadar/.tidak ada respon. Sasaranya otot dengan kekuatan zerro-trace (0-1).

2) Terapi latihan merupakan salah satu modlaitas terapi yang pelaksanaannya

menggunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif untuk perbaikan dan

pemeliharaan kekuatan ketahanan, dan kemampuan vaskuler, mobilitas,

fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan, dan kemampuan

fungsional.

a) Static contraction

Merupakan suatu terapi latihan dengan cara mengkontraksikan otot tanpa

disertai perubahan panjang otot maupun pergerakan sendi. Tujuan kontraksi

isometric ini adalah pumping action pembuluh darah balik, yaitu terjadinya

peningkatan perifer resistance of blood vessel. Dengan adanya hambatan

pada perifer maka akan didapatkan peningkatan tekanan darah dan secara

otomatis cardiac output akan meningkat sehingga mekanisme metabolism

menjadi lancer dan edem menjadi menurun, dan akhirnya nyeri berkurang.

b) Relaxed passive exercise

Gerakan murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai gerakan dari angggota

tubuh pasien. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot secara pasif, oleh karena

30

itu gerakan berasal dari luar atau terapis sehingga denagn gerakan Relaxed

passive exercise ini diharapkan otot menjadi rileks dan menyebabkan efek

pengurangan atau penurunan nyeri akibat insisi serta mencegah terjadinya gerak

serta menjaga elastisitas otot.

c) Hold Relax

Merupakan teknik latihan yang menggunakan kontraksi otot secara isometric

kelompok antagonis yang diikuti rileksasi otot tersebut.

d) Aktive exercise

Merupakan gerakan yang dilakukan oleh adanya kekuatan otot dan anggota

tubuh itu sendiri tanpa bantuan, gerakan yang dilakukan melawan grafitasi

penuh.

3) Latihan kekuatan (strengthening exercise )

Syarat melakukan latihan ini adalah (1) kekuatan otot di atas fair (50%)

dan (2) beban di atas 35% dari kemmapuan otot.

a) Isometric exercise

Pada latihan ini panjang otot tidak bertambah, terjadi kontraksi otot tanpa

pergerakan sendi. Kontraksi optimal enam detik, 1 kali perhari. Bertujuan

untuk meningkatkan penguatan otot ketika ada kontraksi lain seperti fraktur

yang tidak stabil atau adanya nyeri.

b) Isotonis exercise

Merupakan latihan dinamis menggunakan beban statis, tetapi kesepakatan

gerak otot tidak dikontrol. Kontraksi bersamaan dengan gerak sendi. Latihan

ini sering digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot pada tahap

pertengahan dan tahap akhir dari rehabilitasi medic.

c) Isokinetic exercise

Pada latihan ini kecepatan gerak sendi konstan beban dinamis tetapi

kecepatan gerak tetap. Latihan ini digunakan pada rehabilitasi tahap akhir.

Rehabilitasi Hari Pertama Post Operasi Pemasangan Pen atau Canulated Screw

31

Sejak hari pertama pasien harus duduk di tempat tidur atau kursi. Pasien

dilatih untuk melakukan latihan pernapasan, dianjurkan berusaha berdiri sendiri dan

mulai berjalan (dengan alat penopang) secepat mungkin. Secara teoritis, idealnya

adalah menunda penahanan beban, tetapi ini jarang dapat dipraktekan.

Penatalaksanaan fraktur collum femur juga dapat dibagi berdasarkan waktunya yaitu

pada acute phase, recovery phase, dan maintenance phase.

1) Acute Phase (Fase Akut)

    Program Rehabilitasi

a. Physical Therapy

Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan penyembuhan, untuk

mencegah timbulnya komplikasi dan mengembalikan fungsi. Tujuan utama

terapi penanganan fraktur adalah untuk mengembalikan pasien ke kondisi awal

sebelum terjadinya fraktur. Hal ini dapat dilakukan baik dengan operasi maupun

tanpa operasi. Beberapa faktor harus dipertimbangkan dengan matang sebelum

rencana terapi dilakukan.

Pada frktur collum femur yang tidak rumit, penatalaksanaan pada seorang

atlet harus difokuskan pada istirahat dan memperbaiki kesalahan-kesalahan pada

waktu latihan (perbaiki training error). Mengubah salah satu faktor resiko juga

penting untuk mencegah progresifitas dari fraktur.

Physical therapy mungkin dapat digunakan untuk menunjang terapi

sewaktu beristirahat dan membantu pasien mengubah program training untuk

membantu penyembuhan.Seorang atlet dapat mengatur latihan fitness dan

mobilitasnya pada ekstremitas yang masih berfungsi dengan baik dan melakukan

latihan beban yang tidak menyebabkan ketegangan pada sendi panggul. Seorang

ahli dapat mengevaluasi pasien dari cara berjalannya atau anatomi pasien yang

abnormal yang mungkin menjadi faktor predisposisi untuk perkembangan fraktur

lebih lanjut. Beberapa pasien memerlukan orthotic untuk mencegah pronasi yang

berlebihan, yang dapat meningkatkan tekanan pada collum femur.  Ahli juga

32

memberikan edukasi kepada pasien selama proses rehabilitasi, dimana terapi

maupun non-operatif telah dilakukan sebelumnya.

Intervensi Operatif

Keputusan untuk dilakukan terapi operatif ataupun nonoperatif dari

fraktur collum femur dan jenis dari intervensi bedah itu tergantung dari banyak

faktor. Konsultasi pada bagian ortopedi diperlukan. Fraktur karena tekanan

(tension fracture) biasanya bersifat tidak stabil dan memerlukan tindakan operatif

stabilisasi. Fraktur collum femur tanpa displaced perlu distabilisasi dengan

multiple parallel lag screws atau pin. Pengobatan fraktur dengan displaced

didasarkan atas usia dan aktivitas dari pasien tersebut. Pada kelompok pasien

lansia, fungsi koqnitif premorbid, kemampuan berjalan, aktivitas pasien sehari-

hari harus dipertimbangkan bila akan dilakukan tidak operatif.

Fraktur kompresi (compression fracture) lebih stabil dari pada fraktur

dengan tekanan (tension fracture), dan dapat diterapi secara non-operatif.

Pengobatan untuk fraktur tanpa displaced dapat dilakukan dengan istirahat total

dan atau penggunaan tongkat sampai pergerakan pasif dari paha tidak terasa nyeri

lagi dan pada foto x-ray menunjukkan adanya formasi kalus.

Fraktur dengan displaced pada pasien usia muda merupakan emergensi

ortopedik, penatalaksanaan ORIF (Open Reduction Internal Fixation) harus

segera dilakukan. Prognosis kembalinya ke keadaan sebelum terjadinya fraktur

sangatlah sulit pada keadaan seperti ini. Pada pasien yang lebih tua, bisa

dilakukan ORIF atau penggantian prostetik.

2) Recovery Phase (Fase Penyembuhan)

    Program Rehabilitasi

a) Physical Therapy

Bila gejala nyeri pada fraktur yang stabil telah ditangani pada pengobatan

33

fase akut, latihan kekuatan untuk stabilisasi panggul dan otot dapat dimulai.

Tujuan utama adalah untuk memperbaiki dan mengembalikan gerakan (range of

motion) dari panggul dan paha.

Bila pasien tidak merasa nyeri lagi, weight bearing dapat dilakukan.

Ketika pasien telah mampu mentoleransi partial weight-bearing, aktivitas umum

di luar rumah seperti berenang dan cycling boleh dilakukan. Foto x-ray dilakukan

seminggu sekali sampai pasien dapat bergerak dengan full weight bearing tanpa

rasa nyeri.

Latihan lari harus dilakukan dari yang paling ringan secara bertahap. Bila

nyeri masih dirasakan, istirahat selama beberapa hari disarakankan, jarak tempuh

juga harus dikurangi, dan latihan dilanjutkan lagi secara bertahap tergantung dari

gejala yang masih ada pada pasien tersebut.

Tindakan bedah diindikasikan untuk pasien dengan fraktur dan displaced

yang jelas dan berlebihan. Biasanya, fiksasi dilakukan dengan plate and screw.

Setelah operasi, pasien diistirahatkan sampai rasa nyeri mereda dan kemudian

mulai dilatih sampai aktivitasnya dapat optimal dan kesembuhan terjadi. Bila

plate sudah diangkat, rehabilitasi lebih lanjut tetap diperlukan. Pengangkatan plate

tergantung dari usia dan aktivitas dari pasien. Beberapa pasien lebih suka weight

bearing dengan tongkat. Pasien biasanya dibolehkan untuk melanjutkan kembali

untuk running; walaupun boleh, disarankan untuk membatasi olahraga dan tidak

melakukan olahraga yang berat.

Penguatan otot gluteus medius, otot-otot abduktor panggul sangatlah

penting untuk stabilisasi setelah operasi.Otot penting lainnya meliputi m.

iliopsoas; gluteus maximus; adductor magnus, longus dan brevis; quadricep; dan

otot-otot tumit bagian belakang. Tujuan fungsionalnya yaitu untuk menormalkan

pola dan cara berjalan pasien. Aktivitas olahraga tertentu kemudian boleh mulai

dilakukan secara progresif dengan pengawasan pelatih.

Mengusahakan agar dalam kondisi yang baik selama rehabilitasi

merupakan hal yang penting.Bila alat pelindung atau non-weight-bearing

34

diperlukan, kemudian latihan tubuh bagian atas seperti upper body ergometer

dapat digunakan.Bila partial weight-bearing ambulation diperbolehkan, latihan

aquatic diperlukan juga, seperti renang atau berjalan di dalam air yang dalam.

Intervensi Bedah

Pasien dengan fracture yang jelas dan terdapat displaced pada sisi tekanan

memerlukan intervensi bedah demi kesembuhannya. Umumnya, internal fixation

diperlukan dengan menggunakan screw and plate.

3) Maintenance Phase (Fase Perawatan)

Program Rehabilitasi

a) Physical Therapy

Maintenance phase menggambarkan fase akhir dari proses rehabilitasi.

Latihan kekuatan otot seperti latihan kondisi dinamik (eg. dengan large gym

ball), ditambahkan pada penatalaksaan pasien.Selain itu, latihan olahraga

spesifik harus ada didalamnya sehingga seorang dapat mempertahankan

keseimbangan ototnya.

Tata Laksana Fraktur Collum Femur yang Tidak Ditangani 4 – 6 Minggu

Umumnya caput femur dapat hidup dan ada absorbsi minimal pada

collum femur. Tangani lesi ini seperti fracture yang baru saja terjadi. Bila terdapat

absorbsi moderate dari collum femur, tangani lesi ini dengan osteotomi.Jangan

mengganti caput femur dengan prostesis kecuali sudah menjadi pilihan terakhir.

Prereduction x-ray (Fully displaced fracture)

1 Sudut normal collum femur ke fragmen capital di reduksi; caput pada posisi varus

2 Fragmen distal dirotasikan ke sisi lateral

3 Corpus femur digeser ke atas

4 Fragmen distal ditempatkan anterior dari fragmen proximal

5 The plane of fracture diletakkan distal dari caput femur

35

Postoperative x-ray

1 Caput pada valgus yang sempit

2 Collum disambungkan ke caput

3 Fragmen-fragmen di fiksasi dengan 2 sudut tinggi atau 2 sudut rendah Knowlespins

Nonunion dari Collum Femur dengan caput yang viabel dan hanya absorbsi

minimal pada Collum femur

Lesi ini sangat baik ditangani dengan osteotomi. Tujuan dilakukannya

osteotomi harus ditujukan untuk union dari tulang; nonunion dari fraktur collum

femur diikuti dengan osteotomi akan menghasilkan nyeri pada panggul. Dengan

melakukan osteotomi, semua pergerakan pada sisi fraktur harus dihilangkan; bila

pergerakan terjadi, absorbsi dari collum akan terjadi, dan alat-alat yang digunakan

untuk menstabilisasi fraktur akan menembus caput. Jangan memilih prostesis untuk

menggantikan caput femur kecuali hal ini sudah merupakan keputusan terakhir.

1) Prereduction x-ray

a) Hanya terjadi absorbsi minimal pada collum femur

b) Gambaran fracture hampir vertical

c) Caput femur di adduksi sesuai dengan collum femur

2) Post operative x-ray (Following Angulation Osteotomy)

a) Gambaran fracture saat ini hampir horisontal. (Pada weight bearing, stress

merupakan compressing force pada sisi fraktur dibandingkan dengan shearing

force).

b) Aksis dari corpus femur diletakkan di bawah caput femur, mengurangi daya

ungkit pada sendi panggul.

c) Sisi osteotomi dibawah trochanter minor.

d) Ujung proximal dari alat ditempelkan tetapi tidak menembus caput femur

terlalu jauh.

e) Dua Knowles pins dimasukkan secara paralel satu sama lainnya melewati sisi

36

fraktur sebelum bladeplate diletakkan (Blount blade plate).

f) Blade Plate is bent pada posisi yang tepat (dipastikan dengan foto rontgent)

untuk meletakkan caput dan collum kira-kira paling sedikit 155o dari valgus

g) Screw paling proximal ditempelkan pada fragmen proximal.

Tidak ada fiksasi interna yang dibutuhkan. Lesi ini juga dapat ditangani

dengan high servical trochanteric osteotomy, osteotomi ini menghasilkan hasil yang

baik dibandingkan dengan metode lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Brigs T, Miles J, Aston W. 2010. Operative orthopaedics the Stanmore guide. UK:

Oxford University Press.

Cleland J, Koppenhaver S. 2010. Netter’s orthopaedic clinical examination.

37

Philadelphia: Saunders Elsevier.

Gardner MJ, Henley MB. 2010. Harborview Illustrated Tips and Tricks in Fracture

Surgery. Philadelphia : Lippincott Wlliams & Wilkins.

Gann N. 2010. Orthopaedics at a glance: a handbook of disorders, tests, and

rehabilitation strategies. UK: Slack Incorporated.

Hoppenfeld S, deBoer P. 2009. Surgical Exposure in Orthopaedics : The Anatomic

Approach. 3rd ed. Philadelphia : Lippincott Wlliams & Wilkins.

Martini FH, Timmons MJ, Tallistch RB. 2010. Human anatomy. 7th ed. USA:

Pearson.

McKinley M, O’Loughlin VD. 2012. Human anatomy. 3rded. New York: McGraw

Hill.

Tornetta III P, Williams GR, Ramsey ML, Hunt III TR. 2011. Operative Technique

In Orthopaedic Trauma Surgery. Philadelphia : Lippincott Wlliams &

Wilkins.

Wheeless CR, Nunley JA, Urbaniak JR. 2010. Wheeless textbook of orthopaedic.

USA: Duke University.

38

39