Referat RInitis Ozaena Yos

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    1/21

    REFERAT

    RINITIS ATROFI (OZAENA)

    PEMBIMBING:

    dr. Markus Rambu, Sp.THT-KL

    OLEH:

    Yos Akbar Irmansyah

    H1A.010.057

    DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

    BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

    RUMAH SAKIT UMUM PROPINSI NTB

    2015

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    2/21

    2

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    Rinitis atrofi primer atau yang dikenal dengan rhinitis ozaena adalah merupakan

     penyakit yang dikenal selama berabad-abad dan pertama kali dikenalkan oleh Fraenkel pada akhir abad kesembilan belas. Penyakit ini ditandai oleh perubahan sklerotik pada

    selaput lendir dan patensi abnormal saluran hidung akibat perubahan atrofi pada mukosa

    dan tulang yang mendasarinya, disertai dengan sekresi mukus kental dan tebal, yang saat

    kering dapat memancarkan bau busuk yang sangat khas.1 

    Rinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang jarang secara umum ditemui pada

    masa sekarang ini. Rinitis atrofi merupakan istilah yang sering dipakai dalam dunia

    kedokteran. Rinitis atrofi juga dikenal sebagai suatu rinitis kering, rinitis sika atau

    ozaena. Penyakit ini dikenal dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga

    hidung.2 

    Rinitis atrofi banyak mengenai wanita, khususnya usia dewasa muda dan

     pertengahan. Angka kejadiannya bervariasi di berbagai belahan dunia. Kondisi ini banyak

    ditemukan di negara tropis.1 

    Penyebab pasti rinitis atrofi belum diketahui. Berbagai teori mengenai etiologi

    dan patogenesis rinitis atrofi dikemukakan. Infeksi spesifik, autoimunitas, infeksi hidung

    dan sinus kronik, ketidakseimbangan hormon, status gizi buruk, anemia defisiensi besi,

    dan faktor hereditas diduga menjadi faktor-faktor penyebab rinitis atrofi. Infeksi

     Klebsiella ozaenae adalah yang paling sering didapatkan. Kuman lain yang juga terlibat

    adalah Coccobacillus foetidus ozaenae, Bacillus mucosus, Diphtheroids bacillus, Bacillus

     pertusis, Haemophilus influenzae, Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus, Streptokokus,

    dan  Proteus sp. Keterlibatan kuman-kuman ini sebagai penyebab langsung atau hanya

    sebagai penyebab infeksi sekunder belum diketahui pasti. Teori infeksi kronis dan

    autoimunitas mendapat dukungan ahli terbanyak.1,3

    Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatan rinitis atrofi belum ada

    yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk

    menghilangkan gejala. Pengobatan dapat secara konservatif atau jika tidak menolong

    dilakukan pembedahan.3 

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    3/21

    3

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Anatomi Hidung

    Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar

    menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan

    atas tiga bagian, yang paling atas terdapat kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di

     bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling

     bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti

     piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: (1) pangkal hidung (bridge); (2)

     batang hidung (dorsum nasi); (3) puncak hidung (hip); (4) ala nasi (5) kolumela; dan (6)lubang hidung (nares anterior).

     4

    Gambar 1. Anatomi Hidung Luar

    Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh

    kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

    menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: (1) tulang hidung (os nasal);

    (2) prosesus frontalis os maksila; dan (3) prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka

    tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah

    hidung, yaitu (1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior; (2) sepasang kartilago

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    4/21

    4

    nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor; dan (3) tepi

    anterior kartilago septum. 4 

    Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os. internum di

    sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari

    nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,

    konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung

    dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut

    meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. 5

     

    Gambar 2. Anatomi Hidung Bagian Dalam

    2.1.1. Septum nasi

    Septum membagi kavum nasi menjadidua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior

    dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum

    (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh

    os vomer, kristamaksila, Krista palatine serta krista sfenoid.2 

    2.1.2. Kavum nasi

    Kavum nasi terdiri dari:4

    1.  Dasar hidung

    Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal

    os palatum.

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    5/21

    5

    2.  Atap hidung

    Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus

    frontalisos maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar

    atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen

    n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan

    menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior

    3.  Dinding Lateral

    Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os

    lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os

    etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina

     pterigoideus medial.

    4.  Konka

    Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah antara konka

    inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah antara konka media

    dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut

    meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema)

    yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa

    lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang

    melekat pada maksila bagian superiordan palatum.

    2.1.3. Meatus Nasalis Superior

    Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara

    septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid

     posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang

     besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid

    terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.2 

    2.1.4. Meatus Nasalis Media

    Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas

    dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal

    dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    6/21

    6

    menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang

    dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit

    yang menghubungkan meatusmedius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus

    semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang

     berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada

     penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium

    sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di

    infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian

    anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya

    sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di

    depan infundibulum. 2

     

    2.1.5. Meatus Nasalis Inferior

    Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara

    duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas

     posterior nostril. 2 

    Gambar 3. Muara Sinus Paranasalis

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    7/21

    7

    2.1.6. Kompleks ostiomeatal (KOM)

    Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang

     berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal

    gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina

     papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

    infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. 2,4

     

    Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang

    keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum

    sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar

    melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal.

    Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau

    ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.2

    Gambar 4. Kompleks Ostiomeatal

    2.1.7. Vaskularisasi hidung

    Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anteriordan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian

     bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di

    antaranya adalahujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen

    sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    8/21

    8

     posteriorkonka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang  –  cabang

    a.fasialis.4 

    Gambar 5. Vaskularisasi Hidung 

    Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

    a.sfenopalatina, a.etmoidanterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut

     pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah

    cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung)

    terutama pada anak.4 

    Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan

    dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika

    yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,

    sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke

    intracranial.4 

    2.1.8. Innervasi hidung

    Bagian depan dan atas ronggahidung mendapat persarafan sensoris dari

    n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari

    n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan

    sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain

    memberikan persarafan sensorisjuga memberikan persarafan vasomotor atau otonom

    untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerimaserabut-serabut sensoris dari n.maksila

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    9/21

    9

    (N.V-2), serabut parasimpatisdari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut

    simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan

    sedikit di atas ujung posterior konka media.4

     Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah

     bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa

    olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 4

     

    2.1.9. Mukosa Hidung 

    Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologi dan fungsional dibagi

    atas mukosa pernapasan (mukosa respirasi) dan mukosa mukosa penghidu (mukosa

    olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung, dilapisi

    epitel kolumnar berlapis semu bersilia dan diantaranya terdapat sel goblet. Mukosa

     penghidu terdapat di atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga atas septum,

    dilapisi epitel kolumnar berlapis semu tidak bersilia. Epitelnya dibentuk oleh sel

     penunjang, sel basal, dan sel reseptor penghidu.4

    Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah mudan dan selalu

     basah karena diliputi oleh palut lendir. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang

     banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa, dan jaringan limfoid.4

    Mukosa hidung, palut lendir dan gerak silia penyusunnya membentuk sistem

    transpor mukosilier. Sistem ini merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung

    terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara.

    Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir.

    Palut lendir ini dihasilkan oleh sel goblet dan kelenjar seromusinosa submukosa. Bagian

     bawah palut lendir terdiri dari cairan serosa, sedangkan bagian permukaannya terdiri dari

    mukus yang lebih elastik dan banyak mengandung laktoferin, lisozim, imunoglobulin A

    sekretorik (s-IgA), dan IgG.2,4

     

    2.2. Fisiologi hidung

    Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi

    fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:4 

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    10/21

    10

    1)  Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring

    udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan

    mekanisme imunologik lokal

    2)  Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan

    reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu

    3)  Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses

     berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang

    4)  Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi

    terhadap trauma dan pelindung panas

    5)  Refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang

     berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi pada mukosa hidung aka menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti.

    2.3. Rinitis Atrofi 

    2.3.1. Definisi

    Rinitis atrofi atau ozaena atau yang memiliki nama lain rhinitis sica, dry rhinitis,

    open nose syndrome, dan empty nose syndrome merupakan penyakit infeksi hidung

    kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan

     pembentukan krusta yang ketika kering berbau busuk. Disebut juga rinitis kronik foetida

    atau rinitis krustosa.3,5

     

    2.3.2. Epidemiologi

    Rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita, terutama pada usia dewasa muda dan

     pertengahan.3

    Dalam Boies (1997) disebutkan frekuensi penderita rinitis atrofi wanita:

    laki-laki adalah 3:1.6  Sedangkan menurut Sampan dkk perbandingan frekuensi rinitis

    atrofi wanita terhadap laki-laki adalah 5,6 : 1. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan

    masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah, lingkungan yang buruk, dan di negara

    sedang berkembang. Lingkungan yang berpengaruh dalam kejadian rhinitis ozaena ialah

    rural area (69.6%), dan pada pekerja industry (43.5%).1

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    11/21

    11

    2.3.3. Etiologi 

    Penyebab pasti rinitis atrofi atau ozaena belum diketahui sampai sekarang.

     Namun, beberapa sumber menyebutkan terdapat beberapa patogen yang telah diisolasi

    langsung dari hidung pasien dengan rhinitis ozaena, antara lain:5

    1.  Coccobacillus

    2.  Bacillus mucosus

    3.  Coccobacillus foetidus ozaenae

    4.  Diptheroid bacilli

    5.  Klebsiella ozaenae.

    Persentase berbagai patogen yang menyebabkan rhinitis ozaena yang dikutip dari

     penelitian Sampan et al menunjukkan bahwa klebsiella ozaenae merupakan patogen

    terbanyak dalam menyebabkan rhinitis ozaena, seperti diagram di bawah ini:1

    Gambar 6. Persentase patogen penyebab rhinitis ozaena1 

    Berbagai teori mengenai etiologi dan patogenesis rinitis atrofi dikemukakan,

    antara lain:1,6,7

     

    a. 

    Infeksi kronik spesifik

    Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas

    sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman

    spesifik penyebab lainnya antara lain  Pseudomonas aeuruginosa  (penyebab kedua

    terbanyak) ,  Stafilokokus, Streptokokus, Coccobacillus foetidus ozaenae,  Bacillus

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    12/21

    12

    mucosus, Diphteroid bacilli,  Bacillus pertusis,  Haemophilus influenzae, dan  Proteus

     sp. Keterlibatan kuman-kuman ini sebagai penyebab langsung atau hanya sebagai

     penyebab infeksi sekunder belum diketahui pasti. Diduga infeksi kronik, hidung dan

    sinus, oleh kuman-kuman ini menyebabkan gangguan gerakan mukosilia mukosa

    hidung.

     b.  Autoimunitas: Teori infeksi kronis dan autoimunitas mendapat dukungan ahli

    terbanyak.

    c.  Defisiensi Fe

    d.  Defisiensi vitamin A

    e.  Status gizi buruk

    f. 

    Sinusitis kronik

    g.  Ketidakseimbangan hormon estrogen. Kejadian onset rinitis atrofi meningkat pada

    saat mengandung dan pubertas dengan rentang usia dari 12-70 tahun.

    h.  Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun

    i.  Ketidakseimbangan vasomotor atau otonom yang mengakibatkan terjadinya

     perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem

    saraf otonom.

     j.  Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).

    k.  Herediter

    l.  Supurasi di hidung dan sinus paranasal

    m.  Golongan darah

    2.3.4. Patologi dan Patogenesis 

    Studi kepustakaan menyatakan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan

    adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia di mukosa respirasi menjadi epitel kubik atau

    gepeng berlapis atau atrofik, silia menghilang, dan fibrosis dari tunika propria, terdapat

     pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan

     periarteritis pada arteriole terminal.

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    13/21

    13

    Menurut Airin et al, dalam review jurnalnya menyebutkan, penyebab kejadian

    rhinitis atrofi terbagi atas primer dan sekunder, yaitu:8

    a.  Primer disebabkan oleh infeksi kronik dari klebsiella, herediter, kekurangan nutrisi,

    defisiensi estrogen dan gangguan vaskuler sinus paranasal. Tipe primer ini terjadi

     pada hidnung sehat sebelumnya.

     b.  Sekunder biasanya terjadi akibat komplikasi dari postoperative yang mengakibatkan

    kerusakan dari mukosa membrane hidung.

    Sedangkan berdasarkan patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua:5

    a)  Tipe I: adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi

    kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.

     b) 

    Tipe II: terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

    Sebagian besar kasus merupakan tipe I atau primer. Infeksi kronis, yang disertai

    dengan kekurangan nutrisi, defisiensi estrogen akan menyebabkan gangguan vaskuler,

    sehingga dapat menyebabkan endarteritis di arteriole akan menyebabkan berkurangnya

    aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.8

    Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta

    tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga

    dihubungkan dengan teori proses autoimun; dimana antibodi yang berlawanan dengan

    surfaktan protein A terdeteksi. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama

    menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal

    menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang

     baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan

     juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan

    mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang

    merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.8,9

     

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    14/21

    14

    2.3.5. Gejala Klinis dan Pemeriksaan 

    Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat,

    gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak)

     berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan yang juga

    sering ditemukan adalah napas berbau, karena pasien menderita anosmia biasanya yang

    orang lainlah yang mengeluhkan napas pasien berbau. Pasien mengeluh kehilangan indra

     pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan

    napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat

     bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan

    hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat

    telah bergerak semakin jauh dari gambaran.1,3

     

    Gambar 7. Persentasi tiap gejala klinis pada Rinitis Atrofi1

    Pemeriksaan hidung pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga

    hidung sangat lapang, konka inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, dipenuhi

    krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam, sekret purulen dan berwarna hijau,mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk

    yang timbul).3 

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    15/21

    15

    Gambar 8. Nasal Discharege (Kiri) dan pembesaran dari ruang hidung (Kanan)10

     

    Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat:9

    a)  Tingkat I: Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta

    sedikit.

     b)  Tingkat II: Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin

     pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

    c)  Tingkat III: Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,

    rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat

    anosmia yang jelas.

    2.3.6. Diagnosis 

    Diagnosis rinitis atrofi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

    fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis rinitis atrofi primer secara klinis

     berdasarkan trias yaitu napas berbau, krusta purulen kehijauan, dan rongga hidung

    lapang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis rinitis

    atrofi adalah pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, CT-scan sinus

     paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan

    mikrobiologi, dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan

    sifilis.5

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    16/21

    16

    Gambaran CT-scan pada rini tis atrof i yaitu :

    Gambar 8. Gambaran CT-Scan pada pasien Rinitis Atrofi8

    Penebalan mukosa dinding sinus, hilangnya gambaran kompleks osteomeatal

    akibat resorpsi bula etmoid dan prosesus unsinatus, hipoplasia sinus maksila, kavum nasi

    membesar dengan erosi dinding lateral, dan resorpsi tulang dan atrofi mukosa konka

    media dan inferior. Hipoplasi sinus maksila terjadi pada stadium lanjut penyakit.5 

    Pemeri ksaan H istopatologi

    Pada pemeriksaan histopatologi, didapatkan metaplasia dari eptel nasal kolumner

    silia hingga epitel squamous, pengurangan jumlah dan ukuran dari kelenjar alveolar,

    hingga dilatasi kapiler.5

    2.3.7. Diagnosis Banding 

    Diagnosis banding rinitis atrofi (ozaena) antara lain5:

    a.  Rinitis kronik TBC

     b.  Rinitis kronik lepra

    c.  Rinitis kronik sifilis

    d.  Rinitis sika

    2.3.8. Komplikasi 

    Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa5:

    a.  Perforasi septum

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    17/21

    17

     b.  Faringitis atrofi

    c.  Sinusitis

    d.  Miasis hidung

    e. 

    Hidung pelana

    2.3.9. Penatalaksanaan 

    Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatan rinitis atrofi belum ada

    yang baku. Pengobatan hanya bersifat paliatif. Pengobatan ditujukan untuk

    menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat

    secara konservatif atau jika tidak menolong dilakukan pembedahan.1,3,5

    Terapi konservatif.

    Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung,

    dan terapi simptomatik.

    1)  Antibiotik spektrum luas atau sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis

    adekuat sampai tanda-tanda infeksi, seperti sekret purulen kehijauan, hilang.

    Dilaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg

    1 x sehari selama 12 minggu.3,5

     

    2)  Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret

    serta menghilangkan bau busuk. Larutan yang digunakan adalah larutan garam

    hipertonik, antara lain:3,5

     

    a.  Betadin solution 15 cc (1 sendok makan) dalam 100 ml air hangat atau

     b.  Campuran:

       NaCl

     

     NH4Cl

       NaHCO3 aaa 9

      Aqua ad 300 cc

      Diencerkan dengan campuran 1 sendok makan larutan dicampur 9

    sendok makan air hangat

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    18/21

    18

    c.  Larutan garam dapur. Garam dapur ½ sendok teh dicampur segelas air

    hangat.

    d.  Campuran:

     

     Na bikarbonat 28,4 g

       Na diborat 28,4 g

       NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

    Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan

    menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan

    melalui mulut, dilakukan dua kali sehari.5

    3)  Obat tetes hidung. Setelah krusta diangkat, diberi obat tetes hidung antara

    lain: glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam

    minyak Arachis 10.000 U/ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin

    1 g + NaCl 30 ml. Diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.5 

    4)  Vitamin A 3 x 50.000 U selama 2 minggu.3 

    5)  Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (ozaena) biasanya dengan

     pemberian preparat Fe.3 

    6)  Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas.3 

    Terapi pembedahan

    Jika pengobatan konservatif gagal, maka dilakukan pembedahan. Tujuan

     pembedahan atau operasi pada rinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk

    menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi turbulensi udara,

    mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa

    sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi.3 

    Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain:

    3,5

    1)  Young's operation

    Penutupan total rongga hidung dengan  flap. Dilaporkan hasil yang baik

    dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit

    salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    19/21

    19

    2)   Modified Young's operation

    Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

    3)   Lautenschlager operation

    Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,

    kemudian dipindahkan ke lubang hidung.

    4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis

    seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.

    5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation)

    dengan tujuan membasahi mukosa hidung.

    6) Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF). Dengan mengangkat sekat tulang

    yang mengalami infeksi, diharapkan infeksi teredaikasi, fungsi ventilasi dan

    drenase sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi mukosa.

    2.3.10. Prognosis 

    Penyakit ini dapat menetap selama bertahun-tahun. Dengan terapi yang tepat,

    diharapkan terjadi perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Prognosisnya baik,

    walaupun dapat berulang.1

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    20/21

    20

    BAB 3

    RINGKASAN

    1. 

    Rinitis atrofi atau ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai

    adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta yang

    ketika kering berbau busuk.

    2.  Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi belum dapat diterangkan dengan memuaskan

    hingga sekarang.

    3.  Gejala klinis biasanya berupa hidung tersumbat, anosmia, ingus kental berwarna

    hijau, krusta berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering, serta

    napas berbau.

    4.  Pada pemeriksaan hidung ditemukan rongga hidung dipenuhi krusta hijau dan

     purulen, rongga hidung sangat lapang, atrofi konka, mukosa hidung tipis dan kering.

    5.  Diagnosis rinitis atrofi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

    dan dibantu pemeriksaan penunjang.

    6.  Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada baku.

    Pengobatan ditujukan untuk menghilangkam faktor penyebab dan gejala. Pengobatan

    dapat diberikan secara konservatif atau operatif.

  • 8/20/2019 Referat RInitis Ozaena Yos

    21/21

    21

    DAFTAR PUSTAKA

    1.  Sampan S. Bist, Manisha Bist, dan Jagdish P. Purohit. Primary Atrophic Rhinitis: A

    Clinical Profile, Microbiological, and Radiological Study. India: InternationalScholarly Research Network Otolaryngology, volume 2012. 2012. pp 1-6

    2.  Ballenger JJ and Snow JB.  Atrophic Rinitis  Dalam: Ballenger JJ and Snow JB.

     Ballenger's Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery 16 th

      Ed.  Hamilton:BC

    Decker inc; 2003 h: 750-751.

    3.  Retno S. Wardani dan Endang Mangunkusumo. Rinitis Atrofi. Dalam: Efiaty A.

    Soepardi dkk (Editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorak Kepala

    dan Leher, edisi 6. Jakarta: Balai Penertbit FKUI. 2007. hlm 140-141

    4.  Damayanti Soetjipto dan Retno S. Wardani. Hidung. Dalam: Efiaty A. Soepardi dkk

    (Editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorak Kepala dan Leher,

    edisi 6. Jakarta: Balai Penertbit FKUI. 2007. hlm 118-122.

    5.  Balasubramanian. Review: Atrophic Rhinitis. Ent Scholar. India: Rhinology

    department of Health Institute. 2012. pp 1-6.

    6.  Peter A. Higler. Rinitis Atrofik, Atrofik Hidung, dan Ozaena. In: George L. Adams

    et al (editor). Boeis Buku Ajar Penyakit THT (Boeis Fundamental of

    Otolaryngology), edisi 6. Jakarta: EGC. 1997. pp 221-222.

    7.  Al-Fatih, M. 2007.  Rinitis Atrofi (Ozaena). Available from :

    http://hennykartika.wordpress.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Ajar

    Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta :

    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

    8.  Aylin et al. Atrophic Rhinitis: A Case Report. Turki Journal Medical Science, Vol.

    33, Pp. 405-07. Tubitac: Turky. 2008.

    9. 

    Rizalina A. Asnir. Rinitis Atrofi. Cermin Dunia Kedokteran, no.144. 2004. hlm 5-7

    10.  Yii Ji Lee. A report on a rare case of Klebsiella ozaenaecausing atrophic rhinitis in

    the UK. British Medical Journal. BMJ: England. 2011. Pp. 1-3.

    http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/ozaena-rinitis-atrofi/http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/ozaena-rinitis-atrofi/