37
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Kuman penyebab baru diketahui pada tahun 1908 oleh Bodet dan Gengou. 1 Pertusis adalah suatu penyakit akut saluran pernapasan yang banyak menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah satu tahun yang disebabkan infeksi bakteri Bordetella pertussis, merupakan penyakit infeksi saluran napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. (1-4) Pertusis masih merupakan salah satu penyebab terbesar kematian dan kesakitan pada anak terutama di negara berkembang. World Health Organization) WHO memperkirakan + 600.000 kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Di Indonesia, penyakit ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian pada anak balita. Imunisasi amat mengurangi risiko terinfeksi, tetapi infeksi ulang dapat terjadi. Menurut perkiraan WHO (1983) hanya 30% anak-anak negara sedang berkembang yang menerima vaksinasi DPT sebanyak 3 dosis. (3) Jika 1

Referat Pertussis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat pertussis

Citation preview

Page 1: Referat Pertussis

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,

dan di Cina disebut batuk seratus hari. Kuman penyebab baru diketahui pada

tahun 1908 oleh Bodet dan Gengou.1 Pertusis adalah suatu penyakit akut saluran

pernapasan yang banyak menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi

pada anak usia di bawah satu tahun yang disebabkan infeksi bakteri Bordetella

pertussis, merupakan penyakit infeksi saluran napas akut yang dapat menyerang

setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa

dengan kekebalan yang menurun.(1-4)

Pertusis masih merupakan salah satu penyebab terbesar kematian dan

kesakitan pada anak terutama di negara berkembang. World Health Organization)

WHO memperkirakan + 600.000 kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya

terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Di Indonesia, penyakit ini menempati

urutan ke tiga penyebab kematian pada anak balita. Imunisasi amat mengurangi

risiko terinfeksi, tetapi infeksi ulang dapat terjadi. Menurut perkiraan WHO

(1983) hanya 30% anak-anak negara sedang berkembang yang menerima

vaksinasi DPT sebanyak 3 dosis.(3) Jika diderita bayi penyakit ini merupakan

penyakit yang gawat dengan kematian 15% sampai 30%. Pada anak-anak penyakit

ini jarang menyebabkan kematian, tetapi pengobatan terhadap penyakit ini sulit

dan memakan waktu lama (8 minggu) sehingga pengobatan terhadap pertusis

memerlukan biaya yang cukup tinggi.(2)

Di Amerika Serikat, sebanyak 71% kasus pertusis diderita oleh anak usia

kurang dari 5 tahun dan 38% pada usia kurang dari 6 bulan. Sebanyak 1,3% kasus

fatal pada bayi usia kurang dari 1 bulan dan 0,3% fatal pada bayi yang berumur 2

sampai 11 bulan.(3,4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1

Page 2: Referat Pertussis

II.1 Definisi Pertusis

Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif. Syndenham

yang pertama kali menggunakan istilah pertusis pada tahun 1670. Disebut juga

whooping cough karena penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari

batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi,

karena pasien berupaya keras untuk menarik napas sehingga pada akhir batuk

sering disertai bunyi yang khas. Nama pertusis lebih disukai daripada whooping

cough karena tidak semua pasien pertusis disertai bunyi yang khas. Pertusis

merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Bordetella pertussis.(1,3,4)

II.2 Etiologi Penyakit Pertusis

Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou,

kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam

media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B.pertusis,

B.parapertusis, B.bronchoseptica, dan B.avium. Penyebab pertusis adalah

Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang

disebabkan oleh Bordetella parapertusis dan adenovirus (tipe 1, 2, 3, dan 5).(2,5)

Gambar 1. Kolonisasi di Trakea oleh Bordetella pertussis

2

Page 3: Referat Pertussis

Bordetella pertussis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid,

ukuran panjang 0,5 µm sampai 1 µm dan dimeter 0,2 µm sampai 0,3 µm, tidak

bergerak, tidak berspora, tumbuh pada suhu kamar, aerob obligat, segera mati di

luar saluran nafas. Dengan pewarnaan toluidin biru, dapat terlihat granula bipoler

metakromatikdan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B.pertusis,

diperlukan suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou (potato-blood-

glycerol agar) yang ditambah Penisilin G 0,5 µg/ml untuk menghambat

pertumbuhan organisme lain.(1,5)

Gambar 2.

Pewarnaan Gram Bordetella pertussis

Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase

dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau

4). Strain 1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang

efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 50ºC selama

setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (0º – 10ºC).(4-6)

Spesies Bordetella memiliki tingkat homologi DNA (Deoxynucleic acid)

yang tinggi pada gen virulen. Hanya B.pertussis yang mengeluarkan toksin

pertusis (TP), protein virulen utama. Penggolongan serologis tergantung pada

aglutinogen K labil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 spesifik untuk B.pertussis.(3-5)

B.pertussis mengahasilkan beberapa bahan aktif secara biologis yang

berperan dalam penyakit dan imunitas. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP

(toksin pertusis) tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea,

faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase menyebabkan cedera epitel lokal yang

menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP.

3

Page 4: Referat Pertussis

Toksin pertusis terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis, misalnya

sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit. Toksin pertusis

menyebabkan limfositosis segera pada hewan coba. Toksin pertusis tampak

memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis.

Batuk paroksismal yang mirip pertusis, namun lebih ringan, dari Pertusis

disebabkan B. parapertussis, Chlamydia trachomatis, enterovirus, virus sinsitial

respiratori, dan beberapa jenis Adenovirus. (4,5)

II.3 Faktor Risiko dan Transmisi

Siapa saja berisiko terkena pertusis. Orang yang tinggal serumah dengan penderita

pertusis lebih mungkin terjangkit. Bayi prematur, pasien yang menderita penyakit

jantung, paru-paru, otot atau neuromuskular berisiko tinggi menderita pertusis dan

komplikasinya.(2,4,6)

Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang

tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat

penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat

ditularkan melalui udara secara :

Droplet

Bahan droplet

Memegang benda yang terkontaminasi dengan sekret nasofaring.

Sebagai sumber penularan yaitu pada kerier orang dewasa.(1)

II.4 Epidemiologi

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat

menimbulkan attack rate 80% sampai 100% pada penduduk yang rentan. Sampai

saat ini manusia merupakan satu-satunya host. Pertusis dapat ditularkan melalui

udara secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk.

Epidemi penyakit ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika

serikat selama tahun 1977 – 1980 terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang

tahun 1947 terdapat 152.600 penderita dengan kematian 17.00 orang.(8) Pada

tahun 1983 di Indonesia di perkirakan 819.500 penderita dengan kematian 23.100

orang.(1) Di Amerika Serikat antara tahun 1932 sampai tahun 1989 telah terjadi

4

Page 5: Referat Pertussis

1.188 kali puncak epidemi pertusis.(8,9) Data yang diambil dari profil kesehatan

jawa barat 193, jumlah pertusis tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case

fatality rate) 0,20%, menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR

0%, kemudian turun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992.(1,9) Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh udara, dapat menyerang semua

golongan umur, yang terbanyak adalah anak umur di bawah 1 tahun.(1-9) Makin

muda usianya makin berbahaya penyakitnya, lebih sering menyerang anak

perempuan daripada laki-laki. Di Amerika Serikat + 35% penyakit terjadi pada

usia kurang dari 6 bulan, termasuk bayi yang berumur 3 bulan.(9) Sekitar 45%

penyakit terjadi pada usia kurang dari 1 tahun dan 66% pada usia kurang dari 5

tahun. (10) Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi terjadi pada usia 6

bulan pertama kehidupan.

Antibodi dari ibu (transplansenta) selama kehamilan tidak cukup untuk

mencegah pertusis pada bayi baru lahir. Pertusis yang berat pada neonatus dapat

ditularkan dari ibu dengan gejala pertusis ringan. Kematian sangat menurun

setelah diketahui bahwa dengan pengobatan Eritromisin dapat menurunkan

tingkat penularan pertusis, karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari

pengobatan.(1)

Diagram 1. Insidensi Pertusis di Amerika Berdasarkan Usia pada Tahun

1997-2000.(9)

5

Page 6: Referat Pertussis

Diagram 2. Jumlah Kasus Pertusis di Amerika Tahun 1922-2000.(9)

II.5 Patogenesis

Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai 10 hari). Pertusis paling

mudah menular pada stadium kataral, bisa menular selama 3 minggu, atau

sebelum 5 hari pengobatan dengan Eritromisin.(1-3)

Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella

pertussis akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini

akan mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan

inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mukosa akan mengalami kongesti dan

infiltrasi limfosit dan polimorfonukleus lekosit. Di samping itu terjadi hiperplasi

dari jaringan limfoid peribronkial diikuti oleh proses nekrose yang terjadi pada

lapisan basal dan pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan tanda khas pada

pertusis. Pada pemeriksaan postmortem dapat dijumpai infiltrasi peribronkial dan

pneumonia interstitial.(2)

Mekanisme patogenesis infeksi terjadi melalui 4 tingkatan yaitu

perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal,

dan akhirnya timbul penyakit sistemik.(2)

Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF)/

pertusis toxin (PT) dan protein 69 Kd berperan dalam perlekatan B.pertussis pada

silia. Setelah terjadi perlekatan, B.pertsusis kemudian bermultiplikasi dan

6

Page 7: Referat Pertussis

menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernapasan. Proses ini tidak

invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakterimia. Selama

pertumbuhan B.pertussis akan dihasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit

yang dikenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat

menyebabkan penyakit adalah pertussis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2

subunit, yaitu A dan B. Toksin subunit B selanjutnya berikatan dengan reseptor

sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi

membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah

infeksi.(1-4)

Toxin mediated adenosine diphosphate mempunyai efek mengatur sintesis

protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi

fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),

meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta

adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan

konsentrasi gula darah.(1,3)

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan

limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukus pada permukaan silia, maka

fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder

(tersering oleh Streptococcus pneumoniae, H.influenzae, dan Staphylococcus

aureus). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan

obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan

pertukaran oksigen saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah

akibat pengaruh langsung toksin atau sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi

perubahan fungsi sel yang reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami

regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik

terhadap proses penyakit.(3,5)

Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan

kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan

iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA,

menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis

7

Page 8: Referat Pertussis

lipopolysaccharide (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis

penyakit ini. Kadang-kadang B.pertussis hanya menyebabkan infeksi yang ringan

karena tidak menghasilkan toksin pertusis.(1)

II.6 Manifestasi Klinis

Masa inkubasi pertusis 6 – 20 hari (rata – rata 7 hari), dimana perlangsungan

penyakit ini 6 – 8 minggu atau lebih.(2,4) Perjalanan klinis pertusis dapat

berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,

preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium

konvalesens. Manivestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur, dan status

imunisasi. Gejala pada anak usia kurang dari 2 tahun terdapat pada tabel 1.

Tabel 1. Gejala pertusis pada anak usia kurang dari 2 tahun

Batuk paroksismal 100%

Whoops 60-70%

Emesis 66-80%

Dispnea 70-80%

Kejang 20-25%

Pada anak yang lebih besar, manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan

lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak kurang dari 2 tahun. Suhu jarang

lebih dari 38,4oC pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan

B.parapertussis atau B.bronkiseptika lebih ringan daripada B.pertussis dan juga

lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan di bawah ini.(1,2)

8

Page 9: Referat Pertussis

Gambar 3. Manifestasi klinis pertussis

II.6.a. Stadium Kataral (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya

rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,

lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya

diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan dengan

common cold.

Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet

dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi.(1,2)

Selama masa ini penyakit sering tidak dapat dibedakan dengan common cold.

Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari dan

menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket.

9

Page 10: Referat Pertussis

Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi

jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel.

II.6.b. Stadium Paroksismal (2 sampai 4 minggu)

Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk yang

berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik napas pada akhir

serangan batuk. Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat

pengulangan 5 sampai 10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha

inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi whoop akibat udara yang

dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang

lebih muda, serangan batuk hebat dengan bunyi whoop sering tidak terdengar.

Selama serangan, muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur,

lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi ptekie di wajah

(terutama konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai

mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal

cukup khas, sehingga sering kali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita

pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat

badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan stres emosional (menangis,

sedih, gembira) dan aktivitas fisik. Juga pada serangan batuk nampak pelebaran

pembuluh mata yang jelas, di kepala dan leher, bahkan terjadi petekie di wajah,

perdarahan subkonjungtiva dan sclera, bahkan ulserasi frenulum lidah.(2,4,6)

Pada bayi kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun bayi

tersebut sering apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal terjadi pada

pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak bersuara whoop,

hanya ada batuk yang bertahan lama. Anak yang sudah divaksinasi lengkap masih

dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala yang lebih ringan, tetapi bisa menular.(1,2,4,6)

10

Page 11: Referat Pertussis

Gambar 4. Batuk paroksismal pada pertusis

Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak akan keliatan

seperti biasa. Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan

frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3 minggu dan

berangsur –angsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang.(2,4,6)

II.6.c. Stadium Konvalesen / Penyembuhan (1 sampai 2 minggu)

Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan

puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya

masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 sampai

3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali.

Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan

dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.(1,2,4,6)

II.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

II.7.a Anamnesis

Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien

pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas.

Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi.

11

Page 12: Referat Pertussis

II.7.b Pemeriksaan Fisik

Gejala klinis yang didapat dari pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat

pasien diperiksa.

II.7.c Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 sampai 50.000/ IU

dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium

paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis karena

respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.(2,11,12)

Gambar 4.Limfositosis pada pertusis

Isolasi B.pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis

pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95% sampai 100%, stadium

paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu

berikutnya.(4)

Tes serologi terhadap antibodi toksin pertusis berguna pada stadium lanjut

penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan

negatif. ELISA (Enzime Linked Immuno Assay) dapat dipakai untuk menentukan

serum IgM (Immuno globulin M), IgG (Immuno globulin G), dan IgA (Immuno

globulin A) terhadap FHA dan PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan

respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit maupun vaksinasi. Immuno

globulin G toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk

mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.(12)

12

Page 13: Referat Pertussis

Pemeriksaa lain yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,

atelektasis, atau emfisema.(1,4)

II.8 Diagnosis Banding

Batuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis (disebabkan oleh

Respiratory Syncitial Virus, pada bayi kurang dari 6 bulan), pneumonia bakterial,

sistik fibrosis, tuberkulosis, dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati

dengan penekanan di luar trakea dan bronkus.

1. Asma Bronchiale

2. Obstruksi benda asing di trakea (biasanya gejalanya mendadak dan dapat

dibedakan dengan pemeriksaan radiologik dan endoskopi).

3. Infeksi B.parapertussis, B.bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai

sindrom klinis B.pertussis. Dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab,

pemeriksaan serologis, dan biasanya gejalanya lebih ringan.

4. Infeksi Chlamydia trachomatis pada bayi menyebabkan pneumonia, oleh

karena terkena infeksi dari ibu. Infeksi saluran pernapasan terjadi 2 – 12

minggu setelah lahir dengan gejala – gejala pernapasan cepat, batuk

paroksimal, tanpa demam, eosinofilia. Pada foto toraks terlihat konsolidasi

paru dan hiperinflasi. Diagnosis dengan isolasi yaitu ditemukannya klamidia

dari cairan saluran pernapasan. Penyakit ini disebut juga Eosinophilic

Pertusoid Pneumonitis.(4,6)

II.9 Komplikasi

Komplikasi pertusis utama adalah apnea, infeksi sekunder (otitis media dan

pneumonia), dan sekuele fisik batuk kuat. Kebutuhan untuk perawatan intensif

dan ventilasi artifisial biasanya terbatas pada bayi kurang dari 36 bulan. Apnea,

sianosis, dan pneumonia bakteri sekunder mempercepat kebutuhan intubasi dan

ventilasi.(4,6) Pneumonia merupakan penyulit yang paling sering dijumpai,

menyebabkan 90% kematian pada anak kurang dari 3 tahun. Pneumonia dapat

diakibatkan oleh B.pertussis, tetapi lebih sering diakibatkan oleh infeksi sekunder

(H.influenzae, S.pneumoniae, S.aureus, S.pyogenes). Tuberkulosis laten dapat

13

Page 14: Referat Pertussis

juga menjadi aktif. Atelektasis terjadi sekunder terhadap sumbatan mukus yang

kental. Aspirasi mukus atau muntah dapat menyebabkan pneumonia. Panas tinggi

merupakan tanda infeksi sekunder oleh bakteri.(1)

Kenaikan tekanan intratoraks dan intraabdomen selama batuk dapat

menyebabkan perdarahan konjungtiva dan sklera, ptekie pada bagian tubuh atas,

epistaksis, perdarahan pada sistem saraf sentral dan retina, pneumotoraks dan

emfisema subkutan, dan hernia umbilikaslis serta inguinalis. Luka robek frenulum

lidah tidak jarang.(4-6)

Gambar 5. Perdarahan konjungtiva dan prolaps rektum

Penyulit pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis,

hiponatremia sekunder terhadap SIADH (syndrome of inapproriate diuretic

hormon) juga dapat terjadi. Kejang tetanik mungkin dihubungan dengan alkalosis

yang disebabkan oleh muntah persisten. Peneliti Inggris melaporkan di antara

2.295 kasus didapatkan penyulit pada tabel 2.(4)

Tabel 2. Penyulit pertusis

Berat badan menurun 16,8%

Bronkitis akut 9,8%

Atelektasis 0,3%

Bronkopneumonia 0,88%

Apnea 1,1%

Kejang 0,6%

Otitis media 7,5%

II.10 Penatalaksanaan

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan

batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan

penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk

14

Page 15: Referat Pertussis

menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa

pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang

tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di

rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini

disempurnakan dalam 48-72 jam.(2,4)

Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor

terus, pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan

oleh personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan

pemberian makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian

keparahan. Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda

sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak

biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir

paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir

paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi

bukan tidak berespon.(4)

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan

faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi,

oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan

lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa

agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis

adalah sebagai berikut:

1. Agen Antimikroba

Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau

diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran

infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi

empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan

baku.(2) Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat

dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang

diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan

dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat

diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis

15

Page 16: Referat Pertussis

menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin,

Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup

aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian

klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B.

pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang

terbukti.(1,2,4,6)

2. Kortikosteroid dan Salbutamol

Dapat mengurangi batuk paroksismal walaupun belum terbukti

dalam penelitian kontrol.

Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan

untuk mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen

pertussis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang

bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan

pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak

dibenarkan.(1,2,4)

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian imunoglobulin pertusis telah

pada anak kurang dari 2 tahun (1,25 ml/24 jam dalam 3 sampai 5 dosis) tidak

bermakna, oleh karena itu tidak direkomendasikan.(1)

II.11 Pencegahan

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak

laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis

dengan adanya program imunisasi. Pada tahun 1926 sampai tahun 1930 (era

sebelum imunisasi) di Amerika Serikat dan Inggris terdapat sebanyak 36.013

kematian yang disebabkan pertusis dan setelah era imunisasi berjalan terdapat 26

kematian yang disebabkan pertusis (tahun 1986 sampai tahun 1988). Melalui PPI

(Program Pengembangan Imunisasi), Indonesia telah melaksanakan imunisasi

pertusis dengan vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus). Pencegahan dapat

dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif.(1)

16

Page 17: Referat Pertussis

II.11.a Imunisasi Pasif

Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin. Namun

berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-

akhir ini human hyperimmune globulin tidak lagi diberikan untuk pencegahan.(1)

II.11.b Imunisasi Aktif

Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis yang telah dimatikan untuk

mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama dengan

vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU (International

Unit) dan diberikan 3x sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika

prevalensi pertusis di dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai pada

umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak umur lebih dari 7 tahun tidak lagi

memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena

proteksi menurun selama adolesens, walaupun demikian infeksi pada pasien yang

lebih besar biasanya ringan, tetapi dapat menjadi sumber penularan infeksi

pertusis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25 ml/ im) telah

dipakai untuk mengontrol epidemi di antara orang dewasa yang terpapar.(1)

Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum

seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi

panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif,

ensefalopati, anafilaksis. Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat

diberikan asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6

jam untuk selama 48-72 jam.(2,4,6,12) Anak dengan kelainan neurologik dengan

riwayat kejang 7,2x lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DTP dan 4,5x

lebih tinggi bila hanya mempunyai iwayat kejang dalam keluarga. Maka pada

keadaan anak yang demikian hanya diberikan imunisasi DT (Difteri Tetanus).(1)

Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami

ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa

demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry

dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, demam lebih dari

40,5oC selama 2 hari yang tidak dapat diterangkan penyebabnya.(1,2)

17

Page 18: Referat Pertussis

Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu

dengan pertusis. Kontak erat pada anak usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya

telah diberikan imunisasi hendaknya diberi booster dan Eritromisin, 40-50

mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi dua sampai empat (maksimum 2

g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Booster tidak perlu

diberikan bila telah diberi imunisasi dalam 6 bulan terakhir. Kontak erat pada usia

lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis.(1)

Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran

infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien

pertusis tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberi eritromisin selama

14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya

eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat

eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalen dan eritromisin diberikan

waktu terjadi epidemi.(1)

(1) Vaksin Seluruh Sel

Vaksin yang sekarang digunakan untuk seri imunisasi primer di AS (Amerika

Serikat) dan dianjurkan oleh WHO untuk penggunaan seluruh bagian terbesar

dunia adalah vaksin seluruh sel mati yang membentuk suspensi B.pertusis yang

diinaktifkan, digabung dengan toksoid difteri dan tetanus (DT) dan tambahan

berisi aluminium (vaksin DPT). Kekuatan vaksin pertusis di-assay dalam tikus

dengan uji proteksi-tantangn intraserebral, suatu standard yang terbukti

berkorelasi dengan kemajuan protektif vaksin pada manusia. Kekuatan vaksin

diwujudkan pada unit kekeruhan (juga standard keamanan) atau unit protektif

preparat AS berisi 4 sampai 12 unit protektif dan tidak lebih dari 16 unit

kekeruhan per 0,5 ml dosis. Kemanjuran vaksin sel utuh bervariasi menurut

definisi kasus dari 64% untuk batuk ringan, sampai 81% untuk batuk paroksismal,

dan sampai 95% untuk penyakit klinis berat. Komposisi preparat yang digunakan,

tingkat kecocokan antara tipe-tipe aglutinogen dalam vaksin dan strain tantangan,

tipe pajanan, waktu sesudah imunisasi dan kebutuhan untuk konfirmasi biakan

kasus semua berdampak pada perkiraan kemajuan vaksin. Individu lebih dari

7 tahun tidak secara rutin diberi vaksin berisi pertusis. Bila digunakan pada orang

18

Page 19: Referat Pertussis

dewasa untuk mengendalikan ledakan serangan rumah sakit, vaksin seluruh sel

ternyata kurang reaktogenik daripada yang dilaporkan pada anak.(4,12)

Keterbatasan utama penggunaan vaksin seluruh sel adalah reaktogenisitas

terkaitnya, yang dilaporkan 1 dekade yang lalu terjadi pada 75% vaksin.

Dibanding dengan vaksin DT, DTP mempunyai reaksi lokal yang lebih bermakna

seperti nyeri, pembengkakan, eritema, dan reaksi sitemik seperti demam, rewel,

menangis, mengantuk, dan muntah. Manivestasi ini terjadi dalam beberapa jam

setelah imunisasi dan berkurang secara spontan tanpa sekuele. Penelitian baru-

baru ini melaporkan frekuensi reaksi lokal da sistemik yang lazim menurun,

memberi kesan bahwa modifikasi vaksin seluruh sel telah terjadi. Anafilaksis

berat atau abses steril sangat jarang paska vaksin DTP. Urtikaria sementara jarang,

mungkin terkait dengan kompleks antigen-anti bodi dalam sirkulasi, dan jika

reaksi tidak terjadi dalam beberapa menit imunisasi adalah tidak mungkin menjadi

reaksi serius yang diperantarai IgE (Immunoglobulin E), atau kumat pada

imunisasi berikutnya.(4,6,12)

Kejang-kejang terjadi dalam 48 jam dari sekitar 1:1.750 dosis yang

diberikan, singkat, menyeluruh dan sembuh sendiri, terjadi pada anak demam

pada hampir semua keadaan. Terjadi lebih lazim pada mereka dengan riwayat

pribadi atau keluarga konvulsi dan tidak berakibat epilepsi atau sekuele neurologis

permanen. Menangis terus-menerus yang tidak dapat dihibur atau berteriak selama

3 jam/lebih dilaporkan sesudah diberikan 1% dosis, biasanya pada bayi muda

yang menderita reaksi lokal, tidak aneh pada imunisasi pertusis dan tampak

merupakan manivestasi nyeri pada banyak keadaan. Keadaan kolaps (episode

hipotonik-hipertonik) biasanya tidak terkait dengan demam atau reaksi lokal, telah

diamati sesudah 1:1.750 vaksinasi pertusis, biasanya pada bayi muda. Reaksi ini

tampak terkait secara unik dengan vaksin pertusis dan tidak mempunyai sekuele

neurologis permanen. Sebanyak 60 anak dievaluasi secara teliti segera pasca

kejadian-kejadian yang merugikan akibat vaksin pertusis termasuk kejang-kejang,

menangis terus-menerus yang tidak dapat dihibur, demam sangat tinggi, dan

hipotonik-hiporesponsif. Sebanyak 90% kejang adalah khas kejang demam. Tidak

ada kekacauan metabolik atau toksin pertusis yang dapat diukur ditemukan dalam

19

Page 20: Referat Pertussis

darah. Bayi umur kurang dari 1 tahun cenderung mempunyai kadar insulin lebih

tinggi daripada yang diharapkan memberi kesan kemungkinan kerentanan terkait

umur individu atau perubahan akibat vaksin dalam pengaturan insulin.(4,6,12)

Amat jarang (dengan dosis 1:140.000) vaksin pertusis dapat dihubungkan

dengan penyakit neurologis akut yang sebelumnya normal. Kejadian berat yang

merugikan seperti kematian, ensefalopati, mulai gangguan kejang, perkembangan

lambat, atau masalah belajar atau perilaku telah terjadi pada individu yang

berkaitan secara temporal dengan imunisasi pertusis atau diduga keras ada

hubungan sebab akibat. Lima penelitian epidemiologi utama telah memeriksa

risiko neurologis akibat imunisasi pertusis. Kematian bayi mendadak (sudden

infant death) dan spasme infantil ditemukan tidak terkait sementara atau tidak

terkait sebab akibat. Analisis dan reanalisis oleh 7 komisi besar tidak

mendapatkan informasi yang cukup untuk mendapatkan hubungan sebab akibat

antara DTP dan gangguan neurologis kronik. Pertimbangan manfaat lawan risiko

vaksin seluruh sel telah berulang-ulang menyimpulkan setuju penggunaannya.(4)

(2) Vaksin Aseluler

Komponen vaksin pertusis aseluler yang dimurnikan (AP), pada mulanya

berkembang di Jepang adalah imunogenik dan disertai dengan kejadian kurang

merugikan bila dibandingkan dengan DTP. Vaksin yang disediakan oleh 6 pabrik

telah digunakan secara luas di Jepang sejak tahun 1981, dan penggunaannya telah

mengendalikan pertusis. Trial kemanjuran kendali-plasebo, acak (tetapi bukan

kendali DTP) 2 vaksin pertusis aseluler (dikembangkan oleh institut kesehatan

Jepang dan dilakukan di Swedia selama tahun 1986-1987 di bawah sponsor AS)

menunjukkan kemanjuran vaksin aseluler ini sedikit kurang dibandingkan secara

historis dengan vaksin pertusis seluruh sel yang digunakan di AS. Reaktogenisitas

vaksin aseluler yang lebih rendah dan imunogenisitas yang baik pada anak AS

yang baru belajar jalan, digabung dengan bukti kemanjuran pada pemajanan-

rumah tangga dan penelitian berdasar populasi dari Jepang, menyebabkan

keluarnya lisensi AS (tahun 1991 sampai 1992) pada DTAP untuk penggunaan

pada anak umur lebih dari/ sama dengan 15 bulan sebagai dosis ke-4 dan/ atau

20

Page 21: Referat Pertussis

ke-5 seri DTP yang dianjurkan. Vaksin ini ditoleransi dengan baik, dan

penggunaannya disertai dengan sedikit reaksi lokal yang lazim dan gejala-gejala

sistemik, demam dan kejang demam.(4)

II.12 Prognosis

Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik.

Pada bayi risiko kematian 0,5-1% disebabkan ensefalopati. Pada observasi jangka

panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual di kemudian

hari.(1)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

III.1. Kesimpulan

Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri B.pertussis.

Pertusis disebut juga batuk rejan atau whooping cough karena pasien batuk 5

sampai 10x batuk tanpa berhenti dan berupaya keras untuk menarik napas

sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas (whoop). Pertusis

ditularkan melalui aerosol batuk atau bersin dari penderita pertusis. Tanpa

pengobatan, penderita pertusis dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain

mulai awal batuk sampai berminggu-minggu kemudian hingga batuk berhenti,

namun dapat menjadi tidak infeksius setelah 5 hari pengobatan dengan

eritromisin. Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai 10 hari). Stadium

klinis pertusis terdiri dari stadium katar yang ditandai dengan gejala seperti

21

Page 22: Referat Pertussis

infeksi saluran pernapasan, stadium paroksismal yang ditandai dengan batuk berat

5 sampai 10x batuk tanpa henti dan diakhiri dengan suara khas (whoop) dan/ atau

muntah, dan stadium konvalesens ditandai dengan batuk berkurang dan tidak

muntah lagi. Penegakan diagnosis berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang

(limfositosis dan biakan bakteri B.pertussis). Eritromisin 50 mg/kgBB/hari dalam

2 sampai 4 dosis dapat membasmi basil dalam 3 sampai 4 hari, namun tidak

meringankan stadium paroksismal penyakit. Terapi suportif diberikan terutama

untuk menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi

dan nutrisi, bila perlu beri oksigen dan pengisapan lendir pada bayi. Komplikasi

pertusis terutama pada sistem pernapasan (apnea dan pneumonia) dan saraf pusat

(ensefalopati dan kejang). Prognosisnya lebih baik pada anak usia lebih tua.

Siapa saja dapat terkena pertusis, terutama bayi muda dan anak yang lebih

tua. Infeksi pada bayi lebih serius dan dapat menimbulkan kematian. Imunisasi

yang diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan efektif untuk mencegah infeksi yang

berat, namun tidak memberikan kekebalan yang permanen. Oleh karena itu, perlu

diberikan booster dan profilaksis eritromisin pada anak usia kurang dari 7 tahun

yang kontak erat dengan penderita pertusis. Efek samping vaksinasi pertusis

adalah demam tinggi, nyeri lokal, dan rewel. Kontraindikasi pemberian vaksin

pertusis yaitu anak yang mengalami ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi,

kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi,

menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif

hiporesponsif ndalam 2 hari, demam lebih dari 40,5oC selama 2 hari yang tidak

dapat diterangkan penyebabnya. Pemberian vaksin pertusis aseluler memberi efek

samping lebih ringan, namun efek protektifnya lebih rendah dibandingkan

dengan vaksin pertusis sel penuh.

III.2. Saran

Bayi sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh karena itu dianjurkan pemberian

vaksin DTP pada usia 2, 4, dan 6 bulan sesuai dengan Program Pengembangan

Imunisasi untuk mencegah infeksi yang berat. Vaksin booster dianjurkan pada

usia 4 tahun dan 15 tahun karena imunisasi dasar pertusis tidak memberi

22

Page 23: Referat Pertussis

kekebalan permanen. Selain itu bila ada kontak erat dengan penderita pertusis

perlu diberikan profilaksis eritromisin dan isolirkan penderita, jika tidak mungkin

memutus kontak, maka perlu diberi eritromisin profilaksis hingga batuk berhenti.

DAFTAR PUSTAKA

1. Law, Barbara J. Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in

Children. Philadelphia, USA. WB Saunders, 1998. 6th edition. Chapter 62.

h :1018-1023.

2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk : Ilmu Kesehatan Anak Penyakit

Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86.

3. Long, Sarah S. Pertussis. Nelson : Textbook of Pediatrics. USA. WB

Saunders, 2004. 17th edition. Chapter 180. h: 908-912,1079.

4. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.

Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

23

Page 24: Referat Pertussis

5. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak

FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997.

Jilid 2. h: 564-566.

6. http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html

7. www.cdc.gov/nip/publication/pink/pert.

8.Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik

Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI,

Jakarta, 2008. Hal 331 – 337.

9.James D. Cherry. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol.

115 No. 5 May 2005, pp. 1422-1427.

http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422

10.Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1,

Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal 20 -33.

11.Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann.

Nelson Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta, 2000. Hal : 960 – 965

24