30
Referat Ilmu Kesehatan Jiwa Pendekatan Pasien dengan Perilaku Kekerasan Mariane Devi 112014078 Dosen pembimbing : dr Marodjahan Siregar SpKJ 1

Referat (Pendekatan Pasien Dengan Perilaku Kekerasan)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pasien dengan perilaku kekerasan

Citation preview

Referat Ilmu Kesehatan JiwaPendekatan Pasien dengan Perilaku Kekerasan

Mariane Devi112014078Dosen pembimbing : dr Marodjahan Siregar SpKJ

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana 2014/2015Jalan Arjuna Utara No 6, Jakarta Barat, tlp 56942061

Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga referat yang berjudul Pendekatan Pasien dengan Perilaku Kekerasan ini dapat diselesaikan dengan baik. Referat ini merupakan salah satu pemenuhan syarat kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana.Terima kasih penyusun ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada dr.Marodjahan Siregar, SpKJ sebagai pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, serta dukungan dalam penyusunan referat ini. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang banyak membantu dalam penyusunan referat ini. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan referat ini. Semoga karya ini bisa bermanfaat untuk para pembaca. Sekian dan terima kasih.

Jakarta, 22 April 2015Penyusun

Daftar IsiKata Pengantar 2Daftar isi 3BAB I : Pendahuluana. Latar belakang 4b. Epidemiologi 5BAB II : Pembahasana. Definisi 5b. Etiologi 7c. Hubungan gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan..................................... 9d. Tingkatan Dalam Perilaku Kekerasan........................................................... 12e. Keselamatan Pribadi...........................................................................................13f. Evaluasi & Management Pasien dengan Perilaku Kekerasan 14g. Terapi Psikofarmaka untuk Perilaku Kekerasan.............................................. 16BAB III : PenutupKesimpulan 18Daftar pustaka.20

Pendahuluan a. Latar belakangPerilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.1Perilaku kekerasan merupakan masalah kesehatanyang masyarakat yang penting.Di Amerika Serikat, homicide merupakan penyebab kematian ke-13 pada tahun 1997. Beberapa diagnosispsikiatri termasuk gangguan mood, penyalahgunaan zat dan psikosis berhubungan denganpeningkatan prilaku kekerasan. Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk penyerangan fisik yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Apabila hal itu dilakukan secara langsung kepada diri sendiri, hal itudisebut mutilasi diri sendiri atau prilaku bunuh diri. Perilaku kekerasan dapat terjadi pada gangguan psikiatri dan dapatjuga terjadi pada orang normal yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup. Perilaku kekerasan sering sekali menjadi sebab seseorang dibawa ke unit gawat darurat psikiatri. Dokter dan perawat harus tahu bagaimana prosedur yang tepat untuk mengatasi keadaan ini. Prosedur ini meliputi intervensi perilaku, farmakologi, dan psikososial.2,3 Pasien dengan perilaku kekerasan adalah salah satu kasus dalam bidang psikiatri yang tidak jarang ditemui, dan ini telah menjadi salah satu masalah untuk para psikiater dalam menindak lanjuti pasien tersebut. Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan pengawalan oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi.Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/ orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh keluarga belum memadai sehingga selama perawatan klien seyogyanya sekeluarga mendapat pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien (manajemen perilaku kekerasan).

b. Epidemiologi Prevalensi gangguan jiwa pada populasi penduduk dunia menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 memperoleh data gangguan mental sebesar 450 juta orang, 12% tahun 2001 meningkat menjadi 13%. Sedangkan pada negara-negara berkembang prevalensinya lebih tinggi. Prevalensi gangguan mental di negara Amerika Serikat (6%-9%), Brazil (22,7%), Chili (26,7%), Pakistan (28,8%), sedangkan di Indonesia hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, yyang menggunakan SRQ untuk menilai kesehatan jiwa penduduk, prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia yang berumur lebih dari 15 tahun sebesar 11,6%. Menurut national institute of mental health gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan dierkirakan akan berkembang menjadi 25% ditahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagai negara. Berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18-30 tahun akan lebih mengalami gangguan jiwa. 4Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi daerah Ibukota Jakarta (24,3%), diikuti Nanggroe Aceh Darusallam (18,5%), Sumatra Barat (17,7%), NTB (10,9%), Sumatra Selatan (9,2%), dan Jawa Tengah (6,8%) 5. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2007), menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat secara nasional mencapai 0,46% dari jumlah penduduk, dengan kata lain menunjukkan bahwa pada setiap 1000 orang penduduk terdapat empat sampai lima orang menderita gangguan jiwa. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat di seluruh dunia adalah gangguan jiwa berat yaitu skizofrenia. Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, perilaku yang aneh dan tergangggu 6PembahasanA. DefinisiPerilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.1 Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun perilaku yang dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan menantang. Respon melawan dan menantang merupakan respon yang maladaptif, yaitu agresif -kekerasan perilaku yang menampakkan mulai dari yang rendah sampai yang tinggi, yaitu: Asertif : mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan merasa lega. Frustasi : Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak realistis. Pasif : Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sedang dialami. Agresif: memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain dengan ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai. Umumnya klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai orang lain. Kekerasan: sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata-kata ancaman ancaman, melukai disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang paling berat adalah melukai/ merusak secara serius. Klien tidak mampu mengendalikan diri.

Gambar 1. Rentang Respon Marah

B. EtiologiKondisi psikiatri yang paling sering berhubungan dengan perilaku kekerasan adalah gangguanpsikotik seperti skizofrenia dan mania (terutama pada pasien paranoid atau yang mengalami halusinasi tipe : commanding), intoksikasi alkohol dan obat-obatan, putus alkohol dan obat hipnotik sedatif, kegelisahan katatonik, depresi yang teragitasi, gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan pengontrolan impuls yang buruk (contohnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial ), dan gangguan organik (terutama yang menyangkut keterlibatan lobus frontal dan temporal). Diagnosis yang berhubungan dengan perilaku kekerasan :1. Gangguan psikotika. Skizofrenia (terutama paranoid dan katatonik )b. Maniac. Gangguan paranoidd. Psikosis post partum2. Gangguan mental organika. Deliriumb. Intoksikasi atau putus obat3. Gangguan kepribadiana. Antisosialb. Paranoid4. Masalah situasionala. Pertengkaran dalam rumah tangga (kekerasan oleh pasangan )b. Penganiayaan anakc. Homosexual panic" 5. Gangguan otaka. gangguan epilepsyb. kerusakan struktural (akibat trauma atau ensefalitis )c. Retardasi mental dan disfungsi minimal otakPerilaku kekerasan juga bisa disebabkan adanya gangguan harga diri, meliputi : a. Harga diri rendah Harga diri adalah penilaian individu tentang percapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat diagambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan. b. Frustasi Seseorang yang mengalami hambatan dalam mencaai tujuan / keinginan yang diharapkan menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan. c. Hilangnya harga diriPada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya. Tanda dan gejala :1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)3. Gangguan hubungan sosial (menarik diri)4. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)5. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya. )

C. Hubungan gangguan jiwa dengan perilaku kekerasanGangguan kepribadian dan agresi impulsifKarena agresi impulsif memainkan peranan yang besarterhadap insidens perilaku kekerasan maka mengetahui hubungan antara perilaku dengan gangguan kepribadian sangatlah penting. Determinan dari agresi impulsif menyangkut transmisi genetik, pengaruh lingkungan, dan kondisi biologik yang abnormal. Studi yang dilakukan mengenai transmisi agresi impulsi pada keluarga menunjukkan bahwa agresi impulsif lebih bersifat diturunkan daripadagangguan kepribadian saja. Studi yang dilakukan pada individu dengan keluarga yang memiliki gangguan eksplosif yang intermiten menunjukkan bahwa gangguan psikiatri lain seperti penyelahgunaan zat, gangguan mood muncul pada kluster ini. Faktor lingkungan yang berpengaruh pada resiko agresif impulsif adalah pengalaman atau menyaksikan perilaku kekerasan pada saat anak-anak.Agresi impulsif dapat terlihat pada individu dengan gangguan kepribadian paranoid (20%),ambang (23%), obsesif kompulsif (21%), narsisistik (13%), antisosial (10%). Kadar vasopresinpada CSF berkorelasi positif dengan agresif impulsif, sedangkan vasopresin sendiri memiliki korelasi terbalik dengan fungsi serotonin. PET scan menunjukkan bahwa individu dengan gangguan eksplosif intermiten memiliki aktifitas serotonin yang lebih rendah didaerah korteks orbital - frontal dibandingkan yang normal.Beberapa studi menunjukkan adanya disregulasi pada sistem serotonin yang memainkan perananpenting pada agresif impulsif. 5-HIAA CSF yang merupakan metabolit utama serotonin menurunpada individu dengan riwayat agresif impulsif dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita akibat agresif impulsif dan juga pada orang normal.Beberapa jenis obat telah diteliti sebagai terapi padaagresif impulsif. Obat seperti lithium dan fenitoin setelah diteliti ternyata dapat mengurangi agresif impulsif pada para tahanan.Carbamazepine dapat menurunkan agresif impulsif pada pasien dengan gangguan kepribadian ambang, demikian juga dengan Amitriptilin. Studi sekarang ini memfokuskan pada penggunaan serotonin reuptake inhibitor pada terapi agresif impulsif yang terjadi padaberbagai gangguanjiwa. Depresi dan Perilaku kekerasan Depresi dan perilaku kekerasan berhubungan bermakna dengan iritabilitas yang ditunjukkan dalam suatu studi bahwa 37%pasien depresi mengalami iritabilitas. Keadaan iritabilitas ini yang kemudian dapat menjadi perilaku kekerasan dan kemarahan. Dibandingkan dengan kontrol, pasien dengan major depressive disorder yang dirawat diluar mengalami tingkat perilaku kekerasan yang lebih banyak. Dari penelitian didapatkan bahwa 38-44% pasien dengan major depressive disorder dilaporkan melakukan perilaku kekerasan. Pasien dengan MDD yang melakukan perilaku kekerasan banyak ditemukan pada pasien yang mengalami gangguan kepribadian. Pada individu dengan MDD yang melakukan perilaku kekerasan, terdapat tanda-tanda otonomik yang menyertai seperti : takikardi, hot flashes, dan berkeringat. Lebih dari 90% pasien MDD yang melakukanperilaku kekerasan melaporkan penyesalan dan merasa bersalah setelah melakukan kekerasan / kemarahan tersebut. Dilaporkan 60% pasien melakukan penyerangan kepada individu lain secara fisik dan verbal dan 30% melempar atau merusak benda. Beberapa studi melaporkan bahwa agresi yang terjadi berhubungan dengan menurunnya fungsi serotonin. Terdapat disregulasi dari neurotransmisi serotonin pada pasien MDD yang melakukan prilakukekerasan dibanding dengan pasien MDD saja. 7Beberapa penelitian yang dilakukan melaporkan bahwa obat antidepresan khususnya serotonin reuptake inhibitor efektif untuk mengurangi perilaku kekerasan. Respon terhadap depresi yang ditunjukkan oleh obat ini sama baik depresi yang disertai perilaku kekerasan maupun yang tanpaperilaku kekerasan. Individu dengan depresi tanpa perilaku kekerasan yang diberikan terapi dengan fluoxetine atau sertraline mengurangi resiko terjadinya perilaku kekerasan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa serotonin reupake inhibitor aman digunakan dan menunjukkan perbaikanpada terapi perilaku kekerasan.7Skizofrenia dengan perilaku kekerasan Pasien dengan skizofrenia yang hidup di komunitas biasanya tidak akan jatuh pada kategoriperilaku kekerasan yang persisten tetapi mereka dapat menunjukkan perilaku kekerasan dan agresifyang akut. Hal ini mungkin merupakan dekompensasi akut sekunder pada ketidakpatuhan pasien minum obat. Dekompensasi juga dapat berhubungan dengan kegagalan regimen pengobatan.Gambaran klinis seperti halusinasi commanding mengalami perburukan. Penelitian melaporkanbahwa 24-44% perilaku kekerasan dilakukan oleh individu dengan skizofrenia selama fase akut dalam penyakitnya. Kadar neuroleptik dalam darah berkorelasi terbalik dengan kejadianberbahaya pada pasien skizofrenia yang dirawat.8Banyak penelitian yang menyelidiki efektifitas dari obat antipsikotik terbaru dalam menurunkanperilaku kekerasan pada pasien yang dirawat. Banyak penelitian yang melaporkan terdapatpengurangan tindakan seklusi dan restraint sejak diperkenalkannya clozapine. Perbandingan yang sama juga terdapat pada penggunaan risperidone yang mengurangi serangan fisik, seklusi dan restraint. Pada suatu studi dibandingkanterapi dengan haloperidol, risperidone, dan plasebo yang menunjukkan bahwa penggunaan risperidone menurunkan perilaku kekerasan dua kali lebihbesar dibandingkan dengan haloperidol dan plasebo. Olanzapine dapat mengurangi perilaku agresipada pasien dengan mania akut dan juga pada pasien denganskizofrenia.7Perilaku kekerasan dan penyalahgunaan zatHubungan antara perilaku kekerasan, penyalahgunaan zat dan agresi cukup kompleks. Intoksikasi yang disebabkan oleh bermacam-macam zat berhubungan dengan perilaku kekerasan dan keadaan neurokimia yang abnormal membuat seorang individu memiliki faktor resiko untuk timbulnyaperilaku kekerasan yang juga meningkatkan resiko penyalahgunaan zat. Penelitian yang dilakukan menunjukkan 40%-80% perilaku kekerasan yang terjadi berhubungan dengan penyalahgunaan obat dan alkohol. Setengah dari perilaku kekerasan yang melakukan tindakan kriminal yang ditangkap oleh polisi di USA menunjukkan hasil urin yang positif untuk penyalahgunaan obat.Penyalahgunaan zat di rumah menjadi faktor prediktor yang kuat untuk timbulnya kekerasan domestik. Disregulasi dari sistem serotonin menjadi faktor penyebab munculnya agresi danperilaku kekerasan, di mana sistem serotonin ini juga termasuk dalam gangguan penyalahgunaan zat, terutama alkohol. Alkohol mengurangi sintesis serotonin, penurunan serotonin ini menyebabkan munculnya perilaku kekerasan.7Faktor resiko lain dari perilaku kekerasan termasuk pernyataankeinginan, rencana yangspesifik,ketersediaan alat untuk melakukan perilaku kekerasan, laki-laki, usia muda (15-24 tahun) , status ekonomi yang rendah, sistem dukungan sosial yang buruk, riwayat perilaku kekerasan sebelumnya, sikap antisosial, pengontrolan impuls yang jelek, riwayat percobaan bunuh diri,stresor yang baru. Riwayat perilaku kekerasan sebelumnya merupakan prediktor terbaik dariperilaku kekerasan. Faktor tambahan lainnya adalah : riwayat sebagai korban perilaku kekerasanpada masa kecil, triad riwayat masa kecil yaitu : ngompol, membakar,kejam terhadap binatang, catatan kriminal, bertugas sebagai polisi atau ABRI, mengemudi ugal-ugalan, riwayat keluarga dengan perilaku kekerasan. Tujuan pertama dari penangananpasien dengan potensial terjadinyaperilaku kekerasan adalah pencegahan terjadinya perilaku kekerasan yang segera. Tujuan selanjutnya adalah membuat diagnosis yang akan mengarahkan pada rencana terapi yang akan dilakukan.D. Tingkatan Dalam Perilaku Kekerasan

Manajemen pasien dengan perilaku kekerasan dapat dibagi menjadi 3 berdasarkan waktu respons yang bisa ditanggapi sebelum kekerasan, yakni dibagi menjadi: Potentially violent patient:Adalah pasien yang memiliki riwayat perilaku kekerasan, riwayat relaps dari obat atau miras, serta riwayat penyakit psikotik. Pada saat ini pasien belum melakukan tindak kekerasan apapun, dokter dan perawat yang menangani pasien dianjurkan untuk memberikan pencegahan dalam tindak kekerasan,seperti pemberian obat penenang atau pengawalan. Situation that are urgent Adalah ketika pasien ingin melakukan tindak kekerasan tetapi belum sampai mencetuskan tindakan itu. Seperti contohnya pasien sudah mulai mengepal tanganya bersiap untuk melakukan tindak kekerasan. Ketika pasien dalam kondisi seperti ini, sebaiknya dokter melakukan intervensi dengan melakukan interview yang menenangkan dan menyenangkan, yang dimulai dengan berjabat tangan serta menjaga jarak pukulan dengan pasien. Emergence violenceAdalah ketika tindak kekerasan telah dilakukan saat ini. Pada saat ini dokter atau perawat yang sedang berhadapan dengan pasien tersebut disarankan untuk langsung memeluk pasien seperti pemain tinju yang saling memeluk untuk menghindari pukulan, langkah selanjutnya meminta pertolongan untuk melakukan pengikatan (restraint) pada pasien tersebut.

E. Keselamatan Pribadi

Saat seorang dokter dihadapkan dengan pasien agresif atau yang berpotensi dalam tindak kekerasan, keselamatan pribadi adalah hal terutama yang harus didahulukan. Namun cara seorang dokter menghadapi pasien juga dipengaruhi oleh perilaku dan pengalaman dari dokter itu sendiri. Pelatihan dan supervisi kepada dokter-dokter sangat disarankan untuk menghindari kejadian kekerasan dari pasien. Seorang psikiater harus memiliki perilaku yang benar dalam menangani pasien yang agresif untuk bisa menjaga keselamatan pribadinya. Dalam menjalankan tugasnya sebagai dokter yang harus menyelamatkan jiwa, tentunya seorang dokter harus terlebih dahulu selamat dari bahaya. Seorang dokter yang memimpin timnya harus memberitakan kepada seluruh psikiater dalam menjalankan tugasnya, untuk tidak lupa menjaga dirinya sendiri dari bahaya yang diakibatkan oleh tindak kekerasan pasien yang agresif. Seorang psikiater dalam hal melindungi keselamatan diri harus selalu bersiap siaga dalam kondisi agresif dari pasien tanpa berpikir paranoid dan cemas dari kekerasan yang akan terjadi.Dalam manajemen pasien agresif yang tidak/belum melakukan kekerasan, intervensi harus dilakukan untuk mencegah tindak kekerasan. Intervensi terhadap pasien agresi ringan (least aggressive) harus dilakukan karena penting untuk menghindari tindak kekerasan yang mungkin akan terjadi.Manifestasi dari pasien agresi ringan termasuk kewaspadaan, kecemasan, perilaku yang eksploratif dan rasa penasaran. Pada tingkat agresi ringan pasien diikuti dengan sifat asertif yang artinya meningkatkan atau mempertahankan integritas diri sendiri tanpa mempengaruhi teritori orang lain. Pada tingkatan agresi selanjutnya pasien diikuti dengan sifat dominan, yang artinya memiliki kapasitas untuk mempengaruhi teritori orang lain. Pada tingkatan selanjutnya pasien akan diikuti dengan sifat permusuhan (hostility) yang diikuti dengan tindak kekerasan pasien. Salah satu contoh pasien yang memiliki tingkat agresi permusuhan adalah melukai atau mengancam dokter secara fisik untuk mendapatkan obat narkotika. Tingkatan selanjutnya adalah kebencian, yang artinya permusuhan kepada seseorang yang tidak ada hentinya.

F. Evaluasi & Management Pasien dengan Perilaku Kekerasan 2,91. Lindungi diri. Anggaplah selalu bahwa perilaku kekerasan adalah kemungkinan dan janganbiarkan diri kita terkejut dengan perilaku kekerasan yang tiba-tiba. Jangan pernah melakukan wawancara dengan pasien yang bersenjata. Pasien harus menyerahkan senjatanya pada petugas keamanan. cobalah mencari tahu lebih banyak kemungkinan tentang pasien sebelum memulai wawancara. Jangan pernah melakukan wawancara pada pasien yang potensial prilaku kekerasan sendirian atau di ruangan tertutup. Jangan lupa untuk melepas dasi, kalung, dan asesoris pakaian atau perhiasan yang digunakan yang bisa ditarik atau diambil oleh pasien. Tetaplah berada didalam jangkauan penglihatan staf yang lain. Serahkan tugas melakukan pengekangan fisik padaperawat yang terlatih. Jangan berikan kepada pasien akses untuk memasuki ruangan dimana ada alat/senjata yang bisa digunakan seperti ruangan terapi. Jangan duduk terlalu dekat denganpasien paranoid yang sewaktu waktu dapat merasa terancam. Jagalah jarak dengan pasien yangpotensial perilaku kekerasan paling dekat sepanjang lengan. Jangan pernah menantang atau konfrontasi dengan pasien yang psikotik. Tetap waspada dengan tanda-tanda perilaku kekerasan yang akan terjadi. Selalu pikirkan jalan yang akan dilalui untuk meloloskan diri dengan cepat apabila pasien melakukan penyerangan. Jangan pernah membelakangi pasien. 2. Tanda-tanda dari perilaku kekerasan yang akan terjadi termasuk : perilaku kekerasan yang terjadi sekarang terhadap orang lain atau benda, merapatkan gigi dan mengepalkan tinju, ancaman verbal, senjata atau benda yang kemungkinan dapat digunakan sebagai senjata ( seperti garpu,pemecah es, asbak ), agitasi psikomotor, intoksikasi alkohol dan obat, waham paranoid,halusinasi bentuk : commanding 3. Yakinkan bahwa perawat telah siap melakukan pengekanganfisik yang aman terhadap pasien.Panggillah anggota staf yang lain sebelum perilaku kekerasan yang terjadi menghebat. Sering sekali dengan menghadirkan banyak anggota staf di ruangan dapat mencegah terjadinya perilaku kekerasan ( Show of force).4. Pengekangan fisik hanya dilakukan oleh petugas yang terlatih. Dengan pasien yang dicurigai intoksikasi phencyclidine (PCP), pengekangan fisik terutama daerah tungkai harus dihindari.Biasanya obat benzodiazepin dan anti psikotik diberikan dengan segera setelah dilakukanpengekangan fisik untuk memberikan pengekangan secara kimiawi, tetapi pilihan obat tergantung kepada diagnosis. Sediakan suatu lingkunganyang memiliki stimulus yang minimal.5. Buatlah evaluasi diagnostik yangpasti, termasuk tanda vital, pemeriksaan fisik, riwayatpsikiatri sebelumnya. Evaluasi kemungkinan pasien melakukan tindakan bunuh diri. Buat rencana terapi untuk managemenkemungkinan terjadi perilaku kekerasan lanjutan. Tanda-tanda vital yang meningkat menunjukkan kemungkinan adanya withdrawal akibat alkohol atau obat hipnotik sedatif6. Coba gali lebih dalam intervensi sosial yang mungkin dapat dilakukan untuk mengurangi resiko perilaku kekerasan. Apabila perilaku kekerasan berhubungan dengansituasi spesifik atau orang, cobalah untuk memisahkan pasien dari situasi dan orang tersebut. Coba untuk melakukan intervensi keluarga dan manipulasi lingkungan lainnya. Apakah pasien akan tetap potensialperilaku kekerasan apabila dia tinggal bersama dengan keluarganya?7. Merawat pasien perlu dilakukan untuk menahan dan mencegah pasien melakukan perilaku kekerasan. Observasi yang terus menerus harus dilakukan bahkan pada pasien yang dirawat di sel isolasi yang terkunci.8. Apabila tindakan psikiatri tidak membantu, kita dapat melibatkan polisi atau aparat lainnya.9. Calon korban kekerasan harus diberikan peringatan tentang bahaya yang masih mungkin terjadi apabila pasien tidak dirawatG. Terapi Psikofarmaka untuk Perilaku Kekerasan Obat-obatan sering digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan dan strategi pengobatanpsikofarmakologi yang sekarang memasukkan pengobatan terhadap perilaku kekerasan sebagai salah satu sindrom yang khusus. Tujuan dari terapi kasus yang akut adalah untuk menenangkanpasien sedangkan tujuan terapi kasus yang kronis adalah mengurangi frekuensi dan intensitas setiap episode perilaku kekerasan. Pengobatan jangka panjang dilakukan apabila ada penyakit yang mendasarinya. Pengobatan tambahan mungkin diperlukan apabila pendekatan terapi yang standar tidak efektif. Setiap pasien yang melakukanperilaku kekerasan harus diberikanpengobatan sesegera mungkin. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa faktor, sangat tergantung pada riwayat dan pemeriksaan pasien, meskipun mungkin hanya sedikit waktu yang tersedia untuk memeriksa pasien karena pasien sangatberbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain. Kondisi medis (infeksi, toksik, fisiologik, dan metabolik ) seharusnya bisa diidentifikasi karena membutuhkan terapi dan mungkin mempengaruhi pengobatan psikofarmakologik.

BenzodiazepineLorazepam adalah pilihan yang baik digunakan untuk mengobati pasien dengan agitasi danperilaku kekerasan secara khusus apabila etiologi masih belum jelas. Obat ini aman dan efektif.Obat ini adalah satu-satunya obat benzodiazepine yang diserap dengan baik apabila diberikan intramuskular. Lorazepam juga dapat diberikan secaraoral, sublingual, atau intravaskular.Pemberian obat ini harus hati-hati karena dapat menimbulkan depresi pernapasan. Pemberian Lorazepam juga dapat menimbulkanreaksi paradoksial. Benzodiazepine juga memiliki resiko disalahgunakan karena itu sebaiknyatidak diberikan secara regular.AntipsikotikGenerasi pertama. obat neuroleptik menyebabkan efek sedasi ketika diberikan dengan dosis yang tinggi. Haloperidol dapat diberikan secara intramuskular untuk mengatasi agitasi danprilaku kekerasan pada pasien dengan variasi penyebab yang luas. Haloperidol tidak terlalu menyebabkan hipotensi dan hanya memiliki efek antikolinergik yang kecil dibandingkan dengan neuroleptik yang lowpotency seperti Chlorpromazine. Tetapi kadang-kadangneuroleptik low potency kadang-kadang digunakan karena dokter menginginkan efeksedasinya. Dengan mengobati psikosis yang menjadi penyebabnya, neuroleptik dapat memberikan efek jangkapanjang terhadap agitasi dan prilaku kekerasannya. Mania akut dapat dengan cepat dan efektif diatasi dengan obat neuroleptik ini dan obat-obatan ini digunakan untuk mengatasi prilaku kekerasan yang terjadi. Meskipun demikian obat neuroleptik dosis tinggi dapat menyebabkan efek samping seperti akatisia (tidak dapat duduk dengan tenang)Generasi kedua / obat antipsikotik atipikal. Obat ini sekarang menjadi pilihan yang penting dalam penanganan perilaku kekerasan pada pasien psikosis. Obat-obat ini mempunyai efek samping yang lebih rendah dalamhal efek ekstrapiramidal, akatisia, dan tardive diskinesia ( repetitive, purposeless, involuntary movement), dan obat-obat ini memiliki efek antiagresif yang spesifik. obat antipsikotik yang digunakantermasuk Miprasidone, Clozapine, Risperidone,dan Olanzapine. Antipsikotik tidak dianjurkan diberikan pada pasien tanpa gangguan psikotik atau bipolar. Dalam hal ini Lorazepam dan obat sedatif nonspesifik lain dapat diberikan. Suatu studi oleh Doskoch tahun 2001 menunjukkan bahwa Clozapine dapat mengurangi perilaku kekerasan dan pengideraan diri sendiri pada pasien dengan retardasi mental.

AntidepresanAntidepresan dapat mengurangi ketakutan, irritabilitas, dan kecemasan.Emosi ini memiliki spektrum yang sama dengan agitasi. Penemuan sekarang menunjukkan bahwa obat ini dapat menurunkan mood yang negatif dan perilaku kekerasan seperti juga perubahan positif pada kepribadian. Pasien dengan gangguan kepribadian yang diberikan obat antidepresan serotonin ini dapat berkurang irritabilitas dan perilaku kekerasannya. Pasien dengan agitasi post traumatik memiliki respon terhadappemberian Amitriptilin.

Mood StabilizerMood stabilizer digunakan untuk menangani pasien dengan gangguan bipolar dan sebagai terapi tambahan pada skizofrenia. Obat-obat ini digunakan juga untuk mengatasi perilaku kekerasan meskipun bukan merupakan protitipe untuk tujuan ini. Valproate (Depakene) banyak digunakan untuk mengontrol perilaku kekerasan pada beberapa keadaan psikiatri seperti demensia, gangguan kepribadian ambang, sindrom mood organik, gangguan bipolar, skizofrenia, gangguan skizoafektif, dan retardasi mental. Divalproex (Depakote ) dan Carbamazepine digunakan secara luas untuk mengatasi impulsitas dan perilaku kekerasan. Sayangnya Carbamazepine mempunyai efek samping seperti pusing, ataksia, kebingungan, agranulositosis dan hepatotoksis sehinggapenggunaannya terbatas. Divalproex memiliki sedikit efek samping dan interaksi obat yang sedikit sehingga banyak digunakan sebagai mood stabilizer pada pasien demensia. Berkurangnyaperilaku kekerasan pada episode manik merupakan peran yang penting dari Lithium Carbonate.Lithium juga digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan pada pasien dengan retardasi mental.Lithium juga digunakan untuk mengurangi prilaku kekerasan pada tahanan yang mengamuk.meskipun efektif tetapi karena masalah tolerabilitasnya maka penggunaannya terbatas.Beta BlockerBeta adrenergik blocker khususnya Propranolol digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasanpada banyak diagnosis termasuk retardasi mental, autisme, sindrom otak post traumatik, demensia, Huntington disease, Wilson disease, psikosis post ensefalitis, disfungsi sistem saraf pusat kronik yang ditandai soft neurologic signs, EEG abnormal atau epilepsi. Propranolol juga digunakan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gejala prilaku kekerasan pada pasien skizofrenia.masalah utama yang timbul pada penggunaan propranolol untuk prilaku kekerasan adalah terjadinya gangguan kardiovaskular yang sering. Beta blocker yang lain yang digunakan untuk terapi perilaku kekerasan adalah Pindolol, Metoprolol, dan Nadolol.

Memilih Terapi farmakologikyang terbaikSebelum memberikan pengobatan untuk perilaku kekerasan, dokter seharusnya yakin pasien telah dievaluasi secara medis untuk melihat ada tidaknya kontraindikasi terapi dan kemungkinan gejala prilaku kekerasan dapat berkurang dengan pengobatan yang tepat. Evaluasi psikiatri juga diperlukan untuk menentukan apakah terdapat psikosis, depresi, ansietas, penyalahgunaan zat,masalah psikiatri lainnya.

Kesimpulan Pasien dengan perilaku kekerasan dapat diakibatkan oleh banyak hal dan dengan tingkat agresifitas yang berbeda-beda. Kita harus selalu siap menghadapi pasien dengan perilaku kekerasan karena kegawatdaruratan ini bisa muncuk pada berbagai gangguan jiwa. Dengan mengetahui penatalaksanaan yang tepat maka kita dapat menghadapi pasien dengan perilaku kekerasan dengan baik dan aman. Kombinasi penatalaksanaan dengan psikofarmaka juga [penting untuk dikuasai psikiater dan staf yang menangani pasien.

Daftar pustaka1. Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis Mosby Year Book, 19952. Kaplan HI, Sadock BJ. Pocket handbook of Emergency Psychiatric Medicine, Violence, Maryland, USA, 1997: 369-3723. Iverson GL, Hughes R. Monitoring Aggression and Problem Behaviours in Inpatient Neuropsychiatric Unit. Psychiatric Service Agust 2000 Vol 51: 1040-1042 4. NIMH. (2011). National Institiut of Mental Health :USA5. http://www.litbang.depkes.go.id/bl_riskesdas2007. 6. Videbeck, 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Alih bahasa oleh Renata Komalasari & Atrina Hanny. EGC. Jakarta. 7. Brady KT. The Treatment and Prevention of Violence. Available at : http://www.medscape.com/viewarticle Accessed February 1, 20088. Citrome LL. Aggression Available at: http://www.medscape.com/viewarticle Accessed February 1, 20089. Ramadan MI. Managing Psychiatric Emegercies. The Internet Journal of Emergency Medicine 2007. Volume 4 number 1. USA

17