of 29 /29
bab BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maloklusi bukan merupakan suatu penyakit, tetapi penyimpangan dari pertumbuhkembangan normal skelet dan geligi. Penyimpangan pertumbuhkembangan skelet mempunyai pengaruh yang bermakna pada maloklusi yang terjadi. Karenanya pertumbuhkembangan rahang dan muka perlu dipelajari untuk dapat memahami terjadinya maloklusi dilihat dari pertumbuhkembangan rahang dan muka perlu dipelajari untuk dapat memahami terjadinya maloklusi dilihat dari pertumbuh kembangan. Maloklusi dapat timbul karena faktor keturunan dimana ada ketidak sesuaian besar rahang dengan besar gigi-gigi di dalam mulut. Misalnya, ukuran rahang mengikuti garis keturunan Ibu, dimana rahang berukuran kecil, sedangkan ukuran gigi mengikuti garis keturunan bapak yang giginya lebar-lebar. Gigi-gigi tersebut tidak cukup letaknya di dalam lengkung gigi. 1

referat lilim maloklusi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Gilut

Text of referat lilim maloklusi

babBAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Maloklusi bukan merupakan suatu penyakit, tetapi penyimpangan dari pertumbuhkembangan normal skelet dan geligi. Penyimpangan pertumbuhkembangan skelet mempunyai pengaruh yang bermakna pada maloklusi yang terjadi. Karenanya pertumbuhkembangan rahang dan muka perlu dipelajari untuk dapat memahami terjadinya maloklusi dilihat dari pertumbuhkembangan rahang dan muka perlu dipelajari untuk dapat memahami terjadinya maloklusi dilihat dari pertumbuh kembangan. Maloklusi dapat timbul karena faktor keturunan dimana ada ketidak sesuaian besar rahang dengan besar gigi-gigi di dalam mulut. Misalnya, ukuran rahang mengikuti garis keturunan Ibu, dimana rahang berukuran kecil, sedangkan ukuran gigi mengikuti garis keturunan bapak yang giginya lebar-lebar. Gigi-gigi tersebut tidak cukup letaknya di dalam lengkung gigi. Kekurangan gizi juga dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tulang rahang terganggu1.2 Rumusan masalah1. Bagaimanakah perkembangan basis kranial, muka, maksila, dan mandibula?2. Bagaimanakah proses kompensasi dentoalveolar?3. Bagaimanakah proses adaptasi dentoalveolar ?4. Bagaimanakah perkembangan relasi skelet kelas II dan kelas III ?5. Bagaimanakah perbedaan perkembangan pria dan wanita ?

1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui perkembangan basis kranial, muka, maksila, dan mandibula2. Untuk mengetahui proses kompensasi dentoalveolar3. Untuk mengetahui proses adaptasi dentoalveolar 4. Untuk mengetahui perkembangan relasi skelet kelas II dan kelas III 5. Untuk mengetahui perbedaan perkembangan pria dan wanita

1.4 Manfaat 1. Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu gigi dan mulut pada khususnya2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu gigi dan mulut

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Maloklusi1. Sistem Klasifikasi Angle. Edward Angle memperkenalkan sistem klasifikasi maloklusi ini pada tahun 1899. Klasifikasi Angle ini masih digunakan dikarenakan kemudahan dalam penggunaannya.Menurut Angle, kunci oklusi terletak pada molar permanen pertama maksila. Berdasarkan hubungan antara molar permanen pertama maksila dan mandibula, Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam tiga klas, yaitu :a. Klas I Klas I maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan dengan adanya hubungan normal antar-lengkung rahang. Cusp mesio-buccal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada groove buccal dari molar permanen pertama mandibula. Pasien dapat menunjukkan ketidakteraturan pada giginya, seperti crowding, spacing, rotasi, dan sebagainya. Maloklusi lain yang sering dikategorikan ke dalam Klas I adalah bimaxilary protusion dimana pasien menunjukkan hubungan molar Klas I yang normal namun gigi-geligi baik pada rahang atas maupun rahang bawah terletak lebih ke depan terhadap profil muka.

b. Klas II Klas II maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan dengan hubungan molar dimana cusp disto-buccal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada groove buccal molar permanen pertama mandibula.

Klas II, divisi 1. Klas II divisi 1 dikarakteristikkan dengan proklinasi insisiv maksila dengan hasil meningkatnya overjet. Overbite yang dalam dapat terjadi pada region anterior. Tampilan karakteristik dari maloklusi ini adalah adanya aktivitas otot yang abnormal.

Klas II, divisi 2. Seperti pada maloklusi divisi 1, divisi 2 juga menunjukkan hubungan molar Klas II. Tampilan klasik dari maloklusi ini adalah adanya insisiv sentral maksila yang berinklinasi ke lingual sehingga insisiv lateral yang lebih ke labial daripada insisiv sentral. Pasien menunjukkan overbite yang dalam pada anterior.c. Klas III Maloklusi ini menunjukkan hubungan molar Klas III dengan cusp mesio-buccal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada interdental antara molar pertama dan molar kedua mandibula.True Class III Maloklusi ini merupakan maloklusi skeletal Klas III yang dikarenakan genetic yang dapat disebabkan karena : Mandibula yang sangat besar. Mandibula yang terletak lebih ke depan. Maksila yang lebih kecil daripada normal. Maksila yang retroposisi. Kombinasi penyebab diatas.Pseudo Class III Tipe maloklusi ini dihasilkan dengan pergerakan ke depan dari mandibula ketika rahang menutup, karenya maloklusi ini juga disebut dengan maloklusi habitual Klas III. Beberapa penyebab terjadinya maloklusi Klas III adalah : Adanya premature kontak yang menyebabkan mandibula bergerak ke depan. Ketika terjadi kehilangan gigi desidui posterior dini, anak cenderung menggerakkan mandibula ke depan untuk mendapatkan kontak pada region anterior.

Klas III, subdivisiMerupakan kondisi yang dikarakteristikkan dengan hubungan molar Klas III pada satu sisi dan hubungan molar Klas I di sisi lain.

Gambar 1. Klasifikasi Angle (diunduh dari: doktergigionline.com)Keterangan:a.Maloklusikelas I Angleb.Maloklusikelas II Divisi 1 Anglec.Maloklusikelas II Divisi 2 Angled.Maloklusikelas III (Rahardjo, 2009).

2. Modifikasi Dewey dari Klasifikasi Angle.Dewey memperkenalkan modifikasi dari klasifikasi maloklusi Angle. Dewey membagi Klas I Angle ke dalam lima tipe, dan Klas III Angle ke dalam 3 tipe.a. Modifikasi Dewey Klas I.Tipe 1 : maloklusi Klas I dengan gigi anterior yang crowded.Tipe 2 : maloklusi Klas I dengan insisiv maksila yang protrusif.Tipe 3 : maloklusi Klas I dengan anterior crossbite.Tipe 4 : maloklusi Klas I dengan posterior crossbite.Tipe 5 : maloklusi Klas I dengan molar permanen telah bergerak ke mesial.b. Modifikasi Dewey Klas III.Tipe 1 : maloklusi Klas III, dengan rahang atas dan bawah yang jika dilihat secara terpisah terlihat normal. Namun, ketika rahang beroklusi pasien menunjukkan insisiv yang edge to edge, yang kemudian menyebabkan mandibula bergerak ke depan.Tipe 2 : maloklusi Klas III, dengan insisiv mandibula crowded dan memiliki lingual relation terhadap insisiv maksila.Tipe 3 : maloklusi Klas III, dengan insisiv maksila crowded dan crossbite dengan gigi anterior mandibula.

3.Modifikasi Lischer dari Klasifikasi Angle.Lischer memberikan istilah neutrocclusion, distocclusion, dan mesiocclusion pada Klas I, Klas II, dan Klas III Angle. Sebagai tambahan, Lischer juga memberikan beberapa istilah lain, yaitu :Neutrocclusion : sama dengan maloklusi Klas I Angle.Distocclusion : sama dengan maloklusi Klas II Angle.Mesiocclusion : sama dengan maloklusi Klas III Angle.Buccocclusion : sekelompok gigi atau satu gigi yang terletak lebih ke buccal.Linguocclusion : sekelompok gigi atau satu gigi yang terletak lebih ke lingual.Supraocclusion : ketika satu gigi atau sekelompok gigi erupsi diatas batas normal.Infraocclusion : ketika satu gigi atau sekelompok gigi erupsi dibawah batas normal.Mesioversion : lebih ke mesial daripada posisi normal.Distoversion : lebih ke distal daripada posisi normal.Transversion : transposisi dari dua gigi.Axiversion : inklinasi aksial yang abnormal dari sebuah gigi.Torsiversion : rotasi gigi pada sumbu panjang.

4. Klasifikasi Bennet.Norman Bennet mengklasifikasikan maloklusi berdasarkan etiologinya.Klas I : posisi abnormal satu gigi atau lebih dikarenakan faktor lokal.Klas II : formasi abnormal baik satu maupun kedua rahang dikarenakan defek perkembangan pada tulang.Klas III : hubungan abnormal antara lengkung rahang atas dan bawah, dan antar kedua rahang dengan kontur facial dan berhubungan dengan formasi abnorla dari kedua rahang.1

2.2 Pertumbuhkembangan Kalvarium Tulang-tulang kalvarium berasal dari tulang rawan yang pada saat lahir telah terhubung satu dengan yang lain melalui sutura, meskipun ada yang masih berupa enam fontanel yang tertutup membran. Pertumbuhan tulang terjadi lewat aposisi pada periosteum dan merupakan respons terhadap pertumbuhan otak. Sutura merupakan daerah yang memungkinkan pergerakan tulang meskipun terbatas dan merupakan tempat bertambahnya ukuran tulang kranium. Sutura merupakan persendian tulang rawan dengan potensi pertumbuhan bertambah besar sesuai dengan pertumbuhan otak. Tulang tulang ini menyatu saat dewasa. 2.3 Perkembangan Basis KranialBasis kranial adalah dasar rongga otak dan memanjang dari foramen sekum di anterior sapai basia di tulang oksipital di posterior. Basis kranial merupakan perkembangan dari tulang rawan kondrokranium pada masa embrio dan berubah menjadi tulang melewati osifikasi endokondral. Pertumbuhan sutura dan remodling permukaan tulang kearah lateral merupakan respons terhadap otak yang bertambah besar . terdapat beberapa pusat pertubuhan yang penting, yaitu sinkondrosis sfeno-etmoid, antarsfenoid dan yang paling penting adalah sinkondrosis sfeno-oksipital. Sinkondrosis sfeno-etmoid menulang pada umur kurang lebih 6 tahun dan sesudah itu hanya sedikit terjadi pertumbuhan pada basis kranial anterior. Daerah yang relatif stabil ini digunakan sebagai struktur referensi untuk mengukur pertumbuhan kranial pada tempat-tempat yang lain. Kompleks nosomaksila terhhubung dengan basis kranial anterior sedangkan mandibula terhubung dengan basis kranial tengah lewat persendian dengan tulang temporal. Sinkondrosis sfeno-oksipital berkembang sampai usia sekitar 15 tahun dan menyatu pada usia 20 tahun. Pertumbuhan panjang, bentuknya dan sudut yang dibentuk oleh bagian anterior dan posterior berpengaruh pada relasi maksila dan mandibula. Basis kranial yang panjang berhubungan dengan relasi rahag kelas II sedangkan bbasis kranial yang pendek berhubungan dengan relasi rahang kelas III.2.4 Pertumbuhan Muka Variasi merupakan hukum dasar dalam biologi. Wajah manusia sangat bervariasi dibandingkan dengan muka spesies yang lain.keadaan ini disebabkan wajah dan tengkorak menggadakan adaptasi yang luar biasa sehubungan dengan bertambah besarnya otak manusia. Terdapat rentang yang besar dalam perbedaan wajah manusia. Meskipun demikian ada semacam kemiripan untuk beberapa maloklusi yang terjadi.2.5 Pola Pertumbuhan Pada saat lahir volume ruang otak lebih besar daripada muka, tetapi pada umur 6 tahun hampir tidak ada lagi pertumbuhan kranium karena otak telah mencapai ukuran otak orang dewasa. Tulang muka tumbuh secara konstan selama waktu yang lebih panjang sehingga bentuk dewasa dicapai dalam waktu yang lebih lama dari pada kranium. Letak tulang muka lebih ke depan dibandingkan kranium pada waktu bayi. Muka bayi relatif ebih besar akan tetapi dengan adanya pertumbuhan pasca lahir terjadi perubahan proporsi muka, pertumbuhan vertikal lebih banyak, kemudian pertumbuhan transversal lebih sedikit dan pertumbuhan sagital yang paling sedikit. Perubahan yang sangat menonjol adalah mata; mata bayi relatif lebih besar tetapi pertumbuhan sesudah umur 6 tahun relatif sedikit karenna telah mencapai ukuran orang dewasa. Keadaan hidung merupakan kebalikan daripada mata, pada bayi kurang berkembang sedangkan pada orang dewasa hidung lebih menonjol dari pada keadaan ketika masih masih anak-anak. Perubahan perubahan ini tidak mempengaruhi oklusi tetapi perubahan karakter untuk mempengaruhi penampilan geligi. Sebagai contoh anak dengan oklusi normal kadang-kadang gigi-giginya ttampak seolah-olah besar tetapi kesan ini akan berubah dengan pertumbuhan bagian lain muka terutama hidung.

2.6 Percepatan Pertumbuhan ( growth spurt) Jaringan yang berbeda tumbuh pada besaran yang berbeda, misalnya besaran pertumbuhan tulang berbeda dengan jaringan lunak. Pertumbuhan skelet mengikuti pola pertumbuhan somatik umum, ada percepatan pertumbuhan awal sesudah lahir, kemudian menurun dan terdapat growth spurt lagi pada usia sekitar 6-7 tahun. Percepatan pertumbuhan ini berlangsung kurang lebih 3-4 bulan dan wanita mengalami lebih dahulu dari pada laki-laki. Percepatan pertumbuhan ini berlangsung kurang lebih 3-4 bulan dan wanita mengalami lebih dahulu daripada laki-laki. Percepatan pertumbuhan akan terjadi lagi pada usia kurang lebih 12 tahun pada wanita dan 14 tahun pada pria yang disebut prepubertal growth spurt. Variasi usia sangat menyukarkan untuk menentukan kapan terjadi growth spurt tetapi beberapa pustaka menyebutkan bahwa percepatan pertumbuhan terjadi 6-12 bulan sebelum menstruasi pertama. Hal ini berarti bila seorang anak wanita telah mengalami menstruasi dia telah melewati masa percepatan pertumbuhan demikian juga dengan anak laki-laki bila telah mengeluarkan sperma berarti percepatan pertumbuhan telah dilalui. Terdapat variasi percepatan pertumbuhan yang besar dengan standar deviasi 1 tahun bahkan kadang-kadang dapat terjadi pada usia 16 tahun pada laki-laki. Percepatan pertumbuhan ini mempunyai arti yang penting bagi ilmu ortodonti dalam merencanakan perawatan untuk pasien karena dengan memanfaatkan percepatan pertumbuhan perawatan otodontik akan mempunyai hasil yang lebih baik. Tetapi disisi lain adanya variasi yang besar kadang-kadang sukar membuat prediksi kapan terjadinya percepatan pertumbuhan. Selama masa prapubertal terdapat pertumbuhan somatik yang cepat yang berpengaruh pada pergerakan gigi yang berpindah lebih cepat ketika mendapatkan tekanan. Beberapa peranti ortodnti, misalnya peranti fungsional dan traksi ekstra oral menjadi lebih efektif bila digunakan pada masa ini. Perlu juga diketahui kapan berakhirnya pertumbuhan untuk merencanakan perawatan ortodontik yang memerlukan perbedaan rahang. Pertumbuhan rahang biasanya telah berhenti pada usia sekitar 16-17 tahun sehingga pembedahan rahang dapat dilakukan sesudah usia ini akan menghasilkan kondisi yang relatif lebih stabil.2.7 Maksila Tulang maksila terhubung dengan beberapa tulang di antaranya tulang di antaranya tulang frontalis, zigomatik dan sfenoid melaui sutura yang berisi jaringan ikat. Arah sutura ini menyerong sehingga adanya pertumbuhan pada daerah sutura menyebabkan maksila terdorong maju secara menyerong kedepan dan ke bawah. Maksila tumbuh ke segala dimensi terutama karena adanya : Aposisi tulang pada sutura sekitar maksila Remodeling permukaan tulang Pergeseran secara pasif karena perubahan pada basis kranial

Gambar 2Arah pertumbuhan maksila searah dengan panah

Panjang maksila dalam jurusan vertikal bertambah karena terbentuknya tulang alveolar yang menyangga gigi. Maksila yang bertambah besar ukurannya menyebabkan rongga hidung juga bertambah besar ukurannya menyebabkan rongga hidung juga bertambah besar mencapai setengah ukuran dewasa pada usia kurang lebih 7 tahun. Palatum ikut turun sesuai dengan pertumbuhan maksila kebawah yang diikuti oleh aposisi pada permukaan yang menghadap ke rongga mulut dan resorpsi pada permukaan yang menghadap kerongga mulut dan resorpsi pada permukaan yang menghadap ke dasar rongga hidung. Lengkung palatal bertambah dalam dengan adanya pertumbuhan prosesus alveolaris. Pertumbuhan septum nasal bersamaan dengan pertumbuhan maksila secara keseluruhan. Pertumbuhan maksila berhenti sekitar usia 15 tahun untuk wanita sedangkan pria pada sekitar usia 17 tahun. Pertumbuhan ke posterior terjadi pada regio tuberositas sehingga maksila menjadi lebih panjang.2.8 Mandibula Sebagian peneliti berpendapat bahwa mandibula dapat dipandang sebagai tulang panjang dengan dua prosesus untuk perlekatan otot dan prosesus alveolaris untuk tempat gigi. Osifikasi endokondral pada kondili menyumbang pertumbuhan mandibula ke arah posterior. Aposisi dan remodeling di tempat-tempat lain menyebabkan mandibula bertambah besar sesuai dengan bentuknya. Pada usia 1 tahun kedua simfisis mandibula telah menyatu dan tidak memberi sumbangan pada pertumbuhan.

Gambar 3Mandibula dapat dipandang sebagai perkembangan tulang panjang

Arah pertumbuhan mandibula ke bawah dan ke depan. Pertambahan panjang mandibula disebabkan adanya aposisi di sisi posterior ramus dan terjadi resorpsi di sisi anterior ramus. Pertambahan tinggi korpus mandibula sebagian besar disebabkan adanya pertumbuhan tulang alveolaris. Dagu menjadi lebih menonjol karena mandibula memanjang dan terdapat sedikit penambahan tulang pada dagu tetapi tidak terjadi lagi sesudah masa remaja. Pertumbuhan mandibula berakhir pada usia sekitar 15 tahun untuk wanita dan sekitar 17 tahun untuk pria.2.9 Kompensasi Dento-alveolar Gigi bawah dan atas tumbuh pada tulang rahang dalam ruangan yang sama yang dibatasi oleh bibir, pipi dan lidah yang memberi tekanan yang seimbang sehingga oklusi yang terjadi akan mencapai keseimbangan. Tulang alveolaris merupakan tulang yang sangat adaptif tergantung pada adanya gigi. Bila gigi tidak ada akan terjadi resorpsi tulang alveolaris dan bila gigi bergerak akan terjadi remodeling tulang alveolaris. Ada suatu upaya kompensasi dento-alveolar untuk mengatasi malrelasi jurusan vertikal dikompensasi dengan gigi dan atau tulang alveolaris tumbuh lebih banyak ke arah vertikal. Bila malrelasi rahang sangat parah upaya kompensasi tidak dapat mengatasi malrelasi rahang yang terjadi sehingga oklusi normal tidak dapat dicapai. Demikian juga dengan malrelasi rahang atas dan bawah jurusan anteroposteriordengan mandibula yang terletak lebih anterior. Bila gigi dan prosesus alveolaris rahang atas telah mengadakan kompensasi yang berupa proklinasi insisivi atas tetapi tidak dapat megatasi malrelasi rahang maka akan terjadi gigitan silang anterior. Keadaan seperti ini sering terlihat pada maloklusi kelas III Angle (Ishikawa dkk., 1999). Pada malrelasi yang parah bisa pula terdapat kompensasi gigi anterior bawah yang retroklinasi. Degan adanya upaya kompensasi ini pada beberapa kasus malrelasi lengkung geligi yang terjadi tampak tidak terlalu parah. Upaya kompensasi kadang-kadang tidak berhasil karena adanya pengaruh dari jaringan lunak. Misalnya, bibir atas yang pendek dan ada kebiasaan tidak berusaha mengatupkan bibir maka insisivi atas cenderung proklinasi dan menjauh dari insisivi bawah. Insisivi bawah akan erupsi melebihi keadaan normal hingga kadang-kadang menyentuh palatum. Kompensasi dento-alveolar tidak selalu menguntungkan, misalnya pada beberapa kasus mandibula yang retrusif terjadi kompensasi berupa insisivi atas dalam keadaan retroklinasi. Kompensasi seperti ini biasanya diikuti adanya gigitan dalam yang secara estetik kurang baik bahkan kadang-kadang merupakan trauma untuk gingiva. Keadaan seperti ini sering terlihat pada maloklusi kelas II divisi 2 Angle.2.10 Adaptasi Dento-alveolar Pertumbuhkembangan rahang dan gigi yang berlangsung relatif pelan selama bebrapa tahun menyebabkan adanya proses adaptif pada gigi, tulang alveolar, rahang dan jaringan lunak. Adaptasi dento-alveolar mempunyai batas kemampuan. Waktu memeriksa pasien perlu diketahui seberapa besar telah terjadi kompensasi. Dengan memeriksa rekam ortodentik dalam waktu-waktu tertentu dapat diketahui adanya adaptasi dan seberapa besar adaptasi yang terjadi dalam jurusan sagital, vertikal dan transversal. Adaptasi dento-alveolar paling tinggi terjadi dalam jurusan vertikal sebagai respons pertambahan ruang antar rahang, sedangkan perubahan dalam jurusan transversal hanya sedikit.

Gambar 4Tiga bidang orientasi H= Horizontal S=sagital T= transversal.2.11 Relasi Skelet Menurut Tiga Bidang Orientasi Relasi skelet jurusan sagital tergantung pada panjang maksila, panjang mandibula dan panjang basis kranium yang berhubungan dengan maksila serta sendi temporomandibula. Bila tidak ada foto sefalometri relasi ini secara garis besar dapat dilihat dari profil pasien di klinik. Bila relasi mandibula terhadap maksila normal disebut relasi kelas I, bila mandibula relatif lebih distal terhadap maksila disebut relasi kelas II dan bila mandibula jauh lebih mesial daripada maksila disebut relasi kelas III.

Gambar 5A. Relasi skelet kelas I. B. Kelas II. C. Kelas III. Dalam jurusan vertikal terdapat ruangan di antara basis skeletal rahang atas dan bawah yang disebut ruang antar rahang. Tingginya ruangan in tergantung pada bentuk mandibula dan panjang muskulus mastikasi pada saat istirahat. Bila bagian anterior ruangan antarahang besar kemungkinan terjadi gigitan terbuka. Kelainan dalam jurusan transversal dapat menyebabkan adanya gigitan silang di regio posterior. Untuk menentukan secara tepat dapat digunakan foto sefalometri posteroanterior. Dapat juga dilihat pada model studi untuk memperkirakan apakah basis maksila yang sempit ialah apabila inklinasi gigi posterior mengarah ke bukal tetpai masih terjadi gigitan silang posterior kemungkinan besar basis maksilanya sempit.

Gambar 6Basis maksila yang sempit ditunjukkan dengan jarak AB lebih sempit dari pada CD

2.12 Perkembangan Relasi Skelet Kelas II dan Kelas III Ssecara garis besar pertumbuhan yang menyebabkan maloklusi kelas II dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada individu yang mempunyai bentuk kepala dolikosefalik kraniumnya relatif panjang dalam jurusan horizontal tetapi sempit sehingga basis kranium agak datar dengan kata lain sudut basis kranium bagian tengah dan anterior lebih terbuka. Keadaan ini mengakibatkan beberapa perubahan pada muka, yaitu: Kompleks nasomaksila lebih protrusif terhadap mandibula karena basis kranium rotasi ke depan dan juga bagian tengah dan anterior basis kranium lebih panjang Kompleks nasomaksila relatif lebih rendah daripada kondili mandibula yang mengakibatkan adanya rotasi seluruh mandibula ke belakang dan ke bawah Bidang oklusal mengarah ke bawah ( downward inclined ) Keadaan-keadaan di atas menyebabkan cenderung retrusi mandibula, relasi molar kelas II dan profil yang retrognatik.

Gambar 7A. Perkembangan skeletal normal B. Perkembangan skeletal kelas II C. Perkembangan skeletal kelas III Secara garis besar pertumbuhan yang menyebabkan maloklusi kelas III dapat dijelaskan sebagai berikut. Seseorang dengan bentuk kepala yang brakisefalik mempunyai kepala yang bulat dan lebih lebar yang mempengaruhi dasar basis kranium. Basis kranium lebih tegak dengan sudut yang lebih kecil sehingga dimensi anteroposterior fosa kranial tengah pendek. Efeknya pada wajah adalah maksila terletak lebih posterior, panjang horizontal kompleks nasomaksila juga relatif pendek. Hasil akhirnya adalah kompleks nasomaksila yang relatif retrusif dan amandibula yang relatif lebih maju.

Gambar 8Pola skelet : A. kelas II B. Kelas III

2.13 Pebedaan Pertumbuhan Skelet Kelas II dan III Pada maloklusi kelas II bentuk kepala biasanya dolikosefalik atau mesosefalik. Fosa kranial anterior relatif panjang dan sempit. Karena bagian ini merupakan pola untuk kompleks nasomaksila maka palatum dan lengkung maksila juga panjang dan sempit. Pada maloklusi kelas III bentuk kepala biasanya brakisefalik, fosa kranial anterior maupun tengah relatif pendek dan lebar sehingga palatum dan lengkung maksila juga pendek dan lebar. Pada maloklusi kelas II lengkung mandibula relatif lebih pendek daripada maksila sedangkan pada maloklusi kelas III lengkung mandibula relatif lebih pajang daripada maksila. Fosa kranial tengah pada maloklusi kelas II mempunyai inklinasi yang mengarah ke depan dan ke bawah, kompleks nasomaksila lebih protrusif sedangkan pada maloklusi kelas III mempuyai inklinasi yang mengarah ke atas dan belakang dengan kompleks nasomaksila lebih retrusif. Kompleks nasomaksila pada kelas II relatif lebih panjang daripada dimensi vertikal ramus ( atau ramus relatif lebih pendek). Muka bagian tengah yang panjang disertai fosa kranial tengah yang berarah ke depan dan bawah menyebabkan adanya rotasi mandibula ke belakang dan bawah pada maloklusi kelas II. Pada kelas III mandibula berotasi kedepan sesuai dengan adanya rotasi fosa kranial tengah ke atas dan belakang disertai daerah hidung yang relatif pendek. Muka bagian tengah relatif pendek dibandingkan dengan dimensi vertikal ramus mandibula. Penyebab wajah pasien dengan maloklusi kkelas III yang terlihat panjang adalh mandibula dan bukan muka bagian tengahnya. Sudut gonion pada maloklusi kelas II biasanya kecil sehingga menyebabkan mandibula pendek sedangkan pada kelas III terbuka sehingga mandibula panjang dan kadang-kadang memberikan gambaran spesifik maloklusi kelas III. Lebar horizontal ramus ikut menentukan keparahan maloklusi kelas II maupun kelas III. Bila ramus relatif lebih sempit dari pada normalnya pada maloklusi kelas II maka mmaloklusi yang terjadi semakin parah karena panjang relatif mandibula berkurang demikian juga sebaliknya bila ramus lebar akan mengurangi keparahan maloklusi karena panjang relatif mandibula lebih panjang. Kebalikannya pada maloklusi kelas III bila ramus sempit maloklusi tidak akan separah bila ramus lebar.

BAB IIIKESIMPULAN

A. Terdapat beberapa pusat pertumbuhan pada basis kranial, yaitu pada sinkondrosis sfeno-etmoid, antarsfenoid dan sfeno-oksipital. Basis kranial yang panjang berhubungan dengan relasi skelet kelas II sedangkan yang pendek berhubungan dengan relasi skelet kelas III. Terdapat growth spurt yang berbeda pada pria dan wanita, wanita terjadi lebih dahulu daripada pria. Arah pertumbuhan maksila dan mandibula adalah ke depan dan ke bawah. Maksila tumbuh ke posterior pada daerah tuberositas dan mandibula tumbuh ke posterior pada daerah posterior ramus. Pada relasi skelet yang sangat menyimpang terdapat upaya kompensasi untuk mengimbangi kelainan relasi skelet tersebut. Selain itu juga terdapat proses adaptasi. Pertumbuhan muka masih tetap terjadi meskipun dalam derajat yang kecil pada masa dewasa.

B. Saran

Pada kasus-kasus maloklusi tertentu sebaiknya mempertimbangkan faktor pertumbuhan karena pemanfaatan faktor pertumbuhan dapat meningkatkan keberhasilan perawatan orto.

DAFTAR PUSTAKA

Azman, A.A.M., Sjafei, A., dan Winoto, E.R. 2010. Malocclusion Severity Representation Using Dental Aesthetic Index Among Ethnic Malays in Johor Bahru Malaysia. Orthodontic Dental Journal Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2010; 4-7Mundiyah, Moktar. 1998. Dasar Dasar Ortodonti Perkembangan dan Pertumbuhan Kraniodentofasial. Bagian I Ruang Lingkup Ortodonti. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. Ikatan Dokter Gigi Indonesia. Persatuan Dokter Gigi Indonesia. p. 3-15.Rahardjo, Pambudi. 2009. Ortodonti Dasar. Surabaya: Airlangga University PressZenab, Yuliawati. 2010. Perawatan Maloklusi Kelas 1 Angle Tipe 2. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran Bandung, Indonesia

19