18
4 Konjungtivitis Vernalis Edelyn Christina PENDAHULUAN Konjungti va mer upak an bagian mat a yan g mud ah ber hubunga n deng an dunia lua r. Peradangan konjungtiva atau konjungtivitis dapat diakibatkan oleh infksi bakteri seperti pada konjungtivitis gonokok, virus, klamidia, alergi toksik, dan molluscum contagiosum. 1  Penyakit ini  bervariasi mulai dari hyperemia ringan dengan mata berair, sampai konjungtivitis berat dengan  banyak sekret purulen kental. 2 Konjungtivit is vernalis yang juga di ke nal se ba gai “c at ar rh mu si m se mi ” dan “Konjungtivitis musiman” atau “ konjungtivitis musim kemarau”, merupakan penyakit alergi  bilateral yang jarang. Penyakit ini biasanya mulai pada tahuntahun prapubertas dan berlangsung se lam a ! 1" ta hun . Pen ya ki t ini lebih banyak te rj adi pada anak laki l aki di bandingkan  perempuan. 2 #le rge n spesifik sul it dil aca k, tet api bia sany a pas ien dengan konj ungtiv iti s ver nal menampilkan reaksi alerg i lainny a, yang diket ahui berhubu ngan dengan sensitif itas terhadap serbuk sari. Penyakit ini lebih jarang terjadi didaerah beriklim sedang dibanding hangat, dan hampir tidak ada didaerah dingin. 2 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

referat konjungtivitis vernalis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

edelyn christina

Citation preview

njungtivitis Vernalis

Konjungtivitis Vernalis

Edelyn Christina

PENDAHULUAN

Konjungtiva merupakan bagian mata yang mudah berhubungan dengan dunia luar. Peradangan konjungtiva atau konjungtivitis dapat diakibatkan oleh infksi bakteri seperti pada konjungtivitis gonokok, virus, klamidia, alergi toksik, dan molluscum contagiosum.1 Penyakit ini bervariasi mulai dari hyperemia ringan dengan mata berair, sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.2

Konjungtivitis vernalis yang juga dikenal sebagai catarrh musim semi dan Konjungtivitis musiman atau konjungtivitis musim kemarau, merupakan penyakit alergi bilateral yang jarang. Penyakit ini biasanya mulai pada tahun-tahun prapubertas dan berlangsung selama 5-10 tahun. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan perempuan.2Alergen spesifik sulit dilacak, tetapi biasanya pasien dengan konjungtivitis vernal menampilkan reaksi alergi lainnya, yang diketahui berhubungan dengan sensitifitas terhadap serbuk sari. Penyakit ini lebih jarang terjadi didaerah beriklim sedang dibanding hangat, dan hampir tidak ada didaerah dingin.2PEMBAHASANAnatomi

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (Konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (Konjungtiva Bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.3

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.3

Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di forniks dan melipat berkali-kali (plica semilunaris). Lipatan tersebut memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan sekretorik konjungtiva. Konjungtiva bulbaris melekat longgar pada kapsul tenon dan sklera dibawahnya, kecuali di limbus, yang merupakan tempat penyatuan konjungtiva dan kapsul tenon sepanjang 3mm.3

Gambar 1 : Anatomi konjungtiva

Histologi

Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus tersebut mendorong inti sel goblet ke tepi, dan diperlukan untuk disperse lapisan air mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibanding sel-sel superfisial dan didekat limbus dapat mengandung pigmen.3Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapis adenoid (superfisial) dan satu lapis fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa stratum germinativum. Lapisan adenoid tersebut tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung dan melekat pada lempeng tarsus. Lapisan fibrosa tersebut tersusun longgar pada bola mata.3Didalam stroma terdapat kelenjar lakrimal asesorius ( kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal. Sebagian besar kelenjar Krause terletak di forniks atas, dan sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi atas tarsus atas.3Perdarahan dan Persarafan

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri tersebut beranastomose dengan bebas dan bersama vena konjungtiva membentuk jarring vaskular konjungtiva. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama Nervus Trigeminus (N.V), dimana saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.3KONJUNGTIVITIS

Konjungtivitis merupakan penyakit mata yang paling umum. Gejala penting pada konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu sensasi tergores atau terbakar, sensasi penuh disekeliling mata, gatal, dan fotofobia. Sensasi benda asing sering dihubungkan dengan edema dan hipertrofi papil yang biasanya menyertai hyperemia konjungtiva, dan rasa nyeri biasanya terjadi jika sudah mengenai kornea. Penyebab umumnya eksogen, tetapi bisa endogen.2

Tanda-tanda penting pada konjungtivitis adalah hiperemia, mata berair, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papilar, kemosis, folikel, pseudomembran dan membrane, granuloma, dan adenopati pre-aurikel.KONJUNGTIVITIS VERNALDefinisiKonjungtivitis vernalis merupakan konjungtivitis yang terjadi akibat reaksi hipersensitivitas humoral segera (Tipe I) yang rekuren dan mengenai kedua mata. Penyakit ini cenderung mengenai anak kecil dan dewasa muda.2EpidemiologiKonjungtivitis vernalis biasanya mulai pada tahun-tahun prapubertas dan berlangsung selama 5-10 tahun. Penyakit ini lebih banyak menyerang anak laki-laki dibandingkan perempuan, dan lebih banyak ditemukan didaerah beriklim hangat, seperti daerah afrika, dan timur tengah.2Etiologi dan Foktor Predisposisi

Alergen spesifik yang berperan pada terjadinya penyakit konjungtivitis vernal sulit dilacak, tetapi biasanya terdapat riwayat alergi pada keluarga, dan terkadang disertai riwayat alergi pada pasien itu sendiri. Secara luas penyebab penyakit ini dapat dibagi menjadi 2 yaitu eksogen (pollen) dan endogen (sinar ultraviolet). 2,4Klasifikasi

Konjungtivitis vernal memiliki tiga bentuk klinis yaitu palpebra, limbal, dan gabungan 5 :

Bentuk Palpebra : terutama mengenai konjungtiva tarsal superior. Konjungtiva tarsal tampak pucat dan menampilkan papil raksasa mirip batu kali. Setiap papil raksasa berbentuk poligonal dengan atap rata dan mengandung berkas kapiler. Papil tersebut diliputi secret mukoid, disebut juga sebagai gambaran cobble stone appearance.2,5 Bentuk limbal berupa pembengkakan gelatinosa yang terlihat di limbus superior. Sebuat pseudogerontoxon (kabut serupa busur) sering terlihat pada kornea dekat papil limbus.2 Disekitar limbus terlihat konjungtiva bulbi menebal, berwarna putih susu, kemerah-merahan seperti lilin (bintik tranta) pada pasien yang mengalami fase aktif konjungtivitis vernal.6 Ditemukan banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas dalam bintik tranta.2 Gabungan : bentuk klinis konjungtivitis vernalis berupa bentuk palpebra dan limbal yang terjadi secara bersamaan.2,5Gambar 2 :Papil pada konjungtiva tarsal superior (Dari pustaka No.7)

Gambar 3 : Trantas dot (Dari pustaka No.7)

PatofisiologiPerubahan struktur konjungtuva pada penyakit konjungtivitis vernal sangat erat kaitannya dengan reaksi inflamasi yang didominasi oleh gabungan reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi tipe cepat yang dimediasi oleh IgE. Reaksi tersebut terjadi pada individu yang sudah terpapar antigen spesifik. Paparan berulang antigen menstimulasi aktivasi sel mast oleh IgE, sehingga sel mast mengeluarkan mediator-mediator inflamasinya. Hal tersebut berbeda dengan reaksi hipersensitivitas tipe IV yang disebut juga sebagai cell-mediated immunity yang dimediasi oleh sel limfosit T, dan terjadi 48 jam setelah paparan terhadap antigen.5Konjungtivitis vernal merupakan reaksi alergi kronik yang umumnya dimediasi oleh sel limfosit Th2, yang memiliki peranan pada terjadinya ekspresi berlebihan sel mast, eosinofil, neutrofil, Th2-derived cytokines, chemokins, molekul adhesi, growth factors, fibroblast, dan limfosit. IL-4 dan IL-13 juga berperan dalam terbentuknya papil dengan menginduksi produksi matriks ekstraselular dan proliferasi fibroblast konjungtiva.5Pada konjungtiva akan dijumpai hyperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat diikuti hyperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi tersebut diikuti hyalinisasi dan terbentuknya deposit konjungtiva sehingga terbentuk gambaran cobble stone appearance. Jaringan ikat berlebihan tersebut memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram.5 Hipertrofi papil konjungtiva tidak jarang menyebabkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat disertai keratitis yaitu berupa keratitis epithelial vernbalis atau ulkus kornea superfisial, serta erosi epitel kornea.6Limbus konjungtiva juga memberikan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertrofi yang memberikan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan pada limbus sering menimbulkan gambaran distrofi yang akhirnya menimbulkan gangguan dalam kualitas maupun kuantitas sel limbus.5Gambaran HistopatologisTahapan awal yang terjadi pada konjungtivitis vernal adalah pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup oleh satu lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta diantara papil serta pseudomembran milky white. Neovaskularisasi dan pembentukan papil diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase, dan peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel radang secara keseluruhan. Terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma, sel mast, eosinofil, dan basofil pada konjungtiva yang berperan dalam pembentukan papil fibrovaskular.4Pada epitel konjungtiva akan terjadi hiperplasi, yang pada perjalanan selanjutnya akan terjadi hipertrofi sampai atrofi. Hiperplasia jaringan ikat yang meluas menyebabkan terbentuknya giant papil. Hipertropi epitel yang terjadi kemudian menyebabkan terbentuknya sel epitel yang edematous dan tidak beraturan. Seiring dengan bertambah besarnya papil, lapisan epitel akan mengalami atrofi diapeks sampai hanya tinggal satu lapis sel yang kemudian akan mengalami keratinisasi. Pada stroma epitel terjadi degenerasi hyaline. Sekret mukoid yang terbentuk merupakan kumpulan mucus, sel epitel, dan eosinofil.4Pada limbus terjadi perubahan berupa penebalan lapisan gelatin dengan injeksi vaskular, serta pertumbuhan epitel yang hebat dan bersifat meluas. Trantas dot yang terjadi sebagian besar terdiri atas eosinofil, dan debris selular.4 Tanda dan GejalaPasien umumnya mengeluh sangat gatal dengen kotoran mata berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat alergi di keluarga (hay fever, eksim), dan terkadang disertai riwayat alergi pasien itu sendiri. Konjungtiva tampak putis susu, dan terdapat banyak papil halus dikonjungtiva tarsal inferior. Konjungtiva tarsal superior sering memiliki papil raksasa mirip batu kali (cobblestone appearance). Setial papil raksasa berbentuk poligonal , dengan atap rata, dan mengandung berkas kapiler.2Mungkin terdapat kotoran mata berserabut dengan pseudomembran fibrinosa (tanda Maxwell-Lyons). Pada beberapa kasus, terutama pada orang negro keturunan afrika, lesi paling mencolok terdapat di limbus, yaitu berupa pembengkakan gelatinosa (papil). Dapat terlihat bintik-bintik putih pada limbus (trantas dot) pada pasien dengan fase aktif keratokonjungtivitis vernal. Sering terlihat Mikropanus pada keratokonjungtivitis palpebra dan limbus.Dapat disertai keratokonus.2Selain rasa pengeluaran sekret dan gatal yang sangat, pasien juga mengalami epifora, serta fotofobia. Fotofobia dapat dirasa cukup berat sehingga pasien merasa lebih nyaman berasa ditempat gelap. Sensasi benda asing dirasakan pasien sebagai akibat dari permukaan konjungtiva yang irregular dan pengeluaran sekret mukoid. Adanya rasa sakit pada mata yang dirasakan pasien mengindikasikan perlibatan kornea yang dapat berupa keratitis pungtata superfisial, erosi epitel, ulkus, dan plak.8Diagnosis Diagnosa konjungtivitis vernal ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis, serta hasil pemeriksaan mata. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan berupa kerokan konjungtiva untuk mempelajari gambaran histopatologis. Hasil pemeriksaan akan menunjukkan gambaran eosinofil yang cukup banyak dengan granula-granula bebas eosinofilik, serta basofil dan granula basofilik bebas.4Diagnosa Banding

Untuk menentukan diagnosa konjungtivitis, perlu diketahui perbedaan klinis dari masing-masing etiologi konjungtivitis secara umum2 :

Tabel 1 : Tanda konjungtivitis dan perbedaan jenis konjungtivitis umum (dari pustaka No.2)

Konjungtivitis vernal didiagnosa banding dengan konjungtivitis atopik, Trakoma, superior limbic keratoconjunctivitis, Giant papillary conjunctivitis, dan keratokonus.9Konjungtivitis Atopik

Tanda dan gejalanya adalah sensasi terbakar, sekret mukoid, merah, dan fotofobia. Tepian palpebra eritematous, konjungtiva putih susu, terdapat papil halus (papil raksasa kurang nyata dibandingkan keratokonjungtivitis vernal) terutama di tarsal inferior.2

Keterangan : VKC : Vernal Keratoconjunctivitis; AKC : Atopic Keratoconjunctivitis

Tabel 2 : perbedaan keratokonjungtivitis vernal dan keratokontungtivitis atopik (dari pustaka No.9)Konjungtivitis viral kronik

Berupa keratokonjungtivitis molluscum contagiosum. Terlihat nodul moluskum yang dapat single atau multiple pada tepian atau kulit palpebra dan alis mata. Lesi khas dengan bentuk bulat, berombak, putih mutiara, noninflamatorik, dengan bagian pusat yang menekuk kedalam. Dapat menimbulkan konjungtivitis folikular kronik unilateral (terutama di tarsus superior), keratitis superior, dan panus superior, juga terlihat adanya sekret mukoid.2,7Trakoma

Merupakan penyakit kronik bilateral yang disebabkan oleh klamidia. Penyakit ini menyebar melalui kontak langsung atau benda pencemar, umumnya dari anggota keluarga yang lain.2Dimulai sebagai suatu konjungtivitis folikular kronik pada masa kanak-kanak, yang berkembang hingga terbentuknya parut konjungtiva (patognomonik-sumur Herbert, depresi kecil pada jaringan ikat dibatas limbus-kornea yang ditutupi epitel). Pada saat timbulnya, trakoma sering menyerupai konjungtivitis bakterial. Tanda dan gejala bisanya terdiri dari epifora, fotofobia, nyeri, eksudasi, edema palpebra, kemosis konjungtiva bulbaris, hiperemia, hipertrofi palpilar, folikel tarsal dan limbal (superior), keratitis superior, pembentukan pannus, nodus preaurikular kecil yang nyeri tekan.2

(a) (b)

Gambar 4 : jaringan parut konjungtiva (a) dan sumur Herbert (b) (diambil dari pustaka No.7)

Gambar 5 : Trikiasis dan keratopati (diambil dari pustaka No.7)

Superior Limbic Keratoconjunctivitis

Umumnya bilateral, terbatas pada tarsus superior dan limbus superior, dan berhubungan dengan fungsi abnormal kelenjar tiroid. Keluhan utama biasanya berupa iritasi dan hyperemia. Penyakit ini ditandai dengan hipertrofi papilar tarsus superior, kemerahan pada konjungtiva bulbaris superior, penebalan dan keratinisasi limbus superior, keratitis epithelial, filament cornea superior. Sel epitel berkeratin mengambil zat warna Bengal rose sehingga pada pulasan Bengal rose menampilkan warna kemerahan.2,7Giant papillary conjunctivitis

Tanda dan gejalanya mirip dengan konjungtivitis vernal, dan dapat dijumpai pada parien pengguna lensa kontak atau mata buatan dari pelastik.2Komplikasi

Komplikasi yang timbul dapat merupakan akibat dari perjalanan penyakitnya atau efek samping pengobatan yang diberikan. Bila proses penyakit meluas ke kornea dapat terjadi ulkus kornea superfisial yang pada akhirnya berakibat terbentuknya parut kornea, keratokonus, dan astigmatisme miopi sebagai akibat dari keratokonus. Selain itu, dapat juga terjadi komplikasi berupa blefaritis dan konjungtivitis stafilokokus.2,7

Penggunaan kortikosteroid jangka panjang sebagai pengobatan konjungtivitis vernal dapat menyebabkan terjadinya glaucoma, katarak, dan infeksi bakteri sekunder.2Penatalaksanaan

Karena keratokonjungtivitis vernalis merupakan penyakit yang sembuh dengan sendirinya (self limiting disease), perlu diingat bahwa medikasi yang dipakai untuk meredakan gejala dapat member perbaikan dalam waktu singkat, tetapi dapat memberi kerugian jangka panjang.2Tindakan umum :

Menghindari allergen : menghindari daerah berangin kencang, memindahkan pasien ke daerah beriklim dingin (climate-therapy), menggunakan kacamata berpenutup total, dll.2,10 Menghindari kegiatan menggosok mata.10 Kompres dingin : menurunkan vasodilatasi dan dapat memperbaikin gejala sementara.10 Air mata buatan (artificial tears) 2-4 kali sehari dapat membantu menghilangkan allergen serta berfungsi untuk lubrikasi mata.10 Penggunaan ruangan ber-AC dapat membuat pasien merasa nyaman.2Medikasi Topikal :

Kortikosteroid : mungkin dibutuhkan pada fase akut. Ketika gejala sudah membaik, sebaiknya secara perlahan diberhentikan dan terapi diganti dengan antihistamin dan penstabil sel mast. Penggunaan jangka panjang steroid dapat menimbulkan efek sampaing katarak, glaucoma, dan peningkatan resiko terjadinya infeksi, oleh karnanya perlu pemeriksaan berkala.10 Antihistamin : secara competitive mengikat reseptor histamine dan mengurangi rasa gatal dan vasodilatasi. Levocabastine Hydrocloride 0.05%, Azelastine Hydrocloride 0.05%, Emedastine difumarate 0.05 % merupakan beberapa jenis antihistamin yang sering dipakai untuk konjungtivitis alergi.11 Penstabil sel mast : bekerja dengan menghambat degradasi sel mast sehinggal menurunkan pengeluaran substansi inflamatorik. Sodium cromolyn 4%, lodoxamide tromethamine 0.1%, merupakan obat pilihan untuk terapi keratokonjungtivitis vernal.10 Obat Antiinflamasi Nonsteroid : Bekerja dengan menghambat aktivitas siklooksigenase, yang merupakan salah satu enzim yang berfungsi mengubah asam arachidonat menjadi prostaglandin. Ketorolac tromethamine 0.5% merupakan pilihan.11 Imunosupresan : Cyclosporine 2% efektif untuk kasus berat yang tidak responsive.2 Antibiotik broad spectrum topical dapat digunakan sebagai terapi profilaksis pada konjungtivitis yang menyertai kornea Mucolitic agent : Asetil sistein 10-20% dalam larutan saline dapat digunakan untuk menghilangkan sekresi mucus.10Medikasi sistemik :

Kortikosteroid sistemik : prednisolone dan deksametasone misalnya dapat digunakan untuk keratokonjungtivitis vernal pada kasus yang parah.11 Ketika gejala membaik, sebaiknya penggunaan dihentikan dan dilanjutkan dengan pemberian vasokonstriktor, kompres dingin, dan penggunaan tetes mata yang memblok histamine.2 Antihistamin sistemik : Acetyl salicylic acid 0.5-1.0 gram / hari dapat dipertimbangkan penggunaannya bila gejala masih terasa setelah penggunaan antialergi topical yang cukup.DAFTAR PUSTAKA1. Ilyas S. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2010 : 121-23.2. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum Edisi ke-17, Jakarta : EGC, 2009 : 97-114.

3. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum Edisi ke-17, Jakarta : EGC, 2009 : 5 6.4. Conjunctival pathology. Available at : http://one.aao.org/asset.axd?id=0f07bdf8-3b02-4468-ab72-10fedef22364 5. Italian Journal of Pediatric. Allergic Conjunctivitis : A comprehensive review of the literature, Updated : 2013, Available at : http://www.ijponline.net/content/pdf/1824-7288-39-18.pdf 6. Wijana, Nana. Ilmu penyakit mata, Konjungtiva : 46-597. Kanski JJ dan Bowling B. Clinical Ophthalmology A Systemic Approach. 7th edition. USA: Elsevier Saunders; 2011.8. Bonini, Stefano, dkk. Allergic conjunctivitis : Update on its pathophysiology and perspectives for future treatment, Updated : 2009, Available at : http://www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/9784431883166-c1.pdf?SGWID=0-0-45-725907-p173848471

9. Ventocilla, Mark. Allergic Conjunctivitis. Updated : sept, 17 2012. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview

10. Goodwin, Dennise; Ericson, Dina. Management of Ocular Allergies, Pacific university Oregon, Available at : http://www.pacificu.edu/optometry/ce/list/documents/ManagementofOcularAllergies.pdf

11. Optometric Clinical Practice Guideline, Care of the Patient with Conjungtivitis 2nd edition, American Optometric Association. 2010. Available at : http://www.aoa.org/documents/CPG-11.pdf Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara