52
REFERAT KELAINAN KONGENITAL GASTROINTESTINAL PADA ANAK PEMBIMBING : dr. Nataliandra M, Sp. Rad OLEH : Muhamad Dimas Rizaputra / UPN / 1420221167 Natasha Dianasari Devana / UPH / 07120100090 KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN RADIOLOGI

REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Embed Size (px)

DESCRIPTION

REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Citation preview

Page 1: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

REFERAT

KELAINAN KONGENITAL GASTROINTESTINAL PADA ANAK

PEMBIMBING :

dr. Nataliandra M, Sp. Rad

OLEH :

Muhamad Dimas Rizaputra / UPN / 1420221167

Natasha Dianasari Devana / UPH / 07120100090

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN RADIOLOGI

RSPAD GATOT SOEBROTO

PERIODE 19 OKTOBER – 6 NOVEMBER 2015

Page 2: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

DAFTAR ISI

Daftar Isi.....................................................................................2Bab I – Pendahuluan.................................................................3Bab II – Tinjauan Pustaka........................................................4Bab III – Penutup....................................................................34

Kesimpulan...........................................................................34Daftar Pustaka.........................................................................35

2

Page 3: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan kongenital anomali gastrointestinal merupakan kelainan defek morfologik saluran cerna yang dijumpai sejak bayi baru lahir, hal ini dapat menjadi masalah serius hingga emergensi tanpa adanya tatalaksana yang cepat dan tepat. Salah satu cara untuk menegakkan diagnosis kelainan kongenital dengan cepat dan tepat adalah dengan pemeriksaaan radiologis.

Kelainan kongenital merupakan salah satu penyebab kematian neonatus. Beberapa faktor yang juga memengaruhi angka kematian yang tinggi pada neonatus dengan kelainan kongenital anomali gastrointestinal di negara berkembang, seperti prematuritas, penyerta penyakit kongenital anomali lainnya, komplikasi operasi, dan fasilitas NICU yang kurang. Meskipun kelainan kongenital jarang terjadi , beberapa kelainan kongenital gastrointestinal yang sering ditemukan adalah atresia esofagus, penyakit hirschsprung, atresia duodenum, atresia jejunum, dan malformasi anorektal.

Untuk menentukan pemeriksaan radiologis yang dibutuhkan, diperlukan pengetahuan akan gejala yang menyertai kelainan tersebut beserta gambaran khas radiologis dari masing-masing kelainan. Pengetahuan akan perkiraan diagnosis yang tepat penting dimiliki agar pemeriksaan radiologi yang dilakukan sesuai dan pasien terhindar dari paparan radiasi yang tidak diperlukan.

3

Page 4: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Fisiologi Traktus Gastrointestinal

Gambar 1. Traktus Gastrointestinalis1

Susunan saluran pencernaan terdiri dari :

1. Mulut1

Mulut atau oris adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri atas 2 bagian yaitu :

a) Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang di antara gusi, gigi, bibir dan

pipi.

4

Page 5: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

b) Bagian rongga mulut bagian dalam, yaitu rongga mulut yang di batasi sisinya oleh

tulang maksilaris, palatum mandibularis, di sebelah belakang bersambung dengan

faring.

Selaput lendir mulut ditutupi epitelium yang berlapis-lapis, di bawahnya terletak kelenjar-

kelenjar halus yang mengeluarkan lendir. Selaput ini kaya akan pembuluh darah dan juga

memuat banyak ujung akhir saraf sensoris. Di sebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan

di sebelah dalam ditutupi oleh selaput lendir (mukosa). Otot orbikularis oris menutupi

bibir. Levator anguli oris mengangkat dan depresor anguli oris menekan ujung mulut.

Palatum, terdiri atas 2 bagian yaitu :

a) Palatum durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dan

sebelah depan tulang maksilaris dan lebih ke belakang terdiri dari 2 tulang

palatum.

b) Palatum yang dapat bergerak, terdiri mole (palatum lunak) terletak di belakang

yang merupakan lipatan menggantung atas jaringan fibrosa dan selaput lendir.

Gerakannya dikendalikan oleh ototnya sendiri, di sebelah kanan dan kiri dari tiang fauses

terdapat saluran lendir menembus ke tonsil.

2. Lidah1

Lidah terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir, kerja otot lidah ini

dapat digerakkan ke seluruh arah.

Lidah dibagi atas tiga bagian, radiks lingua (pangkal lidah), dorsum lingua (punggung

lidah), dan apeks lingua (ujung lidah). Pada pangkal lidah yang belakang terdapat epiglotis

yang berfungsi untuk menutup jalan nafas pada waktu kita menelan makanan, supaya

makanan jangan masuk ke jalan nafas. Punggung lidah (dorsum lingua) terdapat puting-

puting pengecap atau ujung saraf pengecap. Frenulum lingua merupakan selaput lendir

yang terdapat pada bagian bawah kira-kira di tengah, jika lidah digerakkan ke atas nampak

selaput lendir. Flika sublingua terdapat di sebelah kiri dan kanan frenulum lingua, di sini

terdapat pula lipatan selaput lendir. Pada pertengahan flika sublingua ini terdapat saluran

dari grandula parotis, submaksilaris, dan glandula sublingualis.

Fungsi lidah yaitu mengaduk makanan, membentuk suara, sebagai alat pengecap dan

menelan, serta merasakan makanan.

3. Faring1

5

Page 6: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan

(esofagus). Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar

limfe yang banyak mengandung limfosit merupakan pertahanan terhadap infeksi. Di sini

terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya di belakang rongga

mulut dan rongga hidung, di depan ruas tulang belakang, ke atas bagian depan

berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantara lubang bernama koana. Keadaan

tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus

fausium. Tekak terdiri dari bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara

tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga. Bagian media disebut

orofaring, bagian ini berbatas ke depan sampai di akar lidah, sedangkan bagian inferior

disebut laringofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring.

Menelan (deglutisio), jalan udara dan jalan makanan pada faring terjadi penyilangan. Jalan

udara masuk ke bagian depan terus ke leher bagian depan sedangkan jalan makanan masuk

ke belakang dari jalan napas dan di depan dari ruas tulang belakang. Makanan melewati

epiglotis lateral melaui ressus piriformis masuk ke esophagus tanpa membahayakan jalan

udara. Gerakan menelan mencegah masuknya makanan masuk ke jalan udara, pada waktu

yang sama jalan udara ditutup sementara.

4. Esophagus1

Esophagus merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung, panjangnya

± 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah lambung. Lapisan

dinding dari dalam keluar, lapisan selaput lendir (mukosa), lapisan submukosa, lapisan

otot melingkar sirkuler, dan lapisan otot memanjang longitudinal.

Esophagus terletak di belakang trakea dan di depan tulang punggung. Setelah melalui

thorak menembus diafragma masuk ke dalam abdomen menyambung dengan lambung.

5. Lambung1

Lambung atau gaster merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling

banyak terutama di daerah epigaster. Lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri

berhubungan dengan esophagus melalui orifisium pilorik, terletak di bawah diafragma di

depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah kiri fundus uteri.

Sekresi getah lambung mulai terjadi pada awal orang makan. Bila melihat makanan dan

mencium bau makanan maka sekresi lambung akan terangsang. Rasa makanan

merangsang sekresi lambung karena kerja saraf menimbulkan rangsang kimiawi yang

6

Page 7: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

menyebabkan dinding lambung melepaskan hormon yang disebut sekresi getah lambung.

Getah lambung di halangi oleh sistem saraf simpatis yang dapat terjadi pada waktu

gangguan emosi seperti marah dan rasa takut.

Fungsi lambung :

1. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh

peristaltik lambung dan getah lambung.

2. Getah cerna lambung yang dihasilkan :

a) Pepsin, fungsinya memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan

pepton).

b) Asam garam (HCL), fungsinya mengasamkan makanan, sebagai antiseptic dan

desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga menjaddi

pepsin.

c) Renin, fungsinya sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein

dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).

d) Lapisan lambung jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam lemak yang

merangsang sekresi getah lambung.

6. Pankreas1

Panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari deudenum sampai ke limpa. Bagian

dari pankreas : kaput pankreas, terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan di dalam

lekukan deudenum yang melingkarinya. Korpus pankreas, merupakan bagian utama dari

organ ini, letaknya dibelakang lambung dan di depan vertebra umbalis pertama. Ekor

pankreas, bagian runcing di sebelah kiri menyentuh limpa.

7. Usus halus1

Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang

berpangkal pada pylorus dan berakhir pada sekum panjangnya ± 6 m, merupakan saluran

paling panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil pencernaan yang terdiri dari

lapisan usus halus (lapisan mukosa (sebelah di dalam), lapisan otot melingkar

(M.sirkuler), lapisan otot memanjang (M. longitudinal), dan lapisan serosa (sebelah luar)).

Absorpsi makanan yang sudah dicerna seluruhnya berlangsung di dalam usus halus

melalui 2 saluran yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan seluruh limfe di sebelah dalam

permukaan vili usus. Sebuah vilus berisi lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan

7

Page 8: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan

ditutupi oleh epitelium. Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan

makanan cair dan lemak yang diabsorpsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui

pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena porta

dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan.

Fungsi usus halus :

a. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-

kapiler darah dan saluran-saluran limfe.

b. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.

c. Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida.

1. Duodenum

Duodenum disebut juga usus 12 jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda

melengkung ke kiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian kanan

duodenum ini terdapat selaput lendir, yang membukit disebut papilla vateri. Pada

papilla vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pankreas

(duktus pankreatikus).

Empedu dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui duktus koledokus

yang fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase. Pankreas juga

menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang menjadi disakarida, dan

tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi asam amino atau albumin dan

polipeptida.

Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar,

kelenjar ini disebut kelenjar-kelenjar Brunner, berfungsi untuk memproduksi getah

intestinum.

2. Jejunum dan ileum

Jejunum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 m. Dua perlima bagian atas adalah

jejunum dengan panjang ± 23 m, dan ileum dengan panjang 4-5 m. Lekukan jejunum

dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan

peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium.

Sambungan antara jejunum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas. Ujung

bawah ileum berhubungan dengan sekum dengan perantaraan lubang yang bernama

8

Page 9: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

orifisium ileosekalis. Orifisium ini diperkuat oleh sfingter ileosekalis dan pada bagian

ini terdapat katup valvula sekalis valvula baukhini yang berfungsi untuk mencegah

cairan dalam kolon asenden tidak masuk kembali ke ileum.

8. Usus besar1

Usus besar atau intestinum mayor panjangnya ± 1 ½ m, lebarnya 5-6 cm. Lapisan-lapisan

usus besar dari dalam keluar : selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot

memanjang, jaringan ikat. Fungsi usus besar adalah menyerap air dari makanan, tempat

tinggal bakteri.

1. Apendiks (usus buntu)

Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung sekum, mempunyai

pintu keluar yang sempit tetapi masih memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi

usus. Apendiks tergantung menyilang pada linea terminalis masuk ke dalam rongga

pelvis minor, terletak horizontal dibelakang sekum. Sebagai suatu organ pertahanan

terhadap infeksi kadang apendiks bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa

menimbulkan perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen.

2. Sekum

Dibawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti cacing

sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh

peritoneum mudah bergerak walaupun tidak mempunyai mesenterium dan dapat

diraba melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup.

3. Kolon asendens

Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan, membujur ke atas dari

ileum ke bawah hati. Di bawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut

fleksura hepatika, dilanjutkan sebagai kolon transversum.

4. Kolon transversum

Panjangnya ± 38 cm, membujur dari kolon desenden, berada dibawah abdomen,

sebelah kanan terdapat fleksura hepatika dan sebelah kiri terdapat fleksura lienalis.

5. Kolon desendens

9

Page 10: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Panjangnya ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membujur dari atas ke

bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri, bersambung dengan kolon

sigmoid.

6. Kolon sigmoid

Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak miring dalam

rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya

berhubungan dengan rektum.

7. Rektum

Rektum terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor

dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sacrum dan os koksigis. Organ

ini berfungsi untuk tempat penyimpanan feses sementara.

8. Anus

Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum dengan

dunia luar (udara luar). Terletak didasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh sfingter :

a. Sfingter ani interus (sebelah atas), bekerja tidak menurut kehendak.

b. Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak.

c. Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut kehendak.

Defekasi (buang air besar) didahului oleh transport. Feses ke dalam rektum yang

mengakibatkan ketegangan dinding rektum mengakibatkan rangsangan untuk reflex

defekasi sedangkan otot usus lainnya berkontraksi. M. Levator ani relaksasi secara

volunter dan tekanan ditimbulkan oleh otot-otot abdomen.

II.2 Pembagian traktus gastrointestinal

Traktus gastrointestinal atau saluran cerna terbagi menjadi 2 bagian, yaitu saluran cerna

bagian atas dan bagian bawah. Saluran cerna ini dipisahkan oleh ligamentum treitz yang

merupakan bagian duodenum pars ascending yang berbatasan dengan jejunum. Pembagian

ini didasarkan atas letak organ terhadap ligamentum Treitz.1

Saluran cerna bagian atas terdiri dari :1

1. Cavum Oris

2. Faring : Orofaring, Laringofaring

3. Esophagus

10

Page 11: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

4. Gaster

5. Duodenum

Saluran cerna bagian bawah terdiri dari :1

1. Jejunum

2. Ileum

3. Caecum

4. Appendix vermiformis

5. Colon ascendens

6. Colon transversum

7. Colon descendens

8. Colon sigmoid

9. Rectum

10. Canalis analis (anus)

II.3 Definisi Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat

disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Kadang-kadang suatu kelainan

kongenital belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat

setelah kelahiran bayi.2,4

II.4 Etiologi

Beberapa etiologi yang menyebabkan kelainan kongenital adalah faktor genetik,

Gangguan nutrisi dan gizi pada waktu kehamilan, infeksi pada kehamilan terutama

trimester pertama, pengaruh obat-obatan teratogenik dengan toksisitas tinggi, radiasi dan

riwayat trauma dalam kehamilan.2,4

II.5 Epidemiologi

Sekitar 3% bayi baru lahir menderita kelainan kongenital dan 10% neonatus di Jepang

meninggal disebabkan oleh kelainan kongenital anomali pada gastrointestinal yang

dilakukan operasi. Pada sebuah penelitian, didapatkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak

(74,7%) menderita kelainan kongenital daripada perempuan. Kelainan pada bayi baru

lahir dapat berupa satu jenis kelainan atau beberapa kelainan kongenital secara bersamaan.

Jenis kelainan kongenital anomali gastrointestinal pada neonatus yang paling sering

didapat adalah malformasi anorektal (45,6%), penyakit Hirschsprung (29,1%), atresia

11

Page 12: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

esofagus (2,5%), atresia jejunum (2,5%), volvulus (2,5%) serta atresia duodenum

(1,3%).2,3

II.6 Klasifikasi

Kelainan saluran cerna pada neonatus mudah dibedakan dari gejalanya. Gejala ini dapat

membantu membedakan letak anomali pada saluran cerna sehingga kemudian dibuat

klasifikasinya yaitu :

1. Kelainan saluran cerna bagian proksimal

2. Kelainan saluran cerna bagian distal

Kelainan ini dikelompokan sesuai dengan letak anatomi dari organ saluran cerna tersebut.

Pada pasien dengan kelainan saluran cerna bagian proksimal akan terjadi muntah, sementara

pada kelainan saluran cerna bagian distal akan lebih sering terjadi kembung menyeluruh,

distensi abdomen dan penampakan kontur usus.

II.6.1 Kelainan Saluran Cerna Bagian Proksimal

1. Atresia Esophagus

Bayi baru lahir dengan ibu polihidramnion seharusnya memperlihatkan selang nasogastris

yang dapat lewat segera setelah kelahiran untuk menyingkirkan atresia esofagus. Bayi dengan

Atresia Esophagus tidak mampu menelan saliva dan ditandai dengan saliva yang banyak, dan

memerlukan suction berulang. Pada fase ini tentu sebelum makan  untuk pertama kali, kateter

bore yang kaku harus dapat melewati mulut hingga esofagus. Pada Atresia Esophagus, kateter

tidak bisa lewat melebihi 9-10 cm dari alveolar paling bawah. Rongent dada dan abdomen

memperlihatkan ujung kateter tertahan di mediastinum superior (T2-4), sementara gas pada

perut & usus menunjukkan adanya fistula trakheoesofagus distal. Tidak adanya gas gastro

intestinal menunjukkan atresia esophagus yang terisolasi.5,6

Gambaran Radiologis Atresia Esophagus

Pemeriksaan radiologi digunakan sebagai screening non-invasif untuk mendiagnosis penyakit

motilitasi esophagus. Biasanya pasien dengan disfagi memiliki beberapa pemeriksaan

konvensional, seperti pemeriksaan barium atau endoskopi.

12

Page 13: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Pada pelaksanaannya, bolus cairan atau makanan berjalan sepanjang esophagus oleh karena

tekanan peristaltik dan gravitasi. Proses ini dikenal sebagai esophagus transit yang berbeda

dengan esophagus clearance yang merupakan suatu proses pengosongan esophagus dari

refluks bahan-bahan makanan yang berasal dari usus.5,6

Terdapat beberapa pemeriksaan radiologi yang dapat menunjang diagnosis atresia

esophagus.5,6

1. Foto Thoraks

Gambaran penebalan pada dinding posterior trakea merupakan suatu petunjuk adanya

kelainan pada esophagus. Dimana jika didapatkan penebalan difus pada mediastium dengan

air fluid level dapat disuspek dengan akalasia. Untuk massa pada esophagus cukup jarang

dideteksi dengan kunci untuk mengevaluasi motilitas, refluks, dan aspirasi.

Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah foto thoraks termasuk abdomen atas dengan

memasukkan sonde lambung kedalam esofagus, kalau perlu kateter diisi kontras non-ionik.

Diagnosis atresia esophagus dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto pada posisi

postreroanterior (PA) dan lateral. Dimana akan didapatkan gamabaran gulungan nasogastrik

tube pada bagian proksimal kantung esofagus. Selain itu, lokasi arkus aorta juga dapat

terlihat. Pneumonia aspirasi (khususnya pada bagian lobus kanan atas) dan atelektasis juga

sering didapatkan.

Selain itu, gangguan motilitas akan ditemukan pada anak dengan atresia esophagus dan dapat

dilihat video fluoroskopi. Pada gangguan motilitas esophagus gambaran yang didapatkan

adalah penyempitan esophagus, transit esophagus yang melambat, dan disorganisasi transit

esophagus.

13

Page 14: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Berikut gambaran foto thorak yang didapatkan sesuai dengan tipe atresia esofagus yang

ada:5,6

Atresia esophagus tanpa fistula trakeoesofagus.

Gambar 2. Atresia Esophagus Tanpa Fistula6

Dilatasi dari kantong proksimal esophagus yang berisi udara, akan menyebabkan trakea maju

ke bagian depan. Tidak nampak udara dalam rongga abdomen dimana dalam keadan normal

udara akan memasuki saluran pencernaan dalam 15 menit setelah kelahiran. Kantung

esophagus bagian bawah dapat dilihat dengan menggunakan barium atau pemasukan dengan

gastrostonomi.

14

Page 15: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Atresia esophagus dengan fistula trakeoesophagus distal.

Gambar 3. Atresia Esophagus dengan Fistula Trakeoesofagus Distal6

Distensi gas pada bagian perut dan usus halus disebabkan udara melewati fistula

kemungkinan akan ditemukan. Foto akan memperlihatkan gambaran udara yang sedikit jika

fistula oklusi. Sejumlah udara akan terlihat pada esophagus, meskipun biasanya udara dalam

esophagus pada neonatus dan anak-anak normal.

Atresia esophagus dengan fistula proksimal.

Pada gambaran radiografi, tanda-tandanya sama dengan yang didapatkan pada atresia

esophagus tanpa fistula. Kelainan ini jarang ditemukan. Pemeriksaan dengan menggunakan

barium mungkin akan mengalami kegagalan dalam pemeriksaan ini. Gambaran fistula

membutuhkan pemeriksaan videofluoroskopi selama pengisian pada kantung proksimal.

15

Page 16: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Fistula trakeoesophagus tanpa atresia (H Type fistula).

Gambar 4. Fistula trakeosephagus tanpa atresia (H Type Fistula)6

Pneumonia rekuren mungkin akan terlihat, dengan bentuk pneumonia secara umum.

Penggambaran fistula sulit dilakukan. Sejumlah udara akan terlihat pada esophagus.

Pemeriksaan dengan kontras merupakan pemeriksaan pilihan untuk diagnosis. Kontrak non-

ionik merupakan pilihan kontras; dilusi barium dapat digunakan sebagai kontras alternatif.

Jika pasien diintubasi atau dengan foto kontas menunjukkan trakea tanpa gambaran fistula,

maka esofagram sebaiknya dilakukan.

2. Ultrasonografi (USG)

USG merupakan pemeriksaan yang tidak rutin dilakukan untuk diagnosis atresia esofagus

setelah kelahiran, akan tetapi dapat digunakan sebelum kelahiran. Pada pemeriksaan ini tidak

ditemukan adanya gelembung udara (stomach bubble) pada perut fetus atau sedikit

gelembung yang dikombinasikan dengan polihidramnion pada ibu yang mengarah ke

diagnosis atresia esofagos.

16

Page 17: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Gambar 5. Hasil USG :tidak terdapatnya gambaran stomach bubble / gelembung gas pada

atresia esofagus.6

Diagnosa akurat meningkat jika terdapat area anechoik pada bagian tengah leher fetus, tanda

ini membedakan atresia esofagus dengan penyakit-penyakit gangguan menelan. Terdapatnya

dilatasi kantung esofagus yang buntu pada pemeriksaan ini dapat merujuk ke atresia

esofagus.

Tanda kantung ini telah didapatkan secara langsung pada usia 26 minggu masa gestasi, tetapi

onsetnya diperkirakan paling cepat 22 minggu. Kemungkinan hubungan antara peningkatan

tranlusens nuchal didapatkan pada trimester pertama dan atresia esofagus telah ditemukan.

3. Computed Tomography (CT)

Pemeriksaan CT-scan jarang dilakukan untuk mendiagnosa atresia esofagus. Pemeriksaan ini

merupakan periksaan 3 dimensi esofagus dalam hubungannya dengan struktur yang

berdekatan. Biasanya pemeriksaan ini digunakan pada pasien yang lebih dewasa.

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Seperti pemeriksaan USG, MRI tidak disarankan untuk diagnosa atresia esofagus pada bayi

setelah kelahiran. Meskipun begitu, MRI memberikan gambar esofagus dan sekitarnya pada

posisi sagital dan karonal, dan resolusi kontrasnya lebih baik dibandingkan CT-scan.

MRI sangat jarang digunakan untuk menjelaskan lokasi arkus aorta, tetapi sering digunakan

untuk diagnosa malformasi congenital.

17

Page 18: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Tidak seperti USG, pemeriksaan MRI pada prenatal memberikan gambar lesi sekitar esofagus

dan hubungan dan hubungan anatomi. MRI pada fetus memberikan bukti akurat untuk

diagnosis atresia esofagus pada anak dengan resiko tinggi berdasarkan penemuan USG. Akan

tetapi, pemeriksaan MRI sulit untuk dilakukan pada kasus polihidramnion karena kualitas

gambar jelek.

2. Akalasia Esophagus

Akalasia esophagus, atau dikenal juga dengan nama simple ectasia, kardiospasme,

megaesofagus, Dilatasi esophagus difus tanpa stenosis atau dilatasi esofagus idiopatik adalah

suatu gangguan neuromuskular. Istilah akalasia berarti gagal untuk mengendur dan merujuk

pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian

bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung.

Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi

bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik.

Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang ditemukan pada bayi

dan sangat jarang pada usia lanjut. Keluhan utama penderita adalah disfagia. Disfagia dapat

terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat

berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada

makanan padat. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering

regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan

pneumonia aspirasi dan abses paru.Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada

stadium permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium

dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris. Penurunan berat badan terjadi

karena penderita berusaha mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan

perasaan nyeri di daerah substernal. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa

penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan.5,7

Gambaran Radiologis Akalasia Esophagus

1. Foto Thoraks

Foto polos memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah dalam menegakkan diagnosis

akhalasia. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan gambaran kontur ganda di atas mediastinum

bagian kanan. Mediastinum nampak melebar dan adanya gambaran batas cairan udara (air

fluid level) Pada pasien stadium lanjut sering ditemukan retrocardia.5,7

18

Page 19: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

2. Esofagografi

Pemeriksaan radiologik dengan kontras menggambarkan adanya penyempitan dan stenosis

pada kardia esophagus dengan dilatasi esophagus pada bagian proksimalnya. Pemeriksaan

esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua

pertiga distal esophagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran

penyempitan di bagian distal esophagus atau esophagogastric junction yang menyerupai

seperti bird-beak like appearance.

Gambar 6. Bird’s beak deformity dan dilatasi esophagus7

Pada akalasia berat akan terlihat dilatasi esophagus, sering berkelok-kelok dan memanjang

dengan ujung distal yang meruncing disertai permukaan yang halus memberikan gambaran

paruh burung (bird’s beak appearrance). Bagian esophagus yang berdilatasi tampak

hipertropi dengan dinding yang menipis dan pada stadium lanjut menunjukkan tanda

elongasi.5,7

19

Page 20: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Gambar 7. Foto lateral menunjukkan dilatasi esophagus7

3. Fluoroskopi

Pada pemeriksaan dengan fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi korpus esofagus.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah skintigrafi dengan memberikan makanan yang

mengandung radioisotop dan akan memperlihatkan dilatasi esophagus tanpa kontraksi. Di

samping itu, terdapat pemanjangan waktu pemindahan makanan ke dalam lambung akibat

gangguan pengosongan esophagus.7

4. Endoskopi

Esophagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua pasien akalasia oleh

karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya esophagitis retensi dan derajat

keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda

keganasan. Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esophagus dengan bagian distal

yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal dari daerah

penyempitan, Mukosa esophagus berwarna pucat, edema dan kadang-kadang terdapat tanda-

tanda esophagitis akibat retensi makanan. Sfingter esophagus bawah akan terbuka dengan

20

Page 21: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan esophagoskop dapat masuk ke lambung

dengan mudah.7

3. Stenosis Pilorus Hipertrofik

Stenosis pilorus timbul karena hipertrofi dari otot-otot outlet gaster. Penyakit ini merupakan

salah satu kelainan gastrointestinal yang paling sering pada 3 bulan pertama kelahiran.

Insidennya bervariasi berkisar antara 3:1000 sampai 1:500 kelahiran hidup.  Lebih sering

pada kelahiran pertama bayi laki-laki daripada perempuan (4:1).  Stenosis pilorus muncul

antara 3-5 minggu setelah lahir dengan riwayat muntah nonbilier yang progresif yang mana

dapat menjadi proyektil. Sering disertai konstipasi dan perabaan massa di daerah epigastrium.

Ikterus timbul sebagai akibat dari defisiensi glucoronyl transferase yang disebabkan oleh

starvasi.5,8

Gambaran Radiologis Stenosis Pilorus

1. Ultrasonografi Abdomen untuk melihat target sign atau doughnut sign pada kasus

stenosis pilorik hipertrofik dan intususepsi  untuk menilai hati, saluran empedu, ginjal,

dan kandung kemih.8

Gambar 8. USG Stenosis pilorus8

2. Foto polos abdomen, tampak gambaran dilatasi lambung dengan kontraksi multipel.

Nampak tanda double track sign/railroad track – 2 lapisan barium yang mengalami

kompresi diantara mukosa pilorus yang mengalami penebalan dan shoulder sign -

21

Page 22: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

kumpulan barium di bagian prepiloric antrum yang berdilatasi. String sign juga sering

terlihat, yaitu tanda dimana barium melewati lumen sempit akibat stenosis pilorus.5,8

Gambar 9. Double track sign8

Gambar 10. String sign8

3. Endoskopi bila dicurigai esophagitis.8

22

Page 23: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

4. Prolaps Mukosa Gaster

Prolaps Mukosa Gaster sering disebabkan oleh hiperplasia mukosa lambung dan

hipermotilitas lambung. Akibat adanya penebalan dan peningkatan aktivitas lambung, terjadi

pula peningkatan tekanan lambung yang menyebabkan mukosa terdorong kedalam pilorus.5,9

Gambaran Radiologis Prolaps Mukosa Gaster

Dalam penggunaan kontras barium terdapat kelainan pengisian (filling defect) pada dasar

bulbus duodeni yang menyerupai jamur, payung atau bunga kol. Kelainan tersebut dapat

terlihat pada posisi berbaring (supine) maupun berdiri (erect)5,9

Gambar 11. prolaps mukosa gaster ke duodenum 9

5. Atresia Duodenum

Atresia dan stenosis duodenum adalah diskontinuitas atau penyempitan lumen duodenum

kongenital. Kelainan ini merupakan penyebab paling sering obsrtuksi duodenum pada bayi.

Insidensi kelainan ini adalah 1 : 5000 kelahiran hidup. Sindrom down sering dikaitkan

dengan penyakit tersebut, dan terjadi pada 20%-30% penderita atresia duodenum. Atresia

duodenum disebabkan oleh kegagalan rekanalisasi dari lumen duodenum pada trimester

pertama kehamilan. Kegagalan dari rekanalisasi ini menyebabkan berbagai macam bentuk

23

Page 24: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

dari obstruksi duodenum antara lain atresia, stenosis, dan pembentukan jaring – jaring pada

mukosa duodenum.5,10

Gambaran Radiologis Atresia Duodenum

Double bubble sign merupakan sign yang sering ditemukan pada radiografi anak - anak atau

neonatus. Dapat dilihat pada berbagai modalitas pencitraan seperti USG atau foto polos

abdomen. Gambarannya berupa dua struktur berisi udara pada abdomen atas, dengan atau

tanpa udara di bagian distalnya. Bubble yang terletak di sebelah proksimal kiri adalah

lambung yang terisi udara dan cairan. Bubble ke-dua yang terletak di sebelah kanan garis

tengah adalah duodenum proksimal. 

Gambar 12. Tanda Double Bubble pada abdomen10

Atresia duodenum merupakan suatu obstruksi komplit sehingga memberikan gambaran

double bubble tanpa udara di bagian distal. Sedangkan obstruksi parsial pada duodenum

seperti duodenal web atau stenosis duodenum, memberikan gambaran double bubble dengan

udara di bagian distal. Pemeriksaan dengan kontras per oral pada duodenal web terlihat

gambaran windsock appearance.5,10

24

Page 25: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Gambar 13. Windsock Appearance pada duodenal web10

6. Atresia Jejunum

Jenis kelainan kongenital ini merupakan salah satu obstruksi usus yang sering dijumpai pada

bayi baru lahir dan hampir selalu bersamaan dengan atresia ileum. Angka kejadian berkisar 1

per 1.500-2.000 kelahiran hidup. Patofisiologi atresia usus halus diduga terjadi sejak

kehidupan intrauterine sebagai volvulus, kelainan vaskular mesenterika, dan intususepsi

intrauterine. Sisa kejadian inilah yang kemudian menyebabkan nekrosis usus halus yang

masih steril menjadi atresia atau stenosis.5,11

Gambaran Radiologis Atresia Jejunum

Pada foto polos abdomen posisi tegak tampak beberapa gelembung udara dalam usus di

kuadran kiri atas dikenal dengan triple bubble sign.5,11

25

Page 26: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Gambar 14. Triple Bubble Sign pada atresia jejunum11

II.6.2 Kelainan Saluran Cerna Bagian Distal

1. Atresia Ileum

Atresia ileum adalah penyebab utama dari obstruksi intestinal pada neonatus, kedua

terbanyak setelah malformasi anorektal. Patofosiologi atresia ani diduga terjadinya

kondisi iskemik sampai dengan nekrosis pada pembuluh darah usus yang berakibat

terjadinya proses reasorbsi dari bagian usus yang mengalami kondisi nekrosis. Gejala

klinis berupa muntah hijau, distensi abdomen dan tidak keluarnya mekoneum dalam 24

jam pertama setelah lahir.12

26

Page 27: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Gambaran Radiologis Atresia Ileum

menunjukkan adanya pelebaran usus-usus halus, pada posisi tegak tampak gambaran air

fluid level menunjukkan telah terjadi obstruksi usus pada bayi. 5

Gambar 15. Multiple air fluid level pada atresia ileum 13

2. Penyakit Hirschprung

Penyakit Hirschprung adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus auerbach

dan pleksus meisneri pada kolon.14 Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000

kelahiran. Penyakit hirschprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan dengan

berat lahir lebih dari 3 kg yang terlambat mengeluarkan tinja.14 Trias klasik gambaran

klinis pada neonatus adalah pengeluaran mekonium yang terlambat yaitu lebih dari 24

jam pertama, muntah hijau dan perut membuncit keseluruhan.5

Etiologi

a) Ketiadaan sel-sel ganglion

Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus

myenteric (auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk

Hirschprung’s disease. Beberapa teori mengatakan hal ini disebabkan oleh karena

kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal dari esofagus ke anus

pada minggu ke 5 sampai 12 kehamilan. Faktor – faktor yang dapat mengganggu

27

Page 28: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

migrasi, proliferasi, differensiasi dan kolonisasi dari sel – sel ini mungkin terletak

pada genetik, imunologis, vaskular dan mekanisme lainnya.14

b) Mutasi pada RET Proto-oncogene

Mutasi pada RET proto-oncogene yang berlokai pada kromosom 10q11, telah

ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschprung’s disease segmen panjang dan

familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangna sinyal pada tingkat molekular

yang diperlukan dalam pertumbuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. 14

Tipe Penyakit Hirschprung

Ultra short segment: ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari

rektum.

Short segment: ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian kecil dari kolon.

Long segment: ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian besar kolon.

Very long segment: ganglion tidak ada pada seluruh kolon dan rektum dan kadang

sebagian usus kecil.

Gambaran Radiologis penyakit hirschprung

1. Foto polos abdomen, dapat memperlihatkan dilatasi usus, gambaran udara

intraluminar, tidak ada udara di daerah rektum dan massa. 5

Gambar 16. Dilatasi usus, tanpa udara di rektum pada penyakit hirschprung.5

2. Pemeriksaan enema barium memperlihatkan penyempitan segmen kolon yang

aganglionik, biasanya di daerah rektosigmoid dan proksimal daerah patologis

28

Page 29: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

terdapat pelebaran usus. Tampak daerah transisi antara kolon proksimal yang

melebar dan kolon distal yang sempit, daerah transisi ini dapat berbentuk corong

atau bentuk terowongan. 14

Gambar 17. Gambaran radiologis penyakit Hirschprung. Tampak rektum yang

mengalami penyempitanm dilatasi sigmoid dan daerah transisi. 14

3. Atresia Ani

Atresia ani adalah kelainan malformasi kongenital dimana tidak adanya anus atau tidak

lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara

29

Page 30: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

abnormal. Secara klinis pada bayi ditemukan tidak adanya mekonium yang keluar atau

tidak tampak adanya lubang anus.15

Klasifikasi Atresia Ani:

1. Tinggi (supralevator) Rektum berakhir di atas muskulus Levator ani dengan

jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm.

2. Intermediet rektum terletak pada muskulus Levator ani tapi tidak

menembusnya.

3. Rendah (translevator) rektum berakhir di bawah muskulus Levator ani

sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.

Gambaran radiologis Atresia Ani:

Pemeriksaan dilakukan dengan bayi tengkurap dengan posisi lutut-dada dan proyeksi

sinar horizontal, dilihat udara yang paling distal.5

Gambar 18. Atresia Ani letak tinggi16

Gambar 19. Tidak

tampak udara di daerah

pelvis pada atresia ani17

30

Page 31: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

4. Intususepsi (Invaginasi)

Intususepsi adalah masuknya segmen usus proksimal ke rongga lumen usus yang lebih

distal sehingga menimbulkan gejala obstruksi berlanjut strangulasi usus. Paling sering

masuknya ileum terminal ke kolon.12

Intususepsi merupakan penyebab obstruksi usus yang paling sering pada anak usia kurang

dari 2 tahun. Menurut jenisnya invaginasi dapat berupa:12

1. Enteric: disebut invaginasi type ileoileal. Usus halus bagian proksimal masuk

ke usus halus bagian distal.

2. Colic: disebut invaginasi type colocolica. Kolon proksimal masuk ke bagian

distal kolon.

3. Enterocolic: usus halus masuk ke bagian kolon, jenis ini dapat berupa:

a. Ileocaecal: puncaknya ileocaecal valve.

b. Ileocolical: ileum masuk kolon melalui ileo caecal valve.

c. Ileo-ileocaecal: ileum masuk ileum kemudiam masuk lagi sebagai

ileocaecal.

Gejala klinik berupa sakit perut bagian atas, defekasi darah dan lendir (red current jelly)

dan muntah berwarna hijau.

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis dengan barium enema dan atau USG sangat membantu dalam

menegakkan diagnosis invaginasi. Foto abdomen 3 posisi biasanya normal, kadang

didapatkan gambaran dilatasi ringan bagian proksimal usus atau tidak tampak gambaran

udara pada abdomen bawah.

Foto Polos Abdomen

Gambaran foto polos sebagai berikut:

1. Tanda-tanda obstruksi mekanik usus halus bagian distal, kadang – kadang tampak

sebagai bayangan menyerupai sosis dibagian tengah abdomen. Multipel air fluid

level dan tidak ada bayangan udara pada bagian distal usus.

2. Bayangan masa tubular pada abdomen yang merupakan bayangan dari usus yang

masuk ke lumen usus yang lain.

31

Page 32: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Gambar 20. Foto polos abdomen; A. Tampak bayangan massa (tanda panah) merupakan

bagian usus yang masuk ke dalam lumen usus proksimal. B. Gambaran seperti sosis

dibagian tengah abdomen18

Barium enema (colon in loop)

Pada barium enema akan tampak gambaran cupping, coiled spring appearance

32

Page 33: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Gambar 21. Gambaran radiologi coiled spring appearance pada intususepsi.18

Pemeriksaan USG

Pada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus berbentuk ‘target’ atau ‘donat’

yang terdiri dari dua cincin echogenisitas rendah yang dipisahkan oleh cincin hiperekoik,

tidak ada gerakan pada donat tersebut dan ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm.. Pada tampilan

logitudinal tampak pseudokidney sign yang timbul sebagai tumpukan lapisan hipoekoik

dan hiperekoik.

Gambar 22. Gambaran Doughnat sign.19

Penatalaksanaan Non-Operatif Intususepsi

Pada intususepsi atau invaginasi dapat dilakukan penatalaksanaan non-operatif dengan hasil

yang memuaskan. Prosedur non-operatif tersebut berupa Reduksi Dengan Barium Enema.20,21

Barium enema dapat diberikan bila tidak dijumpai kontra indikasi seperti :

Adanya tanda obstruksi usus yang jelas baik secara klinis maupun pada foto

abdomen

Dijumpai tanda – tanda peritonitis

Gejala invaginasi sudah lewat dari 24 jam

Dijumpai tanda – tanda dehidrasi berat.

Usia penderita diatas 2 tahun

Hasil reduksi ini akan memuaskan jika dalam keadaan tenang tidak menangis atau gelisah

karena kesakitan oleh karena itu pemberian sedatif sangat membantu.

33

Page 34: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Dalam pelaksanaannya, kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke rektum dan difiksasi

dengan plester, melalui kateter larutan barium dialirkan dan dideteksi dengan alat fluoroskopi

sampai bagian intussusepsi dapat diidentifikasi dan dibuat foto. Intususepsi sering dijumpai

pada kolon transversum dan bagian proksimal kolon descendens.

Pelaksanaannya memperhatikan “Rule of three” yang terdiri atas:

1. reduksi hidrostatik dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien

2. tidak boleh lebih dari 3 kali percobaan

3. tiap percobaan masing-masing tidak boleh lebih dari 3 menit.

Bila kolom larutan barium bergerak maju menandai proses reduksi sedang berlanjut, tetapi

bila kolom larutan barium berhenti dapat diulangi 2 – 3 kali dengan jarak waktu 3 – 5 menit.

Reduksi dinyatakan gagal bila tekanan barium dipertahankan selama 10 – 15 menit tetapi

tidak dijumpai kemajuan. Antara percobaan reduksi pertama, kedua dan ketiga, larutan

barium dievakuasi terlebih dahulu.

Reduksi barium enema dinyatakan berhasil apabila :

Rectal tube ditarik dari anus maka larutan barium keluar dengan disertai massa feses

dan udara.

Pada fluoroskopi terlihat larutan barium mengisi seluruh kolon dan sebagian usus

halus, sehingga terjadi refluks ke dalam ileum.

Hilangnya massa tumor di abdomen.

Perbaikan secara klinis pada anak dan terlihat anak menjadi tertidur serta norit test

positif.

Gambar 23. Reduksi barium enema pada intususepsi menunjukkan lokasi intususepsi21

34

Page 35: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

Penderita perlu dirawat inap selama 2 – 3 hari karena sering dijumpai kekambuhan selama 36

jam pertama. Keberhasilan tindakan ini tergantung kepada beberapa hal antara lain, waktu

sejak timbulnya gejala pertama, penyebab invaginasi, jenis invaginasi dan teknis

pelaksanaannya.

Teknik non pembedahan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan reduksi

secara operatif. Diantaranya yaitu : penurunan angka morbiditas, biaya, dan waktu perawatan

di rumah sakit.

II.7 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan kelainan kongenital pada traktus gastrointestinal adalah penegakkan

diagnosis yang cepat dan tepat. Meskipun tidak setiap kelainan kongenital memerlukan

tindakan pembedahan namun mayoritas memerlukan pembedahan terencana segera setelah

ditegakkan diagnosis. Tanpa tindakan pembedahan atau penatalaksanaan non operatif yang

tepat maka gejala yang diakibatkan oleh kelainan tersebut dapat bertambah buruk dan

menyebabkan kematian.

II.8 Prognosis

Prognosis pada pasien dengan kelainan kongenital traktus gastrointestinal bervariasi,

tegantung dari berat ringannya kelainan yang didapat. Kondisi pasien, lingkungan serta

penatalaksanaan dapat pula mempengaruhi prognosis.

35

Page 36: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

BAB III

KESIMPULAN

Kelainan kongenital merupakan kelainan yang ditemukan sejak lahir, dapat terjadi karena

keturunan maupun gangguan pada waktu kehamilan. Salah satu kelainan kongenital yang

sering terjadi adalah kelainan kongenital pada sistem gastrointestinal. Beberapa penyakit

paling sering didapat adalah malformasi anorektal (45,6%), penyakit Hirschsprung (29,1%),

atresia esofagus (2,5%), atresia jejunum (2,5%), volvulus (2,5%) serta atresia duodenum

(1,3%).

Kelainan kongenital membutuhkan penegakkan diagnosis yang cepat dan permeriksaan

radiologi berperan sebagai modalitas utama. Setiap tenaga medis terutama dokter

memerlukan pengetahuan mengenai modalitas utama yang dibutuhkan dalam menegakkan

diagnosis kelainan kongenital. Penatalaksanaan bagi kasus-kasus kelainan kongenital

mayoritas berupa pembedahan, dimana komplikasi terberat dari kelainan kongenital tersebut

adalah kematian.

36

Page 37: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

DAFTAR PUSTAKA

1. Paulsen F. & J. Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi

Umum. 2013;6:256.

2. Thaib T, Darussalam D. Hubungan Kelainan Kongenital Anomali

Gastrointestinal Pada Neonatus dan Kematian. Sari Pediatri

2013;14(6):341-4.

3. Berrocal T, Torres I, Gutierrez J, et al: Congenital anomalies of the upper

gastrointestinal tract. Radiographics. 1999;19:855-72.

4. Swischuk, L.: Imaging of the Newborn, Infant and Young Child . Blickman,

H. The Requisites: Pediatric Radiology, 2nd ed, 1998

5. Rasad, Sjahriar: Radiologi Diagnostik. Divisi Radiodiagnostik Departemen

Radiologi FKUI. 2nd ed. P. 404-417. 2005.

6. Spitz,L .Oesophageal atresia. Orphanet Journal of Rare Diseases.

Department of Paediatric Surgery, Institute of Child Health, University

College, London, UK. 2007, 2:24

7. Patel DA, Kim HP, Zifodya JS, Vaezi MF. Idiopathic (primary) achalasia: a

review. Orphanet J Rare Dis. 2015 Jul 22. 10:89.

8. Pandya S, Heiss K. Pyloric stenosis in pediatric surgery: an evidence-based

review. Surg Clin North Am. 2012. 92(3):527-39, vii-viii.

9. Markowitz RI. Live without a cause: the story of infantile hypertrophic

pyloric stenosis. Pediatr Radiol. 2014 Feb. 44(2):202-11.

37

Page 38: REFERAT Kelainan Kongenital GIT

10.Jeffrey Traubici, MD: The Double Bubble Sign. Radiology, P. 220:463-464.

2001;

11. Rad S. Jejunal atresia in neonates.Radrounds : 2009.

12. Kliegman, Behrman. Nelson Text Book of Pediatric-18th Ed. USA :

Saunders El sevier. 2007. p 1311-1334

13. Berrocal T, Lamas M, Gutieerrez J et al. Congenital anomalies of the small

intestine, colon, and rectum. Radiographics. 19 (5): 1219-36.

14. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Hirschprung’s Disease. Sabiston Textbook

Of Surgery. 17th edition W.B. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page 2113-

2114.

15. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews

JB, et al.Pediatric Surgery. In: Schwartz’s Principles of Surgery. 9th

edition. McGraw Hill;2010.p. 2777-2780

16. Alamo L, Meyrat BJ, Meuwly JY et-al. Anorectal Malformations: Finding

the Pathway out of the Labyrinth. Radiographics. 2013;33 (2): 491-512.

17. Han TI, Kim IO, Kim WS. Imperforate anus: US determination of the type

with infracoccygeal approach. Radiology. 2003;228 (1): 226-9.

18. Choi SH, Han JK, Kim SH et-al. Intussusception in adults: from stomach to

rectum. AJR Am J Roentgenol. 2004;183 (3): 691-8.

19. Swischuk LE, Hayden CK, Boulden T. Intussusception: indications for

ultrasonography and an explanation of the doughnut and pseudokidney

signs. Pediatr Radiol. 1985;15 (6): 388-91.

20. Ramachandran P. Intussusception in pediatric surgery diagnosis and

management. Puri P, Hollwarth M editors. Spinger: Dordrecht Heidelberg.

2009.

21.Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy JM,

eds. Ashcraft’s Pediatric Surgery. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.p.508.

38