Upload
rahmat-akmal
View
134
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
REFERAT Kelainan Kongenital GIT
Citation preview
REFERAT
KELAINAN KONGENITAL GASTROINTESTINAL PADA ANAK
PEMBIMBING :
dr. Nataliandra M, Sp. Rad
OLEH :
Muhamad Dimas Rizaputra / UPN / 1420221167
Natasha Dianasari Devana / UPH / 07120100090
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN RADIOLOGI
RSPAD GATOT SOEBROTO
PERIODE 19 OKTOBER – 6 NOVEMBER 2015
DAFTAR ISI
Daftar Isi.....................................................................................2Bab I – Pendahuluan.................................................................3Bab II – Tinjauan Pustaka........................................................4Bab III – Penutup....................................................................34
Kesimpulan...........................................................................34Daftar Pustaka.........................................................................35
2
BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan kongenital anomali gastrointestinal merupakan kelainan defek morfologik saluran cerna yang dijumpai sejak bayi baru lahir, hal ini dapat menjadi masalah serius hingga emergensi tanpa adanya tatalaksana yang cepat dan tepat. Salah satu cara untuk menegakkan diagnosis kelainan kongenital dengan cepat dan tepat adalah dengan pemeriksaaan radiologis.
Kelainan kongenital merupakan salah satu penyebab kematian neonatus. Beberapa faktor yang juga memengaruhi angka kematian yang tinggi pada neonatus dengan kelainan kongenital anomali gastrointestinal di negara berkembang, seperti prematuritas, penyerta penyakit kongenital anomali lainnya, komplikasi operasi, dan fasilitas NICU yang kurang. Meskipun kelainan kongenital jarang terjadi , beberapa kelainan kongenital gastrointestinal yang sering ditemukan adalah atresia esofagus, penyakit hirschsprung, atresia duodenum, atresia jejunum, dan malformasi anorektal.
Untuk menentukan pemeriksaan radiologis yang dibutuhkan, diperlukan pengetahuan akan gejala yang menyertai kelainan tersebut beserta gambaran khas radiologis dari masing-masing kelainan. Pengetahuan akan perkiraan diagnosis yang tepat penting dimiliki agar pemeriksaan radiologi yang dilakukan sesuai dan pasien terhindar dari paparan radiasi yang tidak diperlukan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi dan Fisiologi Traktus Gastrointestinal
Gambar 1. Traktus Gastrointestinalis1
Susunan saluran pencernaan terdiri dari :
1. Mulut1
Mulut atau oris adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri atas 2 bagian yaitu :
a) Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang di antara gusi, gigi, bibir dan
pipi.
4
b) Bagian rongga mulut bagian dalam, yaitu rongga mulut yang di batasi sisinya oleh
tulang maksilaris, palatum mandibularis, di sebelah belakang bersambung dengan
faring.
Selaput lendir mulut ditutupi epitelium yang berlapis-lapis, di bawahnya terletak kelenjar-
kelenjar halus yang mengeluarkan lendir. Selaput ini kaya akan pembuluh darah dan juga
memuat banyak ujung akhir saraf sensoris. Di sebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan
di sebelah dalam ditutupi oleh selaput lendir (mukosa). Otot orbikularis oris menutupi
bibir. Levator anguli oris mengangkat dan depresor anguli oris menekan ujung mulut.
Palatum, terdiri atas 2 bagian yaitu :
a) Palatum durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dan
sebelah depan tulang maksilaris dan lebih ke belakang terdiri dari 2 tulang
palatum.
b) Palatum yang dapat bergerak, terdiri mole (palatum lunak) terletak di belakang
yang merupakan lipatan menggantung atas jaringan fibrosa dan selaput lendir.
Gerakannya dikendalikan oleh ototnya sendiri, di sebelah kanan dan kiri dari tiang fauses
terdapat saluran lendir menembus ke tonsil.
2. Lidah1
Lidah terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir, kerja otot lidah ini
dapat digerakkan ke seluruh arah.
Lidah dibagi atas tiga bagian, radiks lingua (pangkal lidah), dorsum lingua (punggung
lidah), dan apeks lingua (ujung lidah). Pada pangkal lidah yang belakang terdapat epiglotis
yang berfungsi untuk menutup jalan nafas pada waktu kita menelan makanan, supaya
makanan jangan masuk ke jalan nafas. Punggung lidah (dorsum lingua) terdapat puting-
puting pengecap atau ujung saraf pengecap. Frenulum lingua merupakan selaput lendir
yang terdapat pada bagian bawah kira-kira di tengah, jika lidah digerakkan ke atas nampak
selaput lendir. Flika sublingua terdapat di sebelah kiri dan kanan frenulum lingua, di sini
terdapat pula lipatan selaput lendir. Pada pertengahan flika sublingua ini terdapat saluran
dari grandula parotis, submaksilaris, dan glandula sublingualis.
Fungsi lidah yaitu mengaduk makanan, membentuk suara, sebagai alat pengecap dan
menelan, serta merasakan makanan.
3. Faring1
5
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan
(esofagus). Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar
limfe yang banyak mengandung limfosit merupakan pertahanan terhadap infeksi. Di sini
terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya di belakang rongga
mulut dan rongga hidung, di depan ruas tulang belakang, ke atas bagian depan
berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantara lubang bernama koana. Keadaan
tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus
fausium. Tekak terdiri dari bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara
tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga. Bagian media disebut
orofaring, bagian ini berbatas ke depan sampai di akar lidah, sedangkan bagian inferior
disebut laringofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring.
Menelan (deglutisio), jalan udara dan jalan makanan pada faring terjadi penyilangan. Jalan
udara masuk ke bagian depan terus ke leher bagian depan sedangkan jalan makanan masuk
ke belakang dari jalan napas dan di depan dari ruas tulang belakang. Makanan melewati
epiglotis lateral melaui ressus piriformis masuk ke esophagus tanpa membahayakan jalan
udara. Gerakan menelan mencegah masuknya makanan masuk ke jalan udara, pada waktu
yang sama jalan udara ditutup sementara.
4. Esophagus1
Esophagus merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung, panjangnya
± 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah lambung. Lapisan
dinding dari dalam keluar, lapisan selaput lendir (mukosa), lapisan submukosa, lapisan
otot melingkar sirkuler, dan lapisan otot memanjang longitudinal.
Esophagus terletak di belakang trakea dan di depan tulang punggung. Setelah melalui
thorak menembus diafragma masuk ke dalam abdomen menyambung dengan lambung.
5. Lambung1
Lambung atau gaster merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling
banyak terutama di daerah epigaster. Lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri
berhubungan dengan esophagus melalui orifisium pilorik, terletak di bawah diafragma di
depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah kiri fundus uteri.
Sekresi getah lambung mulai terjadi pada awal orang makan. Bila melihat makanan dan
mencium bau makanan maka sekresi lambung akan terangsang. Rasa makanan
merangsang sekresi lambung karena kerja saraf menimbulkan rangsang kimiawi yang
6
menyebabkan dinding lambung melepaskan hormon yang disebut sekresi getah lambung.
Getah lambung di halangi oleh sistem saraf simpatis yang dapat terjadi pada waktu
gangguan emosi seperti marah dan rasa takut.
Fungsi lambung :
1. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh
peristaltik lambung dan getah lambung.
2. Getah cerna lambung yang dihasilkan :
a) Pepsin, fungsinya memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan
pepton).
b) Asam garam (HCL), fungsinya mengasamkan makanan, sebagai antiseptic dan
desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga menjaddi
pepsin.
c) Renin, fungsinya sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein
dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).
d) Lapisan lambung jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam lemak yang
merangsang sekresi getah lambung.
6. Pankreas1
Panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari deudenum sampai ke limpa. Bagian
dari pankreas : kaput pankreas, terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan di dalam
lekukan deudenum yang melingkarinya. Korpus pankreas, merupakan bagian utama dari
organ ini, letaknya dibelakang lambung dan di depan vertebra umbalis pertama. Ekor
pankreas, bagian runcing di sebelah kiri menyentuh limpa.
7. Usus halus1
Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang
berpangkal pada pylorus dan berakhir pada sekum panjangnya ± 6 m, merupakan saluran
paling panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil pencernaan yang terdiri dari
lapisan usus halus (lapisan mukosa (sebelah di dalam), lapisan otot melingkar
(M.sirkuler), lapisan otot memanjang (M. longitudinal), dan lapisan serosa (sebelah luar)).
Absorpsi makanan yang sudah dicerna seluruhnya berlangsung di dalam usus halus
melalui 2 saluran yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan seluruh limfe di sebelah dalam
permukaan vili usus. Sebuah vilus berisi lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan
7
otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan
ditutupi oleh epitelium. Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan
makanan cair dan lemak yang diabsorpsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui
pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena porta
dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan.
Fungsi usus halus :
a. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-
kapiler darah dan saluran-saluran limfe.
b. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
c. Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida.
1. Duodenum
Duodenum disebut juga usus 12 jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda
melengkung ke kiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian kanan
duodenum ini terdapat selaput lendir, yang membukit disebut papilla vateri. Pada
papilla vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pankreas
(duktus pankreatikus).
Empedu dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui duktus koledokus
yang fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase. Pankreas juga
menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang menjadi disakarida, dan
tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi asam amino atau albumin dan
polipeptida.
Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar,
kelenjar ini disebut kelenjar-kelenjar Brunner, berfungsi untuk memproduksi getah
intestinum.
2. Jejunum dan ileum
Jejunum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 m. Dua perlima bagian atas adalah
jejunum dengan panjang ± 23 m, dan ileum dengan panjang 4-5 m. Lekukan jejunum
dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan
peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium.
Sambungan antara jejunum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas. Ujung
bawah ileum berhubungan dengan sekum dengan perantaraan lubang yang bernama
8
orifisium ileosekalis. Orifisium ini diperkuat oleh sfingter ileosekalis dan pada bagian
ini terdapat katup valvula sekalis valvula baukhini yang berfungsi untuk mencegah
cairan dalam kolon asenden tidak masuk kembali ke ileum.
8. Usus besar1
Usus besar atau intestinum mayor panjangnya ± 1 ½ m, lebarnya 5-6 cm. Lapisan-lapisan
usus besar dari dalam keluar : selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot
memanjang, jaringan ikat. Fungsi usus besar adalah menyerap air dari makanan, tempat
tinggal bakteri.
1. Apendiks (usus buntu)
Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung sekum, mempunyai
pintu keluar yang sempit tetapi masih memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi
usus. Apendiks tergantung menyilang pada linea terminalis masuk ke dalam rongga
pelvis minor, terletak horizontal dibelakang sekum. Sebagai suatu organ pertahanan
terhadap infeksi kadang apendiks bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa
menimbulkan perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen.
2. Sekum
Dibawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti cacing
sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh
peritoneum mudah bergerak walaupun tidak mempunyai mesenterium dan dapat
diraba melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup.
3. Kolon asendens
Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan, membujur ke atas dari
ileum ke bawah hati. Di bawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut
fleksura hepatika, dilanjutkan sebagai kolon transversum.
4. Kolon transversum
Panjangnya ± 38 cm, membujur dari kolon desenden, berada dibawah abdomen,
sebelah kanan terdapat fleksura hepatika dan sebelah kiri terdapat fleksura lienalis.
5. Kolon desendens
9
Panjangnya ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membujur dari atas ke
bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri, bersambung dengan kolon
sigmoid.
6. Kolon sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak miring dalam
rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya
berhubungan dengan rektum.
7. Rektum
Rektum terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor
dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sacrum dan os koksigis. Organ
ini berfungsi untuk tempat penyimpanan feses sementara.
8. Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum dengan
dunia luar (udara luar). Terletak didasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh sfingter :
a. Sfingter ani interus (sebelah atas), bekerja tidak menurut kehendak.
b. Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak.
c. Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut kehendak.
Defekasi (buang air besar) didahului oleh transport. Feses ke dalam rektum yang
mengakibatkan ketegangan dinding rektum mengakibatkan rangsangan untuk reflex
defekasi sedangkan otot usus lainnya berkontraksi. M. Levator ani relaksasi secara
volunter dan tekanan ditimbulkan oleh otot-otot abdomen.
II.2 Pembagian traktus gastrointestinal
Traktus gastrointestinal atau saluran cerna terbagi menjadi 2 bagian, yaitu saluran cerna
bagian atas dan bagian bawah. Saluran cerna ini dipisahkan oleh ligamentum treitz yang
merupakan bagian duodenum pars ascending yang berbatasan dengan jejunum. Pembagian
ini didasarkan atas letak organ terhadap ligamentum Treitz.1
Saluran cerna bagian atas terdiri dari :1
1. Cavum Oris
2. Faring : Orofaring, Laringofaring
3. Esophagus
10
4. Gaster
5. Duodenum
Saluran cerna bagian bawah terdiri dari :1
1. Jejunum
2. Ileum
3. Caecum
4. Appendix vermiformis
5. Colon ascendens
6. Colon transversum
7. Colon descendens
8. Colon sigmoid
9. Rectum
10. Canalis analis (anus)
II.3 Definisi Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat
disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Kadang-kadang suatu kelainan
kongenital belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat
setelah kelahiran bayi.2,4
II.4 Etiologi
Beberapa etiologi yang menyebabkan kelainan kongenital adalah faktor genetik,
Gangguan nutrisi dan gizi pada waktu kehamilan, infeksi pada kehamilan terutama
trimester pertama, pengaruh obat-obatan teratogenik dengan toksisitas tinggi, radiasi dan
riwayat trauma dalam kehamilan.2,4
II.5 Epidemiologi
Sekitar 3% bayi baru lahir menderita kelainan kongenital dan 10% neonatus di Jepang
meninggal disebabkan oleh kelainan kongenital anomali pada gastrointestinal yang
dilakukan operasi. Pada sebuah penelitian, didapatkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak
(74,7%) menderita kelainan kongenital daripada perempuan. Kelainan pada bayi baru
lahir dapat berupa satu jenis kelainan atau beberapa kelainan kongenital secara bersamaan.
Jenis kelainan kongenital anomali gastrointestinal pada neonatus yang paling sering
didapat adalah malformasi anorektal (45,6%), penyakit Hirschsprung (29,1%), atresia
11
esofagus (2,5%), atresia jejunum (2,5%), volvulus (2,5%) serta atresia duodenum
(1,3%).2,3
II.6 Klasifikasi
Kelainan saluran cerna pada neonatus mudah dibedakan dari gejalanya. Gejala ini dapat
membantu membedakan letak anomali pada saluran cerna sehingga kemudian dibuat
klasifikasinya yaitu :
1. Kelainan saluran cerna bagian proksimal
2. Kelainan saluran cerna bagian distal
Kelainan ini dikelompokan sesuai dengan letak anatomi dari organ saluran cerna tersebut.
Pada pasien dengan kelainan saluran cerna bagian proksimal akan terjadi muntah, sementara
pada kelainan saluran cerna bagian distal akan lebih sering terjadi kembung menyeluruh,
distensi abdomen dan penampakan kontur usus.
II.6.1 Kelainan Saluran Cerna Bagian Proksimal
1. Atresia Esophagus
Bayi baru lahir dengan ibu polihidramnion seharusnya memperlihatkan selang nasogastris
yang dapat lewat segera setelah kelahiran untuk menyingkirkan atresia esofagus. Bayi dengan
Atresia Esophagus tidak mampu menelan saliva dan ditandai dengan saliva yang banyak, dan
memerlukan suction berulang. Pada fase ini tentu sebelum makan untuk pertama kali, kateter
bore yang kaku harus dapat melewati mulut hingga esofagus. Pada Atresia Esophagus, kateter
tidak bisa lewat melebihi 9-10 cm dari alveolar paling bawah. Rongent dada dan abdomen
memperlihatkan ujung kateter tertahan di mediastinum superior (T2-4), sementara gas pada
perut & usus menunjukkan adanya fistula trakheoesofagus distal. Tidak adanya gas gastro
intestinal menunjukkan atresia esophagus yang terisolasi.5,6
Gambaran Radiologis Atresia Esophagus
Pemeriksaan radiologi digunakan sebagai screening non-invasif untuk mendiagnosis penyakit
motilitasi esophagus. Biasanya pasien dengan disfagi memiliki beberapa pemeriksaan
konvensional, seperti pemeriksaan barium atau endoskopi.
12
Pada pelaksanaannya, bolus cairan atau makanan berjalan sepanjang esophagus oleh karena
tekanan peristaltik dan gravitasi. Proses ini dikenal sebagai esophagus transit yang berbeda
dengan esophagus clearance yang merupakan suatu proses pengosongan esophagus dari
refluks bahan-bahan makanan yang berasal dari usus.5,6
Terdapat beberapa pemeriksaan radiologi yang dapat menunjang diagnosis atresia
esophagus.5,6
1. Foto Thoraks
Gambaran penebalan pada dinding posterior trakea merupakan suatu petunjuk adanya
kelainan pada esophagus. Dimana jika didapatkan penebalan difus pada mediastium dengan
air fluid level dapat disuspek dengan akalasia. Untuk massa pada esophagus cukup jarang
dideteksi dengan kunci untuk mengevaluasi motilitas, refluks, dan aspirasi.
Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah foto thoraks termasuk abdomen atas dengan
memasukkan sonde lambung kedalam esofagus, kalau perlu kateter diisi kontras non-ionik.
Diagnosis atresia esophagus dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto pada posisi
postreroanterior (PA) dan lateral. Dimana akan didapatkan gamabaran gulungan nasogastrik
tube pada bagian proksimal kantung esofagus. Selain itu, lokasi arkus aorta juga dapat
terlihat. Pneumonia aspirasi (khususnya pada bagian lobus kanan atas) dan atelektasis juga
sering didapatkan.
Selain itu, gangguan motilitas akan ditemukan pada anak dengan atresia esophagus dan dapat
dilihat video fluoroskopi. Pada gangguan motilitas esophagus gambaran yang didapatkan
adalah penyempitan esophagus, transit esophagus yang melambat, dan disorganisasi transit
esophagus.
13
Berikut gambaran foto thorak yang didapatkan sesuai dengan tipe atresia esofagus yang
ada:5,6
Atresia esophagus tanpa fistula trakeoesofagus.
Gambar 2. Atresia Esophagus Tanpa Fistula6
Dilatasi dari kantong proksimal esophagus yang berisi udara, akan menyebabkan trakea maju
ke bagian depan. Tidak nampak udara dalam rongga abdomen dimana dalam keadan normal
udara akan memasuki saluran pencernaan dalam 15 menit setelah kelahiran. Kantung
esophagus bagian bawah dapat dilihat dengan menggunakan barium atau pemasukan dengan
gastrostonomi.
14
Atresia esophagus dengan fistula trakeoesophagus distal.
Gambar 3. Atresia Esophagus dengan Fistula Trakeoesofagus Distal6
Distensi gas pada bagian perut dan usus halus disebabkan udara melewati fistula
kemungkinan akan ditemukan. Foto akan memperlihatkan gambaran udara yang sedikit jika
fistula oklusi. Sejumlah udara akan terlihat pada esophagus, meskipun biasanya udara dalam
esophagus pada neonatus dan anak-anak normal.
Atresia esophagus dengan fistula proksimal.
Pada gambaran radiografi, tanda-tandanya sama dengan yang didapatkan pada atresia
esophagus tanpa fistula. Kelainan ini jarang ditemukan. Pemeriksaan dengan menggunakan
barium mungkin akan mengalami kegagalan dalam pemeriksaan ini. Gambaran fistula
membutuhkan pemeriksaan videofluoroskopi selama pengisian pada kantung proksimal.
15
Fistula trakeoesophagus tanpa atresia (H Type fistula).
Gambar 4. Fistula trakeosephagus tanpa atresia (H Type Fistula)6
Pneumonia rekuren mungkin akan terlihat, dengan bentuk pneumonia secara umum.
Penggambaran fistula sulit dilakukan. Sejumlah udara akan terlihat pada esophagus.
Pemeriksaan dengan kontras merupakan pemeriksaan pilihan untuk diagnosis. Kontrak non-
ionik merupakan pilihan kontras; dilusi barium dapat digunakan sebagai kontras alternatif.
Jika pasien diintubasi atau dengan foto kontas menunjukkan trakea tanpa gambaran fistula,
maka esofagram sebaiknya dilakukan.
2. Ultrasonografi (USG)
USG merupakan pemeriksaan yang tidak rutin dilakukan untuk diagnosis atresia esofagus
setelah kelahiran, akan tetapi dapat digunakan sebelum kelahiran. Pada pemeriksaan ini tidak
ditemukan adanya gelembung udara (stomach bubble) pada perut fetus atau sedikit
gelembung yang dikombinasikan dengan polihidramnion pada ibu yang mengarah ke
diagnosis atresia esofagos.
16
Gambar 5. Hasil USG :tidak terdapatnya gambaran stomach bubble / gelembung gas pada
atresia esofagus.6
Diagnosa akurat meningkat jika terdapat area anechoik pada bagian tengah leher fetus, tanda
ini membedakan atresia esofagus dengan penyakit-penyakit gangguan menelan. Terdapatnya
dilatasi kantung esofagus yang buntu pada pemeriksaan ini dapat merujuk ke atresia
esofagus.
Tanda kantung ini telah didapatkan secara langsung pada usia 26 minggu masa gestasi, tetapi
onsetnya diperkirakan paling cepat 22 minggu. Kemungkinan hubungan antara peningkatan
tranlusens nuchal didapatkan pada trimester pertama dan atresia esofagus telah ditemukan.
3. Computed Tomography (CT)
Pemeriksaan CT-scan jarang dilakukan untuk mendiagnosa atresia esofagus. Pemeriksaan ini
merupakan periksaan 3 dimensi esofagus dalam hubungannya dengan struktur yang
berdekatan. Biasanya pemeriksaan ini digunakan pada pasien yang lebih dewasa.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Seperti pemeriksaan USG, MRI tidak disarankan untuk diagnosa atresia esofagus pada bayi
setelah kelahiran. Meskipun begitu, MRI memberikan gambar esofagus dan sekitarnya pada
posisi sagital dan karonal, dan resolusi kontrasnya lebih baik dibandingkan CT-scan.
MRI sangat jarang digunakan untuk menjelaskan lokasi arkus aorta, tetapi sering digunakan
untuk diagnosa malformasi congenital.
17
Tidak seperti USG, pemeriksaan MRI pada prenatal memberikan gambar lesi sekitar esofagus
dan hubungan dan hubungan anatomi. MRI pada fetus memberikan bukti akurat untuk
diagnosis atresia esofagus pada anak dengan resiko tinggi berdasarkan penemuan USG. Akan
tetapi, pemeriksaan MRI sulit untuk dilakukan pada kasus polihidramnion karena kualitas
gambar jelek.
2. Akalasia Esophagus
Akalasia esophagus, atau dikenal juga dengan nama simple ectasia, kardiospasme,
megaesofagus, Dilatasi esophagus difus tanpa stenosis atau dilatasi esofagus idiopatik adalah
suatu gangguan neuromuskular. Istilah akalasia berarti gagal untuk mengendur dan merujuk
pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian
bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung.
Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi
bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik.
Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang ditemukan pada bayi
dan sangat jarang pada usia lanjut. Keluhan utama penderita adalah disfagia. Disfagia dapat
terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat
berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada
makanan padat. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering
regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan
pneumonia aspirasi dan abses paru.Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada
stadium permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium
dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris. Penurunan berat badan terjadi
karena penderita berusaha mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan
perasaan nyeri di daerah substernal. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa
penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan.5,7
Gambaran Radiologis Akalasia Esophagus
1. Foto Thoraks
Foto polos memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah dalam menegakkan diagnosis
akhalasia. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan gambaran kontur ganda di atas mediastinum
bagian kanan. Mediastinum nampak melebar dan adanya gambaran batas cairan udara (air
fluid level) Pada pasien stadium lanjut sering ditemukan retrocardia.5,7
18
2. Esofagografi
Pemeriksaan radiologik dengan kontras menggambarkan adanya penyempitan dan stenosis
pada kardia esophagus dengan dilatasi esophagus pada bagian proksimalnya. Pemeriksaan
esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua
pertiga distal esophagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran
penyempitan di bagian distal esophagus atau esophagogastric junction yang menyerupai
seperti bird-beak like appearance.
Gambar 6. Bird’s beak deformity dan dilatasi esophagus7
Pada akalasia berat akan terlihat dilatasi esophagus, sering berkelok-kelok dan memanjang
dengan ujung distal yang meruncing disertai permukaan yang halus memberikan gambaran
paruh burung (bird’s beak appearrance). Bagian esophagus yang berdilatasi tampak
hipertropi dengan dinding yang menipis dan pada stadium lanjut menunjukkan tanda
elongasi.5,7
19
Gambar 7. Foto lateral menunjukkan dilatasi esophagus7
3. Fluoroskopi
Pada pemeriksaan dengan fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi korpus esofagus.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah skintigrafi dengan memberikan makanan yang
mengandung radioisotop dan akan memperlihatkan dilatasi esophagus tanpa kontraksi. Di
samping itu, terdapat pemanjangan waktu pemindahan makanan ke dalam lambung akibat
gangguan pengosongan esophagus.7
4. Endoskopi
Esophagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua pasien akalasia oleh
karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya esophagitis retensi dan derajat
keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda
keganasan. Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esophagus dengan bagian distal
yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal dari daerah
penyempitan, Mukosa esophagus berwarna pucat, edema dan kadang-kadang terdapat tanda-
tanda esophagitis akibat retensi makanan. Sfingter esophagus bawah akan terbuka dengan
20
melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan esophagoskop dapat masuk ke lambung
dengan mudah.7
3. Stenosis Pilorus Hipertrofik
Stenosis pilorus timbul karena hipertrofi dari otot-otot outlet gaster. Penyakit ini merupakan
salah satu kelainan gastrointestinal yang paling sering pada 3 bulan pertama kelahiran.
Insidennya bervariasi berkisar antara 3:1000 sampai 1:500 kelahiran hidup. Lebih sering
pada kelahiran pertama bayi laki-laki daripada perempuan (4:1). Stenosis pilorus muncul
antara 3-5 minggu setelah lahir dengan riwayat muntah nonbilier yang progresif yang mana
dapat menjadi proyektil. Sering disertai konstipasi dan perabaan massa di daerah epigastrium.
Ikterus timbul sebagai akibat dari defisiensi glucoronyl transferase yang disebabkan oleh
starvasi.5,8
Gambaran Radiologis Stenosis Pilorus
1. Ultrasonografi Abdomen untuk melihat target sign atau doughnut sign pada kasus
stenosis pilorik hipertrofik dan intususepsi untuk menilai hati, saluran empedu, ginjal,
dan kandung kemih.8
Gambar 8. USG Stenosis pilorus8
2. Foto polos abdomen, tampak gambaran dilatasi lambung dengan kontraksi multipel.
Nampak tanda double track sign/railroad track – 2 lapisan barium yang mengalami
kompresi diantara mukosa pilorus yang mengalami penebalan dan shoulder sign -
21
kumpulan barium di bagian prepiloric antrum yang berdilatasi. String sign juga sering
terlihat, yaitu tanda dimana barium melewati lumen sempit akibat stenosis pilorus.5,8
Gambar 9. Double track sign8
Gambar 10. String sign8
3. Endoskopi bila dicurigai esophagitis.8
22
4. Prolaps Mukosa Gaster
Prolaps Mukosa Gaster sering disebabkan oleh hiperplasia mukosa lambung dan
hipermotilitas lambung. Akibat adanya penebalan dan peningkatan aktivitas lambung, terjadi
pula peningkatan tekanan lambung yang menyebabkan mukosa terdorong kedalam pilorus.5,9
Gambaran Radiologis Prolaps Mukosa Gaster
Dalam penggunaan kontras barium terdapat kelainan pengisian (filling defect) pada dasar
bulbus duodeni yang menyerupai jamur, payung atau bunga kol. Kelainan tersebut dapat
terlihat pada posisi berbaring (supine) maupun berdiri (erect)5,9
Gambar 11. prolaps mukosa gaster ke duodenum 9
5. Atresia Duodenum
Atresia dan stenosis duodenum adalah diskontinuitas atau penyempitan lumen duodenum
kongenital. Kelainan ini merupakan penyebab paling sering obsrtuksi duodenum pada bayi.
Insidensi kelainan ini adalah 1 : 5000 kelahiran hidup. Sindrom down sering dikaitkan
dengan penyakit tersebut, dan terjadi pada 20%-30% penderita atresia duodenum. Atresia
duodenum disebabkan oleh kegagalan rekanalisasi dari lumen duodenum pada trimester
pertama kehamilan. Kegagalan dari rekanalisasi ini menyebabkan berbagai macam bentuk
23
dari obstruksi duodenum antara lain atresia, stenosis, dan pembentukan jaring – jaring pada
mukosa duodenum.5,10
Gambaran Radiologis Atresia Duodenum
Double bubble sign merupakan sign yang sering ditemukan pada radiografi anak - anak atau
neonatus. Dapat dilihat pada berbagai modalitas pencitraan seperti USG atau foto polos
abdomen. Gambarannya berupa dua struktur berisi udara pada abdomen atas, dengan atau
tanpa udara di bagian distalnya. Bubble yang terletak di sebelah proksimal kiri adalah
lambung yang terisi udara dan cairan. Bubble ke-dua yang terletak di sebelah kanan garis
tengah adalah duodenum proksimal.
Gambar 12. Tanda Double Bubble pada abdomen10
Atresia duodenum merupakan suatu obstruksi komplit sehingga memberikan gambaran
double bubble tanpa udara di bagian distal. Sedangkan obstruksi parsial pada duodenum
seperti duodenal web atau stenosis duodenum, memberikan gambaran double bubble dengan
udara di bagian distal. Pemeriksaan dengan kontras per oral pada duodenal web terlihat
gambaran windsock appearance.5,10
24
Gambar 13. Windsock Appearance pada duodenal web10
6. Atresia Jejunum
Jenis kelainan kongenital ini merupakan salah satu obstruksi usus yang sering dijumpai pada
bayi baru lahir dan hampir selalu bersamaan dengan atresia ileum. Angka kejadian berkisar 1
per 1.500-2.000 kelahiran hidup. Patofisiologi atresia usus halus diduga terjadi sejak
kehidupan intrauterine sebagai volvulus, kelainan vaskular mesenterika, dan intususepsi
intrauterine. Sisa kejadian inilah yang kemudian menyebabkan nekrosis usus halus yang
masih steril menjadi atresia atau stenosis.5,11
Gambaran Radiologis Atresia Jejunum
Pada foto polos abdomen posisi tegak tampak beberapa gelembung udara dalam usus di
kuadran kiri atas dikenal dengan triple bubble sign.5,11
25
Gambar 14. Triple Bubble Sign pada atresia jejunum11
II.6.2 Kelainan Saluran Cerna Bagian Distal
1. Atresia Ileum
Atresia ileum adalah penyebab utama dari obstruksi intestinal pada neonatus, kedua
terbanyak setelah malformasi anorektal. Patofosiologi atresia ani diduga terjadinya
kondisi iskemik sampai dengan nekrosis pada pembuluh darah usus yang berakibat
terjadinya proses reasorbsi dari bagian usus yang mengalami kondisi nekrosis. Gejala
klinis berupa muntah hijau, distensi abdomen dan tidak keluarnya mekoneum dalam 24
jam pertama setelah lahir.12
26
Gambaran Radiologis Atresia Ileum
menunjukkan adanya pelebaran usus-usus halus, pada posisi tegak tampak gambaran air
fluid level menunjukkan telah terjadi obstruksi usus pada bayi. 5
Gambar 15. Multiple air fluid level pada atresia ileum 13
2. Penyakit Hirschprung
Penyakit Hirschprung adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus auerbach
dan pleksus meisneri pada kolon.14 Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000
kelahiran. Penyakit hirschprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan dengan
berat lahir lebih dari 3 kg yang terlambat mengeluarkan tinja.14 Trias klasik gambaran
klinis pada neonatus adalah pengeluaran mekonium yang terlambat yaitu lebih dari 24
jam pertama, muntah hijau dan perut membuncit keseluruhan.5
Etiologi
a) Ketiadaan sel-sel ganglion
Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus
myenteric (auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk
Hirschprung’s disease. Beberapa teori mengatakan hal ini disebabkan oleh karena
kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal dari esofagus ke anus
pada minggu ke 5 sampai 12 kehamilan. Faktor – faktor yang dapat mengganggu
27
migrasi, proliferasi, differensiasi dan kolonisasi dari sel – sel ini mungkin terletak
pada genetik, imunologis, vaskular dan mekanisme lainnya.14
b) Mutasi pada RET Proto-oncogene
Mutasi pada RET proto-oncogene yang berlokai pada kromosom 10q11, telah
ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschprung’s disease segmen panjang dan
familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangna sinyal pada tingkat molekular
yang diperlukan dalam pertumbuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. 14
Tipe Penyakit Hirschprung
Ultra short segment: ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari
rektum.
Short segment: ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian kecil dari kolon.
Long segment: ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian besar kolon.
Very long segment: ganglion tidak ada pada seluruh kolon dan rektum dan kadang
sebagian usus kecil.
Gambaran Radiologis penyakit hirschprung
1. Foto polos abdomen, dapat memperlihatkan dilatasi usus, gambaran udara
intraluminar, tidak ada udara di daerah rektum dan massa. 5
Gambar 16. Dilatasi usus, tanpa udara di rektum pada penyakit hirschprung.5
2. Pemeriksaan enema barium memperlihatkan penyempitan segmen kolon yang
aganglionik, biasanya di daerah rektosigmoid dan proksimal daerah patologis
28
terdapat pelebaran usus. Tampak daerah transisi antara kolon proksimal yang
melebar dan kolon distal yang sempit, daerah transisi ini dapat berbentuk corong
atau bentuk terowongan. 14
Gambar 17. Gambaran radiologis penyakit Hirschprung. Tampak rektum yang
mengalami penyempitanm dilatasi sigmoid dan daerah transisi. 14
3. Atresia Ani
Atresia ani adalah kelainan malformasi kongenital dimana tidak adanya anus atau tidak
lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara
29
abnormal. Secara klinis pada bayi ditemukan tidak adanya mekonium yang keluar atau
tidak tampak adanya lubang anus.15
Klasifikasi Atresia Ani:
1. Tinggi (supralevator) Rektum berakhir di atas muskulus Levator ani dengan
jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm.
2. Intermediet rektum terletak pada muskulus Levator ani tapi tidak
menembusnya.
3. Rendah (translevator) rektum berakhir di bawah muskulus Levator ani
sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.
Gambaran radiologis Atresia Ani:
Pemeriksaan dilakukan dengan bayi tengkurap dengan posisi lutut-dada dan proyeksi
sinar horizontal, dilihat udara yang paling distal.5
Gambar 18. Atresia Ani letak tinggi16
Gambar 19. Tidak
tampak udara di daerah
pelvis pada atresia ani17
30
4. Intususepsi (Invaginasi)
Intususepsi adalah masuknya segmen usus proksimal ke rongga lumen usus yang lebih
distal sehingga menimbulkan gejala obstruksi berlanjut strangulasi usus. Paling sering
masuknya ileum terminal ke kolon.12
Intususepsi merupakan penyebab obstruksi usus yang paling sering pada anak usia kurang
dari 2 tahun. Menurut jenisnya invaginasi dapat berupa:12
1. Enteric: disebut invaginasi type ileoileal. Usus halus bagian proksimal masuk
ke usus halus bagian distal.
2. Colic: disebut invaginasi type colocolica. Kolon proksimal masuk ke bagian
distal kolon.
3. Enterocolic: usus halus masuk ke bagian kolon, jenis ini dapat berupa:
a. Ileocaecal: puncaknya ileocaecal valve.
b. Ileocolical: ileum masuk kolon melalui ileo caecal valve.
c. Ileo-ileocaecal: ileum masuk ileum kemudiam masuk lagi sebagai
ileocaecal.
Gejala klinik berupa sakit perut bagian atas, defekasi darah dan lendir (red current jelly)
dan muntah berwarna hijau.
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis dengan barium enema dan atau USG sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis invaginasi. Foto abdomen 3 posisi biasanya normal, kadang
didapatkan gambaran dilatasi ringan bagian proksimal usus atau tidak tampak gambaran
udara pada abdomen bawah.
Foto Polos Abdomen
Gambaran foto polos sebagai berikut:
1. Tanda-tanda obstruksi mekanik usus halus bagian distal, kadang – kadang tampak
sebagai bayangan menyerupai sosis dibagian tengah abdomen. Multipel air fluid
level dan tidak ada bayangan udara pada bagian distal usus.
2. Bayangan masa tubular pada abdomen yang merupakan bayangan dari usus yang
masuk ke lumen usus yang lain.
31
Gambar 20. Foto polos abdomen; A. Tampak bayangan massa (tanda panah) merupakan
bagian usus yang masuk ke dalam lumen usus proksimal. B. Gambaran seperti sosis
dibagian tengah abdomen18
Barium enema (colon in loop)
Pada barium enema akan tampak gambaran cupping, coiled spring appearance
32
Gambar 21. Gambaran radiologi coiled spring appearance pada intususepsi.18
Pemeriksaan USG
Pada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus berbentuk ‘target’ atau ‘donat’
yang terdiri dari dua cincin echogenisitas rendah yang dipisahkan oleh cincin hiperekoik,
tidak ada gerakan pada donat tersebut dan ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm.. Pada tampilan
logitudinal tampak pseudokidney sign yang timbul sebagai tumpukan lapisan hipoekoik
dan hiperekoik.
Gambar 22. Gambaran Doughnat sign.19
Penatalaksanaan Non-Operatif Intususepsi
Pada intususepsi atau invaginasi dapat dilakukan penatalaksanaan non-operatif dengan hasil
yang memuaskan. Prosedur non-operatif tersebut berupa Reduksi Dengan Barium Enema.20,21
Barium enema dapat diberikan bila tidak dijumpai kontra indikasi seperti :
Adanya tanda obstruksi usus yang jelas baik secara klinis maupun pada foto
abdomen
Dijumpai tanda – tanda peritonitis
Gejala invaginasi sudah lewat dari 24 jam
Dijumpai tanda – tanda dehidrasi berat.
Usia penderita diatas 2 tahun
Hasil reduksi ini akan memuaskan jika dalam keadaan tenang tidak menangis atau gelisah
karena kesakitan oleh karena itu pemberian sedatif sangat membantu.
33
Dalam pelaksanaannya, kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke rektum dan difiksasi
dengan plester, melalui kateter larutan barium dialirkan dan dideteksi dengan alat fluoroskopi
sampai bagian intussusepsi dapat diidentifikasi dan dibuat foto. Intususepsi sering dijumpai
pada kolon transversum dan bagian proksimal kolon descendens.
Pelaksanaannya memperhatikan “Rule of three” yang terdiri atas:
1. reduksi hidrostatik dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien
2. tidak boleh lebih dari 3 kali percobaan
3. tiap percobaan masing-masing tidak boleh lebih dari 3 menit.
Bila kolom larutan barium bergerak maju menandai proses reduksi sedang berlanjut, tetapi
bila kolom larutan barium berhenti dapat diulangi 2 – 3 kali dengan jarak waktu 3 – 5 menit.
Reduksi dinyatakan gagal bila tekanan barium dipertahankan selama 10 – 15 menit tetapi
tidak dijumpai kemajuan. Antara percobaan reduksi pertama, kedua dan ketiga, larutan
barium dievakuasi terlebih dahulu.
Reduksi barium enema dinyatakan berhasil apabila :
Rectal tube ditarik dari anus maka larutan barium keluar dengan disertai massa feses
dan udara.
Pada fluoroskopi terlihat larutan barium mengisi seluruh kolon dan sebagian usus
halus, sehingga terjadi refluks ke dalam ileum.
Hilangnya massa tumor di abdomen.
Perbaikan secara klinis pada anak dan terlihat anak menjadi tertidur serta norit test
positif.
Gambar 23. Reduksi barium enema pada intususepsi menunjukkan lokasi intususepsi21
34
Penderita perlu dirawat inap selama 2 – 3 hari karena sering dijumpai kekambuhan selama 36
jam pertama. Keberhasilan tindakan ini tergantung kepada beberapa hal antara lain, waktu
sejak timbulnya gejala pertama, penyebab invaginasi, jenis invaginasi dan teknis
pelaksanaannya.
Teknik non pembedahan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan reduksi
secara operatif. Diantaranya yaitu : penurunan angka morbiditas, biaya, dan waktu perawatan
di rumah sakit.
II.7 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan kelainan kongenital pada traktus gastrointestinal adalah penegakkan
diagnosis yang cepat dan tepat. Meskipun tidak setiap kelainan kongenital memerlukan
tindakan pembedahan namun mayoritas memerlukan pembedahan terencana segera setelah
ditegakkan diagnosis. Tanpa tindakan pembedahan atau penatalaksanaan non operatif yang
tepat maka gejala yang diakibatkan oleh kelainan tersebut dapat bertambah buruk dan
menyebabkan kematian.
II.8 Prognosis
Prognosis pada pasien dengan kelainan kongenital traktus gastrointestinal bervariasi,
tegantung dari berat ringannya kelainan yang didapat. Kondisi pasien, lingkungan serta
penatalaksanaan dapat pula mempengaruhi prognosis.
35
BAB III
KESIMPULAN
Kelainan kongenital merupakan kelainan yang ditemukan sejak lahir, dapat terjadi karena
keturunan maupun gangguan pada waktu kehamilan. Salah satu kelainan kongenital yang
sering terjadi adalah kelainan kongenital pada sistem gastrointestinal. Beberapa penyakit
paling sering didapat adalah malformasi anorektal (45,6%), penyakit Hirschsprung (29,1%),
atresia esofagus (2,5%), atresia jejunum (2,5%), volvulus (2,5%) serta atresia duodenum
(1,3%).
Kelainan kongenital membutuhkan penegakkan diagnosis yang cepat dan permeriksaan
radiologi berperan sebagai modalitas utama. Setiap tenaga medis terutama dokter
memerlukan pengetahuan mengenai modalitas utama yang dibutuhkan dalam menegakkan
diagnosis kelainan kongenital. Penatalaksanaan bagi kasus-kasus kelainan kongenital
mayoritas berupa pembedahan, dimana komplikasi terberat dari kelainan kongenital tersebut
adalah kematian.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Paulsen F. & J. Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi
Umum. 2013;6:256.
2. Thaib T, Darussalam D. Hubungan Kelainan Kongenital Anomali
Gastrointestinal Pada Neonatus dan Kematian. Sari Pediatri
2013;14(6):341-4.
3. Berrocal T, Torres I, Gutierrez J, et al: Congenital anomalies of the upper
gastrointestinal tract. Radiographics. 1999;19:855-72.
4. Swischuk, L.: Imaging of the Newborn, Infant and Young Child . Blickman,
H. The Requisites: Pediatric Radiology, 2nd ed, 1998
5. Rasad, Sjahriar: Radiologi Diagnostik. Divisi Radiodiagnostik Departemen
Radiologi FKUI. 2nd ed. P. 404-417. 2005.
6. Spitz,L .Oesophageal atresia. Orphanet Journal of Rare Diseases.
Department of Paediatric Surgery, Institute of Child Health, University
College, London, UK. 2007, 2:24
7. Patel DA, Kim HP, Zifodya JS, Vaezi MF. Idiopathic (primary) achalasia: a
review. Orphanet J Rare Dis. 2015 Jul 22. 10:89.
8. Pandya S, Heiss K. Pyloric stenosis in pediatric surgery: an evidence-based
review. Surg Clin North Am. 2012. 92(3):527-39, vii-viii.
9. Markowitz RI. Live without a cause: the story of infantile hypertrophic
pyloric stenosis. Pediatr Radiol. 2014 Feb. 44(2):202-11.
37
10.Jeffrey Traubici, MD: The Double Bubble Sign. Radiology, P. 220:463-464.
2001;
11. Rad S. Jejunal atresia in neonates.Radrounds : 2009.
12. Kliegman, Behrman. Nelson Text Book of Pediatric-18th Ed. USA :
Saunders El sevier. 2007. p 1311-1334
13. Berrocal T, Lamas M, Gutieerrez J et al. Congenital anomalies of the small
intestine, colon, and rectum. Radiographics. 19 (5): 1219-36.
14. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Hirschprung’s Disease. Sabiston Textbook
Of Surgery. 17th edition W.B. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page 2113-
2114.
15. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews
JB, et al.Pediatric Surgery. In: Schwartz’s Principles of Surgery. 9th
edition. McGraw Hill;2010.p. 2777-2780
16. Alamo L, Meyrat BJ, Meuwly JY et-al. Anorectal Malformations: Finding
the Pathway out of the Labyrinth. Radiographics. 2013;33 (2): 491-512.
17. Han TI, Kim IO, Kim WS. Imperforate anus: US determination of the type
with infracoccygeal approach. Radiology. 2003;228 (1): 226-9.
18. Choi SH, Han JK, Kim SH et-al. Intussusception in adults: from stomach to
rectum. AJR Am J Roentgenol. 2004;183 (3): 691-8.
19. Swischuk LE, Hayden CK, Boulden T. Intussusception: indications for
ultrasonography and an explanation of the doughnut and pseudokidney
signs. Pediatr Radiol. 1985;15 (6): 388-91.
20. Ramachandran P. Intussusception in pediatric surgery diagnosis and
management. Puri P, Hollwarth M editors. Spinger: Dordrecht Heidelberg.
2009.
21.Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy JM,
eds. Ashcraft’s Pediatric Surgery. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.p.508.
38