31
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikterus adalah perubahan warna menjadi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sclera yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di dalam darah. Penyakit kuning yang terjadi pada anak bisa disebabkan oleh hepatitis yang bisa merusak sel-sel hepar dan akibat proses obstruksi pada sistem biliaris.. 1,3 Dibandingkan dengan masalah kesehatan lain pada anak, penyakit hepar merupakan penyakit yang jarang terjadi. Tetapi kasus ini tidak bisa diabaikan begitu saja, karena jika tidak dikenal dan didiagnosis lebih awal, maka penyakit hepar dapat menimbulkan suatu kondisi yang lebih serius dikemudian hari sehingga dapat menyebabkan disabiliy pada anak dan keluarganya. 3 Lamanya gejala kuning yang muncul tidak selalu sebanding dengan kerusakan hepar yang terjadi. Kadang anak dengan gejala kuning yang singkat, mungkin telah mengalami masalah hepar yang lama dan sebaliknya. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui diagnosis anak dengan ikterik pada gangguan sistem hepatobilier, sehingga penatalaksanaannya dapat dilakukan secara cepat dan tepat. 3 1.2 Batasan Masalah 1

Referat Ikterus New

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat ikterus

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikterus adalah perubahan warna menjadi kuning pada kulit, membran mukosa, dan

sclera yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di dalam darah. Penyakit kuning

yang terjadi pada anak bisa disebabkan oleh hepatitis yang bisa merusak sel-sel hepar dan

akibat proses obstruksi pada sistem biliaris..1,3

Dibandingkan dengan masalah kesehatan lain pada anak, penyakit hepar merupakan

penyakit yang jarang terjadi. Tetapi kasus ini tidak bisa diabaikan begitu saja, karena jika

tidak dikenal dan didiagnosis lebih awal, maka penyakit hepar dapat menimbulkan suatu

kondisi yang lebih serius dikemudian hari sehingga dapat menyebabkan disabiliy pada

anak dan keluarganya.3

Lamanya gejala kuning yang muncul tidak selalu sebanding dengan kerusakan hepar

yang terjadi. Kadang anak dengan gejala kuning yang singkat, mungkin telah mengalami

masalah hepar yang lama dan sebaliknya. Oleh karena itu, sangat penting untuk

mengetahui diagnosis anak dengan ikterik pada gangguan sistem hepatobilier, sehingga

penatalaksanaannya dapat dilakukan secara cepat dan tepat.3

1.2 Batasan Masalah

Dalam referat ini membahas tentang diagnosis dan penatalaksanaan anak dengan

ikterik pada gangguan sistem hepatobilier.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui diagnosis

dan penatalaksanaan anak dengan ikterik pada gangguan sistem hepatobilier.

1.4 Metode Penulisan

Referat ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang diambil dari beberapa

literatur.

1

1.5 Manfaat Penulisan

Melalui penulisan referat ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan informasi dan

pengetahuan tentang diagnosis dan penatalaksanaan anak dengan ikterik pada

gangguan sistem hepatobilier.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Istilah jaundice berasal dari bahasa Perancis jaune yang berarti “kuning” atau ikterus dari

bahasa yunani icteros menunjukkan pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau membran

mukosa sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan. Ikterus atau

jaundice menandakan adanya peningkatan produksi bilirubin atau eliminasi bilirubin dari

tubuh yang tidak efektif.1,2

Ikterus menjadi tampak secara klinis pada anak-anak dan orang dewasa jika kadar

bilirubin dalam serum mencapai 2-3mg/dl. Pada neonatus kadar yang lebih tinggi mungkin

ditemukan tanpa bukti ikterus. Ikterus mungkin disertai dengan kencing warna gelap atau

tinja akholik (warna terang).4

2.2 Epidemiologi

Hepatitis virus A, B, C dijumpai hampir diseluruh dunia secara endemis, epidemis maupun

sporadis. Asia tenggara adalah salah satu daerah endemis. Insiden penyakit ini terutama

ditemukan di negara berkembang dengan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang

masih buruk termasuk Indonesia. Hepatitis virus A menempati proporsi terbanyak dari

hepatitis akut pada anak yang dirawat (sampai 55%), maupun yang berobat jalan (data

Divisi Gastro-Hepatologi IKA /RSCM). Hepatitis virus B paling sedikit telah menginfeksi

secara kronis 150 juta orang dengan angka kematian sebanyak 250.000/tahun. Pada anak

yang terinfeksi Hepatitis C vieus umumnya akibat transfusi darah yang terkontaminasi

virus hepatitis C. 1,3,6

Secara umum insiden kolestasis ± 1:2.500 kelahiran hidup. Kejadian kista

koledokus jarang di negara barat dengan frekuensi 1:100.000-150.000 per kelahiran hidup

atau 1:2.000.000 per kelahiran hidup. Insiden sering di Asia, ± 30-50% kasus dilaporkan di

Jepang dengan frekuensi 1:1.000 populasi.7,8

Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Di Amerika serikat,

prevalensi kolelitiasis pada anak dilaporkan hanya 0,15-0,22%. Ratio laki-laki dan

perempuan adalah 2,3 : 1. Median umur untuk anak laki-laki adalah 5 tahun (3 bulan- 14

tahun) dan median untuk anak perempuan adalah 9 tahun ( 7 bulan – 15 tahun). Semua

ukuran batu kurang dari 5 mm dan 56 % merupakan batu yang soliter.16

3

2.3 Anatomi

1. Hepar

Hepar terdiri dari dua lobus besar, yaitu lobus kanan dan kiri, yang mengisi kavitas

abdominis bagian kanan atas dan tengah, tepat di bawah diafragma. Sel-sel hepar

memiliki banyak fungsi, salah satunya fungsi pencernaan yaitu menghasilkan empedu.

Empedu memasuki duktus koledokus minor yang disebut kanalikuli empedu pada sel-

sel hepar, yang kemudian akan bergabung menjadi saluran yang lebih besar dan

akhirnya bersatu membentuk duktus hepatikus, yang akan membawa empedu keluar

dari hepar. Duktus hepatikus akan bersatu dengan duktus sistikus biliaris untuk

membentuk duktus koledokus komunis, yang akan membawa empedu kedalam

duodenum.13

Empedu sebagian besar tersusun atas air dan memiliki fungsi ekskretorik, yaitu

membawa bilirubin dan kelebihan kolesterol ke dalam usus untuk dikeluarkan bersama

feses. Fungsi pencernaan empedu dilakukan oleh garam empedu, yang akan

mengemulsikan lemak di dalam intestinum tenue. Emulsifikasi berarti pemecahan

lemak yang berukuran besar menjadi molekul yang berukuran kecil. Proses ini bersifat

mekanik, bukan kimiawi. Produksi empedu dirangsang oleh hormon sekretin yang

diproduksi oleh duodenum ketika makanan memasuki intestinum tenue.13

Gambar 1. Anatomi hepar7

4

2. Kandung Empedu

Vesika biliaris atau kandung empedu adalah suatu kantong dengan panjang sekitar 7,5

– 10 cm, yang terletak pada permukaan bawah lobus kanan hepar. Empedu di dalam

duktus hepatikus, hepar akan mengalir melalui duktus sistikus ke dalam vesika biliaris,

yang akan menampung empedu sampai ia dibutuhkan kedalam usus halus. Kandung

empedu juga akan meningkatkan konsentrasi empedu dengan mengabsorbsi air. Ketika

makanan yang mengandung lemak memasuki duodenum mukosa duodenum akan

mensekresikan hormon kolesistokinin. Hormon ini akan merangsang kontraksi otot

polos pada dinding vesika biliaris, yang akan mendorong empedu memasuki duktus

sistikus, lalu kedalam duktus koledokus komunis dan berlanjut kedalam duodenum.13

Gambar 2. Anatomi Kandung Empedu14

2.4 Fisiologi

Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :

1. Produksi

Bilirubin adalah produk akhir metabolisme protoporfirin besi atau heme, yang

sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom,

katalase dan heme bebas), mioglobin otot serta eritropoesis yang tidak efektif di

sumsum tulang. Sekitar 80-85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam

sistem monosit makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit adalah 120 hari. Setiap hari 5

dihancurkan sekitar 50 ml darah dan menghasilkan 250-350 mg bilirubin. Pemecahan

heme menghasilkan biliverdin yang akan diubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi.

Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak dan tidak larut dalam air, sehingga tidak

dapat diekskresi dalam empedu atau urin.9,10

2. Transportasi

Bilirubin tak terkonjugasi berikatan dengan albumin dalam suatu kompleks larut air,

kemudian diangkut oleh darah ke sel-sel hati. Setiap molekul albumin mampu

mengikat satu molekul bilirubin. Artinya pada kadar bilirubin serum normal, semua

bilirubin yang dibawa ke dalam hati berikatan dengan albumin, dengan sejumlah kecil

bilirubin bebas yang berdifusi ke jaringan lain. Ambilan oleh sel hati memerlukan dua

protein hati yaitu yang diberi simbol sebagai protein Y dan Z.9,10

3. Konjugasi

Dalam sel hepar bilirubin indirek dikonjugasi oleh enzim glukoronil transferase dalam

retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak, tetapi larut

dalam air dan dapat diekskresi dalam empedu dan urin.dalam air. Didalam hati kira-

kira 80% bilirubin terdapat dalam bentuk bilirubin direk (terkonjugasi atau bilirubin

II).9

4. Ekskresi

Langkah terakhir dalam metabolisme bilirubin hati adalah transport bilirubin

terkonjugasi melalui membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses aktif.

Bilirubin tak terkonjugasi tidak diekskresi ke dalam empedu, kecuali setelah proses

fotooksidasi atau fotoisomerisasi. Bakteri usus mereduksi bilirubin II menjadi

serangkaian senyawa yang disebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini

menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10-20% urobilinogen mengalami siklus

enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil diekskresi dalam urin.9

6

Gambar 3. Fisiologi Metabolisme Bilirubin15

2.5 Etiologi

Ikterus pada anak menggambarkan akumulasi bilirubin tidak terkonjugasi atau

terkonjugasi. Peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi bisa menunjukan peningkatan

produksi, hemolisis, penurunan pembuangan dalam hati atau perubahan metabolisme

bilirubin. Akumulasi bermakna bilirubin terkonjugasi (>20% total) menggambarkan

penurunan ekskresi oleh karena kerusakan sel parenkim hepar atau penyakit saluran

biliaris, yang dapat disebabkan oleh sepsis, penyakit endokrin atau metabolik, radang hati,

atau obstruksi.4

Beberapa penyakit yang sering menyebabkan ikterus pada anak adalah :

1. Hepatitis

Pada kasus hepatitis, terjadinya ikterus disebabkan karena konjugasi dan ekskresi

bilirubin tidak adekuat akibat kerusakan struktur hepar yang mengalami infeksi.

Selain itu, kerusakan sel hepar yang terjadi dapat menurunkan produksi albumin

sehingga proses transportasi bilirubin indirek ke hepar terganggu.6,18

Hepatitis A

7

Infeksi HAV ditularkan melalui fekal-oral. Replikasi virus terjadi di hati yang

menyebabkan kerusakan hati. Seluruh hati memperlihatkan gambaran nekrosis

dan paling banyak berada di daerah centrilobular, serta terjadi peningkatan

jumlah sel di daerah portal. Masa inkubasi 30 hari. Kelenjar getah bening

regional dan limpa dapat membesar. Pada anak yang terinfeksi biasanya

asimptomatis sebanyak 60-90% pada anakberusia kurang dari 6 tahun50-60%

pada usia 6-14 tahun dan 20-30% pada anak lebih dari 14 tahun.1,6

Hepatitis B

Virus Hepatitis B (HBV) adalah virus DNA yang menyebabkan penyeakit hati

akut dan kronik di seluruh dunia. HBV ditularkan melalui:

- Transmisi perinatal dari ibu yang karier

- Transfusi darah, jarum suntik, atau gigitan serangga

- Penularan melalui lingkungan sekitar 12

Anak-anak dengan HBV bisa asimptomatis atau menunjukkan gejala klasik dari

hepatitis akut. Kebanyakan bisa sembuh sendiri, tetapi 1-2% bisa menyebabkan

gagal hepar fulminan, sementara 5-10% menjadi karier. Diagnosis dapat dibuat

apabila terdeteksi antigen dan antibody HBV. Pada infeksi akut bisa didapatkan

antibody IgM positif terhadap antigen inti (anti-HBc) 12

Hepatitis C

Virus hepatitis C (HCV) adalah virus RNA. Pada 90% kasus terjadi hepatitis

post-transfusi akibat virus ini. Anak-anak yang menerima transfusi darah

mempunyai risiko mendapatkan Hepatitis C terutama pada pasien

hemoglobinopati atau hemofili. Transmisi vertical dari ibu yang terinfeksi

jarang, kecuali terdapat infeksi penyerta seperti HIV. 12

2. Kolelitiasis

Adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung empedu.

Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu,

kalsium,asam lemak dan matriks inorganik. Lebih dari 70% kasus pada anak-anak

adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan komposisi

yang tidak diketahui. Dinegara-negara barat, komponen utama dari batu empedu

adalah kolesterol, sehingga sebagian batu empedu mengandung kolesterol lebih dari

80%.9,16

8

Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri bilier

dan obstructive jaundice. Nyeri bilier yang khas pada penderita ini adalah kolik

bilier yang ditandai oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu lebih dari 15 menit

sampai 5 jam. Lokasi nyeri di epigastrium, perut kanan atas menyebar sampai ke

punggung. Tekanan pada kandung empedu bertambah sebagai usaha untuk melawan

obstruksi, sehingga pada saat serangan, perut kanan atas atau epigastrium biasanya

dalam keadaan tegang.16

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis berupa gejala klinis yang

dikeluhkan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diantaranya laboratorium

darah serta pemeriksaan radiologi terutama USG.16

Gambar 4. Kolelitiasis21

3. Kista koledukus

Kista koledukus adalah dilatasi kongenital pada duktus empedu yang dapat

menyebabkan obstruksi bilier progresif dan sirosis bilier. Kista silinder dan bulat

dari duktus ekstrahepatik adalah jenis yang paling sering. Sekitar 75% kasus muncul

selama masa anak-anak. Pada anak yang lebih dewasa, Trias klasik Couvisier dari

kista koledokus adalah ikterus, massa pada kuadran kanan atas dan nyeri abdomen

secara periodik terjadi pada kurang dari 33% pasien. Selain itu disertai dengan feses

akolik,urine seperti teh, massa kuadran kanan atas abdomen, kadang hepatomegali,

kolik intermiten, mual muntah dan demam.

Diagnosis ditegakkan dengan ultrasonografi sebagai alat pilihan. Magnetic

Resonance Cholangiography berguna untuk penilaian preoperatif anatomi kista 9

koledukus. Banyak kista dapat diraba pada pemerikasaan abdomen atau pelvi

sebagai massa yang rata, lunak atau padat di tempat organ asalnya.20

2.6 Patogenesis

Empat mekanisme umum yang menyebabkan hiperbilirubinemia dan Ikterus :

a. Pembentukan bilirubin berlebihan

Penyakit hemolitik atau peningkatan laju dekstruksi eritrosit merupakan penyebab

tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering

disebut sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung

normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugsi melampaui kemampuan hati. Hal ini

mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Meskipun

demikian, pada penderita hemolitik berat kadar bilirubin serum jarang melebihi 5

mg/dl dan ikterus yang timbul bersifat ringan serta berwarna kuning pucat. Bilirubin

tak terkonjugasi tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat dieksresikan dalam urin

dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian terjadi peningkatan pembentukan

urobilinogen akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan

konjugasi serta ekskresi yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam

feses dan urine. Urine dan feses berwarna lebih gelap.9

b. Gangguan ambilan bilirubin

Ambilan bilirubin tak terkonjugasi terikat albumin oleh sel hati dilakukan dengan

memisahkan dan mengikat bilirubin terhadap protein penerima. Pada beberapa kasus

ikterus dapat disebabkan oleh defesiensi protein penerima dan gangguan ambilan oleh

hati. Namun sebagian kasus ditemukan adanya defesiensi glukoronil transferase

sehingga kedaan ini dianggap sebagai defek konjugasi bilirubin.9

c. Gangguan konjugasi bilirubin

Hiperbilirubinemia dapat juga disebabkan oleh imaturitas enzim glukoronil

transferase. Tiga gangguan herediter yang menyebabkan defesiensi progresif enzim

glukoronil transferase adalah sindrom Gilbert dan sindrom Crigler – Najjar tipe I dan

tipe II.9

d. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi

Gangguaan ekskresi bilirubin baik yang disebabkan oleh faktor fungsional maupun

obstruktif, terutama menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia terkonjugasi.

Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat dieksresikan dalam urine dan

10

menimbulkan bilirubinuria serta urine yang gelap. Urobilinogen feses dan

urobilinogen urine sering menurun sehinga feses terlihat pucat. Kadar garam empedu

yang meningkat dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus akibat

hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan akibat

hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar orange, kuning muda

atau tua, sampai kuning kehijauan bila terjadi obstruksi total aliran empedu.9

2.7 Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis harus meliputi riwayat kelahiran dan perinatal, riwayat penyakit dahulu,

riwayat keluarga, obat-obatan, diet, dan aktivitas sosial. Usia penderita dan perjalanan

penyakit memberikan arahan penting mengenai penyebab ikterus. Beberapa keadaan

kholestasis muncul pada awal kehidupan, misalnya atresia bilier dan penyakit

metabolik bawaan. 1

Umumnya penderita mengeluh mata dan badan menjadi kuning, kencing

berwarna pekat seperti air teh, badan terasa gatal (pruritus), disertai atau tanpa

kenaikan suhu badan, disertai atau tanpa kolik di perut kanan atas. Kadang-kadang

feses berwarna keputih-putihan seperti dempul.11

Pada hepatitis gejala awal muncul secara mendadak seperti demam, mual,

muntah, tidak mau makan, dan nyeri perut. Ikterus dapat tidak kentara pada anak kecil

muda sehingga hanya dapat terdeteksi dengan uji laboratorium. Bila terjadi, ikterus dan

urin berwarna gelap biasanya terjadi setelah gejala-gejala sistemik. Selain itu juga bisa

didapatkan ada riwayat ikterus pada keluarga, teman sekolah, teman bermain, atau jika

anak atau keluarga telah berwisata ke daerah endemik.4,10

Bila ikterus disebabkan obstruksi seperti kista koleidokus atau kolelitiasis,

penderita mengalami kolik hebat secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Keluhan nyeri

perut di kanan atas dan menusuk ke belakang. Penderita tampak gelisah dan kemudian

ada ikterus disertai pruritus. Riwayat ikterus biasanya berulang. Riwayat mual ada,

perut kembung, gangguan nafsu makan disertai diare. Warna feses seperti dempul dan

urine pekat seperti air teh.11

2. Pemeriksaan fisik

11

Ikterus dapat dilihat pada sklera atau kulit. Klinikus harus mencatat apakah penderita

tampak sehat atau sakit, atau apakah penderita tampak iritabel atau lemah. Hal ini akan

memberi indikasi apakah terdapat ensefalopati, infeksi atau penyakit metabolik.

Dismorfisme sangat berharga untuk mencari penyebab kolestasis. Popok bisa diperiksa

untuk melihat adanya tinja dempul dan urine gelap.11

Pada penderita hepatitis, minggu pertama fase ikterik kuning akan terus

meningkat kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari. Penderita juga

mengeluh sakit di perut bagian kanan atas, mual, kadang-kadang muntah dan nafsu

makan tetap menurun, urine akan berwarna seperti teh pekat, kadang-kadang tinjanya

berwarna pucat.10

Pada obstruksi saluran empedu didapatkan penderita tampak gelisah, nyeri tekan

perut kanan atas, kadang-kadang disertai defans muscular dan “Murphy Sign” positif,

hepatomegali dengan atau tanpa terabanya kandung empedu. Karena adanya

bendungan, maka menyebabkan pengeluaran bilirubin ke saluran pencernaan

berkurang, sehingga tinja akan berwarna putih seperti dempul karena tidak

mengandung sterkobilin. Akibat penimbunan bilirubin direk, kulit dan sklera akan

berwarna kuning kehijauan.11

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Tes fungsi hati

1. Ekskresi empedu

Bilirubin serum direk (terkonjugasi), meningkat bila terjadi gangguan

ekskresi bilirubin terkonjugasi. Nilai normalnya 0,1-0,3 mg/dl

Bilirubin serum indirek (tidak terkonjugasi), meningkat pada keadaan

hemolitik. Nilai normalnya 0,2-0,7 mg/dl.

Bilirubin serum total, meningkat pada penyakit hepatoseluler. Nilai

normalnya 0,3-1,0 mg/dl.9

2. Protein

Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di retikulum

endoplasma hepatosit. Fungsi utamanya adalah untuk mempertahankan tekanan

koloid osmotik intravaskuler dan sebagai pembawa berbagai komponen dalam

serum, termasuk bilirubin, ion-ion inorganik (contohnya kalsium), serta obat-

12

obatan. Penurunan kadar albumin serum dapat disebabkan karena penurunan

produksi akibat penyakit parenkim hati. Nilai normalnya 3,2-5,5 g/dl. 9,19

3. Enzim serum

Aspartate aminotransferase (AST) atau Serum Glutamic Oxaloasetic

Transaminase (SGOT), Alanine aminotransferase (ALT) atau Serum

Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), dan Lactic Dehydrogenase (LDH)

adalah enzim intrasel yang terutama berada di jantung, hati, dan jaringan

skelet yang dilepaskan dari jaringan yang rusak. Apabila ada kerusakan pada

jaringan-jaringan tersebut maka akan terjadi kenaikan kadar enzim ini dalam

serum. Nilai normal SGOT 5-35 unit/ml dan SGPT 5-35 unit/ml.9,19

Alkaline Phosphatase

Alkaline phosphatase dibentuk dalam tulang, hati, ginjal, usus halus, dan

disekresikan ke dalam empedu. Kadarnya meningkat pada obstruksi biliaris,

penyakit tulang, dan metastasis hati. Nilai normalnya 30-120 IU/L atau 2-4

unit/dl. 9,19

Gamma-glutamyltransferase (GGT)

GGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada saluran empedu dan

hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada pankreas, lien, otak,

mammae, dan usus dengan kadar tertinggi pada tubulus renal. GGT

merupakan indikator yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya penyakit

hepatobilier. Kadar GGT tertinggi ditemukan pada obstruksi hepatobilier.

Peningkatan kadar GGT pada kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik

bervariasi dan tidak dapat digunakan untuk membedakan di antara

keduanya.19

b. Pencitraan

Ultrasonografi (USG)

USG perlu dilakukan untuk menentukan penyebab obstruksi. Yang perlu

diperhatikan adalah :

- Besar, bentuk dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk kandung

empedu yang normal adalah lonjong dengan ukuran 2 – 3 x 6 cm, dengan

ketebalan sekitar 3 mm. Bila ditemukan dilatasi duktus koledokus dan

saluran empedu intrahepatal disertai pembesaran kandung empedu

menunjukan ikterus obstrusi ekstrahepatal bagian distal. Sedangkan bila

13

hanya ditemukan pelebaran saluran empedu intrahepatal saja tanpa disertai

pembesaran kandung empedu menunjukkan ikterus obstruksi ekstrahepatal

bagian proksimal artinya kelainan tersebut di bagian proksimal duktus

sistikus.

- Ada tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas tinggi

disertai bayangan akustik (acustic shadow), dan ikut bergerak pada

perubahan posisi, hal ini menunjukan adanya batu empedu.

- Bila tidak ditemukan tanda-tanda dilatasi saluran empedu berarti

menunjukan adanya ikterus obstruksi intra hepatal.11

Computed Tomography (CT) Scan

CT Scan dilakukan untuk melihat adanya dilatasi duktus intrahepatik yang

disebabkan oleh oklusi ekstrahepatik dan duktus koledokus akibat kolelitiasis.

CT scan menyediakan evaluasi yang baik dari seluruh saluran empedu karena

dapat menentukan anatomi lebih baik daripada ultrasonografi. CT scan mungkin

modalitas pencitraan awal dalam beberapa kasus.17

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI menghasilkan gambar yang sebanding dengan kualitas CT scan tanpa

paparan pasien terhadap radiasi pengion. Setelah pemberian agen kontras yang

cocok, pencitraan dari saluran empedu bisa lebih terperinci.17

Endoskopi retrograde cholangiopancreatography (ERCP)

ERCP berguna dalam kasus dimana obstruksi bilier diduga kuat. Ini adalah

investigasi pilihan untuk mendeteksi dan mengobati batu saluran empedu umum

dan juga berguna untuk membuat diagnosis kanker pankreas. Kondisi lain yang

mungkin berguna ERCP termasuk primary sclerosing cholangitis dan adanya

kista koledukus.17

c. Biopsy hati

Banyak penderia membutuhkan biopsy hati untuk menegakkan diagnosis pasti.

Biopsy dapat dilakukan perkutan, dengan atau tanpa arahan ultrasonografi atau

melalui pembedahan. Selain untuk pemeriksaan histopatologi untuk melihat

gambaran spesifik, specimen biopsy hati dapat digunakan untuk pemeriksaan secara

kuantitatif kandungan besi dan tembaga.17

14

2.8 Penatalaksanaan

15

Penatalaksanaan terhadap anak dengan ikterus pada gangguan sistem hepatobilier

tergantung dari penyebabnya.

a. Ikterus Intrahepatik yang disebabkan oleh hepatitis

Tidak ada pengobatan antivirus spesifik untuk HAV. Infeksi akut dapat dicegah dengna

pemberian immunoglobulin dalam 2 minggu setelah terinfeksi atau menggunakan

vaksin. Penderita hepatitis A biasanya dirawat jalan, tetapi 13% penderita memerlukan

rawat inap dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi dengan kesulitan masukan per oral,

kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal, koagulopati, dan ensefalopati.10

b. Ikterus Obstruktif yang disebabkan oleh kista koledukus dan kolelitiasis

Penatalaksanaan non-bedah

- Terapi suportif dan diet

Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya

mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala

gastrointestinal ringan Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang

akut biasanya dibatasi pada makanan cair rendah lemak.

- Farmakoterapi

Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk)

telah digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil

dan terutama tersusun dari kolesterol.. Mekanisme kerjanya adalah menghambat

sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah

empedu. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung

empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24

jam. Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu

yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan

iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu

kandung empedu.16

Penatalaksanaan bedah

Sampai saat ini pembedahan masih merupakan baku emas dalam penanganan

kolelitiasis. Pada dasarnya penatalaksanaan penderita ikterus obstruksi bertujuan

untuk menghilangkan penyebab obstruksi atau mengalihkan aliran empedu. Bila

penyebabnya adalah batu di kandung empedu dilakukan kolesistektomi yaitu

mengangkat kandung empedu beserta seluruh batu. Bila ditemukan dilatasi duktus

koledokus lebih dari 5 mm dilakukan eksplorasi duktus koledokus. Semua batu

16

dibuang sebersih mungkin. Usaha selanjutnya ialah mencegah batu rekuren dengan

menghilangkan sumber pembentuk batu antara lain dengan cara diet rendah

kolesterol, menghindari penggunaan obat-obatan yang meningkatkan kolesterol,

mencegah infeksi saluran empedu. Bila letak batu sudah pasti hanya dalam duktus

koledokus, dapat dilakukan sfingterotomi / papilotomi untuk mengeluarkan

batunya.11

c. Terapi nutrisi

Pada pasien ikterus bisa terjadi malnutrisi yaitu malnutrisi protein, malabsorpsi lemak,

anoreksia dan defisiensi vitamin larut lemak. Terapi yang diberikan adalah diet TKTP

dengan penambahan 50% kalori dari biasanya. Sebagian besar anak membutuhkan

NGT atau nutrisi parenteral.

2.9 Prognosis

Prognosis ikterus pada anak karena gangguan system hepatobilier tergantung penyakit

dasarnya.

Pada kolelitiasis prognosisnya adalah baik. Jeda waktu antara deteksi batu pada pasien

asimtomatik dan pengembangan gejala ini diperkirakan terjadi lebih dari 10 tahun.16

Pada kista koledukus prognosis setelah eksisi biasanya sangat baik. Pasien perlu

tindak lanjut seumur hidup karena peningkatan resiko kolangiokarsinoma, bahkan

setelah eksisi komplit kista.8

Hepatitis A prognosisnya sangat baik. Pada kebanyakan pasien, infeksi HAV adalah

self-limited, dan bisa sembuh sempurna. Bahkan, banyak kasus tidak menunjukkan

gejala. Kecuali dalam pengaturan hepatitis fulminan, gejala sisa jarang terjadi.

Hepatitis fulminan akibat HAV jarang dan memiliki tingkat mortalitaskira-kira 0,4%.

Infeksi HAV yang kambuh terjadi pada sekitar 10% dari pasien kira-kira1-4 bulan

setelah episode awal dan akhirnya dapat sembuh sepenuhnya. 6

Hepatitis B akut 90% memiliki kemungkinan yang baik dan bisa sembuh sempurna.

Meskipun tingkat mortalitas untuk kebanyakan kasus hepatitis B rendah, pasien yang

dirawat di rumah sakit dengan hepatitis B akut memiliki tingkat mortalitas 1%.12

Pada Hepatitis C lebih dari 80% dari individu yang terinfeksi akut akan mengalami

hepatitis kronis. Kebanyakan pasien yang terinfeksi kronis dengan virus hepatitis C

tetap asimtomatik dan tidak memiliki penyakit hepar yang signifikan. 12

17

Hepatitis kronis yang aktif, yang dapat dilihat pada hepatitis B virus (HBV) atau virus

hepatitis C (HCV), tidak terjadi pada infeksi HAV. Kondisi carrier kronis tidak

terlihat dengan infeksi HAV. 6

2.10 Komplikasi

1. Pruritus

Pruritus merupakan morbiditas yang penting dan sering terjadi baik pada kolestasis

intrahepatik maupun ekstrahepatik. Daerah predileksinya meliputi seluruh bagian tubuh

dengan daerah telapak tangan dan kaki, permukaan ekstensor ekstremitas, wajah,

telinga, dan trunkus superior memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi. Mekanisme

terjadinya pruritus masih belum diketahui secara pasti. Deposit garam empedu di kulit

diketahui memiliki efek pruritogenik secara langsung. Namun sudah dibuktikan bahwa

teori ini tidak benar. Sebagai tambahan, hiperbilirubinemia indirek tidak dapat

menyebabkan pruritus.19

Teori lain menyatakan bahwa pruritus pada kolestasis disebabkan karena

konsentrasi garam empedu yang tinggi di hati menyebabkan kerusakan hati sehingga

terjadi pelepasan substansi yang bersifat pruritogenik (misalnya histamine).19

2. Hiperlipidemia dan Xantoma

Hiperlipidemia dan xantoma merupakan komplikasi yang sering terjadi pada kolestasis

intrahepatik. Pada kolestasis terjadi gangguan aliran empedu yang akan menyebabkan

meningkatnya kadar lipidoprotein di sirkulasi sehingga terjadi hiperkolesterolemia

(kolesterol serum mencapai 1000-2000 mg/dl). Hal ini menyebabkan akan

terdepositnya kolesterol di kulit, membrane mukosa, dan arteri. Risiko atherosclerosis

pada anak dengan kolestasis kronis tidak diketahui.19

3. Sirosis dan Gagal Hati

Sirosis dan gagal hati dapat terjadi pada pasien yang mengalami keterlambatan

diagnosis sehingga fungsi hati sudah tidak dapat dipertahankan lagi.19

BAB III

KESIMPULAN

18

Ikterus pada anak adalah suatu manifestasi klinis penting untuk mendiagnosis

penyakit-penyakit prehepatik, hepatik dan post hepatik yang bisa berakibat fatal. Untuk

itu diagnosa dan penatalaksaan sangat membantu dalam menentukan prognosis.

Penegakkan diagnosa,terdiri dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang yaitu laboratorium sederhana dan lengkap serta pemeriksaan canggih

lainnya. Dari anamnesa ditanyakan riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses,

riwayat transfusi dan riwayat obat-obatan. Pada pemeriksaan fisik, pada perabaan hati,

kandung empedu, limpa bisa ditemukan tanda-tanda pembesaran. Pada pemeriksaan

fisik juga dicari bekas-bekas garukan di kulit karena pruritus. Pada pemeriksaan

laboratorium dilakukan pada semua anak yang ikterus. Tes laboratoriumnya seperti tes

serum bilirubin direk dan indirek, protein serum, dan enzim serum. Hiperbilirubinemia

tak terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan produksi bilirubin dan menurunnya

ambilan dan konjugasi hepatosit.

Pemeriksaan faal hati seperti SGPT, SGOT, albumin, dan gama-

glutamiltransferase dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan oleh

gangguan pada sel-sel hati atau adanya hambatan pada saluran empedu. Pemeriksaan

feses yang menunjukan adanya perubahan warna menjadi dempul. Pada pemeriksaan

penunjang biasanya dilakukan ultrasonografi (USG), CT-scan, ERCP (endoscopic

retrograde cholangio pancreatography), PTC (percutaneus transhepatic

cholangiography), dan biopsy hati.

Penatalaksanaan anak dengan ikterik tergantung kepada penyakit dasarnya, bisa

berupa terapi farmakologi, operatif, maupun suportif. Penanganan yang cermat dan

tepat akan memberikan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu kita dituntut untuk lebih

cermat dalam memahami patofisiologi, diagnosis, dan tatalaksana anak dengan ikterus

sehingga dapat melakukan penanganan yang benar.

DAFTAR PUSTAKA

19

1. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI / RSCM. 2007. Diagnosis dan Tatalaksana

Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Jakarta: FKUI.

2. Callahan JM. 2005. Ikterus dalam Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC. Hal 461-

472.

3. Forbes D. 2008. Liver Diseases in Childhood in Practical Paediatrics 6th edition.

Melbourne, Australia: Churchill Livingstone Elsevier. Hal. 751-758.

4. Balistreri WF. 2000. Manifestasi Penyakit Hati dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson

Vol. 2. Jakarta: EGC. Hal. 1386-1387.

5. Neonatal Jaundice. Best Medical Journal Group. Diakses melalui

http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/672/basics/epidemiology.html.

Diakses pada tanggal 13 Oktober 2011.

6. Bennet NJ. 2011. Pediatric Hepatits A. Medscape Reference. Diakses melalui

http://emedicine.medscape.com/article/964575. Diakses pada tanggal 13 Oktober

2011.

7. Netter FH. 2006. Atlas of Human Anatomy 4th Edition. Philadelphia: Saunders

Elsevier.

8. Sawyer, Michael AJ. 2009. Choledochal Cysts. Medscape Reference. Diakses melalui

http://emedicine.medscape.com/article/172099. Diakses pada tanggal 13 Oktober

2011.

9. Lindseth GA. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas dalam

Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Hal. 481-485.

10. Martiza, Iesje. 2011. Ikterus dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1.

Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Hal. 263-284.

11. Ikterus Obstruksi. Diakses melalui http://ilmubedah.info/ikterus-obstruksi-diagnosis-

penatalaksanaan-20110204.html. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2011.

12. Lissauer, Tom. 2009. Liver Disorders in Illustrated Textbook of Paediatrics 3rd

edition. Philadelphia: Mosby Elsevier. Hal. 337-345.

13. Scanlon VC. 2007. Buku Ajar Anatomi & Fisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC. Hal.350-

353.

14. Na-en bijscholing apothekers. 2011. Hepatitis Heelzucht. Diakses melalui

http://www.prd-online.com/user/coursedat/c43/Marmed/Geelzucht.php. Diakses pada

tanggal 14 Oktober 2011.

15. Hemoglobin Metabolism. Diakses melalui

20

http://jaundicesymptoms.org/hemoglobinmetabolism pada tanggal 14 Oktober 2011.

16. Gustawan, dkk. 2007 Kolelitiasis pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar. Diakses melalui

http://indonesia.digitaljournal.org/index.php/idnmed/article/download543/661.

Diakses pada tanggal 13 Oktober 2011.

17. Weisiger RA, dkk. 2009. Hyperbilirubinemia, Conjugated. Diakses melalui

http://emedicine.medscpae.com/article/178757. Diakses pada tanggal 13 Oktober

2011.

18. Robbins. 2007. Basic Pathology 8th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. Hal 637-

639.

19. Kadim, Muzal, dkk. 2008. Kolestasis. Jakarta: UKK Gastro-Hepatologi IDAI.

20. Suchy FJ. 2007.Cystic Disease of the Biliary Tract and Liver in Nelson Textbook of

Pediatrics 18th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.

21. www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/17038.htm . Diakses pada tanggal 14

Oktober 2011.

21