52
REFERAT KOASS INTERNA (Periode 18 Agustus – 26 Oktober 2014) Hipertiroidisme Disusun oleh : NABILHARIZ 1102010196 Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo Pembimbing : Dr. Teddy Ervano, Sp.PD KEMD SMF PENYAKIT DALAM RSUD PASAR REBO JAKARTA 1

Referat Hipertiroid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tiroid

Citation preview

REFERAT KOASS INTERNA

(Periode 18 Agustus 26 Oktober 2014)

Hipertiroidisme

Disusun oleh :

NABILHARIZ

1102010196

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo

Pembimbing :

Dr. Teddy Ervano, Sp.PD KEMD

SMF PENYAKIT DALAM

RSUD PASAR REBO JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

SEPTEMBER 2014

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertiroid ialah suatu sindroma klinik yang terjadi karena pemaparan jaringan terhadap hormone tiroid berlebihan. Penyakit tiroid merupakan penyakit yang banyak ditemui di masyarakat, 5% pada pria dan 15% pada wanita. Penyakit Graves di Amerika sekitar 1% dan di Inggris 20-27/1000 wanita dan 1.5-2.5/1000 pria, sering ditemui di usia kurang dari 40 tahun (Djokomoeljanto, 2010).

Istilah hipertiroidisme sering disamakan dengan tirotoksikosis, meskipun secara prinsip berbeda. Hipertiroidisme dimaksudkan hiperfungsi kelenjar tiroid dan sekresi berlebihan dari hormone tiroid dalam sirkulasi. Pada tirotoksikosis dapat disebabkan oleh etiologi yang amat berbeda, bukan hanya yang berasal dari kelenjar tiroid. Adapun hipertiroidisme subklinis, secara definisi diartikan kasus dengan kadar hormone normal tetapi TSH rendah. Di kawasan Asia dikatakan prevalensi lebih tinggi disbanding yang non Asia (12% versus 2.5%) (Djokomoeljanto, 2010). Penyakit Graves merupakan penyebab utama dan tersering tirotoksikosis (80-90%), sedangkan yang disebabkan karena tiroiditis mencapai 15% dan 5% karena toxic nodular goiter. Prevalensi penyakit Graves bervariasi dalam populasi terutama tergantung pada intake yodium (tingginya intake yodium berhubungan dengan peningkatan prevalensi penyakit Graves). Penyakit Graves terjadi pada 2% wanita, namun hanya sepersepuluhnya pada pria. Kelainan ini banyak terjadi antara usia 20-50 tahun, namun dapat juga pada usia yang lebih tua (Fauci, 2008).

Hipertiroidisme sering ditandai dengan produksi hormone T3 dan T4 yang meningkat, tetapi dalam persentase kecil (kira-kira 5%) hanya T3 yang meningkat, disebut sebagai tirotoksikosis T3 (banyak ditemukan di daerah dengan defisiensi yodium). Status tiroid sebenarnya ditentukan oleh kecukpuan sel atas hormon tiroid dan bukan kadar normal hormone tiroid dalam darah. Ada beberapa prinsip faali dasar yang perlu diingat kembali. Pertama bahwa hormone yang aktif adalah free hormone, kedua bahwa metabolisme sel didasarkan atas tersedianya free T3 bukan free T4, ketiga bahwa distribusi deiodinase I, II, dan III di berbagai organ tubuh berbeda (D1 banyak di hepar, ginjal dan tiroid, DII di otak, hipofisis, dan DIII di jaringan fetal, otak, plasenta), namun hanya D1 yang dapat dihambat oleh PTU (Djokomoeljanto, 2010).

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid berada di kedalaman dari otot sternothyroid dan sternohyoid, terletak di anterior leher sepanjang C5-T1 vertebrae. Kelenjar ini terdiri dari lobus kanan dan kiri di anterolateral dari laring dan trakea. Kedua lobus ini disatukan oleh bagian yang menyatu yang disebut isthmus, di cincin trakea kedua dan ketiga. Kelenjar tiroid dikelilingi oleh suatu fibrous capsule tipis, yang membuat septa kedalam kelenjar. Jaringan ikat padat menempel pada cricoid cartilage dan superior tracheal ring. Dari external ke capsule adalah loose sheath yang dibentuk oleh visceral portion dari lapisan pretracheal di kedalaman cervical fascia (Snell, 2006).

Gambar 1. Anatomi kelenjar tiroid

Arteri; kelenjar tiroid memiliki aktivitas vaskular yang tinggi dan disuplai oleh arteri superior dan inferior. Pembuluh darah ini berada di antara fibrous capsule dan loose fascial sheath. Biasanya cabang pertama dari arteri eksternal karotid adalah superior tiroid arteri, turun ke bagian superior kelenjar, menembus lapisan pretracheal di kedalaman cervical fascia, dan membagi kedalam cabang anterior dan superior yang menyuplai bagian anterosuperior dari kelenjar. Arteri inferior tiroid, cabang terbesar dari thyrocervical trunks dari arteri subclavian, ke bagian posterior secara superomedial ke carotid sheath untuk mencapai bagian posterior dari kelenjar tiroid. Terbagi kedalam beberapa cabang yang menembus lapisan pretracheal di kedalaman cervical fascia dan menyuplai bagian posterioinferior, termasuk ke bagian inferior kelenjar. Kanan dan superior kiri dan arteri inferior tiroid beranatomosis kedalam kelenjar dan menyuplai kelenjar (Snell, 2006).

Vena; Tiga pasang vena tiroid biasanya membentuk tiroid plexus vena di permukaan anterior kelenjar tiroid dan anterior trachea. Vena superior tiroid bersama arteri superior tiroid, mereka memperdarahi bagian superior tiroid. Vena middle tiroid tidak disertai arteri dan memperdarahi bagian medial tiroid. Sedangkan vena inferior tiroid memperdarahi bagian inferior tiroid. Vena superior dan middle tiroid akan bermuara ke internal jugular vein sedangkan vena inferior tiroid bermuara ke brachiocephalic vein (Snell, 2006).

Lymph; pembuluh lymph dari kelenjar tiroid melewati jaringan ikat interlobular, biasanya didekat arteri. Mereka berkomunikasi dengan suatu jaringan capsular pembuluh lymphatic. Dari sini, pada mulanya pembuluh ini melewati prelaryngeal, pretracheal, dan paratracheal lymph nodes. Prelaryngeal mengalir ke superior cervical lymph nodes, dan pretracheal dan paratracheal lymph nodes mengalir ke inferior deep cervical nodes. Disamping itu, pembuluh lymph berada di sepanjang vena superior tiroid melewati langsung ke inferior deep cervical lymph nodes. Beberapa pembuluh lymph mengalir ke brachiocephalic lymph nodes atau thoracic duct (Snell, 2006).

Nerve; Saraf dari kelenjar tiroid diturunkan dari superior, middle, dan inferior cervical (symphatetic) ganglia. Mereka mencapai kelenjar melalui cardia dan superior dan inferior thyroid periarterial plexuses yang bersama-sama tiroid arteri. Seratnya adalah vasomotor, bukan secremotor. Mereka menyebabkan konstriksi pembuluh darah. Sekresi endokrin dari kelenjar tiroid diregulasi secara hormonal oleh kelenjar pituitary (Snell, 2006).

2.2. Mekanisme iodine pathway dalam tubuh

Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid (Guyton, 2010)

1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.

2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi dengan bantuan H2O2 dan enzim TPO(tiroperoksidase). Kelenjar tiroid merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi hingga mencapai status valensi yang lebih tinggi..

3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase) menghasilkan MIT dan DIT,proses ini disebut coupling.Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin) menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). Reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.

4. Sesudah pembentukan hormon selesai,hormon dan yodium serta Tg disimpan ekstrasel (di lumen koloid) yang akan dikeluarkan apabila dibutuhkan ,tahap ini disebut storage.

5. Pengeluaran hormon dimulai dengan terbentuknya vesikel endositotik di ujung vili atas pengaruh TSH,resorpsi

6. Terjadi proses digesti oleh enzim lisosom dan endosom sehingga memisahkan produk yang beryodium dari Tg yang menghasilkan T3,T4,DIT dan MIT bebas,proses ini disebut proteolisis.

7. T3 & T4 berdifusi dan dilepaskan ke sirkulasi, sekresi

8. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi, dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim yodotirosin deiodinase sangat berperan dalam proses ini.

9. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan kompleks golgi.

Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik secara cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek (Guyton, 2010).

Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:

1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55% T4 dan 65% T3 yang ada di dalam darah.

2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik, termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.

3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.

Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun, sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi T3 oleh enzim deiodinase( DI,DII dan DIII) atau diaktifkan,organ yang mempunyai kapasitas untuk konversi ialah hati,ginjal,jantung dan hipofisis melalui proses pengeluaran satu yodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel (Guyton, 2010).

Tironin yang diiodinisasi diturunkan dari iodinisasi cincin fenolik dari residu tirosin dalam tiroglobulin membentuk mono- dan diiodotirosin, yang digabungkan membentuk T3 atau T4 (Murray, 2010)

Hormon tiroid unik karena mengandung 59-65% unsur iodin (Murray, 2010)

FISIOLOGI

Pengaturan Sekresi Hormon Tiroid

Mula-mula, hipotalamus sebagai pengatur mensekresikan TRH (Thyrotropin-Releasing Hormone), yang disekresikan oleh ujung-ujung saraf di dalam eminansia mediana hipotalamus. Dari mediana tersebut, TRH kemudian diangkut ke hipofisis anterior lewat darah porta hipotalamus-hipofisis. TRH langsung mempengaruhi hifofisis anterior untuk meningkatkan pengeluaran TSH.nTSH merupakan salah satu kelenjar hipofisis anterior yang mempunyai efek spesifik terhadap kelenjar tiroid (Guyton, 2010) :

1. Meningkatkan proteolisis tiroglobulin yang disimpan dalam folikel, dengan hasil akhirnya adalah terlepasnya hormon-hormon tiroid ke dalam sirkulasi darah dan berkurangnya subtansi folikel tersebut.

2. Meningkatkan aktifitas pompa yodium, yang meningkatkan kecepatan proses iodide trapping di dalam sel-sel kelenjar, kadangakala meningkatkan rasio konsentrasi iodida intrasel terhadap konsentrasi iodida ekstrasel sebanyak delapan kali normal.

3. Meningkatkan iodinasi tirosin untuk membentuk hormon tiroid.

4. Meningkatkan ukuran dan aktifitas sensorik sel-sel tiroid.

5. Meningkatkan jumlah sel-sel tiroid, disertai dengan dengan perubahan sel kuboid menjadi sel kolumner dan menimbulkan banyak lipatan epitel tiroid ke dalam folikel.

Efek Umpan Balik Hormon Tiroid dalam Menurunkan Sekresi TSH oleh Hipofisis Anterior

Meningkatnya hormon tiroid di dalam cairan tubuh akan menurunkan sekresi TSH oleh hipofisis anterior. Hal ini terutama dikarenakan efek langsung hormon tiroid terhadap hipofisis anterior

Faktor-faktor yang Mengatur Sekresi Hormon Tiroid (Guyton, 2010).

1. HIPOTALAMUS : Sintesis dan pelepasan TRH

Perangsangan :

Penurunan Ta dan T3 serum, dan T3 intraneuronal

Neurogenik : sekresi bergelombang dan irama sirkadian

Paparan terhadap dingin (hewan dan bayi baru lahir)

Katekolamin adrenergik-alfa

Vasopresin arginin

Penghambatan :

Peningkatan Ta dan T3 serum, dan T3 intraneuronal

Penghambat adrenergik alfa

Tumor hipotalamus

2. HIPOFISIS ANTERIOR: Sintesis dan pelepasan TSH

Perangsangan :

TRH

Penurunan T4 dan T3 serum, dan T3 intratirotrop

Penurunan aktivitas deiodinasi-5' tipe 2

Estrogen : meningkatkan tempat pengikatan TRH

Penghambatan:

Peningkatan T4 dan T3 serum, dan T3 intratirotrop

Peningkatan aktivitas deiodinase-5' Tipe 2

Somatostatin

Dopamin, agonis dopamin : bromokriptin

Glukokortikoid

Penyakit-penyakit kronis

Tumor hipofisis

3. TIROID : Sintesis dan pelepasan hormon tiroid

Perangsangan :

TSH

Antibodi perangsangan TSH-R

Penghambatan :

Antibodi penghambat TSH-R

Kelebihan iodida

Terapi litium

Efek Fisiologik Hormon Tiroid

Efek transkripsional dari T3 secara karakteristik memperlihatkan suatu lag time berjam-jam atau berhari-hari untuk mencapai efek yang penuh. Aksi genomik ini menimbulkan sejumlah efek, termasuk efek pada pertumbuhan jaringan, pematangan otak, dan peningkatan produksi panas dan konsumsi oksigen yang sebagian disebabkan oleh peningkatan aktivitas dari Na+-K+ ATPase, produksi dari reseptor beta-adrenergik yang meningkat. Sejumlah aksi dari T3 tidak genomik, seperti penurunan dari deiodinase-5' tipe 2 hipofisis dan peningkatan dari transpor glukosa dan asam amino. Sejumlah efek spesifik dari hormon tiroid diringkaskan berikut ini.

1. Efek pada Perkembangan Janin

Sistem TSH tiroid dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin manusia sekitar 11 minggu. Sebelum saat ini, tiroid janin tidak mengkonsentrasikan 12 I. Karena kandungan plasenta yang tinggi dari deiodinase-5 tipe 3, sebagian besar T3 dan T4 maternal diinaktivasi dalam plasenta, dan sangat sedikit sekali hormon bebas mencapai sirkulasi janin. Dengan demikian, janin sebagian besar tergantung pada sekresi tiroidnya sendiri. Walaupun sejumlah pertumbuhan janin terjadi tanpa adanya sekresi hormon tiroid janin, perkembangan otak dan pematangan skeletal jelas terganggu, menimbulkan kretinisme (retardasi mental dan dwarfisme/cebol) (Guyton, 2010).

2. Efek pada Konsumsi Oksigen, Produksi panas, dan Pembentukan Radikal Bebas

T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian melalui stimulasi Na+-K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien, dan testis. Hal ini berperan pada peningkatan kecepatan metabolisme basal (keseluruhan konsumsi O2 hewan saat istirahat) dan peningkatan kepekaan terhadap panas pada hipertiroidisme. Hormon tiroid juga menurunkan kadar dismutase superoksida, menimbulkan peningkatan pembentukan radikal bebas anion superoksida. Hal ini dapat berperan pada timbulnya efek mengganggu dari hipertiroidisme kronik (Guyton, 2010).

3. Efek Kardiovaskular

T3 merangsang transkripsi dari rantai berat miosin dan menghambat rantai berat miosin, memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga meningkatkan transkripsi dari Ca2+ ATPase dalam retikulum sarkoplasmik, meningkatkan kontraksi diastolik jantung; mengubah isoform dari gen Na+ -K+ ATPase gen; dan meningkatkan reseptor adrenergik-beta dan konsentrasi protein G. Dengan demikian, hormon tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik yang nyata terhadap jantung. Hal ini merupakan penyebab dari keluaran jantung dan peningkatan nadi yang nyata pada hipertiroidisme dan kebalikannya pada hipotiroidisme (Guyton, 2010).

4. Efek Simpatik (simpatomimetik)

Seperti dicatat di atas, hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor adrenergik-beta dalam otot jantung, otot skeletal, jaringan adiposa, dan limfosit. Mereka juga menurunkan reseptor adrenergik-alfa miokardial. Di samping itu; mereka juga dapat memperbesar aksi katekolamin pada tempat pascareseptor. Dengan demikian, kepekaan terhadap katekolamin meningkat dengan nyata pada hipertiroidisme, dan terapi dengan obat-obatan penyekat adrenergik-beta dapat sangat membantu dalam mengendalikan takikardia dan aritmia (Guyton, 2010).

5. Efek Pulmonar

Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapne normal pada pusat pernapasan. Pada hipotiroidisme berat, terjadi hipoventilasi, kadangkadang

memerlukan ventilasi bantuan (Guyton, 2010).

6. Efek Hematopoetik

Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme menyebabkan peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis. Namun, volume darah biasanya tidak meningkat karena hemodilusi dan peningkatan penggantian eritrosit. Hormon tiroid meningkatkan kandungan 2,3-difosfogliserat eritrosit, memungkinkan peningkatan disosiasi O2 hemoglobin dan meningkatkan penyediaan O2 kepada jaringan. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada hipotiroidisme (Guyton, 2010).

7. Efek Gastrointestinal

Hormon tiroid merangsang motilitas usus, yang dapat menimbuklan peningkatan motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan memperlambat transit usus serta konstipasi pada hipotiroidisme. Hal ini juga menyumbang pada timbulnya penurunan berat badan yang sedang pada hipotiroidisme dan pertambahan berat pada hipotiroidisme (Guyton, 2010).

8. Efek Skeletal

Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan resorpsi tulang, dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang. Dengan demikian, hipertiroidisme dapat menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan pada kasus berat, hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan ekskresi hidroksiprolin urin dan hubungan-silang pyridinium (Guyton, 2010).

9. Efek Neuromuskular

Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak protein struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein dan kehilangan jaringan otot atau miopati. Hal ini dapat berkaitan dengan kreatinuria sontan. Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot, secara klinik diamati adanya hiperefleksia atau hipertiroidisme-atau sebaliknya pada hipotiroidisme. Hormon tiroid penting untuk perkembangan dan fungsi normal dari susunan saraf pusat, dan hiperaktivitas pada hipertiroidisme serta kelambanan pada hipotiroidisme dapat mencolok (Guyton, 2010).

10. Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat

Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hati demikian pula absorpsi glukosa usus. Dengan demikian, hipertiroidisme akan mengeksaserbasi diabetes melitus primer. Sintesis dan degradasi kolesterol keduanya meningkat oleh hormon tiroid. Efek yang terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh suatu peningkatan dari reseptor low-density lipoprotein (LDL) hati, sehingga kadar kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid yang berlebihan. Lipolisis juga meningkat, melepaskan asam lemak dan gliserol. Sebaliknya, kadar kolesterol meningkat pada hipotiroidisme (Guyton, 2010).

11. Efek Endokrin

Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak hormon dan obat-obatan farmakologik. Contohnya, waktu-paruh dari kortisol adalah sekitar 100 menit pada orang normal, sekitar 50 menit pada pasien hipertiroid, sekitar 150 menit pada pasien hipotiroid. Kecepatan produksi kortisol akan meningkat pada pasien hipertiroid; dengan fungsi adrenal normal sehingga mempertahankan suatu kadar hormon sirkulasi yang normal. Namun, pada seorang pasien dengan insufisiensi adrenal, timbulnya hipertiroidisme atau terapi hormon tiroid dari hipotiroidisme dapat mengungkapkan adanya penyakit adrenal. Ovulasi dapat terganggu pada hipertiroidisme maupun hipotiroidisme, menimbulkan infertilitas, yang dapat dikoreksi dengan pemulihan keadaan eutiroid. Kadar prolaktin serum meningkat sekitar 40% pada pasien dengan hipotiroidisme, kemungkinan suatu manifestasi dari peningkatan pelepasan TRH; hal ini akan kembali normal dengan terapi T4 (Guyton, 2010).

HIPERTIROIDISME

Definisi

Menurut American Thyroid Association dan American Association of Clinical Endocrinologists tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif. Dengan kata lain hipertiroid terjadi karena adanya peningkatan hormon tiroid dalam darah dan biasanya berkaitan dengan keadaan klinis tirotoksikosis (ATA, 2011). Efek ini disebabkan ikatan T3 dengan reseptor T3-inti yang makin penuh. Rangsang TSH atau TSH-like substance (TSI, TSAb), autonomi intrinsik kelenjar menyebabkan tiroid meningkat, terlihat dari radiocative neck-uptake naik (Djokomoeljanto, 2010).

Etiologi & Klasifikasi

Penyebab hipertiroid dibedakan dalam 2 klasifikasi, dimana pembagiannya berdasarkan pusat penyebab dari hipertiroid, yaitu organ yang paling berperan (Djokomoeljanto, 2010).

a. Hipertiroid primer : jika terjadi hipertiroid karena berasal dari kelenjar tiroid itu sendiri, misalnya penyakit graves, hiperfungsional adenoma (plummer), toxic multinodular goiter

b. Hipertiroid skunder : jika penyebab dari hipertiroid berasal dari luar kelenjar tiroid, misalnya tumor hipofisis/hypotalamus, pemberian hormon tiroid dalam jumlah banyak, pemasukan iodium yang berlebihan, serta penyakit mola hidatidosa pada wanita.

c. Tidak berkaitan dengan hipertiroidisme: tiroiditis granulomatosa subakut(nyeri),tiroiditis limfositik subakut (tidak nyeri),struma ovarii (teratoma ovarium dengan tiroid ektopik) dan tirotoksikosis palsu (asupan tiroksin eksogen)

Penyebab Tirotoksikosis

Hipertiroidisme Primer

Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidisme

Hipertiroidisme Sekunder

Penyakit Graves

Struma multinodular toksik

Adenoma toksik

Obat: yodium lebih, lithium

Karsinoma tiroid yang berfungsi

Struma ovarii (ektopik)

Mutasi TSH-r

Hormon tiroid berlebih (tirotoksikosis faktisia)

Tiroiditis subakut

Silent thyroiditis

Destruksi kelenjar : amiodaron,radiasi, adenoma, infark

TSH-secreting tumorchGH secreting tumor

Tirotoksikosis gestasi (trimester I)

Resistensi hormon tiroid

Kira-kira 70% tirotoksikosis karena penyakit Graves (morbus Graves), sisanya karena gondok multinodular toksik (morbus Plummer) dan adenoma toksik (morbus Goetsch) (ATA, 2011).

a. Graves Disease

Graves disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves disease. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et al, 2010). Graves disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan karena adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid melebihi normal. TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan antigen. Namun pada Graves disease sel-sel APC (antigen presenting cell) menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen). Selanjutnya T helper akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi berupa TSAb. Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves Disease adalah HLA. Pada pasien Graves disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine, sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut berupa glutamine (Jacobson et al, 2008).

Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves disease perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Menurut Baskin et al (2002), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis Graves disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin receptor antibodies (TRAb). Pada pasien Graves disease, kadar TSH ditemukan rendah disertai peningkatan kadar hormon tiroid. Dan pada pemeriksaan dengan iodine radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi normal. Sedangkan pada teknik scanning iodine terlihat menyebar di semua bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran iodine pada Graves disease berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb ditemukan hanya pada penderita Graves disease dan tidak ditemukan pada penyakit hipertiroidisme lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves disease. Selain itu TRAb dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan tercapainya kondisi remisi pasien (Okamoto et al, 2006). Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves disease dapat berupa pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di Amerika Serikat, iodine radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi pada pasien Graves disease. Sedangkan di Eropa dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid dan operasi lebih banyak diberikan dibandingkan iodine radioaktif. Namun demikian pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien misalnya ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan. Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves disease perlu mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan. Pemberian beta-blocker direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroidisme dengan gejala yang tampak (Bahn et al, 2011).

b. Toxic Adenoma

Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh kerja TSH (Sherman dan Talbert, 2008). Sekitar 2 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena hipertiroidisme jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 37% pasien dengan nodul tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 76% pasien memiliki nodul tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound. Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia lanjut, defisiensi asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi. Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul gejala atau manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves disease. Pada sebagian besar kasus nodul ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan kesehatan umum atau oleh pasien sendiri. Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma bersifat benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang ditemukan. Namun apabila terjadi pembesaran nodul secara progresif disertai rasa sakit perlu dicurigai adanya pertumbuhan kanker. Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kondisi pasien untuk memberikan tatalaksana terapi yang tepat. Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak ditemukan pada daerah dengan asupan iodine yang rendah. Menurut Paschke (2011), iodine yang rendah menyebabkan peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid yang akan menyebabkan mutasi. Hal ini sesuai dengan Tonacchera dan Pinchera (2010), yang menyatakan pada penderita hipertiroidisme dengan adanya nodul ditemukan adanya mutasi pada reseptor TSH.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis toxic adenoma adalah pemeriksaan TSH, kadar hormon tiroid bebas, ultrasonography dan fine-needle aspiration (FNA). Pemeriksaan TSH merupakan pemeriksaan awal yang harus dilakukan untuk mengevaluasi fungsi kelenjar tiroid, serta perlu dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid (T4 dan T3). Ultrasonography merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar dan bentuk kelenjar tiroid. Dengan pemeriksaan ini dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran kelenjar tiroid pasien. Sedangkan pemeriksaan dengan fine-needle aspiration digunakan untuk mengambil sampel sel di kelenjar tiroid atau biopsi. Dari

hasil biopsi dengan FNA dapat diketahui apakah nodul pada pasien bersifat benign (non kanker) atau malignant (kanker) (Gharib et al, 2010). Tata laksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic adenoma adalah dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan tindakan dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi pasien disarankan mendapat terapi dengan obat anti tiroid golongan thionamide hingga mencapai kondisi euthyroid (Bahn et al, 2011). Setelah terapi dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi setiap 1-2 bulan meliputi evaluasi kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta dilakukan tes ultrasonography untuk melihat ukuran nodul (Gharib et al, 2010).

c. Toxic Multinodular Goiter

Selain Graves Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia. Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma karena ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan, namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat dideteksi baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine. Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic multinodular goiter adalah dengan iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan pembedahan kondisi euthyroid dapat tercapai dalam beberapa hari pasca pembedahan, dibandingkan pada pengobatan iodine radioaktif yang membutuhkan waktu bulan.

d. Hipertiroidisme Subklinis

Graves Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter merupakan penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia dan termasuk dalam jenis overt hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme jenis ini, kadar TSH ditemukan rendah atau tidak terdeteksi disertai peningkatan kadar T4 dan T3 bebas (Bahn et al, 2011). Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme disebabkan hipertiroidisme subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis, kadar TSH ditemukan rendah disertai kadar T4 dan T3 bebas atau total yang normal. Menurut Ghandour (2011), 60% kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan multinodular goiter. Pada pasien yang menderita hipertiroidisme subklinis dapat ditemukan gejala klinis yang tampak pada pasien overt hyperthyroidism. Menurut Bahn et al, 2011 prinsip pengobatan hipertiroidisme sub klinis sama dengan pengobatan overt hyperthyroidism.

Manifestasi Klinis

Gejala Serta Tanda Hipertiroidisme Umumnya dan pada Penyakit Graves

(Djokomoeljanto, 2010).

Sistem

Gejala dan Tanda

Sistem

Gejala dan Tanda

Umum

Tak tahan hawa panas, hiperkinesis, capek, BB turun, tumbuh cepat, toleransi obat, youth fullness

Psikis dan saraf

Labil. Iritabel, tremor, psikosis, nervositas, paralisis periodik dispneu

Gastrointestinal

Hiferdefekasi, lapar, makan banyak, haus, muntah, disfagia, splenomegali

Jantung

hipertensi, aritmia, palpitasi, gagal jantung

Muskular

Rasa lemah

Darah dan limfatik

Limfositosis, anemia, splenomegali, leher membesar

Genitourinaria

Oligomenorea, amenorea, libido turun, infertil, ginekomastia

Skelet

Osteoporosis, epifisis cepat menutup dan nyeri tulang

Kulit

Rambut rontok, berkeringat, kulit basah, silky hair dan onikolisis

Graves disease

Terdapat trias manifestasi Graves:

1. Tirotoksikosis: pembesaran difus tiroid yang hiperfungsional

2. Oftalmopati infiltratif: menyebabkan eksoftalmus pada 40% pasien

3. Dermopati infiltratif lokal (miksedema pratibia) : pada sebagian kecil pasien

Patogenesis

Sel T-helper intratiroid( sel B (sel plasma ( TSI diarahkan epitop dari reseptor thyroid-stimulating (TSH) hormon dan bertindak sebagai agonis reseptor TSH ( TSI mengikat reseptor TSH pada sel tiroid folikel tiroid (cAMP( mengaktifkan sintesis hormon (T3 dan T4) dan pelepasan dan pertumbuhan tiroid (hipertrofi) ( feedback mechanism ( penurunan TSH sedangkan TSI tidak dipengaruhi oleh feedback ini (Djokomoeljanto, 2010).

Hasil dalam gambaran karakteristik Graves tirotoksikosis, dengan tiroid difus membesar, penyerapan yodium radioaktif yang sangat tinggi, dan kadar hormon tiroid yang berlebihan dibandingkan dengan tiroid sehat.

Patogenesis ophthalmopathy Graves terletak pada pengendapan glikosaminoglikan (GAG) di otot luar mata dan adiposa dan jaringan ikat dari orbit retro-, menyebabkan aktivasi sel-T. Antigen reseptor TSH dianggap mediator kunci dalam proses aktivasi sel T. Merokok merupakan faktor risiko yang signifikan untuk ophthalmopathy, meningkatkan kemungkinan itu sekitar 7 kali lipat. Pasien yang diobati dengan yodium radioaktif lebih mungkin untuk mengalami memburuknya ophthalmopathy mereka daripada pasien yang diobati dengan obat antitiroid atau operasi (Djokomoeljanto, 2010).

Diagnosis

Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis yang dialami pasien, Untuk itu dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang didasari pada anamnesis dan PF teliti. Kemudian dilanjutkan PP konfirmasi laboratorium dan radiodiagnostik (Djokomoeljanto, 2010).

Indeks Wayne

No

Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah Berat

Nilai

1

Sesak saat kerja

+1

2

Berdebar

+2

3

Kelelahan

+2

4

Suka udara panas

-5

5

Suka udara dingin

+5

6

Keringat berlebihan

+3

7

Gugup

+2

8

Nafsu makan naik

+3

9

Nafsu makan turun

-3

10

Berat badan naik

-3

11

Berat badan turun

+3

No

Tanda

Ada

Tidak Ada

1

Tyroid teraba

+3

-3

2

Bising tyroid

+2

-2

3

Exoptalmus

+2

-

4

Kelopak mata tertinggal gerak bola mata

+1

-

5

Hiperkinetik

+4

-2

6

Tremor jari

+1

-

7

Tangan panas

+2

-2

8

Tangan basah

+1

-1

9

Fibrilasi atrial

+4

-

10

Nadi teratur

< 80x per menit

80 90x per menit

> 90x per menit

-

-

+3

-3

-

-

Hipertiroid jika indeks 20

NEW CASTLE INDEX

Item

Grade

Score

Age of onset (year)

15-24

0

25-34

+4

35-44

+8

45-54

+12

>55

+16

Psychological precipitant

Present

Absent

-5

0

Frequent cheking

Present

Absent

-3

0

Severe anticipatory anxiety

Present

absent

-3

0

Increased appetite

Present

absent

+5

0

Goiter

Present

Absent

+3

0

Thyroid bruit

Present

Absent

+18

0

Exophthalmos

Present

Absent

+9

0

Lid retraction

Present

Absent

+2

0

Hyperkinesis

Present

Absent

+4

0

Fine finger tremor

Present

Absent

+7

0

Pulse rate

> 90/min

80-90 > min

< 80/min

+16

+8

0

Eutiroid (11) - (+23)

Prob. Hipertiroid (+24) (+39)

Hipertiroid (+40) ( +80)

a. TSH

Bahn et al (2011), menyarankan pemeriksaan serum TSH sebagai pemeriksaan lini pertama pada kasus hipertiroidisme karena perubahan kecil pada hormon tiroid akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kadar serum TSH. Sehingga pemeriksaan serum TSH sensitivitas dan spesifisitas paling baik dari pemeriksaan darah lainnya untuk menegakkan diagnosis gangguan tiroid. Pada semua kasus hipertiroidisme (kecuali hipertiroidisme sekunder atau yang disebabkan produksi TSH berlebihan) serum TSH akan sangat rendah dan bahkan tidak terdeteksi ( 20 karena lebih banyak T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif dibandingkan T4 sehingga rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien painless thyroiditis dan post-partum thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20 (Bahn et al, 2011; Baskin et al, 2002). Menurut Beastall et al (2006), monitoring pada pasien hipertiroidisme yang menggunakan obat anti tiroid tidak cukup hanya ditegakkan dengan pemeriksaan kadar TSH. Hal ini disebabkan pada pasien hipertiroidisme terutama Graves disease kadar TSH ditemukan tetap rendah pada awal pemakaian obat anti tiroid sehingga untuk melihat efektivitas terapi perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 bebas.

c. Thyroid Receptor Antibodies (TRAb)

Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau Graves disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb yang biasanya diukur dalam penegakan diagnosis Graves disease adalah antithyroid peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid stimulating antibody (TSAb), dan antithyroglobuline antibody (anti-TgAb). Ditemukannya TPOAb, TSAb dan TgAb mengindikasikan hipertiroidisme pasien disebabkan karena Graves disease. TPOAb ditemukan pada 7080% pasien, TgAb pada 3050% pasien dan TSAb pada 7095% pasien (Joshi, 2011).

Pemeriksaan antibodi dapat digunakan untuk memprediksi hipertiroidisme pada orang dengan faktor risiko misal memiliki keluarga yang terkena gangguan tiroid dan tiroiditis post partum.Pada wanita hamil yang positif ditemukan TPOAb dan TgAb pada trimester pertama memiliki kemungkinan 30 50% menderita tiroiditis post partum (Stagnaro-Green et al, 2011).

d. Radioactive Iodine Uptake

Iodine radioaktif merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui berapa banyak iodine yang digunakan dan diambil melalui transporter Na+/I- di kelenjar tiroid. Pada metode ini pasien diminta menelan kapsul atau cairan yang berisi iodine radioaktif dan hasilnya diukur setelah periode tertentu, biasanya 6 atau 24 jam kemudian. Pada kondisi hipertiroidisme primer seperti Graves disease, toxic adenoma dan toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan uptake iodine radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita yang hamil atau menyusui (Beastall et al, 2006).

e. Scintiscanning

Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid dengan menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam tiroid scintiscanning adalah radioiodine (I131) dan technetium (99mTcO4 -). Kelebihan penggunaan technetium radioaktif daripada iodine diantaranya harganya yang lebih murah dan pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat. Namun kekurangannya risiko terjadinya false-positive lebih tinggi, dan kualitas gambar kurang baik dibandingkan dengan penggunaan radioiodine (Gharib et al, 2011). Karena pemeriksaan dengan ultrasonography dan FNAC lebih efektif dan akurat, scintiscanning tidak lagi menjadi pemeriksaan utama dalam hipertiroidisme. Menurut Gharib et al (2010), indikasi perlunya dilakukan scintiscanning di antaranya pada pasien dengan nodul tiroid tunggal dengan kadar TSH rendah dan pasien dengan multinodular goiter. Selain itu dengan scintiscanning dapat diketahui etiologi nodul tiroid pada pasien, apakah tergolong hot (hiperfungsi) atau cold (fungsinya rendah).

f. Ultrasound Scanning

Ultrasonography (US) merupakan metode yang menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambaran bentuk dan ukuran kelenjar tiroid. Kelebihan metode ini adalah mudah untuk dilakukan, noninvasive serta akurat dalam menentukan karakteristik nodul toxic adenoma dan toxic multinodular goiter serta dapat menentukan ukuran

nodul secara akurat (Beastall et al, 2006). Pemeriksaan US bukan merupakan pemeriksaan utama pada kasus hipertiroidisme. Indikasi perlunya dilakukan pemeriksaan US diantaranya pada pasien dengan nodul tiroid yang teraba, pasien dengan multinodular goiter, dan pasien dengan faktor risiko kanker tiroid (Gharib et al, 2010).

g. Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC)

FNAC merupakan prosedur pengambilan sampel sel kelenjar tiroid (biopsi) dengan menggunakan jarum yang sangat tipis. Keuntungan dari metode ini adalah praktis, tidak diperlukan persiapan khusus, dan tidak mengganggu aktivitas pasien setelahnya. Pada kondisi hipertiroidisme dengan nodul akibat toxic adenoma atau multinodular goiter FNAC merupakan salah satu pemeriksaan utama yang harus dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis Hasil dari biopsi dengan FNAC ini selanjutkan akan dianalisis di laboratorium. Hasil dari biopsi pasien dapat berupa tidak terdiagnosis (jumlah sel tidak mencukupi untuk dilakukan analisis), benign (non kanker), suspicious (nodul dicurigai kanker), dan malignant (kanker) (Bahn et al, 2011; Beastall et al, 2006). Menurut Ghorib et al (2011) pada pasien dengan nodul berukuran kecil yang tidak tampak atau tidak teraba, maka FNAC perlu dilakukan dengan bantuan ultrasonography. Selain itu penggunaan bantuan ultrasonography juga disarankan pada kondisi pasien dengan multinodular goiter dan obesitas.

Diagnosis Banding

Tatalaksana

1. Tirostatika (OAT- Obat Anti Tiroid)

Efek berbagai obat digunakan dalam pengelolaan tiroksikosis (Djokomoeljanto, 2010).

Kelompok obat

Efeknya

Indikasi

Obat anti tiroid

Propiltiourasil (PTU)

Metimazol (MMI)

Karbimazol (CMZ(MMI)

Anatagonis adrenergik

Menghambat sintesis hormon tiroid dan berefek imunosupresif (PTU) juga menghambat konversi T4(T3

Pengobatan lini pertama pada graves. Obat jangka pendek prabedah / pra RA1

Adrenergic antagonis

Propranolol

Metoprolol

Atenolol

Nadolol

Mengurangi dampak hormor tiroid pada jaringan

Obat tambahan kadang sebagai obat tunggal pada tirolditis

Bahan mengandung iodine

Kalium iodide

Solusi Lugol

Natrium ipodat

Asam iopanoat

Menghambat keluarnya T4 dab T3

Menghambat T4 dan T3 serta

Produksi T3 ekstratiroidal

Persiapan tiroidektomi Para krisis tiroid

Bukan untuk penggunaan rutin

Obat lainya

Kalium perklorat

Litium karbonat

Glukokortikoids

Menghabat transpor yodium sintesis dan keluarnya hormon.

Memperbaiki efek hormon dijaringan dan sifat imunologis.

Bukan indikasi rutin

Pada sub akut tiroiditis berat dan krisis tiroid.

2. Tiroidektomi

Prinsip umum: operasi baru dikerjakan kalau keadaan pasien eutiroid, klinis maupun biokimiawi. Plumerisasi diberikan 3 kali 5 tetes solusio lugol fortior 7-10 jam preoperatif, dengan maksud menginduksi involusi dan mengurangi vaskularitas tiroid. Operasi dilakukan dengan tiroidektomi subtotal dupleks mensisakan jaringan seujung ibu jari, atau lobektomi total termasuk ismus dan tiroidetomi subtotal lobus lain. Komplikasi masih terjadi di tangan ahli sekalipun, meskipun mortalitas rendah. Hipoparatiroidisme dapat permanen atau sepintas. Setiap pasien pascaoperasi perlu dipantau apakah terjadi remisi, hipotiroidisme atau residif. Operasi yang tidak dipersiapkan dengan baik membawa risiko terjadinya krisis tiroid dengan mortalitas amat tinggi. Di Swedia dari 308 kasus operasi, 91% mengalami tiroidektomi subtotal dan disisakan 2 gram jaringan, 9% tiroidektomi total, hipokalsemia berkepanjangan 3,1% dan hipoparatiroid permanen 1%, serta mortalitas 0% (Djokomoeljanto, 2010).

3. Yodium radioaktif (radio active iodium RAI)

Untuk menghindari krisis tiroid lebih baik pasien disiapkan dengan OAT menjadi eutiroid, meskipun pengobatan tidak mempengaruhi hasil akhir pengobatan RAI. Dosis Rai berbeda: ada yang bertahap untuk membuat eutiroid tanpa hipotiroidisme, ada yang langsung dengan dosis besar untuk mencapai hipotiroidisme kemudian ditambah tiroksin sebagai substitusi. Kekhawatiran bahwa radiasi menyebabkan karsinoma, leukemia, tidak terbukti. Dan satu-satunya kontra indikasi ialahgraviditas. Komplikasi ringan, kadang terjadi tiroiditis sepintas. Di USA usia bukan merupakan masalah lagi, malahancut off-nya 17-20 tahun. 80% Graves diberi radioaktif, 70% sebagai pilihan pertama dan 10% karena gagal dengan cara lain. Mengenai efek terhadap optalmopati dikatakan masih kontroversial. Meskipun radioterapi berhasil tugas kita belum selesai, sebab kita masih harus memantau efek jangka panjangnya yaitu hipotiroidisme. Dalam observasi selama 3 tahun pasca-RAI, tidak ditemukan perburukan optalmopati (berdasarkan skor Herthel, OI, MRI,total muscle volumes[TMV]).Namun disarankan sebaiknya jangan hamil selama 6 bulan pascaradiasi. Setiap kasus RAI perlu dipantau kapan terjadinya hipotiroidisme (dengan TSH dan klinis) (Djokomoeljanto, 2010).

Cara Pengobatan

Keuntungan

Kerugian

Tirostatika

(OAT)

Tiroidektomi

Yodium

Radioaktif

(I131)

Kemungkinan remisi jangka panjang tanpa hipotiroidisme

Cukup banyak menjadi eutiroid

Relatif cepat

Relatif jarang residif

Sederhana

Jarang residif (tergantung dosis)

Angka residif cukup tinggi

Pengobatan jangka panjang dengan kontrol yang sering

Dibutuhkan ketrampilan bedah

1. Masih ada morbiditas

2. 40% hipotiroid dalam 10 tahun

3. Daya kerja obat lambat

4. 50% hipotiroid pasca radiasi

Terapi eksophtalmus

Selain itu pada eksoftalmus dapat diberikan terapi a.l.: istirahat dengan berbaring terlentang, kepala lebih tinggi; mencegah mata tidak kering dengan salep mata atau dengan larutan metil selulosa5%,untuk menghindari iritasi mata dengan penggunaan kacamata hitam; dan tindakan operasi; dalam keadaan yang berat diberikan prednison tiap hari (Djokomoeljanto, 2010).

Komplikasi

1. Penyakit jantung tiroid (PJT) .

Diagnosis ditegakkan bila terdapat tanda-tanda dekompensasi jantung (sesak, edem dll), hipertiroid dan pada pemeriksaan EKG maupun fisik didapatkan adanya atrium fibrilasi.

2. Krisis Tiroid (Thyroid Storm).

Merupakan suatu keadaan akut berat yang dialami oleh penderita tiritoksikosis (life-threatening severity). Biasanya dipicu oleh faktor stress (infeksi berat, operasi dll). Gejala klinik yang khas adalah hiperpireksia, mengamuk dan tanda tanda-tanda hipertiroid berat yang terjadi secara tiba-tiba (adanya panas badan, delirium, takikardi, dehidrasi berat dan dapat dicetuskan oleh antara lain : infeksi dan tindakan pembedahan) Prinsip pengelolaan hampir sama, yakni mengendalikan tirotoksikosis dan mengatasi komplikasi yang teijadi.

3. Periodic paralysis thyrotocsicosis ( PPT).

Terjadinya kelumpuhan secara tiba-tiba pada penderita hipertiroid dan biasanya hanya bersifat sementara. Dasar terjadinya komplikasi ini adalah adanya hipokalemi akibat kalium terlalu anyak masuk kedalam sel otot. Itulah sebabnya keluhan PPT umumnya terjadi setelah penderita makan (karbohidrat), oleh karena glukosa akan dimasukkan kedalam selh oleh insulin bersama-sama dengan kalium (K channel ATP-ase).

4. Komplikasi akibat pengobatan. Komplikasi ini biasanya akibat overtreatment (hipotiroid) atau akibat ES obat (agranulositosis,hepatotoksik)

Prognosis

Pengendalian tirotoksikosis dimaksudkan untuk mempertahankan kadar FT4 dan THSs sesuai atau mendekati kadar orang normal. Pemeriksaan pemantauan biasanya dilakukan setiap 3 bulan atau bila ada tanda-tanda komplikasi pengobatan. Pemantauan terhadap fungsi hati dan darah rutin mutlak diperlukan pada penderita yang diberikan pengobatan dengan obat anti tiroid2.4 Krisis Tiroid2.4.1 Definisi

Krisis tiroid (Thyroid Storm) adalah komplikasi serius dari tirotoksikosis dengan angka kematian 20-60%. Merupakan kejadian yang jarang, tidak biasa dan berat dari hipertiroidisme. Krisis tiroid mengacu pada kejadian mendadak yang mengancam jiwa akibat peningkatan dari hormon tiroid sehingga terjadi kemunduran fungsi organ.1,2

2.4.2 Etiologi

Pada keadaan yang sudah dinamakan krisis tiroid ini maka fungsi organ vital untuk kehidupan menurun dalam waktu singkat hingga mengancam nyawa. Hal yang memicu terjadinya krisis tiroid ini adalah9 :

operasi dan urut/pijat pada kelenjar tiroid atau gondok dan operasi pada bagian tubuh lainnya pada penderita hipertiroid yang belum terkontrol hormon tiroidnya9

stop obat anti tiroid pada pemakaian obat antitiroid

pemakaian kontras iodium seperti pada pemeriksaan rontgen

infeksi

stroke

trauma. Pada kasus trauma, dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat memicu terjadinya krisis tiroid, meskipun tidak ada riwayat hipertiroidisme sebelumnya.9,10

2.4.3 Manifestasi klinis

Untuk mengetahui apakah keadaan seseorang ini sudah masuk dalam tahap krisis tiroid adalah dengan mengumpulkan gejala dari kelainan organ yakni pada sistem saraf terjadi penurunan kesadaran (sampai dengan koma), hyperpyrexia (suhu badan diatas 40oC), aktivasi adrenergik (takikardia/denyut jantung diatas 140x/menit, muntah dan mencret serta kuning). Gejala lain dapat berupa berkeringat, kemerahan, dan tekanan darah yang meningkat.9,10,11

2.4.4 Patofisiologi

Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa meningkatnya produksi dari T3 atau T4 menyebabkan krisis tiroid. Peningkatan reseptor katekolamin (peningkatan sensitifitas dari katekolamin) memegang kunci penting. Penurunan pengikatan dari TBG (meningkatnya T3 atau T4 bebas) mungkin ikut berperan.9

2.5 Pengobatan krisis tiroidPilihan terapi pada pasien krisis tiroid adalah sama dengan pengobatan yang diberikan pada pasien dengan hipertiroidisme hanya saja obat yang diberikan lebih tinggi dosis dan selang waktu pemberiannya. Pada pasien dengan krisis tiroid harus segera ditangani ke instalasi gawat darurat atau ICU. Diagnosa dan terapi yang sesegera mungkin pada pasien dengan krisis tiroid adalah penting untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari kelainan ini.2,9,10,11

Pada kasus krisis tiroid, hyperpyrexia harus segera diatasi secara cepat. Dalam hal ini pemberian obat jenis asetaminopen lebih dipilih dibandingkan aspirin yang dapat meningkatkan kadar konsentrasi T3 dan T4 bebas dalam serum.2,9,10,11

Pemberian beta-bloker merupakan terapi utama penting dalam pengobatan kebanyakan pasien dengan hipertiroid. Propanolol merupakan obat pilihan pertama yang digunakan sebagai inisial yang bisa diberikan secara intravena. Dosis yang diberikan adalah 1mg/menit sampai beberapa mg hingga efek yang diinginkan tercapai atau 2-4mg/4jam secara intravena atau 60-80mg/4jam secara oral atau melalui nasogastric tube (NGT). 2,9,10,11

Pemberian tionamide seperti methimazole atau PTU untuk memblok sintesis hormon. Tionamide memblok sintesis hormon tiroid dalam 1-2 jam setelah masuk. Namun, tionamid tidak memiliki efek terhadap hormon tiroid yang telah disintesis. Beberapa menggunakan PTU dibanding tionamide sebagai pilihan pada krisis tiroid karena PTU dapat memblok konversi T4 menjadi T3 ditingkat perifer. 2,9,10,11

Walaupun begitu, banyak menggunakan methimazole (tionamide) selama obat lain (contohnya iopanoic acid) dimasukkan bersamaan untuk memblok konversi T4 menjadi T3. Methimazole memiliki waktu durasi yang lebih lama dibandingkan PTU sehingga lebih efektif. Adalah tidak rasional memasukkan methimazole 30mg/6jam atau PTU 200mg/4jam secara oral atau NGT. Keduanya bisa dilarutkan untuk digunakan secara rectal dan PTU dapat diberikan secara intravena dengan diencerkan oleh saline isotonis dibuat alkali (pH 9,25) dengan sodium hidroksida. 2,9,10,11

Larutan iodine memblok pelepasan T4 dan T3 dari kelenjar tiroid. Dosis yang diberikan lebih tinggi dari dosis yang dibutuhkan untuk memblok pelepasan hormone. Laruton lugols 10 tetes/8jam secara oral. Dapat juga dilakukan pemberian laruton lugols 10 tetes tersebut secara intravena langsung selama masih dianggap steril. Larutan iodine ini juga dapat diberikan secara rectal. 2,9,10,11

Pemberian glucocorticoid juga menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan memiliki efek langsung dalam proses autoimun jika krisis tiroid berasal dari penyakit graves. Dosis yang digunakan adalah 100mg/8jam secara intravena pada kasus krisis tiroid. Penggunaan litium juga dapat memblok pelepasan hormone tiroid, namun toksisitasnya yang tinggi pada ginjal membatasi penggunaannya. 2,9,10,11

BAB III

KESIMPULAN

Definisi tirotoksikosis adalah satu keadaan dimana hormon tiroid beredar berlebihan didalam sirkulasi, manakala hipertiroidisme pula adalah tirotoksikosis yang disebabkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.

Fungsi utama hormon tiroid adalah meningkatkan aktivitas metabolik seluler, sebagai hormon pertumbuhan, dan mempengaruhi mekanisme tubuh yang spesifik seperti sistem kardiovaskuler dan regulasi hormon lain. Diagnosis hipertiroidisme mengacu pada hasil pemeriksaan TSH, FT4, FT3, indeks wayne dan indeks new castle berdasarkan gejala klinis yang timbul.

Penyebab terjadinya hipertiroidisme (penyakitGrave) adalah kelainan pada mekanisme regulator hormon tiroid akibat antibodi reseptorTSH yang meransang aktivitas tiroid.

Penatalaksanaan hipertiroidisme meliputi tindakan bedah dan pemberian bahan penghambat sintesis tiroid, seperti anti tiroid, penghambat ion iodida, dan terapi radio iodine. Salah satu komplikasi buruk dari hipertiroid adalah krisistiroid yang berakibat pada berbagai sistem tubuh yang akhirnya bisa fatal.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Thyroid Association (ATA). 2011. Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid Association and American Association of Clinical Endocrinologists

2. Chew SC, Leslie D. Clinical endocrinology and diabetes. Churchill Livingstone Elseiver 2006:8.

3. Djokomoeljanto R. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Kelenjar Tiroid, Hipitiroidisme dan Hipertiroidsme. Pusat Penerbit FKUI. Jakarta.

4. Fauci, et al. 2008. Harrison: Principle of Internal Medicine. McGrawHill: New York ;5:2144-2151.

5. Fumarola A, et al. 2013. American Journal of Reproductive Imunology. Willey Library

6. Guyton, Hall. 2010. Text Book of Medical Physiology 11th edition. Philadelphia: Elsevier Soundres

7. Jiang Y, Karen AH, Bartelloni P. Thyroid strom presenting as multiple organ dysfunction syndrome. Chest 2000;118:877-879

8. Junquiera L.C, Carneiro J, Kelley R.O. Basic Histology. 10th edition, Washington, Lange, 2003: 316-23

9. Margaret G, Rosman NP, Hadddow JE. Thyroid strom in an 11-years-old boy managed by propanolol. Pediatrics 1874;53:920-922.

10. Murray RK et al. 2010. Biokimia Harper edisi 25.Jakarta.EGC

11. Ramirez JI, Petrone P, Kuncir EJ, Asensio JA. Thyroid strom induced by strangulation. Southern Medical Association 2004;97:608-610.

12. Roizen M, Becker CE. Thyroid strom. The Western Journal of Medicine 1971;115:5-9.

13. Shahab A. Penyakit Graves (struma diffusa toksik) diagnosis dan penatalaksanaannya. Bullletin PIKI4 : seri endokrinologi-metabolisme. 2002:9-18.

14. Sjamsuhidayat R, De jong W. Sistem endokrin. Jakarta EGC 2005:2:683-695.

15. Snell,RS.(2006).Anatomi Klinik untuk Mahasiswa kedokteran edisi 6. Jakarta.EGC

16. Zainurrashid Z, Abd Al Rahman HS. Hyperthyroidism in pregnancy. The family physician 2005;13(3):2-4.

28