34
REFERAT Program Pengurangan Dampak Buruk sebagai Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lain Pembimbing: dr. Evalina Asnawi, Sp.KJ (K) Disusun Oleh: Keyne Christa Monintja (2013-061-111)

Referat Harm Reduction

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Program harm reduction sebagai salah satu penyalahgunaan NAPZA

Citation preview

Page 1: Referat Harm Reduction

REFERAT

Program Pengurangan Dampak Buruk sebagai Penanggulangan

Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lain

Pembimbing:

dr. Evalina Asnawi, Sp.KJ (K)

Disusun Oleh:

Keyne Christa Monintja

(2013-061-111)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN PERILAKU

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA

PERIODE 21 SEPTEMBER – 24 OKTOBER 2015

JAKARTA

Page 2: Referat Harm Reduction

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan

rahmatnya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat dengan judul “Program

Pengurangan Dampak Buruk sebagai Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika,

Psikotropika dan Zat Aditif Lain” ini merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik penulis

dalam Ilmu Kedokteran Jiwa dan Perilaku, Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Evalina Asnawi, Sp.KJ (K)

sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk menuntun penulis dalam

penyusunan dan presentasi referat ini. Tidak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih

kepada pihak-pihak lain yang telah membantu dan mendukung penulis selama proses

pembuatan.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu,

penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan yang masih terdapat dalam referat

ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat berguna untuk memperbaiki

kekurangan dalam referat penulis di kemudian hari.

Akhir kata penulis berharap agar referat ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan

pengetahuan dunia kedokteran. Atas perhatian dan waktu yang diberikan, saya ucapkan

terima kasih.

Jakarta, September 2015

Penulis

ii

Page 3: Referat Harm Reduction

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................................................i

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii

DAFTAR ISI .....................................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR .........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................3

2.1 Penggunaaan NAPZA Suntik...........................................................................3

2.2 Pengertian Harm Reduction..............................................................................3

2.3 Sejarah Harm Reduction...................................................................................4

2.4 Tujuan Harm Reduction....................................................................................5

2.5 Lingkup Program Harm Reduction...................................................................5

2.6 Program Harm Reduction.................................................................................6

BAB III PENUTUP.......................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................19

iii

Page 4: Referat Harm Reduction

BAB I

PENDAHULUAN

Masalah gangguan penggunaan NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain)

merupakan problema kompleks yang penatalaksanaannya memakan waktu relatif lama serta

perlu melibatkan pendekatan di banyak bidang keilmuan (medik dan non-medik). Gangguan

penggunaan NAPZA telah menjadi masalah bio-psiko-sosio-kultural yang sangat rumit, oleh

karena itu perlu ditanggulangi secara multidisipliner dan lintas sektoral dalam suatu program

yang menyeluruh (komprehensif) serta konsisten.

Gangguan penggunaan NAPZA jarang ditemukan berdiri sendiri, melainkan terdapat

bersama dengan gangguan lain (kormobiditas) seperti depresi atau ansiteas, yang dapat terjadi

karena kondisi predisposisi ataupun sebagai akibat penggunaan NAPZA dalam jangka waktu

tertentu. Sedangkan pola penggunaan NAPZA sendiri, khususnya dengan cara suntik, dapat

membuat seseorang menderita penyakit penyulit (komplikasi) seperti HIV/AIDS, Infeksi

Menular Seksual (IMS), Hepatitis B atau C, dan lain-lain.1

Sejak sepuluh tahun terakhir, data kasus HIV/AIDS yang dilaporkan kepada

Departemen Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa cara penularan melalui penggunaan

jarum suntik bersama semakin nyata sebagai faktor yang paling berpengaruh dalam

terjadinya epidemi HIV di Indonesia. Pada tahun 2009, diperkirakan terdapat sejumlah

105.784 penduduk pengguna jarum suntik berusia 15-64 tahun di Indonesia, dengan

prevalensi sebesar 0,06%. Prevalensi penderita HIV dari para pengguna jarum suntik tersebut

sebesar 36,4%. Angka ini menduduki peringkat tertinggi di antara negara-negara di Asia

lainnya.2,3

Selain masalah kesehatan, pengalaman empirik di banyak negara yang terlanda

HIV/AIDS secara luas memperlihatkan dampak sosial-ekonomi yang memprihatinkan.

Kerugian ekonomi timbul akibat beban ekonomi langsung yang harus ditanggung oleh

keluarga dan masyarakat untuk pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan HIV/AIDS yang

amat mahal. Sedangkan kerugian ekonomi tidak langsung timbul akibat menurunnya

produktifitas kerja dan meningkatnya angka kematian usia produktif akibat AIDS. Keluarga

dan masyarakat miskin menjadi lebih miskin akibat penderitaan karena HIV/AIDS. Anak-

1

Page 5: Referat Harm Reduction

anak menjadi yatim-piatu akibat ibu-bapaknya meninggal dunia karena AIDS. Mereka

kemudian mengalami penderitaan sosial yang berkepanjangan karena kehilangan dukungan

dari keluarga dan masyarakat. Akibat lain adalah timbulnya stigmatisasi, diskriminasi dan

pelanggaran hak azasi manusia (HAM) terhadap pengidap dan keluarganya yang terkena

HIV/AIDS. Diskriminasi masih ditemukan pada tempat-tempat pelayanan kesehatan,

sekolah-sekolah, tempat kerja dan bahkan pada kehidupan sehari-hari masyarakat.4

Menurut Permenkes Nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS

Pasal 15, Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual yang ditujukan untuk

mencegah penularan HIV melalui darah, meliputi:

a) Uji saring darah pendonor.

b) Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang melukai tubuh.

c) Pengurangan dampak buruk (harm reduction) pada pengguna NAPZA suntik. 5

Pengalaman berbagai negara di dunia menunjukkan bajwa pendekatan pengurangan

dampak buruk merupakan cara yang efektif sebagai pencegahan dan penanggulangan

HIV/AIDS pada kalangan pengguna NAPZA suntik. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan

sendiri memasukkan pendekatan Harm Reduction sebagai salah satu cara dalam Strategi

Nasional Penanggulangan HIV/AIDS Departemen Kesehatan tahun 2003-2007.6

Pada referat ini, akan dibahas mengenai butir-butir pengurangan dampak buruk (harm

reduction) sebgai salah satu penanggulangan penyalahgunaan NAPZA di Indonesia.

2

Page 6: Referat Harm Reduction

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penggunaan NAPZA Suntik

Penggunaan NAPZA suntik umumnya dilakukan para penasun (pengguna narkoba suntik)

baik secara intravena maupun intramuskular. Jenis NAPZA yang umumnya disalahgunakan

dengan cara suntik adalah jenis opiate (khususnya heroin atau dikenal dengan nama jalanan

putaw/pt/etep). Sekalipun intensitasnya tidak setinggi heroin, NAPZA jenis benzodiazepine

dan opiat semiagonist seperti buphrenorphine juga cukup sering disuntikkan.

Penggunaan NAPZA suntik melalui intravena umumnya digunakan karena berbagai

alasan. Pertama, diperolehnya efek euphoria yang sangat cepat dibandingkan penggunaan

dengan cara oral ataupun cara lainnya (termasuk suntik intramuscular). Kedua, penggunaan

dengan cara suntik mengoptimalkan masuknya NAPZA ke dalam tubuh. Tidak ada zat yang

terbuang dibandingkan dengan cara dihisap (bahasa jalanan: didrag). Di balik alasan

penggunaan, ada berbagai kerugian yang ditimbulkan oleh penyuntikan NAPZA. Dinding

vena yang berada di area sekitar penyuntikan seringkali kehilangan kekuatan dan

elastisitasnya. Akibatnya, dinding vena dapat mengalami collapses dan darah tidak lagi

mengalir melalui saluran tersebut. Selain itu penyuntikkan NAPZA juga sering

memungkinkan masuknya bakteri yang ada pada kulit ke dalam tubuh, baik melalui jarum

suntik, ataupun melalui penggunaan jarum dan tabung yang terkontaminasi. Bagi mereka

yang berbagi jarum dan tabung memiliki risiko sangat tinggi untuk tertular virus yang

menular melalui darah seperti HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C.7

2.2 Pengertian Harm Reduction

Istilah pengurangan dampak buruk NAPZA berasal dari terjemahan Harm Reduction dan

bila diartikan secara kata perkata yaitu, harm = kerugian, kejahatan, kerusakan, kesalahan

sedangkan reduction = penurunan, pengurangan. Sehingga Harm Reduction berarti

pengurangan/penurunan kerugian/kerusakan. Pengurangan dampak buruk merujuk pada

kebijakan, program dan praktik-praktik yang tujuan utamanya adalah untuk mengurangi

berbagai akibat merugikan pada aspek kesehatan, sosial dan ekonomi karena penggunaan

obat obatan psikoaktif baik yang legal ataupun ilegal tanpa perlu mengurangi

penggunaannya.

3

Page 7: Referat Harm Reduction

World Health Organisation (WHO), sebagai badan United Nation (UN) yang mengurusi

bidang kesehatan mendiskripsikan Pengurangan Dampak Buruk NAPZA sebagai berikut:

“Konsep, yang digunakan dalam wilayah kesehatan masyarakat, yang bertujuan untuk

mencegah atau mengurangi konsekuensi negatif kesehatan yang berkaitan dengan

perilaku. Yang dimaskud dengan perilaku yaitu perilaku penggunaan NAPZA dengan

jarum suntik dan perlengkapannya (jarum suntik dan peralatan untuk mempersiapkan

NAPZA sebelum disuntikan). Komponen pengurangan dampak buruk NAPZA

merupakan intervensi yang holistik/komprehensif yang bertujuan untuk mencegah

penularan HIV dan infeksi lainnya yang terjadi melalui penggunaan perlengkapan

menyuntik untuk menyuntikan NAPZA yang tidak steril dan digunakan secara bersama-

sama.”6

2.3 Sejarah Harm Reduction

Istilah pengurangan dampak buruk NAPZA (Harm Reduction) semakin banyak

digunakan ketika pola penularan HIV/AIDS bergeser dari faktor penularan melalui perilaku

seksual berpindah ke perilaku penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Sejarah

pengurangan dampak buruk NAPZA bermula dari pelayanan kontroversial yang

dikembangkan pertama kali pada tahun 1920 pada sebuah klinik layanan ketergantungan obat

di Merseyside, kota kecil di Inggris. Klinik ini memberikan resep heroin kepada para

pengguna yang menjalani perawatan. Beberapa tahun kemudian upaya penanggulangan

masalah adiksi berkembang terus sampai kemudian kembali menarik perhatian bersamaan

dengan munculnya epidemi HIV/AIDS.

Tingginya angka penularan HIV dan penyakit lain yang ditularkan melalui darah pada

kalangan Penasun (Pengguna Narkoba Suntik) meningkatkan pentingnya kebutuhan untuk

melakukan upaya khusus dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Beberapa

negara di Eropa Barat dan Amerika selama sekitar dua dekade terakhir telah mempunyai

pengalaman yang cukup panjang dalam menerapkan pendekatan ini. Dari pengalaman

berbagai negara di dunia tersebut terlihat bahwa pendekatan pengurangan dampak buruk

NAPZA dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan yang efektif dalam upaya menjawab

masalah HIV/AIDS di masyarakat, khususnya pada kelompok Penasun.

Pengurangan dampak buruk NAPZA mulai menjadi perhatian di Indonesia pada tahun

1999. Pada saat itu data epidemi HIV/AIDS bergeser dari penularan melalui hubungan

seksual ke penularan melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara

bergantian/bersama pada kelompok Penasun. Seiring dengan hal tersebut muncul pemikiran

4

Page 8: Referat Harm Reduction

bahwa telah saatnya Indonesia memerlukan suatu intervensi untuk mencegah penularan dan

penanggulangan HIV/AIDS pada kelompok Penasun. Pengurangan dampak buruk NAPZA

sebagai sebuah konsep intervensi pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pada Penasun

mulai ditambahkan untuk diterapkan di Indonesia.6

2.4 Tujuan Harm Reduction

Tujuan primer pengurangan dampak buruk NAPZA adalah membantu Penasun

menghindari konsekuensi negatif kesehatan dari penyuntikan NAPZA, memperbaiki tingkat

kesehatan, serta upaya peningkatan kehidupan sosial dari para Penasun. Oleh karena itu,

pengurangan dampak buruk NAPZA mengacu pada prinsip:

1. Penasun didorong untuk berhenti memakai NAPZA.

2. Jika Penasun bersikeras untuk tetap menggunakan NAPZA, maka didorong untuk

berhenti menggunakan dengan cara suntik.

3. Jika tetap bersikeras menggunakan dengan cara suntik, maka didorong dan dipastikan

menggunakan peralatan suntik sekali pakai atau baru.

4. Jika tetap terjadi penggunaan bersama peralatan jarum suntik, maka didorong dan

dilatih untuk menyucihamakan peralatan jarum suntik. 6

2.5 Lingkup Program Harm Reduction

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk NAPZA oleh

Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2006, program yang dilaksanakan dan

menyertai pengurangan dampak buruk NAPZA adalah:

1. Program penjangkauan dan pendampingan

2. Program komunikasi, informasi dan edukasi

3. Program penilaian pengurangan risiko

4. Program konseling dan tes HIV sukarela

5. Program penyucihamaan

6. Program penggunaaan jarum suntik steril

7. Program pemusnahan peralatan suntik bekas pakai

8. Program layanan terapi ketergantungan NAPZA

9. Program terapi substitusi

10. Program perawatan dan pengobatan HIV

11. Program pendidikan sebaya

12. Program layanan kesehatan dasar6

5

Page 9: Referat Harm Reduction

Selain itu, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 tahun

2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS melalui pengurangan dampak buruk pada

pengguna NAPZA suntik meliputi:

1. Program layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan perilaku serta

dukungan psikososial.

2. Mendorong pengguna NAPZA suntik (khususnya pecandu opiat) menjalani

program terapi rumatan.

3. Mendorong pengguna NAPZA suntik untuk melakukan pencegahan penularan

seksual.

4. Layanan konseling dan tes HIV serta pencegahan/imunisasi hepatitis.5

2.6 Program Harm Reduction

2.6.1 Program penjangkauan dan pendampingan

Program penjangkauan dan pendampingan (outreach) adalah proses penjangkauan

langsung yang dilakukan secara aktif kepada Penasun baik secara kelompok maupun

individu. Populasi ini sulit dijangkau dengan metode yang lebih formal karena stigma dan

diskriminasi yang sangat kuat di dalam masyarakat terhadap status penggunaan

NAPZAnya. Dalam proses penjangkauan dan pendampingan para pekerja lapangan

melakukan proses identifikasi lokasi yang biasa menjadi tempat Penasun berkumpul atau

tempat yang memungkinkan untuk melakukan interaksi langsung dengan Penasun. Proses

penjangkauan dan pendampingan memberi peluang bagi Penasun untuk dapat mengakses

berbagai layanan kesehatan yang dibutuhkannya, seperti: mendapatkan layanan informasi,

tes HIV dan konseling, layanan kesehatan dasar yang tersedia, layanan manajemen kasus

untuk penasun yang membutuhkan, akses terhadap jarum suntik steril dan layanan lainnya

yang memungkinkan.6

2.6.2 Program komunikasi, informasi, dan edukasi

Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) merupakan kegiatan yang dikembangkan

secara khusus dalam penyediaan informasi mengenai HIV/AIDS, NAPZA, risiko

penularan HIV (berbagi peralatan jarum suntik dan hubungan seks),seksualitas, merawat

diri dengan lebih baik, dan isu lain yang berhubungan dengan permasalahan kesehatan

Penasun. Media KIE dapat berupa pamflet, poster, lembaran fakta, gambar, billboard,

graffiti, video, siaran radio dan bentuk lainnya yang mudah diakses oleh Penasun. Media

informasi dapat dibagikan pada Penasun di tempat-tempat Penasun berkumpul.

6

Page 10: Referat Harm Reduction

Penerimaan dari sasaran terhadap materi maupun bentuk media informasi, menjadi

indikator keberhasilan program KIE. Untuk hasil yang paling efektif jika media informasi

dibuat dan dikembangkan oleh sasaran (Penasun), menggunakan bahasa yang dimengerti

oleh lingkungan sasaran, sederhana dan gampang untuk dibaca maupun dimengerti,

menggunakan ilustrasi/ gambar, tersedia dan disebarkan secara luas. Program KIE

memberikan kontribusi sebagai bagian dari pengurangan dampak buruk NAPZA yang

lebih luas dari intervensi-intervensi guna mendorong pengurangan risiko HIV/AIDS.

Sehingga program KIE harus menyediakan dan memberikan informasi dan edukasi

mengenai penyebaran HIV dan pencegahannya, yang didasarkan pada sebuah

pemahaman mengenai perilaku berisiko.

Tujuan:

1. Meningkatkan pengetahuan dan sikap yang dapat mendorong perubahan perilaku

dalam mengurangi risiko terinfeksi HIV.

2. Menyediakan dan memberikan informasi yang benar dan tepat.6

2.6.3 Program penilaian pengurangan risiko

Penilaian pengurangan risiko diberikan sebagai upaya untuk memperkuat dan

membangun pelaksanaan pengurangan risiko infeksi HIV. Kegiatan ini dilakukan selama

penjangkauan dan pendampingan. Fokus dari program adalah risiko HIV/AIDS, HBV,

HCV, dan IMS lain yang berhubungan dengan penggunaan NAPZA dan perilaku seksual.

Penilaian ini dimaksudkan untuk mengenalkan pesan pengurangan risiko dan mendukung

upaya-upaya perubahan perilaku. Penilaian pengurangan risiko dapat dilakukan untuk

membantu Penasun baik secara individu maupun kelompok. 6

2.6.4 Program konseling dan tes HIV sukarela

Konseling dan tes HIV sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and

Testing (VCT) (atau disebut juga sebagai Client-initiated HIV testing and counselling

merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat sebagai pintu masuk ke seluruh

layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. Pada KTS ini biasanya menekankan

pengkajian dan penanganan faktor risiko dari klien oleh konselor, membahas masalah

keinginan untuk menjalani tes HIV dan implikasinya serta pengembangan strategi untuk

mengurangi faktor risiko. KTS dilaksanakan dalam berbagai macam tatanan layanan,

yang salah satunya adalah di sarana layanan kesehatan, klinik KTS mandiri di luar sarana

7

Page 11: Referat Harm Reduction

layanan kesehatan, layanan KTS yang diberikan secara bergerak atau mobile KTS, di

masyarakat atau bahkan di rumah. Sementara itu, Provider-initiated HIV testing and

counselling (PITC) adalah suatu tes HIV dan konseling yang diInisiasii oleh petugas

kesehatan kepada pengunjung sarana layanan kesehatan sebagai bagian dari standar

pelayanan medis. Tujuan utamanya adalah untuk membuat keputusan klinis dan/atau

menentukan pelayanan medis khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui

status HIV seseorang seperti misalnya ART (Antiretroviral Teraphy). PITC mutlak harus

disertai dengan jangkauan pada paket layanan pencegahan, pengobatan, perawatan dan

dukungan yang diterapkan sebagai suatu standar nasional untuk perawatan, dukungan dan

pengobatan serta menjadi dalam kerangka kerja rencana strategi nasional untuk

meningkatkan dan mendekatkan akses terhadap terapi antiretroviral bagi semua yang

membutuhkannya. PITC juga bertujuan untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada stadium

awal yang tidak menunjukkan gejala penyakit yang jelas karena penurunan kekebalan.

Oleh karenannya kadang-kadang konseling dan tes HIV juga ditawarkan kepada pasien

dengan gejala yang mungkin tidak terkait dengan HIV sekalipun. Pasien tersebut dapat

mendapatkan manfaat dari pengetahuan tentang status HIV reaktif guna mendapatkan

layanan pencegahan dan terapi yang diperlukan secara lebih dini. Tes HIV

direkomendasikan sebagai berikut:

1. Ditawarkan kepada semua pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis yang

mungkin mengindikasikan infeksi HIV, tanpa memandang tingkat epidemi

daerahnya.

2. Sebagai bagian dari prosedur baku perawatan medis pada semua pasien yang

datang di sarana kesehatan di daerah dengan tingkat epidemi yang meluas.

3. Ditawarkan kepada pasien dengan risiko HIV lebih tinggi, seperti pasien dengan

IMS, pasien yang berasal dari kelompok risiko tinggi.

Seseorang yang mengetahui status HIV-nya diharapkan dapat:

1. Mendorong perubahan perilaku yang dapat mencegah penularan HIV.

2. Meningkatkan kesehatan umum, termasuk berupaya mencari perawatan untuk

infeksi oportunistik.

3. Merencanakan masa depan dalam hubungannya dengan keluarga serta komitmen-

komitmen lainnya, serta memberi peluang mencegah terjadinya penularan vertical

HIV dari seorang ibu yang terinfeksi kepada anaknya.

8

Page 12: Referat Harm Reduction

Tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas kesehatan terdiri dari 3 tahap:

1. Informasi pra-tes dan edukasi

Informasi dapat diberikan oleh dokter, perawat atau konselor dan dapat

disampaikan secara individu atau kelompok oleh tenaga kesehatan. Informasi pra-

tes sebaiknya terpusat pada memberikan informasi penting HIV, menjelaskan

prosedur untuk menjamin konfidensialitas, serta meyakinkan kesediaan pasien

untuk menjalani tes dan meminta pesetujuan pasien (informed consent). Terdapat

beberapa kelompok masyarakat yang lebih rentan terhadap dampak buruk seperti

diskriminasi, pengucilan, tindak kekerasan, atau penahanan.

2. Tes HIV

Diagnosis HIV dapat ditegakkan melalui 3 metode pemeriksaan antibodi yang

tersedia, yaitu: Rapid test, ELISA, dan Western Blot.

3. Konseling pasca-tes

Konseling pasca-tes merupakan bagian integral dari proses tes HIV. Semua pasien

yang menjalani tes HIV harus mendapatkan konseling pasca-tes pada saat hasil tes

disampaikan, tanpa memandang hasil tes HIVnya. Konseling pasca-tes harus

diberikan secara individual dan oleh petugas yang sama yang menginisiasi tes

HIV semula. Konseling tidak layak untuk diberikan secara kelompok. Setelah

dapat ditegakkan diagnosis dan terapi, tujuan lain dari konseling ini adalah

perubahan perilaku klien khususnya terkait perilaku berisiko yang dapat

memperburuk kondisi penyakitnya atau penularan HIV AIDS dan penyakit infeksi

lainnya kepada orang lain. Sementara perubahan perilaku sehubungan dengan

risiko penularan kepada orang lain dapat dilaksanakan melalui rujukan kepada

konselor terlatih.

Konseling hasil tes HIV non-reaktif:

a) Penjelasan tentang hasil tes, termasuk penjelasan tentang periode jendela,

yaitu belum terdeteksinya antibodi HIV dan anjuran untuk menjalani tes

kembali ketika terjadi pajanan HIV.

b) Informasi dasar tentang risiko serta cara mencegah terjadinya penularan HIV.

c) Bila status pasangan tidak diketahui, berikan konseling tentang manfaat

pemeriksaan pasangan.

9

Page 13: Referat Harm Reduction

Konseling hasil tes HIV reaktif:

a) Memberikan informasi hasil tes HIV kepada pasien secara sederhana dan jelas

dan memastikan pasien mengerti tentang arti tes.

b) Melakukan pemeriksaan klinis dan lab secara menyeluruh untuk skrining TB,

mencari infeksi oportunistik, memberikan pengobatan infeksi oportunistik jika

ada, memberikan kotrimoksasol profilaksis.

c) Memberikan rencana pengobatan ARV dan informasi tempat pelayanan utk

ARV terdekat dengan pasien.

d) Memberi kesempatan pasien untuk bertanya.

e) Memulai konseling pra ART.

f) Merujuk ke unit lain terkait dengan kebutuhan pasien baik terkait dengan

perawatan, pengobatan maupun pencegahan.8

Sumber: Pedoman penerapan konseling dan tes HIV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010.

10

Page 14: Referat Harm Reduction

2.6.5 Program penyucihamaan

Program penyucihamaan (bleaching) merupakan bagian dari pengurangan dampak

buruk NAPZA. Kegiatan yang dapat mengurangi jumlah virus yang bersifat menular di

peralatan suntik bekas akan mengurangi pula kemungkinan terjadinya penyebaran virus

tersebut, seperti: mencuci jarum suntik untuk menghilangkan darah yang telah

terkontaminasi dari dalam jarum suntik tersebut; menyucihamakan jarum suntik dengan

menggunakan cairan kimia penyucihama; atau mensterilkan jarum suntik dengan

dipanaskan.

Pemutih merupakan cairan yang efektif untuk mengurangi jumlah virus HIV di jarum

suntik. Program ini meliputi penyediaan bleaching kit (paket pemutih) yang terdiri dari

pemutih/hipoklorit 5,25% dan air bersih. Program penyucihamaan harus disertai

informasi dan peragaan tentang cara penyucihamaan yang benar. Program

penyucihamaan bersamaan dengan program penjangkauan dan pendampingan di lapangan

sebagai salah satu pilihan perilaku untuk mengurangi risiko terinfeksi HIV bagi Penasun.

2.6.6 Program penggunaan jarum suntik steril

Program penggunaan jarum suntik steril (Pejasun) atau Needle Syringe Program

(NSP) adalah upaya penyediaan layanan yang meliputi penyediaan jarum suntik steril

(baru), pendidikan dan informasi tentang penularan HIV, rujukan terhadap akses medis,

hukum dan layanan sosial. Program ini menyediakan dan memberikan peralatan suntik

steril, beserta materi-materi pengurangan risiko lainnya, kepada Penasun, untuk

memastikan bahwa setiap penyuntikan dilakukan dengan menggunakan jarum suntik

baru. Tujuan program ini adalah:

a) Menyediakan dan mendistribusikan jarum suntik steril kepada Penasun, dan

menghentikan beredarnya jarum suntik bekas pakai yang berpotensi menularkan

HIV.

b) Memastikan penggunaan jarum suntik steril pada sebanyak mungkin praktek

penggunaan NAPZA secara suntik.

c) Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan penasun mengenai menyuntik yang

lebih aman.

11

Page 15: Referat Harm Reduction

Dalam pelaksanaan program penggunaan jarum suntik steril terdapat beberapa model

program diantaranya:

1. Needle Exchange Program (NEP) atau Needle Syringe Exchange Program (NSEP),

program pertukaran jarum suntik. Program ini menekankan pada pertukaran, bukan

distribusi.

2. Needle Distribution Program (NDP), program yang menekankan pada distribusi

jarum suntik steril.

2.6.7 Program pemusnahan peralatan suntik bekas pakai

Pemusnahan peralatan menyuntik bekas pakai dimaksudkan untuk mengumpulkan

kembali peralatan bekas pakai, memastikan bahwa peralatan bersih dan steril yang

dipakai, menghindari penjualan ulang peralatan bekas pakai, dan memastikan

pemusnahan peralatan bekas pakai dengan semestinya. Tujuannya adalah:

1. Melenyapkan kemungkinan digunakannya kembali peralatan bekas pakai yang

mungkin sudah terkontaminasi.

2. Melenyapkan sumber potensial bagi penularan HIV yang tidak disengaja kepada

mereka yang bukan Penasun, khususnya anak-anak.

2.6.8 Program layanan terapi ketergantungan NAPZA

Satu hal yang harus dipahami dalam terapi ketergantungan NAPZA adalah tidak

semua pengguna NAPZA memiliki kesamaan dalam hal kebiasaan serta kebutuhan

NAPZA yang dipakai. Selain itu banyak pengguna NAPZA melewati tahapan-tahapan

penggunaan NAPZA yang berbeda pada waktu yang berbeda-beda dalam hidupnya. Pada

sebagian orang di berbagai penjuru dunia, mengisap opium atau heroin atau menyuntik

heroin, tidak harus menjadi kecanduan terhadap zat-zat tersebut. Bagi sebagian besar

orang yang menggunakan jenis-jenis NAPZA di atas, terdapat sebuah periode waktu

dimana dapat menggunakan NAPZA tanpa menjadi kecanduan, sebab ketergantungan

dapat terbentuk apabila NAPZA digunakan secara teratur selama beberapa waktu tertentu.

Periode ini bervariasi dari beberapa minggu hingga beberapa tahun. Penggunaan yang

teratur saja tidak dapat langsung dikategorikan sebagai ketergantungan, sebab perlu

memenuhi kriteria ketergantungan sesuai Diagnostic Statistical Mannual of Mental

Disorders IV (DSM IV). Oleh karena itu, pendekatan terapi pun hendaknya bervariasi

pula. Kita perlu mengetahui lebih banyak tentang siapa si pengguna NAPZA itu,

bagaimana mereka menggunakan NAPZA, apa saja situasi dan kondisi sosial mereka,

12

Page 16: Referat Harm Reduction

serta alternatif apa saja yang dapat ditawarkan secara realistis di dalam situasi dan kondisi

sosial mereka.

Pemahaman yang komprehensif tentang penggunaan NAPZA dan pengguna NAPZA

sangat dibutuhkan agar pendekatan terapi ketergantungan NAPZA dapat berlangsung dan

bermanfaat. Identifikasi dini para pengguna NAPZA, perlu dilakukan secara tidak

menyolok di lingkungan masyarakat. Semakin berhasil upaya menggambarkan

ketergantungan NAPZA sebagai sebuah penyakit dan pengguna NAPZA memandang

layanan terapi sebagai layanan yang bersifat rahasia dan penuh perhatian, maka akan

semakin besar pula kemungkinan para pengguna NAPZA berupaya memperoleh layanan

tersebut atas inisiatif mereka sendiri.

Fokus terapi ketergantungan NAPZA adalah menyediakan berbagai jenis pilihan,

yang dapat mendukung proses pemulihan melalui berbagai ketrampilan yang diperlukan

dan mencegah kekambuhan (relapse). Tingkatan layanan bervariasi, tergantung dari

derajat keparahan dan seberapa intensif terapi diperlukan. Bentuk-bentuk terapi

ketergantungan NAPZA antara lain adalah:

1. Detoksifikasi dan Terapi Withdrawal

Detoksifikasi (sering disebut terapi detoks) adalah suatu bentuk terapi awal untuk

mengatasi gejala-gejala lepas NAPZA (withdrawal state), yang terjadi sebagai

akibat penghentian penggunaan NAPZA. Detoks bukan terapi tunggal, namun

hanya sebagai langkah pertama menuju program terapi jangka panjang

(rehabilitasi, program terapi rumatan substitusi). Bila hanya dilakukan detoks

kemungkinan relaps sangat besar. Variasi terapi detoks sangat luas, antara lain:

ultra rapid detoxification (hanya 6 jam), home based detoxification, detoks rawat

inap dan detoks rawat jalan.

2. Terapi terhadap Kondisi Emerjensi

Pasien-pasien ketergantungan NAPZA sering menunjukkan perilaku yang

mendatangkan kegawatan baik bagi dirinya maupun bagi orang sekitarnya.

Keadaan overdose opioida dapat menyebabkan depresi pada susunan saraf pusat

yang menyebabkan kematian. Kondisi paranoid, halusinasi, agresif dan agitasi

akut memerlukan pertolongan professional dengan segera.

3. Terapi Gangguan Diagnosis Ganda

Banyak pasien-pasien ketergantungan NAPZA yang bersama-sama juga

menderita gangguan jiwa, seperti: skizofrenia, gangguan bipolar, gangguan

kepribadian, anti sosial, depresi berat sampai suicide. Gangguan diagnosis ganda

13

Page 17: Referat Harm Reduction

tersebut memerlukan terapi yang terintegrasi dengan terapi ketergantungan

NAPZA.

4. Terapi Rawat Jalan (Ambulatory atau Out-Patient Treatment)

Terapi yang membebaskan pasien untuk tidak tinggal menginap di rumah sakit.

Modifikasi terapi rawat jalan untuk pasien-pasien ketergantungan NAPZA sangat

luas, seperti; terapi rawat jalan intensif, terapi rawat jalan seminggu sekali. Terapi

ini tidak restriktif dan sering memberikan hasil paling baik bagi orang yang telah

bekerja dan yang memiliki lingkungan sosial dan keluarga yang stabil. Bentuk

layanan ini dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi layanan kesehatan formal

ataupun dalam masyarakat dengan layanan-layanan yang meliputi; pendidikan

kesehatan terkait penyalahgunaan NAPZA, pemberian terapi medis, konseling

individu, konseling kelompok, konseling keluarga, psikoterapi, evaluasi psikologi

dan evaluasi sosial serta program kelompok dukungan (support group) baik yang

berdasarkan pada program 12 langkah, maupun program-program lain sesuai

dengan kebutuhan pasien.

5. Terapi Residensi (residential treatment)

Bila detoks dan terapi rawat jalan berulang kali gagal, maka pasien perlu

dipertimbangkan untuk mengikuti terapi rawat residensi (yang juga disebut

dengan istilah rehabilitasi). Banyak metode yang digunakan dalam terapi residensi

antara lain: Therapeutic Community, dan the 12-Step Recovery Program.

Lamanya terapi umumnya 12-24 bulan yang terdiri dari beberapa tahap terapi.

Sasaran utama dari terapi residensi adalah abstinentia atau sama sekali tidak

menggunakan NAPZA (drug free). Dalam kedua program tersebut, umumnya

mantan pengguna NAPZA (yang benar-benar telah bersih, recovering addict)

diikutsertakan dalam kegiatan terapi disamping tenaga professional yang terlatih.

6. Terapi Pencegahan Relaps

Angka relaps (kekambuhan) pada pasien ketergantungan NAPZA, khususnya

pengguna opioida sangat tinggi. Guna mencegah berulangkalinya relaps, pasien-

pasien tersebut harus mendapatkan terapi pencegahan relaps. Beberapa bentuk

terapi tersebut antara lain: Relapse Prevention Training (Marlatt), Cognitive

Behavior Therapy (CBT) khususnya terhadap craving (Beck) dan the 12-Step

Recovery Program.

14

Page 18: Referat Harm Reduction

7. Terapi Pasca Perawatan (after care)

Setelah melewati terapi rawat inap pasien sangat disarankan untuk dapat

mengikuti terapi pasca perawatan. Hal ini merupakan bagian penting untuk dapat

mendukung pasien tetap tidak menggunakan NAPZA. Beberapa komponen yang

masuk dalam terapi pasca perawatan adalah konseling bagi pasien dan keluarga,

psikoterapi, terapi perilaku, terapi kognitif, terapi perilaku dan kognitif, terapi

dukungan, kelompok dukungan dan program 12 Langkah.

8. Terapi Substitusi (Substitution Therapy)

Terapi substitusi terutama ditujukan kepada pasien ketergantungan opioida.

Sasaran terapi; mengurangi perilaku kriminal, mencegah penularan HIV/AIDS,

mempertahankan hidup yang produktif dan menghentikan kebiasaan penggunaan

rutin NAPZA, khususnya opioida. Substitusi yang digunakan dapat bersifat

agonis (methadone), agonis partial (buphrenorphine) atau antagonis (naltrexone).

Methadone Maintance Therapy (MMT), sering disebut Terapi Rumatan Metadone

(TRM) yang paling umum dijalankan. Pasien yang mengikuti terapi substitusi

tidak memerlukan hospitalisasi (rawat residensi) jangka panjang. Terapi ini akan

berjalan dengan sangat efektif bila disertai dengan konsultasi dan intervensi

perilaku. Penjelasan lebih lanjut tentang terapi ini akan diuraikan pada bagian

selanjutnya.

2.6.9 Program terapi substitusi

Dewasa ini, terapi substitusi hanya dapat digunakan untuk pasien-pasien

ketergantungan opioida, karena itu sebutan lengkapnya adalah terapi substitusi opioida.

Untuk pengguna opioida yang hard core addict (pengguna opioida yang telah bertahun

tahun menggunakan opioida suntikan), mengalami kekambuhan kronis dan berulang kali

menjalani terapi ketergantungan, maka sudah selayaknya mempertimbangkan untuk

mengikuti program terapi substitusi. Di banyak negara, termasuk sejumlah negara di Asia,

program terapi substitusi yang paling umum adalah TRM. Program TRM dapat dibedakan

menjadi program detoksifikasi dan program rumatan. Untuk program detoksifikasi

dibedakan menjadi jangka pendek dan jangka panjang yaitu jadwal 21 hari, 91 hari dan

182 hari. Sedangkan program rumatan/pemeliharaan berlangsung sedikitnya 6 bulan

sampai 2 tahun atau lebih lama lagi.

Peserta program rumatan metadon ini sebelumnya harus dilakukan skrining dan juga

konseling untuk meyakinkan bahwa Penasun memahami benar konsekuensi dari program

15

Page 19: Referat Harm Reduction

yang akan diikutinya. Tidak semua Penasun dapat mengikuti program rumatan metadon,

beberapa kriteria harus dipenuhi, yaitu:

1. Memenuhi kriteria ketergantungan opioid (heroin) sesuai DSM-IV.

2. Usia 18 tahun atau lebih.

3. Penasun dengan status HIV positif maupun negatif.

4. Penggunaan jarum suntik yang kronis: penggunaan minimum 1 tahun, keparahan

ketergantungan yang dinilai dengan toleransinya terhadap heroin dan telah

mengalami kegagalan yang berulang kali dengan modalitas terapi lain.

5. Penasun yang mengalami kekambuhan massif dan kemungkinan adanya risiko

tinggi bila tidak mengikuti program rumatan metadon.

6. Usia dibawah 18 tahun dengan kondisi khusus dan dinilai perlu mendapatkan

terapi rumatan dapat mengikuti program ini.

Penasun yang tidak dapat mengikuti program ini diantaranya: pasien yang mengalami

gangguan fisik berat sesuai dengan hasil pemeriksaan klinis, pasien dengan gangguan

jiwa berat atau retardasi mental karena ketidakmampuannya untuk menandatangani

informed consent dan pasien yang sedang mengalami overdosis atau intoksikasi (high)

opioida.

Program rumatan metadon menyediakan dan memberikan obat legal yang dikonsumsi

secara oral (dengan diminum) sebagai pengganti NAPZA yang dikonsumsi dengan cara

menyuntik. Keikutsertaan dalam program rumatan metadon telah dikaitkan dengan

manfaat ganda yang meliputi turunnya angka kematian, morbiditas, infeksi HIV dan

angka kriminalitas serta mengembalikan kemampuan sosial Penasun. Metadon bukanlah

satu-satunya obat yang digunakan dalam opioida agonist pharmacotherapy atau terapi

substitusi. Obatan-obatan substitusi opioida untuk ketergantungan opioida lainnya adalah

buprenorfin, levo-alphaacetylmethadol (LAAM), morfin, kodein, diamorfin (heroin),

pentazocine, ethylmorfin, dan larutan opium.

2.6.10 Program perawatan dan pengobatan HIV

Melihat sejarah epidemi HIV di kalangan Penasun, AIDS kini menjadi makin umum

pada banyak populasi Penasun dan keluarganya di banyak negara. Di kelompok Penasun

yang terinfeksi HIV terdapat angka kematian yang tinggi akibat sebab-sebab yang tidak

berhubungan dengan infeksi HIV. Sebab-sebab tersebut meliputi pneumonia, penyakit

hati (Hepatitis B dan C) dan overdosis. Khusus bagi Penasun perempuan, terdapat

16

Page 20: Referat Harm Reduction

masalah reproduksi, kehamilan, proses persalinan, serta pemberian air susu ibu. Turunnya

berat badan serta kelemahan fisik dapat menjadi lebih buruk bagi Penasun yang hidup

dengan HIV karena kemiskinan dan kekurangan gizi, dan efek dari NAPZA yang

digunakan. Penasun yang hidup dengan HIV memiliki risiko lebih besar terkena infeksi

yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA suntik, termasuk abses, septikemia,

endokarditis dan TBC. Oleh karena itu program ini bertujuan untuk menyediakan dan

memberikan pengobatan serta perawatan yang berkualitas untuk Penasun yang hidup

dengan HIV/AIDS.

2.6.11 Program pendidikan sebaya

Keterlibatan baik mantan Penasun maupun Penasun dalam merancang,

mempromosikan serta memberikan layanan-layanan kepada Penasun merupakan sebuah

prinsip yang penting bagi program pencegahan HIV. Prinsip ini didasarkan pada prinsip

umum mengenai keterlibatan masyarakat. Program pendidik sebaya tidak bisa dilepaskan

dan mempunyai kaitan erat dengan program penjangkauan dan pendampingan.

Program pendidikan sebaya di kelompok Penasun telah terbukti efektif dalam

mengurangi perilaku berisiko HIV, sementara program Pejasun yang berbasis pada teman

sebaya telah terbukti lebih efektif dalam menjangkau Penasun baru dibandingkan dengan

program yang dilaksanakan oleh bukan teman sebaya. Intervensi jaringan sosial yang

menggunakan teman sebaya ternyata lebih efektif dalam menjangkau Penasun serta dalam

memberikan edukasi HIV yang lebih efektif, jika dibandingkan dengan intervensi

penjangkauan yang tradisional dan profesional.

2.6.12 Program layanan kesehatan dasar

Pengguna NAPZA seringkali berada dalam kondisi kesehatan yang buruk sebagai

akibat penggunaan NAPZA, makanan yang tidak memadai, serta kondisi lingkungan yang

tidak sehat. Namun pengguna NAPZA masih enggan untuk mendekati atau menggunakan

layanan-layanan kesehatan utama dan umum karena terdapat diskrimasi dan stigmanisasi.

Selain itu terdapat rasa ketakutan bila ketahuan menggunakan NAPZA, yang kemudian

akan mengakibatkan diproses secara hukum dan diskriminasi. Program layanan kesehatan

dasar berupaya menyediakan dan memberikan layanan kesehatan, seperti; perawatan

abses, rujukan ke layanan-layanan yang tepat yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan

Penasun.

17

Page 21: Referat Harm Reduction

BAB III

PENUTUP

Masalah HIV/AIDS di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan nasional

yang memerlukan penanganan bersama secara komprehensif. Penanganan masalah

HIV/AIDS pada Penasun tidak hanya terbatas pada penyediaan layanan konseling, tesing,

serta penyediaan layanan terapi antiretroviral (ART), tetapi juga harus memperhatikan

permasalah medis psikologis yang terkait dengan perilaku adiksi para penasun. Hal ini

diperlukan karena perhatian pada masalah medis psikologis penasun dapat membantu

meningkatkan peruahan perilaku.

18

Page 22: Referat Harm Reduction

DAFTAR PUSTAKA

1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman penatalaksaan medik gangguan

penggunaan NAPZA. 2010. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

2. Bergenstrom A, Andreeva V, Reddy A. Overview of epidemiology of injection drug

use and HIV in Asia. UNODC United Nations Office on Drugs and Crime, UNAIDS.

2012. Tersedia dari:

https://www.unodc.org/documents/southeastasiaandpacific//poster/

Regional_overview_of_IDU_and_HIV_in_Asia_final_3_Jun_2013.pdf. [diakses pada

27 September 2015]

3. World Health Organization. Report on people who inject drugs in the South-East Asia

region. 2010. India: WHO Regional Office for South-East Asia Region.

4. Komisi Penanggulangan AIDS. Strategi nasional Penanggulangan HIV dan AIDS

2007-2010. 2007. Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Tersedia dari: http://spiritia.or.id/dokumen/stranas07-10.pdf. [diakses pada 1 Oktober

2015]

5. Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21

tahun 2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS. 2013. Jakarta: Menteri

Kesehatan Republik Indonesia.

6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman pelaksanaan pengurangan dampak

buruk Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif (NAPZA). 2006. Jakarta: Bakti Husada.

7. Republik Indonesia. Pedoman Prosedur Pelaksanaan Program Pengurangan Dampak

Buruk bagi pengguna Napza suntik berbasis Puskesmas. 2008. Jakarta: Menteri

Kesehatan Republik Indonesia. Tersedia dari:

http://kpaprovsulut.or.id/wp-content/uploads/2014/05/SOP-HRPKM-ISI.pdf, [diakses

pada [1 Oktober 2015]

8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman penerapan konseling dan tes HIV.

2010. Jakarta: Bakti Husada.

19

Page 23: Referat Harm Reduction

20