Referat Ginekologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

adenomiosis

Citation preview

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Adenomiosis merupakan endometriosis interna yang tumbuh di sela-sela

    miometrium. Ciri khasnya adalah penetrasi progesif stroma dan kelenjar endometrium ke

    dalam miometrium yang diikuti dengan hiperplasia otot polos dan perubahan lingkungan

    imun lokal.1,2

    Penyakit ini sangat sering ditemukan sebagai penyebab dismenorea,

    menoragia dan infertilitas. Pertumbuhannya dipicu oleh kelemahan otot polos uterus atau

    adanya peningkatan tekanan intrauterin atau gabungan keduanya. Kadar estrogen yang

    tinggi dan perubahan imunitas seluler juga telah dihubungkan dengan kejadian

    adenomiosis.1,2,3

    Penyakit ini sebagian besar muncul pada akhir masa reproduksi dan

    perimenopause.1 Angka kejadiannya beragam menurut cara pemeriksaan dan temuan

    kasus; secara klinis ditemukan 10-20%,sedangkan berdasarkan histopatologis ditemukan

    20-40%. Lebih dari 80% penderita adenomiosis memiliki uterus abnormal; 50% seiring

    dengan miom uterus, 11% dengan endometriosis, dan 7% dengan polip endometrium.1,5

    Kekambuhan pascabedah dan pascapengobatan medisinal adalah 33- 40,3%.6,7

    Gejala

    klinisnya sangat beragam, tersering adalah dismenorea (80%), selain itu juga ditemukan

    nyeri pelvik (50%), infertilitas (40%), dan gangguan haid (20%). Gejala penyerta lain

    adalah menoragia, dispareunia, nyeri suprapubik, pembesaran uterus, gangguan miksi dan

    ada juga yang tanpa keluhan. Menoragia terjadi karena vaskularisasi jaringan bertambah

    dan otot uterus tidak dapat berkontraksi dengan sempurna karena adanya jaringan mirip

    endometrium di tengahnya.1,5,6,7

    Hingga kini silang pendapat masih berlanjut tentang bagaimana melakukan

    diagnosis dan penanganannya, khususnya pada perempuan yang masih menginginkan

    uterus dan atau masih ingin memiliki keturunan. Diagnosis pastinya hanya dapat

    ditegakkan secara histopatologis. Pada perempuan dengan paritas cukup atau perempuan

    lanjut usia pilihan pengobatan adenomiosis yang dianjurkan adalah histerektomi total.

    Tindakan bedah juga dianjurkan bilamana pengobatan hormonal 3 bulan tidak

    memberikan hasil yang memuaskan. Pada perempuan usia subur dengan masalah

    infertilitas, maka tindakan yang perlu dipikirkan adalah melakukan reseksi

    adenomiosis.1,3

  • 2

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Endometrium

    1. Anatomi

    Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus), yang terletak

    di atas penyempitan rongga uterus (orifisium internum uteri), dan suatu struktur

    silindris di bawah, yakni serviks, yang terletak di bawah orifisium internum uteri.

    Uterus adalah organ yang memiliki otot yang kuat dengan ukuran panjang 7 cm,

    lebar 4 cm, dan ketebalan 2,5 cm. Pada setiap sisi dari uterus terdapat dua buah

    ligamentum broad yang terletak diantara rektum dan kandung kemih,

    ligamentum tersebut menyangga uterus sehingga posisi uterus dapat bertahan

    dengan baik. Bagian korpus atau badan hampir seluruhnya berbentuk datar pada

    permukaan anterior, dan terdiri dari bagian yang cembung pada bagian posterior.

    Pada bagian atas korpus, terdapat bagian berbentuk bulat yang melintang di atas

    tuba uterina disebut fundus. Serviks berada pada bagian yang lebih bawah, dan

    dipisahkan dengan korpus oleh ismus. Sebelum masa pubertas, rasio

    perbandingan panjang serviks dan korpus kurang lebih sebanding; namun setelah

    pubertas, rasio perbandingannya menjadi 2 : 1 dan 3 : 1.

  • 3

    Gambar 2.1 Sisi Anterior uterus (Glass office gynecology)

    Gambar 2.2 pembagian sisi uterus

    2. Histologi

    Dari segi histologi, uterus terdiri dari tiga lapisan, seperti yang

    ditunjukkan pada gambar 2.2 .

    a. Lapisan serosa atau peritoneum viseral yang terdiri dari sel mesotelial.

    b. Lapisan muscular atau miometrium yang merupakan lapisan paling tebal di

    uterus dan terdiri dari serat otot halus yang dipisahkan oleh kolagen dan

    serat elastik. Berkas otot polos ini membentuk empat lapisan yang tidak

  • 4

    berbatas tegas. Lapisan pertama dan keempat terutama terdiri atas serat

    yang tersusun memanjang, yaitu sejajar dengan sumbu panjang organ.

    Lapisan tengah mengandung pembuluh darah yang lebih besar.

    c. Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel dan lamina propia yang

    mengandung kelenjar tubular simpleks. Sel sel epitel pelapisnya

    merupakan gabungan selapis sel sel silindris sekretorus dan sel bersilia.

    Jaringan ikat lamina propia kaya akan fibroblas dan mengandung banyak

    substansi dasar. Serat jaringan ikatnya terutana berasal dari kolagen tipe III.

    Gambar 2.3 Uterus dan Jaringan Adnexa

    Gambar 2.4 Lapisan dinding uterus

  • 5

    Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua zona (Gambar 2.3), (1)

    Lapisan fungsional yang merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapsian

    ini akan luruh pada saat terjadinya fase menstruasi. (2) Lapisan basal yang

    paling dalam dan berdekatan dengan miometrium. Lapisan ini mengandung

    lamina propia dan bagian awal kelenjar uterus. Lapisan ini berperan sebagai

    bahan regenerasi dari lapisan fungsional dan akan tetap bertahan pada fase

    menstruasi. Endometrium adalah jaringan yang sangat dinamis pada wanita

    usia reproduksi. Perubahan pada endometrium terus menerus terjadi

    sehubungan dengan respon terhadap perubahan hormon, stromal, dan vascular

    dengan tujuan akhir agar nanitnya uterus sudah siap saat terjadi pertumbuhan

    embrio pada kehamilan. Stimulasi estrogen dikaitkan erat dengan

    pertumbuhan dan proliferasi endometrium, sedangkan progesteron diproduksi

    oleh korpus luteum setelah ovulasi mengahmbat proliferasi dan menstimulasi

    sekresi di kelenjar dan juga perubahan predesidual di stroma.

    Gambar 2.5 Histologi Endometrium

  • 6

    B. Adenomiosis

    1. Definisi

    Adenomiosis adalah kelainan ginekologis yang ditandai dengan

    adanya pertumbuhan lapisan endometrium secara ektopik yang ditemukan

    diluar uterus. Secara lebih spesifik lagi dijelaskan sebagai suatu keadaan

    dengan jaringan yang mengandung unsur unsur stroma dan unsur granular

    endometrium khas terdapat secara abnormal pada berbagai tempat di dalam

    rongga panggul atau daerah lain pada tubuh.

    Adenomiosis adalah penetrasi dan bertumbuhnya jaringan

    endometrium (jaringan yang melapisi dinding dalam rahim) ke dalam

    myometrium (lapisan otot rahim), sering disebut pula dengan endometriosis

    internal. Jadi penyakit ini sejenis dengan endometriosis. Adenomiosis dapat

    ada bersamaan dengan endometriosis eksternal. Dan jaringan endometrium

    yang salah tempat ini, seperti endometrium yang normal, akan mengikuti

    siklus menstruasi, jadi cenderung mengalami pendarahan pada saat

    menstruasi. Darah yang terkumpul di dalam jaringan otot rahim ini akan

    menyebabkan pembengkakan; rahim menjadi lebih besar. Pembengkakan

    (adenomiosis) ini dapat merata atau terfokus di satu tempat.

    Adenomiosis adalah penyakit jinak uterus yang dicirikan dengan

    adanya kelenjar dan stroma endometrium ektopik dalam myometrium. Hal ini

    terjadi akibat rusaknya batas antara stratum basalis endometrium dengan

    myometrium sehingga kelenjar endometrium dapat menembus miometrium.

    Selanjutnya, terbentuklah kelenjar intramiometrium ektopik yang dapat

    menyebabkan hipertrofi & hiperplasia miometrium (difus atau lokal). Pemicu

    terjadinya peristiwa ini sampai sekarang masih belum jelas.

    Umumnya adenomiosis salah didiagnosa sebagai fibroid rahim.

    Sebenarnya terdapat perbedaan mendasar diantara fibroid (suatu tumor yang

    jelas) dan adenomyoma. Fibroid berasal dari satu sel yang abnormal, yang

    dibawah pengaruh hormon estrogen akan berkembangbiak. Pertumbuhan

    tumor mungkin dapat menggeser dan menekan jaringan sekitarnya, tetapi dia

    tidak pernah menyusup ke jaringan otot rahim, oleh karena tidak menyusup ke

  • 7

    jaringan otot rahim maka dimungkinkan untuk mengangkat seluruh tumor ini

    tanpa mengganggu jaringan rahim yang normal selama proses pembedahan

    yang disebut myomektomi (pembedahan untuk mengangkat fibroid).

    Sebaliknya adenomyoma bukanlah suatu tumor dengan batas yang jelas, tetapi

    lebih kea rah pembengkakan lokal dari dinding rahim sebagai akibat penetrasi

    jaringan endometrium. Oleh karena itu tidak mungkin untuk mengangkat

    jaringan yang terkena adenomiosis tanpa mengangkat jaringan otot rahim

    yang dipenetrasi tadi.

    Ada beberapa pendapat tentang batasan diagnosis adenomiosis. Secara

    tradisional, diagnosis histologis adenomiosis ditegakkan ketika ditemukannya

    kelenjar & stroma endometrium > 4 mm di bawah endomyometrial junction.

    Sedangkan menurut Zaloudek & Norris, disebut adenomiosis jika jarak antara

    batas bawah endometrium dengan daerah miometrium yang terkena + 2,5 mm.

    Adenomiosis sub-basalis diartikan sebagai invasi minimal kelenjar

    endometrium < 2 mm di bawah stratum basalis endometrium.

    Gambar 2.6. Gambaran Adenomiosis

  • 8

    2. Epidemiologi

    Adenomiosis merupakan salah satu penyakit organ reproduksi yang

    paling sering terjadi. Adenomiosis sering ditemukan pada wanita usia remaja

    dan usia reproduksi dari segala etnis dan kelompok masyarakat. Penyakit ini

    terjadi pada 5 10 % pada wanita usia reproduksi. Epidemiologi adenomiosis

    yang sesungguhnya telah disalahartikan oleh observasi awal yang sering kali

    menyesatkan dan telah terjadi selama beberapa dekade. Adanya observasi

    awal yang salah tersebut diperburuk dengan tingginya kesalahan diagnosis

    visual pada saat dilakukan operasi.

    Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur

    lain dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria

    diagnostik yang dipakai. Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari

    10% . Studi di Nepal oleh Shrestha et al. melaporkan insidens 23,4% pada

    256 spesimen histerektomi. Jauh sebelumnya, sebuah studi di Itali oleh

    Parazzini et al. melaporkan insidens serupa sekitar 21,2% pada 707 wanita

    yang menjalani histerektomi atas berbagai indikasi.

    Meskipun insidensnya lumayan tinggi, tetapi studi epidemiologi

    seputar adenomiosis masih sangat jarang. Telah disinggung pada bagian

    pendahuluan bahwa perkembangan teknologi memungkinkan diagnosis

    adenomiosis preoperatif sehingga eksplorasi hubungannya dengan infertilitas

    dapat dilakukan. De Souza et al. melaporkan insidens 54% hiperplasia JZ

    pada wanita subfertil dengan keluhan menoragi dan dismenore. Bukti lain

    melaporkan kehamilan pada wanita infertil setelah diterapi adenomiosis

    dengan agen GnRH agonis. Penelitian terbaru oleh Maubon et al. melibatkan

    152 pasien in vitro fertilisation (IVF) untuk menilai pengaruh ketebalan JZ

    uterus yang diukur dengan MRI terhadap keberhasilan implantasi, dilaporkan

    bahwa peningkatan ketebalan JZ uterus berkorelasi signifikan dengan

    kegagalan implantasi pada IVF. Kegagalan implantasi terjadi pada 95,8%

    pasien dengan JZ 7-10 mm versus 37,5% pada subjek lain.

    Menurut Jacoeb dalam buku Berek and Novaks and gynecology,

    angka kejadian di Indonesia belum dapat diperkirakan secara pasti karena

  • 9

    belum ada studi epidemiologik, namun, dari data temuan di rumah sakit,

    angka kejadiannya berkisar 13,6-69,5% pada kelompok infertilitas. Pada

    pasangan infertil dijumpai 25% diakibatkan oleh adenomiosis, sedangkan

    pada kasus infertilitas idiopatik penyakit ini dijumpai 80%. Di bagian

    Obstetri dan Ginekologi FK-UI RSCM selama tahun 1990 tercatat 15,7%

    kasus adenomiosis di Poliklinik Imunoendokrinologi.

    3. Klasifikasi

    Penentuan klasifikasi dan stadium adenomiosis sangat penting

    dilakukan untuk menerapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi

    hasil pengobatan. Stadium adenomiosis tidak memiliki korelasi dengan derajat

    nyeri keluhan pasien maupun prediksi respon terapi terhadap nyeri atau

    infertilitas. Hal ini dikarenakan adenomiosis dapat dijumpai pada pasien yang

    asimptomatik. Klasifikasi Adenomiosis yang digunakan saat ini adalah

    menurut American Society For Reproductive Medicine yang telah di revisi

    pada tahun 1996 yang berbasis pada tipe, lokasi, tampilan, kedalaman invasi

    lesi, penyebaran penyakit dan perlengketan.

    Berdasarkan visualisasi rongga pelvis pada adenomiosis, dilakukan penilaian

    terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, keterlibatan ovarium dan

    densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan nilai nilai dari

    skoring yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi

    adenomiosis. Nilai 1-4 adalah minimal (stadium I), 5-15 adalah ringan

    (stadium II), 16-40 adalah sedang (stadium III) dan lebih dari 40 adalah berat

    (stadium IV).

    Adenomiosis dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan lokasi dan

    tipe lesi,yaitu:

    a. Peritoneal adenomiosis

    Lesi di peritoneum memiliki banyak vaskularisasi, sehingga

    menimbulkan perdarahan saat menstruasi. Lesi yang aktif akan

    menyebabkan timbulnya perdarahan kronik rekuren dan reaksi inflamasi

  • 10

    sehinggga tumbuh jaringan fibrosis dan sembuh. Lesi berwarna merah

    dapat berubah menjadi lesi berwarna hitam tipikal dan setelah itu lesi

    akan berubah menjadi lesi putih yang memiliki sedikit vaskularisasi dan

    akan ditemukan debris glandular.

    b. Ovarian Endometrial Cysts (Endometrioma)

    Pada endoemtriosis yang terjadi di ovarium, dapat timbul kista

    yang berwarna coklat dan sering terjadi perlengketan dengan organ

    organ lain, kemudian membentuk konglomerasi. Kista endometrium

    dapat berukuran >3cm dan multilokus, juga dapat tampak seperti kista

    coklat karena penimbunan darah dandebris ke dalam rongga kista.

    c. Deep Nodular Adenomiosis

    Pada adenomiosis jenis ini, jaringan ektopik menginfiltrasi

    septum rektovaginal atau struktur fibromuskuler pelvis seperti

    uterosakral dan ligamentum utero-ovarium. Nodul-nodul dibentuk oleh

    hiperplasia otot polos dan jaringan fibrosis di sekitar jaringan yang

    menginfiltrasi. Jaringan adenomiosisakan tertutup sebagai nodul, dan

    tidak ada perdarahan secara klinis yang berhubungan dengan

    adenomiosis nodular dalam. Ada banyak klasifikasi stadium yang

    digunakan untuk mengelompokkan adenomiosis dari ringan hingga

    berat, dan yang paling sering digunakan adalah sistem American

    Fertility Society (AFS) yang telah direvisi. Klasifikasi ini menjelaskan

    tentang lokasi dan kedalaman penyakit berikut jenis dan perluasan

    adhesi yang dibuat dalam sistem skor. Berikut adalah skor yang

    digunakan untuk mengklasifikasikan stadium:

    - Skor 1-5: Stadium I (penyakit minimal)

    - Skor 6-15: Stadium II (penyakit sedang)

    - Skor 16-40: Stadium III (penyakit berat)

    - Skor >40: Stadium IV (penyakit sangat berat)

  • 11

    Gambar 2.7 Pembagian stadium adenomiosis

    4. Etiopatogenesis

    Mekanisme terjadinya adenomiosis belum dapat diketahui secara pasti.

    Namun beberpa teori telah dikemukakan dan dipercaya sebagai mekanisme

    dasar adenomiosis. Beberapa teori tersebut antara lain:

    a. Menstruasi retrograde

    Teori ini dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927, dijelaskan

    bahwa adenomiosis terjadi karena darah menstruasi mengalir balik

    melalui tuba ke dalam rongga pelvis (retrograde). Darah yang berbalik ke

    rongga peritoneum diketahui mampu berimplantasi pada permukaan

    peritoneum dan merangsang metaplasia peritoneum yang kemudian akan

    merangsang angiogenesis. Hal ini dibuktikan dengan lesi adenomiosis

    sering dijumpai pada daerah yang meningkat vaskularisasinya. Dewasa

    ini, teori ini tidak lagi menjadi teori utama, karena teori ini tidak dapat

  • 12

    menjelaskan keadaan adenomiosis di luar pelvis (Januar, 2003). Teori

    yang menguatkan bahwa teori Sampson tidak dapat laigi diterima adalah

    telah ditemukan bahwa partikel endometrium memasuki rongga

    peritoneal mereka akan diserang dan dihancurkan proses imunnologi

    yang masih belum dapat diteliti. Selain itu, teori menstruasi retrograde

    tidak dapat menjelaskan mekanisme terjadinya adenomiosis di organ-

    organ lain, sehingga adenomiosis dipercaya memiliki beberapa

    patogenesis lain.

    b. Teori imunologik dan genetik

    Gangguan pada imunitas terjadi pada wanita yang menderita

    adenomiosis. Dmowski dkk mendapatkan adanya kegagalan dalam sistem

    pengumpulan dan pembuangan zat-zat sisa saat menstruasi oleh makrofag

    dan fungsi sel NK yang menurun pada adenomiosis. Beberapa penelitian

    menemukan peningkatan IgA, IgG dan IgM dalam serum peritoneal

    penderita adenomiosis. Kadar C3 juga berfluktuasi, tetapi meningkat di

    dalam serum pada adenomiosis yang lebih berat. C3 merupakan

    komplemen yang memegang kunci penting yang berawalnya kaskade

    proses imunologis tubuh. Komplemen ini dipakai oleh antibodi untuk

    proses penghancuran dinding sel sehingga merusak sel. Kadar C3 yang

    tinggi di dalam serum menunjukkan komplemen tersebut tidak

    dikonsumsi dalam proses imunologi dan proses sitolisis tidak

    berlangsung.

    c. Teori metaplasia

    Teori metaplasia ini dikemukakan oleh Robert Meyer yang

    menyatakan bahwa adenomiosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel

    epitel yang berasal dari sel epitel selomik pluripoten dapat

    mempertahankan hidupnya di daerah pelvis, sehingga terbentuk jaringan

    adenomiosis. Teori ini didukung oleh penelitian-penelitian yang dapat

  • 13

    menerangkan terjadinya pertumbuhan adenomiosis di toraks, umbilikus

    dan vulva.

    d. Teori emboli limfatik dan vascular

    Teori ini dapat menjelaskan mekanisme terjadinya adenomiosis di

    daerah luar pelvis. Daerah retroperitoneal memiliki banyak sirkulasi

    limfatik. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pada 29 % wanita yang

    menderita adenomiosis ditemukan nodul limfa pada pelvis. Hal ini dapat

    menjadi salah satu dasar teori akan adenomiosis yang terjadi di luar

    pelvis, contohnya di paru.

    5. Lokasi Anatomis

    Adenomiosis dapat tumbuh dimana saja di dalam pelvis dan pada

    permukaan peritoneum ekstrapelvis lainnya. Ovarium, peritoneum pelvis, cul-de-

    sac anterior dan posterior, dan ligamen uterosakral merupakan area yang paling

    sering terlibat pada kasus adenomiosis. Selain beberapa area tersebut, septum

    retktovaginal, ureter, kandung kemih, perikardium, bekas luka bedah, dan pleura

    juga dapat menjadi lokasi adenomiosis. Sebuah studi mengungkapkan bahwa

    adenomiosis telah ditemukan pada seluruh organ, kecuali pada limpa. Beberapa

    lokasi anatomis adenomiosis adalah:

    a. Adenomiosis uteri interna ( Adenomiosis uteri)

    Adenomiosis dikarakteristik dengan ditemukannya jaringan

    adenomiosis tumbuh ke lapisan otot yang lebih dalam di uterus (miometrium).

    Adenomiosis terdiri dari adeno ( kelenjar), mio (otot) dan osis (suatu kondisi)

    yang secara jelas didefinisikan sebagai adanya atau tumbuhnya kelenjar

    (endometrium) di lapisan otot (miometrium). Pada keadaan normal, terdapat

    lapisan pembatas antara antara endometrium dan miometrium yang berfungsi

    sebagai pertahanan terhadap invasi dari jaringan endometrium.

    Sekalipun belum ada patogenesis pasti dari adenomiosis, namun para

    peneliti berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh lemahnya lapisan otot

    pembatas pada wanita yang menderita adenomiosis dan juga dipicu oleh

  • 14

    meningkatnya tekanan intra uterin antara kedua sisi. Ditemukannya

    konsentrasi estrogen yang cukup tinggi dan adanya sistem imun

    yangterganggu pada penderita adenomiosis juga dianggap menjadi mekanisme

    penting dalam terjadinya adenomiosis. Rahim yang membesar dan lunak

    merupakan gejala klasik dari adenomiosis.

    Tidak seperti adenomiosis, beberapa peneliti percaya bahwa

    adenomiosis dapat terjadi setelah kehamilan dan melahirkan, wanita berusia

    empat puluhan dan lima puluhan yang telah melahirkan paling tidak satu anak

    lebih mungkin untuk mengembangkan adenomiosis. Faktor genetik dan

    hormon dipercaya menjadi beberapa faktor yang berpengaruh terhadap

    timbulnya adenomiosis. Adenomiosis merupakan kelainan patologis yang

    sering ditemukan pada wanita multipara usia 40 50 tahun.

    Gambar 2.8 Adenomiosis

  • 15

    b. Adenomiosis ovarium

    Diduga terbentuk akibat invaginasi dari korteks ovarium setelah

    penimbunan debris menstruasi dari perdarahan jaringan adenomiosis. Pada

    adenomiosis yang terjadi di ovarium dapat terbentuk kista, namun kista

    yang terbentuk disini bukan merupakkan kista sesungguhnya. Kista yang

    normal berisi cairan dari lapisan sebuah struktur, sedangkan dinding dari

    kista adenomiosis terdiri dari jaringan fibrosa, jaringan inflamasi, dan

    endometrium tidak menghasilkan cairan.

    c. Adenomiosis tuba

    Saluran yang paling banyak mengalami adenomiosis adalah

    saluran tuba tertutup. Gejala yang paling sering didapatkan dari kasus ini

    adalah infertilitas. Pada wanita yang mengalami adenomiosis di tuba akan

    lebih rentan mengalami kehamilan ektopik.

    d. Adenomiosis retroservikalis

    Pada rechtal toucher sering ditemukan adanya benjolan yang nyeri

    pada cavum douglas, benjolan benjolan ini melekat dengan uterus dan

    rektum, akibatnya terjadi dismenore, dispareuni, nyeri saat defekasi, serta

    nyeri pelvis.

    e. Adenomiosis ekstragenital

    Setiap anggota tubuh yang dikeluhkan mengalami nyeri setiap kali

    haid perlu dicurigai mengalami adenomiosis.

  • 16

    Gambar 2.9 Lokasi tersering terjadinya adenomiosis

    6. Patogenesis

    Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi

    dari stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat

    adanya hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan

    adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya pada plica

    rectovaginal, adenomiosis dapat berkembang de novo secara embriologis dari

    sisa ductus Muller.

    Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada

    manusia masih dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas

    mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA dan

    ciliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di lapiran basalis.

    Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan

    basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi endometrium akibat

  • 17

    degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat proses

    regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan

    sel-sel stroma endometrium yang membentuk system

    mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran sitoplasma

    pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar

    endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi

    invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasive dimana

    endometrium ke dalam miometrium.

    Dalam studi yang menggunakan hibridisasi dan imunohistokimia

    insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan

    reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin meskipun belum terbukti bahwa

    peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium berkaitan dengan

    kemampuan untuk menembus miometrium dam membentuk fokal

    adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH

    ditemukan pada Carsinoma Endometrii dibandingkan kelenjar endometrium

    yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas invasive

    dibandingkan yang non-invasif pada Choriocarsinoma.

    Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan

    hasil yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor

    progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan

    ekspresi reseptor progesteron yang lebih tinggi dibandingkan estrogen.

    Dengan menggunakan teknik pelacak imunohistokimia, ditemukan

    konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan

    basalis endometrium maupun adenomiosis.

    Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium

    yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas

    evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi

    semenjak ditemukan adanya hyperplasia memiliki peranan dalam proses

    invaginasi semenjak ditemukan banyaknya hyperplasia endometrium pada

    wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan

    dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana galnya endometriosis. Hal ini

  • 18

    didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen dengan pemberian

    Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang dikaitkan

    dengan gejala menoragia dan dismenorea.

    Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti Carsinoma

    endometrii, endometriosis, adenomiosis dan leiomioma, tidak hanya terdapat

    reseptor estrogen, namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi

    androgen menjadi estrogen. Precursor utama androgen, Andronostenedione,

    dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu

    Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi

    Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya Estrone

    akan dikonversi lagi menjadi 17-estradiol yang meningkatkan tingkat

    aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan

    menstimulasi pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen.

    Gambar 2.10 skema mekanisme pertumbuhan adenomiosis yang estrogen-dependent

    Didalam jaringan terdapat reseptor estrogen, aromatase dan sulfatase.

    Produksi estrogen local meningkatkan konsentrasi estrogen yang bersama-

    sama dengan estrogen dalam sirkulasi, merangsang pertumbuhan jaringan

    yang termediasi oleh reseptor estrogen.

    mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen

    utama aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom

    terlokalisir secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.

  • 19

    7. Perkembangan Endometriosis dan Adenomiosis

    Hiperperistaltik uterus mempunyai peranan penting dalam

    perkembangan endometriosis dan adenomiosis. Hiperperistaltik dapat dipicu

    oleh peningkatan kadar estradiol perifer di dalam darah. Namun, estradiol

    yang memicu hiperperistaltik ini dapat juga berasal dari endometrium itu

    sendiri. Adanya ekspresi P450 aromatase selama fase luteal, dimana lapisan

    basalis endometrium merupakan kelenjar endokrin yang memproduksi

    estrogen dari precursor androgen. Pada wanita dengan adenomiosis dan

    endometriosis konsentrasi estrogen dalam darah saat haid lebih tinggi

    dibandingkan wanita normal.

    Konsep tentang hiperestrogenisme archimetrium non-ovarium

    merupakan salah satu kejadian awal dalam tahap perkembangan endometriosis

    yang dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lingkungan seperti perusak endokrin

    dan konsumsi makanan, tetapi hal ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut.

    Pada penelitian hewan coba, dioxin meningkatkan aktivitas peristaltic tuba

    dan diaktifkan melalui reseptor estrogen. Factor keturunan juga diteliti pada

    koloni monyet Rhesus yang menunjukkan ada kaitannya dengan

    endometriosis

    Pada gambar berikut menerangkan konsep perkembangan

    endometriosis dan adenomiosis. Archimiometrium distimulasi oleh

    peningkatan lokal dari estradiol dan okd=sitosis endometrium beserta

    reseptornya. Kejadian yang menyebabkan hiperestrogenisme archimetrium

    sampai saat ini belum diketahui. Diduga karena peranan P450 aromatase yang

    karena aktivasi P450 aromatase menyebabkan peningkatan produksi lokal dari

    estrogen. Hperestrogenisme archimetrium menghasilkan hiperperistaltik

    uterus dan peningkatan tekanan uterus.

  • 20

    Gambar 2.11 skema patofisiologi endometriosis dan adenomiosis

    Hiperperistaltik menyebabkan trauma mekanik sehingga terjadi

    peningkatan kapasitas transport uterus retrograde sehingga terjadi diseminasi

    fragmen-fragmen tersebut melalui tuba. Fragmen-fragmen dapat berimplantasi

    dimanapun didalam cavum peritoneum. Setelah proses implantasi, terjadi

    proliferasi dan pertumbuhan infiltratif yang tergantung dari potensial

    proliferatif daro fragmen basalis masing-masing. Gambaran endometriosis

    pelvis yang pleimorfik merupakan rantai yang panjang sejak gangguan awal

    pada tingkat archimetrium sampai berkembangnya lesi endometriosis.

    Dalam perkembangan adenomiosis, rantai kejadian ini lebih pendek.

    Adanya hiperperistaltik dan peningkatan tekanan uterus menyebabkan

    dehisensi miometrium yang dapat terinfiltrasi oleh endometrium basalis.

    Terbentuklah adenomiosis fokal atau difus. Adenomiosis fokal biasanya

    berada di dinding anterior atau posterior, namun terutama di dinding posterior

    dan tidak pernah berada di dinding lateral atau corpus uteri.

  • 21

    8. Faktor Resiko

    Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara

    lain usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia endometrium,

    riwayat abortus spontan, dan polimenore. Sedangkan usia menarke, usia saat

    partus pertama kali, riwayat abortus provokatus, riwayat seksio sesarea,

    endometriosis, obesitas, menopause, panjang siklus dan lama haid,

    penggunaan kontrasepsi oral dan IUD dilaporkan tidak berkaitan dengan

    adenomiosis.

    9. Gambaran Klinis

    Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga

    menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam sebuah

    studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang dibuat

    dari specimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang

    khas. Gejala adenomiosis yang umum yaitu menorragia, dismenorea dan

    pembesaran uterus. Gejala seperti ini juga umum terjadi pada kelainan

    ginekologis yang lain. Gejala lain yang jarang terjadi yaitu dispareunia &

    nyeri pelvis yang kronis atau terus-menerus.

    Presentasi klinis Adenomiosis

    a. Asimtomatis

    Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG

    transvaginal atau MRI; bersama dengan patologi yg lain)

    b. Perdarahan uterus abnormal

    Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan beratnya

    proses adenomiosis (pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan berat).

    Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita dengan

    adenomiosis.

    c. Dismenorea pada > 50% wanita dengan adenomiosis

    d. Gejala penekanan pada vesical urinaria dan usus dari uterus bulky (jarang).

    e. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)

  • 22

    Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari

    kelenjar adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran

    histologis dari kelenjar adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman

    adenomiosis dan hubungannya dengan perdarahan banyak menentukan pilihan

    strategi penatalaksanaannya. Mc Causland menunjukkan bahwa dari biopsi

    reseksi endometrium, kedalaman penetrasi adenomiosis ke dalam miometrium

    berhubungan dengan jumlah perdarahan banyak yang dilaporkan. Sehingga

    pada adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau ablasi endometrium.

    Sedangkan pada kasus adenomiosis yang lebih dalam atau dengan perdarahan

    banyak yang berlanjut, perlu dilakukan penatalaksanaan bedah konvensional

    yaitu histerektomi.

    10. Diagnosis

    Adanya riwayat menorrhagia dan dismenora pada wanita multipara

    dengan pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan 12

    minggu dapat dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya, diagnosis

    klinis adenomiosis seringkali tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis

    (25%). Sehingga kecurigaan klinis adenomiosis dapat dilanjutkan dengan

    pemeriksaan pencitraan berupa USG transvaginal dan MRI

    Prosedur yang paling akurat untuk diagnosis adenomiosis adalah

    laparoskopi, metode bedah invasif. Diagnosis definitif didasarkan pada

    visualisasi dari lesi karakteristik dan pada konfirmasi histologis. Beberapa

    penelitian telah melaporkan bahwa CA-125, glikoprotein asal epitel

    ditemukan pada sel normal, memiliki konsentrasi serum tinggi pada pasien

    dengan adenomiosis, terutama ketika dievaluasi selama menstruasi flow1- 3.

    Biomarker lain yang menarik untuk penelitian ini adalah larut CD-23, sebuah

    protein yang diekspresikan pada permukaan membran sel, biasanya

    diidentifikasi sebagai reseptor IgE afinitas rendah pada sel B, eosinofil,

    monosit, sel dendritik, epitel sel Langerhans dan trombosit. Beberapa langkah

    dalam menegakkan diagnosis adenomiosis antara lain :

  • 23

    a. Anamnesis

    Keluhan utama pada adenomiosis adalah nyeri. Nyeri pelvis kronis

    yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada

    adenomiosis. Endometrium pada organ tertentu akan menimbulkan efek

    yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit dapat

    diduga. Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena

    penyakit ini bersifat diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh

    kali lebih besar untuk mengalami hal serupa. Adenomiosis juga lebih

    mungkin berkembang pada saudara perempuan monozigot daripada

    dizigot.

    b. Pemeriksaan Fisik Umum

    Pemeriksaan fisik umum jarang dilakukan kecuali penderita

    menunjukkan adanya gejala fokal siklik pada daerah organ non

    ginekologi. Pemeriksaan dilakukan untuk mencari penyebab nyeri yang

    letaknya kurang tegas dan dalam. Endometrioma pada parut pembedahan

    dapat berupa pembengkakan yang nyeri dan lunak fokal dapat menyerupai

    lesi lain seperti granuloma, abses dan hematom.

    c. Pemeriksaan fisik ginekologi

    Pada genitalia eksterna dan permukaan vagina biasanya tidak ada

    kelainan. Lesi adenomiosis terlihat hanya 14,4% pada pemeriksaan

    inspekulo, sedangkan pada pemeriksaan manual lesi ini teraba pada 43,1%

    penderita. Ada keterkaitan antara stenosis pelvik dan adenomiosis pada

    penderita nyeri pelvik.

    d. Pemeriksaan Penunjang

    Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG

    transvaginal yang menghasiljan kemampuan diagnostic yang lebih baik.

    Kriteria diagnostic dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu

    tekstur miometrium yang heterogen/distorsi, echotekstur miometrium

  • 24

    yang abnormal dengan batas yang tidak tegas, stria linier miometrium

    dengan kista miometrium.

    Gambar 2.11 USG transvaginal dari uterus yang membesar dengan miometrium posterior menebal (panah).

    Gambar 2.12 USG transabdominal sagital dari uterus yang membesar dengan miometrium posterior

    menebal (panah).

    e. Diagnosis Laparoskopi

    Pemeriksaan ini merupakan baku emas yag harus dilakukan untuk

    menegakkan diagnosis adenomiosis, dengan pemeriksaan visualisasi

    langsung ke rongga abdomen, yang mana pada banyak kasus sering

  • 25

    dijumpai jaringan adenomiosis tanpa adanya gejala klinis. Invasi jaringan

    endometrium paling sering dijumpai pada ligamentum sakrouterina,

    kavum douglas, kavum retzi, fossa ovarika, dan dinding samping pelvis

    yang berdekatan. Selain itu juga dapat ditemukan di daerah abdomen atas,

    permukaan kandung kemih dan usus. Penampakan klasik dapat berupa

    jelaga biru-hitam dengan keragaman derajat pigmentasi dan fibrosis di

    sekelilingnya. Warna hitam disebabkan timbunan hemosiderin dari serpih

    haid yang terperangkap, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa lesi-lesi

    atipikal tak berpigmen berwarna merah atau putih.

    Diagnosis adenomiosis secara visual pada laparoskopi tidak selalu

    sesuai dengan pemastian histopatologi meski penderitanya mengalami

    nyeri pelvis kronik. Adenomiosis yang didapat dari laparoskopi sebesar

    36%, ternyata secara histopatologi hanya terbukti 18% dari pemeriksaan

    histopatologi.

    Gambar 2.13 Adenomiosis pada pemeriksaan laparoskopi

    11. Penatalaksanaan

    Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi

    reproduksi selanjutnya. Dismenorea sekunder yang diakibatkan oleh

    adenomiosis dapat diatasi dengan tindakan histerektomi, akan tetapi perlu

    dilakukan intervensi noninvasif terlebih dahulu. Obat-obat antiinflamasi

    nonsteroid (NSAID), obat kontrasepsi oral dan progestin telah menunjukkan

    manfaat yang signifikan. Penanganan adenomiosis pada prinsipnya sesuai

    dengan protokol penanganan endometriosis.

  • 26

    a. Terapi Hormonal

    Pemberian terapi hormonal pada adeomiosis tidak memberikan

    hasil yang memuaskan. Tidak ada bukti klinis yang menunjukkan adanya

    manfaat terapi hormonal dapat mengatasi infertilitas akibat adenomiosis.

    Pemberian obat hormonal hanya mengurangi gejala dan efeknya akan

    hilang setelah pemberian obat dihentikan. Obat hormonal yang paling

    klasik adalah gonadotrophin releasing hormone agonist (GnRHa), yang

    dapat dikombinasikan dengan terapi operatif. Mekanisme kerja GnRHa

    adalah dengan menekan ekspresi sitokrom P450, suatu enzim yang

    mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen. Pada pasien dengan

    adenomiosis dan endometriosis enzim ini diekpresikan secara belebihan.

    b. Terapi Operatif

    Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk

    adenomiosis. Indikasi operasi antara lain ukuran adenomioma lebih dari 8

    cm, gejala yang progresif seperti perdarahan yang semakin banyak dan

    infertilitas lebih dari 1 tahun walaupun telah mendapat terapi hormonal

    konvensional. Suatu teknik operasi baru telah dipublikasikan oleh Osada

    pada tahun 2011. Dengan teknik adenomiomektomi yang baru ini,

    jaringan adenomiotik dieksisi secara radikal dan dinding uterus

    direkonstruksi dengan teknik triple flap. Teknik ini diklaim dapat

    mencegah rupture uterus apabila pasien hamil. Dalam penelitian tersebut,

    dari 26 pasien yang mengharapkan kehamilan, 16 di antaranya berhasil

    dan 14 dapat mempertahankan kehamilannya hingga aterm dengan bayi

    sehat tanpa penyulit selama kehamilan. Akan tetapi teknik ini belum

    diterima secara luas karena masih membutuhkan penelitian lebih lanjut

    12. Komplikasi

    Komplikasi dari adenomiosis sering berhubungan dengan adanya

    fibrosis dan jaringan parut yang tidak hanya berefek pada organ yang terkena,

    namun juga dapat menyebabkan obstruksi kolon dan ureter. Ruptur dari

  • 27

    endemetrioma dan juga dihasilkannya zat berwarna coklat yang sangat iritan

    juga dapat menyebabkan peritonitis. Meskipun jarang, lesi endometrium dapat

    berubah menjadi malignan dan paling sering terjadi pada kasus adenomiosis

    yang berlokasi di ovarium.

    13. Prognosis

    Pada kasus adenomiosis, salah satu yang terpenting adalah penderita

    harus diberikan konseling dan pengertian tentang penyakit yang dideritanya

    secara tepat. Pasien harus diberi pengertian bahwa pengobatan yang diberikan

    belum tentu dapat menyembuhkan. Operasi definitif tidak dapat memberikan

    kesembuhan total, sekalipun resiko kambuh sangat rendah resikonya ( 3 %).

    Resiko kekambuhan lebih rendah dengan diberikannya terapi sulih hormone

    estrogen. Setelah dilakukan operasi konservatif, tingkat kekambuhan yang

    dilaporkan sangat bervariasi. Jumlah kasus yang terjadi.

  • 28

    BAB III

    KESIMPULAN

    Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna. Bird et al.

    mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak jaringan endometrium ke dalam

    lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus difus dengan gambaran

    mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh

    jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik. Sathyanarayana membagi adenomiosis

    kedalam 3 kategori berdasarkan kedalaman lokasi lesi. Gordts et al. mengusulkan sistem

    klasifikasi adenomiosis sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus

    Pertama, hiperplasia JZ sederhana, ketebalan JZ 8 mm tetapi 12 mm pada wanita

    berusia 35 tahun.

    Kedua, adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ 12 mm, focus miometrial

    berintensitas sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar miometrium < , < atau >

    Ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas sinyal

    rendah pada semua sekuens MRI.

    Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain

    dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria diagnostic yang

    dipakai . Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10% . Berbagai keadaan telah

    diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain :

    Usia antara 40-50 tahun, bukan perokok, multipara, tingkat pendidikan rendah (

  • 29

    ada ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain

    menunjukkan ekspresi reseptor progesteron yang lebih tinggi dibandingkan estrogen.

    Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang

    tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun

    adenomiosis.

    Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini

    disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan

    pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis. Tidak

    ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga menyebabkan rendahnya

    tingkat akurasi diagnosisi preoperatif.

    Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi

    selanjutnya.

    a. Terapi Hormonal

    b. Terapi Operatif

    Dengan MRI dan USG Transvaginal, Adenomiosis dapat dideteksi lebih dari 90%

    kasus. Prognosis Adenomiosis tidak ada resiko yang mengarah ke keganasan. Dan karena

    kondisinya berkaitan dengan kadar esterogen, maka keadaan menopause dapat

    menyebabkan kesembuhan alami, dimana tindakan histerektomi dapat dilakukan apabila

    keluhan sangat mengganggu dan mengancam.

  • 30

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Pernol ML. Benson and Pernols Handbook of Obstetrics and Gynecology 10 th Ed.

    2001. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

    2. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomiosis. Human Reproduction Update 1998; 4:

    312-322.

    3. Benagiano G and Brosens I. History of adenomiosis (Abstract). Best Pract Res Clin

    Obstet Gynaecol. 2006 Aug;20(4):449-63. Epub 2006 Mar 2.

    4. Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomiosis and Infertility.

    Obstetrics and Gynecology International Volume 2012, Article ID 786132.

    5. Shrestha A,Shrestha R,Sedhai LB,Pandit U. Adenomiosis at Hysterectomy:

    Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical

    Findings.Kathmandu Univ Med J 2012;37(1):53-6.

    6. DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis &

    Treatment 9 th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

    7. Reuter, K. Adenomiosis Imaging, Online (cited on Agustus 18, 2015).

    www.medscape.com.

    8. Edmonds DK. Dewhursts Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7th Ed. 2007.

    London : Blackwell Science, Ltd.

    9. Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomiosis: Common and Uncommon

    Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance Imaging, J Ultrasound Med

    2006; 25:617627.

    10. Parazzini F et al. Risk factors for adenomiosis. Human Reproduction vol.12 no.6

    pp.12751279, 1997.

    11. Berek, JS. Berek & Novak's Gynecology 14th Ed. 2007. Pennsylvania : Lippincott

    Williams & Wilkins.

    12. Roservear SK. Handbook of Gynecology Management. 2002. London : Blackwell

    Science, Ltd