25
Sinusitis Maksilaris Odontogen ik Angeline Barbara ( 406091060 ) Bab I Pendahuluan Seperti yang kita ketahui bahwa infeksi kronis di daerah gigi yang tidak mendapat perawatan adekuat, dapat kita curigai sebagai fokus infeksi yang dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain dan menyebabkan infeksi di daerah tersebut. Penyebaran infeksi kronis gigi, khususnya penyebaran infeksi ke tempat yang jauh, masih belum dapat dijelaskan dengan jelas dan masih merupakan hipotesa 1,2) . Sejak jaman dahulu infeksi odontogenik termasuk salah satu penyakit yang paling sering menyerang umat manusia. Hingga saat ini terutama di negara berkembang, infeksi odontogenik masih tetap merupakan penyakit yang banyak dijumpai pada praktek dokter gigi 3) . Berdasarkan pengamatan-pengamatan klinik, penderita dengan bermacam-macam penyakit mengalami kesembuhan atau perbaikan keadaan umum setelah dilakukan ekstraksi pada gigi-gigi yang rusak. Kenyataan yang ada tersebut memang belum memiliki bukti-bukti ilmiah dengan data-data yang bernilai statistik. Tetapi meskipun demikian dirasa perlu untuk menghilangkan atau menyembuhkan fokus infeksi pada gigi, baik dengan ekstraksi gigi maupun tidak dengan ekstraksi gigi 4) . Salah satu penyebaran radang odontogenik adalah sinus maksilaris, dimana terjadi radang apical pada molar dan premolar rahang atas, karena relasi topografisnya Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Gigi & Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang Periode 13 Oktober – 18 Oktober 2014 1

Referat Gigi Bnr

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat gigi sinusitis periodontal

Citation preview

BAB I

Sinusitis Maksilaris Odontogenik Angeline Barbara ( 406091060 )

Bab I

Pendahuluan

Seperti yang kita ketahui bahwa infeksi kronis di daerah gigi yang tidak mendapat perawatan adekuat, dapat kita curigai sebagai fokus infeksi yang dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain dan menyebabkan infeksi di daerah tersebut. Penyebaran infeksi kronis gigi, khususnya penyebaran infeksi ke tempat yang jauh, masih belum dapat dijelaskan dengan jelas dan masih merupakan hipotesa 1,2) .

Sejak jaman dahulu infeksi odontogenik termasuk salah satu penyakit yang paling sering menyerang umat manusia. Hingga saat ini terutama di negara berkembang, infeksi odontogenik masih tetap merupakan penyakit yang banyak dijumpai pada praktek dokter gigi 3).

Berdasarkan pengamatan-pengamatan klinik, penderita dengan bermacam-macam penyakit mengalami kesembuhan atau perbaikan keadaan umum setelah dilakukan ekstraksi pada gigi-gigi yang rusak. Kenyataan yang ada tersebut memang belum memiliki bukti-bukti ilmiah dengan data-data yang bernilai statistik. Tetapi meskipun demikian dirasa perlu untuk menghilangkan atau menyembuhkan fokus infeksi pada gigi, baik dengan ekstraksi gigi maupun tidak dengan ekstraksi gigi 4).Salah satu penyebaran radang odontogenik adalah sinus maksilaris, dimana terjadi radang apical pada molar dan premolar rahang atas, karena relasi topografisnya yang erat diantara akar gigi dan sinus maksilaris. Kebanyakan dinding pemisahnya hanya terdiri dari sebuah lamel tulang yang sangat tipis, atau hanya dari periost dan sinus mukosa 3). Nathaniel Highmore mengemukakan tentang membran tulang tipis yang memisahkan gigi dari sinus. Ia menyatakan Tulang yang membungkus antrum maxilaris dan memisahkannya dari soket geligi tebalnya tidak melebihi kertas pembungkus. Bahkan terkadang dasar sinus maxilaris hanya berupa mukosa sinus 5).Saluran-saluran limfe dari akar gigi, membran periodontal dan tulang rahang juga saling beranastomosa. Dilihat dari segi anatomis seperti yang telah diterangkan tersebut hingga menyebabkan peradangan berupa sinusitis maksilaris sangat mungkin terjadi. Meskipun demikian penyebab terbanyak dari sinusitis tetap berasal dari infeksi hidung 2).

Kriteria yang harus dipenuhi untuk mendiagnosa sinusitis dari asal ondotogenik tidak didefinisikan dengan jelas. Sering kali terjadi sinusitis pada satu sisi, pengaliran pus yang berbau busuk, dan suatu kelainan apical atau periodontal, yang jelas dapat ditunjukkan, dipakai sebagai sebagai kriteria diagnostik diferensial terhadap sinusitis rinorgenik. Pengetahuan mengenai penyebaran dan penjalaran infeksi ini tidak hanya penting bagi diagnosis tapi juga bagi penanggulangan yang jitu terhadap infeksi odontogenik 3) .Bab II

SinusitisII.1 DefinisiSinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus. Sinus atau sering pula disebut dengan sinus paranasalis adalah rongga udara yang terdapat pada bagian padat dari tulang tengkorak di sekitar wajah, yang berfungsi untuk memperingan tulang tengkorak 6). Rongga ini berjumlah empat pasang kiri dan kanan. Sinus frontalis terletak di bagian dahi, sedangkan sinus maksilaris terletak di belakang pipi. Sementara itu, sinus sphenoid dan sinus ethmoid terletak agak lebih dalam di belakang rongga mata dan di belakang sinus maksilaris 6).

Gambar 2. Rongga sinus

II.2 Etiologi Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 2 minggu atau kurang) maupun sub akut ( berlangsung 2 minggu sampai 2 bulan ) dan kronis (berlangsung selama 8 minggu lebih tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).

Penyebab sinusitis akut:

Infeksi virus.

Bakteri.

Infeksi jamur.

Peradangan menahun pada saluran hidung.

Penyebab sinusitis kronis:

Asma

Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)

Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir 7).II.3 Gejala klinik

Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan ketika penderita bangun pada pagi hari.

Sinusitis akut dan kronis memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri tekan dan pembengkakan pada sinus yang terkena, tetapi ada gejala tertentu yang timbul berdasarkan sinus yang terkena:

Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata, sakit gigi dan sakit kepala.

Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi.

Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung di tekan, berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.

- Sinusitis sphenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat dipastikan dan bisa dirasakan di puncak kepala bagian depan ataupun belakang, atau kadang menyebabkan sakit telinga dan sakit leher.Gejala lainnya adalah:

- tidak enak badan

- demam (demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar sinus) - letih, lesu

- batuk, yang mungkin semakin memburuk pada malam hari

hidung meler atau hidung tersumbat (Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak, dari hidung mungkin keluar nanah berwarna kuning atau hijau) 7).II.4 DiagnosaDiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk menentukan luas dan beratnya sinusitis, bisa dilakukan pemeriksaan CT scan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya abses gigi 6).Tanda khas yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik yaitu adanya pus di meatus medius. Pada rhinosinusitis akut, mukosa edem dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius 6)II.5 Pengobatan

Tujuan terapi sinusitis ialah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM ( Kompleks Osteo Meatal ) sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami 8).Bab IIISinusitis Maksilaris OdontogenikSinusitis maksilaris adalah suatu radang pada salah satu rongga udara sekitar hidung, yaitu pada sinus maksilaris. Sedangkan sinusitis maksilaris odontogenik adalah sinusitis maksilaris yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari gigi ke arah sinus maksilaris.

III.1. ANATOMIIII.1.1 Anatomi sinus maksilaris dan hubungannya dengan rongga mulutDiantara 4 sinus paranasal yaitu sinus etmoidalis, sinus frontalis, sinus sphenoid, dan sinus maksilaris. Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus ini mempunyai beberapa buah dinding. Dinding anterior adalah permukaan fasial os maksila, yang disebut fosa kanina, dinding posterior adalah permukaan infra temporal maksila, dinding medial adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superior adalah dasar orbita dan dinding inferior adalah prosesus alveolaris dan palatum. Volume sinus maksilaris pada orang dewasa kurang lebih 15 ml 3).

Dari segi klinis yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

A. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi pada rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2) dan molar (M1 dan M2) dan kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3. bahkan akar-akar gigi tersebut kadang-kadang menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi dari gigi mudah naik ke atas dan menyebabkan sinusitis. B. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi ke orbita.C. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis 3).

Gambar 1. Anatomi sinus

(dari : iqbalsandira.blogspot.com/ 2009)

III.1.2 Hubungan sinus maksilaris dengan gigi rahang atasPada waktu lahir, sinus maksilaris hanya merupakan ruang yang kecil di sebelah lateral hidung, lebih tinggi dari dasar hidung. Selama proses pertumbuhan rongga tersebut semakin melebar. Dengan dimulainya erupsi gigi geligi, dasar sinus akan mengalami penurunan.

Kurang lebih pada usia 9 tahun dasar sinus menjadi setinggi dasar hidung. Penurunan tersebut akan terus berlangsung sampai pertumbuhan gigi permanen yang lengkap pada usia 18-45 tahun. Jadi tinggi dasar sinus maksilaris terhadap dasar hidung akan bervariasi sesuai usia. Sesuai dengan proses turunnya dasar sinus maksila, akar gigi dan dan dasar sinus akan saling mendekati, kadang-kadang diantara keduanya hanya dipisahkan oleh tulang yang tipis bahkan hanya mukosa sinus saja. Pada beberapa kasus, jarak antara apek akar gigi dan dasar sinus maksila hanya beberapa milimeter saja dan bahkan akar gigi yang lain menonjol ke dalam mukosa sinus. Nathaniel Highmore menyatakan bahwa tulang yang membungkus antrum maksilaris dan memisahkannya dari gigi geligi tebalnya tidak melebihi kertas pembungkus.Penyelidikan Patero terhadap 22 tengkorak manusia menunjukkan angka sebagai berikut :

M2 ( 1,8 mmM3 ( 2,0 mm

M1 ( 2,5 mm

P2 ( 3,6 mm

P1 ( 5,2 mm

C ( 6,4 mm

Angka-angka tersebut menguatkan penyelidikan Von Bonsdorf dan Zuckeerkand yang menemukan urutan jarak apek akar gigi dengan dasar sinus M2, M1, M3, P2, P1 dan C.Hubungan rongga mulut dengan sinusitis maksilaris semakin erat dengan adanya anastomose saluran limfe dari akar gigi, membran periodontal dan tulang rahang. Karena hubungan yang erat antara sinus dengan gigi rahang atas tersebut, adanya infeksi pada gigi atas memungkinkan untuk terjadinya sinusitis maksilaris 10).III.2 GIGI SEBAGAI FOKUS INFEKSIIII.2.1 Definisi

Pengertian fokus infeksi perlu dibedakan dengan fokal infeksi. Fokus infeksi adalah daerah lokal jaringan yang terinfeksi oleh mikroorganisme patogen, biasanya terletak dekat permukaan mukosa atau kulit. Sedangkan fokal infeksi adalah penyebaran mikroorganisme ataupun toksinnya yang berasal dari suatu fokus infeksi 1,2) .III.2.2 Mekanisme Penyebaran Infeksi`Penyebaran kuman atau toksinnya dapat menempuh berbagai cara. Pertama, mikroorganisme dari suatu fokus infeksi menyebar melalui darah atau aliran limfe. Kedua, toksin yang diproduksi oleh mikroorganisme melalui aliran darah atau limfe menuju ke tempat-tempat yang jauh dan mendorong terjadinya reaksi hipersensitifitas pada suatu jaringan 1,2).Terjadinya fokal infeksi ke tempat yang jauh sebenarnya masih merupakan hipotesa dan mekanismenya masih menjadi perdebatan para ahli. Banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan terjadinya fokal infeksi, seperti fokus infeksi, daya tahan tubuh penderita, berat ringannya infeksi, jumlah dan virulensi kuman, sistem sirkulasi darah dan limfe, faktor pencetus maupun faktor penghambat lain yang belum dapat diterangkan 1).Rongga mulut merupakan tempat yang potensial sebagai sumber terjadinya fokal infeksi. Infeksi daerah mulut, khususnya infeksi gigi, dapat berasal dari rongga pulpa yang meluas melalui saluran akar menuju jaringan periapikal, atau dapat berasal dari jaringan periodontal dan menyebar melalui tulang spongiosa. Penyebaran ke tempat-tempat lain dari suatu fokus infeksi gigi dapat menempuh banyak cara, antara lain : 1,2) Secara hematogen dan limfogen

Tertelan ke dalam saluran pencernaan

Terhirup ke dalam saluran pernafasan

Perluasan secara langsung

Infeksi odontogenik umumnya bermula dari infeksi periapikal gigi non vital, hanya sebagian kecil saja yang berasal dari infeksi jaringan periodontal, atau akibat infeksi sekunder pada tulang. Infeksi odontogenik dapat berlokasi hanya sekitar apeks gigi, atau menyebar ke tulang sekitarnya, atau bahkan menembus korteks dan selanjutnya menyebar ke jaringan lunak sekitarnya, atau pada kasus yang gawat, proses infeksi dapat sampai ke daerah yang jauh letaknya dari infeksi primer 3).

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemampuan penyebaran infeksi odontogenik :

Jenis dan virulensi kuman penyebab. Beberapa jenis kuman cenderung menetap pada fokus infeksi primer, sedangkan jenis lainnya cenderung menyebar secara cepat ke jaringan sekitarnya. Daya tahan penderita. Penderita dengan diabetes mellitus yang tidak terkontrol, dan penderita dengan efek sistem imunitas rendah, maka penyebaran infeksi terjadi lebih cepat dan ekstensif. Faktor anatomi juga sangat mempengaruhi penyebaran dan perluasan infeksi 3). III.2.3 Macam Fokus Infeksi GigiInfeksi gigi yang memegang peranan penting sebagai fokus infeksi adalah infeksi-infeksi yang kronis yang biasanya berupa :

Pulpitis KronisPulpitis Kronis merupakan suatu peradangan pulpa yang bersifat kronis akibat invasi kuman atau toksinnya melalui karies gigi atau kerusakan gigi lainnya.

Penyakit Periapikal kronik

Periapikal adalah daerah lokal di sekitar apek akar gigi. Penyakit periapikal ini dapat merupakan lanjutan dari pulpitis maupun periodontitis. Penyakit periapikal antara lain meliputi granuloma periapikal, kista periapikal dan abses periapikal. Penyakit periodontal kronik

Periodontitis kronik dapat dimulai dengan suatu gingivitis marginalis. Infeksi secara kronik berjalan ke arah apikal disertai kerusakan membran periodontal dan resorbsi procesus alveolaris yang menyebabkan terbentuknya saku periodontal, dimana eksudat dan pus terkumpul dalam saku tersebut 11).III.3 GAMBARAN KLINIS

A. Sinusitis odontogenik akut

Gejala klinis sinusitis odontogenik akut terjadi dalam beberapa hari dan menunjukkan gejala umum suatu radang akut. Gejala klasik lokal adalah rasa penuh dibawah mata pada sisi yang terlibat pada gerakan kepala, ingus yang keluar baunya mirip pus, rasa tidak enak di mulut dan penyumbatan sisi dari lubang hidung.

Disamping itu sinusitis didahului oleh sakit gigi yang singkat dan jelas, dan dapat dirasakan sakit tumpul dan menjalar ke rahang atas dan keluhan sakit saraf dari seluruh bagian wajah. Jarang sekali bengkak pipi dan pelupuk mata bawah, kedua-duanya termasuk gejala periotitis yang berasal dari gigi penyebab 3).B. Sinusitis odontogenik subakut dan kronis

Pada sinusitis subakut dan kronis sering tidak terdapat gejala radang yang jelas. Dalam menentukan diagnosa harus dipertimbangkan dulu apakah benar-benar terdapat sinusitis dan selanjutnya apakah berasal dari odontogenik. Kebanyakan penderita ini menunjukkan sedikit banyak keluhan jelas, yang khas bagi sinusitis. Dilihat dalam waktu yang lama, saat-saat gejala klinisnya meningkat dapat menunjukkan adanya eksasebarsi periodik suatu kronis. Hampir semua penderita sedikit banyaknya ada gangguan, ada perasaan sakit yang sedang sampai berat pada separuh bagian wajah, dan perasaan penuh dibawah mata pada saat membungkuk atau telah lama mempunyai keluhan sakit kepala, Kadang-kadang terdapat obstruksi nasal, yang memberikan perasaan pilek yang membandel terhadap pengobatan. Pada kebanyakan penderita terdapat aliran pus yang berbau busuk dan juga merasakan perasaan tidak enak pada mulut, yang disebabkan pus dari nasofarings. Dimasa lalu hampir semua penderita mengaku pernah menderita sakit gigi pada gigi penyebabnya, kadang-kadang diiringi dengan bengkak pada wajah. Pada pemeriksaan intra oral giginya dapat terasa sakit ringan pada perkusi 3).III.4 INSIDENBeberapa kepustakaan sebagian besar menyebutkan bahwa penyebab sinusitis maksilaris terutama adalah faktor rinogen. Sedangkan infeksi gigi bertanggung jawab pada sekitar 8%-20% sinusitis maksilaris. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh ahli bedah mulut dan THT menghasilkan presentase yang sangat jauh berbeda. Perbedaan hasil penelitian dari para ahli dapat dilihat dibawah ini : 10,11)a. Ellis Douek (THT)

10%

b. Hayek (THT)

8%

c. Para ahli THT jerman

6%

d. Mead (bedah mulut)

75%

Pada penelitian yang dilakukan di poliklinik THT RSUP dr Kariadi pada tahun 1974-1978 oleh Aswin Rahardja, kasus sinusitis maksilaris karena ondotogen sebanyak 21,7%. Gigi yang paling banyak menyebabkan infeksi sinus adalah M2 sebanyak 42,5%, M1 30%, M3 17,5%, P2 7,5%, dan P1 2,5% 10).

Gambar 2. Anatomi Gigi (dari : www. paruliansinaga.files.wordpress.com)

III.5 TERAPI SINUSITIS MAKSILARISTujuan terapi sinusitis ialah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.

Bila sudah kronis, cara terbaik untuk menangani sinusitis maksila adalah dengan melakukan operasi. Pengobatan medikamentosa (terapi konservatif) ditujukan untuk menurunkan faktor predisposisi, mengobati serangan infeksi berulang, mengurangi edem jaringan sinus, serta memfasilitasi drainase sekresi sinus.

Terapi sinusitis maksila kronis secara umum dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

1. Terapi konservatif2. Terapi radikal dan Non radikal

3. Terapi obliteratifDikaitkan dengan perubahan mukosa yang dapat timbul, terapi konservatif diindikasikan pada sinusitis maksila kronis dengan perubahan mukosa yang reversible sedangkan terapi radikal dan obliteratif diindikasikan pada sinusitis maksila kronis dengan perubahan mukosa ireversible 12)III.5.1 Terapi Konservatif

Terapi ini diberikan pada sinusitis maksila kronis dengan perubahan mukosa yang reversible. Prinsip dari pengobatan ini adalah upaya untuk memberantas infeksi, menyelenggarakan drainase dan memperbaiki fungsi silia.Harapan dari terapi konservatif ini adalah terjadinya regenerasi dari mukosa sehingga fungsi silia menjadi baik dan drainase serta aerasi menjadi normal 13). Secara praktis terapi konservatif sinusitis maksila kronis meliputi :12) Pemakaian Antibiotika

Pemakaian antibiotika sebaiknya didahului dengan pemeriksaan bakteri, kultur dan tes sensitivitas. Antibiotika diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pemberian nasal dekongestan

Nasal dekongestan digunakan untuk mencegah/ mengatasi edem mukosa sehingga ostium akan terbuka dan drainase sinus menjadi lancar. Cara pemberian obat dapat diminum atau semprotan. Pemberian AntihistaminAntihistamin pada penderita sinusitis maksila kronik karena alergi diberikan dalam jumlah besar untuk menghilangkan gejala-gejala alergi, kecuali bila terjadi efek samping dosisnya dikurangi Pemberian steroidPemberian steroid dimaksudkan sebagai anti udem mukosa, sehingga ostium terbuka dan selanjutnya memperbaiki drainase. Steroid hendaknya diberikan bersama antibiotika dan jangan pada penderita anak-anak untuk jangka waktu lama.

Pemberian analgesik

Analgesik bersifat simptomatis, mengurangi rasa nyeri Irigasi Antrum

Irigasi antrum merupakan prosedur bedah paling sederhana yang dianjurkan bagi kasus sinusitis maksila kronis yang telah mendapat terapi medikasi tetapi tidak sembuh/ mengalami kegagalan. III.5.2 Terapi Radikal dan Non RadikalYang dimaksud terapi radikal di sini adalah operasi Caldwell-Luc. Indikasi terapi radikal pada sinusitis maksila kronis adalah :

1. Jelas terlihat perubahan mukosa yang ireversibel

2. Perubahan mukosa menunjukkan reversibilitas, tapi dengan terapi konservatif tidak membawa hasil, atau terapi berhasil tetapi kambuh lagi.3. Penyebabnya odontogen

III.5.3 Terapi Obliteratif

Operasi obliterasi, yaitu menghilangkan bangunan sinus sama sekali, merupakan alternatif terakhir bila terapi radikal gagal atau mengalami rekurensi. Di sini setelah mukosa sinus diangkat sempurna, ruang sinus ditimbun dengan lemak yang diambil dari dinding ventral abdomen.III.6 TERAPI ODONTOGENSinusitis maksilaris yang dicurigai disebabkan oleh infeksi gigi, sebaiknya disarankan untuk mengatasi kerusakan gigi terlebih dahulu. Infeksi pada gigi yang tidak segera ditangani bisa menyebabkan abses dengan penimbunan nanah karena infeksi bakteri. Abses pada rahang atas inilah yang bila tidak segera ditangani bisa mengakibatkan sinusitis.

Gigi dengan infeksi saluran akar gigi atau dengan kantong-kantong periodontal harus diekstraksi sebab kerusakan tulang yang terjadi pada sinusitis odontogenik akan menyembuh kembali bila fokus infeksi dihilangkan 4)Bab IVRingkasan

Infeksi gigi terutama yang bersifat kronis, dicurigai sebagai infeksi yang dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain dan menyebabkan infeksi di tempat tersebut.

Salah satu infeksi sekunder yang dapat berasal dari fokus infeksi gigi adalah infeksi sinus maksilaris karena tempatnya sangat dekat dengan rongga mulut. Dipandang dari segi anatomisnya, perluasan infeksi dari gigi ke arah sinus tersebut hingga menyebabkan peradangan berupa sinusitis maksilaris sangat mungkin terjadi hanya sekitar 8%-20% dari seluruh kasus sinusitis maksilaris, sedangkan penyebab terbanyak adalah infeksi hidung.Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Jenis gigi yang berfungsi sebagai fokus infeksi berturut-turut dari yang paling banyak adalah M2, M3, M1, P1 dan P2

2. Diagnosa kelainan gigi yang dapat menyebabkan sinusitis maksilaris antara lain periodontitis kronik oleh sebab gangren radiks, periodontitis kronik oleh sebab gangren pulpa, periodontitis marginalis kronik

3. Ekstraksi gigi bermanfaat bagi kesembuhan penderita sinusitis maksilaris dengan fokus infeksi gigi yang tidak memiliki riwayat penyakit saluran pernafasan4. Riwayat penyakit saluran pernafasan menyebabkan kekambuhan pada penderita sinusitis maksilaris dengan fokus infeksi gigi yang diberikan tindakan berupa ekstraksi gigi.DAFTAR PUSTAKA

1. Adams GL, Lawrence R, Boeis, Hillger PH, Boeis : Buku Ajar THT. Alih Bahasa : Caroline Wijaya. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC 1994. 241 : 4

2. Iskandar HN. Buku Ajar THT Edisi Ketiga Penerbit FK. UI 1998 : 116 : 253. Hadimartana L. Pengaruh Infeksi Odontogen Pada Sinus Maksilaris. 2009. Available at : http://www.geocities.com/rangkinariwebsite/pengaruh_infeksi.html4. Rahardja A. Sinusitis Maksilaris Odontogen dalam Kumpulan Karya Ilmiah. FK UNDIP, Semarang 1997

5. Higer PA. Penyakit Hidung dalam BOIES Buku Ajar Penyakit Tht Edisi 6. EGC 1997. BAB 12 ; 200 : 2396. Sinusitis. Available at : http://thetransferfactorindonesia.com/2009/07/10/sinusitis/7. Kumpulan artikel tentang Sinusitis. Available at : http://puskesmassimpangempat.wordpress.com/2009/07/22/kumpulan-artikel-tentang-sinusitis/8. Munir, D., dkk, Terapi sinusitis Maksila Kronis. Available at : http:// www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk 155 tht.pdf/. 9. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Keenam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2007. Bab V ; 145 : 149

10. Foster TD. Buku Ajar Ortodonsi. Penerbit Buku Kedokteran EGC 1999 : 10 : 2.

11. Daud ME. Infeksi Fokal Gigi dan Kemungkinan Terjadinya Infeksi Sekunder dalam : Simposium Gigi Sebagai Fokus Infeksi. FK UNDIP Semarang. 16 : 83.

12. Mangunkusumo, et al. Sinus Paranasal dalam Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi 5. Balai Penerbit FK UI Jakarta. 2007 : 149 : 52

13. Bellenger JJ. Disease of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th. Philadelphia : Lea and Febiger Co. 1991. 184-614. Damayanti, et al. Kuliah Stomatologi Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta. 1998Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Gigi & MulutFakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang

Periode 13 Oktober 18 Oktober 201414