Referat Gagal Napas Akut

Embed Size (px)

DESCRIPTION

membahas gagal nafad akut

Citation preview

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA GAGAL NAPAS AKUT

Disusun oleh: Edwinaditya Sekar Putri 1110221078 FK UPN Veteran Jakarta Pembimbing: Dr. M. Yanuar Fajar , Sp.P KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO JAKARTA 2013

KATA PENGANTAR

1

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa menganugerahkan kesehatan dan keselamatan. Dengan nikmat itulah pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan referat yang berjudul Diagnosis dan Tatalaksana Gagal Napas Akut dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto DITKESAD. Dalam penyusunan presentasi kasus ini, penulis memperoleh bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :1. Dr. M. Yanuar Fajar, Sp.P sebagai pembimbing dalam penyusunan referat

ini2. Kedua orang tua penulis dan Yang Terkasih Herdy Adriano yang

senantiasa mendoakan dan memberikan semangat setiap saat kepada penulis3. Seluruh Residen Penyakit Dalam, Residen Kardiologi dan Residen Paru

atas bimbingannya kepada penulis4. Seluruh teman-teman Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit

Dalam, semoga kita semua mendapatkan hasil yang maksimal atas usaha kita Penulis berharap agar referat ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh setiap orang yang membaca dan dapat menjadi bekal dalam praktek klinik nanti. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan referat ini, oleh karena itu penyusun mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya dan sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Jakarta, April 2013

Penulis

2

DAFTAR ISI Halaman COVER................................................................................................................. 1 KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2 DAFTAR ISI........................................................................................................ 3 DAFTAR TABEL................................................................................................. 4 DAFTAR GAMBAR............................................................................................ 5 BAB I BAB II PENDAHULUAN............................................................................. 6 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 8 II.1. Definisi Gagal Napas Akut.......................................................... 8 II.2. Fisiologi Pernapasan................................................................... 9 II.3. Klasifikasi Gagal Napas Akut..................................................... 13 II.4. Etiologi Gagal Napas Akut.......................................................... 14 II.5. Patofisiologi dan Mekanisme Gagal Napas Akut....................... 15 II.6. Gambaran Klinis Gagal Napas Akut........................................... 22 II.7. Diagnosis Gagal Napas Akut...................................................... 24 II.8. Penatalaksanaan Gagal Napas Akut............................................ 24 II.9. Komplikasi Gagal Napas Akut.................................................... 32 II.10. Prognosis Gagal Napas Akut.................................................... 32 BAB III KESIMPULAN................................................................................. 34

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 36

3

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas HbO2.................... Cara Pemberian Oksigen........................................................... Macam-macam Pengobatan Spesifik Pada Gagal Napas Akut. 11 26 29

4

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Pertukaran Udara di Alveolus................................................. Kurva Disosiasi Oksihemoglobin........................................... Skema Regulasi Ventilasi....................................................... Klasifikasi Gagal Napas Akut................................................. 10 11 12 13

5

BAB I PENDAHULUAN

Gagal napas adalah masalah yang relatif sering terjadi, yang biasanya, meskipun tidak selalu, merupakan tahap akhir dari penyakit kronik pada sistem pernapasan. Keadaan ini semakin sering ditemukan sebagai komplikasi dari trauma akut, septikemia, atau syok. Gagal napas seperti halnya kegagalan pada sistem organ lain, dapat dikenali berdasarkan dapat gambaran fungsi klinis dan melalui dalam kelainan pertukaran dari hasil pemeriksaan laboratorium. Gagal napas terjadi apabila paru tidak lagi memenuhi primernya gas, yaitu oksigenasi darah arteria dan pembuangan karbon dioksida (CO 2 ). 1 Gagal napas adalah suatu kondisi dimana terjadi kegagalan dalam fungsi pertukaran gas, baik oksigenasi darah maupun eliminasi dari karbon dioksida. Gagal napas bukanlah suatu penyakit melainkan suatu sindrom atau kumpulan gejala yang berasal dari berbagai macam penyakit yang menyebabkan gagal napas. 2, 3, 4 Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Suatu keadaan dimana sistem pulmoner tidak mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eleminasi CO 2 dan oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO 2 ) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida arterial (PaCO 2 ) > 45 mmHg. 5, 6 Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas kronik. 4 Gagal napas akut merupakan penyebab gagal organ yang paling sering dilakukan perawatan di intensive care unit (ICU) dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Beberapa penelitian mengenai gagal napas akut yang mendapatkan perawatan di ICU, di beberapa negara di benua Eropa menunjukan angka kejadian 77,6 per

6

100.000 di Swedia, Denmark dan Islandia serta 88,6 kejadian gagal napas sampai saat ini masih

per 100.000 di diketahui.

Jerman, dimana tingkat mortalitas mencapai 40%. Prevalensi umum belum Bagaimanapun juga, gagal napas akut biasanya sering dihubungkan dengan kejadian infeksi pada parenkim paru terutama pneumonia. Tingkat mortalitas pada pasien dengan gagal napas akut biasanya berhubungan dengan tingkat kesehatan individu tersebut secara umum dan kemungkinan berkembangnya multiple organ dysfunction syndrome (MODS) yang dapat berujung dengan kematian. 7 Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuskular, dinding toraks dan diafragma, paru serta sitem kardiovaskular. Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal napas akut adalah oksigenasi arteri yang adekuat, sehingga menurunkan perfusi jaringan, serta yang menghilangkan bertema kan underlaying diagnosis dan disease , yaitu penyakit nafas yang akut mendasari gagal napas tersebut. 3 Sehingga dengan penulisan referat tatalaksana gagal diharapkan dapat memberikan informasi lebih mengenai gagal nafas sehingga keadaan kegawatdaruratan tersebut dalam praktek klinis nanti dapat ditangani secara tepat dan cepat.

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Gagal Napas Akut Gagal napas merupakan sistem suatu sindrom untuk yang terjadi akibat

ketidakmampuan

pulmoner

mencukupi

kebutuhan

metabolisme (eliminasi CO 2 dan oksigenasi darah). Peristiwa yang terjadi adalah sistem pernapasan gagal untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal.3

Gagal napas akut secara numerik

didefinisikan sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan parsial oksigenasi arteri (PaO 2 ) kurang dari 60 mmHg tanpa atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO 2 ) 50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaan laut saat menghirup udara ruangan. 5 Apabila terdapat tekanan parsial oksigenasi arteri (PaO 2 ) < 60 mmHg, yang berarti terdapat gagal napas hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O 2 inspirasi [F1O 2 ] = 0,21, maupun saat mendapat bantuan oksigen. Sedangkan jika terdapat tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO 2 ) > 50 mmHg berarti terjadi gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan asidosis metabolik. Tubuh pasien yang asidosis metabolik secara fisiologis akan menurunkan PaCO 2 sebagai kompensasi terhadap pH darah yang rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO 2 meningkat secara tidak normal, meskipun masih dibawah 50 mmHg pada keadaan asidosis metabolik, hal ini dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia. 5, 6, 8

8

II.2

Fisiologi Pernapasan

Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk mencapai tujuan ini, pernapasan dapat dibagi menjadi empat peristiwa fungsional pertama, yaitu ventilasi paru (masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru), difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan darah, transport oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel, dan pengaturan ventilasi dan hal-hal lain dari pernapasan. 9 Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari luar tubuh ke alveoli dan pemerataan distribusi udara kedalam alveolialveoli. Proses ini terdiri dari dua tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi. Paru-paru dapat dikembang kempiskan melalui dua cara, yaitu diafragma naik turun untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada, serta depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter anteroposterior rongga dada. Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting oleh karena oksigen pada tingkat alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses difusi. Besarnya ventilasi alveolar berbanding lurus dengan banyaknya udara yang masuk atau keluar paru, laju napas, udara dalam jalan napas serta keadaan metabolik. Setelah alveoli diventilasi dengan udara segar, langkah selanjutnya dalam proses pernapasan adalah difusi Oksigen dari alveoli ke pembuluh darah paru dan difusi karbondioksida dari arah sebaliknya melalui membran tipis antara alveolus dan kapiler. 9

9

Gambar 1. Pertukaran Udara di Alveolus

Dikutip dari (10)

Transport oksigen dan karbondioksida terjadi bila oksigen telah berdifusi dari alveoli kedalam darah paru. Oksigen terutama ditranspor dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan dimana oksigen dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Oksigen diangkut ke jaringan dari paru melalui dua jalan, yaitu secara fisik larut dalam plasma, kira-kira hanya 3% dan secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin (Hb) sebagai oksihemoglobin, kira-kira 97% oksigen ditranspor melalui cara ini. Sedangkan transpor CO 2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara, yaitu sekitar 10% CO 2 secara fisik larut dalam plasma, 20% berikatan dengan gugus amino pada Hb (Karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan 70 % dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO 3 - ). CO 2 berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini 1 : CO 2 + H 2 O H 2 CO 3 H + + HCO 3 Kurva dissosiasi oksi-hemoglobin itu dapat digunakan untuk memahami kapasitas angkut Oksigen dan dengan jelas harus diketahui afinitas Hb terhadap O 2 , karena suplai O 2 untuk jaringan maupun pengambilan O 2 oleh paru sangat bergantung pada hubungan tersebut. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi afinitas oksihemoglobin dan akan menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke kanan dan kekiri, yaitu :

10

Tabel

1.

Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

afinitas

Oksihemoglobin (HbO2) Kurva disosiasi (HbO2) Pergeseran ke kiri (P50 menurun) pH PCO2 Suhu 2,3 DPG Pergeseran ke kanan (P50 meningkat) pH PCO2 Suhu 2,3 DPG

P 50 = tegangan oksigen dibutuhkan untuk menghasilkan kejenuhan 50% Dikutip dari (10)

Gambar 2. Kurva Disosiasi Oksihemoglobin Dikutip dari (10) Kurva bergeser kekanan pada keadaan : pH menurun atau PCO 2 meningkat, asidosis metabolik karena syok atau retensi CO 2 akibat penyakit paru. Kurva disosiasi akan bergeser kekiri pada keadaan terdapat peningkatan pH darah (alkalosis) atau penurunan PCO 2 . Sehingga menurut teori dapat terjadi hipoksia pada alkalosis berat

11

terutama bila disertai hipoksemia. Pengaturan ventilasi, tujuan kontrol ventilasi adalah untuk menjaga hemostatis tekanan parsial oksigen dan karbondioksida arterial (PaO 2 dan PaCO 2 ) serta pH. 9

Tiga

unsur dasar pengaturan ventilasi adalah : Sensor (sentral maupun perifer) yang menerima informasi dan mengirimkannya melalui serabut saraf afferent ke pusat kontrol di otak. Pusat kontrol, di otak memproses informasi dan mengirim impuls ke effektor . Effektor (otototot pernapasan) sehingga timbul ventilasi.9

12

Gambar3. Skema Regulasi Ventilasi Dikutip dari (10) Tidak seperti peacemaker jantung, pacemaker pernapasan tidak dijumpai di paru tetapi terletak di medulla oblongata otak, yang terdiri dari beberapa komponen dan subsentral yang berinteraksi sehingga menghasilkan napas yang ritmik. Output dari sentral pernapasan ini ditransmisikan melalui nn. Phrenicus ke diafragma dan melalui sarafsaraf lain ke otot-otot pernapasan. Output dari central ini dipengaruhi oleh sentra yang lebih tinggi di kortikal dan oleh stimulasi mekanik. 9

II.3 Klasifikasi Gagal Napas Akut Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia dan gagal napas hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut berkembang dalam waktu menit sampai jam dan gagal napas kronik berkembang dalam beberapa hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya pH hanya akan menurun sedikit.5

13

Gambar 4. Klasifikasi Gagal Napas Dikutip dari (10)

II.3.1 Gagal Napas Hipoksemia / Gagal Napas Tipe I / Gagal Oksigenasi Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO 2 yang rendah tetapi PaCO 2 normal atau rendah. Derajat PaCO 2 tersebut membedakannya dari gagal napas hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak biasa, diamana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi paru. 5, 6 Contoh klinis yang umum menunjukan hipoksemia3, 5

tanpa

peningkatan PaCO 2 adalah pneumonia, aspirasi isi lambung, emboli paru, asma dan ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrome )

II.3.2 Gagal Napas Hiperkapnia / Gagal Napas Tipe II / Gagal Ventilasi Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar PaCO 2 yang abnormal tinggi. Karena CO 2 meningkat dalam ruang alveolus, O 2 tersisih dialveolus dan PaO 2 menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersamasama, kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak jika pada pasien dengan gagal napas bagian hiperkapnia, terutama penyakit utama mengenai

14

nonparenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronik yang parah sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrome ) berat dapat menunjukan gagal napas hiperkapnia. 3, 5, 6

II.4 ETIOLOGI GAGAL NAPAS AKUT Langkah pertama yang penting untuk mengenali kemungkinan terjadinya gagal napas adalah kewaspadaan terhadap keadaan dan situasi yang dapat menimbulkan gagal napas. Penyebab gagal napas ini dibagi menjadi gangguan ekstrinsik paru dan gangguan intrinsik paru. 5 Untuk gangguan ekstrinsik paru terdiri dari : Penekanan pusat pernapasan (over dosis obat, trauma serebral/infark, poliomielitis bulbar, dan ensefalitis), pada pleura, gangguan pleura neuromuskular (cedera dada/flail (cedera chest, medulaspinalis, sindroma Guillain-Barre, Miastenia Gravis, Distrofi muskular), pickwickan). 3 Sedangkan untuk gangguan intrinsik paru terdiri dari : gangguan obstruktif difus (emfisema, penyakit paru obstruktif kronik, asma, dan fibrosis kistik), gangguan restriktif edema paru (fibrosis interstitial, dan nonsarkoidosis, skleroderma, paru kardiogenik gangguan efusi pneumotoraks, kifoskoliosis, obesitas/sindroma

kardiogenik, ateletaksis, peneumonia konsolidasi), gangguan pembuluh darah paru (emboli paru, emfisema berat). 3 Meskipun gangguan diluar paru, atau ekstrinsik merupakan sebab penting gagal napas, namun gangguan intrinsik paru lebih penting. Obstruksi saluran napas kronik mengakibatkan kegagalan ventilasi dengan PPOK sebagai penyebab tersering. Faktor pencetus gagal napas akut pada pasien dengan penyakit paru kronik terdiri dari : infeksi pada percabangan trakeobronkial, pneumonia, perubahan sekret

15

trakeobronkial, bronkospasme, gangguan kemampuan membersihkan sekret, sedatif, narkotik, anestesi, terapi oksigen (FIO 2 tinggi), trauma, kelainan kardiovaskular (gagal jantung, emboli paru) dan pneumotoraks. 2

II.5 PATOFISIOLOGI DAN MEKANISME GAGAL NAPAS AKUT II.5.1. Patofisiologi Gagal Napas Hipoksemia Istilah hipoksemia menunjukan PO 2 yang rendah didalam darah arteri (PaO 2 ) dan dapat digunakan untuk menunjukan PO 2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O 2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen didalam hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan penyampaian ( delivery ) O 2 ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O 2 ke jaringan. Hipoksemia berat menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O 2 karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septik atau keracunan karbon monoksida, dimana PaO 2 arterial dapat meningkat atau normal. 5, 6 Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama yaitu berkurangnya PO 2 alveolar dan meningkatnya pengaruh campuran darah vena ( venous admixture ). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan dipembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. Kadar PO 2 darah vena sistemik (P V O 2 ) menentukan batas bawah PaO 2 . Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka PO 2 = PAO 2 . Maka PO 2 alveolar (P A O2) menentukan batas atas PO 2 arteri dan semua nilai PO2 berada diantara P V O2 dan P A O 2 . 5

16

Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO 2 alveolar, atau peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan darah kapiler pulmonal (campuran vena). 4, 5 Penurunan PO 2 Alveolar Tekanan total diruang alveolar ialah jumlah dari PO 2 , PCO 2 , PH 2 O, dan PN 2 . Bila PH 2 O dan PN 2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan Hipoventilasi dengan gas pada P A CO 2 akan menyebabkan penurunan P AO2, alveolar, PaO2. yang bila alveolar diruang menyebabkan alveolus. penurunan gas

menimbulkan penurunan PaO 2 bila darah arteri dalam keseimbangan Persamaan disederhanakan menunjukan hubungan antara PO 2 dan PCO 2 alveolar: 5 P A O 2 = FiO 2 x PB - P A CO 2 /R FiO 2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB adalah tekanan barometrik, dan R adalah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukan rasio steady-state CO 2 memasuki dan O 2 meninggalkan ruang alveolar. Dalam praktek, PCO 2 arteri sering digunakan sebagai nilai perkiraaan PCO2 alveolar (PaCO 2 ). P A O 2 berkurang bila P A CO 2 meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaO2). Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan terjadi jika tekanan barometrik total berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FiO2 rendah ( seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal ini juga akibat penurunan PO 2 . Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena penurunan PaO 2 , perbedaan antara PO 2 alveolar arteri adalah normal pada hipoksemia karena hipoventilasi. 5 Hipoksemia yang berkaitan dengan hipoventilasi murni umumnya ringan (PaO 2 = 50 sampai 80 mmHg) dan langsung disebabkan oleh peningkatan PCO 2 alveolar (PaCO 2 ). Kejadian ini dapat dijelaskan dengan mengingat bahwa tekanan parsial alveolar atau gas-gas darah pada seluruh arteri harus ditambahkan pada tekanan total (atmosfer).

17

Dengan demikian bila PaCO 2 meningkat, PaO 2 harus menurun, dan sebaliknya pada tekanan atmosfer yang konstan. Pencampuran Vena (Venous Admixture) Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar. Perbedaan PO 2 alveolar-arterial (P(A-a)O 2 ) meningkat dalam keadaan hipoksemia karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, perbedaan PO 2 alveolar arterial normalnya sekitar 10 dan 20 mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi tegak.5 1

Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri ( right-toleft-shunt ). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah pencampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO 2 diantara PAO 2 dan P V O 2 . Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena : kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan, penyakit jantung kongenital dengan defek septum, dan ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat, atelektaksis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat. Pertanda terjadinya pirau kanan ke kiri adalah : hipoksemia berat dalam pernapasan udara ruangan, sedikitnya peningkatan PaO 2 dengan tambahan oksigen, dibutuhkannya FiO 2 > 0,6 untuk mencapai PaO 2 yang diinginkan, PaO 2 < 55 mmHg saat mendapat O 2 100%. Jika PaO 2 < 55 mmHg saat bernapas dengan O 2 100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri. 5 Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (Ventilation-perfusion

mismatching = V/Q mismatching) Merupakan ketidaksesuaian penyebab hipoksemia tersering, terjadinya ini bukan

ventilasi-perfusi.

Ketidaksesuaian

18

disebabkan darah vena tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan ke kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke area-area tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relatif sedikit. Darah yang melalui kapiler paru diarea yang hipoventilasi relatif, akan kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut menimbulkan hipoksemia darah arteri. 5 Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap pertukaran gas antara kapileralveolus seringkali kompleks. Contoh dari penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran darah sehingga terjadi ketidaksesuaian V/Q adalah : Asma dan penyakit paru obstruktif kronik lain, dimana variasi pada resistensi jalan napas cenderung mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit vaskular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah. Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO 2 dapat dinaikan ke nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan pemberian oksigen tambahan. 5 Keterbatasan Difusi (diffusion limitation) Keterbatasan difusi O 2 merupakan penyebab hipoksemia yang jarang. Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal, terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua paru untuk mendapatkan keseimbangan gas dengan alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO 2 kapiler paru untuk mengalami kesetimbangan dengan PO 2 alveolus. Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila P A O 2 sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui membran alveolar-kapiler melambat atau jika waktu transit darah kapiler paru sangat pendek. 5

19

Beberapa keadaan dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen dianggap sebagai penyebab utama hipoksemia adalah pulmonary alveolar proteinosis , keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan mengandung protein dan lipid serta keadaan penyakit vaskular paru juga berperan dalam terjadinya keterbatasan difusi. 5

VI.2 Patofisiologi Gagal Napas Hiperkapnia Kegagalan napas hiperkapnia atau ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi saja atau gabungan dengan salah satu atau semua mekanisme hipoksemia seperti ketidakseimbangan V/Q, pirau, atau mungkin gangguan difusi. Kegagalan pada ventilasi murni terjadi pada gangguan ekstrapulmonal yang melibatkan kegagalan kendali saraf atau otot-otot pernapasan. Contoh klasik gagal napas hiperkapnia adalah PPOK dan melibatkan ketidakseimbangan V/Q dan hipoventilasi. 4, 5, 6 Hipoventilasi Alveolar Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO 2 dari proses metabolik setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO 2 tersebut dari kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO 2 (VCO 2 ) menukarkan CO 2 ke ruang pertukaran gas dikedua paru, sedangkan VA adalah volume udara yang dipertukarkan dialveolus selama semenit (ventilasi alveolar), didapatkan rumus5

:

VCO 2 (L/men) = PaCO 2 (mmHg) X VA (L/men) X 1/863 Untuk output CO 2 yang konstan, hubungan antara PaCO 2 dan VA menggambarkan berhubungan hiperbola Jadi ventilasi, hiperkapnia dimana selalu PaCO 2 dan VA terbalik. ekuivalen dengan

hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi alveolar tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan menggunakan rumus PaCO 2 diatas. 5

20

Ventilasi Semenit Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang ( dan PaCO 2 meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara langsung, jumlah total udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap menit dapat diukur dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute ventilation (ventilasi semenit, VE, L/men). Konsep fisiologis menganggap bahwa VE merupakan penjumlahan dari VA (bagian dari VE yang berpartisipasi dalam pertukaran gas) dan ventilasi ruang rugi ( dead space ventilation , VD)5

VE = VA + VD VA = VE VD VCO 2 (L/men) = PaCO 2 (mmHg) X VE (L/men) X (1-VD/VT)/863 VD/VT menunjukan derajat insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang normal yang sedang istirahat sekitar 30 % dari ventilasi semenit tidak ikut berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru proporsi VE yang tidak ikut pertukaran udara meningkat, maka VD/VT meningkat juga. Hiperkapnia (hipoventilasi alveolar) terjadi saat : nilai VE dibawah normal, nilai VE normal/tinggi tetapi rasio VD/VT meningkat, dan nilai VE dibawah normal dan rasio VD/VT meningkat. 5 Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar pergerakan udara dari dan ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah kapiler paru (difusi). Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis, jalan napas buatan dan bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan ekspirasi juga merupakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit paru, sebagian besar peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi fisiologis. 5

21

Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi jumlah aliran darah regional ( ventilation-perfusion [V/Q] mismatching ). Walaupun V/Q mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme hipoksemia dan bukan hiperkapnia, tetapi secara teori juga akan meningkatkan PaCO 2 . Kenyataannya dalam hampir semua kasus, kecuali dengan V/Q mismatching yang berat, hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi, mengembalikan PaCO 2 ke tingkat normal. Jadi V/Q mismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan peningkatan VE. 3, 4, 5

II.6 GAMBARAN KLINIS GAGAL NAPAS AKUT Manifestasi klinis gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia melalui jaringan. stimulus Hipoksemia hiperventilasi. arterial Derajat meningkatkan respon ventilasi

kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispneu, takipneu dan biasanya ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia dan kemampuan system pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral disekitar membran mukosa dan bibir. 5 Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien. Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerob disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat didarah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat

22

menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen. 5 Aktivitas system saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardi, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung. Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk lagi jika ada gangguan hantaran oksigen ke jaringan ( tissue oxygen delivery ). Pasien dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diprediksi akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemi yang menunjukan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan. 5 Gambaran klinis hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan PaCO 2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui turunnya pH cairan serebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO 2 . Karena CO 2 berdifusi secara bebas and cepat kedalam serebro spinal, pH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.5

Peningkatan PaCO 2

pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar pH yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain daripada nilai PaCO 2 mutlak. 5 Gejala hiperkapnia dapat bersama-sama dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi gejala-gejala seperti dispneu, takipneu, bradipneu dapat ditemukan pada gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk menentukan mekanisme

23

penyebabnya, dengan diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnea karena penyakit paru dan penyakit non paru. 5 Oleh karena pasien dengan penyakit paru seringkali menunjukan hipoksemia yang tidak sesuai dengan derajat hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO 2 alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan masalah non paru dapat pula mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuscular yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi. Kelainan pada paru berhubungan dengan peningkatan VD/VT dan karenanya sering menunjukan peningkatan VE dan frekuensi pernapasan. Tetapi pasien yang mengalami kelumpuhan otot pernapasan sering ditemukan takipneu, sehingga efek dari hiperkapnea dan hipoksemia dapat menyamarkan gangguan neurologis, juga pada pengobatan berlebih dengan sedatif, mix edema dan trauma kepala.3, 4, 5

II.7 DIAGNOSIS GAGAL NAPAS AKUT Tidak mungkin untuk memperkirakan tingkat hipoksemia dan hiperkapnia dengan mengamati tanda dan gejala pasien. Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada setiap pasien. Hipoksemia dan hiperkapnia ringan sangat sulit terdeteksi dan kadang tidak terdiagnosis. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara mendiagnosa gagal napas adalah dengan mengukur gas darah arteri ( arterial blood gas ), PaO 2 dan PaCO 2 . Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis underlaying disease (penyakit yang mendasarinya). 3, 5 Selain itu pemeriksaan fungsi pernapasan tidak boleh diabaikan dalam diagnosis dan terapi perawatan yang adekuat, karena dengan

24

pemeriksaan ini kita menapatkan informasi yang berharga bukan hanya untuk menentukan berat dan jenis gagal napas tetapi juga untuk mengenali mekanisme yang terlibat. Sejumlah pemeriksaan fungsi ventilasi di samping tempat tidur juga sering dilakukan untuk menilai cadangan ventilasi dan perlunya ventilasi mekanis. Status ventilasi dan status asam-basa dinilai dengan memeriksa PaCO 2 , bikarbonat (HCO 3 - ) dan pH.2, 5

II.8 PENATALAKSANAAN GAGAL NAPAS AKUT Prioritas dalam penanganan gagal napas berbeda-beda tergantung pada faktor etiologinya, tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien yaitu, menangani sebab gagal napas dan bersamaan dengan itu memastikan adanya ventilasi yang memadai dan jalan napas yang bebas. Karena hal yang paling mengancam nyawa akibat gagal napas adalah gangguan pada pertukaran gas, maka tujuan pertama dari terapi adalah memastikan bahwa hipoksemia, asidemia, hiperkapnia tidak mencapai taraf yang membahayakan. PaO 2 sebesar 40 mmHg atau pH sebesar 7,2 atau kurang sangat sulit ditoleransi oleh orang dewasa dan dapat mengakibatkan gangguan otak, ginjal, dan jantung, serta dapat terjadi disritmia jantung. PaCO 2 diatas mengakibatkan depresi sistem saraf pusat dan koma. 70 mmHg dapat5

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu, penanganannya tiak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Dasar pengobatan gagal napas akut dibagi menjadi pengobatan nonspesifik dan yang spesifik. Umumnya

25

diperlukan paru,

kombinasi

keduanya.

Pengobatan

nonspesifik

adalah

tindakan secara langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas sedangkan2, 3, 5

pengobatan

spesifik ditujukan

untuk mengatasi

penyebabnya.

Pengobatan nonspesifik Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh kealam keadaan yang lebih buruk. Sambil menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya. 4, 5, 8 Atasi Hipoksemia : Terapi Oksigen. Atasi Hiperkapnia : Perbaiki Ventilasi (jalan napas dan ventilasi bantuan). Ventilasi kendali. Fisioterapi dada. Terapi Oksigen Pada keadaan O 2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO 2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh hipercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic drive akibat kenaikan PaO 2 pasien dapat apneu. Terapi yang dilakukan adalah dengan menaikan konsentrasi oksigen fraksi inspirasi (FiO 2 ), menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi sampai 34 C atau pemberian obat pelumpuh otot. 4, 5, 8 Ventilasi dilakukan secara bantuan dan terkendali. Cara pemberian oksigen dapat dilakukan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup

26

muka tipe venture dapat mengatur kadar O 2 inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi kembali dengan ventilator maka konsentrasi O 2 dapat diatur dari 21-100%. 4, 5 Tabel 2. Cara Pemberian OksigenAlat Kateter nasal Sungkup muka Sungkup muka tipe venture Ventilator Inkubator Aliran O2 (L/men) 2-6 4-12 4-8 Bervariasi 3-8 Konsentrasi O2 (%) 30-50 35-65 24,28,35,40 21-100 30-40 Dikutip dari (10)

Perbaiki Ventilasi Hiperkapnia diperbaiki dengan memperbaiki ventilasinya, dari cara sederhana hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut akan mengakibatkan gangguan pH darah atau asidosis respiratori, hal ini harus diatasi segera dan biasanya diperlukan ventilasi kendali dengan ventilator. Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit paru kronis yang menjadi akut kembali ( acute on chronic ), keadaan hiperkapnia kronik dengan pH darah tidak banyak berubah karena sudah terkompensasi oleh ginjal dikenal sebagai asidosis respiratori terkompensasi sebagian atau penuh. 3. 5. 8 Dalam hal ini, penurunan PaCO 2 secara cepat dapat menyebabkan pH darah meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan, dapat menimbulkan gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi hipokalemia, gangguan pada jantung seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan tekanan CO 2 harus secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam. Perbaiki jalan napas ( Air Way )3, 4, 5

27

Terutama

pada

obstruksi

jalan

napas

bagian

atas,

dengan

hiperekstensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan ( triple airway manuver ). Hal ini biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan napas bagian atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakhea. Ventilasi Bantu Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat dilakukan mulut ke mulut ( mouth to mouth ) atau mulut ke hidung ( mouth to nose ). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB ( Intermittent Positive Pressere Breathin g), yaitu pasien bernapas spontan melalui sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka tekanan negatif yang ditimbulkan akan menggerakan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur. Ventilasi Kendali Pasien diintubasi, dipasang pipa trakhea dan dihubungkan dengan ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya diperlukan obat-obatan sedatif, narkotika, atau pelumpuh otot agar pernapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator. Fisioterapi Dada Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan kedua telapak tangan3 5 4

28

pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang baik dan efisien. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada dan punggung, kemudian perkusi, vibrasi dan drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik, bronkodilator, atau pernapasan bantuan dengan ventilator.4, 5

Pengobatan spesifik Pengobatan spesifik ditujukan pada underlaying disease , sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadangkadang memerlukan persiapan yang membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau bronkoskopi. Macam-macam pengobatan spesifik dapat dilihat di tabel. 3 Tabel 3. Macam-macam pengobatan spesifik pada gagal napas akut.Etiologi Otak Neoplasma Epilepsi Hematoma subdural Keracunan Morfin CVA Susunan Neuro-Muskular Miastenia Gravis Polyneuritis, demyelinisasi Analgesia spinal tinggi Pelumpuh otot Dinding toraks dan Diafragma Luka tusuk toraks Ruptur Diafragma Paru Operasi Operasi Prostigmin, Piridostigmin Rawat dan terkendali bantuan Napas ventilasi Rawat operasi Antikonvulsif Operasi Nalokson Rawat intensif Pengobatan spesifik

29

Asma Infeksi paru Benda asing Pneumotoraks, hematotoraks Edema paru ARDS Aspirasi Kardiovaskular Renjatan, gagal jantung Emboli paru Pasca bedah toraks

Steroid, bronkodilator Antibiotik Bronkoskopi Drainase paru Diuretika, ventilasi kendali

Obat-obatan jantung Terapi cairan Bantuan Napas

Dikutip dari (10)

Bronkodilator Bronkodilator mempengaruhi langsung terhadap kontraksi otot polos, tetapi beberapa mempunyai efek tidak langsung terhadap edema dan inflamasi. Merupakan terapi utama untuk penyakit paru obstruktif, tetapi peningkatan resistensi jalan napas juga ditemukan oada banyak penyakit paru lainnya, seperti edema paru, ARDS, dan mungkin pneumonia. 5 Agonis beta-adrenergik / simpatomimetik Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan secara parenteral atau oral. Untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping sangat berkurang bila dilakukan dengan rute inhalasi, sehingga dosis yang lebih besar dan lebih lama dapat diberikan. Efek samping dari obat ini adalah tremor, takikardi, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. 5 Antikolinergik

30

Respon

bronkodilator tergantung

terhadap pada derajat

obat tonus

antikolinergik parasimpatis

(parasimpatolitik)

instrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis terutama untuk tampaknya lebih pasien berperan. dengan Direkomendasikan bronkodilatasi

bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu digunakan dalam kombinasi dengan agonis beta-adrenergik. 5 Teofilin Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta-adrenergik. fosfodiesterase anti-inflamasi. Mekanisme pada Efek AMP kerja siklik adalah melalui inhibisi kerja (cAMP), translokasi mual, kalsium, muntah,

antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta-adrenergik, dan aktivitas samping meliputi takikardi, komplikasi yang lebih parah adalah aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status mental dan kejang. 5 Kortikosteroid Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah didemonstrasikan setelah pemberian sitemik dan topikal. Kortokosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut dan hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping kortikosteroid adalah hiperglikemi, hipokalemi, retensi natrium dan air, miopati steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal. 5 Ekspektoran dan Nukleonik Cairan per oral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karakteristik sputum pada pasien yang kekurangan cairan. Kalium

31

yodida

oral

mungkin sputum

berguna untuk kental.

meningkatkan batuk

volume

dan

menipiskan

yang

Penekan

seperti

kodein

dikontraindikasikan bila kita menghendaki pengeluaran sekret melalui batuk. Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan napas terutama pada pasien dengan ETT. Sedikit (3-5 ml) NaCl 0,9 % salin hipertonik dan natrium bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan sebelum penyedotan ( suctioning ) dan bila berhasil akan keluar sekret lebih banyak. 5 Asetilsistein merusak ikatan disulfid pada protein sputum dan dapat menjadi obat mukolitik yang kuat. Tetapi asetilsistein yang diaerosolisasi kurang efektif dan dapat merangsang bronkospasme pada penderita asma. Jika diperlukan, sedikit asetilsistein dapat diberikan saat lavase dengan bronkoskopi fleksibel pada jalan napas yang bermasalah. Karena beberapa kualitas abnormal sputum disebabkan DNA yang berasal dari penghancuran sel, enzim yang melisiskan DNA (DNAase) dapat bermanfaat, tetapi belum disetujui untuk pemakaian pada pasien PPOK atau asma. 5

II.9 KOMPLIKASI GAGAL NAPAS AKUT Komplikasi pada paru-paru itu seperti pneumonia, emboli paru, barotrauma paru-paru, fibrosis paru. Komplikasi yang berhubungan dengan mesin dan alat mekanik ventilator pada pasien gagal napas juga banyak menimbulkan komplikasi yaitu infeksi, desaturasi arteri, hipotensi, barotrauma, komplikasi yang ditimbulkan oleh dipasangnya intubasi trakhea adalah hipoksemia cedera otak, henti jantung, kejang, hipoventilasi, ileus dan diare. Kardiovaskular memiliki komplikasi hipotensi, aritmia, penurunan curah jantung, infark miokard, dan hipertensi pulmonal. Komplikasi pneumotoraks, atelektasis. Gagal napas akut juga mempunyai komplikasi di bidang gastrointestinal yaitu stress ulserasi,

32

pada ginjal dapat menyebabkan acute kidney injury dan retensi cairan. Resiko terkena infeksi pada pasien gagal napas juga cukup tinggi yaitu infeksi nosokomial, bakteremia, sepsis dan sinusitis paranasal.5

II.10 PROGNOSIS GAGAL NAPAS AKUT Morbiditas dan mortalitas hipoksemia gagal napas akut tergantung kepada penyakit yang mendasarinya, pasien dengan ARDS menurut penelitian mempunyai angka kesembuhan sampai 60 % apabila mendapatkan terapi yang cepat dan adekuat. Pasien dengan komplikasi sepsis post trauma memiliki tingkat mortalitas yang lebih rendah dibandingkan pada pasien sepsis akibat komplikasi alat bantuan pernapasan yang digunakan pada pengobatan gagal napas akut. Pasien usia muda memiliki tingkat angka kesembuhan lebih tinggi dibandingkan orang tua. Sedangkan pasien dengan hiperkapnia gagal napas akut memiliki mortalitas yang lebih tinggi dan tergantung kepada kemampuan fisiologi pasien untuk mengkompensasi keadaan gagal napas akut baik dari kardiovaskular, ginjal, hati, atau kelainan neurologis dan usia, penyakit yang mendasari terjadinya gagal napas akut hiperkapnia ini juga menentukan tingkat mortalitas dari pasien. Terapi yang cepat dan adekuat sangat berpengaruh untuk menghindari terjadinya komplikasikomplikasi yang mungkin ditimbulkan oleh gagal napas akut, yang dapat meningkatkan tingkat morbiditas dan mortalitas dari gagal napas akut hiperkapnia.5

33

BAB III KESIMPULAN Gagal napas merupakan sistem suatu pulmoner sindrom untuk yang terjadi akibat

ketidakmampuan

mencukupi

kebutuhan

metabolisme (eliminasi CO2 dan Oksigenasi darah). Gagal napas akut secara numerik didefinisikan sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan parsial oksigenasi arteri (atau tegangan, PaO 2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang tanpa atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaan laut saat menghirup udara ruangan.5 Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut berkembang dalam waktu menit sampai jam dan gagal napas kronik berkembang dalam beberapa hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya PH hanya akan menurun sedikit.

34

Penyebab gagal napas ini dibagi menjadi gangguan ekstrinsik paru dan gangguan intrinsik paru Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia dan gagal napas hipoksemia. Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama yaitu berkurangnya PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous admixture). Sedangkan kegagalan hiperkapnia atau ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi saja atau gabungan dengan salah satu atau semua mekanisme hipoksemia. Cara mendiagnosa gagal napas adalah dengan mengukur gas darah arteri (arterial blood gas, ABG), PaO2 dan PaCO2. Prioritas dalam penanganan gagal napas berbeda-beda tergantung pada faktor etiologinya, tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien yaitu, menangani sebab gagal napas dan bersamaan dengan itu memastikan adanya ventilasi yang memadai dan jalan napas yang bebas. Komplikasi dan prognosis bergantung atas faktor yang mendasari terjadinya gagal napas akut Pasien usia muda memiliki tingkat angka kesembuhan lebih tinggi dibandingkan orang tua.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Loraine M.Wilson, Sylvia A.Price. 2005 . PATOFISIOLOGI :Konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 2. Edisi 6.Jakarta : EGC. halaman 824-835. 2. Alfred P.Fishman et All. 2008. Fishmans PULMONARY DISEASES AND DISORDERS . 4 th edition. Philadelpia.. Page 2509-2520. 3. Grippi Michael. 2008. Respiratory Failure: An Overview. The McGraw-Hill Companies 4. Respiratory Failure. Chapter 20. Page 207-215 5. Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes (2006). Gagal Napas Akut, Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid I. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Hal 170-175.

36

6. Gunning Kevin E J. 2003. Patophysiology of Respiratory Failure and Indications for Respiratory Support. The Medicine Publishing Company Ltd. 72-76 7. Evans Timothy, Leaver Susannah. 2008. Acute Respiratory Distress Syndrome. British Medical Journal. Volume 335. 8. Roussos C, Koutsoukou A. 2003. Respiratory Failure. European Repiratory Journal 22; Suppl 47, 3s-14s. 9. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Jakarta : EGC. 10. Anonim (2010). Gagal Napas. Resipository USU. Diakses pada tanggal 09 april 2013 dari http://www.Resipository.usu.org 11. Hulin I. 2008. Respiratory Failure. Pathophysiology of the respiratory system. In Chapter 1

12. Patel Bella. 2011. Introduction to Acute Respiratory Failure. Pulmonary and Critical Cere Medicine. The University of Texas. 13. Katyal Puneet, Gajic Ognjen. 2008. Patophysiology of Respiratory Failure and Use of Mechanical Ventilation. Mayo Clinic. USA 14. Ray Patrick, Birolleau Sophie, Lefort Yannick et all. 2006. Acute Repiratory Failure in the Elderly: etiology, emergency, diagnosis and prognosis. Available online http://ccforum.com/content/10/3/R82 15. Mendez Jose L, Hubmayr Rolf D. 2004. New insights into the pathology of respiratory failure. Mayo Clinic. USA 16. Mason R, Broaddus V, Murray J, Nadel J, eds. Murray & Nadels Textbook of Respiratory Medicine . 4th edition. Amsterdam, The Netherlands: Elsevier Health Sciences; 2005.Chapters 85 and 86.

37