referat extrapiramidal

Embed Size (px)

Citation preview

I. PsikotropikPengertian psikotropik menurut WHO adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. Psikofarmakologi berkembang dengan pesat sejak ditemukannya alkaloid Rauwolfia dan klorpromazin yang ternyata efektif untuk mengobati kelainan psikiatrik. Berbeda dengan pengobatan antibiotik, pengobatan dengan psikotropik bersifat simtomatik dan lebih didasarkan pada pengetahuan empirik.1Jenis-jenis psikotropika biasanya digolongkan berdasarkan kegunaannya klinisnya, yaitu:1. Anti psikosis2. Anxiolitik3. Anti depresan4. Mood stabilizer5. Cognitive enhancer6. Hipnotik7. Stimulan Neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronis. Ciri terpenting obat neuroleptik ialah :1 Berefek anti psikosis, yaitu berguna untuk mengatasi agresivitas, hiper aktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis. Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anesthesia. Dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal yang reversible atau ireversibel. Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan psikis atau fisik.

Obat-obat neuroleptika juga disebut tranquilizer mayor, obat anti psikotik atau obat anti skizofren, karena terutama digunakan dalam pengobatan skizofrenia tetapi juga efektif untuk psikotik lain, seperti keadaan manik atau delirium. Obat-obat anti psikotik ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :1

I. Obat anti psikotik tipikal1. Phenothiazine Rantai aliphatic: CHLORPROMAZINE LEVOMEPROMAZINE Rantai piperazine: PERPHENAZINE TRIFLUOPERAZINE FLUPHENAZINE Rantai piperidine: THIORIDAZINE2. Butyrophenone: HALOPERIDOL3.diphenyl-butyl-piperidine: PIMOZIDEII. obat anti psikotik atipikal1. Benzamide: SULPIRIDE2. Dibenzodiazepine CLOZAPINE OLANZAPINE QUETIAPINE3.Benzisoxazole: RISPERIDONObat-obat neuroleptika tipikal (tradisional) adalah inhibitor kompetitif pada berbagai reseptor, tetapi efek anti psikotiknya mencerminkan penghambatan kompetitif dari reseptor dopamin. Obat-obat ini berbeda dalam potensinya tetapi tidak ada satu obatpun yang secara klinik lebih efektif dari yang lain. Sedangkan obat-obat neuroleptika atipikal yang lebih baru, disamping berafinitas terhadap Dopamine D2 Receptors juga terhadap Serotonin 5 HT2 Receptors.1Obat neuroleptika bukan untuk pengobatan kuratif dan tidak menghilangkan gangguan pemikiran yang fundamental, tetapi sering memungkinkan pasien psikotik berfungsi dalam lingkungan yang suportif. 1

II. MEKANISME KERJA ANTIPSIKOTIKSecara umum, terdapat beberapa hipotesis tentang cara kerja antipsikotik, yang dapat digolongkan berdasarkan jalur reseptor dopamin atau reseptor non-dopamine.2,4Hipotesis dopamin untuk penyakit psikotik mengatakan bahwa kelainan tersebut disebabkan oleh peningkatan berlebihan yang relatif dalam aktifitas fungsional neurotransmiter dopamin dalam traktus tertentu dalam otak. Hipotesis ini berlandaskan observasi berikut: Sebagian besar obat antipsikotik memblok reseptor postsinaps pada SSP, terutama pada sistem mesolimbik-frontal. Penggunaan obat yang meningkatkan aktivitas dopamin, seperti levodopa (prekursor dopamin), amfetamin (merangsang sekresi dopamin), apomorfin (agonis langsung reseptor dopamin) dapat memperburuk skizofrenia ataupun menyebabkan psikosis de novo pada pasien. Pemeriksaan dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan reseptor dopamin pada pasien skizofrenia (baik yang menjalani terapi ataupun tidak) bila dibandingkan dengan orang yang tidak menderita skizofrenia. Pada pasien skizofrenia yang terapinya berhasil, telah ditemukan perubahan jumlah homovallinic acid (HVA) yang merupakan metabolit dopamin, pada cairan serebrospinal, plasma, dan urin. Telah ditemukan peningkatan densitas reseptor dopamin dalam region tertentu di otak penderita skizofren yang tidak diobati. Pada pasien sindroma Tourette, tic klinis lebih jelas jika jumlah reseptor D2 kaudatus meningkat. Hipotesis dopamin untuk penyakit skizofren tidak sepenuhnya memuaskan karena obat-obatan antipsikotik hanya sebagian yang efektif pada kebanyakan pasien dan obat-obatan tertentu yang efektif mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi untuk reseptor-reseptor selain reseptor D2. 2,4Lima reseptor dopamin yang berbeda telah ditemukan, yaitu D1 D5. Setiap satu reseptor dopamin adalah berpasangan dengan protein G dan mempunyai tujuh domain transmembran. Reseptor D2, ditemukan dalam kaudatus-putamen, nukleus accumbens, kortek serebral dan hipotalamus, berpasangan secara negatif kepada adenyl cyclase. Efek terapi relatif untuk kebanyakan obat-obatan antipsikotik lama mempunyai korelasi dengan afinitas mereka terhadap reseptor D2. Akan tetapi, terdapat korelasi dengan hambatan reseptor D2 dan disfungsi ekstrapiramidal.2,4Beberapa antipsikotik yang lebih baru mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor-reseptor selain reseptor D2. Contohnya, tindakan menghambat alfa-adrenoseptor mempunyai korelasi baik dengan efek antipsikotik kebanyakan obat baru ini. Inhibisi reseptor serotonin (S) juga merupakan cara kerja obat-obatan antipsikotik baru ini. Clozapin, satu obat yang mempunyai tindakan menghambat reseptor D1, D4, 5-HT2, muskarinik dan alfa-adrenergik yang signifikan, mempunyai afinitas yang rendah terhadap reseptor D2. Kebanyakan obat-obatan atipikal yang baru (seperti olanzapin, quetiapin, resperidon dan serindole) mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor 5-HT2A, walaupun obat-obat tersebut juga bisa berinteraksi dengan reseptor D2 atau reseptor lainnya. Kebanyakan obat atipikal ini menyebabkan disfungsi ekstrapiramidal yang kurang kalau dibandingkan dengan obat-obatan standar.2,4II.1 DopaminDopamin memiliki banyak fungsi di otak, termasuk peran penting dalam perilaku dan kognisi, gerakan sukarela, motivasi dan penghargaan, penghambatan produksi prolaktin (yang terlibat dalam laktasi), tidur, mood, perhatian, dan belajar. Neuron dopaminergik (yaitu, neuron yang utama adalah dopamin neurotransmitter) yang hadir terutama di daerah tegmental ventral (VTA) dari otak tengah, substantia nigra pars compacta, dan inti arkuata dari hipotalamus. 3,4Neuron dopaminergik membentuk sistem neurotransmitter yang berasal substantia nigra pars compacta, daerah tegmental ventral (VTA), dan hipotalamus. Akson ini proyek ke daerah-daerah besar dari otak melalui empat jalur utama: Mesocortical jalur menghubungkan daerah tegmental ventral lobus frontal korteks pre-frontal. Neuron dengan somas di wilayah proyek akson ventral tegmental ke korteks pre-frontal. Mesolimbic jalur membawa dopamin dari daerah tegmental ventral ke nucleus accumbens melalui amigdala dan hipokampus. Para somas dari neuron memproyeksikan berada di daerah tegmental ventral. Nigrostriatal jalur berjalan dari nigra substantia untuk neostriatum tersebut. Somas dalam proyek substantia nigra akson ke dalam nukleus dan putamen berekor. jalur ini terlibat dalam loop motor ganglia basal. Tuberoinfundibular jalur dari hipotalamus ke kelenjar pituitari. Fungsi Dopamin : 3a. Gerakan Melalui reseptor dopamin, D 1-5, dopamin mengurangi pengaruh dari jalur tidak langsung, dan meningkatkan tindakan jalur langsung dalam ganglia basal. Kurangnya dopamin biosintesis dalam neuron dopaminergik dapat menyebabkan penyakit Parkinson, di mana seseorang kehilangan kemampuan untuk mengeksekusi halus, gerakan terkontrol. b. Kognisi dan korteks frontal Di lobus frontal, dopamin mengontrol arus informasi dari daerah lain di otak. Dopamin gangguan di wilayah otak dapat menyebabkan penurunan fungsi neurokognitif, terutama memori, perhatian, dan pemecahan masalah. Mengurangi konsentrasi dopamin di prefrontal cortex diperkirakan untuk memberikan kontribusi terhadap gangguan perhatian defisit. Telah ditemukan bahwa reseptor D1 serta reseptor D4 bertanggung jawab atas efek kognitif-meningkatkan dopamin. Pada sebaliknya, bagaimanapun, obat anti-psikotik bertindak sebagai antagonis dopamin dan digunakan dalam pengobatan gejala positif skizofrenia, meskipun, yang lebih tua disebut "biasa" antipsikotik yang paling sering bertindak pada reseptor D2, sedangkan obat atipikal juga bertindak pada reseptor D1, D3 dan D4. c. Pengaturan sekresi prolaktin Dopamin adalah inhibitor neuroendokrin utama dari sekresi prolaktin dari kelenjar hipofisis anterior. Dopamine dihasilkan oleh neuron dalam nukleus arkuata hipotalamus adalah dikeluarkan ke dalam pembuluh darah hypothalamo-hypophysial dari median eminence, yang memasok kelenjar pituitary. Sel-sel lactotrope yang menghasilkan prolaktin, dalam ketiadaan dopamin, prolaktin mensekresi terus menerus; dopamin menghambat sekresi ini. Dengan demikian, dalam konteks mengatur sekresi prolaktin, dopamine kadang-kadang disebut prolaktin-faktor penghambat (PIF),-menghambat hormon prolaktin (PIH), atau prolactostatin. d. Motivasi dan kesenangan Dopamin ini umumnya terkait dengan sistem kesenangan otak, memberikan perasaan kenikmatan dan penguatan untuk memotivasi seseorang secara proaktif untuk melakukan kegiatan tertentu. Dopamin dilepaskan (terutama di daerah seperti accumbens inti dan korteks prefrontal) secara alami pengalaman berharga seperti makanan, seks, obat-obatan, dan netral rangsangan yang menjadi terkait dengan mereka. Studi terbaru menunjukkan bahwa agresi juga dapat merangsang pelepasan dopamin dengan cara ini. Teori ini sering dibahas dalam hal obat-obatan seperti kokain, nikotin, dan amfetamin, yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan peningkatan dopamin di jalur imbalan mesolimbic otak, dan dalam kaitannya dengan teori neurobiologis dari kecanduan kimia

II.2 SerotoninSerotonin memiliki efek pada nafsu makan, tidur dan metabolisme umum. Dalam darah, situs penyimpanan utama adalah trombosit, yang mengumpulkan serotonin dari plasma. Pendarahan menyebabkan pelepasan serotonin, yang menyempitkan pembuluh darah. 3,4Iritasi hadir dalam makanan memicu sel enterochromaffin untuk merilis serotonin untuk meningkatkan gerakan peristaltik untuk pengosongan usus. Kebocoran serotonin usus ke dalam aliran darah pada tingkat yang lebih cepat dari trombosit dapat menyerapnya meningkatkan serotonin bebas dalam darah, yang mengaktifkan 5HT3 reseptor di zona memicu chemoreceptor yang merangsang muntah. 3,4Pada manusia sejak tingkat HT 1A aktivasi reseptor-5 di negatif menunjukkan hubungan otak dengan agresi, dan mutasi pada gen yang kode untuk HT 2A reseptor-5 mungkin dua kali lipat risiko bunuh diri bagi mereka dengan genotipe itu. 3,4Serotonergik isyarat memainkan peran penting dalam modulasi manusia, marah mood dan agresi. Individu dari C.elegans''''menghadapi stres (misalnya lingkungan dengan makanan) kembali perilaku normal jika diberi obat serotonin meningkat. Obat yang sama memiliki efek yang sama pada manusia, tindakan serotonin pada cacing kawin dan bertelur menyerupai efek pada seksualitas manusia. 3,4Serotonin juga dapat bertindak sebagai faktor pertumbuhan langsung. kerusakan hati meningkatkan ekspresi seluler dari 5-HT2A dan reseptor 5-HT2B. Serotonin hadir dalam darah kemudian merangsang pertumbuhan sel untuk memperbaiki kerusakan hati. 3,45HT2B juga mengaktifkan reseptor osteoblas, yang membangun tulang Namun, serotonin juga mengaktifkan osteoklas, tulang yang menurunkan. 3,4Serotonin selain membangkitkan aktivasi endotel oksida nitrat sintase dan merangsang melalui reseptor 5-HT1B bermeditasi mekanisme fosforilasi p44/p42 mitogen-diaktifkan aktivasi protein kinase dalam bovine kultur sel endotel aorta. Serotonin mempunyai kegiatan yang luas di otak, dan variasi genetik pada reseptor serotonin dan transporter serotonin, yang memudahkan pengambilan kembali serotonin ke presynapses, telah terlibat dalam penyakit saraf. Obat menargetkan serotonin-induced jalur yang digunakan dalam pengobatan gangguan kejiwaan banyak. 3,4

III. EFEK KERJAPenghambatan reseptor dopamin adalah efek utama yang berhubungan dengan keuntungan terapi obat-obatan antipsikotik lama. Terdapat beberapa jalur utama dopamin diotak, antara lain :31. Jalur dopamin nigrostriatalJalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction (EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah dan leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.2. Jalur dopamin mesolimbikJalur ini berasal dari batang otak dan berakhir pada area limbic. Jalur dopamin mesolimbik terlibat dalam berbagai perilaku, seperti sensasi menyenangkan, euphoria yang terjadi karena penyalahgunaan zat, dan jika jalur ini hiperaktif dapat menyebabkan delusi dan halusinasi. Jalur ini terlibat dalam timbulnya gejala positif psikosis.3. Jalur dopamin mesokortikalJalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju korteks limbic. Selain itu jalur ini juga berhubungan dengan jalur dopamine mesolimbik. Jalur ini selain mempunyai peranan dalam memfasilitasi gejala positif dan negative psikosis, juga berperan pada neuroleptic induced deficit syndrome yang mempunyai gejala pada emosi dan sistem kognitif.4. Jalur dopamin tuberoinfundibularJalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise bagian anterior. Jalur ini bertanggung jawab untuk mengontrol sekresi prolaktin, sehingga kalau diblok dapat terjadi galactorrhea.

Tindakan-tindakan penghambatan relatif pada reseptor oleh obat-obatan antipsikotik terdapat pada tabel berikut.Tindakan penghambatan relatif pada reseptor oleh obat-obatan neuroleptikObatD2D4Alfa15-HT2MH1

Kebanyakan phenothiazine dan thioxanthene++-+++++

Thiordazine ++-+++++++

Haloperidol+++-+---

Clozapin-+++++++++

Molindone++-+-++

Olazapin+-+++++

Quetiapin+-+++++

Risperidon++-+++++

Sertindole++-++++--

IV. EFEK SAMPING EKSTRAPIRAMIDAL PADA OBAT ANTIPSIKOSISSistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari sistem ekstrapiramidal adalah terutama di formatio reticularis dari pons dan medulla dan di target saraf di medula spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh. 2Istilah sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik. Istilah ini mungkin dibuat karena banyak gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal). 2Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia akut, tardive diskinesia, akatisia, dan parkinsonism (Sindrom Parkinson). 2Obat antispikosis dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut :

AntipsikosisDosis (mg/hr)Gej. ekstrapiramidal

ChlorpromazineThioridazine Perphenazine trifluoperazine Fluphenazine Haloperidol Pimozide Clozapine Zotepine Sulpride Risperidon Quetapine OlanzapineAripiprazole150-1600100-9008-485-605-602-1002-625-10075-100200-16002-950-40010-2010-20++++++++++++++++++-++++++

4.1 REAKSI DISTONIA AKUT (Acute Dystonia Reaction)Distonia adalah kontraksi otot yang singkat atau lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal, termasuk krisis okulorigik, prostrusi lidah, trismus, tortikolis, distonia laring-faring, dan postur distonik pada anggota gerak dan batang tubuh. Distonia sangat tidak menyenangkan, kadang-kadang menyakitkan, dan sering kali menakutkan pasien. 2Perkembangan gejala distonik ditandai oleh onsetnya yang awal selama perjalanan terapi dengan neuroleptik dan tingginya insiden pada laki-laki, pada pasien di bawah usia 30 tahun, dan pada pasien yang mendapatkan dosis tinggi medikasi antipsikotik potensi tinggi (contohnya haloperidol). Walaupun onset seringkali tiba-tiba, onset dalam tiga sampai enam jam dapati terjadi, seringkali keluhan pasien berupa lidah yang tebal atau kesulitan menelan. Kontraksi distonik dapat cukup kuat sehingga dapat mendislokasi sendi, dan distonia laring dapat menyebabkan tercekik jika pasien tidak segera diobati. 2Mekanisme patofisiologi distonia adalah tidak jelas, walaupun perubahan dalam konsentrasi neuroleptik dan perubahan yang terjadi dalam mekanisme homeostatik di dalam ganglia basalis mungkin merupakan penyebab utama distonia. 2Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM IV adalah sebagai berikut : 2Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal)A. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi neuroleptik :1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis)2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria, makroglosia)5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuhB. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik)C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik)D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.

4.2 Tardive DiskinesiaDari namanya sudah dapat diketahui merupakan sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik. Ini merupakan efek yang tidak dikehendaki dari obat antipsikotik. Hal ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamine di putamen kaudatus. Wanita tua yang diobati jangka panjang mudah mendapatkan gangguan tersebut walaupun dapat terjadi di perbagai tingkat umur pria ataupun wanita. Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi berjalan, berbicara, bernapas, dan makan.2Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami tardive diskinesia. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika mempertimbangkan tardive diskinesia meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat (contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamine pasca sinaptik akibat blokade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom Parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit di obati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas. Tardive diskinesia dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.2Kriteria Diagnostik dan Riset untuk Tardive Dyskinesia Akibat Neuroleptik sesuai DSM IV :Gerakan koreiform, atetoid, atau ritmik yang involunter (berlangsung sekurangnya beberapa minggu) pada lidah, rahang atau anggota gerak, yang berkembang berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik selama sekurangnya beberapa bulan ( mungkin lebih singkat pada orang lanjut usia ) 2A. Gerakan involunter pada lidah, rahang, batang tubuh atau anggota gerak yang telah berkembang berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptikB. Gerakan involunter ditemukan selama periode sekurangnya 4 minggu dan terjadi dalam salah satu pola brikut :1. Gerakan koreiform ( cepaty, menyentak, tidak berulang )2. Gerakan atetoid ( lambat, berkelok-kelok, kontinu )3. Gerakan ritmik ( stereotipik )C. Tanda atau gejala dalam kriteria A dan B berkembang selama pemaparan medikasi neuroleptik atau dalam 4 minggu menghentikan medikasi neuroleptik oralD. Terdapat pemaparan dengan medikasi neuroleptik selama sekurangnya tiga bulan. ( satu bulan jika usia 60 tahun atau lebih )E. Gejala bukan karena kondisi neurologis atau medis umum ; gigi tiruan yang tidak pas, atau pemaparan medikasi lain yang menyebabkan diskinesia akut (misalnya L-dopa dan bromocriptine ). Tanda bahwa gejala adalah karena suatu etiologi tersebut adalah berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkanF. Gejala tidak lebih baik diterangkan oleh suatu gangguan pergerakan akut akibat neuroleptik (misalnya distonia akut akibat neuroleptik, akathisia akut akibat neuroleptik )

4.3 AkatisiaSejauh ini EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama pada populasi pasien lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak. Juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot.2Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga, akinesis yang ditemukan pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi setiap gejala objektif akatisia.2Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi neuroleptik dan pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman. Yang dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah ketidakpatuhan pasien. 2Kriteria diagnosis dan riset untuk akathisia akut akibat neuroleptik sesuai DSM IV :Keluhan subjektif berupa kegelisahan yang disertai oleh gerakan yang terlihat ( misalnya gerakan tungkai yang resah, bergoyang dari kaki ke kaki, bolak balik, atau tidak dapat duduk atau berdiri diam ) yang berkembang dalam beberapa minggu setelah memulai atau menurunkan dosis medikasi neuroleptik ( atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal ) 2A. Perkembangan keluhan subjektif kegelisahan setelah pemaparan dengan medikasi neuroleptikB. Sekurangnya terlihat satu dari berikut ini :1. Menggerakan atau mengayunkan kaki yang resah2. Menggoyangkan kaki saat berdiri3. Berjalan bolak balik untuk menghilangkan kegelisahan4. Tidak dapat duduk atau berdiri selama sekurangnya beberapa menitC. Onset gejala dalam kriteria A dan B terjadi dalam 4 minggu setelah memulai atau menaikkan dosis neuroleptik atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal ( misalnya obat antikolinergik )D. Gejala dalam kriteria A tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya skizofrenia, putus zat, agitasi dari episode depresi berat atau manik, hiperaktivitas pada gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas). Tanda bahwa gejala adalah lebih baik diterangkan oleh gangguan mental adalah berupa berikut ini : onset gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, tidak adanya peningkatan kegelisahan dengan peningkatan dosis neuroleptik, dan tidak reda dengan intervensi farmakologis ( misalnya tidak mengalami perbaikan setelah menurunkan dosis neuroleptik atau terapi dengan medikasi yang ditujukan untuk mengobati akathisia )E. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.

4.4 Sindrom ParkinsonMerupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahun-tahun. Patofisiologi parkinsonisme akibat neuroleptik melibatkan penghambatan reseptor D2 dalam kaudatus pada akhir neuron dopamin nigrostriatal, yaitu neuron yang sama yang berdegenerasi pada penyakit Parkinson idiopatik. Pasien yang lanjut usia dan wanita berada dalam resiko tertinggi untuk mengalami parkinsonisme akibat neuroleptik. 2Manifestasinya meliputi berikut : 2Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala negative skizofrenia. Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor dapat mengenai bibir dan otot-otot perioral yang disebut sebagai sindrom kelinci. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan tardive diskinesia, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responnya terhadap medikasi antikolinergik.Kekakuan otot/rigiditas : merupakan gangguan pada tonus otot, yaitu derajat ketegangan yang ada pada otot. Gangguan tonus otot dapat menyebabkan hipertonia. Hipertonia yang berhubungan dengan parkinsonisme akibat neuroleptik adalah tipe pipa besi (lead-pipe type) atau tipe roda gigi (cogwheel type). Istilah tersebut menggambarkan kesan subjektif dari anggota gerak atau sendi yang terkena.

Kriteria diagnosa dan riset untuk parkinsonisme akibat neuroleptik sesuai DSM IV :Tremor parkisonisme, kekakuan (rigiditas) otot atau akinesia yang timbul dalam beberapa minggu setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik 2A. Satu ( atau lebih ) gejala atau tanda berikut telah timbul berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik :1. Tremor parkisonisme ( yaitu tremor kasar, ritmik, dan saat istirhat dengan frekuensi antara 3 dan 6 siklus per detik yang mengenai anggota gerak, kepala, mulut, atau lidah )2. Rigiditas otot parkinsonisme ( yaitu rigiditas gigi gergaji atau rigiditas pipa besi kontinu )3. Akinesia ( yaitu penurunan ekspresi wajah, gerak gerik berbicara, atau gerakan tubuh spontan )B. Gejala dalam kriteria A berkembang dalam beberapa minggu setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal akutC. Gejala dalam kriteria A tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental ( misalnya gejala katatonik atau negatif dari skizofrenia, retardasi psikomotor akibat episode depresif berat ). Tanda bahwa gejala adalah lebih baik bila diterangkan oleh gangguan mental adalah berupa berikut ini : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervbensi farmakologis ( misalinya tidak mengalami perbaikan setelah menurunkan dosis neuroleptik atau memberikan medikasi anti kolinergik )D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat non neuroleptik atau kondisi neurologis atau penyakit umum lainnya ( Parkinson, penyakit wilson ). Tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal, yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang walaupun ada regimen medikasi yang stabil

V. Penanganan Efek Samping EkstrapiramidalGejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli menganjurkan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat EPS atau para pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi. 2

5.1 Penatalaksanaan UmumMedikasi anti-EPS yang digunakan terutama adalah antikolinergik. Hal tersebut disebabkan adanya reaksi reciprocal (berlawanan) antara dopamin dan asetilkolin pada jalur dopamin nigrostriatal. Neuron-neuron dopamin pada jalur nigrostriatal mempunyai koneksi postsinaps dengan neuron kolinergik. Secara normal, dopamin menghambat pelepasan asetilkolin dari postsinaps jalur kolinergik nigrostriatal. Obat antipsikosis menghambat dopamin sehingga menyebabkan aktivitas asetilkolin yang berlebih. 2Untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebih ini, digunakan antikolinergik. Sehingga untuk setiap pemberian obat antipsikosis diberikan antikolinergik untuk mencegah adanya efek samping ekstrapiramidal. 2Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik seperti trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini. Dosis antipsikotik diturunkan hingga mencapai dosis minimal yang efektif. Antihistamin yang dapat digunakan seperti difenhidramin pada pasien yang mengalami distonia. Selain itu epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang. 2Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk memberikan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat pernah mengalami sindrom ekstrapiramidal sebelumnya atau pada pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi. Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik medikasi anti-ekstrapiramidal sindrom pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.2

Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. 2Selain dengan medikasi anti-EPS, dapat juga dilakukan pengurangan dosis obat anti-psikosis atau dengan mengganti obat anti-psikosis dengan jenis atipikal seperti olanzapine, risperidone, atau clozapine. Obat anti-psikosis atipikal ini hanya sedikit berpengaruh terhadap jalur nigrostriatal sehingga efeknya terhadap ekstrapiramidal lebih sedikit dibanding obat-obat anti-psikosis konvensional.2

Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala. 2

5.2 Penatalaksanaan khusus sesuai gejala

5.2.1 Terapi distonia akutTerapi distonia harus dilakukan dengan segera, paling sering dengan antikolinergik atau antihistaminergik. Jika pasien tidak berespon dengan tiga dosis obat-obatan tersebut dalam dua jam, klinisi harus mempertimbangkan penyebab gerakan distonik selain medikasi neuroleptik.Untuk terapi distonia akut akibat neuroleptik, diberikan 1-2 mg benztropine IM. Jika dosis tersebut tidak efektif dalam 20-30 menit, obat harus diberikan lagi. Jika pasien masih tidak membaik dalam 20-30 menit lagi, suatu benzodiazepin (contohnya 1 mg lorazepam IM/IV) harus diberikan.2Distonia laring merupakan kegawatdaruratan medis dan harus diberikan 4 mg benztropine dalam 10 menit, diikuti dengan 1-2 mg lorazepam, diberikan perlahan melalui jalur IV.2Profilaksis terhadap distonia diindikasikan pada pasien yang pernah memiliki satu episode atau pada pasien yang berada dalam resiko tinggi (laki-laki muda yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi). Profilaksis diberikan selama 4-8 minggu dan selanjutnya diturunkan perlahan selama periode 1-2 minggu untuk memungkinkan pemeriksaan tentang kebutuhan untuk melanjutkan terapi profilaksis.2Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani. Penghentian obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi harus dilakukan sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan terapi primer yang diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM. 2

5.2.2 Penatalaksanaan akatisia :3 langkah dasar dalam terapi akathisia adalah menurunkan dosis medikasi neuroleptik , mengusahakan terapi dengan obat yang sesuai, dan mempertimbangkan untuk mengganti neuroleptik. Obat yang paling bermanfaat dalam terapi akathisia adalah antagonis reseptor adrenergik beta walaupun obat anti-kolinergik dan benzodiazepin juga dapat berguna dalam beberapa kasus. 2

5.2.3 Sindrom parkinson diberikan agen antikolinergik. 2

5.2.4 Penatalaksanaan tardive dyskinesia Sementara untuk tardive dyskinesia ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk dosis medikasinya. Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan Parkinson idiopatik umumnya untuk tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Namun penggunaan golongan Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan involunter pada banyak pasien.2

4