47
ASMA BRONCHIALE ZASCHA FUSHIANY GUNAWAN (406100062) BAB I PENDAHULUAN Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 1) . Berbagai sel inflamasi yang berperan terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. 2) Inflamasi jalan napas berkaitan dengan hiperaktivitas jalan napas atau hiperresponsif bronkus yang menggambarkan respon atas berbagai stimulus terhadap bronkus. 3) . Iritabilitas dan hiperaktifitas dari jalan napas, walaupun tidak terbatas hanya pada pasien asma, tampak sebagai suatu bagian intrinsik dari penyakit dan terdapat pada berbagai derajat pada hampir semua pasien asma. Manifestasi dari hiperresponsifitas tersebut berupa bronkokonstriksi jalan napas yang terjadi selama aktivitas latihan (olahraga), zat-zat rangsang, seperti sulfur dioksida, asap rokok, udara dingin, bahkan dapat KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA RSPI SULIANTI SAROSO JAKARTA PERIODE 30 MEI – 06 AGUSTUS 2011 1

REFERAT Asma Bronchiale

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gvjhvghn

Citation preview

PENDAHULUAN

asma bronchialezascha fushiany gunawan (406100062)

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1). Berbagai sel inflamasi yang berperan terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. 2)

Inflamasi jalan napas berkaitan dengan hiperaktivitas jalan napas atau hiperresponsif bronkus yang menggambarkan respon atas berbagai stimulus terhadap bronkus.3). Iritabilitas dan hiperaktifitas dari jalan napas, walaupun tidak terbatas hanya pada pasien asma, tampak sebagai suatu bagian intrinsik dari penyakit dan terdapat pada berbagai derajat pada hampir semua pasien asma. Manifestasi dari hiperresponsifitas tersebut berupa bronkokonstriksi jalan napas yang terjadi selama aktivitas latihan (olahraga), zat-zat rangsang, seperti sulfur dioksida, asap rokok, udara dingin, bahkan dapat juga akibat pemaparan yang tidak disengaja terhadap bahan bahan laboratorium, seperti terhirup histamin atau agen-agen parasimpatis. Iritabilitas jalan napas yang diperkuat ini merupakan indikator asma obyektif yang sensitif dan timbul pada berbagai tingkat pada pasien yang tidak bergejala, bebas dari tanda-tanda fisik abnormal, dan yang mampu memberikan hasil normal pada spirometri.

Hiperaktifitas jalan napas berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit secara keseluruhan. Hiperaktifitas ini bervariasi pada setiap penderita asma, namun relatif stabil selama beberapa waktu pada penderita yang sama, kecuali pada fluktuasi sementara, seperti: terjadinya kenaikan reaktifitas selama infeksi virus pada pernapasan, pasca pemaparan terhadap polusi udara dan alergen dan pasca pemberian antagonis reseptor-. Penurunan akut terhadap iritabilitas jalan napas menyertai pemberian agonis reseptor-, teofilin dan antikolinergik. Penurunan iritabilitas juga mneyertai pamberian menahun dari kromolin, nedokromil atau kortikosteroid sistemik maupun inhalasi.2)

Serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai yang berat dan mengancam kehidupan. Berbagai faktor dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma antara lain aktivitas fisik, alergen, infeksi, perubahan mendadak suhu udara atau pajanan terhadap iritan respiratorik seperti asap rokok, dan lain sebagainya. Selain itu juga berbagai faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat antara lain, umur, gender, ras, sosio-ekonomi dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi prevalens asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan, status asma dan kematian karena penyakit asma.1 Di lain pihak, walaupun banyak hal yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata hingga saat ini, secara keseluruhan asma masih merupakan misteri. Pengetahuan tentang patologi, patofisiologi, dan imunologi asma berkembang sangat pesat, khususnya untuk asma pada orang dewasa dan anak besar. Pada anak kecil dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui pasti. Selain itu bayi dan balita yang mengalami wheezing saat terkena infeksi respiratorik akut banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya. Akibat ketidakjelasan tadi, definisi asma pada anak sulit untuk dirumuskan, sehingga untuk menyusun diagnosis dan tatalaksana yang baku juga mengalami kesulitan dengan akibat adanya under / overdiagnosis maupun under / overtreatment. 1

EPIDEMIOLOGI

Asma merupakan masalah yang terus meningkat, baik di negara maju maupun negara berkembang. WHO memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia adalah penyandang asma dan diperkirakan terus bertambah sekitar 180.000 orang setiap tahun.2 Demikian juga di Indonesia, asma juga merupakan problema kesehatan masyarakat. Dari hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 didapatkan asma, bersama bronkitis kronis dan penyakit saluran napas lainnya menduduki urutan ke 5 pola kesakitan (6,4/1000 penduduk), serta urutan ke 10 penyebab kematian (27/100.000 penduduk). Sedangkan pada SKRT tahun 1992 menunjukkan asma , bronkitis kronis dan emfisema merupakan urutan ke 4 dari penyebab kematian (5,6% dari total kematian). Tahun 1995, prevalensi asma diseluruh Indonesia sebasar 13/1000.2 Jumlah penderita asma pada anak juga cenderung meningkat setiap tahun. Data Departemen Kesehatan menunjukan, pada 1995 prevalensi asma 2,1 persen. Pada 2003, prevalensinya meningkat menjadi 5,2 persen. Sedangkan hasil survei pada anak sekolah di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar pada 2001, menunjukkan prevalensi asma anak berusia 6-12 sebesar 3,7 - 16,4 persen, sedangkan pada anak SMP di Jakarta 5,8 persen. Saat ini diprediksi 25 persen penduduk Indonesia menderita asma.2

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Asma disebut juga sebagai reactive air way disease (RAD), adalah suatu penyakit obstruksi pada jalan nafas secara riversibel yang ditandai dengan bronchospasme, inflamasi dan peningkatan sekresi jalan napas terhadap berbagai stimulan. 5Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan. 2,5Pedoman Nasional Asma Anak digunakan definisi yang praktis dalam bentuk definisi operasional yaitu wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik dan/atau kronik, cenderung pada malam/dini hari, musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan. 5

II. ETIOLOGI

Ada beberapa hal yang menjadi faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronchial. Dalam hal ini faktor predisposisi adalah faktor penjamu (host factor), dan faktor presipitasi adalah faktor lingkungan (environmental factor). 5

1. Faktor penjamu, meliputi :

Genetik.

Dalam beberapa penelitian dibuktikan bahwa asma adalah penyakit yang diturunkan dan menunjukkan peningkatan prevalensi dari asma. Dalam penilitian tersebut juga didapatkan fenotip yang berkaitan dengan asma, yang dikaitkan dengan ukuran subyektif (gejala) dan obyektif (hiperaktivitas bronkus dan kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara obyektif seperti hiperaktivitas bronkus, alergi/atopik, walau kondisi tersebut disadari tidak khusus untuk asma.

Alergi(atopik).

Atopik yang dikaitkan sebagai produksi sejumlah IgE abnormal sebagai respon terhadap alergen lingkungan, yang menyebabkan peningkatan secara total atau spesifik serum IgE. Atopik menjadi faktor penjamu yang penting yang menjadi predisposisi individu berkembang menjadi asma. Risiko orang tua atopik dengan asma, nantinya akan mempunyai anak dengan asma dengan insiden yang meningkat pada keluarga dengan riwayat asma yang disertai alergi (atopik).

Hiperaktifitas bronkus.

Hiperaktivitas jalan nafas, merupakan keadaan dimana bronkus menyempit terlalu mudah dan terlalu berlebihan sebagai respon terhadap stimuli.

Ras/etnik

Ras kulit hitam menpunyai prevalensi lebih tinggi untuk terjadi asma dibandingkan dengan ras kulit putih di Amerika Serikat, namun hal ini juga dicetuskan oleh kondisi dari sosioekonomi, paparan terhadap alergen serta faktor-faktor diet, dan tidak hanya karena ras/etnik saja.

2. Faktor lingkungan, dibagi menjadi

( Faktor yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma

( Faktor yang mencetuskan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma yang menetap, diantaranya :

Alergen. Status sosioekonomi

Sensitisasi lingkungan kerja. Besarnya keluarga.

Asap rokok. Diet dan obat-obatan.

Polusi udara. Obesitas.

Infeksi pernapasan (virus). Olah raga.

Perubahan cuaca

Faktor Penjamu4

Terdapat penelitian yang membuktikan bahwa asma adalah penyakit yang diturunkan. Sejumlah penelitian menunjukkan peningkatan prevalensi dari asma. Serta fenotip yang berkaitan dengan asma, yang dikaitkan dengan ukuran subyektif (gejala) dan obyektif (hiperaktivitas bronkus dan kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara obyektif seperti hiperaktivitas bronkus, alergi/atopik, walau kondisi tersebut disadari tidak khusus untuk asma.

Atopik yang dikaitkan sebagai produksi sejumlah IgE abnormal sebagai respon terhadap alergen lingkungan, yang menyebabkan peningkatan secara total atau spesifik serum IgE. Atopik menjadi faktor penjamu yang penting yang menjadi predisposisi individu berkembang menjadi asma. Risiko orang tua atopik dengan asma, nantinya akan mempunyai anak dengan asma dengan insiden yang meningkat pada keluarga dengan riwayat asma yang disertai alergi (atopik).

Hiperaktivitas jalan nafas, merupakan keadaan dimana bronkus menyempit terlalu mudah dan terlalu berlebihan sebagai respon terhadap stimuli.

Ras kulit hitam menpunyai prevalensi lebih tinggi untuk terjadi asma dibandingkan dengan ras kulit putih di Amerika Serikat, namun hal ini juga dicetuskan oleh kondisi dari sosioekonomi, paparan terhadap alergen serta faktor-faktor diet, dan tidak hanya karena ras/etnik saja.

III. PATOGENESIS ASMA

Dulu asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul mendadak , dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.1 Sedangkan konsep terkini patogenesis asma adalah suatu proses inflamasi kronik yang melibatkan dinding bronkus yang berkembang menjadi hambatan jalan napas dan peningkatan aktifitas bronkus, yang nantinya menjadi predisposisi penyempitan bronkus sebagai respon terhadap berbagai stimuli. Tanda khas inflamasi jalan napas adalah peningkatan sejumlah sel-sel; eosinofil, sel mast, makrofag dan limfosit T pada mukosa dan lumen bronkus. Perubahan ini dapat terjadi meskipun secara klinis asma tidak bergejala.1 Pada banyak kasus terutama pada anak asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent, diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40%.1

1. Inflamasi Akut

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain : alergen, virus, zat iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat (ekstrinsik) dan lambat (intrinsik).1

Reaksi fase cepat

Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap ikatan alergen dan IgE-spesifik terutama sel mast dan makrofag. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti : histamin, proteolitik dan enzim glikolitik dan newly generated mediators seperti : leukotrien, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus, vasodilatasi dan perembesan mikrovaskular.1

Reaksi fase lambat

Fase lambat dipikirkan sebagai sistem untuk mempelajari mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selama berlangsungnya paparan alergen, aktivasi sel-sel pada saluran pernapasan menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya sel leukosit pro inflamasi terutama eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi. Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen.1

2. Inflamasi Kronik 1

Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah : limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.

Limfosit T

Yang berperan pada asma adalah limfosit T CD4+ (subtipe Th2), berperan sebagai orchestra inflamasi saluran nafas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF. IL-4 berperan dalam menginduksi sel limfosit B untuk mensintesis IgE. IL-3, IL-5 dan GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.

Eosinofil

Karakteristik untuk asma tapi tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran nafas penderita asma dalam keadaan teraktivasi. Berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin, antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil mengandung granul protein : eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase(EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.

Sel mast

Mempunyai reseptor IgE dengan afinitas tinggi. Cross-linking reseptor IgE dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated mediator (prostaglandin D2 dan leukotrien), serta mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.

Makrofag

Sel terbanyak pada organ pernapasan baik pada orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus dan menghasilkan beberapa mediator (leukotrien, PAF serta sejumlah sitokin). Selain berperan dalam proses inflamasi juga berperan pada regulasi airway remodelling. Peran tersebut melalui antara lain : sekresi growth promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-.

3. Airway Remodeling

Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Kerusakan epitel bronkus adalah akibat dilepaskannya sitokin dari sel inflamasi seperti eosinofil. Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas juga memproduksi sitokin dan kemokin seperti eotaxin, RANTES, GM-CSF dan IL-5, juga faktor pertumbuhan dan mediator lipid, sehingga mengakibatkan penumpukan kolagen di lamina propia. Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.5

Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling.5

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodelling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodelling juga komponen lainnya.1

Perubahan struktur yang terjadi :

Hipertrofi dan hiperplasi otot polos jalan napas.

Hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus.

Penebalan membran retikular basal.

Pembuluh darah meningkat.

Matriks ekstraseluller fungsinya meningkat.

Perubahan struktur parenkim.

Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Dari uraian diatas, sejauh ini airway remodelling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodelling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperaktivasi jalan napas, masalah regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.6

IV. PATOFOSIOLOGI ASMA

Obstruksi Saluran Pernapasan

Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi : obstruksi saluran pernapasan menyebabkan keterbatasan aliran udara, yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas asma: batuk, sesak dan wheezing disertai hiperaktivitas saluran pernapasan terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi. Pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma yang ditemukan. 6

Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran pernapasan adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Kontraksi otot polos saluran pernapasan diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi, remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronis otot polos pada dinding saluran pernapasan. Selain itu, hambatan saluran pernapasan juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa. 6

Hiperreaktivitas Bronkus

Hiper-reaktivitas bronkus yaitu peningkatan respons bronkus dan penurunan ambang rangsang konstriksi bronkus terhadap berbagai stimulus. Penyempitan saluran pernapasan secara berlebihan merupakan patofisiologis yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran pernapasan terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran pernapasan selama kontraksi otot polos.2

Hiper-reaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1). Provokasi atau stimulus lain seperti latihan fisik, hiperventilasi, udara kering dan aerosol garam hipertonik tidak mempunyai efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin), akan tetapi dapat merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung serabut saraf atau sel-sel lain pada saluran pernapasan. Dikatakan hiperreaktif bila cara histamin didapatkan penurunan FEV1 20% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.2

V. GEJALA KLINIS ASMA

Timbulnya eksaserbasi asma dapat secara akut atau diam-diam. Episode akut paling sering disebabkan oleh pemaparan terhadap iritan seperti udara dingin dan gas(asap) beracun atau pemaparan terhadap alergen atau bahan kimia sederhana, misalnya aspirin atau sulfit. Bila penyumbatan jalan napas terjadi dengan cepat dalam beberapa menit, biasanya disebabkan oleh spasme otot polos pada bronkus. Karena pembukaan bronkus berkurang pada malam hari, banyak anak menderita asma akut pada malam hari (nokturnal).1

Tanda-tanda dan gejala asma adalah batuk nonproduktif pada awal perjalanan serangan, wheezing(mengi), takipneu dan dispneu dengan ekspirasi panjang serta menggunakan otot-otot pernapasan tambahan, sianosis, hiperinflasi dada, takikardi dan pulsus paradoksus, yang mungkin dijumpai pada berbagai tingkat, tergantung pada stadium dan keparahan serangan. Dapat dijumpai batuk tanpa mengi, atau mengi tanpa batuk, juga dapat dijumpai takipneu tanpa mengi. Manifestasi akan bervariasi, tergantung dari keparahan eksaserbasi.5

Bila penderita berada dalam distres pernapasan yang berat, tanda-tanda utama asma, mengi, mungkin tidak mencolok, pada penderita demikian dapat terjadi gerakan udara yang cukup untuk menimbulkan mengi hanya sesudah pengobatan bronkodilator, yang memberikan sebagian kelegaan dari penyumbatan jalan napas. Napas yang pendek mungkin begitu berat, sehingga anak mengalami kesukaran berjalan atau bahkan berbicara. Penderita dengan penyumbatan berat bersikap duduk membungkuk, posisi duduk seperti tripod yang membuatnya lebih mudah bernapas. Ekspirasi (khas) lebih sukar karena penutupan prematur jalan napas ekspirasi. Sering didapat nyeri abdomen terutama pada anak yang lebih muda, dan agaknya karena penggunaan otot abdomen dan diafragma yang berlebihan. Hati dan limpa mungkin dapat teraba karena hiperinflasi paru. Sering disertai muntah dan dapat disertai pengurangan gejala sementara.5

Selama penyumbatan jalan napas yang berat, usaha yang luar biasa untuk bernapas dapat dijumpai dan anak dapat berkeringat banyak, dapat terjadi demam ringan hanya karena kerja pernapasan yang berat, kelelahan mungkin menjadi berat. Diantara serangan-serangan yang buruk anak dapat bebas gejala sama sekali dan tidak ditemui bukti adanya penyakit paru pada pemeriksaan fisik. Deformitas dada seperti tong merupakan tanda penyumbatan jalan napas asma berat yang kronis dan terus menerus.5

VI. KLASIFIKASI

Klasifikasi asma menurut konsensus internasional diklasifikasi berdasarkan etiologi, beratnya penyakit asma dan pola waktu terjadinya serangan asma. Klasifikasi ini berguna untuk diagnosis, pengobatan dan menentukan prognosis penyakit. 2,5

Klasifikasi Berdasarkan Etiologinya

1. Asma bronkial Intrinsik / non atopiKeluhan tidak ada hubungan dengan paparan terhadap alergen dan sifat-sifatnya:

a. Serangan timbul setelah dewasa.

b. Pada keluarga tidak ada yang menderita asma

c. Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan

d. Ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik.

e. Rangsangan psikis/kejiwaan mempunyai peran untuk menimbulkanserangan asma

f. Perubahan cuaca merupakan keadaan yang peka bagi penderita

2. Asma bronkial ekstrinsik /atopiKeluhan ada hubungan dengan paparan terhadap alergen lingkungan yang spesifik dan sifat-sifatnya :

a. Timbul sejak kanak-kanak.

b. Pada famili ada yang menderita asma

c. Adanya eksim pada waktu bayi

d. Sering menderita rinitis

e. Penyebabnya sering tungau, debu, tepung sari bunga

3. Asma bronkial campuran

Keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik

Klasifikasi Berdasarkan Berat Penyakit 3

Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan beratnya penyakit. Kombinasi berbagai pemeriksaan, gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk klasifikasi berdasarkan beratnya penyakit. Klasifikasi ini lebih penting untuk tujuan penatalaksanaan asma. Pada klasifikasi ini beratnya ditentukan oleh berbagai faktor yang dapat dilihat pada tabel.

Klasifikasi Berdasarkan Pola Waktu Serangan 2

Klasifikasi asma juga bisa dibuat berdasarkan pola waktu terjadi serangan yang di pantau dengan pemeriksaan APE. Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang menyebabkan gangguan aliran udara serta mempunyai dampak terhadap pengobatan. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah:

Asma Episodik Jarang

Biasanya terdapat pada anak sekitar umur 3-8 tahun. Pada umumya serangan dicetuskan oleh infeksi virus saluran napas atas dengan gejala pilek, demam ringan, sakit tenggorokan, kemudian diikuti batuk-batuk dan mengi. Jarang sampai sesak napas. Gejala lebih nyata pada malam hari. Mengi jarang ditemukan tetapi batuk dapat berlangsung 1-2 minggu. Riwayat atopi jarang ditemukan. Tumbuh kembang anak biasanya baik. Diluar serangan tidak ditemukan kelainan. Periode bebas serangan dapat sampai berbulan-bulan.

Asma Episodik Sering

Pada sebagian besar kasus serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun, dan berhubungan dengan infeksi saluran napas akut. Pada umur 5-6 tahun dapat terjadi serangan-serangan tanpa infeksi yang jelas. Biasanya orang tua menghubungkan dengan perubahan udara, adanya alergen, aktivitas fisik dan stress. Tetapi banyak juga yang tidak jelas. Umumnya gejala memburuk pada malam hari dengan batuk dan mengi yang dapat mengganggu tidurnya. Frekuensi serangan paling tinggi sekitar umur 8-13 tahun. Bila serangan sedemikian sering kadang-kadang sukar dibedakan dengan asma kronis atau persisten, dan pada pemeriksaan fisik diluar serangan ditemukan ronki dan ekspirium memanjang baik waktu istirahat maupun setelah aktivitas ringan. Bila episode bebas serangan cukup panjang, misal 1-2 minggu maka biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik.

Asma Kronis atau Persisten

Sebagian besar (75 %) kasus mendapat serangan pertama sebelum umur 3 tahun, sedangkan 25 % kasus malahan mendapat serangan pertama sebelum usia 6 bulan. Lebih separuh kasus mengalami mengi menetap pada dua tahun pertama kehidupan dan sisanya dalam bentuk episodik dan sering. Sekitar umur 5 6 tahun akan jelas terjadinya obstruksi saluran napas persisten. Pada anak hampir selalu terdapat mengi tiap hari dan malam sering disertai gangguan batuk. Aktivitas fisik sering menyebabkan mengi. Sewaktu-waktu dapat terjadi serangan berat, yang kadang-kadang memerlukan perawatan di Rumah Sakit. Gejala obstruksi saluran napas mencapai puncaknya sekitar umur 8-14 tahun setelah itu terjadi perbaikan. Walaupun demikian kira-kira 50 % kasus gejala akan menetap sampai usia dewasa, sisanya mungkin dalam bentuk mengi episodik. Jarang yang betul-betul bebas dari mengi pada masa dewasa. Biasanya didapatkan riwayat atopi baik pada penderita maupun pada keluarganya.

Pada pemeriksaan fisik terlihat kelainan bentuk dada dan gangguan pertumbuhan fisik. Kemampuan aktivitas fisiknya sangat berkurang, sering tidak dapat melakukan olah raga dan kegiatan biasanya lainnya. Akibat serangan yang terjadi sering tidak masuk sekolah sehingga prestasi belajar terganggu. Sebagian kecil dapat mengalami gangguan psikososial. Seperti telah disebutkan 80 % kasus terdiri dari anak laki-laki, kenapa hal ini demikian tidak diketahui penyebabnya.

Parameter klinis, kebutuhan obat dan faal paru

Asma episodik jarang

Asma episodik sering

Asma persisten

Frekuensi serangan

< 1x/bulan

> 1x/bulan

Sering

Lama serangan

< 1 minggu

1 minggu

Hampir sepanjang tahun, tidak ada remisi

Intensitas serangan

Biasanya ringan

Biasanya sedang

Biasanya berat

Di antara serangan

Tanpa gejala

Sering ada gejala

Gejala siang dan malam

Tidur dan aktifitas

Tidak terganggu

Sering terganggu

Sangat terganggu

Pemeriksaan fisis diluar serangan

Normal (tidak ditemukan kelainan)

Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)

Tidak pernah normal

Obat pengendali (anti inflamasi)

Tidak perlu

Perlu

Perlu

Uji faal paru

(di luar serangan)

PEF/FEV1 > 80%

PEF/FEV1 60-80%

PEF/FEV1 < 60%

Variabilitas 20-30%

Variabilitas faal paru (bila ada serangan)

Variabilitas > 15%

Variabilitas > 30%

Variabilitas > 50%

VII. DIAGNOSIS

Seperti penyakit lain pada umumnya, diagnosis asma didasarkan atas ananmesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1

Anamnesis

Anamnesis yang teliti merupakan hal yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis dan untuk mendapatkan data dasar yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam memberikan pengelolaan yang tepat. Berbagai aspek sebagai data dasar yang ditanyakan meliputi hal-hal sebagai berikut:

* Gambaran keluhan : sesak napas, napas bunyi, tanda-tanda episode berulang yang khas untuk asma, atau hanya keluhan batuk berulang saja.

* Apa faktor pencetusnya : infeksi saluran napas, berbagai alergen (inhalan atau polutan), latihan fisik atau faktor psikis.

* Bagaimana pola serangan : sering, lebih berat malam hari atau pagi hari.

* Kapan serangan pertama kali timbul

* Bagaimana perjalanan penyakitnya : makin berat, tetap atau makin ringan, berapa kali serangan dalam satu tahun terakhir

* Apakah pernah dirawat di rumah sakit

* Bagaimana pengobatan yang didapatkan sebelumnya : jenis obat, waktu pemberian, cara pemberian, ditanyakan juga tindakan lain seperti desensitisasi, latihan pernapasan, dan lain-lain.

* Adakah riwayat atopi pada penderita dan pada keluarga

Pemeriksaan Fisik

Pada anak dengan asma ringan pemeriksaan fisik diluar serangan biasanya normal, tetapi pada anak dengan asma berat dapat terjadi deformitas bentuk dada dan gangguan pertumbuhan fisik, sehingga berat badan dan tinggi badan perlu dicatat. Serangan asma dapat terjadi pelan-pelan atau mendadak. Pada serangan umumnya terdapat batuk, sesak napas, ekspirasi memanjang, mengi, juga dapat dijumpai napas cuping hidung dan sianosis. Tidak semua keadaan tersebut selalu terdapat pada setiap serangan.1

Pemeriksaan Penunjang1

Pemeriksaan rutin dan IgE

Pemeriksaan laboratorium rutin (hematologi) tidak selalu menyokong diagnosis asma. Biasanya terdapat eosinofilia pada pemeriksaan darah tepi dan sekret hidung. Juga sebaiknya dilakukan pemeriksaan IgE total dan kalau fasilitas memungkinkan dilakukan pula pemeriksaan IgE spesifik dengan Radioallergosorbent Test (RAST).

Uji kulit alergi

Uji kulit alergi perlu untuk mengetahui adanya alergen yang tidak dapat diketahui dengan pengamatan biasa. Hasil positif baru berarti apabila terdapat relevansi dengan gejala klinik. Pemeriksaan menggunakan tes tempel.

Pemeriksaan radiologi paru

Pada asma ringan tidak terdapat kelainan khas pada gambaran radiologi paru. Pada asma berat atau persisten kemungkinan terlihat gambaran hiperinflasi paru (emfisematous), atau terdapatnya komplikasi. Pemeriksaan radiologi paru dilakukan terutama untuk konfirmasi komplikasi yang terjadi dan menyingkirkan penyakit paru lainnya.

Uji faal paru

Idealnya setiap anak dengan asma dilakukan uji faal paru. Uji faal paru merupakan bukti yang paling dapat dipercaya adanya obstruksi saluran napas. Tetapi biasanya hanya dapat dilakukan pada anak usia diatas 5-6 tahun. Pemeriksaan yang paling sederhana dan mudah ialah dengan memakai flow meter dan dapat mengukur flow rate. Sedangkan yang lebih kompleks ialah dengan menggunakan spirometer yang dapat mengukur tidak saja flow rate tetapi juga FEV1, FVC, dll, yang lebih merefleksikan pengukuran saluran napas kecil.

Uji provokasi bronkus

Uji provokasi bronkus dimaksudkan untuk mengetahui adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji provokasi bronkus dapat dilaksanakan dengan:

Uji latihan fisik

Anak berlari di teadmill selama 6-8 menit, kemudian dilakukan pengukuran PFR atau FEV1 sebelum dan sesudah pengujian.

Inhalasi histamin atau metakolin

Anak menghirup larutan histamin atau metakolin dari larutan yang paling rendah sampai larutan yang paling tinggi. Dilakukan pengukuran PFR dan FEV1 sebelum dan sesudah pengujian. Konsentrasi histamin atau metakolin yang menyebabkan FEV1 turun 20% disebut PC 20. Bila PC 20 < 8 mg/ml dianggap uji provokasi positif.

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Kebanyakan anak yang menderita episode batuk dan mengi berulang menderita asma. Penyebab lain penyumbatan jalan napas adalah malformasi kongenital(sistem pernapasan, kardiovaskuler, gastrointestinal), benda asing pada jalan napas atau esofagus, bronkiolitis infeksius, kistik fibrosis, penyakit defisiensi imunologis, pneumonitis hipersensitifitas, aspergilosis bronkopulmonal alergika dan berbagai keadaan lebih jarang yang mengganggu jalan napas, termasuk tuberkulosis endobronkial, penyakit jamur dan adenoma bronkus.5

IX. PENATALAKSANAAN

Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah

Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.

Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.

Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.

Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.

Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.

Apabila tujuan ini belum tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya. Tatalaksana asma mencakup edukasi terhadap pasien dan atau keluarganya tentang penyakit asma, penghindaran terhadap faktor pencetus dan tatalaksana medikamentosanya, baik dalam memilih obat yang tepat untuk mengatasi serangan atau monitor dan pengelolaan asma jangka panjang. 1

Tatalaksana Medikamentosa

Obat asma dapat dibagi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (Reliever) dan obat pengendali (Controller). Obat pereda ada yang menyebutnya obat pelega atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan pada saat eksaserbasi atau saat gejala asma sedang timbul dan apabila serangan sudah teratasi maka obat ini dihentikan. Termasuk obat pereda asma adalah: inhalasi agonis 2 aksi cepat (terbutalin, salbutamal, orsiprenalin, fenoterol), steroid sistemik (prednison, prednisolon, metil prednisolon), inhalasi anti kolinergik (ipratropium bromid, oksitropium bromid), xantinergik aksi cepat (teofilin), agonis 2 aksi cepat oral (terbutalin, salbutamol, orsiprenalin, heksoprenalin, trimetokuinol).6

Obat pengendali asma digunakan untuk pencegahan atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan respon terhadap pengobatan. Obat-obat pengendali diberikan pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten. Termasuk obat ini adalah : inhalasi anti inflamasi non steroid (kromoglikat, nedokromil), inhalasi steroid (beklometason, budesonid, triamsionolon, flunisonid dan flutikason dipropionat), inhalasi atau oral agonis 2 aksi lambat( prokaterol, bambuterol, salmeterol, klenbuterol), golongan obat oral lepas lambat (terbutalin, salbutamol, teofilin), antihistamin (ketotifen), anti leukotrin (zafirlukas).6

Tata laksana asma dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu pada saat serangan (asma akut) dan di luar serangan (asma kronik). Di luar serangan, pemberian obat controller tergantung pada derajat asma. Pada asma episodik jarang, tidak diperlukan controller, sedangkan pada asma episodik sering dan asma persisten memerlukan obat controller. Pada saat serangan lakukan prediksi derajat serangan, kemudian di tata laksana sesuai dengan derajatnya.6

Pada serangan asma akut yang berat :

Berikan oksigen

Nebulasi dengan -agonis+ antikolinergik dengan oksigen dengan 4-6 kali pemberian.

Koreksi asidosis, dehidrasi dan gangguan elektrolit bila ada Berikan steroid intra vena secara bolus, tiap 6-8 jam

Berikan aminofilin intra vena :

Bila pasien belum mendapatkan amonifilin sebelumnya, berikan aminofilin dosis awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit

Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan separuhnya.

Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml

Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam

Bila terjadi perbaikan klinis, nebulasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan pemberian steroid dan aminofilin dapat per oral

Bila dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat -agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.

Berikut merupakan daftar obat-obat yang umum digunakan berdasarkan UKK pulmonologi PP IDAI(Pedoman Nasional Anak Asma) 2

Obat-Obat Yang Umum Digunakan

Tabel 1. : Takaran obat, cairan, dan waktu untuk nebulisasi

Cairan , Obat, Waktu

Nebulisasi jet

Nebulisasi ultrasonik

Garam faali (NaCl 0,9%)

5 ml

10 ml

-agonis/antikolinergik/steroid

Lihat tabel 2

Waktu

10-15 menit

3-5 menit

Tabel 2. : Obat untuk nebulisasi, jenis dan dosis

Nama generik

Nama dagang

Sediaan

Dosis nebulisasi

Golongan -agonis

Fenoterol

Berotec

Solution 0,1%

5-10 tetes

Salbutamol

Ventolin

Nebule 2,5 mg

1 nebule (0,1-0,15 mg/kg)

Terbutalin

Bricasma

Respule 2,5 mg

1 repsule

Golongan antikolinergik

Ipratropium bromide

Atroven

Solution 0,025%

> 6 thn : 8-20 tetes

6 thn : 4-10 tetes

Golongan steroid

Budesonide

Fluticasone

Pulmicort

Flixotide

Respule

Nebule

Tabel 3. : Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma

Steroid Oral :

Nama Generik

Nama Dagang

Sediaan

Dosis

Prednisolon

Medrol, Medixon

Lameson, Urbason

Tablet

4 mg

1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam

Prednison

Hostacortin, Pehacort, Dellacorta

Tablet

5 mg

1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam

Triamsinolon

Kenacort

Tablet

4 mg

1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam

Steroid Injeksi :

Nama Generik

Nama Dagang

Sediaan

Jalur

Dosis

M. prednisolon

suksinat

Solu-Medrol

Medixon

Vial 125 mg

Vial 500 mg

IV / IM

1-2 mg/kg

tiap 6 jam

Hidrokortison-Suksinat

Solu-Cortef

Silacort

Vial 100 mg

Vial 100 mg

IV / IM

4 mg/kgBB/x

tiap 6 jam

Deksametason

Oradexon

Kalmetason

Fortecortin

Corsona

Ampul 5 mg

Ampul 4 mg

Ampul 4 mg

Ampul 5 mg

IV / IM

0,5-1mg/kgBB bolus, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari diberikan tiap 6-8 jam

Betametason

Celestone

Ampul 4 mg

IV / IM

0,05-0,1 mg/kgBB tiap 6 jam

Table 137-2. Differential diagnosis of childhood asthma.2)

X. PROGNOSIS

Dari beberapa studi penelitian dikatakan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45-85%. Sehingga pada bayi mengi dengan ISPA, 60% asimtomatik pada umur 6 tahun. Asma mempunyai kecenderungan untuk sembuh selama pubertas, hal ini terjadi lebih cepat pada anak perempuan. Walaupun bila di bandingkan dengan laki-laki, perempuan mempunyai nilai BHR(bronchial hyperresponsiveness) yang lebih. 5

Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopi pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu diatas disertai dengan 2-3 keadaan berikut yaitu eosinofilia, rhinitis alergika dan wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu. 5

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak

fakultas kedokteran universitas tarumanagara

RSPI Sulianti Saroso jakarta

Periode 30 Mei 06 Agustus 2011 1