44
DAFTAR ISI I. Pendahuluan............................................ ....................................................... .1 II. Pembahasan............................................. ....................................................... .2 II.1 Anatomi Saluran Nafas Atas……………………………………………2 II.2 Pengelolaan Jalan Nafas………………………………………………...3 II.2.1 Pengelolaan Jalan Nafas Tanpa Alat……………………......4 II.2.2 Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat……………………...7 II.2.2.1 Pengertian Intubasi………………………………… 7 II.2.2.2 Tujuan Intubasi……………………………………..7 II.2.2.3 Indikasi & Kontraindikasi Intubasi…………………7 II.2.2.4 Kesulitan Intubasi…………………………………..8 II.2.2.5 Persiapan Intubasi………………………………….14 II.2.2.6 Cara Intubasi……………………………………….19 II.2.2.7 Ekstubasi Perioperatif……………………………...22 1

referat anestesi jadi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: referat anestesi jadi

DAFTAR ISI

I. Pendahuluan....................................................................................................1

II. Pembahasan.....................................................................................................2

II.1Anatomi Saluran Nafas Atas……………………………………………2

II.2Pengelolaan Jalan Nafas………………………………………………...3

II.2.1 Pengelolaan Jalan Nafas Tanpa Alat……………………......4

II.2.2 Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat……………………...7

II.2.2.1Pengertian Intubasi…………………………………7

II.2.2.2Tujuan Intubasi……………………………………..7

II.2.2.3Indikasi & Kontraindikasi Intubasi…………………7

II.2.2.4Kesulitan Intubasi…………………………………..8

II.2.2.5Persiapan Intubasi………………………………….14

II.2.2.6Cara Intubasi……………………………………….19

II.2.2.7Ekstubasi Perioperatif……………………………...22

II.2.2.8Komplikasi…………………………………………22

III. Penutup……………………………………………………………………..26

Daftar Pustaka

1

Page 2: referat anestesi jadi

BAB I

PENDAHULUAN

Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang dokter

anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas. Kesulitan

terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan.

Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam latihan

penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit penting untuk

dilakukan penanganan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1 – 18% pasien memiliki

anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini 0,05 – 0,35% pasien tidak dapat diintubasi

dengan baik, bahkan sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan sungkup. Jika kondisi ini

ditempatkankan pada seorang dokter yang memiliki pasien sedang sampai banyak maka

dokter tersebut akan menemui 1 – 10 pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit

untuk diintubasi. Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari

kerusakan otak sampai kematian.

Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter anestesi adalah

menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal tanpa pengaruh yang berarti

akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang

terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang

dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan nafas.

2

Page 3: referat anestesi jadi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi Saluran Nafas Atas

Napas manusia dimulai dari lubang hidung. Usaha bernapas menghantarkan udara

lewat saluran pernapasan atas dan bawah kepada alveoli paru dalam volume, tekanan,

kelembaban, suhu dan keberhasilan yang cukup untuk menjamin suatu kondisi ambilan

oksigen yang optimal, dan pada proses sebaliknya, juga menjamin proses eliminasi

karbondioksida yang optimal, yang diangkut ke alveoli lewat aliran darah. Hidung dengan

berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip katup dari jaringan erektil konka

dan septum, menghaluskan dan membentuk aliran udara, mengatur volume dan tekanan

udara yang lewat, dan menjalankan berbagai aktivitas penyesuaian udara (filtrasi,

pengaturan suhu dan kelembaban udara). Beberapa daerah hidung dimana jalan napas

menyempit dapat diibaratkan sebagai “katup”. Pada bagian vestibulum hidung, terdapat

dua penyempitan demikian. Penyempitan yang lebih anterior terletak diantara aspek

posterior kartilago lateralis superior dengan septum nasi. Tiap deviasi septum nasi pada

daerah ini sering kali makin menyempitkan jalan napas dengan akibat gejala-gejala

sumbatan jalan napas. Deviasi demikian dapat disebabkan trauma atau pertumbuhan yang

tidak teratur. Penyempitan kedua terletak pada aperture piriformis tulang. Dalam waktu

yang singkat saat udara melintasi bagian horizontal hidung yaitu sekitar 16-20 kali per

menit, udara inspirasi dihangatkan (didinginkan) mendekati suhu tubuh dan kelembaban

relatifnya dibuat mendekati 100 persen.

Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak

di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Nasofaring

meluas dari dasar tengkorak sampai batas palatum mole. Orofaring meluas dari batas

palatum mole sampai batas epiglottis, sedangkan di bawah epiglottis adalah laringofaring

atau hipofaring. Nasofaring meluas dari dasar tengkorak pada langit-langit lunak di aspek

caudal dari atlas (C1). Dari sini pada aspek caudal dari C3 terletak orofaring, yang

didepan batas adalah persimpangan antara dua pertiga anterior dan sepertiga posterior

lidah. laryngopharyng atau hipofaring bergabung pada C6 dengan esofagus. Di sana,

cricopharyngeus (serat lebih rendah inferior pembatas), berasal pada krikoid yang tulang

rawan, mengelilingi esofagus untuk membentuk sfingter atasnya.

3

Page 4: referat anestesi jadi

2.2. Pengelolaan Jalan Nafas

Pengelolaan jalan nafas ialah memastikan jalan napas terbuka. Menurut The Commite

on Trauma: American College of Surgeon tindakan paling penting untuk keberhasilan

resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan. Terdapat 2 cara untuk

mengelola jalan nafas:

2.2.1. Pengelolaan Jalan Nafas tanpa Alat

Adalah tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap

memperhatikan kontrol servikal. Terlebih dahulu pernafasan dinilai dengan cara:

L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela

iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran

L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan

F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi

penolong

Selanjutnya, tindakan pengelolaan jalan nafas yang dapat dilakukan adalah:

1. Membuka jalan nafas dengan proteksi cervical

a. Chin Lift

Dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan. Caranya

yaitu dengan menggunakan jari tengah dan telunjuk untuk memegang tulang dagu

pasien kemudian angkat.

b. Head Tilt

4

Page 5: referat anestesi jadi

Dlilakukan bila jalan nafas tertutup oleh lidah pasien, manuver ini tidak boleh

dilakukan pada pasien dengan dugaan fraktur servikal. Caranya adalah dengan

meletakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah sehingga

kepala menjadi tengadah dan penyangga leher tegang dan lidahpun terangkat ke

depan.

c. Jaw thrust

Caranya adalah dengan mendorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah

depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas

Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan

maneuver jaw thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.

Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan

teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang

disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah. Bila jalan nafas tersumbat karena

adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan

sapuan jari.

Apabila terjadi kegagalan dalam membuka nafas dengan cara ini, perlu

dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya

henti nafas (apnea). Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan

peniupan udara melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan

ada sumbatan pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich.

Tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas tambahan):

Mendengkur (snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara

mengatasi: chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring,

pemasangan pipa endotrakeal.

Berkumur (gargling), penyebab: ada cairan di daerah hipofaring. Cara

mengatasi: finger sweep, pengisapan/suction.

Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi:

cricotirotomi, trakeostomi.

5

Page 6: referat anestesi jadi

2. Membersihkan jalan nafas

Sapuan jari (finger sweep)

Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga

mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing

lainnya sehingga hembusan nafas hilang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher)

kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila

otot rahang lemas (maneuver emaresi)

Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau

dibungkus dengan sarung tangan/kassa/kain untuk membersihkan

rongga mulut dengan gerakan menyapu.

3. Mengatasi sumbatan nafas parsial

Dapat digunakan teknik manual thrust:

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich)

Manuver ini dapat dilakukan dalam posisi berdiri dan terlentang.

Caranya adalah dengan memberikan hentakan mendadak pada ulu hati (daerah

subdiafragma – abdomen). Penolong harus berdiri di belakang korban, lingkari

pinggang korban dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu

tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di

atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan

dengan tangan lainnya. Tekan kepalan tangan ke perut dengan hentakan yang

cepat ke atas. Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas.

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak

(tidak sadar)

Korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke

atas. Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu

6

Page 7: referat anestesi jadi

tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di atas pusar dan

jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan kedua diletakkan di

atas tangan pertama. Penolong menekan ke arah perut dengan

hentakan yang cepat ke arah atas.

Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada

posisi terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung

melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP).

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada yang dilakukan

sendiri

Pertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi

jalan napas. Caranya : kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu

jari pada perut di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum,

genggam kepala itu dengan kuat, beri tekanan ke atas kea rah

diafragma dengan gerakan yang cepat, jika tidk berhasil dapat

dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau

belakang kursi

Back Blow (untuk bayi)

Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak

efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada

punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang

punggung/vertebrae)

Chest Thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil)

Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada

dengan jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis

imajinasi antara kedua putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan

7

Page 8: referat anestesi jadi

terlentang, lakukanchest thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri

nafas buatan.

2.2.2. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Alat

Pengelolaan jalan nafas dengan alat yang paling sering digunakan saat ini adalah

dengan menggunakan teknik intubasi.

2.2.2.1. Pengertian Intubasi

Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut

atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal)

dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan

pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan

cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara

pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan

memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing

sebelum laryngoscopy.

2.2.2.2. Tujuan Intubasi

Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :

a. Mempermudah pemberian anesthesia.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan

kelancaran pernapasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak

sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).

d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut 7

2.2.2.3. Indikasi dan kontraindikasi Intubasi

Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan

saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,

meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan

8

Page 9: referat anestesi jadi

keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang

tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin

fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai

posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan

sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas. Perawatan kritis:

mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi terhadap aspirasi paru,

kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal. Kontraindikasi

intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi

tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani

operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter

maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil

oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi

nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena

peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini

bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal.

Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan

penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk

penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti

aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa

nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis,

polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.

Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit dilakukan

intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan intubasi), diduga

adanya kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi, menghindari

ekstensi leher (insufisiensi arteri vertebra, leher yang tidak stabil), resiko tinggi

kerusakan gigi (gigi goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar.2

2.2.2.4. Kesulitan Intubasi

Selama anestesi, angka terjadinya kesulitan intubasi berkisar 3-18%.Kesulitan

dalam intubasi ini berhubungan dengan komplikasi yang serius, terutama bila intubasi

tersebut gagal. Hal ini merupakan salah satu kegawatdaruratan yang akan ditemui oleh

dokter anestesi. Apabila anestetis dapat memprediksi pasien yang kemungkinan sulit

untuk diintubasi, hal ini mungkin dapat mengurangi resiko anestesi yang lebih besar.

9

Page 10: referat anestesi jadi

Salah satu klasifikasi yang luas digunakan adalah klasifikasi oleh Cormack-Lehane

yang menggambarkan laring bila dilihat dengan laringoskopi.

Gambar. Klasifikasi tampilan pada laringoskopi.Kelas I pita suara terlihat,

kelas II pita suara terlihat sebagian, kelas ii hanya terlihat epiglotis, dan kelas IV

epiglotis tidak terlihat.

Mallampati merupakan tes skrining simpel yang luas digunakan sekarang.

Pasien duduk di depan anestetis dan membuka mulutnya lebar. Secara klinis, tingkat 1

memprediksi intubasi yang mudah dan tingkat 3 atau 4 mengesankan pasien akan sulit

diintubasi. Hasil dari tes ini dipengaruhi oleh kemampuan membuka mulut, ukuran

dan mobilitas lidah dan struktur intra-oral lainnya, serta pergerakan craniocervical

junction.

Thyromental distance diukur dari thyroid notch ujung rahang dengan kepala yang

diekstensikan.Jarak normal adalah 6,5 cm atau lebih dan ini juga tergantung anatomi

termasuk posisi laring.Bila jaraknya kurang dari 6 cm maka intubasi tidak

memungkinkan.

Sternomental distance diukur dari sternum sampai ujung mandibula dengan kepala

ekstensi dan ini dipengaruhi oleh ekstensi leher. Jarak sternomental 12,5 cm atau

kurang diperkirakan akan sulit untuk diintubasi.

10

Page 11: referat anestesi jadi

Extension at the atlanto-axial joint dilakukan dengan menyuruh pasien untuk

memfleksikan leher mereka dengan menengadahkan dan menundukkan

kepala.Penurunan gerakan sendi ini berhubungan dengan kesulitan intubasi.

Protrusion of the mandible merupakan gambaran mobilitas dari mandibula.Bila

pasien dapat menonjolka gigi bawah, intubasi biasanya mudah.

Beberapa penelitian mencoba memprediksi kesulitan intubasi dengan melihat

anatpomi mandibula dengan sinar X. Hal ini menunjukkan kedalaman mandibula,

namun hal ini tidak umum dilakukan sebagai tes skrining

Tahun 1993, American Society of Anesthesiologists (ASA) menuliskan

algoritma American Society of Anesthesiologists Difficulty Airway.Langkah pertama

dari algoritma ini meliputi penilaian kesulitan intubasi menggunakan laringoskop.

Tiga gambaran yang dilaporkan berhubungan dengan laringoskopi yang sulit meliputi

ukuran lidah dalam faring (Mallampati), keterbatasan mobilitas leher, dan jarak

thyromental yang pendek.

Karaketristik fisik yang berhubungan kesulitan intubasi meliputi obesitas,

pergerakan kepala dan leher, pergerakan rahang, mandibula, gigi tonggos, nilai

Mallampati, karakteristik maksilaris, laki-lai, usia 40-59, penurunan dalam membuka

mulut, pendeknya jarak thyromental, dan leher pendek.

Pelatihan manajemen nasional kegawatdaruratan jalan nafas US

mencanangkan metode LEMON. Sistem penilaian ini meliputi sebagian besar

karakteristik yang disebutkan sebelumnya dan diadaptasi untuk digunakan pada ruang

resusitasi.

L= Look externally

Lihat pasien keseluruhan luar untuk mengetahui penyebab kesulitan

laringoskopi, intubasi, atau ventilasi. Yang biasanya dilihat adalah bentuk wajah

abnormal (subjektif), gigi seri yang lebar/menonjol, gigi palsu (sulit dinilai)

E= Evaluate the 3-3-2 rule

Hubungan faring, laring dan oral berhubungan dengan intubasi. Jarak antara

gigi seri pasien sekurangnya 3 jari (3), jarak antara tulang hyoid dan dagu

11

Page 12: referat anestesi jadi

sekurangnya 3 jari (3), dan jarak antara thyroid notch dan dasar mulut sekurangnya 2

jari (2).

Gambar 2. 1 jarak antar gigi seri dalam jari, 2 jarak hyoidmental dalam jari, dan 3 jarak

thyroid ke dasar mulut dalam jari

M= Mallampati

O= Obstruction

Beberapa kondisi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang membuat

sulitnya laringoskopi dan ventilasi.Selain keadaan epiglotis, adanya abses peritonsiler

dan trauma.

N= Neck mobility

Ini merupakan hal yang vital dalam keberhasilan intubasi.Hal ini dapat dinilai

mudah dengan menyuruh pasien menundukkan kepala dan kemudian

menengadahkannya. Pasien dengan imobilisasi leher lebih sulit diintubasi

Cara penilaian LEMON dapat dilihat dalam tabel berikut, dengan nilai

maksimal 10 (1 point ditambahkan bila nilai Mallampati 3 atau lebih) dan minimal

adalah nol.

12

Page 13: referat anestesi jadi

Pasien dengan gigi seri yang lebar mengurangi pembukaan mulut, kurangnya

jarak antara thyroid dan dasar mulut menghasilkan penglihatan yang kurang dari

laringoskopi.Pasien dengan kurangnya jarak hyoid dan dagu, obstruksi jalan nafas,

dan kurangnya mobilitas leher mempunyai pengaruh dalm penglihatan yang kurang

pula walaupun faktor tersebut tidak signifikan.

Selama kunjungan pre-anestesi, ahli anestesi dapat memperkirakan resiko

kesulitan dalam intubasi, untuk mengantisipasi manajemen jalan nafas yang sulit

meliputi peralatan jalan nafas ‘alternatif’.Deteksi pre-operasi pasien ada tidaknya

resiko kesulitan intubasi adalah langkah awal dalam manajemen jalan nafas.

13

Page 14: referat anestesi jadi

Klasifikasi IDS

Skala kesulitan intubasi (IDS) diajukan pada tahun 1997 sebagai karakteristik

dan standarisasi dalam intubasi endotrakeal dan secara objektif memberi keseragaman

pendekatan untuk membandingkan penelitian yang berhubungan dengan kesulitan

intubasi dan dengan tujuan menetapkan nilai relatif faktor resiko dalam kesulitan

intubasi. Sejak itu IDS > 5 digunakan untuk definiso intubasi sulit pada populasi yang

berbeda, seperti Combes et al untuk menentukan faktor prediksi jalan nafas sulit pada

keadaan prehospital, Amathieu et al untuk menilai faktor resiko intubasi sulit dalam

pembedahan thyroid, dan Gonzalez et al untuk mengevaluasi faktor resiko intubasi

sulit pada pasien yang obesitas.

Evaluasi jalan nafas untuk setiap pasien meliputi klasifikasi Mallampati

modifikasi tanpa fonasi, jarak thyromental, pergerakan kepala dan leher, lebarnya

membuka mulut, ada tidaknya gigi tonggoss, dan resesi mandibula. Pengukuran BB

dan TB serta perhitungan BMI. Pencatatan umur, jenis kelamin, status fisik ASA,

jenis pembedahan dan komorbiditas.Mallampati 3-4 diprediksikan sulit dalam

intubasi pada pasien obesitas. Nilai IDS ditemukan lebih tinggi pada pasien obesitas :

sedikitnya glotis yang terlihat, meningkatnya kekuatan mengangkat selama

14

Page 15: referat anestesi jadi

laringoskopi, dan perlunya bantuan tekanan eksternal untuk meningkatkan pandangan

glotis (N4, N5, N6).

Selain itu, payudara besar, leher pendek. Lidah lebar, laring yang tinggi dan

anterior, restriksi dalam membuka mulut, dan terbatasnya flexi-ekstensi vertebra

servikal dan atlantooccipital mempunyai kontribusi dalam kesulitan intubasi.23, 24

Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal biasanya

dijumpai pada pasien-pasien dengan:

a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.

b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak

antaramental  symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar

memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.

c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi

d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).

e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi

temporomandibuler, spondilitis servical spine.

f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi

kepala pada leher di sendi atlantooccipital.

g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi

leher.

Beberapa pasien memerlukan evaluasi berhubungan dengan kesulitan intubasi

dan komplikasi. Beberapa individu memiliki jalan nafas yang tidak sesuai, dengan

pembatasan pergerakan leher atau rahang, adanya tumor, adanya pembengkakan

akibat luka atau alergi, abnormalitas perkembangan rahang, tebalnya jaringan lemak

wajah dan leher.

Ketika melihat riwayat pasien, tanyakan dan lihat gejala atau tanda, seperti

kesulitan berbicara atau bernafas; hal ini memperkirakan adanya obstruksi pada jalan

nafas atas, laring, atau cabang trakeobronkial. Adanya riwayat operasi sebelumnya,

trauma, terapi radiaso atau tumor di daerah kepala, leher, dan dada atas yang

berpotensial menyulitkan intubasi.

2.2.2.5 Persiapan intubasi

Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan memposisikan

pasien.ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di tes

15

Page 16: referat anestesi jadi

terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet sebaiknya

dimasukkan ke ETT.Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala

pasien harus sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah

ketegangan pinggang selama laringoskopi.Persiapan untuk induksi dan intubasi juga

melibatkan preoksigenasi rutin.Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan

oksigen 100 %.

Persiapan alat untuk intubasi antara lain :

STATICS

Scope

Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop.

Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop

untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake

dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:

a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.

b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi

adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas

terlihat.

Gambar Laringoscope

Tube

Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa

trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat

dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam

ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan

dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk

16

Page 17: referat anestesi jadi

penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti

huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak

menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan

kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak

kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.19

Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau

melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan

bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena

terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun

penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur

basis kranii.

Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.

Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai

Bibir

Prematur 2,0-2,5 10 10 cm

Neonatus 2,5-3,5 12 11cm

1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm

½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm

1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm

4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm

6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm

8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm

10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm

12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm

Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm

Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm

*Tersedia dengan atau tanpa kaf

Tabel Pipa Trakea dan peruntukannya (Endotracheal Tube (Breathing Tube))

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:

Diameter dalam pipa trakea (mm)                               = 4,0 + ¼ umur (tahun)

Panjang pipa orotrakeal (cm)                                      = 12 + ½ umur (tahun)

Panjang pipa nasotrakeal (cm)                                    = 12 + ½ umur (tahun)

17

Page 18: referat anestesi jadi

 Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,

mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,

oksigenasi dan pengisapan.

Gambar  Pipa endotrakeal

Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea

disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa

endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat

melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea

berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin

sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama

adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang

kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah

aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila

intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak

berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga

disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan

laringoskop serat optic.

Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai

pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi

pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya

tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan

balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon

(yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas)

atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik

yang tidak iritasif. 

Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi

dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).

18

Page 19: referat anestesi jadi

Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya

dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari

ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis

subglotis.

Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya

perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika

ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi

pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang mungkin

merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika

trakeotomi dilakukan lebih dini

Size PLAIN Size CUFFED

2,5 mm 4,5 mm

3,0 mm 5,0 mm

3,5 mm 5,5 mm

4,0 mm 6,0 mm

4,5 mm 6,5 mm

5,0 mm 7,0 mm

5,5 mm 7,5 mm

Tabel Ukuran Pipa Endotrakeal

Airway

Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan

napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-

faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat

pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

Tape

19

Page 20: referat anestesi jadi

Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak

terdorong atau tercabut.

Introducer

Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang

dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya

pipa trakea mudah dimasukkan.

Gambar Stylet

Connector

Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag

valve mask ataupun peralatan anesthesia.

Suction

Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan

lainnya.

Gambar Alat-alat Intubasi Endotrakeal

2.2.2.6 Cara Intubasi

Intubasi Endotrakeal

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop

dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan

lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga

20

Page 21: referat anestesi jadi

mulut. Gagang diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring

serta epiglotis.

Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat

sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf

V. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan

melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu,

sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior

sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet

dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa

balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun

laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,

dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri

sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi

intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa suara

nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara

wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada

ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru

sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium

atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),

kadang‐kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak

semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali

setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

21

Page 22: referat anestesi jadi

 

 

Gambar Auskultasi Suara Napas Setelah Dilakukan Intubasi

Intubasi yang gagal tidak harus dilakukan berulang-ulang dengan cara

yang sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan

keberhasilan, seperti reposisi pasien, mengurangi ukuran tabung, menambahkan

stylet, memilih pisau yang berbeda, mencoba jalur lewat hidung, atau meminta

bantuan dari ahli anestesi lain. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan

masker, bentuk alternatif manajemen saluran napas lain (misalnya, LMA,

Combitube, cricothyrotomy dengan jet ventilasi, trakeostomi) harus segera

dilakukan.

Intubasi Nasotrakeal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat

hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang

hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas

lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan

pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar,

lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.

NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan

ke dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari

turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal

dari NTT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan

hingga ujungnya terlihat di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat

dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat

diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar

22

Page 23: referat anestesi jadi

tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada

pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke

intrakranial.

2.2.2.7. Ekstubasi Perioperatif

Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu

pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan. Sesaat

setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai penilaian apakan

pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang mungkin

menjadi komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan pada

central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien sadar betul atau

pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan dalam keadaan

setengah sadar ditakutkan adanya vagal refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera

hentikan obat-obat anastesi hipnotik maka pasien berangsu-angsur akan sadar.

Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan,

gerak dinding dada, bahkan sampai kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan

pasien sudah bernafas spontan dengan jalan nafas yang lapang dan saat inspirasi

maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot dalam

jumlah yang cukup banyak, dan setelahnya pasien menggunakan alat untuk

memastikan jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan

disertai pula dengan triple airway manuver standar.

Syarat-syarat ekstubasi :

1. Vital capacity 6 – 8 ml/kg BB.

2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.

3. PaO2 diatas 80 mm Hg.

4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil.

5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.

6. Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.

2.2.2.8. Komplikasi

Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik

anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang

cepat, sederhana, aman dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan

23

Page 24: referat anestesi jadi

dari tatalaksana jalan napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap

paten, menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama

dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.

Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal

dapat dibagi menjadi :

Faktor pasien

1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena

memiliki laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema

pada jalan napas.

2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.

3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat

menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung

mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.

4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.

Faktor yang berhubungan dengan anestesia

1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi

krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya

komplikasi selama tatalaksana jalan napas.

2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan

pasien dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam

intubasi.

Faktor yang berhubungan dengan peralatan

1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan

yang maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan

yang terjadi pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi

pemakaian tube tersebut.

2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya

trauma.

3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.

4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan

toksik berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.

24

Page 25: referat anestesi jadi

5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan

tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di

bagian yang tidak tepat.

Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan

ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan

melakukan intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah

tidak dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena

proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau

hipoksia otak.

Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika

dalam keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation

(CVCI).

Tabel Komplikasi pada ETT

25

Page 26: referat anestesi jadi

26

Komplikasi pada ETT

Saat Intubasi Saat ETT Sudah Digunakan

Kegagalan intubasi Tension pneumotoraks

Cedera korda spinalis dan kolumna

vertebralis

Aspirasi pulmoner

Oklusi arteri sentral pada retina dan

kebutaan

Obstruksi jalan napas

Abrasi kornea Diskoneksi

Trauma pada bibir, gigi, lidah dan

hidung

Tube trakeal

Refleks autonom yang berbahaya Pemakaian yang tidak nyaman

Hipertensi, takikardia, bradikardia dan

aritmia

Peletakan yang lemah

Peningkatan tekanan intrakranial dan

intraocular

ETT yang tertelan

Laringospasme

Bronkospasme

Trauma laring

Avulsi, fraktur dan dislokasi

arytenoids

Perforasi jalan napas

Trauma nasal, retrofaringeal, faringeal,

uvula, laringeal, trakea, esofageal dan

bronkus

Intubasi esophageal

Intubasi bronchial

Selama Ekstubasi Setelah Intubasi

Kesulitan ekstubasi Suara mendengkur

Kesulitan melepas kaf Edema laring

Terjadi sutura ETT ke trakea atau

bronkus

Suara serak

Edema laring Cedera saraf

Aspirasi oral atau isi gaster Ulkus pada permukaan laring

Granuloma laring

Jaringan granulasi pada glotis dan

subglotis

Sinekiae laring

Paralisis dan aspirasi korda vokal

Membran laringotrakeal

Komplikasi pada ETT

Saat Intubasi Saat ETT Sudah Digunakan

Page 27: referat anestesi jadi

BAB III

PENUTUP

Airway merupakan komponen terpenting dalam menjaga keadaan vital pasien,

sehingga dalam keadaaan gawat darurat komponen inilah yang pertama kali

dipertahankan. Pengelolaan jalan nafas ialah memastikan jalan napas terbuka,

sementara itu, tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera

melapangkan saluran pernapasan. Terdapat 2 cara untuk mengelola jalan nafas, yaitu:

- Pengelolaan jalan nafas tanpa alat

Adalah tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap

memperhatikan kontrol servikal. Terlebih dahulu pernafasan dinilai dengan cara

look, listen, and feel. Selanjutnya, tindakan yang dapat dilakukan adalah:

1. Membuka jalan nafas dengan proteksi servikal dengan cara chin lift, head tilt,

maupun jaw thrust.

2. Membersihkan jalan nafas dengan sapuan jari (finger sweep)

3. Mengatasi sumbatan nafas parsial dengan teknik manual, yaitu dengan

abdominal thrust (manuver Heimlich), back blow (untuk bayi), chest thrust

(untuk bayi, anak yang gemuk, dan wanita hamil)

Adapun tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas

tambahan), yaitu:

o Mendengkur (snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara

mengatasi: chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring,

pemasangan pipa endotrakeal.

o Berkumur (gargling), penyebab: ada cairan di daerah hipofaring. Cara

mengatasi: finger sweep, pengisapan/suction.

o Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi:

cricotirotomi, trakeostomi.

- Pengelolaan jalan nafas dengan alat

Yaitu dengan teknik intubasi, yaitu memasukan pipa ke dalam rongga tubuh

melalui mulut atau hidung. Dengan berbagai indikasi dan kontraindikasi yang

dimiliki, intubasi sendiri memiliki kesulitan yang dapat dinilai dengan scoring

mallampati.

27

Page 28: referat anestesi jadi

Pelatihan manajemen nasional kegawatdaruratan jalan nafas US

mencanangkan metode LEMON, yaitu:

L= Look externally

E= Evaluate the 3-3-2 rule

M= Mallampati

O= Obstruction

N= Neck mobility

Sistem penilaian ini meliputi sebagian besar karakteristik yang disebutkan

sebelumnya dan diadaptasi untuk digunakan pada ruang resusitasi.

Disamping itu, skala kesulitan intubasi (IDS) diajukan pada tahun 1997

sebagai karakteristik dan standarisasi dalam intubasi endotrakeal dan secara objektif

memberi keseragaman pendekatan untuk membandingkan penelitian yang

berhubungan dengan kesulitan intubasi dan dengan tujuan menetapkan nilai relatif

faktor resiko dalam kesulitan intubasi.

Oleh karena pentingnya teknik intubasi dalam mengelola jalan nafas,

diharapkan setiap dokter mampu untuk melakukan intubasi dan menguasai indikasi

serta kontraindikasi untuk memperkecil kemungkinan terjadinya komplikasi dari

intubasi itu sendiri.

28

Page 29: referat anestesi jadi

DAFTAR PUSTAKA

Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6 . Penerbit

BukuKedokteran EGC. Jakarta 1997

Longnecker D, Brwon D, Newman M, Zapol W. Anesthesiology. USA. The

McGraw-Hill Companies. 2008

Dorland,Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29, Jakarta:EGC,1765.

Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, BagianAnestesio

logi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta, 2002, Hal :253-256.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan GE, Mikhai

l MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. USA, McGraw‐Hill Comp

anies, Inc.2006, p. 98‐06.

Gail Hendrickson, RN, BS., (2002), Intubation,

http://www.health.discovery.com/diseasesandcond/encyclopedia/1219.html3)

Gisele de Azevedo Prazeres,MD., (2002), Orotracheal Intubation,

http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html

Greenberg MS, Glick M. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment. 10th ed.

Ontario: BC Decker Inc, 2003: 94,126, 612

Samsoon GLT, Young JRB. Difficult tracheal intubation: A retrospective study.

Anaesthesia. 1987;42:487-490

Wilson ME, Speigelhalter D, Robertson JA, et al. Predicting difficult intubation. Br J

Anaesth. 1988;61:211-216

Endotracheal Tube (Breathing Tube). Available at: http://www.suru.com/endo.htm.

Accessed: 8th July 2012

Friedland DR, et all. Bacterial Colonization of Endotracheal Tubes in Intubated

Neonatal in Arch Otolaringol Head and Neck Surg 2001;127:525-528. Available at:

http://www.archoto.com. Accessed: 8th July 2012

Gregory GA, Riazi J. Classification and assessment of the difficult pediatric airway.

Anesth Clin North Am. 1998;16:729-741

Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk Praktis

Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI: Jakarta.

29

Page 30: referat anestesi jadi

Safar P. Cardiopulmonary Ressucitation. W.B. Saunders. Canada.1981

Wilson IH, Kopf A. Prediction and Management of Difficullt Tracheal Intubation.

Update in Anaesthesia 1998, 37-45

Levitan RM, Everett WW, Ochroch EA. Limitations of Difficult Airway Prediction in

Patients Intubated in the Emergency Department. Ann Emerg Med. 2004;44:307-313.

Reed MJ, Dunn MJG, McKeown DW. Can an airway assessment score predict

difficulty at intubation in the emergency department?. Emerg Med J 2005;22:99–102

Hermitea JL, Nouvellona E, Cuvillona P, Fabbro-Peraya P, Langerond O, Riparta J.

The Simplified Predictive Intubation Difficulty Score: a new weighted score for

difficult airway assessment. Eur J Anaesthesiol 2009, 26:1003–1009

Lavi R, Segal D, Ziser A. Predicting difficult airways using the intubation difficulty

scale: a study comparing obese and non-obese patients. Journal of Clinical Anesthesia

2009, 21; 264–267

Gupta AK, Ommid M, Nengroo S, Naqash I, Mehta A. Predictors of Difficult

Intubation : Study in Kashmiri Population.BMPJ 2010;3(1):307

Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis Anastesiologi.Edisi

Kedua.Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta : FKUI.

Mangku, Gde dan Senapathi, Tjokorda GA. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan

Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta

Mansjoer, Arif dkk. 2005. Intubasi Trakea, Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi

Ketiga Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius

Miller, Stone DJ, Gal TJ. Airway Management. 2000; 1414-51

30