53
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan petunjuk-Nya saya dapat menyelesaikan referat berjudul anestesi umum ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW semoga rahmat dan hidayah-Nya selalu tercurah kepada kita. Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepanitraan klinik di bagian Anestesi RSUD Arjawinangun. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Uus Rustandi, Sp.An dan dr. Ruby Satya Nugraha, Sp.An, M Kes selaku dokter pembimbing dalam kepanitraan klinik Anestesi ini dan rekan-rekan koas yang ikut membantu memberikan semangat dan dukungan moril. Saya menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat 1

Referat Anestesi Airway management

Embed Size (px)

DESCRIPTION

airway management

Citation preview

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan petunjuk-Nya saya dapat menyelesaikan referat berjudul anestesi umum ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW semoga rahmat dan hidayah-Nya selalu tercurah kepada kita.

Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepanitraan klinik di bagian Anestesi RSUD Arjawinangun. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Uus Rustandi, Sp.An dan dr. Ruby Satya Nugraha, Sp.An, M Kes selaku dokter pembimbing dalam kepanitraan klinik Anestesi ini dan rekan-rekan koas yang ikut membantu memberikan semangat dan dukungan moril.

Saya menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang Anestesi khususnya dan bidang kedokteran yang lain pada umumnya.

Arjawinagun, Februari 2015Penulis

BAB I

PENDAHULUANPengelolaan jalan nafas adalah memastikan jalan napas tetap terbuka. Hal ini menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik.

Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal(Guyton, 2007 dan Abhgie, 2009). Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. Tulisan ini akan membahas tentang pengelolaan jalan nafas (airway management) dan kesulitan dalam jalan napas (difficult airway) dan penanganannya . BAB IITINJAUAN PUSTAKA1. AIR WAY MANAGEMENT

2. DEFINISI

Airway Management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka. Tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan. yaitu dengan cara Triple airway maneuver.

Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu:

3. Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah leher, sedangkan tangan yang lain pada dahi. Leher diangkat dengan satu tangan dan kepala ditengadahkan ke belakang oleh tangan yang lain

4. Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah obtruksi hipofaring oleh dasar lidah. Kedua gerakan ini meregangkan jaringan antara larings dan rahang bawah.

5. Menarik / mengangkat dasar lidah dari dinding pharyinx posterior.

1.2 Anatomi Jalan Napas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 5-1). Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior.

Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar 5-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme (Morgan, 2006).

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 5-3). Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V3] saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea (Morgan, 2006).Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf laringeal superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh saraf laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara, seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama (Morgan,2006).2.3 Indikasi Bantuan Jalan Napas

6. Obstruksi jalan napas

7. Sumbatan di atas laring

8. Lidah yang jatuh ke hipofaring:

9. Pasien tidak sadar atau dalam keadaan anastesi posisi terlentang. Pada pasien tidak sadar, tonus otot penyangga lidah menurun sehingga lidah jatuh ke arah posterior dan menempel pada dinding posterior faring dan menyebabkan obstruksi jalan nafas baik total atau parsial. Terutama pada pasien gemuk, leher pendek, lidah besar pada bayi.

10. Benda asing

11. Lendir

12. Bekuan darah

13. Gigi palsu yang terlepas

14. Muntahan

15. Makanan

16. Penyakit infeksi atau tumor jalan nafas bagian atas

17. Pembesaran tonsil

18. Polip pada rongga hidung

19. Tumor rongga mulut dan dasar lidah

20. Trauma di daerah muka

21. Trauma kepala yang mengenai daerah maksilo-fasial, yang dapat merusak anatomi regio tersebut sehingga mengganggu pasase udara melalui jalan napas atas

22. Sumbatan pada laring

23. Benda asing menyumbat rima glottis

24. Reaksi alergi anafilaktik

25. Tumor laring

26. Trauma laring

27. Paralisis pita suara

28. Spasme laring,yaitu karena pita suara menutup sebagian atau seluruhnya. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh anastesi ringan dan mendapat rangasangan sekitar faring. Terapi yang dapat diberikan :

29. Triple Airway Maneuver

30. Ventilasi positif dengan oksigen 10 %

31. Bila tidak perbaikan diberikan pelumpuh otot suksinil 0,5 mg/kg iv, im deltoid, sublingual 2-4 mg/kg.

32. Sumbatan di bawah laring

33. Tumor mendesak trakea

34. Benda asing bronkus

35. Spasme bronkustumor bronkus

Tanda- tanda obstruksi jalan nafas

36. Stridor (mendengkur)

37. Pernafasan cuping hidung

38. Retraksi trakea

39. Retraksi torak (Latief, 2009).

2. Henti nafas : depresi pusat nafas, kelumpuhan otot pernafasan

3. Pembedahan: durasi lama, posisi khusus

4. Pencegahan terhadap regurgitasi dan aspirasi 5. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi: saat resusitasi 6. Tak terasa ada udara ekspirasi (latief, 2009). 2.4 Pengelolaan Jalan Nafas Tanpa Alat1) Membuka jalan nafas dengan metode :- Head Tilt (dorong kepala ke belakang)

- Chin Lift Manuver (perasat angkat dahu)

- Jaw Thrust Manuver (perasat tolak rahang)

Gambar 4. Teknik Jaw Thrust

Pada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya dilakukan Jaw Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.

2) Membersihkan jalan nafas

- Finger Sweep (sapuan jari)

Gambar 5. Finger Sweep

Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya) dan hembusan napas hilang.- Abdominal Thrust (Gentakan Abdomen)

Gambar 6. Abdominal Thrust- Chest Thrust (Pijatan Dada)

Gambar 7. Chest Thrust pada bayi

- Back Blow (Tepukan Pada Punggung)

Gambar 8. Back Blow pada bayi2.5Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat1. Faringeal airway

Jika manuver triple airway kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-faring lewat mulut dengan Oropharyngeal airway atau jalan napas hidung-faring lewat hidung denganNasopharyngeal airway.

Nasopharyngeal airway (NPA) : berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari bahan karet lateks lembut. Pemasangan harus hati-hati dan menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi dengan jelly.

Oropharyngeal airway (OPA) : Berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C berlubang ditengahnya dengna salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau pasien menggigit, lubang tetap paten, sehingga aliran udara tetap terjamin. OPA juga dipasang bersama pipa trakea atau sungkup laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut dari gigitan (Latief, 2009).

2. Face mask

Fase mask (sungkup muka) yaitu untuk mengantar udara/gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, ukuran 02,01,1 untuk anak kecil, ukuran 2 dan 3 untuk anak besar dan ukuran 4 dan 5 untuk dewasa (Latief,2009).

3. Laringeal mask airwayLaringeal mask airway (sungkup laring) adalah alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea.Dikenal dua macam sungkup laring :

40. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas

41. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus (Latief, 2009).

UkuranUsiaBerat (kg)

1.0

1.3

2.0

2.3

3.0

4.0

5.0Neonatus

Bayi

Anak Kecil

Anak

Dewasa kecil

Dewasa normal

Dewasa besar< 3

3-10

10-20

20-30

30-40

40-60

>60

Tabel 1. Ukuran LMA

1. Endotracheal tube

Endotracheal tube yaitu mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam milimeter. Karena penumpang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah usia 5 tahun hampir bulat, sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak digunakan tanpa cuff dan untuk dewasa dengan cuff supaya tidak bocor.

Endotracheal tube dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung ( nasotracheal tube) (Latief, 2009).

2. Laringoskop dan Intubasi

Laringoskop ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukan pipa trakea dengan baik dan benar

Intubasi

Intubasi adalah memasukan suatu lubang atau pipa trakea melalui mulut ataupun hidung menuju trakhea dengan tujuan untuk menjaga jalan napas (Latief, 2009).

Indikasi Intubasi Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia inguinal dan lain lain Indikasi dibagi menjadi :

42. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun

Kelainan anatomis, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas dan lain-lain.

43. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.

44. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi (Latief, 2009).

Persiapan Intubasi

Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien. TT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat ditest dengan menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pilih TT dengan ukuran yang sesuai. Laringoskop harus diperiksa, blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun bola lampu bergoyang.

Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi dengan menempatkan kepala diatas bantal (Morgan, 2006).Intubasi Orotrakeal

Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Ujung dari blade melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis.Handle diangkat menjauhi pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade serta pengungkitan dari gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon TT harus berada dalam trakea bagian atas tapi dibawah laring. Langingoskop ditarik dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan agar tidak ada kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat (Morgan, 2006).

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan capnograf dimonitor untuk memastikan TT ada di intratrakeal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakea, cabut lagi TT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, jika sudah yakin, pipa dapat diplester atau diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan capnograf merupakan konfirmasi terbaik untuk menentukan letak TT di trakea, kita tetap tidak dapat mengabaikan terjadinya intubasi bronkial. Manifestasi dini dari intubasi bronkial adalah peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago krikoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU (Morgan, 2006).Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu, dalam kasus terakhir, sedasi intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam orofaring, regional blok saraf akan memperbaiki penerimaan pasien.

Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan intubasi kembali karena hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan, seperti mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan mandrin, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau meminta bantuan dokter anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face mask, pilihan pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh LMA, combitube, krikotirotomi dengan jet ventilasi, trakeostomi). Petunjuk yang dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk algoritma rencana terapi (Morgan, 2006).Intubasi NasotrakealIntubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi, pemberian tetes hidung phenyleprine yang berlebihan dapat menimbulkan hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air, dimasukkan dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel TT disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari TT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring, dengan laringoskop, digunakan untuk adduksi pita suara. Seringnya ujung distal dari TT dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan memasukkan ujung pipa menuju pita suara mungkin difasilitasi dengan forcep Magil, yang dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon (Morgan, 2006).

Komplikasi Intubasi

45. Selama intubasi:

46. Trauma gigi-geligi

47. Laserasi bibir, gusi, laring

48. Merangsang saraf simpatis (hipersekresi dan takikardia)

49. Intubasi bronkus

50. Intubasi esofagus

51. Aspirasi

52. Spasme bronkus

53. Setelah ekstubasi

54. Spasme laring

55. Aspirasi

56. Gangguan fonasi

57. Edema glotis-subglotis

58. Infeksi laring, faring trakea (Latief,2009). 2.5.6Penghisapan Benda Cair (Suctioning)Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair maka dilakukan penghisapan (suctioning). Penghisapan dilakukan dengan menggunakan alat bantu pengisap (penghisap manual portabel, pengisap dengan sumber listrik).

Gambar 9. Teknik Suction

Membersihkan benda asing padat dalam jalan napas: Bila pasien tidak sadar dan terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring yang tidak mungkin diambil dengan sapuan jari, maka digunakan alat bantuan berupa laringoskop, alat penghisap (suction) dan alat penjepit (forceps) (Morgan, 2006).1. Trakeostomi Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan atay anterior trakea untuk bernapas. Menurut letak stoma, traleostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini ada;;ah cincin trakea ketiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam 1) trakeostomi darurat, 2) trakeostomi berencana. Syatan kulit trakeostomi dapat vertikal di garis tengah leher mulai di bawah krikoid sampai fosa suprasternal ata jika membuat sayatan horizontal dilakuakn pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kira-kira 2 jari dibawah krikoid orang dewasa (Soepardi, 2012). 2. Krikotirotomi

Merupakan tindakan penyayatan pada pasien dalam keadaan gawat napas. Dengan cara membelah membran krikotiroid, diantara tulang rawan tiroid dan kartilago krikoid (Soepardi, 2012). 2. Difficult Airway

2.6.1 Definisi

Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American Society of Anesthesiology (ASA)2003 adalah adanya situasi klinis yang menyulitkan baik ventilasi dengan masker atau intubasi yang dilakukan oleh dokter anestesi yang berpengalaman dan terampil.2.6.2 Jenis Kesulitan Jalan Napas

Menurut ASA jenis kesulitan jalan napas dibagi menjadi 4 :

59. Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA)Ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga SO2 > 90 % saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen pra ventilasi masih dalam batas normal.60. Kesulitan dilakukan laringoskopiKesulitan untuk melihat bagianpita suara, setelah dicoba beberapa kali dengan laringoskop sederhana.61. Kesulitan intubasi trakeaDibutuhkannya lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang terakhir lebih dari 10 menit62. Kegagalan intubasiPenempatan ETT gagal setelah beberapa kali percobaan intubasi (ASA, 2013).2.6.3 Etiologi & Faktor Resiko

Tabel 1. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan napas.

Keadaan PatologisKeadaan Klinis yang Mempengaruhi Jalan Napas

Kongenital

Sindroma Pierre RobinSindroma Treacher Collins (dysostosis mandibulofacial)

Sindroma Goldenhars (okulo-aurikula-vertebral)

Sindroma DownSindrom Klippel-Feil

Sindrom Alpert

Sindrom Beckwith (infantile gigantisme)CherubismCretinismusSindrom Cri du ChatSindrom Meckel

Von Recklinghausen disease

Sindrom Hurler

Sindrom Hunter

Sindrom PompeDIDAPAT

Infeksi

Supraglotis

Croup

Abses (intraoral, retrofaringeal)

PapilomatosisLudwigs AnginaArthritis

Rheumatoid arthritis

Spondilitis ankilosis

Tumor Jinak

Kistik higroma,lipoma, adenoma, goiterTumor Ganas

Karsinoma lidah, laryng, thiroidTrauma

Trauma kepala, wajah, tulang servikalLain-lain

Obesitas

Akromegali

CombustioMicrognasia, makroglossia, glossoptosis, cleft soft palateDefek telinga dan mata, hipoplasi malar dan mandibula, mikrostomia, atresia choane

Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan mandibula; oksipitalisasi tulang atlas

Jembatan hidung tidak terbentuk dengan baik; makroglosia;mikrosefalus;kelainan tulang servikalPenyatuan tulang servikal, terbatasnya gerakan leher

Hipoplasia maksila; cleft soft palate; kelainan tulang rawan di tracheobronchial

MakroglossiaLesi menyerupi tumor di mandibula dan maksila di rongga mulut

Hilangnya jaringan thiroid; makroglossia; goiter; penekanan pada trakhea, deviasi laryng atau trakheaAbnormalitas kromosom 5P; mikrosepal; mikrognathia; laryngomalacia, stridor

Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis

Meningkatnya kejadian pheochromocytoma; tumor dapat muncul di laryng dan Kaku sendi, obstruksi saluran napas atas akibat infiltrasi jaringan limfoid; abnormalitas kartilago trakeobronkial; ISPA berulangSama dengan sindrom Hurler, tetapi lebih berat; pneumonia

Deposit otot, makroglossiaEdema laryng

Edema laryng

Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismusInfeksi virus kronis yang membentuk papiloma yang obstruktif, terutam di suprlagotis. Perlu pembedahan. Dapat berpindah ke subglotis setelah trakeostomi.Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus

Ankilosis sendi temporomandibula, artritis krikoarytenoid, deviasi laryng, terbatasnya gerakan leher

Ankilosis tulang servikal, jarang terjadi di daerah temporomandibula, terbatasnya gerakan leher.Stenosis atau distorsi jalan napasStenosis atau distorsi jalan napas; laryng terfiksasi oleh jaringan fibrosis akibat radiasRhinorrhea, edema saluran napas, perdarahan, fraktur maksila dan mandibula, kerusakan laryng, dislokasi vertebra servikalLeher pendek dan tebal, lidah yang besar

Makroglossia, prognatismus

Edema saluran napas (Morgan, 2006).

2.6.4 Diagnosis63. Anamnesis

Evaluasi preoperatif harus mencakup anamnesa atau riwayat terutama yang berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Bila mungkin, perlu dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok (misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), karies gigi, perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal atau pergerakan leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi sendi temporo-mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama setelah pembiusan. Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat , berhubungan dengan penyulit tatalaksana jalan napas.64. Pemeriksaan Fisik

Penilaian Kesulitan Ventilasi: (OBESE) 65. Over weight (body mass index > 26 kg/m2)66. Beard67. Elderly (> 55 tahun)68. Snoring69. Edentulous (Mangku, 2009).

Tanda kegagalan ventilasi:- Tidak adekuat atau tidak adanya gerakan dinding dada- Berkurangny atau tidak adanya suara napas- Pada auskultasi ditemukan tanda obstruksi- Sianosis- Dilatasi lambung atau meningkatnya udara lambung- Berkurangnya atau tidak adanya saturasi oksigen- Berkrangnya atau tidak adanya pengeluaran karbondioksida- Berkurangnya atau tidak adanya hembusan udara pada spirometri- Perubahan hemodinamik, hipoksia atau hiperkarbia (ASA, 2013). Penilaian Kesulitan Intubasi70. Mallampati Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari orofaring(Morgan, 2006).

KlasifikasiKlinis

71. Kelas I

72. Kelas II

73. Kelas III

74. Kelas IVTampak uvula, pilar faring dan palatum mole

Pilar fausial dan palatum mole terlihatPalatum durum dan palatum mole masih terlihat

Palatum durum sulit terlihat

75. M = Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers3 - Fingers Mouth Opening3 - Fingers Hypomental Distance. 3 Fingers between the tip of the jaw and the beginning of the neck (under the chin)2 - Fingers between the thyroid notch and the floor of the mandible (top of the neck)1 - Finger Lower Jaw Anterior subluxation 2,3

1. Movement of the neck

Ektensi leher "normal" adalah 35 (The atlanto-oksipital/ A-O joint). Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis, halo-jaket fiksasi, pasien dengan gejala yang menunjukkan kompresi saraf dengan ekstensi servikal.2,32. Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O), Pathology (P)(STOP

S= Skull (Hydro and Mikrocephalus) T= Teeth (Buck, protruded, & gigi berlubang, makro dan mikro mandibula) O= Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar kepala and leher) P=Pathologi (kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher Collins, Goldenhars, Pierre Robin, Waardenburg syndromes)

Jika score pasien 8 atau lebih, maka memungkinkan difficult airway

76. Pemeriksaan Penunjang

Radiografi , CT-scan , fluoroskopi dapat mengidentifikasi berbagai keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan napas.2.7Penanganan Difficult Airway

2.71Evaluasi Jalan Napas77. Memperoleh riwayat kesulitan jalan napas

78. Riwayat penyakit (kesulitan jalan napas) dapat membantu dalam cara menghadapi kesulitan jalan nafas, riwayat operasi atau riwayat anestesi, jika ada kemudian tanyakan waktu pelaksanaan(ASA, 2013). 79. Pemeriksaan fisik

80. Ciri-ciri anatomi tertentu (ciri-ciri fisik dari kepala dan leher) dan kemungkinan dari kesulitan jalan nafas (ASA, 2013). .

81. Evaluasi tambahan

82. Tes diagnostik tertentu (Radiografi , CT-scan , fluoroskopi ) dapat mengidentifikasi berbagai keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan napas (ASA, 2013). 2.7.2Persiapan Standar pada Managemen Kesulitan Jalan Napas83. Tersedianya peralatan untuk pengelolaan kesulitan jalan napas

84. Laryngoscope dengan beberapa alternatif desain dan ukuran yang sesuai

85. Endotrakea tube berbagai macam ukuran.

86. Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan atau tanpa lubang tengah untuk jet ventilasi, senter panjang, dan mangil tang dirancang khusus untuk dapat memanipulasi bagian distal endotrakeal tube.

87. Peralatan Intubasi fiberoptik.

88. Peralatan Intubasi retrograd.

89. Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya sebuah jet transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA, dan combitube.

90. Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat (misalnya, cricothyrotomy).

91. Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).

92. Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang adanya atau dugaan kesulitan jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan kesulitan jalan nafas, dan risiko khusus yang kemungkinan dapat terjadi

93. Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan sebagai asisten dalam manajemen kesulitan jalan nafas,

94. Melakukan preoksigenasi dengan sungkup wajah sebelum memulai manajemen kesulitan jalan nafas,

95. Secara aktif memberikan oksigen tambahan di seluruh proses manajemen kesulitan jalan nafas. Dapat menggunakan nasal cannule, facemask, LMA (ASA, 2013).1. Strategi Intubasi pada Kesulitan Jalan Napas96. Intubasi sadar.

Intubasi endotrakea dalam keadaanpasien sadar dengan anestesi topikal, pilhan teknik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka, leher, perdarahan, serta kesulitan jalan napas. Intubasi sadar dilakukan dengan pertolongan obat penenang seperti diazepam, fentanyl atau petidin untuk mempermudah kooperasi pasien tanpa harus menghilangkan refleks jalan napas atas (yang harus mencegah apirasi). Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan farings, tetapi jangan kena plika vocalis. Diazepam 0,1- 0,2 mg/kg iv dapat diberikan untuk mengurangi stres penderita dan memudahkan intubasi.Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa intubasi sadar pada pasien yang menderita kesulitan jalan napas memberikan hasil yang memuaskan 88-100%. 97. Laringoskopi dengan bantuan video.

98. Intubasi stylets atau tube-changer.

99. SGA untuk ventilasi (LMA, laringeal tube)

Penggunaan LMA (laringeal mask airway) meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada pasien dengan jalan nafas yang sulit, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit (Morgan, 2006).

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah, perhatian yang detil akan memperbaiki keberhasilan. Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran (Morgan, 2006).

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT. Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian bronkospasme lebih kurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakeal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm) (Morgan, 2006).100. SGA untuk intubasi (ILMA),

101. Laryngoscopic bilah rigid dari berbagai desain dan ukuran,

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas intubasi trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.

Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam.

102. Intubasi dengan bantuan fiberoptik

Dalam beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal yang tidak stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular joint, atau dengan kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi langsung dengan penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang feksibel mungkin visualisasi tidak langsung dari laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB yang dibuat dari fiberglass ini mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan cahaya akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan. Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 15.000 fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya ( sumber cahaya bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang memberikan gambaran resolusi tinggi (Morgan, 2006).

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat yang kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi O2 atau penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber infeksi sehingga memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan sterilisasi telah digunakan (Morgan, 2006).Cara intubasi Nasal Fiberoptik Fleksibel Kedua lubang hidung dipersiapkan dengan pemberian tetes vasokonstriktor. Identifikasi lubang hidung dimana pasien bernafas lebih mudah. O2 dapat diinsuflasi melalui ujung suction dan saluran untuk aspirasi dari FOB untuk memperbaiki oksigenasi dan membuang sekret dari ujung tip (Morgan, 2006).Pilihan lain, nasal airway ukuran besar (ukuran 36F) dapat dipasang dalam lubang hidung kolateral. Breathing sirkuit dapat langsung dihubungkan pada ujung dari nasal airway untuk memberikan O2 100% selama laringoskopi. Jika pasien tidak sadar dan tidak bernafas spontan, mulut dapat diplester dan ventilasi dilakukan melalui nasal airway tunggal. Bila teknik ini digunakan adekuat ventilasi dan oksigenasi harus di konfirmasi dengan capnograph dan pulse oximetry. TT yang telah diberi pelumas dan dimasukkan ke dalam lubang hidung lainnya sepanjang nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah diberi pelicin dimasukan ke dalam lubang TT. Selama endoskopi, jangan dimajukan jika hanya dinding dari TT atau membran mukosa yang terlihat. Ini juga penting untuk mempertahankan tangkai bronkoskop relatif lurus, jadi jika kepala dari bronkhoskop diputar secara langsung, ujung distal akan bergerak dengan derajat yang sama. Ketika ujung dari FOB masuk ujung distal dari TT, epiglotis dan glotis harus tampak. Ujung dari bronchoskop dimanipulasi untuk melewati pita suara yang telah abduksi (Morgan, 2006).

Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat bernafas adekuat dan pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan oksigenasi tidak adekuat, FOB ditarik danlakukan ventilasi dengan face mask. Minta asisten untuk jaw thrust atau lakukan tekanan pada krikoid dapat membantu penglihatan pada kasus sulit. Jika pasien bernafas spontan, tarik lidah dengan klem dapat memfasilitasi intubasi Morgan, 2006). Sekali dalam trakea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya cincin trakhea dan carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di dorong dari FOB. Sudut sekitar cartilago arytenoid dan epiglotis dapat mencegah mudahnya memasukan pipa. Penggunaan pipa yang berkawat baja biasanya menurunkan masalah ini disebabkan lebih besarnya fleksibilitas dan sudut pada bagian distal lebih tumpul. Posisi TT yang tepat dikonfirmasi dengan melihat ujung dari pipa diatas karina sebelum FOB ditarik (Morgan, 2006).

103. Stylets menyala atau Ligth Wand (ASA, 2013). 2.7.4Akibat dari kesulitan jalan napas Akibat yang dapat terjadi dari kesulitan jalan napas, adalah:

1. kematian,

2. kerusakan otak,

3. cardiac arrest,

4. trauma jalan napas,

5. kerusakan gigi(ASA, 2013). 2.7.5 Algoritma Kesulitan Jalan Napas

1. Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari masalah pada penanganan dasar: Kesulitan dengan kerjasama atau persetujuan pasien Kesulitan ventilasi sungkup Kesulitan penempatan Supraglottic Airway Kesulitan laringoskopi Kesulitan intubasi Kesulitan akses bedah jalan napas (ASA, 2013). 6. Aktif memberikan oksigen tambahan selama proses manajemen kesulitan jalan napas

7. Mempertimbangkan manfaat relatif dan kelayakan dari penanganan dasar : Awake intubation vs intubasi setelah induksi anestesi umum Teknik non-invasif vs teknik invasif untuk pendekatan awal untuk intubasi Video laringoskopi sebagai pendekatan awal untuk intubasi Menjaga Ventilasi spontan vs ablasi ventilasi spontan (ASA,2013). 8. Mengembangkan strategi primer dan strategi alternative

Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan kotak B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. AAA tidak pada retardasi mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi awake mungkin membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan contoh nys induksi inhalasi (ASA, 2013).

Pemasangan face mask, jika facemask adekuat, masuk jalur nonemergensi ASA-DAA. Jika face mask gagal, lanjutkan dengan ventilasi supraglotis dengan LMA. Jika berhasil, dilanjutkan jalur nonemergensi ASA-DAA dan dilakukan intubasi trakea.

Bila ventilasi LMA gagal, dilanjutkan dengan jalur emergency. ASA-DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.

Kegagalan penggunaan LMA, karena; sudut oral-faring sempit, sumbatan pada level hipofaring, sumbatan di bawah liptan fokal (ASA, 2013). 2.8 Ekstubasi

Ekstubasi terbaik dilakukan ketika pasien sedang teranestesi dalam atau bangun. Pasien juga harus pulih sepenuhnya dari pengaruh obat pelemas otot pada saat sebelum ekstubasi. Jika pelemas otot digunakan, pernapasan pasien akan menggunakan ventilasi mekanik terkontrol, maka dari itu pasien harus dilepaskan dari ventilator sebelumekstubasi (Morgan, 2006).

Ekstubasi selama anestesi ringan (masa antara anestesi dalam dan bangun) harus dihindari karena meningkatnya risiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan biasanya terlihat saat suction/ penyedotan sekret faring : adanya reaksi pada penyedotan (tahan napas, batuk) menandakan anestesia ringan, dimana jika tidak ada reaksi menandakan anestesia dalam. Pasien membuka mata atau bergerak yang bertujuan menandakan pasien sudah bangun (Morgan, 2006).Mengekstubasi pasien yang sudah bangun biasanya berhubungan dengan batuk pada TT. Reaksi ini meningkatkan denyut nadi, tekanan vena sentral, tekanan darah arteri, tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular. Hal ini juga dapat menyebabkan dehisensi luka dan perdarahan. Adanya TT pada pasien asma yang sudah sadar dapat memicu bronkospasme. Meskipun konsekuensi ini dapat diturunkan dengan premedikasi 1,5 mg/kg lidokain intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi, ekstubasi saat anestesia dalam lebih dianjurkan pada pasien yang tidak dapat mentolerir hal ini. Ekstubasi menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki risiko aspirasi atau yang jalan napasnya sulit untuk dikontrol setelah pencabutan TT (Morgan, 2006).

Pasien teranestesi dalam atau sudah sadar, faring pasien juga sebaiknya disuction terlebih dahulu sebelum ekstubasi untuk mengurangi risiko aspirasi atau laringospasme. Pasien juga harus diventilasi dengan 100% oksigen sebagai cadangan apabila sewaktu-waktu terjadi kesulitan untuk mengontrol jalan napas setelah TT dicabut. Sesaat sebelum ekstubasi, TT dilepas dari plester dan balon dikempiskan. Pemberian sedikit tekanan positif pada jalan napas pada kantong anestesia yang dihubungkan dengan TT dapat membantu meniup sekret yang terkumpul pada ujung balon supaya ke luar ke arah atas, menuju faring, yang kemudian dapat disuction. Pencabutan TT pada saat akhir ekspirasi atau akhir inspirasi mungkin tidak terlalu penting. TT dicabut dengan satu gerakan yang halus, dan sungkup wajah biasanya digunakan untuk menghantarkan oksigen 100% sampai pasien menjadi cukup stabil untuk diantar ke ruang pemulihan. Pada beberapa institusi, oksigen dengan sungkup wajah dipertahankan selama pengantaran pasien (Morgan, 2006).

5.7 Perawatan Lanjut

104. Mendokumentasikan adanya dan sifat dari kesulitan jalan napas dalam rekam medis,

105. Menginformasikan pasien atau orang yang bertanggung jawab dari kesulitan jalan napas yang dihadapi,

106. Mengevaluasi dan mengawasi pasien tentang kemungkinan komplikasi yang terjadi pada manajemen kesulitan jalan nafas (ASA, 2013 ).BAB III

KESIMPULAN

Airway Management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka. Tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan.

Indikasi Bantuan Jalan Napas :

1. Obstruksi jalan napas

2. Henti nafas : depresi pusat nafas, kelumpuhan otot pernafasan

3. Pembedahan: durasi lama, posisi khusus

4. Pencegahan terhadap regurgitasi aspirasi dan regurgitasi

5. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi: saat resusitasi 6. Tak terasa ada udara ekspirasi (latief, 2009).

Pengelolaan jalan nafas ( airway management ) terdiri atas :

107. Airway management tanpa alat

108. Airway management dengan memakai alat

Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American Society of Anesthesiology (ASA)2003 adalah adanya situasi klinis yang menyulitkan baik ventilasi dengan masker atau intubasi yang dilakukan oleh dokter anestesi yang berpengalaman dan terampil.

Penilaian difficult airway yaitu dengan menilai : anamnesis, pemeriksaan fisik :menilai kesulitan ventilasi dan menilai kesulitan intubasi.Penanganan Difficult Airway dapat menggunakan algoritma penanganan difficult airway menurut ASA.

Dampak dari kegagalan jalan nafas dapat menyebabkan kerusakan otak bahkan mencapai kematian, karena itu penilaian secara dini terhadap adanya obstruksi jalan nafas dengan penilaian keadaan pasien secara baik. DAFTAR PUSTAKA109. Guyton. Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta, 2007.

110. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical Book. 2006111. Latief S, Suryadi K, Dachlan M. Petunjuk Praktis Anestesologi. FKUI, Jakarta, 2009.112. Soepardi E, Iskandar M, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. FK UI, Jakarta, 2012.113. Mangku G, Senapathi T. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks, Jakarta, 2009.114. ASA. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway. The American Society of Anesthesiology. V 118. No. 2. P. 1-20Pilihan lain termasuk: operasi menggunakan masker wajah atau supraglottic airway (SGA) (Misalnya, LMA, ILMA, laringeal tube), infiltrasi anestesi lokal atau blokade saraf regional.

Akses jalan napas invasif meliputi bedah atau jalan napas percutaneous, jet ventilation, dan intubasi retrograde.

Pendekatan alternatif : laringoskopi dengan video, bilah laringoskop alternatif, SGA (LMA atau ILMA) sebagai saluran intubasi (dengan atau tanpa bimbingan serat optik), intubasi dengan serat optik , intubasi dengan stylet atau tabung changer, light wand, dan blind oral or nasal intubation.

Pertimbangkan kembali persiapan pasien untuk intubasi sadar atau membatalkan operasi.

Ventilasi jalan nafas non-invasif darurat terdiri dari SGA.

21