14
BAB I PENDAHULUAN Menurut National Centre for Health Statistic, Centre for Disease Control and Prevention, dan World Health Organization mendefinisikan a bortus sebagai penghentian kehamilan sebelum janin mencapai viabilitas sebelum usia kehamilan 20-22 minggu, dengan berat badan kurang dari 500 gram ( Cunningham dkk, 2010 ). Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan prematur, abortus berulang, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (Cunningham, 2005). Insidensi abortus sulit ditentukan karena kadang–kadang wanita dapat mengalami abortus tanpa mengetahui bahwa ia hamil, dan tidak mempunyai gejala yang hebat sehingga hanya dianggap sebagai menstruasi yang terlambat (siklus memanjang). Abortus meningkat sebesar 12% pada wanita usia kurang dari 20 tahun dan meningkat sebesar 26% pada usia lebih dari 40 tahun. Insiden terjadinya abortus meningkat jika jarak persalinan dengan kehamilan berikutnya 3 bulan (Sastrawinata, 2004). Insiden abortus berulang terjadi pada 1 dalam 300 kehamilan. Risiko terjadinya abortus pada kehamilan berikutnya meningkat 30% setelah mengalami 2 kali keguguran dan 33% setelah mengalami 3 kali keguguran (Ford HB, Schust DJ, 2009). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian,

referat abortus habitualis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

abortus yang berulang 3 kali atau lebih secara kontinus

Citation preview

Page 1: referat abortus habitualis

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut National Centre for Health Statistic, Centre for Disease Control and

Prevention, dan World Health Organization mendefinisikan abortus sebagai penghentian

kehamilan sebelum janin mencapai viabilitas sebelum usia kehamilan 20-22 minggu, dengan

berat badan kurang dari 500 gram (Cunningham dkk, 2010). Kejadian abortus diduga

mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan

maupun pada hasil kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko

yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan prematur, abortus berulang, Berat Badan Lahir

Rendah (BBLR) (Cunningham, 2005).

Insidensi abortus sulit ditentukan karena kadang–kadang wanita dapat mengalami

abortus tanpa mengetahui bahwa ia hamil, dan tidak mempunyai gejala yang hebat sehingga

hanya dianggap sebagai menstruasi yang terlambat (siklus memanjang). Abortus meningkat

sebesar 12% pada wanita usia kurang dari 20 tahun dan meningkat sebesar 26% pada usia

lebih dari 40 tahun. Insiden terjadinya abortus meningkat jika jarak persalinan dengan

kehamilan berikutnya 3 bulan (Sastrawinata, 2004).

Insiden abortus berulang terjadi pada 1 dalam 300 kehamilan. Risiko terjadinya

abortus pada kehamilan berikutnya meningkat 30% setelah mengalami 2 kali keguguran dan

33% setelah mengalami 3 kali keguguran (Ford HB, Schust DJ, 2009).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan

setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian, 1,3 juta dilakukan di Vietnam dan

Singapura, antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia, antara 155.000 sampai 750.000 di

Filipina, antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand. Tidak dikemukakan perkiraan tentang

abortus di Kamboja, Laos dan Myanmar (Azhari, 2002).

Di Indonesia angka kematian Ibu (AKI) menurut survei Demografi Kesehatan

Indonesia (SDKI 2002/2003) masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup.

Kejadian abortus di Indonesia setiap tahun terjadi 2 juta kasus. Ini artinya terdapat 43 kasus

abortus per 100 kelahiran hidup. Menurut sensus penduduk tahun 2000, terdapat 53.783.717

perempuan usia 15 – 49 tahun, dan dari jumlah tersebut terdapat 23 kasus abortus per 100

kelahiran hidup (Utomo, 2001)

Page 2: referat abortus habitualis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut National Centre for Health Statistic, Centre for Disease Control and

Prevention, dan World Health Organization, abortus adalah penghentian kehamilan sebelum

janin mencapai viabilitas sebelum usia kehamilan 20-22 minggu, dengan berat badan kurang

dari 500 gram (Cunningham dkk, 2010).

Abortus habitualis didefinisikan sebagai abortus spontan yang terjadi tiga kali atau

lebih secara berturut-turut (Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. Perkumpulan

Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2006).

2.2 Etiologi

Terdapat banyak kemungkinan penyebab dasar abortus habitualis, kurang lebih 40%

sebab dasarnya tidak diketahui. Penelitian di lebih dari 400 penderita abortus berulang yang

dilakukan di Universitas Utah didapatkan 68% penyebabnya tidak diketahui.

Menurut Ford dan Schust (2009), menjelaskan bahwa penyebab abortus berulang yang

diketahui yakni:

1. Kelainan zygote: kelainan genetik (kromosomal) pada suami atau istri (2%-5%).

2. Gangguan hormonal. Di wanita dengan abortus habitualis, ditemukan bahwa fungsi

glandula tiroidea kurang sempurna. Hubungan peningkatan antibodi antitiroid dengan

abortus berulang masih diperdebatkan karena beberapa penelitian menunjukkan hasil

yang berlawanan. Luteal phase deficiency (LPD) adalah gangguan fase luteal. Gangguan

ini bisa menyebabkan disfungsi tuba dengan akibat transpor ovum terlalu cepat, mobilitas

uterus yang berlebihan, dan kesukaran nidasi karena endometrium tidak dipersiapkan

dengan baik. Penderita dengan LPD mempunyai karakteristik siklus haid yang pendek,

interval post ovulatoar kurang dari 14 hari dan infertil sekunder dengan recurrent early

losses (17%-20%).

3. Gangguan nutrisi. Berbagai penyakit seperti anemia berat, penyakit menahun dan lain-

lain dapat mempengaruhi gizi ibu sehingga mengganggu persediaan berbagai zat

makanan untuk janin yang sedang tumbuh.

4. Penyakit infeksi. Infeksi Toksoplasma, virus Rubela, Cytomegalo dan herpes merupakan

penyakit infeksi parasit dan virus yang selalu dicurigai sebagai penyebab abortus melalui

Page 3: referat abortus habitualis

mekanisme terjadinya plasentitis. Mycoplasma, Lysteria dan Chlamydia juga merupakan

agen yang infeksius dan dapat menyebabkan abortus habitualis. Penyakit pembuluh darah

kolagen lupus eritematosus sistemik (SLE) (Autoimmune disorder) (0,5%-5%).

5. Kelainan pada serviks dan uterus. Abortus juga dapat disebabkan oleh kelainan anatomik

bawaan, laserasi uterus yang luas, serviks inkompeten yang membuka tanpa rasa nyeri,

sehingga ketuban menonjol dan pecah. Di mioma uteri submukus terjadi gangguan

implantasi ovum yang dibuahi atau gangguan pertumbuhan dalam kavum uteri (10%-

15%).

6. Autoimun. Sekarang ini makin dikenal antiphospholipid syndrome (APS), yaitu

kekacauan autoimun yang menyebabkan abortus habitualis karena trombosis

vaskularisasi plasenta. APS adalah gangguan otoimun yang ditandai oleh trombosis

pembuluh darah vena dan atau arteri, abortus berulang yang berhubungan dengan

trombosis di vaskularisasi plasenta, trombositopeni, kelainan neurologi, livido retikularis

dan adanya antibodi antiphospholipid di dalam darah. Antibodi Antiphospholipid

merupakan autoantibodi terhadap antigen yang terdiri dari phospholipid bermuatan

negatif. Bagaimana timbulnya antigen tersebut belum diketahui. Antibodi

Antiphospholipid terdiri dari IgG, IgM dan IgA. Antibodi Antiphospholipid yang

terpenting dalam klinis yaitu antikoagulan lupus (LA) dan antibodi antikardiolipin

(ACA). Pada APS terjadi trombosis vaskularisasi plasenta, sehingga menyebabkan

abortus berulang. Kejadian yang sering dilaporkan di kelompok wanita usia subur adalah

abortus berulang oleh karena adanya infark yang luas di plasenta. Adanya trombosis dan

vaskulopati arteri spiralis ibu menyebabkan isufisiensi dan hipoksia jaringan plasenta.

Hal ini yang dapat menyebabkan abortus. Teori yang sederhana sebagai penyebab

abortus di APS adalah darah kental tidak mampu melewati pembuluh darah paling kecil

di plasenta. Plasenta mengkerut dan embrio/fetus tidak dapat hidup dan terjadilah

keguguran (20%).

2.3 Patofisiologi

Pada awal abortus terjadi pendarahan dalam desidua basalis, kemudian diikuti oleh

nekrosis jaringan disekitarnya yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda

asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut.

Pada kehamilan kurang dari 8 minggu vili korialis belum menembus desidua secara dalam,

jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu

penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan

Page 4: referat abortus habitualis

banyak pendarahan. Pada kehamilan lebih 14 minggu, janin dikeluarkan lebih dahulu dari

pada plasenta. Pendarahan tidak banyak jika plasenta segera dilepas dengan lengkap.

Peristiwa abortus ini menyerupai persalinan dalam bentuk miniatur. Hasil konsepsi pada

abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya kantong amnion kosong atau

tampak kecil tanpa bentuk yang jelas, mungkin pula janin telah mati lama, mola kruenta,

maserasi,fetus kompresus.

2.4 Manifestasi Klinis (http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/08/abortus-habitualis.html)

Terjadi abortus spontan secara berulang dan berturut-turut sekurang -kurangnya 3 kali .

Gejala terjadinya abortus adalah sebagai berikut :

• Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu.

• Pada pemeriksaan fisik : Keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan

darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau

meningkat.

• Perdarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi.

• Rasa nyeri atau kram perut di daerah atas simfisis, sering disertai nyeri pinggang akibat

kontraksi uterus

Pemeriksaan ginekologi :

- Inspeksi vulva : perdarahan pervaginam, ada / tidak jaringan hasil konsepsi, tercium/tidak

bau busuk dari vulva.

- Inspekulo : perdarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup,

ada/tidak jaringan keluar dari ostium uteri, ada/tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari

ostium uteri.

- Periksa dalam vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan

dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri

saat porsio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, kavum Douglasi, tidak menonjol

dan tidak nyeri.

2.5 Diagnosis (http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/08/abortus-habitualis.html)

Pada umumnya, diagnosis abortus ditegakkan berdasarkan :

Anamnesis :

Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Gejalanya seperti

abortus imminens yang kemudian menghilang secara spontan disertai kehamilan menghilang,

Page 5: referat abortus habitualis

mamma agak mengendor, uterus mengecil, tes kehamilan negatif.

Adanya perdarahan, haid terakhir, pola siklus haid, ada tidak gejala / keluhan lain, cari faktor

risiko / predisposisi. Riwayat penyakit umum dan riwayat obstetri / ginekologi. Wanita usia

reproduktif dengan perdarahan pervaginam abnormal harus selalu dipertimbangkan

kemungkinan adanya kehamilan.

Pemeriksaan fisis umum

Periksa keadaan umum dan tanda vital secara sistematik. Jika keadaan umum buruk lakukan

resusitasi dan stabilisasi segera.

Pemeriksaan Ginekologi

Jika memungkinkan, cari sumber perdarahan : apakah dari dinding vagina, atau dari jaringan

serviks, atau darah mengalir keluar dari ostium. Pemeriksan dalam vagina dilakukan untuk

menentukan besar dan letak uterus. Adneksa dan parametrium diperiksa, ada tidaknya massa

atau tanda akut lainnya.

Laboratorium

Jika diperlukan, ambil darah / cairan / jaringan untuk pemeriksaan penunjang (ambil sediaan

sebelum pemeriksaan dalam vagina).

Pemeriksaan Penunjang

Dengan USG dapat diketahui apakah janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan usia

kehamilan. Dengan human chorionic gonadotropin (hCG) test bisa diketahui kemungkinan

kehamilan. Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensi serviks

menunjukkan gambaran klinik yang khas, yaitu dalam kehamilan triwulan kedua terjadi

pembukaan serviks tanpa disertai nyeri perut bawah, ketuban menonjol dan pada suatu saat

pecah. Kemudian timbul nyeri perut bawah yang selanjutnya diikuti oleh pengeluaran janin

yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila penderita datang dalam triwulan pertama

maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan dalam vagina

tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia mengeluarkan banyak lendir dari

vagina. Diluar kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan dengan

histerosalpingografi dimana ostium internum uteri melebar lebih dari 8 mm.

2.6 Penatalaksanaan

Page 6: referat abortus habitualis

Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh karena itu,

penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang

sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Terapi dengan

hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai

pengaruh psikologis. (http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/08/abortus-habitualis.html)

Risiko perdarahan pervaginam yang hebat maka perlu diperhatikan adanya tanda-

tanda syok dan hemodinamik yang tidak stabil serta tanda-tanda vital. Jika pasien hipotensi,

diberikan secara intravena-bolus salin normal (NS) untuk stabilisasi hemodinamik,

memberikan oksigen, dan mengirim jaringan yang ada, ke rumah sakit untuk diperiksa.

Menurut Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas 2007, penatalaksanaan abortus pada

tingkat puskesmas adalah sebagai berikut:

Pada puskesmas non perawatan :

1. Abortus Imminens

- Tirah baring sedikitnya 2 – 3 hari (sebaiknya rawat inap)

- Pantang senggama

- Setelah tirah baring 3 hari, evaluasi ulang diagnosis, bila masih abortus imminens tirah

baring di lanjutkan

- Mobilisasi bertahap (duduk – berdiri – berjalan) dimulai apabila diyakini tidak ada

perdarahan pervaginam 24 jam

2. Abortus tingkat selanjutnya

- Bila mungkin lakukan stabilisasi keadaan umum dengan pembebasan jalan nafas, pemberian

oksigenasi (O2 2 - 4 liter per menit), pemasangan cairan intravena kristaloid (Ringer Laktat /

Ringer Asetat / NaCl 0,9 %) sesuai pedoman resusitasi.

- Pasien dirujuk setelah tanda vital dalam batas normal ke Puskesmas Perawatan atau RS

Pada puskesmas perawatan

1. Abortus Imminens

- Seperti pada Puskesmas non perawatan

2. Abortus Insipiens

- Antibiotika profilaksis : Ampisilin i.v sebelum tindakan kuretase.

- Perlu segera dilakukan pengeluaran hasil konsepsi dan pengosongan kavum uteri. Dapat

dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret, dan kuret hisap

- Uterotonika : Oksitosin 10 IU i.m

3. Abortus Inkompletus

Page 7: referat abortus habitualis

- Perlu segera dilakukan pengosongan kavum uteri. Dapat dilakukan dengan abortus tang,

sendok kuret, dan kuret hisap

- Segera atasi kegawatdaruratan :

1. Oksigenisasi 2 – 4 liter/menit

2. Pemberian cairan i.v kristaloid (NaCl 0,9%, Ringer Laktat, Ringer Asetat)

3. Transfusi bila Hb kurang dari '3d 8 g/dl

4. Abortus Kompletus

- Evaluasi adakah komplikasi abortus (anemia dan infeksi)

- Apabila dijumpai komplikasi, penatalaksanaan disesuaikan

- Apabila tanpa komplikasi, tidak perlu penatalaksanaan khusus.

(Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan RI, 2007)

Pada serviks inkompeten, apabila penderita telah hamil maka operasi untuk

menguatkan ostium uteri internum sebaiknya dilakukan pada kehamilan 12 minggu. Dasar

operasi ialah memperkuat jaringan serviks yang lemah dengan melingkari daerah ostium uteri

internum dengan benang sutra atau dakron yang tebal. Bila terjadi gejala dan tanda abortus

insipien, maka benang harus segera diputuskan, agar pengeluaran janin tidak terhalang.

Tindakan untuk mengatasi inkompetensi serviks yaitu dengan penjahitan mulut rahim

yang dikenal dengan teknik Shirodkar Suture atau dikenal juga dengan cervical cerclage atau

pengikatan mulut lahir. Cara ini bisa menghindari ancaman janin lahir prematur. Faktor

keberhasilannya hingga 85 - 90 persen. Tindakan ini biasanya dilakukan sebelum kehamilan

mencapai usia 20 minggu dengan mengikat mulut rahim agar tertutup kembali sampai masa

kehamilan berakhir dan janin siap untuk dilahirkan. Tindakan pengikatan mulut rahim

dilakukan dengan pembiusan lokal dan menggunakan benang berdiameter 0,5 cm, yang

bersifat tidak dapat diserap oleh tubuh. Jahitan ini akan dilepas pada saat kehamilan mencapai

usia 36-37 minggu, atau saat bayi sudah siap dilahirkan. Agar tindakan pengikatan berfungsi

optimal. Pasien tidak boleh berhubungan seksual dengan pasangan selama 1-2 minggu sampai

ikatan cukup stabil. Pengikatan ini umumnya akan dibuka setelah kehamilan mencapai 37

minggu, kehamilan cukup bulan sekitar 7 bulan, atau bila ada tanda-tanda melahirkan.

Page 8: referat abortus habitualis

Gambar 2.1 Shirodkar suture

Jika abortus habitualis disebabkan oleh APS, maka terapi untuk trombosis pada

sindroma antifosfolipid adalah dengan menggunakan antikoagulan yang aman digunakan

pada kehamilan, yaitu Tinzaparin (heparin dengan berat molekul rendah/LMWH) . Seperti

semua antikoagulan, LMWH harus digunakan dengan hati-hati dalam wanita dengan dugaan

gangguan perdarahan, trombositopenia, penyakit hati dan ginjal.

(GUIDELINES FOR THERAPEUTIC ANTICOAGULATION IN PREGNANCY . O & G DIRECTORATE MEDICAL GUIDELINE. 2009)

Tabel. 2.1 Dosis Pemberian LMWH

Syringe size(tinzaparin)

weight (kg) injection vol(ml)

prescribed dose(anti Xa iu)

0.5ml 40 0.35 7000

Page 9: referat abortus habitualis

455055

0.400.450.50

787587509625

0.7ml 6065707580

0.550.550.600.650.70

1050011375122501312514000

0.9ml 859095100105>105

0.750.800.850.900.90combine dosesto reach weighteg if 120kg use2 x 60kg = 2 x0.7ml syringes

1487515750166251750018375

2.7 Komplikasi

Komplikasi abortus habitualis adalah sebagai berikut :

• Perdarahan

Penyebab kematian kedua yang paling penting adalah perdarahan. Perdarahan dapat

disebabkan oleh abortus yang tidak lengkap atau cedera organ panggul atau usus. Perdarahan

dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu

pemberian transfusi darah. Kematian biasanya disebabkan oleh tidak tersedianya darah atau

fasilitas transfusi rumah sakit serta keterlambatan pertolongan yang diberikan.

• Infeksi

Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang merupakan flora

normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu staphylococci, streptococci, Gram negatif

enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur,

Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada lactobacili,streptococci, staphylococci,

Gram negatif enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur. Umumnya

pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri

tinggi dan infeksi menyebar ke perimetrium, tuba, parametrium, dan peritonium. Organisme-

organisme yang paling sering mengakibatkan infeksi paska abortus adalah E.coli,

Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob, Staphylococcus aureus, Streptococcus

hemolitikus, dan Clostridium perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria

Page 10: referat abortus habitualis

gonorrhoeae, Pneumococcus dan Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes potensial

berbahaya oleh karena dapat membentuk gas.

• Sepsis

• Syok

Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat.

(http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/08/abortus-habitualis.html)