36
NUTRITIONAL SUPPORT OF THE BURNED PATIENT (PENATALAKSANAAN NUTRISI PADA PASIEN LUKA BAKAR) PENDAHULUAN Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber yang memiliki suhu yang sangat tinggi (misalnya api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi) atau suhu yang sangat rendah. 1,2 Pada jaringan, saat terjadi kontak dengan sumber baik suhu tinggi maupun rendah berlangsung reaksi kimiawi yang dapat mengakibatkan jaringan akan mengalami kerusakan. Dengan kerusakan jaringan yang terjadi, demikian kompleks permasalahan yang timbul, sehingga luka bakar merupakan suatu bentuk seberat-berat trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut secara berkesinambungan, termasuk didalamnya 1

refarat nutrisi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: refarat nutrisi

NUTRITIONAL SUPPORT OF THE BURNED PATIENT

(PENATALAKSANAAN NUTRISI PADA PASIEN LUKA BAKAR)

PENDAHULUAN

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan yang

disebabkan kontak dengan sumber yang memiliki suhu yang sangat tinggi (misalnya

api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi) atau suhu yang sangat rendah.1,2

Pada jaringan, saat terjadi kontak dengan sumber baik suhu tinggi maupun

rendah berlangsung reaksi kimiawi yang dapat mengakibatkan jaringan akan

mengalami kerusakan. Dengan kerusakan jaringan yang terjadi, demikian kompleks

permasalahan yang timbul, sehingga luka bakar merupakan suatu bentuk seberat-

berat trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan

penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut secara

berkesinambungan, termasuk didalamnya pemberian nutrisi untuk mengatasi

perubahan metabolisme yang disebabkan luka bakar.1

Permasalahan pada luka bakar demikian kompleks. Untuk dapat menjelaskan,

maka permasalahan yang ada dipilah menurut fase atau tahapan perjalanan

penyakitnya yang dibedakan atas 3 fase pada luka bakar yaitu :

1. Fase awal, fase akut, fase syok

Permasalahan utama pada fase ini berkisar pada gangguan yang berupa

respons tubuh yang terjadi pada suatu trauma, dimana berat trauma dapat menjadi

kondisi yang mengancam jiwa yang dapat berakhir dengan kematian. Berbagai

1

Page 2: refarat nutrisi

kondisi yang menyebabkan gangguan asupan, distribusi dan utilisasi oksigen

merupakan ancaman bagi kehidupan. Gangguan ini dapat meliputi gangguan

Airway (A), Breathing (B) dan Circulation (C), gangguan yang timbul tidak saja

terjadi di tingkat sel, atau local dan regional, namun bersifat sistemik, semua

system tubuh terganggu, termasuk gangguan metabolisme protein-karbohidrat-

lemak dan gangguan pada saluran pernapasan.1,2

2. Fase setelah shock berakhir, fase flow

Masalah yang umum pada fase ini adalah suatu entitas klinik yang disebut

Systemic Inflammatory Respons Syndrom (SIRS) diikuti Multi-system Organ

Dysfunction Syndrom (MODS). Keduanya merupakan kelanjutan dari fase

pertama, kedua fase ini tidak dapat dipisahkan karena erat kaitannya satu sama

lain. Kedua fase ini masuk ke dalam kategori Acute Burn Injury.1,2

3. Fase lanjut

Fase ini berlangsung sejak proses epithelialisasi sempurna hingga

terjadinya maturasi jaringan. Masalah pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari

luka bakar berupa kecacatan tubuh: parut hipertropik, kontraktur dan deformitas

lain yang terjadi karena kerapuhan jaringan atau struktur organ.1,2

Luka bakar dibedakan menjadi beberapa jenis menurut kedalaman dan

kerusakan jaringan yang perlu dicantumkan dalam diagnosis yaitu :

- Derajat I (superficial), hanya mengenai permukaan paling luar (epidermis).

Penampakannya seperti luka bakar sinar matahari, sangat nyeri dan tidak ada

gelembung berisi cairan (vesikel atau bula). Bila penanganannya kurang baik,

2

Page 3: refarat nutrisi

gelembung (blister) bisa muncul setelah 24 jam.1,2

- Derajat II (partial thickness), mengenai epidermis dan sebagian dermis dan

dibedakan menjadi dua. Derajat II superfisial (superficial partial thickness)

ditandai oleh adanya gelembung berisi cairan yang terbentuk beberapa menit

setelah trauma panas. Kulit berwarna kemerahan atau merah muda dengan

pengisian kapiler (capillary refill) yang baik, sangat nyeri dan penyembuhan

terjadi 10 - 14 hari. Derajat II dalam (deep partial thickness) ditandai oleh tidak

adanya bulla, warna kemerahan, tidak ada capillary refill dan tidak nyeri.

Hilangnya rasa nyeri karena ujung-ujung saraf mengalami kerusakan. Begitu

pula folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar minyak yang merupakan

sumber keratinosit ikut rusak sehingga pembentukan epitel sulit terjadi, sehingga

penyembuhannya lebih lama, dalam waktu lebih dari 1 bulan.

- Derajat III: mengenai seluruh ketebalan kulit, warna coklat kehitaman atau putih

kering terlihat vena-vena mengalami trombosis (penyumbatan), tidak ada bulla

dan tidak nyeri, kulit yang terbakar warna abu-abu, pucat dan kering serta

letaknya lebih rendah dibandingkan dengan kulit sekitarnya.1,2

- Derajat IV: mengenai struktur di bawah kulit (lemak, fasia, otot dan tulang).3

Untuk menentukan berat dan penanganan pada luka bakar perlu diketahui luas

luka bakar yang terjadi, luas luka bakar pada dewasa dihitung menggunakan rumus

Sembilan (Rule Of Nine)yang diprovokasi oleh Wallace didasari atas perhitungan

kelipatan 9, dimana 1% luas permukaan tubuh adalah luas telapak tangan penderita.

Pada anak-anak menggunakan table dari Lund dan Browder yang mengacu pada

3

Page 4: refarat nutrisi

seorang bayi/anak (yaitu kepala).1

(A) Rule of nines (untuk dewasa) dan (B) tabel Lund-Browder (pada anak-anak)

Gambar 1. Perhitungan Luas luka bakar 4

Kategori penderita1

4

LB Ringan LB 20 dan 30 < 10% pada kelompok usia <10 th / >50 th LB 20 dan 30 < 15% pada kelompok usia lain LB 20 dan 30 < 10% pada semua kelompok usia; tanpa cedera

pada tangan, kaki dan perineum

Page 5: refarat nutrisi

Penderita luka bakar, membutuhkan kuantitas dan kualitas nutrisi yang

berbeda dengan orang yang normal karena umumnya penderita luka bakar mengalami

keadaan hipermetabolik dimana terjadi peningkatan pemakaian energi yang disertai

kehilangan panas melalui proses penguapan (evaporative hat lost). Dimana respon

hipermetabolik ditandai dengan keadaan sirkulasi yang hiperdinamik, perubahan

metabolism glukosa, dan pemecahan protein otot.1,2

Keadaan hipermetabolisme inilah yang memerlukan bantuan nutrisi yang

adekuat untuk mendapatkan hasil akhir yang optimal. Tujuan dari pemberian nutrisi

adalah menyediakan zat-zat gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori dan

nitrogen pasien yang meningkat serta untuk menekan erosi massa tubuh dan

menghindari risiko dsfungsi system organ yang berhubungan dengan nutrisi yang

berlebihan atau tidak adekuat.5,6

5

LB Sedang (Moderate) LB 20 dan 30 10-20% pada kelompok usia <10 th / >50 th LB 20 dan 30 15-25% pada kelompok usia lain, dengan LB 30

<10% LB 30 < 10% pada semua kelompok usia; tanpa cedera pada

tangan, kaki dan perineum

LB Kritis, LB Berat, LB Masif LB 20 dan 30 >20% pada kelompok usia <10 th / >50 th LB 20 dan 30 >25% pada kelompok usia lain Trauma Inhalasi LB Multiple LB pada populasi resiko tinggi LB listrik tegangan tinggi LB tangan, kaki dan perineum

Page 6: refarat nutrisi

Prinsip dasar dalam pemberian nutrisi pendukung setelah luka bakar dalam

mempertahankan gizi yang optimal adalah :

1. Pertama, penilaian kebutuhan energi dan protein harus ditentukan sehingga

campuran yang sesuai dan jumlah nutrisi dapat disediakan. Karena kebutuhan,

terutama energi, perubahan selama cedera, penilaian sering sangat penting.

2. Kedua, pemberian dukungan nutrisi harus segera dimulai, lebih cepat lebih baik.

3. Ketiga, jalur pemberian nutrisi yang tepat harus dipilih. Jalur enteral adalah jalur

disukai dan teraman.

4. Keempat, kecukupan dukungan nutrisi harus ditentukan serta menjaga

keseimbangan elektrolit yang diperlukan dan menghindari komplikasi akibat gizi.

5. Kelima, salah satu harus terus-menerus menilai status hidrasi untuk menjaga

hidrasi yang optimal.7

PEMBERIAN NUTRISI PADA LUKA BAKAR

Pada fase akut, berlangsung suatu kondisi hipometabolisme, yang berdampak

hipoperfusi splangnikus yang diikuti terjadinya disrupsi mukosa usus. Pemberian

nutrisi pada fase ini sangat membahayakan karena akan diikuti meningkatnya

mortalitas. Nutrisi Enteral Dini (NED) merupakan tindakan preventif yang menjadi

acuan. Penerapan NED bertujuan gut feeding yang terbukti mencegah terjadinya

atrofi vili-vili mukosa. Pemberiannya dimulai dalam delapan jam pasca trauma

dengan dosis kecil yang ditingkatkan secara bertahap sesuai toleransi penderita,

demikian pula dengan osmolalitas kualitas nutrien yang diberikan.

6

Page 7: refarat nutrisi

Pada kasus luka bakar terjadi peningkatan kebutuhan kalori, untuk kebutuhan

terapi pemeliharaan (wanita 22 kcal/kg/d, laki-laki 25 kcl/kg/d), mereka memerlukan

tambahan 40 kcal persen dari total permukaan tubuh yang terbakar, dan pasien

tersebut memerlukan 40 - 60 kcal per kg berat badan. Selama fase hipermetabolik

pada luka bakar (0-14 hari), kemampuan metabolisme lemak dibatasi sehingga diet

yang menjadikan karbohidrat sebagai sumber kalori lebih diinginkan. Selama fase

hipermetabolik, metabolisme lemak menjadi normal. Pada pasien luka bakar juga

perlu diberikasn suplemen arginin, nekleotida dan omega 3 poliunsaturated untuk

pemeliharaan dan stimulus imunokompitensi.3,8

Dikenal beberapa metode untuk menentukan kebutuhan kalori basal penderita,

antara lain :

a. Indirect Calorimetry

Merupakan metode yang paling ideal dengan mengukur kebutuhan kalori secara

langsung, dimana alat ini telah memperhitungkan beberapa faktor seperti berat

badan, jenis kelamin, luas luka bakar, luas permukaan tubuh, adanya infeksi dll.

Untuk itu menghitung kalori total maka harus ditambahkan faktor stres 20-30%.

Penggunaan indirect calorimetry juga berguna untuk menilai respiratory qoutient

(RQ) yaitu efektifitas utilisasi zat gizi yang diberikan, sehingga dapat

menghindari kalori yang terlalu sedikit atau terlalu banyak.1

b. Dengan cara lain, menggunakan persamaan matematika yang dapat digunakan

untuk memperkirakan kebutuhan kalori penderita.

7

Page 8: refarat nutrisi

- Salah satunya yang direkomendasikan adalah perhitungan kebutuhan kalori

basal dengan formula Harris Benedict yang melibatkan faktor berat badan

(BB), tinggi badan (TB), dan umur (U).

Ekuasi Harris Benedict

Pria : 66,5 + (13,7 x BB) + (5 x TB) - (6,76 x U)

Wanita : 66,5 + (9,6 x BB) + (1,85 x TB) - (4,68 x U)1,9

Pada sumber lain, untuk memenuhi kebutuhan total kalori, perlu

diperhitungkan beberapa faktor antara lain faktor aktivitas fisik (AF), dan

faktor stress (FS), karenanya pada ekuasi ini dilakukan modifikasi formula

dengan menambahkan kedua faktor tersebut.

Ekuasi Harris Benedict1

Pria : 66,5 + (13,7 x BB) + (5 x TB) - (6,8 x U) x AF x FS

Wanita : 66,5 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) - (4,7 x U) x AF x FS

Ekuasi Harris Benedict10

Pria : 66,5 + (13,7 x BB) + (5 x TB) - (6,8 x U) x AF x IF

Wanita : 66,5 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) - (4,7 x U) x AF x IF

Faktor aktivitas : 1,2 untuk tirah baring. 1,3 untuk aktivitas biasa

8

Page 9: refarat nutrisi

Faktor Luka (Injury faktor):

%TBSA Injury Faktor20 1.4

20-25 1.625-30 1.730-35 1.835-40 1.940-45 2.0>45 2.1

- Selain itu, juga terdapat berbagai metode perhitungan kebutuhan kalori yang

dapat digunakan antara lain :

Formula Curreri :9,11

Dewasa : (25 kcal x kg BB) + 40 kcal x % TBSA

Anak-anak : (60 kcal x kg BB) + 35 kcal x % TBSA

Shriner's (galveston): 1800 kcal/m2 BSA + 2200 kcal/m2 of Burn11

- Rule of Thumb

Merupakan suatu metode perhitungan yang praktis. Penerapannya

menghindari kemungkinan terjadinya over feeding.

Kebutuhan kalori : 25 – 30 kal/KgBB1

JALUR PEMBERIAN NUTRISI

Penatalaksanaan nutrisi penderita luka bakar dapat dilakukan dengan berbagai

metode yaitu : pemberian nutrisi melalui oral/enteral, dan parentreal.1,2,3

9

Page 10: refarat nutrisi

Bila tidak didapatkan gangguan gastrointestinal seperti retensi lambung, ileus,

mual atau muntah, maka dapat segera dipersiapkan pemberian nutrisi baik melalui

oral atau enteral, Hubungan langsung makanan dengan lumen usus akan

meningkatkan aliran darah, merangsang sistem saraf otonom, pengeluaran hormon

dan enzim traktus gastrointestinal, yang akan menjaga keutuhan fungsi dan mukosa

traktus gastrointestinal serta mencegah translokasi bakteri.1,2

1. Pemberian melalui oral

Pemberian melalui oral dapat diberikan bila penderita kooperatif dan dapat

menghabiskan porsi makanannya, bila pasien kesulitan menghabiskannnya maka

seyogyanya segera dipasang pipa nasogatrik untuk pemberian nutrisi enteral agar

dapat menjamin asupan makanannya sesuai dengan rencana.

2. Nutrisi Enteral

Nutrisi Enteral adalah pemberian nutrisi menggunakan pipa ke saluran cerna (tube

feeding) sehingga langsung dapat dicerna maupun melalui proses digesti

sebelumnya. Sebagai upaya menjamin makanan sesuai program/rencana terutama

pada penderita yang tidak kooperatif atau tidak mungkin memperoleh asupan

makanan melalui jalur oral (misalnya fase akut).

- Fase akut, pasca syok, untuk program gut feeding sebagai upaya menjaga

integritas mukosa.

- Fase selanjutnya, untuk menjamin asupan kebutuhan kalori.

Pemberian Nutrisi Enteral dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu pipa

nasogastrik, gastrostomi dan jejunostomi.

10

Page 11: refarat nutrisi

3. Nutrisi Parenteral

Pada prinsipnya, pemberian Nutrisi Parenteral (NP) dilakukan bila fungsi

gastrointestinal tidak memungkinkan lagi untuk pemberian nutrisi melalui enteral.

Dalam pemberian NP, perlu diperhatikan kelengkapan komposisi zat gizi dan

osmolalitas cairan yang akan diberikan.

Karena alasan osmolalitasnya (umumnya > 800 mmol), pemberian NP

direkomendasikan untuk tidak menggunakan jalur perifer namun melalui jalur

sentral. Bila ada indikasi melakukan pemberiannya, direkomendasikan

penggunaaan triple lumen catheter. Resiko pemberian NP antara lain, phlebitis

(bertalian dengan osmolalitas), atrofi mukosa saluran cerna (karena dipuasakan),

respons inflamasi..

PEMBERIAN NUTRISI DINI

Nutrisi dini adalah pemberian nutrisi baik oral/enteral maupun parenteral,

sesegera mungkin pasca terjadinya luka bakar. Konsensus mengenai terminologi dini

yang disepakati adalah < 24 jam pasca trauma, pasca bedah, atau seseorang penderita

masuk ke rumah sakit. Khusus untuk luka bakar, penelitian-penelitian yang dilakukan

untuk menentukan waktu inisial pemberian nutrisi dini pada penderita luka bakar

menunjukkan waktu yang sangat bervariasi, yaitu empat sampai dengan empat puluh

delapan jam pasca trauma. Dari beberapa penelitian berupa review istimatis dari

meta-analisis membuktikan bahwa makin cepat nutrisi diberikan, semakin terlihat

keuntungan klinik.1

11

Page 12: refarat nutrisi

Pada pasien luka bakar yang membutuhkan nutrisi enteral maka, bahan

makanan yang diberikan dapat berupa makanan cair Rumah sakit atau formula

komersial dengan viskoditas 1 kalori/mL. Lamanya makanan enteral didalam botol

tidak boleh lebih dari 4 jam. Pada anak 3 tahun dengan luka bakar besar dianjurkan

pemberian nutrisi enteral 5 mL/jam dan, anak 3 tahun 10-20 mL/jam, sedangkan pada

dewasa diberikan 45 mL/jam. Nutrisi enteral diberikan melalui pipa nasogastrik,

secara drips dengan tetasan 15-20 tetes/menit. Kecepatan tetesan ini sangat sulit

dilakukan bila hanya mengendalikan efek grafitasi, tetapi dimungkinkan dengan

menggunakan pompa infus. Pemberian nutrisi enteral pada pasien luka bakar harus

terus menerus dimonitor, khususnya toleransi gastrointestinal.

Mengingat jumlah asupan yang masih sangat sedikit pada hari-hari pertama,

dan belum mencapai kebutuhan kalori total, maka biasanya kebutuhan kalori total ini

baru dapat tercapai pada hari ke tiga dan seterusnya.1

Komposisi makronutrien

1. Karbohidrat

Kondisi yang umum dijumpai pada kasus luka bakar berat adalah

hiperglikemia. Hiperglikemia merupakam refleksi dari kondisi anaerob pada fase

syok. Namun, tidak hanya terjadi pada fase syok (fase ebb), intoleransi glukosa

ini tetap dijumpai pada fase flow. Manifestasi klinisnya serupa dengan resistensi

insulin di pada diabetes melitus.1,10

12

Page 13: refarat nutrisi

Ada beberapa teori yang menjelaskan mekanisme terjadinya hiperglikemia

pada luka bakar fase akut, antara lain :

a. Reseptor insulin (membran sel) tidak memberi respon terhadap sinyal yang

berasal dari kadar gula darah pada kondisi hipoksia.

b. Akibat efektivitas karbohidrat, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan energi

dari sumber lain, dalam hal ini protein yang tersimpan pada massa tubuh non-

lemak (lean body mass).

c. Pada saat tersebut, terjadi perubahan rasio glukagon/insulin yang berpengaruh

pada proses glukoneogenesis yang berasal dari protein.1

Pasca trauma terjadi peningkatan rasio glukagon/insulin yang akan

mengaktifkan glukoneogenesis. Proses tersebut dipicu oleh pelepasan hormon

stres, mediator inflamasi (sitokin, eikosanoid), dan resistensi insulin, proses

glukoneogenesis sendiri sebenarnya merupakan upaya kompensasi tubuh untuk

menyediakan sumber energi bagi kelangsungan hidup penderita, dimana glukosa

yang terbentuk sangat dibutuhkan sebagai bahan bakar utama bagi jaringan luka,

hemopoitik dan otak.

Asam amino alanin dan asam amino lain akan diarahkan untuk mamasuki

jalur glukogenik sehingga terjadi kegagalan sintesis protein, deplesi yang

progresif dari protein tubuh akan merangsang terjadinya peningkatan kadar gula

darah. Area yang terkena luka bakar membutuhkan sejumlah besar glukosa, hal

tersebut ditunjukkan oleh adanya peningkatan sirkulasi disekitar area tersebut dan

terjadi peningkatan metabolisme glukosa. Pada daerah luka terjadi peningkatan

13

Page 14: refarat nutrisi

aliran darah setempat uptake glukosa tanpa disertai peningkatan konsumsi

oksigen, hal ini akan menyebabkan terjadinya metabolisme glukosa dalam

suasana anaerob, yang menghasilkan asam laktat. Asam laktat yang terbentuk ini

bersama-sama asam amino alanin, glutamin yang merupakan hasil dari proteolisis

otot dan gliseril serta asam lemak dari hasil lipolisis jaringan adipose akan

dikembalikan ke hati untuk mengalami glukoneogenesis.1,2,3,5,12

Pada pasien hipermetabolik berat, pemberian nutrisi berupa asam amino

dan karbohidrat ternyata akan menurunkan ekskresi nitrogen, sedangkan

pemberian lemak dalam jumlah setara, tidak berhasil membuktikan hasil yang

sama, pemberian karbohidrat akan menstimulasi hormon insulin serta diharapkan

dapat melindungi protein otot dan glikogen hati.13

Walaupun karbohidrat merupakan sumber energi utama, namun

pemberian karbohidrat yang terlalu tinggi berhubungan dengan hiperglikemia

hiperosmolalitas, diuresis osmotik yang dapat menyebabkan dehidrasi dan

hipovolemia, meningkatkan lipogenesis, perlemakan hati dan retensi

karbondioksida.

Pada pasien luka bakar berat sangat diperlukan pemantauan terhadap

hiperglikemia dan glikosuria. Pemberian insulin kadang-kadang diperlukan untuk

meningkatkan glukosa serum dan memaksimalkan utilisasi glukosa. Anjuran

pemberian karbohidrat pada fase akut adalah 30 - 50 % kalori total atau tidak

melebihi 5mg.kgBB/menit.1

2. Protein

14

Page 15: refarat nutrisi

Pasca luka bakar, katabolisme protein terjadi demikian cepat, dimana pada

fase akut, asam amino akan dijadikan sumber energi. Asam amino alanin dan

glutamin akan dibebaskan dari strukturnya untuk dimetabolisme dalam siklus

glukoneogenesis dihati. Jumlah protein yang dibutuhkan sangat dipengaruhi oleh

beberapa hal, antara lain :

a. Derajat kerusakan jaringan yang dikaitkan dengan luas dan dalamnya luka

bakar.

b. Ekskresi nitrogen melalui urin dan eksudat luka.

c. Kemampuan hati untuk mensistesis protein, dan

d. Adekuasi terapi nutrisi.1

Pelepasan hormon strees dan mediator sel radang (ILi, TNF, IL2, dam IL6)

menyebabkan perubahan metabolisme protein pada penderita luka bakar, yang

ditandai oleh terjadinya proteolisis protein otot dan peningkatan ekskresi nitrogen

melalui urin, sehingga menyebabkan terjadinya imbang nitrogen negatif.13

Peningkatan proteolisis protein otot bertujuan untuk membentuk protein

fase akut, penyembuhan luka, peningkatan aktifitas imunologi, proses

glukoneogenesis dan mengganti hilangnya protein melalui eksudat luka, pada

degradasi protein otot akan dilepaskan alanin dan glutamin. Alanin adalah

perkursor utama untuk glukoneogenesis, sedangkan glutamin merupakan bahan

bakar untuk epitel usus, sel imunitas dan pembentukan amonia di ginjal. Akibat

perubahan metabolisme protein tersebut, akan menyebabkan status protein

15

Page 16: refarat nutrisi

penderita luka bakar menurun drastis, sehingga dibutuhkan asupan protein yang

adekuat sebagai pengganti protein yang hilang.6,13

Dalam usaha untuk meningkatkan sintesis protein viseral, menjaga

keseimbangan nitrogen postif dan meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh

maka pada luka bakar berat dianjurkan pemberian protein sebesar 23-25% kalori

total dengan perbandingan kalori : nitrogen = 80 :1 atau 2,5 - 4 g protein/kgBB,

perlu juga diperhatikan jenis protein yang diberikan, sebaiknya protein yang

bernilai biologik tinggi. Pemberian diet protein tinggi dapat menyebabkan beban

bagi ginjal, oleh karena itu dibutuhkan pemantauan seperti status cairan, kadar

ureum dan kreatinin serum.1

Asam amino glutamin dan arginin merupakan conditionally essential

amino acid, yaitu asam amino yang tergolong non esensial, namun pada keadaan

trauma seperti luka bakar, hiperkatabolik atau stres berat, akan terjadi deplesi dari

kedua asam amino tersebut, sehingga dibutuhkan suplementasi. Suplementasi ini

sesuai dengan manfaatnya diharapkan akan menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas, walaupun untuk hasil yang optimal masih diperlukan penelitian klinik

lebih lanjut.

Arginin merupakan prekursor poliamin untuk sintesis kolagen dalam

penyembuhan luka yang juga dapat merangsang pertumbuhan dll. Peranan arginin

terhadap sistem imunitas tubuh terutama diperantarai oleh metabolik nitrit oxcide.

Suplementasi arginin 2 % dari total kalori terhadap binatang percobaan dengan

luka bakar, ternyata meningkatkan survival secara signifikan.

16

Page 17: refarat nutrisi

Glutamin dipercaya merupakan sumber energi bagi sel bereplikasi dengan

cepat seperti eritrosit dan limfosit. Pada keadaan luka bakar berat, fungsi GLAT

(gastrointestinal associate limphoid tissue) yang menunjang sistem imunitas tubuh

akan berubah dan fungsinya menurun. Suplementasi glutamin dapat membantu

perbaikan mukosa usus sekaligus meningkatkan fungsi sel imunitas sehingga

dapat memperbaiki intergitas dan fungsi barier imunitas.1,2,6

3. Lipid

Pemberian lipid bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi,

pemberiannya memperkecil katabolisme protein endogen. Lipid akan

menyediakan kalori tanpa disertai peningkatan osmolalitas. Hal ini jelas

mengntungkan terutama bila dibutuhkan energi dalam jumlah besar. Lipid juga

diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan asam lemak esensial, karena

diketahui lipid merupakan media pembawa vitamin larut lemak dengan perkiraan

kebutuhan 15-25 g/hari.

Pemberian lemak berlebihan diikuti timbulnya komplikasi antara lain

terjadinya akumlasi lemak di dalam darah, gangguan pembekuan, penekanan

sistem imunitas tubuh, dan lain sebagainya. Lemak tidak merangsang pengeluaran

hormon insulin dan tidak melindungi protein tubuh terhadap degradasi, sehingga

perlu dipertimbangkan untuk pemberian ang adekuat. Rekomendasi pemberian

lipid pada kasus trauma adalah 5-15% dari total kalori.

Asam lemak omega 3 dan omega 6 tergolong asam lemak rantai panjang

tak jeduh ganda (polyunsaturated fatty acids/PUFA). PUFA merupakan penyusun

17

Page 18: refarat nutrisi

strukur membran sel dan menghasilkan eikosanoid yang berperan pada

diferensiasi dan fungsi dari sel-sel imunitas tubuh.

Asam linoleat atau asam lemak omega 6 banyak terdapat dalam bahan

makanan di alam, merupakan prekursor asam arakidonat yang akan

dimotabolisme menjadi eikosanoid prastatglandin seri 1 dan 2 (PGEi dan

PGE2), tromboksan, prostasiklin dan leukotrien seri 4. Eikosanoid turunan

arakidonat ini dapat menyebabkan inflamasi, imunosepresi dan meningkatkan

degredasi protein otot. Sesuai dengan hal ini mengkomsumsi diet tinggi asam

linoleat merupakan kontraindikasi untuk pasien sakit berat.1,2,6

Asam lemak omega 3 khususnya asam eikosapentonoat (EPA) yang dapat

diperoleh dari minyak ikan, merupakan prekursor dari prastatglandin seri 3

(PGE3) dan leukotrien seri 5. keduanya berefek anti inflamasi dan

meningkatkan sistem imunitas tubuh demikian pula PGE3 berpotensi sebagai

vasodilator, omega 3 akan berkompetisi dan menginhibisi pembentukan PGEi dan

PGE2 dari asam linoleat, sehingga omega 3 ini sangat dianjurkan pada pasien luka

bakar.

Penelitian menunjukan dalam usaha meningkatkan sistem imunitas tubuh

maka pemberian omega 6 dan omega 3 dalam perbandingan yang ideal (2-3:1)

akan berefek mengurangi kondisi imunosupresi pasca luka bakar. Disisi lain perlu

disadari bahwa rantai panjang dari minyak ikan yang mengandung asam lemak

tak jenuh ganda, sangat peka terhadap auto-oksidasi, sehingga berpotensi

18

Page 19: refarat nutrisi

menyebabkan kerusakan sel akibat terbetuknya radikal bebas. Untuk mengatasi

hal itu, perlu kiranya dipertimbangkan pemberian antioksidan.1,2

Suplementasi mikronutrien

Mikronutrien diperlukan sebagai koenzim dan kofaktor untuk reaksi fisiologis

dalam sel, metabolisme makronutrien dan energi. Dengan meningkatnya kebutuhan

energi dan protein, kehilangan melalui luka, perubahan metabolisme, absorbsi,

eksresi dan utilisasi maka kebutuhan mikronutrien ini jelas perlu ditingkatkan.

Vitamin berpotensi untuk sintesis protein, penyembuhan luka meningkatkan

fungsi imunitas dan antioksidan. Pada penderita luka bakar dalam kondisi sakit berat

dan hipermetabolisme, maka kebutuhan vitamin akan meningkat. Dianjurkan

peningkatan suplemetasi 50 - 100 kali recommended daily alawance (RDA) untuk

vitamin larut air dan vitamin E, dan dosis aman untuk vitamin larut lemak dan

vitamin B6 sampai sepuluh kali RDA. Mineral juga memainkan peranan penting

dalam penyembuhan luka, fungsi imunitas, antioksidan dan lain-lain. Seng diperlukan

dalam metabolisme protein. Selenium-dependent glultation peroksidase melindungi

sel dari kerusakan akibat hidrogen perioksidase. Pada penderita luka bakar,

kebutuhan mineral juga meningkat.1

Komplikasi

Proses kimiawi, sepsis, dan komplikasi metabolik yang dikaitkan dengan

pemberian nutrisi secara enteral dan parenteral pada pasien luka bakar, yang mana

19

Page 20: refarat nutrisi

penaganannya sama dengan pada pasien dalam kondisi krisis pada umumnya, dimana

jumlah dan lamanya pemberian nutrisi pada pasien luka bakar memerlukan perhatian

lebih dari segi jumlah, komposisi, dan tingkat keamanan, guna menghindari

terjadinya komplikasi.1,2,11

Pemantauan dan evaluasi

Selama dalam proses perawatan, diperlukan pemantauan asupan nutrisi,

perhitungan kalori sesuai kondisi penderita, bentuk dan cara pemberian nutrisi.

Pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk menilai perbaikan dan efektivitas terapi

termasuk terapi nutrisi.

Asupan kalori dan kecenderungan berat badan digunakan untuk pengukuran

sehari-hari kemajuan bantuan nutrisi. Pasien harus ditimbang dalam cara yang

konsisten sehingga kesalahan penimbangan berat badan karena pakaian dan bidai

dapat dihilangkan.1,2

Pemeriksaan keseimbangan nitrogen yang berkala menawarkan informasi

objektif lebih lanjut tentang keadekuatan bantuan nutrisi. Keseimbangan nitrogen

negatif menyatakan perlunya memberikan nutrisi tambahan, dan penyesuaian regimen

bantuan nutrisi harus dilakukan semestinya. Pemeriksaan berkala dilakukan dengan

kalorimetri indirek atau pemeriksaan ulang yang berdasarkan luka bakar yang masih

belum tertutup. Ini terutama penting untuk menghindari pemberian makanan yang

berlebihan (overfeed-ing) saat penutupan luka bakar tercapai.5

20

Page 21: refarat nutrisi

DAFTAR PUSTAKA

1. Oetoro Samuel, Permadhi inge, Wijoksono Fiastuti. Tatalaksana Nutrisi Pada

Luka bakar. Editor Moenadjat yefta. Dalam Luka Bakar, Masalah dan

Tatalaksana edisi kedua. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta 2009. 285-97

2. Oetoro Samuel, Permadhi inge, Wijoksono Fiastuti. Perubahan Metabolisme Pada

luka bakar. Editor Moenadjat yefta. Dalam Luka Bakar Pengatahuan Klinis

Praktis edisi kedua. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta 2003. 95-9

3. Tawnsend. M Courtney, Beauchamp Daniel.R, Evers Mark.B, Mattox.L Kanneth

Sabiston TextBook of Sutgery. The Bioligical Bsis of Modern Surgical

Practice. 17th edition. Elsevir Sunders.Philadelphia 2004. 588-9

4. Anonym. Rule Of Nine. 2008. http://www.clinicaledu.com/clinician_training_

guides.html. Accessed on Maret 2012.

5. Cemeron Jhon, Saputra Lyndon ed, Penatalaksanaan Cairan dan Nutrisi

Untuk Pasien dengan iuka bakar dalam Terapi Bedah Mutakhir, Edisi IV,

Binarupa Aksara. Jakarta, 2000. 502-10

6. Schwatz Seymour, M.D, Luka Bakar dalam Intisari Prinsip-prinsip Ilmu

Bedah, edisi IV. EGC. Jakarta. 96-121.

7. H. Demling. R, DeSanti L, Etc. The Burn Nutrition Module Section I. www.

burnsurgery. com. Accessed on Maret 2012

8. Way.w Lawrence, Doherty M Gerrad. Current Surgical Diagnosis &

Traetment. 11th Edition. Surgical Metabolisme & Nutrition. Mc Graw Hill.

Boston 2003. 185-6

21

Page 22: refarat nutrisi

9. Charles HT. Robert WB. Reconstruction of the Penis. Grabb and Smith

Plastic’s Surgery. 6th Edition. New York: Lippincot Williams & Wilkins. 2007.

140.

10. Chiarelli A, Enzi.G, Casadei A, Baggio B, Valerio A, Mazzoleni F. Etc. Chapter

7: Nutrition www. burnsurgery. com. Accessed on Maret 2012

11. Bongard s. Frederic, Sue y. Darryl. Current Critical Care Diagnosis &

Treatmen. Second edition. McGraw-Hill. New York. 2003. 822-3

12. Jeffry A, Norton MD, etc. Burns in Surgery Basic Scienci and Clinical

Evidence. Springer. United State, 1997. 327-36

13. Argenta C. Laouis. Basic Science For Surgeons. Saunders. Philadelphia. 2004.

415-7

22