200

RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

  • Upload
    others

  • View
    20

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA
Page 2: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIAYANG KRONIS, SISTEMIK, DAN MELUAS DI INDONESIA

Noer Fauzi Rachman*

Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: The article offers an framework to identify causes, effects, perpetuating conditions, and structural roots of agrarianconflicts. Systemic agrarian conflicts were defined as everlasting contradictory claims on who had the rights over access to lands,natural resources, and territories between rural community and concession holders in the business of plantation, forestry,mining, infrastructure, etc. The conflicting claims are perpetuated by significant efforts to delegitimize the existence of others’claims. Being different from various mainstream analysis promoting global market as opportunity, I prefer to use what Ellen M.Wood notion of “market-as-imperative”. Using the illustration of the expansion of oil palm plantation in Indonesia, the articleshows the consequence of global capitalist markets to the emergence of the agrarian conflicts.KeywordsKeywordsKeywordsKeywordsKeywords: agrarian conflicts, market, agrarian capitalism.

Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Artikel ini menawarkan sebuah kerangka penjelas untuk memahami sebab, akibat, kondisi yang melestarikan, dan akar-akar masalah dari konflik agraria struktural. Konflik agraria struktural didefinisikan sebagai pertentangan klaim yang berkepanjanganmengenai siapa yang berhak atas akses terhadap tanah, sumberdaya alam, dan wilayah antara satu kelompok rakyat pedesaandengan badan penguasa dan/atau pengelola tanah yang bergerak dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya.Pertentangan klaim tersebut disertai pula dengan upaya dan tindakan menghilangkan eksistensi, legitimasi, atau daya berlaku dariklaim pihak lain. Berbeda dengan banyak analisis yang mengutamakan pasar-sebagai-kesempatan, penulis mendayagunakanpemikiran Ellen M. Wood mengenai pasar-sebagai-keharusan. Dengan menggunakan ilustrasi pada konflik-konflik agraria berkenaandengan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia, artikel ini menempatkan konflik agraria sebagai konsekuensi dariperkembangan pasar kapitalis.Kata KKata KKata KKata KKata Kunciunciunciunciunci: Konflik agraria, pasar, kapitalisme agraria.

A. Pengantar

Konflik agraria struktural yang dimaksuddalam artikel ini merujuk pada pertentanganklaim yang berkepanjangan mengenai siapa yangberhak atas akses pada tanah, sumber daya alam

(SDA), dan wilayah antara suatu kelompokrakyat pedesaan dengan badan penguasa/penge-lola tanah2 yang bergerak dalam bidang pro-duksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya; dan pi-

Hukum memenjarakan laki-laki dan perempuan,tersangka yang mencuri seekor angsa dari tanah kepunyaan bersama.

Namun tersangka yang lebih besar lolos begitu saja,yakni mereka yang mencuri tanah milik bersama dari angsa itu

…Dan para angsa terus hidup dalam kekurangan tanah bersama

Sampai mereka masuk dan mencurinya kembali.1

* Noer Fauzi Rachman, PhD adalah Direktur SajogyoInstitute, Bogor; Dewan Pakar Konsorsium PembaruanAgraria (KPA); dan pengajar mata kuliah “Politik danGerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas EkologiManusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB).

1 “The law locks up the man or woman; Who stealsthe goose from off the common; But leaves the greatervillain loose; Who steals the common from off the goose;

Page 3: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

2 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

hak-pihak yang bertentangan tersebut berupayadan bertindak, secara langsung maupun tidak,menghilangkan klaim pihak lain. Konflik agrariayang dimaksud dimulai oleh surat keputusanpejabat publik, termasuk Menteri Kehutanan,Menteri ESDM (Energi Dan Sumber Daya Min-eral), Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional),Gubernur, dan Bupati, yang memberi ijin/hak/lisensi pada badan usaha tertentu, dengan me-masukkan tanah, SDA, dan wilayah kepunyaanrakyat ke dalam konsesi-konsesi agraria yangbergerak dalam bidang ekstrasi, produksi, mau-pun konservasi berbasiskan sumberdaya alam.

Konflik agraria yang dimaksud dalam artikelini dimulai dengan pemberian ijin/hakpemanfaatan oleh pejabat publik yang meng-ekslusi sekelompok rakyat dari tanah, SDA, danwilayah kelolanya. Akses yang telah dipunyaisekelompok rakyat itu dibatasi, atau dihilangkansepenuhnya. Dalam literature studi agraria ter-baru, konsep akses dan ekslusi adalah dua kon-sep yang diletakkan sebagai dua sisi dari satumata uang. Akses diberi makna sebagai “kemam-puan untuk mendapat manfaat dari sesuatu,termasuk objek-objek material, orang-orang,institusi-institusi dan simbol-simbol”3, sedangkaneksklusi dimaknakan sebagai “cara-cara dimanaorang lain dicegah untuk mendapatkan manfaat

dari sesuatu (lebih khususnya, tanah)”.4 Proseseksklusi ini menggunakan regulasi, pasar, keku-atan, dan legitimasi, sebagaimana dijelaskandengan panjang lebar dan secara ilustratif dalambuku Derek Hall, Philip Hirsch, dan TaniaMurray Li dalam Power of Exclusion, Land Di-lemmas in Southeast Asia, 2001.

Naskah ini akan secara lugas mengungkapdan membahas rantai penjelas dari konflik agra-ria (sebab langsung, sebab struktural, dan kon-disi-kondisi yang melestarikannya—lihat Bagan1 di bawah), dengan mengambil ilustrasi konflikagraria yang diakibatkan oleh ekspansiperkebunan kelapa sawit.

B. Kerangka Rantai Penjelas Konflik-konflik Agraria

Konflik agraria akan terus-menerus meletusdi sana-sini, bila sebab-sebabnya belum dihi-langkan. Dengan tetap adanya kondisi-kondisiyang melestarikannya, konflik-konflik agraria inimenjadi kronis dan berdampak luas. Pelajaranpokok yang hendak dikemukakan tulisan iniadalah bahwa dalam menangani konflik-konflikagraria struktural, yang kronis, sistemik danberdampak luas, kita tidak bisa mengandalkancara-cara tambal-sulam dengan sekedar menga-tasi secara cepat dan darurat, terutama sehu-bungan dengan eskalasi dan ekses yang tampakdari konflik-konflik itu. Artikel ini mengan-jurkan bahwa untuk memahami konflik-konflikagraria seperti ini secara memadai, kita memer-lukan pendekatan yang memadai pula, yangmendasarkan diri pada rerantai sebab-akibat dankondisi-kondisi yang melestarikannya.

… And geese will still a common lack; Till they go andsteal it back”, demikian bait-bait protes atas enclosure(perampasan tanah) yang merupakan gejala umum di Inggrismulai abad 17. Dalam literature terbaru, kalimat-kalimat inidikutip kembali untuk menunjukkan relevansi konsep analitik“enclosure’. Lihat misalnya Ollman (2008: 8), Kloppenburg(2010: 367).

2 Dalam pengertian badan penguasa/pengelola tanahini mencakup baik perusahaan-perusahaan milik Negara,maupun milik pribadi/swasta, domestik maupun asing; danjuga badan-badan pemerintah pengelola tanah luas, sepertitaman-taman nasional yang berada langsung dibawahKementerian Kehutanan.

3 Jesse Ribot dan Nancy Lee Peluso, 2003, “ATheory of Access”. Rural Sociology, 68 (2), hlm. 153.

4 Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li, 2011, Pow-ers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Singaporeand Manoa: NUS Press, hlm. 7.

Page 4: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

3Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14

Sebab-sebab

• Pemberian ijin/hak/konsesi oleh pejabat pub-lik (Menteri kehutanan, Menteri ESDM,Kepala BPN, Gubernur dan Bupati) yang me-masukkan tanah/wilayah kelola/SDA ke-punyaan sekelompok rakyat ke dalam konsesibadan-badan usaha raksasa dalam bidangproduksi, ekstraksi, maupun konservasi.

• Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan pe-nipuan dalam pengadaan tanah skala besaruntuk proyek-proyek pembangunan, perusa-haan-perusahaan raksasa, dan pemegangkonsesi lain dalam bidang produksi, ekstraksi,konservasi.

• Ekslusi sekelompok rakyat pedesaan dari ta-nah/wilayah kelola/SDA yang dimasukkan kedalam konsesi badan usaha raksasa tersebut.

• Perlawanan langsung dari kelompok rakyatsehubungan ekslusi tersebut.

Akibat-akibat

• Ekslusi rakyat, perempuan dan laki-laki, atastanah, wilayah, dan SDA yang diperebutkan

secara langsung berakibat hilangnya (seba-gian) wilayah hidup, mata pencaharian, dankepemilikan atas harta benda.

• Menyempitnya ruang hidup rakyat, yangdiiringi menurunnya kemandirian rakyatdalam memenuhi kebutuhan hidupnya, uta-manya pangan.

• Last but not least, transformasi dari petanimenjadi buruh upahan.

Akibat-akibat Lanjutan

• Konflik yang berkepanjangan menciptakankrisis sosial ekologi yang kronis, termasukmendorong penduduk desa bermigrasi kewilayah-wilayah baru untuk mendapatkan ta-nah pertanian baru atau pergi ke kota menjadigolongan miskin perkotaan.

• Dalam krisis sosial ekologis ini secara khususperhatian perlu diberikan pada berbagai ben-tuk ketidakadilan gender, dimana perempuandari kelompok marginal menghadapi danmenanggung beban yang jauh lebih besar.

• Merosotnya kepercayaan masyarakat setem-

Bagan 1. Kerangka penjelas sebab-akibat konflik agraria struktural, kondisi-kondisi yang melestarikan,dan akar masalahnya

Page 5: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

4 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

pat terhadap pemerintah yang pada gilirannyadapat menggerus rasa ke-Indonesia-an parakorban.

• Meluasnya artikulasi konflik agraria ke ben-tuk-bentuk konflik lain seperti: konflik etnis,konflik agama, konflik antar kampung/desa,dan konflik antar “penduduk asli” dan pen-datang.

Kondisi-kondisi yang Melestarikan

• Tidak adanya koreksi atas putusan-putusanpejabat publik yang memasukkan tanah/wilayah kelola/SDA rakyat ke dalam konsesibadan usaha atau badan pemerintah raksasauntuk produksi, ekstraksi, maupun konser-vasi, dan di sisi lain, berlangsungnya terus-menerus proses pemberian ijin/hak padabadan-badan raksasa tersebut.

• Lembaga-lembaga pemerintah tidak pernahmembuka informasi kepada publik, apalagidikontrol oleh publik, perihal penerbit hak/ijin/lisensi yang berada pada kewenangannya.

• Ketiadaan kelembagaan yang memilikiotoritas penuh, lintas sektor dalam lembagapemerintah, yang memadai dalam menanga-ni konflik agraria yang telah, sedang, danakan terjadi.

• Badan-badan usaha atau badan-badan peme-rintah bersikap defensif apabila rakyat meng-artikulasikan protes sebab hilang atau berku-rangnya akses rakyat atas tanah, sumber dayaalam, dan wilayahnya, sebagai akibat dari hak/ijin/lisensi yang mereka dapatkan itu. Lebihlanjut, protes rakyat disikapi dengan keke-rasan, kriminalisasi, dan intimidasi.

• Sempitnya ruang lingkup dan terhambatnyapelaksanaan program yang disebut “ReformaAgraria” dalam membereskan ketimpanganpenguasaan tanah dan SDA. Lebih dari itu,kita menyaksikan berbagai skandal dalamimplementasi redistribusi tanah, misalnyapemberian tanah bukan pada mereka yang

memperjuangkan, pengurangan jumlahtanah yang seharusnya diredistribusi, peni-puan dan manipulasi nama-nama penerimamaupun objek redistribusi, dan tanah-tanahyang diredistribusi dikuasai oleh tuan-tuantanah (rekonsentrasi).

Akar Masalah

• Tidak adanya kebijakan untuk menyediakankepastian penguasaan (tenurial security) bagiakses atas tanah-tanah/SDA/wilayah kelolamasyarakat, termasuk pada akses yang beradadalam kawasan huatn negara.

• Dominasi dan ekspansi badan-badan usaharaksasa dalam industri ekstraktif, produksiperkebunan dan kehutanan, serta konservasi.

• Instrumentasi badan-badan pemerintahansebagai “lembaga pengadaaan tanah” melaluirejim-rejim pemberian hak/ijin/lisensi atastanah dan sumber daya alam.

• UUPA 1960 yang pada mulanya ditempatkansebagai UU Payung, pada prakteknya disem-pitkan hanya mengurus wilayah non-hutan(sekitar 30% wilayah RI), dan prinsip-prinsip-nya diabaikan. Peraturan perundang-un-dangan mengenai pertanahan/kehutanan/PSDA lainnya tumpang tindih dan berten-tangan antara satu dengan yang lain.

• Hukum-hukum adat yang berlaku di ka-langan rakyat diabaikan atau ditiadakankeberlakuannya oleh perundang-undanganagraria, kehutanan dan pertambangan.

• Sektoralisme kelembagaan, sistem, mekanis-me, dan administrasi yang mengatur perta-nahan/kehutanan/SDA lainnya yang semakinmenjadi-jadi.

• Last but not least, Semakin menajamnya ke-timpangan penguasaan, pemilikan, penggu-naan, dan peruntukan tanah/hutan/SDAlainnya.

Page 6: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

5Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14

C. Ilustrasi Konflik-konflik Agrariasebagai Akibat Ekspansi PerkebunanKelapa Sawit

Produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesiaterus tumbuh pesat dari tahun ke tahun. Indo-nesia adalah penghasil CPO terbesar di dunia.Pemantauan dari Indonesian Commercial NewsLetter (Juli 2011) produksi CPO meningkat men-jadi 21,0 juta pada 2010 dari tahun sebelumnya19,4 juta ton. Pada 2011 produksi diperkirakanakan naik 4,7% menjadi sekitar 22,0 juta ton.Sementara itu, total ekspor juga meningkat, yak-ni pada 2010 sekitar 15,65 juta ton, dan diper-kirakan akan melonjak menjadi 18,0 juta tonpada 2011. Dari total produksi tersebut diperki-rakan hanya sekitar 25% atau sekitar 5,45 jutaton yang dikonsumsi oleh pasar domestik. Pro-duksi CPO sebanyak itu ditopang oleh total luaskonsesi perkebunan kelapa sawit yang terusbertambah yaitu menjadi 7,9 juta hektar pada2011 dari 7,5 juta hektar pada 2010.

Data Dirjenbun menunjukkan bahwa luasanperkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 8,1juta (Dirjenbun 2012 sebagaimana dikutip olehSawit Watch 2012). Luas perkebunan ini, lebihkecil dari yang sesungguhnya sebagaimanadiperkirakan oleh Sawit Watch (2012), telah men-capai 11,5 juta hektar. Perkebunan-perkebunankelapa sawit sering lebih luas dari konsesi legal-nya. Dari luasan ini berapa persen partisipasipetani-petani yang bertanam kelapa sawit ditanahnya sendiri. Menurut Dirjen Perkebunan,Departemen Pertanian, luasan kebun sawit milikpetani di atas 40 % (sebagaimana dikutip olehSawit Watch 2012). Sementara menurut SawitWatch sendiri (2012), jumlahnya adalah kurangdari 30 %. Dengan percepatan luasan 400.000ha per tahun, luasan kebun sawit Indonesia yangdigenjot pemerintah, perusahaan-perusahaanswasta, dan petani-petani sawit, luasan kebunsawit di Indonesia dicanangkan mencapai 20 juta

hektar pada tahun 2025.Menarik sekali memperhatikan data dari

Direktur Pascapanen dan Pembinaan UsahaDirektorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan padaKementerian Pertanian, Herdradjat Natawidjaja(2012), sebagaimana dimuat dalam Kompas 26Januari 2011, “Lahan Sawit Rawan Konflik”. Dalamrapat koordinasi perkebunan berkelanjutan diKota Pontianak, Kalimantan Barat, pada tanggal25 Januari 2012, ia menyampaikan data bahwasekitar 59 % dari 1.000 perusahaan kelapa sawitdi seluruh daerah Indonesia terlibat konflikdengan masyarakat terkait lahan. Tim dari DitjenPerkebunan sudah mengidentif ikasi konflik itudi 22 provinsi dan 143 kabupaten. Totalnya adasekitar 591 konflik: Kalimantan Tengah menem-pati urutan pertama dengan 250 kasus konflik,disusul Sumatera Utara 101 kasus, KalimantanTimur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, danKalimantan Selatan 34 kasus.

Dalam banyak konflik-konflik agraria kitajuga menyaksikan instrumentasi hukum, peng-gunaan kekerasan, kriminalisasi (tokoh) pendu-duk, manipulasi, penipuan, dan pemaksaaanpersetujuan, yang dilakukan secara sistematikdan meluas. Kesemua ini sering menyertai upayapenghilangan klaim rakyat atau pengalihanpenguasaan atas tanah, SDA dan wilayah kelolarakyat setempat ke konsesi yang dipunyai olehbadan-badan usaha raksasa termaksud. Hal inisekaligus merupakan ekslusi atau pembatasanakses rakyat terhadap tanah, SDA, maupun wila-yah kelolanya. Sebaliknya, terjadi perlawananlangsung dari rakyat maupun yang difasilitasioleh organisasi-organisasi gerakan sosial, lem-baga swadaya masyarakat (LSM), maupun elitepolitik, dilakukan untuk menentang eksklusi,atau pembatasan paksa akses rakyat tersebut.

Sudah diakui bahwa masalah pengadaan ta-nah untuk perkebunan sawit di Indonesia cende-rung berujung pada konflik agraria. Perten-

Page 7: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

6 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

tangan klaim hak atas tanah terjadi antarapengusaha yang telah mengantongi Hak GunaUsaha (HGU) dari pemerintah dengan masya-rakat petani yang telah hidup bertahun-tahundi sebuah wilayah dengan sistem tenurialnyasendiri.5

D. Sebab-sebab Struktural KonflikAgraria

Konf lik agraria belum banyak diungkapsebab-sebab strukturalnya, yakni yang berhu-bungan dengan bagaimana ekonomi pasarkapitalistik bekerja. Harus dipahami bahwaekonomi pasar kapitalistik bekerja sama sekaliberbeda dengan ekonomi pasar sederhana dima-na terjadi tukar-menukar barang melalui tin-dakan belanja dan membeli yang diperantaraioleh uang. Dalam ekonomi pasar kapitalis,“bukanlah ekonomi yang melekat ke dalam hu-bungan-hubungan sosial, melainkan hubungan-hubungan sosial lah yang melekat ke dalam sis-tem ekonomi kapitalis itu”.6 Pasar kapitalis memi-liki kekuatannya sendiri yang dipercayai bisamengatur dirinya sendiri. Tapi, sebagaimanaditunjukkan oleh Polanyi, badan-badan negaralah yang sesungguhnya membuat pasar kapitalisdemikian itu bisa bekerja.

Ekonomi pasar kapitalis terus bergerak. Kalautidak bergerak dia mati. Gerakan pasar dapatdibedakan sebagai penyedia kesempatan danjuga dapat sebagai kekuatan pemaksa. EllenWood (1994) mengistilahkannya sebagai mar-ket-as-opportunity (pasar-sebagai-kesempatan),

dan market-as-imperative (pasar-sebagai-keha-rusan). Pasar sebagai kesempatan bekerja melaluiproses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhanmanusia pada gilirannya dibentuk agar dapatmengkonsumsi apa-apa yang diproduksi. Seba-gai suatu sistem produksi yang khusus, ia men-dominasi cara pertukaran komoditas melaluipasar. Lebih dari itu, perusahaan kapitalismesanggup membentuk bagaimana cara sektorekonomi dikelola oleh badan-badan pemerin-tahan hingga ke pemikiran cara bagaimana caraekonomi pasar itu diagung-agungkan.7

Negara Indonesia secara terus-menerus di-bentuk menjadi negara neoliberal dalam rangkamelancarkan bekerjanya ekonomi pasar kapitalisdi zaman globalisasi sekarang ini. Hal ini perludipahami dengan kerangka pasar-sebagai-keha-rusan. Pasar-sebagai-keharusan dapat dipahamimulai dari karakter sistem produksi kapitalissebagai yang paling mampu dalam mengakumu-lasikan keuntungan melalui kemajuan dansof istikasi teknologi, serta peningkatan produk-tivitas tenaga kerja per-unit kerja, dan ef isiensihubungan sosial dan pembagian kerja produksidan sirkulasi barang dagangan. Kesemuanyamengakibatkan penggantian pabrik-pabrik yangtelah usang, sektor-sektor ekonomi yang tidakkompetitif, hingga ketrampilan para pekerja yangtidak lagi dapat dipakai.

Sebagai sistem produksi yang khusus, kapi-talisme ini memberi tempat hidup dan insentifbagi semua yang ef isien, dan menghukum matiatau membiarkan mati hal-hal yang tidaksanggup menyesuaikan diri dengannya. Selan-jutnya, di atas apa-apa yang telah dihancur-lebur-kan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang

5 M. Colchester, N. Jiwan, M.T. Sirait, A.Y. Firdaus,A. Surambo, & H. Pane, 2006, Promised Land: Palm Oiland Land Acquisition in Indonesia - Implications for LocalCommunities and Indigenous Peoples (published by ForestPeople Programme (FPP), Sawit Watch, HUMA,World Agroforestry Centre (ICRAF) – SEA.

6 Karl Polanyi, 1967 (1944). The Great Transforma-tion: The Political and Economic Origins of Our Time. Bos-ton: Beacon Press, 1967/(1944), hlm. 57.

7 Perihal asal-mula dari keharusan-pasar (market-im-peratives), dan cara bagaimana keharusan-keharusan inimembentuk kebijakan-kebijakan ekonomi utama saat inisilakan lihat karya-karya Wood (1994, 1995:284–93; 1999a;1999b; 2001,:283–6; 2002a:193–8; 2002b; and 2009)

Page 8: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

7Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14

dapat lebih menjamin keberlangsungan akumu-lasi keuntungan. Schumpeter (1944/1976:81-86)menyebut hal ini sebagai the process of creativedestruction (proses penghancuran yang kreatif).

Sejarah penguasaan agraria di Indonesia ham-pir mirip dengan sejarah yang terjadi di negara-negara pasca-kolonial di Asia, Amerika Latinhingga Afrika. Pemberlakuan hukum agrariayang baru, termasuk di dalamnya hukum yangmengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan,dan pertambangan, merupakan suatu cara agarperusahaan-perusahaan kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa maupun Amerika dapatmemperoleh akses eksklusif atas tanah dankekayaan alam, yang kemudian mereka def ini-sikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu.

Di Indonesia pasca-kolonial, kran liberalisasisumberdaya alam tersebut sangat jelas ketikaOrde Baru pimpinan Jenderal Soeharto mulaiberkuasa, tahun 1967. Liberalisasi ini telah me-rampas kedaulatan rakyat atas tanah untukkedua kalinya setelah pemerintah kolonial mela-kukan cara serupa semasa penjajahan sebelum-nya. Badan-badan pemerintahan dan perusaha-an-perusahaan mulai mengkapling-kaplingtanah-air Indonesia untuk konsesi perkebunan,kehutanan dan pertambangan, dan mengelu-arkan penduduk yang hidup di dalam konsesiitu. Hubungan dan cara penduduk menikmatihasil dari tanah dan alam telah diputus melaluipemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan,pemagaran wilayah secara f isik, hingga peng-gunaan simbol-simbol baru yang menunjukkanstatus kepemilikan yang bukan lagi dipangku olehmereka. Bila saja sekelompok rakyat melakukanprotes dan perlawanan untuk menguasai danmenikmati kembali tanah dan wilayah yang telahdiambil alih pemerintah dan perusahaan-peru-sahaan itu, mereka akan merasakan akibat yangsangat nyata: kriminalisasi, sanksi oleh birokrasihukum, atau tindakan kekerasan lainnya yangseringkali dibenarkan secara hukum.

Pengkaplingan dan pemutusan hubungan itupada intinya adalah penghentian secara paksaakses petani atas tanah dan kekayaan alam ter-tentu, lalu tanah dan kekayaan alam itu masukke dalam modal perusahaan-perusahaan kapi-talistik.8 Jadi, perubahan dari alam menjadi “sum-ber daya alam” ini berakibat sangat pahit bagirakyat petani yang harus tersingkir dari tanahasalnya dan sebagian dipaksa berubah menjaditenaga kerja/buruh upahan. Ini adalah prosespaksa menciptakan orang-orang yang tidak lagibekerja terikat pada tanah dan alam. Orang-orang ini mengandalkan hanya pada tenaga yangmelekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pe-kerja bebas. Sebagian mereka pergi dari tanahmereka di desa-desa ke kota-kota untuk menda-patkan pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinandi kota-kota dilahirkan oleh proses demikian ini.9

David Harvey (2003, 2005) mengemukakanistilah accumulation by dispossession (akumulasi

8 Karl Marx dalam Das Capital (1867) mengembangkanteori “the so-called primitive accumulation”, yang mendu-dukkan proses perampasan tanah ini sebagai satu sisi darimata uang, dan kemudian memasangkannya dengan sisilainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas. Marx menger-jakan kembali temuan Adam Smith (pemikir ekonomi terkenalyang menteorikan mengenai “tangan-tangan tak terlihat” [in-visible hands] yang bekerja dalam mengatur bagaimana pasarbekerja), bahwa “akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulusebelum pembagian kerja”, sebagaimana tertulis dalam karyaterkenalnya The Weath of Nations (1776, I.3: 277). MichaelPerelman memecahkan misteri penggunaan kata “primitive”dalam “primitive accumulation”. Seperti yang secara tegastercantum dalam tulisan Marx, kata primitive berasal dariistilah previous accumulation- Adam Smith. Marx yangmenulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan kata “previ-ous” dari karya Adam Smith menjadi “ursprunglich”, dimanapenerjemah bahasa Inggris Das Kapital karya Marx kemudianmenerjemahkannya menjadi kata “primitive” (Perelman2000:25). Uraian menarik mengenai konsep “original accu-mulation” dari Adam Smith dan “primitive accumulation”dari Karl Marx, dan relevansinya untuk memahamiperkembangan kapitalisme dewasa ini, dapat ditemukan dalamPerelman (2000) dan De Angelis (1999, 2007).

9 Mike Davis, 2006, Planet of Slums. New York: Verso.

Page 9: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

8 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

dengan cara perampasan) yang dibedakandengan accumulation by exploitation, yakni aku-mulasi modal secara meluas melalui eksploitasitenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasibarang dagangan. Dalam proses akumulasidengan cara perampasan, dia menekankan pen-tingnya “produksi ruang, organisasi pembagiankerja yang secara keseluruhannya baru dalamwilayah yang baru pula, pembukaan berbagaimacam cara perolehan sumberdaya baru yangjauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayahbaru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruangakumulasi modal, dan penetrasi terhadap forma-si sosial yang ada oleh hubungan-hubungan so-sial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (con-tohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi)membuka jalan bagi penyerapan surplus modalmaupun tenaga kerja”.10 Reorganisasi dan rekon-struksi geograf is untuk pembukaan ruang-ruang baru bagi sistem produksi kapitalis ini di-mulai dengan menghancur-lebur hubungankepemilikan rakyat pedesaan dengan tanah,kekayaan alam, dan wilayahnya, dan segala hal-ihwal kebudayaannya yang hidup, melekat seca-ra sosial pada tempat-tempat itu.

Reorganisasi dan rekonstruksi geograf is ini-lah yang sedang kita alami dengan pemberiankonsesi-konsesi tanah dan sumber daya alamuntuk menghasilkan komoditas-komoditas glo-bal seperti yang dirancang secara terpusatdengan Masterplan Percepatan dan Pengem-bangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.Dalam MP3EI itu, tiap koridor ekonomi diran-cang untuk menghasilkan andalan-andalankomoditas global tertentu (lihat table 1 di bawah).

Tabel 1. Pembagian Koridor Ekonomimenurut MP3EI

Pasar kapitalis membuat segala hal dikomo-dif ikasi menjadi barang dagangan. Namun,khusus untuk tanah (atau lebih luas alam), pasarkapitalis tidak akan pernah berhasil mengko-modif ikasi sepenuhnya. Karl Polanyi percayabahwa tanah (atau lebih luasnya: alam) sesung-guhnya bukanlah komoditi atau barang da-gangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlaku-kan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanahmelekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial.Jadi mereka yang memperlakukan tanah (alam)sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnyabertentangan dengan hakekat tanah (alam) itusendiri. Tanah (alam) dapat dibayangkan sebagaikomoditi. Polanyi mengistilahkannya: f ictitiouscommodity (barang dagangan yang dibayang-kan). Menurut Polanyi memperlakukan tanah(alam) sebagai barang dagangan dengan memi-sahkannya dari ikatan hubungan-hubungansosial yang melekat padanya, niscaya akan meng-hasilkan guncangan-guncangan yang menghan-curkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masya-rakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tan-dingan untuk melindungi masyarakat dari keru-sakan yang lebih parah.

10 David Harvey, 2003, The New Imperialism. Ox-ford: Oxford University Press, hlm. 116.

Koridor Ekonomi Produksi Komoditas Global yang Diandalkan

Sumatera, Banten Utara Sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbungenergi nasional dengan fokus sektor pada minyak kelapasawit/CPO, Karet, dan Batubara

Jawa Pendorong industri dan jasa nasional dengan fokus sektorpada produk makanan, tekstil dan industri alat angkut

Kalimantan Pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbungenergi nasional dengan fokus sektor pada migas, minyakkelapa sawit, dan batubara

Sulawesi, Maluku Utara Pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan,dan perikanan nasional dengan fokus sektor pada tanamanpangan, perkebunan, perikanan, dan pertambangan nikel

Bali, Nusa Tenggara Pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasionaldengan fokus sektor pada pariwisata serta pertanian danpeternakan

Papua, Maluku Pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan SDMyang sejahtera dengan fokus sektor pada pertambangan sertapertanian dan perkebunan

Page 10: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

9Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14

Tanah (dan juga tenaga kerja) merupakansyarat hidup dari masyarakat. Memasukkan ta-nah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanismepasar adalah merendahkan hakekat masyarakat,dan dengan demikian menyerahkan begitu sajasepengaturan kehidupan masyarakat pada meka-nisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, akanmenimbulkan gejolak perlawanan, demikianPolanyi menyebutkan. Polanyi pun menulis bah-wa kelembagaan pasar demikian “tak dapathidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiahdan kemanusiaan dari masyarakat; Ia akan secaraf isik merusak manusia dan mengubah ling-kungannya menjadi demikian tak terkendalikan.Tak terelakkan lagi, masyarakat melakukan upayaperlindungan diri”.11

Dalam bagian lain bukunya, Polanyi menulis“selama berabad dinamika masyarakat moderndiatur oleh suatu gerakan ganda (double move-ment): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri,tapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatugerakan tandingan (counter-movement) meng-hadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang ber-

beda. Apa yang diutamakan oleh gerakan tan-dingan ini adalah untuk melindungi masyarakat,yang pada akhirnya (gerakan tandingan itu) takcocok dengan prinsip pengaturan diri-sendiridari pasar, dan dengan demikian tidak cocokpula dengan sistem pasar itu sendiri”.12 Protes-protes itu adalah perlawanan balik yang sesaatatau bisa juga berkepanjangan dari sekelompokrakyat untuk bertahan, melindungi diri dan bah-kan melawan proses komodif ikasi yang dilan-carkan oleh pasar kapitalis itu.13

E. Kesimpulan

Merujuk pada puisi yang dikutip di awaltulisan ini, di kalangan kaum terdidik, termasukpara ahli hukum, baik di Indonesia maupun diberbagai belahan bumi lainnya, kita dihadapkanoleh dua macam pemikiran yang bertentangansatu sama lain, yakni mereka yang mempelajari“orang-orang yang mencuri seekor angsa daritanah milik bersama”, dan mereka yang mempe-lajari mereka “yang mencuri tanah milik bersama

11 Karl Polanyi, 1944, The Great Transformation: ThePolitical and Economic Origins of Our Time. Boston: Bea-con Press, hlm. 3.

12 Ibid, hlm. 130.13 Noer Fauzi, 1999, Petani dan Penguasa. Dinamika

Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: PustakaPelajar-Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Page 11: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

10 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

dari angsa itu”14. Tulisan ini mengajak kitamengerti mereka yang “mencuri angsa” dari“tanah milik bersama” itu, dengan berusahamengemukakan cara kerja mereka “yang men-curi tanah milik bersama dari angsa itu”.

Kita sudah saksikan bahwa jika konf lik-konflik agraria struktural, seperti yang terjadisehubungan dengan ekspansi perkebunankelapa sawit, dipahami hanya sebatas problemkriminalitas rakyat, maka pendekatan polisionilyang diterapkan sebagai konsekuensi dari pema-haman itu berakibat pada semakin rumitnyakonflik-konflik agraria tersebut. Penulis mengan-jurkan mendudukkan konflik-konflik agrariayang berhubungan dengan perluasan perke-bunan sawit di Indonesia dalam perspektif yanglebih luas. Akibat lanjutan dari konflik agrariaini adalah meluasnya konflik itu sendiri, darisekedar konflik klaim atas tanah, sumberdayaalam dan wilayah menjadi konflik-konflik lain.Konflik agraria yang berkepanjangan mencipta-kan krisis sosial-ekologi, termasuk yang mendo-rong penduduk desa bermigrasi ke wilayah-wilayah baru untuk mendapatkan tanah perta-nian baru, atau pergi dan hidup menjadi go-longan miskin kota. Hal ini menjadi sumbermasalah baru di kota-kota.

Lebih jauh dari itu, artikulasi konflik agrariadapat membentuk-bentuk konflik lain sepertikonflik antara para petani pemilik asal tanahdengan pekerja perkebunan, konf lik antarkelompok etnis, antar “penduduk asli” dan pen-datang, bahkan hingga konflik antar kampung/desa. Ketika konflik-konflik itu berlangsungdalam intensitas yang tinggi, rakyat mencariakses ke organisasi gerakan sosial, LSM, DPRD,Badan Pertanahan Nasional, Kementrian Kehu-

tanan, hingga DPR Pusat, Komnas HAM, dll.Dalam sejumlah kasus klaim dan keperluanrakyat korban bisa diurus sesuai dengan kewe-nangan dan kapasitas masing-masing lembaga.Namun, tidak demikian halnya untuk kasus-kasus dengan karakteristik konfliknya yangbersifat struktural, dan sudah kronis, serta aki-bat-akibatnya telah meluas.

Konflik agraria struktural macam ini diles-tarikan oleh tidak adanya koreksi/ralat atas pu-tusan-putusan pejabat publik (Menteri Kehu-tanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Men-teri ESDM, Bupati dan Gubernur) yang mema-sukkan tanah, SDA, dan wilayah hidup rakyatke dalam konsesi badan usaha raksasa untukproduksi, ekstraksi, maupun konservasi. Kitatahu bahwa berdasarkan kewenangannya,pejabat publik itu dimotivasi oleh keperluanperolehan rente maupun untuk pertumbuhanekonomi, mereka melanjutkan dan terus-mene-rus memproses pemberian ijin/hak pada badan-badan usaha/proyek raksasa tersebut. Kita tahupula bahwa bila suatu koreksi demikian dilaku-kan, pejabat-pejabat publik dapat dituntut balikoleh perusahaan-perusahaan yang konsesinyadikurangi atau apalagi dibatalkan. Resiko keru-gian yang bakal diderita bila kalah di PengadilanTata Usaha Negara (PTUN) tentu dihindari olehpejabat publik yang bersangkutan.

Dalam situasi konflik agraria yang berkepan-jangan, rakyat korban bertanya mengenai posisidan peran pemerintah. Rakyat bisa sampai padaperasaan tidak adanya pemerintah yang melin-dungi dan mengayomi. Pada tingkat awal merekaakan memprotes pemerintah. Ketika krimina-lisasi diberlakukan terhadap mereka, merekamerasa dimusuhi pemerintah. Kalau hal iniditeruskan, mereka merasakan pemerintah dimasa Reformasi berlaku sebagai penguasa danbertindak semaunya saja, termasuk menjadi pela-yan pasar kapitalis. Kalau hal ini diteruskan, yangakan terjadi adalah merosotnya legitimasi peme-

14 Bertell Ollman, 2008, “Why Dialectics? WhyNow?”, Dialectics for the New Century. Edited by BertellOllman dan Tony Smith. Hampshire: Palgrave Macmillan,hlm. 8.

Page 12: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

11Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14

rintah di mata rakyatnya. Hal ini tentunya akanmembuat negara kita semakin jauh dari yangdicita-citakan oleh proklamasi kemerdekaanNegara Republik Indonesia sebagaimana dike-mukakan dalam pembukaan Undang-undangDasar 1945.

Merosotnya legitimasi rakyat terhadap peme-rintah itu membuat mereka yang pada mulanyaberada dalam posisi korban dalam konf lik-konflik agraria itu sampai pada pertanyaanapakah mereka “berhak mempunyai hak”?15

Ilustrasi terbaik dari krisis legitimasi pemerintahdan pentingnya “hak untuk memiliki hak” iniadalah apa yang diperjuangakan oleh AliansiMasyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebagai-mana terpantul dari motonya, “Kalau negaratidak mengakui kami, kami pun tidak mengakuinegara”. Menurut penulis, tuntutan AMAN agarnegara mengakui eksistensi masyarakat adatbeserta pemastian hak atas tanah-air masyarakatadat adalah suatu panggilan untuk pejabat danbadan-badan negara untuk memenuhi kewa-jiban konstitusional untuk “melindungi segenapbangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahIndonesia dan untuk memajukan kesejahteraanumum” demi tujuan “mewujudkan suatu ke-adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hasilamandemen atas Undang-undang Dasar 1945menghasilkan tiga ketentuan baru berkenaandengan eksistensi dan hak-hak masyarakat adat,yaitu pasal 18B ayat (2), pasal 28i ayat (3), danayat (2). Pengakuan eksistensi dan perlindunganhak-hak masyarakat adat ini dipersyarati dengan

empat ketentuan, yakni sepanjang masih hidup,sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuaiprinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,dan diatur dalam undang-undang. Namunpengakuan konstitusional ini tidak dengan sen-dirinya (secara otomatis) mendorong penyesu-aian perundang-undangan di bawahnya. Masihbanyak pekerjaan pembaruan perundang-un-dangan untuk meralat penyangkalan dan mewu-judkan pengakuan atas eksistensi masyarakatadat itu dan segenap hak-hak dasarnya.16 Lebihjauh, agenda utama perjuangan AMAN adalah(i) mendorong ralat kebijakan-kebijakan yangmenyangkal eksistensi masyarakat adat itu,dengan memastikan bahwa masyarakat adat ada-lah suatu subjek hukum yang sah, dan peme-rintah Republik Indonesia wajib mengadminis-trasikan hak-hak khusus yang melekat padanya,termasuk hak-hak atas tanah, kekayaan alam, danwilayah kelolanya; dan (ii) mewujudkan hakmemperoleh pemulihan atas kerusakan sosial-ekologis yang diderita masyarakat adat akibatkekeliruan kebijakan pemerintah yang menyang-kal eksistensinya sebagai subjek hukum, dan hak-hak dasar yang melekat padanya.17

15 Penulis mengambil konsep “hak untuk memiliki hak”(the rights to have rights) dari filsuf politik Hannah Arendt(1951) The Origins of Totalitarianism (1951). Arendt lahyang membuat konsep “hak untuk memiliki hak” ini populersebagai hak politik yang paling fundamental bagi seorangwarganegara (Arendt 1951/1968: 177. Untuk pembahasanterbaru mengenai konsep ini dalam konteks perjuangan hakasasi manusia, kewajiban Negara, dan rejim pasar bebas,lihat Somerr (2008), dan Kesby (2012).

16 Lihat Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum terhadapMasyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: UNDP, MyrnaA. Safitri, “Legislasi Hak-hak Masyarakat atas Tanah danKekayaan Alam dalam Peraturan Perundang-undanganNasional Indonesia: Model, Masalah, dan Rekomendasi”,dalam Masa Depan Hak-hak Komunal atas Tanah: BeberapaGagasan untuk Pengakuan Hukum: Rekomendasi Kebijakan,Universiteit Leiden dan BAPPENAS, hlm. 15-35, YanceArizona, 2010, “Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat:Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam di Indone-sia (1999-2009)”, Kertas Kerja EPISTEMA No. 07/2010.

17 Noer Fauzi Rachman, 2012, “Masyarakat Adat danPerjuangan Tanah-Airnya”. Naskah kuliah dalam rangkaKongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).Tobelo, 20 April 2012. http://www.kongres4.aman.or.id/2012/05/masyarakat-adat-dan-perjuangan-tanah-airnya.asp(Terakhir diunduh pada 10 Maret 2013) dan “MasyarakatAdat dan Perjuangan Tanah-Airnya”. Kompas 11 Juni 2012.

Page 13: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

12 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Indonesia di bawah Orde Baru (1966-1998)mewariskan cara bagaimana pemerintah yangberkuasa menekankan kewajiban-kewajibansosial penduduk, dan bukan memenuhi hak-haksipil-politik dan ekonomi, sosial dan budayapenduduk. Indonesia saat ini bukan hanya me-merlukan Reformasi atas pemerintahan yangotoritarian dan sentralistik dan digantikan olehsuatu pemerintahan demokratis dan desentra-listis, melainkan juga transformasi kelembagaanyang menyeluruh.18 Dalam konteks pokok ba-hasan artikel ini, menjadi jelas bahwa satu agendautama dari transformasi kelembagaan itu adalahmemulihkan posisi kewarganegaran dari rakyatmiskin pedesaan, termasuk mereka yang beradadalam situasi konflik agraria dan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat-hukum adat.

Ucapan Terima kasih

Versi-versi terdahulu atau bagian-bagian ter-tentu dari naskah ini disajikan sebagai brief ingpaper, bahan presentasi dan/atau makalah dibanyak forum diskusi/lokakarya/seminar semen-jak penulis aktif sebagai peneliti senior di SajogyoInstitute. Forum-forum itu diselenggarakan olehberbagai unit/proyek dalam organisasi-organisasisebagai berikut: Konsorsium Pembaruan Agra-ria, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Perkum-pulan Pembaruan Hukum berbasis Masyarakatdan Ekologis (HuMA), Program Studi Pasca Sar-jana Sosiologi Universitas Indonesia, Unit KerjaPresiden Bidang Pengawasan dan PengendalianPembangunan (UKP4), Yayasan Perspektif Baru,Badan Legislatif DPR-RI, Komisi PemberantasanKorupsi, dan lainnya. Sebagian isi naskah initelah disajikan dalam Rachman dan Swanvri

(2012). Versi lain akan dimuat dalam Jurnal IlmuPemerintahan Universitas Indonesia, 2013. Teri-ma kasih untuk Didi Novrian dan Mia Siscawatidan semua kolega lain di Sajogyo Institute yangmemberi banyak kritik, komentar, usulan daninspirasi untuk pengembangan naskah ini.

Daftar Pustaka

Arizona, Yance. 2010. Satu Dekade LegislasiMasyarakat Adat: Trend Legislasi Nasionaltentang Keberadaan dan Hak-hak Masya-rakat Adat atas Sumber Daya Alam di In-donesia (1999-2009). Kertas Kerja EPIS-TEMA No. 07/2010

Arendt, Hannah. 1951 (1968). The Origins of To-talitarianism. New York: Harcourt BraceJovanovich.

Colchester, M., Jiwan, N., Sirait, M.T., Firdaus,A.Y., Surambo, A. & Pane, H. ( 2006). Prom-ised Land: Palm Oil and Land Acquisitionin Indonesia - Implications for Local Com-munities and Indigenous Peoples (publishedby Forest People Programme (FPP), SawitWatch, HUMA, World Agroforestry Cen-tre (ICRAF) - SEA.

Davis, Mike. 2006. Planet of Slums. New York:Verso.

De Angelis, Massimo. 1999. “Marx’s Theory ofPrimitive Accumulation: A Suggested Re-interpretation.” University of East London.Available online at http://homepages.uel.ac.uk/M.DeAngelis/PRIMACCA.htm (Unduh terakhir tanggal04 Oktober 2012).

____. 2007. The Beginning of History: ValueStruggles and Global Capital. London, PlutoPress

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa. Dina-mika Perjalanan Politik Agraria Indonesia.Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerjasamadengan Insist Press dan Konsorsium Pem-baruan Agraria.

Hall, Derek, Philip Hirsch, dan Tania Li. 2011.

18 Saich, Anthony, 2010, David Dapice, Tarek Masoud,Dwight Perkins, Jonathan Pincus, Jay Rosengard, Tho-mas Vallely, Ben Wilkinson, and Jeffrey Williams, Indo-nesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke TransformasiKelembagaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Page 14: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

13Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14

Powers of Exclusion: Land Dilemmas inSoutheast Asia. Singapore and Manoa: NUSPress.

Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Ox-ford: Oxford University Press.

____. 2004. “The ‘New’ Imperialism: Accumula-tion by Disposession.” in Socialist Register2004, edited by L. Panitch and C. Leys. NewYork: Monthly Review Press.

____. 2005. A Brief History of Neoliberalism.Oxford: Oxford University Press.

Indonesian Commercial Letter. 2011. “IndonesianCommercial Letter, July 2011” http://www.datacon.co.id/Sawit-2011Kelapa.html(Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012).

____. 2011. From Reformasi to InstitutionalTransformation: A strategic Assessment ofIndonesia’s Prospects for Growth, Equity andDemocratic Governance. Harvard KennedySchool Indonesia Program, Harvard, USA.

Kementerian Koordinator Bidang Perekono-mian, 2011. Masterplan Percepatan danPerluasan Pembangunan Ekonomi Indone-sia 2011-2025. Jakarta: Kementerian Koordi-nator Bidang Perekonomian, 2011 .

Kesby, Alison. 2012. The Right to Have Rights:Citizenship, Humanity, and InternationalLaw, Oxford University Press,.

Kloppenburg, Jack. 2010. “Impeding disposses-sion, enabling repossession: biological opensource and the recovery of seed sovereignty”.Journal of Agrarian Change 10:3 (July): 367-388.

Ollman, Bertell. 2008. “Why Dialectics? WhyNow?”, Dialectics for the New Century. Ed-ited by Bertell Ollman dan Tony Smith.Hampshire: Palgrave Macmillan.

Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capi-talism: Classical Political Economy and theSecret History of Primitive Accumulation.Durham: Duke University Press.

Polanyi, Karl. 1967 (1944). The Great Transfor-mation: The Political and Economic Originsof Our Time. Boston: Beacon Press.

____. 2001 (1944) The Great Transformation: ThePolitical and Economic Origins of Our Time.

Boston: Beacon Press.Rachman, Noer Fauzi. 2012a. “Masyarakat Adat

dan Perjuangan Tanah-Airnya”. Naskahkuliah dalam rangka Kongres AliansiMasyarakat Adat Nusantara (AMAN). To-belo, 20 April 2012. http://www.kongres4.aman.or.id/2012/05/masyarakat-adat-dan-perjuangan-tanah-airnya.asp (Terakhir diunduh pada 10 Maret2013).

____. 2012b. “Masyarakat Adat dan PerjuanganTanah-Airnya”. Kompas 11 Juni 2012.

Rachman, Noer Fauzi dan Swanvri. 2012. “Pasar-sebagai-Keharusan: Sebab StrukturalKonf lik Agraria”. Sawit Watch Journal.Vol.1:43-54.

Ribot, Jesse dan Nancy Lee Peluso. 2003. “ATheory of Access”. Rural Sociology 68(2):153-81.

Safitri, Myrna A. 2010. “Legislasi Hak-hak Masya-rakat atas Tanah dan Kekayaan Alam dalamPeraturan Perundang-undangan NasionalIndonesia: Model, Masalah, dan Rekomen-dasi”, dalam Masa Depan Hak-hak Komunalatas Tanah: Beberapa Gagasan untukPengakuan Hukum: Rekomendasi Kebi-jakan. Universiteit Leiden dan BAPPENAS,hal 15-35.

Sawit Watch. 2012. “Menerka Luasan KebunSawit Rakyat” http://sawitwatch.or.id/2012/07/menerka-luasan-kebun-sawit-rakyat/(Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012).

Saich, Anthony, David Dapice, Tarek Masoud,Dwight Perkins, Jonathan Pincus, JayRosengard, Thomas Vallely, Ben Wilkinson,and Jeffrey Williams. 2010. IndonesiaMenentukan Nasib: dari Reformasi keTransformasi Kelembagaan. Jakarta: Pener-bit Buku Kompas.

Simarmata, Ricardo. 2006. Pengakuan Hukumterhadap Masyarakat Adat di Indonesia.Jakarta: UNDP.

Somers, Margaret R. 2008. Genealogies of Citi-zenship: Markets, Statelessness and the Rightto Have Rights. Cambridge, CambridgeUniversity Press.

Page 15: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

14 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Wood, Ellen Meiksins. 1994. “From Opportunityto Imperative: The History of the Market”.Monthly Review 46(3).

____. 1995, Democracy against Capitalism: Re-newing Historical Materialism, Cambridge:Cambridge University Press.

____. 1999a, “Horizontal Relations: A Note onBrenner’s Heresy”, Historical Materialism,4(1): 171–9.

____. 1999b, “The Politics of Capitalism”, MonthlyReview, 51(4): 12–26.

____. 2001. “Contradiction: Only in Capitalism?”,in The Socialist Register 2002, edited by LeoPanitch and Colin Leys, London: MerlinPress.

____. 2002a. The Origin of Capitalism. A LongerView. London, Verso.

____. 2002b, “The Question of Market Depen-dence”, Journal of Agrarian Change, 2: 50–87.

____. 2009, “Getting What’s Coming to Us: Capi-talism and Social Rights”, Against the Cur-rent, 140: 28–32.

Page 16: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

POTRET KONFLIK AGRARIA DI INDONESIAWidiyanto*

AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: For the last three years (2010-2013) the conflicts on natural and agrarian resources has taken public attentionbeginning from the Government, Parliement, National Commission on Human Right to Non Governmental Organization as theyfrequently took place. The conflicts, which had been previously latent, later they came into existence.The article talks about theportrait of the agrarian conflicts taking place in Indonesia in general.KeywordsKeywordsKeywordsKeywordsKeywords: conflicts, agraria, Indonesia, natural resources.

IntisariIntisariIntisariIntisariIntisari: Konflik sumberdaya alam dan agraria sepanjang tiga tahun terakhir (2010-2013) menyita perhatian publik, mulai dariPemerintah, Parlemen, Komnas HAM, dan LSM, mengingat intensitas ledakannya yang cukup sering. Ada tren yang cukup kuat,konflik yang sebelumnya bersifat laten, beberapa tahun belakangan berubah menjadi manifes. Tulisan ini menyajikan potret konflikagraria yang terjadi pada umumnya di Indonesia.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: konflik, agraria, Indonesia, sumberdaya alam.....

A. Pengantar

Konflik sumberdaya alam dan agraria secaragaris besar disebabkan paling tidak oleh dua hal.Pertama, adalah ketimpangan penguasaan atastanah. Negara dan korporasi yang mendapatkonsesi darinya memiliki porsi penguasaan atastanah yang sangat dominan, dibanding denganpenguasaan oleh mayoritas masyarakat di per-desaan yang pada umumnya hidup di bawahgaris kemiskinan. Data Konsorsium PembaruanAgraria, misalnya, menyebut sekitar 64,2 jutahektar tanah atau 33,7 persen daratan di Indone-sia telah diberikan kepada perusahaan-perusa-haan kehutanan, pertambangan gas, mineral,dan batubara berupa izin konsesi. MeskipunPemerintah mengakui bahwa sebagian besar izinsebenarnya bermasalah.1 Di sektor kehutanansendiri, luas hutan yang ditunjuk mencapai

136,94 juta hektar atau 69 persen total luas wilayahIndonesia. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 12-13 persen yang telah selesai ditata batas. Denganwilayah seluas ini, Kementerian Kehutanan sela-ku pihak pemangkunya, merupakan instansiyang memiliki luasan terbesar dibanding instansilain. Penyebab konflik agraria yang kedua adalahadanya perbedaan sistem penguasaan lahan antarpihak dalam konflik agraria tak kunjung ada ke-pastian. Masyarakat gigih mempertahankan hakpenguasaannya secara turun-temurun dan bersi-fat informal, sementara perusahaan dan parapihak lain datang dengan sistem aturan formalyang tidak dikenal dalam kebiasaan masyarakat.

Kedua akar utama konflik agraria tersebutmemang saling terkait, bahkan melekat. Perbe-daan keduanya baru dapat teridentif ikasi melaluipokok masalah hingga penanganannya. Pokokmasalah pertama adalah ketimpangan pengu-asaan lahan, kedua adalah pertentangan klaim.Bila konflik didasari ketimpangan penguasaan,maka problem solvingnya yang paling pentingdidorong adalah dengan mekanisme redistribusi

* Penulis adalah Koordinator Divisi Pusat Databasedan Informasi, www.huma.or.id.

1 Bernhard Limbong, Reforma Agraria, (Jakarta: Mar-garetha Pustakan: 2012), hlm. 3.

Page 17: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

16 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

tanah. Sementara bila akar masalah konflik ada-lah pertentangan klaim yang tak seimbang, makaperlu adanya pengakuan yang mengarah padakepastian penguasaan yang dianggap tak resmiatau formal. Itu sebabnya, gagasan pembaruanagraria berujung pada keadilan dan memberikankepastian penguasaan kepada kelompok masya-rakat yang lemah.

Lalu bagaimana potret konflik agraria di In-donesia? Apa saja tipologi konflik yang do-minan? Dan bagaimana sebarannya? Pertanyaanselanjutnya, apa implikasi konflik agraria terha-dap hak asasi manusia, sebagai dimensi terpen-ting dalam menjaga eksistensi para pihak teru-tama bagi korban? Dalam tulisan ini, saya lebihmenekankan potret konf lik agraria denganmengacu pada penyebab yang kedua, yakni ada-nya pertentangan klaim penguasaan lahan antarpihak. Konflik bermula dari pertentangan duasistem penguasaan lahan, formal dan yang in-formal, yang meletusnya dipicu dengan ke-

inginan salah satu pihak untuk memaksakansistemnya kepada pihak lain.

Banyak konflik yang mulanya terjadi secaradiam-diam, tiba-tiba meletus ke permukaan.Perubahan tren konflik tersebut terjadi meratadi seluruh Indonesia. Kita bisa simak mulai dariMesuji di Lampung Utara, Ogan Komering Ilir,Kebumen, hingga Sumbawa. Gambar di atasmenunjukkan sebaran konflik di Indonesia.2

B. Sebaran Konflik

Dari data yang didokumentasikan oleh HuMaterlihat bahwa ratusan konflik tersebut terjadidi hampir seluruh provinsi di Indonesia dengantingkat frekuensi yang berbeda. Beberapa pro-vinsi tidak masuk karena keterbatasan data yangada. Sangat mungkin provinsi seperti ini justrumemiliki intensitas konflik yang tinggi. Sebut

2 Widiyanto, dkk, Outlook Konflik Sumberdaya Alamdan Agraria, HuMa, 2012

Gambar 1. Sebaran konflik Sumber Daya Alam di Indonesia. Sumber: Database HuMa, 2012.

Page 18: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

17Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia .....: 15-27

saja seperti Provinsi Papua, dimana megaproyekambisius pengadaan lumbung pangan MeraukeIntegrated Food and Energy Estate atau dikenalMIFEE, sedang berlangsung. Proyek ini akanmengkonversi sekitar sejuta hektar lahan yangdikuasai masyarakat adat menjadi areal perke-bunan dan pertanian oleh korporasi-korporasibesar.

HuMa mencatat konflik berlangsung di 98kota/kabupaten di 22 provinsi. Yang mempriha-tinkan, luasan area konflik mencapai 2.043.287hektar atau lebih dari 20 ribu km2. Luasan inisetara dengan separoh luas Provinsi SumateraBarat. Konflik yang didokumentasikan HuMaini hanya potret permukaan saja. Bisa dibayang-kan jika semua konflik berhasil diidentif ikasijumlah dan luasannya yang pasti akan jauh lebihbesar. Dari 22 provinsi konflik yang didokumen-tasikan HuMa, tujuh provinsi di antaranya me-miliki konflik paling banyak, yakni Aceh, Banten,Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kali-mantan Tengah dan Sumatera Utara.

Tabel 1. Jumlah Kasus Konflik Terbanyak

Sumber: Database HuMa, 2012.

Kalimantan Tengah menjadi provinsi yangpaling banyak konflik, dimana 13 dari 14 kabu-paten dan kotanya memendam masalah klaimatas sumberdaya alam dan agraria. Artinya, kon-flik berlangsung merata di wilayah administra-tif provinsi tersebut. Sebanyak 85% dari kasus diKalimantan Tengah terjadi di sektor perkebunan.Sedangkan 10% merupakan konflik di sektorkehutanan. Sisanya adalah konf lik pertam-

bangan dan konflik lainnya. Meluasnya ekspansiperkebunan monokultur seperti sawit di Kali-mantan tak ayal membuat luas hutan berkurangdrastis. Perubahan status kawasan hutan melaluimekanisme pelepasan, tukar-menukar yang takseimbang, maupun izin pinjam pakai marakterjadi dan cenderung kian tak terkendali. Aki-batnya, konflik klaim adat atas wilayah hutanmelawan penunjukan sepihak oleh negara yangpaling sering terjadi, makin runyam. Ketika kasusmacam ini belum tuntas, kini konflik bertambahantara masyarakat dengan perusahaan. Keempatprovinsi se-Kalimantan menyumbang angka 36persen konflik secara keseluruhan dari data kon-flik HuMa. Konflik-konflik yang terjadi di pro-vinsi-provinsi lain di Nusa Tenggara, Sulawesi,Sumatera dan Jawa juga menunjukkan kondisiyang mencemaskan.

Tipologi konflik yang terjadi di Sumaterahampir mirip dengan Kalimantan, yakni konflikklaim komunitas lokal atau masyarakat adatdengan negara dan perusahaan. Dua pulau besarini memiliki kawasan hutan yang luas dan bela-kangan menjadi wilayah dominan ekspansiperkebunan sawit di Indonesia. Sementarakonflik di Jawa, lebih banyak menyangkut sektorkehutanan, dimana gugatan masyarakat terha-dap penguasaan wilayah oleh Perhutani masihdalam deretan teratas. Konflik yang melibatkanPerhutani terjadi di seluruh wilayah kerja peru-sahaan plat merah tersebut, yaitu di ProvinsiJawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Ti-mur. Data resmi Perhutani menunjukkan bahwaperusahaan ini menguasai kawasan hutan seluas2,4 juta hektar. Terdapat sekitar 6.800 desa yangberkonflik batas dengan kawasan Perhutani diPulau Jawa.

C. Konflik Dilihat dari Sektor

Menurut data HuMa, konflik perkebunandan kehutanan menjadi konflik yang palingsering terjadi di Indonesia. Konflik di dua sektor

No Provinsi Jumlah kasusLuas Lahan

(hektar)

1KalimantanTengah 67 kasus 254.671

2 Jawa Tengah 36 kasus 9.043

3 Sumatera Utara 16 kasus 114,385

4 Banten 14 kasus 8,207

5 Jawa Barat 12 kasus 4,422

6 Kalimantan Barat 11 kasus 551,073

7 Aceh 10 kasus 28.522

Page 19: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

18 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

ini mengalahkan konflik pertanahan atau agrarianon kawasan hutan dan kebun. Konflik perke-bunan terjadi sebanyak 119, dengan luasan areakonflik mencapai 413.972 hektar. Meski frekuensikonf lik kehutanan lebih sedikit dibandingkonflik perkebunan, namun secara luasan kon-flik sektor ini paling besar. Dari 72 kasus, luasarea konflik kehutanan mencapai 1.2 juta hektarlebih.

Sumber: Database HuMa, 2012.

Meluasnya area konflik sektor perkebunanditengarai sebagian besar berada di kawasanhutan. Hutan yang sebelumnya ditumbuhipohon-pohon lebat dan banyak yang dikelolaoleh masyarakat, dalam satu dekade mengalamideforestasi yang amat parah. Tingkat konversihutan cukup tinggi di daerah dimana ekspansisawit merajalela.Dorongan untuk memacu lajuinvestasi sektor perkebunan sawit diduga mem-perkuat tekanan atas kebutuhan lahan, dan yangpaling rentan dikorbankan adalah kawasan ber-hutan. Ini terjadi di Nagari Rantau, KabupatenPasaman Barat, Sumatera Barat, yang melibatkanPT. Anam Koto. Perusahaan ini memegang hakguna usaha seluas 4,777 hektar di atas tanah yangdulunya diklaim sebagai wilayah hutan adat.Pendampingan kasus ini dikerjakan oleh Q-Bar,mitra HuMa yang berbasis di Sumatera Barat.

1. Konflik Kehutanan dan Akarnya

Secara umum, konf lik sektor kehutananterjadi di 17 provinsi. Konflik sektor kehutananpada umumnya disebabkan hak menguasainegara secara sepihak pada tanah-tanah yang

dikuasai oleh komunitas lokal secara komunal.Politik penunjukan tanah yang diklaim miliknegara menyulut perlawanan yang menyebab-kan konflik berlarut-larut.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)dan Kemenhut tahun 2007 dan 2009, terdapat31.957 desa yang saat ini teridentif ikasi beradadi sekitar dan dalam kawasan hutan yang sedangmenunggu proses kejelasan statusnya. Di banyakdesa bahkan hampir secara keseluruhan wilayahadministratifnya berada di dalam kawasan hutanlindung atau konservasi yang berarti dapatdengan mudah dianggap sebagai tindakan ilegal,bila ada masyarakat yang memungut ataumengambil kayu hasil hutan.

Ambil contoh Desa Sedoa yang terletak diKecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sula-wesi Tengah. Wilayah administratif desa inihampir 90 persen berada di kawasan hutan lin-dung dan Taman Nasional Lore-Lindu. KasusDesa Sedoa kini masih dalam proses pendam-pingan oleh Bantaya, mitra HuMa yang beradadi Palu, Sulawesi Tengah. Atau KelurahanBattang Barat, Kota Palopo, yang sekitar 400hektar terkena perluasan kawasan Taman WisataAlam (TWA) Nanggala III yang diadvokasi olehWallacea.Bagi desa yang berada dalam kawasanhutan, seperti Desa Sedoa atau Kelurahan Bat-tang Barat, maka atas tanah-tanah dalam desatersebut tidak dapat diterbitkan sertif ikat atau

Sumber: Database HuMa, 2012.

Page 20: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

19Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia .....: 15-27

bukti terkuat kepemilikan atas tanah. Domainpengaturan tanah dalam kawasan hutan beradadalam rezim Kementerian Kehutanan, sementarasertif ikat atau registrasi tanah berada di bawahBadan Pertanahan Nasional. Sepintas masalahdesa-desa di sekitar dan di dalam kawasan hutanini masalah administratif. Akan tetapi perbedaanrezim ini berimplikasi pada pelayanan publik,jaringan infrastruktur, dan lain sebagainya, yangrentan menghadirkan diskriminasi bagi masya-rakat desa dalam kawasan hutan tersebut.

Selain konflik mengenai kejelasan statuswilayah administratif, konflik kehutanan jugadilatari perbedaan cara pandang antara perusa-haan dengan komunitas setempat atas jenis ta-naman yang ditanam. Biasanya konflik sepertiini maraknya terjadi pada area-area konsesi hutanproduksi atau hutan tanaman industri yang me-miliki tutupan primer. Perusahaan membutuh-kan lahan skala luas untuk ditanami bahan bakupembuatan kertas atau kayu lapis olahan. Salah

satu contoh konflik kehutanan kategori initerjadi pada kasus PT. Toba Pulp Lestari di Ka-bupaten Humbang Hasundutan, SumateraUtara. Perusahaan membabat Hutan Kemenyan(Tombak Haminjon) yang sudah dikuasai secaraturun temurun oleh masyarakat adat Pandu-maan dan Sipituhuta, dan menggantinya denganpohon ekaliptus. Terjadi pula pada kasus PT.Wira Karya Sakti yang membabat hutan primeruntuk ditanami akasia dan ekaliptus di Kabu-paten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Serta kasusPT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) diSemenanjung Kampar, Teluk Meranti, Kabupa-ten Pelalawan, Riau.

2. Akar-akar Konflik Perkebunan

Sementara itu, jika konflik sektor perkebunantidak mendapat perhatian serius, bukan takmungkin luas lahan yang disengketakan akanmenyamai, bahkan melebihi luas area kehutananyang berkonflik.

Gambar 2. Sebaran konflik Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan di Indonesia.Sumber: Database HuMa, 2012.

Page 21: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

20 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Konflik perkebunan yang massif terjadibelakangan secara tidak langsung dipicu olehambisi Pemerintah untuk menjadikan sawitsebagai komoditas unggulan Indonesia yangterbesar di dunia.

Dalil ini kemudian dimanfaatkan olehkalangan pengu-saha sawit untukm e n d a p a t k a nberbagai proteksidari Pemerintah.Parahnya, Peme-rintah lokal jugaturut ‘bermain’dalam memudah-kan penguasaanlahan dan

pengoperasian perkebunan sawit di daerahnyadengan pertimbangan ekonomi-politik jangkapendek.

Dari data HuMa, paling tidak terdapat 14provinsi yang tercatat memiliki konflik perke-bunan yang mayoritas terjadi di Kalimantan danSumatera. Banyak sumber yang merilis datamengenai konversi besar-besaran kawasan hutanmenjadi area perkebunan kelapa sawit. Komu-nitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, misal-nya, menyebut penyusutan kawasan hutan seluas1,1 juta hektar di Jambi dalam dua dekade ter-akhir.3

3. Konflik Pertambangan

Data konflik sektor pertambangan agaknyamemang tak sebanyak konflik kehutanan danperkebunan. Akan tetapi konflik sektor ini sangatmudah meletup dibanding sektor kehutanan,yang cenderung bersifat laten. Dari pantauanHuMa, komunitas lokal sangat gigih memper-

tahankan wilayah kelolanya yang dirampas olehperusahaan dengan izin konsesi tambang, tanpaada pertimbangan persetujuan dengan dasarinformasi tanpa paksaan atau free, prior and in-formed consent (FPIC).

Wilayah-wilayah pertambangan perusahaanumumnya berada di kawasan yang memilikidimensi religius-magis bagi masyarakat adatsetempat. Perusahaan berdalih memegang izinformal, masyarakat kukuh mempertahankanwilayah yang sakral bagi leluhur mereka. Konflikpun termanifes. Konflik pertambangan memilikikecenderungan sering terjadi bentrok f isik didalamnya. Korban luka banyak berjatuhan, bebe-rapa di antaranya sampai meninggal dunia.

Dalam konflik pertambangan, perusahaanhampir selalu tampil sebagai pemenang. Aparatpolisi, jaksa, hingga hakim cenderung lebihmengutamakan pihak yang memegang konsesisebagai alas hukum ketimbang adat yang diang-gap tak resmi atau formal.Perusahaan tambangsendiri dengan mudah membelokkan tudinganpenyerobotan tanah, kawasan hutan atau pence-maran lingkungan sebagai efek destruksi pengo-lahan tambang terhadap lingkungan, menjadipersoalan administrasi konsesi atau kontrakkarya. Tak jarang justru perusahaan-perusahaandibantu aparat penegak hukum melakukankriminalisasi terhadap warga yang melakukan

3 http://www.mongabay.co.id/2012/12/03/foto-udara-kehancuran-hutan-jambi-akibat-perambahan-ekspansi-perkebunan/

Gambar 3. Sebaran konflik Sumber Daya AlamSektor Kehutanan di Indonesia.Sumber: Database HuMa, 2012.

Page 22: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

21Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia .....: 15-27

protes dengan dalih anarkis. Warga ditangkapi,ditahan, bahkan banyak yang dipenjarakan.Seperti yang terjadi pada PT. Sorikmas Miningyang beroperasi di Kabupaten Mandailing Na-tal, Sumatera Utara.

Mahkamah Agung dalam putusan hak ujimateri SK Menteri Kehutanan No.126-Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi dan Penun-jukan Kawasan Taman Nasional Batang Gadismemenangkan perusahaan yang sebagian besardimiliki oleh Aberifoyle Pungkut InvestmentSingapura ini. Terkait kasus yang sama, limaorang masyarakat Desa Huta Godang Muda dise-ret ke pengadilan atas laporan PT. Sorikmas.

Di Kalimantan Barat, tepatnya di Pelaik Keru-ap, Kabupaten Melawi, yang merupakan daerahdampingan Lembaga Bela Banua Talino (LBBT),tiga orang tokoh komunitas setempat dihukumpenjara dengan dakwaan menahan tanpa hakrombongan surveyor perusahaan eksplorasi tam-bang PT. Mekanika Utama yang masuk kampungtengah malam. Padahal masyarakat setempatsejatinya berniat untuk menanyakan maksudkedatangan rombongan saat itu. Kasus krimi-nalisasi dalam konflik pertambangan juga me-nimpa empat warga Sirise, Kabupaten Mang-garai, Nusa Tenggara Timur. Mereka dihukumlima bulan penjara karena mempertahankanlingko atau hutan adat yang diserobot konsesiperusahaan tambang.

D. Siapa Para Pihak yang TerlibatKonflik?

HuMa dengan menggunakan sistem pen-dokumentasian HuMaWin, mengidentif ikasipara pihak bersifat komunal. Unit terkecilnyaadalah komunitas, masyarakat, atau kelompok.Tidak individual. Ada sembilan pihak yangterlibat dalam konflik sumberdaya alam danagraria yang diidentif ikasi HuMa, yaitu: a)Masyarakat Adat; b) Komunitas Lokal; c) Kelom-pok Petani; d) Taman Nasional/Kementerian

Kehutanan; e) Perhutani; f ) PT. PerkebunanNusantara (PTPN); g) Perusahaan/Korporasi; h)Perusahaan Daerah; i) Instansi Lain.

Masyarakat adat dengan komunitas lokalsengaja dibedakan untuk menjelaskan perbe-daan klaim historis atas lahan konflik. Sementarakelompok petani diidentif ikasi bagi pihak yangterkait dengan relasi kontraktual dengan peru-sahaan. Ketiga pihak ini merupakan pihak yangmenjadi korban. Kementerian Kehutanan ma-suk sebagai pihak yang berkonflik karena kewe-nangan institusionalnya yang melekat untukmenunjuk hingga menetapkan kawasan hutan.

Tabel 2. Para pihak yang berkonflik

Sumber: Database HuMa, 2012.

Perhutani sebagai institusi dipisahkan denganKementerian Kehutanan. Sebagai unit bisnisyang memiliki sejarah dan area konsesi tersendiri,perusahaan plat merah yang mengelola hutan

Para PihakFrekuensi dalam

Konflik

Perusahaan/Korporasi 158

Komunitas Lokal 153

Petani 41

Masyarakat Adat 34

Perhutani 30Taman Nasional/Kemenhut 20

PTPN 11

Pemerintah Daerah 7

Instansi lain 2

Page 23: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

22 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Jawa ini patut dipertimbangkan sebagai pihakyang berkonflik. Dasar pendirian Perhutanipertama kali adalah Surat Keputusan GubernurJenderal (Staatblad No. 110 tahun 1911) danmengalami berkali-kali revisi terakhir adalahPeraturan Pemerintah No.72 tahun 2010 tentangPerusahaan Umum Kehutanan Negara. Demi-kian pula PTPN. Dalam setahun terakhir perkem-bangan perusahaan negara di sektor perkebunanini perlu perhatian, terutama terkait konflik la-han. Posisinya dalam peta ekonomi nasionalsemakin signif ikan tatkala kebijakan nasionalmendorong pertumbuhan investasi denganmenggenjot produksi komoditas dalam negeri.Oleh karenanya, PTPN didudukkan sebagai unitpelaku yang terlibat konflik secara tersendiri,terpisah dengan entitas perusahaan (swasta). Me-nurut data yang didokumentasi HuMa, palingtidak PTPN terlibat dalam 11 kasus konflik agrari,tentu kesemuanya berada di sektor perkebunan.

PTPN berperan penting sebagai produsenkomoditas andalan nasional, seperti gula dankopi. Tak heran bila Menteri Negara Urusan Ba-dan Usaha Milik Negara (Menneg BUMN), Dah-lan Iskan, yang membawahi PTPN, mati-matianmembela luasan wilayah PTPN ketika meletupkasus Cinta Manis, Sumatera Selatan, yangdigugat warga karena telah menyerobot tanahmereka. Instansi lain di sini merujuk pada organkekuasaan yang ternyata mengklaim punyapenguasaan atas tanah, seperti TNI AngkatanDarat dan Angkatan Laut.

Dari data yang dihimpun HuMa, perusahaan/korporasi atau koperasi menempati urutanpertama sebagai pelaku dalam konflik agrariadan sumberdaya alam. Perusahaan/korporasibanyak terlibat konflik di sektor perkebunan danpertambangan berlawanan dengan komunitaslokal, masyarakat adat, bahkan dengan kelom-pok petani. Bila terlibat di sektor kehutanan, da-pat dipastikan mereka terlibat di kawasan hutanyang status kawasannya hutan produksi. Fre-

kuensi keterlibatan perusahaan/korporasi men-capai 35% dari keseluruhan data pelaku yangdidokumentasikan HuMa. Posisi perusahaan/korporasi sebagai pelanggar hak asasi manusiayang tinggi juga tercatat dalam laporan yangdirilis oleh Komnas HAM atau lembaga advokasiseperti Walhi. Hal ini menunjukkan makin be-sarnya peran perusahaan/korporasi di segalasektor kehidupan masyarakat, menggeser perandominan negara.

Dominannya swasta bisa kita simak lewat per-putaran uang yang melibatkan sektor swasta.Menurut Sof ian Wanandi, Ketua Asosiasi Pengu-saha Indonesia (Apindo), perputaran uang diswasta mencapai Rp. 7.000 trilyun. Bandingkandengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nega-ra (APBN) yang hanya sekitar Rp. 1.200 trilyun.Dengan demikian peran swasta di masa depan,dapat dipastikan akan membesar. Ini catatanpenting untuk diantisipasi dalam proses penye-lesaian konflik agraria yang akan mengorbankanmasyarakat.

Taman Nasional atau dalam hal ini Kemen-terian Kehutanan pada umumnya terlibat dalamsengketa tata batas atau perluasan kawasan secarasepihak oleh Kementerian Kehutanan, sepertiterjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), yang tertuang dalam SK Men-hut No. 175/Kpts-II/2003. Seperti yang diidenti-f ikasi Rimbawan Muda Indonesia (RMI), palingtidak terdapat 314 kampung yang terkena perlu-asan itu yang tersebar di sekitar kawasan GunungHalimun-Salak, di Kabupaten Bogor maupunKabupaten Lebak. Salah satu kampung yang ter-kena perluasan TNGHS adalah KampungNyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nang-gung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dari uraian para pihak yang terlibat dalamkonflik agraria dan sumberdaya alam di atas,perusahaan menjadi para pihak yang palingsering menjadi pelaku konflik. Perusahaan terli-bat dalam 158 konflik yang didata oleh HuMa.

Page 24: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

23Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia .....: 15-27

Disusul kemudian Perhutani dengan 30 kasus,dan Taman Nasional 20 kasus, PTPN di 11. Kemu-dian Pemda dengan 7 kasus dan instansi lain 2kasus. Berikut tabel para pihak pelaku konfliksumberdaya alam dan agraria yang dihimpunHuMa:

Sumber: Database HuMa, 2012.

E. Tipologi Konflik dan Pelanggaranterhadap HAM

1. Tipologi Konflik Berdasar PelakuSecara umum dengan melihat para pihak

yang terlibat dalam konflik sumberdaya alam danagraria, terdapat empat jenis konflik yang do-minan terjadi di Indonesia. Posisi perusahaan/korporasi sebagai pelaku utama muncul palingsering di empat tipologi konflik. Empat tipologikonflik tersebut adalah: (1) Komunitas Lokalmelawan Perusahaan/Korporasi; (2) Petani mela-wan Perusahaan; (3) Komunitas Lokal melawanPerhutani; (4) Masyarakat Adat melawan Peru-sahaan.

Tingginya frekuensi keterlibatan perusahaanini disumbang dari konflik sektor perkebunandan pertambangan. Barangkali hampir keselu-ruhan konflik sumberdaya alam dan agraria ber-dasar pada perbedaan dasar klaim para pihakyang menyebabkan tumpang-tindih klaim. Dasarklaim formal umumnya dijadikan pegangan olehperusahaan berhadapan dengan klaim historisnonformal versi komunitas lokal atau masyarakatadat.

Berangkat dari tipologi konflik yang telahdipaparkan, sejumlah pelanggaran hak asasimanusia telah terjadi di dalamnya. Sejalandengan perkembangan hak asasi manusia, makasaat ini perusahaan atau korporasi dapat dikate-gorikan sebagai pelaku. Tidak hanya negara.Perusahaan tidak hanya beroperasi dengan ber-singgungan dengan dimensi publik atau rakyat,akan tetapi perusahaan atau bisnis juga menga-lami pergeseran peran yang dalam banyak halmenggerus kewenangan negara.

Menurut Kerangka Kerja PBB mengenaiPrinsip-prinsip Panduan untuk Bisnis dan HakAsasi Manusia “Perlindungan, Penghormatan,dan Pemulihan”, setidaknya terdapat tiga pilarpenting dalam hal kaitan bisnis dan hak asasimanusia ini. Pertama, tugas negara untukmelindungi dari pelanggaran hak asasi manusiaoleh pihak ketiga, termasuk perusahaan bisnis,melalui kebijakan, peraturan, dan peradilan yangsesuai. Kedua, adalah tanggung jawab korporasiuntuk menghormati hak asasi manusia, yangberati bahwa perusahaan bisnis harus bertindakdengan uji tuntas untuk menghindari dilaku-kannya pelanggaran atas hak pihak lain dan un-tuk mengatasi akibat yang merugikan di manamereka terlibat. Ketiga, adalah kebutuhan atasakses yang lebih luas oleh korban untuk men-dapatkan pemulihan yang efektif, baik yudisialmaupun non yudisial.

Dalam realitas di lapangan, perusahaanseringkali menggunakan instrumen atau apa-Sumber: Database HuMa, 2012.

Page 25: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

24 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

ratur negara dalam melakukan tindak kekerasan.Perusahaan dengan modalitas ekonominyamampu mempengaruhi dan bahkan memaksaaparatur negara menghalau demonstrasi atauprotes-protes komunitas lokal atau masyarakatadat dengan membabi buta. Contoh kongkritdalam relasi organisasi bisnis yang menggunakanentitas atau aparat negara yang mengakibatkankorban dapat kita lihat dalam kasus Mesuji atauCinta Manis yang mengakibatkan korban komu-nitas lokal berjatuhan.

2. Pelanggar dan Pelanggaran HAM

Sistem pendokumentasian HuMaWin meng-klasif ikasi kejadian seperti ini masuk dalamkategori peristiwa yang melingkupi kasus.HuMaWin mendokumentasikan konf likdengan dasar kasus, bukan peristiwa. Sehinggakeluaran data pelanggar berbeda dengan datapara pihak yang bertindak sebagai pelaku dalamkonflik yang didokumentasikan. Bila dalamkategori pelaku konf lik, perusahaan ataukorporasi menempati urutan teratas, makadalam kategori pelanggar hak asasi manusiadalam konf lik agraria, entitas negara yangmenempati pelanggar pertama. Dari tingginyapelanggaran hak asasi manusia yang terjadimelingkupi konflik agraria menunjukkan bahwapenanganan konf lik yang termanifes padaumumnya berlangsung sistematis menyasarpada kelompok masyarakat yang melakukan aksidemonstrasi menentang konsesi atau izinperusahaan. Aparat negara, seperti personelBrimob, dalam hal ini cenderung memposisikandirinya sebagai pihak yang mengamankan asetperusahaan ketimbang melindungi masyarakat.HuMa mencatat sebanyak 91.968 orang dari 315komunitas telah menjadi korban dalam konfliksumberdaya alam dan agraria.

HuMa juga mengidentif ikasi pelaku pelang-gar hak asasi manusia dari kalangan individuyang memiliki posisi dan pengaruh dalam

kekuasaan, umumnya di tingkat lokal. Kategoripelaku individu ini dialamatkan kepada orangseperti ketua kerapatan adat, yang menggunakankekuasaan simboliknya sebagai tetua adat untukmenghasut atau menyerang masyarakat yangmelakukan protes-protes. Berikut tabel pelanggarHAM yang berhasil dihimpun.

Tabel 3. Pelaku dan Pelanggar HAM

Sumber: Database HuMa, 2012.

Dalam konflik sumberdaya alam dan agraria,jenis pelanggaran yang sering terjadi adalahpelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial-bu-daya—utamanya adalah hak ekonomi, akan teta-pi hak sipil-politik dalam berbagai bentuk sepertibentrokan yang disertai penembakan, sweeping,penangkapan, penganiayaan, penggusuran, danperusakan properti milik komunitas juga kerapdilakukan pelaku. Berikut contoh beberapa keja-dian yang di dalamnya terdapat pelanggaran haksipil-politik.

Tabel 4. Beberapa contoh pelanggaran HAMdi daerah

Pelaku Pelanggar HAM Peristiwa Prosentase

Entitas Negara 266 53,96%

Organisasi Bisnis 179 36,31%Individu dalam posisimemiliki kekuasaan 48 9,74%

Jumlah 493 100,00%

No Daerah Pihak yang bersengketadengan komunitas

Pelanggaran hak sipil danpolitik

1 AcehTamiang

PT Sinar Kaloy PerkasaIndo

Pemaksaan Datok Desatandatangani rekomendasiperluasan HGU

2 Muara Enim Pengusaha Burhan Penangkapan Junaidi danKosim

3 PasamanBarat

PT. Permata HijauPasaman II

20 orang terluka, 1 keguguransaat polisi melakukansweeping. Warga lain traumatodongan senjata.

4 TanjungJabung Barat

PT Wira Karya Sakti Ahmad (45) tewas ditembakanggota Brimob.

5 PasamanBarat

PT. Anam Koto Penculikan terhadap 2 aktivisdan 5 warga

6 Binjai PTPN 2 Sei Semayang Remi (22) tewas akibat panahberacun saat pertahankanlahan

7 Bengkalis PT Arara Abadi Penangkapan 200 wargadisertai kekerasan, 1 balitamati

8 ManggaraiTimur

Pemda Manggarai Pemukulan terhadap wargayang tolak tanda taganpenyerahan tanah

9 MinahasaSelatan

PT. Sumber Energi Jaya Frengky Aringking lukatertembak peluru polisi,penangkapan Yance secarapaksa disertai sweeping

Page 26: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

25Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia .....: 15-27

Dilihat dari jenis-jenis pelanggaran HAM, pe-langgaran terhadap hak rakyat untuk meman-faatkan kekayaan dan sumber-sumber alam yangpaling sering terjadi (25%). Umumnya pelang-garan ini terjadi pada sengketa yang terkaitdengan kepemilikan kolektif, misalnya sekelom-pok masyarakat adat yang kehilangan aksesmereka terhadap hutan adat akibat penetapanlahan tersebut sebagai hutan negara yang dike-lola oleh perusahaan swasta. Hal ini terjadi padakasus perampasan tanah ulayat milik masyarakatTanjung Medang oleh pengusaha di MuaraEnim, atau pembabatan hutan Kemenyan milikKemenyan Humbahas oleh PT Toba Pulp LestariKabupaten Humbang Hasundutan, SumateraUtara.

Kemudian pelanggaran terhadap hak untukmemiliki atau menguasasi kekayaan (19%). Halini terjadi pada perampasan tanah-tanah yangdimiliki masyarakat secara individu. Sebagiankorban mempunyai surat kepemilikan tanah dansebagian lain tidak memilikinya. Di KabupatenAceh Timur misalnya, terdapat 700 orang yangtanah miliknya dalam sengketa dengan PT BumiFlora. Warga yang tersebar di 7 desa tersebuttengah menunggu verif ikasi tim pemerintahterhadap surat-surat bukti kepemilikan tanahmereka. Kasus serupa juga terjadi pada kasussengketa antara PT Lestari Asri Jaya dengan wargapendatang di Kabupaten Tebo. Mereka salingmeng-klaim sebagai pihak yang memiliki secara

syah tanah tersebut.Pelanggaran hak atas kebebasan (18%), terjadi

ketika aparat Pemerintah melakukan penang-kapan semena-mena terhadap masyarakat yangmelawan penyerobotan tanah. Peritiwa penang-kapan besar-besaran terjadi dalam kasus seng-keta tanah PT Arara Abadi di Kabupaten Beng-kalis. Sebanyak 200 orang ditangkap dalam sebu-ah sweeping yang mencekam dan berdarah. Haldemikian juga terjadi di Kabupaten LabuhanbatuUtara dimana 60 warga yang menentang penye-robotan tanah PT Smart ditangkap. Contoh se-rupa juga dialami 24 warga penentang tambangPT. Fathi Resources di Kabupaten Sumba Timur.

Pelanggaran terhadap integritas pribadi,seperti dijumpai pada kasus-kasus yang diwarnaibentrokan. Bentrokan bisa terjadi antara masya-rakat dengan petugas keamanan perusahaanmaupun dengan aparat kepolisian. Tidak jarangsweeping oleh kepolisian dengan jumlah personelyang besar dilakukan di desa-desa dengan tujuanpenangkapan mendapatkan perlawanan dariwarga yang berakhir dengan penembakan danpenganiayaan.

Seperti yang terjadi dalam kasus PT. PermataHijau Pasaman II di Kabupaten Pasaman Barat,sebanyak 20 orang mengalami luka tembak.Peristiwa berdarah PTPN VII di Ogan Ilir jugamenyebabkan 23 warga luka tertembak. Berikutmerupakan daftar jenis pelanggaran hak asasimanusia yang paling sering dilakukan pelaku,yakni dari entitas negara (dalam hal ini sepertiaparatur bersenjata, Brimob), atau dari kalangankorporasi, dan dari entitas individu yang memi-liki kekuasaan:

p p g

10 LabuhanbatuUtara

PT Smart Penangkapan terhadap 60petani, Gusmanto (16)tertembak

11 Aceh Barat PT KTS Tgk Banta Ali ditembak matipertahankan tanahnya

12 Ogan Ilir PTPN VII Cinta Manis Angga (12) tewas dan 23 orangtertembak Brimob

13 KotawaringinTimur

PT. Nabatindo KaryaUtama

Penangkapan warga

14 Sumba Timur PT. Fathi Resources 4 warga mengalami luka-lukaakibat kerusuhan, 24 wargadikriminalisasikan

15 Rokan Hulu PT Merangkai ArthaNusantara

Bentrokan warga denganpreman perusahaan, 5 wargatidak pulang.

16 MandailingNatal

PT Sorikmas Mining Bentrok dengan petugasperusahaan, 4 luka dan 1mengalami luka tembak

17 Donggala PT. Cahaya ManunggalAbadi

Masdudin (50) tewas danlima lainya tertembak polisi

Sumber: Database HuMa, 2012.

Page 27: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

26 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

F. Kesimpulan4

Konflik sumber daya alam terjadi di kawasanperkebunan, kehutanan, tambang, adalah bun-tut dari kebijakan Pemerintah yang dengansewenang-wenang memberikan perijinan dankonsesi kepada perusahaan-perusahaan yangbergerak di bidang ekstraktif seperti perkebunandan pertambangan skala luas. Di sektor kehu-tanan masalah terbesar yang diwariskan olehPemerintah hingga kini adalah dengan penun-jukan kawasan hutan secara sepihak tanpa mem-pertimbangkan keberadaan masyarakat adat,lokal, serta kelangsungan ekosistem dan ling-kungan berkelanjutan pada kawasan-kawasanyang ditunjuk tersebut.

Dalam pemberian ijin-ijin dan penunjukantersebut, Pemerintah di segala tingkatan tidakmenggunakan prinsip persetujuan dini tanpapaksaan atau mekanisme Free, Prior, and In-formed Consent (FPIC). Padahal, di banyak ka-sus, masyarakatlah yang sejak awal membukahutan, dan mendiami lahan-lahan garapanmereka atau tanah-tanah ulayat. Pengambil-alihan lahan-lahan komunitas lokal, masyarakatadat, atau petani yang sebagian terjadi di masalalu (1965), masa Orde Baru, maupun setelahmasa Reformasi inilah yang menjadi akar konflikagraria yang berlangsung hingga sekarang. Kon-flik agraria ini terus meluas, menyebar, memba-ra, dan berkelanjutan karena Pemerintah terus-menerus memberikan ijin-ijin atau konsesi-kon-sesi kepada perusahaan-perusahaan skala luastersebut, tetapi di sisi lain membiarkan konflik-konflik agraria itu terjadi tanpa penangananyang menyeluruh dan memberikan keadilan bagimasyarakat yang menjadi korban.

Konflik agraria sekarang menjadi meluaskarena Pemerintah terus mendorong pertum-buhan ekonomi tinggi, salah satunya denganmembuka perkebunan-perkebunan baru kelapasawit, baik di atas tanah-tanah yang diklaim ma-syarakat sebagai tanah ulayat mereka, maupundengan mengkonversi hutan. Di tengah sistemhukum yang mengindahkan keberadaaan klaim-klaim masyarakat atas sistem penguasaan lahanmasyarakat, Pemerintah melalui aparatur pene-gak hukum dan bersenjatanya menopang keku-asaan perusahaan-perusahaan pemegang buktiformal meski terkadang diperoleh denganmekanisme yang koruptif. Ini tampak kuat terjadipada semua sektor konflik.

Negara, tak hanya memfasilitasi perusahaan-perusahaan untuk mengambil-alih tanah masya-rakat, tetapi juga membangun mesin pencarikeuntungan sendiri melalui PTPN-PTPN. Wal-hasil, perusahaanlah yang menjadi aktor utamayang berkonflik dengan masyarakat. Modus

Sumber: Database HuMa, 2012.

Jenis Pelanggaran HAM Prosentase

Pelanggaran terhadap hak rakyat untuk memanfaatkan

-sumber alam

(Hak Akses terhadap Sumberdaya Alam)

Instrumen yang dilanggar:

Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Pasal 1 ayat (2)

Kovenan Hak Sipil Politik Pasal 1 ayat (2)

25%

Pelanggaran terhadap hak untuk memiliki atau menguasai

(Hak Milik atas Sumberdaya Alam)

Instrumen yang dilanggar:

asal 17 ayat (1) dan (2)

UU No39/1999 tentang HAM Pasal 29 ayat (1)

UU No39/1999 tentang HAM Pasal 31 ayat (1) dan (2)

19%

Pelanggaran terhadap hak atas kebebasan

Hak untuk Menyatakan Sikap, Berorganisasi,

Instrumen yang dilanggar:

asal 3 dan 9

Kovenan Hak Sipil Politik Pasal 9 ayat (1) dan (2) 18%

Serangan terhadap integritas pribadi

Instrumen yang dilanggar:

Kovenan Hak Sipil Politik Pasal 7

Kovenan Hak Sipil Politik Pasal 17 ayat (1) dan (2)

1999 tentang HAM Pasal 33 ayat (1) 7%

Pelanggaran terhadap hak atas lingkungan yang sehat

Instrumen yang dilanggar:

Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Pasal 12 ayat

1999 tentang HAM Pasal 9 ayat (3) 7%

Pelanggaran terhadap hak hidup

Instrumen yang dilanggar:

Kovenan Hak Sipil Politik Pasal 6 ayat (1)

1999 tentang HAM Pasal 9 ayat (1)

1999 tentang HAM Pasal 33 ayat (2) 6%

Tabel 5. Jenis-jenis Pelanggaran HAM

4 Bagian kesimpulan ini ditulis oleh Siti Rakhma MaryHerwati.

Page 28: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

27Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia .....: 15-27

yang digunakan oleh perusahaan untuk mem-bungkam masyarakat yang memprotes peram-pasan lahan itu adalah dengan menggunakanaparat hukum seperti polisi (Brimob) dan TNI.Mereka juga menggunakan centeng atau pre-man bayaran.

Penanganan konflik agraria oleh Pemerintahjuga cenderung represif, sehingga alih-alih mem-buat konflik selesai, Pemerintah dan aparat pene-gak hukumnya bersama-sama perusahaan,justru melakukan pelanggaran hak asasi manu-sia, yaitu hak sipil politik ketika melakukan pe-nanganan terhadap masyarakat yang menuntuthak atas tanah. Pelaku pelanggaran HAM jugameluas, tak hanya negara, aparatusnya, dan pe-rusahaan, tetapi juga para individu yang menjadipemimpin-pemimpin kampung.

Konflik-konflik agraria tersebut akan terpeli-hara selama Pemerintah tidak melakukan lang-kah-langkah sebagai berikut: Pertama, morato-rium atas semua perijinan untuk perusahaan-perusahaan di bidang perkebunan, kehutanan,pertambangan, dan pesisir. Kedua, menghentikansegala bentuk penanganan konflik dengan carakekerasan. Ketiga, membentuk sebuah lembagaPenyelesaian Konflik Agraria yang bertugasmengidentif ikasi, menyelidiki, konflik-konflikagraria yang terjadi, case by case, dan memberi-kan rekomendasinya kepada pemerintah. Keem-pat, dari rekomendasi lembaga tersebut, peme-rintah melakukan tindakan tegas berupa penca-butan maupun pembatalan izin-izin perusahaantersebut, dan menindak secara pidana terhadapperusahaan maupun aparat pemerintah yangmelakukan perampasan tanah rakyat. Kelima,melakukan review terhadap peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih di bidang sum-ber daya alam dan semua perizinan yang dikelu-arkan di bidang sumber daya alam, dan Keenam,mengembalikan tanah-tanah hasil rampasanperusahaan maupun pemerintah kepada masya-rakat sebagai pemiliknya. Keseluruhannya, dilak-

sanakan dalam kerangka menjalankan amanatTAP MPR No. IX tahun 2001 tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Daftar Pustaka

Hedar Laudjeng, Hukum Kolonial di Negara Mer-deka, paper diunduh dariwww.huma.or.id

Noer Fauzi Rahman, 2012. Landreform Dari MasaKe Masa, Yogyakarta: Tanah Air Beta danKonsorsium Pembaruan Agraria.

Gamma Galudra, dkk, 2006. Rapid Land TenureAnalysis; Panduan Ringkas Bagi Praktisi,World Agro Forestry-Asia Tenggara.

Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statistik,2007. Identif ikasi Desa Dalam KawasanHutan.

Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statis-tik, 2009. Identif ikasi Desa di Dalam dan diSekitar Kawasan Hutan.

Wahyu Wagiman (ed), 2012. Prinsip-prinsip Pan-duan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia:Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa,Perlindungan, Penghormatan dan Pemu-lihan, Jakarta: Elsam.

Andi Muttaqien, dkk, 2012. UU Perkebunan:Wajah Baru Agrarische Wet; Dasardan Alasan Pembatalan Pasal-pasal Krimi-nalisasi oleh Mahkamah Konstitusi, Jakarta:Elsam.

Page 29: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

ANATOMI KONSEP PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA:STUDI PERBANDINGAN ANTARA RANAH KEBIJAKAN DAN

RANAH PERJUANGAN AGRARIAKus Sri Antoro*

Abstract:Abstract:Abstract:Abstract:Abstract: This article is a conceptual idea of the comparison between a research finding and reality in the community relatedto the agrarian conflict resolution. The study is entitled Resolution Policy on Contemporary Agrarian Conflict, which is one of thesystematic studies carried out by STPN in 2012; while the aforementioned reality in the society is gathered from records of thedynamics of agrarian conflict and struggle in several areas collected by Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA), which arepublished by FKMA and other official media. By exploring and comparing the conceptual ideas of the two written sources, thisarticle is intended to map out the approaches and models of agrarian conflict resolution, especially according to the perceptionsand interests of the three actors of agrarian political economy, namely the state, market and society.KeywordsKeywordsKeywordsKeywordsKeywords: agrarian resources, conflict, conflict resolution

IntisariIntisariIntisariIntisariIntisari: Naskah ini merupakan gagasan konseptual atas perbandingan hasil penelitian dan kenyataan di masyarakat terkaitpenyelesaian konflik agraria. Penelitian yang dimaksud berjudul Kebijakan Penyelesaian Konflik Agraria Kontemporer, yangmerupakan salah satu Riset Sistematis yang dilaksanakan oleh STPN pada tahun 2012, sedangkan kenyataan di masyarakat yangdimaksud berupa laporan-laporan mengenai dinamika konflik dan perjuangan agraria di beberapa daerah yang dihimpun olehForum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA), yang dipublikasikan oleh FKMA dan media resmi lainnya. Dengan menelusuri danmembandingkan gagasan-gagasan konseptual atas dua sumber tertulis tersebut, naskah ini bertujuan untuk memetakan berbagaipendekatan dan model penyelesaian konflik agraria, khususnya menurut persepsi dan kepentingan tiga aktor dalam ekonomipolitik agraria, yaitu negara; pasar; dan masyarakat.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: sumberdaya agraria, konflik, penyelesaian konflik

A. Pengantar

Pada 7 dan 10 Februari 2013 terdapat dua seru-an kepada pemerintah yang berisi harapan agarkonflik agraria segera diselesaikan. Seruan per-tama berasal dari aliansi akademikus yang me-namakan diri Forum Indonesia untuk KeadilanAgraria (FIKA)1 dan seruan kedua berasal dari

aliansi akar rumput yang menamakan diri Fo-rum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA)2.Keduanya berangkat dari latar belakang yangberbeda, FIKA sebagai pengamat dan penelitiagraria dan FKMA sebagai pelaku dalam pusaranperubahan-perubahan agraria di pedesaan.Kedua seruan tersebut berangkat dari kegeli-sahan yang sama, yaitu konflik agraria tak kun-jung selesai, meskipun payung hukum bagi kebi-

*Petani-peneliti dan Relawan di Forum KomunikasiMasyarakat Agraris (FKMA).

1 FIKA adalah perhimpunan 153 akademikus yang mem-perhatikan masalah agraria atau menggeluti studi agraria, selan-jutnya simak http://www.change.org/petitions/surat-terbu-ka-forum-indonesia-untuk-keadilan-agraria-kepada-presi-den-republik-indonesia-untuk-penyelesaian-konflik-agraria.

2 FKMA adalah wadah perjuangan organisasi-organisasi akar rumput (terutama petani) yang mandiri danindependen, dideklarasikan pada 22 Desember 2012 diJogjakarta, saat ini mewadahi 15 organisasi di Jawa dan luarJawa, selanjutnya simak www.selamatkanbumi.com

Page 30: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

29Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48

jakan penyelesaian konflik telah ada. Hinggakini, kedua seruan tersebut belum bersambutmeskipun seruan keduanya telah sampai kepadayang dituju. Menurut Saleh et al. (2012) 3, seruanini menunjukkan dua fakta, 1) alternatif kebi-jakan yang dipakai pemerintah tidak mencapaitujuan, 2) terdapat hal-hal di luar perhitunganpemerintah dalam implementasi kebijakanpenyelesaian konflik agraria.

Tercatat di dalam surat terbuka kepada Presi-den RI bertanggal 7 Februari 20134, FIKA menun-tut penyelesaian konflik agraria secara kelemba-gaan yang difasilitasi sebagai kebijakan. Denganmempertimbangkan kepentingan pembangunanekonomi, sebagaimana butir ke-3 surat tersebut:

“Pembangunan ekonomi yang sehat memerlukanpenataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dansumberdaya alam yang adil dan berkelanjutan sebagaibasis penguatan ekonomi rakyat. Demikian puladiperlukan partisipasi masyarakat secara hakiki.Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan kemauanpolitik yang sungguh- sungguh dan konsisten sertajaminan perlindungan hukum yang nyata terhadapkelompok masyarakat rentan, utamanya masyarakattak bertanah (tunakisma) dan tidak memiliki aksesterhadap tanah dan sumberdaya alam”

aliansi akademikus ini menengarai bahwa pem-baruan agraria belum dilaksanakan, terbukti bah-wa: 1) peraturan perundangan terkait agrariabanyak yang bertentangan secara substansidengan UUD 1945; 2) sinkronisasi dan harmo-nisasi peraturan perundangan yang mengatursumberdaya alam dan lingkungan hidup belumterjadi; 3) ketidaksinkronan antara peraturanpercepatan pertumbuhan ekonomi (umumnya

yang dirujuk adalah MP3EI) dengan peraturanperundangan yang mengatur sumberdaya alamdan lingkungan hidup; 4) peraturan daerah di-dominasi oleh peraturan dengan semangat yangeksploitatif dan bermotif jangka pendek; 5)kebijakan perijinan bagi usaha skala besar belummemperhatikan tata kelola yang baik; 6) konsen-trasi penguasaan tanah pada segelintir orang/badan hukum yang menimbulkan kesenjangansosial di sektor agraria; dan 7) perjanjian-perjan-jian bilateral/multilateral yang bertentangandengan semangat keberlanjutan sosial/ling-kungan hidup. Keenam butir inilah yang menjadiakar konflik agraria yang tak berkesudahan,demikian menurut FIKA.

Berbeda dengan FIKA yang berangkat dariperspektif kebijakan, yaitu menempatkanketiadaan reformasi hukum sebagai akar konflikagraria dan pelaksanaan reformasi hukumsebagai penyelesaian konflik agraria, melaluipernyataan sikap bertanggal 10 Februari 20135,FKMA bertolak dari perspektif bahwa pem-bangunan ekonomi (dalam persepsi pemerintahdan swasta) dan kebijakan terkait sumberdayaagraria justru merupakan pintu masuk bagi kon-flik agraria. Hal ini tampak dari butir pembukapernyataan sikap mereka:

“Membayangkan dunia tanpa petani/pertanian samaseperti membayangkan hidup tanpa pangan.Demikian pula, membayangkan negara yang abaipada rakyat sama seperti membayangkan negaratanpa kedaulatan… Atas nama pembangunan,negara dan perusahaan semakin gencar mengambilalih lahan petani. Atas nama kesejahteraan, petanisecara perlahan dan teratur diubah menjadi buruhcadangan. Atas nama kepentingan umum, ruanghidup petani dipersempit bahkan dihilangkan untukmemperkaya segelintir konglomerat. Atas namakemajuan, petani dikelabui untuk melepas hakhidupnya, melepas tanahnya, melepas pekerjaannya,

3 Deden Dani Saleh, Widhiana H.P., Siti Fikriyah K.,Kus Sri Antoro. 2012. Kebijakan Penyelesaian KonflikAgraria Kontemporer Dalam Kebijakan, Konflik, danPerjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 (HasilPenelitian Sistematis STPN 2012), AN. Luthfi (editor).Yogyakarta: PPPM. hlm109.

4 Dapat disimak pada http://www.kpa.or.id/?p=1158&lang=en

5 Dapat disimak di http://selamatkanbumi.com/kongres-kedua-forum-komunikasi-masyarakat-agraris/

Page 31: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

30 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

melepas jati dirinya, melepas kehormatannya sebagairakyat, sebagai manusia… Hukum bukan lagi ruangdi mana rakyat dapat menemukan keadilan, tetapihukum menjadi pembenaran atas pelanggaran asas-asas keadilan. Saat ini, pemerintah mencanangkanpengurasan kekayaan alam Indonesia dan pengusiranterhadap penduduk yang dianggap menghambatperluasan modal, dengan produk hukum/kebijakanyang membenarkan tindakan tersebut, antara lain :(1). UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Ta-nah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,(2) UU No 7 Tahun 2012 tentang PenangananKonflik Sosial, (3) UU No 4 Tahun 2009 tentangPertambangan Mineral dan Batubara (4) PP No32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan danPerluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2015”

Dengan mempertimbangkan bahwa 1) sejarahkonflik agraria (struktural) turut membangunsejarah Indonesia, dan 2) konflik agraria akibatketimpangan struktur penguasaan sumberdayaagraria hendak diselesaikan seturut cita-citaproklamasi kemerdekaan, FKMA menengaraibahwa konflik agraria yang tak kunjung usaiboleh jadi bukan hanya karena berputar dalamlingkaran setan logika pemerintah, tetapi jugasengaja dirawat untuk mengukuhkan tatananyang menguntungkan penguasa dan pengusaha.Sementara instrumen kelembagaan dan kebi-jakan sedang didorong agar dapat mewadahi ke-pentingan pasar dan sosial, praktik-praktikkerakusan terus menimbulkan kerusakan-keru-sakan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkunganmasyarakat. Dan, di dalam dinamika konflikagraria itulah, lembaga-lembaga negara justrubertindak sebagai aktor kekerasan terhadaprakyat melalui aksi-aksi yang diatas namakanpenegakan undang-undang, berupa kriminali-sasi, teror, intimidasi, penculikan, dan penem-bakan terhadap petani/pejuang hak-hak rakyat.Sementara itu, ketika rakyat mempertahankanhaknya atas ruang hidup, kepada rakyatlah la-bel kekerasan disematkan. Menurut FKMA, tin-dakan rakyat dalam mempertahankan/merebut

kembali hak-haknya bukanlah kekerasan, me-lainkan perjuangan sebagaimana perjuanganbersenjata para pejuang kemerdekaan di jamankolonial. Akar konflik agraria bukan terletakpada hukum yang tidak tegak, melainkan padapenindasan dan ketidakadilan akibat kejahatankorporasi, negara dan persekongkolan keduanyadalam pengurusan sumberdaya alam/agraria,demikian menurut FKMA.

Jika perspektif akademikus dan akar rumputini bertemu di satu titik, maka keduanya mung-kin menyiratkan pesan bahwa konflik agariamerupakan tanda bahwa kemerdekaan bangsabelum tercapai; bukan hanya itu, bahkan meru-pakan tanda bahwa negara telah kehilangankedaulatannya.

Kemudian, apa yang diharapkan oleh keduaaliansi tersebut terkait penyelesaian konflikagraria? Beberapa rekomendasi FIKA antara lainialah mengusulkan kepada presiden RI untukmelakukan : 1) pelaksanaan mandat TAP MPRRI No. 9 Tahun 2001 secara konsisten dan me-mantau pelaksanaannya secara transparan; 2)mengupayakan penyelesaian konflik agrariasecara berkesinambungan intensif, dan terko-ordinasi dengan langkah-langkah tertentu; 3)menugaskan menteri Hukum dan HAM untukmemimpin pengkajian ulang terhadap seluruhperaturan perundang-undangan di bidang agra-ria dan pengelolaan sumberdaya alam yang tum-pang tindih dan bertentangan satu sama lain,dengan melibatkan akademisi dan masyarakatmadani; 4) menugaskan pimpinan kementrianterkait dengan sumberdaya agraria dengan BPNuntuk melakukan beberapa langkah, antara lainmoratorium pemberian ijin pemanfaatan sum-berdaya alam/hak atas tanah selama audit dila-kukan oleh lembaga independen; mengembankebijakan pencegahan dampak negatif darikonflik agraria dan terhadap lingkungan hidup;melaksanakan UU 14 Tahun 2008; 5) mendorongkementrian terkait BPN untuk mendukung

Page 32: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

31Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48

percepatan pembentukan UU yang mengaturpengakuan dan perlindungan masyarakathukum adat, mendukung pemerintah daerahmelakukan proses identif ikasi dan verif ikasikeberadaan masyarakat hukum adat; 6) menu-gaskan kepada menteri kehutanan untuk segeramenyelesaikan konflik pada masyarakat yangberbatasan dengan kawasan hutan; dan 7)membentuk kementrian yang bertanggung-jawab mengkoordinasikan kebijakan danimplementasi di bidang pertanahan, sumberda-ya alam, dan lingkungan hidup.

Sedikit berbeda dengan rekomendasi FIKAyang bersifat mengusulkan dan menghimbau,beberapa rekomendasi FKMA yang dirumuskandalam pernyataan sikap mereka lebih kuat nuan-sa politiknya, antara lain: 1) memaksa pemerin-tah untuk menghentikan kriminalisasi sertamembebaskan petani dan pejuang hak-hakrakyat dari tahanan akibat konflik agraria; 2)memerintahkan kepada Presiden RI dan jajaranpenyelenggara negara untuk mewujudkan hak-hak rakyat atas sumberdaya agraria/ruang hidup;3) memerintahkan kepada segenap penyeleng-gara negara untuk tidak membuat atau menca-but kebijakan yang menjadi legitimasi bagiperampasan hak rakyat, terutama hak atas sum-berdaya agraria; dan 4) menyerukan korporasiuntuk menghentikan segala upaya perampasan/pengambilalihan lahan yang menjadi ruanghidup rakyat. Butir-butir rekomendasi tersebutdibangun atas kesadaran bahwa rakyat adalahpemegang kekuasaan tertinggi dalam NKRI dannegara sebagai alat untuk mencapai kesejahtera-an, mereka meletakkan kembali posisi rakyat diatas negara, dan meletakkan korporasi di bawahkendali negara.

Perbandingan sikap politik antara FIKA danFKMA dalam merumuskan akar konflik agrariadan cara menyikapinya cukup menggambarkanbahwa: posisi politik suatu aktor memengaruhikerangka pemikiran dan metode yang dipilihnya.

Tentu saja, untuk membedah relasi dunia akade-mik dengan dunia gerakan akar rumput diperlu-kan studi lebih lanjut di luar konteks tulisan ini.Akan tetapi, pertanyaan- pertanyaan awal perludiajukan: ketika secara nyata hukum adalah pro-duk politik, sejauhmana hukum menjadi instru-men bagi penyelesaian konflik agraria yang adilbagi rakyat sebagai elemen terpenting dalamNKRI? Dan, seturut rekam jejak konflik agrariadi nusantara (terutama untuk kawasan-kawasanhutan dan perkebunan), sejauhmana persoalanagraria dipandang sebagai akibat dari keberlan-jutan model ‘pembangunan’ yang dipertahankansejak jaman kolonial? Dan, dalam perspektif sertakepentingan siapakah penyelesaian konflik ag-raria didef inisikan, dirumuskan, dan diimple-mentasikan?

Ilustrasi sikap politik FIKA dan FKMA me-nunjukkan bahwa pemahaman keagrariaansuatu pihak memengaruhi pemahaman pihaktersebut atas konflik agraria. Bagaimana konflikagraria ditakrifkan dan dipahami oleh suatupihak akan bergantung pada bagaimana ReformaAgraria ditakrifkan dan dipahami oleh pihaktersebut6. Dengan demikian, Reforma Agraria(bukan Reformasi Agraria) menjadi kunci pen-ting dalam studi tentang konflik agraria danpenyelesaian konflik agraria.

B. Studi Perbandingan

Seturut dengan tradisi akademik yangmenjadi nafas FIKA, pada tahun 2012 STPNmenyelenggarakan riset sistematis bertemaKebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria In-donesia Awal Abad 21. Salah satu topik penelitianyang dipilih dalam tulisan ini sebagai bahanperbandingan adalah yang berjudul KebijakanPenyelesaian Konf lik Agraria Kontemporer,untuk selanjutnya disebut riset Kebijakan STPN

6 Saleh et al. 2012. hlm 123

Page 33: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

32 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

2012. Penelitian ini mencoba untuk mengiden-tif ikasi akar konflik agraria, pola-pola kebijakanpenyelesaian konflik agraria, menilai efektif itaskebijakan tersebut di era reformasi, dan meru-muskan rekomendasi untuk kebijakan penyele-saian konflik agraria. Dan, sebagaimana denganperspektif FKMA, riset Kebijakan STPN 2012melihat bahwa aktor ekonomi politik dalamdinamika konflik agraria tidak dapat dilepaskandari posisi dan peran negara, pasar, dan masya-rakat.

Riset Kebijakan STPN 2012 dilandasi olehargumentasi awal sebagai berikut: 1) kebijakandan konf lik agraria telah berlangsung jauhsebelum proklamasi kemerdekaan, setidaknyabersamaan dengan kolonialisme7. Bermula daripemutusan hubungan-hubungan agraria secarapaksa oleh pemerintah kolonial kepada pribumimelalui kebijakan-kebijakan agraria yangmenguntungkan perusahaan baik negara/swas-ta, konflik agraria hadir sebagai respons rakyatatas kebijakan agraria negara dari jaman kejaman. 2) ketika konflik agraria adalah bentukrespons (antitesis) dari kebijakan agraria (tesis),maka penyelesaian konflik agraria dihadirkanoleh negara sebagai sintesis, namun, dalam situ-asi tertentu, apa yang dimaksudkan sebagaisintesis ini belum beranjak dari tesis pendahu-lunya sehingga kembali menarik kehadiranantitesis. Riset lapang penelitian ini berlangsungantara 28 Mei-2 Juni 2012 dan dilakukan denganpendekatan konstruksi sejarah kebijakan agraria,penelusuran informasi (studi literatur, studiarsip, wawancara kepada beberapa pengambilkebijakan di lembaga-lembaga terpilih, dan studikasus), dan triangulasi data yang bersumber padakeduanya. Identif ikasi permasalahan yang dite-mukan melalui riset Kebijakan STPN 2012 disa-jikan dalam Tabel 3 dan diuraikan lebih menda-lam pada penjelasannya.

Di sisi lain, konflik-konflik agraria di la-pangan masih berlangsung hingga kini, tidakhanya mengakibatkan kerusakan-kerusakantetapi juga melahirkan wacana-wacana akarrumput tentang apa yang seharusnya dilakukan.Sebagai kasus uji terhadap hasil riset KebijakanSTPN 2012 tersebut, argumentasi dalam catatankonflik-konflik agraria yang terjadi di Banten,Jawa Barat (penambangan air)8; di Kulon Progo,DIY (penambangan pasir besi)9; di Sidoarjo, JawaTimur (lumpur PT LAPINDO Brantas)10, dan diOgan Ilir, Sumatera Selatan (perkebunan PTPNVII)11 dipilih sebagai wacana pembanding. Ke-empat komunitas tersebut diwadahi oleh FKMA.Identif ikasi permasalahan disajikan dalam Tabel4 dan diuraikan lebih mendalam pada penje-lasannya.

Perbandingan antara temuan-temuan pene-litian riset Kebijakan STPN 2012 dan temuan-temuan pencermatan akar rumput atas konflik-konflik agraria di daerah-daerah tersebut di atas,disajikan dalam Tabel 5 dan diuraikan lebih men-dalam pada penjelasannya. Agar memperolehpengetahuan yang lebih komprehensif dan dapatmenyumbang kritik akademis atas artikel ini,pembaca disarankan untuk membaca terlebihdahulu tulisan-tulisan yang menjadi sumberstudi perbandingan dalam artikel ini dan/atau

7 Saleh et al. , 2012. hlm 110-111

8 Berdasarkan artikel berjudul Kronologi PerlawananWarga Padarincang versus Aqua Danone, ditulis olehGRAPPAD (Gerakan Rakyat Anti Pembangunan PabrikAqua Danone), dapat disimak di http://selamatkanbumi.com/kronologi-perlawanan-warga-padarincang-vs-aqua-danone/

9 Berdasarkan artikel berjudul Bertani atau Mati,ditulis oleh Kus Antoro, dapat disimak di http://selamatkanbumi.com/bertani-atau-mati/

10 Berdasarkan artikel berjudul Refleksi PerlawananPorong, ditulis oleh Rere, dapat disimak di http://selamatkanbumi.com/refleksi-perlawanan-porong/

11 Berdasarkan artikel Risalah Kasus dan RiwayatTanah Warga Rengas (dipublikasikan dalam cetak), ditulisoleh Mukhlis.

Page 34: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

33Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48

tulisan lain yang dirujuk dalam artikel ini12.Artikel ini memberikan penjelasan yang sangatterbatas karena pembatasan ruang.

Di Indonesia, kapitalisme bermula hampirbersamaan dengan kolonialisme, dan secaranyata mengemuka sebagai sejarah agraria.Sejarah agraria tidak lain merupakan sejarahkonflik struktural, yaitu konflik yang melibatkanrakyat berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara (dalam tulisan ini diisti-lahkan sebagai negara-korporasi) memperebut-kan alat produksi berupa tanah/sumberdayaalam. Studi Kartodirjo dan Suryo (1991) tentangperkebunan menunjukkan bahwa di Indonesia,relasi kekuasaan antara modal dan negara untukmengukuhkan ekonomi politik kapitalismesudah dimulai sejak jaman kolonial, sebagaibukti: negara merupakan instrumen dalam pe-netrasi, akumulasi, dan ekspansi modal berbasissumberdaya alam. Akibatnya, terbentuk duakutub kekuatan, 1) korporasi dan negara yanghendak menempatkan kapitalisme sebagai satu-satunya kekuatan ekonomi politik dan 2) ke-kuatan sosial yang dirugikan oleh kapitalisme.Kedua kekuatan itu bertemu dalam perebutan1) ruang dan alat produksi secara material; 2)arena kekuasaan di ranah kebijakan; dan 3) waca-na untuk legitimasi sosial. Di dalam kontestasikekuasaan antara kekuatan ekonomi politikkapitalisme dan kekuatan sosial inilah, konflikstruktural lahir dan mengemuka.

Pemodal, baik pada masa kolonial maupunpascakolonial, berkemampuan untuk mengubahrelasi-relasi agraria dalam masyarakat, yangmembawa konsekuensi bahwa tanah/ruanghidup/sumberdaya alam harus berelasi denganpasar, sehingga modal dan tenaga kerja sebagaipenggerak moda produksi adalah kebutuhanagar kapitalisme berlangsung.

Kekuatan sosial yang dirugikan oleh kapitalis-me melakukan perlawanan, baik terorganisasi(well organized) seperti serikat-serikat yang diini-

siasi oleh kaum intelektual di tingkat akar rum-put, maupun tidak terorganisasi secara modernseperti ditunjukkan oleh James C. Scott dalamperlawanan keseharian. Corak-corak perlawananbervariasi tergantung dari bentuk kapitalismeyang dihadapi; aktor yang dihadapi; struktur so-sial (masyarakat) di mana konflik struktural ituberlangsung; dan kesempatan politik yang di-punyai oleh rakyat. Dan, dalam berbagai ben-tuknya, negara dan/atau korporasi melakukanpenghentian perlawanan sosial itu, baik secarafisik; regulasi; politik identitas; pengorganisasiankekerasan; atau pelabelan dan pewacanaan bagimereka yang menolak patuh sebagai: musuh ber-sama.

Pertarungan kekuasaan antara kapitalismedengan rakyat tak jarang juga diramaikandengan perang wacana yang akan menentukanlegitimasi (pembenaran): siapa yang dibenarkansecara sosial untuk menentukan perubahan ling-kungan dan sosial, lalu mereproduksi wacanaitu untuk kepentingannya.

Tulisan ini akan mengangkat tiga pendeka-tan, yaitu Pendekatan Hak; Pendekatan Akses;dan Pendekatan Ekososiologi, dalam memban-dingkan hasil Riset Kebijakan STPN 2012 dengankertas-kertas kerja akar rumput sebagai kasus uji.Dengan harapan, dapat tergambarkan secarateoritis: sejauhmana penyelesaian konflik yangdiusulkan kepada pemerintah atau dirumuskanoleh pemerintah telah menjadi bagian dari solusi.

12 Antara lain: 1) Membangun Gerakan Petani Mandiri,ditulis oleh Guruh Dwi Riyanto, http://www.portalkbr.-com/berita/saga/2526669_4216.html; 2) Akar RumputMenuju Kemandirian, ditulis oleh Sita Magfira dan SuluhPamuji, http://indoprogress.com/akar-rumput-menuju-kemandirian/; 3) Merawat Nafas Panjang PerjuanganAgraria, ditulis oleh Udin Choirudin, http://selamatkan-bumi.com/merawat-nafas-panjang-perjuangan-agraria-risalah-kongres-ii-forum-komunikasi-masyarakat-agraris-fkma/; 4) Dari Gunawan Wiradi untuk Kawan-kawanFKMA, ditulis oleh Gunawan Wiradi, http://selamatkan-bumi.com/surat-dari-gunawan-wiradi-untuk-fkma/.

Page 35: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

34 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

C. Kerangka Teori

1. Pendekatan Hak MilikLocke memandang kepemilikan sebagai

klaim moral atas hak-hak yang muncul dari pen-campuran tenaga kerja dan tanah13, sedangkanpendapat oposannya, Marx14, memandangbahwa kepemilikan adalah pencurian (theft).Berbeda dengan Locke dan Marx, Proudhon15

dan MacPherson16 memandang kepemilikanbukan sesuatu yang alami (natural), melainkanklaim yang memperoleh legitimasi sosial. Pelusodan Ribot17 mengemukakan bahwa hak kepemi-likan dikendalikan oleh sekelompok hak (abundle of rights), yang dicirikan dengan pengu-asaan si pemilik hak untuk memiliki, meng-gunakan, mewariskan, dan memindahkanpenguasaannya kepada pihak lain.

Lebih lanjut, Schlager dan Ostrom (1992)membuat uraian atas a bundle of rights itu sebagaiberikut:1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak

untuk memasuki wilayah tertentu, berlakubagi pemanfaat yang diijinkan (authorizedusers), pemakai atau penyewa (claimant),kepunyaan (propeitors), dan pemilik(owners).

2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu

hak untuk mengambil manfaat atas sesuatudari suatu tempat, berlaku bagi pemakai danpenyewa, kepunyaan, dan pemilik.

3. Hak pengelolaan (rights of management),yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatandan mengubah sumberdaya yang ada untuktujuan tertentu, berlaku bagi pemakai ataupenyewa, kepunyaan, dan pemilik.

4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaituhak untuk membatasi akses pihak lain terha-dap sesuatu dan membuat aturan pemin-dahan hak ini, berlaku bagi kepunyaan danpemilik.Hak milik merupakan hak tertinggi karena

hanya pemilik yang mempunyai hak untukmelepaskan penguasaannya kepada pihak lain.

2. Pendekatan Akses

Menurut Peluso dan Ribot (2003), jika hakkepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak(a bundle of rights), maka akses dikendalikanoleh sekelompok kekuasaan (a bundle of pow-ers). Kekuasaan lebih berperan daripada klaimdalam pengambilan manfaat atas suatusumberdaya. Sekelompok orang mungkin tidakmempunyai hak menurut hukum yang berlaku,namun kekuasaan yang melekat padanya me-mungkinkannya untuk mengakses sumberdaya,bahkan membuat klaim kepemilikan atau me-nentukan struktur penguasaan atas sumberdaya.Kekuasaan kemudian menjadi konsep pentinguntuk menelaah struktur penguasaan sumber-daya dalam perspektif kelas, ranah di manakonflik penguasaan sumberdaya sering berlang-sung. Perbedaan perspektif kekuasaan dalamakses SDA antara Teori Hak Kepemilikan (Theoryof Property Rights) dan Teori Akses (Theory ofAccess) disajikan dalam Tabel 1.

13 …property as the moral claim to rights arising frommixing of labor with land (Peluso dan Ribot, 2003:156).

14 Property is appropriation, thus the rights that de-rived from combining labor and land or resource use weresuperceded by state backed institutions of property, causinghim (Marx) to regard property as theft (Ibid: 156-157)

15One author teaches that property is a civil rights, basedon occupation and sanctioned by law; another holds that it isa natural rights, arising from labor, and these doctrines, thoughthey seem opposed, are both encouraged and applauded. I(Proudhon) contende that neither occupation nor labor norlaw can create property, which is rather an effect withoutcause (Ibid:155).

16 …a right in the sense of an enforceable and supportedby society through law, custom, or convention (Ibid).

17 Peluso, N.L. and J.C. Ribot. 2003. A Theory ofAccess. Rural Sociology 68 (2) , pp 153-181.

Page 36: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

35Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48

Tabel 1. Perbedaan Theory of Property Rightsdan Theory of Access

Sumber: Peluso dan Ribot (2003) dan Schlager danOstrom (1992)

3. Pendekatan Ekososiologi

Istilah Ekososiologi muncul dalam kumpulankarya terpilih Sajogyo yang menyoroti peru-bahan-perubahan agraria, terutama di pedesaan,yang berangkat dari suatu upaya untuk mengu-rai benang kusut pembangunan18. Beberapakarya Sajogyo sebelumnya, seperti Moderniza-tion Without Development dan Pertanian, Lan-dasan Tolak bagi Pengembangan Bangsa berang-kat dari argumentasi bahwa ketimpangan struk-tur penguasaan sumberdaya agraria tidak selesaisemata-mata dengan kepastian hak yang dimo-tori dengan modernisasi19. Mengkritisi revolusihijau, Sajogyo berpendapat bahwa modernisasijustru tidak berdampak pembangunan, padahaldalam tradisi wacana fungsionalisme/modernis-me keduanya selalu identik. Studi Sajogyo dike-nal berusaha memosisikan kelas terbawah dalamstruktur penguasaan sumberdaya agraria sebagaiaktor yang penting, memunculkannya dalam dis-kursus: siapa yang paling berhak menikmati hasilatas pembangunan dan perubahan-perubahan

agraria: rakyat atau korporat?20 Apa yang menjadiprioritas utama dalam pembangunan dan peru-bahan-perubahan agraria: keberlanjutan atau per-tumbuhan sesaat? Bagaimana pembangunandan perubahan-perubahan agraria yang berman-faat luas akan dimulai: mengutamakan do-rongan modal sosial atau mengutamakan tari-kan kapital?

Meskipun belum diangkat sebagai sebuahteori, Ekososiologi yang dirintis oleh Sajogyodalam beberapa hal sejalan dengan pendekatanPolitical Ecology, seperti halnya ditunjukkan olehWatts dalam Robbins, bahwa ekologi politik ada-lah21:

An approach to understand the complex relationsbetween nature and society through a careful analy-sis of what one might call the forms of access andcontrol over resources and their implications forenvironmental health and sustainable livelihoods.

Tentu saja, pendekatan Ekososiologi kentaldengan nuansa ekonomi politik.

Konflik dan penyelesaian konflik, dalampendekatan ekososiologi, perlu dipikirkan kem-bali. Konflik hadir bukan sebagai sebab, melain-kan sebagai akibat pertemuan dua subyek leng-kap dengan kepentingan dan posisinya dalamrelasi lingkungan-sosial, mengarah aksi-reaksiyang cenderung menegasikan. Dalam konflikstruktural, subyek itu adalah rakyat berhadapandengan negara dan/atau korporasi.

Menggunakan pendekatan ekososiologi,klaim atas suatu sumberdaya harus diletakkankembali dalam sejarah kemunculan klaim itu.Sebagai misal, menjawab siapa yang berhak atassumberdaya agraria di masa kolonial di nusan-tara; pendekatan hak akan memunculkan ja-waban tegas: mereka yang diakui oleh pemerin-

18 Sajogyo. 2006. Ekososiologi. Sains, Sekretariat BinaDesa, Cindelaras Pustaka Cerdas. Yogyakarta.

19 Tulisan ini hadir sebagai Kata Pengantar dalam Invo-lusi Pertanian (Geertz, 1983).

Sumber Konsep kunci Konsekuensi

Schlager danOstrom (1992)Theory ofProperty Rights

A bundle ofrights

Hak adalah faktor yang menentukanakses SDA seseorang atau sekelompokorang. Hak tertinggi terdapat padaaktor yang berkuasa melepaskanpenguasaannya atas SDA.Kepastian hukum diperoleh darikemelekatan hak pada seseorang atausekelompok orang atas SDA.

Ribot danPeluso (2003)Theory of Access

A bundle ofpower

Kekuasaan adalah faktor yangmenentukan akses SDA seseorangatau sekelompok orang.Hak adalah klaim yang memperolehlegitimasi sosial.Kepastian hukum merupakan arenakekuasaan, pihak yang tidak dilekatihak tetap dapat melakukan aksesmelalui kekuasaannya.

20 Sajogjo. 1982. Modernzation without Development.The Journal of Social Studies, Dacca (Bangladesh).

21 Robbins, Paul. 2004. Political Ecology A CriticalIntroduction. Blacwell, Malden.

Page 37: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

36 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

tah kolonial dan dikuatkan dengan tanda bukti‘kepemilikan’ hak adalah pihak yang berhak.Namun, pendekatan ekososiologi akan memun-culkan jawaban jelas: mereka yang telah menem-pati dan memanfaatkan sumberdaya agrariasebelum kolonial tiba adalah pihak yang berhak.Demikian pula dalam penyelesaian konflik, pen-dekatan hak akan mengutamakan penegakanhukum positif di atas semua cara penyelesaianyang ada, artinya dalam kasus tersebut di atas,pemerintah kolonial selalu benar. Pendekatanekososiologi akan mendahulukan keadilansebelum hukum, artinya kepentingan sosial danpengolah sumberdaya agraria merupakan subjekyang harus difasilitasi sekalipun fasilitas itu nantiakan muncul sebagai hukum positif. Di masa ko-lonial, kolonialisme adalah sebab, konflik agrariaadalah akibat. Penyelesaiannya kolonialisme ha-rus diakhiri, dan ditata kembali pembaruanstruktur penguasaan sumberdaya agraria (dike-nal sebagai reforma agraria yang diperjuangkanmelalui UUPA). Di masa pascakolonial, terlebihdi era reformasi, kapitalisasi sumberdaya agrariaadalah sebab, konflik agraria adalah akibat.Penyelesaiannya adalah mengganti model-mod-el penyelesaian yang mendukung kapitalisasi sum-berdaya agraria, meskipun bentuk penyelesaianitu belum terpikir oleh pengambil kebijakan.

Tabel 2. Perbandingan Teoritis atas diskursustentang Konflik Agraria dan Penyelesaiannya22

Sumber: Sajogjo (2006); Peluso dan Ribot (2003)dan Schlager dan Ostrom (1992)

Riset Kebijakan STPN 2012 menemukan per-masalahan seputar kebijakan penyelesaian kon-flik agraria. Secara umum, konflik berlangsungdi dalam persaingan kepentingan Negara; Pasar;dan Masyarakat.

Negara memandang agraria sebagai ruangdan isinya yang merupakan entitas tak terpisah-kan dari kekuasaan sistem politik bernama na-tion- state. Sebagai kesatuan kekuasaan, hukumdan kebijakan merupakan alat kontrol atas peru-bahan-perubahan agraria, dengan demikiankepastian hukum adalah syarat mutlak agar kebi-jakan dapat dijalankan. Konflik hadir sebagaiakibat dari hukum yang tidak berjalan sebagai-mana mestinya, pemerintah sebagai wakil insti-tusi negara mempunyai wewenang untukmengatur bagaimana konflik akan diselesaikan,salah satu bentuknya adalah penertiban admi-nistrasi pertanahan (sertif ikasi).

Pasar memandang agraria sebagai komoditasyang merupakan bagian tak terpisahkan darimesin pertumbuhan ekonomi. Sebagai pondasikekuatan ekonomi, pengubahan sumberdayaagraria menjadi nilai lebih akan ef isien ketikahak telah pasti. Kepastian hak akan menjadi ja-minan bagi iklim investasi yang baik. Logika pasardan negara bertemu pada gagasan pembangunandan/atau pertumbuhan modal yang difasilitasidengan kepastian hak; perbedaannya, pasar per-caya bahwa tanpa kebijakan negara pun modaproduksi tetap menggeliat, menumbuh-kem-bangkan modal. Penertiban administrasi pentingsebagai mekanisme pengalihan hak dari publikke privat melalui pasar tanah.

Masyarakat memandang agraria sebagairuang di mana relasi-relasi kekuasaan bertemudalam berbagai kepentingan. Agraria bukanhanya berfungsi privat, misalnya tanah warisan;tetapi juga berfungsi sosial; misalnya sumbermata pencaharian/penghidupan. Dalam perspek-tif masyarakat, ada struktur penguasaan agrariayang timpang, hak masyarakat atas sumberdaya22 Data diolah dari buku Peluso dan Sajogyo.

Parameter PENDEKATAN TEORITIS

Hak(a bundle of rights)

Akses( a bundle ofpowers)

Ekososiologi

Sumberkonflik

Ketidakpastian Hak Ketimpanganakses

Ketimpanganpenguasaan

Tujuanpenyelesaian

Tercipta kepastianhukum

Tercipta peluangyang seimbang

Demokratisasistruktur agraria

Instrumen Hukum positif Kontrak Kelembagaan sosialBentukpenyelesaian

Sertifikasi PembukaanAkses

Keputusan yangmengedepankankepentingan sosialdan ekosistem

Konsekuensi Terbuka pada pasartanahExclussion

Berbagi otoritas Terbuka pada hakmilik komunal

Page 38: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

37Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48

agraria tidak diakui dan akses masyarakat ter-hadapnya ditutup. Struktur penguasaan inilahyang harus dirombak, dan bukan pada siapaaktor yang kepadanya akan dilekatkan hak. Upa-ya penertiban administrasi hanya akan meles-tarikan konflik sejauh upaya itu memelihara ke-timpangan struktur penguasaan agraria.

Tabel 3 Identif ikasi permasalahan yangditemukan riset sistematis STPN 2012 tentang

Kebijakan Penyelesaian Konflik AgrariaKontemporer23

Sumber: Saleh et al. (2012)

Kertas kerja akar rumput yang dihimpun olehFKMA menemukan permasalahan-permas-alahan yang sedikit berbeda dengan Riset Kebi-jakan STPN 2012. Secara umum, kertas kerja inimenemukan hubungan mutualistik antara nega-ra dan korporasi dalam menafsirkan, mengatur,dan mengelola agraria. Hubungan mutualistikini dengan sendirinya menyingkirkan masya-rakat yang secara normatif merupakan peme-gang kedaulatan tertinggi NKRI dan merusaklingkungan/ruang hidup masyarakat; sehingga,diistilahkan oleh FKMA sebagai kejahatan nega-ra-korporasi. Hubungan ini dilegitimasi oleh hu-

kum dan kebijakan, baik berupa Ijin Bupati (Ban-ten), Kontrak Karya dan UU No 13 Tahun 2012(Kulon Progo), Peraturan Presiden (Sidoarjo),maupun Hak Guna Usaha (Ogan Ilir). Hukumdan kebijakan tersebut bekerja dalam logika yangsama: negara adalah penentu hubungan agrariasemua pihak, dan kepastian hak dibutuhkan un-tuk mengamankan investasi atas sumberdayaagraria. Tidak berbeda dengan temuan Saleh etal. (2012), akar rumput menempatkan agrariasebagai ruang hidup dan sumber penghidupan,karenanya agraria tidak tergantikan. Pembe-basan lahan, baik itu melalui mekanisme tran-saksi maupun perampasan, bukan sebuahpilihan bagi masyarakat yang ruang hidupnyatelah/akan hilang karena suatu moda produksi/agenda pembangunan. Berbagai upaya legal for-mal dan intraparlementer untuk menyelesaikankonflik agraria structural telah dilakukan masya-rakat, tetapi kandas oleh narasi hukum danketidakmauan politik pemerintah untuk menye-lesaikan konflik. Karena konflik antara masya-rakat dan negara-korporasi bersifat saling mene-gasikan, win win solution tidak dipandang sebagaisolusi bagi kelompok masyarakat ini. Konflik usaijika akar konflik dihilangkan, yaitu hubunganmutualistik negara dan korporasi, bentuk penye-lesaian konfliknya ialah pembatalan legitmasidan praktik-praktik kelanjutannya. Istilah “mem-perpanjang nafas perjuangan” dan “mengutama-kan kemandirian pemikiran dan gerak” munculsebagai strategi sekaligus konsep tanding bagipenyelesaian konflik agraria a la negara-koporasi,sebagaimana diungkapkan oleh Magf ira danPamuji (2013), Riyanto (2013), Choirudin (2013)dan Wiradi (2013).

23 Deden dkk., op.cit.

Unsur-unsuragraria

Negara PasarKelompok

Masyarakat

Subyek dalamkonflik agraria

Ruang (tanah,air, udara) danisinya

Komoditasberbasis ruang

Relasi-relasikekuasaan

Hal yang di-reform

Hukum danKebijakan

KetidakpastianHak dan Akses

Strukturpenguasaan

PendekatanLandreformDipandunegara

LandreformDipandu pasar

LandreformDipanduOrganisasiMasyarakat (byleverage)

Tujuan

Kepastianhukum melaluitertibadministrasi

Jaminankeamananinvestasi

Pemerataandistribusi ruang,pengakuankelembagaan ataswilayah adat

Pelaku utamaLembaganegara

Badan usahadidorong BadanFinansialInternasional

Lembagamasyarakat

Realisasi SertifikasiSertifikasiPasar tanah

Sertifikasi,Pluralisme hukum(dalam beberapahal)

Page 39: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

38 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Unsur-unsuragraria

Banten Kulon Progo Sidoarjo Ogan Ilir

Akar konflik Kejahatan negara-koporasi terhadap sumberdaya agrariaAktorpenyebabkonflik

PemerintahDaerahPT Aqua GoldenMissisipi

Kasultanan danPakualamanPemerintah Daerah Idan IIPT Indomines Ltd.

PT LapindoBrantas

PTPN VII

Basis materialyang menjadisumber konflik

Okupasi lahanoleh korporasiuntuk industri airmineral

Perubahan fungsikawasan daripertanian danpemukiman menjadipertambangan,dilegalisasi denganKontrak KaryaPertambangan(4 November 2008)

Semburanlumpur akibatpengeboran PTLapindoBrantas (29Mei 2006)

Tanah ulayat yangdiubah statusnyamenjadi HGU,total areal tebu2.354 ha, lahansengketa 1.529 ha.

Kebijakanyang menjadisumber konflik

Surat Izin Bupatidengan nomor593/Kep.50-Huk/2007Melegalkanakuisisi lahanuntuk tambangair.

Perda DIY No 2Tahun 2010, tentangRTRWUU No 13 Tahun 2012Melegalkan akuisisilahan untuktambang pasir besi.

Perpres14/2007Perpres48/2008

Warga harusmenjual tanahke PT.LAPINDO

HGU atas tanahulayatSurat Gubernur No593.83/6623/I/2000 kepadaKementrianBUMN, agarmengembalikanlahan danmemberikompensasi padawarga.

Upayapenyelesaiankonflik agrariapemerintah/perusahaan

Pembebasanlahan

Jual beli tanahPendaftaran tanahKasultanan/PakualamanPenerbitan UU No 13Tahun 2013, PerdaDIY No 2 Tahun 2010

Wargadiharuskanmenjual tanahkepada PTLapindo

Pembayarantanah danbangunanmelalui APBN

Upaya penyadaranhukum danperbaikanmanajemen PTPNVII, unit usaha PGCinta Manis

PenyikapanMasyarakat

Menuntutpencabutan suratizin No593/Kep.50-Huk/2007 tentangizin lokasipembangunanPabrik Danoneoleh PT. TirtaInvestama.Demonstrasi danmempertahankanlahan

Upaya legal formal(2007-2012) danselalu kandasTetap bertani dilahan yangditetapkan sebagaikonsesipertambangan, agarinvestormempertimbangkanuntuk tidakmengambil risikokerugian.

Penuntutanganti rugikepada PTLapindo (2006-2011)Penuntutanbedhol desakepadapemerintah(2013)

Okupasi danPenyelidikanstatus tanah olehmasyarakatMendesakpenyelesaian lewatjalur hukum dantidak ditanggapi.

Tabel 4 Identif ikasi permasalahan yang ditemukan oleh akar rumput (FKMA)

Sumber: GRAPPAD (2013); Antoro (2012); Mukhlis (2013) dan Rere (2013)

Page 40: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

39Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48

Apa yang dibayangkan sebagai penyelesaiankonflik agraria oleh pemerintah di ranah kebi-jakan ternyata tidak bekerja sebagai solusi dilapangan. Permasalahannya bukan terletak padasejauhmana kebijakan penyelesaian konflik ituefektif dan ef isien, melainkan pada sejauhmanakebijakan penyelesaian konflik itu benar-benarmenjadi solusi sejak dalam ranah arena kebijakan(bukan pada narasi/implementasi kebijakan).

Ranah arena kebijakan berbeda dengan ranahnarasi/implementasi kebijakan, ranah pertamadapat diterjemahkan sebagai arsitektur konsepdan arah kebijakan; sedangkan ranah keduaadalah strukturisasi konsep dan arah kebijakantersebut.

Mayoritas kebijakan penyelesaian konflikagraria di Indonesia belum menyentuh akarkonflik agraria; sekalipun hal ini dibantah olehpemerintah, bukti di lapangan justru berbicarasebaliknya: kebijakan penyelesaian konf likmenjadi bagian dari pemeliharaan konf lik.Kertas kerja akar rumput di FKMA maupunRiset Kebijakan STPN 2012 menunjukkan hal itu,terutama ketika menjawab: apa akar konflik agra-ria?

Pendekatan Hak tampaknya ditinggalkanoleh akar rumput dalam pembangunan wacanauntuk memperjuangkan hak atas agraria, baikitu diwujudkan sebagai penutupan paksa alatproduksi korporasi; tuntutan pencabutan ijinpemerintah pada korporasi; penolakan bentuk-bentuk legitimasi untuk perampasan ruanghidup; dan okupasi lahan untuk meneruskanpenghidupan. Pendekatan akses, yang dipromo-sikan oleh Peluso dan Ribot sebagai Teori Akses,tampaknya menjadi landasan bagi akar rumputuntuk menyelesaikan konflik agraria strukturaldengan caranya sendiri. Sedangkan PendekatanEkososiologi tampaknya menjadi landasan teo-ritik untuk melegitimasikan posisi akar rumputdan ruang hidupnya dalam pusaran konflikagraria struktural.

Tabel 5 Perbandingan argumentasi tentangkonflik agraria dan penyelesaian konflik agraria

Sumber: Rere (2013), Mukhlis (2013), GRAPPAD(2013), Antoro (2012), dan Saleh et al.(2012)

Dengan membandingkan argumentasi yangmuncul dalam Riset Kebijakan STPN 2012 dankertas kerja FKMA, artikel ini hendak menyasarpada isu penyelesaian konflik agraria denganpertanyaan-pertanyaan panduan sebagai berikut:1. Apa makna agraria bagi negara, pasar, atau

masyarakat; dan mengapa demikian?2. Apa akar konflik agraria menurut negara;

pasar; dan masyarakat?3. Apakah upaya-upaya ‘penyelesaian konflik’

yang dirumuskan dan/atau dijalankan olehnegara, pasar, atau masyarakat sudah menjadibagian dari penyelesaian, atau justru menjadibagian dari persoalan baru yang harus disele-saikan; dan mengapa demikian?

D. Analisis

Gillian Hart24 dalam Development Debates inthe 1990s: Culs de Sac and Promising Paths,mengembangkan kerangka analisis pembangun-an dengan ‘memisahkan sejenak’ dan ‘mema-dukan kembali’ antara kebijakan pembangunan(pembangunan dalam huruf “P” besar) dan pro-ses operasi pembangunan kapitalisme (pem-bangunan dalam huruf “p” kecil). Pembangun-

24 Hart, G. Development Debates in the 1990s: Culs deSac and Promising Paths,Progress in Human Geography25,4 , pp. 649–658, 2001

Parameter Hasil penelitian RisetKebijakan STPN 2012

Kertas kerja FKMA

Dimensi materialakar konflik agraria

Komoditas berbasissumberdaya:Pasir besi, air, tanaman,gas bumi

Ruang hidupSarana penghidupan(air , tanah, dan alatproduksi)

Dimensi Immaterialakar konflik agraria

Ketidakpastian hukumKetimpangan akses

Kesehatan lingkunganKeberlanjutan ekonomiRelasi sosialIdentitas lokal

Pendekatanpenyelesaian konflikagraria

Pendekatan HakPendekatan Akses

AksesEkososiologi

Strategi penyelesaiankonflik

Kebijakan Okupasi danMemperpanjang nafasperjuangan

Page 41: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

40 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

an—dalam pemahaman pengambil kebijakan,sesungguhnya suatu proyek intervensi negara-negara ‘dunia pertama’ pascaperang dunia II yangditerjemahkan sebagai suatu perencanaan(p)embangunan investasi dengan akuisisi ruang-ruang baru di negara-negara bersumber dayaalam dan manusia yang melimpah, untuk meli-patgandakan keuntungan skala besar bagi kepen-tingan investasi tersebut (produksi ruang). Akui-sisi dan produksi ruang ini tidak lagi menggu-nakan cara-cara imperialisme kuno, yaitu invansimiliter, melainkan memanfaatkan kekuatan daridalam negara-negara ‘dunia ketiga’, yaitu penye-lenggara negara (acquisition through state inter-vention), dengan menggunakan logika (P)em-bangunan dan Peningkatan Kesejahteraan. Mo-del lain dari intervensi ini adalah dengandukungan Badan-badan Internasional yangmenitikberatkan pada program-program pener-tiban administrasi pertanahan untuk kebutuhanpasar tanah (acquisition through market inter-vention).

Kebijakan pembangunan di Indonesia, teruta-ma menjelang abad ke-21, ditandai oleh opera-sionalisasi kekuatan-kekuatan struktural dariagen-agen pasar baik transnasional maupunnasional, yang bekerja melalui Badan-badanInternasional, untuk meneruskan akumulasimodal, sebagai contoh adalah keharusan mene-rapkan SAPs dalam LoI IMF 1998. Logika kapi-talisme mengharuskan modal harus berputar(dijalankan dalam moda produksi) agar meng-hasilkan surplus dan modal kembali. Jika sur-plus yang terakumulasi tidak berputar kembalidalam siklus produksi; sirkulasi; dan pertukaranyang sudah ada; maka krisis akibat akumulasiyang berlebihan akan terjadi. Sehingga, untukmencegah krisis itu, dibutuhkan ruang baruuntuk reproduksi kapital terus menerus. Harveydalam The Limit of Capital mengemukakanbahwa produksi ruang baru merupakan solusi

kemacetan25. Lebih lanjut, Harvey menegaskanbahwa perubahan besar di dalam sejarah sosial,dikaitkan dengan diskursus (P)embangunandan (p)embangunan di Indonesia, dapat dilacakdari enam hal pokok yang saling terhubung danmemengaruhi, yakni perubahan teknologi, relasidengan alam, modus produksi, konsumsi sehari-hari, mental conception, dan relasi sosial.

Levebre (2000) dalam Harvey26 mengungkap-kan bahwa daya hidup kapitalisme terjagamelalui penciptaan perluasan ruang (productionof space), sebagaimana pendapatnya di sumberlain:

According to Marx’s early works, production is notmerely the making of products. ..it also signifiesthe self-production of the “human being” in theprocess of historical selfdevelopment, which involvesthe production of social relations. Finally, in its full-est sense, the term embraces re-production . . .[this] being the outcome of a complex impulserather than of inertia or passivity; this impulse . . .this praxis and poiesis does not take place in thehigher spheres of a society (state, scholarship, “cul-ture”) but in everyday life (2000 [1971]:30" 27

Selanjutnya, Levebre mengungkapkan:

“capitalism has found itself able to attenuate (if notresolve) its internal contradictions . . . by occupy-ing space, by producing a space”.

Levebre menganjurkan untuk waspada terha-dap cara-cara kerja kapitalisme dalam hidup kese-harian, kapitalisme mampu menemukan celahuntuk mengambil-alih ruang (hidup) dan mem-produksi ruang (kapital). Hal itu tampak jika

25 Levebre H. 2010. “The Survival of Capitalism: Re-production of the Relation of Production”. Dalam DavidHarvey. Imperialisme Baru, Genealogi dan Logika Kapi-talisme Kontemporer. Terj. Eko PD. Jakarta: Resist Bookdan Institute of Global Justice.hlm, 97

26 Levebre.H. op.cit27 Greig Charnoks. Challenging New State Spatiali-

ties: The Open Marxism of Henry Levebre. Antipode Vol.42 No. 5 2010 ISSN 0066-4812, pp 1279–1303, 2010.

Page 42: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

41Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48

mengamati bagaimana ruang diatur, diproduksi,bahkan direbut. Dengan demikian, diskursus(P)embangunan dalam skema (p)embangunanmerupakan bagian dari produksi-reproduksi ru-ang-ruang baru bagi akumulasi modal denganmenggunakan instrumen-instrumen struktural,baik negara maupun swasta.

1. Makna agraria

Menurut UU No 5 Tahun 1960, agraria dide-f inisikan sebagai bumi, air, dan udara. Penger-tian ini mengacu pada makna agraria sebagairuang (space) dan isinya. Ruang dapat berdi-mensi f isik, seperti garis pantai, tepi sungai, te-bing, tanggul, vegetasi; dan berdimensi imajinerbatas administrasi dalam peta. Sedangkan isi dariruang mengacu pada materi yang menempatiruang tersebut, lebih dikenal dengan istilah sum-berdaya alam, termasuk manusia. Dengan demi-kian, istilah agraria, ruang, dan/atau sumberdayaalam dapat digunakan secara bergantian untukmenunjuk maksud yang sama.

Batas wilayah dapat menandakan identitasekologis, misalnya ekosistem hutan dan ekosis-tem DAS; dapat pula bermakna politis, misalnyabatas negara; dapat bermakna sosiologis, misal-nya batas pemangku adat; dapat pula bermaknaekonomis, misalnya batas tanah yang dimiliki/dikuasai oleh suatu pihak.28 Sehingga, agrariabermakna material sekaligus immaterial, terkaitdengan kewenangan suatu pihak untuk mengak-ses; mengelola; memanfaatkan, dan mengklaimsuatu lingkup yang menjadi wilayahnya (do-mein), dan kewenangan ini biasanya mengarahpada bentuk penguasaan tunggal. Batas wilayahdengan sendirinya menandakan pula klaimkekuasaan suatu pihak atas materi yang beradapada suatu wilayah, dan tak jarang klaim itubertubrukan dengan klaim pihak lain. Akibatnya,konf lik yang memperebutkan klaim; akses;

pengelolaan; dan pemanfaatan sumberdayaalam/agraria antara negara dan masyarakat adattidak terhindarkan. Agraria terkadang meru-pakan ruang hidup yang tidak tergantikan. Se-hingga, bagi pemaknanya, agraria akan diper-tahankan hingga usai usia. Pemaknaan ini ba-rangkali berbeda bagi negara atau swasta yangmenilai sumberdaya agraria adalah aset ekonomi,baik untuk tujuan pertumbuhan ekonomi mau-pun akumulasi kapital dan laba. Bagi negara danswasta, karena agraria sebagai aset, pemberiankompensasi menjadi alternatif resolusi ketikakonflik agraria struktural terjadi.

2. Akar-akar konflik agraria

Akar-akar konflik agraria dapat dipetakandalam 5 hal, yaitu:29

a. Proyek ideologi dan politik neoliberalismeSebagai sebuah teori, Neoliberalisme adalahsuatu aliran pemikiran yang mengutamakanprinsip-prinsip kepemilikan pribadi secaramutlak, pasar dan perdagangan bebas, dankebebasan dalam berusaha dan bersaing. Teoriini segera menjadi kritik bagi tata pemerin-tahan yang absolut. Neoliberalisme kemudiandilembagakan dalam kebijakan pembangun-an melalui SAPs (Structural Adjustment Pro-grams), dipelopori oleh IMF dan Bank Dunia.Harvey dalam A Brief History of Neoliberalismmemahami Neoliberlaisme sebagai agendakonsolidasi kelas yang berkuasa untukmengatasi krisis-krisis akibat kejenuhan aku-mulasi modal melalui accumulation by dis-possession, yakni akumulasi modal dengancara perampasan disertai produksi ruang yangbaru; pembagian kerja yang baru; sumberda-ya yang baru dan lebih murah; dan kelem-bagaan modal yang baru, yang dibedakandengan accumulation by exploitation, yakniakumulasi modal secara meluas melalui

28 Deden dkk., op.cit. 29 Deden dkk., op.cit.

Page 43: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

42 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

eksploitasi tenaga kerja dalam proses produksidan sirkulasi barang dagangan30. Sehubungandengan hal itu, sumberdaya agraria merupa-kan ruang pertemuan antara (P)embangunandan (p)embangunan, dan dimaknai sebagaikomoditas.Jauh sebelum kritik Harvey terhadap perilakuagen kapitalisme dalam memperlakukanlahan, Polanyi, dalam The Great Transforma-tion, menilai sumberdaya agraria bukansebagai komoditas, melainkan sebagai ruangdi mana relasi-relasi sosial terjadi dan be-kerja31. Menurut Polanyi, ketika sumberdayaagraria diperlakukan sebagai barang da-gangan (komoditas) maka hubungan-hu-bungan sosial yang melekat padanya akanterlepas dan menghasilkan guncangan-gun-cangan sosial berupa gerakan-gerakan tan-dingan untuk melindungi masyarakat darikerusakan yang lebih parah. Sumberdayaagraria beserta tenaga kerja merupakan syarathidup masyarakat, sehingga ketika keduanyadiintegrasikan ke dalam mekanisme pasarsama saja dengan menyerahkan pengaturankehidupan sosial kepada pasar.

b. Sistem tenurial yang monopolistisDomein Verklaring yang diperkenalkan olehRafless menjadi landasan yang kuat bagiklaim penguasaan atas ruang hingga saat ini.Asas ini diadopsi oleh hukum nasional;misalnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan olehhukum feodal; misalnya Rijksblad 1918 diLembaga Swapraja Yogyakarta32. MenurutUUPA, Domein Verklaring dianggap menga-baikan hubungan-hubungan agraria berbasis

komunal atau yang berbasis semangat so-sialisme Indonesia33. Sesungguhnya, DomeinVerklaring lahir sebagai alat legitimasi peme-rintah kolonial untuk mengukuhkan mono-poli atas ruang dan pengelolaannya. Monopoliitulah yang menjadi akar konflik karena akanmeniadakan pihak yang tidak dominan. Mes-kipun asas domein verklaring dihapuskan da-lam narasi kebijakan agraria, bukan berartisemangat dan upaya-upaya untuk mencipta-kan monopoli atas ruang turut pula hilang.

c. Konstruksi kebijakan agrariaKebijakan yang mengatur pengelolaan agrariadi Indonesia bersifat tumpang tindih kepen-tingan, bahkan bertentangan dengan asashukum agraria yang berlaku. Hal ini tampak,jika UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) dibadingkan denganUU Pertambangan, UU Kehutanan, UUPengadaaan Tanah untuk KepentinganUmum dan Pembangunan, dan MP3EI.

d. Moda Produksi atas agrariaModa produksi atas agraria mengemukasebagai sumber konflik di beberapa tempat.Kehutanan dan perkebunan merupakanmoda produksi penyumbang konflik agrariastruktural paling banyak dan paling lama da-lam sejarah konflik agraria Indonesia, karenasisa-sisa penerapan hukum kolonial padakedua sektor tersebut masih terjadi.Reformasi hukum di bidang kehutanan, baikUU No 5 tahun 1967 maupun UU No 41 tahun1999 yang menggantikan Ordonansi 1927/1932, tidak berarti menuntaskan konflik agra-ria di sektor ini. Pembaruan hukum tanahAgrarische Wet 1870 menjadi UU No 5 Tahun

30 Harvey, David. 2005. A Brief History of Neoli-beralism. Oxford:Oxford University Press.

31 Polanyi, K. The great transformation. New York:Rinehart. 1944

32 Kasus uji: Pertambangan Pasir Besi di DIY, klaimtanah oleh Swapraja menggunakan produk kolonial Rijksblad1918.

33 Antoro, Kus Sri. 2010. Konflik-konflik SumbedayaAlam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi: Studi ImplikasiOtonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon ProgoDaerah Istimewa Yogyakarta). Tesis. Sekolah PascasarjanaIPB, tidak diterbitkan.

Page 44: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

43Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48

1960, dalam beberapa hal, juga demikian.Dalam UU No 5 Tahun 1960, hak-hak yangditurunkan langsung dari hukum kolonial,terutama Hak Guna Usaha (HGU) yang ditu-runkan langsung dari hak erpacht, meru-pakan model yang paling sering menimbul-kan konflik agraria struktural. PenerapanHGU pada suatu wilayah dengan serta mertaakan menghilangkan hubungan hukum yangada sebelumnya pada kawasan tersebut, kare-na dikembalikan kepada asas muasal bahwaHGU berasal dari tanah negara (bukan tanahyang terlekati hak eigendom atau tanahulayat). Sehingga, HGU merupakan salah satucara penghilangan status hukum atas lahandan mekanisme peralihan penguasaan men-jadi di tangan negara. Kasus di Ogan Ilir me-nunjukkan demikian.

e. Politik hukum agrariaKelsen berpendapat “the state is the commu-nity created by a national (as opposed to aninternational) legal order34. The state as juris-tic person is a personif ication of this commu-nity on the national legal order constitutingthis community. From a juristic point of view,the problem of the state therefore appears asthe problem of the national legal order”,dengan demikian, persoalan negara, dalamsudut pandang hukum, diartikulasikan seba-gai persoalan tata hukum nasional.Politik hukum agraria yang menempatkanasas hukum positif sebagai satu-satunya asasyang diijinkan hidup dalam masyarakat,dengan kata lain meniadakan sistem hukumyang lain. Dominansi hukum positif melahir-kan konflik yang tiada habis, karena hukumpositif mengabaikan kearifan sistem yang lain.Konsep kepemilikan yang diatur oleh bukanhukum positif berlandaskan pada teori ipso

facto, menurut Burns hukum barat yangdianut oleh pemerintah kolonial berlandas-kan pada teori ipso jure—teori ini didukungoleh mazhab Utrecht yang melahirkan dok-trin Domein Verklaring, yang berprinsip bah-wa kepemilikan hak atas sumberdaya agrariaharus dinyatakan dengan alat bukti formalberdasarkan prinsip rasionalisme35.

3. Penyelesaian Konflik agraria

Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2011 Ten-tang Pengelolaan Pengkajian dan PenangananKasus Pertanahan membedakan dengan tegasbatasan Kasus, Sengketa, Perkara dan Konflikpertanahan (tidak meliputi kawasan perairan;udara; dan hutan). Kasus dibatasi sebagai seng-keta, konflik, atau perkara pertanahan yangdisampaikan kepada BPN RI untuk mendapat-kan penanganan penyelesaian sesuai ketentuanperundang-undangan dan/atau kebijakanpertanahan nasional. Dalam hal ini jelas, bahwaBPN tidak akan menangani kasus yang 1) tidakdilaporkan, 2) di luar terminologi pertanahan,dan 3) tidak berpayung hukum.

Sengketa dibatasi sebagai perselisihan perta-nahan antara orang perseorangan, badan hu-kum, atau lembaga yang tidak berdampak luassecara sosio politik (berdimensi horizontal). Per-kara adalah perselisihan pertanahan yang penye-lesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilanatau putusan lembaga peradilan yang masihdimintakan penanganan perselisihannya di BPNRI. Konflik adalah perselisihan pertanahan antaraorang perseorangan, kelompok, golongan, orga-nisasi, badan hukum, atau lembaga yang mem-punyai kecenderungan atau sudah berdampakluas secara sosio-politik (berdimensi struktural/vertikal). Konflik agraria struktural lebih sering

34 Kelsen, Hans. 1961. General Theory of Law and State,New York, Russell and Russell. hlm 181

35 Burns, Peter. 1999. The Leiden Legacy Concepts ofLaw Indonesia. Jakarta:P.T. Pradnya Paramita, Jakarta.hlm95.

Page 45: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

44 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

merupakan kasus yang kronik, komprehensif,dan sensitif pada isu-isu kemanusiaan yang adildan beradab dan/atau keadilan sosial bagi selu-ruh rakyat Indonesia.

Ketetapan MPR RI No 9 Tahun 2001memberimandat kepada DPR dan Presiden untuk :Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaandengan sumber daya agraria yang timbul selamaini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflikdi masa mendatang guna menjamin terlaksana-nya penegakan hukum dengan didasarkan atasprinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4dari Ketetapan ini.

Konsekuensinya, pemerintah harus melaku-kan 1) sinkronisasi kebijakan, untuk mengakhiridualisme hukum atau tumpang tindih kewe-nangan; 2) landreform dengan mengedepankankepemilikan tanah untuk rakyat; 3) inventarisasidan pendaftaran tanah untuk landreform; 4)pencegahan dan penyelesaian konflik agraria; 5)penguatan kelembagaan dan kewenangan lem-baga yang berkompeten; 6) pembiayaan dalamReforma Agraria dan penyelesaian konflik agra-ria. Sedangkan Peraturan Presiden No 10 Tahun2006 Tentang BPN mengatur kewenangan BPNuntuk melaksanakan tugas pemerintahan di bi-dang pertanahan secara nasional, regional dansektoral (Pasal 2), dalam kaitannya dengan ama-nah TAP MPR RI No 9 Tahun 2001, fungsi terse-but dijabarkan dalam kewenangan untuk, antaralain:a. koordinasi kebijakan, perencanaan dan pro-

gram di bidang pertanahan;b. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka

menjamin kepastian hukum;c. pengaturan dan penetapan hak-hak atas ta-

nah;d. pengawasan dan pengendalian penguasaan

pemilikan tanah;e. pengkajian dan penanganan masalah, seng-

keta, perkara dan konflik di bidang perta-nahan

Reforma Agraria (pemerintah dan pasarmenyebutnya Reformasi Agraria) mempunyaidua fungsi, pertama sebagai tujuan yang mema-yungi kebijakan agraria dan kedua sebagai carauntuk penyelesaian konflik agraria36.

Menurut Bank Dunia, reformasi agrariamempunyai lima dimensi, yaitu: 1) liberalisasi har-ga dan pasar; 2) landreform (termasuk pengem-bangan pasar tanah); 3) pengolahan hasil perta-nian dan saluran pasokan pendapatan; 4) ke-uangan pedesaan; dan 5) lembaga-lembagapasar37. Konsekuensinya adalah konsolidasitanah oleh pelaku pasar demi tujuan-tujuaninvestasi yang ef isien. Logikanya, ef isiensi hanyadapat dicapai apabila proses konsolidasi tanahdiserahkan kepada mekanisme pasar karena pa-sar diyakini mempunyai kemampuan untukmengatur sendiri dalam mencapai keseimbanganantara permintaan dan penawaran. Tidak meng-herankan apabila pasar tanah dipromosikansebagai bagian dari kebijakan transformasipenguasaan lahan. Sejalan dengan gagasan BankDunia, ADB mempromosikan Land Administra-tion Projects (LAP) sebagai bagian dari land-reform, yang akan memenuhi dua fungsi yaitu 1)kepastian hukum dan 2) kemudahan transaksi.

Merujuk pada Tuma dalam Twenty-Six Cen-turies of Agrarian Reform, a Comparative Analy-sis, Reforma Agraria didefinisikan oleh kelompokyang mewakili kepentingan masyarakat sebagaisuatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukansecara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentudan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraandan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalanbagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang de-mokratis dan berkeadilan; yang dimulai denganlangkah menata ulang penguasaan, pengguna-an, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alamlainnya, kemudian disusul dengan sejumlah pro-

36 Deden dkk., op.cit.

Page 46: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

45Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48

gram pendukung lain untuk meningkatkan pro-duktivitas petani khususnya dan perekonomianrakyat pada umumnya38. Konsekuensinya, seba-gaimana yang di simpulkan oleh Lindquist39

dalam Land and Power in South America, antaralain adalah (1) Bermakna sebagai suatu transferkekuasaan; (2) Pengembalian tanah-tanah(property) rakyat yang dirampas; (3) Pembagiantanah secara merata (4) Mengarah kepadapengelolaan tanah yang lebih baik; (5) Mening-katkan standar kehidupan dari petani-petaniyang menerima manfaat dari reform; (6) Me-ningkatkan produksi pertanian; (7) Menciptakanlapangan kerja; (8) Mempercepat pembentukanmodal (capital formation), investasi dan tekno-logi inovasi di bidang pertanian; (9) Mencipta-kan dukungan politik untuk partai atai kelompok-kelompok politik yang pro reform; (10) Memung-kinkan untuk dilakukan/diterapkan dalam kon-disi yang ada di tengah masyarakat, khususnyadalam hal kapasitas personal/orang-orang yangada/tersedia; dan (11) Menjungkirbalikan(mengubah) masyarakat kapitalis. Lebih lanjut,Bachriadi40 menegaskan bahwa Reforma Agrariamerupakan bagian dari program pembangunanekonomi sekaligus program politik untukmengubah struktur penguasaan dan penggu-naan sumber-sumber agraria, yang meliputi 1)redistribusi tanah dan sumber-sumber agrarialainnya yang dikuasai secara berlebihan atauskala besar dan 2) pengembalian tanah-tanah dan

sumber-sumber agraria lainnya yang dirampasdari rakyat sebagai penguasa sebelumnya.

Dengan demikian, keberpihakan; kemauanpolitik; dan posisi negara dalam penyelesaiankonflik agraria dapat dilihat dari praktik-prak-tiknya, antara lain: bagaimana skema penyele-saian konflik agraria dirumuskan dan ditempuh:memenuhi amanat rakyat atau amanat pasar?

Tabel 6. Konflik Agraria menurut berbagaipihak41

Sumber: Saleh et al. (2012)

Pada 24 September 2012, dalam peringatanHari Tani ke 52, Kepala BPN RI menuangkan visilembaga negara yang dipimpinnya dalam soalagraria nasional, melalui 7 tertib (Sapta Tertib),yaitu Tertib Administrasi, Tertib Anggaran, TertibPerlengkapan, Tertib Perkantoran, Tertib Kepe-gawaian, Tertib Disiplin Kerja, dan Tertib Moral.Dan dalam rangka melaksanakan Sapta Tertibitu, BPN telah mencanangkan dan melaksanakan5 program strategis yaitu 1) Reforma Agraria, 2)Penertiban Tanah Terlantar,3) Legalisasi Aset, 4)Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan,dan 5) LARASITA.

Reforma agraria dilaksanakan melalui pena-taan sistem politik dan hukum pertanahan danmelalui landreform plus, yaitu penataan hukumpertanahan yang didasarkan pada nilai-nilai danprinsip-prinsip ideologi negara dan UUD 1945,dan bukan didasarkan pada nilai-nilai individu-

37 Limbong, Benhard. 2012. Konflik Pertanahan.Jakarta:Margaretha Pustaka. hlm 168.

38 Tuma, Elias H. 1965. Twenty-Six Centuries of Agrar-ian Reform, a Comparative Analysis . Berkeley: Universi-ty of California Press

39 Lindquist. 1979. Land and Power in South America.40 Bachriadi, Dianto. 2007. Reforma Agraria untuk

Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program PembaruanAgraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah alaPemerintahan SBY. Makalah Pertemuan Organisasi-orga-nisasi Rakyat se-Jawa di Magelang, 6-7 Juni 2007. 41 Deden dkk., op.cit.

Unsur-unsur Pemerintah PasarKelompok

Masyarakat

Akar masalahKetidakpastianhukum

Kegagalan pasarKetimpanganpenguasaan

Sumbermasalah

Penegakanhukum yanglemah

Hambatanstructural

Dominansiekonomi pasar

ParadigmaKonflik sebagaipenghambatkebijakan

Konflik sebagaieksternalitas

Konflik sebagaiakibat (respons)

SolusiPenertibanadministrasi

Mekanisme pasarPerombakanstrukturpenguasaan

EksekutorLembaga negaramelaluipengadilan

Pasar tanahKelembagaannegara dansosial

Page 47: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

46 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

alis dan yang menempatkan tanah sebagai komo-ditas. Berbagai peraturan baru telah dibuat antaralain: 1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012tentang Pengadaan Tanah Bagi PembangunanUntuk Kepentingan Umum, 2) Peraturan Peme-rintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertibandan Pendayagunaan Tanah Terlantar, 3) Pera-turan Presiden RI Nomor 71 Tahun 2012 tentangPenyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pem-bangunan Untuk Kepentingan Umum, 4) Pera-turan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No-mor 2 Tahun 2010 tentang Penanganan Penga-duan Masyarakat, 5) Peraturan Kepala BadanPertanahan Nasional RI Nomor 4 Tahun 2010 ten-tang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar dan6) Peraturan Kepala Badan Pertanahan NasionalRI Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perubahan AtasPeraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RINomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewe-nangan Pemberian Hak Atas Tanah dan KegiatanPendaftaran Tanah Tertentu. Sengketa, perkaradan konflik pertanahan ditangani dengan mem-bentuk Tim 11 (sebelas) dan Ad-hoc, yang jugaakan dibentuk pada tingkat Kantor Wilayah danKantor Pertanahan untuk menyelesaikan kasus-kasus di daerah dengan pola penyelesaian yangsama, menggunakan prinsip. Win-Win Solution.Tidak hanya berdasarkan hukum tertulis, tapilebih pada prinsip keadilan dan prinsip tanahuntuk kepentingan umum. Kontraproduktifterhadap atas visi landreform plus di atas, BPNRI merespons pengesahan UU No. 2 Tahun 2012dengan penataan struktur organisasi agar dapatmelaksanakan “pengadaan tanah bagi pem-bangunan untuk kepentingan umum”.

Menurut analisis Riset Kebijakan STPN 2012,kebijakan BPN tersebut hanya merupakan salahsatu cara penyelesaian, tetapi tidak menyelesai-kan persoalan ketika karakter konflik salingmenegasikan. Rekomendasi Riset ini antara lain:1) Konstruksi Kebijakan2) Dibentuk peradilan khusus agraria

3) Sistem Tenurial yang tidak monopolistik4) Penataan Ruang yang mengacu asas-asas

keadilan agrariaDalam skema TAP MPR No 9/2001, reforma

agraria menjadi mekanisme yang harus ditem-puh agar konflik agraria struktural terselesaikan.Tetapi, setidaknya, saat ini negara dihadapkanpada tiga pilihan bentuk reforma agraria: 1)Reforma agraria yang dipandu oleh negara; 2)Reforma agraria yang dipandu oleh pasar; dan3) Reforma agraria yang digerakkan oleh masya-rakat.

Meskipun sama-sama dianggap sebagaimasalah yang harus dipecahkan, konflik agrariadipandang secara berbeda-beda oleh negara,pasar, atau kelompok sosial (masyarakat), menu-rut pemahaman masing-masing pihak terhadapReforma Agraria. Pasar melihat konflik agrariasebagai akibat dari kegagalan pasar bebas, dian-taranya karena keberadaan barang publik daneksternalitas yang tidak terselesaikan oleh pihakyang berwenang (negara). Negara melihat kon-flik agraria sebagai akibat dari ketidakpastian hu-kum. Masyarakat melihat konflik agraria sebagaiakibat dari ketimpangan struktur penguasaansumberdaya agraria karena dominansi dua pihaklainnya. Karenanya, pemaknaan Reforma Agrariaturut menentukan pendefinisian dan pemakna-an konflik agraria, berikut tawaran resolusinya.

Upaya resolusi konflik agraria tidak akanmenjadi bagian dari penyelesaian konflik ketikadirumuskan dalam paradigma, pemahaman,dan pendekatan yang melahirkan konflik agraria.Tidak ada rumusan tunggal mengenai resolusikonflik agraria, tergantung karakteristik mas-alahnya. Sebagai contoh, untuk konflik akses,penertiban administrasi dan penegakan hukumjustru tidak solutif, dibandingkan pendekatanprogram-program pembukaan akses.

Apakah konflik harus diselesaikan? Baiknegara, pasar, dan kelompok masyarakat (dalamhal ini adalah komunitas akar rumput di titik-

Page 48: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

47Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48

titik konflik) mempunyai jawaban seragam: Ya.Tetapi, bagaimana dalam rumusan dan dalamcara siapakah konflik agraria akan diselesaikan?Jawabannya tidak sama. Bagi negara, mengakuihak ulayat mungkin bukan solusi, demikian pulabagi pasar, reforma agraria a la UUPA mungkinjuga bukan solusi. Bagi rakyat, win win solutionpun bukan penyelesaian konflik, karena rakyattetap kehilangan ruang hidup di dalam modaproduksi yang baru sekalipun. Memperpanjangnafas perjuangan menjadi cara yang efektifketika rekomendasi kebijakan, jalur legal, danjalur parlementer selalu menemui jalan buntu.

E. Kesimpulan

Studi perbandingan atas hasil penelitiansistematis STPN 2012 dan kertas kerja FKMA(sebagai kasus uji) menunjukkan bahwa penye-lesaian konflik agraria bukanlah terminologiyang bebas nilai, istilah itu memuat perspektifdan kepentingan aktor yang terlibat dalamkonflik agraria struktural. Perspektif, rumusan,dan metode penyelesaian konflik berbeda-bedaantara aktor yang mewakili negara, pasar, ataumasyarakat sipil (terlebih akar rumput yangterampas ruang hidupnya). Negara cenderungmendorong pada penertiban administrasidengan dalih penegakan hukum positif. Pasarcenderung mendorong pembebasan lahanmelalui mekanisme pasar dengan dalih ef isiensi.Dan, masyarakat sipil yang menemui kegagalansetelah menempuh upaya legal dan parlementerada yang cenderung mempertahankan sumber-daya agraria untuk memperpanjang nafas per-juangan hingga investasi akan dihentikan.

Daftar Pustaka

Antoro, Kus Sri. 2010. Konflik-konflik Sumber-daya Alam di Kawasan Pertambangan PasirBesi: Studi Implikasi Otonomi Daerah(Studi Kasus di Kabupaten Kulon ProgoDaerah Istimewa Yogyakarta). Tesis. Seko-lah Pascasarjana IPB, tidak diterbitkan.

____. 2012. Bertani atau Mati, http://selamatkan-bumi.com/bertani-atau-mati/, diakses 10Maret 2013.

Bachriadi, Dianto. 2007. Reforma Agraria untukIndonesia: Pandangan Kritis tentang Pro-gram Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)atau Redistribusi Tanah ala PemerintahanSBY. Makalah Pertemuan Organisasi-orga-nisasi Rakyat se-Jawa di Magelang, 6-7 Juni2007

Burns, Peter. 1999. The Leiden Legacy Conceptsof Law Indonesia. Jakarta: P.T. PradnyaParamita, Jakarta.

Choirudin, Udin. 2013. Merawat Nafas PanjangPerjuangan Agraria, http://selamatkanbumi.com/merawat-nafas-panjang-perjuangan-agraria-risalah-kongres-ii-forum-komunikasi-masyarakat-agraris-fkma/, diakses 10 Maret 2013.

FIKA. 2013. Surat Terbuka Kepada Presiden RI.http://www.change.org/petitions/surat-terbuka-forum-indonesia-untuk-keadilan-agraria-kepada-presiden-republik-indonesia-untuk-penyelesaian-konf lik-agraria, dan http://www.kpa.or.id/?p=1158&lang=en, diakses 10 Maret 2013.

Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: ProsesPerubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta:Yayasan Obor.

GRAPPAD. 2013. Kronologi Perlawanan WargaPadarincang versus Aqua Danone, ditulisoleh GRAPPAD (Gerakan Rakyat AntiPembangunan Pabrik Aqua Danone), http://se lamatkanbumi .com/kronologi -perlawanan-warga-padarincang-vs-aqua-danone/, diakses 10 Maret 2013.

Hart, Gillian. 2001. Development Debates in the1990s: Culs de Sac and Promising Paths,

Page 49: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

48 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Progress in Human Geography 25,4, pp.649–658.

Hart, Gillian. 2001. Development Debates in the1990s: Culs de Sac and Promising Paths,Progress in Human Geography 25,4, pp.649–658.

Harvey, David. 2005. A Brief History of Neoli-beralism. Oxford: Oxford University Press.

Harvey, David. 2010. Imperialisme Baru, Genea-logi dan Logika Kapitalisme Kontemporer.Terj. Eko PD. Jakarta: Resist Book dan Insti-tute of Global Justice.

Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo. 1991.Sejarah Perkebunan Indonesia: KajianSosial–Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.

Kelsen, Hans. 1961. General Theory of Law andState. New York: Russell and Russell.

Levebre, Henry. 2010.”The Survival of Capitalism:Reproduction of the Relation of Production”.Dalam David Harvey. Imperialisme Baru,Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontem-porer. Terj. Eko PD. Jakarta: Resist Book danInstitute of Global Justice.

Limbong, Benhard. 2012. Konflik Pertanahan.Jakarta: Margaretha Pustaka.

Magf ira, Sita dan Suluh Pamuji. 2013. AkarRumput Menuju Kemandirian, http://indoprogress.com/akar-rumput-menuju-kemandirian/, diakses 18 Maret 2013.

Mukhlis. 2013. Risalah Kasus dan Riwayat TanahWarga Rengas (dipublikasikan dalamcetak).

Peluso, N.L. and J.C. Ribot. 2003. A Theory ofAccess. Rural Sociology 68 (2), pp 153-181.

Polanyi, Karl. 1944. The great transformation.New York: Rinehart.

Rere. 2013. Refleksi Perlawanan Porong, http://selamatkanbumi.com/refleksi-perlawanan-porong/, diakses 10 Maret 2013.

Riyanto, Guruh Dwi. 2013. Membangun GerakanPetani Mandiri, ditulis oleh, http://w w w. p o r ta l k b r. co m / b e r i ta / s a g a /2526669_4216.html, diakses 10 Maret 2013.

Robbins, Paul. 2004. Political Ecology A CriticalIntroduction. Malden:Blacwell.

Sajogyo. 1982. Modernization without Develop-ment. Dacca (Bangladesh):The Journal ofSocial Studies.

Sajogyo. 2006. Ekososiologi. Sains, SekretariatBina Desa. Yogyakarta: Cindelaras PustakaCerdas.

Saleh, Deden D., Widhiana H.P., Siti Fikriyah K.,Kus Sri Antoro. 2012. Kebijakan PenyelesaianKonf lik Agraria Kontemporer DalamKebijakan, Konflik, dan Perjuangan AgrariaIndonesia Awal Abad 21 (Hasil PenelitianSistematis STPN 2012), AN. Luthf i (editor).Yogyakarta: PPPM STPN.

Schlager, E. and E. Ostrom. 1992. Property RightsRegimes and Natural Resources: A Consep-tual Analysis, Land Economics 68(3), p 249-262.

Scot, James C. 1985. Weapons of the Weak: Ev-eryday Forms of Resistance. Oxford: OxfordUniversity Press.

Tuma, Elias H. 1965. Twenty-Six Centuries ofAgrarian Reform, a Comparative Analysis .Berkeley: University of California Press.

Wiradi, Gunawan. 2013. Dari Gunawan Wiradiuntuk Kawan-kawan FKMA, http://selamatkanbumi.com/surat-dari-gunawan-wiradi-untuk-fkma/, diakses 10 Maret 2013.

Page 50: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

LAND GRABBING DAN POTENSI INTERNAL DISPLACEMENTPERSONS (IDP) DALAM MERAUKE INTEGRATED FOOD AND ENERGY

ESTATE (MIFEE) DI PAPUAAmin Tohari*

AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: This article discussed the possible impact of land grabbing practice toward the emergence of internal displacementperson taken a close look to MIFEE project in papua. employed the concept of acumulation by dispossesion, it was found that themajor scale farming development kept a serious impact toward the emergence of internal displacement person. they are oneswhose land, forest and other aource of living had been taken away. The MIFEE had cause a socio-cultural gap between farmingmechanism and mode of production of the local people, a massice demographical change, economic polarisation, power politicsmarginalization. with a big number of problems in IDP as a result of dispossesion practice, the IDP is directed toward group thatgot an effect of development expansion rather than those who suffer from disaster. in the context of human right, the MIFEE wasa great potention for the occurance of a violation toward the local people’s right.KeywordsKeywordsKeywordsKeywordsKeywords: Land Grabbing, Internal Displacement Persons, Accumulation, MIFFEE

IntisariIntisariIntisariIntisariIntisari:Tulisan ini mediskusikan kemungkinan dampak praktek land grabbing terhadap munculnya internal displacement persondengan melihat kasus proyek MIFEE di Papua. Dengan menggunakan konsep accumulation by dispossession ditemukan bahwapembangunan pertanian skala besar tersebut menyimpan dampak serius terhadap kemunculan Internal Displacement Person,yaitu orang-orang yang tercerabut dari tanah, hutan, dan sumber penghidupanya. MIFEE menimbulkan kesenjangan sosial-budayaantara mekanisasi pertanian dan modus produksi masyarakat lokal, perubahan susunan demografi yang massif, polarisasi ekonomi,dan peminggiran politik-kekuasan. Dengan banyaknya problem IDP akibat praktek dispossession ini sudah saatnya IDP diarahkankepada kelompok masyarakat yang terkena dampak dari ekspansi pembangunan di samping IDP akibat konflik dan bencana alam.Dalam kontek HAM, MIFEE merupakan salah satu potensi besar terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat lokal.Kata KunciKata KunciKata KunciKata KunciKata Kunci: Land Grabbing, Internal Displacement Person, Accumulation, MIFEE

A. Pengantar

Tulisan ini membahas isu land grabbing yangterkait dengan hak asasi manusia terutama hakatas tanah dan sumber penghidupan dari tanah.Land grabbing kini menjadi kecenderungan barubentuk-bentuk investasi negara-negara kaya kenegara-negara berkembang. Praktek global initerutama dipicu oleh kecemasan dunia atas krisispangan dan energi (von Braun & Meinzen-Dick,2009; Ito at.all, 2011). Terutama negara-negarapengimpor pangan yang memiliki hambatan

pada sumber daya air dan tanah namun memilikimodal berlimpah merupakan aktor terdepandalam investasi tanah pertanian ini. Target utamamereka adalah negara-negara berkembang yangongkos produksinya masih rendah dan memilikisumber daya agraria dan air yang berlimpah. Se-lain mencari lahan baru untuk dapat memenuhikebutuhan pangan, land grabbing juga menjadiskema banyak negara kaya lainya untuk mencarilahan produksi energi baru terutama energi yangdihasilkan dari tanaman (agrofuel). Perbedaanmencolok dari praktek ini adalah jika pada deka-de-dekade sebelumnya land grabbing dilakukansektor privat dengan motif pencarian keun-

* Alumni Pascasarjana Fisipol Universitas GadjahMada, peneliti dan penggiat studi agraria.

Page 51: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

50 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

tungan, kini praktek ini banyak dilakukan olehnegara dengan tujuan untuk memenuhi kebu-tuhan pangan papulasinya.

Praktek land grabbing ini kemudian memun-culkan dilema. Di satu sisi berurusan dengan isupembangunan seperti modernisasi pertanian,peningkatan taraf hidup, dan investasi. Semen-tara di sisi lain menimbulkan persoalan yangterkait dengan hak-hak masyarakat adat atau hakmasyarakat terhadap ruang hidup yang sejaklama telah menopang kehidupan mereka. Prak-tek land grabbing ini tidak mengakuisisi tanahdalam ukuran kecil melainkan dalam skala besar,yang mencapai ribuan hektar, sehingga hal inidapat berakibat menyingkirkan masyarakat yangsejak awal mendiami dan hidup di wilayah terse-but. Tidak hanya itu saja, kesepakatan-kesepa-katan akuisisi tanah ini hanya dilakukan antarainvestor dengan pemegang otoritas suatu negaradan tidak banyak melibatkan kelompok-kelom-pok masyarakat setempat (von Braun & Meinzen-Dick, 2009). Selain terkait dengan isu hak tanahdan masyarakat adat, land grabbing juga dinilaiakan memunculkan masalah keberlanjutanekologis.

Pada prinispnya, tanah dan kekayaan alamsebuah negara diperuntukkan bagi kesejahte-raan warga negaranya. Prinsip dasar ini merupa-kan pijakan utama bagi sebuah negara dalammengelola sumber daya alamnya. Di Indonesia,Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 mengama-nahkan bahwa “Bumi, air, ruang angkasa danseluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakansebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.Terkait dengan hak kelola masyarakat adat atastanah dan hak mereka atas tanah juga diakuioleh Undang-undang terutama Undang-un-dang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA/1960).Sebagai pihak yang memiliki hak atas tanahmasyarakat lokal pada dasarnya merupakanpihak yang pertama kali harus diajak berunding

mengenai akuisisi yang mencakup wilayah hakkelola mereka sebab jauh sebelum proyek-poryeksemacam land grabing ini muncul, mereka ada-lah orang yang pertama kali mendiami wilayahtersebut.

Terkait dengan masalah penghormatan,perlingdungan, dan pemenuhan Hak AsasiManusia, pada 16 Mei 2006, di Switzerland dise-lenggarakan seminar internasional bertajuk TheGlobal Land Grab: A Human Right Approach.Seminar di Switzerland ini secara khusus menyo-roti persoalan akuisisi tanah skala besar (LSLAs)sebagai modus baru negara-negara kaya dalampemenuhan sumber pangan dan energi biofuel.Seminar tersebut melibatkan beragam aktortermasuk pakar-pakar hak asasi manusia dariPBB, anggota-anggota gerakan sosial di dunia,dan perwakilan NGO-NGO pembangunan inter-nasional. Tujuan utama seminar ini salah satunyaadalah mencari metode-motode baru dan cara-cara yang lebih efektif dalam mempromosikannilai-nilai HAM pada realitas baru berupa landgrabbing (Trand-Human Right-Equitable Econ-omy, 2009). Dari perspektif HAM, seminar terse-but melihat bahwa praktek land grabbing atauyang mereka sebut dengan LSLAs (Large-ScalaLand Acquisitions) menyimpan akibat serius padaupaya-upaya perwujudan hak asasi manusia.Kehilangan akses atas tanah dan sumber-sumberagraria lainya akan berdampak pada hak atasstandar hidup layak termasuk di dalamnya hakatas pangan, rumah, dan air. Demikian pula hakuntuk menentukan diri sendiri (self-determina-tion), hak atas pembangunan, dan hak untukberpatisipasi dalam kehidupan budaya. Hak-haksipil dan politik seperti misalnya hak berpartisipasidalam urusan-urusan publik dan hak mem-peroleh informasi yang memadai akan terancamketika negosiasi dan implementasi LSLAs tersebutdilakukan dengan cara yang tidak partisipatif(Trand-Human Right-Equitable Economy,2009). Partisipasi sendiri, sebagai gagasan yang

Page 52: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

51Amin Tohari: Land Grabbing dan Potensi IDP .....: 49-62

melekat dalam ide tentang demokrasi akan sulitbisa dilakukan ketika infrastruktur dan proses-proses demokrasi sebuah negara tidak berjalanatau berjalan tetapi tidak subtantif.

Tulisan ini akan membicarakan beberapapersoalan terkait dengan problem di atas. Perta-ma, tulisan ini mendiskusikan tentang kondisi-kondisi yang memunculkan praktek land grab-bing. Dalam kaitan itu akan juga dibahas menge-nai siapa saja yang menjadi aktor-aktor utamapraktek land grabbing ini di berbagi belahandunia. Dibicarakan juga implikasi potensialpraktek ini terutama dampak yang terkaitdengan persoalan HAM, namun sorotan dantitik tekanya lebih diarahkan pada persoalan dis-placement person sebagai akibatnya. Kedua,secara teoritik memperbincangan praktek-praktek land grabbing bisa muncul, bukan dalammelihat kondisi pendorong kemunculanyamelainkan pada motif-motif apa yang beradadibalik praktek global ini. Misalnya, benarkahhanya karena persoalaan pangan dan energi sajaatau sebenarnya praktek land grabbing ini adalahbagian dari gempuran kekuatan kapitalisme.Ketiga, pada bagian ini akan disorot secaraspesif ik kasus-kasus di mana praktek land grab-bing sudah berlangsung. Untuk itu, yangmenjadi bahan kajiannya adalah melihat hu-bungan antara logika akumulasi primitif denganinternal displacement persoan. Keempat, bagianini secara khusus membahas praktek land grab-bing di Indonesia yang sering disebut denganproyek MIFEE (Merauke Integrated Food andEnergy Estate). Pembahasan kasus ini akan dico-ba lebih ditekankan pada melihat implikasinyapada internal displacement person yang mungkinakan ditimbulkanya.

B. Kemunculan Land Grabbing, Aktor-aktor, dan Implikasi Potensialnya

Land Grabbing merupakan bentuk praktekbaru hasil campuran beragam faktor yang di

antaranya adalah volasitas harga di pasar global,krisis pangan global, dan tingginya tingkat aktivi-tas spekulasi. Secara sederhana praktek ini sangatterkait dengan tiga hal yaitu meningkatnyaketidakamanan pangan negara-negara yangkemudian mencari cara-cara mengamankanpasokan dan ketersediaan pangan negaranya,melonjaknya permintaan terhadap agrofuel danbentuk-bentuk energi lainya (yang dianggapalternatif dan ramah lingkungan), dan investasiyang meningkat tajam baik dalam pasar tanahmaun komoditas-komoditas lainya yang terkaitdengan tanah (Daniel & Mittal 2009: 2).

Sejumlah faktor yang semakin mengancamkeamanan pangan sebuah negara mendorongbanyak negara, terutama negara-negara di ka-wasan Asia Tengah dan Timur Tengah meme-riksa kembali kebijakan domestik mereka ataskeamanan pangan. Peninjauan ulang kebijakandomestik ini didasari oleh faktor-faktor sepertimeroketnya harga pangan pada tahun 2008 yangmeningkatkan nilai impor dan inflasi, perubahandrastis kondisi iklim dunia, kekurangan lahan,tanah subur, dan air di banyak wilayah bercampurdengan pertumbuhan ekonomi dan tekanandemografi. Persoalan pangan ini, bagi pemerin-tah di negera-negara tersebut, merupakan per-soalan politik yang dapat memicu kerusuhansosial dan mengganggu stabilitas pemerintahan.Oleh kerana itu, mereka mencari lahan dantanah di luar negeri untuk memenuhi kebutuhanpangan ini. Negara-negara teluk misalnya, totalnilai impor pangan mereka melonjak tajam dalamkurun lima tahun dari $ 8 juta menjadi $ 20 jutaselama kurun waktu 2002 sampai 2007 (Daniel& Mittal 2009, h. 2). Qatar misalnya, negara inihanya memiliki 1 % dari seluruh luas wilayahnegara yang bisa ditanami, selain itu sebagianbesarnya merupakan kilang minyak. Qatar telahmembeli tanah seluas 40.000 hektar di Kenyauntuk produksi pangan dan melakukan hal seru-pa di Cambodia dan Vietnam untuk mempro-

Page 53: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

52 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

duksi beras. Uni Emirat Arab yang mengimporsekitar 85 % panganya, kini membeli lahan seluas324.000 hektar di Punjab dan Sind Pakistan padatahun 2008 (Daniel & Mittal 2009, h. 3). Jepang,Cina, dan Korea Selatan juga melakukan hal yangsama. Cina misalnya, negara ini telah membeli101,171 hektar lahan di Zimbabwe. Korea Selatantelah mengakuisisi tanah lebih dari 1 juta hektardi Sudan, Mongolia, Indonesia, dan Argentina.

Sumber: IFPRI Policy Brief 2009

Faktor pendorong kedua atas praktek globalland grabbing ini adalah meningkatnya kebu-tuhan energi dan manufaktur dunia. Permin-taan bahan bakar dari tanaman telah meningkattajam selama beberapa tahun dan negara-negarapengimpor bahan bakar mentargetkan produksibesar-besaran agrofuel dan juga berambisi meng-gabungkan bahan bakar biofuel dan bioethanoldengan bahan bakar transportasi tradisional.Kebijakan pembaruan standar bahan bakar Ame-rika Serikat misalnya bertujuan untuk mening-katkan penggunaan bahan bakar ethanol dari 3.5milyar gallon antara 2005-2012, dan Uni Eropajuga meningkatkan penggunaan biofuel padatransportasi darat sampai 10 persen pada 2020(Mitchell 2008).

Sementara itu, kondisi krisis pangan danenergi dunia ini memberikan peluang baru bagiinvestor-investor private kelas dunia untuk turutterlibat dalam produksi pangan dan energi yangsemata-mata dilatari oleh motif keuntungan eko-nomi. Gerak investor besar ini juga memicumeningkatnya land grabbing di seluruh dunia.Beberapa investor barat dan orang-orang terkaya

di dunia yang mulai melirik bisnis pangan danenergi menggunakan skema land grabbing inidi antaranya; Morgan Stanley membeli 40.000hektar tanah pertanian di Ukraina, GoldmanSachs mengakuisi industri unggas dan dagingCina termasuk hak mereka atas tanah perta-nianya pada tahun 2008, BlackRock, inc., dariNew York menyediakan $ 200 juta dana pertaniandan sekitar $ 30 juta secara khusus digunakanuntuk mengakuisisi lahan pertanian (Daniel &Mittal 2009).

Akan tetapi, tentu saja, praktek land grabbingini tidak mungkin berjalan secara demikianmasifnya tanpa melibatkan aktor-aktor f inansialkelas dunia yang berkepentingan untukmelancarkan proyek ini. Setidaknya, beberapaaktor f inansial kelas dunia yang bisa disebutdalam hal ini adalah International Financial Cor-poration (IFA), sektor privat dari World BankGroup yang mendanai investasi-investasi privatdi negara berkembang, dan mempromosikanreformasi kebijakan, dengan melenyapkansemua hal yang menghalangi datangnyainvestasi. Salah satu program penting IFAsekarang ini adalah membangun “hutantanaman di lahan-lahan yang terdegradasi”,yang berarti program ini memaksudkanpembiayaan dan dukungan atas praktek landgrabbing. Aksi ini utamanya didorong olehkeyakinan bahwa tingginya harga pangan duniaakan menciptakan kesempatan-kesempatan barumunculnya pasar pangan. Sebab itu, beberapaprinsip-prinsip utama IFA dalam upayanya iniadalah memperbaiki produktif itas dengan trans-fer teknologi, meningkatkan skala ekonomiproduksi dan proses pertanian, dan mendapat-kan tanah lebih banyak lagi untuk produksipertanian (Daniel & Mittal 2009).

Untuk tujuan tersebut, IFA melakukanberagam upaya membantu investor mengatasirintangan yang menghalangi investasi dalampasar tanah. Pertama, IFC menyarankan peme-

Page 54: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

53Amin Tohari: Land Grabbing dan Potensi IDP .....: 49-62

rintah suatu negara untuk mengurangi batasan-batasan mereka dan membiarkan investor asingmasuk dan membeli tanah yang ada di negaratersebut. Kedua, menyiapkan desain implemen-tasi kebijakan yang efektif serta prosedur-prose-dur yang memungkinkan bagi investasi asing,misalnya dilakukan dengan cara merubahaturan-aturan yang bisa meningkatkan jumlahizin kepemilikan tanah oleh orang asing. Ketiga,sementara itu FIAS (Foreign Investment AdvisoryService) mitra IFA secara khusus bekerja mem-perbaiki iklim investasi pasar asing dengan caramembangun prosedur yang simpel dan transpa-ran bagi investor untuk memperoleh hak propertiyang aman dengan tingkat harga yang rasional(Daniel & Mittal 2009).

Bagi para pendukung praktek land grabbing,semua itu diperlukan karena proyek skala besarini dinilai merupakan jalan tengah yang salingmenguntungkan antara negara-negara kaya teta-pi sedikit memiliki tanah subur, dan negara-negara miskin yang memiliki tanah luas yangsubur dan populasi yang bisa menjadi bagian daribekerjanya land grabbing. Misalnya, land grab-bing dianggap dapat mentransformasikan eko-nomi negara berkembang baik dengan menye-diakan lapangan pekerjaan di sektor pertanian,maupun membuka lapangan pekerjaan melaluipenyediaan infrastruktur pendukung lainyaseperti transportasi dan perumahan. Praktek inijuga dianggap dapat meningkatkan produksipertanian, meningkatkan nilai ekspor, dan mem-bawa teknologi baru untuk memperbaiki ef isien-si produksi pertanian (Daniel & Mittal 2009).Secara makro retorika ini tampaknya sangatmenjanjikan, terutama bagi negara berkembangyang menghadapi persoalan domestik khususperbaikan ekonomi. Namun demikian, jika tidakmelihat lebih dalam akibat yang sejauh iniditimbulkan maka akan mudah terjebak padapandangan simplistik. Retorika ini sebenarnyasangat mirip dengan semua argumentasi yang

berdiri dibalik semua kebijakan eksplorasi daneksploitasi tanah atau alam melalui pemanggilaninvestor sebanyak-banyak. Asumsi dibaliknyaadalah bahwa investasi akan menggerakkanroda perekomian dan memodernisasi masya-rakat.

Dengan melihat praktek land grabbing bekerjadi beberapa negara akan segera kelihatan buktiyang berkebalikan dengan retorika optimistik diatas. Pada dasarnya, praktek semacam ini bukan-lah hal baru melainkan—dengan bentuk yangsedikit berbeda—sudah dilakukan pada abadsebelumnya, baik pada masa kolonialisme mau-pun pascakolonial. Pembukaan lahan-lahan luasuntuk kepentingan perkebunan produksi ekporkomoditas dunia merupakan awal dari praktekini. Jika pada masa lalu yang mendorong adalahkonsumsi dan perdagangan dunia sedangkansaat ini didorong terutama oleh krisis pangandan energi dunia. Watak dasar praktek semacamini beserta akibat yang ditimbulkanya tidak juahberbeda. Beberapa konsekuensi tidak sederhanadi antaranya adalah terjadinya displacementpetani kecil, merubah bentuk operasi pertaniansehingga para petani yang dahulu memiliki tanahmereka berubah menjadi buruh di tempat itu.Kondisi ini dalam jangka panjang menjadi awaldari kemunculan kekacauan sosial, ketidakadilansosial-ekonomi, dan bahkan pergolakan politiklokal. Kelompok-kelompok lemah ini menjadisemakin dirugikan manakala investor land grab-bing mendapat dukungan dan proteksi yangkuat dari negara karena klaim-kalim merekayang telah membuka lapangan pekerjaan danmeningkatkan pendapatan (win win solutionclaim). Akibat yang kedua adalah minimalisasiakses terhadap sumber-sumber pangan sebabsumber pangan yang dulu adalah kontrol darimasyarakat setempat tetapi sejak land grabbingdilakukan, maka akses terhadap sumber-sumberpangan menjadi di bawah kontrol investor asing(Daniel & Mittal 2009). Pangan kemudian tidak

Page 55: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

54 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

merupakan sesuatu yang didistribusikan melaluikelembagaan sosial tradisional masyarakat yangmereka praktekkan dari generasi ke generasitetapi telah berubah menjadi sesuatu yang distri-businya dilakukan dalam mekanisme-mekanis-me pasar. Dengan demikian akan segera tampakbahwa mereka yang tidak memiliki cukup modaluntuk memperoleh sumber pangan dari pasarakan menjadi kelompok sosial paling rentanpadahal dahulunya mereka adalah pemilik tanahdan pemegang kontrol atas produksi dan distri-busi sumber-sumber pangan karena mereka yangmemiliki alat-alat produksinya.

C. Land Grabbing, Perluasan Kapital,dan Masalah Internal DisplacementPerson’s

Bagaimana sebenarnya praktek land grabbingini didudukkan secara kritis dan bagaimana prak-tek ini seharusnya dipahami? Apakah faktorpendorong utamanya yaitu krisis pangan danenergi benar-benar merupakan dasar satu-satu-nya bagi kemunculanya? Ataukah praktek iniadalah bagian dari perluasan kapitalisme? Meng-ingat pada dasanya praktek serupa ini dalamsejarah sudah pernah dilakukan meskipundalam bentuk yang tidak jauh berbeda. Penulismelihat bahwa land grabbing pada dasarnyamerupakan perluasan ruang-ruang baru kapi-talisme sebagai bagian dari upaya mengatasikondisi overaccumulation. Surplus kapital dinegara-negara kaya dihasilkan melalui praktikpembangunan kapitalisme yang sampai taraftertentu surplus itu tidak lagi memadai diputardi dalam negaranya sendiri. Agar surplus itutidak hilang maka harus dicari wilayah lain yangdianggap memungkinkan dipertahankannya sur-plus dan dilipatgandakanya surplus tersebut.Itulah sebabnya pelaku land grabbing paling ter-depan adalah negara-negara kaya di dunia yangtidak lagi memiliki lahan untuk pertanian. Prak-tek ini, sebagian besar merupakan dorongan

watak kapital yang terus menuntut akumulasidengan mencari ruang-ruang baru sirkulasinya.Tiga watak utama kapital yang terus mendorong-nya mencari daerah-derah baru adalah akumu-lasi, enclosure, dan dispossession. Oleh sebab itu,praktek ini harus dipahami dalam kerangkanapa yang disebut dengan dinamika modal (thedynamic of capital) (Ito, Rachman, dan Savitri,2011).

Dinamika modal berkaitan dengan sejarahpolitik kapitalisme yang bertumpu pada kecen-derunganya mengakumulasi dan melakukanperluasaan wilayah jelajah. Kondisi over-akumu-lasi kemudian dipecahkan dengan jalan mencip-takan ruang baru yang belum terjamah olehrelasi produksi kapitalisme. Oleh karena itu,praktek pengurungan atau pemagaran wilayahtertentu, melakukan pencabutan hak, dan meru-bah kondisi-kondisi sosial ekonomi di suatuwilayah menjadi bagian tak terpisahkan daripraktek ini. Menurut de Angelis (2004:72) prak-tek perluasan ini terkait dengan dua hal yaitukolonisasi wilayah tapal batas dan melakukanrekomposisi politik. Wilayah tapal batas yangdimaksudkan adalah wilayah hidup yang belumtersentuh oleh relasi produksi kapitalisme,sedangkan rekomposisi politik adalah upayamelenyapkan hambatan-hambatan sosial yangmenghalangi proses produksi kapitalisme. Kom-binasinya tampak nyata ketika krisis energi danpangan dunia membuka kesempatan baginegara, korporasi internasional dan pemerintahdi level lokal untuk mentransformasikan tidakhanya ruang geograf is yang mengandung ta-nah-tanah subur dan hutan-hutan alami tetapijuga ruang-ruang sosial dan relasi-relasi produksiyang hadir sebelum land grabbing (Ito, Rachman,Savitri 2011: 6). Dinamika kapital tidak hanyaberupa perampasan sumber daya dengan mele-paskan produsen dari alat-alat produksi tetapi iajuga merupakan kekuatan sosial yang bekerjauntuk memperdalam relasi kapitalistik yang

Page 56: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

55Amin Tohari: Land Grabbing dan Potensi IDP .....: 49-62

dibentuk untuk menyerap sebanyak mungkinsurplus produksi.

Kondisi-kondisi yang kemudian terbentukdari proses akumulasi dan ekspansi ini diantaranya adalah apa yang disebut dengan In-ternal Displacement Person (IDP). Orang-orangyang terasingkan dari wilayah tempat sebelum-nya mereka memiliki kontrol terhadapnya. Jikamenggunakan term akses Ribot dan Peluso(2003), mereka adalah orang-orang yang tidaklagi memiliki kemampuan untuk memperolehmanfaat atau keuntungan dari sesuatu—yangdulu mereka miliki, bahkan dalam derajat ter-tentu mereka tidak lagi memiliki hak mem-peroleh manfaat dari sesuatu tersebut. Bagi Ribotdan Peluso (2003) kondisi ini berada dalamhubungan-hubungan sosial yang menghambatdari memperoleh manfaat penggunaan sumberdaya tertentu. Pengertian ini, dalam konteks landgrabbing, lebih tepat dan lebih spesif ik daripadapengertian IDP resmi yaitu;

“Persons or groups of persons who have been forcedor obliged to flee or to leave their homes or placesof habitual residence, in particular as a result of orin order to avoid the effects of armed conflict, situ-ations of generalized violence, violations of humanrights or natural or human made disasters, and whohave not crossed an internationally recognized Stateborder” (Global Protection Cluster Working Group2007: 6).

Konsep IDP sebenarnya juga terkait dengankelompok-kelompok yang tersingkir dari prakteksemacam land grabbing. Mereka kehilanganakses terhadap tanah mereka atau properti lainyayang pernah mereka miliki atau mereka terputusdari kehidupan normal mereka dan sumberpenghasilan mereka, dan sebagai hasilnya mere-ka mengalami pemiskinan, marjinalisasi, eksploi-tasi, dan obyek kesewenang-wenangan (GlobalProtection Cluster Working Group 2007).

Namun demikian, tetap akan kesulitan untukmelihat sebaran IDP Indonesia yang didasarkan

pada kondisi yang diakibatkan oleh praktekakumulasi kapital melalui perampasan ruanghidup yang seringkali dilakukan dengan carayang relatif halus dan sebagian besar dianggaplegal. Ini karena kebanyakan laporan tentang IDPhanya merilis IDP yang diakibatkan oleh konfliksosial maupun konflik militer dan bencana alam(lihat Hugo 2002). Pada tahun 2007 misalnya,Internal Displacement Monitoring Centre(IDMC) dan Norwegian Refugee Council hanyamenyebutkan bahwa IDP di Indonesia sekitar100.000-200.000 orang sebagai akibat konfliksosial dan militer sejak awal tahun 2000. Merekaadalah orang-orang yang menderita akibatkonflik di Aceh, Maluku-Ambon, Sampit-Kali-mantan Tengah, Poso-Sulawesi Utara, dan PapuaBarat. Sampai laporan itu dirilis kondisi IDP In-donesia yang tersebar di berbagai wilayah itusangat tidak memadai akibat manajeman danpengurusan yang diwarani oleh korupsi danpenyalahgunaan bantuan (IDMC & NRC 2007:91).

Kelompok-kelompok masyarakat yang sebe-narnya masuk dalam kategori IDP sesuai denganpengertian IDP yang terkait dengan perampasantanah di atas, di Indonesia sangat banyak jum-lahnya tetapi tidak kelihatan (dalam data IDP).Untuk melihat massifnya gerak ekspansi kapitalyang menimbulkan akibat pada banyaknya IDPdi Indonesia salah satunya adalah dengan meli-hat kasus konflik pertanahan antara warga,negara, dan kekuatan-kekuatan kapital. Dalamtiga tahun terakhir ini, graf ik kejadian konflikagraria di tanah air terus menunjukkan pening-katan. Jika di tahun 2010 terdapat sedikitnya 106konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia,kemudian di tahun 2011 terjadi peningkatandrastis, yaitu 163 konflik agraria, yang ditandaidengan tewasnya 22 petani/warga tewas diwilayah-wilayah konflik tersebut, maka sepanjangtahun 2012 ini, KPA mencatat terdapat 198konflik agraria di seluruh Indonesia. Luasan ar-

Page 57: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

56 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

eal konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar,serta melibatkan 141.915 kepala keluarga (KK)dalam konflik-konflik yang terjadi.

Sementara catatan kriminalisasi dan keke-rasan terhadap petani sepanjang tahun 2012adalah; 156 orang petani telah ditahan, 55 orangmengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 peta-ni tertembak, dan tercatat 3 orang telah tewasdalam konflik agraria. Dari 198 kasus yang terja-di di tahun 2012, terdapat 90 kasus terjadi disektor perkebunan (45%); 60 kasus di sektor pem-bangunan infrastruktur (30%); 21 kasus di sektorpertambangan (11 %); 20 kasus di sektor kehu-tanan (4%); 5 kasus di sektor pertanian tambak/pesisir (3%); dan 2 kasus di sektor kelautan danwilayah pesisir pantai (1 %).

Sejak 2004 hingga sekarang telah terjadi 618konflik agraria di seluruh wilayah Republik In-donesia, dengan areal konflik seluas 2.399.314,49hektar, dimana ada lebih dari 731.342 KK harusmenghadapi ketidakadilan agraria dan konflikberkepanjangan. Ketidakberpihakan pemerintahkepada masyarakat yang tengah berkonflik, tin-dakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemi-lihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian danmiliter dalam penanganan konflik dan sengketaagraria yang melibatkan kelompok masyarakatpetani dan komunitas adat telah mengakibatkan941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63orang diantaranya mengalami luka serius akibatpeluru aparat, serta meninggalnya 44 orang diwilayah-wilayah konflik tersebut selama periode2004–2012.

Dalam konteks pembangunan dan kebijakanpemerintah, residu dari hal ini yang berbentukIDP, biasanya tidak masuk dalam pengertian IDPyang diakui secara Internasional. UN OCHAdalam buku Prinsip-prinsip Panduan Untuk IDPmenggariskan secara tegas;

“The distinctive feature of internal displacement iscoerced or involuntary movement that takes placewithin national borders. The reasons for flight may

vary and include armed conflict, situations of gen-eralized violence, violations of human rights, andnatural or human-made disasters. Persons whomove from one place to another voluntarily for eco-nomic, social, or cultural reasons do not fit thedescription of internally displaced persons to whomthe Guiding Principles apply. By contrast, those whoare forced to leave their home areas or have to fleebecause of conflict, human rights violations, andother natural or human-made disas-ters do fit thedescription of the internally displaced. In some cases,internal displacement may be caused by a combi-nation of coercive and economic factors…”(Brookings Institution, UN OCHA 1999:5).

Tentu saja dengan definisi semacam ini sulituntuk memasukkan orang-orang yang pergi me-ninggalkan rumah secara suka rela tetapi lebihdisebabkan oleh kondisi-kondisi yang mamaksaseperti penyitaan tanah, pajak yang memberat-kan, atau kondisi ekonomi yang membuat me-ninggalkan rumah adalah opsi yang palingmemungkinkan dan rasional untuk merubahhidup (Bosson, 2007). Pembangunan yang lebihbanyak didorong dan dioperasikan oleh prinsipaccumulation by dispossession pada kenyataanyajuga memunculkan banyak akibat yang mem-buat penduduk kehilangan tempat hidupnya(Lin, 2008). Namun sayangnya isu pem-bangunan yang membawa displacement tidakmenjadi inti atau bagian penting dari wacanadan praktek advokasi bagi orang-orang yang ter-singkir di rumahnya sendiri. Di beberapa negaraberkembang Brazil dan Mexico misalnya, pem-bangunan yang membawa displacement tersebutmenciptakan atau memperluas ketidaksetaraandi dalam masyarakat, melenyapkan sumberpenghidupan tradisional, mencabut orang-orangdari kehidupan komunitasnya dan masuk kedalam bentuk kehidupan individual yangterpecah-pecah dan saling berhadapan satu samalain di dalam sistem ekonomi oportunistik. Halini juga memunculkan budaya konsumer yangmengakibatkan kehancuran sumber daya alam(Sharma 2003:980). Kasus Merauke Integrated

Page 58: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

57Amin Tohari: Land Grabbing dan Potensi IDP .....: 49-62

Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua padadasarnya merupakan praktek dari kebijakan pem-bangunan bukan hanya pemerintah nasional-lokal tetapi juga bagian dari keinginan duniainternasional yang membawa akibat-akibtanyasendiri terutama—dalam kasus MIFEE—adalahterkait dengan internally displacment person.Logika pembangunan dan pengembangan yangdibaluti oleh alasan-alasan ekonomi seperti me-ningkatkan taraf hidup masyarakat biasanyamenyimpan residu bagi masyarakat lokal karenapraktek semacam ini membawa dalam dirinyaukuran-ukuran compatibilatas operasi yang se-ringnya tidak sesuai dengan kondisi-kondisimasyarakat lokal.

D. MIFEE dan PotensiInternal Displacement Persons

MIFEE secara resmi dibuka pada 11 Agustus2010 oleh Menteri Pertanian Indonesia. Proyekbesar ini dimaksudkan sebagai proyek pem-bangunan skala besar yang didesain untuk mem-produksi tanaman pangan dan bahan bakar da-ri tumbuhan. Total target luas penggarapanyaadalah 1,282,833 hektar dengan perincian;423,251.3 hektar pada 2010-2014; 632,504.8 hektarpada 2015-2019; dan 227,076.9 hektar pada 2020-2030 (GoI 2010: 36; BKTRN 2010: 10). MelaluMIFEE ini diproyeksikan pada 2020 akan meng-hasilkan produksi pangan beras sebesar 1.95 jutaton, jagung 2.02 juta ton, kedelai 167,000 ton,sapi 64,000, gula 2.5 juta ton, minyak kelapa sawitmentah 937,000 tin per tahun. Di Indonesia,proyek besar ini dilandaskan pada Kepres No 05/2007 tentang Percepatan Pembangunan Papuadan Papua Barat dan Peraturan Pemerintah No.39/2009 tentang Zona Ekonomi Khusus yangmenetapkan Papua sebagai lokasi strategis pem-bangunan nasional. Pada 2010, Peraturan Peme-rintah No. 18/2010 tentang Pertanian Panganmenjadi dasar payung proyek MIFEE (Jasuan,2011).

Dilihat dari rencana tata ruang, Merauke diba-gi ke dalam IX Kluster Sentra Produksi Pangan.KSSP I adalah Greater Merauke mencakup lahanseluas 9.932 hektar, KSSP II Kalikumb luasnya214.336 hektar, KSSP III Yeinan 82.966 hektar,KSSP IV Bian 91.754 hektar, KSSP V Okaba127.271 hektar, KSSP VI Ilwayab 78.036 hektar,KSSP VII Tubang 180.115 hektar, KSSP VIIITabonji 213.725, dan KSSP IX Nakias dengan luas139.700. Secara lebih luas persebaran dan lokasimasing-masing KSSP tersebut dapat dilihat padagambar peta di bawah ini (Gambar.2.). RencanaKoridor Ekonomi Papua-Maluku 2011-2015 yangdicanangkan pemerintah terdiri dari Sorong,Wamena, Manokwari, Jayapura, dan Meraukejuga menempatkan Merauke sebagai sentraproduksi pertanian selain sebagian wilayah Jaya-pura lainya.

Peta Arahan Kluster Sentra Produksi PertanianKawasan Merauke

Sumber: Dirjen Sarana dan Prasarana PertanianKementerian Pertanian 2010

Investasi besar produksi pangan dan energiskala besar ini tidak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan negara tetapi semua perusahaanyang adalah perusahaan swasta baik dalam nege-ri maupun luar negeri. Jika melihat data BadanKoordinasi Penanaman Modal Daerah danPerijinan (BKPMDP)Kabupaten Merauke tahun2009, total area MIFFE lebih besar yaitu1.616.234,56 hektar. Dari total jumlah tersebut316.347 Ha untuk perkebunan kelapa sawit di-kuasi 8 perusahaan, 156.812 Ha untuk perke-bunan tebu dan produksi gula dipegang 5

Page 59: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

58 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

perusahaan, 97.000 Ha untuk perkebunan ja-gung yang dikuasai 4 perusahaan, 973.057,56 Hauntuk hutan tanaman industri yang dipegang 9perusahaan, 69.000 Ha untuk produksi tanamanpangan dipegang 3 perusahaan, 2.818 Ha untukproduksi kayu dikuasi 2 perusahaan, dan 1.200Ha untuk pembangunan pelabuhan yang dipe-gang oleh satu perusahaan (lihat Tabel.4.).

Tabel.4. Daftar Perusahaan, Luas Areal, danJenis Tanaman/Usaha

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Da-erah dan Perijinan (BKPMDP), Peme-rintah Kabupaten Merauke, 2009.

Merauke terletak di selatan Papua yang terdiridari banyak hutan-hutan rawa dengan banyakaliran sungai, bercampur dengan padang rumputluas. Merauke adalah satu tempat penting yangdilimpahi kekayaan biodiversitas. Suku lokal yanghidup di wilayah ini adalah suku Malind, Muyu

dan Mandobo, termasuk suku Mappi dan Auyu.Dalam konteks proyek MIFEE, suku Malind ada-lah suku yang paling terkena dampak proyekpangan dan energi tersebut. Suku Malind salingmengenal satu sama lain melalui simbol klan.Terdapat enam klan besar dalam suku ini dengansimbol mereka masing-masing. Klan gebzedisimbibolkan dengan kelapa, Mahuze dengansagu, Basik dengan babi, Samkakai dengankanguru, Kaize dengan burung kasuari, danBalagaise dengan burung elang. Simbol-simbolini terkait dengan aturan-aturan adat yangmengontrol dan berpangaruh terhadap kehi-dupan mereka. Kehilangan salah satu simbol inidari alamnya berarti kehilangan identitas mere-ka. Karena itu, hewan dan tumbuhan yang me-lambangkan setiap klan ini harus dijaga dandilindungi agar setiap klan tidak kehilanganidentitas masing-masing. Orang Malin meng-identif ikasi dirinya dengan sesuai dengan lelu-hurnya (Dema). Suku Malin juga percaya bahwatempat-tempat tertentu adalah keramat yangpasti disinggahi oleh leluhur mereka itu. Merekajuga percaya bahwa leluhur mereka hidup ditempat itu sehingga mereka berkewajiban untukmelindungi tempat-tempat itu dan menghorma-tinya. Jika mereka tidak melakukanya, merekapercaya bahwa mereka akan mendapat hu-kuman adat yang akan menimbulkan sesuatuyang buruk bagi kehidupan mereka. Keperca-yaan ini terus diturunkan dari generasi kegenerasi. Proyek besar MIFEE berada di wilayahteritorial suku ini yang berpotensi mengancamdan memusnahkan kepercayaan, identitas, sim-bol leluhur, dan sumber pangan mereka. Karenaitu banyak penolakan dilakukan oleh suku initerhadap program MIFEE meskipun bupatinyaadalah orang Malind sendiri dari klan Gebze,John Gluba Gebze (Moiwend, 2011).

Orang-orang Malind memiliki mekanismesendiri dalam memanfaatkan sumberdaya alam.Setiap klan memiliki teritori adat sendiri yang

No Nama Perusahaan Luas Area (Ha)Jenis

Tanaman/Usaha

1 PT. Bio Inti Agrindo 39.900 Ha Sawit

2 PT. Ulilin Agro Lestari 30.000 Ha Sawit

3 PT. Dongin Prabhawa 39.800 Ha Sawit

4 PT. Berkat Cipta Abadi 40.000 Ha Sawit

5 PT. Papua Agro Lestari 39.800 Ha Sawit

6 PT. Hardaya Sawit Papua 62.150 Ha Sawit

7 PT. Mega Surya Agung 24.697 Ha Sawit

8 PT. Agrinusa Persada Mulia 40.000 Ha Sawit

Total Areal: 316.347 Ha

9 PT. Tebu Nusa Timur 12.000 Ha Gula Tebu

10 PT. Papua Resources Indonesia 20.000 Ha Gula Tebu

11 PT. Agri Surya Agung 40.000 Ha Gula Tebu

12 PT. Nusantara Agri Resources 40.000 Ha Gula Tebu

13 PT. Hardaya Sugar Papua 44.812 Ha Gula Tebu

Total Areal: 156.812 Ha

14 PT. Muting Jaya Lestari 40.000 Ha Jagung

15 PT. Digul Agro Lestari 40.000 Ha Jagung

16 PT. Tjipta Bangun Sarana 14.000 Ha Jagung

17 PT. Muting Jaya Lestari 3.000 Ha Jagung

Total Areal : 97.000 Ha

18 PT. Energi Hijau Kencana 90.225 Ha Hutan Industri

19 PT. Plasma Nutfah Marind Papua 67.735 Ha Hutan Industri

20 PT. Inocin Abadi 45.000 Ha Hutan Industri

21 PT. Balikpapan Forest Indonesia 40.000 Ha Hutan Industri

22 PT. Wanamulia Suskes Sejati 61.000 Ha Hutan Industri

23 PT. Wanamulia Suskes Sejati 96.553, 560 Ha Hutan Industri

24 PT. Wanamulia Suskes Sejati 116.000 Ha Hutan Industri

25 PT. Kertas Nusantara 154.943 Ha Hutan Industri

26 PT. Selaras Inti Semesta 301.600 Hutan Industri

Total Area : 973.057,56 Ha

27 PT. Sumber Alam Sutera 15.000 Ha Tanaman Pangan

28 PT. Bangun Cipta Sarana 14.000 Ha Tanaman Pangan

29 PT. Karisma Agri Pratama 40.000 Ha Tanaman Pangan

Total Areal: 69.000 Ha

30 PT. Muting Mekar Hijau 18 Ha Industri Kayu

31 PT. Medco Papua Industri Lestari 2.800 Ha Industri Kayu

Total Areal: 2.818 Ha

32 PT. Cupta Beton Sinar Perkasa 1.200 Ha PembangunanPelabuhan

Total Areal: 1.200 Ha

TOTAL AREA : 1.616.234,56 Ha

Page 60: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

59Amin Tohari: Land Grabbing dan Potensi IDP .....: 49-62

berfungsi untuk tempat berburu, berkebun,tangkapan ikan, dan pemukiman. Setiap tempatmempunyai batas-batas sendiri yang tidak ke-lihatan dalam peta resmi hak tanah pemerintah.Apabila tempat-tempat suci dan batas-batasnyahilang, ini berarti akan terjadi konflik di antaramereka. Dengan total arena okupasi 1.616.234,56Ha oleh 32 perusahaan dipastikan berpotensi me-lenyapkan basis kehidupan orang-orang Malinddan suku-suku lainya yang masih tergantungpada moda produksi berburu-meramu danpertanian rumah tangga. Konflik dan sengketadiperkirakan akan terus terjadi antara masya-rakat asli dengan perusahaan dan pemerintah.

Sebuah riset yang dilakukan oleh GreenomicIndonesia pada 2010 menyebutkan bahwa hanya4.92 % (atau sekitar 235.260,68) dari 4.78 jutahektar luas Merauke yang bukan kawasan hutan.Bagian lain dari total luas areal itu yang men-cakup 4.55 juta hektar atau sekitar 95 % masihmerupakan hutan. MIFEE diperkiran akanmenghabisi hutan Merauke secara masif, meng-hilangkan kekayaan biodiversitas, dan menying-kirkan orang-orang asli yang mendiami daerahtersebut sejak lama. Data lain menyebutkanseluas 125.485,5 hektar di antaranya adalah bukankawasan hutan, sisanya seluas 1.157.347,5 hektaradalah kawasan hutan.”Kawasan hutan tersebutmerupakan kawasan Hutan Produksi Konversi(HPK), yang secara tata ruang memang dica-dangkan untuk pembangunan di luar sektorkehutanan,seperti pertanian. Namun, dari totalluas 1,45 juta hektar kawasan HPK di Merauke,hanya 366.612,4 hektar yang dalam kondisi takber-hutan. Sisanya seluas 1,06 juta hektar masihberupa tegakan hutan alam dengan kondisi baik(Pakage 2010).

Dampak sosial-budaya dan politik MIFEEterhadap orang-orang asli Papua juga dilaporkanoleh tim pencari fakta dan studi lapangan yangdilakukan oleh Zakaria, dkk (2010). Mereka me-laporkan bahwa MIFEE mengabaikan kesen-

jangan budaya sekitar 125 abad antara modaproduksi budi daya dan berburu, kemudianmarginalisasi orang-orang Papu adalah hasil dariproyek ini dari aspek sosial, politik, ekonomi, danbudaya. Pendek kata Internal Displacement Per-son akan menjadi akibat paling nyata dari proyekbesar ini. Besarnya kemungkinan tersebut se-tidaknya dapat diperkirakan dari beberapa hal;pertama adalah masalah kesenjangan sosial-budaya masyarakat sekitar proyek MIFEE. Ke-senjangan ini terlihat dari rendahnya pendidikanmasyarakat Papua yang bercampur dengan modaproduksi bukan modern yaitu berburu-meramu,dan mereka masih sangat tergantung pada hu-tan. Moda produksi demikian itu dengan struk-tur sosial dan budaya yang terbentuk di atasnya,bagi masyarakat Papua khususnya Merauketidak mudah untuk bisa masuk ke sektor perta-nian modern yang termekanisasi karena moder-nisasi moda produksi mensyaratkan keteram-pilan dan kemampuan tertentu yang dibutuhkanoleh logika industri. Dengan tingkat pendidikanyang rendah dan keterampilan yang tidak mema-dai orang-orang Merauke ini akan sulit terserapke sektor pertanian modern tersebut. Sementaradi sisi lain tanah dan hutan yang selama inimenopang dan menjadi basis kehidupan masya-rakat telah hilang. Internal Displacement Personakan menjadi satu dampak nyata yang segeraterlihat.

Kedua, terjadinya perubahan komposisi de-mografis besar karena kebutuhan tenaga buruhyang sangat tinggi yang memaksa untuk menda-tangkan tenaga buruh dari luar Papua, tentunyadengan pertimbangan buruh luar Papua memi-liki keahlian, keterampilan, dan kemampuanlebih tinggi dari pada masyarakat lokal. Jikadiperkirakan sekitar 4 juta orang akan dida-tangkan dari luar Papua untuk bekerja sebagaiburuh-tani dalam proyek MIFEE, artinya akanada pertambahan penduduk sekitar 4 jutaburuh-tani + 4 juta (suami/istri buruh-tani) + 8

Page 61: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

60 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

juta (2 orang anak mereka sesuai standar KB) +8 juta (2 orang kerabat buruh-tani) = 24 juta or-ang. Dengan jumlah populasi penduduk pribumiMerauke yang hanya sekitar 52.413 orang atausekitar 30% dari 174.710 total penduduk Kabu-paten Merauke (Papua dan Non Papua), makabisa diperkirakan perubahan besar demografi inidapat men-displacement orang Papua dari aksespada sumber-sumber ekonomi dan sumberpenghidupan lainya (Pakage 2010).

Ketiga, sebagaimana sudah disebutkan didepan bahwa proses dispossession yang meru-pakan bawaan lahir dari akumulasi kapital secaraotomatis bekerja melakukan pemagaran danpeminggiran. Hal ini dilakukan untuk memper-dalam relasi moda produksi kapitalistik daidalam ruang hidup baru. Proses enclosure dandispossession menempatkan kapital bukan hanyasebagai kekuatan ekonomi tetapi juga kekuatansosial yang bekerja melampuai batas-batasnya(De Angelis 2004:72). Modernisasi pertaniandalam proyek MIFEE dipastikan akan bekerjadalam logika akumulasi kapital. Proses ini, jikatidak secara positif melibatkan masyarakat lokaldan tidak mempersiapkan jaring pengaman dariresiko sirkulasi kapital yang ekspansif tersebut,besar kemungkinan akan menciptakan pola-risasi ekonomi baru. Masyarakat lokal Papuayang dulu memiliki kedaulatan hidup akan beru-bah dan menempati tingkat ekonomi palingrendah.

Keempat, perubahan modus produksi, su-sunan demograf i, dan akses sumber-sumberekonomi akan lebih banyak bisa diraih olehkelompok migran karena kesempatan ekonomiyang tersedia. Hal ini lebih memungkinkan bagimereka untuk mendapat akses kepada kekuasa-an, seperti halnya pada bidang pemerintahan.Rekomposisi politik yang ditimbulkan dari prosesaccumulation by dispossession yang dibawa olehproyek MIFEE diperkirakan menempatkanmasyarakat Papua di luar sumber kekuasaan.

Tabel.5. Aspek dan Dampak Potensial MIFEE

Sumber: Zakari, dkk., 2010.

E. Kesimpulan

Internal Displacement Person (IDP) yangsejauh ini lebih banyak terfokus pada korbankonflik dan korban bencana alam, sudah saatnyadigeser lebih luas ke wilayah korban pem-bangunan (Sah 1995, Patkar 1998). Enclosure dangerak dispossession yang masif membawa dam-pak peminggiran orang-orang dari tanah me-reka. Menurut Li (2009) ciri proses dispossesiondi Asia didorong oleh tiga faktor yang merasukke masyarakat pedesaan. Pertama, penyitaantanah oleh negara dan perusahaan-perusahaanyang mendapat dukungan oleh negara. Kedua,piecemeal dispossession pada pertanian skalakecil yang tidak mampu survive ketika masukdalam gelanggang kompetisi dengan modal skalabesar. Ketiga, menutup batas-batas hutan masya-rakat untuk proyek konservasi. Proses-proses inibanyak didorong oleh ekspansi akumulasi pri-mitif yang untuk menjaga keberlanjutan mela-kukan pendalam sistem relasi kapitalisme melaluirekomposisi politik, restrukturasi modus produk-si, dan pemagaran terhadap kelompok-kelompok

No Aspek Dampak

1 Kesenjangan Sosial-Budaya Rendahnya tingkat pendidikan masyarakatPapua dan moda produksi berburu danmeramu akan melemparkan mereka dalamperubahan besar ini dari pola pertanianrumah tangga ke pertanian perusahaanmekanistik

2 Revolusi Demografi Permintaan buruh pertanian diperkirakanakan mendatangkan sekitar 4.8 jutapendatang baru dari luar Papua yangmembuat populasi orang Papua hanya 5 %dari total penduduk. Perubahan demografiini akan men-displace orang Papua dariakses terhadap sumber eko nomi, sepertiyang dialami masyarakat Papua daridampak program Transmigrasi pada 1980 -an.

3 Marjinalisasi Ekonomi Modernisasi pertanian yang tidakmenyediakan ruang bagi orang-orang Papuadalam prosesnya akan menimbulkanpolarisasi sosial-ekonomi, dan akanmenempatkan orang-orang papua padatingkat ekonomi paling rendah.

4 Marjinalisasi Politik Kekuatan ekonomi besar yang lebih bisadiakses oleh migran dari pada orang asliPapua akan melahirkan akses yang lebihluas bagi kekuasaan politik seperti halnyapada kantor pemerintahan, dan bentuk-bentuk kepemimpinan politik lainya.Kondisi-kondisi ini potensial meningkatkankonflik sosial di Papua.

Page 62: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

61Amin Tohari: Land Grabbing dan Potensi IDP .....: 49-62

yang tidak mampu masuk dan menyesuaikandiri dengan logika akumulasinya.

Kasus MIFEE di Papua merupakan ciri darigerak enclosure dan dispossession dengan mela-kukan pencabutan tanah masyarakat oleh negaradan korporasi-korporasi nasional dan interna-sional yang mendapat dukungan negara. Akibatpaling nyata di masa depan adalah munculnyaInternal Displecement Person karena orang-orangsetempat tidak mampu menyesuaikan diridengan logika industrialisasi pertanian skalabesar. Merauke Integrated Food and Energy Es-tate memunculkan empat persoalan yaitu kesen-jangan sosial-budaya, revolusi demograf i, mar-jinalisasi ekonomi, dan marjinalisasi politik.Proses-proses seperti di atas dalam jangka pan-jang memunculkan persoalan yang terkaitdengan pemajuan, perlindungan, dan peme-nuhan hak asai manusia. Internal DisplacementPerson merupakan kelompok yang paling rentanmengalami pelanggaran hak karena hilangnyasumber pendapan dan sumber daya alam yangdalam kasus MIFFE adalah hutan dan tanahyang sejak lama menjadi bagian kehidupan me-reka.

Hak-hak individu yang diakui secaa interna-sional termasuk di dalamnya hak hidup,makanan, kesehatan, bekerja, dan bebas daridiskriminasi dalam dimensi apapun terancamterlanggar dalam kasus MIFFE padahal, normahukum menuntut pemerintah untuk menghor-mati, melindungi, dan memajukannya. Dalamkaitanya dengan hak makanan misalnya, negaraharus mengambil tindakan yang menghalangiseseorang mendapatkan akses pada makananya.Sedangkan kewajiban untuk melindungi adalahterkait dengan langkah-langkah negara untukmeyiapkan kerangka aturan dan melakukantindakan pencegahan terhadap perbuatan peru-sahaan maupun perorangan yang mungkin akanmencabut akses seseorang atas makananya.Negara juga diwajibkan untuk mengidentif ikasi

orang-orang yang paling rentan dan mengelu-arkan kebijakan untuk menjamin akses merekaterhadap sumber makanan termasuk memfasi-litasi kemampuan mereka untuk mencari makanbagi diri mereka sendiri.

Daftar Pustaka

Anonym. 2007. Handbook for the Protection ofInternally Displaced Persons. Global Protec-tion Cluster Working Group: Geneva.

Anonym. 2011. The Global Land Grab: A HumanRights Approach. Diunduh pada situs http:// w w w . 3 d t h r e e . o r g / p d f _ 3 D /3D_Reportlandgrabseminar.pdf pada 21April 2011.

Araghi, Farshad. 2009. “Invisible Hand, VisibleFoot”, dalam Lodhi-Akram, Harun and Kay,Cristobal. 2009. Peasants and Globalization;Political Economy, Rural Transformastion,and Agrarian Question. London and NewYork: Rotledge.

Colbran, Nicola. n.d. Human Rights Implicationsof Land Grabs: Palm Oil in Indonesia. Indo-nesia Programme. Diunduh dari http://w w w . 3 d t h r e e . o r g / p d f _ 3 D /NicolaColbran_Indonesia.pdf pada 21 Mei2011.

Daniel, Shepard dan Mittal, Anuradha. 2009.The Great Land Grab Rush For World’s Farm-land Threatens Food Security For The Poor.USA: Oaklan Institute. Naskah ini diunduhdari situs http://www.oaklandinstitute.org/pdfs/LandGrab_final_web.pdf pada 21 April2011.

De Angelis, Massimo. 2004. “Separating the Do-ing and the Deed: Capital and the Continu-ous Character of Enclosures.” HistoricalMaterialism 12:57-87.

Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li.2011. Powers of Exclusion: Land Dilemmasin Southeast Asia. Singapore and Manoa:NUS Press and University of Hawaii Press.

E. Hedman,Eva-Lotta (edt). 2007. Dynamics of

Page 63: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

62 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Conflict and Displacement in Papua, Indo-nesia. Refugee Studies Centre: University ofOxford.

Ginting,Longgena and Pye, Oliver. 2011. Resist-ing Agribusiness Development: The MeraukeIntegrated Food and Energy Estate in WestPapua, Indonesia. Paper presented at theInternational Conference on Global LandGrabbing 6-8 April 2011: University of Sussex.

Grabska,Katarzyna dan Mehta,Lyla (eds). 2008.Forced Displacement Why Rights Matter.New York:Palgrave Macmillan.

Hardianto,B Josie Susilo. MIFEE, Berkah atauKutuk? Diunduh dari http://www.batukar.info/komunitas/articles/mifee-berkah-atau-kutuk pada 21 Mei 2011.

IDMC and NRC. 2006. Indonesia: Support neededfor return and re-integration of displacedAcehnese following peace agreement.Geneva: Norwegian Refugee Council

Ito, Takeshi at.all,. 2011. Naturalizing Land Dis-possession: A Policy Discourse Analysis ofthe Merauke Integrated Food and EnergyEstate. Paper presented at the InternationalConference on Global Land Grabbing 6-8April 2011, University of Sussex.

Jasuan,Yulian Junaidi. 2011. Land Grabbing inIndonesia. Paper presented at the Interna-tional Conference on Global Land Grab-bing: University of Sussex.

Jennings, Edmund. 2007. Internal Displacement.Geneva: Imprimerie Lenzi.

Li,Tania Murray. 2009. To Make Live or Let Die?Rural Dispossession and the Protection ofSurplus Populations. Antipode Vol. 41 No. S1.

M. Borras Jr,Saturnino and C. Franco,Jennifer.2011. Political Dynamics of Land-grabbingin Southeast Asia: Understanding Europe’sRole. Transnational Institute: AmsterdamThe Netherlands.

Malik,Mahnaz. 2011. Foreign investment into ag-riculture: Investment Treaties and the abil-ity of governments to balance rights andobligations between foreign investors andlocal communities. Paper presented at theInternational Conference on Global Land

Grabbing: University of Sussex.Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Masterplan Percepatan dan PerluasanPembangunan Ekonomi Indonesia 2011 –2025. Istana Bogor, 11 Februari 2011.

Mitchell, d. 2008. “A Note on Rising Food Prices.”Policy Research Working Paper 4682. WorldBank: New York

Moiwend, Rosa. 2010. War Prof iteer of the Month:Merauke Integrated Food and Energy Estate(MIFEE) - A Food Project Invasion in WestPapua. Diunduh dari http://www.wri-irg.org/node/12386 pada 19 Mei 2011.

Pakage, John. 2010. MIFEE Di Merauke Ada-lah Genosida. Diunduh dari http://digoel.wordpress.com/2010/07/08/mifee-di-merauke-adalah-genosida/ pada 21 Mei 2011.

Patkar,Medha. 1998. The People’s Policy on De-velopment, Displacement and Resettlement:Need to Link Displacement and Develop-ment. Economic and Political Weekly, Vol.33, No. 38, pp. 2432-2433.

Ribot, Jesse C. dan Lee Peluso, Nancy. 2003. ATheory of Access. Journal Rural Sociology ,Volume 68, Nomor 2. pp 153-181.

Sah, D. C., 1995. Development and Displacement:National Rehabilitation Policy. Economicand Political Weekly, Vol. 30, No. 48, pp.3055-3058.

Smaller, Carin. 2005. Planting the Rights Seed: Ahuman rights perspective on agriculture tradeand the WTO. Swiss Agency for Develop-ment and Cooperation (SDC), 3D, and IATP.

von Braun, Joachim and Meinzen-Dick, Ruth.2009. Land Grabbing by Foreign Investorsin Developing Countries: Risks and Oppor-tunities. FPRI Policy Brief 13 April 2009.

Zakaria, Y., E.O. Kleden, and F. Samperante.2010. Beyond Malind imagination: Beberapacatatan atas upaya percepatan pem-bangunan cq. Merauke Integrated Food andEstate (MIFEE) di Kabupaten Merauke,Papua, dan kesiapan masyarakat adatsetempat dalam menghadapinya. Jakarta:Pusat Studi dan Advokasi Hak-hak Masya-rakat Adat (PUSAKA).

Page 64: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

PERLAWANAN EKSTRA LEGAL: “TRANSFORMASI PERLAWANANPETANI MENGHADAPI KORPORASI PERKEBUNAN”

Muhammad Afandi*

Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: History of plantation is the history of peasants’ land grabbing in Nusantara. The peasants have responded thissituation with resistance in many ways. The theme of the research is peasant resistance during the transition of democracyorganized by peasant movement of Deli Serdang confronts PTPN II. This research reveals that the peasants consider thatreformation era has opened political chance for them to struggle in legal ways. But when the resistance in legal way is deadlocked, the peasants took another way to rebel, in the extra legal way, with its consequences such as open war with nationalmilitary or civilian militia recruited by PTPN II. The birth of extra legal movement is the consequence of nation failure and it isalso the consequence of the contradictions of the formal law in handling agrarian conflict.KeywordsKeywordsKeywordsKeywordsKeywords: PTPN II, peasant social movement, reclaiming, rebellion transformation.

Intisari:Intisari:Intisari:Intisari:Intisari:Sepanjang sejarahnya perkebunan telah mengakibatkan terjadinya perampasan tanah-tanah petani di seluruh pelosokNusantara. Situasi yang demikian direspon oleh petani dengan melakukan perlawanan-perlawanan melalui beragam cara. Penelitianini mengangkat tema perlawanan petani di era “transisi demokrasi” yang dilakukan oleh gerakan petani Persil IV Deli Serdangdalam menghadapi korporasi perkebunan negara (PTPN II). Penelitian ini mengungkapkan era transisi demokrasi (reformasi)dimaknai oleh petani sebagai suatu kesempatan politik untuk menempuh perjuangan-perjuangan jalur legal. Namun ketikaperlawanan jalur legal menemui kebuntuan, petani meninggalkan pola perlawanan tersebut dengan menempuh perlawananekstra legal yang dihadapkan pada resiko-resiko perang terbuka dengan aparat keamanan negara ataupun milisi-milisi sipil yangdirekrut oleh PTPN II. Lahirnya gerakan ekstra legal merupakan konsekuensi yang ditimbulkan akibat gagalnya negara sertamenguatnya kontradiksi-kontradiksi hukum formal dalam penyelesaian konflik agraria.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: PTPN II, gerakan sosial petani, reklaiming, transformasi perlawanan.

A. Pengantar

“dimanapun perkebunan itu timbul atau diimpor dariluar, maka ia selalu merusak norma-norma budayayang telah ada sebelumnya dan menetapkan keten-tuan-ketentuannya sendiri, kadang-kadang dengancara membujuk, kadang-kadang dengan paksaan,tetapi selalu berada dalam konflik-konflik denganketentuan-ketentuan budaya yang dilanda olehnya– (Eric Wolf)”

Maraknya pemberitaan media tentang kon-flik-konflik agraria dan perlawanan-perlawananpetani di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa

Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayahyang paling rawan terjadinya sengketa perta-nahan antara petani dengan korporasi perke-bunan, khususnya perkebunan kelapa sawit.Provinsi Sumatera Utara menempati posisi keduasetelah Kalimantan Barat sebagai provinsi yangmenempati angka konflik agraria tertinggi.

Perlawanan-perlawanan petani di Indonesiaterhadap perkebunan telah muncul sejak dahu-lu, seperti pemogokan atas tanam paksa hinggapemberontakan, sebagaimana yang terjadi diLangkat dan Deli pada tahun 1872, yang dikenalsebagai ‘Perang Batak”. Pemberontakan tersebutmerupakan sikap penentangan Masyarakat Karoterhadap Sultan Deli yang menyewakan tanah

* Alumni Pasca Sarjana Antropologi UGM, PenelitiAgraria dan Relawan FKMA (Forum KomunikasiMasyarakat Agraris).

Page 65: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

64 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

leluhur mereka kepada kolonial Barat untukmemperluas perkebunan tembakau. MasyarakatKaro menunjukkan perlawanan mereka denganmembakar gudang-gudang tembakau. Pembe-rontakan lain terhadap perkebunan juga terjadidi Banten pada tahun 1888. Namun gerakanpetani yang bergaya mileniaris tersebut segeramati seiring ditangkapnya pemimpin-pemimpingerakannya oleh pihak kolonial. Selanjutnya padamasa Orde Baru yang menerapkan kebijakandevelopmentalisme yang bercorak industrialisasipertanian semakin mempersempit ruang gerakpetani karena penyerobotan-penyerobotan tanahterhadap petani yang meluas. Gerakan petani le-bih memilih gerakan bawah tanah untuk meng-hindari represif yang dibangun dengan gayamiliteristik. Di pihak lain, politik stigmatisasiOrde Baru terhadap petani yang selalu meng-hubungkannya dengan gerakan komunis dansubversif, menyebabkan gerakan petani menjadisemakin tiarap. Namun momentum reformasiyang berakhir dengan tumbangnya rezim OrdeBaru menjadi awal satu masa transisi politik diIndonesia, sekaligus menjadi katalisator bagimeledaknya masalah-masalah agraria yangselama ini bergolak di bawah tanah. Fenomenapolitik ini mendorong lahirnya perlawanan-per-lawanan petani dengan cara-cara yang terbukadi berbagai daerah.

Dalam perlawanannya petani tidak jarangmenggunakan kekuatan-kekuatan politik formalyang teroganisir dalam kekuatan negara sepertipartai politik, organisasi-organisasi tani resmibentukan pemerintah ataupun NGO untukmemperluas dukungan dalam mencapai keme-nangan-kemenangan yang diinginkan. Strategiseperti ini biasanya akan mengarah pada satupola karakter gerakan perlawanan yang biasadisebut legal. Orientasi gerakan seperti ini cen-derung memahami negara sebagai sebuah arenapolitik, dimana kanal-kanal politik yang tersediadimaknai sebagai suatu metode instrumentasi

strategi perjuangan. Dalam praktiknya, perla-wanan akan menggunakan kekuatan parlemen(partai) yang dipilih, sebagai pendorong tuntutanyang diinginkan oleh petani dan selanjutnyadiperjuangkan dalam jalur-jalur hukum formalnegara (peradilan).

Selain perlawanan legal, hadir pula perla-wanan petani yang ekstra legal. Dalam praktik-nya, perlawanan ekstra legal tersebut justruberorientasi pada gerakan sosial-revolutif yangcenderung mempertahankan sikap garis kerasdan memilih berkonfrontasi langsung secaraterbuka dengan kekuatan negara. Pola perla-wanan gerakan ini pada kelanjutannya meng-hasilkan gerakan yang radikal konfrontatifterhadap hegemoni negara dan mengadopsicara-cara yang disebut negara sebagai tidak le-gal serta dianggap melanggar aturan hukumnegara. Dalam perkembangannya perlawananekstra legal kerap dianggap sebagai gerakan sosialbaru (GSB) karena bercirikan pada perjuanganyang berbasis otonom, anti institusional danbersifat anti otoritarian karena menolak campurtangan negara.

Sejarah perkembangan perkebunan di Indo-nesia terkait erat dengan sejarah perkembangankolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi.1

Perkebunan kelapa sawit dirintis sejak 1911 olehpemerintah Belanda dan terus berkembangseiring dengan peningkatan permintaan minyaknabati akibat revolusi industri pada pertengahanabad ke-19. Perkebunan kelapa sawit pertamaberlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) danAceh yang saat itu luasnya 5.123 hektar. Selan-jutnya di Masa Orde Baru, terutama di sekitartahun 1980 an, pemerintah banyak memberikanijin-ijin lokasi dan pengusahaan hutan kepadakorporasi-korporasi yang bergerak di bidang

1 Sartono Kartodirjo dan Joko Suryo, SejarahPerkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 1989,hlm. 3.

Page 66: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

65Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

perkebunan kelapa sawit, hal tersebut disebab-kan kelapa sawit menjadi komoditas monokulturandalan Indonesia. Keuntungan besar dan orien-tasi ekspor komoditas ini membuat pemerintahmendorong investasi besar-besaran terhadapindustri perkebunan kelapa sawit dengan pem-bukaan lahan besar-besaran melalui penggunaanhukum negara sebagai alat pelegitimasianperampasan tanah-tanah petani.

Hal inilah yang akhirnya mendorong terja-dinya konflik di masyarakat akibat penyerobotantanah petani oleh korporasi sawit. (Aditjondro,2011: 3). Konflik-konflik tersebut merupakankonsekuensi dari menguatnya kepentingankapitalisme global yang bekerja dalam bentukkorporasi-korporasi raksasa di bidang perke-bunan serta gagalnya negara dalam menyelesai-kan sengketa-sengketa pertanahan. Penyero-botan dan perampasan paksa terhadap tanahpetani memicu perlawanan-perlawanan danmendorong lahirnya gerakan sosial petani dalamperkembangan maraknya industri perkebunankelapa sawit di Indonesia pada masa kini.

Berkaitan dengan semakin meluasnya kepen-tingan kapitalisme perkebunan akan tanah yangberdampak pada peningkatan konflik agraria,lahirlah sebuah gerakan sosial petani Persil IVmelawan korporasi perkebunan negara (PTPNII) di Deli Serdang yang belum berakhir hinggasekarang. Bermula dari perampasan tanah petanioleh negara yang terjadi pada tahun 1972 di masaRezim Orde Baru yang selanjutnya dikuasai olehPTPN II. Deli Serdang merupakan kabupatenyang menempati urutan pertama jumlah kasussengketa pertanahan tertinggi di Propinsi Su-matera Utara, dengan total 32 kasus dari 97 kasus.Angka ini juga terkait dengan faktor kesejarahanpertama kelapa sawit di Indonesia yang berlokasidi Deli Serdang.2

Oleh karena melalui perjuangan legal, perju-angan yang ditempuh dengan cara-cara formaldi lembaga peradilan negara dari tahun 1997hingga 2006 tidak membuahkan hasil secarabaik, maka petani memilih strategi reclaimingdan pendudukan lahan sebagai alternatif terakhiruntuk mendapatkan tanah mereka itu hinggadetik ini.

Sebagai sebuah fenomena gerakan sosialpetani kontemporer, perubahan metode perju-angan legal menjadi ekstra legal yaitu gerakanreclaiming dan pendudukan yang dilakukanoleh para petani tersebut menarik untuk dikajisecara ilmiah. Hal ini bukan saja berkaitandengan semakin maraknya perlawanan-perla-wanan petani di Indonesia pada masa kekinianyang berkonflik dengan korporasi perkebunanswasta ataupun negara, namun juga terkaitdengan meningkatnya pola-pola perlawananpetani yang memilih cara ekstra legal denganvariasi-variasi yang baru dan beragam, misalnya:sabotase, pembakaran gedung-gedung pemerin-tahan dan korporasi perkebunan, perusakantanaman, pemblokiran, hingga perang terbuka.

Berdasarkan logika di atas, kajian ini akan difo-kuskan dengan merumuskan beberapa permasa-lahan dalam bentuk pertanyaan penelitian, yaitu:1. Bagaimana strategi bertahan hidup petani

setelah kehilangan tanah?2. Bagaimana pola dan strategi perlawanan petani

dalam menghadapi korporasi perkebunan?Etnografi dari penelitian ini akan menyajikan

sebuah argumen tentang perlawanan petaniyang mengalami beberapa perubahan dalampola-pola perjuangan mereka. Penelitian inimenggunakan metode pendekatan historis-antropologis melalui studi kasus. MenurutLofland,3 metode studi kasus dalam penelitian

2 Bakumsu, Tabel Kasus Tanah di SUMUT: Medan,2011.

3 John Lofland, Protes: Studi tentang Perilaku Kelompokdan Gerakan Sosial (terj. Lutfhi Ashari), Yogyakarta: In-sist Press, 2003.

Page 67: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

66 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

gerakan sosial mengikuti beberapa tahapan:menyeleksi sebuah kasus, mengumpulkan data,mengajukan pertanyaan, dan menjawab perta-nyaan-pertanyaan yang diajukan. Pengumpulandata dalam penelitian ini dilakukan denganbeberapa cara, sebagai berikut: observasi partisi-patif, pengumpulan data dalam bentuk doku-men, wawancara dan diskusi, browsing dan clip-ping print.

Penelitian lapangan dalam studi ini dilakukandi kawasan Persil IV yang berlokasi di 3 desa(Tadukan Raga, Limau Mungkur, Lau BarusBaru), Kecamatan STM Hilir, Kabupaten DeliSerdang, Provinsi Sumatera Utara.

B. Persil IV dalam Tekanan Zaman

1. Penamaan Persil IV dan Asal MulaPerkampunganNama Persil IV sebenarnya merujuk pada kon-

sep sebuah kawasan yang sekarang ditempatioleh Perseroan Terbatas Perkebunan NusantaraII-PTPN II (Persero/BUMN) yang berkantor diKecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten DeliSerdang, terletak kurang lebih 30 kilometer dariKota Medan. Penamaan Persil IV bermula darikebijakan negara pada tahun 1956 yang mem-berikan surat ijin garap berupa tanah suguhandengan sistem Persil yang ditandai empat nomorseluas 525 hektar kepada masyarakat di 5 dusun.Dusun-dusun tersebut adalah: Dusun Tung-kusan yang secara administratif merupakanwilayah Desa Tadukan Raga, Dusun Sinembahdan Limau Mungkur yang secara administratifmerupakan wilayah Desa Limau Mungkur, Du-sun Lau Barus dan Batutak yang secara admin-istratif merupakan wilayah Desa Lau Barus Baru.Ketiga desa tersebut secara administratif meru-pakan wilayah Kecamatan STM Hilir, KabupatenDeli Serdang.

Sebelum negara memberikan surat ijin garapkepada masyarakat yang pada umumnya ber-mata pencaharian petani di lokasi penelitian ini,

sebagian besar masyarakat 5 dusun tersebut telahmengusahai tanah dan mendirikan bangunanrumah berupa gubuk-gubuk sebagai tempattinggal sementara selama musim tanam darisejak tahun 1940-an. Berbagai jenis tanaman yangditanam oleh masyarakat terdiri dari berbagaijenis, mulai dari tanaman pangan pokok sepertipadi ladang, tanaman keras seperti pohon du-rian, jengkol, petai dan jenis tanaman palawijaseperti jagung ataupun jenis tanaman buahberupa pisang dan duku. Kawasan seluas 525 Hatersebut menurut penuturan salah seorang war-ga Dusun Tungkusan yang bernama Syahrial (51tahun) adalah sebuah kawasan yang dahulunyaadalah hutan tua, sekaligus satu-satunya kawasantersisa yang tidak dijadikan areal perkebunanoleh perusahaan-perusahaan Perkebunan Belan-da. Berbeda dengan kawasan-kawasan di sekitar-nya yang umumnya adalah areal-areal perke-bunan tembakau milik Belanda yang dikenalsebagai basis kawasan “tembakau Deli’.

Jauh sebelum menjadi nama dusun, tempatmereka tinggal disebut sebagai kampung. Sam-pai saat penelitian ini dilakukan, belum ada ca-tatan resmi atapun tulisan yang menjelaskantentang asal mula terbentuknya perkampunganyang menjadi 5 dusun tersebut. Namun, hal inidapat digambarkan berdasarkan atas rabaanyang dibuat melalui cerita para orang tua (sese-puh) kelima dusun. Menurut penuturan MakEsron (66 tahun) sesepuh Dusun Limau Mung-kur, menceritakan bahwa pada tahun 1940-anpenduduk yang tinggal di Limau Mungkur masihsangat sedikit, tidak lebih dari 20 kepala keluarga(KK). Pada awal tahun 1950-an, terjadi migrasipenduduk dari Desa Durian Tinggung, Keca-matan STM Hulu ke Limau Mungkur, Keca-matan STM Hilir. Arus migrasi ini menambahjumlah populasi penduduk di Desa LimauMungkur, selanjutnya warga pendatang jugamulai ikut menggarap kawasan “hutan tua”untuk bercocok tanam yang pada tahun 1956

Page 68: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

67Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

akhirnya oleh negara diberikan surat ijin garapdi atas tanah yang disebut sebagai “Tanah Su-guhan Persil IV”.4 Per Kepala Keluarga (KK) men-dapatkan 2 Ha.

Berbeda dengan Dusun Tungkusan, menu-rut penuturan Syahrial, penduduk Tungkusansebelum tahun 1956 awalnya bermukim di tepianSungai Blumei, bersebelahan dengan kampungLubuk Beringin. Namun pada saat negara mem-berikan surat ijin garap kepada warga pada tahun1956 di kawasan Persil IV dengan luas 2 Ha perKK dan 20 x 50 meter per KK untuk tempat ting-gal, penduduk Tungkusan dan Lubuk Beringinyang bermukim di tepian Sungai Blumei pindahke kawasan yang telah ditetapkan. Hal ini berdam-pak pada terbentuknya pemukiman baru ber-sebelahan dengan kawasan Persil IV. KampungLubuk Beringin selanjutnya secara administratifdipersatukan menjadi Dusun Tungkusan.

Menurut penuturan Pak Soni (61 tahun)sesepuh Dusun Sinembah, kampungnya memi-liki sejarah yang cukup panjang. Dahulunya paraorang tua mereka telah bermukim lama di Kam-pung Sinembah. Pada awal tahun 1900-an, tanahorang tua mereka dirampas paksa oleh peru-sahaan perkebunan tembakau Belanda tanpaganti rugi. Ketika terjadi pemberontakan mela-wan perusahaan perkebunan menawarkan“politik etis” kepada warga yang bertujuan untukmeredam pemberontakan dengan cara membe-rikan tanah jaluran. Tanah jaluran tersebutdiperbolehkan untuk ditanami padi selepasmusim panen tembakau selama setahun.5

Setahun setelah ditanami padi, tanah jaluranharus kembali dikosongkan sampai enam atautujuh tahun untuk dipersiapkan menjadi arealpenanaman tembakau selanjutnya. Warga jugatidak harus membersihkan dan mencangkultanah jaluran untuk proses awal penanaman padikarena perusahaan perkebunan telah mentrak-tornya selepas musim panen tembakau.

Dengan kata lain warga mendapat kemu-dahan dalam pengelolaan tanah jaluran. Namunmenurut Pak Soni, ini hanya praktik tipu dayaperusahaan perkebunan, pentraktoran tersebutbaginya sangat berkaitan dengan proses perce-patan produksi penanaman tembakau selanjut-nya. Ia menjelaskan bahwa semakin cepat tanahjaluran ditanami padi maka akan semakin mem-percepat tanah tersebut kembali subur sehinggatembakau dapat kembali ditanam oleh perusa-haan. Apabila tanah selepas musim panen tem-bakau langsung ditanami kembali maka kwalitastembakau yang dihasilkan akan bermutu rendahdan memang tidak dibenarkan dalam prosespenanamannya. Ia menganggap politik etis peru-sahaan perkebunan dengan memberikan tanahjaluran kepada warga pada masa lampau me-mang secara ekonomis membantu warga untukmenghasilkan bahan pangan, namun hal itu jugamenguntungkan bagi perusahaan perkebunankarena juga membantu kesuburan tanah untukditanami tembakau kembali. Selanjutnya padatahun 1956, warga yang bermukim di KampungSinembah oleh negara diberikan surat ijin garapdengan luas 2 Ha per KK.

Dua dusun lainnya adalah Lau Barus danBatutak. Kampung Lau Barus terletak bersebe-lahan dengan Limau Mungkur. Berdirinya Kam-pung Lau Barus bermula dari perpindahan seba-gian penduduk di Limau Mungkur ke daerahtersebut. Menurut penuturan warga, KampungLau Barus berdiri pada awal tahun 1950-an ketikapemukiman di Limau Mungkur mulai sedikitpadat. Dusun yang terakhir adalah Batutak,

4 Hutan Tua adalah sebutan oleh warga terhadapkawasan yang pada tahun 1956 disebut sebagai kawasanPersil IV. Kawasan ini satu-satunya kawasan yang tidaktersentuh oleh industri perkebunan. Kawasan ini selaindigunakan untuk bercocok tanam juga dimanfaatkan kayunyauntuk kebutuhan pembangunan tempat tinggal oleh warga.

5 Budi Agustono, Muhammad Osmar Tanjung danEdy Suhartono, Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indo-nesia VS PTPN II. Bandung: Akatiga, 1997.

Page 69: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

68 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

menurut penuturan Pak Tarigan (65 tahun),berdirinya Kampung Batutak bermula darisegelintir orang mantan pekerja perkebunantembakau yang bersuku Jawa menduduki “tanahperengan” pada tahun 1940 yang selanjutnyadigunakan untuk mendirikan tempat tinggal.Tanah perengan adalah tanah yang berkonturtidak rata di areal perbukitan dalam kawasanyang dikonsesikan untuk perkebunan tembakaumilik perusahaan Belanda. Tanah denganbercirikan tidak rata dalam sistem perkebunantidak digunakan sebagai areal penanaman. Peru-sahaan perkebunan tembakau hanya meman-faatkan tanah berkontur rata. Pendudukan ta-nah perengan kemudian disusul oleh beberapaKepala Keluarga pendatang yang bersuku Karo.Pendudukan tersebut dalam kurun waktu 10tahun telah membentuk satu perkampunganbesar yang pada tahun 1950 menurut penuturanPak Tarigan telah mencapai 25 KK. Warga keduadusun tersebut selanjutnya pada tahun 1956 di-berikan surat ijin garap Tanah Suguhan denganluas 2 Ha per KK.

2. Zaman Gelap Orde Baru danPerampasan Tanah

Tepat berusia enam belas tahun pada tahun1972 petani mendapatkan pengakuan dari negaraatas kepemilikan tanah seluas 525 Hektar. Tanahtersebut dimiliki kurang lebih 260 KK yang ter-sebar di 5 dusun. Setiap tahunnya petani memba-yar pajak atas tanah yang mereka miliki sejaktahun 1956 tersebut. Wilayah Persil IV berbedadengan wilayah-wilayah di sekitarnya yang me-rupakan wilayah perkebunan. Daerah ini dike-lilingi oleh perkebunan-perkebunan raksasayang dimiliki oleh perkebunan negara dan peru-sahaan-perusahaan swasta lainnya.

Pada tahun 1972 perkebunan tembakau mulaiditinggalkan oleh perusahaan-perusahaanperkebunan seiring dengan merosotnya kwalitasyang dihasilkan dan faktor meningkatnya kebu-

tuhan minyak nabati di pasar dunia. Hal iniberdampak pada beralihnya jenis tanaman yangdikembangkan oleh perkebunan, yaitu karet dankelapa sawit mulai menjadi tanaman komoditasandalan bagi perusahaan-perusahaan di masatahun 1970-an. Di tengah persaingan antar peru-sahaan perkebunan, petani di Persil IV tetap me-milih menanam tanaman berupa padi, palawija,dan buah-buahan.

Tepat menjelang panen padi di pertengahantahun 1972, petani mendapat kabar dari pihakperkebunan negara kebun Limau Mungkur(sekarang PTPN II) bahwa tanah yang merekausahai di atas tanah Persil harus diserahkankepada pihak perkebunan dengan janji tanahdan tanaman yang dimiliki oleh warga akandiganti rugi. Pihak perkebunan juga mendesakagar petani menyerahkan surat ijin garap atastanah Persil kepada pihak perkebunan dalamtempo satu bulan setelah pengumuman gantirugi dikeluarkan. Mendapat kabar tersebut,seorang petani sekaligus pemuka agama dusunTungkusan yang bernama Haji Sulaimanmengundang seluruh warga yang memiliki suratijin garap tanah Persil untuk bermusyawarahdirumahnya. Musyawarah dihadiri oleh seluruhpemilik tanah yang memiliki surat ijin garap.Sebagian besar para undangan yang hadir berse-pakat untuk tidak menyerahkan surat ijin garapkepada pihak perkebunan, hal ini disebabkantidak layaknya uang ganti rugi yang ditawarkanoleh pihak perkebunan serta kuatnya keinginanpara warga untuk tetap mempertahankan tanahmereka dikelola sebagai lahan pertanian.

Melihat perkembangan petani tidak bersediauntuk menyerahkan surat ijin garap, pihak per-kebunan melancarkan pernyataan secara seren-tak di 5 dusun kawasan Persil IV dengan menya-takan petani adalah sisa-sisa anggota PartaiKomunis Indonesia (PKI). Propaganda dan pela-belan komunis terhadap petani juga didukungoleh pihak kepolisian, tentara dan aparat

Page 70: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

69Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

pemerintahan Kecamatan STM Hilir. Melihatsituasi ini, petani meresponnya dengan mem-percepat masa panen terhadap tanaman yangmereka tanam dan mulai secara bergiliran mela-kukan penjagaan terhadap lahan yang merekamiliki dengan memilih tinggal hingga berhari-hari di lahan mereka. Mak Esron (66 tahun)menyebutnya sebagai masa gagal panen, diamengartikan sebagai gagal panen yang disengajakarena pemanenan dilakukan tidak tepat padawaktunya.

Seminggu setelah hampir setengah dariseluruh pemilik lahan mulai melakukan pema-nenan, pihak perkebunan negara memobilisasiseluruh pekerja perkebunan yang dibantu olehaparat kepolisian dan tentara bergerak menujulahan milik petani dengan membawa traktor danalat-alat berat lainnya. Pada malam yang tak ter-duga, seluruh gubuk-gubuk milik petani dibakardan tanaman diatasnya dibabat serta ditebang.Peristiwa itu berlanjut hingga esok harinyadengan pentraktoran yang dikawal ketat olehpuluhan aparat keamanan negara. Di atas lahanPersil IV, tepatnya dua bulan setelah pentrak-toran, pihak perkebunan negara menanaminyadengan jenis tanaman karet seluas 320 hektardan 200 hektar sisanya ditanami kelapa sawit.Akses petani untuk mengusahai tanah yang telahmereka dapatkan secara sah menurut hukumsejak tahun 1956 telah terputus pasca peristiwatahun 1972 tersebut.

3. Sekilas Tentang PTPN II

Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II(PTPN II) adalah sebuah badan usaha miliknegara yang bergerak di bidang agribisnis perke-bunan. Produksinya meliputi budidaya kelapasawit, karet, kakao, gula dan tebu yang arealpenanamannya tersebar di Sumatera Utara danPapua. Dalam peta lokasi Sumatera Utara, peru-sahaan ini menguasai lahan di tiga Kabupaten,yaitu Serdang Bedagai, Deli Serdang dan

Langkat yang dibagi menjadi lima distrik. Budi-daya kelapa sawit menempati areal seluas 85. 988,92 ha, karet 10. 608, 47 ha, kakao 1. 981, 96 hadan tebu seluas 13. 226, 48 ha. Perusahaan per-kebunan ini berkantor pusat di Tanjung Morawa,Propinsi Sumatera Utara. Berdirinya PTPN IIdidasari oleh ketentuan-ketentuan dalam Un-dang-Undang No. 9 tahun 1969 dan PeraturanPemerintah No. 2 tahun 1969 yang mengaturtentang Perusahaan Perseroan. PTPN II didiri-kan pada tanggal 5 April 1976 melalui Akte NotarisGHS Loemban Tobing, SH, No. 12, selanjutnyadisahkan oleh Menteri Kehakiman dengan SuratKeputusan No. Y.A 5/43/8 tanggal 28 Januari 1977dan diumumkan dalam lembaran negara No. 52tahun 1978.6

Lahan-lahan yang dikuasai PTPN II memilikiketerkaitan sejarah yang cukup panjang denganperusahaan-perusahaan perkebunan Belanda.Lahan PTPN II berasal dari konsesi tanah NV.Van Deli Maatschappij seluas 250. 000 ha yangmembentang dari Sungai Ular di Kabupaten DeliSerdang hingga Sei Wampu Kabupaten Langkatyang diusahai sejak 1870.7 Pengambilalihan ta-nah-tanah milik perkebunan Belanda ini bermulapada 7 November 1957 terkait dengan krisis poli-tik Perebutan Irian Barat dengan Belanda,Soekarno selaku Presiden Republik Indonesiamengumumkan untuk mengambil alih seluruhperkebunan milik orang Belanda. Pengumumantersebut diteruskan dengan keluarnya pengu-muman Menteri Kehakiman G.A Maengkompada tanggal 5 Desember 1957 yang menyatakanpengambilalihan akan dilakukan oleh pihak yangberwenang, yaitu Penguasa Militer Pusat danDaerah. Namun Juanda Kartawidjaja selakuMenteri Pertahanan dan pimpinan tertinggi mi-liter Republik Indonesia pada tanggal 9 Desember

6 http: ptpn2.com, 2012, diunduh pada 13 Januari 2012.7 http : bumn.go.id, 2012, diunduh pada 15 Januari 2012.

Page 71: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

70 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

1957 memberi wewenang kepada MenteriPertanian untuk mengeluarkan peraturan terkaitdengan pengelolaan perkebunan Belanda.Dengan kewenangan tersebut Menteri Pertanianmenempatkan perkebunan Belanda dibawahpengawasan sebuah organisasi yang bernamaPusat Perkebunan Negara (PPN). Organisasi inimenjadi cikal bakal lahirnya PTPN yang padamasa selanjutnya menguasai konsesi tanah yangdimiliki perkebunan Belanda di Sumatera Timursetelah dikeluarkan Undang-Undang No. 86tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda di Indonesia.8

Gambar 1. Kantor PTPN II Kebun Limau Mung-kur di Dusun Tungkusan. Sumber: foto pribadi

Kebijakan nasionalisasi itu dalam sejarahperjalanannya justru menjadi salah satu penyebabutama terjadinya konflik-konflik agraria yangberkepanjangan, terutama pasca tumbangnyaera Demokrasi Terpimpin. Hal itu bermula ketikapengkonversian tanah-tanah perkebunan Belan-da yang mengantongi hak erfacht menjadi hakguna usaha yang dinasionalisasi oleh negaratidak terlebih dahulu mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dahulunya dirampas paksaoleh kolonial. Selanjutnya posisi-posisi strategisdi tubuh organisasi perkebunan yang dijabat olehelit-elit tentara semakin mempersempit danmenghalangi rakyat (petani) untuk menuntut

kembali tanah-tanah mereka yang terampas,tuduhan sebagai pendudukan illegal dan dicapsebagai komunis akan dilekatkan pada merekaoleh tentara-tentara yang telah membentuk“kelas sosial baru”.9

Dalam perkembangannya PTPN II melaku-kan peleburan (reorganisasi) dengan PTPN IXmenjadi PTPN II berdasarkan pada PeraturanPemerintah No. 7 Tahun 1996. Peleburan terse-but dilakukan pada tanggal 11 Maret 1996 denganAkte Notaris Ahmad Bajumi, SH., kemudiandisahkan oleh Menteri Kehakiman dengan SuratKeputusan No. C2.8330.HT.01.01.TH.96 dan di-umumkan dalam Berita Negara RI nomor 81.10

Di kabupaten Deli Serdang PTPN II memiliki 16kebun yang setiap kebun dikepalai oleh seorangAdministratur (ADM). Wilayah Persil IV terletakbersebelahan dengan salah satu kebun milikPTPN II, yaitu kebun Limau Mungkur dengantapal batas sungai Batutak di sebelah Timur danSungai Bekaca di sebelah Barat.

PTPN II Kebun Limau Mungkur mengklaimmengusahai lahan seluas 2. 322 ha yang didalam-nya termasuk wilayah Persil IV. Namun berda-sarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri melaluiSK No. 13/HGU/DA/1975 tanggal 10 Maret 1975,PTPN II hanya diberikan Hak Guna Usaha seluas1400 ha. Hal ini ditegaskan kembali dengan suratukur yang diterbitkan oleh Badan PertanahanNasional (BPN) pada tanggal 20 Agustus 1993,Nomor 1450/08/1993 yang menyatakan bahwaPTPN II kebun Limau Mungkur hanya memilikiHGU seluas 1400 ha.11 Dengan demikian tanah

8 Karl Pelzer, Sengketa Agraria. Jakarta: SinarHarapan, 1991.

9 Noer Fauzi, Land Reform Dari Masa ke Masa.Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2012.

10 http : ptpn2.com, 2012, diunduh pada 13 Januari 2012.11 Notulensi Rapat Kerja dan Jajak Pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Deli Serdang terhadapPermasalahan Tanah Persil IV yang dihadiri oleh BPNTk. II Deli serdang, ADM PTPN II Kebun LimauMungkur, Camat Kecamatan STM Hilir, Kepada DesaTadukan Raga, Limau Mungkur, Lau Barus Baru dan Petanipada tanggal 27 Oktober 1998.

Page 72: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

71Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

seluas 922 ha (2.322 – 1400) dapat dikatakan seba-gai areal yang tidak memiliki HGU, sekaligusmemperkuat argumentasi petani bahwa dida-lamnya terdapat 525 ha tanah mereka yangdirampas oleh PTPN II sejak tahun 1972.

C. Strategi Bertahan Hidup Petani PersilIV di Masa Orba

1. Kondisi Petani di Awal KehadiranPTPNSejak terjadinya peristiwa perampasan tanah

pada tahun 1972, hubungan antara rakyat petanidengan PTPN II terlihat kurang harmonis. Diakhir tahun 1972, PTPN II mulai disibukkandengan mentraktor tanah, penyiangan bibitkaret dan kelapa sawit serta persiapan-persiapanteknis untuk memulai dan mengembangkanperkebunan di wilayah administrasi kebun Li-mau Mungkur, sementara petani mulai kehi-langan aktivitasnya untuk bertani. Harapan-harapan untuk mendapatkan tanah mereka kem-bali seakan menemui jalan buntu. Seluruh petaniPersil dihadapkan dengan persoalan-persoalanketiadaan tanah yang mereka fungsikan sebagaisumber kehidupan. Hampir dari seluruh petanimenggantungkan kehidupan di atas tanah terse-but. Hanya sekitar 20 persen (50-an KK) yangmasih memiliki lahan di luar lahan Persil.12 Bagimereka yang memiliki lahan di luar Persil, mere-ka mencoba untuk bertahan hidup dari tanahyang tersisa, namun bagi sebagian yang lain hanyamengandalkan sisa pekarangan rumah untukdikelola dan ditanami jenis tanaman sayur mayursebagai sumber penghasilan ataupun sekedaruntuk dikonsumsi.

Pada tahun 1975, Rajali dan Haji Sulaiman(warga dusun Tungkusan) mencoba memper-tanyakan kasus perampasan tanah yang dialami-nya kepada kepala Desa Tadukan Raga. Dalampertemuan tersebut, Kepala Desa menyatakantidak tahu menahu persoalan yang dihadapi HajiSulaiman. Kepala Desa menyarankan Sulaimanuntuk mempertanyakan persoalannya kepadaCamat STM Hilir.

“Kepala Desa yang kami harapkan untuk mengayomiwarganya saat itu tidak bisa berbuat apa-apa, malahia mengatakan agar kami merelakan tanah tersebutdiambil PTPN untuk kepentingan negara. Banyakdari kami tidak memiliki lahan selain tanah Persil.Bagi yang memiliki lahan cadangan (di luar tanahPersil) bukan berarti tidak sengsara, mereka jugamengalami nasib yang terpuruk. Saat itu kami benar-benar tidak tahu harus mengadu kepada siapa karenamemang kita sama-sama tahu zaman Orde Barusangat represif. Bagi siapapun yang menolakkebijakan pemerintah maka dia akan dicap PKIataupun ditangkap secara tidak wajar”. (Rajali, 62tahun)

Haji Sulaiman selanjutnya mencoba untukmendapatkan jawaban dari Camat STM Hilirterkait persoalan yang dihadapinya. Usaha ke-dua yang ditempuhnya juga berujung padaketidakpastian. Camat STM Hilir hanya memberijawaban “saya tidak bisa memberikan kepastianatas persoalan yang kalian hadapi”. Ia juga me-nambahkan agar para petani melaporkan per-masalahan tersebut ke pemerintahan KabupatenDeli Serdang.13 Usaha-usaha yang ditempuhdengan mendatangi Kepala Desa dan Camattidak membuahkan hasil yang baik berdampakpada kekecewaan yang mendalam terhadap insti-tusi-institusi negara. Petani pemilik tanah Persildi 4 dusun yang lain juga menyimpulkan bahwajalur-jalur formal dengan berharap pada sebuahkepastian hukum di lembaga-lembaga pemerin-

12 Wawancara dengan Informan (Agus-Menantu HajiSulaiman : Pengurus Gerakan Petani Persil IV), April 2012.Dalam wawancara ini, Informan mengatakan bahwa hanya20 persen dari jumlah pemilik tanah Persil yang memilikilahan di luar areal Persil (lahan cadangan). 20 persen yangmemiliki lahan cadangan tidak terpusat di salah satu dusun,tetapi tersebar di 5 dusun.

13 Wawancara dengan Informan (Rajali-PengurusGerakan Tani Persil IV), April 2012.

Page 73: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

72 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

tahan tidak akan menghasilkan keadilan bagimereka.

Selain di Kecamatan STM Hilir, pada awaltahun 1970-an perampasan tanah petani olehnegara untuk kepentingan PTPN juga terjadi dikecamatan-kecamatan lain dalam wilayah Ka-bupaten Deli Serdang. Ada 32 kasus perampasantanah petani selain kasus Persil IV yang terjadidi awal rejim Orde Baru dengan melibatkanPTPN dan organisasi militer. 26 kasus merupa-kan konflik antara petani dan PTPN II, 1 kasusdengan PTPN III, 2 kasus dengan PTPN IV, 2kasus dengan organisasi militer (Puskopad BukitBarisan dan Veteran) dan 1 kasus dengan peru-sahaan swasta (PT. London Sumatera).

Tabel. Konflik Agraria (Tanah) Di Deli Serdang

Sumber: Hasil wawancara peneliti dengan berbagaiNGO di Sumatera Utara dan Bakumsu,2012.

Dari tabel di atas dapat diperoleh keteranganbahwa konflik agraria berupa perampasan tanahpetani oleh perkebunan negara maupun swastaserta institusi militer di Kabupaten Deli Serdang

No NamaKelompok

LuasAreal

JumlahKK

LawanSengketa

Alas Hak

1 Kelompok TaniManunggal

42 Ha 36 KK PTPN IIHelvetia

SK Mendagri No. 12 5/4,Tanggal 28 Juni 1951.

SK Gubsu No. 36/K/Agr,Tanggal 28 September

2 KelompokMasyarakatPematang Belo

270 Ha 210 KK Veteran SK Kepala KampungTandem Hilir II No.196/T.H.II/66, Tanggal30 Agustus 1966.Menerangkan PematangBelo merupakanngarapan pendudukTandem Hilir II.

Restu dari MenteriAgraria, 4 Mei 1962.

3 Kelompok TaniTerbit Fajar, DesaTandem Hulu II,Psr 2, 3, 4, 5, 6.Kec. HamparanPerak

170 Ha 366 KK PTPN IIKebunTandem

UU Darurat No. 8Tahun 1954 KRPTDaftar Panjang BuktiPembayaran Pajak.

4 Kelompok TaniSigara-gara I. Kec.Patumbak

70 Ha 80 KK PTPN IIKebunPatumbak

UU Darurat No. 8Tahun 1954, KRPT, PetaKalk No. 594U olehKantor ReorganisasiPemakaian Tanah Sum.Timur. Tanggal 9September 1960.

5 Kelompok TaniSigara-gara II.Kec. Patumbak

80 Ha 60 KK PTPN IIKebunPatumbak

UU Darurat No. 8Tahun 1954, KRPT, PetaKalk No. 594P oleh Ktr.Reorganisasi PemakaianTanah Sum. Timur.Tanggal 15 Juni 1957.

6 Kelompok TaniLantasan Lama,Pasar 4. Kec.Patumbak

60 Ha 90 KK PTPN IIKebunPatumbak

UU Darurat No. 8Tahun 1954, KRPT, PetaKalk No. 659P oleh Ktr.Reorganisasi PemakaianTanah Sum. Timur.Tanggal 4 Juni 1957.

7 Kelompok TaniKurnia Negara.Kec. Patumbak

100 Ha 150 KK PTPN IITanjungMorawa,KebunPatumbak

UU Darurat No. 8Tahun 1954, KRPTTanggal 22 Mei 1957.

8 Kelompok TaniPaya Bakung.Pasar 5,7,8,9. Kec.Hamparan Perak

300 Ha 184 KK PTPN IITanjungMorawa,Kebun SeiSemayang

UU Darurat No. 8Tahun 1954, SKMendagri No. 15 15/5/4jo SK Gubsu 36/k/AgrTI 27 September 1951.

9 Kelompok TaniPaya Bakung,Pasar 10, BuluCina. Kec.Hamparan Perak

105 Ha 95 KK PTPN IITanjungMorawa,Kebun BuluCina

UU Darurat No. 8Tahun 1954, Peta Kalkirdan Daftar Panjang.

10 Kelompok TaniPaya Bakung,Pasar 1 dan 2. Kec.Hamparan Perak

208 Ha 104 KK PTPN IITanjungMorawa,Kebun SeiSemayang

UU Darurat No.8 Tahun1954, KRPT, Peta Kalkir,SK Gubsu36/k/Agr/1951.

11 Kelompok TaniBulu Cina, Pasar2,3,4,5. Kec.Hamparan Perak

550 Ha 235 KK PTPN IITanjungMorawa,Kebun BuluCina

UU Darurat No. 8Tahun 1954, KRPT, PetaKalkir dan DaftarPanjang.

12 Kelompok TaniBulu Cina, Pasar9,10,11,12. Kec.Hamparan Perak

489 Ha 342 KK PTPN IITanjungMorawa,Kebun BuluCina

UU Darurat No.8 Tahun1954, KRPT, SK Gubsu36/k/Agr 1951.

13 Kelompok TaniKlumpang. Kec.Hamparan Perak

200 Ha 150 KK PTPN IITanjungMorawa,KebunKlumpang

UU Darurat No. 8Tahun 1954, KRPT, PetaLokasi BPPST No. 879,Tanggal 15 Agustus

14 Kelompok TaniSei Semayang,Pasar 1 dan 2. Kec.Sunggal

80 Ha 53 KK PTPN IITamora,Kebun SeiSemayang

UU Darurat No. 8Tahun 1954, KRPT, PetaLokasi BPPST No. 879Tahun 1960.

15 Kelompok TaniSukarende. Kec.Kutalimbaru

50 Ha 58 KK PTPN IITamora,KebunTuntungan

UU Darurat No. 8Tahun 1954.

16 Kelompok TaniSilebo-lebo. Kec.Kutalimbaru

350 Ha 300 KK PTPN IITamora,Kebun SeiGlugur

PLR Deli SerdangNo. Ist/LR/11/1968

17 Kelompok TaniPaya Badau. Kec.Patumbak

73 Ha 58 KK PTPN IITamora,KebunPatumbak

UU Darurat No. 8Tahun 1954

18 Kelompok TaniDurin Tonggal.Kec. Pancur Batu

524 Ha 500 KK PTPN IITamora,KebunBerkala

UU Darurat No. 8Tahun 1954, KRPT No.583A 1953.

19 Kelompok TaniDolok Masango.Kec Kotarih

16 Ha 100 KK PTPN III SeiKambing

UU Darurat No. 8Tahun 1954, SKPembayaran PajakTahun 1955-56.

20 Kelompok TaniUjung JaheSimalingkar. Kec.Pancur Batu

300 Ha 100 KK PTPN IITamora,Kebun Bekala

UU Darurat No 8 Tahun

21 Kelompok TaniPsr 4 dan 5Kelambir 5. Kec.Hamparan Perak

83 Ha 58 KK PTPN IITamora,KebunKelambir

UU Darurat No. 8Tahun 1954.

22 Kelompok TaniPeta Kesra,Ramunia. Kec.Pantai Labu

351 Ha 250 KK Puskopad BB SK Pangdam II BB No.153/II/175

23 Kelompok TaniPsr 2 dan 3Kelambir Lima.Kec. HamparanPerak

85 Ha 38 KK PTPN IITamora,KebunKelambirLima

UU Darurat No. 8Tahun 1954.

24 BPRPI KebunSaentis. Kec.Percut

600 Ha 5000 KK PTPNBandarKalipah

Permohonan pelepasanHGU PTPN II KebunSaentis

25 Kelompok TaniPsr 3 Wonorejo.Kec. Batang Kuis

100, 59Ha

131 KK PTPN IITamora,KebunBatang Kuis

Permohonan PelepasanHGU PTPN II KebunSaentis

26 Kelompok TaniVeteran Pasar 1dan 2 Helvetia

217 Ha 175 KK PTPN IITamora,KebunHelvetia

UU Darurat No. 8Tahun 1954, KRPT,Daftar Panjang, PetaKalkir.

27 Kelompok TaniBingkat II. Kec.Perbaungan

71 Ha 150 KK PTPN IV,KebunAdolina

UU Darurat No. 8Tahun 1954.

28 Kelompok TaniBingkat III. Kec.Perbaungan

400 Ha 150 KK PTPN IV,KebunAdolina

UU Darurat No. 8Tahun 1954.

29 Kelompok TaniBingkat I. Kec.Perbaungan

104 Ha 23 KK PTPN IITamora,Kebun Melati

UU Darurat No. 8Tahun 1954.

30 Kelompok TaniPintu Air

75 Ha 110 KK PTPN II TjGarbus

UU Darurat No. Tahun

31 Kelompok TaniMulyorejo. Kec.Hamparan Perak

364 Ha 364 KK PTPN IITamora,Kebun SeiSemayang

Surat BPPST 8, 7, 8Tahun 1960.

32 Kelompok TaniPergulaan

118 Ha 300 KK PT. Lonsum

JUMLAH 6.605,59 Ha

10.020KK

Page 74: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

73Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

pada era awal rejim Orde Baru telah mengaki-batkan tercaploknya lahan milik petani seluas6.605, 59 hektar yang berdampak pada kehi-dupan 10. 020 KK. Jika ditambah dengan luaslahan Persil IV maka angka tersebut bertambahmenjadi 7. 130 hektar dan 10. 280 KK.

Terputusnya akses terhadap alat produksi(tanah) berdampak pada penghilangan identitaskehidupan petani. Situasi ini mendorong tercip-tanya krisis subsistensi dan proletarisasi massalyang berskala besar di era awal tahun 1970-an.Petani dihadapkan dengan berbagai pilihan-pilihan untuk bertahan hidup. Secara tofografimereka tetap bermukim di areal rumah yangselama ini mereka huni yang terletak menge-lilingi lahan Persil. Namun akses terhadap tanahuntuk kegiatan produksi tidak lagi dapat merekagapai. Dalam kondisi demikian petani mencobamelakukan usaha-usaha untuk bertahan hidupdengan pilihan-pilihan yang sebenarnya tidakmereka inginkan.

Sebelum peristiwa perampasan, Haji Sulai-man biasanya menanam padi di tanah Persil selu-as 2 hektar dengan sistem persawahan tadah hu-jan. Selama setahun, pemanenan dapat dilaku-kan dua kali jika curah hujan mencukupi. Hasildari pemanenan selama setahun, seperempatnyadigiling menjadi beras untuk pemenuhan kebu-tuhan pangan keluarga setahun. Dua pertiganyadijual untuk ditukar menjadi uang yang akandigunakan untuk membiayai kebutuhan nonpangan dan pendidikan anaknya. Selain memi-liki tanah Persil, Haji Sulaiman juga mempunyaisebidang tanah lain seluas 0, 5 hektar yang loka-sinya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Di atastanah tersebut ia menanam jenis tanaman buahseperti dukuh, rambutan dan pinang. Setiaptahun ia memanen dukuh dan rambutan yangselanjutnya dijual ke pasar-pasar tradisional diKota Talun Kenas ataupun Tanjung Morawa.Hasil panen disimpan dalam bentuk tabunganuntuk menjadi cadangan keuangan keluarga jika

sewaktu-waktu terjadi kebutuhan mendadak.Selama lebih dari sepuluh tahun semenjak iamengelolah kedua lahan yang dimilikinya, iadapat menabung uang dengan jumlah yang me-nurutnya dapat ditukarkan dengan enam sapi.Kondisi ekonomi keluarganya sedikit lebih baikdaripada warga-warga lain di dusun Tungkusan.

Di dusun Tungkusan terdapat sekitar 100 or-ang yang dikatakan sebagai pemilik tanah Persil.14

Sisa pemilik lainnya berjumlah 160 orang dantersebar di empat dusun yang lain. Dari 100 orangpemilik tanah Persil di dusun Tungkusan tidaksemuanya memiliki lahan cadangan seperti HajiSulaiman. Hanya sekitar 22 orang warga yangmemiliki lahan cadangan seperti Haji Sulaimandi dusun Tungkusan. Bagi Rajali dan warga du-sun Tungkusan lain yang tidak memiliki lahancadangan hanya mengandalkan pendapatanekonomi keluarga dari tanah Persil yang luasnya2 hektar. Di atas tanah 2 hektar tersebut Rajalimenanam padi seluas 1 ½ hektar, ½ hektar sisanyaia tanami jenis tanaman buah-buahan sepertirambutan dan pisang. Dari 1 ½ hektar, ia men-dapatkan rata-rata 4 ton padi dalam sekali musimpanen. ¼ dari jumlah hasil panennya ia gilingsecara berkala menjadi beras untuk kebutuhanpangan keluarga selama setahun dan sisanyadijual untuk memenuhi kebutuhan non pangandan pendidikan anaknya. Tidak hanya di dusunTungkusan, di 4 dusun yang lain (Sinembah,Limau Mungkur, Lau Barus dan Batutak) jugamemiliki kesamaan dalam bertahan hidup. Da-lam kesehariannya, warga di 4 dusun yang lainjuga bertahan hidup melalui aktif itas bercocoktanam di dalam ataupun di luar tanah Persil yangmereka miliki.

Setelah peristiwa perampasan di tahun 1972,situasi dan kondisi perekonomian rumah tangga

14 Wawancara dengan Syahrial (Anak bungsu HajiSulaiman) pada 24 April 2012.

Page 75: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

74 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

petani Persil berubah drastis. 260 KK pemilik ta-nah Persil kehilangan haknya untuk mengaksesalat produksi (tanah). Haji Sulaiman dan wargalain bertahan hidup di atas lahan cadangannya.Lahan cadangan yang semula tidak diperuntuk-kan untuk pertanian jenis tanaman panganpokok (padi) diubah sepenuhnya menjadi arealpertanian jenis tanaman pangan pokok. Hal inidilakukan untuk menghindari krisis pangankeluarga. Ia harus merelakan tanaman buah-buahan di lahan cadangan dibabat dan digantimenjadi padi ataupun ubi.

Situasi yang berbeda dialami Rajali dan wargalain yang tidak mempunyai lahan cadangan.Mereka berusaha bertahan hidup dengan men-jadi buruh upahan di lahan-lahan milik wargalain ataupun kuli bangunan di sekitar desa.Perampasan tersebut selain berdampak pada ter-cerabutnya petani dari akarnya juga mengaki-batkan peningkatan kemiskinan di wilayahKabupaten Deli Serdang pada pertengahantahun 1970-an, khususnya pada wilayah-wilayahkonflik yang disebutkan pada tabel di atas.

Selain menjadi pekerja serabutan, kulibangunan dan buruh upahan di lahan-lahanmilik warga lain, kesempatan untuk bertahanhidup juga muncul dari PTPN. Kesempatantersebut berupa tawaran-tawaran untuk bekerjamenjadi buruh di lingkungan perkebunan. Salahseorang warga dusun Limau Mungkur bernamaMak Esron (66 tahun) menceritakan penga-lamannya sebagai berikut:

“Pada masa itu saya masih ingat kira-kira tahun1975, datang kepada saya 2 orang laki-laki yangmengaku utusan dari PTPN, tetapi saya lupa na-manya. Mereka mengatakan membawa pesan dariatasan mereka yang berisi akan membantu wargadi dusun kami. Mereka menawarkan kepada kamiuntuk bergabung dan bekerja di PTPN. Setiap wargayang memiliki niat baik dan semangat kerja yangtinggi akan dipertimbangkan untuk menjadi pekerja.Pernyataan mereka langsung saya tolak karena sayamasih ingat betul ketika tanah saya dirampas mereka.

Jadi tidak akan pernah sudi keringat akan sayaberikan untuk perkebunan. Saya dan warga-wargalain yang tanahnya dirampas perkebunan juga ber-sepakat untuk tidak memberi restu kepada sanaksaudara yang ingin bekerja di perkebunan. Memangkami miskin, tapi kami akan lebih bermartabat jikakami tidak menjadi buruh di atas tanah sendiri”.Mak Esron-dusun Limau Mungkur, 18 April 2012

Dari tahun 1975-1980, PTPN II kebun LimauMungkur tetap berusaha untuk melakukanperekrutan tenaga kerja dari 5 dusun Persil. Peta-ni menganggap perekrutan tersebut merupakansebuah usaha yang tersistematis untuk penji-nakkan sikap warga yang menentang kehadiranPTPN II. Walaupun dalam kondisi ekonomirumah tangga yang semakin memburuk, hampirseluruh dari pemilik tanah Persil yang tersebardi 5 dusun tetap tidak menerima tawaran-ta-waran untuk bekerja menjadi buruh di perke-bunan. Sikap tersebut lahir dari sebuah prosespolitik yang panjang. Perkebunan dianggapmenjadi musuh petani sejak lahirnya perke-bunan-perkebunan Belanda yang telah meram-pas tanah leluhur mereka. Kebencian terhadapperkebunan kembali menguat di saat Orde Barumemperlakukan mereka dengan sewenang-wenang.

Kelangkaan dan terbatasnya kesempatankerja di sekitar desa mereka semakin mendorongpetani dalam ruang-ruang kemiskinan. Petani-petani yang memiliki lahan cadangan dalambeberapa musim panen mengalami kegagalan.Haji Sulaiman dan Mak Esron beberapa kaliselama dalam kurun waktu lima tahun (1975-1980) melakukan pinjaman kepada bank untukmenutupi biaya produksi pertanian. Pinjamandiberikan dengan menggadaikan surat tanahcadangan kepada pihak bank. Kegagalan-kega-galan panen disebabkan serangan wabah werengdi areal pertanian mereka. Wabah wereng terse-but dianggap tidak lahir begitu saja.

Menurut Haji Sulaiman, wereng mulai ada

Page 76: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

75Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

ketika PTPN II hadir di wilayah mereka. Peng-gunaan pestisida, pupuk dan cairan-cairansenyawa kimia dalam jumlah besar yang disemprotkan di areal perkebunan PTPN II terbawaair di kala musim hujan dan mengalir ke sungaiBatutak, selanjutnya aliran air masuk ke sebagianwilayah pertanian warga dan menimbulkandampak kerusakan ekosistem. Kerusakan ituberdampak pada munculnya wabah wereng pa-da tahun 1976-1980 dalam beberapa gelombang.15

Rajali dan Pak Soni (66 tahun, dusun Sinembah)warga yang digolongkan tidak memiliki lahancadangan untuk memenuhi kebutuhan hidup-nya selalu berhutang ataupun menjual hewanternak karena penerimaan atas kegiatan produksimereka selalu defisit.

Hal yang demikian terus memicu petaniterjebak dalam proses pemiskinan dan keti-dakstabilan ekonomi rumah tangga pertanian.Dalam proses ekonomi yang seperti itu, petanimengalami mobilitas profesi secara horizontaldari petani menjadi buruh lintas profesi ataupunpekerja sektor informal. Di sisi lain juga menga-lami penurunan mobilitas secara vertikal, daripetani pemilik lahan sedang menjadi petaniberlahan sempit. Perubahan-perubahan corakproduksi ini meluas pada terbentuknya relasi-relasi yang bersifat konfliktual antara perke-bunan dan petani. Relasi konfliktual yang berba-sis pada perbedaan kepentingan ini secara perla-han mendorong radikalisme petani dalam ben-tuk perlawanan-perlawanan yang dilakukandengan diam-diam ataupun terbuka. Sepertiyang diungkapkan oleh Scott (1993), bahwapemutusan dan penghilangan akses terhadapalat produksi (tanah) terhadap petani secarasepihak akan memposisikan petani sebagai pihak

yang terpojokkan, dan sewaktu-waktu dalamkondisi yang dirasa aman maka akan mencip-takan suatu perlawanan dan pemberontakansecara kolektif.

2. Berburu di Areal Perkebunan danAksi Diam-diam

Dusun Tungkusan merupakan dusun denganjumlah penduduk terbesar daripada empatdusun yang lainnya. Menurut catatan statistikDesa Tadukan Raga, penduduknya pada tahun1995 mencapai 856 jiwa dengan jumlah laki-laki515 dan 341 perempuan. Diantara jumlah terse-but, yang memiliki pekerjaan tetap sebagai Pega-wai Negeri Sipil (PNS) hanya berjumlah 6 orang.Sisanya berprofesi sebagai buruh upahan, kulibangunan, dan petani lahan kecil. Setengah darijumlah keseluruhan penduduk dusun Tung-kusan memiliki hubungan kekerabatan denganpemilik tanah Persil. Namun setengah lainnyasama sekali tidak memiliki hubungan kekera-batan dan bukan sebagai ahli waris tanah Persil.Penduduk yang sama sekali tidak memiliki hu-bungan kekerabatan dengan pemilik tanah Persilterdapat beberapa orang yang bekerja di perke-bunan sebagai buruh rendahan. Keterbatasanlapangan perkerjaan serta tidak terdapatnyahubungan biologis dengan pemilik tanah Persilmerupakan faktor-faktor yang mempengaruhiseseorang menerima pekerjaan sebagai buruhperkebunan. Walaupun demikian, hal itu tidakmemicu ketegangan dalam hubungan-hu-bungan sosial keseharian antar warga.

Dalam kesehariannya pemuda-pemudadusun Tungkusan memilih bekerja sebagaipengeruk pasir (bonjor) di Sungai Blumei yangbersebelahan dengan tempat tinggal mereka.Mereka bekerja dengan sistem manual melaluipenyelaman tanpa perlindungan alat-alat ke-amanan. Pekerjaan itu mulai dilakukan sejaktahun 1995 ketika sekelompok pengusaha dariKota Tanjung Morawa mendapatkan ijin penge-

15 Hasil wawancara dengan Mak Esron (66 tahun) wargadusun Limau Mungkur. Ia mengatakan sebelum kehadiranPTPN II di wilayah mereka wereng tidak pernah ada.

Page 77: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

76 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

rukan dan pemanfaatan pasir sungai dari peme-rintahan Kabupaten Deli Serdang. Namunsemenjak para pengusaha menggunakan teknikpengerukan yang lebih canggih melalui mesin-mesin penyedot, tenaga manusia menjadi tidakdibutuhkan. Pemuda-pemuda tersebut kembalimenjadi pengangguran ataupun buruh sera-butan di sekitar-sekitar desa.

Pemuda pengangguran desa sesekali meman-faatkan waktu dengan berburu pada malam haridi kawasan-kawasan sekitar desa, terutama dipinggiran perkebunan. Hewan buruan bernilaiekonomi tinggi adalah ular sawah dan babi hu-tan. Mereka melakukan pemburuan menggu-nakan senapan angin dan tombak bermata maja.Satuan petugas keamanan perkebunan PTPN IImemberikan izin bagi para pemburu untukmemasuki kawasan perkebunan. Kebijakan inibermula, setelah populasi babi hutan yang dika-tegorikan sebagai hama pengganggu tanamanmeningkat di areal tersebut. Dengan ijin itu parapemuda secara berkelompok melakukan pem-buruan di kawasan-kawasan perkebunan PTPNII. Setelah beberapa kali melakukan pemburuan,kemudahan-kemudahan perijinan didapatkandengan mudah dalam waktu-waktu selanjutnya.Terkadang tanpa harus melapor kepada pihakpetugas keamanan, mereka dapat langsung me-masuki areal perkebunan.

Mula-mula situasi itu hanya dimanfaatkanuntuk memburu hewan yang bernilai ekonomitinggi. Tapi mereka menyadari sesuatu yang lainjuga akan mendatangkan keuntungan, yaitumencuri tandan buah kelapa sawit segar. Sejarahperampasan yang dialami oleh orang tua merekamendorong terbentuknya kesadaran politikuntuk mengganggu aktif itas produksi perke-bunan. Bahkan terputusnya sekolah sebagianpara penganggur ini disadari akibat sejarah tahun1972. Secara perlahan beberapa perencanaanuntuk mencuri buah kelapa sawit kecil-kecilanini dilakukan dengan hati-hati dan secara sadar

mereka juga mengetahui akibat yang akan dipi-kul jika aksi tersebut diketahui oleh petugaskeamanan. Pencurian dilakukan hanya seming-gu sekali secara bergantian. Kelapa sawit hasilcurian dimasukkan ke dalam karung buruan.Selanjutnya kegiatan berburu digunakan sebagaialat dan taktik untuk bisa mengakses masuk kewilayah perkebunan secara terus menerus. He-wan-hewan buruan tidak lagi menjadi targetutama, bahkan secara sengaja dibiarkan agarproduksi kelapa sawit perkebunan semakin me-nurun sekaligus memperluas kesempatankegiatan berburu dapat terus dilakukan karenahewan yang dianggap pengganggu tanaman itupopulasinya sengaja dibiarkan meningkat.16

Gaya perlawanan cerdas ini merupakan ben-tuk perlawanan yang oleh Scott disebut bersifatBrechtian. Perlawanan yang sedikit atau samasekali tidak membutuhkan kordinasi atauperencanaan luas dan secara sengaja menghin-dari konfrontasi simbolis dengan kelas pengu-asa.17

Melihat perkembangan yang tidak menun-jukkan pada penurunan populasi babi hutan,pihak perkebunan melakukan penambahan jum-lah petugas keamanan yang dilengkapi dengansenapan angin berjenis khusus. Operasi rutinperburuan babi hutan ditingkatkan. Walaupunpihak perkebunan tetap memberikan ijin kepadapara pemuda untuk ikut dalam perburuan na-mun operasi rutin yang dilakukan perkebunansemakin mempersempit ruang gerak merekamelakukan pencurian buah kelapa sawit.

16 Ramlan, salah seorang warga dusun Sinembah yangkerap melakukan perburuan bersama pemuda dusunTungkusan menyatakan mereka sengaja membiarkan hewanpengganggu tanaman tidak diburu. Dengan demikianpopulasi babi hutan semakin meningkat dan hal tersebuttetap memberikan peluang kepada mereka mendapat alasanuntuk bisa terus mengakses perkebunan dengan dalihberburu kepada pihak petugas keamaman PTPN II.

17 James C Scott, 1997. Senjatanya Orang-orang YangKalah. Jakarta: YOI, hlm. xxiii.

Page 78: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

77Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

Selama lebih dari dua dekade, kehidupanekonomi rumah tangga petani menjadi porak-poranda. Segala bentuk strategi bertahan hiduptelah dilakukan dengan berbagai cara, namunpetani dihadapkan pada suatu kenyataan kemis-kinan yang bergerak secara progessif. Kekuasaanmodal (capital) di era rejim Orde Baru yangditransformasikan dalam bentuk industri perke-bunan telah menghancurkan tatanan masyarakatpetani pedesaan. Dengan berbagai cara, modal(negara ataupun swasta) mengambil alih perta-nian dan mengubah secara mendasar bentuk-bentuk tatanan masyarakat di dalamnya yangselanjutnya memproduksi kemiskinan secara sis-tematis di atas tatanan masyarakat baru (kapi-talistik).

Dalam ranah agraria, akumulasi primitif yangberasal dari sejarah perkembangan kapitalismeini telah mencirikan bentuk-bentuk transformasi,diantaranya adalah mengubah kekayaan alammenjadi modal dan kaum tani diubah menjadiburuh tani. Skema pembangunan Orde Baruyang ditandai pada tingginya angka perampasantanah-tanah petani akhirnya menghasilkan suatukonflik-konflik struktural di berbagai daerah,khususnya di wilayah-wilayah pinggiran perke-bunan Sumatera Utara hingga saat ini.

D. Transformasi Perlawanan Petani

1. Awal Mula Terjadinya Gerakan SosialPetaniSetelah melewati proses waktu panjang

dengan kondisi perekonomian yang semakintidak mencukupi kebutuhan keluarga, petanitetap berusaha mencari alternatif untuk keluardari kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Selain itumereka juga mulai membayangkan persoalan-persoalan jumlah angka pemilik lahan yangmasih hidup semakin menurun. Petani berang-gapan jika para generasi pertama (pemilik lahanPersil) tidak memulai sesuatu untuk merebuttanah mereka dari perkebunan maka untuk sela-

manya status kepemilikan tanah itu akan sema-kin tidak jelas. Walaupun segala sesuatu yangakan dilakukan tidak akan mengembalikantanah mereka pada masa itu tetapi petani berke-yakinan dengan memulai sesuatu minimal telahmewariskan sejarah perjuangan yang akan terusdilanjutkan kepada generasi selanjutnya.

Awal tahun 1996, segelintir petani mencobauntuk melakukan sebuah diskusi rutin terkaitpenyelesaian atas tanah Persil. Pertemuan dila-kukan secara bergiliran di setiap dusun. Dalampertemuan tersebut di sepakati untuk mengirim-kan surat pengaduan kepada Wakil Presidenmelalui “Tromol Pos 5000”.18 Petani beranggapansurat pengaduan itu merupakan cara terakhiryang mereka tempuh untuk mencari keadilanlewat jalur formal.

Setiap dusun mendelegasikan satu orang un-tuk menandatangani surat pengaduan yang diki-rim pada tanggal 8 Agustus 1996. Mereka adalahHaji Sulaiman, Polin Silalahi, Nazarudin Purba,Nampat Sembiring dan K. Berutu. Di luar duga-an, surat tersebut mendapatkan jawaban atasnama Asisten Wakil Presiden yang berisikan agarpetani melaporkan perkara itu kepada Bupati DeliSerdang. Selanjutnya petani menindak lanjutidengan mengirimkan surat pengaduan lanjutankepada Bupati Deli Serdang.

Bupati Deli Serdang pada tanggal 21 Februari1997 mengeluarkan surat jawaban dengan No-mor. 593/15/RHS yang isinya antara lain menya-rankan agar petani menyelesaikan permasalahankasus tanah Persil melalui jalur hukum. Situasiini mendorong lahirnya sebuah harapan baruterkait penyelesaian kasus perampasan yangmereka hadapi. Informasi-informasi dan jawaban

18 Tromol Pos 5000 adalah kotak surat pengaduan yangditujukan untuk pemerintahan Pusat (Presiden/wakilPresiden). Siapa saja berhak mengirim surat pengaduan,secara perorangan maupun organisasi, yang berisi tentangpersoalan-persoalan yang sedang dihadapi.

Page 79: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

78 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

dari surat-surat yang diterima di kelola oleh HajiSulaiman cs untuk mengkonsolidasikan perju-angan petani. Haji Sulaiman merupakan salahsatu orang yang mempunyai pengaruh cukupbesar di dusun Tungkusan. Ia di anggap cukupgigih dan konsisten dalam perjuangan sehinggamasyarakat sering menyebutnya sebagai “tokohpenggerak”. Di sisi lain ketaatan agama serta gelarhaji yang melekat pada dirinya semakin mem-perkuat kharisma yang dimilikinya. Begitu jugadengan Polin Silalahi, seorang warga dusunBatutak yang dianggap tokoh agama mewakilipetani beragama Kristen. Kedua orang itu diang-gap tokoh kunci dan pemersatu perjuangan peta-ni yang mulai menggelora.

Krisis ekonomi dan politik yang memuncakpada jatuhnya Soeharto pada 20 Mei 1998 telahmenjadi katalisator meledaknya kekuatan-keku-atan petani yang selama ini memilih jalur perla-wanan bawah tanah. Puluhan ribu KK petani DeliSerdang telah menunggu lama jatuhnya Soehar-to, khususnya petani yang kehilangan tanah diawal 1970-an. Euforia reformasi menyulut keben-cian-kebencian petani untuk melakukan perla-wanan-perlawanan terbuka. Zaman reformasi dianggap suatu era transisi politik, dari otoritarianmenuju demokratis. McAdam, Tarrow, dan Tillydalam bukunya yang berjudul Dynamics ofContentation (2001) menyatakan gerakan sosialterbuka cenderung terjadi di dalam masyarakattransisional.

Seminggu setelah kejatuhan Soeharto, ribuanpetani di pinggiran perkebunan Deli Serdangmenduduki kembali lahan mereka (reclaiming).Organisasi-organisasi yang mengatasnamakan“kelompok perjuangan petani” muncul secaraspontan di beberapa kecamatan dalam wilayahKabupaten Deli Serdang. Diantaranya 4 kelom-pok tani di Kecamatan Patumbak, yaitu : Kelom-pok Tani Sigara-gara I, II, Lantasan Lama danKurnia Negara Namosuro. Pendudukan lahanitu segera disusul oleh kelompok-kelompok tani

lain yang tersebar di beberapa kecamatan. Aksidilakukan dengan membabat seluruh lahan dantanaman perkebunan PTPN II.

Menurut catatan Badan Advokasi HukumSumatera Utara (BAKUMSU), NGO yang ber-gerak di bidang advokasi hukum, menyatakangerakan pendudukan lahan oleh petani di wila-yah perkebunan PTPN juga terjadi di KabupatenLangkat, Asahan dan Labuhan Batu dalam jum-lah besar di akhir Mei 1998. Gerakan pendudukantersebut mendorong lahirnya pembelajaran poli-tik petani secara massal dan selanjutnya ditiruoleh masyarakat petani di wilayah-wilayah ping-giran perkebunan, terutama di wilayah rawankonflik pertanahan. Perkebunan dianggap men-jadi musuh bersama petani.19

Meluasnya gerakan pendudukan lahan diDeli Serdang berpengaruh terhadap psikologispetani Persil. Kelompok tani di KecamatanPatumbak yang terletak tidak jauh dari wilayahPersil dianggap telah berhasil mendapatkan tanahmereka kembali. Pembabatan tanaman yang me-reka lakukan mengakibatkan terhentinya ke-giatan produksi perusahaan perkebunan. Isu-isutentang reformasi dan pelanggaran HAM mem-persempit PTPN untuk melakukan represif itasterhadap gerakan petani. Bahkan seminggu sete-lah jatuhnya Soeharto, aktif itas penjagaan kea-manan di lingkungan PTPN II terlihat menurun.

Melihat perkembangan ini, Haji Sulaiman csmengajak seluruh petani Persil untuk mendu-duki lahan pada awal Juni 1998. Seluruh pemiliklahan beserta para kerabat secara bergelombangmulai menduduki tanahnya. Di atas lahan itu,320 hektar tanaman karet yang telah ditanamisejak tahun 1972 diganti menjadi tanaman kelapasawit pada awal tahun 1998 oleh PTPN II. Sebe-lum kejatuhan Soeharto seluruh areal Persil

19 Soeharto dianggap menjadi musuh bersama seluruhrakyat Indonesia, perkebunan dianggap menjadi musuhbersama seluruh petani, Rajali-dusun Tungkusan.

Page 80: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

79Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

dengan luas 525 hektar telah diseragamkan men-jadi perkebunan kelapa sawit. Namun 320 hektarmasih tergolong tanaman kelapa sawit berumurmuda, 205 hektar sisanya merupakan tanamankelapa sawit berumur tua. Pendudukan dilaku-kan di atas lahan 320 hektar tanaman kelapa sawitmuda. Hal ini dilakukan untuk mempermudahpembabatan terhadap tanaman di atasnya. Mere-ka menyepakati setiap KK mendapatkan 6 rante(1 rante: 20 x 20 m) dan selanjutnya ditanamidengan tanaman palawija.

Haji Sulaiman dan para panandatangan suratpengaduan Tromol Pos berinisiatif untuk melan-jutkan dan menindaklanjuti surat jawaban Bupa-ti Deli Serdang dengan cara mendatangi komisiA DPRD Deli Serdang. Petani merasa sudahberhasil mendapatkan tanah mereka kembali.Namun mereka tetap berkeinginan untuk men-dapatkan kepastian hukum atas tanah tersebut.DPRD Deli Serdang merespon laporan petanidengan mengadakan sebuah pertemuan “dengarpendapat” pada tanggal 27 Oktober 1998. Perte-muan itu dihadiri oleh Kepala Badan Pertanahan(BPN) tingkat II Deli Serdang, Kepala Adminis-trasi PTPN II kebun Limau Mungkur, CamatSTM Hilir, Kepala Desa Tadukan Raga, Lau BarusBaru dan Limau Mungkur serta seluruh petanipemilik tanah Persil.

Dalam pertemuan tersebut disimpulkanbahwa lahan Persil IV seluas 525 hektar tidaktermasuk dalam HGU PTPN II kebun LimauMungkur. Hal ini berdasarkan sertif ikat HGUdan hak Konsesi Limau Mungkur Nomor.02.04.08.05.2.0001 yang dikeluarkan MenteriDalam Negeri dengan surat keputusan Nomor.13/HGU/DA/1975 serta Surat Ukur Nomor.1450/08/1993.

ADM PTPN II Kebun Limau Mungkur men-jelaskan bahwa tanah yang dikuasai dan diusahaioleh PTPN II Kebun Limau Mungkur adalahseluas 2322 hektar. Namun BPN Tk II Deli Ser-dang sebagai perwakilan negara yang memiliki

otoritas pertanahan menjelaskan bahwa berda-sarkan Keputusan Nomor.13/HGU/DA/1975 danSurat Ukur Nomor.1450/08/1993, PTPN II KebunLimau Mungkur hanya mengantongi ijin HGUseluas 1400 hektar. Dengan demikian, tanah selu-as 2322 hektar yang dikuasai oleh PTPN II KebunLimau Mungkur terdapat sisanya seluas 922hektar yang tidak memiliki sertif ikat HGU. Per-temuan itu semakin memperjelas bahwa didalam lahan 922 hektar terdapat tanah petaniPersil IV seluas 525 hektar yang dirampas PTPNII pada tahun 1972. Sisanya (922-525) 397 hektarjuga diyakini milik petani Persil V yang dirampaspada tahun 1972.20

Kepala Desa Tadukan Raga, Limau Mungkurdan Lau Barus dalam pertemuan itu menge-luarkan pendapat bahwa tanah seluas 922 hektarmerupakan tanah milik petani Persil IV dan Vyang dirampas PTPN II Kebun Limau Mungkurpada tahun 1972, selanjutnya para Kepala Desamenyarankan agar tanah yang dipersengkatakansegera dikembalikan kepada masyarakat sesuaidengan bukti-bukti kepemilikan yang dimiliki.

Selain keberhasilan dari kelompok-kelompoktani lain dalam menduduki lahan, surat-suratjawaban ataupun rekomendasi dari Asisten Wa-kil Presiden, Bupati, dan rapat dengar pendapatjuga menjadi faktor-faktor penting meyakinkanpetani untuk terus melakukan perjuangan.Kemenangan dirasakan sudah di depan mata.Reformasi dimaknai menjadi suatu kesempatanuntuk mendapatkan keadilan karena terbukanyaakses-akses institusional. Terbukanya akses-aksesinstusional, melemahnya kedudukan negara(Orde Baru) mencirikan suatu bentuk masyara-kat yang sedang mengalami transisi politik.Situasi ini memunculkan kecenderungan situasiperlawanan rakyat di dalamnya dengan karakteryang lebih terbuka. Segala sesuatu yang dimaknaisebagai kesempatan akan menciptakan nilai-nilai

20 Notulensi rapat dengar pendapat, 27 Oktober 1998.

Page 81: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

80 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

yang selanjutnya dimobilisasi sebagai kekuatan-kekuatan perubahan social.21

Petani menggunakan segala bentuk strategidalam perjuangannya. Walaupun dalam pendu-dukan lahan yang mereka lakukan tidak menga-lami represif itas dari pihak-pihak perkebunan,namun mereka tetap menempuh perjuangandengan cara-cara yang disebut sebagai jalur legaldan ekstra legal. Dua bentuk perjuangan ini mere-ka gunakan untuk memenangkan dua wilayahyang cukup berbeda, hukum dan non hukum.Bagi mereka keputusan hukum akan mele-gitimasi secara permanen terhadap kepemilikantanah sekaligus untuk memudahkan bentuk-bentuk kegiatan transaksional, seperti pembagianwarisan ataupun jual beli jika tanah telah dikuasaisecara penuh. Kepemilikan tanah Persil IV yangtidak bersifat komunal menjadi faktor pentingterbentuknya perjuangan yang masih memper-cayai kemenangan hukum formal. Berbedadengan karakter perjuangan masyarakat berciri-kan kepemilikan tanah komunal, yang biasanyatidak mengadopsi perjuangan-perjuangan legalketika berhadapan dengan kekuasaan negarakarena di dalam masyarakat tersebut padaumumnya tanah bersifat kepemilikan kolektifdan sosial sehingga tidak dibenarkan untuk ditransaksikan dalam kegiatan-kegiatan komersial.

Pada tanggal 24 Maret 1999, BPN Tk II DeliSerdang mengeluarkan surat keputusan denganNomor.410.874/P3/1999 yang berisikan penje-lasan bahwa tanah Persil IV yang dituntut olehpetani adalah di luar HGU PTPN II kebun LimauMungkur. Setelah keputusan BPN ini dikelu-arkan, petani mengajukan surat permohonankepada Camat STM Hilir untuk menindaklanjutidengan menuntut dibuatnya surat keteranganCamat agar legitimasi atas kepemilikan tanahtersebut menjadi semakin kuat.

2. Menempuh Perjuangan Legal:Menang di Atas Kertas

Keputusan-keputusan lembaga negara sudahdianggap berpihak kepada petani. Namun PTPNII kebun Limau Mungkur tetap tidak mengelu-arkan keputusan untuk menyerahkan tanahpersil kepada petani. Petani menyepakati untukmenempuh jalur legal, menggugat PTPN II dilembaga peradilan. Petani berkeyakinan denganbukti-bukti kepemilikan serta keputusan-ke-putusan politik yang sudah di dapatkan akanmemenangkan gugatan yang mereka ajukan.Petani Persil IV mengajak Petani Persil V untukbergabung melakukan gugatan perdata terhadapPTPN II.

Untuk menuntut PTPN II di lembaga pera-dilan bisa dilakukan dengan gugatan pero-rangan. Namun petani memilih untuk menuntutsecara berkelompok. Atas kesepakatan itu, petaniPersil IV dan V menggunakan sebuah organisasikoperasi milik petani Persil V yang bernama“Koperasi Juma Tombak” untuk menuntut PTPNII di lembaga peradilan. Aliansi ini bermula padasatu pandangan untuk memudahkan keme-nangan secara bersama, selain itu karena letakkedua lahan (Persil IV dan V) sama-sama beradadalam kawasan PTPN II kebun Limau Mungkur.Mereka membentuk satu kepengurusan perju-angan bersama. Petani Persil IV memilih perwa-kilan-perwakilannya untuk di susun menjadikepengurusan kolektif dengan perwakilan-perwakilan Petani Persil V. Haji Sulaiman danpara penandatangan Tromol Pos terpilih menjadiperwakilan dari Persil IV. Sementara di Persil V,Supandi, seorang petani yang juga menjabat seba-gai Kepala Desa Lau Barus Baru terpilih menjadisalah perwakilan dari beberapa orang yang ter-pilih. Kepengurusan kolektif bertanggung jawabmemimpin perjuangan di jalur legal (peradilan)serta wajib mendistribusikan segala bentukperkembangan informasi kepada seluruh petani

21 Doug McAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly,Dynamics of Contention. New York: Cambridge Univer-sity Press, 2001.

Page 82: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

81Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

terkait perjuangan yang di tempuh melalui jalurlegal.

Pada tahun 1999, petani menggugat PTPN IIkebun Limau Mungkur di Pengadilan NegeriLubuk Pakam. Putusan Pengadilan NegeriLubuk Pakam dengan Nomor.61/Pdt.G/1999mengabulkan tuntutan petani. PTPN II diwa-jibkan membayar ganti rugi material 74 Milyarrupiah dan diharuskan untuk mengembalikantanah seluas 922 hektar kepada petani. Putusanpengadilan ini meningkatkan kepercayaan dirimereka untuk tetap menduduki lahan. Aktif itasproduksi perkebunan PTPN II lumpuh total.Tingkat keamanan di wilayah administrasikebun Limau Mungkur tidak berjalan normal,kegiatan pemanenan kelapa sawit oleh PTPN IIdi atas areal 205 hektar kelapa sawit tua Persil IVterhenti setelah putusan Pengadilan NegeriLubuk Pakam mengabulkan tuntutan petani.

Dalam menjalani proses persidangan dilembaga peradilan, petani hanya mengandalkansumber keuangan yang didapatkan dari iuranwajib. Keuangan di kelola untuk membayarsejumlah biaya administrasi persidangan danhonor pengacara. Kegiatan pertanian di atas areal320 hektar yang telah mereka kuasai tidakmencukupi biaya-biaya operasional yang dibu-tuhkan selama proses persidangan. Melihatperkembangan situasi keamanan PTPN II di atasareal 205 hektar yang semakin lumpuh total,petani menyepakati untuk memanen kelapasawit sebagai sumber keuangan perjuangan.Sejak itu, petani mendapatkan sumber-sumberlogistik yang cukup besar. Pemanenan kelapasawit di lakukan 2 kali dalam satu bulan.

Mendapatkan putusan kekalahan di tingkatPengadilan Negeri, PTPN II menempuh upayahukum “banding” di tingkat pengadilan Tinggiyang berkedudukan di Kota Medan. Langkahini ditempuh PTPN II bertujuan untuk menga-lahkan gugatan yang diajukan petani sekaligusmenggugurkan putusan Pengadilan Negeri

Lubuk Pakam. Namun pada tahun 2000, Penga-dilan Tinggi Sumatera Utara memutuskanperkara tersebut dengan Nomor.230/Pdt/2000menolak pengajuan banding PTPN II. MajelisHakim Pengadilan Tinggi memutuskan tanahseluas 922 hektar harus dikembalikan kepadapihak penggugat (petani) dan PTPN II diwajib-kan untuk membayar ganti rugi material 49Milyar rupiah kepada petani.

Kemenangan ini dirayakan petani denganmemagar seluruh areal PTPN II kebun LimauMungkur, khususnya wilayah Persil IV dan V.Pemagaran ini dimaksudkan untuk melumpuh-kan secara total aktif itas produksi PTPN II.Perlawanan semakin luas dan terbuka. Pema-garan dan pendirian plank-plank yang bertulis-kan “tanah ini milik rakyat” di lakukan secaraserentak.

Setelah 2 kali mendapatkan kekalahan di lem-baga peradilan, PTPN II pada tahun 2001 meng-gunakan pihak ketiga, yaitu preman-premanbayaran pimpinan “Anto Keling” untuk mengin-timidasi kegiatan pendudukan lahan yangsedang dilakukan petani. Anto Keling adalah seo-rang pengusaha perkebunan swasta dan me-mimpin salah satu organisasi kepemudaan diDeli Serdang.22 Intimidasi tersebut berlanjutdengan pembabatan seluruh tanaman milikpetani di atas lahan 320 hektar dan berujung padasebuah bentrokan. Bentrokan mengakibatkanseorang petani Persil IV (Rajali) menjadi korbankarena terkena bacokan senjata tajam berjenispedang.23

“Saya masih ingat peristiwa tersebut, di saat kamidua kali dimenangkan oleh pengadilan, PTPN IImendatangkan preman bersenjata dalam jumlah

22 Wawancara dengan Bang Esron (Informan), dusunLimau Mungkur, 23 April 2012.

23 Rajali merupakan salah seorang petani yang berasaldari dusun Tungkusan. Ia menjadi korban dalam bentrokanyang terjadi pada tahun 2001 dan mengalami cacat permanenhingga kini.

Page 83: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

82 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

besar. Hampir seratus orang kira-kira jumlahmereka. Kami tahu mereka akan datang ke lahankami, kemudian kami bersiap untuk menghadapimereka. Namun mereka sepertinya lebih ahli dalammenggunakan senjata, seperti pasukan terlatih. Sayatersungkur, bahkan saya kira sudah mati. Namunsaya masih hidup setelah satu bulan dirawat di rumahsakit, tapi ya begini dengan kondisi banyak besi/pen di tangan saya. Rajali-dusun Tungkusan”.

Sebagian besar sumber keuangan/kas orga-nisasi petani digunakan untuk biaya pengobatanRajali di rumah sakit. Di sisi lain pasca bentrokantersebut, lahan Persil IV seluruhnya dikuasaioleh Anto Keling cs, dan lahan 320 hektar yangtelah dibabat oleh petani kembali ditanami kelapasawit oleh PTPN II. Sumber-sumber keuanganyang biasanya di dapatkan dari pemanenankelapa sawit di atas lahan 205 hektar tidak lagiberjalan. Anto Keling cs digunakan PTPN IIuntuk melakukan penjagaan keamanan pena-naman lahan 320 hektar dan pemanenan kelapasawit di areal 205 hektar.

Setelah menguasai lahan Persil IV, PTPN IImemberi kuasa kepada pihak Anto Keling csuntuk melakukan pemanenan di areal Persil V.Menurut salah seorang warga dusun LimauMungkur, Esron Ginting, mengatakan bahwapemberian kuasa tersebut adalah suatu tindakancacat hukum karena penggugat (petani) dantergugat (PTPN II) dalam proses berperkara tidakberhak memberi kuasa kepada siapapun sebelumadanya keputusan hukum tetap (eksekusi). Iamenambahkan pemberian kuasa itu selainmerupakan tindakan cacat hukum juga sebagaisalah satu usaha PTPN II untuk mendorong kon-flik horizontal.

Setelah berhasil menguasai lahan Persil IVdan V melalui pihak ketiga, PTPN II mengajukanupaya hukum “Kasasi” di tingkat MahkamahAgung. Upaya ini ditempuh PTPN II melalui ku-asa hukumnya, Posman Nababan, SH, untukmembatalkan putusan hukum Pengadilan Ting-gi Sumatera Utara. Putusan Mahkamah Agung

pada tahun 2004 dengan Nomor. 1611.K/Pdt/2004 menolak permohonan kasasi yang diajukanPTPN II. Persidangan yang dipimpin oleh AbdulRahman Saleh, SH, MH tersebut memutuskanbahwa PTPN II harus mengembalikan tanahseluas 922 hektar dan membayar ganti rugi ma-terial 49 Milyar kepada petani.

Setelah keluarnya putusan Mahkamah Agungyang menolak permohonan Kasasi PTPN IIsekaligus mempertegas secara hukum keme-nangan terhadap petani, PN Lubuk Pakam mem-buat penetapan eksekusi dengan Nomor.14/Eks/2004/61/Pdt/99 PN-LP. Penetapan eksekusi itumewajibkan PTPN II untuk menyerahkan tanahseluas 922 hektar dan membayar ganti rugi ma-terial 49 milyar rupiah kepada petani selambat-lambatnya 8 hari sejak penetapan itu dikeluar-kan.

Walaupun petani tidak lagi menduduki lahansejak peristiwa penyerangan kelompok AntoKeling Cs pada tahun 2001, namun petani tetapmelakukan gugatan hukum terhadap PTPN II.Kemenangan atas gugatan dari Pengadilan Nege-ri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agungmenjadi cukup bukti bagi petani untuk melaku-kan pendudukan lahan kembali. Penetapaneksekusi yang dikeluarkan oleh PengadilanNegeri Lubuk Pakam itu dianggap sebagai sum-ber kekuatan hukum tetap.

Organisasi perjuangan petani “Juma Tombak”mengkonsolidasikan seluruh petani untuk“turun ke lahan” saat eksekusi dilakukan.24 Na-mun saat eksekusi akan dilakukan, pihak PTPNII tetap menempatkan pihak ketiga (Anto Kelingcs) menjaga keamanan areal lahan perkebunan.Eksekusi dibatalkan karena PTPN II menyatakantelah mengajukan permohonon PeninjauanKembali (PK) atas putusan Kasasi di MahkamahAgung. Dengan dalih itu, PTPN II menyatakan

24 Turun ke lahan adalah istilah yang diartikan olehpetani sebagai tindakan turun ke lahan.

Page 84: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

83Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

putusan Kasasi belum menjadi kekuatan hukumtetap.

Upaya permohonan PK yang diajukan PTPNII dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Hal inimengakibatkan putusan Kasasi yang memenang-kan tuntutan petani secara hukum dianggaptidak berlaku. Petani menjadi sangat kecewa atasdikabulkannya PK PTPN II di Mahkamah Agungkarena lembaga tersebut dianggap mengelu-arkan 2 putusan yang berbeda. PTPN II menya-takan keberhasilan PK yang mereka ajukan diMahkamah Agung bersumber dari adanya salahseorang pengurus koperasi “Juma Tombak” yangberkhianat dengan memberikan kesaksian kepa-da PTPN II bahwa ia tidak pernah ikut memberitanda tangan dalam pendirian koperasi “JumaTombak”. Kesaksian tersebut menjadi materidikabulkannya PK PTPN II di MahkamahAgung. Keterangan PTPN II itu tidak dipercayaioleh petani dan dianggap hanya sebuah rekayasauntuk memecah belah perjuangan. Namunpetani Persil IV secara perlahan mulai memper-cayai keterangan PTPN II terkait penghianatantersebut. Hal ini disebabkan salah seorangpengurus “Koperasi Juma Tombak” yang berasaldari Persil V dicurigai telah mendapatkan sejum-lah uang dari PTPN II dengan pembuktian or-ang tersebut menjadi “kaya mendadak”. Terjadiperpecahan di tubuh organisasi perjuangan peta-ni Persil IV dan V. Petani Persil IV memilih untukmemisahkan diri dari Petani Persil V, Haji Sulai-man cs bersepakat mengeluarkan diri dari orga-nisasi perjuangan “Koperasi Juma Tombak”.

Selama 8 tahun (1996-2004), petani telahmelakukan perjuangan dengan cara-cara yangmereka yakini. Perjuangan dipilih dengan 2 carayang berbeda dalam waktu yang bersamaan,perjuangan legal dan ekstra legal. Perjuanganlegal yang semula diyakini berhasil untukmengembalikan tanah berakhir dengan ketidak-pastian. Perjuangan ekstra legal (reclaiming)dihadapkan dengan intimidasi-intimidasi dari

pihak PTPN II.Era transisi politik (reformasi) yang dimaknai

petani sebagai era keterbukaan, melahirkan pelu-ang dan kesempatan yang selanjutnya dimobi-lisasi menjadi kekuatan-kekuatan untuk meraihkemenangan. Putusan-putusan pengadilan dianggap sebagai sumber daya eksternal yang bisadimanfaatkan untuk membangun perlawanandengan cara-cara yang lebih terbuka. MenurutMcAdam, mobilisasi kekuatan-kekuatan ekster-nal akan terus berubah seiring dengan situasipolitik yang berpihak kepada para aktor (petani)atau sebaliknya. Pertikaian dan perlawanan akansemakin meningkat ketika situasi kehidupansehari-hari semakin menekan dan melampauibatas toleransi petani. Namun ketika para petanikembali dihadapkan pada situasi yang tidakmenguntungkan dan sumber-sumber kekuataneksternal melemah, petani akan kembali memilihstrategi-strategi perlawanan lain. Kemenangan-kemenangan petani di ranah hukum formal (le-gal) tidak berbanding lurus dengan harapanyang mereka inginkan, sehingga petani menye-but kemenangan itu dengan istilah “menang diatas kertas”.

3. Belajar Dari Keberhasilan KelompokTani Lain

Sejak PTPN II berhasil menguasai kembalilahan Persil IV dan V pada tahun 2001 denganmemobilisir preman-preman bayaran pimpinanAnto Keling cs serta dikabulkannya permohonanPeninjauan Kembali (PK) PTPN II di MahkamahAgung semakin mempersempit ruang gerakpetani untuk menduduki lahan. Petani memilihuntuk tidak menduduki lahan karena penjagaankeamanan di atas areal Persil IV semakin diper-ketat dengan penambahan jumlah pasukan ke-amanan.

Haji Sulaiman, Polin Silalahi, Rajali danseluruh petani Persil IV merefleksikan perju-angan yang selama ini mereka lakukan. Mereka

Page 85: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

84 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

merencanakan sebuah pertemuan untuk mem-bahas persoalan tersebut sekaligus mengundangkelompok tani Kecamatan Patumbak yangdianggap telah berhasil secara penuh menda-patkan tanah perjuangan. Dalam pertemuantersebut, delegasi kelompok tani Patumbakmengatakan:

“Perjuangan di meja pengadilan memang seringdimenangkan oleh petani, tetapi petani tetap tidakbisa menguasai lahannya secara penuh. PTPN IIselalu menggunakan preman yang dibayar dari sawityang ada di atasnya. Maka cara yang tepat adalahmembunuh kelapa sawit itu. Jika kelapa sawit itutidak lagi ada maka PTPN II tidak lagi bisa membayarpreman. Dengan cara itulah kami berhasil men-duduki lahan kami.”

Pernyataan delegasi kelompok tani Patumbakdalam pertemuan itu menjadi sebuah materi ref-leksi perjuangan petani Persil IV. Dari pernyataanitu, petani baru menyadari areal 205 hektartanaman kelapa sawit tua di lahan Persil IVmenjadi sumber keuangan utama untuk meno-pang pembiayaan operasional PTPN II dalammembiayai para preman. Pertemuan refleksimenyimpulan bahwa tanaman kelapa sawit tuadi areal 205 hektar harus dimusnahkan.

Untuk memusnahkan tanaman kelapa sawit,petani Patumbak menyarankan untuk di bor danselanjutnya dimasukkan racun rumput. Cara lainuntuk memusnahkan tanaman kelapa sawit jugabisa di lakukan dengan membakar, namun caratersebut mengundang resiko yang cukup besarberupa penangkapan dari petugas keamananPTPN II terhadap petani. Satu botol racun rum-put volume 1 liter dapat digunakan untuk me-musnahkan 10 tanaman kelapa sawit. Di dalamareal 1 hektar, tanaman kelapa sawit berjumlah110 batang, maka di areal 205 hektar terdapat22.550 batang tanaman kelapa sawit yang akandimusnahkan.

Petani mulai menghitung biaya produksipemusnahan 22.550 batang tanaman kelapa

sawit. Dibutuhkan biaya sekitar 90 juta rupiahuntuk membeli 2.225 botol racun. Petani menda-patkan kesulitan untuk menutupi biaya yangdibutuhkan. Menghadapi kesulitan-kesulitanitu, dibentuklah satu kelompok khusus yangmerekrut sebagian kelompok pemuda untukmencuri kelapa sawit tua sebagai sumber keu-angan pembelian racun. Pencurian di lakukanpada malam hari, di saat petugas keamanan danpreman bayaran PTPN II lengah dalam penja-gaan. Petani dengan prinsip kehati-hatian secaradiam-diam melakukan pencurian lewat sistemkordinasi yang hanya dimengerti oleh merekasendiri.

Kegiatan ini tidak berlangsung lama setelahdiketahui hasil produksi pemanenan mulaimenurun. PTPN II meningkatkan penjagaanareal 205 hektar dengan sistem 24 jam. Pascapeningkatan penjagaan keamanan ini, petanitidak hanya terhenti untuk melakukan kegiatanpencurian tetapi juga menghentikan operasipemusnahan tanaman kelapa sawit.

4. Menjadi Buruh Industri, KehadiranMahasiswa dan Meluasnya Solidaritas

Gagalnya operasi pemusnahan kelapa sawitpada tahun 2004, berakibat pada terhentinyasegala bentuk rencana kegiatan pendudukan.Intimidasi secara terang-terangan oleh premanPTPN II bahkan tidak hanya terjadi di areal per-kebunan, meluas hingga perkampungan warga.Di sela-sela waktu luang penjagaan, preman-pre-man bayaran memasuki perkampungan wargamenenteng senjata tajam. Perilaku teror sengajadilakukan untuk mempersempit dan mengisolasikekuatan-kekuatan perlawanan petani. Selain itu,pada awal tahun 2005, PTPN II mencoba mela-kukan perekrutan terhadap pemuda-pemudaPersil untuk bekerja sebagai petugas keamanandi bawah kendali preman-preman PTPN II.

Petani memilih tiarap, tidak melakukan per-lawanan-perlawanan terbuka sekaligus menolak

Page 86: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

85Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

tawaran-tawaran bekerja sebagai petugas ke-amanan di lingkungan perkebunan. Perekono-mian rumah tangga petani menurun drastis,petani yang berumur tua rata-rata mengandalkanpendapatan rumah tangga dari bekerja menjadiburuh upahan ataupun berdagang keliling disekitar desa. Pemuda-pemuda desa lulusanSekolah Menengah Atas sebagian besarnya terse-rap menjadi buruh-buruh industri di KawasanIndustri Medan Star (KIM) Tanjung Morawayang terletak tidak jauh dari wilayah Persil.Kawasan Industri terbesar di Propinsi SumateraUtara yang dibangun di awal tahun 2000 itumenyerap lebih dari 456 pemuda di dusun-dusunPersil. Mobilisasi profesi secara besar-besaranpemuda Persil menjadi buruh Industri di KIMTanjung Morawa mendorong perubahan kom-posisi kependudukan masyarakat Persil.

Menurut catatan statistik Desa Tadukan Raga,Limau Mungkur dan Lau Barus Baru, pada tahun2005 jumlah penduduk berusia 19-35 tahun, lebihdari setengahnya bekerja di KIM Tanjung Mora-wa. Kehadiran KIM Tanjung Morawa berdam-pak pada mobilisasi besar-besaran pendudukyang berprofesi sebagai buruh perkebunan, kulibangunan dan jasa menjadi buruh industri diKIM Tanjung Morawa.

Selain bekerja, sebagian buruh mulai terlibatdalam kegiatan-kegiatan politik di serikat buruh.Kegiatan-kegiatan politik di serikat buruh yangmereka pilih mendorong lahirnya kesadaranpolitik baru atas persoalan-persoalan yang diha-dapi dan berdampak pada munculnya kesadaranuntuk berorganisasi pada pemuda-pemudaPersil. Situasi ini berlanjut pada penalaran sikapkritis terhadap kasus Persil IV yang dihadapi olehsebagain besar orang tua mereka. Proses tersebutberkembang menjadi terciptanya kesadaran kelasyang menuntut mereka membangun jaringan-jaringan gerakan sosial yang dianggap akanmenguatkan perlawanan Persil IV.

“Awalnya kami tidak tahu cara-cara berorganisasidengan baik. Setelah kami bekerja sebagai buruhindustri di Tanjung Morawa selanjutnya kami belajartentang berorganisasi dan terlibat dalam serikat-serikat buruh. Teori-teori tentang gerakan sosialkami pelajari pelan-pelan dan menjadi sadar terhadappenindasan yang terjadi. Hal inilah yang mendorongkami untuk membangun jaringan-jaringan gerakan,khususnya gerakan mahasiswa, karena gerakan maha-siwa kami anggap sangat berpengaruh terhadapperubahan sosial-Agus, pemuda dusun Tungkusan”.

Salah seorang pemuda, Agus (Menantu HajiSulaiman), mencoba menemui salah satu orga-nisasi mahasiswa bernama Forum MahasiswaAnti Penindasan (FORMADAS) di Kota Medandari sebuah informasi yang didapatkan dari salahsatu kerabatnya.25 Menurut kerabatnya, orga-nisasi yang akan ditemui adalah organisasi maha-siswa independen yang sering terlibat dalamkegiatan-kegiatan advokasi rakyat pinggiran.Pertemuan melahirkan sebuah kesepakatanbahwa mahasiswa akan melakukan investigasidan pendataan terhadap kasus Persil IV yang akandimulai pada pertengahan Juni 2007. Sebulansetelah itu FORMADAS memutuskan untukmengirim 8 orang mahasiswa untuk terlibatdalam perjuangan petani dengan metode live in(tinggal menetap).26 Metode ini merupakan meto-de pengorganisiran yang sering mereka gunakanuntuk membangun dan menguatkan gerakanpetani. Setiap dusun, FORMADAS menempat-kan 2 orang mahasiswa tinggal bersama petani.

Kehadiran mahasiswa membawa dampakperubahan terhadap semangat perlawanan peta-ni yang telah melemah. Petani mulai agresif

25 FORMADAS adalah sebuah organisasi mahasiswaindependent yang berdiri pada tahun 2000 di kota Medan.Organisasi ini mempunyai kepengurusan di 4 Universitasdan aktif dalam kegiatan-kegiatan advokasi dan pengorga-nisiran di sektor mahasiswa dan petani.

26 Wawancara dengan Juson Jusri Simbolon, salahseorang pendiri FORMADAS dan 1 dari 8 orang mahasiswayang ikut live in di dusun Tungkusan sejak bulan Agustus2006.

Page 87: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

86 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

melakukan pertemuan-pertemuan terkait per-masalahan perjuangan mereka yang berhentisejak dikuasainya lahan Persil oleh preman-pre-man PTPN II. Pada tanggal 26 Agustus 2007,sebuah pertemuan Akbar bertema “Tanah UntukRakyat” dilaksanakan di dusun Tungkusan.27

Seluruh pemilik tanah dan ahli waris menghadiriacara tersebut. Pertemuan akbar menghasilkankesepakatan-kesepakatan untuk memulai kem-bali perjuangan dengan menata ulang sistemorganisasi yang selama ini dianggap bersifatsentralistik. Perombakan organisasi dilakukandengan mendirikan badan-badan otonom disetiap dusun. Tiap-tiap dusun memiliki 5 orangperwakilan yang akan disusun menjadi kepengu-rusan bersama dengan perwakilan dusun-dusunlainnya. Perombakan diharapkan meminimalisirketergantungan perjuangan terhadap sekelom-pok orang.

Setelah terpilihnya 5 orang perwakilan setiapdusun, dibentuk sebuah organisasi perjuanganbaru yang bernama Gerakan Petani Persil IV(GTP-IV). Isu perjuangan petani diperluas dalamdiskusi-diskusi dan kegiatan politik di KotaMedan yang digagas oleh FORMADAS denganmenyertakan pengurus GTP-IV sebagai narasumber. Kegiatan-kegiatan ini memperluasjaringan solidaritas terhadap perjuangan petaniPersil IV. Satu bulan setelah FORMADAS terlibatdalam perjuangan petani, FORMADAS memben-tuk satu aliansi yang bernama SMAPUR (Soli-daritas Mahasiswa Untuk Perjuangan Rakyat).Aliansi didirikan untuk memperluas solidaritasperjuangan petani di tingkat mahasiswa yangberkedudukan di Kota Medan. Aliansi ini terdiridari 6 organisasi mahasiwa di 4 kampus yangberbeda.28

5. Tanah Milik Petani, Kelapa SawitMilik PTPN II

Keterlibatan mahasiwa dalam perjuanganpetani berdampak pada berubahnya sistem ke-amanan perkebunan PTPN II kebun LimauMungkur. Hal itu bermula ketika petani danmahasiswa melakukan sebuah aksi demonstrasipada tanggal 10 September 2007. Aksi turun kejalan ini merupakan demonstrasi pertama petanisepanjang sejarah perjuangan yang merekalakukan. Petani menggeruduk Kantor DPRD,Gubernur, dan Kepolisian Daerah SumateraUtara dengan menuntut pembentukan segeratim penyelesaian tanah rakyat Persil IV dan peng-hentian segala bentuk intimidasi serta kekerasanterhadap petani. Aksi itu menghasilkan kepu-tusan akan dilaksanakannya pertemuan “dengarpendapat” antara pihak-pihak terkait yang akandifasilitasi oleh Komisi A DPRD Sumatera Utarapada tanggal 24 Oktober 2007.

Rapat “dengar pendapat” yang dilaksanakanpada tanggal 24 Oktober 2007 menyepakatiuntuk membentuk “tim bersama” penyelesaiankasus tanah Persil IV. Namun karena lambatnyaproses pembentukan tim bersama, mahasiswadan beberapa utusan petani kembali menggelardemonstrasi pada tanggal 1 November 2007 diKantor Gubernur Sumatera Utara.

Pada tanggal 10 Desember 2007, petani me-manfaatkan hari Hak Azasi Manusia (HAM)sebagai momentum untuk mengkampanyekanpersoalan kasus perampasan tanah dan pelang-garan HAM yang terjadi. Mereka menggerudukkembali kantor DPRD Sumatera Utara. Aksidemontrasi berujung pada sebuah bentrokanyang mengakibatkan penangkapan terhadap 2orang mahasiswa. Bentrokan dalam aksi

27 Arsip FORMADAS28 SMAPUR didirikan setelah satu bulan

FORMADAS terlibat dalam perjuangan petani Persil IV.SMAPUR menjadi organisasi aliansi dari beberapaorganisasi mahasiwa yang tersebar di beberapa kampus

(Institut Teknologi Medan, Universitas Islam SumateraUtara, Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Tinggi IlmuKomunikasi) dan menjadi lembaga yang berfungsi untukmemperluas kampanye solidaritas perjuangan petani.

Page 88: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

87Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

demonstrasi itu mendorong terbentuknya opinidi media-media publik (koran dan televisi) ter-hadap isu-isu seputar kasus Persil IV, khususnyaisu keterlibatan preman-preman bayaran PTPNII.29

Pemberitaan media publik tentang keterli-batan preman-preman bayaran di areal petanisecara politis mempersempit PTPN II menerus-kan sistem keamanan yang berbasis preman.Menghindari tekanan-tekanan politis terhadappenggunaan preman di areal petani, PTPN IImenggunakan isu “tanah milik petani, tanamanmilik negara”. Isu ini memberikan legitimasiPTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara(BUMN) untuk menggunakan aparat Kepolisiandalam sistem keamanan perkebunan PTPN II.

“Jika areal lahan yang diklaim PTPN II tidak memilikiHGU, maka tanaman kelapa sawit di atasnyabukanlah aset negara. Walaupun penanaman kelapasawit tersebut dilakukan oleh PTPN II namun harusdiketahui bahwa tanah dibawahnya merupakantanah rakyat. Seharusnya PTPN II lah yang harusmembayar ganti rugi terhadap petani karena telahmencaplok tanah Persil IV sejak tahun 1972. KlaimPTPN II yang menyatakan tanaman kelapa sawit diatas lahan Persil IV sebagai aset negara merupakanklaim yang tidak beralaskan hukum, bahkan sebuahrekayasa yang hanya untuk menjadikan kelapa sawitdi atasnya menjadi bisnis korupsi antara PTPN IIdan aparat keamanan. Kasus seperti ini tidak hanyaterjadi di Persil IV, bahkan banyak ratusan kasusyang serupa terjadi di wilayah pinggiran perkebunanPTPN II Sumatera Utara. Semua ini bermula darikebijakan Orde Baru yang dengan secara sengajamerampas tanah rakyat untuk perkebunan negarapada awal tahun 1970-an : SMAPUR-Medan”.

Gambar 2. Aksi demontrasi petani dan mahasiswapada hari HAM pada tanggal 10 Desember 2007

di kantor DPRD SUMUT yang berujungbentrok. Sumber: foto pribadi

Terusirnya preman-preman dari areal lahanPersil dianggap oleh petani sebagai sebuahkeberhasilan yang disebabkan hadirnya maha-siswa di dalam gerakan mereka. Namun di sisilain petani dihadapkan pada sebuah kekuatanbaru yang akan menjadi musuh di saat merekaakan mencoba untuk menduduki lahan, yaitusatuan petugas keamanan yang berasal dariaparat Kepolisian.

6. Reklaiming dan TransformasiPerlawanan

Perubahan sistem keamanan yang berbasispada penggunaan aparat Kepolisian semakinmemperuncing penyelesaian pengembaliantanah kepada petani. Klaim “tanaman kelapasawit adalah aset negara” dirasa tidak beralaskanazas-azas hukum formal yang berlaku karenaklaim kepemilikan tanaman tidak di dasarkanpada pelekatan ijin HGU. Hukum formal telahmemberikan suatu penjelasan yang kontradiktifterhadap kasus yang mereka alami. Pembuktianterhadap kepemilikan tanah petani melaluikeputusan-keputusan institusi negara sepertiyang telah disebutkan di atas berupa putusanpengadilan ataupun lembaga yang berwenangatas otoritas pertanahan tidak mewujudkankeadilan bagi petani serta meningkatnya tin-dakan-tindakan represif aparatus negara

29 Arsip FORMADAS dan Harian Kompas, 11Desember 2007.

Page 89: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

88 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

semakin menimbulkan ketegangan-ketegangansosial yang tidak terdamaikan.

Pola-pola perlawanan bergaya legal denganmenggunakan instrumen negara sebagai kanal-kanal politik untuk mencapai keadilan telahmenemui jalan buntu. Strategi-strategi bertahanhidup di tengah krisis subsistensi yang melonjaktelah dirasa melampaui batas toleransi, hal inimenghadapkan petani pada beberapa pilihanyang tidak lagi bisa ditawar. Di lain pihak, keme-nangan-kemenangan kelompok tani lain di seki-tarnya yang dianggap berhasil menguasai lahandengan cara memusnahkan tanaman di atasnyamenjadi sebuah tinjauan reflektif atas pola perju-angan yang mereka lakukan. Pengalaman yangdemikian mendorong terbentuknya satu keper-cayaan kolektif untuk menempuh perlawananbergaya ekstra legal.

Reklaiming dianggap sebagai cara yang ter-baik bagi petani untuk mendapatkan tanahmereka kembali sekaligus dimaknai sebagaipencarian terhadap hukum petani itu sendiriketika hukum negara tidak memberikan ke-adilan.30 Bentrokan aksi demonstrasi pada hariHAM yang berujung pada penangkapan 2 orangmahasiswa menyulut kemarahan seluruh petanidan mahasiswa terhadap institusi negara. Situasiini memancing pendudukan lahan pada 14 Desem-ber 2007. Menghadapi gelombang pendudukanlahan secara massal, PTPN II mengosongkan lahanpersil IV dari penjagaan keamanan. Selain men-duduki lahan, petani juga mendirikan “posko-posko perjuangan” di beberapa sudut areal lahan.31

Posko-posko perjuangan digunakan sebagaitempat konsolidasi pendudukan lahan yang

dijaga secara bergantian selama 24 jam. Kaumperempuan mulai terlibat dalam gerakan pendu-dukan, sebagian besarnya menggantikan peranperjuangan suami yang telah meninggal dunia.Pemusnahan tanaman mulai dilakukan secaraterang-terangan dengan cara membakar danmeracuni pohon kelapa sawit.

Gambar 3. Petani sedang beristirahat di posko“perjuangan utama” selepas pendudukan lahan.

Sumber: foto pribadi

Mahasiswa menggalang solidaritas perju-angan di 2 lokasi yang berbeda. Sekitar 40-anmahasiwa ikut dalam gerakan pendudukan itu,sementara mahasiswa lainnya yang tergabungdalam SMAPUR menggalang aksi solidaritasmelalui demontrasi jalanan di sekitar wilayah-wilayah kampus selama berhari-hari. Aksi-aksiini difungsikan untuk meningkatkan kampanyedan propaganda politik sebagai pencegah lahir-nya black campaign terhadap gerakan pendu-dukan yang dilakukan petani. Mahasiswa men-duga PTPN II akan melakukan black campaignatau kampanye hitam dengan memunculkanopini-opini di media cetak yang akan menuduhpetani telah melakukan tindakan-tindakanmelawan hukum dan menjarah aset negara.

Tepat pada 16 Desember 2007, sebuah poskoutama yang biasanya dijadikan sebagai tempatkonsolidasi perjuangan petani di dusun LauBarus Baru dibakar orang tak dikenal. Peristiwaitu meningkatkan jumlah massa pendudukanlahan keesokan harinya. Di lain pihak, PTPN II

30 Wawancara dengan Ramlan.31 Posko Perjuangan adalah sebuah tempat konsolidasi

yang dibangun petani dengan menggunakan bambu danberatap tepas di atas areal lahan Persil IV. Setiap dusunmemiliki posko-posko, namun terdapat satu posko utamayang difungsikan sebagai tempat pertemuan seluruh unit-unit dusun.

Page 90: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

89Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

memobilisir preman-preman bayaran untukmerespon gelombang pendudukan lahan yangsemakin membesar. Direktur PTPN II melaku-kan Kerja Sama Operasional (KSO) denganpihak ketiga, yaitu CV. Bintang Meriah yangdipimpin M. Said Ginting dan Koperasi KecilNuansa Baru, pimpinan Yusron Harahap dalamsebuah Surat Keputusan No.11.0/X/01/I/2007.Surat KSO ini telah diajukan pada tanggal 4Januari 2007, jauh sebelum peristiwa pendu-dukan dilakukan, namun baru dilaksanakansetelah peristiwa pendudukan lahan oleh petanimulai membesar pada 16 Desember 2007.

M. Said Ginting dan Yusron Harahap dalamsurat KSO disebut sebagai pihak yang berhakuntuk memanen kelapa sawit dan menjagakeamanan di areal PTPN II kebun Limau Mung-kur. Penggunaan pihak ketiga ini merupakanstrategi PTPN II untuk menghindari tuntutansecara hukum sekaligus menggeser konf likmenjadi horizontal (petani versus preman).Mobilisasi preman-preman bayaran ini diikutidengan penambahan pasukan keamanan yangberasal dari satuan petugas Kepolisian ResortDeli Serdang.

“Kami sangat tahu, bahkan mungkin telah menjadirahasia umum bahwa kelapa sawit di atas areal persilIV seluas 525 hektar bukanlah aset negara karenatidak ada HGUnya. Nilai hasil panen setiap bulandari 525 hektar itu kira-kira mencapai paling sedikit500 juta rupiah. Uang itulah yang dibagi-bagi antaraPTPN II, polisi dan preman. Mereka menggunakantipu muslihat kalau itu dikatakan “aset negara”. Sayadan yang lain tidak akan berhenti untuk menruskanperjuangan yang telah diamanatkan oleh orang tuakami. Esron Ginting, dusun Limau Mungkur”.

Jumlah preman-preman bayaran melebihijumlah petani yang melakukan pendudukanlahan. Dalam situasi yang demikian petani danmahasiswa tetap melakukan pendudukan lahandengan cara membersihkan rumput-rumputdisekelilingnya tanpa merusak tanaman kelapasawit. Petani berdalih bahwa PTPN II pernah

menyatakan tanah adalah milik petani, denganitu mereka tetap bisa untuk mempertahankandan menduduki lahannya. Jika situasi dianggapaman dari jangakauan pihak petugas keamanan,petani secara diam-diam tetap melakukan pera-cunan tanaman kelapa sawit, tetapi akan kembaliberpura-pura membersihkan rumput-rumputjika satuan petugas keamanan datang. Strategiini untuk menghindari upaya kriminalisasi hu-kum yang akan dijatuhkan jika petani tertangkaptangan melakukan perusakan tanaman.

Namun bentuk-bentuk intimidasi yang tersis-tematis tetap dilakukan PTPN II terhadap petani.Pengurus-pengurus perjuangan tiap-tiap dusunsecara bergiliran diberikan surat panggilan kekantor polisi Resort Deli Serdang. Pemanggilan-pemanggilan itu dilakukan untuk memberikantekanan secara politis dan psikologis agar merekamerasa takut untuk ikut dalam pendudukanlahan. Bahkan salah seorang pengurus perju-angan dusun Batutak yang bernama M. Pasaribudijerat dengan hukuman 8 bulan penjara karenadituduh melakukan pencurian buah kelapasawit selama masa meningkatnya gelombangpendudukan lahan di awal januari 2008.

“Saya tidak pernah melakukan pencurian buah kelapasawit, justru merekalah yang mencuri sebagian besarkehidupan saya. Kasus itu direkayasa agar saya bisadijebloskan ke dalam penjara-M. Pasaribu, dusunBatutak”.

Menghadapi jumlah satuan petugas ke-amanan PTPN II dalam jumlah yang tidak seim-bang, kaum laki-laki mulai berhati-hati dalampendudukan lahan. Pendudukan dilakukandengan cara bergerombol dan memusat di satutitik. Sementara kaum perempuan mulai me-manfaatkan ruang-ruang keagamaan sepertiperwiritan dan ibadah gereja sebagai mediakonsolidasi untuk mendiskusikan strategi-stra-tegi perlawanan yang akan dipilih.

Perusakan portal-portal (penghalang) olehpreman-preman bayaran PTPN II dan seringnya

Page 91: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

90 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

aparat kepolisian melakukan penembakan-penembakan ke udara di areal lahan pendu-dukan berdampak pada menurunnya jumlahpetani laki-laki yang menduduki lahan. Kaumperempuan mengambil alih peran laki-laki untukmenduduki lahan. Mereka beranggapan strategitersebut tidak akan berakhir dengan bentrokanfisik karena perempuan lebih aman dari penye-rangan-penyerangan. Anggapan-anggapandemikian dibuktikan dengan pembuatan bari-kade untuk menghalangi truk pengangkut buahkelapa sawit. Supir truk pengangkut buah kelapasawit yang merasa takut untuk menabrak barisanbarikade perempuan selanjutnya diambil alih olehseorang oknum kepolisian Resort Deli Serdangyang bernama Bripka. K. Sihite. Peristiwa ituberujung pada sebuah tragedi tabrakan yangmengakibatkan 3 orang kaum perempuan men-jadi korban.32

Situasi kembali memanas pasca peristiwapenabrakan kaum perempuan di areal pendu-dukan lahan. Pada tanggal 14 Januari 2008 petanidan mahasiswa kembali “turun ke jalan” meng-geruduk kantor DPRD Sumatera Utara. Merekamendesak pemerintah Provinsi Sumatera Utarauntuk menarik seluruh aparat Kepolisian danpreman-preman dari lahan sengketa. Situasi pen-jagaan keamanan di lahan persil IV terlihatmenurun pasca aksi demonstrasi dilakukan.Petani dan mahasiswa menggunakan strategidemonstrasi sebagai bentuk kampanye dan pro-paganda terbuka. Strategi ini bukan merupakansuatu tujuan untuk mendapatkan perubahankeadilan karena mereka menyadari jalur-jalurformal tidak akan menghantarkan pada suatujalan kemenangan. Menghadapi tekanan-te-kanan dan bentuk intimidasi yang diorganisirdalam milisi-milisi sipil (preman) secara terusmenerus, aksi pendudukan tidak dapat dilaku-kan secara rutin dan teratur. Di sisi lain petani

juga dihadapkan pada persoalan krisis ekonomirumah tangga yang berkepanjangan selamamasa pendudukan. Selanjutnya strategi pendu-dukan lahan dilakukan secara bergantian olehtiap-tiap dusun agar memudahkan mereka untukbekerja menutupi sebagian kebutuhan ekonomirumah tangga.

Syarial, warga dusun Tungkusan akan bekerjasebagai pemanjat pohon nira apabila dusunnyasedang tidak mendapatkan giliran pendudukanlahan. Sementara, Ramlan, warga dusun Sinem-bah harus meninggalkan pekerjaannya sebagaisopir apabila sedang mendapatkan giliran pen-dudukan lahan.

Melihat perkembangan aksi pendudukanlahan yang dilakukan petani semakin menurun,PTPN II justru memobilisasi jumlah penam-bahan preman. Situasi ini mempersempit petani,khususnya kaum laki-laki. Pada pertengahan2008, PTPN II mengalihkan kuasa keamananbaru kepada pihak ketiga (Lingga).33 Ini meru-pakan ketiga kalinya PTPN II kebun LimauMungkur memberikan kuasa pemanenan dankeamanan kepada pihak ketiga. Namun yangberbeda dari sebelumnya adalah Lingga csdianggap lebih intimidatif dan terbuka melaku-kan teror kepada petani dan mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan.

“Kelompok preman sebelumnya biasanya tidak ter-lalu berani untuk mengahadapi massa petani perem-puan apalagi mahasiswa. Namun Lingga cs lebihberingas dan tidak pandang bulu, baik perempuanataupun mahasiwa jika melawan akan disikat-Agus,dusun Tungkusan”.

Jumlah preman terus meningkat, tidak seban-ding dengan jumlah petani. Jika terus melakukanpendudukan lahan dengan jumlah yang tidakseimbang maka kerugian akan akan menimpa

32 Wawancara dengan Informan.

33 Lingga adalah seorang pimpinan di salah satuorganisasi kepemudaan (Pemuda Panca Marga) di DeliSerdang yang berafiliasi sangat dekat dengan militer.

Page 92: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

91Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

mereka. Memasuki Oktober 2008, petani meng-hentikan aksi pendudukan lahan. Tindakan inidisebut sebagai strategi tertutup, ditempuh un-tuk menghindari kerugian-kerugian dalambentuk kekerasan f isik dan material. Perlawananpetani akan terus beradaptasi dengan situasi dankondisi yang terjadi di medan politik. Pendu-dukan lahan dianalogikan sebagai medan politikperebutan sumber daya (tanah) saat reklaimingditempuh sebagai cara untuk memenangkanpertarungan.

Pengurus-pengurus perjuangan tiap-tiapdusun dan mahasiwa mencoba menemukanstrategi-strategi baru untuk menghadapi kelom-pok preman bayaran PTPN II. Mereka merekrutkerabat-kerabat yang bukan ahli waris tanahpersil IV ataupun warga-warga sekitar desauntuk terlibat dalam kegiatan pendudukanlahan. Strategi ini bertujuan untuk menggalangpenambahan jumlah massa menghadapi pre-man-preman PTPN II yang berjumlah tidak ku-rang dari 250 orang. Massa yang dihimpun peta-ni ini disebut sebagai kelompok “pendukung”.Strategi perekrutan oleh petani menawarkan“sejumlah tanah” kepada kelompok pendukung.Bagi siapa saja yang mendukung secara aktifdalam pendudukan lahan maka ia berhak untukmendapatkan tanah Persil jika kemenangantelah didapatkan. Saat itu setiap petani ataupunahli waris bersedia memberikan 10 rante dari 2hektar yang dimiliki tiap-tiap petani kepadakelompok pendukung. Strategi ini berhasilmerekrut 200 massa dari kelompok pendu-kung.

“Setiap pemilik dan ahli waris memiliki hak kepe-milikan tanah Persil seluas 2 hektar, kami akan mem-berikan 10 rante dari 2 hektar yang kami milikikepada siapa saja yang mau ikut bergabung dalampendudukan lahan. Pemilik tanah Persil ada sekitar260 orang, namun yang aktif untuk mendudukilahan hanya sekitar 200 orang karena sisanya harusbekerja ataupun tidak kuat secara fisik. Namun jikatiap-tiap pemilik mau memberikan sebagian

tanahnya maka jumlah massa akan bertambah untukmenduduki lahan. Syahrial-dusun Tungkusan”.

Merasa memiliki jumlah massa yang seim-bang, petani melakukan pendudukan lahankembali pada awal Januari 2009. Mereka mem-bakar dan merusak tanaman kelapa sawit secarabergelombang hingga Maret 2009. Aksi itu telahberhasil memusnahkan 90 hektar kelapa sawitdi areal Persil IV dan berdampak pada menurun-nya jumlah hasil produksi pemanenan pihakPTPN II. Aksi-aksi ini direspon secara massif olehPTPN II dengan menambah jumlah satuan petu-gas keamanan dari pihak kepolisian dan preman-preman bayaran. Kelompok pendukung dituduhsebagai provokator dan perusak aset negara.Namun isu-isu tersebut tidak berdampak padamenurunnya jumlah kelompok pendukungdalam aksi pendudukan lahan karena pemilikdan ahli waris tanah Persil IV menaikkan jumlahtawaran pemberian tanah kepada kelompok pen-dukung hingga 1 hektar.

Ketegangan-ketegangan dalam konflik perta-nahan yang terjadi di Persil IV kerap berujungpada bentrokan-bentrokan antara kedua belahpihak, yakni petani dan PTPN II. Kedua belahpihak tetap mempertahankan kepentinganmasing-masing. Bagi petani, tanah merupakanruang hidup yang harus dipertahankan dandirebut dari pihak-pihak yang telah mengklaimsecara sepihak atas kepemilikan tanah yangmereka miliki. Di lain pihak, PTPN II tetap mem-pertahankan aset tanaman kelapa sawit yangtelah divonis tidak memiliki HGU itu sebagailahan bisnis dan korupsi dengan klaim “asetnegara” tanpa mempertimbangkan dampakkemiskinan yang timbul olehnya sejak tahun1972. Selain berdampak pada kerugian materildan non materil, aksi pendudukan lahan terse-but juga berdampak pada penghilangan nyawamanusia, khususnya petani.

Page 93: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

92 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Gambar 4. Preman-preman PTPN II kebunLimau Mungkur. Sumber: foto pribadi

Pada Akhir Desember 2009, bermula dariterjadinya pembakaran ‘Posko PerjuanganBersama” milik petani di atas areal Persil IV yangdilakukan oleh pihak Lingga cs menyulut kema-rahan petani untuk menyerang balik tindakantersebut. Bentrokan terulang kembali pada tang-gal 17 April 2010, seorang petani tewas terkenatusukan benda tajam.

7. Berubahnya Sistem KepemilikanTanah

Terbentuknya kelompok pendukung padaakhir tahun 2008 telah merubah sistem kepe-milikan tanah petani. Setiap pemilik ataupun ahliwaris tanah Persil IV yang tiap-tiap individunyaberhak atas tanah seluas 2 hektar telah menge-luarkan setengahnya kepada orang lain (kelom-pok pendukung) untuk menambah jumlahmassa dalam aksi pendudukan lahan.

Perlawanan-perlawanan ekstra legal melaluipendudukan lahan tidak hanya berdampak padaberubahnya sistem kepercayaan petani terhadapinstitusi negara namun juga berdampak padaberubahnya sistem kepemilikan tanah. Petanidiharuskan untuk melakukan sesuatu ketikadihadapkan pada suatu kenyataan dalam gera-kan pendudukan lahan yang mereka lakukantidak mempunyai jumlah kekuatan yang seim-bang menghadapi kekuatan korporasi perke-bunan. Terbatasnya jumlah aktor (petani) dalamgerakan pendudukan lahan mendorong lahirnya

perubahan-perubahan dalam sistem perlawananyang dilakukan. Kelompok Tani Patumbak yangmemiliki kekuatan massa lebih besar daripadakekuatan preman-preman PTPN II tidak harusmengeluarkan sebagian tanahnya untuk mem-bentuk kelompok pendukung. Namun bagipetani Persil IV akan mengalami tekanan yangtidak seimbang jika tidak merekrut ataupunmembentuk kelompok pendukung untuk meng-hadapi massa kekuatan PTPN II yang lebih besar.Hal ini disebut sebagai strategi adaptasi dantransformasi perlawanan petani.

E. Kesimpulan

Perlawanan-perlawanan petani di Indonesiatelah banyak dideskripsikan oleh para akademisidengan beberapa model pendekatan teorisebagai unit analisa, khususnya dalam disiplinilmu-ilmu humaniora. Dari beberapa pendekatanyang ditawarkan telah melahirkan sejumlahkarya akademik yang mengkategorisasikan perla-wanan-perlawanan petani menjadi sangat bera-gam. Keragaman itu tidak dapat dipisahkan darisudut pandang dan latar belakang paradigmapeneliti dalam menganalisis secara mendalamterhadap fenomena-fenomena perlawanan peta-ni sepanjang sejarahnya.

Studi penelitian ini memusatkan pada perla-wanan petani masa kini dalam menghadapikorporasi perkebunan. Model perlawananScottian memang masih sangat relevan untukmenjelaskan fenomena perlawanan petani yangterjadi di Indonesia pada masa Orde Baru. Petanidi masa itu tidak memilih perlawanan-perla-wanan yang demonstratif dan terbuka demimenghindari kerugian-kerugian materil atau-pun non materil. Namun argumentasi pende-katan moral ekonomi Scottian yang menyatakangerakan petani merupakan sebuah reaksi untukmempertahankan institusi tradisional dannorma-norma resiprositas mereka dari ancamankapitalisme menjadi tidak tepat jika melihat

Page 94: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

93Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

struktur ekonomi dan sistem kepemilikan tanahpetani Persil IV.

Sistem kepemilikan tanah yang bersifat kepe-milikan pribadi akan mencirikan suatu tatananmasyarakat kapitalistik yang telah terlibat dalamkegiatan-kegiatan transaksional (jual-beli, uang,perdagangan), dan hal itu akan melemahkanintitusi-instusi tradisional berfungsi sosial seka-ligus melenyapkan bentuk-bentuk resiprositas(pertukaran-barter). Pada umumnya di dalamsuatu masyarakat yang telah menganut sistemkepemilikan pribadi, segala sesuatu akan dile-takkan pada azas-azas ekonomi rasional, denganpengertian tiap-tiap individu memiliki keinginanmenjadi “kaya”. Dengan demikian, pada dasar-nya yang ditolak petani bukan nilai-nilai kapi-talisme namun perampasan tanah yang dilaku-kan oleh para kapitalis negara sehingga merekakehilangan eksistensi dan sumber kehidupan-nya.

McAdam, Tarrow, dan Tilly34 menyatakangerakan sosial terbuka cenderung terjadi didalam masyarakat transisional. Segala sesuatuyang dimaknai sebagai kesempatan akan men-ciptakan nilai-nilai yang selanjutnya dimobilisasisebagai kekuatan-kekuatan perubahan sosial.Seperti yang telah dijelaskan di dalam bab IV tesisini bahwa euforia reformasi menyulut keben-cian-kebencian petani untuk melakukan perla-wanan-perlawanan terbuka. Seminggu setelahkejatuhan Soeharto, ribuan petani di pinggiranperkebunan Deli Serdang menduduki kembalilahan mereka (reclaiming). Organisasi-organisasiyang mengatasnamakan “kelompok perjuanganpetani” muncul secara spontan di beberapa keca-matan dalam wilayah kabupaten Deli Serdang.

Pendekatan ini masih sangat relevan untukmenjelaskan perubahan-perubahan strategiperjuangan petani di era transisi demokrasi.

Perjuangan-perjuangan jalur legal yang padamulanya dianggap dapat mengembalikan tanahpetani di era reformasi justru berakhir dengankemenangan-kemenangan di atas kertas. Situasiini direspon petani dengan memilih strategi per-juangan ekstra legal melalui tindakan reklaiming(pendudukan lahan). Lahirnya gerakan ekstralegal merupakan konsekuensi yang ditimbulkanakibat gagalnya negara serta menguatnya kon-tradiksi-kontradiksi hukum formal dalam penye-lesaian konflik agraria. Hal ini merupakan aspekterpenting dari tesis ini terhadap perubahan pola-pola perlawanan petani Persil IV.

Berdasarkan paparan pembahasan yangdijelaskan pada Bab I hingga Bab IV, studi inimenarik beberapa kesimpulan terkait strategi-strategi bertahan hidup dan pola-pola perla-wanan petani dalam menghadapi korporasiperkebunan.

Berkaitan dengan bagaimana strategi berta-han hidup petani setelah kehilangan tanah,petani melakukan strategi subsistensi keamananpangan melalui pendayagunaan lahan yangtersisa. Petani-petani yang masih memiliki lahancadangan bertahan hidup di atas lahan yang ter-sisa dengan merubah areal lahan cadangan men-jadi areal pertanian tanaman pangan pokok(padi), dimana sebelum terjadinya perampasanoleh PTPN II lahan cadangan hanya diman-faatkan sebagai areal pertanian tanaman nonpangan pokok. Bagi petani-petani yang tidakmemiliki lahan cadangan berusaha bertahanhidup dengan menjadi buruh upahan di lahan-lahan milik warga lain ataupun kuli bangunandi sekitar desa. Petani melakukan mobilitas pro-fesi secara horizontal dari petani menjadi buruhlintas profesi ataupun pekerja sektor informaluntuk menciptakan basis perekonomian uang.Di sisi lain, juga melakukan penurunan mobilitassecara vertikal, dari petani pemilik lahan sedangmenjadi petani pemilik lahan kecil.

Selanjutnya berkaitan dengan bagaimana pola34 Doug McAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly,

op.cit.

Page 95: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

94 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

dan strategi perlawanan petani dalam meng-hadapi korporasi perkebunan, petani melakukan:Pertama, petani memilih strategi-strategi per-lawanan tertutup bergaya Scottian pada masaOrde Baru dengan melakukan pencurian ta-naman kelapa sawit berskala kecil secara diam-diam di atas areal tanah mereka yang telahdiklaim menjadi milik PTPN II. Namun strategitersebut berubah seiring hadirnya reformasi,petani memilih strategi perlawanan terbukadengan cara menduduki kembali lahan mereka(reclaiming). Hal ini juga dipengaruhi oleh lajupertumbuhan penduduk yang semakin mening-kat namun tidak berbanding lurus denganjumlah luas lahan untuk proses produksisehingga berdampak pada bertambahnya jumlahangka pengangguran sekaligus terciptanyaburuh-buruh non skill (tidak terampil).

Kedua, petani menempuh perjuangan-per-juangan di jalur legal (pengadilan). Selamamenempuh perjuangan di jalur legal, petanibertambah percaya diri ketika lembaga-lembagaperadilan mengabulkan gugatan-gugatan yangmereka ajukan melawan PTPN II. Namun keme-nangan berupa putusan-putusan tersebut ber-akhir dengan “kemenangan di atas kertas”, secarade jure mereka berhak atas tanah tetapi secarade facto penguasaan lahan tidak dapat dilakukan.Pernyataan PTPN II yang mengakui “tanah milikrakyat tetapi tanaman milik perkebunan” sema-kin menyebabkan kebuntuan-kebuntuan dalamproses penyelesaian kasus tersebut. Kebuntuanitu memicu lahirnya sebuah kesadaran untukmeninggalkan pola-pola perjuangan legaldengan memilih reklaiming sebagai cara yangterbaik untuk mengembalikan tanah merekakembali. Di lain pihak, keberhasilan kelompoktani Patumbak dan sekitarnya dalam menguasailahan dari pihak PTPN II dengan cara-cara men-duduki lahan serta membabat seluruh tanamandi atasnya menjadi faktor-faktor pendukungstrategi perjuangan ekstra legal dilakukan.

Ketiga, petani melakukan strategi aliansiterbuka. Terbentuknya aliansi-aliansi politik yangterbangun pasca meleburnya gerakan mahasiswadalam perjuangan petani dimaknai oleh petanisebagai kekuatan-kekuatan pendukung untukmemobilisasi ulang gerakan perlawanan petani.Dalam kerangka berpikir seperti itu, munculnyakembali perlawanan petani dengan pola-polaekstra legal melalui reclaiming merupakan suatugerakan perlawanan balik (counter-claim) ter-hadap hegemoni dan kekuasaan negara yangsebelumnya melakukan klaim secara sepihak ter-hadap tanah petani. Proses yang demikian denganmempertimbangkan perubahan-perubahan polaperlawanan petani di dalamnya disebut sebagaiperistiwa transformasi perlawanan petani.

Daftar Pustaka

Aditjondro, George. J, 1998. Seminar “Konferensi100 Tahun Perkebunan Kelapa Sawit di In-donesia”.

Agustono, Budi, Muhammad Osmar Tanjungdan Edy Suhartono, 1997. Badan PerjuanganRakyat Penunggu Indonesia VS PTPN II.Bandung: Akatiga.

Bakumsu, 2011. Tabel Kasus Tanah di SUMUT:Medan.

Breman, Jan, 1989. The Taming the Coolie Beast:Plantation Society and The Colonial Orderin Southeast Asia. New Delhi: Oxford Uni-versity Press.

Eckstein, Susan, 1989. Power and Populer Pro-test, Latin America Social Movements. Ber-keley: University of California Press.

Fauzi, Noer, 2012. Land Reform Dari Masa keMasa. Yogyakarta: Tanah Air Beta.

Ikhsan, Edy, 2012. Ayam Mati di Dalam Lumbung:Kepingan Sejarah Kekalahan Orang MelayuAtas Tanah Adatnya.

Jorgensen, Danny L, 1989. Participant Observa-tion. A Methodology for Human Studies.London: Sage Publication.

Page 96: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

95Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95

Kartodirjo, Sartono dan Joko Suryo, 1989.Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogya-karta: Aditya Media.

Khudori, 2004. Neoliberalisme Menumpas Peta-ni. Yogyakarta: Resist Book.

Kompas, 11 Desember 2007.Kompas, 14 Desember 2007.KPA, Konflik Kekerasan Agaria, 2007.Kuntowijoyo, 2002. Radikalisasi Petani. Yogya-

karta: Yayasan Gentang Budaya.Larana, Johnston, Gusf ield, 2002. New Social

Movement: from ideology to identity. TempleUniversity Press.

Lofland, John, 2003. Protes: Studi tentang Peri-laku Kelompok dan Gerakan Sosial (terj.Lutfhi Ashari), Yogyakarta: Insist Press.

Li, Tania Murray, 2003. Proses TransformasiDaerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta:YOI.

Mamay, Sergey. Theories of Social Movementsand Their Surrent Development in SovietSociety. www.lucy.ukc.ac.uk.

Manalu, Dimpos, 2009. Gerakan Sosial dan Peru-bahan Kebijakan Publik. Yogyakarta: GadjahMada University Press.

McAdam, Doug, Sidney Tarrow dan CharlesTilly, 2001. Dynamics of Contention. NewYork: Cambridge University Press.

Mulyanto, Dede, 2011. Antropologi Marx. Ban-dung: Ultimus.

Mustain, 2007. Petani Versus Negara. Yogyakata:Arruz Media.

Padmo, Soegijanto, 2007. Landreform danGerakan Protes Petani Klaten. Yogyakarta:Media Pressindo.

Pelzer, Karl, 2007. Toean Keboen dan Petani.Jakarta: Sinar Harapan.

____, 1991. Sengketa Agraria. Jakarta: Sinar Ha-rapan.

Reid, Anthony, 2011. Menuju Sejarah Sumatera.Jakarta: KITLV dan YOI.

Said, Mohammad, 1977. Suatu Zaman Gelap diDeli, Koeli kotrak Tempo Doeloe DenganSegala Derita Dan Kemarahannya. Medan:Waspada.

Sawit Watch, Kasus-kasus Perkebunan sawit.Scott, James C, 1997. Senjatanya Orang-Orang

Yang Kalah. Jakarta: YOI.____, 1989. Peasant Resistance. New York:

Rmunck Me Sharpe.Situmorang, Abdul Wahab, 2007. Gerakan So-

sial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Smelser, Neil J, 2007. Theory of Collective Beha-vior. New York: The Free Press.

Soetrisno, Lukman, 1997. Kata Pengantar.Senjatanya Orang-orang Yang Kalah, J.Scott. Jakarta: YOI.

Spadley, James P, 1997. Metode Etnograf i. Yog-yakarta: Tiara Wacana.

Stoller, Ann Laura, 2005. Kapitalisme danKonfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera1870-1979. Yogyakarta: KARSA.

Tarrow, Sidney, 1998. Power in Movement: So-cial Movement and Contentious Politics,Cambridge: Cambridge University Press.

Tilly, Charles, 1978. From Mobilization to Revo-lution. USA: Addison-Wesley PublishingCompany.

____, 1998. Social Movements and (all sors of)other Political Interactions-Local, National,and International-Including Identities,Theory and Society 27: 453-480.

Wolf, Eric, R, 2009. Petani: Suatu Tinjauan Antro-pologis. Jakarta: Rajawali Press.

____, 2009. Perang Petani. Yogyakarta: InsistPress.

www.bumn.go.idwww.ptpn2.comwww. suarausu-online.comwww.walhi.or.id

Page 97: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

“MENJARAH” PULAU GAMBUT:KONFLIK DAN KETEGANGAN DI PULAU PADANG

M. Nazir Salim*

Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: The article was saimed at describing the conflicts between the community, peasants at Pulau Padang, MerantiIslands Regency, and PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). The conflict started from the policy of The Minister of Forestrywhich allowed concession of HTI to RAPP at Pulau Padang. The problem was the permission itself as it took not only the areaof farming lands but also the areas of settlement. The other problem was the environment itself. This was a result of RAPP.Various researches showed that Pulau Padang had thick peat. However, the permission for RAPP was to build industries andcanals needing a lot of water. This would damage the environment whereas the peat ought to be protected. If tis is done, theserious damage of ecosystem at Pulau Padang will take place.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: Pulau Padang, RAPP, agrarian conflicts, peasants’ struggle.

Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Artikel ini mencoba melihat konflik antara warga dan petani Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti dengan PTRAPP (Riau Andalan Pulp and Paper). Konflik bermula dari kebijakan Menteri Kehutanan yang memberikan izin konsesi HTIkepada RAPP di Pulau Padang. Izin itu dipermasalahkan karena luasan wilayahnya yang mengambil lahan warga, bukan saja lahanpertanian, namun juga pemukiman. Persoalan lain adalah isu lingkungan yang akan menjadi perhatian warga jika RAPP beroperasidi wilayah tersebut. Berbagai kajian menunjukkan bahwa Pulau Padang merupakan wilayah tanah gambut dengan ketebalan yangcukup tinggi, sementara izin konsesi RAPP untuk tanaman industri membutuhkan banyak air dan pembangunan kanal-kanal, selaintentunya tanah gambut dilindungi undang-undang. Jika hal itu dilakukan maka ancaman kekeringan dan kerusakan ekosistem diPulau Padang menjadi serius.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: Pulau Padang, RAPP, konflik agraria, dan perjuangan petani.

A. Pengantar

Konflik sumber daya alam di Indonesia khu-susnya di Sumatera terus mengalami pening-katan. Beberapa catatan menunjukkan angkayang terus bertambah, bahkan cenderung meng-khawatirkan karena satu persoalan belumterselesaikan kemudian muncul kembali konflikbaru, sehingga dari tahun ke tahun trend-nya

megalami kenaikan. Apa sebenarnya yang men-jadi inti persoalannya? Banyak pakar melihatkonflik agraria terlalu akut1 sehingga sulit untukdiselesaikan dengan sistem parsial yakni denganmenyelesaikan masing-masing konflik dan perwilayah. Metode demikian terlalu menghabiskanenergi dan tak akan sebanding antara jumlahpenyelesaian konflik dengan tumbuhnya kon-flik itu sendiri. Konflik yang terjadi di daerahmayoritas akibat tumpang tindih lahan danaturan,2 penguasaan sumber agraria yang

* Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional,Peneliti Agraria. Penulis mengucapkan terimakasih kepadaMitra Bestari (Laksmi Savitri) yang memberikan beberapakritik dan masukan. Kepada Ahmad Zazali, Direktur ScaleUp, Pekanbaru, Riau yang membantu penulis denganmengirimkan data hasil Mediasi di Pulau Padang, dan beliaumenjadi salah satu anggota tim yang dibentuk olehPemerintah..

1 Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, 2011. EnamDekade Ketimpangan. Jakarta: Bina Desa, ARC, KPA.

2 Gamma Galudra, Gamal Pasya, Martua Sirait, ChipFay, (peny.) 2006. Rapid Land Tenure Assessment: PanduanRingkas bagi Praktisi. Bogor: World Agroforestry Cen-tre, hlm 8.

Page 98: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

97M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

timpang, pemanfaatan yang tidak adil, distribusihasil yang tidak merata, serta policy negara yangtidak berpihak kepada rakyat. Realitas itu men-jadi bara api dalam setiap semak-semak perke-bunan dan hutan-hutan yang ada.

Hasil penelitian yang dipimpin oleh DR.Prudensius Maring, MA, Prof. DR. Afrizal dkk.di empat provinsi di Sumatera (Sumatera Se-latan, Jambi, Riau, dan Sumatera Barat) menun-jukkan persoalan yang sama, sama dalampengertian sepanjang bentangan Pulau Suma-tera konflik agraria menimpa kelompok yangsama, tumpang tindih lahan yang sejenis, korbanyang luas, dan peminggiran oleh pelaku usahadan negara secara masif. Catatan empat provinsiitu menunjukkan akar masalah yang hampirsama, yakni: 1. Tumpang-tindih kebijakan peme-rintah tentang pengelolaan SDA; 2. Ekspansipenguasaan lahan untuk kepentingan HTI/HPHdan perkebunan; 3. Kegagalan pengaturan tata-ruang secara adil; 4. Ekspansi penguasaan lahanberbasis adat oleh pemerintah dan perusahaan;5. Ketidakadilan tatakelola sumberdaya alam olehpemerintah dan perusahaan; 6. Kegagalan pem-bangunan ekonomi berbasis masyarakat.3

Berkaca dari realitas itu, banyak kritik diaju-kan kepada berbagai pihak yang bertanggungjawab tehadap berbagai konflik tersebut. Apasebenarnya peran negara dalam konteks itu danapa yang telah dan akan dilakukan? Sepanjangpemahaman yang tersebar secara luas, kesanyang selama ini muncul adalah membiarkan haltersebut, membiarkan masyarakat menemukanjalan penyelesaiannya. Tentu berbahaya bagi

kondisi kebangsaan saat masyarakat tertimpaberbagai persoalan sementara negara seolahmembiarkan. Beberapa waktu lalu sempat ber-kumpul beberapa akademisi, NGO, dan penggiatstudi agraria yang mencoba untuk mendorongnegara berperan lebih serius dalam melihatpersoalan tersebut. Upaya-upaya extra ordinarymenurut para akademisi diperlukan agar bangsaini bisa bangkit dari keterpurukan persolan kon-flik agraria. Salah satu yang dianggap palingpenting adalah mendorong penguatan kinerjalembaga yang bertanggung jawab terhadappersoalan-persoalan menyangkut agraria.

Di luar enam akar persoalan di atas, konflikterus mengalami peningkatan akibat perluasanlahan yang tidak memperhatikan ekologi, tataruang, dan tata wilayah. Pemerintah gagalmengatur dan menertibkan para pengusaha yangterus mengajukan izin pembukaan lahan tanpamempertimbangkan aturan hukum yang berla-ku. Bukan rahasia lagi bahwa kong kalikong anta-ra penguasa dan pengusaha terus berjalan, baikpada kasus pembukaan lahan perkebunan4 mau-pun kehutanan, dan celakanya hukum tidakmampu menyentuh mereka. Pemerintah sudahmencanangkan 2013 zero konflik lahan antarapengusaha dengan masyarakat, akan tetapi upayaitu tampaknya jauh panggang dari api, sebabkegiatan hulu yang menjadi persoalan mendasarmasih terus diproduksi, yakni pemberian izinpengelolaan dan perluasan pembukaan lahan,baik untuk kepentingan perkebunan maupuntanaman industri.

Untuk kasus Riau, hal yang sama sebagaima-na laporan penelitian Prudensius Maring dkk.,akar konf lik terjadi akibat tumpang tindihkebijakan, perluasan HTI/HPH, dan kegagalannegara berlaku adil terhadap semua warganya.

3 DR. Prudensius Maring, MA, Prof. DR. Afrizal,MA, Jomi Suhendri S., SH, Dr. Ir. Rosyani, M.Si, dkk.2011. “Studi Pemahaman dan Praktik AlternatifPenyelesaian Sengketa oleh Kelembagaan Mediasi KonflikSumberdaya Alam di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Barat,dan Sumatera Selatan”, (Laporan Penelitian), Pekanbaru:Scale Up (Kemitraan Pembangunan Sosial Berkelanjutan),hlm. 65.

4 Anton Lucas dan Carol Warren, 2007. “The State,the People, and Their Mediators: The Struggle OverAgrarian Law Reform in Post-New Order Indonesia”.Indonesia, Edisi 76.

Page 99: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

98 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Pada sisi ini, munculnya konflik berbarengandengan munculnya kegagalan penataan ruang,seperti yang terjadi pada kasus Pulau Padang(Kabupaten Kepulauan Meranti) antara wargadengan RAPP (Riang Andalan Pulp and Paper).Negara tidak cermat menempatkan sebuah wila-yah dalam izin konsesi HTI tanpa memper-hatikan tata ruang. Bagaimana mungkin sebuahwilayah yang puluhan bahkan ratusan tahundidiami oleh warga dengan begitu saja tidakdianggap, seolah tidak ada penghuninya. Wajarapabila kemudian muncul persoalan yangbiayanya sangat mahal.

Sejak 2007-2009, kasus konflik di Sumaterapada umumnya adalah persoalan konf likperkebunan. Beberapa catatan menunjukkanpembukaan lahan sawit yang begitu besar—Riaumemiliki lahan sawit terbesar di Indonesia5—membuat semakin tingginya konflik perebutanlahan antara pengusaha dengan warga. Hal ituterjadi tidak saja menabrak lahan masyarakattetapi juga berusaha meminggirkan mereka.Akan tetapi, pada tahun 2010-2012 terjadi peru-bahan pola konflik, dari perkebunan ke hutanproduksi. Kisah konflik dan perebutan lahanmengalami pergeseran dari perkebunan kehutan produksi/Hutan Tanaman Industri (HTI).Digeser dalam pengertian kuantitas konflik diHTI jauh lebih tinggi dibanding pada lahanperkebunan. Namun, hal itu tidak berarti konflikpada lahan perkebunan berkurang atau menge-cil. Data yang dihimpun oleh Scale Up menun-jukkan angka yang cukup menarik:

Diagram 1. Perbandingan dan distribusikonflik berdasarkan status lahan, 2010

Diagram 2. Perbandingan jumlah konflik padalahan hutan produksi dengan lahan

perkebunan di Riau, 2011/2012

Sumber diagram 1-2: Laporan Tahunan (ExecutiveSummary). “Konflik Sumberdaya Alam diRiau Tahun 2008, 2009, 2010, 2011”.Pekanbaru: Scale Up (Sustainable SocialDevelopment Partnership), 2012.

Tahun 2010 konflik pada lahan hutan produk-si mengalami peningkatan yang cukup tinggidibanding pada tahun sebelumnya. Sejak 2010persebaran konflik hutan produksi dengan ma-syarakat mulai menyebar hampir ke seluruhkabupaten di Riau. Peningkatan itu terjadi kare-na ekspansi lahan beberapa perusahaan besarsemakin tak terbendung. Lebih dari 260 ribuhektar lahan konflik terjadi di hutan produksi,sementara konflik di lahan perkebunan danhutan lindung relatif lebih rendah. Data di atasmenunjukkan, semakin besar konf lik danbanyaknya kelompok yang memiliki interes,maka semakin rumit diselesaikan karena berba-gai elemen dan kepentingan masuk di dalamnya.Faktanya, pertumbuhan konflik dari tahun keta-hun bukan justru mengecil, baik dari sisi jumlahlahan maupun pihak yang berkonflik.

Pada kasus Pulau Padang, persoalan menda-sar adalah munculnya kegelisahan banyak warga

5 Marcus Colchester, Norman Jiwan, Andiko, dkk.2006. Tanah yang Dijanjikan: Minyak Sawit dan Pem-bebasan Tanah di Indonesia, Implikasi terhadap MasyarakatLokal dan Masyarakat Adat. Jakarta: Forest People Prog-ramme dan Perkumpulan Sawit Watch, hlm. 26.

230.492

Hutan Produksi

Hutan lindung.konservasi

Perkebunan/HPL

28.000 84.079

Page 100: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

99M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

akan status tanah yang mereka miliki secara adatakibat keluarnya SK Menhut No. 327 Tahun 2009dan terancamnya ekosistem yang berpengaruhlangsung terhadap kelangsungan kehidupanmasyarakat banyak. Lahan gambut sangat rentandengan status air, saat musim penghujan akandatang banjir dan saat musim panas tiba ia akankehilangan air dalam situasi serius. Artinya ke-beradaan RAPP yang akan membuka lahan hutandi sekitarnya akan menjadi ancaman serius da-lam jangka panjang, yakni ancaman air laut ma-suk kedarat dan ancaman kekeringan saat musimpanas. Tentu dalam konteks land tenure akansegera muncul sebagai bagian dari konsekuen-sinya. Ketika isu terus bergulir, kecurigaan ma-syarakat pada masing-masing kelompok mulaiterlihat karena ada pihak-pihak yang menolakdan ada pihak-pihak yang menerima keberadaanRAPP. Hal itu akan mempersulit posisi wargakelas bawah bagaimana ia akan bertahan danmenghadapi situasi yang serba tidak pasti.

Dari beberapa gambaran di atas, dalam artikelini penulis ingin melihat struktur yang ada dalampermainan besar bernama konflik Hutan Ta-naman Industri yang di dalamnya melibatkanbanyak pihak. Dari struktur itu penulis inginmelihat proses-proses berlangsung yang meng-hasilkan posisi masyarakat pada sisi yang lemah,kedua ingin melihat sejauh mana secara luasperubahan struktur dan kebijakan yang mun-cul berimplikasi langsung terhadap masyarakatPulau Padang.

Untuk mengkaji persoalan konflik di PulauPadang yang terjadi antara masyarakat denganRAPP, penulis mencoba melakukan penelusurandata secara maksimal dengan berbagai metode.Saat berkunjung ke Riau pada tahun 2010 dan2012, penulis sempat melakukan beberapa kaliwawancara terbatas, sekalipun wawancara itutidak untuk kepentingan langsung esai ini, akantetapi beberapa data sangat terkait dengan perso-alan Pulau Padang. Wawancara dilakukan dengan

beberapa warga dan beberapa anggota dewansetempat. Dokumen Scale Up, sebuah LSM diRiau yang bergerak di bidang konservasi alamdan isu-isu lingkungan telah kami dapatkan.Melalui koresponden saya mendapatkan bebera-pa data yang mereka miliki. Tentu saja ada jugabanyak data dukungan dari media online. Bebe-rapa data online yang saya dapatkan sempat sayakomunikasikan dengan beberapa sumber yangsaya temui, baik kebetulan mereka datang keYogyakarta maupun komunikasi via online.

Dalam melakukan penelusuran data-dataPulau Padang, penulis menemukan beberapatulisan yang secara prinsip tidak pernah ditemu-kan tulisan yang utuh tentang kasus konflik yangsedang berlangsung di Pulau Padang. Akan teta-pi, beberapa tulisan yang muncul adalah kajianlegal opini dan analisis konflik SDA secara luas,begitu juga data-data online yang muncul adalahberita-berita menyangkut persoalan PulauPadang.6 Beberapa penulis seperti Imade Ali,Sutarno, dan Teguh Yuwono, mencoba melihatpersoalan Pulau Padang dengan pendekatankronologis. Pendekatan ini sangat menarik kare-na melihat persoalan dari sudut pandang gerakdari waktu ke waktu apa yang terjadi di PulauPadang. Kajian ini penulis tempatkan sebagaibahan rujukan dan pembanding dalam melihatbeberapa hal, termasuk merujuk kajian padaSurat Keputusan Menteri Kehutanan No. 356/Menhut-II/2004 Tanggal 1 November 2004 danSK Menteri Kehutanan No. 327, 2009. AnugerahPerkasa, wartawan harian Bisnis Indonesia telahmelakukan investigasi ke Pulau Padang yangmenghasilkan 4 tulisan bersambung. Ia mencobamenampilkan secara utuh namun singkat dari

6 Salah satu kajian legal opini dilakukan oleh TimJikalahari yang mencoba embedah SK Menhut 327, tentangizin konsesi HTI di Pulau Padang. Tim Jikalahari, 2011.“Hutan Rawa Gambut dan Permasalahan SK 327/MENHUT-II/2009”. Pekanbaru: Jikalahari, 2011.

Page 101: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

100 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

pergerakan masyarakat Pulau Padang pada awal2010 sampai usaha melakukan bakar diri di Ja-karta.7

Tulisan lain yang secara khusus dan kompre-hensif dalam melihat Pulau Padang belum penu-lis temukan, akan tetapi beberapa tulisan analisisdata yang dikeluarkan oleh Scale Up, Jikalahari,Mongabay, STR (Sarikat Tani Riau) cukup mem-bantu penulis dalam merekonstruksi beberapapersoalan menyangkut kasus konflik wargadengan RAPP. Dalam skala luas untuk melihatkonflik, kajian Prudensius Maring dkk. cukupmemberikan pemahaman yang kompleks bagai-mana konflik agraria terjadi di Pulau Sumatera.Kajian ini memberikan keyakinan penulis bahwapenyelesaian konflik agraria tidak bisa dilakukansecara parsial sebagaimana selama ini dianut olehpemerintah, namun harus diselesaikan dari hu-lu. Kebijakan negara dalam melihat persoalansumber daya agraria di Sumatera adalah katakunci bagaimana konflik bisa diselesaikan.Dengan mengkaji 4 provinsi di Sumatera, la-poran penelitian ini membuat sebuah analisismenarik, dengan menempatkan kebijakan hulusebagai persoalan krusial munculnya konflik didaerah dan uniknya, empat provinsi dinilai me-miliki akar persoalan yang sama.8 Tulisan penting

lainnya adalah blog pribadi aktivis petani PulauPadang, M. Riduan. Sebagai pimpinan STR ca-bang Meranti yang juga pimpinan aksi, iabanyak melakukan pendokumentasian danmenulis dalam blog pribadinya. Sekalipun ca-tatannya singkat, hal itu sangat membantumemahami penggalan cerita dari kasus PulauPadang.9 Di atas semua itu, penulis ingin melihatpersoalan Pulau Padang dari sisi struktur keku-asaan yang menyebabkan munculnya konflik diPulau Padang, tentu juga melihat proses-prosesyang terjadi di sana. Dengan melihat strukturdan pola bangunan kekuasaan kapital, kasusPulau Padang menurut hemat penulis adalahbagian kecil dari persoalan konflik sumberdayaagraria di Indonesia.

Dalam teori klasik, konflik dilihat sebagaibagian dari paradigma penyelesaian persoalan,kelompok ini meyakini konflik akan menghasil-kan sebuah perubahan. Beberapa teori ini seringmengemuka bahwa konflik akan menunjukkanujungnya yakni berupa instrumen lahirnya sebu-ah perubahan sekalipun dengan cara yang “revo-lusioner.” Ralf Dahrendorf melihat masyarakatdalam dua wajah, yakni konflik dan konsensus,dalam kondisi ini kedua wajah itu saling meleng-kapi. Ia meyakini konflik akan melahirkan kon-sensus.10 Jarang dalam sistem masyarakat yangnormal tak ada konflik yang tidak bisa dikonsen-suskan. Dalam konteks ini, ilmu sosial selalu me-lihat konflik adalah gejala yang terjadi di masya-rakat dan dijadikan indikator untuk memahamiapa yang menjadi keinginannya. Tanpa menun-jukkan kemauannya maka sulit untuk dipahamiperilaku dan struktur yang ada.

Berbeda dengan Karl Marx dalam melihatmasyarakat, ia meyakini masyarakat sudah ter-

7 Anugerah Perkasa, 2012. “Tragedi Pulau Padang:Dari Lukit hingga Tebet Dalam (1-4)”. www.bisnis.com,13-14 Agustus 2012. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2012.Gerakan menuju titik ekstrim ini akibat eskkalasi danketegangan yang tidak terdekteksi sehingga menuju padatitik polarisasi, petani berubah menjadi ekstrim dalamtindakan-tindakannya. Doug McAdam, Sidney Tarrow,Charles Tilly, 2004. Dynamics of Contention. CambridgeUniversity Press.

8 DR. Prudensius Maring, op.cit., hlm. 65-66. Lihatjuga Johny Setiawan Mundung, Muhammad Ansor,Muhammad Darwis, Khery Sudeska, Laporan Penelitian“Analisa Konflik Pertanahan di Provinsi Riau AntaraMasyarakat dengan Perusahaan (Studi Tentang PT RAPP,PT IKPP, PT CPI dan PT Duta Palma 2003-2007)”,Pekanbaru: Tim Litbang Data FKPMR, 2007. Didownloaddari: www.scaleup.or.id.

9 http://riduanmeranti.blogspot.com/#uds-search-results.

10 Ritzer, George & J. Goodman, Douglas. 2004. TeoriSosiologi Modern. Edisi keenam. Jakarta: Prenada Media.

Page 102: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

101M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

bentuk dalam struktur kelas sosial, dan kelassosial secara sadar sudah memiliki potensi dankonflik itu sendiri, ia melekat pada strukturbasisnya, sehingga konflik dengan sadar bisadipahami sebagai bagian dari aktivitas masyarakat.Teori Marx11 relatif bisa digunakan dalam melihatsegala jenis konflik yang terjadi di masyarakatkarena konflik dengan mudah bisa dideteksidengan melihat kelas, ketimpangan, dan ketidak-adilan dalam sistem masyarakat, sekalipun kelastidak mesti selalu berlawanan, sebab kelas ka-dang memiliki logikanya sendiri. Marx disan-dingkan dengan Charles Tilly12 dengan teorinyacollective action tampaknya mudah melihat stuk-tur yang muncul dalam lingkup konflik.

Kasus Pulau Padang akan mudah dijelaskandengan pendekatan collective action karenabegitu banyaknya interest yang muncul dalamranah tersebut. Tilly meyakini common interestmenjadi poin penting dalam melihat konflik,dan apa yang menjadi fenomena konflik sumberdaya alam bisa kita balik yang memiliki kepen-tingan adalah para pelaku-pelaku yang meman-faatkan sumber daya alam. Saya mencobamembandingkan dengan teori Tilly dkk lainnyayang jauh lebih rumit. Dalam beberapa case diPulau Padang sangat mungkin dan menarikuntuk lebih jauh dielaborasi dengan pendekatanDynamic of Contention.13 Pendekatan ini me-mang lebih kompleks, karena memiliki prasyaratdan beberapa proses: pembentukan identitas,eskalasi, polarisasi, mobilisasi, dan pembentukanaktor. Proses itu memang hampir semua terjadi

di Pulau Padang, namun tidak semasifsebagaimana pada kasus-kasus besar sepertiSambas, Poso, Ambon.

Polarisasi di Pulau Padang benar terjadi me-nuju titik ekstrim dalam beberapa kasus, namuntidak meluas, bahkan menurut saya mengalami“kegagalan” sebagai upaya menuju target, namunmobilisasi yang masif dari semua sikap acuh olehwarga berhasil digerakkan, dalam konteks inibisa dilihat sebagai “keberhasilan”. Begitu jugahalnya ketika kelompok tak terorganisir saat inimenjadi jauh lebih terorganisir, termasuk pem-bentukan aktor.

B. Melihat Pulau Padang dari Dekat

“Masyarakat Pulau Padang yang tadinya pragmatis,tidak tahu tentang politik, kini mengalamipeningkatan kualitas kesadaran yang sangat luarbiasa. Aksi massa menjadi sebuah topik yang dibi-carakan di mana-mana. Orang-orang di sepanjangjalan yang saya temui, selalu menanyakan kepadaRidwan agenda-agenda aksi dan berapa banyakperwakilan yang harus mereka kirim. Di jalan itupula, Ridwan mengatakan, di Pulau Padang orangkini punya semboyan, “Hidup adalah mati, merdekaadalah perang”.14

“Tak bergeming aksi jahit mulut beberapa waktulalu, baik di Riau maupun di depan Gedung DPRakhir tahun lalu, kali ini warga Pulau Padang, Ka-bupaten Meranti, Provinsi Riau, kembali melakukanaksi nekat cukup menggegerkan, yaitu aksi bakardiri.Aksi bakar diri ini, tidak lain tuntutannya agar menye-lamatkan Pulau Padang. Aksi tersebut merupakanpenolakan terhadap pemerintah agar segeramencabut SK 327 Menhut/2009 di mana peme-rintah khususnya Menteri Kehutanan segera men-cabut izin jalan aktivitas PT RAPP yang dianggapnyasecara tidak langsung dapat mengancam kehidupanmasyarakat Pulau Padang.

11 Franz Magnis-Suseno, 1999. Pemikiran Karl Marx:Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta:Gramedia.

12 Charles Tilly, 2004. Social Movement, 1768-2004,London: Paradigm Publisher, lihat juga R.Z. Leiriza, 2004.“Charles Tilly dan Studi tentang Revolusi”, Jurnal Sejarah,Vol. 6.

13 Doug McAdam, Sidney Tarrow, Charles Tilly,2004. Op.cit.

14 Tutut Herlina, 2012. “Berkorban demi Pulau Padang(1)”, Sinar Harapan, Selasa, 25 September 2012. Lihat jugahttp://www.shnews.co/detile-8396-berkorban-demi-pulau-padang-1.html.

Page 103: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

102 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

“Aksi bakar diri adalah tindakan yang suci dan haruskami lakukan setelah aksi jahit mulut beberapa waktulalu agar pemerintah belajar mendengar,” ujar KetuaUmum Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Riau(STR), M Ridwan kepada SH, di Pekanbaru, Senin(18/6). Ia menegaskan, sejak awal telah disampaikanbahwa pemerintah harus mampu menyelamatkanPulau Padang. Aksi bakar diri ini merupakan puncakkekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yangtidak berani mengevaluasi kebijakan SK Menhut No327 Tahun 2009 yang dinilai salah”.15

Diagram di bawah ini sengaja penulis hadir-kan untuk melihat peta persoalan mendasarmengapa konflik begitu mudah muncul danbagaimana menjelaskan akar persoalannya. Se-sungguhnya, konflik bukan suatu barang antikyang penting untuk dipelihara, tapi harus disi-kapi sebagai bagian dari sistem budaya dan kerjadalam masyarakat. Konflik di Riau menyebarbegitu cepat dari satu ruang ke ruang yang lain,dari satu lahan menuju lahan-lahan lain. Di sisilain kebijakan untuk menciptakan zero konflikatau mengurangi konflik sangat minim, sehing-ga konflik terus menjalar. Ada sepuluh kabu-paten yang menjadi titik konflik di Riau baik kon-f lik di lahan perkebunan maupun di hutanproduksi.

Diagram 3. Konflik di sektor hutan produksi(Hutan Tanaman Industri) di Riau

berdasarkan kabupaten/kota, 2011/2012

Diagram 4. Konflik di sektor perkebunan diRiau berdasarkan kabupaten/kota, 2011/2012

Diagram 5. Perbandingan total luasankonflik sumberdaya alam di Riau tahun

2007, 2008, 2009, 2010, 2011

Sumber diagram 4-5: Laporan Tahunan (ExecutiveSummary). “Konflik Sumberdaya Alam diRiau Tahun 2008, 2009, 2010, 2011”.Pekanbaru: Scale Up (Sustainable SocialDevelopment Partnership), 2012.

Jika diperhatikan data di atas, pada tahun 2011konf lik di hutan produksi di seluruh Riaumelibatkan 262,877 hektar, sementara konflikpada lahan perkebunan (sawit) telah melibatkan39.246 hektar. Catatan ini coba saya tampilkandalam satu tahun untuk melihat tingginya lajukonflik pada lahan hutan produksi. Yang mena-rik, jumlah konflik di lahan hutan produksi meli-batkan begitu besar perusahaan. Menjadi peman-dangan umum bahwa pembukaan hutan di Riausecara besar-besaran telah berdampak serius padasaat ini dimana semua perusahaan pulp and pa-per telah “menggunduli” hutan-hutan Riau. Da-lam laporan yang sama, ada sekitar 30 perusa-haan yang berhubungan dengan bubur kertas,dari 30 itu mereka telah berebut kayu-kayu Riaudan ruang bekas penebangan kayu. Pada ruang

15 Uparlin Maharadja, 2012. “Warga Pulau Padang AksiBakar Diri di Depan Istana”, Sinar Harapan, Selasa, 19Juni 2012. Lihat juga http://www.shnews.co.

Page 104: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

103M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

inilah mereka saling berlomba memperluas izinusahanya untuk memenuhi kebutuhan bahanbaku industrinya. Realitasnya, apa yang dikerja-kan mereka telah menimbulkan persoalan seriusdan sumber konflik bagi masyarakat Riau.

Kasus Pulau Padang dalam pandangan pene-liti bukanlah suatu yang baru, bahkan terjadi diberbagai tempat, akan tetapi setiap wilayah memi-liki tipologi yang berbeda. Persoalan PulauPadang termasuk sebuah kasus yang cukup besardan menjadi isu nasional, bahkan menjadiperhatian bagi NGO internasioal. Hal itu terjadikarena melibatkan puluhan ribu warga tem-patan, melibatkan sebuah perusahaan raksasa,dan juga dalam berbagai analisis melibatkanbanyak elite birokrasi yang terlibat dalam berba-gai kepentingan. Di sisi lain, Pulau Padang meru-pakan kawasan lahan gambut yang seharusnyadilindungi, sehingga menjadi perhatian banyakpihak.

Tabael 1. Daftar Nama perusahaan dan luas(Ha) konflik antara masyarakat dengan

perusahaan selama tahun 2011

Diagram 6. Distribusi konflik berdasarkangroup perusahaan di Riau

Sumber Tabel 1 dan Diagram 6: Laporan Tahunan(Executive Summary). “Konflik Sumber-daya Alam di Riau Tahun 2008, 2009, 2010,2011”. Pekanbaru: Scale Up (SustainableSocial Development Partnership), 2012.

Sebagai sebuah perusahaan besar, APRIL(Asia Pacif ic Resources International Ltd.) yangmemiliki 7 anggota perusahaan telah lamabercokol di wilayah Riau dan RAPP merupakansalah satu yang terbesar. Perusahaan ini membu-tuhkan banyak dukungan bahan baku untukkeberlangsungan produksinya. Di mata orangRiau dan NGO yang bergerak dalam hal konser-vasi sekaligus pemerhati lingkungan, perusahaanini sangat akrab dengan isu konflik dan perusa-kan lingkungan. Hal itu dibuktikan juga dengandiagram di atas, April group menjadi “juara”dalam hal urusan konflik dengan warga yangmelibatkan lahan seluas 203.870 hektar. Posisiini menurut data Scale Up, tidak terlalu menge-jutkan karena sepak terjang RAPP hampir meratadi seluruh wilayah kabupaten kota di Riau. Untukkasus RAPP di Pulau Padang sendiri merupakanyang terbesar di seluruh Riau (hampir 70.000hektar), dan lebih dari separo lahan konflik ter-sebut terdapat di Pulau Padang (41.205 hektar).

1. Meranti dan Pulau Padang

Kutipan laporan investigatif wartawan SinarHarapan di atas tidak berlebihan apalagi bom-bastis, namun syarat menggambarkan perju-angan warga Pulau Padang yang hingga kini be-lum menemukan nasib baiknya. Warga PulauPadang yang sudah beberapa tahun terakhir ini

Page 105: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

104 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

bergerak melawan korporasi sudah merenggangnyawa demi menyelamatkan apa yang diyakini,meyelamatkan apa yang selama ini menjadi sum-ber penghidupan warga selama puluhan tahun.Sebuah perusahaan raksasa bernama Riau An-dalan Pulp and Paper (RAPP),16 perusahaanbubur kertas telah mengusik keheningan wargayang jauh dari hiruk pikuk modernitas dan per-kotaan. Sebuah pulau yang tidak terlalu besardan tidak memiliki kekayaan alam yang banyak,hanya seonggok gambut tebal dengan segalapenghidupan warga dan aktif itas perkebunankaretnya.17

Secara administratif, Pulau Padang di bawahsebuah kabupaten baru bernama KepulauanMeranti (akronim dari Merbau, Rangsang, danTebing Tinggi). Meranti merupakan kabupatendengan tiga pulau kecil, Pulau Padang, PulauRangsang, dan Pulau Tebing Tinggi. Kabupaten

ini sebelum 2009 berada di bawah administratifKabupaten Bengkalis, dan sejak 2009 menjelmamenjadi kabupaten sendiri. Meranti18 terdiri atas7 kecamatan, dan total penduduk pada 2011 seki-tar 233.024 jiwa. Mayoritas masyarakat Merantitinggal di pedesaan dan bekerja pada perke-bunan karet, sagu, sawit, dan bertani sayur-sayuran. Sementara ibukota kabupaten beradadi Selatpanjang yang banyak dihuni oleh parapedagang Tionghoa, Padang, Melayu, dan Jawa.Selatpanjang adalah nama yang cukup dikenalkarena wilayah ini merupakan sebuah kota da-gang transit Pesisir Timur Sumatera, ia menjadipenghubung antara Pulau Batam-Tanjung BalaiKarimun dan Pekanbaru, dan juga Bengkalisdan Dumai. Sebagai kota dagang transit, kotaini cukup ramai dikunjungi oleh wilayah pinggirseperti Rangsang Barat dan Timur, Kep. Merbau,Belitung, Tanjung Samak, Guntung, dll. Hirukpikuk kota ini cukup ramai di pagi hari hinggasekitar pukul 14.00, sorenya tidak terlalu banyakaktif itas ekonomi, karena jalur laut yang diguna-kan wilayah penyangga hanya sampai siang.Pukul 14.00 puluhan kapal-kapal yang merapatdi dermaga-dermaga kecil di Selatpanjang sudahkembali lagi ke daerahnya masing-masing.Mayoritas lahan tiga pulau ini adalah lahan gam-but dengan ketebalan yang cukup tinggi, bahkandi Pulau Padang lahan gambut mencapai 9-12meter.19 Dalam Peraturan Menteri Kehutanan,kawasan gambut dengan kedalaman > 3 metermasuk kawasan yang harus dilindungi, tidakdiperuntukkan HTI, karena akan merusak eko-

16 PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP),perusahaan milik Asia Pacific Resources Internationa Lim-ited (APRIL) ini didirikan tahun 1992. Kantor pusat PTRAPP berada di Pangkalan Kerinci, Kecamatan Langgam,Kabupaten Pelalawan. RAPP merupakan kelompok RajaGaruda Mas (RGM) milik konglomerat Sukanto Tanotodan kelompok Sinarmas milik taipan Eka Tjipta Widjajadari Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP).

17 Pulau Padang merupakan wilayah yang tak begituluas, sekitar 110 ribu hektar, didiami 14 desa (1 kelurahandan 13 desa), di bawah Kecamatan Merbau, dengan ibukotaKecamatan Teluk Belitung. Penduduk Kecamatan inisejumlah 47.370 jiwa, dan luas total wilayahnya 1.348,91 KM2.Terdiri atas Kelurahan Teluk Belitung, Desa Bagan Meli-bur, Bandul, Dedap, Kudap, Lukit, Mekar Sari, Mengkirau,Mengkopot, Meranti Bunting, Pelantai, Selat Akar, Tan-jung Kulim, dan Desa Tanjung Padang. Mayoritas pendu-duk Pulau Padang dari suku Melayu dan Jawa. Penghasilansehari-hari sebagai petani karet, kelapa, kopi, kapas, coklat,dan persawahan (padi), lihat www.merantikab.go.id. Di pulauini terdapat satu tokoh yang cukup populer, IntsiawatiAyus yang duduk di pusat sebagai anggota DewanPerwakilan Daerah utusan Provinsi Riau. Putri kelahiranTeluk Belitung ini terpilih sebagai angora DPD padaperiode 2009-2014. Saat kasus Pulau Padang mencuat, beliaujuga tampil diberbagai kesempatan yang membela parapetani Pulau Padang.

18 Sebelum 2013, Kabupaten Meranti terdiri atasKecamatan Tebing Tinggi Barat, Tebing Tinggi, Rangsang,Rangsang Barat, Merbau, Tebing Tinggi Timur, PulauMerbau. Kecamatan Pulau Merbau meliputi seluruh PulauMerbau sedangkan Kecamatan Merbau wilayahnya meliputiseluruh Pulau Padang.

19 Haryanto, 1989. “Studi Pendahuluan StrukturVegetasi Hutan Gambut di Pulau Padang, Provinsi Riau”.Media Konservasi Vol. II (4), Desember 1989.

Page 106: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

105M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

sistem dan berpotensi merusak kawasan terse-but.20

Pulau Padang sebelumnya tidak dikenal, dansejak 2009 menjadi sebuah berita nasional akibatpenolakan warganya atas tindakan PT. RAPP“mengekploitasi” lahan gambutnya. Sebagaimanaramai diberitakan, RAPP mendapat konsesi dariDepartemen Kehutanan di pulau tersebut seluas41.205 hektar. Artinya lebih dari 40 persen wilayahPulau Padang dikonsesikan kepada RAPP, kare-na luas pulau itu hanya sekitar 110 ribu hektar.Anehnya, Departemen Kehutanan begitu sajamemberikan izin kepada RAPP dan menabrakhampir semua wilayah (kampung) yang diting-gali penduduk sejak puluhan tahun. Alasan bah-wa menurut peta milik Departemen Kehutananbahwa Pulau Padang tidak berpenduduk sangatmenyakiti hati warga Pulau Padang, dan karenaitulah warga menjadi lebih berani, radikal, bah-kan bertindak ekstrim di luar kebiasaan manusiaMelayu21 pada umumnya, yakni aksi menjahitmulut di depan gedung DPRD Riau dan DPRpusat serta nekat mau membakar diri. Akantetapi upaya itu dapat digagalkan oleh polisi kare-na enam petani yang menyelinap ke Jakarta ber-hasil masuk radar intelijen polisi sehingga selamadi Jakarta gerak gerik mereka diawasi oleh aparatkemanan.22

Diagram 7. Distribusi total luas lahan konfliksumberdaya alam berdasarkan kabupaten/kota

di Riau, 2011/2012

Sumber: Laporan Tahunan (Executive Summary).“Konflik Sumberdaya Alam di Riau Tahun2008, 2009, 2010, 2011”. Pekanbaru: ScaleUp (Sustainable Social Development Part-nership), 2012.

Dari diagram di atas terlihat dengan jelasbahwa konflik agraria yang terjadi saat ini di Riauyang terbesar terjadi di Kabupaten Merantidengan melibatkan lahan seluas 69.890 hektar,kemudian Kotamadya Dumai 50.000 hektar,Pelalawan 44.957 hektar. Di Meranti konflikmelibatkan 3 kecamatan, dan konflik terbesarterjadi di Kecamatan Merbau (Pulau Padang),kemudian Kecamatan Rangsang, dan KecamatanTebing Tinggi. Konflik ditiga kecamatan tersebutsemua menyangkut konflik hutan untuk kepen-tingan industri pulp and paper, bukan konflikperkebunan sebagaimana selama ini mendomi-nasi. Ditiga kecamatan ini juga terdapat perke-bunan yang cukup luas, terutama KecamatanTebing Tinggi, yakni perkebunan sagu, karenasagu menjadi salah satu makanan pokok seba-gian masyarakat Meranti.

2. Apa yang Terdengar dan Terlihat diPulau Padang

Sejauh ini, RAPP sebagai sebuah perusahaanbesar telah lama bercokol di Riau (berdiri sejak1992). Menurut catatan Scale Up, sebuah NGOyang peduli dengan isu deforestasi di Riau,APRIL grup mendominasi persoalan konflik HTIdi Riau. Dalam laporan tahunannya, sepanjang

20 Teguh Yuwono, tt. (tanpa tahun). “Konflik IzinIUPHHK-HT PT. RAAP di Pulau Padang: Potret BuramPenataan Ruang & Kelola Hutan di Indonesia”.

21 Dalam khasanah gerakan sosial Indonesia, orangMelayu tidak memiliki sejarah kenekatan seperti yang telahditunjukkan oleh warga Pulau Padang. Mayoritas pendudukpulau ini beragama Islam dan banyak pula warga di pulau iniyang tradisi agamanya berbasis madrasah, pesantren (NU)dan mayoritas tradisi agamanya cukup kuat. Usaha untukmelakukan bakar diri yang juga berarti bunuh diri bagi tradisiNU nyaris tidak dikenal, namun hal itu pernah akan dilakukanoleh sekelompok petani di Pulau Padang, lihat AnugerahPerkasa, op.cit.

22 Anugerah Perkasa, op.cit.

Page 107: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

106 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

lima tahun terakhir area konsesi perusahaan ter-sebut paling banyak bersengketa di Riau denganmelibatkan lahan seluas 84.400 hektar, diikutioleh PT. Smatera Riang Lestari 57.100 hektar.23

Sebelum kasus Pulau Padang muncul, RAPPmelalui mitranya (PT. Lestari Unggul Makmur)juga mendapat izin konsesi di Pulau TebingTinggi seluas 10.390 hektar dan Pulau Rangsangmelalui PT. Sumatera Riang Lestari memperoleh18.890 hektar. Pulau Rangsang terletak persis diutara Pulau Tebing Tinggi (Selatpanjang) ibukotaKabupaten Meranti. Izin di Pulau Rangsang danTebing Tinggi sebenarnya juga sempat menjadipersoalan, akan tetapi warga tidak berhasil meno-lak secara massal, sehingga proyek jalan terusdan mitra RAPP tetap nyaman berada di pulautersebut.24

Mengapa RAPP begitu perkasa di Riau? Seja-rah tidak bisa begitu saja kita lepaskan, bahwaRAPP telah begitu lama menguasai wilayah dara-tan Riau dan kepulauanya. Sebagai sebuah peru-sahaan bubur kertas yang mensuplai kertas-kertas terbaik dunia, RAPP membutuhkan bahanbaku begitu banyak, bahkan tidak pernah akancukup sekalipun menggunduli semua hutan diSumatera. Kebutuhan kertas Indonesia dan du-nia begitu tinggi sementara suplai bahan bakutidak sebanding dengan laju kebutuhannya,maka jalan pintas dilakukan oleh banyak peru-sahaan. Kemandirian Perusahaan untuk mema-sok bahan baku sendiri tidak pernah tejadi kare-

na tidak menciptakan sistem penanaman HutanTanaman Industri sejak awal, dan mereka jugasadar proses penanaman kayu membutuhkanwaktu 8 tahun untuk siap dipanen.

Indonesia memiliki sekitar 80 perusahaanyang bergerak di bidang pulp and papers, denganmenghasilkan sekitar 6.3 juta ton pertahun. SinarMas melalui bendera usaha Asia Pulp & Paper(APP) menguasai pangsa pasar terbesarnya. Dibawah grup APP, ada 7 anak perusahaan yakniPT. Pabrik kertas Tjiwi Kimia, PT. Indah Kiat Pulp& Paper, PT. Pindo Deli Pulp and Papers Mills,PT. Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry, PT.The Univenus, PT Ekamas Fortuna, dan PT. Pu-rinusa Ekapersada. Total kapasitas 7 perusahaanitu menghasilkan 2,68 juta ton per tahun, atau42 persen dari kapasitas nasional. Sementaraurutan kedua diduduki oleh RAPP di bawahgrup Raja Garuda Mas yang juga memiliki peru-sahaan besar di Samosir (Sumatera Utara)dengan bendera PT. Toba Pulp Lestari (TPL).RAPP menghasilkan 2,21 juta ton pertahun atausekitar 35 persen dari kapasitas produksi na-sional. Jika digabungkan dua perusahaan raksasaitu menghasilkan kapasitas produksi 77 persendari kapasitas produksi yang dihasilkan Indone-sia. Dengan kapasitas itu, Indonesia merupakanpemasok kertas terbesar ke-12 di dunia dan terbe-sar ke-4 di Asia setelah Cina, Jepang, dan Korea.25

Menurut Wahana Lingkungan Hidup(Walhi), APP dengan tujuh perusahaan besarnyasetiap tahun membutuhkan bahan baku kayusekitar 27,71 juta meter kubik. Sementara RAPPsetiap tahun membutuhkan 9,468 juta meterkubik. Perusahaan tersebut baru bisa memasoksendiri sebatas 5,465 juta meter kubik. Artinyaada kekurangan bahan baku yang begitu banyak(minus 31.713 juta meter kubik) dan hutan alam

23 Laporan Tahunan (Executive Summary), 2012.“Konflik Sumberdaya Alam di Riau Tahun 2008, 2009, 2010,2011”. Pekanbaru: Scale Up (Sustainable Social Develop-ment Partnership), lihat juga M. Riduan, “Ketika SKMenhut MS Kaban No 327 di tentang oleh Rakyat, NamunPemerintah Tetap Memaksakan Kehendaknya...!”, http://riduanmeranti.blogspot.com/2011/05/ketika-sk-menhut-ms-kaban-no-327-di.html

24 Menurut data Scale Up updating Juni 2012, terdapat69.890 hektar konflik lahan di Kabupaten Meranti yangterjadi di Pulau Padang dan Pulau Rangsang. Keduanyakonflik lahan antara warga dengan RAPP, ibid.

25 Data diolah dari http://www.balithut-kuok.org/index.php/home/56-industri-pulp-dan-kertas-belum-mandiri. Diakses pada tanggal 4 Maret 2013.

Page 108: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

107M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

menjadi sasarannya. Diperkirakan 70 persenkekurangan bahan baku diambilkan dari hutanalam, artinya, mereka melakukan pembabatanhutan secara masif demi untuk memenuhi kebu-tuhan bahan baku bubur kertas.26

Dengan data di atas, jelas, yang dihasilkanoleh perusahaan raksasa itu tidak mampu diatasaisendiri oleh perusahaan dalam memenuhi kebu-tuhan pokoknya (bahan baku), bahkan, mayo-ritas bahan baku diperoleh dari luar perusahaan.Artinya kebutuhan bahan baku diambil darihutan alam Indonesia. Tidak heran jika hutanSumatera mengalami deforestasi secara masifdalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Situasiini sebenarnya sudah dengan jelas tercium olehdunia internasional atas pelanggaran-pelang-garan yang dilakukan, karena dengan mengam-bil hutan alam akan merusak ekosistem dan ta-tanan sosial masyarakat tempatan, bahkan dam-paknya lebih luas dari yang diperkirakan. Indi-kasi lain, kertas dari Indonesia sekalipun diteri-ma di pasaran internasional tetap dinilai berbedadengan memberlakukan pajak lebih tinggidibanding negara-negara pensuplai kertas lain-nya. Bahkan sejak akhir 2012, beberapa negaraklien dari RAPP dan APP pergi akibat tidakseriusnya kedua perusahaan tersebut menjadi-kan sebuah perusahaan yang ramah terhadaplingkungan. Sertif ikasi SVLK (Sistem Verif ikasiLegalitas Kayu) tidak dimiliki sehingga produkkedua perusahaan tersebut mengalami kesulitanmemasuki pasar Eropa. Anehnya, kini APP sudahmengantongi 9 SVLK padahal mereka tidak mela-kukan upaya-upaya aman dan ramah ling-kungan terhadap usaha bubur kertasnya, bahkanmereka masih melakukan perambahan danpengrusakan hutan alam.27

Menurut Nazir Foead, Direktur KonservasiWWF-Indonesia, “saat ini, APRIL grup meru-pakan pelaku pembukaan hutan alam terbesardiantara produsen pulp lain di Indonesia”. Dalamcatatan lain, laporan Eyes on the Forest menye-butkan, “APRIL merupakan pelaku terbesaruntuk perusakan hutan di Riau. Perusahaan inimenebang sedikitnya 140.000 hektar hutantropis, sebagian besar terletak di lahan gambutsebagaimana terjadi pada 2008-2011. Dalamperiode itu, APRIL bertanggung jawab atashilangnya hampir sepertiga hutan alam di Riau”.28

Pada peta berikut terlihat dengan jelas batashutan alam yang masih tersisa dan hutan alamyang dihabiskan oleh perusahaan-perusahaandalam rangka penebangan untuk kepentinganindustri kertas.

Gambar “merah” pada peta berikut menun-jukkan deforestasi yang terjadi sejak 2009-2012.Angka itu jauh lebih tinggi dari laju deforestasiantara 2005-2007, padahal pada tahun 2011 lewatInpres No. 10, 2011 pemerintah memberlakukanpenundaan izin baru di hutan primer dan lahangambut (moratorium),29 namun justru pem-babatan hutan mengalami laju deforestasi begitucepat. Dalam catatan Jikalahari—sebuah NGOyang fokus pada penyelamatan hutan Riau—”tigatahun terakhir (pada 2009-2012), Riau kehi-langan hutan alam sebesar 0,5 juta hektare,dengan laju deforestasi sebesar 188 ribu hektarepertahun”. Ironisnya, 73,5 persen kehancuran itu

26 Ibid.27 Aji Wihardandi, 2012. “Asia Pulp and Paper Terus

Lolos Uji SVLK Kendati Klien Berlarian”, MongabayIndonesia, www. mongabay.co.id, 19 November 2012.Diakses pada tanggal 5 Maret 2013.

28 Sapariah Saturi, 2013. “WWF Desak APRILHentikan Penghancuran Hutan Alam”.www.mongabay.co.id, 13 Februari 2013. Diakses pada tanggal5 Maret 2013.

29 “Setahun Moratorium Hutan, Apakah hutan danGambut Indonesia Sudah Terlindungi?”. http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/Setahun-Morato-rium Hutan/blog/40230/. Ditulis oleh Yuyun Indradi, Jurukampanye Hutan, 3 Mei, 2012. Diakses pada tanggal 19Maret 2013. Moratorium akan berakhir pada bulan Mei2013, dan pemerintah belum memutuskan memperpajang ataumencabut kesepakatan tersebut.

Page 109: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

108 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

terjadi pada hutan alam gambut yang seharusnyadilindungi oleh negara. Dengan kondisi itu, saatini hutan alam Riau hanya tersisa 2,005 juta hektaratau 22,5 persen dari luas daratan yang dimilikiRiau.30

Dikalangan aktivis NGO, kegiatan parapengusaha pulp and papers ini begitu kasar kare-na telah mengabaikan berbagai kepatutan kepa-da alam. Pembalakan kayu secara liar di hutanalam lebih disukai pelaku usaha dibandingdengan mengusahakan Hutan Tanaman Indus-tri (HTI). Ironisnya, pembalakan itu dilakukansecara terang-terangan bahkan aksi “legal”dengan menunjuk kontraktor. Akibat tindakanpembalakan liar yang dilakukan oleh perusahaan

kertas, Balai Penelitian Teknologi Serat TanamanHutan mensinyalir, setiap tahun Indonesiakehilangan hutan seluas 27 kilometer persegi,atau setiap 10 detik kita kehilangan hutan alamseluas lapangan bola, dan setara juga dengan 10ribu lapangan futsal setiap hari, sementara negaradirugikan sekitar Rp 45 triliun per tahun.31

Pengalaman penulis di wilayah KabupatenMeranti juga menunjukkan hal demikian, bahwapembalakan liar di hutan-hutan alam memangterjadi secara masif, baik oleh perusahaan besarmaupun pelaku-pelaku kecil yang dilakukan olehmasyarakat. Tentu berbeda dengan apa yangdilakukan masyarakat, mereka menebang kayudan kemudian mengalirkan balok-balok kayu

30 Made Ali, 2013. “Jikalahari: Deforestasi di Riau2012 Setara Kehilangan 10 Ribu Lapangan Futsal Tiap Hari.”:http://www.mongabay.co.id/2013/01/02/jikalahari-catatan-ke jahatan-kehutanan-r iau-sepan jang-20 12/#ixzz3oOpj8kL6. 2 Januari 2013. Diakses pada tanggal 15Maret 2013.

Peta 1: Sisa Tutupan Hutan Alam Riau Sampai Tahun 2012. Sumber: Jikalahari. Diundu dari http://www.mongabay.co.id/2013/01/02/jikalahari-catatan kejahatan-kehutanan-riau-sepanjang-2012/

#ixzz3oOpj8kL6

31 Ibid. lihat juga Made Ali, “Jikalahari: Deforestasi diRiau 2012 Setara Kehilangan 10 Ribu Lapangan Futsal TiapHari”. www.mongabay.co.id/2013/01/02/jikalahari-catatan-ke jahatan-kehutanan-r iau-sepan jang-20 12/#ixzz3oOpj8kL6. 2 Januari 2013. Diakses pada tanggal 10Maret 2013.

Page 110: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

109M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

lewat parit (selokan) kecil ke laut dan menjualkepada toke atau cukong hanya untuk meme-nuhi kebutuhan hidup, sementara perusahaanmelakukan penebangan liar untuk mengumpul-kan pundi-pundi keuntungan. Situasi itu sudahmenjadi pemandangan sehari-hari dengan apayang terjadi di selat-selat di Kabupaten Meranti.Hampir setiap hari kapal-kapal mendayu-dayukelelahan karena beban berat menarik kayu yangdirakit begitu panjang. Pemandangan itu jelasbahwa mereka bergerak dengan cara “legal” seka-lipun tindakan hulunya illegal, artinya negarasengaja melakukan pembiaran yang begituserius terhadap deforestasi hutan-hutan di pulautersebut.

Menurut Ngabeni dan Riduan, illegal loggingyang dilakukan oleh masyarakat menemukantahun kejayaannya berkisar antara tahun 1990-1998. Pada tahun-tahun itulah awal munculnyapermintaan kayu secara besar-besara oleh bebe-rapa perusahaan di Riau, sehingga banyak orangdengan sedikit modal bisa melakukan pene-bangan hutan secara luas dan kemudian menju-al kapada pengumpul-pengumpul kayu. Ke-giatan masyarakat ini tidak tersentuh oleh hu-kum karena tidak ada aparat hukum yang maumasuk ke hutan dengan menempuh jalan kakiberjam-jam. Tidak mungkin aparat keamananmasuk hutan dengan berjalan kaki, sementarakondisi jalan setapak yang gembur seperti buburkarena tanah bergambut, sehingga masyarakatdengan tenang melakukan kegiatan tersebut.Akan tetapi setelah itu pemain illegal loggingbertambah banyak dan mereka dengan modalbesar bisa melakukan apa saja, misalnya mem-bangun parit-parit (kanal) yang besar untukmenyalurkan kayu ke laut. Begitu juga alat te-bang pohon sinso32 (chainsaw) yang canggih

telah mereka miliki, sementara masyarakat ma-sih menggunakan cara-cara tradisional, mene-bang dengan kampak (kapak), mengirim kayudengan cara di-gulek (didorong dengan tenagamanusia). Sementara pelaku bermodal akanmembuat parit atau kanal berukuran besar se-hingga dengan mudah kayu dimasukkan kedalam kanal dan mengirim ke laut.33 Gambar dibawah ini memperjelas bagaimana kayu diambildan dikumpulkan dalam jumlah yang banyak,kemudian dialirkan ke kanal menuju sungai ataulaut.

Gambar 1: Tumpukan kayu hasil pembabatan danpembalakan di hutan alam Riau yang siap dialirkan

ke laut. Sumber: antara.go.id

32 Orang daerah meranti menyebut alat tebang pohonyang terbuat dari rantai bermesin (chainsaw) ini dengansebutan umum sinso, gergaji mesin.

33 Hasil diskusi dengan H. Ngabeni, Meranti, 2011,dengan Riduan, Klaten dan Jogja, 16-18 Maret 2013. Prosesumum pengambilan kayu di hutan sebagaimana diceritakanNgabeni, setelah ditebang kemudian kayu dipotong sesuaiukuran kebutuhan, lalu diangkut dengan membuat jalankhusus untuk memindahkan kayu dari satu titi ke titik lain.Setelah terkumpul di pusat-pusat pengumpulan, biasanyadipinggir kali atau orang Meranti menyebut parit yang ber-ukuran kecil (lebar 60cm) ukuran besar (4-20 meter). Dariparit ini kemudian kayu dialirkan ke hilir (sungai/laut), barukemudian dirakit dengan tali dan ditarik dengan kapal menujuke perusahaan ataupun tongkang besar untuk dibawa keperusahaan dalam negeri atau ke luar negeri. Menurutnya,tindakan mereka ini hampir smuanya ilegal, tanpa izin namunmereka sudah saling paham dan menyiapkan uang sogokanmanakala di jalan bertemu dengan aparat hukum. Tak jarangsekali jalan mereka harus menyogok aparat hukum lebihdari 3 kali, dari nilai kecil hanya 1-5 juta sampai puluhan juta.Berdasarkan pengalaman mereka, nyaris tak ada yangtertahan.

Page 111: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

110 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

3. Pulau Padang: Konflik HutanTanaman Industri

Sebuah perusahaan besar beroperasi di sekitarSungai Siak, Riau. Sebuah sungai yang menurutbanyak ahli sebagai sungai terdalam di Indone-sia. Sungai yang lebarnya hanya sekitar 100anmeter itu merupakan sungai padat lalu lintas,hampir setiap hari sungai ini dilalui kapal-kapalcepat (speedboat) maupun kapal berkecepatansedang dan lambat. Sungai ini menghubungkanantara Pekanbaru Perawang, Siak menuju keButon-Bengkalis, Selatpanjang-TanjungbalaiKarimun-Batam. Puluhan kapal cepat melaluisungai ini karena hanya jalur ini yang palingefektif untuk menuju Pekanbaru sebagai IbukotaProvinsi Riau. Sungai ini menghubungkan pu-lau-pulau kecil yang secara administratif dibawah Riau. Di luar armada kapal cepat yangmelewati sungai ini, juga terdapat kapal-kapalberukuran besar dan sedang yang memuat ber-bagai macam kebutuhan, baik kebutuhanpangan warga pulau yang disuplai dari Medan,Padang, Pekanbaru dan sekitarnya menujuwilayah-wilayah penyangga.

Sebagai ibukota provinsi tentu Pekanbarumenjadi tempat banyak tujuan kepentinganwilayah administratif lainnya karena di Pekan-baru pula terdapat kampus negeri yang cukupbergengsi di Riau, diantaranya UNRI (Universi-tas Negeri Riau) UIN (Universitas Islam Negeri)dan universitas swasta seperti Universitas Lan-cangkuning dan Universitas Islam Riau. Banyakdiantara warga daerah pulau yang menyekolah-kan anaknya ke Pekanbaru, Sungai Siak adalahjalur yang selalu dilewati. Akan tetapi, dalamnyasungai ini juga bisa dimanfaatkan oleh banyakperusahaan besar untuk mengirim kayu dalamjumlah besar. Kapal tengker dan kapal indukbarang biasa melewati sungai ini untuk mem-bawa kayu dan batu bara keperusahaan buburkertas di sekitar Sungai Siak (Indah Kiat) dan keperusahaan lainnya.

Kisah Pulau Padang adalah kisah parapengumpul pundi-pundi keuangan dari daratmelewati laut. Bahan baku diambil dari darat(hutan) kemudian dikumpulkan di pingir kali/parit lalu dialirkan ke sungai menuju laut.Dengan cara ini kayu kemudian diangkut baikdengan metode dirakit dan ditarik dengan kapalatau langsung dimasukkan ke kapal tengker kayudan dibawa ke perusahaan. Dari sanalah semuabermula, dari sanalah semua dimaknai olehwarga Pulau Padang sebagai eskspansi parapengusaha besar menancapkan kukunya kehutan-hutan sekitar warga tinggal. Mereka tidakpernah sadar selama ini kapal-kapal, tongkang,kapal induk barang yang mereka lihat lalu lalangakan menjadi bagian dari sejarah mereka. WargaPulau Padang tentu tidak asing dengan peman-dangan demikian karena mereka akrab dengansungai dan laut. Mereka hidup dengan sistemdan budaya sungai sampai kemudian merekasadar abrasi semakin mengusir mereka dan ber-geser ke darat.

Hal yang dilakukan oleh RAPP di PulauPadang adalah bagian dari paket kritikan aktivisinternasional atas ketidakramahan perusahaanpulp and paper yang beroperasi di Indonesia(Riau) terhadap lingkungan. Organisasi besarinternasional Greenpeace menjadikan Riau seba-gai bagian dari target operasi kampanye, karenadi wilayah ini perusahaan beroperasi tanpamemiliki Sistem Verif ikasi Legalitas Kayu (SVLK).Hal itu terbukti dengan beberapa pejabat terasRiau ditangkap KPK, termasuk mantan KepalaDinas Kehutanan Riau, Asral Rahman atas kasuspenerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil HutanKayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) tahun2001-2006.

Dengan niat baik akan memenuhi pasokanbahan baku untuk industrinya dan mengurangipembabatan hutan alam, APRIL grup menga-jukan izin HTI kepada menteri kehutanan, yangkebetulan salah satu izin tersebut di wilayah

Page 112: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

111M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

Pulau Padang. Jauh sebelum izin itu diberikanoleh Menhut, RAPP sudah mengantongi izinpemanfaatan hasil hutan di wilayah tersebut.Dengan izin itu ia telah menghabisi semua kayuyang ada di wilayah Pulau Padang, dan izin beri-kutnya adalah izin HTI. Menjadi ironis karenaniatan baik itu dilakukan setelah sebelumnyamembabat habis Pulau Padang, bahkan izin yangdikantongi RAPP kemudian “mengancam” war-ga sekitar karena izin lahan HTI-nya menabrakmayoritas lahan penduduk, bahkan menabraklahan pemukiman.

Pada tahun 2007, saat Kabupaten Merantimasih di bawah administratif KabupatenBengkalis, Menteri Kehutanan mengeluarkansurat izin HTI untuk wilayah Tebing Tinggi,pulau yang saat ini menjadi Ibukota Meranti. IzinHTI di pulau ini keluar dengan SK Menhut No.217/Menhut-II/2007 Tanggal 31 Mei 2007. Izindikeluarkan untuk Usaha Pemanfaatan HasilHutan Tanaman Industri (UPHHTI) di DesaNipah Sendadu, Sungai Tohor, Tanjung Sari,Lukun, dan Desa Kepau Baru seluas 10.390hektare.34 Warga melakukan penolakan karenawilayah tersebut menjadi konsentrasi pengem-bangan sagu, bahkan Tebing Tinggi merupakanpusat sagu terbaik dan terbesar di Indonesia.Dukungan datang dari banyak pihak, termasukKetua DPRD Riau waktu itu, Chaidir. Alasannyajelas, karena Tebing Tinggi akan difokuskan kepa-da pengembangan sagu di Riau. Akan tetapi protestidak berlangsung lama karena perusahaan yangditunjuk RAPP, PT Lestari Unggul Makmur terusberoperasi. Hal yang sama juga terjadi di PulauRangsang, PT. Sumatera Riang Lestari (SRL)mendapat izin operasi seluas 18.890 hektar.

Juni 2009, Kembali menteri KehutananRepublik Indonesia M.S. Kaban mengeluarkanSK No. 327/Menhut-II/2009 Tanggal 12 Juni 2009.SK ini kemudian menjadi persoalan nasionalhingga hari ini karena mendapat perlawananpaling serius dari pihak warga, bahkan dalambeberapa kajian tentang gerakan sosial atau protesmovement di Riau, SK ini mendapat porsi yangluar biasa dari pemberitaan media. Artinya sejakSK keluar dan masyarakat mengetahui, sejak itupula (akhir 2009) gerakan perlawanan masyara-kat terus muncul. Dalam analisis strategi umpantarik ala pemerintah, SK ini hingga hari ini belumdicabut oleh Menteri Kehutanan meskipunmendapat perlawanan secara masif dari warga,akan tetapi SK ini sudah hilang dari daftar resmiSK yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan,artinya SK itu tidak muncul di situs resmiwww.dephut.go.id. Status hukum policy tersebuthingga hari ini adalah moratorium setelahMenhut mendapat tekanan kuat dari berbagaielemen masyarakat, baik masyarakat Meranti-Riau maupun NGO.

Apa sebenarnya isi SK tersebut? Inti dari SKini adalah setelah RAPP mendapat izin pe-manfaatan hutan Pulau Padang, RAPP kemu-dian memanfaatakan lahannya untuk tanamanindustri (HTI). Proses munculnya SK bukanpada tahun 2009, akan tetapi dimulai dari tahun2004, dan SK 2009 bukan merupakan SKtunggal, akan tetapi meliputi beberapa kabupaten,dan Meranti hanya salah satu yang didapatkanoleh RAPP di Riau. RAPP mendapatkan perse-tujuan dari Menhut untuk melakukan beberapakali perubahan pengajuan izin, dari semulahanya 235.140 hektar sesuai Surat KeputusanMenteri Kehutanan No. SK.356/Menhut-II/2004Tanggal 1 November 2004. Berdasarkan permo-honan Direktur Utama PT.RAPP sesuai suratNomor: 02/RAPP-DU/I/04 Tanggal 19 Januari2004, Menteri Kehutanan mengeluarkan kembalikeputusan penting, Surat Keputusan SK No. 327/

34 Sutarno, “Kronologis Penolakan Masyarakat PulauPadang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan MerantiProv. Riau Terhadap Hutan Tanaman Industri (HTI) PT.RAPP Blok Pulau Padang (SK NO. 327/MENHUT-II/2009 TANGGAL 12 JUNI 2009)”.

Page 113: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

112 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 denganluas areal 350.165 hektar yang tersebar ke 5 kabu-paten dengan rincian luas masing-masingkabupaten sebagai berikut:

Tabel 2. Peroses perolehan dan perubahan izinPT RAPP di Riau

Sumber: Diolah dari Surat Keputusan MenteriNo.: 356/Menhut-II/2004, DokumenJikalahari,35 dan catatan M. Riduan (STR).

Kedua surat keputusan yang dikeluarkan olehDepartemen Kehutanan tersebut menyangkutlima kabupaten. Kajian ini penulis fokuskan padaKabupaten Kepulauan Meranti dimana antaraSK tahun 2004 dan 2009 tidak mengalami peru-bahan, jumlah luasan izin yang diperoleh tetapsama, 41.205 hektar. Pada kolom ketiga, jumlahluasan lahan yang dikeluarkan pada tahun 2004,kemudian diajukan kembali oleh RAPPP yangdirespon oleh Departemen Kehutanan sehinggamuncul perubahan luasan lahan konsesi yangmenjadi jauh lebih luas. Pada Kabupaten Meran-ti tidak mengalami perubahan, karena Merantihanya menjadi bagian paket usulan baru olehRAPP.

Dari data resmi RAPP ada tiga skenario me-manfaatkan hutan yang akan menjadi tanamanindustri mereka. Logika RAPP dari sisi agendakonservasi sebagaimana mereka janjikan sangatrasional, karena setelah hutan dihabisi “secaralegal”, maka ia harus melakukan penanaman

ulang. Persoalan muncul karena RAPP menar-getkan pembukaan lahan 23.914 hektar hutangambut di Pulau Padang, padahal pulau ini ma-suk kategori pulau sedang, luasnya hanya sekitar110.000 hektar. Hutan gambut yang ditargetkanini kemudian justru mendapat izin konsesi seluas41.205 hektar. Padahal RAPP belum melakukankonservasi justru sudah akan melakukan pena-naman pohon demi kepentingan bahan bakuperusahaan. Dalam laporan Eyes on the Forest,sebuah NGO internasional yang melakukanbanyak investigasi di Sumatera, RAPP belum me-lakukan apa yang menjadi janji dan kewa-jibannya, justru sudah akan menanam untukkepentingan industrinya.36 Pada posisi ini sebe-narnya tidak banyak masalah, namun saat mem-buka peta untuk kepentingan mensosialisasikanizin konsesi dan diketahui oleh masyarakatsecara luas termasuk Sarikat Tani Riau (STR),maka pecahlah persoalan menjadi meluas.

Setelah banyak melakukan berbagai protesdan perlawanan terhadap RAPP, masyarakatPulau Padang pada akhir 2010 melakukan rapatbesar untuk membahas apa yang secara persisterjadi di Pulau Padang. Hadir dalam forumtersebut berbagai elemen masyarakat, petani,tokoh masyarakat, DPD, NGO, Anggota DPRDKab. Meranti, politisi, birokrat, polisi, dan militer.Dalam pembahasan tersebut akhirnya ditemu-kan kejalasan status dan problem yang sedangterjadi di Pulau Padang. Jika kita baca dari ber-bagai laporan media, laporan NGO, dan laporanberbagai aktivis yang tersebar, inti dari problemtersebut adalah:1. Areal konsesi PT. RAPP di Blok Pulau Padang

berada pada areal yang tumpang tindihdengan lahan/kebun warga.

2. Lebih dari separo lahan dan pemukimanwarga Pulau Padang masuk dalam area izinkonsesi.

35 Tim Jikalahari, 2005. “Assessment of Legal As-pects of the Concession Expansion Plan by PT. RAPPin Kampar Peninsula and Padang Island”, Pekanbaru:Jikalahari.

No. Kabupaten Luas perolehanizin, SK 2004

(hektar)

Perubahan,SK 2009(hektar)

Selisih(hektar)

1 Kampar 32.511 30.422 2.0892 Siak 37.400 52.505 15.1053 Pelalawan 89.440 151.254 61.8144 Sengingi 75.789 74.779 1.0105 Kepulauan Meranti

(Pulau Padang,Tebing Tinggi,Rangsang)

41.205 41.205 -

Jumlah Total 235.140 350.165 115.025

36 www.eyesontheforest.or.id.

Page 114: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

113M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

3. Dengan dibukanya kanal-kanal akan menye-babkan intrusi air masin ke darat dan penge-ringan lahan yang cukup signif ikan padamusim kemarau yang akan menyebabkanmudah terbakar. Hal ini bisa terjadi karenapulau ini memiliki gambut yang tebal lebihdari 3 meter.

4. Perusahaan belum melakukan kewajibannyasetelah menghabisi hutan Pulau Padang.

5. Dari sisi perijinan, di ketahui bahwa rekomen-dasi oleh pejabat Bengkalis yang dijadikanacuan oleh pemerintah pusat sebagai dasardikeluarkannya SK Menhut 327 2009, samasekali tidak diketahui oleh DPRD KabupatenBengkalis.

6. Tidak memiliki analisis Amdal yang baik, se-hingga tidak memberikan jaminan keamananbagi masyarakat.37

Dalam peta di atas terlihat bahwa blokpenguasaan RAPP di Pulau Padang cukup luas,ia menguasai hampir semua sisi (warna gelap kiriatas) dari keseluruhan pulau. Izin konsesi inikeluar tanpa memperhatikan posisi dan letakpemukiman, sehingga semua ruang hampirterimbas oleh RAPP. Situasi ini membuat panikwarga karena mereka sudah puluhan tahun bah-kan beberapa desa sudah ada di Pulau Padangsejak abad ke-19. Realitas ini tentu menjadikansyok beberapa warga apalagi berbagai isu denganmudah disebarmainkan yang menyebabkansituasi begitu cepat berubah. Pada realitasnya,beberapa wilayah sudah diolah oleh RAPP, se-hingga mudah menyulut amarah warga. Bebe-rapa pekerja dari perusahaan yang ditempatkandi beberapa lokasi menjadi terancam olehpenolakan dan perlawanan warga, bahkan kon-flik sampai pada taraf pembakaran, perusakanalat-alat berat, pemblokiran area, penutupanakses jalur masuk lahan, sabotase kanal-kanal,

37 Disarikan dari berbagai sumber: Media cetak, online,dokumen, dan wawancara dengan anggota DPRD Merantidan masyarakat Pulau Padang.

Peta 2. Peta Industri HTI PT LUM, PT SRL (mitra RAPP), PT RAPP di Kabupaten KepulauanMeranti. Peta oleh Sarikat Tani Riau (STR), diolah kembali oleh penulis. Sumber download: http://

www.mongabay.co.id

Page 115: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

114 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

teror terhadap pekerja perusahaan, dan keke-rasan lain yang sampai menimbulkan korbanjiwa.38 Menjadi jelas apa yang disnyalir oleh DougMcAdam, Sidney Tarrow, Charles Tilly bahwapolarisasi dengan mudah muncul akibat kebi-jakan tersebut dan masyarakat dalam beberapahal dari semula tidak peduli berubah menjadiekstrim. Ada kelompok aktor yang memobilisasiwarga untuk melakukan protes, dan dari harikehari eskalasinya meningkat.

Dari luasan wilayah konsesi, menurut dataRAPP diakui kalau ia sendiri belum memiliki tatabatas untuk area operasi. Namun RAPP mem-buat sendiri tata batas tanpa kesepakatan denganpemda dan masyarakat. Dalam pernyataan res-minya, Direktorat Pengukuhan dan Penatagu-naan Kawasan Hutan belum dilakukan pembu-atan tata batas, yang ada tata batas buatan PT.RAPP yang dijadikan dasar untuk melakukanoperasi. Berikut tata batas yang dibuat oleh RAPPyang luas totalnya 41.205 Ha, terdiri atas:1. Tanaman Pokok: 27.375 Ha (66 %);2. Tanaman Unggulan: 4.121 Ha (10 %);3. Tanaman Kehidupan: 1.904 Ha (5 %);4. Kawasan Lindung: 4.102 Ha (10 %);5. Sarana prasarana: 808 Ha (2 %);6. Areal Tidak Produktif: 2.895 Ha (7 %) (ter-

masuk di dalamnya areal tambang KondurPetroleum SA, milik Bakrie Group).Setelah mempelajari situasi dan realitas izin

tersebut serta perlawanan masyarakat yang cu-kup kuat, RAPP sempat berkompromi akanmencoba menarik batas seminimal mungkin un-tuk melakukan penarikan dan menghindarkanlahan warga serta pemukiman. Sebab dari izinyang dikantongi dengan jelas diakui oleh RAPPakan menabarak hampir 2/3 lahan penduduk,pemukiman, dan semua area fasilitas warga yangditempati.

Menurut Ma’ruf Syaf ii,39 anggota DPRD Ka-bupaten Meranti, setelah ketahuan izin itu keluardan ternyata menabrak semua lahan penduduk,Bupati Pjs. Kepulauan Meranti Syamsuarmengajukan surat kepada Direktur Jenderal BinaProduksi Kehutanan Nomor 100/Tapem/189tentang Peninjauan Ulang Terhadap SemuaIUPHHK-HTI PT. LUM, PT. SRL dan PT RAPPdi Kabupaten Kepulauan Meranti. Warga men-desak agar bupati melakukan upaya-upayamenolak RAPP di Meranti. Apalagi izin itu keluarbukan atas dasar pertimbangan pemda setempat,lebih menyakitkan komentar menteri Kehutanan(Zulkif li Hassan) mengatakan Pulau Padangadalah Pulau tak berpenghuni, pulau tidakproduktif,40 dan pulau yang lahan gambutnyadi bawah 3 meter. Akibat pernyataan itu pulakemudian banyak pihak melakukan uji legalopini atas SK Menhut dan menyimpulkan apayang menjadi dasar keputusan keluarnya SKsangat lemah bahkan cenderung melawan hu-kum. Karena jelas lahan gambut Pulau Padanglebih dari 3 meter sebagi batas minimal lahanyang harus dilindungi, di sisi lain dari sisi amdaldan kondisi lahan tidak memenuhi syarakatuntuk dijadikan HTI.

Lahan gambut yang tebal akan sulit menahanair jika dijadikan lahan tanaman industri, sebabmereka membutuhkan kanal-kanal yang besardan air yang banyak. Kita tahu bahwa sistempengaliran kayu untuk industri dari hutan dila-kukan dengan cara membuat kanal-kanal (parit)yang besar agar kayu mudah dikirim ke hilir dandiangkut dengan kapal lewat sungai dan laut.Dalam skala besar, proses dari kegiatan ini sangat

38 Wawancara dengan Riduan, masyarakat PulauPadang.

39 Wawancara dengan Ma’ruf Syafii, 21 Agustus 2012,di Tebing Tinggi Barat, Kepulauan Meranti dan 30 Agustus2012 di Yogyakarta.

40 “Pulau Padang Tak Berpenghuni: STR BantahKeras Pernyataan Menhut”, Tribun Pekanbaru, http://pekanbaru.tribunnews.com/2011/05/04/str-bantah-keras-pernyataan-menhut. Diakses pada tangal 21 Maret 2013.

Page 116: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

115M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

merusak ekosistem lahan gambut dan menu-runkan posisi tanah secara cepat, dan ending-nya masyarakat yang melakukan kegiatan diperkebunan karet, kopi, palawija, coklat, dankelapa akan kehilangan sumber air. Maka dariitu bupati dengan sadar mengajukan suratpenolakan dan permintaan agar RAPP keluar dariwilayah tersebut demi melindungi warganya.Namun beberapa sumber meragukan niat baikbupati Meranti, karena menurut beberapa harianlokal Pekanbaru, bahwa laporan Pulau Padangtak berpenghuni kepada Menhut justru datangdari bupati itu sendiri. Dalam Analisis sederhana,yang dilakukan oleh bupati dengan memenuhipermintaan warga lebih pada meredam gejolakwarga Meranti agar mengurangi perlawanan danmenjaga agar tidak muncul kegiatan di luarkontrolnya.41

Sejak surat bupati kepada Menhut dikirim-kan, aktivitas penolakan warga untuk menekanpemerintah terus diupayakan, bahkan padabulan Desember 2009, Selatpanjang sebagai pusatibukota selalu dijadikan tempat tujuan demon-strasi menyuarakan aspirasi perlawanan danpenolakan. Mereka tidak saja mendapat du-kungan dari warga Pulau Padang, tetapi jugadari berbagai daerah pinggir lainnya, sepertiRangsang dan Tebing Tinggi Barat. MenurutMa’ruf Syafii, sepanjang Desember 2009 sampaiakhir 2010, puluhan kali anggota DRPD melaku-kan upaya penyelesaian konflik kedua belahpihak, namun masing-masing tidak menemu-kan titik temu. Bahkan beberapa catatan anggotadewan, perwakilan dari RAPP benar-benar tidakmau mengalah dengan kondisi tersebut dantetap mempertahankan SK Menhut 2009 yangmenjadi acuannya.

Dari sisi peta dan struktur gerakan masya-rakat, pada tahun 2009 dan awal 2010, gerakan

petani Pulau Padang masih menemukan mo-mentum untuk terus melakukan perlawanan. Diatas kertas, momentum dukungan bupati dananggota DPRD sangat penting bagi warga, olehkarena itu kesempatan itu terus diupayakan danmencoba untuk menjaringkan keberbagai mitramereka. Salah satu kunci penting dalam gerakanmasyarakat Pulau Padang adalah dukungan paraulama dan kyai, karena kultur masyarakat PulauPadang dan Meranti umumnya begitu tundukkepada para kyai dan tokoh panutan, sehinggajalur itu juga digunakan. Para ulama dan kyaimayoritas mendukung gerakan tersebut karenaposisi mereka juga menjadi bagian dari wilayahyang terdampak akibat izin konsesi RAPP.

Dalam pernyataannya, wakil ketua DPRDKab. Meranti dari Gerindra Tauf ikurahman,dengan tegas akan mendukung gerakan masya-rakat Pulau Padang untuk memperjuangkanhak-haknya. Akan tetapi politisi adalah politisi,tergantung kesempatan dan kemungkinan dankalkulasi mereka, ketika gerakan itu tidakmenguntungkan, maka ia secara perlahan akanberpaling dengan pasti, dengan alasan masihbanyak pekerjaan lain yang harus diselesaikandan berlindung dibalik tidak memiliki wewenanguntuk menolak dan menghentikan aktif itasRAPP di Pulau Padang.

Realitas itu dengan tegas terlihat dari pernya-taan Ma’ruf Syafii dkk. saat berkunjung ke Yog-yakarta 2010. Mereka mengaku kehilangan aksesdan dukungan dari berbagai pihak di Merantiuntuk memperjuangkan Pulau Padang, karenaPulau Padang bukan persoalan sederhana, adastruktur besar yang bermain di wilayah ini dantak mudah untuk disentuh oleh elite-elite lokalyang baru saja dilantik menjadi wakil rakyat.42

41 Ibid.

42 Pada tahun 2009 dan 2010, Ma’ruf Syafii (anggotaDPRD Meranti dari PKB) dan Muhammad Adil (WakilKetua DPRD Meranti dari Hanura) adalah sosok yangdermawan, terlibat aktif memperjuangankan kepentingan

Page 117: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

116 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Dalam bahasa sederhana, elite lokal ini inginmengatakan, terlalu banyak pemain illegal log-ging di Meranti yang tidak terlalu suka dengangerakan dan dukungan pemerintah-DPRD kepa-da masyarakat karena akan mengganggu aktif i-tas yang sama pada pelaku-pelaku lain.43 Seti-daknya, ada banyak struktur kekuatan dan mod-al yang bertahun-tahun bermain di Meranti,termasuk mitra RAPP di Tebing Tinggi danPulau Rangsang.44

Dalam pengalaman melakukan mediasidengan masyarakat dan RAPP, posisi dewanterlihat begitu lemah dan RAPP tampak begituconf ident sekaligus menguasai petanya, sehinggaseringkali yang menjadi kesepakatan di ataskertas selalu diabaikan di lapangan.45 Menyang-kut perilaku RAPP ini, tampak ia memiliki deal-deal besar terhadap penguasa di Riau, karenadengan jelas kesepakatan moratorium denganwarga dan Menteri Kehutanan tetap diabaikan,karena saat ini RAPP tetap menjalankan aktif i-tasnya di Pulau Padang sekalipun ada kesepa-katan penghentian sementara semua aktif itaspenggarapan lahan. Beberapa kali perwakilanRAPP berdialog dengan para petani Pulau

Padang, akan tetapi pertemuan tidak dilakukandi Meranti, melainkan dilakukan di Pekanbaru.Dari sisi itu saja, posisi petani sebagai pihak yangmendatangi dan jauh lebih lemah dari anggapanbanyak pihak. Mereka harus mengalah denganmendatangi tempat yang jauh dari kampunghalaman mereka, ke Pekanbaru yang ditempuhsekitar 4-5 jam.

Pada bulan Oktober dan November 2010,Petani Pulau Padang diundang dalam perte-muan yang dilakukan di Hotel Grand Zuri Pe-kanbaru yang menghasilkan kesepakatan lisanantara warga Pulau Padang dengan RAPP, inti-nya masyarakat menuntut “pihak perusahaansebelum beroperasi di Pulau Padang untukmelakukan mapping (pemetaan ulang) danpembuatan tapal batas permanen sebelum RAPPmelakukan operasional di Pulau Padang. Secaralisan pihak perusahaan menyetujui semua tun-tutan masyarakat Pulau Padang yang saat itudiwakili oleh 10 orang petani, namun secaratertulis berbeda dengan apa yang disepakatisecara lisan. Sehingga pihak masyarakat tidakmau menandatangani berita acara dan notulensihasil pertemuan”.46 Pada pertemuan kedua justruRAPP menyampaikan atau sosialisasi bahwaRAPP akan segera beroperasi di Pulau Padang.Kelemahan itu jelas terlihat sebab pada perte-muan kedua RAPP menunjukkan keabsahanizin operasi dari Departemen Kehutanan danbupati mendapat “instruksi” dari Gubernur RiauRusli Zainal untuk memfasilitasi beroperasinyaRAPP di Pulau Padang. Artinya, kekalahan ke-dua gerakan telah mulai tampak di depan mata,sehingga mereka harus mengatur kembali basisperjuangannya dengan para pengusung gerakantersebut.

masyarakat Pulau Padang. Mereka dengan gigih melakukanupaya mediasi dan mencari solusi di dewan. Tak sedikitmereka berkorban waktu, tenaga, dan dana untuk membiayaimasyarakat melakukan lobi-lobi sekaligus ke Jakartamemperjuangankan nasibnya, akan tetapi pada titik tertentu,mereka kehabisan “amunisi” untuk terus mendampngiwarga. Diakuinya anggota dewan tak memiliki kekuatan lobidan modal untuk melawan birokrasi dan raksana bernamaRAPP.

43 Ironisnya, menurut beberapa sumber, pihak-pihakyang menikmati illegal logging adalah para birokrat dan elitepolitik. Artinya memang hutan dijarah untuk kepentinganbeberapa kelompok dan untuk membiayai para politisimenuju kursi dewan.

44 Wawancara dengan Ma’ruf Syafii. Lihat juga laporantahunan (Scale Up), op.cit., hlm. 35.

45 Diskusi dengan Ma’ruf Syafii dan beberapa mantananggota komisi B DPRD Kabupaten Meranti, diYogyakarta, 2010.

46 Made Ali, “Kronologi Kasus Pulau Padang (4)”,http://madealikade. wordpress.com/2012/07/10/kronologis-kasus-pulau-padang-4/.

Page 118: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

117M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

Jika kita melihat pada struktur “modal” dankuasa yang bermain di Meranti dan sekitarnya,sedikitnya ada empat kelompok yang memilikiinterest. Pertama, kekuatan modal keturunanTionghoa yang sudah bercokol puluhan tahun.Kelompok ini masuk pada basis kebutuhan dasarmasyarakat Meranti, seperti transportasi daratdan laut, kebutuhan pokok, dan sebagian usahaperkebunan; kedua, kelompok pemain besaryang berafiliasi dengan kekuatan lokal melaku-kan eksploitasi hutan alam dan kayu; ketiga keku-atan asing, hal ini selalu dilihat sebagai parapegusaha Malaysia dan Singapura yang tidakpernah menggunakan langsung tangannya,tetapi memilih jalur aman memainkan relasigelap di bisnis illegal logging dan kebutuhandasar masyarakat Meranti; dan terakhir adalahkekuatan birokrasi dan politisi lokal. Kelompokini bahkan masuk pada semua lini dalam me-mainkan isu sekaligus pelaku kebijakan. Kitamafhum bahwa sejak reformasi, biaya politiksangat tinggi dan para politisi harus mengerah-kan semua modal untuk menuju kursi kekuasa-an. Tiga eleman modal menjadi bagian yang takterpisahkan, sehingga memunculkan persoalanyang menahun sekaligus sebuah kekuatan danisu yang bisa dipelihara dan dimainkan.

Saat RAPP mendapat izin konsesi HTI di PulauPadang, beberapa analis melihat ada peta per-saingan antara perusahaan besar dengan parapemain kecil dan pelaku Illegal Logging yangbertahun-tahun mensuplai beberapa perusahaandi Malaysia.47 Sempat muncul isu bahwa gerakanmasyarakat Pulau Padang di dukung oleh parapelaku illegal logging dan beberapa perusahaanMalaysia. Orang sudah faham bahwa pencuriankayu di Meranti sudah lama terjadi dan pejualankayu illegal ke Malaysia sudah berlangsung

puluhan tahun. Kondisi geograf is wilayah inisangat mendukung, di samping dekat denganMalaysia, pulau-pulau di Meranti sangat banyakanak sungai (jalur tikus) yang begitu mudah bagibeberapa pelaku kejahatan dan pencurian kayuuntuk kabur dari penglihatan dan kejaran aparatkemanan. Tentu kita memahami kemampuanaparat penegak hukum kita dan sadar puladengan perilakunya, sehingga sekalipun tertang-kap, jarang yang tidak dilepas. Dikalanganmereka sudah menjadi rahasia umum, saattertangkap harus menyiapkan segepok rupiahuntuk lepas dari seretan ke meja hijau.

Ekspansi RAPP ke Pulau Padang, Rangsang,dan Tebing Tinggi memperjelas ada beberapapemain di wilayah ini yang kehilangan kesem-patan dan terdesak, khususnya para pelaku ille-gal logging. Wilayah yang selama ini dikenal disekitar sekitar Desa Selatakar, Kudap, Lukit(Pulau Padang) dan Pulau Rangsang Barat-Timur dan sekitarnya adalah wilayah pengua-saan para pengusaha kelas sedang dan kecil yangmensuplai kayu ke Malaysia. Dan kini merekaterdesak oleh perluasan eksploitasi RAPP diwilayah tersebut. Dugaan ini sebenarnya tidakterlalu kabur, karena persoalan illegal loggingantara pelaku-pelaku pembabat hutan alam diRiau telah lama mengirim kayu tersebut ke Ma-laysia.48 Beberapa sarjana Indonesia yang sedangstudi di Malaysia pernah secara serius mendis-kusikan hal tersebut di Malaysia, dan banyakelite-elite Malaysia mengakui hal tersebut, namunMalaysia tidak mau dipersalahkan begitu saja,sebab banyak dari para tentara dan pelaku bisnisIndonesia yang menyeret-nyeret pengusaha

47 “Cukong Malaysia Bekingi Illegal Logging diRiau?”. http.www.okezone.com. 2 Juni 2012. Diakses tanggal11 Maret 2013.

48 Bahkan beberapa anggota DPR sempat mensinyalirhal tersebut sebagai sesuatu yang luar biasa karena Malay-sia yang hutannya jauh lebih sedikit dibanding Indonesiajustru mereka mengekspor kayu lebih besar dibanding In-donesia. Pertanyaannya dari mana kayu itu diperoleh Ma-laysia? Ibid.

Page 119: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

118 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Malaysia untuk terlibat dalam perdagangan ilegaltersebut.49

Akhirnya, kita harus melihat Illegal Loggingadalah bagian dari persoalan-persoalan agrariayang muncul ke permukaan sebagai aksesorispersoalan besarnya. Persoalan utama yang men-dasar adalah konflik agraria yang terus menga-lami peningkatan dari tahun ke tahun. Seolahtak menemukan solusi, negara kehilangan ruhuntuk menyelesaikan dan meminimalisir berba-gai persoalan. Dalam catatan banyak pemerhatidan peneliti agraria di Riau, laju konflik seban-ding dengan laju luas wilayah konflik dan jum-lah rumah tangga konflik. Akan tetapi tidaksignif ikan jumlah perusahaan yang terlibatdalam konflik. Artinya, para “pemain” yang ter-libat dalam konflik masih kelompok usaha lamayang selama ini terlibat secara serius di wilayahtersebut. Dalam analisis konflik dan pelaku tidakmenunjukkan perkembangan yang luar biasa,tetapi sungguh menimbulkan dampak yang begi-tu besar. Oleh karena itu tindakan hulu dari akarpersoalan mesti menjadi prioritas dari kebijakanagraria Indonesia ke depan.

C. Kesimpulan

Konflik dan ketegangan dalam persoalanagraria di Riau sejak tahun 2011 mengalamiperubahan. Jika sebelumnya konflik didominasipada lahan perkebunan, khususnya perkebunansawit, kini konflik beralih pada hutan tanamanindustri. Sebenarnya dua lahan itu tidak bisadipisahkan karena sebenarnya mayoritas lahanperkebunan di Riau sebelumnya juga hutan alamyang telah dihabisi. Pada periode 1990-an,pembukaan hutan secara luas dan mengalihkanlahan tersebut ke sawit memunculkan persoalan

yang panjang. Konflik di lahan tersebut banyakyang tidak terselesaikan sampai akhirnya banyakwarga tempatan mengalah karena memang tidakmampu melawan tindakan korporasi. Merekalebih memilih pindah dan beralih profesi karenatidak sanggup untuk bertahan.

Tahun 2000-an hal yang sama kembali terjadipembukaan lahan secara luas terjadi akibat kebi-jakan negara yang mendukung penuh perusa-haan pulp and paper di Riau. Dengan belajarmodel yang terjadi pada tahun 1990-an, tampak-nya persoalan yang sama akan terjadi pada tahun-tahun mendatang. Saat ini, pemerintah mendu-kung secara penuh dengan memberikan izin-izin konsesi kepada perusahaan untuk melaku-kan eksploitasi hutan alam, pada gilirannyasetelah kayunya habis, maka akan banyakmenyusul izin baru, baik untuk lahan perke-bunan maupun tanaman industri.50 Berkaca daripersoalan tersebut, penulis meyakini jika merekagagal memanfaatkan lahan untuk kepentingantanaman industri, maka akan dialihkan keperkebunan dan sawit menjadi prioritas utama.

Gerakan perlawanan petani dan warga PulauPadang sampai pada titik jenuh, karena kekuatanmodal mereka untuk melawan kini sudah“habis”. Apa yang diyakini dalam collective ac-tion-Tilly sebenarnya menunjukkan kejelasn

49 Diskusi dengan Abdul Halim Mahally, KandidiatDoktor di University Kebangsaan Malaysia. Pernyataanini keluar dari beberapa elite Malaysia dalam rangkamenekan perdagangan ilegal kayu-kayu dari Riau.

50 Sempat terjadi moratorium pemberian izin untukpembukaan lahan hutan tanaman industri selama satu tahun,namun pada tahun 2013 kembali dibuka. Pada kaus PulauPadang yang sebelumnya sempat terjadi pengehntiansementara justru kini sudah dibuka kembali, dan RAPPsudah beroperasi kembali di Pulau Padang, lihat KhairulHadi, “Riau akan Semakin Sering Dilanda Banjir danKekeringan”. 10 Mei 2013. www.goriau.com. Diakses padatanggal 14 Mei 2013. Lihat juga hasil mediasi yang dibentukoleh pemerintah, namun tak juga dilaksanakan, “LaporanTim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat SetempatTerhadap Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PadaHutan Tanaman (IUPHHK-HT) PT. RAPP di PulauPadang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau.(SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011)”, (Ex-ecutive Summary). Dokumen tidak dipublikasikan.

Page 120: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

119M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

bahwa gerakan sosial akan melamah seiringdengan lajunya kekuatan-kekuatan yang memi-liki kepentingan dalam suatu objek. RAPPdengan dukungan banyak pihak termasuk didu-ga kelompok jaringan birokrasi dan aparat ke-amanan tak mampu dilawan oleh masyarakatPulau Padang. Sekalipun sebenarnya upaya yangdilakukan sebagaimana gerakan mengarah padameningkatkan eskalasi secara tidak sadarmenuju polarisasi yang ekstrim (Doug McAdam,Sidney Tarrow, Charles Tilly, 2004) denganmemainkan aktor-aktor justru menjadi pembe-nar bagi pihak lawan untuk segera “menghabisi”gerakan mereka.

Selain beberapa tokoh mereka ditangkap olehaparat keamanan dengan tuduhan merusak danperbuatan kriminal, dukungan beberapa pihaklain perlahan mulai mengendur. Hal itu terkaitmodal dan amunisi yang mereka miliki. Berju-ang pada wilayah seperti Pulau Padang membu-tuhkan dukungan dana yang tidak sedikit, kare-na posisi wilayah yang jauh (antarpulau) mem-butuhkan tenaga dan dana yang besar. Kekuatanitu dalam skala tertentu sudah diperkirakan olehRAPP, terbukti mereka terus bergerak melaku-kan pengerjaan lahan, karena mereka meyakiniakan ada titik pasrah dari warga dalam mem-perjuangkannya. Kondisi lengah itulah yangdimanfaatkan untuk melakukan lobi beberapapihak warga Pulau Padang agar dukungan kepa-da RAPP di peroleh. Dan kini beberapa wargamulai mengalami perubahan, ada yang menye-rah, ada yang mencoba berkompromi, dan adapula yang bekerja sama. Realitas ini sebenarnyasangat menyedihakan karena persoalan PulauPadang bukan persoalan warga Meranti semata,tapi persoalan kesetiaan terhadap masa depananak negeri yang peduli terhadap lingkungan-nya. “Kekalahan” warga memang sudah jauhterlihat karena negara tidak berpihak padamereka, di sisi lain terlalu kuat struktur di balikkekuasaan dan penguasaan hutan di Meranti.

Ada banyak pemain yang memiliki interest danmencoba memainkan isu Pulau Padang untukkepentingan kelompok tertentu, selain tentu sajaRAPP berkepentingan untuk mengamankandalam jangka panjang perusahaannya di wilayahRiau.

Daftar Pustaka

Ali, Made, 2012. “Kronologi Kasus Pulau Padang(4)”, http://madealikade.wordpress.com/2012/07/10/ kronologis-kasus-pulau-padang-4/.

____, 2012. “Jikalahari: Deforestasi di Riau 2012Setara Kehilangan 10 Ribu Lapangan FutsalTiap Hari.”: http://www.mongabay.co.id/2013/01/02/jikalahari-catatan kejahatan-k e h u t a n a n - r i a u - s e p a n j a n g - 2 0 1 2 /#ixzz3oOpj8kL6. 2 Januari 2013.

Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi, 2011.Enam Dekade Ketimpangan. Jakarta: BinaDesa, ARC, KPA.

Colchester, Marcus, Norman Jiwan, Andiko, dkk.2006. Tanah yang Dijanjikan: Minyak Sawitdan Pembebasan Tanah di Indonesia,Implikasi terhadap Masyarakat Lokal danMasyarakat Adat. Jakarta: Forest PeopleProgramme dan Perkumpulan SawitWatch.

“Cukong Malaysia Bekingi Illegal Logging diRiau?”. http.www.okezone.com. 2 Juni 2012.Diakses tanggal 11 Maret 2013.

Haryanto, 1989. “Studi Pendahuluan StrukturVegetasi Hutan Gambut di Pulau Padang,Provinsi Riau”. Media Konservasi Vol. II (4),Desember 1989.

Galudra,Gamma, Gamal Pasya, Martua Sirait,Chip Fay, (peny.) 2006. Rapid Land TenureAssessment: Panduan Ringkas bagi Praktisi.Bogor: World Agroforestry Centre.

Herlina, Tutut, 2012. “Berkorban demi Pulau Padang(1)”, Sinar Harapan, Selasa, 25 September2012. Lihat juga http://www.shnews.co/detile-8396-berkorban-demi-pulau-padang-1.html.

Page 121: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

120 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Indradi, Yuyun, “Setahun Moratorium Hutan,Apakah hutan dan Gambut IndonesiaSudah Terlindungi?”. http://www.greenpeace.org/seasia/id /blog/Setahun-Moratorium Hutan/blog/40230/.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.356/MENHUT-II/2004 Tentang PerubahanKeputusan Menteri Kehutanan Nomor 130/KPTS-II/1993 Tanggal 27 Pebruari 1993 JO.Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 137/KPTS-II/1997 Tanggal 10 Maret 1997 TentangPemberian Hak Pengusahaan HutanTanaman Industri di Provinsi Riau KepadaPT. Riau Andalan Pulp and Paper.

Laporan Tahunan (Executive Summary). 2012.“Konflik Sumberdaya Alam di Riau Tahun2008, 2009, 2010, 2011”. Pekanbaru: Scale Up(Sustainable Social Development Partner-ship).

“Laporan Tim Mediasi Penyelesaian TuntutanMasyarakat Setempat Terhadap Ijin UsahaPemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada HutanTanaman (IUPHHK-HT) PT. RAPP di PulauPadang Kabupaten Kepulauan MerantiProvinsi Riau. (SK.736/Menhut-II/2011tanggal 27 Desember 2011)”, (Executive Sum-mary). Dokumen tidak dipublikasikan.

Leiriza, R.Z., 2004. “Charles Tilly dan Studi ten-tang Revolusi”, Jurnal Sejarah, Vol. 6, 2004.

Lucas, Anton dan Carol Warren, 2007. “TheState, the People, and Their Mediators: TheStruggle Over Agrarian Law Reform in Post-New Order Indonesia”. Indonesia, Edisi 76.

McAdam, Doug, Sidney Tarrow, Charles Tilly,2004. Dynamics of Contention. CambridgeUniversity Press.

Magnis-Suseno, Franz, 1999. Pemikiran KarlMarx: Dari Sosialisme Utopis ke PerselisihanRevisionisme, Jakarta: Gramedia.

Maring, Prudensius, Afrizal, Jomi Suhendri S,Rosyani, dkk. 2011. “Studi Pemahaman danPraktik Alternatif Penyelesaian Sengketaoleh Kelembagaan Mediasi Konflik Sum-berdaya Alam di Provinsi Riau, Jambi,Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan”,(Laporan Penelitian), Pekanbaru: Scale Up

(Kemitraan Pembangunan Sosial Berkelan-jutan).

Maharadja, Uparlin, 2012. “Warga Pulau PadangAksi Bakar Diri di Depan Istana”, SinarHarapan, Selasa, 19 Juni 2012. Lihat jugahttp://www.shnews.co.

Mundung, Johny Setiawan, Muhammad Ansor,Muhammad Darwis, Khery Sudeska, 2007.Laporan Penelitian “Analisa Konflik Per-tanahan di Provinsi Riau Antara Masyarakatdengan Perusahaan (Studi Tentang PTRAPP, PT IKPP, PT CPI dan PT Duta Palma2003-2007)”, Pekanbaru: Tim Litbang DataFKPMR.

Perkasa, Anugerah, 2012. “Tragedi Pulau Padang:Dari Lukit hingga Tebet Dalam (1-4)”.www.bisnis.com, 13-14 Agustus 2012. Diaksespada tanggal 23 Oktober 2012).

“Pulau Padang Tak Berpenghuni: STR BantahKeras Pernyataan Menhut”, TribunPekanbaru, http://pekanbaru.tribunnews.com/2011/05/04 /str-bantah-keras-pernya-taan-menhut.

Riduan, M. “Ketika SK Menhut MS Kaban No327 di tentang oleh Rakyat, NamunPemerintah Tetap Memaksakan Kehendak-nya...!”, http://riduanmeranti. blogspot.com/2011/05/ketika-sk-menhut-ms-kaban-no-327-di.html.

Ritzer, George & J. Goodman, Douglas. 2004.Teori Sosiologi Modern. Edisi keenam.Jakarta: Prenada Media.

Saturi, Sapariah, 2013. “WWF Desak APRILHentikan Penghancuran Hutan Alam”.www.mongabay.co.id, 13 Februari 2013.

Sutarno, “Kronologis Penolakan MasyarakatPulau Padang Kecamatan Merbau Kabu-paten Kepulauan Meranti Prov. Riau Ter-hadap Hutan Tanaman Industri (HTI) PT.RAPP Blok Pulau Padang (SK NO. 327/MENHUT-II/2009 TANGGAL 12 JUNI2009)”.

Tilly, Charles, 2004. Social Movement, 1768-2004,London: Paradigm Publisher.

Tim Jikalahari, 2001. “Hutan Rawa Gambut danPermasalahan SK 327/MENHUT-II/2009”.

Page 122: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

121M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121

Pekanbaru: Jikalahari, 2011. www.jikalahari. org____, 2005. “Assessment of Legal Aspects of the

Concession Expansion Plan by PT. RAPP inKampar Peninsula and Padang Island”,Pekanbaru: Jikalahari. www.jikalahari.org

____, “Investigative Report”, www.jikalahari.orgvan Gelder, Jan Willem, 2005. The f inancing of

the Riau pulp producers Indah Kiat andRAPP. A research paper prepared forJikalahari (Indonesia), 24 October 2005.

Wihardandi, Aji, 2012. “Asia Pulp and Paper TerusLolos Uji SVLK Kendati Klien Berlarian”,Mongabay Indonesia, www. mongabay.

co.id, 19 November 2012.Yuwono, Teguh, tt. “Konflik Izin IUPHHK-HT

PT. RAAP di Pulau Padang:Potret BuramPenataan Ruang & Kelola Hutan di Indo-nesia”.

http://riduanmeranti.blogspot.com/#uds-search-results

http://www.merantikab.go.id.http://www.balithut-kuok.org/index.php/home/

56-industri-pulp-dan-kertas-belum-mandiri.

http://www.eyesontheforest.or.idWawancara: H. Ngabeni, Ma’ruf Syafii, Riduan.

Page 123: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

SUKU ANAK DALAM BATIN 9DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR LAHAN SAWIT ASIATIC PERSADA1

Dwi Wulan Pujiriyani* & Widhiana Hestining Puri*

AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: This paper seeks to explore the case of conflict within palm oil plantation-local people partnership involving SADBatin 9 group with palm oil company. Bungku village was the site chosen to take this issue comprehensively.The expansionofpalm oil plantationshave led totheloss ofliving territoryto developtheir social system. Conflictsarisenot onlyverticalbutalsohorizontal. Amongst the Inner SAD 9 itself, each fighting for its sovereignty emerged. SAD groups which were impover-ished by imbalanced control structure eventually have to deal with a part of their own group which slowly became part of the newruling capital group. The palm oil skipper that came from a group of local residents as well as newcomers were the form of theemerging plantation power. In the context of adverse incorporation, they were part of the group that get benefit from thepresence of palm oil plantation. Involvement or integration of this group in the oil business scheme has allowed them toaccumulate new capital sources. This group could accumulate greater profits from palm-oil they collect from small farmers.Key words: Suku Anak Dalam, palm oil, conflict, partnership

IntisariIntisariIntisariIntisariIntisari: Tulisan ini berupaya untuk menelusuri kasus konflik kemitraan perkebunan dengan masyarakat yang melibatkan kelompokSAD Batin 9 dengan perusahaan sawit. Desa Bungku merupakan lokasi yang dipilih untuk bisa memotret persoalan ini secarakomprehensif. Ekspansi perkebunan sawit telah menyebabkan masyarakat kehilangan kawasan hidup untuk mengembangkansistem sosial mereka. Konflik yang muncul tidak saja bersifat vertikal melainkan horizontal yaitu konflik yang terjadi diantarasesama kelompok SAD Batin 9 yang masing-masing memperjuangkan kedaulatannya. Kelompok-kelompok SAD yang dimiskinkanoleh struktur penguasaan yang tidak seimbang ini, pada akhirnya juga harus berhadapan dengan bagian dari kelompok mereka yangternyata secara perlahan telah menjadi bagian dari kelompok penguasa kapital baru. Para juragan sawit yang berasal dari kelompokpenduduk lokal dan juga pendatang merupakan wujud alih rupa dari kuasa perkebunan yang muncul. Dalam konteks adverseincorporation, mereka inilah yang menjadi bagian dari kelompok yang diuntungkan dengan kehadiran sawit. Keterlibatan atauintegrasi kelompok ini dalam skema bisnis sawit, telah memungkinkan mereka untuk mengakumulasi sumber-sumber kapitalbaru. Kelompok yang satu ini bisa mengakumulasi keuntungan yang lebih besar dari sawit-sawit yang mereka kumpulkan daripetani kecil.Kata KunciKata KunciKata KunciKata KunciKata Kunci: Suku Anak Dalam, Sawit, konflik, kemitraan

A. Pengantar

“Masyarakat Suku Anak Dalam di Provinsi Jambimenerima kebun sawit seluas 1.000 hektar dari PTAsiatic Persada, grup perusahaan Wilmar Interna-tional, yang diharapkan bisa mengangkat kesejah-

teraan mereka. Selama kredit pengelolaan kebunsawit itu belum lunas, kira-kira selama lima tahun,setiap kepala keluarga akan menerima uang hasilkebun sekitar Rp750 ribu per bulan, setelah kreditlunas, pendapatan per kepala keluarga bisa dua kalilipat”, (Media Swara, 17 Juni 2010).

Konflik perkebunan dengan komunitas lokalatau masyarakat adat adalah satu dari sekianpersoalan konflik agraria di Indonesia yangtercatat sebagai persoalan yang dari tahun ketahun menunjukkan tren yang terus meningkat.Seperti dikutip oleh Saturi (2013), akar konflik

1 Ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan yangdilakukan oleh tim riset sistematis Jambi (Bambang Suyudi,Tanjung Nugroho, Deden Dani Saleh, Heru Purwandari,Dwi Wulan Pujiriyani, Widhiana Hestining Puri) yangdilaksanakan pada 13-23 September 2011.

* Staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

Page 124: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

123Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

di sektor perkebunan terutama disebabkan olehtingkat konversi hutan menjadi sawit yangmenyebabkan deforestasi yang sangat parah.Sumatera dan Kalimantan adalah dua wilayahyang memiliki karakteristik konflik serupa inidimana ekspansi kawasan hutan luas yang dija-dikan perkebunan sawit menyisakan konflikberupa klaim komunitas lokal atau masyarakatadat dengan negara maupun perusahaan. Lajuinvestasi perkebunan sawit telah memperkuattekanan terhadap lahan.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan me-nunjukkan bahwa konflik antara masyarakatlokal dengan perusahaan pengelola perkebunanyang terjadi akibat ekspansi perkebunan sawit,jamak berawal dari pengingkaran terhadap kebe-radaan komunitas lokal atau masyarakat adatyang telah turun temurun mencari penghidupandi tanah-tanah yang telah diubah menjadi ka-wasan perkebunan. Mengacu pada Djuweng danDove dalam Julia (2009), aspek yang paling tam-pak dari relasi antara masyarakat adat dengannegara adalah penyangkalan terhadap kesahihanposisi/keberadaan yang satu terhadap yang lain.2

Negara tidak mengakui keberadaan masyarakatadat dan sementara itu masyarakat adat juga tidakmengakui klaim negara terhadap tanah leluhurmereka. Tanah yang merupakan hal fundamen-tal bagi hampir seluruh kelompok masyarakatadat dan masyarakat lain yang bergantung kepa-da hutan, merupakan kunci perdebatan dalamisu perkebunan kelapa sawit. Pada saat dimanabanyak kelompok masyarakat adat harus tinggaldi tanah yang sama untuk beberapa generasi,hak-hak mereka terhadap tanah tersebut jugatidak jelas dalam hukum Indonesia (Marti, 2008).

Sementara itu White (2009) menyebutkanbahwa sebagian besar ekspansi sawit di Indone-sia dan beberapa negara lainnya dilakukan di ta-nah-tanah luas yang penguasaannya tidak (be-lum) dilindungi oleh hukum yang mengatur hu-bungan-hubungan hak milik pribadi, tetapimempunyai status tanah ‘publik’ atau ‘negara’.3

Tanah-tanah ini memberi penghidupan bagijutaan petani dan pengguna hutan di bawah be-ragam kedudukan hubungan tidak resmi dansemi-resmi atau ‘adat’, individu atau kolektif. Halini pada kenyataannya berdampak luas pada matapencaharian penduduk di pedesaan. Status kepe-milikan tak resmi dan tidak pasti, dimana banyakpetani dan pengguna hutan mengusahakan la-han ini, membuat mereka rentan. Di banyak ne-gara dimana proyek-proyek biofuel berkembang,ada keprihatinan luas tentang pelanggaran seriusbaik terhadap hak atas tanah dan hak asasi,dengan banyaknya ketidakberesan dalam caramendapatkan tanah serta cara memperlakukanpetani yang dilakukan oleh perusahaan modalbesar. Banyak terjadi kasus penipuan dalam pro-ses pengadaan lahan, seperti skema inti-plasmadimana penduduk menyerahkan tanah adatmereka dan hanya sebagian kecil diantaranyayang dikembalikan, pengambilalihan lahan tanpasepengetahuan masyarakat setempat dan penye-waan tanah dengan harga yang sangat rendah.4

Hal serupa juga ditegaskan oleh Colchester(2006) yang dalam penelitiannya mengenai dam-pak ekspansi perkebunan kelapa sawit di Lam-

2Lebih lanjut lihat Julia. 2009. “Pembangunan untukSiapa? Implikasi Jender Perkebunan Kelapa Sawit terhadapPerempuan Dayak Hibun di Kalimantan Barat, Indonesia.Dalam Jurnal Tanah Air, Edisi Oktober-Desember, hal194-235.

3Tulisan merupakan respon yang dilakukan penulisterhadap Instruksi Presiden No 1 Tahun 2006 untukmenyediakan 27 juta ha lahan yang disebut “tanah hutanyang tidak produktif untuk ditanami kelapa sawit, tebu,jagung dan jarak pagar untuk penyediaan biofuel.

4Hal ini salah satunya dilakukan oleh perusahaanDaewoo Logistics Korea yang menyewa tanah seluas 1juta hektar dengan harga 6 milyar $. Lebih lanjut lihat BenWhite. 2009. “Laba dan Kuasa Dicat Warna Hijau: CatatanMengenai Biofuel, Agribisnis dan Petani”. Dalam JurnalTanah Air, Edisi Oktober-Desember, hal 238-257.

Page 125: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

124 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

pung, Kalimantan, dan Padang, menyebutkanbahwa konflik berawal dari masyarakat yangmerasa ditipu oleh perusahaan. Mereka merasadijebak dalam kesepakatan dan janji-janji palsu.Beberapa penyimpangan yang ditengarai terjadiantara lain: hak ulayat tidak diakui; perkebunankelapa sawit dibangun tanpa perizinan dari pe-merintah; informasi tidak diberikan kepadakomunitas; kesepakatan untuk mufakat tidakdirundingkan; pemuka adat dimanfaatkan un-tuk memaksakan penjualan tanah; pembayarankompensasi tidak dilaksanakan; keuntunganyang dijanjikan tidak diberikan; kebun untukpetani tidak dibagikan atau dibangun; petanidibebani dengan kredit yang tidak jelas; kajianmengenai dampak lingkungan terlambat dila-kukan; lahan tidak dikelola dalam waktu yangditentukan, penolakan masyarakat ditekan mela-lui kekerasan dan pengerahan aparat; sertapelanggaran hak asasi manusia serius.5

Dalam konteks ekspansi sawit yang terjadi diSumatra atau secara spesif ik di Jambi, McCharty(2011) memunculkan konsep ‘inclusion’ dan‘adverse incorporation.’ Dalam hal ini, kehadiransawit telah mengintegrasikan masyarakat lokaldan mengubah pola hidup subsistennya untukkemudian terintegrasi dalam sebuah rantai ko-

moditas global. Jebakan kemiskinan adalah pot-ret yang pada akhirnya muncul. Keterlibatanmereka dalam skema kemitraan dengan perke-bunan baik melalui PIR Trans maupun KKPA,pada kenyataannya tidak sepenuhnya mampumenjawab harapan tentang kemakmuran danpengentasan kemiskinan. Sawit mendatangkankemakmuran bagi sebagian dan sekaligus jugamenghadirkan kemiskinan bagi yang lain. Kemis-kinan tidak terjadi karena mereka tidak bisamengambil bagian dalam proses transformasiagraria yang ada, tetapi karena keterlibatan me-reka dalam sebuah skema yang tidak mengun-tungkan (inclusion on disanvantageous term).Berbagai proses yang mensubordinasikan masya-rakat terjadi dari mulai: status tanah plasma yangtidak jelas, tidak adanya komitmen pihak per-kebunan untuk menjalankan pola kemitraandengan baik, elite lokal yang memanfaatkan ke-sempatan dengan mengintimidasi masyarakatuntuk menjual tanahnya, kurangnya kontrol pro-ses dan kelembagaan dan sebagainya. Padaakhirnya yang terjadi adalah sebagian masyarakatlokal tetap miskin dan banyak yang justru kehi-langan tanahnya.

Hal serupa juga dimunculkan oleh Fortin(2011) dalam kasus ekspansi sawit yang terjadidi Sanggau, Kalimantan Barat. Transformasiagraria yang terjadi seiring dengan masuknyasawit, telah menghadirkan kemakmuran dankesejahteraan bagi sebagian orang dan kemis-kinan yang kronis bagi sebagian yang lain. Ske-ma intiplasma yang diperkenalkan sebagai modelpengembangan pertanian telah menyebabkanpenyingkiran dan ketimpangan akses terhadaptanah. Diferensiasi pedesaan melalui mekanismeintiplasma telah memungkinkan sebagian orangberhasil mengakumulasi kapital dan memperluasproduksi serta penguasaannya sementara seba-gian yang lain terpaksa harus tersingkir tanpakompensasi dan keberlanjutan kebun plasmanya.Petani terjebak pada rantai hutang yang tidak

5Hal ini menunjukan bahwa masyarakat adat Indonesiasecara sistematis tersingkir dari warisan leluhur mereka(tanah, hutan, sumber penghidupan dan budaya) olehperkebunan kelapa sawit tanpa menghargai hak dankepentingan mereka. Walaupun konstitusi Indonesiabertujuan untuk melindungi hak masyarakat adat, sejumlahkebijakan dan hukum memungkinkan hak tersebut diabaikan‘demi kepentingan nasional’. Bahkan ketika perundingandengan masyarakat terjadi, mereka tidak pernah diberikankesempatan untuk mengatakan ‘tidak’ atas pengambil-alihantanah mereka, dan tidak pernah diberitahukan bahwa hak-hak mereka dihapuskan dalam proses pembangunanperkebunan. (Lebih lanjut lihat Colchester, et al. 2006. Prom-ised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Im-plication for Local Communities and Indigenious People. Eng-land: Forest People Programme (FPP); Bogor: Perkum-pulan Sawit Watch).

Page 126: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

125Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

bisa terselesaikan. Transformasi dari modeproduksi subsistensi ke komoditas produksi telahmemicu tersubordinasinya kelompok petani daripasar komoditas yang pada akhirnya menyebab-kan tereleminasinya kelompok petani akibat pro-ses industrualisasi yang terjadi. Kehadiran sawittelah memicu terjadinya tranformasi agraria, danmemunculkan pola inclusion, exclusion danadverse incorporation yang ditandai denganperubahan kepemilikan aset-aset pertanian darikelompok miskin serta distribusi sosial kekuasa-an di daerah pinggiran yang berlangsung dalamproses yang lebih panjang. Salah satu aspekkunci dalam adverse incorporation adalah relasipetani plasma yang seringkali tidak memahamikewajiban, resiko dan kesempatan ketika merekamenandatangani kontrak pertanian denganperusahaan sawit dimana relasi produksi yangterjadi biasanya sangat monopolistik dan mono-psonistik. Terlebih lagi melalui kerjasama KUDdan KKPA, petani plasma tidak bisa mengetahuikeuntungan yang diperoleh dengan transparan.

Kelindan persoalan akibat ekspansi perke-bunan monokultur dan perubahan status ka-wasan hutan salah satunya terekam jelas dalamkonflik Suku Anak Dalam Batin 9 dengan PTAsiatic Persada sebagai perusahaan pemegangHGU. Hamparan sawit yang pada awalnya da-tang dengan sebuah janji tentang kemakmuranbagi komunitas lokal yang selama ini dengansetia telah menggantungkan kehidupannya padakemurahan hutan ternyata harus dibayar mahaldengan berbagai persoalan dari mulai tumpangtindih klaim penguasaan tanah sampai peming-giran dan penggusuran. Hutan Jambi yang kaya,pada kenyataannya justru membawa petaka per-

soalan yang tidak ada habisnya.6 Bagi masyarakatSAD, sawit merupakan komoditas pertanian baruyang berbeda dengan penghidupan mereka sela-ma ini yang berbasis pada hutan. Cerita tentang‘emas hijau’ bagi masyarakat SAD adalah bagiandari skema internasionalisasi pertanian yang me-nempatkan mereka dalam satu lingkar bisnis rak-sasa dimana mereka dipaksa untuk keluar dariproduksi tanaman pangan tradisional dan meng-gantikannya dengan kewajiban untuk tundukpada eksploitasi dalam bentuk kontrol ataslahan, tenaga kerja, dan sumber daya lainnya.

Ekspansi perkebunan sawit merupakan ba-gian dari skenario kapitalisme yang bisa dilekat-kan dengan pyramid of sacrif ise dari Berger(1982:xiv-xvii). Standar kehidupan material yangtinggi atau kesejahteraan yang ditawarkan dalamskema bisnis sawit telah menempatkan tanah-tanah yang kini menjadi hamparan kebun sawititu menjadi lahan perebutan dari mereka yangmengklaim sebagai pemilik sah dan merasa pal-ing berhak untuk mengambil manfaat penuhdari tanah-tanah tersebut. Tulisan ini lebih lanjutakan membahas persoalan konflik yang munculakibat ekspansi perkebunan sawit melalui potretpemberian 1000 hektar lahan sawit dari PT Asiatic

6 Hutan di Jambi sebagaimana dicatat Handini(2005:135), memang telah mengalami perubahan signifikanpada beberapa dasawarsa terakhir. Pembukaan dan eksploi-tasi hutan untuk berbagai kepentingan yang meningkat sejaktahun 1970-an membuat wilayah hutan di Jambi semakin

berkurang. Pengembangan wilayah transmigrasi, pene-bangan liar, dan perubahan peruntukan hutan telah mere-duksi kuantitas serta kualitas lingkungan hutan. Bohmer(1998:1-3) dalam Prasetijo (2011:18) menambahkan bahwapada tahun 1970 lingkungan alam di Jambi sebenarnya sudahmulai berubah drastis sejak adanya program pembukaanhutan untuk lahan hutan produksi (HTI), pemukimantransmigrasi, pengembangan pertanian dan perkebunan,serta proyek peningkatan infrastruktur. Kegiatan-kegiatanini berdampak pada terjadinya kebakaran hutan yang tidakterkontrol serta pembukaan hutan dilakukan terus menerus,sehingga menyebabkan penurunan kualitas lingkungan didataran rendah Jambi. Proyek transmigrasi berikut proyek-proyek pendukung lainnya, seperti perkebunan sawit,pemukiman, dan jalan, mempengaruhi perubahan lingkungandi dataran rendah Jambi secara luas. Proyek-proyek terse-but mengubah fungsi hutan, dari hutan primer ke kawasanperkebunan dan pemukiman secara cepat.

Page 127: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

126 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Persada sebagai pihak operasional perkebunandengan masyarakat SAD Batin 9. Seperti halnyaprogram transmigrasi besar-besaran pada tahun1974 yang telah meminggirkan keberadaan mere-ka, saat ini ekspansi perkebunan sawit pundengan cepat telah mengambil hutan yang sela-ma ini menjadi sumber penghidupan mereka.Kasus pemberian 1000 hektar lahan sawit sebe-narnya bisa dikatakan sebagai salah satu strategiperusahaan untuk meminimalisir konflik denganmasyarakat. Hal ini dimungkinkan karena begitubanyaknya kasus sengketa yang muncul akibatbanyak tanah yang dikonversi menjadi perke-bunan sawit. Sengketa tanah adat ini padakenyataannya juga berkembang terkait polakemitraan perkebunan kelapa sawit.

B. Wajah Perkebunan Sawitdi Kabupaten Batang Hari

Sawit memang layak disebut sebagai ‘emashijau’ karena keuntungan yang ditawarkan daribisnis komoditi yang satu ini memang benar-benar menggiurkan. Di Indonesia sendiri, sawitmerupakan salah satu produksi perkebunanterbesar. Sampai saat ini Indonesia masih me-nempati posisi teratas sebagai negara produsenminyak kelapa sawit (CPO) terbesar dunia,dengan produksi sebesar 19,4 juta ton pada 2009.Sektor minyak kelapa sawit Indonesia memangmengalami perkembangan yang berarti, hal initerlihat dari total luas areal perkebunan kelapasawit yang terus bertambah yaitu menjadi 7,3 jutahektar pada 2009 dari 7,0 juta hektar pada 2008.Sedangkan produksi minyak sawit (crude palmoil/CPO) terus mengalami peningkatan dari ta-hun ke tahun dari 19,2 juta ton pada 2008 me-ningkat menjadi 19,4 juta ton pada 2009.Sementara total ekspornya juga meningkat, pada2008 tercatat sebesar 18,1 juta ton kemudianmenjadi 14,9 juta ton sampai dengan September2009. Dalam 10 tahun terakhir luas areal per-kebunan kelapa sawit di Indonesia terus mening-

kat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 8,7%per tahun dari hanya seluas 3.902 ribu ha pada1999 meningkat menjadi 7.321 ribu ha tahun2009.

Produk minyak sawit di Indonesia meningkatdengan pesat sejalan dengan peningkatan luas-nya areal perkebunan kelapa sawit tersebut. Kela-pa sawit merupakan tanaman penghasil minyakyang berperan penting dalam perekonomiandunia, baik sebagai bahan baku industri dalamnegeri maupun diekspor. Pada saat ini tanamankelapa sawit di Indonesia diusahakan oleh perke-bunan pemerintah, swasta, dan perkebunanrakyat. Dalam lima tahun terakhir, kelapa sawitterus berkembang menjadi salah satu komoditasekspor andalan Indonesia. Kue konsumsi minyakkelapa sawit mentah di pasar minyak nabati glo-bal pun terus meningkat.7 Minyak kelapa sawittelah menjadi bahan baku yang sangat pentingbagi berbagai industri makanan, komestik danyang terbaru sebagai sumber energi.8

Perkembangan pesat perkebunan kelapasawit dimulai pada akhir tahun 1980-an, ketikaperkebunan besar swasta (PBS) mulai masuk kesektor perkebunan dan pengolahan minyak kela-pa sawit dalam jumlah besar. Sebelumnya perke-bunan kelapa sawit didominasi oleh perkebunan

7 Itaibnu. 2011. Merawat Emas Hijau.www.bakti.org.Diakses 24 November 2011

8 Jika dirunut dari jejak historisnya, kelapa sawitpertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1911, dibawaoleh Adrien Hallet yang berkebangsaan Belgia. Empatpohon sawit pertama dibawa dari Congo untuk kemudianditanam di Kebun Raya Bogor untuk melihat kecocokannyadengan iklim dan tanah di Indonesia. Hasil perkembang-biakan dari tanaman induk inilah yang kemudian menjadicikal bakal perkebunan sawit pertama di Sumatra,SOCFINDO yang masih ada hingga hari ini. Benih indukdari Kebun Raya Bogor ini jugalah yang kemudian dibawake Malaysia sebagai awal perkebunan kelapa sawit di Ma-laysia. Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indone-sia, pada masa-masa awal sesungguhnya relatif lambat. Barupada tahun 1980-an terjadi ‘booming’ kelapa sawit hinggahari ini permintaan terus meningkat.

Page 128: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

127Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

milik negara (PBN). Sejalan dengan harga CrudePalm Oil yang terus meningkat maka selain per-kebunan swasta besar, maka petani kecil mulaimenanam kelapa sawit. Semula kebun sawitmilik rakyat dibangun dalam skema inti plasmadengan perkebunan besar baik swasta maupunmilik negara sebagai inti, namun kemudian per-kebunan rakyat (PR) semakin berkembang dilu-ar skema inti plasma. Saat ini PBS mendominasiluas areal perkebunan sawit di Indonesia. Padatahun 2009 dari total areal perkebunan kelapasawit nasional seluas 7.077 ribu ha, sekitar 3.501ribu ha (49,47%) diusahakan oleh perkebunanbesar swasta (PBS), sedangkan 2.959 ribu ha(41,80%) diusahakan oleh perkebunan rakyat(PR) dan selebihnya 617 ribu ha (8,73%) adalahmilik PBN.9

Dalam skema bisnis sawit di Indonesia, Suma-tera merupakan salah satu wilayah yang tercatatmemiliki luasan perkebunan yang paling besaryaitu sebesar 4.280.094 ha atau 76,46% dari to-tal areal perkebunan kelapa sawit nasional. Tidakmengherankan kalau gerak industri sawit diwilayah ini begitu masif.10 Kebijakan tingkat lokalmaupun nasional mengarahkan Sumatera seba-gai pemasok energi alternatif terbarukan yangberasal dari biofuel sawit. Master plan MP3EImenyatakan bahwa koridor ekonomi sumateradiarahkan sebagai Sentra Produksi dan Pengo-lahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional.Kegiatan ekonomi utama di 11 daerah pusatekonomi diarahkan pada produksi kelapa sawit,

salah satunya adalah Jambi. Untuk Propinsi Jam-bi sendiri, kelapa sawit merupakan komoditasperkebunan yang sangat dominan dengan luaslahan 574,514 ha. Hal ini didukung dengan pro-gram Pemerintah Daerah Propinsi Jambi yaitu“Pengembangan Kelapa Sawit Sejuta Hektar”.Saat ini tidak kurang dari 30-an perusahaan sawityang beroperasi di wilayah ini. Sawit dapat dite-mukan di di tujuh kabupaten yaitu Batanghari,Muaro Jambi, Bungo, Sarolangun, Merangin,Tanjung Jabung Barat dan Tebo.

Sawit memang tidak pernah datang tanpacerita. Masifnya ekspansi kebun sawit yang ter-jadi di Jambi pada kenyataannya hadir bersamawacana krisis ketahanan pangan lokal sertabenih-benih pemicu ekskalasi konflik yang terusmemanas. Menurut catatan Yayasan SETARA,perkebunan kelapa sawit di propinsi Jambi yangmencapai 480.000 Ha hingga tahun 2008 telahbanyak melahirkan konflik sosial yang 99 konfliksosial diantaranya, tidak pernah selesai sampaisaat ini. Upaya-upaya penyelesaian yang munculpun pada dasarnya tidak permanen sehinggatidak mengherankan jika kemudian konflik bisamuncul kembali dengan mudah. Lemahnyapenataan ruang bagi areal-areal yang diperun-tukkan bagi perkebunan kelapa sawit jugadituding sebagai salah satu pemicu semakinmenurunya areal-areal pangan lokal milik masya-rakat. Banyak areal padi milik masyarakat yangtelah berganti menjadi kebun sawit dan diusaha-kan baik oleh perkebunan besar kelapa sawit mau-pun oleh masyarakat sendiri.

Kabupaten Batanghari juga merupakan salahsatu wilayah Propinsi Jambi yang juga memilikicerita tentang perkebunan sawit. Sawit meru-pakan komoditi tanaman perkebunan terbesar diwilayah ini dengan produksi utama di kecamatanBajubang sebanyak 76,43 persen. Ada beberapaperkebunan besar yang beroperasi di wilayah iniseperti dapat dicermati dalam tabel berikut ini:

9Pada periode 1999-2009, pertumbuhan luas arealperkebunan besar negara hanya relatf kecil yaitu meningkatrata-rata 1,73% per tahun. Sedangkan pertumbuhan terbesarterjadi pada perkebunan rakyat yang mencapai tingkatpertumbuhan rata-rata 12,01% per tahun. Sementaraperkebunan besar swasta meningkat rata-rata sekitar 5,04%per tahun.

10 www.datacon.co.id diakses 14 november 2011,INDUSTRI PALM OIL DI INDONESIA, Novem-ber 2009

Page 129: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

128 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Tabel. 1. Pelaku Usaha di KabupatenBatanghari

Sumber: www.regionalinvestment.com

Kehadiran perkebunan-perkebunan besar diKabupaten Batanghari bukan tanpa masalah.Kehadiran mereka pada kenyataannya telahmenciptakan berbagai macam bentuk konflik.Seperti dicatat oleh Persatuan Masyarakat Kor-ban Perkebunan Sawit (2009), ratusan bahkanribuan hektar tanah, lahan dan kebun masyara-kat telah di rampas oleh perusahaan perkebunan,terutama perusahaan perkebunan besar. Kasus-kasus yang terjadi di PT. Sawit Jambi Lestari, PT.Sacona Persada PT. Sawit Desa Makmur, PT.Maju Perkasa Sawit, PT. Jammer Tulen dan PT.Asiatic Persada yang berada dibawah benderaAsiatic Persada Group/Wilmar Group merupa-kan salah satu bukti betapa berkuasanya perusa-haan perkebunan besar. Dalam hal ini, Peme-rintah Daerah Kabupaten Batanghari dipandangkurang bisa mengambil sikap tegas untuk ber-pihak pada rakyatnya. Kehadiran perusahaantelah banyak menimbulkan kerugian fatal, baikbagi rakyat maupun bagi Negara. Ada beberapaindikasi pelanggaran yang teridentif ikasi dianta-ranya: membuka lahan perkebunan sawitdengan mengambil tanah, lahan dan kebun milikmasyarakat secara paksa; memperluas kebun(kelebihan luasan HGU) hingga mencaplok ta-nah milik warga; menelantarkan lahan-lahan intidan plasma dalam waktu yang cukup lama; sertatidak membayar pajak kepada negara.

C. Kesejahteraan Semu: Berkah TandanSawit di Desa Bungku

Desa Bungku merupakan salah satu potretdesa di wilayah Kecamatan Bajubang, KabupatenBatanghari yang mengalami perubahan akibatekspansi perkebunan sawit.11 Kekhasan desaBungku ini seperti beberapa desa lain di Keca-matan Bajubang, adalah pohon sawit yang men-jadi primadona tak hanya di kebun, tetapi jugaditanam sebagai peneduh dan tanaman peka-rangan. Desa Bungku memang tercatat sebagaisalah satu desa yang memiliki potensi di bidangperkebunan kelapa sawit dan karet. Untuk per-kebunan sawit sendiri, desa ini memiliki perke-bunan seluas seluas 50.000 hektar yang penge-lolaan terbesarnya berada di pihak swasta.

Sebelum sawit menjadi primadona, kononDesa Bungku merupakan daerah hutan rawayang lebat. Dengan jumlah penduduk yangmasih terbilang sedikit, sebuah sungai yangmelintas wilayah perkampungan menjadi salahsatu media transportasi yang sangat berperanpada saat itu. Desa Bungku masa lalu hanyadidiami oleh beberapa kelompok suku yangsering disebut Suku Anak Dalam (SAD).12 Seiringberjalannya waktu, banyak masyarakat dari luardesa Bungku yang mulai mengetahui bahwahutan desa Bungku menyimpan banyak pundi-pundi yang berasal dari ‘kayu bulian’. Kayu bulianinilah yang pada akhirnya membawa banyakpendatang masuk ke desa Bungku untuk

Nama Perusahaan Komoditi Jenis Produksi

PT Adora MasSumatra Plantation

Perkebunan Kelapa sawit

PT Cipta PrasastiLestari

Perkebunan Kelapa sawit TBS (Tandan Buah Segar

PT Citra Quinta Perkebunan Kelapa sawit TBSPT Angso Duo SawitSejahtera

Industri PengolahanKelapa sawit menjadiCPO dan inti kernel

CPO dan inti sawit

PT Asiatic Persada Perkebunan kelapa sawitdan pengolahannya

TBS, CPO dan INRI

PT Berkat JayaPangestu

Perkebunan sawit danpengolahannya

TBS, CPO, dan INRI

11Mengacu pada data Kantor Camat Bajubang, 2005,Desa Bungku memiliki luas 40.000 ha dengan jumlahpenduduk 5782 jiwa dan jumlah kk 1589. Desa ini secaraadministratif di sebelah utara berbatasan dengan DesaPompa Air, sebelah selatan berbatasan dengan Desa DurianLuncuk, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Singkawangdan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Markandang.

12 Suku Anak Dalam yang mendiami desa Bungku adalahSAD yang berasal dari daerah Sumatera Selatan dan daerahBukit Dua Belas yang membentuk satu kelompok denganjumlah 10 keluarga.

Page 130: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

129Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

mengambil kayu-kayu tersebut. Kayu bulian ada-lah komoditas pertama yang membawa peru-bahan di desa ini. Jalan-jalan mulai diperkerasuntuk jalan mobil para penebang kayu agarmereka dapat membawa keluar kayu mereka.Beberapa tahun kemudian setelah kayu bulianmulai habis dan tidak ada yang dimanfaatkanlagi, para penebang kayu pun meninggalkan hu-tan yang sudah gundul begitu saja dan masuklahperusahaan kelapa sawit mengambil alih penge-lolaan lahan hutan untuk dijadikan lahan perke-bunan kelapa sawit. Masuknya perusahaan sawittelah menjadi magnet yang menarik banyak war-ga dari luar untuk datang dan tinggal di desaBungku.13

Potret kejayaan sawit terlihat jelas dari kontra-diksi yang terekam di desa ini. Desa yang notabe-ne berada di daerah pedalaman yang cukupterpencil ini, ternyata menunjukan perkem-bangan yang cukup memukau. Rumah berjajarrapi di sepanjang jalan desa yang sudah diper-keras dengan aspal. Rumah-rumah tipe kelasmenengah yang berdiri megah dengan desain-desain modernnya dapat dijumpai dengan mu-dah di desa ini. Polesan cat berwarna terang tam-pak menambah elegan tampilan rumah-rumahyang mungkin bisa disebut sebagai ’istana’ parajuragan sawit ini. Rumah-rumah panggung yangseringkali digambarkan sebagai romantismeklasik dari rumah-rumah penduduk asli di bumiSumatera, tidak lagi dijumpai di desa ini. Pa-rabola terlihat bertengger menghias di hampirsetiap atap rumah di desa ini. Parabola tampak-nya memang sudah tidak lagi menjadi simbolstatus sosial melainkan sudah menjadi kebu-tuhan wajib yang tidak bisa ditinggalkan. Pa-

rabola juga sudah menjadi satu paket kebutuhanprimer dengan generator yang menjadi nadi kehi-dupan di desa ini.

Letak desa yang agak terpencil tampaknyajuga tidak menjauhkan desa Bungku dari penga-ruh gaya hidup perkotaan yang konsumtif. Sepe-da motor berbagai jenis merek tampak berlalulalang di sepanjang jalan. Kendaraan besar darimulai truk-truk perkebunan, pick up sampai mo-bil pribadi sekelas avanza pun tidak kalah jum-lahnya.14 Mobil-mobil tampak terparkir denganrapi di depan rumah beberapa warga. Mungkininilah berkah sawit yang konon sering disebut’emas hijau’. Sawit telah menyediakan lembaran-lembaran rupiah yang bisa ditukar dengan segalabentuk kenyamanan hidup.15 Uang tunai cukupbesar yang akan diperoleh petani sawit setiap ha-bis panen, tampaknya menjadi pemicu tumbuhsuburnya gaya hidup konsumtif. Tidak hanyasepeda motor, peralatan elektronik seperti televisi,kulkas, blender, atau mesin cuci juga tampakterpajang dengan rapi di rumah warga. Agaksayang sebenarnya karena beberapa barangtampak tidak difungsikan dengan baik akibataliran listrik yang tidak stabil. Belum masuknyajaringan listrik, membuat warga memanfaatkangenset sebagai sumber energi yang utama. Gensetbiasanya dimaksimalkan pemakaiannya padamalam hari.

13 Para pendatang ini tidak hanya berasal dari wilayahdi seputar Jambi tetapi juga dari Padang, Palembang,Lampung, Medan, Jawa, Madura, Lombok, dan Timor-Timur. Para pendatang ini rata-rata bekerja di sawit (70%),sementara sisanya bekerja di kebun karet (30%).

14 Menurut hasil interview dengan pak Nasri,Kepemilikan kendaraan motor di desa Bungku bisadikatakan cukup fantastis. Jumlah mobil ada sekitar 200-anlebih. Mobil-mobil umumnya berjenis pick up atau trukyang berjumlah sekitar 30-an. Jumlah sepeda motormemiliki angka yang paling tinggi yaitu 2864 unit. Setiapsatu keluarga bisa dipastikan memiliki minimal 1 unit motor.

15Masyarakat rata-rata memiliki lahan seluas 2-4 ha.Dalam sebulan, lahan seluas 2 ha dapat menghasilkan 2xpanen @ 3 ton. Dengan demikian, pendapatan perbulanmencapai 6 ton. Apabila harga per kg mencapai 800 makapendapatan dalam 2 ha sawit mencapai Rp. 4800.000/bulanatau jika petani memiliki 4 ha, maka pendapatan akanmencapai Rp. 960.0000/bulan.

Page 131: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

130 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Sawit tampaknya juga tidak hanya mengubahrumah-rumah panggung menjadi rumah tem-bok berlantai keramik, tetapi telah meninabo-bokan masyarakat dalam kebiasaan hidup yangsantai untuk tidak menyebutnya sebagai ber-malas-malasan. Hal ini salah satunya terlihat daripekarangan rumah yang rata-rata gersang dantidak dimanfaatkan. “Disini orang sudah kaya-kaya, mending beli saja”, begitulah penuturansalah seorang warga ketika memberi penjelasantentang banyaknya pekarangan yang tidak di-manfaatkan. Di desa Bungku sendiri ada sekitar10 tukang sayur yang siap melayani kebutuhanseluruh warga. Warga hanya perlu menunggupara penjaja ini lewat, untuk kemudian memilihbarang yang mereka butuhkan.16

Kehadiran sawit di desa Bungku tidak dapatdilepaskan dari keberadaan Suku Anak Dalam(SAD).17 Desa yang mulai diramaikan oleh pen-datang dari berbagai daerah ini memiliki komu-nitas penduduk asli yang jamak dikenal dengannama Suku Anak Dalam Batin 9 (SAD Batin 9).Kelompok SAD Batin 9 inilah yang dalam ske-nario pemberian 1000 hektar lahan sawit meru-pakan kelompok yang dianggap berhak mem-peroleh limpahan kemurahan hati dari sebuahperkebunan sawit bernama PT. Asiatic Persada.

Kelompok SAD Batin 9 merupakan kelompoketnik yang tersebar di wilayah Jambi bagian timuratau tepatnya di wilayah Muara Bulian. NamaBatin 9 sendiri merupakan identitas etnik yang

bersumber dari keyakinan bahwa nenek moyangmereka berasal dari 9 orang bersaudara yangtinggal di 9 anak sungai Batanghari (Bulian,Bahar, Jebak, Jangga, Pemusiran, Burung antu,Telisak, Sekamis, Singoan). Penguasaan sungaimemberi sebuah orientasi pada ruang yang ke-mudian berdampak pada segi-segi kehidupanSAD Batin IX. Sebagai sumber kehidupan, sungaimenjadi pusat dari segala acuan dalam pola pem-bangunan pemukiman berupa rumah panggungyang berada di sepanjang aliran sungai. Sungaimenjadi gerbang untuk berhubungan dengan or-ang-orang lain di luar wilayah mereka. Aktivitasperdagangan dan pertukaran barang dilakukanmelalui jalur transportasi air, sehingga aliran sungaitidak boleh dibiarkan dangkal dan menyempit.

Keberadaan SAD masa kini tidak dapat dile-paskan dari tren program pemberdayaan. Perludiketahui sebelumnya bahwa nama Suku AnakDalam di Jambi sendiri sudah bak sebuah merkdagang, begitu juga dengan nama SAD Batin 9.Ada banyak lembaga yang lahir dengan mengu-sung nama ‘Suku Anak Dalam’ dalam visi advo-kasi mereka seperti dapat dilihat dalam tabelberikut ini:

Tabel 2. Nama Lembaga yang Memakai NamaSAD sebagai Bagian dari Program Advokasinya

(Sumber: Data primer, 2011)

16Tukang sayur biasanya akan datang lima hari dalamsatu minggu, kecuali hari Jumat dan Sabtu. Mereka membawaberbagai jenis sayuran, ikan, bumbu dapur dan kebutuhandapur lainnya.

17 Merunut pada legenda “Sentano Padang Sembilan”,Desa Bungku adalah desa yang awalnya dihuni olehsekelompok orang yang terdiri dari sepuluh keluarga SADyang berasal dari daerah Sumatera Selatan dan daerah BukitDua Belas. Kelompok yang dipimpin oleh seorang penghulubernama ‘Pati’ inilah yang merupakan leluhur awal kelompokSAD di Desa Bungku.

NO NAMA LEMBAGA

1 Aliansi Masyarakat Peduli Hutan dan Lahan (AMPHAL)

2 Hanura

3 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Lingkungan (YLBHL)

4 Setara Jambi

5 Forum Komunikasi Lintas Adat Suku Anak Dalam

(FORKALA-SAD)

6 Lembaga Bantuan Hukum Buruh (LBH Buruh)

7 Yayasan Masyarakat Adat Orang Kubu Dusun Lamo

Padang Salak, Sei Bahar, Kabupaten Batanghari, Propinsi

Jambi

8 PALM

9 KKI Warsi

10 Yayasan MABU

11 Trisula

12 FORMASKU

13 AMPHAL

14 Gerakan Pembela Masyarakat Jambi (GMPJ)

15 Peduli Bangsa

16 Merdeka

17 Keris

Page 132: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

131Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

Di dalam lembaga-lembaga ini, dengan mu-dah dapat dijumpai suara-suara vokal yang mem-berikan dukungan bagi keberadaan mereka yangseringkali dianggap sebagai kelompok yang ter-pinggirkan. Keterpinggiran mereka ini dilekat-kan dengan berbagai stereotype atau pelabelannegatif seperti dapat dicermati dalam skema beri-kut ini:

Gambar 1. Stereotype Suku Anak Dalam(Sumber: data primer, 2011)

Pelabelan yang dilekatkan pada SAD jugamuncul di desa Bungku seperti dikutip: “Kalaudesa Bungku ini yang paling kubu-kubu, di ujungaspal itu lho, itu yang paling kolotnya. Yang kamu-kamu nak pergi kan, yang kata kamu metak-metak tanah. Itulah kubunya, itulah yang palingkubu.” Pelabelan negatif dilakukan dengan mem-berikan istilah ‘kubu’ untuk membedakan SADdengan masyarakat kebanyakan. Kelompok inimemiliki kebiasaan yang lugu atau diistilahkandengan ’basah-basah kering’ seperti: seperti:menjemur pakaian di depan rumah, mencuci pa-kaian tanpa menggunakan sabun, atau makanbersama dengan hewan peliharaan.

Dalam wacana yang lebih luas, pelabelan yangdiberikan pada SAD pada dasarnya mencitrakanmereka sebagai kelompok yang harus ‘ditolong’,

‘dibantu’, atau ‘diselamatkan’ dari berbagai te-kanan yang mengancam eksistensinya. Citraserupa ini ditumbuhsuburkan oleh pemerintahmelalui program PKMT yang populer pada tahun80-an yang salah satunya hadir dalam bentukpendef inisian Suku Anak Dalam seperti dapatdilihat dari skema berikut ini:

Gambar 2. Skema Pendefinisian Suku AnakDalam (SAD). (Sumber: Data primer, 2011)

Pendefinisian mengenai identitas Suku AnakDalam telah melahirkan satu wacana tersendiribahwa keberadaan mereka memang dianggap‘berbeda’. Dalam kasus SAD, dominasi pendefi-nisian yang lebih banyak berasal dari perspektiforang luar telah menempatkan kelompok SADsebagai satu kelompok yang sama tanpa mem-pertimbangkan bahwa nama SAD mewakili bebe-rapa kelompok etnik yang berbeda di Jambi.

Untuk desa Bungku, pelabelan-pelabelan yangdilekatkan pada SAD juga masih tersisa. Mes-kipun demikian, pelabelan ini memang tidakmuncul dalam batas-batas yang tegas. Prosespembauran yang terjadi antara SAD dengan ke-lompok pendatang, telah memupus pelabelandan mengaburkan batas-batas antara kelompokSAD denga kelompok pendatang. Proses pem-bauran inilah yang pada akhirnya menghadirkanperubahan pada sosok SAD ‘masa kini’ sepertidapat dilihat dalam ilustrasi berikut:

SAD

Miskin

BodohTidak

beragama

Tertutup

Terbelakang/kolot

Kotor/kulit

bersisik

Berbauamis

Bertempat tinggal atau berkelana di

tempat-tempat yang secara

geografik terpencil, terisolir dan

secara sosial budaya terasing atau

masih terbelakang dibandingkan

dengan bangsa Indonesia pada

Keturunan sembilan saudara anak

Raden Ontar: Singo Jayo, Singo

Jabo, Singo Pati, Singo Inu, Singo

Besak, Singo Laut, Singo Delago,

Singo Mengalo, Singo Anum

PENDEFINISIANSAD

pola hidup berpindah, berdiam diri

di dalam hutan, tidak memeluk/

kurang memahami agama islam,

tinggal terpencil,jauh dari

pemukiman masyarakat umum

Keturunan Puyang Semikat dari

Palembang yang menikah dengan

putri Depati Seneneng Ikan yaitu

putri Bayan Riu dan Bayan Lais

Versi pemerintah Versi SAD

Page 133: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

132 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Gambar.3. Bagan SAD “Masa Kini”- SADyang sudah berbaur. (Sumber: data primer, 2011)

Potret kesejahteraan yang tergambar di DesaBungku pada kenyataanya merupakan sebuahpotret dari kesejahteraan sawit yang hanya dira-sakan oleh sebagian kecil masyarakatnya. Spot-spot kemakmuran ini cukup bertolak belakangdengan kondisi sebagian besar masyarakat yangtidak mampu mengambil bagian dalam lingkarbisnis perkebunan sawit. Hal inilah yang mengu-at dalam berbagai benturan yang akhirnya mela-hirkan konflik berkaitan dengan klaim hak atastanah.

D. Perjalanan Konflik Lahan antara SADdan PT Asiatic Persada18

Konflik lahan antara SAD dan PT AsiaticPersada sudah dimulai sejak sebuah perusahaanperkayuan dengan Bendera Asiatik Mas Coorpo-ration, beroperasi di wilayah Sungai Bahar,Batanghari pada tahun 1986. Karena lokasi initelah habis masa eksploitasi kayunya, maka PT.AMC pun mengajukan izin untuk mengelolalahan menjadi kebun kelapa sawit, karet dancoklat. Beberapa anak perusahaan pun akhirnyadibentuk dengan salah satunya bernama PT.Bangun Desa Utama (sekarang diganti dengan

PT Asiatic Persada).PT. Bangun Desa Utama mendapat izin

prinsip HGU berdasarkan SK Menteri DalamNegeri tanggal 01 September 1986 dengan SKNomor 46/HGU/DA/86 sampai akhirnyaterbitlah sertif ikat HGU No. 1 Tahun 1986 padatanggal 20 Mei 1987. Tanah yang dicadangkanoleh Gubernur Jambi untuk dikelola oleh PTBDU pada waktu itu adalah seluas 40.000 Ha.Dalam hal ini ternyata Menhut hanya melepas-kan izin prinsip seluas 27.150 Ha. Ketika diinven-tarisasi oleh BPN, luas tanah yang dikeluarkanijin HGU-nya dan dinyatakan layak untuk dike-lola sebagai kawasan perkebunan hanya seluas20.000 Ha. Sisa luasan sebasr 7.150 Ha yang secaraprinsip telah dikeluarkan peruntukannya olehMenteri, kemudian diberikan oleh gubernurkepada 2 perusahaan di bawah Wilmar Grouplainnya yaitu PT Jammer Tulen dan PT MajuPerkasa Sawit.

Pada tahun 1992, akhirnya PT. BDU bergantinama menjadi PT Asiatic Persada.19 PT. AsiaticPersada beroperasi di wilayah perbatasan Kabu-paten Batanghari dan Kabupaten Muaro Jambiatau tepatnya di wilayah Desa Bungku, Keca-matan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Pro-vinsi Jambi. Secara spesif ik, lokasi HGU AsiaticPersada memiliki batas-batas: sebelah utara(Desa Pompa Air-Tiang Tunggang); sebelah sela-tan (kawasan Hutan eks HPH Asialog, Unit 22 UPTPTPN VI Sungai Bahar dan Desa Tanjung Lebar);sebelah barat ( PTPN VI Sungai Bahar); sebelahtimur (PT. Maju Perkasa Sawit, PT. Jammer Tulen,Kawasan Tahura Senami dan Desa Bungku).Pemilik PT. Asiatic Persada sendiri juga berubah-ubah, mulai dari Andi Senangsyah melalui hold-ing company-nya yaitu Asiatic Mas Corporation,CDC, Cargill, dan terakhir Wilmar InternationalPlantation yang berpusat di Singapura.18 PT. Asiatic Persada adalah perusahaan perkebunan

kelapa sawit dan pengolahan tandan buah segar (TBS)menjadi CPO sebagai produk utama dan sampingan adalahpalm kernel.

SAD

tidak mau tinggal di pinggir jalan,

pemukiman masuk ke dalam hutan

pemukiman menyebar, rumah-rumah mulai

dibangun di sepanjang jalan

mandi sekedar membasahi badan (berendam

di sungai)

Mandi dalam kamar mandi yang dibuat

permanen

Mencuci baju tidak menggunakan sabun,

tetapi dengan memukul -mukulkan kayu ke

pakaian

Mencuci baju sudah dengan sabun bahkan

menggunakan mesin cuci

Makan dan tidur di tempat yang sama

(makan bersama dengan hewan peliharaan)

Makan dan tidur dalam ruangan terpisah di

rumah permanen yang disekat -sekat

Sebelum berbaur Setelah berbaur

19Pergantian nama ini didasarkan pada SK Pengesahandari Menteri Kehakiman No. C2.4726.HT.01.04 Tahun 1992.

Page 134: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

133Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

Keberadaan HGU PT. Bangun Desa Utamayang kemudian berubah menjadi PT.AsiaticPersada sejak tahun 1986 telah membawa dam-pak yang besar bagi masyarakat SAD. Banyakmasyarakat yang terpaksa pindah karena tergusurmaupun sengaja melarikan diri karena tekanandari perusahaan. Tercatat dua tahun sejak terbit-nya HGU ditahun 1987, perusahaan telah mela-kukan penggusuran 3 dusun, yaitu Dusun TanahMenang, Dusun Pinang Tinggi dan DusunPadang Salak.20

E. Proses Perijinan yang “Sumbang”

Secara umum, sebuah perusahaan perke-bunan yang telah berbadan hukum, berhakuntuk mengajukan permohonan hak atas tanahberupa hak guna usaha. Hak guna usaha ini da-pat dipahami sebagai hak untuk mengusahakantanah yang dikuasai langsung oleh negara seba-gaimana ketentuan Pasal 28 UUPA. Dalam Pasal30 selanjutnya dinyatakan bahwa yang dapatmempunyai HGU adalah badan hukum yangdidirikan menurut hukum Indonesia dan berke-dudukan di Indonesia. Atas dasar ini, maka PT.Bangun Desa Utama atau PT. Asiatic Persada ber-hak mengajukan dan memperoleh HGU atasusaha perkebunannya. Sebagaimana diketahuibahwa untuk terbitnya sertif ikat HGU atas suatuperusahaan perkebunan terlebih dahulu harusmelalui tahapan maupun prosedur yaitu: pener-bitan ijin pencadangan wilayah, penerbitan ijinprinsip, penerbitan ijin lokasi, pelepasan kawasanhutan, dan penerbitan sertif ikat HGU. Kesemuaprosedur ini idealnya harus dilalui secara ber-

urutan. Sebuah perusahaan baru bisa dikatakanmemiliki legalitas hukum yang kuat apabila telahmenjalankan setiap prosedur ini. Pada kenya-taannya prosedur penerbitan sertif ikat HGU PTAsiatic Persada tidak melalui proses yang seha-rusnya. Penerbitan sertif ikat HGU ternyata telahkeluar sebelum ada ijin pelepasan kawasan hutandari menteri kehutanan. Selain itu teridentif ikasibahwa berdasarkan kegiatan inventarisasi tataguna hutan tahun 1987, di dalam kawasan hutanyang disiapkan sebagai lokasi PT. Asiatic Persadaternyata mencakup tanah dan lahan milik ma-syarakat. Dalam kasus serupa ini, PT. AsiaticPersada seharusnya berkewajiban untuk menye-lesaikan segala permasalahan yang ada termasukjuga memberikan ganti kerugian atas hak masya-rakat yang terambil.

Terbitnya Surat Keputusan Menhut padatanggal 11 Juli 1987 No. 393/ VII-4/ 1987 TentangInventarisasi dan tata guna hutan menunjukanadanya persetujuan areal hutan seluas 27.150 Hauntuk perkebunan kelapa sawit dan coklat untukPT. Bangun Desa Utama HGU yang ternyata jugameliputi 2.100 Ha kawasan milik masyarakat SAD.Dalam hal ini teridentifikasi bahwa terdapat lahanmasyarakat SAD seluas 2.100 Ha itu ada di dalamkawasan HGU seluas 20.000 Ha. Dalam kawasanseluas 27.150 Ha tersebut juga diketahui bahwasebagian tanah telah dikelola oleh masyarakat,dengan rincian kawasan yang berhutan seluas23.600 Ha, belukar 1.400 Ha dan perladangan seluas2.100 Ha serta pemukiman penduduk seluas 50 Ha.

Gambar 4. Komposisi Penguasaan lahan. HasilInventarisasi Tata Guna Hutan Tahun 1987

20 Pada tanggal 9 Agustus 2011 telah terjadi upayapenggusuran dan intimidasi yang disertai perusakan hartabenda, penjarahan, bahkan kekerasan fisik yang tidak jarangberakhir di penjara tepatnya di daerah Sungai Beruang,Kabupaten Muaro Jambi. Banyak perubahan yang terjadiakibat keberadaan perkebunan tersebut khususnya padawilayah-wilayah masyarakat Batin Sembilan yang masukdalam areal HGU.

Page 135: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

134 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Areal yang menjadi HGU ternyata merupakanlahan-lahan, perkampungan, pedusunan danhutan milik SAD Batin IX yang mendiami SungaiBahar. SAD telah mendiami wilayah ini jauhsebelum perusahaan datang. Beberapa dusunyang masuk dalam kawasan HGU adalah: DusunLamo Pinang Tinggi, Dusun Lamo Padang Salak,Dusun Lamo Tanah Menang, serta beberapapedusunan di wilayah Markanding. Selain pedu-sunan, juga terdapat beberapa lokasi yang meru-pakan ladang dan kebun milik SAD yaitu yangberada di wilayah Bungin. Selain kebun dan pe-mukiman, terdapat juga hutan masyarakat danhutan larangan.

Pada akhirnya, permasalahan yang munculpun semakin kompleks dari mulai: lokasi lahansawit yang diberikan, status pembagian lahan,pola kerja sama SAD dengan perkebunan, ke-lompok SAD lain yang belum memperoleh gantirugi atas tanah adatnya, sampai pada masalahpemekaran kabupaten Muaro Jambi yang mem-bawa akibat sebagian lahan daerah yang masukdalam HGU PT. Asiatic Persada tersebut beradadi wilayah Kabupaten Muaro Jambi.21 Secaralebih jelas, luasan HGU yang mencaplok tanah-tanah milik SAD dapat dicermati pada skemaberikut ini:

Gambar 5. Persebaran wilayah HGU yangberasal dari lahan SAD22

Dari keseluruhan data luasan tanah yangdiklaim oleh kelompok-kelompok SAD yangmasuk dalam HGU PT. Asiatic Persada tersebutseluas 17.937 Ha. Hal ini artinya mencapai hampir70% dari seluruh luasan HGU seluas 20.000 Ha.

Gambar.6. komposisi lahan SAD yang masukdalam areal HGU PT. Asiatic Persada

21 Dengan adanya pemekaran wilayah tersebut, secaraadministratif daerah-daerah tersebut masuk dalamKabupaten Muaro Jambi. Bahkan secara administratifkependudukan masyarakat tercatat sebagai warga muarojambi. Namun ketika permasalahan terjadi misalnya terkaitpencurian sawit atau tuntutan konversi lahan yangbersinggungan dengan PT. Asiatic Persada, maka aparatkepolisian Kabupaten Batanghari merasa berhak bertindakdengan mengacu pada kedudukan hukum HGU PT. Asi-atic Persada.

22 Keterangan: Di batanghari terdiri dari: a) kelompok113: meliputi desa tanah menang, pinang tinggi dan padangsalak seluas 3.070 Ha; b) kelompok Mat Ukup: berlokasidi dekat wilayah 113, meliputi 2.067 Ha; c) Bungku: memanenbuah sawit di wilayah eks PT. Jamer Tulen dan PT. MajuPerkasa Sawit seluas 7.000 Ha. Dari luasan ini 3.000 Haditanami perusahaan dan dari 3.000 Ha ini 1000 Ha dipe-runtukkan bagi kemitraan. Di Muaro Jambi terdiri dari: a)Kelompok KOPSAD (Koperasi Suku Anak Dalam). Ber-ada di wilayah Dsn Markanding, Tanjung Lebar dan Penye-rokan. Secara administratif mereka tinggal di wilayah Kabu-paten Muaro Jambi, namun perladangan mereka termasukdalam areal HGU PT. Asiatic persada yang masuk dalamwilayah Kabupaten Batanghari seluas 519 Ha; b) KelompokTani Persada. Mengklaim lahan seluas 5.100 Ha yang padatahun 1999 dilakukan pembukaan lahan untuk jalan poros,perintisan, dan penataan pemukiman. Namun setelah dila-kuakn pengukuran ulang, lahan ini masuk dalam areal HGUPT. Asiatic Persada. Artinya, ada indikasi perluasan wila-yah HGU; c) SAD Sungai Beruang, Sungai Buaian, danDanau Minang di Tanjung Lebar. Mengklaim lahan garapanseluas 157 Ha dan pemukiman seluas 24 Ha.

Page 136: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

135Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

Pada dasarnya terdapat banyak kelompokyang mengklaim diri sebagai masyarakat SADyang berhak atas lahan yang saat ini menjadiareal HGU PT. Asiatic Persada. Sebaran daripenguasaan-penguasaan lahan di areal HGU PT.Asiatic Persada pada tahun 2004 tersebut dapatdilihat pada gambar berikut ini.

Gambar. 7. Peta sebaran penguasaan/penggarapan di lahan HGU PT. Asiatic (1986)

Dalam rangka memantapkan data penguasa-an tanah, khusus untuk lokasi HGU PT. AsiaticPersada seluas 20.000 Ha, Kanwil BPN ProvinsiJambi sudah melakukan pengukuran dan pen-dataan yang berakhir pada bulan Januari 2006pada garapan/penguasaan masyarakat SAD danPIR-TRANS PTPN VI dengan perincian yang da-pat dicermati dalam tabel berikut:

Tabel 3. Penguasaan Tanah di Lahan HGUPT. Asiatic Persada

Sumber : BPN, Januari 2006

Dari luasan lahan tersebut, PT. Asiatic Persa-da faktanya juga melaksanakan kegiatan opera-sional kebun sawit di lokasi PT. Maju PerkasaSawit dan PT. Jamer Tulen. BPN setempat secaratersirat juga membenarkan pada pernah ada

Surat Kakantah Batanghari kepada Setda padatahun 2007 perihal pengecekan luas lahan PT.Asiatic Persada yang isinya menyebutkan bahwalahan sawit PT. Asiatic Persada eksisting telahmelampaui areal HGU yang diberikan. Salah satustaf BPN Kabupaten Batanghari juga menyebut-kan kalau lahan PT Jamer Tulen telah melebihiareal pelepasan, dan telah masuk ke area kehu-tanan seluas 512 Ha. Inilah yang menjadi pokokmasalah sehingga HGU Jamer Tulen tidak dapatterbit, di samping konflik yang terjadi.

F. Pola Kemitraan

Meskipun tidak jelas koordinatnya perja-lananan panjang pemberian kompensasi 1.000Ha lahan sawit yang diwacanakan oleh peru-sahaan telah dilakukan. Rencana Pola kemitraandilakukan dengan menempatkan SAD pada lo-kasi yang telah habis perijinannya yaitu PT. JamerTulen dan PT. Maju Perkasa Sawit. Ada beberapaskenario terkait dengan lokasi pemberian 1000ha. Pada tahun 2003, pernah terdapat pernyataanyang menyebutkan bahwa 1.000 Ha tersebutakan dibangun di Johor seluas 600 Ha untukSAD Bungku dan daerah Bungin seluas 400 Hauntuk SAD Tanjung Lebar. Namun dalam kese-pakatan lain, PT. Asiatic Persada pernah men-janjikan akan membangun 600 Ha kebun kemit-raan untuk SAD Tanjung Lebar dan 50 Ha untukpemukiman. Pada kenyataannya keberadaanareal 1.000 Ha yang dijanjikan oleh PT. AsiaticPersada untuk kemitraan tersebut sampai saatini masih belum teridentif ikasi.

Sementara itu dalam rangka kompensasi, pe-nanaman modal dilakukan oleh Bank Mandiridengan penjaminan oleh PT. Asiatic Persada.Pembayaran dan bunganya dilakukan oleh SADdengan pembagian sebesar 70:30, 70 untuk pe-tani dan 30 untuk angsuran. SAD juga memba-yar kembali semua biaya terkait pemeliharaan danrencana operasi kepada manajemen AsiaticPersada. Sebagian laba bersih menjadi hak PT.

No Uraian Luas (Ha)

1

2

3

4

5

Tanaman sawit PT.Asiatic

Digunakan oleh PTPN VI untuk

PIR-TRANS

Garapan/Permukiman Penduduk

Garapan masyarakat SAD

Diklaim masyarakat yang

mengaku SAD

10.625

1.571,5

343,5

913

6.547

Jumlah 20.000

Page 137: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

136 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Asiatic Persada. Dan kedua belah pihak wajib un-tuk membayar pajak atas keuntungan yang mere-ka peroleh. Pada hakekatnya perkiraan peren-canaan operasi PT. Asiatic Persada tidak hanyaterkait dengan biaya-biaya, tetapi juga bantuanteknis, modal, pembayaran bunga serta yang ter-penting adalah keuntungan. Pembagian lahandilakukan sebagai ganti rugi karena SAD telahmenyerahkan tanahnya untuk HGU PT. AsiaticPersada. Masyarakat yang membutuhkan lahan,diminta untuk datang dan mendaftar.

Pola kemitraan yang ditawarkan perusahaanternyata berujung konflik. Hal ini terutama ter-kait dengan skema kemitraan, lahan kemitraan,dan petani calon mitra. Pada akhirnya di tahun2010 Wilmar Internasional melalui anak perusa-haannya PT.Asiatic Persada secara resmi berusa-ha merangkul SAD di Batanghari dengan mem-berikan 1.000 Ha lahan sawit yang kerjasamanyadilakukan melalui Koperasi Sanak Mandiri.23

Dengan bantuan dari Pemerintah KabupatenBatanghari, teridentif ikasi sebanyak 771 KK asliSAD yang akhirnya diberi hak untuk menjadimitra PT. Asiatic Persada sekaligus penerima1.000 Ha lahan sawit tersebut. Sayangnya peng-identif ikasian serta penetapan kelompok SADyang dianggap ‘asli’, tidak jelas. Banyak kesim-pangsiuran yang terjadi sehingga berkembangcerita bahwa masyarakat penerima manfaat dari1.000 ha lahan sawit lebih banyak merupakanpendatang yang mangaku sebagai SAD.

G. Perubahan Ruang Hidup SAD

Ekspansi perkebunan sawit telah menyebab-kan masyarakat kehilangan kawasan hidupuntuk mengembangkan sistem sosial mereka.Konflik yang muncul tidak saja bersifat vertikalmelainkan horizontal yaitu konflik yang terjadidiantara sesama kelompok SAD Batin 9 yangmasing-masing memperjuangkan kedaulatan-nya. Idealnya apabila lahan seluas 1000 ha meru-pakan realisasi tuntutan warga, maka harussegera dilakukan over alih tanggungjawab dariPT.AP ke masyarakat. Namun pada kenyataannyaseluruh pengelolaan masih berada di tangan PT.AP.

Saat ini kelompok SAD yang tergusur terpaksaharus membangun pemukiman-pemukimansementara.24 Pola permukiman yang dikembang-kan saat ini tidak berbeda dengan saat merekamasih mengembangkan sistem berburu mera-mu. Perbedaan hanya terletak pada materialbangunan yang digunakan. Jika pada generasipertama material bangunan yang digunakanadalah kulit kayu untuk dinding dan anyamandaun sebagai atap, maka pada saat ini merekamenggunakan tenda sebagai dinding dan atap

23 Dalam sebuah dokumen investigasi independentterkait kasus pembagian 1000 ha lahan sawit ini salah satunyamembahas tentang legalitas menyangkut rencana kemitraanyang ada. Disana disebutkan bahwa berdasarkan rencanakesepakatan antara PT. Asiatic Persada dan Koperasi SanakMandiri tertanggal 24 Juni 2010. Dalam hubungannyamenyangkut kapasitas tiga orang yang mewakili koperasiyaitu Hendriyanto (Ketua koperasi), Muhammad Adam(sekretaris) dan Acil Saputra (bendahara) yang dipilih ber-dasarkan keputusan rapat anggota koperasi tanggal 2 juni2010 yang diformalkan melalui dokumen penetapan yangdibuat dihadapan notaris Chintia Untari tertanggal 2 Juni2010. Sedangkan Koperasi Sanak Mandiri disahkan olehMenteri Koperasi tertanggal 17 Juni 2010 No. 231.Gub.Diskop.Umkm/Juni/2010, sehingga bisa dikatakan bahwalegalitas para pihak yang mewakili koperasi ini masih belumcukup untuk menandatangani perjanjian. Karena keberadaankoperasi baru disahkan tertanggal 17 Juni 2010 sedangkanpertemuan koperasi tentang penetapan anggota itu tanggal2 Juni 2010. Sehingga ketika menandatangani perjanjian ter-sebut, koperasi belum mempunyai kedudukan hukum dantanda tangan yang ada menjadi tidak sah. Hal ini semakinmemperkuat indikasi pelanggaran hukum yang ada karenaseolah ada skenario besar yang dijalankan untuk memuluskanstrategi pembagian lahan sawit dengan pola kemitraan/ plas-ma ini.

24 Suku Anak Dalam Batin 9 yang mendapat lahan seluas1000 ha berjumlah 771 KK beranggotakan penduduk darikelompok Acil, Nyogan, Desa Bungku, Desa Markanding,dan Penyerokan. Mereka tinggal di Daerah Durian Dangkal.

Page 138: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

137Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

layaknya orang berkemah. Satu tenda diisi olehtiga generasi yakni kakek, orangtua dan cucu.

Sebagai penerima lahan 1000 ha, warga SADBatin 9 berharap mendapat keleluasaan untukmengelola lahan sawit yang telah secara resmimenjadi milik mereka. Namun kenyataannya,batas antar lahan tidak terdefinisi dengan jelas.Rata-rata penguasaan tanah adalah 1,3 ha yangmanajemen-nya berada di bawah koperasi. Lahan1000 ha rupanya tidak dapat langsung diperoleholeh warga melainkan harus melalui koperasi.Beberapa ketentuan keanggotaan harus dipenuhiwarga sebelum mendapat hak penuh untukmengelola. Posisi warga penerima lahan sawit1000 ha saat ini hanya sebagai “penunggu” kebunsawit. Pekerjaan yang mereka lakukan sehari-hariadalah pengumpul berondolan sawit. Kegiatanmengumpulkan brondolan sawit diupah Rp.300/kg oleh perusahaan. Meskipun secara legalmereka adalah penerima lahan 1000 ha, namunmereka tidak mendapat hak untuk memanen.Kesepakatan yang dibangun antara koperasidengan warga penerima sejumlah 771 KK adalahwarga harus membayar kredit kepemilikan sawitsejumlah Rp. 28 Milyar yang diambil dari panensawit lahan 1000 ha. Hanya saja, pemanenandilakukan oleh PT. Asiatic Persada (PT. AP) dankoperasi tinggal menerima perhitungan yangkeseluruhan proses dilakukan oleh PT. AP.

Hasil panen dianggap asset oleh keduabelahpihak dan asset harus masuk ke koperasi untukmemudahkan perhitungan. Pengakuan dariketua koperasi menyatakan bahwa telah terjadipengurangan asset sehingga dana yang dibagi-kan kepada anggota koperasi makin sedikit.Pengurangan asset diakibatkan oleh banyak haldiantaranya warga tidak menjual sawit yang di-panen kepada perusahaan, melainkan kepadapihak ketiga. Beberapa warga Desa Bungku dite-mukan berstatus sebagai pembeli sawit warga.Salah satu contoh yang ditemukan adalah K-nama samaran. Informan tersebut merupakan

pembeli sawit. Dalam sehari dapat mengumpul-kan sawit sebanyak 10 ton dengan harga beli 800-950/kg. sawit tersebut akan dijual ke pabrik yangberada di Mersam dengan harga Rp 1350/kg.Selisih harga jual merupakan keuntungan kotoryang diperoleh. Apabila yang terserap hanya 8ton, maka dalam sehari, penghasilan kotor men-capai Rp. 3.200.000. Akibat banyak sawit yangdijual ke luar pihak perusahaan, panen terakhiryang masuk ke PT. AP hanya 15 ton yang apabiladirupiahkan untuk harga sawit 1200/kg menca-pai: Rp. 18 juta. Nilai 18 juta harus dibagi duadimana separuhnya harus diberikan kepada PT.AP sebagai bagian pelunasan hutang. Separuh-nya masih harus dipotong untuk administrasikoperasi sejumlah 20% sehingga nilai rupiah yangtersisa adalah Rp. 1.800.000 yang harus dibagikankepada 771 KK. Inilah mekanisme pengelolaanlahan 1000 ha yang disebut oleh PT. AP sebagaipola kemitraan.

Praktek-praktek penguasaan negara atas sum-ber daya ekonomi rakyat, menjadikan kelompokSAD Batin 9 semakin terpinggirkan. SAD ter-paksa harus kehilangan sumber-sumber peng-hidupan yang pada akhirnya memicu rusaknyatatanan sosial budaya. Keberadaan perkebunansawit secara tidak langsung telah mencerabutSAD dari sumber penghidupan asal mereka yaituhutan. Dari perkebunan sawitlah, akhirnyamereka mulai mengembangkan sumber-sumberpenghidupan alternatif diantaranya denganmenjadi buruh di perkebunan seperti dapat dili-hat dalam tabel berikut ini:

Tabel. 4. Jenis Pekerjaan di Perkebunan Sawit

(Sumber: data primer, 2011)

No Jenis Pekerjaan Upah

1 Buruh Brondolan Rp. 300/kg2 Buruh Nyimas

(membersihkan rumput)Rp. 42.000/hari

3 Buruh pemupukan Rp. 42.000/hari4 Buruh panen Rp. 100/kg5 Sopir Rp. 1000.000/bulan6 Satpam Rp. 1000.000/bulan

Page 139: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

138 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Dengan menjadi buruh di perkebunan sawitinilah, sebagian dari mereka bisa memperolehpenghasilan. Selain dari sawit, mereka juga me-miliki mata pencaharian lain seperti: menyadapkaret, membuat arang kayu, membuat kusen (tu-kang gesek). Pelibatan SAD Batin 9 dalam sistemperkebunan besar menempatkan petani jauh darisumberdaya-nya bahkan tidak dapat lagi dika-tegorikan sebagai rumah tangga petani, melain-kan buruh. Dalam sistem produksi perkebunanbesar, buruh tidak ada bedanya dengan posisiburuh pabrik. Kelompok ini berada di dalamsistem, memiliki nilai tawar yang tinggi terhadapkeberlangsungan sistem produksi namun tidakdapat mengontrol nilai tawar yang dimiliki untukmendongkrak kesejahteraan mereka. Intervensiperkebunan menggusur karakter warga dalammengembangkan sistem pencaharian mereka.

Posisi buruh merupakan posisi yang mem-perlihatkan ketidak-berdaulatan mereka atasdirinya. Model yang ditawarkan oleh pemerintahadalah model KKPA yang secara formal sudahditawarkan melalui MOU Bupati tentang lahan1000 ha dan pendirian koperasi 771 KK yang ter-gabung dalam plasma. Dalam MOU disepakatibahwa pengelolaan lahan 1000 ha akan dilakukandengan sistem plasma. Kenyataannya adalahseluruh lahan berstatus sebagai inti. Warga terli-bat hanya sebagai buruh harian lepas. Jam kerjaditentukan dari pukul 07.30-14.00. Terdapataturan yang menyatakan bahwa karyawan yangbekerja pada kebun sawit milik perusahaan tidakboleh memiliki kebun dengan alasan khawatirpupuk dilarikan ke kebun milik. Tingkat upahyang diberikan tidak sebanding dengan nilai jualkomoditas sawit di pasaran dunia.25

Pada kenyataannya, kelompok SAD harusmerespon perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungan sekitarnya dengan menggunakanukuran-ukuran dan simbol-simbol modernisme.Ketiadaan sumber penghidupan menyebabkanmereka lebih disibukkan dengan urusan mem-pertahankan hidup daripada memikirkan carauntuk meningkatkan pengetahuan ataupunmempelajari perubahan-perubahan yang ada dilingkungan mereka. Potret perubahan kehidupanSAD dapat dicermati dalam tabel berikut ini:

Tabel. 5. Perbandingan Kehidupan SADsebelum dan sesudah Masuknya Perkebunan

Sawit

(Sumber: Hidayat, 2011)

25Harga tandan buah segar Rp.1000-1900/kg. jikadiasumsikan produksi sawit adalah 3-4 ton/ha/bulan, makadalam setiap hektar, pendapatan kotor petani sawit akanmencapai Rp. 3 juta -7,6 juta tergantung tingkat harga danproduksi kebun sawit. Angka ini akan sangat timpang apabiladibandingkan dengan nilai kompensasi yang diterima

sebesar Rp. 200.000/bulan dari yang seharusnya diterimasebesar Rp. 1,5 juta.

Unsur/Elemen

Pra-masuknyaperkebunan Sawit

Pasca masuknya perkebunansawit

Lingkunganfisik(sungai)

Sungai menjadi media

transportasi penting yang

menjadi penghubung antar

kelompok SAD. Sungai juga

menjadi penyedia nutrisi

melalui ikan-ikan yang

melimpah dan dapat

dikonsumsi setiap saat

Sungai menjadi dangkal dan

menyempit. Jumlah ikan

berkurang bahkan sulit

dijumpai

Tempattinggal/Rumah

Tinggal di rumah panggung,

beratap ijuk

enau/mengkuang,

berdinding kulit pohon yang

dikeringkan/jalinan batang

bambu muda yang dipotong

dan diikat dengan rotan.

Rumah-rumah ini dibangun

di dekat aliran sungai

Tidak sepenuhnya

mempertahankan model rumah

panggung sebagai tempat

tinggal. Rumah-rumah

dibangun dengan

menggunakan arsitektur

modern, berdinding tembok,

bahkan banyak yang sudah

berlantai keramik. Rumah juga

tidak dibangun di dekat aliran

sungai, namun sudah menyebar

AktivitasMataPencaharian

Berkebun/berladang,

mengambil madu dari

pohon sialang, mencari ikan

di sungai, mengambil

durian, memikat ayam

hutan, menanam padi

ladang dan umbi-umbian

Menjadi buruh di perkebunan

kelapa sawit, menyadap karet

di perkebunan-perkebunan

milik masyarakat

Strukturkepemimpinan adat

Mengenal sistem pangkat

dan gelar yang mempunyai

fungsi sosial dalam

mengatur keseharian hidup

orang Batin IX

Struktur kepemimpinan adat

sudah tidak dijalankan lagi.

Sebutan gelar masih ada tapi

sudah tidak berfungsi sebagai

pimpinan adat

InteraksiSosial

Terjalin dengan baik, saling

mengenal satu dengan yang

lain, ikatan kekeluargaan

kuat

Benih-benih individualisme

mulai tumbuh akibat penetrasi

kapitalisme yang masuk

melalui budaya konsumerisme

Kepemilikantanah

Kepemilikan tradisional –

membuka ladang dengan

menebang pohon di hutan.

Semakin banyak menebang

hutan, semakin luas

kepemilikan tanahnya

Pemilikan tanah mengacu pada

sistem legalitas formal

Page 140: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

139Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

H. Kesimpulan

Kasus pemberian seribu hektar lahan sawitkepada Suku Anak Dalam merupakan salah satubentuk kuasa kapital yang telah mengeksklusikelompok Suku Anak Dalam dari tanah-tanahmereka. Berbagai bentuk perlawanan dari masya-rakat lokal baik secara langsung maupun tidaklangsung merupakan potret resistensi SAD dalammenghadapi kuasa modal. Melalui cara inilahSAD bertahan dalam ruang hidup mereka seka-rang. Kehilangan hutan, kehilangan mata penca-harian, dislokasi sosial budaya, ketercerabutandari sumber-sumber daya agraria yang dimilikimerupakan fakta-fakta konkrit yang memperli-hatkan akses mereka terhadap hutan telahdisingkirkan oleh skema bisnis sawit. Keberada-an sawit sebagai bagian dari komoditas interna-sional yang menawarkan sejuta keuntungan eko-nomis telah membentengi akses mereka untukbisa mempertahankan penghidupan dalammemanfaatkan hutan.

Di tengah euforia bisnis sawit, kelompok-kelompok SAD yang dimiskinkan oleh strukturpenguasaan yang tidak seimbang ini, pada akhir-nya juga harus berhadapan dengan bagian darikelompok mereka yang ternyata secara perlahantelah menjadi bagian dari kelompok penguasakapital baru. Para juragan sawit yang berasal darikelompok penduduk lokal dan juga pendatangmerupakan wujud alih rupa dari kuasa perke-bunan yang muncul. Dalam konteks adverseincorporation, mereka inilah yang menjadi bagiandari kelompok yang diuntungkan dengan keha-diran sawit. Keterlibatan atau integrasi kelompokini dalam skema bisnis sawit, telah memungkin-kan mereka untuk mengakumulasi sumber-sumber kapital baru. Kelompok yang satu ini bisamengakumulasi keuntungan yang lebih besardari sawit-sawit yang mereka kumpulkan daripetani kecil. Hal ini bisa dicermati dari kepemi-likan mereka baik rumah, kendaraan maupunpekerja yang dimilikinya.

Kasus pemberian seribu hektar lahan kepadaSuku Anak Dalam merupakan cerminan dariperebutan akses yang terjadi atas tanah. Pembe-rian seribu hektar lahan sawit merupakan bentukstrategi yang diambil oleh perusahaan denganmengkamuflasekan kesejahteraan sebagai slogandibalik upaya pengerukan keuntungan dan pen-jinakan perlawanan dari masyarakat. Masyarakattetap diposisikan sebagai pihak yang pasif. Pola-pola kemitraan yang diterapkan perusahaan,tidak hanya meminggirkan masyarakat, tetapijuga telah menciptakan konflik horisontal yangmemecah belah kelompok. Diferensiasi agrariamenguat dan memunculkan friksi yang cukuptajam.

Tata kelola yang dilakukan oleh perusahaanpada kenyataannya telah menciptakan bencanasosial dan ekologis yang luar biasa bagi kelompokSAD. Skema bisnis sawit telah menempatkanmereka dalam rantai terendah dalam bisnis ini.Sawit adalah tanaman baru yang jelas-jelassangat tidak ramah terhadap livelihood aslimereka. Kesejahteraan yang diperoleh padakenyataanya hanya kesejahteraan semu yangdinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. Padaakhirnya yang didapatkan adalah ketercerabutandari tanah-tanah mereka. Perkebunan sawittelah menggusur akses masyarakat terhadapsumberdaya agrarianya. Tanah-tanah yangdijanjikan pada mereka kenyataannya tidakpernah ada secara jelas. Lokasi seribu hektarlahan sawit selalu berpindah mengikuti logika-logika kapital yang bekerja dalam kuasaperkebunan sawit.

Dalam skema bisnis sawit, secara global ma-syarakat juga sedang dihadapkan pada berbagaidampak luar biasa yang mengancam ruanghidup mereka. Skema bencana ekologis yangakan terjadi 20 atau 30 tahun mendatang adalahbagian dari fakta yang saat ini belum disadarisecara penuh. Perkebunan-perkebunan kelapasawit akan menghancurkan sumber-sumber air

Page 141: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

140 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

tanah.Hal ini sudah mulai terlihat dari semakinkeruhnya sungai Batanghari yang merupakansumber air di PDAM Provinsi Jambi. Selain krisisair, masyarakat juga akan sangat disibukandengan persoalan peremajaan pada kebun-kebun tua. Selama peremajaan dilakukan, praktisdalam jangka waktu lima tahun risiko kehilanganpendapatan dalam jumlah besar akan ditang-gung petani bila tidak diantisipasi jauh-jauh hari.Hal ini dapat melahirkan dampak sosial yang jauhlebih besar dibanding ketika masa tanam dalamsiklus pertama dahulu.Hal ini terjadi karena duaalasan. Pertama, tingginya pendapatan per kapitayang selama ini diterima petani plasma telahmengubah pola konsumsi rumah tangganya, ter-masuk dalam kredit/ utang. Kedua, sebagian be-sar kebun-kebun tua itu boleh jadi telah diwa-riskan ke generasi berikutnya, generasi yangtidak pernah merasakan sulitnya hidup di masaawal-awal pembangunan sawit dahulu

Inilah fakta yang haru dihadapi akibat peru-bahan yang dibawa oleh skema bisnis sawit. Yangterjadi adalah masyarakat menjadi terusir daritanahnya sendiri. Minimnya akses informasitentang dampak yang akan ditimbulkan daripembangunan kelapa sawit dan pengaruh eko-nomi liberal telah mengubah cara berpikir orangBatin tentang tanah yang awalnya mempunyaifungsi ekonomi dan sosial, berganti menjadi nilaiekonomis semata. Warga kehilangan tanah aki-bat proses ganti rugi dan terpaksa menjadi buruhdi perkebunan untuk menyambung hidupnya.Kembali ke livelihood asal mungkin menjadisebuah kemustahilan ketika tanah-tanah yangsekarang sudah dikonversi menjadi sawit tidakmemberikan cukup ruang untuk mengembali-kan hutan-hutan ke kondisi awal.

Daftar Pustaka

Behrman, Julia, et all. 2011. The Gender Implica-tions of Large-Scale Land Deals. IFPRI Dis-cussion Paper.www.ifpri.org.

Colchester, et al. 2006. Promised Land: Palm Oiland Land Acquisition in Indonesia: Implica-tion for Local Communities and IndigeniousPeople. England: Forest People Programme(FPP); Bogor: Perkumpulan Sawit Watch.

Fortin. 2011. The Biofuel Boom and Indonesia’sOilPalm Industry in West Kalimantan. Paperpresented in International Conference onGlobal Land Grabbing 6-8 April 2011.

Handini, Retno. 2005. Foraging yang Memudar:Suku Anak Dalam di Tengah Perubahan.Yogyakarta: Galang Press

Hidayat, Rian. 2011. “Suku Anak Dalam Batin 9:Membangkitkan Batang Terendam, SejarahAsal Usul Kebudayaan dan PengelolaanSumber Daya Alam. Draft Laporan Peneli-tian. Jambi: Yayasan Setara Jambi.

Julia. 2009. “Pembangunan untuk Siapa? Impli-kasi Jender Perkebunan Kelapa Sawit terha-dap Perempuan Dayak Hibun di KalimantanBarat, Indonesia. Dalam Jurnal Tanah Air,Edisi Oktober-Desember, hal 194-235.

Kartika, Sandra dan Gautama, Candra. 1999.Menggugah Posisi Masyarakat Adat Terha-dap Negara. Prosiding Saresehan Masyara-kat Adat Nusantara, Jakarta, 15-16 Maret.Jakarta: Konggres Masyarakat Adat Nusan-tara 1999 dan Lembaga Studi Pers dan Pem-bangunan (LSPP).

Kusworo, Ahmad. 2000. Perambah Hutan atauKambing Hitam?: Potret Sengketa KawasanHutan di Lampung. Bogor: Pustaka Latin.

Maryani dan Sapardiyono. 2005. Penguasaandan Pemilikan Tanah Masyarakat SukuAnak Dalam di Desa Sungai Beringin Keca-matan Pelepat Kabupaten Bungo ProvinsiJambi. Dalam Bhumi, Nomor 13 Tahun 5Desember.

McCharty, S. 2010. Process of Inclusion andAdverse Incorporation: Oil Palm and Agrar-ian Change in Sumatra. Journal of Peasant

Page 142: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

141Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

Studies vol 37.No.4.Prasetijo, Adi. 2011. Serah Jajah dan Perlawanan

yang Tersisa Etnograf i Orang Rimba diJambi. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sarifudin (dkk). 2010. Prof il Komunitas AdatTerpencil (KAT) dan Program Pemberda-yaan di Provinsi Jambi. Jambi: Dinsosna-kertrans.

Tauf ik Rahman. Perkebunan Kelapa SawitPerparah Pencemaran Sungai Batanghari.http://www.republika.co.id (diakses 25 No-vember 2010).

White, Ben. 2009. “Laba dan Kuasa Dicat WarnaHijau: Catatan Mengenai Biofuel, Agribisnisdan Petani”. Dalam Jurnal Tanah Air, EdisiOktober-Desember, hal 238-257.

Page 143: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

PETANI MELAWAN PERKEBUNAN:PERJUANGAN AGRARIA DI JAWA TENGAH1

Siti Rakhma Mary Herwati*

Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: One of current agrarian struggles in Central Java is between peasants against plantation estates. This paperexplicates four land conflict cases, and discusses varied responses of the state institutions to deal with land conflicts. This paperstart by showing the ways in which, after the fall of the authoritarian regime of Suharto in 1998, rural poor took the land back,which previously controlled by plantations. They believed the reclaimed lands belong to them as heirs. The Reformasi providedpolitical opportunity for rural poor in various regions to do Aksi Reklaiming, and got legitimacy for their actions. However, theplantation companies fought back, including by using legal and non-legal strategies. The paper shows in detail the trajectory ofeach conflict and efforts to handle it, and put them in comparison one to another.KeywordsKeywordsKeywordsKeywordsKeywords: agrarian conflicts, reclaiming action, Central Java.

Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Salah satu perjuangan agraria di Jawa Tengah saat ini adalah antara petani melawan perusahaan-perusahaan perkebunan.Paper ini menjelaskan 4 kasus konflik tanah dan membahas respon institusi-insitusi negara dalam menangani konflik-konfliktersebut. Dengan menceritakan akar konfliknya dalam sejarah kolonial, paper ini menunjukkan, bagaimana masyarakat miskinpedesaan mengambil kembali tanah-tanah mereka yang sebelumnya dikuasai perkebunan-perkebunan sejak jatuhnya Soehartopada 1998. Mereka meyakini bahwa tanah yang mereka klaim tersebut adalah milik mereka sebagai ahli waris. Masa Reformasimenyediakan kesempatan politik bagi masyarakat miskin pedesaan di beberapa daerah untuk melakukan Aksi-aksi Reklaiming, danmengusahakan legitimasi atas aksi-aksi mereka. Merespon petani, perusahaan-perusahaan perkebunan tersebut melawan mereka,termasuk dengan menggunakan strategi hukum dan non-hukum. Paper ini menunjukkan secara rinci perjalanan dari konflik danpenanganannya, dan meletakkannya dalam perbandingan satu dengan yang lain.Kata KKata KKata KKata KKata Kunciunciunciunciunci: perjuangan agraria, konflik tanah, Jawa Tengah.

A. Pengantar

“Kami juga berencana untuk menggugat Bupati SitiNurmarkesi (Dra Siti Nurmarkesi) yang telahmengeluarkan SK (Surat Keputusan) perpanjanganHGU atas tanah tersebut. Dulu tanah yang dikelolamilik PT KAL tersebut adalah milik warga, setelahhabis HGU mestinya dikembalikan kepada warga.’’(Suara Merdeka, 26 November 2009).

Konflik tanah antara petani Desa Trisobodengan PT KAL sebagaimana petikan berita diatas hanyalah salah satu dari puluhan konflikserupa di Jawa Tengah. LBH Semarang, sebuahlembaga non pemerintah yang bergerak dibidang advokasi hukum dan hak asasi manusia,mencatat bahwa sampai akhir tahun 2011 terjadi46 kasus di Jawa Tengah, yang mencakup konflikantara petani dengan pengusaha perkebunan,dan dengan Perhutani.

1 Judul ini diinspirasikan oleh judul buku klasik studiagraria Indonesia: Karl Pelzer. 1982. Planters against Peas-ants: The Agrarian Struggle in East Sumatra, 1947-1958. ‘s-Gravenhage: M. Nijhoff. Perspektif yang ditampilkan disini berangkat dari aksi-aksi kolektif petani dalam melawanperkebunan dari waktu ke waktu. Sebagian materi artikel inipernah dipresentasikan pada Konferensi InternasionalPenguasaan Tanah di Jakarta pada 12 Oktober 2004 danWorkshop di LIPI pada 11 Januari 2012. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada Noer Fauzi Rachman,PhD atas komentar kritis, editing, dan masukan-masukannyadalam penulisan artikel ini.

* Penulis adalah Koordinator Pembaruan Hukum danResolusi Konflik pada Perkumpulan Pembaruan Hukumdan Masyarakat Berbasis Ekologis (HuMa) Jakarta.

Page 144: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

143Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156

Akar historis dari kasus-kasus konflik tanahperkebunan itu bermula dari perampasan-pe-rampasan tanah petani oleh perusahaan-peru-sahaan perkebunan di zaman Hindia Belanda.Perusahaan-perusahaan perkebunan itu mun-cul, sejak berlakunya Agrarische Wet 1870. Agra-rische Wet dan peraturan pemerintah pelaksa-nanya (Agrarische Besluit) telah melapangkanjalan pengusaha Belanda dalam mendapatkankonsesi untuk menginvestasikan modal di sektorperkebunan. Agrarische Wet memberi wewe-nang kepada Kerajaan Belanda untuk melepas-kan hak penguasaan rakyat atas tanah-tanahyang digolongkan terlantar (woeste gronden)maupun tanah yang sedang digarap rakyat un-tuk kemudian memberikannya kepada pengu-saha perkebunan dengan hak erfpacht yangberjangka 75 tahun.2 Pada masa itu banyak petanikehilangan tanah.

Makalah ini hendak membahas konsekuensidari aksi-aksi petani pada awal masa Reformasiuntuk mengambil kembali tanah-tanah yangsebelumnya dikuasai perusahaan-perusahaanperkebunan. Pada masa reformasi 1998, parapetani di berbagai daerah menduduki tanah-tanah perkebunan yang mereka yakini sebagaipernah menjadi milik mereka sebagai ahli waris.Tak terkecuali para petani di empat lokasi pene-litian ini. Mereka menduduki tanah, menggarap,dan menanaminya dengan berbagai tanamanpangan. Tetapi, perusahaan perkebunan tak begi-tu saja membiarkan pendudukan dan pengga-rapan lahan itu. Mereka melaporkan para petaniitu ke polisi, memobilisasi preman untuk meng-intimidasi para petani, atau menggugat para tokohpetani ke pengadilan. Akibatnya, tak semua aksireklaiming berhasil mengembalikan tanah petani.

Dalam keempat kasus yang dibahas, parapetani meminta dan mendapatkan bantuan

hukum dari LBH Semarang. LBH Semarangmemandang penyelesaian konflik di luar penga-dilan memberikan peluang untuk para petanimendapatkan penyelesaian yang lebih adil.3

Meski demikian, penyelesaian kasus tanah akhir-nya sampai juga di ranah litigasi. Ini terjadi ketikapolisi menangkap tokoh-tokoh petani, menyidik-nya, dan mengirim kasus dan terdakwanya kekejaksaaan, dan jaksa menghadapkan terdakwadan kasusnya ke muka pengadilan.

Tulisan ini membahas perjalanan perjuanganagraria para petani di empat kasus dalam berkon-flik dengan perkebunan-perkebunan di JawaTengah, termasuk penggunaan jalur pengadilandan di luar pengadilan. Adapun perusahaan-perusahaan perkebunan yang dihadapi petani diempat kasus ini adalah PT. Pagilaran di Kabu-paten Batang, PTPN IX di Kabupaten Kendal,PT. Sinar Kartasuran di Kabupaten Semarang,dan PT. Karyadeka Alam Lestari (KAL) di Ka-bupaten Kendal. Penulis adalah pengacara LBHSemarang untuk para petani di empat kasus itusejak tahun 2000 sampai 2011. Dengan demikian,penulis memiliki akses yang dalam dan luasterhadap seluruh perjalanan keempat kasus ter-sebut, termasuk melalui wawancara dan perca-kapan dengan tokoh-tokoh petani, penelusuranarsip, partisipasi dalam arena pengadilan maupunnon-pengadilan, dan lainnya.

B. Perjalanan Perjuangan AgrariaPetani melawan Perkebunan

Jauh sebelum datangnya perusahaan perke-bunan ke Pagilaran pada sekitar tahun 1918-1925,para petani Pagilaran telah membuka tanahuntuk dijadikan lahan pertanian dan pemu-kiman. Sejumlah sesepuh Desa Pagilaran dian-taranya Sutomo (alm), Mukhlas (alm, bekasPetugas Keamanan PT Pagilaran dan saksi

2Cf. Soetandyo Wignyosoebroto dalam RicardoSimarmata. 2002. Kapitalisme Perkebunan. Yogyakarta: In-sist Press, hal 9.

3 Lihat: Mary, Rahma dan Muhadjirin. 2008. KonflikAgraria di Jawa Tengah dan Penyelesaian Non-Litigasi.Semarang: LBH Semarang.

Page 145: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

144 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

pengusiran warga tahun 1966), Dirjo, menutur-kan cerita turun-temurun tentang pembukaanlahan tersebut. Menurut mereka, para sesepuhmereka telah membuka lahan sebelum datang-nya Londo (Belanda). Paguyuban Petani KorbanPT Pagilaran (P2KPP), organisasi tani lokal diPagilaran yang berdiri tahun 1999, dalam Riwa-yat Asal-Usul Tanah Pagilaran menulis: pada 1878masyarakat membuka tanah untuk lahan per-tanian. Pada waktu itu tanah-tanah di Pagilaranmasih berupa hutan belantara, penduduknyamasih jarang, dan mereka membuat rumah didekat lahan pertanian masing-masing.4

Sementara di Desa Kalisari yang secara geo-grafis terletak di bawah Desa Pagilaran—sebelumdijadikan areal perkebunan oleh Belanda—terda-pat kampung asli warga Kalisari yang bersisiandengan kuburan warga. Lokasi kuburan tersebutsampai saat ini berada di tengah areal perkebunandan masih dipergunakan warga Desa Kalisari.

Namun seiring kedatangan perusahaan Belan-da, para petani kehilangan tanah-tanah garapan-nya, karena perusahaan mengambil alihnya secarapaksa. Proses penyewaan berlangsung dengankekerasan setelah perusahaan Belanda memeta-kan tanah-tanah untuk lahan perkebunan. Suto-mo menuturkan: dengan memanfaatkan aparatdesa setempat, pengusaha Belanda membodohipara petani dalam proses penyewaan lahan. Pe-nelitian Anton Lucas memperkuat hal ini. Di seki-tar tahun 1920-an, berdiri industri gula kolonialdi Karesidenan Pekalongan. Untuk menjaminkebutuhan pabrik akan lahan-lahan sawah, pe-merintah menetapkan luas tanah yang harusdisewakan di setiap desa. Untuk itu PemerintahHindia Belanda menggunakan elit birokratis se-tempat (Kepala Desa atau Pangreh Praja) untukmemaksa para petani menyewakan tanahnya.5

Pemaksaan seperti ini juga dialami oleh wargaDesa Gondang, Kalisari, Bawang, dan Bismo.Seorang petani Desa Gondang, Minto Samari(alm) mengungkapkan bahwa lahan-lahanpertanian yang dibuka oleh para orang tua mere-ka diambil alih oleh perusahaan perkebunandengan cara disewa paksa. Penyewaan itu dilaku-kan dengan mengganti rugi tanaman yang masihberdiri dengan uang yang jumlahnya tidakseimbang. Selanjutnya, hampir semua tanah ga-rapan dan pemukiman petani yang telah disewaperusahaan Belanda dikosongkan.

Pada 1918, perusahaan perkebunan tersebutmulai mengeksploitasi tanah Pagilaran. Merekadatang untuk mencari dan menanam pohon-pohon kina di sekitar hutan. Mereka menanampohon-pohon kina di Karangnangka dan KaliKenini. Setahun kemudian, yaitu 1919, merekamengukur tanah-tanah garapan para petani danmembuatkan surat hak kepemilikan tanah(pethok). Setelah surat pethok jadi, dengan janjimenyewa tanah, para petani di Blok Pekan-dangan (Desa Bismo), Blok Karangsari (DesaBawang) diusir dari lahannya.6

Mula-mula pengusaha Belanda menanampohon-pohon kina dan kopi. Kemudian meng-gantinya dengan tanaman teh. Ide penanamanteh ini muncul ketika pengusaha Belandamengetahui Mak Sitas membawa biji teh dariDesa Tujungsari (Wonosobo). Pengusaha Belan-da itu kemudian membeli biji teh itu untuk pem-bibitan. Pembibitan itu berhasil, lalu si pengusahamengganti perkebunan kopi dengan perke-bunan teh. Ia menjadikan para petani yang telahkehilangan tanah sebagai buruh di lahan-lahanperkebunan itu. Dari catatan resmi PT Pagilaran,diketahui bahwa pada 1880 sebuah maskapaiBelanda mendirikan perkebunan Belanda. Pada

4P2KPP, 1999, Riwayat Asal-Usul Tanah Pagilaran:Naskah Kampanye Advokasi, tidak diterbitkan

5Lucas, E. Anton, 1989, One Soul One Struggle,Peristiwa Tiga Daerah, Resist Book, Yogyakarta, hal 18.

6Divisi Pertanahan LBH Semarang, Naskah GelarPerkara Tanah PT Pagilaran di Mapolda Jawa Tengah, 21Agustus 2000.

Page 146: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

145Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156

1922 pemerintah Kolonial Inggris membelinyadan menggabungkannya dengan Pamanukanand Tjiasem Land’s PT (P&T Land’s PT).

Sejarah para petani Pagilaran membukalahan pertanian dan permukiman ini tak jauhberbeda dari sejarah para petani Dusun Kali-dapu, Kabupaten Kendal dalam membuka tanahpertanian dan permukiman. Namun terdapatperbedaan masa pengambilalihan tanah-tanahgarapan petani Dusun Kalidapu dengan tanahpetani Pagilaran. Sejarah konflik agraria parapetani Dusun Dusun Kalidapu, Kabupaten Ken-dal, diawali sebelum tahun 1940-an, ketika wargaDusun Kalidapu, Desa Kaliputih, Kecamatan Singo-rojo, Kabupaten Kendal yang berjumlah kuranglebih 100 KK (Kepala Keluarga) membuka hutanbelantara (menurut bahasa setempat disebut alasgung lewang lewung). Dalam prof il organisasiKerukunan Warga Kaliputih (1998) dituliskan:pada saat itu warga tidak berani sendirian me-masuki alas (hutan), karena sangat berbahaya.

Setelah membuka lahan, mereka membagitanah tersebut menjadi lima blok, yakni blok A,B, C, D dan E. Blok-blok inilah yang sekarangdinamakan Giri Salam, Cilapar, Kedung Bogor,Kedung Kendil dan Munggang. Selanjutnyapara petani mengolah tanah hasil membukahutan tersebut hingga menjadi tanah garapanyang subur dan menanam ketela, padi gogo,jagung, pisang, durian, nangka, rambutan dantanaman lainnya yang menghasilkan.

Luas hutan belantara yang mereka buka ada-lah kurang lebih 80–100 hektar. Hutan belantaraitu membentang dari Giri Salam, Cilapar,Kedung Bogor, Kedung Kendil sampai Mung-gang. Rata-rata petani menggarap lahan seluasantara 0,5 hektar sampai 1 hektar. Sebagian hasilpanen mereka konsumsi sendiri, sebagian lain-nya di-barter dengan para pedagang dari Kali-wungu dan Boja (Kabupaten Kendal) yang datangke Dusun Kalidapu. Di masa revolusi 1947-1949,selain menggarap tanah dan berdagang di pasar

tradisional, para petani dan warga DusunKalidapu membantu para pejuang Republik yangbermarkas di Dusun Kalidapu melawan Belanda.

Sementara itu di Kabupaten Semarang, seja-rah lahan yang dikuasai oleh PT Sinar Kartasuradimulai pada sekitar tahun 1930, yaitu ketikaBelanda masuk ke Bandungan. Dari penuturanpara sesepuhnya, diketahui pada tahun 1930-antanah-tanah—yang sekarang merupakan tanah-tanah sengketa—yang terletak di tiga desa itumerupakan lahan kosong dan semak belukar(bero). Pada waktu itu, secara hampir bersamaanpara investor datang dan membuka usaha perke-bunan. Tak ada yang bisa menjelaskan apakahpengusahaan lahan itu telah dimusyawarahkandengan masyarakat sekitar dan telah ada ganti rugipenggarapan atau belum. Warga sendiri merasatak pernah sama sekali diajak bermusyawarah.

Sukadi—warga Dusun Talun, Desa Candi,Bandungan—mengatakan pada tahun 30-anlahan itu masih berupa tanah kosong dan semakbelukar. Pada tahun 1932 tiba-tiba Tuan VanHarten menguasainya dan menanaminyadengan kopi, akasia, dan serai. Di lahan yangdikuasai Van Harten, seorang Jepang bernamaTakeshi juga mengusahakan tanaman bunga.Pada tahun 1935 lahan tersebut dinamai persilLangenharjo. Hanya sampai tahun 1942—saatdimulainya kolonialisme Jepang—Van Hartenmengelola lahan tersebut. Ketika Jepang berku-asa, ia tinggalkan lahan tersebut begitu saja dankemudian diduduki oleh laskar rakyat yang ikutberjuang mengusir penjajah bersama-sama war-ga sekitar kebun. Setelah kemerdekaan, khusus-nya setelah laskar rakyat pergi, masyarakatlah yangsecara optimal menggarap lahan tersebut. Kemu-dian masing-masing Kepala Desa setempat mem-beri para penggarap surat warna jambon (warnamerah muda) yang biasa disebut letter D.7

7 Data ini diperoleh dari profil kasus PT SinarKartasura, disusun oleh LBH Semarang di tahun 2000.

Page 147: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

146 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Di Desa Trisobo, tanah-tanah garapan petanihasil membuka hutan, disewa secara paksa olehpemerintah kolonial Belanda disekitar tahun1920. Tanah garapan petani kemudian beralihmenjadi perkebunan P&T Lands milik Inggris.Perusahaan ini menanam kopi, kakao, danrandu.

1. Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945

Selama pendudukan Jepang segala kegiatanmasyarakat ditujukan untuk menopang usahaperang. Hal itu berlaku pula bagi bidang ekonomidan perkebunan.8 Untuk menambah hasil bumi,Jepang memperluas tanah pertanian rakyatdengan mengurangi tanah-tanah perkebunan.Kemudian diatas lahan-lahan lebih ditanamipadi dan tanaman pangan lainnya.9

Para pengusaha perkebunan Belanda diPagilaran—setelah Pemerintah Hindia Belandamenyerah tanpa syarat—segera meninggalkanatau membakar tanah-tanah perkebunannya,akibatnya banyak tanah menjadi terlantar. Parasesepuh menuturkan, pemerintah Jepang kemu-dian menginstruksi para petani untuk menanamilahan-lahan tersebut dengan jagung danpalawija lainnya. Sebagian dari hasil panennyadijadikan bahan pangan tentara Jepang. Halyang sama terjadi di Dusun Kalidapu, KabupatenKendal, Desa Trisobo, dan Desa Bandungan,Kabupaten Semarang. Tetapi selain mensuplaibahan pangan tentara Jepang, di ketiga tempatitu para petani secara sembunyi-sembunyi men-suplai bahan makanan untuk para pejuang ke-merdekaan (laskar rakyat).

Para petani terus menggarap lahan sampaiberakhirnya kekuasaan Jepang pada tahun 1945.Namun setelah itu Belanda mencoba masuk lagi

ke perkebunan. Di Pagilaran, para pejuang Re-publik membakar aset-aset perusahaan Belandadan akibatnya perkebunan teh hancur. TetapiBelanda membangun lagi perkebunan danpabriknya di luar tanah-tanah yang digarappetani.

2. Masa Revitalisasi Perkebunan

Masa revitalisasi perkebunan yang dimulaitahun 1956 merupakan periode sejarah yangmenentukan bagi pemerintah Republik untukmenguasai aset-aset bangsa Indonesia yang sebe-lumnya dikuasai para penjajah. Bagi petani, masanasionalisasi hanya menyisakan persoalan pan-jang, karena tercerabutnya tanah garapan mere-ka, bukan oleh Belanda, tetapi oleh bangsa sen-diri.

Setelah pemerintah Belanda menyerahkankedaulatan kepada pemerintah Republik Indo-nesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) diDen Haag pada 29 Desember 1949, Belandamenyerahkan seluruh harta milik bangsa Belan-da yang ada di Indonesia termasuk aset-asetperkebunan. Dalam perundingan KMB tersebut,selain penyerahan kedaulatan kepada Indone-sia, ada satu pasal tentang Aturan Peralihan yangmerugikan kerjasama antara Belanda dan Indo-nesia, yaitu persoalan Irian Barat. PeraturanPeralihan, yang dibuat atas anjuran Komisi PBB,tidak memberi kejelasan mengenai kedaulatanIndonesia atas Irian Barat. Para perunding hanyabicara tentang dipertahankannya keadaan sta-tus quo atas karesidenan Irian Barat denganketentuan, setahun setelah penyerahan kedau-latan akan diadakan perundingan antara keduabelah pihak (Indonesia dan Belanda) untukmenentukan status ketatanegaraan daerah itu.Dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus1950 Presiden Soekarno menyatakan: “IrianBarat adalah bagian Republik Indonesia, bukanbesok atau lusa, melainkan sekarang, pada saatini”. Lebih lanjut ia mengatakan kekuasaan de

8Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, op.cit, hlm.161.

9Tauchid dalam Mubyarto dkk (eds.), op.cit, hlm. 49.

Page 148: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

147Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156

facto Belanda atas Irian Barat hanya diakui untuktahun ini. Bila dalam tahun ini jalan perun-dingan tidak tercapai, akan terjadi sengketabesar atas pulau itu.10

Sengketa besar yang diucapkan Soekarnoakhirnya menjadi kenyataan, yaitu ketika pada29 November 1957 Indonesia gagal memperolehdukungan dalam pemungutan suara di PBBtentang masalah Irian Barat. Perdana MenteriDjuanda mendesak bangsa Indonesia agar tetapmengobarkan semangat juang demi merebutkembali Irian Barat melalui “jalan lain”. Terjadilahbeberapa pemogokan di perusahaan-perusahaanBelanda. Bahkan buruh-buruh mengambil alihbeberapa perusahaan Belanda. Tetapi pada tang-gal 9 Desember 1957, Djuanda selaku pimpinantertinggi militer mengeluarkan sebuah peraturanyang menempatkan semua perkebunan Belandatermasuk pabrik, fasilitas penelitian pertanian,semua bangunan lainnya, harta tetap dan hartatidak tetap dalam yurisdiksi Republik Indone-sia. Dan untuk itu ia memberi wewenang kepadaMenteri Pertanian untuk mengeluarkan pera-turan yang perlu. Menteri Pertanian, melaluiperaturan yang dikeluarkan pada hari berikut-nya, menempatkan perkebunan-perkebunanBelanda dalam pengawasan teknis sebuah orga-nisasi baru, Pusat Perkebunan Negara Baru(PPN-Baru). Cikal bakal PPN-Baru adalah PusatPerkebunan Negara (PPN) dan Jawatan Perke-bunan.

Selanjutnya pada tanggal 10 Desember 1957,Jenderal A.H. Nasution (Kepala Staf AngkatanBersenjata) selaku Penguasa Militer Pusat,mengeluarkan sebuah peraturan yang ditujukankepada segenap Penguasa Militer Daerah untukmengambil alih pelaksanaan semua perusahaanBelanda yang ada dalam masing-masing wilayah

militer mereka atas nama Republik Indonesia.11

Dalam penjelasannya di depan wakil-wakilasosiasi perkebunan Belanda pada tanggal 10Desember 1957, Menteri Pertanian Sadjarwomenjamin tak akan ada nasionalisasi perusaha-an-perusahaan Belanda. Hak milik perusahaan-perusahaan Belanda tetap pada pemiliknya, yakniorang-orang Belanda, namun di bawah penga-wasan PPN-Baru. Tetapi pada tanggal 27 Desem-ber 1957, Presiden Sukarno menandatangani UUNomor 86 Tahun 1957 mengenai “NasionalisasiPerusahaan-Perusahaan Milik Belanda di Indo-nesia”. Nasionalisasi ini merupakan bagian dariperjuangan membebaskan Irian Barat dan harusdianggap sebagai kebijaksanaan pembatalanpersetujuan KMB. Sementara pasal 2 mengaturganti rugi bagi pemilik lama dan memberikanhak bagi pemilik lama untuk mencari penye-lesaian hukum jika ganti rugi tidak memuaskan.12

Di Kabupaten Batang, setelah revolusi kemer-dekaan, perusahaan perkebunan Belanda masihmenguasai tanah perkebunan seluas 450 hektardi luar tanah garapan petani. Namun tujuhtahun setelah keluarnya UU Nomor 86 Tahun1957 tentang “Nasionalisasi Perusahaan-Perusa-haan Milik Belanda di Indonesia”, perkebunanP&T Land’s tersebut dinasionalisasi. Para saksisejarah mengungkapkan dahulu pada tahun 1963warga dari kelima desa merebut lahan tersebutdari Inggris. Waktu itu luasnya sekitar 663 ha.Tetapi pada 1964 pemerintah menyerahkannyakepada UGM melalui Fakultas Pertanian. Penye-rahan ini adalah bentuk kebijakan pemerintahOrde Lama menghibahkan tanah kepada lem-baga pendidikan atau universitas tertentu yangdiistilahkan sebagai land grant college. Namaperusahaan diubah menjadi PN Pagilaran, dan

10Henderson dalam Ide Anak Agung Gde Agung, 1985,Renville, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, halaman 335.

11Karl J. Pelzer, 1991, Sengketa Agraria: PengusahaPerkebunan Melawan Petani, Jakarta, Pustaka SinarHarapan, halaman 206.

12Ibid, halaman 214-215.

Page 149: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

148 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

luas tanah yang dikuasai perusahaan ditambahmenjadi 836 hektar. Saat itu petani masih meng-garap tanah.

Sejarah konflik agraria Dusun Kalidapu takjauh beda dari sejarah konflik agraria di Batang.Setelah zaman Jepang sampai dengan tahun1956, para petani tetap menggarap tanah. Tetapipada tahun 1957 ratusan petani penggarap di-kumpulkan oleh PTP XVIII (sekarang PTPN IX)di gedung Sinderan. Mereka diminta membu-buhkan cap jempol untuk dibuatkan letter D.Tetapi ternyata mereka ditipu oleh PTP XVIII,karena yang didapat bukan letter D, melainkansurat pencabutan tanah garapan petani. Sejak itupara petani dilarang memasuki tanah garapan.Tanaman para petani diganti dengan pohon-pohon karet dan kopi di bawah kekuasaan PTPNXVIII Merbuh.

Di Bandungan Kabupaten Semarang, setelahmasa kemerdekaan, para petani masih mengu-asai lahan-lahan pertanian. Lebih dari dua puluhtahun kehidupan para petani Bandungan takterganggu oleh siapapun. Bahkan aparat desasetempat, mengeluarkan Letter D, yang disebutPethok Jambon oleh para petani, mendukungpara petani menggarap lahan-lahan tersebut.Tetapi pada awal tahun 1975 dengan kedatanganoknum militer dari Koramil Ambarawa, kete-nangan itu sirna. Mereka datang ke lahan ga-rapan petani dan memaksa petani untuk keluardari lahan garapannya. Mereka mengancamakan memasukkan para petani yang menolak keBeteng Pendem.13 Petani terpaksa keluar dari la-han garapannya.

Sementara di Desa Trisobo, pasca kemer-dekaan tak otomatis tanah-tanah petani yangdiambil alih P&T Lands kembali pada petani.Pada masa nasionalisasi, perkebunan beralih di

bawah kekuasaan PPN Dwikora IV yang kemu-dian beralih ke PP Subang ditahun 1971.14

3. Peristiwa 1965 dan Konsekuensinya

Tahun 1965 merupakan sejarah kelam keduabagi para petani. Peristiwa 30 September 1965 ber-imbas pada stigmatisasi petani-petani penggaraptanah sebagai anggota PKI (Partai Komunis In-donesia). Akibatnya semua petani perkebunandi tiga daerah tersebut tak berani menggaraplahan-lahannya. Para petani di Pagilaran—yangtak pernah berpikir akan kehilangan lahan-lahangarapannya setelah kedatangan UGM—bahkandiinstruksikan oleh Pimpinan Perusahaan Perke-bunan Pagilaran untuk meninggalkan lahan-lahannya. Hal ini bisa diketahui dari surat yangditandatangani oleh T. Chandra Bharata Bsc.,Kepala Bagian Kebun pada tanggal 11 April 1966.Sebelum itu, Mukhlas yang waktu itu menjabatBagian Keamanan Kebun ditugasi mencabutlahan-lahan garapan petani. Tetapi ia menolak-nya, karena tak memiliki surat tugas pencabutan,maka oleh Chandra diketiklah surat pencabutanitu:

Kepada semua penggarap tanah-tanah bekasgarapan orang-orang Gestapu, dengan ini diinstruk-sikan agar menetapi/mentaati pengumuman dari TaskForce Siaga Komando Kebun Pagilaran tertanggal26 April 1966 tentang pentjabutan tanah-tanahtersebut dalam keadaan jang bagaimanapun.Barangsiapa jang pada saat ini masih belum mentaatiinstruksi tanggal 26 April ’66 atau masih menger-djakan tanah-tanah Gestok tersebut akan diambiltindakan berdasarkan ketentuan2 jang berlaku.Sekian agar mendjadikan maklum.

Dengan demikian sejak tanggal 26 April 1966,para petani Pagilaran harus pergi dari tanah yangtelah mereka garap sejak tahun 1942.

Kondisi yang sama terjadi di Dusun Kalidapu

13 Nama penjara di kecamatan Ambarawa yang terkenalmenakutkan

14 Djarmadji, 2000, Sejarah Perjuangan Tanah BondoDeso Trisobo, Tanah Dirampas Rakyat Terhempas,Kendal, belum diterbitkan

Page 150: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

149Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156

jauh sebelum tahun 1965. Petani Dusun Kalidapubahkan sudah sejak tahun 1957 tidak menggaraplahan-lahannya, karena diusir oleh PTP XVIIIberdasarkan kebijakan nasionalisasi perkebunan.

Sementara para petani di Bandungan sempatselama sepuluh tahun menggarap tanah-tanah-nya setelah tahun 1965, sebelum akhirnya diusiroleh militer. Ternyata pengambilalihan lahan-lahan garapan hanya siasat untuk mengalihkanke pengusaha. Para oknum militer dan aparatdesa setempat merampas tanah-tanah para pe-tani dan menyerahkannya kepada seorangpengusaha bernama Buntik Buntoro. Ia mendi-rikan sebuah kantor pabrik di wilayah Ampel-gading diatas lahan-lahan eks para petani terse-but. Buntik Buntoro mengkontrak lahan-lahantersebut dari Korps Veteran, tetapi tak menge-tahui, Korps Veteran mana yang dimaksud.

4. Perjuangan Agraria di MasaOrde Baru dan Reformasi

Pengambilalihan tanah-tanah garapan petanidi masa nasionalisasi 1957 dan setelah Septem-ber 1965 mengakibatkan para petani tak memilikitanah garapan lagi. Jika dihitung lama waktupetani tak lagi menggarap tanahnya sejak masanasionalisasi sampai masa reformasi berartisekitar 30-40 tahun. Sejak itu sebagian dari parapetani bekerja sebagai buruh industri, buruhperkebunan, buruh tani, buruh bangunan,Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri.

Para petani di empat wilayah ini menggu-nakan situasi reformasi 1998 untuk mengambilkembali hak atas tanah-tanahnya. Mereka meng-organisir diri, menggabungkan diri dalam orga-nisasi-organisasi tani lokal, dan memulai tun-tutan-tuntutannya. Melalui organisasi-organisasitani lokal mereka me-reklaim tanah-tanah mere-ka yang selama ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan perkebunan.

Dalam buku Reklaiming dan KedaulatanRakyat yang diterbitkan Yayasan Lembaga

Bantuan Hukum Indonesia, reklaiming adalahsebuah tindakan perlawanan, yang dilakukanoleh rakyat tertindas untuk memperoleh kembalihak-haknya seperti tanah, air, dan sumber dayaalam lainnya, serta alat-alat produksi lainnyasecara adil, demi terciptanya kemakmuran rak-yat semesta.15 Reklaiming bukan sekedarmengambil alih tanah dan sumber daya alamlainnya, tetapi dikaitkan dengan hak-hak merekayang dirampas sejak masa kolonial sampai OrdeBaru. Reklaiming memerlukan strategi, yaitu:mengorganisir diri, memahami hukum secarakritis, revitalisasi nilai-nilai adat/lokal, melaku-kan analisis sosial, membuat pandangan hukum,melakukan negosiasi, mensosialisasikan opini,mengembangkan jaringan, menentukan obyekreklaiming.16

Sebagai sebuah gerakan sosial, tantanganterhadap reklaiming tak hanya datang dari ka-langan penguasa atau pemilik modal. Pertamaadalah akademisi. Sebagian akademisi seringmemberikan analisis yang memojokkan parapelaku reklaiming. Mereka menstigma gerakanreklaiming sebagai gerakan anarkis, penjarahan,gerakan melawan penguasa, atau tindakan mela-wan hukum.17 Kedua adalah golongan kompro-mis, yang berpendapat bahwa penyelesaiansengketa hak tanah petani tidak selalu menuntuthak tanahnya tetapi juga bersama-sama menge-lola tanah perkebunan. Konsep ini ditawarkanoleh beberapa pemerintah lokal. Ketiga dari

15 Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana, Reklai-ming dan Kedaulatan Rakyat, YLBHI dan RACA Insti-tute, Jakarta, hlm. 81. Istilah reklaiming muncul dalampertemuan para aktifis LBH ditahun 1998 di Jakarta. Paraaktifis LBH yang difasilitasi YLBHI berkumpul untukmenyikapi situasi politik dan isu-isu pertanahan. Pertemuanitu melahirkan satu kata yang kemudian menjadi modelgerakan perjuangan petani yaitu reklaiming. Istilah inimenjadi kesepakatan bersama untuk menyebut pengam-bilalihan kembali tanah-tanah rakyat

16 Ibid. hlm. 98-129.17 Ibid., hlm. 35.

Page 151: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

150 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

kelompok yang mendukung aksi-aksi gerakanreklaiming petani. Kelompok akademisi inipunya pergaulan dengan para aktivis atau man-tan aktivis.18

Respon beberapa pihak pasca reklaiming yangdiklasif ikasikan dalam empat pihak. Pihakpertama adalah rakyat, yaitu membentuk kelom-pok pengelolaan lahan, penguatan simbol-simbollokal dan legalisasi lahan reklaiming. Pihak keduaadalah pemerintah, yaitu membentuk tim danmengusulkan penyelesaian melalui pengadilanserta pengukuran lahan. Pihak pengusaha itumendatangkan preman, mengambil alih kembalilahan reklaiming, meminta dukungan dan keter-libatan pihak luar, mengkriminalkan petani,menggugat perdata dan menggugat administra-si. Pihak lain adalah mahasiswa, NGO, jaringanlain yang turut mendukung dan mendampingi,ulama dan informal leader yang sering melaku-kan kooptasi dan aparat keamanan yang mela-kukan konsolidasi pengamanan kebun.19

C. Dinamika Perjuangan Agraria danKonflik Tanah di Empat wilayah Kasus

Empat kasus ini adalah kasus-kasus yangdiadvokasi berdasarkan pola pengorganisasianyang sama. Latar belakang perkebunan adalahperusahaan perkebunan swasta dan negaradengan kondisi perkebunan yang berbeda-beda.Di empat daerah ini, terdapat organisasi tani,yang masing-masing berbeda-beda pula keku-atannya. Naik turunnya perjuangan petani,ditentukan juga oleh kekuatan organisasi tani,dan dukungan pemerintah daerah. Dukunganpemerintah daerah pun berkaitan erat dengan

kondisi masing-masing perkebunan. Di empatdaerah ini, hanya di tiga daerah, dimana terdapataparat keamanan yang menjaga keamananperkebunan, baik secara intens maupun sewak-tu-waktu: yaitu di perkebunan Pagilaran, PTPNIX, dan PT Karyadeka Alam Lestari. Penjagaanaparat tidak ada di perkebunan PT Sinar Karta-sura, kecuali pada waktu aparat kepolisian me-nangkap 3 orang petani setelah para petani me-reklaim tanah. PT Sinar Kartasura adalah perke-bunan terlantar.

1. Kasus Pagilaran, Kabupaten Batang

Perlawanan petani di daerah ini dimulai sejaktahun 1999. Warga 5 desa di sekitar perkebunanPagilaran, menuntut kembali hak atas tanahyang dikuasai PT Pagilaran, perusahaan swastayang mengusahakan tanaman teh di atas lahanseluas 1131,8 hektar. Petani memulai perlawanandengan memprotes PHK yang dilakukan PTPagilaran kepada 500 orang buruhnya. Merekadi-PHK tanpa pesangon dan hak-hak normatiflainnya. Tuntutan ini kemudian berkembangkearah tuntutan hak atas tanah. Para petani ke-mudian mengadukan persoalan ini ke LBHSemarang.

LBH Semarang lalu melakukan investigasi,mengumpulkan data, dan memfasilitasi ter-bentuknya organisasi tani bernama PaguyubanPetani Korban PT Pagilaran (P2KPP). Organisasitani ini meminta dukungan aparat pemerintahanlokal seperti Kepala Desa, Camat, DPRD, danBadan Pertanahan Nasional (BPN). Sayangnya,tak satupun aparat pemerintahan yang mendu-kung tuntutan para petani. Meski demikian, BPNmelakukan pengukuran ulang atas Hak GunaUsaha PT Pagilaran. Tetapi ditengah prosespengukuran ulang, aparat kepolisian menangkappara petani. Saat itu, para petani sedang meng-garap dan mengukur lahan seluas sekitar 3 hektaryang dikuasai PT Pagilaran untuk ditanamitanaman pangan dan sayuran. Serombongan

18 Siti Rakhma Mary Herwati dan Noer Fauzi Rach-man, 2012. “Bantuan Hukum Struktural di Jawa Tengah –Catatan LBH Semarang”, artikel dalam buku berjudul:Verboden Voor Honden En Inlanders Dan Lahirlah LBH,Catatan 40 Tahun Pasang Surut Keadilan, YLBHI, Jakarta,hlm. 226.

19 Ibid., hlm. 222.

Page 152: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

151Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156

polisi datang dan menangkap petani. Merekamemproses hukum para petani sampai ke penga-dilan. Para hakim mendakwa petani denganpasal perusakan, penghasutan, dan penadahan.Mereka menghukum penjara 21 petani selama5–7 bulan.

Pasca kriminalisasi, para petani tetap berusahamenuntut hak atas tanah. Mereka bergabungdengan para buruh perkebunan dan menggantinama organisasi tani menjadi Paguyuban Masya-rakat Gunung Kamulyan (PMGK). Beberapa aksidemonstrasi pun dilakukan, diantaranyademonstrasi besar ke Fakultas Pertanian Univer-sitas Gajah Mada pada 2003. PT Pagilaran adalahmilik Yayasan Pembina Fakultas Pertanian uni-versitas ini. Namun, pihak universitas tidak me-nanggapi tuntutan petani. Mereka menganggaptuntutan petani salah alamat. Petani lalu menem-puh beberapa negosiasi ke BPN Provinsi JawaTengah dan BPN Pusat. Mereka meminta BPNmengeluarkan sebagian tanah yang diklaimpetani dari HGU PT Pagilaran. Alih-alih menge-luarkan sebagian tanah dari HGU, BPN justrumemperpanjang HGU PT Pagilaran yang ber-akhir pada 31 Desember 2008 selama 25 tahun.

2. Kasus PTPN IX, Kabupaten Kendal

Di masa Orde Baru, beberapa petani dari DesaKaliputih sebenarnya telah berupaya menuntutkembalinya tanah-tanah mereka yang diambilalih PTPN IX di sekitar tahun 1957. Tetapi upayaini tidak berhasil. Mereka kembali menuntut hakatas tanah pada 1997. Beberapa negosiasi denganaparat pemerintahan lokal juga ditempuh.Negosiasi itu juga tidak berhasil mengembalikantanah-tanah petani. Akhirnya, petani melakukanaksi reklaiming. Petani mematoki, dan mengga-rap tanah yang dikuasai PTPN IX. Aksi ini mem-buat PTPN IX menggugat 521 petani ke Penga-dilan Negeri Kendal. PTPN IX meminta kepadahakim untuk memutuskan bahwa tanah adalahmilik PTPN IX dan menghukum petani untuk

membayar ganti rugi atas kerugian PTPN IX aki-bat aksi reklaiming tersebut.

Pengadilan Negeri Kendal memenangkanPTPN IX dalam perkara ini. Petani, didampingiLBH Semarang mengajukan banding ke Penga-dilan Tinggi Jawa Tengah. Tetapi, putusanpengadilan ini menguatkan putusan PengadilanNegeri Kendal. Lalu, petani mengajukan kasasike Mahkamah Agung. Di tingkat terakhir inilah,MA mengabulkan kasasi para petani. Petani barumenerima putusan MA pada tahun 2011, padahalMA memutus perkara ini pada 2006.

3. Kasus Petani PT Sinar Kartasura,Semarang

PT Sinar Kartasura seharusnya mengusaha-kan tanaman sereh wangi. Tetapi mereka mene-lantarkan tanahnya dan membuat peternakandi atas lahan HGU. Pencemaran lingkungankarena limbah peternakan itulah yang kemudianmembuat para petani dari 3 desa di KabupatenSemarang mempermasalahkan tanah HGUtersebut. Menurut petani, tanah yang dikuasaiPT Sinar Kartasura, adalah tanah garapan petani.Militer merampasnya sekitar tahun 1965, lalumemberikannya kepada pengusaha. Dengandukungan LBH Semarang, petani meminta kem-bali tanahnya. Mereka lalu menemui Bupati danDPRD Jawa Tengah. Komisi A DPRD JawaTengah menyetujui tuntutan petani untukmenggarap tanah yang diterlantarkan tersebut.

Meski mendapat persetujuan, beberapa pim-pinan petani sempat ditangkap polisi setelah parapetani melakukan aksi reklaiming. Polisi menu-duh 3 orang pimpinan petani tersebut mengha-sut para petani untuk menduduki lahan. DiPengadilan Negeri Semarang, majelis hakimmembebaskan mereka. Menanggapi tuntutanpetani atas tanah, Badan Pertanahan Nasionalmembatalkan HGU PT Sinar Kartasura pada2001. Atas keputusan ini, PT Sinar Kartasuramenggugat BPN ke Pengadilan Tata Usaha Nega-

Page 153: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

152 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

ra Jakarta. Hakim yang memeriksa perkara,membatalkan Surat Keputusan BPN ini. BPNmengajukan banding dan kemudian kasasi,karena Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negaramemberikan putusan yang sama. MahkamahAgung sekarang tengah memeriksa kasus ini.

4. Kasus Karyadeka Alam Lestari, Kendal

Perlawanan petani Desa Trisobo kepada PTKaryadeka Alam Lestari (KAL) telah berlangsungsejak sebelum masa reformasi. Tetapi perlawanansecara lebih sistematis dilakukan setelah masareformasi. Petani, dipimpin Kepala Desa, me-nempuh jalur non-litigasi: membuat surat kekecamatan, mengikuti pertemuan-pertemuanyang membahas kasus Trisobo, dan bernegosiasidengan PT KAL dengan difasilitasi pemerintahsetempat. Di tahun 2000, petani, yang tergabungdalam Paguyuban Masyarakat Ngaglik Trisobo(PPNT) melakukan reklaiming tanah. Merekamenduduki lahan seluas 67 hektar, dengan caramenanami sela-sela pohon karet yang masihmuda dengan tanaman kacang dan jagung.Selama tahun 2000–2007, para petani mengga-rap tanah dengan aman. Tetapi, situasi ini tidakbertahan lama. Terjadi kasus pidana yang akhir-nya menghancurkan PPNT.

Pada pertengahan 2008 pasca Kepala DesaTrisobo tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa,mantan Kepala Desa dan 9 orang pimpinanpetani, dikriminalkan aparat kepolisian. Ataslaporan PT KAL, petani dituduh menebang 6batang pohon rambutan dan mangga, yangdiklaim PT KAL sebagai pohon miliknya di per-kebunan karet. Sementara Kepala Desa dituduhmelakukan pencurian kayu di balai desa yangterjadi tahun 2004. Para petani lalu divonis 6bulan, 9 bulan, dan kepala desa 1, 5 tahun pen-jara. LBH Semarang lalu mengajukan kasasi keMahkamah Agung untuk kasus yang melibatkanmantan Kepala Desa. MA membatalkan putusanPN Kendal. Menurut mereka perbuatan kepala

desa bukanlah perbuatan pidana. Karena itukepala desa dilepaskan dari segala tuntutanhukum. Tetapi, Djarmadji, kepala desa itu terlan-jur menjalani 9 bulan di penjara.

Di tengah-tengah para pemimpin petanimenjalani proses pidana, Kanwil BPN Jateng danBPN Pusat menjalankan reforma agraria di DesaTrisobo. Para petani yang tersisa, orang-orangtua yang tidak menjadi pimpinan organisasi danpara perempuan diajak bernegosiasi oleh BPN.Para petani ini menolak tawaran BPN Jatenguntuk menerima lahan seluas 11,5 hektar di DesaTrisobo untuk seluruh petani penggarap yangjumlahnya lebih dari 300 KK. Petani, meng-inginkan BPN melepaskan lahan seluas 80 hektaryang selama sepuluh tahun sudah digarap peta-ni. PT KAL menolak. BPN mengikuti kemauanPT KAL untuk hanya melepaskan 11, 5 hektarlahan. BPN kemudian memberikan tanah itukepada Kepala Desa Trisobo yang baru.

Sampai sekarang, tak satupun petani anggotaPPNT mau menggarap lahan itu. Setelah BPNmelepaskan lahan seluas 11,5 hektar tersebut, BPNmemperpanjang HGU PT KAL yang telahberakhir 31 Desember 2002. HGU diperpanjangselama 25 tahun. BPN mengklaim redistribusilahan di Desa Trisobo ini sebagai pelaksanaanreforma agraria yang sukses. Petani kemudianmengajukan gugatan pembatalan SK HGU ter-sebut ke PTUN Semarang. Mereka juga menga-jukan gugatan perdata ke PN Kendal. Di keduaproses hukum tersebut, petani dikalahkan.

5. Perbandingan Keempat Kasus

Dari keempat kasus tersebut bisa terlihat per-bedaan mengenai asal-mula munculnya kasus,situasi masyarakat dan ada/tidak dukungan daripemerintah lokal (lihat tabel 1).

Page 154: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

153Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156

Tabel 1. Perbandingan Perjuangan Agrariadi 4 kasus

Pertama, Perkebunan teh PT Pagilaran adalahperkebunan teh swasta berorientasi ekspor. Jum-lah petani yang menuntut tanah cukup besar(1500 KK), dan sebagian diantaranya bekerjasebagai buruh perkebunan berupah rendah.20

Meski demikian, tak ada dukungan dari peme-rintah lokal karena perkebunan ini produktif.Kedua, adalah perkebunan kopi dan karet milikPTPN IX. Para petani di wilayah kasus ini pernahmendapat dukungan Komisi A DPRD Kendal un-tuk menggarap tanah. Dukungan ini memper-kuat aksi reklaiming tanah yang mereka lakukan.Sebagai perkebunan negara, posisi PTPN IXcukup kuat, hingga BPN tak pernah mau menin-jau ulang HGU perkebunan ini yang telah ber-akhir sejak 2005. Meski gugatan PTPN IX terha-dap petani dikalahkan oleh Mahkamah Agung,PTPN IX tetap menguasai tanah konflik. Parapetani juga tetap menguasai tanah yang merekareklaim sejak 1998. Ketiga, adalah perkebunan

PT Sinar Kartasura. Kondisi perkebunan yangterlantar, kekuatan organisasi tani, dan du-kungan politik lokal membuat para petani sampaisekarang memenangkan penguasaan f isik ataslahan konflik. BPN telah membatalkan HGUperkebunan ini. Hingga sekarang, petani meng-garap tanah subur di kaki Gunung Ungaran ter-sebut. Perkebunan terakhir adalah perkebunankaret milik PT Karyadeka Alam Lestari. Ketiadaandukungan pemerintah lokal, kondisi perkebunanyang cukup produktif dan kurangnya dukunganseluruh warga Desa Trisobo mengakibatkan parapetani gagal mendapatkan hak atas tanah. BPNhanya membagikan 11,5 hektar dari 80 hektartanah bekas HGU yang dituntut. Petani tak maumenerimanya. Saat ini tak satupun petani yangtergabung dalam Paguyuban Petani NgaglikTrisobo (PPNT) yang menggarap tanah. Tanahhasil redistribusi ini jatuh ke tangan Kepala DesaTrisobo dan kelompok pendukungnya.

Perbandingan keempat kasus tersebut me-nunjukkan pula bagaimana perusahaan-peru-sahaan perkebunan menghadapi tuntutan danaksi-aksi kolektif petani (lihat tabel 2)

Tabel 2. Respon perusahaan perkebunan

Setiap perusahaan perkebunan senantiasamelaporkan para petani yang mencoba menun-

Kasus PTPagilaran

Kasus PTPN IX Kasus PT SinarKartasura

PT KAL

OrganisasiTani Lokal

P2KPP/PMGK KWK dan PWB P3TR PPNT

Tahun berdiri 1999 1998 2000 1999AlasanGerakan

PHK 419 buruhtanpa pesangon

Kemiskinandan krisisekonomi

Pencemaranair minum olehlimbah ternakPT

Pengambilalihantanah

StrukturOrganisasi

Presidium Tunggal Presidium Tunggal

MekanismePengambilanKeputusan

Pertemuantingkat desa dantingkatpresidium

MusyawarahtingkatOrganisasiTani Lokal

Musyawarahtingkat P3TRDusun danP3TR Desa

MusyawarahtingkatOrganisasiTani Lokal

JumlahAnggota

1500 KK 853 KK 3000 KK 300 KK

Luas TanahYang di-reklaim

- 200 hektar 198 hektar 150 hektar

Kebun yangdi-reklaim

Kebun tehorientasi ekspor

Kebun Kopiyang sebagianbesar terlantar

Kebunterlantar

Kebun karet,sebagianterlantar

StatusPerkebunan

Swasta Negara Swasta Swasta

DukunganPemerintahLokal

Tidak ada Komisi ADPRD Kendal

Komisi ADPRD JawaTengah, DPRDKabupatenSemarang, danBupatiSemarang

Tidak ada

PT PAGILARAN PT KAL

Bentuk-bentukrepresi

Pengusiranpetani darilahangarapan(1966)PHK (1999)Kriminalisasi(2000)PHK sebagaiimbaskriminalisasi(2000-2001)Premanisme(2000)Membentukorganisasitandingan(2000)Pengusiran

buruh dariemplasemen(2001)

pencuriankopi (2002)

Kriminalisasi(1999)PerusakantanamanIntimidasiKriminalisasi(2008)PremanismeMembentukorganisasitandingan

20 Pada Maret 2013, upah buruh tetap dan harian lepaspabrik PT. Pagilaran adalah Rp. 32.350 per hari, sementaraburuh petik adalah Rp. 450,00 per hari. Tiap hari rata-rataburuh menghasilkan 10-15 kg daun teh basah.

Page 155: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

154 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

tut tanah ke polisi. Perusahaan tak hanya meng-gunakan Hukum Pidana, tetapi juga Hukum Per-data dan Peradilan Tata Usaha Negara tergan-tung pada perkembangan kasus masing-masing.Selain itu juga diketahui ketiga perusahaan per-kebunan memiliki hubungan erat dengan aparatkeamanan, preman, dan akses lebih ke penga-dilan. Penangkapan petani Pagilaran pada tahun2000 dilakukan oleh gabungan aparat Polsek,Polres, dan TNI. Pada masa itu, Perusahaan Per-kebunan Pagilaran juga menjalin hubungandengan organisasi preman Roban Siluman yangsekarang sudah dibubarkan.

Sementara itu, Polres Kendal juga mengaman-kan puluhan kali sidang pengadilan kasus PTPNIX, sementara Brimob mengamankan kebunPTPN IX. PTPN IX juga menggunakan SerikatPekerja Perkebunan (SP Bun) untuk mengha-dang perlawanan petani. Di pihak lain, PT. SinarKartasura menjalin hubungan dengan PolwilSemarang, Brimob, dan TNI. Sedangkan PTKAL menggunakan preman dan polisi untukmenghentikan perlawanan petani.

Ternyata, dalam perjalanan perjuanganagraria para petani, mereka juga harus terlibatdalam perkara-perkara di pengadilan (lihat Tabel3 dan 4).

Tabel 3. Penggunaan Jenis-jenis Peradilandi Keempat Kasus

Tabel 4. Putusan Hakim dalam KonflikTanah Perkebunan

Kriminalisasi terhadap petani terjadi di semuakasus. Sedangkan perusahaan perkebunan yangmenggugat perdata hanya satu, yaitu PTPN IX.Dua kasus yang lain, adalah gugatan pembatalanSK HGU yang diajukan para petani yaitu di kasusPT. Pagilaran dan kasus PT. KAL. Pengadilan TataUsaha Negara Jakarta dan Semarang mengalah-kan petani di semua gugatannya. Tetapi gugatanyang diajukan PTPN IX juga dibatalkan Mahka-mah Agung di tingkat kasasi. Meski menang,petani tak serta merta mendapatkan tanah dariputusan pengadilan itu. Status tanah tetaplahtanah negara.

D. Kesimpulan

Latar belakang sejarah keempat kasus iniadalah perampasan-perampasan tanah petaniyang dilakukan perusahaan-perusahaan perke-bunan di masa lalu, dibawah pemerintah kolo-nial, yang akibat-akibatnya masih terjadi sampaisekarang. Meskipun pemerintah telah memilikikonstitusi yang memuat tekad untuk melin-dungi “segenap tumpah darah Indonesia” danmencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia, dan mengeluarkan Undang-undangPokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang berbasiskerakyatan, tetapi pemerintah terus memfasilitasikelanjutan perusahaan-perusahaan milik negaramaupun swasta paska kolonial untuk memupukdan mengembangbiakkan modal denganmengorbankan para petani.

Keempat kasus ini secara terang menunjuk-kan kolaborasi perusahaan dengan aparatkeamanan seperti polisi, preman, dan aparatperadilan. Aksi pengambilalihan tanah (reklai-ming) yang dilakukan para petani di semuawilayah ini, pertama kali ditanggapi dengankriminalisasi. Perusahaan perkebunan menggu-nakan aparat kepolisian untuk menangkap parapimpinan petani. Kriminalisasi ini adakalanyamengendorkan semangat petani untuk menun-tut kembali hak atas tanah mereka, seperti terjadi

PT Pagilaran PTPN IX PT Sinar Kartasura PT KAL

Peradilan Pidana - Pidana- Perdata

- Pidana- Administrasi

Negara

- Pidana- PTUN- Perdata

- PTUN

Jenis Perkara PT Pagilaran PTPN IX PT SK PT KAL

Pidana 5 bulan – 2tahunpenjara

Bebas - Perkarapenghasutandiputus bebas

- Perkarapembakarandiputus 1,5tahun penjara

6 bulan –1,5 tahunpenjara

Perdata - Menangdi MA

- kalah

PTUN Kalah - Menungguputusan

kalah

Page 156: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

155Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156

dalam kasus Pagilaran.Beberapa faktor turut mempengaruhi keber-

hasilan petani mendapatkan hak atas tanahnyakembali, seperti: kondisi perkebunan, situasipolitik lokal, kekuatan organisasi rakyat. Di Pagi-laran, kekuatan organisasi rakyat dan jaringanpetani seperti organisasi masyarakat, organisasimahasiswa, dan organisasi pemerintah tak henti-hentinya memberikan dukungan pada perju-angan petani. Tetapi gerakan petani ini tidakberhasil karena situasi politik lokal tidak men-dukung. Tak satupun institusi negara dalamkasus Pagilaran yang mendukung perjuanganpetani. Situasi sebaliknya terjadi di KabupatenKendal, di wilayah kasus PT Karyadeka Alam Les-tari di Desa Trisobo. Meski didukung organisasitani yang kuat, tapi dukungan pemerintah terha-dap petani tidak ada. Sehingga ketika pimpinanorganisasi tani yang juga menjabat Kepala Desaberpindah tangan, tanah yang dituntut juga ikutberpindah tangan. Dalam kasus Trisobo, peru-sahaan perkebunan mendatangkan aparatkepolisian, preman, dan membuat organisasi tanitandingan. Di kasus PTPN IX, perusahaan perke-bunan juga menggunakan aparat kepolisian,buruh perkebunan, dan preman untuk menjagaperkebunan. Demikian juga di Kabupaten Sema-rang, perusahaan perkebunan menggunakanaparat kepolisian untuk menangkap para pim-pinan petani.

Untuk menggagalkan tuntutan petani atastanah, dan aksi reklaiming yang mereka lakukan,negara juga menggunakan pengadilan. HakGuna Usaha (HGU) empat perkebunan ini ber-akhir hampir bersamaan. HGU PT Pagilaran ber-akhir 31 Desember 2008, HGU PTPN IX berakhir31 Desember 2005, HGU PT Karyadeka AlamLestari berakhir 31 Desember 2002, dan HGU PTSinar Kartasura berakhir 31 Desember 1999.Seluruh HGU ini sudah diperpanjang olehBadan Pertanahan Nasional. Ini juga merupakankebijakan anti-land reform dalam menanggapi

tuntutan petani atas tanah. Menariknya, atastuntutan petani pula, BPN kemudian memba-talkan HGU PT Sinar Kartasura.

Kebijakan anti-land reform juga ditunjukkanketika mereka melawan petani di pengadilan, saatpetani mengajukan gugatan pembatalan HGUPT Pagilaran dan PT KAL. Bahkan dalam kasusPT Karyadeka Alam Lestari, Polres Kendalmeminta staf BPN Provinsi Jawa Tengah menjadisaksi ahli bagi Polres Kendal setelah PolresKendal menerima laporan terjadinya tindakpidana dari PT KAL.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam 4wilayah kasus diatas, terlihat 4 bentuk kebijakananti-land reform baik yang dilancarkan langsungoleh badan pemerintahan maupun oleh peru-sahaan dalam merespon aksi reklaiming tanahpetani. Pertama adalah penggunaan aparat ke-amanan, kedua adalah pemberian Surat Kepu-tusan Perpanjangan HGU, dan ketiga penggu-naan pengadilan sebagai sarana represi. Ketiga,kebijakan anti-land reform itu bertujuan menjagasituasi tetap seperti semula, mempertahankanmodal dan menolak tanah-tanah kembali kepetani. Jika dikaitkan dengan situasi yang terjadipada masa kolonial, maka situasi saat ini tak jauhbeda. Perampasan-perampasan tanah oleh peru-sahaan perkebunan kolonial masih berlanjuthingga saat ini dengan aktor yang berbeda.

Jika pada masa kolonial pemerintah kolonialmerampas tanah dengan kebijakan dan sewapaksa, maka perampasan tanah yang dilakukansaat ini juga menggunakan kebijakan dan insti-tusi negara seperti aparat keamanan dan penga-dilan. Penggunaan peradilan di semua levelnya,pengiriman preman dan polisi untuk meredamaksi reklaiming tanah, adalah bertentangandengan prinsip-prinsip keadilan sosial yang adadalam konstitusi dan UUPA. Menurut penulis,seharusnya aksi reklaiming tidak diprosesdengan hukum-hukum represif, tetapi diselesai-

Page 157: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

156 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

kan secara politik melalui kebijakan land reformdengan hukum-hukum yang responsif danprogresif.21

Daftar Pustaka

Anonim, Leaflet PT Pagilaran.Gde Agung, Ide Anak Agung, 1985. Renville.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Herwati, Siti Rakhma Mary, 2000, Laporan Live

In Di Dusun Kalidapu Kendal, LBH Sema-rang.

Herwati, Siti Rakhma Mary, 2001. Laporan LiveIn Di Pagilaran Batang, LBH Semarang.

Herwati, Siti Rakhma Mary dan Radjimo SastroWijono, 2003. Atas Nama Pendidikan, Ter-kuburnya Hak-Hak Petani Pagilaran AtasTanah, LBH Semarang dan PMGK.

Herwati, Siti Rakhma Mary dan Noer Fauzi Rach-man. “Bantuan Hukum Struktural di JawaTengah–Catatan LBH Semarang”, artikeldalam buku berjudul: Verboden VoorHonden En Inlanders Dan Lahirlah LBH,Catatan 40 Tahun Pasang Surut Keadilan,YLBHI, Februari 2012, Jakarta.

Herwati, Siti Rakhma Mary dan Muhadjirin,2008. “Konflik Agraria di Jawa Tengah danPenyelesaian Non-Litigasi”, LBH Semarang.

Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo, 1991.Sejarah Perkebunan Di Indonesia, Yogyakar-ta, Aditya Media.

LBH Semarang. Divisi Pertanahan, 1998-2004.Laporan Lapangan.

___. 2000. Naskah Gelar Perkara Kasus TanahPT. Pagilaran di Mapolda Jawa Tengah.

___. 2000. Pleidooi Dalam Perkara PidanaPagilaran.

___. Divisi Hak-Hak Sipil Politik, 2000-2001.Laporan Lapangan.

___. Divisi Perburuhan, 2000-2002. Laporan LiveIn Di Pagilaran.

___. Divisi Pertanahan, 2002. Dokumentasiperkara perdata No. 16/Pdt/G/2000/PN.Kendal.

___. Divisi Pertanahan, 2004. DokumentasiPerkara Pidana Bandungan

___. Divisi Pertanahan, 2004. DokumentasiPerkara Administrasi Bandungan.

Lucas, E. Anton, 1989. Peristiwa Tiga Daerah:Revolusi Dalam Revolusi, Jakarta, PustakaUtama Graf iti.

Mubyarto, dkk, 1992, Tanah dan Tenaga KerjaPerkebunan, Kajian Sosial Ekonomi, Yog-yakarta, Aditya Media.

P2KPP, 2000. Riwayat Asal-Usul Tanah Pagilaran,Naskah Kampanye Advokasi, tidak diter-bitkan.

Padmo, Soegijanto 2004. Bunga Rampai SejarahSosial Ekonomi Indonesia, Yogyakarta,Aditya Media kerjasama dengan JurusanSejarah Fakultas Ilmu Budaya dan ProgramStudi Sejarah Program Pascasarjana, Uni-versitas Gajah Mada.

Pelzer, J. Karl, 1991, Sengketa Agraria, PengusahaPerkebunan Melawan Petani, Jakarta,Pustaka Sinar Harapan.

Ro’is, Mochammad, 2000. “Kembalikan TanahLeluhur Kami Yang Diambil Oleh PTPN IX”,dalam Media Pendidikan Perjuangan HakRakyat Atas Tanah: Kisah-Kisah PerjuanganHak Rakyat Atas Tanah, KonsorsiumPembaruan Agraria (KPA).

Simarmata, Rikardo, 2002. Kapitalisme Perke-bunan, Yogyakarta, Insist Press.

Wahyudi, 2004. Perlawanan Masyarakat Pagi-laran: Orang Kampung vs Orang Kampus,naskah tulisan, tidak diterbitkan.

Widjarjo, Boedhi dan Herlambang Perdana.2001. Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat.Jakarta: YLBHI & RACA Institute.

21 Kalimat ini diinspirasikan oleh buku karya PhilippeNonet dan Philippe Selznick yang berjudul: HukumResponsif, Pilihan di masa Transisi, yang versiterjemahannya telah diterbitkan Perkumpulan HuMa padatahun 2003. Penulis juga terinspirasi oleh karya-karya Prof.Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif.

Page 158: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

PERAMPASAN TANAH DAN KONFLIK:KISAH PERLAWANAN SEDULUR SIKEP 1

Tri Chandra Aprianto*

Abstract:Abstract:Abstract:Abstract:Abstract:This paper draws how the people to make effort against land grabbing process in Kendeng montain range, Pati,Central Java. The conflict not only into make effort the struggle forms of violence, but also come into fights on ideas level,because the are other efforts to bear down the other to make academic and cultural in order to pave land grabbing. This papergets to know a consciousness of people to make effort against land grabbing. The consciousness of the people is an expressionof everyday live such as politic behavior, economic idea, and cultural idea. In addition resistant community, especially SudulurSikep speak against land grabbing at the basis on their belief, and one of their conection is the one with the land.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywords:ds:ds:ds:ds: Land grabbing, industrialization, agrarian conflict, and Sedulur Sikep community.

Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Tulisan ini menggambarkan bagaimana perlawanan masyarakat atas proses perampasan tanah berlangsung di PegununganKendeng, Pati, Jawa Tengah. Konflik yang terjadi tidak saja berbentuk pertarungan kekerasan fisik, tapi juga terjadi pertarunganpada wilayah ide, karena terdapat upaya menundukkan yang lain dengan menggunakan legitimasi akademik dan kultural, dalamrangka memuluskan jalannya perampasan tanah. Tulisan ini berusaha memahami dan memperhitungkan kesadaran masyarakat ditingkat bawah dalam melakukan perlawanan. Kesadaran masyarakat yang maujud/mewujud dalam ekspresi keseharian baik yangbersifat perilaku politik, maupun cita-cita ekonomi dan bahkan angan-angan budaya. Dan perlawanan dari masyarakat, komunitasSedulur Sikep berdasar atas keyakinan mereka, yang salah satunya adalah hubungan mereka dengan tanah.

Kata KunciKata KunciKata KunciKata KunciKata Kunci: Perampasan tanah, industrialisasi, konflik agraria, dan komunitas Sedulur Sikep.

A. Pengantar

Narasi pengelolaan sumber-sumber agraria diIndonesia masih berkutat pada masalah klasik“menyediakan tanah untuk pembangunan”.Narasi itu maujud dalam bentuk formulasi kebi-jakan yang memberi peluang bagi proses konsen-trasi lahan pada satu kekuatan modal. Akibatnya,masyarakat lokal disingkirkan secara perlahandari akses lahannya. Tanah tidak lagi “menya-tukan” individu-individu yang tergabung dalammasyarakat. Tanah sudah menjadi milik institusi

yang didukung penyelenggara negara dalamrangka pelipatgandaan modal. Inilah yang dise-but dengan perampasan tanah (land grabbing).2

Kendati beberapa prakteknya terdapat unsurpenyewaan atau ganti rugi (jual beli), namunitu tidak menghapus bahwa semua itu diperun-tukkan pada akumulasi kapital.

Praktek land grabbing di Indonesia bukanlahmerupakan hal yang baru. Banyak studi yang

1 Tulisan ini adalah perbaikan dari makalah yang dipre-sentasikan pada seminar hasil penelitian yang dilaksanakanoleh Kapuslitbang Depag di Hotel Melenium, Jakarta, 27Desember 2012.

* Adalah Sejarawan Universitas Jember, aktivis danpenggiat studi agraria, sekarang sedang menjadi MahasiswaS3 di FIB Universitas Indonesia.

2 Istilah land grabbing muncul pertama kali dari laporanGRAIN, sebuah NOG dari Spanyol yang mendukungkelompok petani kecil. Dalam laporan tersebut, land grab-bing merupakan tren global yang terkait dengan promosibahan bakar nabati dan pangan untuk eksport. Lihat DwiWulan Pujiriyani dkk, Perampasan Tanah Global PadaAbad XXI, dalam Tim Peneliti STPN, 2012, Kebijakan,Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21(Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2012), Yogyakarta:PPPM-STPN, hlm. 183.

Page 159: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

158 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

telah menjelaskan praktek ini sejak era kolo-nialisme. Ironisnya praktek untuk mengkonsen-trasikan tanah pada satu kepemilikan tidak saja(masih) menggunakan praktek kekerasan, tapijuga bujuk rayu, dan buaian unsur keyakinan.Sering kali, masyarakat yang menjadi korbanmalah mendapatkan stigma negatif baik secarahukum positif maupun norma kemasyarakatan.Sementara praktek perampasan tersebut menjadisesuatu yang halal dan wajar. Praktek semacamini menyebabkan tertutupnya akses dan assetpenguasaan tanah oleh petani. Akibat selanjutnyaadalah memperpanjang daftar konflik agraria diIndonesia.

Adalah Pegunungan Kendeng3 yang menjadisatu lahan yang ingin “dibebaskan” oleh kekuatanmodal. Skemanya, Pegunungan Kendeng harusdiubah dari kawasan lindung menjadi kawasanindustri semen. Pegunungan ini menyimpan le-bih dari 200 mata air dan beberapa sungai bawahtanah. Sekitar 45% kebutuhan air masyarakat Patidi topang oleh wilayah ini. Adanya upaya untukmerubah kawasan lindung menjadi kawasanindustri inilah praktek dari skema land grabbingsedang diterapkan. Sejak tahun 2006 terjadilahkonflik antara pihak masyarakat salah satunyaadalah komunitas sedulur sikep4 yang melakukanpenolakkan dengan pihak yang memaksakanhadirnya industri semen.

Hampir satu dekade belakangan keberadaankomunitas Sedulur Sikep muncul lagi dipermu-kaan, tapi bukan lagi soal “keunikannya” hidupsederhana di tengah budaya global.5 Isu yangmenyeruak kepermukaan kali ini adalah peno-lakan Sedulur Sikep atas rencana industrialisasidi Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Pa-da pertengahan 2006, PT Semen Gresik beren-cana berekspansi modal (sekitar 40% sahamasing) ke Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Pabriksemen itu akan dibangun di Kecamatan Sukoliloyang merupakan kawasan pertanian.

Demikianlah tulisan ini hendak menempat-kan proses konflik agraria yang berbasis landgrabbing terjadi tidak hanya bermakna perebutantata kelola dan penataan tata ruang atas sumber-sumber agraria. Lebih jauh dari itu juga bermak-na menata ulang hubungan kebudayaan antaramanusia dengan tanah. Pertanyaan adalahmengapa Sedulur Sikep melakukan penolakanatas rencara dibangunnya industri di daerahPengunungan Kendeng? Bagaimana bentukperlawanan Sedulur Sikep dari setiap rezim yangingin menundukkan mereka? Bagaimana prosesnegosiasi antara berbagai pihak yang sedangmemperebutkan Pegunungan Kendeng? Kenda-ti pertanyaan dasarnya seperti itu, namun tulisanini lebih ingin melakukan explanasi6 pema-

3 Pegunungan Kendeng merupakan Kawasan Kars yaituperbukitan batu gamping yang terletak di KecamatanSukolilo, Kayen, Tambakromo dan Brati (Kabupaten Pati),Grobogan, Tawangharjo, Wirosari, Ngaringan (KabupatenGrobogan), dan Todanan (Kabupaten Blora). Menurutlaporan Penelitian ASC (Acintyacunyata SpeleologicalClub) pada tahun 2008, sebuah lembaga penelitian karstyang berkedudukan di Yogyakarta, menyatakan bahwawilayah Pegunungan Kendeng termasuk dalam kawasan karskelas I sehingga tidak boleh ditambang. Jika ditambang makasumber air akan hilang, karena mata air tersebut berada dibawah permukaan.

4 Sedulur Sikep dikenal sebagai sekelompok masya-rakat yang lelaku hidupnya berpatokan pada ajaran SaminSoerontiko (1890an). Samin Soerontiko ditangkap tahun

1907 selanjutnya dibuang ke Digul (Papua), kemudian dipin-dah ke Sawahlunto (Sumatera Barat) hingga salin sandangan.Wawancara Gunretno tanggal 12, 13 dan 14 Desember 2012.Komunitas ini awalnya hadir di Klopoduwur, Randublatung,Blora, kemudian berkembang ke daerah lain: Tapelan(Bojonegoro), Tlaga Anyar (Lamongan), Nginggil danKlopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunung Segara(Brebes) serta Kandangan dan Sukolilo (Pati). Lihat HarryJ. Benda dan Lance Castles, The Samin Movement, dalamBijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 125 (1969),No: 2, Leiden, hlm. 207-240.

5 Salah satunya yang paling mutakhir adalah tulisan,Moh Rosyid, Samin Kudus: Bersahaja di Tengah AsketismeLokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

6 Dalam ilmu sejarah eksplanasi atau suatu penjelasanitu berhubungan dengan hermeneutics dan verstehen,

Page 160: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

159Tri Chandra Aprianto: Perampasan Tanah dan konflik .....: 157-168

haman, pemikiran dan keyakinan Sedulur Sikepdalam memandang setiap persoalan dari “dunialuar” yang hadir dalam diri mereka. Mengingatyang dihadapi oleh Sedulur Sikep adalah kepen-tingan kapital besar, dan dalam prakteknya jugamenggunakan unsur moral keagamaan guna me-minggirkan Sedulur Sikep.

Tulisan ini menyoroti bagaimana praktek landgrabbing dijalankan, Akan tetapi tetap pentingmemahami dan memperhitungkan kesadaranmasyarakat di tingkat bawah dalam melakukanperlawanan, bukan sebaliknya. Kesadaran ma-syarakat yang maujud dalam ekspresi7 keseharianbaik yang bersifat perilaku politik, maupun cita-cita ekonomi dan bahkan angan-angan budaya.Walaupun dalam realitas sosial yang terjadi seringmenunjukkan proses marjinalisasi kesadaranmasyarakat oleh mainstream. Kendati demikian,hal itu tidak serta merta dapat menghapus danmenaf ikan kehadiran serta bobot kesadaranyang telah dilakukan oleh masyarakat.8 Dengan

demikian guna memahami apa yang dilakukanoleh komunitas Sedulur Sikep harus juga melihattindakan sosial mereka.9

B. Perebutan Makna PegununganKendeng

Pembangunan dan industrialisasi merupakanmitos kemajuan suatu masyarakat yang “dipakai”dalam rangka memuluskan skema land grab-bing. Kedua mitos tersebut diyakini dapat mem-beri nilai tambah bagi pemerintah daerah. Keya-kinan tersebut berhimpitan dengan berlakunyaera otonomi daerah di Indonesia (1998), yangawalnya sebagai counter terhadap sentralistikhierarkinya Orde Baru. Peletakkan batu pertamaera otonomi daerah merupakan pintu masuk bagikomunikasi langsung antara kekuatan kapitalbesar (baik asing maupun dalam negeri) denganpemerintah daerah. Sekaligus ini berkelindandengan skema land grabbing di Indonesia.

Berbekal surat ijin yang dikeluarkan KantorPelayanan dan Perijinan Terpadu (Kayandu)Kabupaten Pati, PT Semen Gresik Tbk mulaitahun 2006 gencar melakukan sosialisasi rencanapembangunan pabrik semen. Adapun rencana-nya tampak tambangnya terletak di KecamatanSukolilo. Rencana investasi untuk kawasan in-dustri semen ini sebesar 3,5 trilyun. Gagasan yangdikembangkan dalam sosialiasi tersebut adalahpentingnya keberadaan pabrik semen dapatmengangkat kesejahteraan masyarakat yang itulebih baik ketimbang bertani. Dengan mencon-

menafsirkan dan mengerti suatu peristiwa. Lihat padaKuntowijoyo, 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Expla-nation), Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 1 dan 10. Proseseksplanasi ini (bisa jadi) lebih mudah untuk ditampilkan,ketimbang melakukan analisis. Lebih dalam, analisis suatuproses sejarah seringkali tampak untuk menuntun dari,ketimbang menuju suatu kompleksitas pemahaman peristi-wa sejarah. Pemahaman ini dapat dilihat pada Donald L.Donham, 1999. History, Power, Ideology: Central Issues inMarxism and Antropology, Berkeley and Los Angeles:University of California Press, hlm. 140.

7 Istilah ekspresi ini biasa disebut oleh kalangan ilmu-wan sosial sebagai gerakan sosial, suatu tindakan sosial atautindakan kolektif untuk melakukan perubahan dalam satutatanan kehidupan sosial. Lihat A. Touraine, 1984. The Re-turn to The Actor. Minneapolis. Istilah ini juga muncul dikalangan sosiolog Amerika pada tahun 1950-an. Eric Hobsbawnsejarawan Inggris yang pertama kali memakai istilah ini. Lihatpada Peter Burke, 2001. Sejarah Dan Teori Sosial (MestikaZed, Penterjemah), Jakarta: Yayasan Obor, hlm. 132-136.

8 Kehadiran the other dalam hal ini pabrik semen padalevel tertentu merusak norma-norma budaya yang telah adasebelumnya dan menetapkan ketentuan-ketentuannyasendiri. Eric Wolf, 1983. Petani Suatu Tinjauan Antro-pologis, Jakarta: YIIS dan CV. Rajawali, hlm. 186.

9 Tindakan sosial dalam bukan sekedar perilaku (be-havior) reflektif yang sama sekali tidak melibatkan prosesberpikir aktornya. Tindakan ini memiliki makna subyektifyang dilakukan secara sadar guna mencapai suatu tujuantertentu. Tindakan ini akan dijalankan oleh aktornya bila-mana tindakan tersebut kemudian dianggap memiliki maknasubyektif (subjective meaning) bagi para aktor yang terlibat.Selain itu, tindakan ini akan sangat bergantung pada prosesinterpretasi dan identifikasi para aktornya atas situasi yangdihadapi. Lihat Antony Giddens, 1987. Social Theory andModern Sociology, Stanford: Stanford University Press.

Page 161: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

160 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

tohkan pendapatan daerah Kabupaten Tuban90% disumbang oleh PT Semen Gresik dan PTHolcim.10

Ini adalah pemantik terjadinya situasi pro dankontra di masyarakat dalam menyikapi keha-diran rencana industrialisasi di kawasan Pegu-nungan Kendeng. Masyarakat merasa tidak dili-batkan dalam proses perencanaan hadirnyaindustrialisasi tersebut. Tiba-tiba saja sudah adaproses sosialisasi yang dibungkus dengan pen-jaringan aspirasi masyarakat. Anehnya Peme-rintah Daerah (malah) melakukan pembiaranatas terjadinya situasi tersebut. Bahkan secarategas Pemerintah Daerah mendukung praktekland grabbing tersebut, dengan menerbitkanSurat Pernyataan Bupati Nomor: 131/1814/2008tentang kesesuaian lahan pengambilan bahanbaku PT Semen Gresik dengan Rencana TataRuang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati. Semen-tara bagi masyarakat yang menolak itu berten-tangan dengan RTRW Kabupaten Pati tahun2001-2011.11

Sementara itu penolakan Sedulur Sikep atasrencana industrialisasi tersebut tidak semataberdasar atas alasan legal formal di atas. Terdapatalasan keyakinan yang melatari penolakantersebut. Adam seneng nyandang, doyan mangan,dilakoni tata gauta, gebayah macung sing dumu-nung weke dewe. Artinya Sedulur Sikep memilikisistem dan tata cara tersendiri dalam mencarinafkah. Mereka sangat meyakini kerja kerasuntuk memenuhi sandang dan pangan, yang ituharuslah berasal dari sesuatu yang jelas demu-nunge (asal-usulnya). Demunung merepresen-

tasikan konsep keyakinan tentang kemurnianyang mereka jalankan. Dari konsep ini pekerjaanmengolah tanah atau menjadi petani merupakansatu-satunya pekerjaan jelas asal-usulnya bagimereka.12

Pegunungan Kendeng bagi Sedulur Sikepbukan hanya tanah yang semata-mata bermaknasebagai lahan. Tanah juga telah bermaknahadirnya sistem kehidupan bermasyarakat danbernegara. Menurut Gunarti, orang seringmenyebut dengan istilah Ibu Pertiwi untukmenyebut tanah yang ditempatinya. Ada maknaibu di sana, sebuah makna yang menghidupiseluruh makhluk. Oleh sebab itu sudah menjadikewajiban bagi semua manusia, khususnyaSedulur Sikep untuk merawat dan melindungi.13

Bumi dianggap telah memberi mereka sumberhidup dan penghidupan. Untuk itu merekawajib menyukurinya.14

Implikasi dari eksploitasi Pegunungan Ken-deng, tidak hanya sebatas semakin menipisnyajumlah sumber mata air yang merupakan tum-puan kehidupan masyarakat. Pada level lain jugaberdampak pada akan kehilangan kekayaankeanekaragaman hayati dan kerusakan alam.Dalam perspektif lain, ini merupakan tindakanpengabaian/penggusuran hak-hak masyarakatlokal serta marjinalisasi tatanan sosial dan budayamasyarakat, yang tidak pernah diperhitungkansebagai ongkos ekonomi, ekologi, dan ongkossosial-budaya yang harus dikorbankan untukpembangunan serta mengabaikan kemaje-

10 Lihat pada Sri Hartati Samhadi dan Ahmad Arif,Investasi Semen: Kami Juga Ingin Maju, dalam kompasEdisi 1 Agustus 2008.

11 Husaini, 2008. Fakta Empiris Atas Pro-KontraRencana Pembangunan Pabrik Semen: PT Semen GresikTbk di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Makalah TidakDiterbitkan, Yayasan Sheep Indonesia, hlm. 4.

12 Wawancara Gunretno tanggal 12, 13, dan 14 Desember2012.

13 Wawancara Gunarti tanggal 14 Desember 2012.14 Dalam prakteknya, itu semua didasarkan pada nilai

kejujuran dan kebenaran dalam konsep pandom urip (Petun-juk Hidup). Petunjuk hidup itu mencakup angger-anggerpratikel (hukum tindak tanduk), angger-angger pengucap(hukum berbicara), serta angger-angger lakonana (hukumperihal apa saja yang perlu dijalankan). Wawancara Gunret-no tanggal 12, 13, dan 14 Desember 2012.

Page 162: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

161Tri Chandra Aprianto: Perampasan Tanah dan konflik .....: 157-168

mukan hukum yang hidup dan berkembangdalam masyarakat.15

Mempertahankan keberadaan PegununganKendeng dari acaman industrialisasi menurutMbah Tarno,16 sesepuh Sedulur Sikep, bukangagasan kolot dan tak berdasar. Malah, itu harusdilakukan demi menghargai sejarah. Selain itu,agar peradaban manusia di masa depan takterancam runtuh. Bagi Mbah Tarno tidak adalarangan atau hukuman untuk mempertahan-kan lahan milik sendiri, termasuk oleh negara.17

Negara dalam konsepsi Sedulur Sikep adalah se-bagai pelayan rakyatnya. Adam ngongak sakjero-ning negara, arti bebasnya orang sikep itumengerti secara mendalam tentang negara.Sedulur Sikep iku dudu wonge negara, SedulurSikep itu bukan orangnya pemerintah. Dengandemikian Sedulur Sikep itu tidak bisa menjadipejabat di pemerintahan dan tidak punya cita-cita untuk menjadi pejabat negara. Hal itu dika-renakan, Sedulur Sikep wis milih dadi juragan,Sedulur Sikep sudah memilih menjadi juragan.Jabatan tertinggi dalam bernegara menurut kon-sepsi Sedulur Sikep ini adalah rakyat yang berpro-fesi sebagai petani. Karena merekalah yangmenghidupi negara. Pejabat negara adalah pela-yan dari rakyat, bukan penguasa.18

Akibat adanya perbedaan pemahaman antarayang memaksakan hadirnya investasi dan meno-lak, terjadilah polemik berkepanjangan. Berbagaialasan f ilosof is dari pihak Sedulur Sikep danmasyarakat yang menolak tidak dijadikan acuanoleh pihak yang memaksakan hadirnya industrisemen. Pemaksaan kehendak tersebut mendapatperlawanan yang salah satunya adalah pengha-dangan rencana pengukuran lahan yang akandijadikan tapak tambang. Penghadangan terse-but di desa Kedu Mulyo pada tanggal 22 Januari2009. Dengan dukungan dari pihak aparat PoldaJateng yang menurunkan personilnya sebanyak250 orang membubarkan dan menangkap 9 or-ang yang dianggap sebagai provokator yangmerusak fasilitas mobil PT Semen Gresik Tbk.

Perlawanan dari masyarakat tidak berhentiakibat kejadian tersebut. Upaya untuk memper-tahankan kelestarian Pegunungan Kendeng,komunitas Sedulur Sikep juga mengajak masya-rakat petani lainnya yang hidupnya juga tergan-tung pada keberadaan Pegunungan Kendeng.Mereka membangun organisasi petani, SerikatPetani Pati (SPP). Selain itu mereka juga bekerjasama dengan kalangan LSM dan akademisidalam rangka mengangkat isu-isu keadilan eko-logi. Bahkan mereka juga melakukan perla-wanan melalui jalur legal-formal. Hingga padatahun 2010, Mahkamah Agung (MA) membatal-kan dokumen perijinan yang dikeluarkan KantorPelayanan dan Perijinan Terpadu (Kayandu)Kabupaten Pati.19 Akibat batalnya rencana PTSemen Gresik Tbk, Gubernur Jawa Tengah BibitWaluyo berkomentar kalau Pemerintah JawaTengah telah dirugikan oleh orang-orang yangmenolak adanya investasi.20

15 Lihat pada paper Erwin Dwi Kristianto, PerlawananMasyarakat Pegunungan Kendeng Utara, makalah tidakditerbitkan.

16 http://nasional.kompas.com/read/2012/04/16/02044683/Jujur.ala.Sedulur.Sikep

17 Menurut keyakinan Sedulur Sikep tidak bolehmenyalahi tatanan atau ajaran leluhur. Apabila terjadipenyimpangan atau bahkan melakukan pelanggaran dengansengaja atas keberadaan ajaran leluhur, menurut keyakinanSedulur Sikep dapat dipastikan akan terjadi sesuatu yangmenimpa diri yang melanggar tersebut. Sedulur Sikep seringmengancam dengan kata titenono (perhatikan secara serius).Karenanya oleh sebagian kalangan juga disebut sebagaiwong peniten (orang yang mengajak selalu waspada).Wawancara Gunretno tanggal 12, 13, dan 14 Desember 2012.

18 Wawancara dengan Gunretno tanggal 12, 13, dan 14Desember 2012.

19 Tampaknya berbeda pada era kolonial dan OrdeBaru, perlawanan Sedulur Sikep lebih bersifat aktif, semen-tara sebelumnya cenderung pasif kendati tetap berprinsipdengan gerakan nir-kekerasannya akan tetapi pada kali ini.

20 “Bibit Waluyo Geram, LSM Sontoloyo BubarkanProyek 5 Trilun,” dalam Koran Tempo, edisi 25 Juli 2009.

Page 163: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

162 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

C. Perebutan yang Tidak Imbang

Dengan dibatalkannya oleh MA bukan berartiskema land grabbing berhenti di situ. Kali inibukan oleh PT Sahabat Mulia Sakti (PT SMS)mengajukan hal yang sama ke Pemerintah Da-erah Pati. Perusahaan ini merupakan anak dariPT Indocement Tunggal Prakarsa. Rencananyatapak tambangnya tidak lagi di KecamatanSukolilo sebagaimana PT Semen Gresik Tbk, tapiwilayah Kecamatan Kayen dan Tambakromo.Persis sebelumnya, PT ini juga bergerak padatambang pengolahan semen.

Kali ini, soliditas dan langkah-langkah perla-wanan Sedulur Sikep di atas mulai menghadapipraktek-praktek penundukkan yang lebih kom-pleks. Praktek provokasi dan adu domba antarkelompok masyarakat lebih sering terjadi.Tuduhan terhadap Sedulur Sikep sebagai wongmbangkang (kaum pembangkang) direpoduksikembali. Sebagai kelompok masyarakat yangtidak mau dengan hadirnya kemajuan, emohmodern dan anti pembangunan.

Pada zaman kolonial, Sedulur Sikep mendapatstigma subvesif karena menolak membayar pajakdan mengikuti sistem pendidikan Belanda.21 Padazaman Orde Baru, Sedulur Sikep dikenal sebagaikomunitas yang tidak menyekolahkan anak-anakmereka ke sekolah formal dan masuknya merekakedalam agama Budha, sebagai akibat pemaksa-an pemerintah. Pada zaman Orde Baru merekamendapat stigma anti pembangunan, anti kema-juan dan anti pemerintah.22 Kini Sedulur Sikep

yang ada di Sukolilo, Pati mendapat stigmasebagai provokator oleh kekuatan kapital besar,karena menolak hadirnya pabrik semen.23

Pandangan umum yang sengaja dibangunbahwa Sedulur Sikep adalah komunitas yangngeyelan (suka mendebat), wong mbangkang(pembangkang), susah diatur, dan terbelakang,sehingga dikategorikan sebgai Komunitas AdatTerpencil (KAT), karenanya perlu pembinaan.24

Kali ini upaya-upaya penolakan yang dilaku-kan oleh Sedulur Sikep mendapat perlawanandari orang-orang yang mendukung industriali-sasi. Perlawanan tersebut berupa tindak keke-rasan dalam rangka menghentikan penolakanmasyarakat tersebut. Setidaknya tercatat dua kaliterjadi aksi kekerasan antara massa yang meno-lak kehadiran pabrik semen dengan massa yangdiorganisasi oleh pihak investor.

Pertama, pada 20 April 2011, masyarakat yangmenolak yang hendak melakukan demonstrasidi Kantor Pemda dan DPRD Pati, dihadang pre-man bayaran di depan Polsek Kayen, jalan rayaPati–Purwodadi, Km 26. Dalam aksi pengha-dangan tersebut sempat terjadi adu f isik antaradua belah pihak. Pihak kepolisian sendiri terke-san mendukung aksi penghadangan tersebut.

21 Lihat Harry J. Benda dan Lance Castles, The SaminMovement, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volken-kunde 125 (1969), no: 2, Leiden, hlm. 207-240. Gerakan Saminadalah sebuah epos perjuangan rakyat dalam satu babaksejarah nasional, sebagai gerakan ratu adil penentanghegemoni kolonial. Lihat Sartono Kartodirdjo, 1984. Ratuadil, Jakarta: Sinar Harapan.

22 Pada titik ini yang terjadi adalah narasi kuasa mena-fikan keberadaan lokal, yang itu kemudian disalahtafsirkan.Lihat Muhammad Nurkhoiron, 2010. Sedulur Sikep, Sedulur

(Saudara) Yang Sering Disalahtafsirkan, Jakarta: Desan-tara.

23 Stigma yang menimpa mereka kali ini berkelindandengan nilai-nilai keagamaan mainstream, Islam. KomunitasSedulur Sikep memiliki sejarah benturan dengan kelompokIslam. Khutbah-khutbah Samin Soerontiko dinilai oleh santridi pesisir utara Jawa Tengah sebagai hal yang menyesatkan.Lihat Suripan Sadi Hutomo, 1985. Samin Soerontiko danAjaran-Ajarannya, Basis, Februari, hlm. 3.

24Ridwan Al-Makassary, 2007. Multikulturalisme: Re-view Teoritis Dan Beberapa Catatan Awal, dalam MashudiNoorsalim et.all (ed.), Hak Minoritas, Multikulturalismedan Dilema Negara Bangsa, Jakarta: Yayasan Interseksi,hlm. 42. Lihat juga M Nurkhoiron, 2007. Minoritasisasidan Agenda Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah CatatanAwal, dalam Mashudi Noorsalim et.al (ed), Hak MinoritasMultikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa, Jakarta:

Page 164: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

163Tri Chandra Aprianto: Perampasan Tanah dan konflik .....: 157-168

Kedua, pada 1 Januari 2012, masyarakat yangmenolak kehadiran pabrik semen melakukanpawai lingkungan hidup. Pawai ini dilakukandalam rangka kampanye pentingnya ekologiterhadap generasi mendatang. Pawai lingkunganhidup tersebut dihadang dan sebagian pesertapawai dipukuli oleh preman-preman. Kejadiankekerasan itu terjadi di wilayah Desa Keben, Ke-camatan Tambakromo.25

Bersamaan dengan tindak kekerasan yangditerima oleh masyarakat yang melakukan peno-lakan tersebut PT SMS berupaya untuk meleng-kapi kelengkapan dokumen perijinan ling-kungan. Perijinan ini merupakan legitimasi le-gal yang dibutuhkan oleh kaum pemodal untukmenjalankan praktek eksploitasinya. KomisiPenilai Amdal Kabupaten Pati menyelenggarakansidang komisi pertama kali pada tanggal 30Januari 2012. Adapun agenda dari sidang komisitersebut adalah membahas Kerangka Acuan -Analisa Dampak Lingkungan (KA-ANDAL) Ren-cana Pembangunan Pabrik Semen dan Pertam-bangan PT. SMS. Uniknya dalam persidanganini penjagaan dilakukan sangat ketat. Ratusanpolisi dari Polres Pati dihadirkan untuk menga-mankan jalannya sidang tersebut. Selain ituuntuk lebih memperkuat pengamanan sidangjuga dihadirkan ratusan anggota Barisan Serba-guna (Banser) NU, selain masih terdapat banyakorang yang berpakaian preman.

Sementara itu masyarakat yang menolakrencana pembangunan pabrik semen tersebutberencana menghadiri sidang komisi. Masya-rakat berbondong-bondong ingin menghadiri

proses persidangan tersebut. Mereka hadirdengan menggunakan kendaraan truk dariberbagai daerah di kawasan Pegunungan Ken-deng. Sedikitnya 56 truk yang mengangkutmereka guna menuju Hotel Pati, tempat digelar-nya sidang. Akan tetapi di depan Polsek Kayen,truk-truk tersebut dihadang oleh ratusan orangyang berseragam kaos berwarna putih-birubertuliskan Pro Investasi. Akibat adanya pengha-dangan tersebut, bentrokkan f isik tidak terhin-darkan. Kendati terdapat peristiwa tersebut,akhirnya puluhan truk yang memuat masyarakatyang menolak pabrik semen tersebut tiba jugadi lokasi sidang. Mereka menggelar orasimenyampaikan aspirasi guna penolakan keha-diran pabrik semen.26

Sementara itu pihak masyarakat sendiri mulaigeram dengan tindakan kepala-kepala desamereka yang dianggap hanya mementingkandirinya sendiri. Kegeraman tersebut diwujudkanmasyarakat guna mendatangi beberapa kepaladesa yang setuju dengan kehadiran pabrik se-men. Setidaknya ada 6 (enam) kepala desa yangdidatangi. Para kepala desa itu dipaksa menan-datangani pernyataan resmi untuk menolakrencana pendirian pabrik semen. Peristiwa ituterjadi di Desa Brati Kecamatan Kayen, DesaKeben, Larangan, Maitan, Karangawen danWukirsari Kecamatan Tambakromo pada per-tengahan bulan Februari 2012.27

Selain menghadapi berbagai tindak kekerasanSedulur Sikep juga harus menghadapi upayapenundukan yang bersifat akademik, sepertiseminar dan diskusi terbatas yang itu dilakukanoleh pihak investor. Hal ini secara sadardilakukan, karena anggapan kaum pemodalSedulur Sikep adalah orang yang tidak berpen-Yayasan Interseksi. Bandingkan juga dengan AA GN Ari

Dwipayana, “Problematika Relasi Negara dan Desa”,makalah seminar “Relasi Politik Negara dan Desa”diselenggarakan Lingkar Pembaharuan Agraria dan Desa(KARSA), Yogyakarta, Desember 2007, hlm. 1-4.

25 Wawancara Gunretno tanggal 12, 13, dan 14Desember 2012.

26 Cerita kronologis ini dituturkan oleh beberapa or-ang yang sedang kumpul rumah Gunretno, pada tanggal 14Desember 2012.

27 Ibid.

Page 165: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

164 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

didikan.28 Salah satunya adalah kegiatan semi-nar tentang analisa dampak lingkungan di Ho-tel Pati, pertengahan Desember 2011. Kendatiforum akademik, dan pihak Sedulur Sikep telahmenunjukkan data akademik, namun pihakyang menginginkan hadirnya investasi memak-nainya secara pejorative.

Bukan berhenti di situ, Sedulur Sikep juga ha-rus dihadapkan dengan suatu kegiatan keseniandari budaya mainstream. Pemerintah DaerahPati mengadakan pentas malam kebudayan yangdimeriahkan oleh pementasan Kyai Kanjeng dibawah Pimpinan Emha Ainun Najib, pada tang-gal 14 Desember 2011. Pemda berharap dengankegiatan ini dapat menjadi awal bagi komunikasiyang lebih baik untuk pihak yang menolakdengan pihak investor. Dan kedekatan EmhaAinun Najib dengan Gunretno tokoh SedulurSikep diharapkan dapat mencairkan ketegangandiantara keduanya. Kegiatan tersebut dihadiridari kalangan Pemda, tokoh masyarakat, ulama,pihak investor, Frangky Welirang dan Gunretnosebagai pihak yang menolak hadirnya industrisemen.29

Akan tetapi kalau ditilik dari struktur ke-giatannya, ini merupakan kegiatan yang berupayamenghadirkan budaya adiluhung guna menun-dukkan budaya tanpa aji. Tanpa aji karena prak-

tek budaya yang dijalankan oleh Sedulur Sikepadalah praktek budaya rakyat. Hal ini terwujuddalam pilihan bahasa yang digunakan adalahbahasa Jawa ngoko, bukan kromo.30 Dengandemikian budaya adiluhung harus “mengajari”yang tanpa aji. Kyai Kanjeng adalah representasidari nilai santri. Sementara Sedulur Sikep repre-sentasi sebagai sesuatu yang liyan (berbeda)dengan mainstream.

Kehadiran Gunretno dalam kegiatan tersebutmemiliki arti yang sangat kompleks, tidak sajabagi Gunretno pribadi, tetapi juga bagi kalanganyang tidak setuju dengan adanya rencanaindustrialisasi di wilayah Pegunungan Kendeng.Selain itu makna kehadiran Gunretno dalamacara tersebut juga memiliki makna lain bagipihak industri dan kalangan yang setuju denganindustri, juga pihak orang luar. Padahal secaradenotatif (makna sesungguhnya) kehadiranGunretno adalah sebagai orang yang diundanguntuk menghadiri kegiatan pentas kesenian kyaikanjeng. Akan tetapi secara konotatif (maknatidak sesungguhnya) terdapat banyak tafsirandan makna atas kehadiran tersebut. Situasinyaadalah adanya upaya untuk menundukkan satusama lain.

Adanya situasi penundukan tersebut dapatdilihat dari isi pidato dari pihak PemerintahKabupaten mengetengahkan pentingnya prosespembangunan di Kabupaten Pati. Pembangunanmenjadi syarat bagi kemajuan Kota Pati, sebagaisalah satu kota penting di Jawa Tengah. Untukitu perlu hadirnya investor dan proses pem-bangunan yang itu bisa menyejahterakan masya-rakat Pati. Tentu saja tafsir dibalik isi pidatotersebut adalah terdapat sekelompok orang Pati

28 Sedulur Sikep dikenal sebagai komunitas yang engganmemasukkan anaknya dalam sekolah formal. Adapunalasannya menurut Gunarti, sekolah formal memberikanajaran yang mempengaruhi mereka untuk pindah. Tidak sajapengaruh untuk mereka pindah keyakinan, tapi juga pindahterhadap pengetahuan dasar mereka. Bagi Sedulur Sikepajaran ketauladanan orang tua itu sangat penting dan utama.Guru bagi Sedulur Sikep adalah orang yang sudah bisamenjaga omongan dan laku. Guru adalah gunem kawruh,omongan pengetahuan yang mendalam, yaitu memberi ujaranyang bermakna dalam kehidupan. Sehingga fungsinya jugamemberi keteladanan hidup bagi generasi mendatang.Wawancara Gunarti 14 Desember 2012.

29 Wawancara dengan Jumadi, tanggal 15 dan 16 Desem-ber 2012.

30 Untuk lebih detail soal penggunaan bahasa keseha-rian Sedulur Sikep bisa dilihat pada, Hari Bakti Mardikan-toro, 2012. Pilihan Bahasa Masyarakat Samin Dalam RanahKeluarga, Jurnal Humanior, volume 24, No. 3 Oktober,hlm. 345 – 357.

Page 166: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

165Tri Chandra Aprianto: Perampasan Tanah dan konflik .....: 157-168

yang tidak mau dengan pembangunan. Emohdengan proses kemajuan dan modernisasi.Representasi dari pembangunan, kemajuan danmodernisasi adalah hadirnya pabrik semen.Sementara kalangan yang menolak adalah ka-langan yang anti pembangunan, anti kemajuan,anti modern dan terpenting mereka adalahpetani. Petani selama ini telah menjadi simbolmasyarakat yang berada pada stratif ikasi palingrendah. Mereka adalah kalangan tradisional,jumud dengan keyakinannya dan menolak pro-ses modernisasi. Hal itu tentu saja dengan mu-dah semua tuduhan itu dapat dilekatkan padakalangan Sedulur Sikep.

Situasi penundukan semakin jelas denganpidato selanjutnya yang disampaikan oleh wakilpemuka agama. Ia menyatakan kalau lantunansyair Kyai Kanjeng berisi pencerahan. Pencerahanterhadap keyakinan orang yang selama ini masihberada pada kegelapan. Dengan pencerahanorang akan dapat menerima mana hal yang baikdan yang buruk. Adanya pencerahan orang dapatmenerima pemahaman baru, bukan lagi pema-haman lama.31

Upaya “penundukan” kebudayaan main-stream terhadap apa yang lokal dirasakan betuloleh pihak Sedulur Sikep. Kedua pidato sebelum-nya dirasakan bukan hadir dalam pikiran yangbersifat denotatif, tapi dalam kerangka pikiranyang sarat konotatif. Kata-kata pembangunan,kemajuan, kesejahteraan, pencerahan dan lain-lain adalah kata-kata yang memiliki makna kono-tasi, bukan denotasi. Kata-kata tersebut memilikikonotasi menundukan, bukan konotasi yangmengajak dialog.

Menghadapi upaya penundukkan tersebut,Gunretno manakala mendapat kesempatanmenyampaikan gagasannya untuk kemajuandan pembangunan Kota Pati. Gunretno lang-

sung menghadap ribuan penonton yang sedangmenyaksikan pentas kesenian akhir tahuntersebut. Gunretno merasa berkepentingandengan masyarakat luas, ketimbang dengan paraelit yang duduk bersamanya di atas panggung.Ia menyampaikan pentingnya kelesatarian alamPegunungan Kendeng, ketimbang “kesejahte-raan” yang ditawarkan oleh kaum pemodal, yangdibalik itu kehancuran ekologi. PenjelasanGunretno sangat masuk akal kedalam alam pikirpenonton. Sehingga dengan mudah penontondiajak yel-yel tentang kelestarian ketimbanghadirnya pabrik semen. Setelah itu Gunretnopamit kepada orang-orang yang ada di atas pang-gung, seraya minta maaf dan tetap memperta-hankan paseduluran. Uniknya begitu Gunretnopamit dan meninggalkan panggung, sebagianbesar penonton ikut meninggalkan acara terse-but.32

D. Perebutkan Sakral

Mengingat stigma yang terus dilekatkan padakomunitas Sedulur Sikep, sehingga setiap ke-giatan mereka terlebih dulu berada dalamkerangka yang pejorative. Apa yang dilakukanoleh Sedulur Sikep dan masyarakat disekitarPegunungan Kendeng dalam rangka mempe-ringati hari kemerdekaan Republik Indonesiayang ke 67 tahun juga berada dalam kerangkaini. Oleh sebab itu pihak aparat keamanan,Kepolisian dan Kodim Pati melakukan berbagaiupaya untuk menggagalkan kegiatan tersebut.

Setidaknya terdapat empat alasan dari pihakaparat keamanan untuk melakukan pelarangankegiatan tersebut. Pertama, terdapat informasibahwa kegiatan tersebut akan terjadi tindakanyang sifatnya subversif. Kedua, terdapat kesanakan ada pembangkangan sipil. Ketiga, bahwaupacara peringatan hari kemerdekaan itu sakral,

31 Wawancara dengan Jumadi, tanggal 15 dan 16Desember 2012.

32 Hasil kompilasi hasil Wawancara Gunretno danJumadi.

Page 167: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

166 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

tidak bisa dilakukan secara serampangan. Keem-pat, tempat upacara terjadi di Desa Brati itu ter-letak di lereng Pegunungan Kendeng, sehinggaterkesan sembunyi-sembunyi dari keramaian.

Berdasar atas keempat alasan tersebut, padatanggal 16 Agustus 2012, aparat keamanan mulaimelakukan upaya untuk menggagalkan acaratersebut. Sepasukan tentara dari Kodim Patimendatangi rumah Gunretno di Dukuh Bom-bong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati.Mereka datang di rumah Gunretno sejak pukul13. Kursi tamu di ruang tamu Gunretno penuhdengan aparat keamanan. Belum lagi yang adadi luar rumahnya, juga ada beberapa aparatkeamanan yang berjaga-jaga. Hampir setiapsudut rumah Gunretno difoto oleh aparat yangada di ruang tamu, termasuk diri Gunretno, istridan keluarganya, serta beberapa Sedulur Sikepyang mendampingi Gunretno juga difoto. Berba-gai macam ancaman diterima Gunretno daripihak Kodim Pati, jika tetap memaksakan dirimelanjutkan kegiatan tersebut.

Dalam alam pikir aparat keamanan, kegiatanupacara peringatan Kemerdekaan RI adalahsakral. Sakral menurut perspektif militer. Dalamupacara yang dilakukan oleh rakyat di Pegu-nungan Kendeng itu tidak sesuai dengan Tata-cara Upacara Militer (TUM). Sehingga upacaratersebut tidak bisa dilaksanakan. Apalagi rencanakegiatan yang disodorkan oleh Gunretno banyakberisi dengan tembang-tembang yang berbahasaJawa. Dialog antara Gunretno dan pihak aparatdari Kodim itu berakhir jam 15, karena ia akandilakukan gladi resik di tempat upacara.33

Kemudian Gunretno beserta aparat ke-amanan tersebut berbondong-bondong ke tem-pat upacara di lapangan di Desa Brati, KecamatanKayen. Ternyata sesampai di tempat gladi resik,Gunretno sangat terkejut, karena aparat lebihbanyak lagi di tempat gladi resik. Tidak hanya

hadir aparat dari Kodim Pati, tapi juga pihakkepolisian. Melihat banyaknya pihak keamanantersebut, masyarakat sempat kebingunganmengingat kehadiran aparat keamanan sebagaisesuatu yang ganjil pada era reformasi. Akantetapi mereka juga bangga, tidak ada rencanaupacara peringatan hari kemerdekaan dijagaoleh aparat keamanan, kecuali di Istana Negara.Hal ini dirasakan sebagai hal yang berbedadengan kegiatan di tempat lain yang tidak pernahada penjagaan sedemikian ketat.

Sekembalinya dari gladi resik di tempat upa-cara, rumah Gunretno kembali dikepung olehaparat dari Kodim. Hingga pukul 3 dini hari mere-ka berada di rumah Gunretno. Rupanya pihakaparat tetap dengan ketetapan meminta Gun-retno membatalkan kegiatan upacara peringatanhari kemerdekaan ala rakyat tersebut.

Tepat tanggal 17 Agustus 2012, upacara puncakperingatan hari Kemerdekaan RI diperingati.Aparat keamanan baik dari pihak Kodim mau-pun dari Polres berjaga-jaga di tempat upacara.Tidak kurang dari 5.000an orang hadir dalamupacara ala rakyat tersebut. Mereka berusahabaris serapi mungkin. Komandan upacara, PakBambang menyiapkan upacara tersebut dengankhidmat. Pada saat pembawa bendera jalanmenuju ke tiang bendera, diiringi dengan tem-bang Ibu Pertiwi karangan Ki Narto Sabdo(dalang terkenal pada tahun 1970-an). Sesampaidi pinggir tiang bendera, Pak Gimin orang yangbertugas mengibarkan bendera Merah Putihmaju ke depan. Sebelum menuju tiang untukmengibarkan bendera dengan cara memanjattiang bendera, Ia menyembah terlebih dulupeserta upacara, tiang bendera dan Bendera Me-rah Putih sendiri.

Setelah berhasil memanjat tiang bendera danmengibarkan Bendera Merah Putih, rakyatbersorak yang kemudian dilanjutkan denganmenyanyikan lagu Indonesia Raya. Akhirnyaupacara peringatan Hari Kemerdekaan RI33 Ibid.

Page 168: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

167Tri Chandra Aprianto: Perampasan Tanah dan konflik .....: 157-168

berjalan lancar, aparat keamanan yang berjagajuga merasakan keharuan tersendiri.34 Begitujuga pada peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desem-ber 2012, Masyarakat Pegunungan Kendengmenggelar peringatan Hari Ibu. Mereka memak-nai ibu sebagai para pejuang bagi masa depananak-anaknya, untuk mempertahankan keles-tarian alam dari ancaman industri tambang.35

E. Kesimpulan

Sedulur Sikep melakukan penolakan atasupaya industrialisasi sebagai bagian dari skemaland grabbing di Pegunungan Kendeng berda-sarkan atas keyakinan mereka yang salah satunyaadalah hubungan antara manusia dengan alam.Rencana industrialisasi di wilayah PegununganKendeng tidak saja mengganggu pencarian naf-kah, tapi juga mengganggu keyakinan yang telahdijalani oleh Sedulur Sikep. Skema ini dalamprakteknya tidak saja menggunakan narasi keke-rasan, tapi juga akademik, kebudayaan dankeagamaan.

Wujud dari perlawanan yang dilakukan olehSedulur Sikep tetap seperti ajaran leluhur mereka,yaitu nir-kekerasan. Mereka lebih memilih jalankebudayaan bersama masyarakat akar rumput,dengan memberi pemahaman, termasuk pema-haman bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Kegiatan upacara peringatan Hari KemerdekaanRI dan peringatan Hari Ibu yang baru lalu meru-pakan bagian dari upaya penyadaran tersebut.

34 Hasil diskusi dengan beberapa orang yang terlibatdalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-67, yangsedang berkunjung ke rumah Gunretno, tanggal 15Desember 2012.

35 Lihat pada Kompas, 23 Desember 2012, hlm. 21.

Daftar Pustaka

Al-Makassary, Ridwan, 2007. Multikulturalisme:Review Teoritis Dan Beberapa Catatan Awal,dalam Mashudi Noorsalim et.all (ed.), HakMinoritas, Multikulturalisme dan DilemaNegara Bangsa, Jakarta: Yayasan Interseksi.

Benda, Harry J. dan Lance Castles, 1969. TheSamin Movement, dalam Bijdragen tot deTaal-, Land- en Volkenkunde 125 (1969), no:2, Leiden, hal 207-240.

Bhabha, Homi K., 1994. Location On History,London: Routledge.

Burke, Peter, 2001. Sejarah Dan Teori Sosial,Mestika Zed, Penterjemah, Jakarta: YayasanObor.

Donham, Donald L., 1999. History, Power, Ideolo-gy: Central Issues in Marxism and Antro-pology, Berkeley and Los Angeles: Univer-sity of California Press.

Giddens, Antony, 1987. Social Theory and Mod-ern Sociology, Stanford: Stanford Univer-sity Press.

Husaini, 2008. Fakta Empiris Atas Pro-KontraRencana Pembangunan Pabrik Semen: PTSemen Gresik Tbk di Kabupaten Pati, JawaTengah, Makalah Tidak Diterbitkan, Ya-yasan Sheep Indonesia.

Hutomo, Suripan Sadi, 1985. Samin Surosentikodan Ajaran-Ajarannya, Basis, Februari 1985.

http://nasional.kompas.com/read/2012/04/16/02044683/Jujur.ala.Sedulur.Sikep

Kartodirdjo, Sartono, 1984. Ratu adil, Jakarta:Sinar Harapan.

Kabupaten Pati dalam angka, BPS, 2012.Kompas, 23 Desember 2012, hlm 21.Koran Tempo “Bibit Waluyo Geram, LSM Son-

toloyo Bubarkan Proyek 5 Trilun,” edisi 25Juli 2009.

Kuntowijoyo, 2008. Penjelasan Sejarah (Histori-cal Explanation), Yogyakarta: Tiara Wacana.

Laporan Penelitian dari tim ASC (AcintyacunyataSpeleological Club) tahun 2008.

Lloyd, Christopher, 1993. The Structures of His-tory, London: Basil Blacwell.

Mardikantoro, Hari Bakti, Pilihan Bahasa Masya-rakat Samin Dalam Ranah Keluarga, Jurnal

Page 169: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

168 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Humanior, volume 24, No. 3 Oktober 2012,hlm 345 – 357.

Nurkhoiron, Muhammad, 2007. Minoritisasi danAgenda Multikulturalisme di Indonesia:Sebuah Catatan Awal, dalam MashudiNoorsalim et.al (ed), Hak Minoritas Multi-kulturalisme dan Dilema Negara Bangsa,Jakarta: Yayasan Interseksi.

Nurkhoiron, Muhammad, 2010. Sedulur Sikep,Sedulur (Saudara) Yang Sering Disalahtaf-sirkan, Jakarta: Desantara.

Pujiriyani, Dwi Wulan Pujiriyani, PerampasanTanah Global Pada Abad XXI, dalam TimPeneliti STPN, 2012. Kebijakan, Konflik, danPerjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21(Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2012),Yogyakarta: PPPM STPN-Press.

Rosyid, Moh, 2008. Penulis buku Samin Kudus:Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Samhadi, Sri Hartati dan Arif, Ahmad, 2008.Investasi Semen: Kami Juga Ingin Maju,dalam Kompas Edisi 1 Agustus 2008.

Touraine, A., 1984. The Return to The Actor, Min-neapolis.

Weiringa, Saskia Eleonora, 1999. PenghancuranGerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta:Kalyanamitra dan Garba Budaya.

Widodo, Amrih, Samin In The New Order: ThePolitic of Encounter and Isolation, hlm 278.

Wolf, Eric, 1983. Petani Suatu Tinjauan Antro-pologis, Jakarta: YIIS dan CV. Rajawali.

Wawancara dengan Gunretno, tanggal 12, 13 dan14 Desember 2012.

Wawancara dengan Gunarti, tanggal 14 Desem-ber 2012.

Wawancara dengan Jumadi, tanggal 15 dan 16Desember 2012.

Diskusi dengan beberapa orang Sedulur Sikepdi rumah Gunretno tanggal 14 Desember2012.

Diskusi dengan beberapa orang yang terlibatdalam upacara peringatan Hari Kemer-dekaan RI ke-67, yang sedang berkunjungke rumah Gunretno, tanggal 15 Desember2012.

Page 170: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

KONTEKSTUALITAS AFFIRMATIVE ACTIONDALAM KEBIJAKAN PERTANAHAN DI YOGYAKARTA

Widhiana Hestining Puri*

Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: The land policy in Yogyakarta Special Province, especially the one related to land ownership by the Indonesian-Chinese blood, is different from that of another region. It is stated on the Governor’s Instruction No. K. 898/I/A/1975 aboutThe Uniformity of Giving the Right on Land Policy to Non Indonesian citizens, Indonesian-Chinese blood which states that theyare not allowed to own the land. The policy is called the affirmative action that is the positive discrimination having theideological purpose of reaching the justice and similarity for The Indonesian origins in Yogyakarta. The affirmative action needssome requirements to get the effective implementation.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: Affirmative action, land policy, Yogyakarta.

Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Kebijakan pertanahan yang berlaku di DIY khususnya dalam pemilikan tanah oleh WNI keturunan Tionghoa berbedadengan daerah lainnya. Berdasarkan Instruksi Kepala Daerah DIY Nomor K. 898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy PemberianHak Atas Tanah kepada seorang WNI Non Pribumi, WNI keturunan Tionghoa tidak diijinkan untuk menguasai tanah dengan statusHak Milik. Kebijakan ini disebut sebagai affirmative action/diskriminasi positif yang memiliki tujuan ideologis untuk mencapaikeadilan dan kesetaraan, khususnya bagi WNI asli/pribumi di DIY. Affirmative action mensyaratkan sejumlah hal dalam pelaksanaannyaagar dapat berlaku secara benar dan efektif. Tulisan ini berusaha mengupas sejauhmana pelaksanaan kebijakan tersebut sekaliguskontekstualitasnya dalam kaitan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan Indonesia dan globalisasi.Kata KKata KKata KKata KKata Kunciunciunciunciunci: Affirmative action, pertanahan, Yogyakarta.

A. Pengantar

“.. Hingar-bingar HUT Ke-64 Kemerdekaan RItahun ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebe-lumnya. Di sela-sela rasa bangga, terselip kepedihan.Akhir Juli 2009, saat mengurus akta jual beli tanahseluas 126 meter persegi (kredit pula) pada seorangnotaris di Sleman, Yogyakarta, keindonesiaan sayakembali dipertanyakan.”1

Negara Indonesia memiliki tujuan utamadalam bidang ekonomi untuk menciptakansebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penge-jawantahan tujuan ini salah satunya terkandungdalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur

bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang ter-kandung di dalamnya dikuasai oleh negara dandipergunakan untuk sebesar-besarnya kemak-muran rakyat.” Sangatlah jelas bahwa negaramemiliki peran strategis sebagai pengembanamanat kedaulatan rakyat untuk menjalankanpemerintahan guna mencapai tujuan-tujuannegara yang telah ditetapkan salah satunyadengan mengatur peruntukan dan penggunaanbumi, air, dan kekayaan alamnya. Negara dibe-rikan kewenangan besar melalui Hak MenguasaiNegara (HMN) yang merupakan gempilan dariHak Bangsa.2 Isi kewenangan HMN tersebut

* Staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional,Yogyakarta.

1 Lihat Kompas 8 September 2009 pada bagian Suratuntuk Redaksi dengan judul “Status Hak Milik Tanah BagiWNI Pribumi dan Keturunan.”

2 Modul Perkuliahan Perbandingan Hukum Tanah.2009. Istilah gempilan ini diperoleh karena HMN dianggapmerupakan bagian kecil bagian dari Hak Bangsa yakni hakseluruh bangsa Indonesia atas tanah diseluruh bagian negaraIndonesia.

Page 171: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

170 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

secara resmi dijabarkan oleh Pasal 2 ayat (2) Un-dang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).3 Tahapan berikutnyasebagai perwujudan HMN ini tentunya dapatkita lihat bagaimana negara melakukan penge-lolaan maupun institusionalisasi lembaga-lem-baga negara yang diberi kewenangan dalammengurusi bumi, air, dan kekayaan alam ini.Sebagai payung hukum dalam pengelolaanpertanahan di Indonesia ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang PeraturanDasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada 24September 1960 dengan Badan PertanahanNasional (BPN) sebagai otoritas yang mengurusipertanahan.

UUPA sebenarnya diharapkan dapat menjadipayung hukum bagi pengelolaan sumber-sum-ber agraria. Namun dalam kenyataannya, UUPAhanya dijadikan acuan oleh BPN atau bidang per-tanahan saja. Sedangkan dimensi agraria yanglain seperti kehutanan, pertambangan, air, sertabidang pembangunan lain yang bersentuhandengan tanah juga memiliki payung hukum sen-diri yang bersifat sektoral. Hal ini tentunya men-dorong munculnya banyak permasalahan dalampengelolaan sumber agraria karena tumpang-tindihnya peraturan hukum yang dijadikan acu-an/the jungle regulation serta egoisme sektoralyang dikembangkan oleh masing-masing insti-tusi.4

Pluralisme hukum dalam bidang pertanahantidak berhenti pada egoisme sektoral kelemba-gaan negara yang mengatur, namun juga masukke ranah sistem pemerintahan. Bentuk negaraIndonesia yang republik tidak memungkinkanadanya negara di dalam negara. Yang ada adalahdaerah di dalam negara dengan memberikankeleluasaan pengembangan potensi daerahmelalui sistem pemerintahan desentralisasi sertapengakuan keistimewaan beberapa daerah/pro-vinsi yang kesemuanya dikukuhkan melaluiperaturan perundang-undangan. Sebut sajasalah satu daerah yang sangat menonjol karenadianggap memiliki “kebijakan pertanahan tersen-diri” adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. DaerahIstimewa mempunyai keistimewaan asal-usul dandi jaman Republik Indonesia mempunyai peme-rintahan yang bersifat istimewa (zelfbesturendelandschappen). Hal ini sangat berkaitan eratdengan sejarah perjuangan pada masa penja-jahan Belanda. Fakta masa lalu memang menun-jukkan adanya perhargaan pemerintah Indone-sia kepada Kasultanan Yogyakarta yang menya-takan diri sebagai bagian dari wilayah Indonesiayang notabene pada saat itu diakui oleh peme-rintah Hindia Belanda telah memiliki kedaulatansendiri. Kita tentunya menyadari bahwa bidangpertanahan mendapatkan dampak juga berda-sarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 ten-tang Pemerintah Daerah ada urusan yang layakdidesentralisasikan kepada derah dan ada yangmenjadi wewenang pemerintah pusat. Masalahpertanahan sebagai masalah yang penting ten-tunya akan ada banyak problematika yang mun-cul ketika ada beberapa aturan hukum yang ber-tentangan. Apalagi praktek yang dilakukan ter-jadi dalam lingkup wilayah yang kecil, misalnya

3 Pasal 2 ayat (2) UUPA mengatur HMN yang mem-beri wewenang untuk: (a) mengatur dan menyelenggarakanperuntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan, air,dan ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, danruang angkasa; serta (c) menentukan dan mengatur hu-bungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum antara orang-orang dan perbuatan-per-buatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

4 Dalam beberapa kesempatan Mantan Kepala BPNJoyo Winoto menyampaikan betapa peliknya masalah agra-ria di Indonesia karena adanya “the jungle regulation.” Halini karena ada banyaknya peraturan perundang-undangan

dalam bidang agraria yang berlaku di Indonesia yang digu-nakan sebagai acuan/payung hukum bagi tiap-tiap sektoragraria yang sebagian besar saling bertentangan dan tum-pang tindih.

Page 172: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

171Widhiana Hestining Puri: Kontekstualitas Aff irmative .....: 169-180

satu provinsi yang dinyatakan istimewa. Contohnyatanya adalah sebagaimana latar belakang ka-sus yang diuraikan diatas. Perlakuan berbedaakan diterima bagi warga negara Indonesia khu-susnya keturunan Tionghoa dalam memiliki hakatas tanah di Yogyakarta dengan di wilayah laindi Indonesia. Kiranya kajian ini akan menjadihal yang menarik serta memberikan pemahamanyang lebih luas bagi kita semua.

Telah ada penelitian sejenis yang dilakukanoleh Hendras Budi Pamungkas di tahun 2006yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Instruk-si Kepala Daerah Daerah Istimewa YogyakartaNomor K.898/I/A/1975 tentang PenyeragamanPolicy Pemberian Hak atas Tanah kepada Seo-rang WNI Non Pribumi”5. Dalam penelitiannya,Hendras menarik kesimpulan antara lain bahwakebijakan pertanahan yang diambil oleh Peme-rintah Kota Yogyakarta dan Kantor PertanahanKota Yogyakarta setelah keluarnya UU Kewar-ganegaraan, mengenai pelayanan pertanahanmasih mengacu pada Instruksi 898/1975. Artinyaeksistensi kebijakan tersebut masih ada dan tetapberlaku. Namun penelitian ini tidak mengkajikontekstualitas kebijakan dimaksud yang olehbanyak kalangan hukum disebut sebagai aff ir-mative action.

Permasalahan yang menggelitik kita semuaadalah bagaimanakah konsep aff irmative actionyang disebut-sebut sebagai diskriminasi positifdalam kebijakan pertanahan di Daerah IstimewaYogyakarta? Bagaimana juga kontekstualitasnyaterhadap kebijakan pertanahan Indonesia secaraluas?

Metode penelitian yang dipergunakan adalahpenelitian hukum kualitatif dengan pendekatan

sosiologis/ empiris. Data-data yang dibutuhkandalam penelitian ini akan diperoleh melalui wa-wancara, observasi dan studi literatur yang terkaiterat dengan praktek kebijakan pertanahan diKantor Badan Pertanahan Nasional (BPN)wilayah Yogyakarta juga melalui bahan hukumlain baik primer maupun sekunder.

B. Yogyakarta Sebagai Daerah“istimewa” Bagi Indonesia

Berbicara soal Yogyakarta, maka kita tidakbisa lepas dari sejarah panjang terbentuknyanegara Republik Indonesia pada masa lalu. Bagai-mana sebuah kasultanan/ kerajaan/daerah swa-praja yang memiliki kedaulatan sendiri secara“legowo” menundukkan diri dan menyatakansebagai bagian dari negara Indonesia yang nota-bene saat itu baru saja berdiri. DIY memiliki luas3.185,80 km2 dan berdasarkan sensus penduduk2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390 jiwadengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986perempuan, serta memiliki kepadatan penduduksebesar 1.084 jiwa per km2.6 Padahal apabila ditilikdari luas wilayah maupun kedaulatan pemerin-tahan pada saat itu, bahkan posisi KasultananYogyakarta lebih luas dan mapan dari pada In-donesia yang baru berdiri. Maka tidak menghe-rankan apabila Yogyakarta menjadi pilihanpertama sebagai lokasi pemindahan ibukotanegara Indonesia sebagaimana pernah terjadi saatJakarta (Batavia) dalam keadaan genting akibatpeperangan dengan Belanda di tahun 1946.7

Posisi Yogyakarta bagi negara Indonesia secarayuridis formil diakui oleh pemerintah melaluipenetapan Daerah Istimewa Yogyakarta berda-

5 Hendras Budi Pamungkas. 2006. Tinjauan YuridisTerhadap Instruksi Kepala Daerah Daerah IstimewaYogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyera-gaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada SeorangWNI Non Pribumi. Pustaka Agraria.org. Diakses tanggal20 Desember 2012.

6 http://yogyakarta.bps.go.id/. Diakses tanggal 20Desember 2012.

7Sejarah mencatat, Indonesia pernah memindahkanibukota sebanyak 3 kali. Peristiwa ini terjadi setelah prok-lamasi kemerdakaan. Setelah Indonesia mendeklarasikankemerdekaannya, situasi di negeri ini belum stabil. Ibukotapernah dipindahkan ke Yogyakarta, Bukittinggi, dan Jakarta.

Page 173: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

172 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

sarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 ten-tang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakartayang mempunyai kewenangan mengatur rumahtangganya sendiri termasuk masalah keagra-riaan. Keistimewaan Yogyakarta diperkuatdengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004Pasal 225 yang menyatakan bahwa:

“Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dandiberikan otonomi khusus selain diatur denganundang-undang diberlakukan pula ketentuan khususyang diatur dengan undang-undang lain.”

Begitu tingginya penghormatan dan penghar-gaan pemerintah bagi Yogyakarta pada masa itu,sehingga pemerintah menetapkan Yogyakartasebagai salah satu provinsi dengan status daerahistimewa di samping Aceh. Banyak keistimewaanlain yang bisa ditonjolkan dari Provinsi Yogya-karta. Bahkan keistimewaan tersebut semakinmenonjol setelah disahkannya Undang-undangNomor 13 Tahun 2012 tentang KeistimewaanDaerah Istimewa Yogyakarta.8

C. Konsep Affirmative Action diIndonesia

Pengertian awal aff irmative action adalahhukum dan kebijakan yang mensyaratkan dike-nakannya kepada kelompok tertentu pemberiankompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi yanglebih proporsional dalam beragam institusi danokupasi. Aff irmative action merupakan diskrimi-nasi positif (positive discrimination) atau lang-kah-langkah khusus yang dilakukan untuk mem-percepat tercapainya keadilan dan kesetaraan.Salah satu sarana terpenting untuk menerapkan-nya adalah hukum. Karena jaminan pelaksana-

annya harus ada dalam konstitusi dan undang-undang. Guna menjamin pemberlakuan haltersebut, UUD 1945 dalam Pasal 23 mengisya-ratkan pelaksanaan kebijakan tersebut di Indo-nesia.

Andri Rusta menjelaskan bahwa aff irmativemempunyai tiga sasaran yaitu:9

1. memberikan dampak positif kepada suatuinstitusi agar lebih cakap memahami sekali-gus mengeliminasi berbagai bentuk rasismedan seksisme di tempat kerja

2. agar institusi tersebut mampu mencegahterjadinya bias gender maupun bias ras dalamsegala kesempatan

3. sifatnya lebih sementara tapi konsisten, ketikasasaran untuk mencapai kegiatan telah ter-capai, dan jika kelompok yang telah dilin-dungi terintegrasi, maka kebijakan tersebutbisa dicabut.Dapat dikatakan bahwa penekanan aff irma-

tive action adalah adanya persamaan/equalitydalam kesempatan dan persamaan terhadap hasilyang dicapai. Negara berkewajiban membuatperaturan khusus bagi mereka yang karena kon-disi dan rintangannya tidak dapat menerimamanfaat dari ketentuan yang bersifat netral tadi.

8 Berdasarkan UU No. 13 tahun 2012, keistimewaanDIY meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugasdan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelemba-gaan pemerintah daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dantata ruang.

9 Jurnal Perempuan #63 “Catatan Perjuangan PolitikPerempuan: Afirmative Action”. Diakses tanggal 25Desember 2012. Ketentuan tentang affirmative action diatur,yaitu dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia pasal 28H ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhakmendapatkan kemudahan dan perlakukan khusus untukmemperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna men-capai persamaan dan keadilan. Pasal ini didasarkan ataskesadaran bahwa satu peraturan yang netral, yang diber-lakukan sama kepada seluruh kelompok masyarakat yangberbeda keadaannya, akan menimbulkan kesempatan danmanfaat yang berbeda yang berdampak lahirnya ketidak-adilan. Dukungan terhadap affirmative action juga terdapatdalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999Tentang Hak Asasi Manusi yaitu “Sistem pemilihan umum,kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistempengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjaminketerwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan”.

Page 174: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

173Widhiana Hestining Puri: Kontekstualitas Aff irmative .....: 169-180

Tindakan ini disandarkan pada fungsi hukumsebagaimana dinyatakan oleh Roscoe Pound yak-ni sebagai sarana untuk mencerminkan keter-tiban dan keadilan (social control), serta melaku-kan rekayasa sosial (social engineering) untukmerubah perilaku masyarakat.10

Istilah aff irmative action memiliki maknaideologis. Sama sekali bukan berarti politik “belaskasihan”. Namun memiliki sebuah cita-cita luhuryang diharapkan di masa mendatang. Jika meli-hat tujuan penerapan kebijakan ini adalah untukmencapai keadilan, maka Aristoteles membeda-kan keadilan dalam 2 jenis.11

1. Justisia distributive yang menghendaki setiaporang mendapat apa yang menjadi haknya.

2. Justisia commutative yang menghendaki se-tiap orang mendapatkan hak yang samabanyaknya (keadilan menyamakan).Indonesia memang menerapkan kebijakan

aff irmative dalam beberapa bidang kehidupanbernegara. Kesemuanya ditetapkan pemerintahsebagai upaya mewujudkan ciri/ prinsip negarahukum (rechtstaat) yang disebutkan dalamUUD 1945.12 Orientasi dan tujuan utama daripelaksanaan aff irmative action oleh negara/ pe-merintah semata-mata adalah untuk mencipta-kan kedudukan yang seimbang diantara kelom-pok masyarakat baik atas dasar gender, ras, faktorekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Keten-tuan tentang aff irmative action diatur jugadalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia Pasal28 H ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiaporang berhak mendapatkan kemudahan dan

perlakukan khusus untuk memperoleh kesem-patan dan manfaat yang sama guna mencapaipersamaan dan keadilan. Pasal ini didasarkan ataskesadaran bahwa satu peraturan yang netral,yang diberlakukan sama kepada seluruh kelom-pok masyarakat yang berbeda keadaannya, akanmenimbulkan kesempatan dan manfaat yangberbeda yang berdampak lahirnya ketidakadilan.Negara berkewajiban membuat peraturankhusus bagi mereka yang karena kondisi danrintangannya tidak dapat menerima manfaatdari ketentuan yang bersifat netral tadi.

Beberapa kebijakan yang secara terbukadiklaim pemerintah sebagai bentuk aff irmativeaction di Indonesia diantaranya adalah:1. Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, danDPRD (UU Pemilu Legislatif) telah mengako-modasi tindakan af irmatif bagi perempuan.Ditentukan bahwa dalam daftar calon legis-latif yang diajukan oleh partai politik, mini-mal harus terdiri dari 30% persen perempuan.Hal ini juga diperkuat dengan beberapaaturan hukum yang mengizinkan pelaksa-naan kebijakan aff irmative tersebut dalamkaitannya dengan gender. Hal ini sebagai-mana diatur dalam UU RI No. 7 Tahun 1984serta Konvensi Penghapusan Segala Ben-tuk Diskriminasi terhadap Wanita;

2. Kebijakan nasional untuk percepatan pem-bangunan sejumlah daerah tertinggal sebagaisuatu tindakan af irmatif (aff irmative action)yang merupakan langkah strategis pemerin-tah dalam upaya pemerataan pembangunan.Berdasarkan sumber dari KementerianNegara Percepatan Daerah Tertinggal, saat inimasih sebanyak 183 kabupaten di Indonesiamasih berstatus daerah tertinggal, sebagianbesar daerah tertinggal ini berada di kawasanIndonesia bagian timur. Sehingga atasdaerah-daerah tersebut dilakukan kebijakandiskriminasi untuk mempercepat kemajuan

10 Esmi Warassih, 2005. Sebagai sarana kontrol sosialhukum berfungsi mempengaruhi warga masyarakat agarbertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskansebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidupdidalam masyarakat. hlm: 120.

11 Esmi Warassih., op.cit. hlm 24-25.12 Lihat UUD 1945. Ditegaskan bahwa Negara Indo-

nesia adalah berdasarkan hukum (rechtstaat) dan bukanberdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).

Page 175: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

174 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

mereka menuju posisi setara dengan daerahlain diantaranya melalui pengalokasian danapembangunan dari Kementerian NegaraPercepatan Daerah Tertinggal.13

D. Kebijakan Pertanahan di Yogyakarta

Kebijakan pertanahan yang berlaku diYogyakarta dapat kita bedakan menjadi 2periode:1. Sebelum pemberlakuan UUPA

Sebagai daerah istimewa, Yogyakarta telahmempunyai kebijakan pertanahan tersendiri.Kebijakan ini diatur dalam UU No. 3 Tahun1950 tentang Pembentukan Daerah IstimewaJogjakarta. Lebih spesif ik lagi, kebijakantersebut diatur dalam Peraturan DaerahNomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanahdi Daerah Istimewa Yogyakarta, kemudianbagi Warga Negara Indonesia KeturunanTionghoa diatur dalam Instruksi KepalaDaerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman PolicyPemberian Hak atas tanah kepada seorangWNI Non Pribumi sebagaimana dinyatakan:“Guna penyeragaman policy pemberian hakatas tanah dalam wilayah Daerah IstimewaYogyakarta kepada seorang Warga negaraIndonesia non Pribumi, dengan ini diminta:Apabila ada seorang Warga Negara Indone-sia non Pribumi membeli tanah hak milikrakyat, hendaknya diproseskan sebagaimanabiasa, ialah dengan melalui pelepasan hak,sehingga tanahnya kembali menjadi tanahnegara yang dikuasai langsung oleh Peme-rintah Daerah DIY dan kemudian yangberkepentingan/melepaskan supaya menga-jukan permohonan kepada Kepala DaerahDIY untuk mendapatkan sesuatu hak”.

2. Setelah lahirnya UUPANamun dalam perjalanan politik dan keta-tanegaraan Indonesia, terjadi perubahan ataskonsep keistimewaan negara ini. Perubahanrejim dari pemerintahan orde lama ke ordebaru menunjukkan juga konsep keagrariaanyang akan dikembangkan. Komitmen untukmewujudkan negara kesatuan yang sentra-listik dan utuh dengan prioritas penangananurusan pemerintahan terpusat mengha-ruskan pemerintah untuk menyeragamkankebijakan pemerintahan bagi semua daerahdi Indonesia. Pada tahun 1984, pemerintahmemiliki komitmen kuat untuk menerapkanUUPA sebagai payung hukum bagi pengelo-laan dan pengaturan sumber agraria di selu-ruh wilayah Indonesia. Komitmen ini ditandaidengan upaya pemberlakuan UUPA secarapenuh di wilayah Yogyakarta berdasarkanKeputusan Presiden No. 33 Tahun 1984, da-lam Pasal 1 disebutkan:

“Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria danperaturan pelaksanaannya, dinyatakan berlakusepenuhnya untuk seluruh wilayah Propinsi DaerahIstimewa Yogyakarta.”

Dan sebagai wilayah yang telah menyatakandiri sebagai bagian dari Indonesia, aturan inijuga di terapkan di Yogyakarta. Untuk pelak-sanaannya dikeluarkannya Keputusan Men-teri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 1984tentang Pelaksanaan Pemberlakukan Sepe-nuhnya Undang-undang Nomor 5 Tahun1960 di Propinsi DIY. Selain itu juga diterbit-kan Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor 3Tahun 1984 tentang Pelaksanaan BerlakuSepenuhnya Undang-Undang Nomor 5Tahun 1960 di Propinsi DIY. Namun, hal yangmenarik di Yogyakarta aturan hukum perta-nahan lama masih diberlakukan sampai saatini. Dalam memberikan pelayanan perta-nahan, dikenal adanya perbedaan antara WNI

13 http://www.pkb-majalengka.or.id/indeks/kemenag-pdt-kembangkan-pertanian-di-daerah-tertinggal. Diaksestanggal 2 Februari 2013.

Page 176: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

175Widhiana Hestining Puri: Kontekstualitas Aff irmative .....: 169-180

pribumi dan WNI keturunan. Hal ini diaturdalam Instruksi Kepala Daerah Daerah Isti-mewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 ten-tang Penyeragaman Policy Pemberian HakAtas Tanah Kepada Seseorang Warga NegaraIndonesia Non-Pribumi. Yang apabila dikajisecara substansial justru akan terlihat adanyapertentangan dengan kebijakan awal tentangpemberlakuan UUPA di Yogyakarta. Kebi-jakan pertanahan yang berlaku di Yogyakartamemiliki kekhususan dan berbeda dengandaerah lain yang lebih dikenal dengan istilahaff irmative action. Berdasarkan instruksi ter-sebut ditetapkan bahwa bagi warga negaraIndonesia non-pribumi hanya diperkenankanuntuk mempunyai hak atas tanah berupa HakGuna Bangunan atau Hak Pakai serta tidakdiperkenankan menjadi pemegang Hak Milikatas tanah. Hal inipun dalam prakteknyamengerucut pada WNI keturunan Tionghoa.Ketentuan ini masih berlaku sampai sekarangdan secara konsisten diterapkan oleh BPN diwilayah Yogyakarta. Akibatnya sudah bisaditebak bahwa muncul banyak keluhan danpengaduan berkenaan dengan hal ini khu-susnya oleh para WNI keturunan yangmengalami kesulitan dalam memperoleh hakmilik atas tanah.Warga negara Indonesia keturunan yang

tinggal dan berdomisili di wilayah Yogyakartamengalami kesulitan untuk memperoleh hakmilik atas tanah. Padahal secara yuridis formal,mekanisme yang dilakukan untuk memperolehhak milik atas tanah telah dilakukan secara benar.Sesuai dengan ketentuan UUPA, cara perolehanhak milik dapat melalui 2 (dua) cara, pertamamelalui penetapan pemerintah. Dalam hal inididahului dengan adanya permohonan untukdapat memperoleh Hak Milik atas tanah untukobyek berupa tanah negara. Permohonan iniakan ditindaklanjuti melalui keputusan pene-tapan pemerintah untuk menolak ataupun

mengabulkan permohonannya. Cara kedua ada-lah karena undang-undang. Terjadinya hak milikkarena ketentuan undang-undang dalam hal iniadalah karena ketentuan konversi. Konversiadalah penyesuaian hak atas tanah yang lamabaik yang berdasarkan Hukum Barat (Hak Barat)dan Hukum Adat (Hak Indonesia) ke dalamsistem hukum yang baru, yakni yang berda-sarkan UUPA. Melalui UU ini akan dilihat kese-suaian jenis hak atas tanah lama yang adadengan hak baru yang ditetapkan melalui UUPA.Namun tentunya juga dengan melihat karakte-ristik hak yang ada, misalnya syarat tentang sub-yek hak yang berkaitan erat dengan kewargane-garaannya. Perlu diperhatikan bahwa hak milikhanya dapat dimiliki oleh orang Indonesiadengan kewarganegaraan tunggal serta beberapabadan hukum tertentu yang ditentukan menu-rut peraturan undang-undang. Kesemua hakmilik yang muncul pertama kali tersebut wajibdidaftarkan untuk diterbitkan sertif ikat buktikepemilikan yang memiliki kekuatan pembuk-tian kuat. Dari proses-proses awal terbitnya hakmilik pertama kali tersebut, dalam perjalanannyaakan terjadi peralihan baik melalui perbuatanhukum maupun karena peristiwa hukum. Pera-lihan hak milik melalui jual beli adalah hal yangpaling jamak terjadi sebagai bentuk peralihankepemilikan tanah. Melalui jual beli, akan terjadiperalihan subyek pemegang hak milik dari pemi-lik awal kepada pembeli tanah yang baru. Prosespendaftaran tanah yang dilakukan selanjutnyabertujuan untuk melakukan perubahan penye-suaian data terhadap sertif ikat bukti kepemilikantanah dengan data pemilik yang baru. Pendaf-taran tanah diatur dalam Peraturan PemerintahNo. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.Selanjutnya peraturan ini ditindaklanjuti denganPeraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPNPerkaban No. 3 Tahun 1997 tentang ketentuanPelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah. Dalam

Page 177: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

176 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

proses pendaftaran tanah/jual beli inilah umum-nya mulai muncul permasalahan.14 Karakteristikhak milik sebagai hak yang terkuat dan terpenuhatas tanah membuatnya berada pada tingkattertinggi sehingga secara otomatis ia tidak bisalagi di tingkatkan menjadi bentuk hak atas tanahyang lain, namun justru bisa diturunkan kepadabentuk lain apabila persyaratan tentang subyekdan peruntukannya dinilai tidak sesuai olehpemerintah dalam hal ini BPN. Hal ini diaturdalam Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepa-la BPN No. 16 Tahun 1997 tentang PerubahanHak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan/ HakPakai dan Hak Guna Bangunan menjadi HakPakai.

Kemungkinan hak milik menjadi HGU bisaterjadi setelah melalui beberapa tahapan. Karenaseperti juga kita ketahui bahwa HGU hanya ter-jadi di atas tanah negara. Artinya ada prosespelepasan/penyerahan hak atas tanah kepadanegara untuk kemudian tanah tersebut dimo-honkan HGUnya oleh pengusaha perkebunan.Dan ketika HGU berakhirpun, tanah tersebutakan kembali menjadi tanah negara. Konsekuen-si selanjutnya ketika terjadi peralihan kepemi-likan kepada WNI keturunan di wilayah Yogya-karta, maka berdasarkan pada Instruksi KepalaDaerah tersebut diberlakukan ketentuan perta-nahan yang secara tidak langsung mempersa-makan WNI keturunan dengan WNA. Keten-tuan tentang perolehan hak atas tanah bagiWNA di Indonesia juga diberlakukan kepadaWNI keturunan.

Bagan Proses Peralihan Hak Milik diYogyakarta

Sebagaimana disebutkan dibagian awal, BPNyang bertindak sebagai pengelola administrasipertanahan dalam kegiatan pendaftaran tanahselanjutnya melakukan penilaian untuk memas-tikan bahwa persyaratan perolehan hak milik atastanah terpenuhi. Secara substansial berdasarkanUUPA, maka dapat dikatakan tidak ada masalah.Namun ketika ketentuan lama berupa InstruksiKepala Daerah tentang Penyeragaman PolicyPemberian Hak Atas Tanah Kepada SeseorangWarga Negara Indonesia Non-Pribumi makasecara khusus mempersempit subyek hak milikmenjadi hanya warga negara Indonesia pribumi.Dan kepada para pemohon hak milik yang meru-pakan WNI keturunan diberikan hak atas tanahdalam bentuk yang lain. Seperti halnya ketentuanUUPA yang diberlakukan bagi WNA untukdapat memperoleh hak atas tanah. Hal ini masihdiikuti syarat yang wajib dilaksanakan seperti:15

1. Pewarisan/hibah. Kepada mereka yang tidakmemenuhi persyaratan sebagai pemeganghak milik atas tanah (subyeknya), diberikanjangka waktu selama 1 (satu) tahun untukmengalihkan hak milik tersebut kepada or-ang lain.

2. Ketentuan lain menerangkan bahwa terha-dap WNA dimungkinkan menjadi pemeganghak atas tanah di Indonesia dengan status hakguna usaha atau hak pakai, sesuai peruntukantanah tersebut.Seharusnya dengan pemberlakuan Undang-

undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewargane-

Tanah

Hak MilikPeralihan

Subyek Pemohon WNI Pribumi Subyek Pemohon WNI Keturunan

Hak Milik Hak Pakai HGB

BPN

14 Hambali Thalib, 2009. Sanksi Pemidanaan dalamKonflik Pertanahan, Kebijakan Alternatif PenyelesaianKonflik Pertanahan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana.Jakarta: Prenada Media Group. 15 Lihat Pasal 21 UUPA.

Page 178: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

177Widhiana Hestining Puri: Kontekstualitas Aff irmative .....: 169-180

garaan, kita sudah tidak mengenal istilah WNIketurunan. Karena berdasar UU ini, Indonesiahanya mengenal pembagian penduduk dalamWNI dan WNA. Penggolongan struktur masya-rakat Indonesia pernah terjadi di Indonesia. Padamasa penjajahan Belanda, di Indonesia dikenalpenggolongan masyarakat yang secara otomatisjuga akan berkaitan dengan hukum mana yangakan berlaku atas golongan tersebut. AdalahPasal 163 Indische Staatsregeling (IS) yaitu sebuahpasal yang mengatur pembagian golongandihadapan hukum pada jaman kolonial Belandadi Indonesia. Pasal ini baru berlaku sejak IndischeStaatsregeling mulai berlaku pada tahun 1926.Golongan masyarakat Indonesia pada waktu itu,dibagi menjadi 3 golongan yaitu Golongan Ero-pa, Golongan Timur Asing, dan GolonganIndonesia (Bumiputera).16 Adapun alasan perlu-nya penggolongan masyarakat pada masa ituadalah:1. Kebutuhan masyarakat menghendakinya,

maka akan ditundukkan pada perundang-undangan yang berlaku bagi Golongan Eropa.

2. Kebutuhan masyarakat menghendaki atauberdasarkan kepentingan umum, maka pem-bentuk ordonansi dapat mengadakan hukumyang berlaku bagi orang Indonesia dan TimurAsing atau bagian-bagian tersendiri darigolongan itu, yang bukan hukum adat bukanpula hukum Eropa melainkan hukum yangdiciptakan oleh Pembentuk UU sendiri.Namun tentunya ketentuan ini sekarang

tidak lagi berlaku. Hanya saja, seolah ada feno-mena hal yang serupa terjadi saat ini. Jika di masalalu pemerintah kolonial yang memberlakukanaturan yang merugikan golongan lain, pemerin-tah Yogyakarta juga membuat semacam peng-golongan yang membawa konsekuensi serupa.

Pro dan kontra atas pemberlakuan kebijakanpertanahan ini tentunya ada, bahkan kianmenguat. Pihak yang mendukung kebijakan iniberalasan bahwa kebijakan yang ada merupakanbentuk aff irmative action bagi masyarakat pri-bumi Yogyakarta. Namun pihak yang menentangkebijakan ini memiliki lebih banyak alasan yangmenguatkan. Pertimbangan yang dijadikan alasan diantaranya adanya pernyataan penggunaanUUPA untuk wilayah Yogyakarta, UU Kewarga-negaraan, UU HAM, dan lain sebagainya. Bah-kan penetapan UU keistimewaan Yogyakartabeberapa waktu yang lalu juga memberikan im-plikasi atas kebijakan ini di ranah implementasi.

E. Kontekstualitas Affirmative ActionDalam Bidang Pertanahan

Kita tentunya sudah tidak asing dengan istilahkontekstualitas yang seringkali muncul dalamberbagai perbincangan dewasa ini. Kontekstuali-tas berdasarkan kamus besar bahasa Indonesiaberarti mengembalikan/melakukan kajiandengan merujuk pada teks kalimat yang ada.Konstitusi Indonesia mengadopsi prinsip perbe-daan (difference principle), pada Pasal 28H ayat(2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang ber-hak mendapat kemudahan dan perlakuan khususuntuk memperoleh kesempatan dan manfaatyang sama guna mencapai persamaan dan ke-adilan”. Hal ini menjadi dasar penerapan aff ir-mative action atau positive discrimination secarakonstitusional. Sebagaimana telah dikemukakandiawal bahwa aff irmative action ini bukan meru-pakan kebijakan “belas kasih” namun dilaksa-nakan untuk mencapai tujuan tertentu. Adabeberapa faktor yang bisa kita gunakan untukmenilai kebijakan pertanahan yang terkandungdalam Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yog-yakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penye-ragaman Policy Pemberian Hak atas tanahkepada seorang WNI Non Pribumi:1. Merupakan sebuah kebijakan yang memiliki

16 Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia,Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isidan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan. hlm 53.

Page 179: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

178 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

tujuan tertentu dalam rangka mencapai kese-taraan/kedudukan seimbang dari suatukelompok tertentu;

2. Konsisten dan memiliki jangka waktu yangterbatas/bersifat sementara;

3. Adanya pengawasan.Kita perlu mengupas kebijakan ini secara lebih

mendetail berdasarkan persyaratan sebuahkebijakan disebut sebagai aff irmative action. Halpertama yang harus kita lihat adalah pada tujuanimplisit dari kebijakan ini. Kebijakan ini berusahamelindungi tanah-tanah yang ada di Yogyakartaagar tidak sepenuhnya dikuasai/dimiliki olehWNI non pribumi. Luas wilayah di Yogyakartasendiri adalah sekitar 3.185,80 km2 dengan jum-lah penduduk pada tahun 2010 sebanyak3.452.390 jiwa. Dari data ini dapat kita rincidengan suku bangsa yang mendiami wilayahYogyakarta sebagaimana tercantum dalam tabelberikut ini:

Tabel Komposisi Suku Bangsa di WilayahYogyakarta

Sumber: Data BPS tahun 2010.

Dari data ini kita tentunya bisa melihat, bahwaalasan penerapan kebijakan tersebut tentunya

bukan pada tinjauan kuantitas/jumlah populasiantara warga pribumi dan non pribumi khu-susnya Tionghoa. Data yang hampir sama jugaditunjukkan pada periode tahun 1811-1816,jumlah etnis Tionghoa di Yogyakarta sebesar2.202 jiwa dengan rincian sebanyak 1.201 laki-lakidan 1.001 perempuan.17 Namun kita tentunyapaham, bahwa sejarah panjang perjuanganbangsa Indonesia khususnya masyarakatYogyakarta melawan para penjajah, menempat-kan masyarakat asli sebagai golongan dengantingkat pendidikan, ekonomi, sosial, dan bahkankesehatan yang rendah. Golongan seperti timurasing/Tionghoa terkenal memiliki kemampuanekonomi, etos/budaya kerja, serta kemampuankomunikasi dan bisnis yang sangat tinggi. Halini tentunya membawa kekhawatiran tersendiridari pemerintah Yogyakarta. Sebagai kelompoketnis terbesar ketiga di Yogyakarta, etnis Tiong-hoa memang terkenal memiliki jiwa bisnis danperdagangan yang sangat kuat. Bahkan tidakjarang untuk memperkuat jaringan bisnisnyamereka tidak segan merantau atau membeliproperti khususnya tanah guna kelancaranusahanya. Hal ini ditambah lagi dengan catatansejarah yang menunjukkan bahwa pernah ter-jadi gerakan perlawanan dari etnis Tionghoapada masa pra kemerdekaan yang akhirnyamenyebabkan pecahnya Kerajaan Mataram.Berbagai faktor tersebut tentunya menyumbanglahirnya pemikiran dan kekhawatiran di masadepan yang turut membawa dampak padapenguasaan tanah yang luasnya terbatas namundidesak dengan permintaan yang tinggi. Olehkarenanya tidak mengherankan apabila asumsiinilah yang mendasari keluarnya kebijakan pem-batasan penguasaan tanah tersebut khususnya

No Suku Bangsa Jumlah PopulasiKonsentrasi

(%)

1 Jawa 3.020.157 96,82

2 Sunda 17.539 0,56

3 Melayu 10.706 0,34

4 Tionghoa 9.942 0,32

5 Batak 7.890 0,25

6 Minangkabau 3.504 0,11

7 Bali 3.076 0,10

8 Madura 2.739 0,09

9 Banjar 2.639 0,08

10 Bugis 2.208 0,07

11 Betawi 2.018 0,06

12 Banten 156 0,01

13 Lain-lain 36.769 1,18

17 Data diperoleh dari Catatan Raffles saat menjabatsebagai Gubernur Jenderal di Jawa. Di mana saat itu masya-rakat Tionghoa terkonsentrasi di sekitar pasar, di antarabenteng Belanda (Vredeburg) dan Kepatihan Danurejan.

Page 180: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

179Widhiana Hestining Puri: Kontekstualitas Aff irmative .....: 169-180

dikalangan pengambil kebijakan. Sedangkanditataran implementasi, BPN maupun PejabatPembuat Akta Tanah (PPAT) di wilayah Yogya-karta hanya sekedar melaksanakan ketentuandan aturan yang telah ada tersebut sampaidengan sekarang.

Faktor kedua adalah bahwa kebijakan ini telahberlangsung selama hampir 37 (tiga puluh tujuh)tahun secara konsisten. Bahkan ditengah per-kembangan dan menjamurnya berbagai pera-turan perundangan yang silih berganti hadirkhususnya dalam bidang pertanahan, kebijakanini tetap berjalan dan eksis. Namun sedikit ironissaat aff irmative action yang dinyatakan sebagaisebuah kebijakan yang sifatnya sementara initidak jelas kapan masa berlakunya. Hal ini ten-tunya mengundang tanya, karena kebijakan inijika kita kaji dari sudut perundang-undanganlain bisa dikatakan merupakan kebijakan yangdiskriminatif. Hal ini akan terdengar rancu jugasaat secara suka rela Yogyakarta menyatakan dirimenerima dan menyatakan berlaku sepenuhnyaUU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan DasarPokok-Pokok Agraria. Jika dengan dalih gunamemberi keadilan bagi masyarakat pribumi,maka perlu penegasan mengenai jangka waktumaupun ukuran pencapaian kesetaraan yang di-maksud dan kiranya perlu menghilangkan stig-ma negatif.

Kajian sejarah perlu juga dilakukan untukmelihat nuansa politik lahirnya kebijakan yangbersumber pada Instruksi Kepala Daerah DIYtentang Penyeragaman Policy Hak Atas TanahBagi Warga Negara Indonesia Non pribumi yangdikeluarkan pada tahun 1975. Pada periode ter-sebut (1954-1984) urusan agraria/pertanahanmerupakan urusan rumah tangga DIY. DimanaPemerintah DIY berhak memberikan hak milikturun temurun atas bidang tanah kepada WNI.Sehingga kebijakan yang ada tersebut tentunyatidak bermasalah karena memang didasarkanpada kewenangan yang dimiliki oleh Pemda.

Semangat mewujudkan prinsip “equality beforethe law” dan keadilan melalui pencapaian kondisiyang setara antar masyarakat pribumi yang serbaterbatas kondisi perekonomiannya serta WNIketurunan yang memang sejak awal teristime-wakan dengan kebijakan warisan KolonialBelanda. Latar belakang ideologis inilah yangmenggerakan Pemerintah Daerah dalam hal iniuntuk menerapkan kebijakan pertanahan yangmampu mengayomi masyarakat dan agar tetapmemberi ruang bagi mereka yang memiliki ke-mampuan ekonomi/modal yang terbatas. Na-mun memang seiring dengan perkembanganjaman serta perkembangan peraturan perun-dang-undangan yang berlaku di Indonesia,terdapat beberapa hal yang kiranya bertentangandengan semangat keadilan dan prinsip hukum“equality before the law”. Hal ini sebagaimanaketentuan tentang subjek hak milik dan peris-tilahan WNI keturunan yang termuat dalam UUNo. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan,UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan DasarPokok-pokok Agraria, UU No. 39 Tahun 1999tentang Hak Asasi Manusia maupun juga PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian UrusanPemerintahan antara Pemerintah, PemerintahDaerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabu-paten/Kota, dalam bidang pertanahan.

F. Kesimpulan

Konstitusi negara kita yaitu UUD 1945 telahsecara tegas menyatakan bahwa negara Indone-sia adalah berdasarkan atas hukum sebagaimanadimuat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konse-kuensi logis yang tentunya harus kita terimaadalah bahwa berbagai elemen/ciri negara hu-kum harus ada di Indonesia. Salah satu elemennegara hukum yang berusaha diwujudkan diIndonesia adalah prinsip equality before the lawatau prinsip persamaan kedudukan di depanhukum. Pemaknaan prinsip ini harus kita lihatsecara luas dalam koridor tujuan negara hukum

Page 181: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

180 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

18 Konsep affirmative action merupakan sebuah kebo-lehan yang diijinkan dan dibenarkan dalam rangka mencapaikesetaraan atas sebuah kondisi yang melibatkan kelompoktertentu yang memiliki kedudukan tidak seimbang.

untuk mewujudkan welfare state. Prinsip iniberusaha memberikan penghormatan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusiatermasuk hak asasi manusia untuk dihormatisecara seimbang di mata hukum. Prinsip ini tidakmemperkenankan segala bentuk perilaku tin-dakan diskriminatif dalam segala bentuk danmanifestasinya, kecuali tindakan-tindakan yangbersifat khusus dan sementara yang dinamakanaff irmative action guna mendorong dan mem-percepat kelompok masyarakat tertentu ataukelompok warga masyarakat tertentu untukmengejar kemajuan sehingga mencapai tingkatperkembangan yang sama dan setara dengankelompok masyarakat kebanyakan yang sudahjauh lebih maju.18 Sasaran aff irmative actionterhadap WNI Pribumi lebih didasarkan padafaktor ekonomi, kondisi wilayah/ geografis, sertatinjauan sejarah masa lalu. Namun dengan me-lihat perkembangan peraturan perundang-un-dangan yang berlaku di Indonesia serta sebagaipenghormatan atas hak asasi manusia di Indo-nesia, kebijakan pertanahan ini perlu mendapat-kan penyempurnaan. Perlu pembatasan yanglebih tegas dan jelas mengenai jangka waktunyaserta keserasian dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Daftar Pustaka

Ani Widyani Soetjipto. 2005. Politik PerempuanBukan Gerhana, Jurnal Perempuan #63“Catatan Perjuangan Politik Perempuan:Af irmative Action”. Diakses tanggal 25 De-sember 2012.

Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indone-sia, Sejarah Pembentukan Undang-undangPokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Ja-karta: Djambatan.

Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum, SebuahTelaah Sosiologis. Semarang: PT. Suryan-daru Utama.

Hambali Thalib. 2009. Sanksi Pemidanaan dalamKonflik Pertanahan, Kebijakan AlternatifPenyelesaian Konflik Pertanahan di LuarKodif ikasi Hukum Pidana. Jakarta: PrenadaMedia Group

Hendras Budi Pamungkas. 2006. Tinjauan Yuri-dis Terhadap Instruksi Kepala Daerah Da-erah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman PolicyPemberian Hak Atas Tanah Kepada SeorangWNI Non Pribumi. Pustaka agrarian.org.Diunduh tanggal 20 Desember 2012.

Kompas. 8 September 2009. Surat untuk Redaksi:“Status Hak Milik Tanah Bagi WNI Pribumidan Keturunan.”

Oloan sitorus dan Rofiq Laksamana. 2009. ModulPerbandingan Hukum Tanah. Yogyakarta:STPN. Tidak diterbitkan.

Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta: SinarGraf ika.

http://yogyakarta.bps.go.id/. Diakses tanggal 20Desember 2012.

http://www.pkb-majalengka.or.id/indeks/kemenag-pdt-kembangkan-pertanian-di-daerah-tertinggal. Diakses tanggal 2Februari 2013.

Page 182: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

DILEMATIKA PELAKSANAAN OTONOMIDI BIDANG PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM/AGRARIA

Sarjita*

AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: The management of natural/agrarian resources in the reformation era influence the governance of the governmentafter Amendment of the 1945 Constitution. The article is aimed at analyzing the crusial problems related to the right of thecentral government on managing (the land, forestry, mining, and taxation) problems. Yet, at present, those duties are imple-mented by the provincial and regional governments. The result of the analysis showed that the implementation caused thedecrease of the environmental quality, overlapping of services and so forth. Therefore, to make the regulations accord with theconstitution, the break law by the judges of the constitutional court was badly required.KeywordsKeywordsKeywordsKeywordsKeywords: dilemma, implementation, management natural/agrarian resources.

IntisariIntisariIntisariIntisariIntisari: Dilematika pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam pada era reformasi dengan sistem penyelenggaraanpemerintahan yang menerapkan pembagian kewenangan pemerintahan oleh Pemerintah (pusat/sentralisasi), Pemerintahan Daerah(desentralisasi), telah mewarnai tata kelola pemerintahan paska amademen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Tulisan ini berkehendak mengurai beberapa persoalan krusial terkait pelaksanaan kewenangan pemerintahan (pertanahan, kehutanan,pertambangan, dan perpajakan) yang semula merupakan kewenangan Pemerintah (Pusat), kemudian sebagian dilaksanakan,didesentralisasikan kepada pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, beserta permasalahan yang timbul sebagai ikutannya. Hasilanalisis/kajian menunjukan, bahwa pelaksanaan kewenangan di bidang pengelolaan sumber daya agraria/alam terjadi “slenco”alias tidak sinkron, bahkan belum optimal dan menyeluruh, serta mengakibatkan degradasi/penurunan kualitas lingkungan,tumpang tindih (overlapping) penanganan pelayanan, dll. Oleh karena itu, untuk menjaga agar regulasi pengelolaan sumber dayaAgraria/Alam senafas dengan konstitusi, diperlukan terobosan “break law” oleh hakim MK melalui sarana judicial review.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: Dilematika regulasi dan implementasi, tata kelola sumber daya agraria/alam, era reformasi.

A. Pengantar

Mencermati secara seksama, problematikayang muncul dalam berbangsa dan bernegaraIndonesia, mendorong kita untuk lebih menda-lami dan mengkaji amanah para pendiri negara(the funding fathers) yang terkandung di dalamkonstitusi negara Republik Indonesia (UUD1945). Konstitusi tersebut merupakan hasil ke-

adaan materiil dan spiritual masa yang berlang-sung saat dibentuk UUD 1945 sebagai dokumenformal, tertulis serta mengisyaratkan hal-halsebagai berikut: 1) hasil perjuangan politik bangsadi waktu lampau; 2) tingkat-tingkat tertinggi per-kembangan ketatanegaraan bangsa; 3) pan-dangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwu-judkan baik untuk waktu sekarang maupununtuk masa yang akan datang; dan 4) suatu ke-inginan dengan mana perkembangan kehi-dupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.

Dengan memperhatikan secara substantifUUD 1945, maka sangat benar dan tepat apa yangdikemukakn oleh N. Navi Pillay (Komisioner

* Dosen/Ketua Jurusan Manajemen Pertanahan padaSTPN dan Dosen Luar Biasa Mata Kuliah HTN, HukumKepartaian dan Pemilu serta Hukum Konstitusi pada Fakul-tas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Page 183: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

182 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa) seba-gaimana dilontarkan pada Bali Democracy Fo-rum: 8-9 November 2012 di Nusa Dua Bali. Beliaumenyatakan bahwa “Pemerintah harus melaksa-nakan konstitusi, termasuk menunjukan bahwaseluruh peraturan harus mematuhi konstitusi.Pemerintah juga harus memastikan bahwa setiaporang yang tinggal di Indonesia dilindungi hakazasinya.”1

Realitas sosial yang muncul, menunjukantelah terjadi kecenderungan dalam formulasi/perumusan regulasi di bidang pengelolaan sum-berdaya alam/agraria, yaitu mengalami krisisorientasi harmonisasi dan keberlanjutan yangbersifat krusial. Hal tersebut dibuktikan dengantelah dikabulkannya oleh Mahkamah Konstitusiterkait dengan pengujian/judicial review ter-hadap beberapa UU yang mengatur pengelolaanSDA dan secara substantif bertentangan denganUUD 1945. Beberapa UU terkait dengan penge-lolaan Sumberdaya Alam/Agraria tersebut,antara lain sederet Putusan MK, masing-masingNomor 10/PUU-X/2012 tertanggal 20 November2012 – UU Nomor 4 Tahun 2009 ttg Minerba,Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011 tertanggal9 Pebruari 2012 – UU Nomor 41 Tahun 1999tentang Kehutanan, Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 tertanggal 9 Juni 2012- UU Nomor 27Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau-Pulau Kecil, Putusan MK Nomor 55/PUU-VIII/2010 – UU Nomor 18 Tahun 2004 ten-tang Perkebunan, Putusan MK Nomor 21/PUU-V/2008, PUU Nomor 22/PUU-V/2008 tertanggal25 Maret 2008 – UU Nomor 25 Tahun 2007tentang Penanaman Modal, Putusan MK Nomor02/PUU-I/2003 – UU Nomor 21 Tahun 2002tentang Migas, Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tertanggal 13 November 2012–UU Nomor

22 Tahun 2001 tentang Migas, dan hanya satuUU yang lolos dari judicial review (ditolak/tidakdikabulkan) MK, yaitu Putusan MK Nomor 58/PUU-II/2004, 59/PUU-II/2004, 60/PUU-II/2004,63/PUU-II/2004 – UU Nomor 7 Tahun 2004tentang Sumber Daya Air.

Dengan mencermati secara substantif dalildan alasan beberapa putusan MK tersebut,mengisyaratkan kepada Badan Legislatif (DPR)untuk secara jernih memikirkan ulang bagai-mana menjalankan/mengemban amanah UUD1945 agar keberadaan Konstitusi (UUD 1945)benar-benar menampung/mengejawantahkansuatu keinginan dengan mana perkembangankehidupan ketatanegaraan bangsa yang hendakdipimpin.

Sudahkan terwujud sendi-sendi kehidupanyang berkeadilan di dalam masyarakat sebagaitugas utama negara? Tugas negara yang utama2

yaitu, Pertama: memberikan perlindungan kepa-da penduduk dalam wilayah tertentu; Kedua:mendukung atas atau langsung menyediakanpelbagai pelayanan kehidupan masyarakat dalambidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan; Ketiga:menjadi wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat sertamenyediakan suatu sistem yudisial yang men-jamin keadilan dasar dalam hubungan sosialmasyarakat.

Realitas lain yang ditemukan adalah, terja-dinya berbagai tindak pidana, diberbagai lini,baik legilatif, eksekutif maupun yudikatif, diranah pemerintah pusat, daerah Provinsi danKabupaten/Kota, bahkan telah merasuk ke pe-merintah desa. Di Bidang eksekutif, dan legislatif,dan yudikatif ternyata apa yang dilaksanakanoleh para pemimpin, wakil kita di parlemen,

1 Koran Tempo, “Seluruh Peraturan Harus PatuhiKonstitusi”, 16 November 2012, hlm. A14.

2 Frans Magnis Suseno, 2001. Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, hlm. 316-317.

Page 184: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

183Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195

bahkan yang seharusnya memberikan keadilansebagai wakil Tuhan di bumi (hakim) banyakyang masih tidak nyambung alias “slenco”3 yangterjadi dalam hal korupsi, bahkan dalam tata poli-tik. Kondisi yang demikian ini, besar kemung-kinan terjadi pula di lingkungan sekitar kita,cuma mau melihat secara jernih atau tidakdengan hati nurani. Tidak jarang pula kemam-puan melihat dengan mata hati atau “biso ru-mongso” dalam menyikapi persoalan telah tum-pul, sebaliknya sikap “rumongso biso” yang akhir-nya masuk ke ranah panca indra yang akhirnyatidak lagi mengilhami yang seharusnya untukmenangkap makna yang sejatinya, untuk apamereka sebenarnya dipilih menjadi pemimpin,wakil rakyat dan Tuhan di bumi menjadi terge-rus atau sirna? Jadi, “slenco” telah merambahhampir di setiap perilaku kehidupan manusiadalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,kuncinya satu yaitu masihkah mempunyai rasa“malu” dan mau hidup “sederhana”.

Demikian pula, kita susah menemukan lagisosok/f igur pimpinan atau wakil rakyat yangsepadan dengan tokoh “Sukrasana”4 dalamkehidupan saat ini. Sukrasana, adalah tokohdalam pewayangan yang buruk muka tetapi saktidan berwatak mulia, “mrantasi” alias memberisolusi. Berorientasi untuk mewujudkan nilai-nilai ideal kehidupan, pencapaian cita-cita yangmembawa kemaslahatan bagi orang banyak.Yang terjadi sebaliknya muncul tokoh ala “Arju-na” baik di Pusat maupun di daerah yang denganpolesan gincunya, yang dibisiki oleh para rak-sekso–rakseksi untuk menggunakan kas kera-jaan demi kepentingan diri sendiri dan keluar-ganya atau kroni-kroninya, mereka mengerogotisecara sistematis mulai dari saat penganggaransampai eksekusinya.

Dampak dari semua itu adalah semakin me-lemahnya semangat untuk mencapai ataumewujudkan sendi-sendi berkehidupan yangberkeadilan bagi masyarakat. A. Zen UmarPurba,5 menyatakan bahwa “Tidak mudahberusaha di Indonesia”, Hasil survei berbagaiperaturan di 183 negara itu menempatkan Indo-nesia di posisi ke-129 pada tahun 2012, yangberarti mundur dari kursi 126 untuk tahun 2011.Selanjutnya diukur dari 10 pembukaan bidangusaha, pengurusan izin usaha kontruksi, pem-prosesan listrik, pendaftaran properti, perolehankredit, perlindungan investor, pembayaran pajak,perdagangan lintas negara, pelaksanaan kontrakdan penutupan usaha. Kemudian dikaji darikemudahan berusaha secara keseluruhan,menempatkan Indonesia berada pada posisi pal-ing buruk/urutan ke-155 terkait di bidang usahadan pelaksanaan kontrak. Pendapat senada,dikemukakan oleh Nico Kanter6 (C.E.O PT. ValeIndonesia), perusahaann yang bergerak di bi-dang pertambangan Nikel dan Bijih Besi.Menyatakan bahwa masih peliknya Kepastianhukum. Belum lagi soal pinjam pakai kawasanhutan, merupakan urusan yang cukup pelikkarena melibatkan dari pemerintah kabupaten-Pusat, dan harus dapat menjebatani antara kepen-tingan investasi perusahaan, pemerintah danpemodal. Titik krusialnya terletak pada regulasidan kebijakan serta implementasi di lapangan, danbersentuhan dengan masyarakat hukum adat.

Berangkat dari beberapa uraian/paparan ter-sebut di atas, dalam makalah ini akan disajikanproblematika regulasi dan solusi otonomi/pelim-pahan wewenang pengelolaan di bBidang Sum-berdaya Alam/Agraria.

3 Sindhunata, “Slemco”, Kompas, 2013.4 Indra Tranggono, Mencari “Sukrasana”, Kompas,

2013.

5 Zen Umar Purba, “Tidak Mudah berusaha di Indo-nesia”. Koran Tempo, 19 November 2012, hlm. A8.

6 Nico Kanter, “Peliknya Kepastian Hukum”,Kompas, 4 Februari 2013.

Page 185: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

184 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

B. Menuju Kepastian dan KeadilanTenurial

Kita memerlukan sebuah arah perubahankebijakan penguasaan kawasan hutan untukmencapai kepastian dan keadilan tenurial. Idepemikiran ini pernah di sampikan oleh berbagaikelompok Lembaga Swadaya Masyarat/LSM(HuMa, WG-Tenure, FKKM, KPSHK, AMAN,Karsa, dll.) pada tahun 2011. Kemudian pada awaltahun 2013 disuarakan dalam Petisi/Surat Ter-buka kepada Presiden terkait dengan ForumIndonesia Untuk Keadilan Agraria yang diketuaioleh Dr. Soerjo Adiwibowo dengan dukunganpara Akademisi Perguruan Tinggi yang konsenpada masalah/persoalan Agraria, Peneliti, Tokoh-Tokoh Masyarakat (terlampir). Para pegiat agra-ria itu menyampaikan gagasan berupa 3 (tiga)arah perubahan yaitu:1. Perbaikan kebijakan dan percepatan proses

pengukuhan kawasan hutan;a. Pengukuhan Kawasan Hutan

Regulasi pengukuhan kawasan hutan,semua diatur dalam Permenhut No. P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Statusdan Fungsi Kawasan Hutan, PermenhutNomor P.50/Menhut-II/20011 tentangPengukuhan Kawasan Hutan. Kedua pera-turan Menteri Kehutanan tersebut, telahdicabut dan dinyatakan tidak berlakuberdasarkan ketentuan Pasal 64 Permen-hut Nomor P.44/Menhut-II/2012 tertanggal11 Desember 2012 tentang PengukuhanKawasan Hutan. Untuk memberikan ke-pastian hukum atas kawasan hutan, dila-kukan proses pengukuhan kawasan hutan.Tahapan atau proses pengukuhan ka-wasan hutan ini diawali dengan penun-jukan kawasan hutan, penataan batas ka-wasan hutan, penetapan kawasan hutan.Selanjutnya ditindaklanjuti dengan ke-giatan penunjukan dengan KeputusanManteri, pelaksanaan tata batas; pembu-

atan Berita Acara Tata Batas KawasanHutan yang ditandatangani oleh PanitiaTata Batas atau Pejabat yang berwenang;dan penetapan dengan Keputusan Men-teri.Penunjukan kawasan hutan untuk wila-yah tertentu yang secara parsial dapatdilakukan pada areal bukan kawasan hu-tan yang berasal dari:1) Lahan pengganti dari tukar-menukar

kawasan hutan, dilakukan setelah Beri-ta Acara Tukar menukar KawasanHutan ditandatangani oleh Dirjend atasnama Menteri bersama pemohon;

2) Lahan kompensasi dari izin pinjampakai kawasan hutan dengan kom-pensasi lahan, dilakukan setelah BeritaAcara Serah Terima Lahan Kompensasiditandatangani oleh Dirjend atas namaMenteri bersama pemohon;

3) Tanah timbul;4) Tanah milik yang diserahkan secara

sukarela, maka menteri dapat langsungmenunjuk sebagai kawasan hutan; atau

5) Tanah selain dimaksud pada angka 1 s/d 3 sesuai ketentuan peraturan perun-dang-undangan.

Adapun syarat-syarat untuk PenunjukanKawasan Hutan ada usulan atau rekomendasigubernur dan/atau bupati/walikota (dalam halusulan dilakukan oleh gubernur, maka reko-mendasi oleh bupati/walikota, sebaliknya jikausulan dari bupati/walikoat, maka rekomendasioleh gubernur. Khusus untuk usulan yang ta-nahnya berasal dari lahan kkompensasi, makarekomendasi diberikan oleh gubernur ataubupati/walikota); dan secara teknis dapat dija-dikan hutan.

Dalam rangka pengukuhan kawasan hutandi dalamnya terdapat hak-hak pihak ketiga, makaterlebih dahulu dilakukan tahapan berupainventarisasi, identivikasi dan penyelesaian

Page 186: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

185Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195

hak-hak Pihak ketiga. Hak-hak pihak ketigadibuktikan dengan alat bukti tertulis atau tidaktertulis. Bukti tertulis (Sertipikat Hak AtasTanah) meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha,Hak Guna Bangunan, HakPakai, dan Hak Penge-lolaan. Sedangkan alat bukti tidak tertulislainnya (Selain Sertipikat Hak Atas Tanah),seperti hak eigendom, optal, erfpacht, petuk pa-jak bumi/landrente, girik, pilil, kekitir, VerpondingIndonesia dan alas hak yang dipersamakandengan itu; Surat Keterangan Riwayat Tanahyang dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumidan Bangunan; atau lain-lain bentuk alat pem-buktian tertulis dengan nama apapun juga seba-gaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI, danPasal VII Ketentuan-Ketentuan Konversi UUPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (Ban-dingkan dengan alat bukti tidak tertulisyang dimaksud dalam Pasal 24 PP Nomor 24Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Jo.Pasal 60 (Sistematik) dan 76 (Sporadik)PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 Jis. Per-kaban Nomor 3 Tahun 2012).7

Untuk memperkuat keabsahan alat buktitersebut, maka harus disertai Klarifikasi dariinstansi yang membidangi urusan perta-nahan sesuai dengan kewenangannya.

Permenhut Nomor P.44/Permenhut-II/2012ini juga mengakomodasikan alat-alat bukti tidaktertulis yang idlakukan dengan ketentuan sebagaiberikut:1) Permukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial

yang berdasarkan sejarah keberadaannyasudah ada sebelum penunjukan kawasanhutan;

2) Permukiman, fasilitas umum, fasilitas sosialdalam desa/kampung yang berdasarkan se-jarah keberadaannya ada setelah penun-jukan kawasan hutan dapat dikeluarkan darikawasan hutan dengan kriteria:a) Telah ditetapkan dalam Perda, danb) Tercatat pada statistik Desa/Kalurahan; danc) Penduduk di atas 10 (sepuluh) KK dan

terdiri dari minimal 10 (sepuluh) rumah.d) Ketentuan tersebut tidak berlaku pada

provinsi yang luas kawasan hutannya dibawah 30% (per seratus).

Keberadaan permukiman fasilitas umum,fasilitas sosial tersebut di atas didukung dengancitra penginderaan jauh resolusi menengah sam-pai tinggi dan menjadi bagian yang tidak terpi-sahkan dalam Berita Acara Tata batas.

Hal yang perlu mendapat, perhatian yaitu ter-kait dengan pendistribusian Dokumen Pengu-kuhan Kawasan Hutan. Mengingat bahwa arealbatas kawasan hutan selalu bersinggungan/ber-batasan dengan otoritas pertanahan, maka adabaiknya jika Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota(di tingkat Daerah) atau secara nasional di tingkatPusat (BPN-RI) memperoleh salinan tentangpenetapan Kawasan Hutan sebagai bahanpertimbangan bagi aparatur BPN untukpengambilan kebijakan pengelolan perta-nahan yang berbatasan dengan kawasanhutan. Dengan mekanisme ini, maka akanmereduksi timbulnya konf lik pertanahandengan otoritas Kementerian Kehutanan.

Pasal 57 Ketentuan peralihan PermenhutNomor 44/Permenhut-II/2012 menyebutkan,

7 Menurut penulis sudah merujuk pada ketentuanUUPA dan Peraturan pelaksanannya, namun masih terdapatalat-alat bukti tertulis yang belum diakomodasikan olehPeraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Permenhut-II/2012, seperti halnya surat bukti hak milik yang diterbitkanberdasarkan Peratutran Daerah Swapradja; surat keputusanpemberian HM dari pejabat yang berwenang baik sbeleumatau sejak berlakunya IIPA yang tidak diserati kewajibanuntuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhikewajiban yang disebutkan di dalamnya, akta pemindahanhak yang dibuat di bawah tangan yang dibubhi tanda kesak-sian oleh Kepala Adat/Desa/Kalurahan yang dibuat sebe-lum berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997 Jo. PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 dengan disertai alas hakyang dialihkan, atau akta pemindahan hak atas tanah yangdibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan dengandisertai alas hak yang dialihkan.

Page 187: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

186 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

bahwa “Terhadap hak atas tanah yang diterbitkanoleh pejabat yang berwenang sebelum diterbit-kannya peta register hutan, penunjukan parsial,Rencana Pengukuhan dan Penggunaan Hutan(RPPH)/Tata Guna Hutan Kesepkatan (TGHK)yang merupakan lampiran dari KeputusanMenteri Pertanian/Kehutanantentang Penun-jukan areal hutan di provinsi merupakan ka-wasan hutan, maka hak atas tanah diakui dandikeluarkan keberadaannya dari kawasanhutan (enclave).”

Hal-hal lain yang perlu mendapat pencer-matan, yaitu:a) Mekanisme pengukuhan kawasan hutan

selayaknya jika memberikan ruang partisipasiyang sangat optimal bagi masyarakat, khu-susnya masyarakat hukum adat. Pengaturanmengenai kelembagaan, prosedur/meka-nisme partisipasi, dan kriterianya.

b) Menerapkan UU Keterbukaan InformasiPublik (KIP), untuk membuka ruang aksesmasyarakat luas pada dokumen-dokumenBerita Acara penataan batas Kawasan hutan.

2. Penyelesaian konflik kehutananKonflik tenurial kehuatanan hampir merata

terjadi di seluruh Indonesia. Konflik kehutananjelas akan berdampak pada terganggungya ke-pastian hukum di bidang usaha/investasi khu-susnya bagi pemegang izin di bidang kehutanandan/atau perizinan di bidang pertanahan yangarealnya berbatasan dengan Kawasan hutan.Konfli tersebut, disebabakan oleh berbagai hal,seperti pelanggaran terhadap prosedur penun-jukan kawasan hutan era/rezim sebelum dike-luarkannya Keputusan Mahkamah KonstitusiNomor Nomor 45/PUU-IX/2011 tertanggal 9Pebruari 2012 – UU Nomor 41 Tahun 1999 tentangKehutanan, Klaim wilayah hutan sebagai hutannegara secara sepihak oleh Kementerian kehu-tanan maupun pemerintahan Kolonial Belanda.Kondisi tersebut diperparah lagi dengan ke-bijakan Departemen/Kementerian Kehuatanan,

menerbitkan perizinan kepada Pihak ketiga (lain)dengan menaf ikan/menegasikan keberadaanmasyarakat hukum adat. Terkait kriteria kebe-radaanya menurut ketentuan Penjelasan Pasal67 UU Nomor 41 Tahun 1999, mustahil untukterpenuhi, khsususnya terkait persyaratankeberadaan lembaga peradilan adat, sebagaimanatelah kita ketahui bersama bahwa keberadaanlembaga peradilan adat telah digantikan olehPeradilan Negara (UU Darurat Nomor 1 Tahun1951 tentang Penghapusan Peradilan Adat).

Penanganan dan penyelesaian konflik kehu-tanan yang berbenturan dengan eksistensimasyarakat hukum adat maupun pihak lainnya,akan berdampak positif, tidak hanya pada upayamembuka akses ksejahteraan bagi masyarakat,tetapi juga memberikan kepastian hukumberusaha bagi pemegang izin.

Secara garis besar tipologi konflik tenurialkehutanan dapat dibedakan berdasarkan pihak-pihak yang terlibat, yaitu:a) Konf lik antara masyarakat hukum adat

dengan Kementerian Kehutanan, sehu-bungan dengan penunjukan dan/atau pene-tapan kawasan hutan adat sebagai kawasanhutan negara. Perlu kami tegaskan bahwa“lebensraum/wewengkon /wilayah” masayara-kat hukum adat jangan hanya dipahami/dimaknai objeknya sebagai tanah saja,melainkan juga hutan, perairan pedalaman(Sungai, danau) maupun perairan luar (Pan-tai/pesisir).

b) Konf lik antara masyarakat hukum adatdengan Kementerian kehutanan dan/atauBadan Pertanahan Nasional. Misalnya konflikkarena penerbitan bukti hak atas tanah padaareal wilayah masyarakat hukum adat, dandiklasif ikasikan sebagai kawasan hutan.

c) Konf lik antara masyarakat Transmigrandengan masyarakat (adat/Lokal) dan/ataukementerian Kehutanan sebagai KawasanHutan.

Page 188: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

187Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195

d) Konf lik antara masyarakat hukum adatdengan petani peladang berpindah-pindahaatau karena adanya mitigasi bencana;

e) Konf lik antara Pemerintah Desa denganKementerian Kehutanan;

f ) Konflik atara spekulan tanah dengan melibat-kan elite politik melawan Kementerian kehu-tanan;

g) Konf lik antara masyarakat lokal denganinsvestor pemegang izin kehutanan;

h) Konflik antara investor pemegang izin Ke-menterian Kehutanan dengan Investor Peme-gang Izin dari Otoritas BPN-RI. (Dahuluantara Pemegang HPH/Kementerian Kehu-tanan dengan Pemegang HGU/BPN-RI danKementerian Pertanian dan Perkebunan, dankemungkinan juga dengan Pemegang izin dibidang Pertambangan/KP KementerianESDM)

i) Konflik kehutanan terkait dengan pember-lakukan Perda Tata Ruang Wilayah Kab/Kota,Provinsi.Penanganan konf lik kehutanan tersebut

dapat dilakukan dengan merujuk pada substansiKetetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber-daya Alam. Meskipun telah dibentuk Tim Me-diasi Konflik Kehutanan dengan KeputusanManteri kehutanan Nomor SK. 254/Menhut-II/2008, masih perlu dilakukan perbaikan danpembenahan lebih lanjut, dengan mengadopsiprinsip-prinsip kearifan lokal dan substansiPERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasidi Pengadilan. Disamping itu koordinasi lintassektor dalam perumusan kebijakan dan pembe-rian perizinan sangat membantu mereduksi ter-jadinya konflik di kemudian hari. Jika dimung-kinkan dibentuk lembaga yang khusus me-nangani korban karena kebijakan sektorKementerian Kehutanan yang tujuannya mem-berikan perlindungan korban kejahatan karenapola penunjukan kawasan hutan yang menga-

baikan hak-hak dasar warganegara, seperti hak-hak masyarakat hukum adat dengan menerap-kan dan mempertimbangkan akademisi pergu-ruan tinggi yang memahami dan ahli di bidangvictimologi.3. Perluasan wilayah kelola rakyat dan pening-

katan kesejahteraan masyarakat adat danmasyarakat lokal lainnya.Memperhatikan hasil Identif ikasi Desa Dalam

Kawasan Hutan pada Tahun 2008 dan Tahun2009, keberadaan Desa/Kelurahan diperolehkriteria 3 (tiga), yaitu:

a) Desa/Kelurahan di dalam kawasan hutan,yaitu Desa/Kelurahan yang letaknya ditengah atau di kelilingi kawasan hutan baikdesa yang sudah dienclave maupun yangbelum;

b) Desa/Kelurahan di tepi kawasan hutan a,yaitu desa/kelurahan yang letaknya di tepi,atau di pinggir kawasan hutan, atau ber-batasan dengan kawasan hutan;

c) Desa/Kelurahan di luar kawasan hutan,yaitu desa/kelurahan letaknya jauh darikawasan hutan.

Dari hasil identisikasi tersebut diketahuibahwa pada tahun 2007 terdapat 31.957 desa/kelurahan di dalam kawasan hutan dari sekitar15 Provinsi, dan terdapat 7.943 Desa/kelurahanyang lokasinya/letaknya di tepi kawasan hutan.8

Selanjutnya pada tahun 2009 terdapat Desa/Kelurahan sebanyak 1.500 yang lokasi/letaknyadi dalam kawasan hutan dan 8.602 desa/kelurahan yang lokasi/letaknya di tepi kawasanhutan.9 Beberapa Program Pemberdayaan

8 Pusat Rencana Statistik Kehutanan DepartemenKehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian BPS,2007. Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007, hlm.14.

9 Pusat Rencana Statistik Kehutanan Departemen Ke-hutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian BPS, 2009.Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2009. Jakarta, hlm.18.

Page 189: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

188 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

masyarakat yang dilakukan oleh KementerianKehutanan, seperti Hutan Kemasyarakatan(HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat(HTR) dan Kemitraan. Jika diperlukan mela-kukan koordinasi dengan lembaga keuangan/perbankan atau Pemerintah Daerah, dll., makauntuk pendampingan sosial, ekonomi, modal, insfra-struktur pedesaan sebagai stimulan. Para pelakuusaha di bidang kehutanan sebagai bagian daribadan hukum (PT) agar menerapkan ketentuanPP Nomor 47 Tahun 2012 tentang TanggungJawab Sosial Dan Lingkungan PerseroanTerbatas. Dalam PP tertsebut ditegaskan bahwaPerseroan terbatas sebagai badan hukum yangmerupakan persekutuan modal, didirikan berda-sarkan perjanjian, melakukan kegiatan usahadengan modal dasar yang seluruhnya terbagidalam saham dan memenuhi persyaratan yangditetapkan dengan UU Nomor 40 Tahun 2007tentang Perseroan Terbatas diwajibkan bagiPerseroan yang menjalankan kegiatan usahanyadi bidang dan/atau berkaitan dengan sumberdaya alam adalah perseroan yang tidak menge-lola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam,tetapi kegiatyanny usahanya berdampak padafungsi kemampuan sumberdaya alam termasukpelestarian lingkungan hidup. Sedangkan men-jalankan perusahaan berdasarkan Undang-Undang harus dimaknai dengan ruang lingkupkegiatan usaha di bidang perindustrian, kehu-tanan, miyak dan gas bumi, BUMN, Usaha PanasBumi, Sumber Daya Air, pertambangan mineraldan batubara, ketenagalistrikan, perlindungandan pengelolaan lingkungan hidup, laranganpraktiik monopoli, dan persaingan usaha tidaksehat, HAM, Ketengakerjaan, serta perlindungankonsumen. Upaya lain yang masih dapat dilaku-kan dan ditingkatkan yaitu percepatan dan per-luasan wilayah kelola masyarakat lokal di sekitarhutan dengan program atsu sekama HKm,Hutan Desa, HTR, dll.

C. Pelaksanaan Kewenangan Daerahdi Bidang Pengelolaan SumberdayaAlam

Ritme penyelenggaraan kewenangan dibidang pemerintahan yang telah dan sedangditerapkan adalah sistem Sentralisasi/Kekuasaanpemerintahan terpusat di Jakarta (Orde Lama-Orda Baru), Desentralisasi, Dekonsentrasi danTugas Perbantuan (Medebewind) berjalansetelah Era Reformasi dengan diberlakukannyaUU Nomor 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah yang kemudian terjadi gejolak dalamimplementasinya, sehiongga dilakukan penyem-purnaan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. UUNomor 32 Tahun 2004 ini kemudian ditindaklanjuti dengan PP Nomor 38 tahun 2007 tentangPembagian Urusan Pemerintahan Antara Peme-rintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi danPemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

1. Bidang Pertanahan

Di bidang pertanahan, jauh sebelum keluarPP Nomor 38 Tahun 2007, Presiden sudahmenerbitkan Keppres Nomor 34 Tahun 2003tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Perta-nahan.10 Kebijakan tersebut, selanjutnya ditu-angkan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, ada 8(delapan) kewenangan di bidang pertanahanyang dilaksanakan oleh Pemerintah DaerahKabupaten/Kota yang dilaksanakan berdasarkanazas desentralisasi dan 1 (satu) kewenangan yangdilaksanakan berdasakan azas tugas perbantuan(medebewind).

Selanjutnya dalam Lampiran I PP Nomor 38Tahun 2007 dicantumkan kewenangan apa sajayang menjadi kewenangan Pemerintah Kabu-paten/Kota di bidang pelayanan pertanahan,sebagai berikut:

10 Sarjita, 2005. Masalah Pelaksanaan Urusan Perta-nahan Dalam Era Otonomi Darerah. Yogyakarta: TugujogjaPustaka.

Page 190: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

189Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195

Tabel 1. Urusan wajib PemerintahanKabupaten/Kota di Bidang Pertanahan Berda-

sarkan\Peraturan Pemerintah Nomor 38Tahun 2007

Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Pembagian Urusan Pemerintah AntaraPemerintah, Pemerintahan DaerahProvinsi, dan Provinsi dan PemeriuntahanDaerah Kabupaten/Kota, Yogyakarta,Fokus Media, 2007, hlm. 215-226.

2. Bidang Kehutanan

Selanjutnya, di Bidang Kehutanan, dapatdipedomani pada lampiran: AA PP Nomor 38Tahun 2007 beberapa kewenangan di bidangkehutanan yang menjadi wewenang Pemerin-tahan Daerah Kabupaten/Kota meliputi 59 (limapuluh) jenis antara lain: pengusulan, pertim-bangan teknis, pemberian izin, pengelolaan,penetapan, perencanaan, pelaksanaan, pengusa-haan, pengawetan, lembaga Konservasi, Perlin-dungan Penelitian dan pengembangan, penyu-luhan, pembinaan dan pengendalian sertapengawasan. Secara rinci dapat disajikan dianta-ranya:a. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi

(HP) dan hutan lindung dan skala DaerahAliran Sungai dalam wilayah Kabupaten/kota;

b. Pengusulan penunjukan kawasan hutanHutan Produksi Hutan Lindung, KawasanPelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam danTaman Buru;

c. Pengusulan pengelolaan hutan dengantujuan khusus untuk masyarakat hukum

No. Kewenangan/Urusan

Pemerin tahan

SistemPenyeleng

garaan UrusanPemerintahan

Jenis Kegiatan Urusan Pemerintahan yangdilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota

1. Izin Lokasi Desentralisasi 1. penerimaan permohonan dan pemeriksaankelengkapan berkas persyaratan;

2. kompilasi bahan koordinasi;3. pelaksanaan rapat koordinasi;4. pelaksanaan peninjuan lokasi;5. penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan

pertimbangan teknis pertanahan dari kantorpertanahan kabupaten/kota dan pertimbanganteknis lainnya dari instansi teknis terkait;

6. pembuatan peta lokasi sebagai lampiran SK izinlokasi yang diterbitkan;

7. penerbitan SK Izin Lokasi;8. pertimbangan dan usulanpencabutan izin dan

pembatalan SK Izin Lokasi dengan pertimbanganKepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

9. monitoring dan pembinaan perolehan tanah.2. Pengadaan

Tanah UntukKepentinganUmum

Desentralisasi

Catatan:Kewenangan inidengan diberlakukannya UUNomor 2 Tahun2012 tentangPengadaanTanah BagiPembangunanUntukKepentinganUmum sudahditarik kembalimenjadikewenanganPusat Cq. BPNRI.

1. penetapan lokasi;2. pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan;3. pelaksanaan penyuluhan;4. pelaksanaan inventarisasi;5. pembentukan Tim Penilai Tanah;6. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari

Lembaga/Tim Penilai tanah;7. pelaksanaan musyawarah;8. penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian;9. pelaksanaan pemberian ganti kerugian;10. Penyelesaian bentuk dan besarnya ganti kerugian;11. pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah

di hadapan Kepala kantor Pertanahankabupaten/Kota

3. PenyelesaianSengketa tanahGarapan

Desentralisasi 1. penerimaan dan pengkajian laporan pengaduansengketa tanah garapan;

2. penelitian terhadap subjek dan objek sengketa;3. pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah

garapan;4. koordinasi dengan kantor pertanahan untuk

menetapkan langkah-langkah penanganannya;5. fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa

untuk mendapatkan kesepakatan para pihak;4. Penyelesaian

Masalah gantiKerugian danSantunanTanah Untukpembangunan

Desentralisasi 1. pembentukan Tim Pengawasan Pengendalian;2. penyelesaian masalah ganti kerugian dan dan

santunan tanah untuk pembangunan;

5. penetapansubjek danobjekredistribusitanah sertaganti kerugiantanahkelebihanmaksimumdan tanahabsentee

Desentralisasi 1. Pembentukan Panitia Pertimbangan Landreformdan Sekretariat Panitia;

2. Pelaksanaan sidang yang membahas hasilinventarisasi untuk penetapan subjek dan objekredistribusi tanah serta ganti kerugian tanahkelebihan maksimum dan tanah absentee;

3. Pembuatan hasil sidang dalam Berita Acara;4. Penetapan tanah kebihan maksimum dan tanah

absentee sebagai objek Landreform berdasarkansidang hasil panitia;

5. Penetapan para penerima kelebihan tanahmaksimum dan tanah absentee berdasarkan hasilsidang panitia;

6. Penerbitan SK Subjek dan Objek redistribusi tanahserta ganti kerugian;

6. PenetapanTanah Ulayat

Desentralisasi 1. Pembentukan Panitia Peneliti;2. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian;3. pelaksanaan dengan pendapat umum dalam

rangka penetapan tanah ulayat;4. Pengusulan Rancangan Peraturan daerah tentang

Penetapan tanah ulayat;5. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat

dalam daftar tanah kepada kantor pertanahanKabupaten/Kota;

6. Penanganan masalah tanah ulayat melaluimusyawarah dan mufakat.

7. PenyelesaianMasalah TanahKosong

Desentralsiasi 1. Inventarisasii dan identifikasi tanah kosonguntuk pemanfaatan tanaman pangan semusim;

2. Penetapan bidang-bidang tanah sebagai tanahkosong yang dapat digunakan untuk tanamanpangan semusim bersama pihak lain berdasarkanperjanjian;

3. Penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanahuntuk tanaman pangan semusim denganmengutamakan masyarakat setempat;

4. Fasilitasi perjanjian kerjasama antara pemeganghak atas tanah dengan pihak yang akanmemanfaatkan tanah di hadapan/diketahui olehKepala Desa/Lurah dan Camat setempat denganperjanjian untuk dua kali musim tanam;

5. Penaganan masalah yang timbul dalampemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihaktidak memenuhi kewajiban dalam perjan jian

8. Izin MembukaTanah

Tugasperbantuan(Medebewind)

1. penerimaan dan pemeriksaan permohonan;2. Pemeriksaan lapang dengan memperhatikan

kemampuan tanah, status tanah dan RencanaUmum Tata Ruang Wilayah (RTRW)Kabupaten/Kota;

3. Penerbitan Izin Membuka tanah denganmemperhatikan pertimbangan teknis dariKantor Pertanahan Kabupaten/Kota;

4. Pengawasan dan pengendalian penggunaan izinmembuka tanah.

9. PerencanaanPenggunaanTanah WilayahKabupaten/Kota

Desentralisasi 1. Pembentukan Tim Koordinasi TingkatKabupaten/Kota;

2. Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari:a. Peta Pola Penatagunaan Tanah atau Peta

Wilayah Tanah Usaha atau peta PersediaanTanah dari kantor Pertanahankabupaten/Kota;

b. Rencana Tata Ruang Wilayah;c. Rencana pembangunan yang akan

menggunakan tanah baik rencanaPemerintah, Pemerintah Kabupaten/ Kota,maupun instansi swasta.

3. Analisis kelayakan letak lokasi sesuai denganketentuan dan kriteria teknis dari instansiterkait;

4. Penyiapan draf Rencana Letak KegiatanPenggunaan Tanah;

5. Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draffrencana letak kegiatan penggunaan tanahdengan instansi terkait;

6. Konsultasi publik untuk memperoleh draffrencana letak kegiatan penggunaan tanah;

7. Penyusunan Draff final rencana letak kegiatanpenggunaan tanah;

8. Penetapan rencana letak kegiatan penggunaantanah dalam bentuk peta dan penjelasannyadengan keputusan Bupatio/Walikota;

9. Sosialisasi tentang rencana letak kegiatanpenggunaan tanah kepada instansi terkait;

Page 191: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

190 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

adat, penelitian dan pengembangan, pendi-dikan dan pelatihan kehutanan, lembagasosial dan keagamaan untuk skala kabupaten/kota denganpertimbangan gubernur;

d. Pengusulan perubahan status dan fungsihutan dan perubahan status dari lahan milikmenjadi kawasan hutan, dan penggunaanserta tukar-menukar kawasan hutan;

e. Pertimbangan penyusunan rancang bangundan pengusulan pembentukan wilayahpengelolaan hutan lindung dan hutan pro-duksi, serta institusi wilayah pengelolaanhutan;

f. Pertimbangan teknis pengesahan rencanapengelolaan jangka panjang, jangka me-nengah, dan jangka pendek unit KPHP;

g. Pertimbangan teknis pengesahan rencanakerja usaha 20, 5, 1 tahunan uni usaha peman-faatan HP;

h. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, danpengawasan pelaksanaan penataan batas luarareal kerja unit pemanfaatan HP dalam Kabu-paten/Kota;

i. Pertimbangan teknis pengesahan rencanapengelolaan 20, 5, 1 tahunan unit usaha pe-manfaatan hutan Lindung (KPHL);

j. Pertimbangan teknis pengesahan penataanareal kerja unti usaha pemanfataan hutanlindung kepada provinsi;

k. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan 20,5, 1 tahunan unit KPHK;

l. Pertimbangan teknis pensehan rencanapengelolaan 20, 5, 1 tahunan untuk cagar alam,suaka margasatwa, taman nasional, taman wisa-ta alam dan taman buru skala kabupaten/kota;

m.Pengelolaan Taman Hutan Raya, penyusunanrencana pengelolaan dan penataan blok(zonasi) serta pemberian perizinan usaha pari-wisata alam dan jasa lingkungan serta reha-bilitasi di taman hutan raya skala kabupaten/kota;

n. Penyusunan rencana-rencana kehutanan

tingkat kabupaten/kota;o. Penyusunan Sistem Informasi Kehutanan

(numerik dan spasial) tingkat Kab/Kota;p. Pertimbangan teknis kapada Gubernur untuk

pemberian perpanjangan IUP Hasil HutanKayu, serta pemberian perizinan usaha pe-manfaatan hasil hutan bukan kayu, pembe-rian perizinan pemungutan hasil hutanbukan kayu pada HP kecuali pada kawasanhutan negara pada wilayah kerja Perun Per-hutani;

q. Pemberian izin pemanfaatan kawasan hutandan jasa lingkungan skala Kabupaten/Kotakecuali pada kawasan hutan negara padawilayah kerja Perum Perhutani;

r. Pertimbangan teknis pemberian izin industriprimer hasil hutan kayu, pengawasan danpengendalian penatausahaan hasil hutanskala kabupaten/kota;

s. Pemberian perizinan pemanfaatan kawasanhutan, pemungutan kayu yang tidak dilin-dungi dan tidak termasuk ke dalam LampiranCITES dan pemanfaatan jasa lingkunganskala kabupaten/kota kecuali pada kawasanhutan negara pada wilayah kerja PerumPerhutani;

t. Pelaksanaan pemungutan penerimaan negarabukan pajak (PNBP) skala kabupaten/kota;

u. Penetapan lahan kritis skala kabupaten/kota,pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hu-tan dan lahan DAS/Sub DAS, penetapan ren-cana pengelolaan, rencana tahunan dan ran-cangan rehabilitasi hutan pada hutan tamanhutan raya skala kabupaten/kota.Terkait dengan kewenangan di bidang kehu-

tanan dalam rangka pelaksanaan ketentuan PPNomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonstrasi danTugas Pembantuan, Kementerian Kehutananmenerbitkan Peraturan Menteri KehutananNomor P.24/Menhut-II/2012 tertanggal 11 Juni2012 tetang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Urusan(Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan Tahun 2012

Page 192: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

191Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195

Yang Dilimpahkan kepada Gubernur SelakuWakil Pemerintah

3. Bidang Minerba dan Panas Bumi danAir Tanah

Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupa-ten/Kota di bidang Mineral, Batubara, Panas Bumidan Air Tanah, meliputi hal-hal sebagai berikut:a. Penyusunan peraturan perundang-un-

dangan daerah kabupaten/kota di bidangmineral, batubara, panas bumi dan air tanah;

b. Penyusunan data dan informasi wilayah kerjausaha pertambangan minerba serta panasbumi skala kabupaten/kota;

c. Penyusunan data dan informasi cekungan airtanah skala kabupaten/kota;

d. Pemberian rekomendasi teknis izin penge-boran, izin penggalian dan iizin penurapanair tanah pada cekungan air tanah pada wila-yah kabupaten/kota;

e. Pemberian izin usaha pertambangan minerbadan panas umi pada wilayah kabupaten/kotadan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi;

f. Pemberian izin usaha pertambangan minerbauntuk operasi produksi yang berdampak ling-kungan langsung pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi;

g. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izinusaha pertambangan minerba dan panasbumi pada wilayah kabupaten/kota dari 1/3dari wilayah kewenangan provinsi;

h. Pemberian izin badan usaha jasa pertam-bangan minerba dan panas bumi dalamrangka PMA dan PMDN di wilayah kabu-paten/kota;

i. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasanpelaksanaan izin usaha jasa pertambanganminerba dan panas bumi dalam rangkapenanaman modal di wilayah kabupaten/kota;

j. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dankesehatan kerja, lingkungan pertambangantermasuk reklamasi lahan pasca tambang,

konservasi dan peningkatan nilai tambahterhadap usaha pertambangan minerba danpanas bumi pada wilayah kabupaten/kota;

k. Penetapan wilayah konservasi air tanah dalamwilayah kabupaten/kota;

l. Pembinaan dan pengawasan serta kesehatankerja, lingkungan pertambangan termasukreklamasi lahan pasca tambang, konservasidan peningkatan nilai tambah Kuasa Pertam-bangan dalam wilayah Kabupaten/Kota;

m. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izinusaha pertambangan minerba untuk operasiproduksi, serta panas bumi yang berdampaklingkungan langsung dalam wilayah kabu-paten/kota;

n. Penetapan nilai perolehan air tanah padacekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/kota;

o. Pengelolaan data informasi minerba, panasbumi dan air tanah serta pengusahaan danSistem Informasi Geografis wilayah kerja per-tambangan di wilayah kabupaten/kota;

p. Penetapan potenasi panas bumi dan air tanahserta neraca sumber daya dan cadangan mi-nerba di wilayah kabupaten/kota;

q. Pengangkatan dan pembinaan inspekturtambang serta pembinaan jabatan fungsionalkabupaten/kota.11

4. Bidang Minyak dan Gas Bumi

Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupa-ten/Kota di bidang Minyak dan Gas Bumi, meli-puti hal-hal sebagai berikut:a. Penghitungan produksi dan realisasi lifting

minyak bumi dan gas bumi bersama peme-rintah;

b. Pemberian rekomendasi penggunaan wilayahkerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain

11 Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah,Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Provinsi DanPemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Yogyakarta, FokusMedia, 2007, hlm. 535-537

Page 193: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

192 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

di luar kegiatan migas pada wilayah kabu-petan/kota;

c. Pemberian izin pembukaan kantor perwa-kilan perusahaan di sub sektor migas;

d. Pengawasan pengendalian pendistribusiandan tata niaga bahan bakar minyak dari agendan pangkalan dan sampai konsumen akhirdi wilayah kabupaten/kota;

e. Pemantauan dan inventarisasi penyediaaan,penyaluran dan kualitas harga BBM sertamelakukan analisas dan evaluasi terhadapkebutuhan BBM di wilayah kabupaten/kota;

f. Pemberian rekomendasi lokasi pendiriankilang dan tempat penyimpanan;

g. Pemberian izin lokasi pendirian StasiunPengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU);

h. Pemberian rekomendasi pendirian gudangbahan peledak dalam rangka kegiatan usahamigas di daerah operasi daratan dan di daerahoeprasi wilayah kabupaten/kota dan 1/3 dariwilayah kewenangan provinsi;

i. Pengangkatan dan pembinaan inspekturmigas serta pembinaan jabatan fungsionalkabupaten/kota;

j. Penyertaan dan/atau menfasilitasi penyeleng-garaan assessment bekerjasama denganlembaga assessment Departemen ESDM;

k. Penyusunan kebutuhan dan penyelenggara-an diklat teknis dan fungsional tertentu sek-tor energi dan sumberdaya mineral dalamskala kabupaten/kota.12

Untuk memantau perkembangan pelaksa-naan terhadap penyelenggaraan pengelolaanusaha pertambangan yang dilaksanakan olehPemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupa-ten/kota, Kementerian ESDM menerbitkan Pera-turan Menteri ESDM Nomor 02 Tahun 2013 ter-tanggal 11 Januari 2013. Adapun pejabat yangditnjuk untuk melakukan pengawasan dilakukanoleh Direktur Jenderal (Dirjend), sedangkan

ruang lingkup pengawasan tersebut meliputi:a. penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat

(WPR);b. penetapan dan pemberian Wilayah Izin Usaha

Pertambangan (WIUP) mineral bukan logamdan WIUP batuan;

c. pemberian Wilayah Izin Usaha Pertam-bangan mineral logam dan WIUP batubara;

d. penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR);e. penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP);f. penyelenggaraan pembinaan dan penga-

wasan kegiatan yang dilakukan oleh peme-gang IPR dan IUP.Khusus pada huruf a di atas, maka penetapan

WPR dilakukan setelah berkoordinasi denganPemprov dan berkonsultasi dengan DPRDKabupaten/Kota. Kemudian sebelum melakukankoordinasi dengfan Pemprov dan berkonsultasidengan DPRD, terlebih dahulu wajib memas-tikan lokasi WPR: a. Masuk dalam KawasanPeruntukan pertambangan yang tercantumdalam RTRW Kabupaten/Kota yang ditetapkandalam Perda; b. Telah mendapatkan persetujuandari pemegang hak atas tanah sesuai denganketentuan per UU; c. Telah menggunakan sistemkoordinat pemetaaan dengan Datum GeodesiNasional yang mempunyai parameter samadengan parameter Ellipsoid World Geodetic Sys-tem. d. Telah memenuhi kriteria penetapan WPRsesuai Pera UU; dan e. Telah dilaksanakanpengumuman rencana penetapan WPR kepadamasyarakat secara terbuka paling sedikit padakantor Kelurahan/desa di lokasi WPR sesuaidengan ketentuan PerUU.

D. Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun2009 tentang Pajak Daerah danRetribusi Daerah

1. Pemaknaan Pajak dan Ruang AksesMasyarakatSejalan dengan dinamika masyarakat dan tim-

bulnya demokrasi dalam berbangsa dan berne-12 Ibid., hlm. 535-537.

Page 194: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

193Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195

gara, maka pemaknaan hakekat pajak dipersep-sikan sesuai kepentingan penguasa. Mengapademikian, dikarenakan secara substantif dasarpemungutan dan mekanisme pemungutan pajakdiwadahi dalam regulasi berupa UU yang jugamerupakan produk politik dari penguasa untukmenjalankan strategi kekuasaanya.

Pada masa kerajaan otoriter, pajak dimaknaisebagai penghisapan sekaligus wujud persem-bahan dari rakyat kepada raja yang bertahta.Kemudian pada masa kolonialisme, pajak difo-kuskan pada kepentingan penjajah (eksploitasirakyat negara jajahan). Berikutnya pada awalkemerdekaan, di mana negara/pemerintah me-merlukan anggaran untuk keberlangsunganeksistensi NKRI, maka meskipun rakyat di-pungut pajak tanpa suatu kontraprestasi yangnyata mereka tetap mendukung dan menyadarisepenuhnya. Pada masa Orla, Orba dan EraReformasi, masyarakat memaknai pajak diorie-ntasikan untuk pembangunan berbagai insfra-struktur demi menunjang kesejahteraan rakyat.Pasal 1 angka 10 UU Nomor 28 Tahun 2009 mene-gaskan, bahwa “.... pemungutan pajak digunakanuntuk membiayai penyelenggaraan peme-rintahan daerah dan pembangunan daerah”.

Dalam perkembangan selanjutnya, terkaitdengan perpajakan dilakukan regulasi agar ter-dapat kepastian hukum subjek, objek, perbuatanatau peristiwa hukum yang akan terkena keten-tuan pajak. Secara f ilosf is, UU Perpajakan ditu-jukan untuk membangun sistem pemungutanpajak dengan memberi porsi kepercayaan yanglebih besar kepada anggota masyarakat sebagaiwajib pajak untuk melaksanakan kewajibannya.

Di Indonesia dasar pemungutan pajak ditu-angkan dalam Pasal 23A UUD Negara RepublikIndonesia Tahun 1945, “pajak dan pungutan lainyang bersifat memaksa untuk negara diaturdengan undang-undang”. Dengan demikian,maka peraturan perundang-undangan pe-mungutan pajak dan pungutan lainya dapat di

lihat dalam 2 aspek, yaitu: Pertama, aspek yuridisperlunya keselarasan dalam regulasi antaraperaturan perundang-undangan sebagai dasarpemungutan pajak dengan tujuan negarasebagaimana tercantum dalam konstitusi UUD1945. Kedua, aspek demokratis, pemungutanpajak diputuskan dalam suatupersetujuan rakyatmelalui wakil-wakil mereka di DPR Pusat mau-pun DPRD. Dengan demikian, maka keduaruang yaitu aspek hukum dan demokrasi akanmemberikan ruang bagi rakyat untuk aktif da-lam membangun sistem perpajakan. Bentukpartispasi sebagai ruang akses publik/masyarakatdalam pemungutan pajak tersbut, maka kepadamasyarakat yang hak konstitusionalnya terabai-kan/dirugikan dapat melakukan judicial reviewterhadap UU/Perpu Perpajakan ke MK, danPeraturan perundang-undangan di bawah un-dang-undang/Perpu ke MA. Kemudian jikaterjadi sengketa pajak, juga sudah disediakanforum/lembaga peradilan pajak sebagai peradilankekhususan di bawah lingkungan Peradilan TataUsaha Negara.

2. Persoalan Pajak Daerah danRetribusi Daerah (UU No. 28 Tahun2009)

Persoalan terkait pemberlakukan UU Nomor28 tahun 2009 tentang Pajak Derah dan RetribusiDaerah disebabkan kurangnya tingkat pema-haman baik oleh legislatif maupun eksekutifterhadap berbagai aspek hukum dan kebijakanpublik. Disamping itu objek yang diatur cukupluas atau banyak ruang lingkupnya dari substansipertambangan, air, tanah, hotel dan lain seba-gainya. Mengingat Pemerintah Daerah melaluiUU Nomor 28 Tahun 2009 telah mendapat danmemperoleh kewenangan yang luas dan nyatauntuk menggali sumber-sumber PAD, makadalam pembahasan substansi Perda terkait pajakdaerah dan retribusi daerah jangan asal meme-nuhi azas formalitas sebuah Perda, melainkan

Page 195: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

194 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

secara subtansial juga harus dilakukan secaraoptimal, jika hanya mengejar formalitas, makaakan berdampak pada wajib pajak dan pem-bangunan daerah secara keseluruhan. Jangansampai setelah Perda disahkan, justru dalampelaksanaanya menimbulkan beban bagi masya-rakat, mengganggu iklim berinvestasi ataubahkan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Melalui UU Nomor 28 Tahun 2009, kewe-nangan pemungutan dan pengelolaan pajakyang semua ditangani Pemerintah Pusat, ber-geser menjadi kewenangan Pemerintah Daerah(Desentralisasi Fiskal). Kondisi yang terjadi saatsebelum dikeluarkanya UU Nomor 28 Tahun2009, melalui berbagai Perda Pajak dan RetribusiDaerah, ternyata telah melanggar Azas Ekono-mi13 dan Azas Non Double Taxation.14 Penca-buatan dan pembatalan Perda terkait PajakDaerah dan Retribusi Daerah oleh Menteri Da-lam Negeri pada masa lalu, harus diambil hik-mahnya, supaya tidak terjadi /terulang kembalipada era UU No. 28 Tahun 2009. Beberapa alasanatau pertimbangan dicabut dan dibatalkannyabeberapa Perda di atas, antara lain:a. Merintangi arus sumber daya ekonomi antar

daerah dan kegiatan ekspor impor sertamenyebabkan ekonomi biaya tinggi;

b. Retribus menyebabkan terjadinya pungutanganda karena aitem pembayaran jalan yang

diterapkan pemerintah sudah dilakukanpungutan kepada pengguna jalan melauiPKB dan PBBKB.

c. Segala pemberian ijin usaha pada dasarnyauntuk pendaftaran usaha merupakan urusanumum pemerintahan yang layak dibiayai daripenerimaan umum.

3. Terobosan Kepala BPN RI terkaitPendaftaran dan Peralihan Hak AtasTanah

Pasal 91 UU Nomor 28 Tahun 2009 tentangPajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukanbahwa :(1) PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani

akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atauBangunan setelah Wajib Pajak menyerahkanbukti pembayaran pajak;

(2)Kepala kantor yang membidangi pelayananlelang Negara hanya dapat menandatanganirisalah lelang Perolehan Hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerah-kan bukti pembayaran pajak;

(3)Kepala Kantor di bidang pertanahan hanyadapat melakukan pendaftaran Hak atasTanah dan/atau pendaftaran peralihan hakatas tanah setelah Wajib Pajak.Kebijakan baru di bidang pertanahan dalam

menyikapi ketentuan Pasal 91 UU Nomor 28tahun 2009, khususnya terkait pelayanan pendaf-taran hak atas tanah sering menjadi kendala, danmengalami keterlambatan, dikarenakan menu-rut UU Nomor 20 Tahun 2000 Jo. UU Nomor 21Tahun 1997 tentang BPHTB Jis. SE Kepala BPNNomor 500-1757 tertanggal 9 Juli 2004, yang me-wajibkan suatu persyaratan pada tahap pendaf-taran hak atas tanah terlebih dahulu melakukanpengecekan tanda bukti setoran pembayaranBPHTB baik pada kegiatan pendaftaran hak atastanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah.Persyaratan tersebut, dirasakan menambahsimpul/persyaratan pelayanan dan berakibat

13 Pajak yang dipungut oleh Negara tidak bolehmengakibatkan terhambatnya kelancaran produksi danperdagangan. Harus diusahakan supaya tujuan untukmencapai kebahagiaan dan terselenggarannya kepentinganumum dapat dilaksanakan dengan tidak dihambat oleh adanyapemungutan pajak.

14 Pajak berganda adalah pemungutan 2 (dua) pajak atassatu kekayaan alam satu periode pemungutan yang samadan dengan tujuan yang sama pula. Pemungutan 2 (dua) pajakpada satu keuntungan perusahaan. Keuntungan/penghasilanperusahaan dikenakan pajak 2 kali, satu kali pada tingkatperusahaan yaitu pada saat mendapatkan penghasilan, dansatu kali pada pemegang saham. Pada tingkat internasional,pemungutan pajak-pajak sejenis 2 atau lebih negara terhadapseorang wajib pajak atas satu tujuan yang sama.

Page 196: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

195Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195

terjadi keterlambatan pelayanan pendaftaran hakatas tanah. Demi kelancaran proses pelayananpendaftaran hak atas tanah itu, maka Kepala BPNmelakukan mencabut dan menyatakan tidakberlaku SE tersebut, dan selanjutnya mener-bitkan SE Nomor 5/SE/IV/2013 tertanggal 10 April2013 tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah AtauPendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah TerkaitDengan Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.Secara substansi SE tersebut, menyatakkanbahwa untuk peningkatan pelayanan di bidangpertanahan menyarankan agar Para KakanwilBPN Provinsi dan Kepala Kantor PertanahanKabupaten/Kota tidak perlu terlebih dahulumelakukan pengecekan tanda bukti setoranpembayaran BPHTB pada instansi yang berwe-nang dan dapat langsung melakukan proses pen-daftaran hak atas tanah atau pendaftaran pe-ralihan hak atas tanah.

Daftar Pustaka

Anonimous, 2007. Pembagian Urusan Peme-rintah Antara Pemerintah, PemerintahanDaerah Provinsi, Dan Pemerintahan DaerahKabupaten/Kota. Yogyakarta: Fokus Media.

Indra Tranggono, Mencari “Sukrasana”, Kompas,2013.

Nico Kanter, “Peliknya Kepastian Hukum”, Kom-pas, 4 Pebruari 2013.

Purba, Zen Umar, 2012. “Tidak Mudah berusahadi Indonesia”. Koran Tempo, 19 November2012.

Pusat Rencana Statistik Kehutanan DepartemenKehutanan dengan Direktorat StatistikPertanian BPS, 2007. Identif ikasi DesaDalam Kawasan Hutan, 2007.

____, 2009. Identif ikasi Desa Dalam KawasanHutan, 2009. Jakarta.

Sarjita, 2005. Masalah Pelaksanaan UrusanPertanahan Dalam Era Otonomi Daerah.Yogyakarta: Tugujogja Pustaka.

____, Dkk., 2012. Strategi Dan Manajemen Reso-lusi Konflik, Sengketa dan Perkara Perta-nahan Untuk Keamanan di Bidang Investasi.Yogyakarta: Mitra Amanah Publishing-PUSPIN Jakarta.

“Seluruh Peraturan Harus Patuhi Konstitusi”,Koran Tempo, 16 November 2012.

Sindhunata, “Slenco”, Kompas, 2013.Suseno, Frans Magnis, 2001. Etika Politik Prin-

sip-Prinsip Moral dasar Kenegaraan Mod-ern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Page 197: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

EKSKLUSI DAN INKLUSI SEBAGAI DUA SISI MATA UANGAhmad Nashih Luthf i

Judul: Power of Exclusion, Land

Dilemmas in Southeast Asia

Penulis: Derek Hall, Philip

Hirsch, dan tania Murray Li

Penerbit: National University

of Singapore

Tahun terbit: 2011

Halaman: 257 hlm

Transfromasi agraria

Transformasi agraria Asia Tenggara mutakhirditandai dengan konversi besar-besaran lahanpertanian untuk kepentingan komersial, indus-tri, perumahan, pariwisata dan infastruktur, sertatujuan konservasi lingkungan. Di sisi lain posisipertanian menurun secara progresif dalam eko-nomi nasional maupun sebagai sumber penghi-dupan penduduk. Akibatnya penduduk perta-nian menurun drastis. Proses ini mengarah padaapa yang disebut sebagai “deagrarianisasi”. Per-juangan atas tanah sebagai ruang hidup danpenghidupan terjadi secara kontestatif dan kon-fliktual melibatkan aktor penduduk, negara, danswasta, yang ini merupakan gambaran kronis dikawasan Asia Tenggara.

Transformasi agraria kontemporer ini berbe-da dengan transisi agraria sebelumnya yangmemiliki konteks pelaksanaan Revolusi Hijaupada tahun 1960-an hingga 1980-an. Di periodeini transisi agraria mengarah pada proses “dife-rensiasi sosial” pedesaan yang ditandai denganproses perubahan dalam cara mengakses sum-ber-sumber produksi oleh berbagai kelompoksosial berbasis tanah yang seringkali berjalansecara tidak adil; perubahan hubungan produsenmaupun non-produsen sehingga di dalamnya

menghasilkan ekstraksi surplus; dan koeksistensidi dalam stratif ikasi sosial pedesaan. Aktor-aktoryang bekerja di dalam proses transisi agraria diperiode ini adalah kekuatan lokal desa (para tuantanah, petani penyewa, money lenders, dan petu-gas pajak), dan negara. (Gillian Hart, dkk., 1989).Selain itu, Revolusi Hijau yang ditandai denganintensifnya penggunaan teknologi dan komer-sialisasi, membawa akibat pada marjinalisasi pe-rempuan dan punahnya keragaman hayati.

Dalam mengatasi problem agraria di era ter-sebut, ketimbang melakukan “optimalisasi keku-atan dalam” melalui penataan struktur agraria(landreform), beberapa negara memilih melaku-kan “optimalisasi kekuatan luar” melalui pem-berian kredit dan bantuan teknologi pertanianyang dananya berasal dari hutang asing. Semen-tara penduduk pedesaan “dimobilisasi” untukmendukung upaya peningkatan produksipangan. Di dalam proses semacam inilah, tenagakerja pedesaan sekaligus “dikontrol” oleh keku-atan negara. Realitas demikian dinyatakan dalamanalisa Gillian Hart, dengan apa yang disebutsebagai exclusionary labor arrangement (GillianHart 1986). Akibat perubahan politik, ekonomi,dan penggunaan teknologi di desa tersebut,hubungan kerja dan sistem penyakapan yangsemula terbuka menjadi tertutup. Banyak tenagakerja kehilangan kesempatan kerja. Fenomenapermanent-circulair migrant worker munculakibat ini. Secara umum, strategi rekruitmentenaga kerja, pengorganisasian, dan pengaturan-nya, dibentuk bukan hanya oleh pola “supply anddemand”, namun oleh hubungan kekuasaan dilevel nasional maupun lokal. Otoritas nasionalpun kemudian merasa bergantung pada keku-

Review Buku

Page 198: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

197Ahmad Nashih Luthfi: Eksklusi dan Inklusi sebagai Dua .....: 196-199

atan asing. Hal demikian merupakan gambarannyata bagaimana saling terkaitnya antara keku-atan ekonomi-politik di level makro denganmodus pengerahan dan kontrol tenaga kerja dilevel lokal (mikro), sekaligus kekuatan nasionaldan global.

The powers of exclusion

Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania MurrayLi (selanjutnya disebut “HHL”) dalam bukuberjudul The powers of exclusion, Land Dilem-mas in Southeast Asia ini menunjukkan bahwaglobalisasi dan proses eksklusi bukanlah halbaru. Ditulis secara kombinatif oleh tiga sarjanaterkemuka, Hall seorang ilmuwan politik WilfridLaurier University yang baru-baru ini juga me-nerbitkan buku berjudul Land (2013); Hirschseorang ahli geografi di University of Sydney dandirektur Australian Mekong Resource Centre;sementara Tania Li adalah antropolog di Univer-sity of Toronto sekaligus direktur pada CanadaResearch Chair in Political Economy and Cul-ture in Asia-Pacif ic yang telah menerbitkanbeberapa buku dan tulisan yang dihasilkannyadari penelitian di Indonesia, dengan bukunyaini mereka bertujuan menunjukkan powers yangbekerja di ruang geografis-sejarah dan konjunk-tur masyarakat Asia Tenggara yang berubah dariwaktu ke waktu. Juga ditunjukkannya processes,actors yang terlibat dan dampak bagi mereka(baik yang kalah maupun yang menang), danbentuk-bentuk counter atas eksklusi yang terjadi.Di sinilah mereka mengeksplorasi bagaimanadan mengapa berbagai kenyataan di atas muncul,apa kekuasaan (power) yang bekerja dalam tran-sformasi itu, siapa aktor yang mendorong ataumelawan perubahan yang terjadi pada relasipertanahan itu, apa dilema dan debat yang ditim-bulkan dari perubahan itu, siapa yang menang dansiapa yang kalah di berbagai arena dan waktu?

Untuk mengarahkan pembacaan di atas,mereka memfokuskan pada berbagai cara yang

berubah yang mengakibatkan penduduk ter-eksklusi dari akses atas tanah. Mereka menggu-nakan terminologi “exclusion” yang dihubung-kan dengan konsep akses. Akses diartikan seba-gai kemampuan untuk memperoleh manfaat darisesuatu (the ability to derive benef it from things).Def inisi ini lebih luas dari pengertian klasiktentang properti, yang didefinisikan sebagai hakuntuk memperoleh dari sesuatu (the right tobenef it from things). Akses dalam pengertian inimengandung makna “sekumpulan kekuasaan”(a bundle of powers) berbeda dengan propertiyang memandang akses sebagai “sekumpulanhak” (bundle of rights). Dalam pengertian aksessemacam ini maka kekuasan diartikan sebagaisesuatu yang terdiri atas elemen-elemen mate-rial, budaya dan ekonomi-politik yang terhim-pun sedemikian rupa membentuk “bundel keku-asaan” (bundle of powers) dan “jaringan keku-asaan” (web of powers) yang kemudian menjadipenentu akses ke sumber daya. (Ribot dan Peluso2003). Cara melihat akses atas tanah yang beralihdari cara pandang hak (right) menuju kekuasaan(power) dapat menjelaskan proses perolehantanah. Dalam pengertian inilah maka ke-tereksklusian, inklusi, atau security semestinyadibaca.

HHL dalam bukunya tersebut melihat eksklu-si dalam pengertian sebagai “kondisi”, dimanaorang berada dalam situasi tuna akses padatanah, atau situasi yang mana tanah dikuasaidalam bentuk kepemilikan pribadi (private prop-erty). Eksklusi juga bermakna “proses” yangmana aksi-aksi kekerasan intens dan berskala luasmengakibatkan orang miskin terusir dari tanah-nya oleh atau atasnama orang yang berkuasa.

Eksklusi bukanlah proses acak, ia distruktu-rasi oleh relasi kekuasaan. Di pedesaan AsiaTenggara, dari kajian empiris yang mereka la-kukan, kondisi dan proses eksklusi tercipta dariinteraksi empat kekuasaan (power) berikut: regu-lation (kebijakan); force (kekuatan); the market

Page 199: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

198 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

(pasar); dan legiti-mation (pengab-sahan). Regula-tion, seringkali na-mun tidak eksklu-sif, diasosiasikandengan instru-men legal-negara,yang menetapkanaturan akses atastanah dan kondisipenggunaannya.Force adalah keke-rasan atau an-caman kekerasanbaik yang aktornyastate atau non-state. The market adalah kekuatan eksklusi yangbekerja membatasi akses melalui bentuk “harga”dan kreasi “insentif” dengan semakin terin-dividualisasikannya tanah. Legitimation menen-tukan dasar moral atas klaim, dan tentu sajadalam membuat regulasi, pasar, dan kekuatan,sehingga dengan itu menjadi basis eksklusi yangsecara politik dan sosial dapat diterima.

Bentuk-bentuk powers of exclusion yang ber-hasil ditunjukkan penulis menandai transfor-masi agraria yang terjadi di Asia Tenggara adalah6 ragam berikut: (1) regulerisasi akses atas tanahmelalui program pemerintah, sertipikasi tanah,formalisasi, dan settlement; (2) ekspansi spasialdan intensifnya upaya melakukan konservasihutan dengan bentuk pelarangan pertanian; (3)hadirnya “boom crops” yang terlihat massif, cepat,keras, yang membalikkan tanah-tanah konversiuntuk produksi monocrops; (4) konversi lahanpertanian untuk tujuan-tujuan “pasca-agraria”;(5) terbentuknya formasi kelas agraris secara “in-timate” dan dalam skala desa; (6) mobilisasi ko-lektif itas untuk mempertahankan atau menun-tut akses atas tanah mereka, dengan mengor-bankan pengguna atau penggunaan tanah lain.

HHL menyusun bukunya kedalam delapanbab. Bab pertama mendedahkan kerangkateoritik dan konsep-konsep utamanya; bab duaberjudul “Licensed Exclusion: Land Titling, Re-form, and Allocation”; bab tiga “Ambient Exclu-sion: Environtmentalism and Conservation”; babempat “Volatile Exclusion: Crops Boom and TheirFallout”; bab lima Post Agrarian Exclusion: LandConversion”, bab enam “Intimate Exclusion: Eve-ryday Accumulation and Dispossession”, babtujuh “Counter Exclusion: Collective Mobiliza-tions for Land and Territory”, dan bab delapanadalah kesimpulan. Bab-bab ini disusun mengi-kuti empat ragam kekuatan (power) yang ber-langsung dalam enam proses dan bentuk eksklu-si tersebut di tujuh negara di kawasan AsiaTenggara, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia,Filipina, Thailand dan Vietnam.

Land dilemmas

Seorang petani tidak mungkin bisa mengolahtanahnya yang subur (inklusi) tanpa ia membatasiatau melarang orang lain (eksklusi) mengklaimatas tanah tersebut. Di sinilah inklusi dan eksklusiitu berlangsung secara bersamaan, bagai dua sisi

TRANSFORMASI AGRARIA ASIA TENGGARA

Konteks Revolusi Hijau: 1960 Konteks Globalisasi: Akhir Perang Dingin hingga Krisis Ekonomi 2007

yang mendorong atau melawan perubahan yang terjadi pada relasi agraria itu; apa dilema dan debat yang ditimbulkannya; siapayang menang dan siapa yang kalah di berbagai arena dan waktu dalam transformasi itu?

Page 200: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

199Ahmad Nashih Luthfi: Eksklusi dan Inklusi sebagai Dua .....: 196-199

mata uang yang sama. Penulis menyebut ini se-bagai “the double edges of exclusion”, dan di sini-lah letak dilemanya, bahwa pada saat orangmengakses tanah secara bersamaan ia memba-tasi bahkan menutup akses orang lain atas tanahtersebut. Tepat pada poin inilah inti argumentasipenulis: “exclusion itself is an unavoidable factof land access and use” (hlm. 198). Perhatiannyabukan pada apakah eksklusi itu “baik” ataukah“buruk”, namun yang ingin mereka tunjukkanadalah bahwa dalam setiap proses inklusi danmengakses tanah, akan selalu ada yang ter-eksklusi, sehingga yang kemudian penting dilihatadalah, “who will win, and who will lose, fromthe ways in which boundaries are drawn” (p. 198).Pemerintah harus memperhatikan misalnyadalam program legalisasi tanah, berakibat padasiapa sajakah kegiatan ini di hutan alam datarantinggi Kamboja, demikian pula saat dilaksana-kannya program penetapan kawasan hutan(Land and Forest Allocation) dengan membuatbatas yang tegas antara “hutan” dengan “perta-nian”, antara “desa” dan “bukan desa” dan seterus-nya di Laos. Di Myanmar justru banyak NGOinternasional yang mendukung sistem adminis-trasi pertanahan dalam menghadapi liberalisasiekonomi dan peluang investasi asing. Pemerin-tah kerajaan Sarawak terlibat dalam mendef i-nisikan dan akhirnya mengakui (sekaligus tidakmengakui pada pihak yang lain) Hak MasyarakatAdat tatkala terjadi konflik antara komunitasdengan pelaku illegal logging yang didukungoleh pemerintah.

Indonesia digambarkan dalam buku ini uta-manya dalam bab 6, dimana masyarakat (dengankasus Subang dan dataran tinggi Sulawesi) satusama lain yang mereka ini saling mengenal,melakukan exclude akses atas tanah sebagaibagian dari akumulasi kapital. Masyarakat desaJawa yang digambarkan secara idyllic sebagaikomunitas yang homogen dan harmonis tidakmenemukan pembenarannya sebab secara inter-

nal mereka terdiferensiasi dalam kelas pengu-asaan tanah, satu dengan lainnya terikat dalamhubungan penggarapan tanah, bagi hasil, sewadan gadai tanah, kredit, hutang-piutang, yangtidak jarang berujung pada proses pelepasantanah bagi kelas yang lemah, dan akumulasipada pihak yang sebaliknya. Demikian pula yangterjadi di dataran tinggi Sulawesi dengan me-luasnya penanaman kakao di wilayah ini yangmembutuhkan lahan-lahan baru yang diperolehdengan cara membeli tanah penduduk setempatoleh para pendatang yang kebanyakan dari Bu-gis.

Saya setuju dengan Keith Barney (2012) yangmembuat penilaian bahwa buku ini menye-diakan kerangka analitis yang baru, diskusi kom-paratif yang detail mengenai transformasi agra-ria, dan merupakan sumbangan yang inspiratifbagi ekologi politik untuk kawasan Asia Teng-gara, meski dilakukan atas data-data yangsebenarnya tidak lagi baru.

Pustaka

Hart, Gillian, Andrew Turton, dan BenjaminWhite (ed.), 1989. Agrarian Transformation,Local Processes and the State in SoutheastAsia, California: University California Press.

Hart, Gillian, 1986. Power, Labor, and Livelihood,Processes of Change in Rural Java, (Berke-ley dan Los Angeles: University of Califor-nia Press.

Hall, Derek, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li,2011. Power of Exclusion, Land Dilemmas inSoutheast Asia, Singapore: National Univer-sity of Singapore.

Ribot, J.C. dan Nancy Peluso, 2003. “A Theory ofAccess”, Rural Sociology, 68 (2).

Barney, Keith, 2012. “Review of Powers of Exclu-sion”, http://asiapacif ic.anu.edu.au, diaksespada tanggal 21 Mei 2012.