149
Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) Disusun oleh: Agus Prasetyo (11140220000035) PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/1440 H

Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul

Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Disusun oleh:

Agus Prasetyo (11140220000035)

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019 M/1440 H

Page 2: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul

Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Disusun oleh:

Agus Prasetyo (11140220000035)

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019 M/1440 H

Page 3: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir
Page 4: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir
Page 5: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir
Page 6: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

i

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai Sultan Abul Mafakhir

Mahmud Abdul Kadir. Dalam memimpin Banten, Sultan Abul

Mafakhir berhasil mencapai tahap ‘Raja Sufi’ karena ia mampu

mengembalikan keamanan dan kestabilan di Kesultanan Banten.

Ada tiga Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini.

Pertama, apa yang dimaksud dengan Raja Sufi. Kedua, siapakah

Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Ketiga, bagaimana ia

berhasil mencapai tahapan Raja Sufi. Untuk menjawab

permasalahan di atas, arah penulisan sejarah dalam skripsi ini akan

bersifat analytical history yang dilakukan dengan library research

serta observasi langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini

menggunakan pendekatan sejarah dengan memanfaatkan teori

kepemimpinan kharismatik Max Weber. Dalam konteks raja-raja

Nusantara, teori tersebut kemudian dirumuskan kembali oleh Merle

C. Ricklefs dan A.C Milner menjadi ‘Raja Sufi’.

Temuan dalam penelitian ini pertama, Raja Sufi adalah

penguasa sempurna yang mampu menjaga kestabilan dan keamanan

wilayah kerajaannya. Konsep Raja Sufi bersumber dari doktrin

insan kamil yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abd al-Karim

al-Jili. Kemudian, insan kamil diaktualisasikan dengan lanskap

politik kerajaan Nusantara yang berpusat pada sosok raja. Kedua,

Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir adalah Raja Banten

keempat yang berkuasa di Banten dari tahun 1624-1651 M. Ia

berhasil mengembalikan kedudukan Banten sebagai salah satu

kerajaan besar di Nusantara. Ia memperoleh gelar ‘Sultan’ dari

Mekkah di tahun 1638 M dan mampu menciptakan stabilitas

ekonomi dan politik di Kerajaan Banten. Ketiga, Ia memiliki

ketertarikan terhadap doktrin ‘insan kamil’. Atas dasar ini, ia

memberi perintah untuk menyalin kitab al-Insan al-Kamil karya al-

Jili dan membaca Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali. Selain itu, ia

juga mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta fatwa yang

tergambar dalam kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah karya

Muhammad ‘ibn Allan. Ketiga kitab tersebut kemudian membentuk

pribadi Sultan Abul Mafakhir menjadi Raja Sufi.

Kata Kunci: Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir,

Kesultanan Banten, Insan Kamil, Raja Sufi.

Page 7: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah

Subhanau wa Ta’ala. Karena atas segala rahmat, nikmat serta

hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Teriring juga salawat serta salam kepada utusan Allah untuk

memperbaiki akhlak manusia, Nabi Muhammad

Shalallahu’alayhi wa Sallam yang akan menjadi pemberi

syafa’at bagi kita di hari akhir nanti.

Skripsi yang ada di tangan pembaca sekalian adalah

akumulasi dari proses panjang dalam menyelesaikan studi

untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui usaha dan upaya

yang panjang, akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi

dengan judul: RAJA SUFI DARI KESULTANAN

BANTEN: SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD

ABDUL KADIR (1596-1651 M).

Di balik proses panjang yang telah penulis lalui untuk

menyelesaikan skripsi ini, ada banyak partisipasi dan

dukungan dari berbagai pihak yang diwujudkan dalam bentuk

moril maupun materiil. Dalam kesempatan yang baik ini,

penulis menghaturkan rasa syukur dan terima kasih atas

segala bantuan, do’a serta kerja sama dalam mewujudkan

penulisan sejarah mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud

Abdul Kadir. Oleh karena, penulis ingin menyampaikan

terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

Page 8: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

iv

1. Kedua orang tua penulis, Bapak Teguh Miranto dan

Ibu Tati Munyanih yang senantiasa memberikan

motivasi dan semangat kepada penulis dalam

menyelesaikan studi. Keduanya juga menjadi

penyandang dana terbesar dari skripsi yang penulis

tulis ini.

2. Kedua adik penulis, Melysa Anggraini dan Tri Indah

Sari, yang senantiasa menemani serta menghibur

penulis ketika sedang kesulitan dalam menyelesaikan

skripsi ini.

3. Prof. Jajat Burhanuddin, selaku Dosen Pembimbing

Skripsi sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang

dengan sabar menuntun serta membimbing penulis

dalam menyelesaikan skripsi dan studi di Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Awalia Rahma selaku Ketua Program Studi

Sejarah dan Peradaban Islam yang senantiasa

mendorong penulis untuk segera menyelesaikan studi

di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Tak lupa juga penulis haturkan banyak ucapan

terima kasih kepada Pak Nurhasan dan Ibu Sholikatus

Sa’diyah selaku kepala dan sekretaris prodi Sejarah

dan Peradaban Islam sebelumnya.

Page 9: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

v

5. Kepada Prof. Budi Sulistiono dan Prof. Amirul Hadi

sebagai dosen penguji yang telah membedah dan

menguji skripsi penulis. Keduanya telah memberikan

masukan dan saran yang membangun bagi penulis

untuk bisa memperbaiki skripsi ini agar lebih baik

lagi.

6. Kepada seluruh Dosen Sejarah dan Peradaban Islam

(2014-2019) yang telah memberikan banyak ilmu

mengenai Sejarah dan Peradaban Islam. Atas dasar

inilah, penulis semakin banyak belajar dan mendalami

tentang Sejarah dan Peradaban Islam, terlebih lagi

mengenai sejarah Indonesia.

7. Dr. Saidun Derani, dosen dan orang tua luar biasa yang

selalu memberikan nasihat dan masukan kepada

penulis untuk segera menyelesaikan studi. Nasihat dan

masukan dari beliau selalu melekat dalam ingatan

penulis ketika sedang berada di situasi yang sulit.

8. Prof. Mufti Ali, MA dan Drs. Tubagus Najib,

keduanya merupakan ahli tentang sejarah Banten dan

tergabung dalam organisasi Bantenologi di UIN

Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Prof. Mufti dan

Pak Najib beberapa kali memebrikan sumber referensi

penting yang belum penulis ketahui mengenai sejarah

Banten, khususnya yang berhubungan dengan tema

yang penulis kaji.

Page 10: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

vi

9. Keluarga besar penulis di Kota Tangerang dan

Kabupaten Batang yang telah memberikan doa dan

dukungan agar penulis lebih cepat lagi dalam

menyelesaikan studi.

10. Destri Andriani yang telah menjadi sahabat yang telah

setia menemani penulis selama menjalankan studi di

UIN Jakarta. dari waktu ke waktu, ia senantiasa

memberikan masukan, kritik dan saran agar penulis

lebih cepat dan baik lagi dalam menyelesaikan studi

dan lebih penting menjalani hidup. Dalam kesempatan

ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya atas segala doa dan dukungan yang

Destri berikan selama ini. doa dan harapan yang

terbaik juga akan selalu saya berikan padamu. Kamu

yang terdalam dan akan selalu kunanti. Bismillah.

11. SKI A GENT (Adika Setiawan, Muhammad

Aminuddin, Nurrizal Fahmi, M. Reza Kurnia, Haris

Maulana, Ibnul Mubarok) yang bersama mereka,

penulis banyak menghabiskan waktu selama

mengenyam pendidikan di UIN Jakarta.

12. KELUARGA SKI A, Terima kasih atas segala waktu,

kebersamaan dan pembelajaran yang sudah diberikan

oleh teman-teman kelas SKI A yang sangat luar biasa.

Page 11: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

vii

13. SALAM 156 (Kautsar, Sirojuddin, Ammar, Futuh,

Najih, Rizky, Fitri, Ata, Loli, Febri, Riri, Shafira).

Satu bulan lamanya penulis menghabiskan waktu

dengan mereka. Semoga semangat kekeluargaan yang

sudah terjalin sebelumnya bisa terus dipertahankan

14. JOMBS DKI (Abdullah Syafi’i, Dany Erlambang,

Teuku Affan, Wijanarko Setyosalam). Banyak momen

penting dan berharga yang sudah penulis lewati dan

jalani dengan grup ini. Terima kasih atas segala

momen seru dan dukungan yang sudah kalian berikan.

15. Inayatul Khasanah, Dicky Prasetya dan Dikiy Hidayat.

Terima kasih atas segala dukungan, do’a dan petunjuk

yang telah diberikan kepada penulis.

16. Seluruh staf dari Perpustakaan Kebudayaan

Kemendikbud, khususnya Bapak Ari yang dengan

sabar melayani kebutuhan buku yang penulis cari di

Perpustakaan Kebudayaan di lt. 6 Gedung A

Kemendikbud.

17. Bapak Thohari, Bapak Indra serta Bapak Frandus.

Terima Kasih atas keramahan yang sudah diberikan

selama kegiatan magang penulis di Puslit Arkenas

tahun 2017.

Page 12: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

viii

18. Petugas Perpusnas Lantai 9, Terima kasih atas

bantuannya dalam memudahkan dalam mengakses

manuskrip-manuskrip yang penulis butuhkan.

19. Ka Syahril dan Ka Syarif. Terima kasih atas segala

inspirasi dan contoh baik yang sudah diberikan kepada

penulis selama ini.

20. Keluarga besar FRESH (2017-2018). Mohon maaf

atas segala kelalaian dan keburukan yang penulis

hadirkan selama menjadi anggota FRESH. Terima

kasih juga karena telah banyak memotivasi penulis

lewat postingan-postingan yang menggugah semangat

penulis untuk melanjutkan studi.

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa kekurangan

yang terdapat dalam skripsi ini masih begitu banyak.

Karenanya, penulis mengharapkan kritik serta masukan yang

membangun demi menjadikan skripsi ini lebih sempurna.

Semoga bisa bermanfaat untuk para pembaca

Jakarta, 2 Juli 2019

Penulis

Page 13: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN .................................................

LEMBAR PENGESAHAN .................................................

ABSTRAK ........................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................... iii

DAFTAR ISI ...................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ........................................................ xii

GLOSSARI ...................................................................... xiv

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang .................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .......................................... 12

C. Batasan Masalah ................................................ 14

D. Rumusan Masalah ............................................. 14

E. Tujuan dan Manfaat ........................................... 14

F. Metode Penelitian .............................................. 15

G. Sistematika Penulisan ........................................ 22

BAB II Tinjauan Pustaka

A. Kerangka Teori .................................................. 25

B. Kajian Pustaka ................................................... 27

C. Kerangka Berpikir ............................................. 30

BAB III Ajaran Insan Kamil di Kesultanan Banten Abad

ke-17

A. Doktrin insan kamil dari waktu ke waktu ......... 39

1. Insan kamil dalam pandangan

Ibnu Arabi ................................................. 39

Page 14: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

x

2. Insan kamil dalam pandangan

Abd’ al-Karim al-Jili ................................. 42

3. Martabat Lima dan insan kamil menurut

Hamzah Fansuri ........................................ 44

4. Insan kamil dalam pandangan

Nurudin ar-Raniry ..................................... 47

B. Konsep Raja Sufi:Aktualisasi Doktrin insan kamil

di Nusantara ...................................................... 50

C. Ajaran insan kamil di Kesultanan Banten ......... 54

BAB IV Kesultanan Banten di Bawah Kekuasaan Sultan

Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir

(1624-1651 M)

A. Kesultanan Banten sebelum Sultan Abul Mafakhir

Mahmud Abdul Kadir berkuasa ........................ 59

B. Kesultanan Banten di masa Pemerintahan Sultan

Abul Mafakhir (1624-1651 M) .......................... 69

C. Inggris dan Belanda: Kawan di satu sisi dan lawan

di sisi yang lain .................................................. 81

D. Mekkah dan India: Sumber otoritas keagamaan

bagi Kesultanan Banten ..................................... 98

BAB V Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir:

Raja Sufi dari Kesultanan Banten

A. al-Mawahib ar-Rabbaniyyah dan Sultan Abul

Mafakhir Mahmud Abdul Kadir ...................... 107

B. Perjalanan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul

Kadir sebagai Raja Sufi ................................... 115

Page 15: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

xi

BAB VI Penutup

A. Kesimpulan ...................................................... 123

B. Saran ................................................................ 128

Daftar Pustaka ................................................................ 130

Lampiran-Lampiran ...................................................... 143

Page 16: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Suasana di situs Makam Kenari, tempat

dimakamkannya Sultan Abul Mafakhir

Mahmud Abdul Kadir.

Gambar 2: Gapura Bentar (Split Cave) atau Padureksa

yang merupakan pintu masuk di situs Makam

Kenari.

Gambar 3: Beberapa makam yang ada di dalam kompleks

makam Kenari. Nyai Gedhe (Ibunda Sultan

Abul Mafakhir) dan Sultan Abul Ma’ali (Putra

Abul Mafakhir) juga dimakamkan di Kenari.

Gambar 4: Nisan Tipe Banten yang ada di situs makam

Kenari.

Gambar 5: Masjid Kenari yang berada tepat di depan situs

makam Kenari.

Gambar 6: Suasana di dalam Masjid Kenari.

Gambar 7: Mustaka atau Cungkup yang ada di atas Masjid

Kenari.

Gambar 8: Pintu masuk berbentuk kecil yang

menghubungkan selasar masjid dengan ruang

utamanya.

Gambar 9: Sebuah benda yang menyerupai pedang

dzulfiqor, pedang legendaris dalam sejarah

Islam. Tersimpan di dalam Masjid Kenari.

Page 17: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

xiii

Gambar 10: Surat Raja Banten kepada Raja Inggris di

tahun 1629 M.

Gambar 11: Koin ‘Kasha’, salah satu mata uang Kerajaan

Banten di abad ke-17.

Gambar 12: Halaman judul manuskrip al-Mawahib ar-

Rabbaniyyah.

Gambar 13: Pertanyaan pertama yang ada pada al-

Mawahib ar-Rabbaniyyah.

Gambar 14: Peta ‘La Rade de Bantam’,

Gambar 15: Ilustrasi pemandangan Kota Banten dari arah

laut di abad ke-17.

Gambar 16: Ilustrasi pasar Banten yang ramai dan penuh di

abad ke-17.

Gambar 17: Ilustrasi Bendera Banten di abad ke-17 oleh

Cornelis Daenkert.

Page 18: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

xiv

GLOSSARI

Andamohi Keling : Salah satu penasihat raja yang

berasal dari India. Ia juga lawan

politik dari Pangeran Ranamanggala

dalam peristiwa pailir di tahun 1608.

BKI : Bijdragen tot de Taal-, Land en

Volkekunde

Bulletin of SOAS : Bulletin of the School of Oriental

and African Studies

EIC : East India Company, perusahaan

dagang asal Inggris yang dibentuk

awal abad ke-17.

Fatwa : Jawaban atas pertanyaan yang

berkaitan dengan hukum Islam.

Gula Geseng/Ngemu : Pejabat Istana yang ditugaskan oleh

Sultan Abul Mafakhir untuk

memberikan uang kepada rakyat

yang sedang kesulitan.

Insan Kamil : Doktrin sufistik tentang manusia

Sempurna yang mampu menjadi

bayangan Tuhan di Bumi.

Istifta : Pertanyaan yang diajukan mustafti

untuk meminta fatwa kepada mufti.

JAABE : Journal of Asian Architecture and

Building Engineering

JMBRAS : Journal of the Malayan Branch of

the Royal Asiatic Society

Kelapadua : Pusat penghasil gula paling awal di

Banten.

Koin Kasha : Mata uang kerajaan Banten di masa

Sultan Abul Mafakhir.

Maulana : Sebutan bagi penguasa atau raja yang

diambil dari bahasa Arab.

Martabat Lima : Ajaran Sufistik yang diformulasikan

Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-

Sumatrani terkait dengan lima

Page 19: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

xv

tingkatan atau proses pencitraan

Tuhan dalam diri manusia.

Martabat Tujuh : Ajaran sufistik yang diformulasikan

al-Burhanfuri terkait dengan

tujuh tingkatan atau proses

pencitraan Tuhan dalam diri

manusia.

Mufti : Orang yang memberikan fatwa.

Mustafti : Orang yang meminta fatwa.

Mustaka/Cungkup : Ornamen yang berbentuk mahkota

yang biasanya berada di atas masjid.

Nayaka/Santana : Pegawai Kerajaan. Biasanya berasal

dari dalam anggota kerajaan.

Pabaranang : Peristiwa penyerangan pasukan

Banten terhadap blokade kapal

Belanda di tahun 1635 M.

Padureksa : Bangunan berbentuk gapura yang

banyak ditemui pada beberapa

bangunan suci di kawasan Banten

Lama.

Pagerage : Peperangan yang berlangsung antara

Banten dan Cirebon di akhir dekade

1640 M.

Pailir : Perang saudara yang berlangsung di

Banten sekitar tahun

1608 M.

Pangeran : Gelar kerajaan yang sering

digunakan oleh pewaris tahta dan

para bangsawan.

Papungkuran : Bangunan yang ada di tengah danau

Tasikardi dan menjadi tempat Sultan

Abul Mafakhir bertafakkur dan

merenung.

Punggawa : Pegawai Kerajaan. Biasanya berasal

dari luar anggota kerajaan.

Raja Sufi : Penguasa yang memiliki

pengetahuan yang baik terhadap

doktrin sufistik.

Sultan : Penguasa yang memimpin sebuah

Page 20: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

xvi

Kesultanan.

Tajalli : Cerminan atau Manifestasi.

Tasikardi : Danau buatan yang terletak di selatan

Surosowan. Biasanya disinggahi oleh

Sultan Abul Mafakhir selepas

berziarah dari makam Ibundanya.

Warga : Dewan Musyawarah di Kesultanan

Banten yang terdiri dari punggawa,

nayaka dan para pejabat Banten

lainnya

Page 21: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skripsi ini dimaksudkan untuk menjelaskan salah satu

penguasa yang paling penting di Kesultanan Banten, Sultan

Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Sultan Abul Mafakhir

lahir di tahun 1596 M dengan gelar Pangeran Ratu Ing

Banten1. Ia mulai berkuasa sejak tahun 1624 M hingga tahun

1651 M. Selama menjalankan kekuasaannya di Banten, Sultan

Abul Mafakhir mampu menjaga kemerdekaan Banten. Dalam

naskah Sajarah Banten (selanjutnya disebut Sajarah Banten),

ada banyak peristiwa penting yang berlangsung selama masa

kekuasaan Abul Mafakhir. Pertama, peristiwa pailir di tahun

1608 M, ia digambarkan sebagai perang saudara yang terjadi

antara para pembesar negeri Banten. Kedua, peristiwa

palumaju yang digambarkan sebagai pemberontakan yang

digerakkan oleh seorang tokoh bernama ‘Lumaju’ di tahun

1640-an. Ketiga, pengiriman utusan Banten ke Mekkah di

tahun 1630-an. Keempat, peristiwa pagerage yang

1 Merupakan gelar Abul Mafakhir sebelum mendapatkan gelar

‘Sultan’ dari Syarif Mekkah di tahun 1638 M. Annabel Teh Gallop,

“Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”.

Indonesia and The Malay World 31, no.91 (2003): 418.

Page 22: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

2

mengisahkan upaya Banten dalam mempertahankan diri atas

serbuan pasukan Cirebon di tahun 1650.2

Dalam naskah yang sama, Sultan Abul Mafakhir

Mahmud Abdul Kadir bahkan dikenal sebagai Sultan Agung

atau ‘penguasa besar’.3 Sosoknya sebagai salah satu ‘Sultan

Agung’ Kesultanan Banten sering kali luput dari perhatian dan

bahkan tertutupi oleh kegemilangan para penerusnya.

Dalam berbagai studi mengenai Sejarah Banten, peran

Sultan Abul Mafakhir memang seakan tertutupi dengan

kegemilangan penerusnya, Sultan Ageng Tirtayasa (ber 1651-

1682 M. Beberapa di antaranya adalah; pembangunan saluran

irigasi, kanal serta ladang selama tahun 1659-1677 M.4 Atas

jasa besarnya dalam membangun berbagai macam pengairan di

Banten, gelar ‘Tirtayasa’ kemudian disematkan pada dirinya.

Selain itu, Banten berhasil menjadi Kesultanan Jawa pertama

yang mampu membentuk kongsi dagang sendiri dan mengirim

kapal-kapal ke Kamboja, Filipina, Vietnam, Siam dan ke

kawasan Asia Timur seperti China, Taiwan serta Jepang di

2 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten (Jakarta:

WWS, 2015). 137-140. 3 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten

(Jakarta: Djambatan, 1984). 199. Lihat juga Ernest Lavisse & Alfred

Rambaud, Histoire Gerneralie: Les Monarchies constitutionnelles. (Paris:

Armand Colin & Co, 1898). 998. 4 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII

(Jakarta: KPG- EFEO, 2008). 205-206.

Page 23: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

3

1660’an.5 Namun, kegemilangan Sultan Ageng Tirtayasa

bukan muncul dari ruang yang hampa. Ia muncul dari fondasi

kuat yang telah diletakkan oleh para pendahulunya.

Menurut penulis, salah satu penguasa Banten yang

berhasil menciptakan fondasi yang kokoh adalah Sultan Abul

Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M). Dalam bidang

pertanian, Sultan Abul Mafakhir juga banyak membuka ladang

baru, membangun lumbung serta memformulasikan gula

sebagai komoditas baru di Banten.6 Sedangkan dalam bidang

perniagaan, Sultan Abul Mafakhir menggandeng EIC (East

Indies Company) untuk mengekspor gula ke Batavia dan

beberapa kawasan lain di Nusantara.7 Hasilnya, perekonomian

dan perniagaan Banten menjadi lebih stabil dan kuat dibanding

dengan periode sebelumnya.

Salah satu indikator dari perbaikan ekonomi Banten

masa itu adalah harga lada yang membaik dan diikuti dengan

kemunculan gula sebagai komoditas perdagangan baru di

Banten. Terkait dengan harga lada, data yang dihimpun oleh

Johan Talens menunjukkan, di tahun 1620’an yang merupakan

5 Claude Guillot, Hasan M. Ambary & Jacques Dumarcay, The

Sultanate of Banten (Jakarta: Gramedia Book Publishing Division, 1990).

49-52. 6 Claude Guillot, Lukman Nurhakim and Claudine Salmon, “Les

Sucriers chinois de Kelapadua, Banten, XVIIe siècle. Textes et vestiges”.

Archipel 39 (1990):141-142. 7 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater

(Hilversum: KITLV-Verloren, 1999). 76-77.

Page 24: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

4

masa awal pemerintahan Sultan Abul Mafakhir, harga lada

berada di kisaran 1,8 real/bahar. Harga lada kemudian

meningkat di tahun 1630’an menjadi 18,75 real/bahar.

Kenaikan harga lada terus berlangsung hingga akhir masa

kekuasaannya. Di tahun 1640’an dan 1650’an, harga lada

menjadi 20,5 real/bahar dan 22 real/bahar.8 Salah satu faktor

atas kenaikan harga lada Banten adalah kembalinya Inggris ke

pasar Banten di tahun 1628 M. Sultan Abul Mafakhir

mengundang secara khusus orang-orang Inggris yang ada di

Pulau Lagundi untuk membuka kembali loji Inggris di Banten.9

Perdagangan lada menjadi lebih terbuka dengan

kehadiran EIC (East India Company). Kebijakan waliraja

Ranamanggala yang sebelumnya memberi hak khusus bagi

para pedagang keturunan Cina juga dibatalkan oleh Sultan

Abul Mafakhir. Di sisi lain, Sultan Abul Mafakhir juga

berusaha untuk menurunkan jumlah produksi lada. Di tahun

1629, jumlah ekspor lada Banten hanya sekitar 15.000 hingga

16.000 karung. Jumlah tersebut turun drastis dari produksi

tahun 1627 yang mencapai 50.000-60.000 karung dan tahun

1620 yang mencapai 100.000 karung.10 Kemampuan Sultan

Abul Mafakhir dalam emperbaiki demand (permintaan) dan

8 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater. 86. 9 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-

1682)”. Archipel 50, (1995): 105. 10 Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di

Nusantara (Yogyakarta: Ombak, 2016). 401.

Page 25: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

5

supply (ketersediaan) agaknya menjadi salah satu faktor

pendorong dari harga lada Banten yang cenderung naik.

Melalui keterlibatan Inggris juga, gula muncul sebagai

komoditas baru di tahun 1620’an. Claude Guillot dalam

penelitiannya menemukan sebuah kontrak kerja yang

disepakati antara orang Cina di Banten dengan loji Inggris,

bahwa semua gula yang dihasilkan oleh para petani hanya

boleh dijual kepada pihak Inggris. Kontrak tersebut

berlangsung antara bulan Februari 1638 sampai Januari 1640.

Dalam kontrak ini, Sultan Abul Mafakhir sendiri berperan

sebagai pengawas agar segala hak dan kewajiban yang

disepakati dalam kontrak tersebut bisa dipenuhi oleh masing-

masing pihak. Gula yang dihasilkan dalam setahun

diperkirakan mencapai 450 pikul atau 2,8 ton gula putih dengan

kualitas bagus.11 Gula yang dibeli Inggris kemudian di ekspor

oleh EIC (East India Company) ke Batavia. Di tahun 1637 M

bahkan gula yang diekspor ke Batavia mencapai 3000 pikul

atau sekitar 20 ton.12

Di tengah kondisi ekonomi Banten yang mulai

membaik, Abul Mafakhir juga mengirim utusan ke Mekkah di

11 Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan Claudine Salmon, “Les

Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 141. 12 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater.

76-77.

Page 26: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

6

tahun 1630-an.13 Utusan Banten kembali pulang di tahun 1638

dengan membawa berbagai hadiah dari Mekkah, di antaranya;

(1) gelar ‘Sultan’, (2) kain penutup ka’bah, (3) kitab al-

Mawahib ar-Rabbaniyyah, (3) jejak kaki Nabi, (4) bendera

Nabi Ibrahim serta beberapa barang lainnya.14 Hasilnya,

Banten berhasil memperoleh otoritas keagamaan yang kuat

untuk mempersatukan negeri dan membentuk ideologi Banten

sebagai sebuah Kerajaan Islam. 15 Lebih jauh lagi, hubungan

Banten dengan Mekkah di tahun itu menjadi role model bagi

penguasa lain, dalam hal ini Raja Mataram untuk melakukan

hal serupa.16

Pengiriman utusan ke Mekkah oleh Sultan Abul

Mafakhir hampir selalu dimaknai sebagai usaha mencari gelar

’Sultan’.17 Padahal, utusan ini dikirim dengan membawa misi

meminta fatwa atas kitab berjudul Marqum, Muntahi dan

13 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 137-140.

Lihat juga Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara (Yogyakarta: Bentang

Pustaka, 2015). 18. 14 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 54-58.

Lihat juga Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren:

Religious Institutions in Banten Sultanate”. Archipel, 50 (1995): 167. 15 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater.

148-149. 16 Daghregister 1661, 88. Lihat juga De Graaf, Puncak Kekuasaan

Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (Jakarta: Pustaka Grafiti pers,

1986). 272-275. 17 Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren:

Religious Institutions in Banten Sultanate”: 167. M.C Ricklefs, Mystic

Synthesis in Java (Connecticut: EastBridge, 2006). 159.

Page 27: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

7

Wujudiyah18 serta meminta dikirimkan seorang ahli agama ke

Banten.19 Terlebih lagi, fatwa yang berasal dari Mekkah

memiliki pengaruh yang sangat besar di abad ke-17.20 Oleh

sebab itu, usaha mencari fatwa agaknya lebih tepat jika

dibandingkan dengan tujuan mencari ‘gelar’ semata. Selain itu,

di tahun 1640’an Sultan Abul Mafakhir mengirim utusan ke

Nurudin al-Raniri (w. 1658). Utusan ini dikirim ke kampung

halaman Nurudin al-Raniry di India, berselang beberapa tahun

setelah ia kembali dari Aceh.21

Poin penting yang juga perlu ditekankan adalah

ketertarikan Sultan Abul Mafakhir terhadap ilmu tasawuf,

khususnya doktrin insan kamil. Sebagai wujud ketertarikannya,

Sultan Abul Mafakhir menyalin atau setidaknya memberikan

perintah untuk menyalin kitab al-Insan al-Kamil karya Abd’ al-

Karim al-Jili.22 Selain itu, Sultan Abul Mafakhir juga memiliki

ketertarikan terhadap sosok raja yang adil yang terdapat dalam

18 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 53. Lihat

juga Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890

(Jakarta: KPG-EFEO, 2013). 15-17. 19 Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara. 18-19. Lihat juga Titik

Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 340. 20 Nico Kaptein, “The Voice of The ‘Ulama’: Fatwas and Religious

Authority in Indonesia”. Archives de Science sociales des religions 49, no.

125 (2004): 125. 21 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-

Karim al-Jili (Serang: Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M IAIN Sultan

Maulana Hasanuddin Banten, 2015). 3. 22 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-

Karim al-Jili. 197-198.

Page 28: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

8

kitab Nasihat al-Mulk karya al-Ghazali (w. 1111 M). Seorang

raja haruslah memiliki sifat yang adil terhadap masyarakatnya.

Karena dengan sifat ini, kesempurnaan seorang Raja dapat

diukur dengan kemampuannya menjaga keamanan dan

kestabilan negeri.23

Dalam hal ini, kitab Taj al-Salatin menguraikan konsep

ideal bagi seorang raja. Dalam hal ini konsep yang

diperkenalkan dalam naskah dengan istilah “adil”, yang

merujuk pada kondisi moral dan kesempurnaan agama. Dalam

Taj al-Salatin, seorang penguasa harus memiliki empat kriteria

untuk menjadi Raja Adil. Kriteria tersebut di antaranya (1)

seorang penguasa harus selalu ingin menuntut ilmu pada

ulama, (2) memperhatikan kondisi rakyatnya, (3)

menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan serta (4)

melindungi rakyatnya dari setiap kejahatan.24 Untuk memenuhi

kriteria tersebut, seorang Raja Sufi juga perlu banyak membaca

karya-karya sufistik. Dalam Sajarah Banten, Sultan Abul

Mafakhir juga memiliki empat kriteria yang sudah disebutkan

sebelumnya. Ia mengirimkan utusan ke Mekkah dan India

untuk menuntut ilmu dan fatwa kepada para ulama. Sultan

Abul Mafakhir juga menunjukkan kepedulian kepada

rakyatnya dengan mengirimkan bantuan kepada rakyatnya

23 Abd. Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di

Kesultanan Buton Pada Abad ke-19 (Jakarta: INIS, 1995). 110-112. 24 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan (Jakarta: Mizan, 2012).

52-53.

Page 29: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

9

yang sedang sakit. Selain itu, ia juga banyak membaca kitab

yang membentuk dirinya menjadi seorang Raja Sufi. Beberapa

di antaranya adalah Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali, al-

Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili, al-Lama’an karya

Nurudin ar-Raniry serta al-Muntahi karya Hamzah Fansuri.

Berdasarkan uraian di atas, skripsi ini akan berfokus

kepada masa pemerintahan Sultan Abul Mafakhir yang

membentang sejak 1624 hingga 1651 M. Dari gelar yang

digunakan oleh Abul Mafakhir masa kekuasaannya dapat

dibagi menjadi dua bagian. Pertama, periode Kepangeranan, di

mana gelar yang digunakan adalah ‘pangeran’ dan berlangsung

sejak 1624-1638 M. Kedua, periode Kesultanan, yang

berlangsung sejak 1638-1651 M. Kebijakan pertanian,

perdagangan dan pertahanan lebih dominan selama periode

pertama. Dalam bidang pertanian, Sultan Abul Mafakhir

banyak melakukan pembangunan. Beberapa di antaranya

adalah saluran irigasi serta lumbung yang dibangun antara

tahun 1631-1636 M.25 Dalam bidang perdagangan, Sultan Abul

Mafakhir mengundang ‘kembali’ EIC (East India Company)

untuk mendirikan loji dagang di Banten tahun 1628 M.

Menurut Guillot, kembalinya Inggris ke pasar Banten

merupakan titik krusial dari kegiatan dagang di Banten yang

hancur lebur di masa sebelumnya.26 Sedangkan dalam bilang

25 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 372-373.

Lihat juga Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng”: 106. 26 Claude Guillot, The Sultanate of Banten. 35.

Page 30: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

10

pertahanan, Sultan Abul Mafakhir berusaha membangun

aliansi dengan Inggris untuk melawan Belanda. Usaha ini

terdokumentasi melalui dua pucuk surat yang dikirim dari

Banten kepada Raja Inggris di tahun 1629 M dan 1635 M.27

Periode kedua kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir

berlangsung sekitar tahun 1638-1651, yang ditandai dengan

pergantian gelar penguasa Banten dari Pangeran Ratu menjadi

Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Gelar tersebut

didapatkan oleh Abul Mafakhir setelah utusan yang ia kirim ke

Mekkah berhasil kembali ke Banten di tahun 1638 M. Utusan

Banten tersebut membawa dua misi, yaitu untuk meminta

penjelasan atas kitab Makum, Muntahi dan Wujudiyyah serta

meminta seorang ahli agama untuk mencerahkan Banten.28

Selain ke Mekkah, Sultan Abul Mafakhir juga mengirim utusan

ke India di tahun 1640-an. Tujuan dari utusan ini adalah untuk

meminta penjelasan al-Raniry mengenai doktrin wahdatul

wujud Hamzah Fansuri.29

Penelitian mengenai masa kekuasaan Sultan Abul

Mafakhir sejatinya masih sangat mungkin untuk dilakukan.

27 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in

The Public Record Office”:0 418. 28 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 340. Lihat

juga Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890. 15-17. 29 Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren:

Religious Institutions in Banten Sultanate”: 167-168. Lihat juga Ahmad

Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry

(Jakarta: Rajawali, 1983). 55-56.

Page 31: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

11

Mengingat terdapat beberapa bukti sejarah, baik berupa naskah

maupun artefak yang menyediakan informasi penting

mengenai Sultan Abul Mafakhir, di antaranya:

1. Masjid Kenari, sebuah rumah ibadah yang memiliki

gaya arsitektur kuno seperti atap bersusun tiga,

memiliki mustaka di bagian puncak dan ukuran pintu

yang kecil.30 Selain itu, di dalam Masjid Kenari

tersimpan sebuah pedang yang memiliki bentuk seperti

pedang dzulfiqar. Merupakan makna dari penyebaran

Islam di Nusantara.31

2. Tak jauh dari Masjid Kenari terdapat sebuah danau

buatan dengan yang dikenal dengan Tasikardi dan

pulau di tengahnya yang disebut papungkuran. Tempat

ini merupakan tempat istirahat dan bertafakkur bagi

Sultan Abul Mafakhir setelah ia mengunjungi makam

ibundanya di Kenari.32

30 Kees Van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid” dalam Masa Lalu dan

Masa Kini: Arsitektur di Indonesia ed. Peter J.M Nas dan Martien Vletten

(Jakarta: Gramedia, 2009). 57-60. 31 Rizqi Maulvi Nur Annisa & Mukhlis Aliyudin, “Fenomena

Dakwah Adat Nyangku” (Makalah dipresentasikan pada Prosiding Seminar

Dakwah 2017: Evaluasi Perkembangan dan Kelembagaan Dakwah,

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Jatinagor, Bandung, 27-29

Oktober 2017). 51. 32 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 362-363.

Lihat juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 56.

Page 32: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

12

3. Naskah al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila al-

Jawiyyah dan gelar ‘Sultan’, keduanya merupakan

pemberian yang didapatkan dari Mekkah yang masih

mudah dilacak. Sultan Abul Mafakhir sampai saat ini

diketahui sebagai penguasa pertama di tanah Jawa yang

mendapatkan gelar ‘Sultan’ dari Syarif Mekkah di

tahun 1638 M. Sementara itu, naskah al-Mawahib ar-

Rabbaniyyah merupakan kumpulan pertanyaan yang

dilontarkan oleh Sultan Abul Mafakhir dan dijawab

oleh Muhammad bin Allan.

4. Bukti lainnya yang hingga kini dapat dijumpai adalah

mata uang Banten. mata uang ini disebut juga dengan

istilah “Kasha” dengan bentuk berupa koin tembaga

yang memiliki lubang segi enam di tengahnya. Di

permukaan koin, terdapat inskripsi “Pangeran Ratu Ing

Banten”33

B. Identifikasi Masalah

Kesultanan Banten merupakan salah satu kekuatan

politik Islam terbesar di tanah Jawa. Ia berhasil bertahan dari

gempuran Mataram dan desakan Batavia di waktu yang sama.

Dalam peristiwa tersebut, Sultan Abul Mafakhir Mahmud

Abdul Kadir (w.1651 M) menjadi salah satu penguasa Banten

33 Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan Claudine Salmon, “Les

Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 148-149.

Page 33: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

13

yang mampu mempertahankan kemerdekaan Banten. Di bawah

kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir, perniagaan dan

perekonomian Banten juga kembali bangkit. Selain itu,

pencapaian yang tak kalah mentereng adalah pengiriman

utusan ke Mekkah di tahun 1630-an dan India di tahun 1640-

an. Ia bahkan tercatat sebagai penguasa pertama di tanah Jawa

yang mendapatkan gelar ‘Sultan’ dari Syarif Mekkah di tahun

1638 M.34

Di sisi lain, pengiriman utusan atau utusan tersebut

sebaiknya perlu dimaknai sebagai upaya Banten untuk

melibatkan diri dalam dunia Islam yang lebih luas lagi. Di masa

tua, sosok Sultan Abul Mafakhir dikenal sebagai sosok ‘Sultan

Agung’ yang mampu memerintah Banten dengan adil dan

bijaksana. Citranya sebagai Sultan Agung lahir dari proses

pembelajarannya terhadap doktrin sufistik, yaitu; insan kamil

atau Perfect Man. Dalam literatur-literatur yang kemudian

berkembang, sosok raja yang demikian adalah seorang ‘Raja

Sufi’.

Dari kegemilangannya di masa lalu, Sultan Abul

Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M) ternyata masih

belum banyak dikenal oleh masyarakat Banten, terlebih lagi

Indonesia. Sementara itu, dalam bidang akademik, penulis

masih belum menjumpai sebuah karya ilmiah atau tulisan

34 Michael Laffan, Sejarah Isjawalam Nusantara. 18.

Page 34: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

14

akademik yang membahas secara detail mengenai Sultan Abul

Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Hal tersebut tentunya

menggambarkan sebuah paradoks: seorang Sultan yang

memiliki peran besar dalam kegiatan politik, ekonomi atau

bahkan keagamaan di Kesultanan Banten ternyata masih belum

banyak dikenal. Selain itu, ia juga menjadi mata rantai penting

dan tak terpisahkan dari kejayaan Banten di masa lalu.

C. Batasan Masalah

Dari permasalahan yang sudah penulis identifikasi

sebelumnya, maka skripsi ini akan difokuskan untuk

membahas sosok Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir

yang hidup pada tahun 1596-1651 M. Dari lintasan waktu

tersebut, pembahasan akan dibagi menjadi dua bagian.

Pertama, ketika Abul Mafakhir menggunakan gelar ‘Pangeran’

(Kepangeranan) dari tahun 1624-1638 M. Kedua, ketika Abul

Mafakhir menggunakan gelar ‘Sultan’ (Kesultanan) yang

berlangsung dari tahun 1638-1651 M.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan

sebelumnya, maka terdapat tiga masalah yang akan penulis

bahas, di antaranya; apa yang dimaksud dengan Raja Sufi,

Siapakah Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dan

bagaimana ia berkembang menjadi seorang Raja Sufi.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Page 35: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

15

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dibahas

sebelumnya, maka ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari

penulisan skripsi ini. Pertama, menjelaskan mengenai apa yang

dimaksud dengan Raja Sufi. Kedua, menjelaskan sosok Sultan

Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M). Ketiga,

menjelaskan mengenai proses Sultan Abul Mafakhir menjadi

seorang Raja Sufi.

Adapun manfaat yang ingin dihadirkan dalam skripsi

ini adalah untuk memberikan gambaran dan analisis mengenai

Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang berkuasa di

Kesultanan Banten tahun 1624-1651 M. Selain itu, skripsi ini

juga diharapkan untuk memberikan kontribusi akademik yang

dapat menambah khasanah keilmuan dalam penelitian

mengenai Kesultanan Banten.

F. Metode Penelitian

Skripsi ini bersifat analytical history (sejarah analitis).

Analytical history menurut M. Dien Madjid adalah aliran

penulisan sejarah yang memanfaatkan teori dan metodologi. Di

dalamnya terkandung penjelasan mengenai asal mula, sebab-

sebab, kecenderungan maupun perubahan yang berasal dari

suatu peristiwa dan terkait dengan masalah politik, sosial

ataupun kebudayaan.35 Oleh karenanya, metodologi yang

35 M. Dien Madjid & Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah: Sebuah

Pengantar (Jakarta: Prenada Media, 2014). 218.

Page 36: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

16

digunakan dalam penelitian ini adalah alur metodologi sejarah

yang terdiri dari heuristik atau pengumpulan sumber, verifikasi

atau kritik sumber, interpretasi atau penafsiran serta yang

terakhir adalah penulisan36.

Dalam proses heuristik, penulis menggunakan teknik

studi kepustakaan (library research) dan observasi

(pengamatan).37 Melalui studi kepustakaan, penulis

menggunakan sumber tertulis seperti manuskrip, buku tertulis

maupun jurnal sebagai sumber kajian. Beberapa manuskrip

yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah al-

Mawahib al-Rabbaniyyah ‘an-As’ila al-Jawiyyah (A 105),

naskah Jauhar al-Haqa’iq (A31) yang tersimpan di

Perpustakaan Nasional RI. Informasi awal mengenai naskah

tersebut penulis dapatkan dari katalog naskah yang disusun

oleh Voerhoeve (1980) dan Behrend (1998). Selain itu,

informasi yang lebih praktis penulis temukan dalam katalog

online Thesaurus of Indonesian Islamic Manuscript (TIIM)

yang diarahkan oleh Oman Fathurahman.38 Sumber penting

lainnya adalah catatan perjalanan dari James Lancaster yang

mengunjungi Banten di tahun 1602 M dan Thomas Best di

36 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2013).69. 37 M. Dien Madjid & Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah: Sebuah

Pengantar. 218. 38https://lektur.kemenag.go.id/naskah/index.php?filterBy=title&titl

e=20080725144141 diakses pada 8 November 2018 pukul 15.36 WIB.

Page 37: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

17

tahun 1613-1614 M.39 Keduanya memberikan informasi

penting mengenai keadaan ekonomi Banten sebelum Sultan

Abul Mafakhir berkuasa.

Penulis juga melakukan penelusuran awal melalui

berbagai macam sumber sekunder. Beberapa di antaranya

adalah buku Menyusuri Jejak Kesultanan Banten karya Titik

Pudjiastuti, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten karya

Hoesein Djajadiningrat serta karya Johan Talens yang berjudul

Een feodal samenleving in koloniaal vaarwater. Ketiganya

menyediakan keterangan yang sangat berguna bagi penulis

untuk memahami keadaan politik dan ekonomi Banten sebelum

dan ketika Sultan Abul Mafakhir berkuasa. Selain buku cetak,

penulis juga menghimpun beberapa informasi penting dari

beberapa artikel, di antaranya adalah artikel Shari’a court,

tarekat and pesantren: Religious Institutions in Banten Sultanate

karya Martin van Bruinessen, La Politique Vivriere de Sultan Ageng

(1651-1682) karya Claude Guillot dan Les Sucriers Chinois de

Kelapadua, Banten, XVIIe siecle, Textes en Vestiges yang disusun

Claude Guillot bersama Lukman Nurhakim dan Claudine Lombard-

Salmon. Sebagian besar artikel yang penulis himpun sebagai

sumber skripsi ini diperoleh dari jurnal Archipel yang memang

bisa di unduh dengan koneksi pribadi. Sebagian lainnya penulis

39 Clement Markham (ed.), The Voyages of Sir James Lancaster to

The East Indies digital version (New York: Cambridge University Press,

2010). Sir William Foster, The Voyage of Thomas Best to the East Indies

1613-1614 (London: Hakluyt Society, 1934)

Page 38: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

18

unduh dari Jstor yang diakses dari lantai 5 Perpustakaan Utama

UIN Jakarta.

Sementara itu, dengan menggunakan teknik observasi

(pengamatan), penulis menghimpun informasi yang

terkandung dalam sumber bendawi, antara lain: mata uang

‘Kasha’ Banten yang memiliki inskripsi “Pangeran Ratu Ing

Banten” yang kemungkinan besar merujuk pada masa

pemerintahan Sultan Abul Mafakhir. Menurut Bernard Lewis,

inskripsi dari sebuah mata uang dapat memberikan informasi

mengenai raja ataupun penguasa yang memimpin di daerah

tersebut.40 Kini, mata uang “Kasha” berada di Museum

Nasional RI. Selain itu, sumber bendawi lainnya adalah sebuah

pedang bercabang yang ada di Masjid Kenari Banten. Pedang

tersebut diidentifikasi sebagai pedang dzulfiqar yang menjadi

lambang penyebaran agama Islam di Nusantara.41

Tahapan selanjutnya adalah verifikasi atau kritik

sumber. Pada tahapan ini, penulis berusaha menguji keaslian

serta kredibilitas sumber-sumber yang telah berhasil dihimpun

oleh penulis sebelumnya. Pertama, kritik ekstern, di mana

penulis berusaha melakukan kritik atas sumber-sumber primer

lokal, di antaranya adalah naskah al-mawahib al-rabbaniyah

dan Jauhar al-Haqa’iq yang tersimpan di Perpustakaan

40 Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago:

University of Chicago Press, 1988). 45-46. 41 Rizqi Maulvi Nur Annisa & Mukhlis Aliyudin, “Fenomena

Dakwah Adat Nyangku”. 51.

Page 39: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

19

Nasional. Keduanya masih dalam keadaan yang cukup bagus,

sehingga muncul asumsi bahwa keduanya adalah naskah

‘salinan’. Asumsi ini juga sejalan data yang ditunjukkan oleh

Jajat Burhanuddin, bahwa naskah asli dari al-Mawahib ar-

Rabbaniyyah berada di Perpustakaan Leiden dengan nomor

panggil Cod.Or. 7405(4).42 Meskipun yang digunakan hanya

naskah salinan, penulis beranggapan bahwa unsur primer

melekat pada naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional

tersebut tidaklah hilang.43

Naskah dengan judul lengkap al-Mawahib ar-

Rabbaniyyah an al-As’ila al-Jawiyyah.44 ini memiliki sedikit

lubang di beberapa halaman, akan tetapi masih dapat dibaca

dengan jelas. Ukuran naskah dalam satu halaman adalah 31 cm

x 19,7 cm sedangkan teksnya berukuran 24,3 cm x 12 cm.

Dalam setiap halaman, ada 7-9 larik yang disertai dengan

penjelasan bahasa Jawa dengan aksara Arab di setiap barisnya

dengan tinta hitam dan tinta merah pada setiap rubriknya.

Sementara itu, kertas yang digunakan adalah kertas Eropa,

dengan watermark M. Schouten & Co dan countermark IVC

42 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 45. Lihat juga P.

Voorhoeve, Handlist of Arabic Manuscripts in The Library of University of

Leiden and Others Collection in the Netherlands Second Edition (The

Hague: Leiden University Press, 1980). 204-205. 43 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: Universitas

Indonesia Press, 1985). 45. 44 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila al-Jawiyyah, 5.

Page 40: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

20

(I. Villedary Jo) kemungkinan sebuah singkatan dari45.

Sedangkan garis vertikal (Chain Line) sebesar 2,6 cm antara

garis yang satu dengan yang lainnya dan garis horizontal (Laid

Line) berjumlah 11 buah dalam 1 cm.

Sedangkan dari aspek internalnya, naskah al-Mawahib

ar-Rabbaniyyah terdiri dari sepuluh pertanyaan dan total

jumlah halaman mencapai 157. Sebelum masuk ke bagian

pertanyaan, ada sedikit penjelasan mengenai judul naskah,

identitas Sultan Abul Mafakhir sebagai peminta fatwa:“...Ini

adalah Risalah yang berjudul al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an

al-As’ila al-Jawiyyah.... Pemimpin Islam dan Muslimin... Abul

Mafakhir Abd al-Qadir al-Jawi...”.46 Penulis juga berusaha

membandingkan keterangan dari satu sumber kepada sumber

lainnya. dalam naskah al-Mawahib, penulis melihat bahwa ada

tiga pertanyaan yang merujuk pada kitab Nasihat al-Muluk

karya al-Ghazali. Hasilnya, penulis menemukan bahwa ada

keserasian antara keterangan yang ada pada keduanya. Selain

itu, penulis juga membandingkan keterangan yang terdapat

pada sumber sekunder. Salah satunya adalah buku Banten:

Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII karya Claude Guillot.

Buku ini adalah kumpulan artikel Guillot tentang Banten yang

45 Penjelasan mengenai watermark dan countermark tersebut penulis

dapatkan dari Mpu Tantular, “Serat Lokapali Kawi: An Eighteenth-century

manuscript of the Old Javanese Arjunawijaya” dalam Bernard Arps &

Wilem van der Molen (ed.) Indonesian Development Project, 3 (1994): ix. 46 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 5-6.

Page 41: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

21

sudah diterjemahkan dan dihimpun menjadi sebuah buku. Oleh

sebab itu, penulis berusaha membandingkan antara keterangan

yang terdapat di buku dengan artikel asli yang sudah di unduh

dari Archipel. Hasilnya, beberapa kali ditemukan bahwa

keterangan yang ada dari footnote artikel asli ditempatkan pada

bagian utama buku. Selain itu, penempatan gambar juga berada

pada posisi yang berbeda. Dalam sumber sekunder lainnya,

keterangan berbeda juga ditemukan pada umur Abul Mafakhir

setelah Maulana Muhammad mangkat. Hasan M. Ambary

menyatakan bahwa umur Abul Mafakhir saat itu 9 tahun,

sedangkan Djajadiningrat menyebut 5 bulan.

Tahapan berikutnya adalah interpretasi atau penafsiran,

di mana penulis berusaha menguraikan bagaimana Sultan Abul

Mafakhir memimpin Kesultanan Banten dan menguraikan

bagaimana ia bertransformasi menjadi seorang Raja Sufi.

Interpretasi yang digunakan adalah interpretasi analitis dengan

menguraikan fakta-fakta yang telah dihimpun dan menarik

sebuah kesimpulan dari sana, sehingga dapat menjadi

penulisan sejarah yang baik. Dalam melakukan interpretasi,

penulis menggunakan teori pemimpin kharismatik dari Weber

yang dalam konteks kerajaan Jawa dirumuskan oleh Ricklefs

menjadi konsep ‘Raja Sufi’. Berbagai sumber primer maupun

sekunder yang penulis dapatkan dari studi kepustakaan dan

observasi juga digunakan untuk menguatkan analisis

penulisan.

Page 42: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

22

Tahapan selanjutnya adalah historiografi yang

merupakan tahapan akhir dari sebuah penulisan sejarah. data

serta fakta sejarah yang sudah dihimpun ke dalam penulisan

sejarah. Berbagai opini, data ataupun fakta yang diperoleh dari

hasil penelitian pustaka maupun pengamatan dituangkan ke

dalam skripsi. Harapannya, skripsi ini mampu melengkapi

penelitian sejarah terdahulu mengenai Kesultanan Banten,

lebih khusus lagi mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud

Abdul Kadir. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan

dapat dipahami oleh para pembaca.

Dalam skripsi ini, sumber pedoman yang digunakan

adalah Surat Keputusan Rektor tentang Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan Disertasi terbitan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan ditetapkan pada tanggal 14 Juni

2017.47

G. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan, skripsi ini memiliki enam (6) bab

pembahasan, adapun susunan pembahasannya adalah sebagai

berikut:

BAB I Membahas mengenai Pendahuluan yang

terdiri dari latar belakang, identifikasi

masalah, batasan masalah, rumusan masalah,

47 Surat Keputusan Rektor, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah

Skripsi, Tesis dan Disertasi (Jakarta: Tanpa Penerbit, 2017)

Page 43: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

23

tujuan dan manfaat penelitian, metode

penelitian dan juga sistematika penulisan

yang digunakan dalam skripsi ini.

BAB II Membahas Kajian Pustaka yang terdiri dari

landasan teori, tinjauan pustaka serta

kerangka berpikir yang digunakan dalam

skripsi ini.

BAB III Membahas mengenai gambaran umum

mengenai Raja Sufi. Pembahasannya dimulai

dari doktrin insan kamil sebagai sumber

pembentuk Raja Sufi, konsep Raja Sufi di

tanah Melayu dan tanah Jawa serta yang

terakhir mengenai Raja Sufi di Kesultanan

Banten.

BAB IV Membahas mengenai Kesultanan Banten

pada masa Sultan Abul Mafakhir.

Pembahasannya meliputi Kesultanan Banten

sebelum Sultan Abul Mafakhir, masa

pemerintahan Sultan Abul Mafakhir

Mahmud Abdul Kadir, hubungan Banten

dengan Inggris dan Belanda serta pengiriman

utusan Banten ke Mekkah dan India.

BAB V Membahas mengenai Abul Mafakhir sebagai

Raja Sufi. Pembahasannya meliputi kitab al-

Page 44: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

24

Mawahib ar-Rabbaniyyah dan

perkembangan Sultan Abul Mafakhir

Mahmud Abdul Kadir dari Raja Jawa

menjadi Raja Sufi dalam urutan peristiwa

yang kronologis.

BAB VI Membahas mengenai kesimpulan serta saran

dan masukan untuk perbaikan penelitian ke

depannya.

Page 45: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Teori yang sesuai untuk mengulas mengenai masa

kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir adalah teori Weber

tentang Otoritas Karismatik. Dalam otoritas karismatik,

ketaatan absolut dan keyakinan pada kualitas individu seorang

pemimpin lebih ditekankan. Artinya, seorang pemimpin

dituntut memiliki kesempurnaan, baik dalam aspek batiniah

maupun lahirian. Dalam perumpamaan Weber, pemimpin

karismatik muncul dalam dua bentuk figur yang berbeda. Figur

Nabi di satu sisi dan figur panglima perang di sisi lain.1

Kepemimpinan Kharismatik memang lazim ditemui pada

sosok raja-raja Nusantara di abad ke-17 M. Baik raja-raja

Melayu maupun raja-raja Jawa memiliki karisma yang kuat

pengaruhnya.

Karisma yang kuat dari seorang raja sering kali

bersumber pada ajaran moral keagamaan, dalam hal ini adalah

ajaran-ajaran sufistik yang berkembang pesat di Nusantara

abad ke-17-19. Teori mengenai karisma penguasa yang

bersumber pada ajaran sufistik sejatinya sudah dirumuskan

oleh A.C Milner, M.C Ricklefs dan Abd. Rahim Yunus. Dalam

1 Max Weber, Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). 93-94.

Page 46: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

26

artikelnya, Milner menyebut bahwa raja-raja Melayu memiliki

ketertarikan yang kuat terhadap doktrin ‘perfect man’ atau

insan kamil.2 Doktrin tersebut menjadi sumber karisma dan

legitimasi dari seorang raja. Sedangkan Ricklefs yang

menjadikan Jawa sebagai fokus kajiannya menemukan bahwa

Ratu Pakubuwana berusaha mendesain pemerintahan

Pakubuwana II yang berlangsung dari tahun 1726-1749 M

sebagai Sufi Warrior King yang berlandaskan pada ketaatan

ajaran sufi agar pemerintahannya menjadi semakin kuat. Usaha

tersebut diwujudkan oleh Ratu Pakubuwana dengan menulis

beberapa kitab yang ditujukan sebagai pegangan Pakubuwana

II dalam menjalankan pemerintahannya.3 Baik di tanah Melayu

maupun Jawa, mengandung keserasian bahwa ajaran insan

kamil mengambil peran penting dalam memperkuat karisma

seorang raja. Melalui doktrin insan kamil, seorang penguasa

dapat dikatakan sempurna manakala ia mampu menjaga

keamanan dan stabilitas negeri yang ia pimpin, sehingga pada

akhirnya ia akan menjadi seorang Raja Sufi.4

Serupa dengan contoh yang disebut di atas, Sultan Abul

Mafakhir juga memiliki ketertarikan terhadap doktrin insan

kamil. Hal tersebut dapat dilihat ketika ia mengeluarkan

2 A.C Milner, “Islam and Malay Kingship”. The Journal of The

Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, no.1 (1981): 54. 3 M.C Ricklefs, Mystic Synthesis in Java (Connecticut: EastBridge,

2006). 103-115. 4 Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di

Kesultanan Buton (Jakarta: INIS, 1995). 112.

Page 47: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

27

perintah untuk menyalin kitab al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-

Awakhir wa al-Awa’il karya Abd al-Karim al-Jili dan

memberikan terjemahan bahasa Jawa pada setiap lariknya.5

Dalam hal ini, pembahasan mengenai Sultan Abul Mafakhir

masih relevan dengan rumusan teori ‘Raja Sufi’.

B. Kajian Pustaka

Kajian mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud

Abdul Kadir merupakan penelitian yang relatif baru. Karena

sepengetahuan penulis, masih belum ada penelitian terdahulu

yang secara khusus membahas Sultan Banten keempat ini.

Meskipun demikian, ada beberapa sumber dalam bentuk buku,

artikel maupun jurnal yang menyinggung tentang sosok Sultan

Abul Mafakhir secara umum. Beberapa yang dijadikan sumber

dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten (1983) yang

merupakan disertasi Hoesein Djajadiningrat yang sudah

dijadikan buku. Buku ini memusatkan kajiannya pada teks

Sajarah Banten dan menjelaskan secara umum mengenai

Kesultanan Banten. Penulis menjadikan buku ini sebagai salah

satu sumber utama karena buku ini mengandung banyak

informasi mengenai Sultan Abul Mafakhir. Korelasinya

5 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-

Karim al-Jili: 13-14. Lihat juga Michael Feener & Michael Laffan, “Sefi

Scent Across the Indian Ocean: Yemeni Hagioghrapy and the Earliest

History of Southeast Asian Islam”. Archipel 70 (2005): 205.

Page 48: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

28

dengan kajian penulis adalah buku ini memberikan peran besar

dari Sultan Abul Mafakhir dan sosoknya sebagai ‘Sultan

Agung’ di Banten.

Menyusuri Jejak Kesultanan Banten (2015) merupakan

tesis dari Titik Pudjiastuti yang juga sudah dibukukan.

Penelitian yang dilakukan oleh Titik Pudjiastuti ini

menggunakan magnum opus yang sama dengan Hoesein

Djajadiningrat, yaitu: teks Sajarah Banten. Meskipun

demikian, buku ini menghadirkan keteraturan yang lebih baik

dibanding buku sebelumnya. Penulis menggunakan buku ini

sebagai sumber pembanding dari buku sebelumnya agar

informasi yang diperoleh dari Sajarah Banten bisa tersaring

dengan baik.

Een Feodale Samenleving in Koloniaal Vaarwater

(1999) karya Johan Talens, mengkaji tentang keadaan

Kesultanan Banten dengan rentang tahun 1600-1750 M. Buku

ini mengkaji tentang bentuk pemerintahan Kesultanan Banten

beserta keadaan ekonominya. Relevansinya dengan penelitian

penulis adalah keadaan ekonomi dan negara yang lebih stabil

di masa Sultan Abul Mafakhir. Selain itu, dalam buku ini juga

disinggung mengenai utusan Banten ke Mekkah yang akhirnya

membentuk citra Banten sebagai sebuah Kerajaan Islam. Buku

ini membantu penulis dalam mengumpulkan informasi

mengenai Kesultanan Banten di masa Sultan Abul Mafakhir,

baik dari aspek perdagangan, pertanian keagamaan.

Page 49: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

29

Laporan penelitian yang disusun oleh Mufti Ali dan

kawan-kawan yang berjudul Konsep “Manusia Tuhan”

Menurut Shayk Abd al-Karim al-Jili dalam Naskah al-Insan al-

Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa;il (2015). Fokus dari

kajian ini adalah untuk membedah informasi mengenai naskah

al-Insan al-Kamil yang ditemukan di Banten. Dalam

melakukan penelitian ini, Mufti Ali dan kawan-kawan

menggunakan naskah al-Insan al-Kamil yang tersimpan di

Perpustakaan Leiden. Relevansinya dengan penelitian penulis

adalah perkembangan doktirin ‘Insan Kamil’ yang pernah

berkembang di Banten. Laporan penelitian tersebut menyajikan

informasi penting seperti penyalinan teks al-Insan al-Kamil

ternyata dititahkan oleh Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul

Kadir (1624-1651 M).

Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII (2008)

karya Claude Guillot, sejatinya buku terbitan Kepustakaan

Populer Gramedia (KPG) ini merupakan kumpulan dari artikel-

artikel Guillot tentang Kesultanan Banten. Guillot memang

penulis yang sangat produktif dalam kajian tentang Banten.

Buku ini banyak menyinggung tentang Sultan Abul Mafakhir,

bahkan dalam salah satu bagiannya, Guillot seolah menantang

para pembaca untuk menulis tentang Sultan Abul Mafakhir.

Relevansinya dalam penelitian ini adalah bahwa kejayaan yang

dialami Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa merupakan

sebuah keniscayaan dari perkembangan Banten di masa

Page 50: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

30

pemerintahan sebelumnya, dalam hal ini pemerintahan Sultan

Abul Mafakhir.

Martin van Bruinessen dalam artikelnya yang berjudul

Shari’a Court, tarekat and pesantren: Religious Institutions in

Banten Sultanate (1995), mengkaji tentang institusi keagamaan

di Kesultanan Banten. Artikel ini menjadi sumber penting

untuk memahami bagaimana otoritas keagamaan muncul di

Kesultanan Banten. Relevansinya dalam penelitian penulis

bahwa Sultan Abul Mafakhir disebut oleh van Bruinessen

mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta gelar. Padahal,

dalam Sajarah Banten jelas tercantum bahwa Sultan Abul

Mafakhir mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta fatwa

dan seorang ahli agama dari Mekkah agar dikirim ke Banten

untuk menjadi penasihat raja.

Sedangkan posisi dari skripsi ini adalah untuk

melengkapi tulisan-tulisan di atas yang penulis anggap belum

bisa menggambarkan sosok Sultan Abul Mafakhir Mahmud

Abdul Kadir secara utuh. Oleh sebab itu, skripsi ini akan

membahas secara komprehensif mengenai Sultan Abul

Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dari awal ia berkuasa hingga

menjadi seorang Raja Sufi dari Kesultanan Banten.

C. Kerangka Berfikir

Raja Sufi merupakan sebuah konsep atau rumusan teori

tentang seorang raja atau penguasa yang memiliki pengetahuan

Page 51: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

31

sufistik. Konsep Raja Sufi sangat cocok untuk digunakan

ketika hendak menggambarkan sosok penguasa Nusantara di

abad 17 dan 18. Hal tersebut tak terlepas dari fakta bahwa

politik kerajaan hampir selalu berpusat pada sosok raja serta

ajaran sufistik yang masif berkembang saat itu. Seperti yang

sudah dijelaskan sebelumnya, konsep Raja Sufi sangat mudah

ditemui di Nusantara, baik di Kerajaan Melayu seperti Aceh

dan Malaka maupun di Kerajaan Jawa seperti Mataram Islam

dan Banten tentunya.

Konsep Raja Sufi sering kali bersumber pada doktrin

insan kamil. Seorang Raja Sufi mampu menyadari tugasnya

sebagai wakil Tuhan di Bumi, sehingga ia bertanggung jawab

secara lahir dan batin dalam menjaga keamanan dan kestabilan

di negerinya. Beredarnya kitab al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-

Awakhir wa al-Awa’il karya Abd al-Karim al-Jili juga menjadi

pendorong bagi perkembangan doktrin insan kamil di

Nusantara, tak terkecuali di Banten. bahkan, Sultan Abul

Mafakhir juga menaruh minat yang besar pada doktrin insan

kamil. Ketertarikan tersebut diwujudkan oleh Sultan Abul

Mafakhir dengan sebuah perintah untuk menyalin kitab al-

Insan al-Kamil dan memberikan terjemahan bahasa Jawa pada

tiap lariknya.

Ketertarikan terhadap doktrin insan kamil inilah yang

menjadi titik penting dari perkembangan Sultan Abul Mafakhir

sebagai Raja Sufi. Proses perjalanan Abul Mafakhir sebagai

Page 52: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

32

Raja Sufi dimulai ketika ia berkuasa di tahun 1624 M. Ketika

itu, ia masih sebagai Raja Jawa biasa yang menggunakan gelar

‘Pangeran’. Penggunaan gelar ‘Pangeran’ oleh Abul Mafakhir

dapat dilihat dari sebuah mata uang Kesultanan Banten yang

beredar di abad ke-17. Mata uang tersebut memuat inskripsi

‘Pangeran Ratu Ing Banten’ yang merujuk pada Abul

Mafakhir. Bukti lainnya dari penggunaan gelar ‘Pangeran’ ada

dalam sebuah stempel/cap (seal) surat yang dikirim Raja

Banten kepada Raja Inggris di tahun 1629 M. Stempel tersebut

memuat informasi mengenai silsilah Raja Banten dari Maulana

Hasanuddin sampai Pangeran Ratu, yang tidak lain adalah Abul

Mafakhir sendiri.

Perjalanan Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi

menemui titik krusialnya pada dekade 1630-an. Abul Mafakhir

secara aktif mulai membaca dan mendalami kitab-kitab yang

memuat doktrin insan kamil dan panduan menjadi raja yang

adil. Hal tersebut dapat terlihat ketika Abul Mafakhir sendiri

memerintahkan kepada punggawa Istana Surosowan untuk

menyalin kitab al-Insan al-Kamil. Tak sampai di situ, ia juga

mengirim utusan ke Mekkah di tahun 1630-an untuk bertanya

kepada Syarif Mekkah untuk menjadi raja yang adil. Sebagian

besar pertanyaan yang diajukan oleh Abul Mafakhir ternyata

didominasi oleh pertanyaan terkait ‘keadilan’ dan bagaimana

ia menjadi raja yang adil. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

oleh Abul Mafakhir dapat dilihat pada kitab al-Mawahib.

Page 53: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

33

Utusan Abul Mafakhir kemudian tiba di Banten tahun

1638 M dengan membawa berbagai hadiah, di antaranya; gelar

‘Sultan’, kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila

Jawiyyah, bendera Nabi Ibrahim, tapak kaki Nabi Muhammad

dan beberapa hadiah lainnya. Hadiah-hadiah tersebut

diperlakukan dengan istimewa dan dianggap dapat

menghadirkan berkah. Oleh sebab itu, perayaan diadakan untuk

menyambut hadiah-hadiah tersebut dan diadakan pawai

keliling kota untuk menyebarkan berkahnya ke penjuru kota

Banten. tak bisa dipungkiri bahwa pemberian yang didapatkan

dari Syarif Mekkah membawa berkah tersendiri bagi legitimasi

dan karisma Sultan Abul Mafakhir. Selain itu, keadaan

ekonomi dan politik di Kesultanan Banten mulai membaik dan

stabil.

Akhir dekade 1630-an, penolakan terhadap kaum

wujudiyyah muncul di Aceh. Tokoh sentral dari keluarnya

penolakan ini adalah Nurudin ar-Raniry yang ketika itu

menjabat sebagai Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh. Karena

alasan yang belum diketahui pasti, Nurudin pulang ke kampung

halamannya di Ranir, India. Hal tersebut agaknya

menimbulkan rasa penasaran pada diri Sultan Abul Mafakhir

dan pada akhirnya mendorong dirinya untuk mengirim utusan

ke India pada dekade 1640-an. Utusan tersebut dikirim untuk

bertanya kepada Nurudin terkait penolakannya terhadap kaum

wujudiyyah. Pertanyaan tersebut dibalas Nurudin dengan

Page 54: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

34

sebuah kitab berjudul Al-Lama’an fi takfir bi khalqi’l-Quran

(Cahaya terang pada mengkafirkan orang yang berkata Qur’an

itu Makhluk). Pengiriman utusan Banten ke Nurudin agaknya

perlu diletakkan pada upaya Sultan Abul Mafakhir

mengantisipasi penolakan serupa muncul di Banten dan lebih

jauh lagi guna menjaga stabilitas dan keamanan di Kesultanan

Banten.

Di tahun 1650, Mataram yang saat itu dipimpin oleh

Amangkurat I berupaya menaklukkan Banten. Ia pun meminta

Cirebon untuk membujuk Banten mengakui Mataram sebagai

pelindungnya. Pertama-tama, Cirebon mengirim beberapa

utusan secara berkala pada dekade 1640-an ke Banten. Upaya

tersebut selalu menemui kegagalan dan penolakan. Akibat

penolakan tersebut, Cirebon merespons dengan mengirim

pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Panjangjiwa. Namun,

pasukan Cirebon berhasil dihalau oleh pasukan Banten. Dalam

naskah Sajarah Banten, peristiwa ini dikenal dengan istilah

peristiwa pagerage.

Sultan Abul Mafakhir yang menolak tunduk kepada

Amangkurat I dan Mataram harus dilihat sebagai upaya

mempertahankan diri dan menjaga stabilitas negeri. Peristiwa

ini juga perlu dilihat sebagai kematangan Sultan Abul Mafakhir

sebagai Raja Sufi, karena ia berani menghadapi serangan

Mataram dengan kekuatan sendiri dan percaya kepada

kekuatan pasukan Banten.

Page 55: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

35

Di awal

pemerintahannya

menggunakan gelar

pangeran Ratu Ing

Banten. di tahun

1629. Bekerja sama

dengan Inggris

dalam bidang

ekonomi dan

keamanan negeri

dalam menghadapi

Mataram.

Tahun 1630-an

mulai memiliki

ketertarikan

terhadap doktrin

insan kamil dan

belajar untuk

menjadi raja yang

adil. Membaca

Nasihat al-Muluk

karya al-Ghazali

dan al-Insan al-

Kamil karya al-Jili.

Tahun 1638

memperoleh gelar

‘Sultan’, kitab al-

Mawahib ar-

Rabbaniyyah dan

beberapa hadiah

lainnya dari Syarif

Mekkah yang

membentuk

legitimasi dan

karisma sbg Raja

Sufi.

Tahun 1640-an

mengirim utusan

ke Ranir, India

untuk bertanya

mengenai situasi

yang terjadi di

Aceh dan

berusaha

menghindari hal

serupa terjadi di

Banten.

Tahun 1650,

menolak untuk

tunduk di bawah

kekuasaan Mataram

(Amangkurat I) dan

menghadapinya

dengan kekuatan

sendiri.

MASALAH Apa itu Raja Sufi, Siapa itu Sultan Abul

Mafakhir dan bagaimana ia berkembang

menjadi seorang Raja Sufi

METODOLOGI PENDEKATAN

TEORI Otoritas Karismatik

Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir merupakan

Sultan Banten yang memiliki karisma sebagai ‘Raja Sufi’.

TEMUAN Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir adalah

penguasa Banten yang mampu menjaga keamanan dan

mengembalikan kestabilan di Kesultanan Banten, sehingga

ia telah mencapai tingkat Raja Sufi. Berikut adalah

perkembangannya sebagai Raja Sufi:

Raja Sufi merupakan konsep yang bersumber dari doktrin insan

kamil. Seorang Raja Sufi mampu menyadari tugasnya sebagai

wakil Tuhan di Bumi, sehingga ia bertanggung jawab secara lahir

dan batin dalam menjaga keamanan dan kestabilan di negerinya.

Historis

Page 56: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

36

BAB III

AJARAN INSAN KAMIL DI KESULTANAN

BANTEN

Istilah ‘insan kamil’ terdiri dari dua kata, al-Insan yang

berarti manusia dan al-Kamil yang bermakna sempurna.

Singkatnya, doktrin insan kamil adalah doktrin tentang menjadi

manusia yang sempurna. Dalam literatur barat, doktrin insan

kamil lebih dikenal dengan istilah ‘Perfect Man’.1 Konsep insan

kamil mulai dipopulerkan oleh Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) pada

abad ke-13 M dan kemudian mendapatkan perhatian khusus dari

Abd al-Karim al-Jili dalam tulisannya, al-Insan al-Kamil fi

Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il.2 Wacana awal mengenai

insan kamil mengacu pada isyarat dalam QS Al-Kahf ayat 65-68

mengenai ‘hamba yang saleh’, yaitu orang yang sudah mencapai

ma’rifat yang sempurna tentang Tuhan dan telah fana dalam

segala macam sifat-sifat ketuhanan.3 Selain itu, insan kamil juga

1 Nicholson, Studies in Islamic Mysticism (Cambridge: Cambridge

University Press, 1921). 77. Lihat juga A.C. Milner, “Islam and Malay

Kingship”. The Journal of Royal Asiatic Society of Great Britain and

Ireland, no.1 (1981): 54. Lihat juga Mark Woodward, “The ‘Slametan’:

Textual Knowledge and Ritual Performance in Central Javaanse Islam”.

History of Religious 28, no.1 (1988): 59. 2 Masataka Takeshita, Insan Kamil Pandangan Ibnu Arabi

(Surabaya: Risalah Gusti, 2005). 12-83. Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi.

111. 3 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-

Karim al-Jili (Serang: LP2M IAIN Banten, 2015): 187-188.

Page 57: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

37

berangkat dari hadis yang menyebut bahwa “Tuhan menciptakan

Adam dalam citra-Nya”.4

Dalam bab ini, penulis berusaha menjelaskan apa yang

dimaksud dengan ‘Raja Sufi’. Untuk mengetahui apa itu Raja

Sufi, penulis berangkat dari doktrin insan kamil karena ia

merupakan fondasi atau dasar dari konsep ‘Raja Sufi’ yang

kharismatik. Oleh sebab itu, perkembangan konsep insan kamil

sejak era Ibnu Arabi dan al-Jili sampai akhirnya tiba di

Nusantara. Oleh karenanya, insan kamil juga disebut sebagai

orang suci yang menyadari kesatuannya dengan Tuhan secara

utuh.5 Di Nusantara, doktrin insan kamil kemudian

dikembangkan untuk memperkokoh legitimasi dan karisma raja.

Melalui hubungan patron-klien antara raja dan ulama,

kemudian konsep ‘Raja Adil’ atau ‘Raja Sufi’ terbentuk di ranah

Melayu.6 Hamzah Fansuri dan Nurudin ar-Raniry adalah dua

tokoh sentral dari pembentukan konsep tersebut.7 Sementara itu

di tanah Jawa, konsep ‘Raja Sufi’ muncul dari lingkaran dalam

keluarga istana. Salah satu contohnya adalah Ratu Pakubuwana

(w. 1732) yang berusaha membentuk sosok Pakubuwana II

sebagai seorang sufi warrior king yang menggunakan ajaran

4 Masataka Takeshita, Insan Kamil Pandangan Ibnu Arabi. 10. 5 A.C. Milner, “Islam and Malay Kingship”: 54. 6 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan (Jakarta: Mizan, 2012).

48-49. 7 A.C. Milner, “Islam and Malay Kingship”: 56.

Page 58: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

38

sufistik sebagai dasar pemerintahannya.8 Meskipun demikian,

baik kerajaan-kerajaan di tanah Melayu maupun Jawa sama-

sama menggunakan kitab al-Insan al-Kamil karya Abd al-Karim

al-Jili sebagai sumber referensi dalam membentuk konsep ‘Raja

Sufi’.9

Pada bagian akhir bab ini, penulis berusaha

mengaktualisasikan konsep ‘Raja Sufi’ dengan Sultan Abul

Mafakhir. Kitab al-Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili

juga ditemukan di Banten dan bahkan Sultan Abul Mafakhir

sendiri yang memberikan titah untuk menyalinnya dan

memberikan terjemahan bahasa Jawa.10 Informasi tersebut

menjadi penting karena ia menyimpan indikasi atas ketertarikan

Sultan Abul Mafakhir terhadap doktrin insan kamil yang

menjadi sumber atas konsep ‘Raja Sufi’. Selain itu, teks Jauhar

al-Haqa’iq karya Syamsudin al-Sumatrani juga ditemukan di

Banten. Jauhar al-Haqa’iq sendiri berisi tentang tajalli (Tuhan)

terhadap insan kamil yang berlangsung dalam lima tingkatan.

Hal tersebut juga biasa dikenal dengan ajaran Martabat Lima.

Baik al-Insan al-Kamil maupun Jauhar al-Haqa’iq, keduanya

memberikan gambaran bahwa doktrin insan kamil juga dikenal

di Kesultanan Banten.

8 M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 103-115. 9 Mark Woodward, “The Slametan”: 58-60. Lihat juga A.C. Milner,

“Islam and Malay Kingship”: 56. 10 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-

Karim al-Jili: 13-14.

Page 59: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

39

A. Doktrin Insan Kamil dari waktu ke waktu

Ajaran Sufi, khususnya insan kamil memang mendapat

tempat yang khusus dalam politik kerajaan di Nusantara. Baik

hakikatnya sebagai sebuah doktrin, maupun proses tajalli-nya

sudah banyak diuraikan oleh para Ulama Dalam lintasan

sejarah, ada banyak ulama yang berusaha menguraikan konsep

insan kamil. Akan tetapi, dalam subbab hanya akan dijelaskan

empat ulama yang memiliki keterkaitan terhadap kajian skripsi

ini, di antaranya; Ibn ‘Arabi, Abd al-Karim al-Jili, Hamzah

Fansuri dan Nurudin ar-Raniry. Dua nama pertama menjadi

sosok penting dari berkembangnya konsep insan kamil dalam

dunia Islam. Sementara sisanya memiliki peran besar dalam

mengembangkan doktrin insan kamil di Nusantara.

1. Insan Kamil dalam pandangan Ibnu Arabi

Ibnu Arabi lahir tahun 1165 M (560 H) di kota Murcia,

Spanyol dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad bin

Sa'id bin Mardaniah yang merupakan Gubernur Andalusia

Timur. Nama kelahirannya adalah Mukhyid-Din Muhammad

Ibn Ali Ibn Muhammad Ibnu ‘Arabi al-Hatimi al-Tha’i.

Semasa hidup, ia pernah memegang jabatan qadi di kota Seville

dan kemudian mundur untuk mengabdikan diri dalam kegiatan

Page 60: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

40

ilmiah, seperti mengajar dan menulis.11 Selain itu, Ibnu ‘Arabi

juga banyak melakukan pengembaraan semasa hidupnya. Di

umur 8 tahun, ia pergi ke Lisbon, di mana ia menerima

pendidikan hukum-hukum Islam dan membaca Qur’an.

Kemudian ia pindah ke kota Seville untuk belajar Hadits,

Hukum dan Theologi Islam. Ia menetap selama 30 tahun dan

banyak belajar mengenai tasawuf di sana. Setelah menetap

cukup lama di Seville, ia berangkat ke Timur untuk

melaksanakan ibadah Haji ke Mekkah. Ia juga mngunjungi

Mesir, Jerussalem dan Aleppo selama berada di Timur.

Pengembaraannya kemudian berakhir di kota Damaskus, di

mana ia menetap sampai meninggal di tahun 1240 M (638 H).12

Ibnu ‘Arabi sendiri merupakan ulama ‘golongan awal’

yang memperkenalkan istilah insan kamil. Ia muncul dengan

konsep tajalli al-Haqq (Manifestasi Tuhan). Secara sederhana,

yang dimaksud tajalli al-Haqq adalah Alam yang menjadi

cermin bagi Tuhan untuk menampakkan diri-Nya. Hal tersebut

bukan terjadi secara langsung, melainkan dalam bentuk yang

tidak langsung. Jadi, apapun yang ada di alam ini merupakan

tajalli (manifestasi) Tuhan, sehingga hanya ada realitas tunggal

atau wujud yang satu.13 Atas dasar inilah kemudian muncul

11 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara: Kontinuitas dan

Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015). 23-25. 12 A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 1995). 1-2. Lihat juga Abdul Haq Ansari, “Ibn Arabi: The

Doctrine of Wahdat al-Wujud”, Islamic Studies 38, no.2 (1999): 150-151. 13 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 31-32.

Page 61: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

41

konsep ‘insan kamil’ atau manusia sempurna. Menurut Ibnu

Arabi, satu-satunya yang mampu memantulkan semua

kesempurnaan Tuhan adalah insan kamil.14 Singkatnya, tajalli

(Manifestasi) Tuhan yang paling sempurna adalah insan kamil.

Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi, Tajalli Tuhan terbagi

menjadi dua bentuk, yaitu tajalli Zati dan tajalli Syuhudi.

Tajalli Zati merupakan tajalli yang hanya terjadi dalam esensi

Tuhan. Di dalamnya terdiri dari martabat Ahadiyah (Wujud

tunggal yang mutlak) dan martabat Wahidiyyah (Citra Tuhan

mulai tercermin dalam sifat-sifat-Nya). Sementara itu, tajalli

Syuhudi merupakan tajalli yang mengambil bentuk alam

semesta. Tingkatan pertama dari tajalli ini adalah al-jism al-

kulli (Jasad Universal) kemudian mengambil bentuk al-syakl

al-kulli (bentuk universal), yang terdiri dari berbagai unsur di

alam seperti air, api, tanah, udara, mineral dan seterusnya.

Sedangkan tajalli yang terakhir adalah insan kamil yang

merupakan manifestasi dari segala nama dan sifat-Nya.15

Konsep insan kamil kemudian terus berkembang dan

dilanjutkan oleh Abd al-Karim al-Jili yang berjudul al-Insan

al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il. Menurut

Nicholson, kitab tersebut ditulis secara khusus untuk

14 A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi. 113-118. 15 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi. 61-62.

Page 62: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

42

menjelaskan doktrin insan kamil. Selanjutnya akan dijelaskan

lebih lanjut mengenai pandangan al-Jili tentang insan kamil.

2. Insan Kamil dalam Pandangan Abd Karim al-Jili

Abd al-Karim al-Jili lahir di Baghdad sekitar tahun

1365 M. Nama lengkapnya adalah Abd Karim al-Jili Ibn

Ibrahim Ibn Abd al-Karim Ibn Khalifah Ibn Ahmad Ibn

Mahmud al-Jili.16 Masih belum diketahui secara pasti

mengenai tanggal kematian al-Jili. Nicholson berpendapat

bahwa al-Jili kemungkinan meninggal antara tahun 1406-1417

M.17 Abd Karim al-Jili juga dikenal sebagai penulis yang cukup

produktif. Beberapa tulisannya antara lain: al-Insan al-Kamil,

Maratib al-Wujud wa Bayan Kulli Maujud, Syarh al-Futuhat

al-Makkiyah, Arba’un Mauthinan, Aqidah al-Akbar al-

Muqtabasatmin Ahzab wa Shalawat, Haqiqah al-Haqa’iq. Dari

semua karya yang sudah ia tulis, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat

al-Awakhir wa al-Awa’il adalah karyanya yang paling

monumental.18

Serupa dengan Ibnu Arabi, Abd Karim al-Jili juga

memandang bahwa insan kamil merupakan manifestasi

(tajalli) yang paling sempurna bagi Tuhan. Ia juga sepakat

dengan Ibnu Arabi terkait sosok Nabi Muhammad sebagai

16 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 38. 17 R. Nicholson, Studies in Islamic Mysticism. 81. 18 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi. 38-47 Lihat juga. R. Nicholson,

Studies in Islamic Mysticism. 82.

Page 63: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

43

‘insan kamil’ yang paling tinggi derajatnya.19 Namun, proses

manifestasi (tajalli) yang diusung oleh Abd al-Karim al-Jili

lebih tersusun sistematis dan mudah dipahami daripada milik

Ibnu Arabi. Menurut al-Jili ada lima tingkatan berbeda antara

satu dengan yang lain, di antaranya; Martabat uluhiyyah,

ahadiyyah, wahidiyyah, rahmaniyyah dan rububiyyah.20 al-Jili

kemudian membagi proses tajalli tersebut menjadi tiga

kategori. Pertama, kategori al-bidayah (permulaan), asma dan

sifat-sifat Tuhan mulai bisa tercermin dalam diri insan kamil.

Kedua, kategori tawasuth (pertengahan). Pada tingkatan ini,

Tuhan sudah menampakkan sifat-sifat dan namanya ke dalam

fenomena alam semesta. Selain itu, pada tingkatan ini insan

kamil sudah memiliki sebagian pengetahuan tentang hal-hal

gaib. Ketiga, kategori kesempurnaan. Pada tingkatan ini, insan

kamil memiliki pengetahuan rahasia penciptaan takdir, ia juga

telah mampu tampil sebagai cerminan ilahi secara utuh dan

sempurna.

al-Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili nyatanya

memiliki pengaruh yang cukup signifikan di Nusantara. Ia

menjadi sumber rujukan penting bagi para ulama serta digemari

oleh para penguasa, baik di tanah Melayu maupun tanah Jawa.

Meskipun demikian, baik kerajaan-kerajaan di tanah Melayu

19 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 43. 20 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 41-42. R. Nicholson,

Studies in Islamic Mysticism. 84.

Page 64: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

44

maupun Jawa.21 Dalam kaitannya dengan kerajaan-kerajaan

Melayu, Hamzah Fansuri dan Nurudin ar-Raniry memiliki peran

penting dalam memformulasikan doktrin insan kamil sebagai

sumber legitimasi dan karisma raja. Selanjutnya, pandangan

Hamzah Fansuri dan Nurudin ar-Raniry mengenai insan kamil

akan dijelaskan lebih lanjut.

3. Martabat Lima dan Insan Kamil menurut Hamzah

Fansuri

Riwayat hidup Hamzah Fansuri juga sudah menarik

perhatian besar dari para sejarawan. Mengenai kelahiran ulama

masyhur ini, ada beberapa versi berbeda. Naquib Al-Attas

berpendapat bahwa ada dua tempat yang paling memungkinkan

sebagai lokasi kelahiran Hamzan Fansuri, diantaranya; Barus

dan Shahr Nawi (Siam). Kedua tempat tersebut juga sering

disebut dalam oleh Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya.22

Sedangkan Brakel berpendapat bahwa letak Shahr Nawi (Syahr

Nu) bukan di Siam, melainkan masih dalam wilayah Kerajaan

Aceh. Lebih jauh ia juga menjelaskan bahwa Syahr Nu bukalah

tempat kelahiran Hamzah Fansuri.23 Baik tempat maupun

tanggal kelahirannya memang menjadi misteri hingga kini.

21 Mark Woodward, “The Slametan”: 58-60. Lihat juga A.C. Milner,

“Islam and Malay Kingship”: 56. 22 Syed Naguib al-Attas, “New Light on The Life of Hamzah

Fansuri”. JMBRAS 40, no.1 (1967): 43-48. 23 L.F Brakel, “The Birth Place of Hamzah Fansuri”. JMBRAS 42,

no.2 (1969): 206-212.

Page 65: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

45

Bukan hanya itu, waktu kematian Hamzah Fansuri juga

masih menjadi misteri besar bagi para sejarawan. Sama seperti

sebelumnya, para sejarawan juga berbeda pendapat dalam

menentukan waktu kematian Hamzah Fansuri. Kelompok

pertama (Voorhoeve dan Nieuwenhuyze) menyatakan bahwa

Hamzah Fansuri kemungkinan besar sudah wafat sebelum

tahun 1590 M. Kelompok kedua (Kraemer, Winstedt dan

Hasyimi) berpendapat bahwa Hamzah Fansuri masih hidup

hingga tahun 1630-an. Pendapat ini didasarkan pada sebuah

naskah anonim abad ke-17 (MS SOAS London No. 11646)24

yang diduga memuat ajaran Hamzah Fansuri. Sementara itu,

kelompok ketiga (Naquib al-Attas, Brakel dan Braginsky)

berpendapat bahwa Hamzah Fansuri hidup sekurang-

kurangnya hingga awal abad ke-17.25

Salah satu yang cukup dikenal dari Hamzah Fansuri

adalah konsep ‘Martabat Lima’. Pesona dari konsep ini terasa

kuat di awal abad ke-17. Bahkan, Martabat Lima kemungkinan

sudah dikenali di Banten. Hal tersebut tentu bukan sesuatu

yang tidak mustahil, mengingat beberapa karya Hamzah

Fansuri seperti al-Muntahi dan Syarab al-Asyiqin sudah

24 Lihat uraian A.H Johns, “Malay Sufism:as ilustrated in an

anonymous collection of 17th Century tracts”. JMBRAS 30, no.2 (1957). 25 Abdul Hadi, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik

terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001). 118-

119.

Page 66: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

46

dikenali dan sukses menarik perhatian Sultan Abul Mafakhir.26

Konsep martabat lima tak bisa dilepaskan dari ajaran wahdat

al-wujud (wujudiyyah). Menariknya, ajaran wujudiyyah yang

dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh Ibnu

Arabi dan Abd al-Karim al-Jili.27 Karenanya, konsep martabat

lima maupun ajaran wujudiyyah juga tak bisa dilepaskan dari

doktrin insan kamil.

Meskipun demikian, Hamzah Fansuri memiliki

pandangan tersendiri mengenai proses manifestasi (tajalli)

Tuhan. “Martabat Lima”, yang terdiri dari:

Pertama, martabat la ta’ayun (tidak nyata). Dalam

martabat ini, Tuhan benar-benar berada dalam realitas

yang tidak mampu dipahami oleh manusia karena akal

dan budi dari manusia tidaklah mampu menjangkaunya.

Kedua, martabat ta’ayyun awwal (kenyataan pertama),

yang terdiri dari Ilmu, Wujud, Syuhud dan Nur. dengan

sebab Ilmu maka Alim dan Ma’lum menjadi nyata,

dengan sebab Wujud maka yang mengadakan dan yang

diadakan menjadi nyata, dengan sebab Syuhud maka

yang melihat dan dilihat menjadi nyata, dengan sebab

26 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten (Jakarta:

WWS, 2015). 340. Lihat juga Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa

Silam Jilid I: 1482-1890 (Jakarta: KPG-EFEO, 2013). 15-17. Lebih lanjut

penjelasan mengenai kitab al-Muntahi, lihat Abdul Hadi, Tasawuf yang

Tertindas. 11. 27 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 116.

Page 67: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

47

Nur maka yang menerangi dan yang diterangi menjadi

nyata. Ta’ayyun awwal terdiri dari dua bagian, Ahad

ketika Zat Allah berada dalam keesaannya dan Wahid

ketika Zat Allah sudah menyertakan sifat-Nya.

Ketiga, martabat ta’ayyun Tsani (kenyataan kedua),

martabat ini juga dikenal oleh kaum sufi sebagai a’yan

tsabithah (sesuatu yang pasti).

Keempat, martabat ta’ayyun ketiga, yaitu kenyataan

berupa ruh, ruh insan, ruh hewan dan tumbuhan.

Kelima, martabat ta’ayyun keempat dan kelima, yaitu

segala yang berbentuk fisik dan segala makhluqat.28

Konsep tersebut tidak jauh berbeda dengan konsep

tajalli dari para pendahulunya seperti Ibnu Arabi maupun Abd

al-Karim al-Jili.

4. Insan Kamil dalam pandangan Nurudin ar-Raniry

Nuruddin ar-Raniry lahir dengan di kota Ranir

(Rander), India dengan nama Nuruddin bin Muhammad bin Ali

bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry al-Quraisyi al-

Syafi’iy. Ia belajar agama di kota kelahirannya ini lalu

melanjutkan belajarnya ke kota Tarim, Arab Selatan. Di tahun

28 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 119-120.

Page 68: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

48

1621 M, ia berangkat ke Mekkah dan Madinah untuk ziarah ke

makam Nabi dan kemudian kembali ke India.29

Di tahun 1637 M, ia pergi ke Aceh dan menjadi mufti

Kerajaan Aceh yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Iskandar

Tsani.30 Nurudin juga sudah pernah berkunjung ke Aceh

sebelumnya, argumen itu didasari dari penguasaan bahasa

Melayu olehnya.31 Namun, ia pergi meninggalkan Aceh dan

kembali ke kota kelahirannya di tahun 1644 M. Kepergiannya

yang tiba-tiba ini agaknya didasari atas kekalahan Nurudin

dalam diskusi keagamaan dengan Saifurrijal, yang merupakan

murid Syamsudin al-Sumatrani.32

Nurudin juga dikenal sebagai ulama yang produktif

menulis, lebih dari 20 kitab telah ia hasilkan. Salah satu karya

monumentalnya adalah Bustan al-Salathin yang selesai di

tahun 1637 M. Menariknya, ia juga menulis sebuah kitab yang

ditujukan untuk menjawab pertanyaan Sultan Abul Mafakhir

(w.1651)33 dari Banten. Kitab tersebut berjudul al-Lama’an fi

29 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh

Nuruddin ar-Raniry. 36. 30 P. Voorhoeve, “Van en Over Nurudin ar-Raniri”. BKI 107, no.4

(1951): 357. 31 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh

Nuruddin ar-Raniry. 38. 32 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh

Nuruddin ar-Raniry. 45-46. 33 Ahmad Daudy agaknya keliru dalam menyebut tahun kematian

Sultan Abul Mafakhir. Ia menyebut tahun 1640 M sebagai waktu kematian

Sultan Abul Mafakhir. Padahal di saat yang bersamaan Daudy juga

Page 69: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

49

Takfir man qala bi khalq’l-Qur’an yang ditulis oleh Nurudin

ketika ia berada di Ranir, India. Isi dari kitab ini adalah

sanggahan terhadap ajaran wujudiyyah Hamzah Fansuri.34

Empat belas tahun setelah kembali dari Aceh, Nurudin ar-

Raniri meninggal dunia. Ia meninggal di tanggal 21 September

1658 M (1069 H).35

Menurut Nuruddin ar-Raniry, tajalli Tuhan

berlangsung dalam tiga martabat. Berikut di antaranya:

Martabat Wahidah atau ta’ayyun awwal, yaitu segala

sifat dinamai akan tajalli itu syu’un zat.

Martabat Wahidiyyah atau ta’ayyun tsani, yaitu segala

asma dinamai akan dia tajalli itu a’yan tsabitah

(Hakikat Alam).

Martabat Alam Arwah atau tajalli Syuhudi, yaitu

Zhuhur Haqq Ta’ala dengan Shuwar asma-Nya pada

alam.36

menyebut bahwa kitab tersebut ditulis ketika Nurudin sudah kembali ke

Ranir di tahun 1644. Dari Sajarah Banten juga didapati bahwa Sultan Abul

Mafakhir meninggal di tahun 1651 M dan bukan di tahun 1640 M.. Lihat

Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-

Raniry. 56. Bandingkan dengan Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis

Tentang Sajarah Banten (Jakarta: Djambatan, 1983). 209. 34 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh

Nuruddin ar-Raniry. 56. 35 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh

Nuruddin ar-Raniry. 47. 36 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh

Nuruddin ar-Raniry. 97-98.

Page 70: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

50

Sementara itu, yang dimaksud dengan insan kamil

dalam konsepsi Nurudin ar-Raniry adalah manusia yang telah

memiliki hakikat Muhammad dalam dirinya. Sejatinya konsep

mengenai insan kamil ini tidak berbeda jauh dengan konsep

yang sudah ditelurkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-

Sumatrani. Bahkan, konsep insan kamil dari ketiganya masih

berada dalam garis Ibnu Arabi. Lebih jauh menurut Nurudin,

nur Muhammad adalah awal dari segala peristiwa (ta’ayyun

awwal) yang menghimpun segala haqa’iq, sehingga segala

nama dan sifat-Nya hanya bertajalli secara sempurna pada nur

Muhammad atau insan kamil, sehingga sampai kepada

simpulan bahwa insan kamil merupakan cermin Allah untuk

melihat kesempurnaan diri-Nya.37

B. Konsep Raja Sufi: Aktualisasi Doktrin Insan Kamil di

Nusantara

Mulai dari Ibnu Arabi hingga Nurudin ar-Raniry

beranggapan bahwa insan kamil adalah tajalli Tuhan yang

paling sempurna. Manifestasi yang paling sempurna dari insan

kamil adalah nur Muhammad, karena ia merupakan awal dari

penciptaan alam semesta. Lalu di bawahnya ada para Nabi dan

kemudian wali ataupun orang suci. Di abad ke-17, konsep

37 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh

Nuruddin ar-Raniry. 184-189.

Page 71: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

51

mengenai insan kamil dipandang begitu menarik bagi raja-raja

Nusantara. Konsep tersebut diadopsi dan dimodifikasi agar

dapat memperkuat karisma seorang raja. Di tanah Melayu,

kemudian lahir istilah Raja Adil yang bersumber dari konsep

“insan kamil” dalam konteks politik kerajaan. Sementara itu, di

tanah Jawa, istilah yang lebih dikenal adalah Raja Sufi yang

juga berasal dari konsep insan kamil.38 Keduanya akan

dijelaskan lebih rinci dalam bagian ini.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, doktrin insan

kamil masuk ke Nusantara melalui Aceh. Diawali oleh Hamzah

Fansuri, dilanjutkan oleh Syamsudin al-Sumatrani dan

diperkaya oleh Nurudin ar-Raniri. Ketiganya menempatkan

insan kamil ke dalam lanskap politik Nusantara saat itu yang

berpusat pada kebesaran seorang Raja. Hubungan patron-klien

yang terjalin antara Raja dan Ulama di Aceh rasanya perlu

diketengahkan sebagai sebab terbentuknya konsep Raja Sufi

atau Raja Adil di Aceh, sehingga konsep Raja Sufi juga harus

dipandang sebagai sebuah aktualisasi dan adaptasi dari doktrin

insan kamil yang sudah berkembang masif abad itu.

Dalam kaitannya dengan politik kerajaan di Melayu,

penting kiranya untuk melihat artikel A.C Milner, Islam and

Malay Kingship (1981). Dalam artikel tersebut, Milner secara

khusus menyoroti mengenai doktrin ‘perfect man’ atau ‘insan

38 Jajat Burhanuddin, “Wacana Baru Islam”. Studia Islamika 5, no.2

(1998): 195-196.

Page 72: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

52

kamil’ yang banyak menarik perhatian raja-raja Melayu.

Secara sederhana, insan kamil digambarkan sebagai seorang

yang sudah menyadari kesatuannya dengan Tuhan.39 Dalam

kerajaan Melayu, kekuasaan politik (hukumah) seperti

mengatur tata kelola masyarakat merupakan bagian yang

sejajar dengan tugas-tugas kenabian (nubuwah) seperti

membimbing manusia menuju kebaikan.40

Uniknya, Taj al-Salatin yang ditulis sekitar tahun 1603

M juga memuat konsep ideal bagi seorang raja. Dalam hal ini

konsep yang diperkenalkan dalam naskah tersebut adalah

“adil”, yang merujuk pada kondisi moral dan kesempurnaan

agama. Kondisi ini relatif sama dengan doktrin insan kamil

yang menyadari secara utuh kesatuannya dengan Tuhan dan

pada akhirnya mampu berbuat adil. Dari konsep adil tersebut,

kebenaran yang sejati akan terdapat dalam ucapan dan tindakan

para raja. Selain itu, Taj al-Salatin juga mengungkapkan

kriteria yang harus dimiliki oleh seorang Raja Adil. Kriteria

pertama, seorang Raja Adil harus selalu ingin menuntut ilmu

pada ulama, memperhatikan kondisi rakyatnya, menganjurkan

kebaikan dan melarang keburukan serta melindungi rakyatnya

dari setiap kejahatan.41

39 A.C. Milner, “Islam and Malay Kingship”: 54-55. 40 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 48-49. 41 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 52-53.

Page 73: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

53

Sementara itu, konsep yang serupa juga ditemui di

tanah Jawa. Akan tetapi perbedaan yang cukup terlihat adalah

Berbeda dengan kerajaan Aceh dan Melayu yang sarat dengan

hubungan patron-klien. Konsepsi Raja Sufi yang berkembang

di tanah Jawa justru berasal dari dalam lingkaran kerajaan.

Salah satu yang paling fenomenal adalah upaya Ratu

Pakubuwana dalam membentuk ajaran sufistik sebagai dasar

dari kerajaan Pakubuwana II.

Upaya tersebut dilancarkan oleh Ratu Pakubuwana

pada dekade awal abad ke-18. Ia berusaha menyempurnakan

sosok Pakubuwana II sebagai seorang “Raja Sufi” dengan cara

menyodorkan beberapa kitab sufistik seperti Carita Iskandar,

Carita Yusuf, Kitab Usulbiyah serta Suluk Garwa Kencana.

Hebatnya, keempat kitab tersebut ia hasilkan dalam keadaan

buta. Sosok Ratu Pakubuwana yang menjadi sosok penting dari

pengembangan konsep Raja Sufi di Jawa.42

Carita Iskandar dan Carita Yusuf adalah tulisan ulang

yang berkisah mengenai petualangan, kepahlawanan serta

kesalehan seorang pemimpin. Sementara itu, Kitab Usulbiyah

mengandung otoritas yang lebih jelas lagi di dalamnya,

sehingga disebut di dalamnya bahwa “seorang Kafir akan

menjadi Muslim jika membacanya”. Yang terakhir adalah

Suluk Garwa Kencana, di sinilah penguasa ideal digambarkan

sebagai seorang yang taat kepada ajaran sufi dan tidak

42 M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 103-115.

Page 74: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

54

meninggalkan tradisi Jawa. Seorang penguasa kemudian harus

mengabaikan kesenangan pribadi dan menjadi Raja Sufi.43

al-Insan al-Kamil juga menjadi kitab yang cukup

dikenal di Banten. Bahkan, Sultan Abul Mafakhir yang

memerintahkan untuk menyalin kitab tersebut. Hal tersebut

didukung dengan fakta bahwa kitab al-Insan al-Kamil yang

tertua ditemukan di Banten. Kini, naskah itu tersimpan di

Perpustakaan Leiden, Belanda.44 Mengenai insan kamil di

Kesultanan Banten akan dijelaskan pada subbab selanjutnya.

C. Insan Kamil di Kesultanan Banten

Dalam kaitannya dengan Kesultanan Banten,

setidaknya ada dua teks yang menggambarkan tentang ajaran

‘Martabat Lima’ dan insan kamil. Keduanya adalah teks

Jauhar al-Haqa’iq dan al-Insan al-Kamil. Naskah pertama

adalah karya Syamsudin al-Sumatrani yang kemudian disalin

ulang oleh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani di abad ke

18 M dengan otoritas yang diberikan oleh Sultan Abu Nasr

Muhammad Arifuddin Zainulasyiqin.45 Naskah Jauhar al-

43 M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 103-115. 44 Michael Feener & Michael Laffan, “Sefi Scent Across the Indian

Ocean: Yemeni Hagioghrapy and the Earliest History of Southeast Asian

Islam”. Archipel 70 (2005): 205. Lihat juga Mufti Ali dkk, Konsep

“Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-Karim al-Jili. 13-14. 45 Jauhar al-Haqa’iq, 235-236.

Page 75: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

55

Haqa’iq sendiri dalam keadaan baik. Kemungkinan naskah ini

ditulis pada abad ke-18. Pada halaman kelima terdapat

informasi mengenai judul naskah yang ditandai dengan tinta

berwarna merah.46 Kini, teks Jauhar al-Haqa’iq tersimpan di

Perpustakaan Nasional dengan nomor panggil A 31.

Menariknya, dari keterangan yang diberikan oleh Mufti

Ali, naskah Jauhar al-Haqa’iq memuat ringkasan tanya-jawab

antara Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (w.1651

M) dengan Nurudin ar-Raniri.47 Dialog ini sendiri berlangsung

di tahun 1640’an. Kemungkinan, maksud dan tujuan Abul

Mafakhir mengirimkan pertanyaan adalah untuk

mengklarifikasi dengan apa yang terjadi di Aceh. sendiri

merupakan seorang ulama terkemuka di Aceh yang menjabat

sebagai Syaikhul Islam pada paruh pertama abad ke-17.

Kemudian ia pergi dari Aceh dan kembali ke India. Surat yang

dikirimkan oleh Abul Mafakhir juga kemungkinan diterima

oleh ar-Raniri setelah ia berada di India.

Teks Jauhar al-Haqa’iq terdiri dari tiga bagian. Bagian

pertama hampir dapat dipastikan mengandung ajaran ‘Martabat

Lima’ yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri

dan dilanjutkan oleh Syamsudin al-Sumatrani. Kelima

martabat tersebut terdiri dari martabat Ahadiyah, Wahdat,

46 Jauhar al-Haqaiq, 5 47 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-

Karim al-Jili. 3.

Page 76: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

56

Wahidiyyah, ta’ayyun Ruh serta ta’ayyun makhluqi.48 Uraian

tersebut merupakan indikasi awal bahwa ajaran Martabat Lima

mendapat ruang yang cukup aus di Kesultanan Banten. terlebih

lagi, ketertarikan Sultan Abul Mafakhir terhadap karya-karya

Hamzah Fansuri seperti al-Muntahi menjadi indikasi tambahan

bahwa ajaran Martabat Lima memang cukup dikenal di Banten.

Bagian kedua membicarakan mengenai tingkatan

penciptaan manusia.49 Allah pertama-tama menciptakan nur

yang kemungkinan adalah nur dari Nabi Muhammad. Nur

tersebut berasal dari Nur milik Allah ta’ala. kemudian Ia

menciptakan para nabi dari cahaya tersebut.50 Dari sinilah

gambaran ‘insan kamil’ menurut ar-Raniry, bahwa seorang

insan kamil atau Manusia Sempurna adalah ia yang telah

memiliki nur Muhammad atau hakikat Muhammad dalam

dirinya.

Dalam naskah yang sama juga disebutkan mengenai

tingkatan dari qalbu. Pertama hati yang mati, yang dimiliki

oleh orang kafir dan jiwa yang dipimpin syaithon. Kedua hati

yang rusak, yaitu hati orang-orang fasik, yang memiliki nafsu

hewan dan syaithon, dan ia adalah orang yang cacat. Ketiga hati

pendusta, yaitu hati orang munafik. Keempat hati yang selamat,

yaitu hati orang mukmin yang sholeh dan meyakini dengan

48 Jauhar al-Haqaiq, 7-9. 49 Jauhar al-Haqa’iq, 192. 50 Jauhar al-Haqa’iq, 193-195.

Page 77: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

57

mantap Nabi Muhammad. Kelima hati yang terarah, yaitu hati

orang-orang mukmin yang sempurna, dan mereka adalah ahlul

thariqoh. Keenam hati yang abstrak, adalah hati orang mukmin

yang sempurna, dan mereka adalah orang yang benar. Ketujuh

hati ketuhanan, yaitu hati orang-orang mukmin yang sudah

menyatu dengan Allah, dan mereka adalah ahlul ma’rifat.51

Ketertarikan Sultan Abul Mafakhir terhadap konsep

insan kamil juga terindikasi dari temuan Mufti Ali dik terhadap

naskah al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il

karya Abd al-Karim al-Jili yang sudah diberikan tambahan

larik bahasa Jawa. Naskah ini berada di Perpustakaan Leiden,

Belanda dengan nomor panggil Cod.Or 7197a.

Naskah al-Insan al-Kamil sering dimaknai sebagai

karya Abul Mafakhir. Namun, dalam penelitian yang lebih

mutakhir diketahui bahwa Abul Mafakhir hanya memberika

otoritas untuk menyalin dan memberikan terjemahan bahasa

jawa dalam naskah tersebut.52 Yang dimaksud insan kamil

secara harfiah diartikan sebagai “Manusia Sempurna”.

Sedangkan dalam konsep al-Raniri, insan kamil adalah

manusia yang memiliki nur Muhammad dalam dirinya. Oleh

sebab itu, dalam insan kamil terkandung segala hakikat wujud

yang paling lengkap, sehingga ia dapat berperan sebagai

51 Jauhar al-Haqa’iq, 284-289. Lihat juga Harun Nasution, Filsafat

dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). 75-78. 52 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-

Karim al-Jili. 13-14.

Page 78: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

58

cermin-Nya yang lengkap lagi sempurna. Lewat insan kamil,

maka lahirlah segala sifat jamal dan jalal-Nya di muka bumi

ini, seperti adil, ihsan, kasih sayang, keagungan serta

keperkasaan.53

53 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh

Nurudin ar-Raniry. 184-189.

Page 79: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

59

BAB IV

KESULTANAN BANTEN DI BAWAH

KEKUASAAN SULTAN ABUL MAFAKHIR

(1624-1651 M)

A. Kesultanan Banten Sebelum Sultan Abul Mafakhir

Mahmud Abdul Kadir berkuasa.

Kerajaan Banten berdiri sejak tahun 1525 M ditandai

dengan di taklukannya Wahanten Girang oleh Sunan Gunung

Djati dan Maulana Hasanuddin. Karena posisinya yang sangat

strategis, Banten mulai berkembang menjadi salah satu

kekuatan penting di Nusantara. Letaknya yang berada di antara

dua selat membuatnya terhubung dengan jaringan perdagangan

global. Sejak saat itu, Banten berhasil mempertahankan

kemerdekaan yang bebas dari segala intervensi, setidaknya

sampai tahun 1682 M. Periode ini disebut oleh Guillot sebagai

‘Periode kemerdekaan Banten’.1

Selama periode ini, Banten dipimpin oleh lima Raja, di

antaranya Maulana Hasanuddin yang berkuasa sejak tahun

1527-1570 M, Maulana Yusuf yang berkuasa sejak 1570-1580

M, Maulana Muhammad yang berkuasa sejak 1594-1596,

Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang berkuasa

1 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-

1682)”. Archipel 50, (1995): 109.

Page 80: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

60

sejak tahun 1624-1651 M dan Sultan Ageng Tirtayasa yang

berkuasa sejak tahun 1651-1682 M. Selain itu, ada lima

waliraja yang menggantikan tugas raja sementara waktu.

Mereka adalah Patih Mangkubumi (1596-1602 M), adik

Mangkubumi yang segera dipecat karena sikapnya yang kurang

tegas, Nyi Gede Wanagiri, waliraja keempat adalah seorang

mangkubumi yang menikahi Nyi Gede Wanagiri, Waliraja

yang terakhir adalah Pangeran Arya Ranamanggala (1608-

1624 M).2

Maulana Hasanuddin (1527-1570 M) menjadi raja

Banten setelah berhasil menaklukkan Banten Girang.3 Setelah

menetap beberapa waktu, Hasanuddin mendapat arahan dari

sang ayah untuk memindahkan Ibu Kota Banten ke kawasan

pesisir dan terciptalah Surosowan.4 Pemindahan ibukota ke

Banten sering kali dikaitkan dengan ‘unsur magis’,

bahwasanya sebuah ibukota yang telah ditaklukkan tidak boleh

lagi ditinggali.5 Meskipun demikian, posisi Surosowan di masa

itu memang sangat strategis, karena ia berada di jalur

perdagangan global. Akibatnya, Banten kemudian

2 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten

(Jakarta: Djambatan, 1983): 214-215. Lihat juga Titik Pudjiastuti,

Menyusuri Jejak Kesultanan Banten (Jakarta: WWS, 2015). 303-307. 3 Claude Guillot, “Banten in 1678”. Indonesia no.57 (1993): 90. 4 Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III

Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008). 67. 5 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota

Muslim di Indonesia (Kudus: Menara Kudus, 2000). 52.

Page 81: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

61

mengokohkan diri sebagai salah satu kota-pelabuhan penting di

Nusantara.

Poin penting yang juga perlu dilihat dari Maulana

Hasanuddin adalah kunjungannya ke Mekkah dan Madinah.

Bersama sang ayah, Sunan Gunung Djati, Hasanuddin

melaksanakan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama

di sana. Dari proses inilah, Hasanuddin ‘diduga kuat’ telah

berafiliasi dengan beberapa tarekat, seperti Qadiriyyah,

Syatharriyyah maupun Naqshabandiyyah dan membawanya ke

Banten.6 Gelar ‘Maulana’ yang disematkan kepada Hasanuddin

merupakan hasil dari Peran besarnya dalam menyebarkan dan

memperkuat agama Islam di Banten.7 Maulana Hasanuddin

wafat di tahun 1570 M. Setelah meninggal, ia mendapat gelar

Pangeran Sabangkinkin, merujuk pada tempat bersemayamnya

yang dekat dengan Masjid.8

Kekuasaan Banten kemudian diteruskan oleh Maulana

Yusuf (1570-1580 M). Pemerintahannya berjalan kurang lebih

sepuluh tahun. Meskipun tergolong singkat, ia berhasil

meneruskan pembangunan yang sudah dilakukan oleh Maulana

Hasanuddin (w. 1570 M). Dalam Sajarah Banten, dikisahkan

6 Gabriel Facal, “Religious Specificities in the Early Sultanate of

Banten” dalam Indo-Islamika 4, no. 1 (2014): 102-103 7 Hasan Muarif Ambary, “Agama dan Masyarakat Banten” dalam Sri

Sutjiatiningsih, Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah

Diskusi (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997). 49 8 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten..

160.

Page 82: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

62

bahwa Maulana Yusuf memiliki kekuatan jasmani yang luar

biasa. Oleh sebab itu, ia mampu membangun berbagai

infrastruktur di Kesultanan Banten. Mulai dari pembangunan

benteng kota, membuka ladang persawahan baru sampai kanal

air dan bendungan di Kota Surosowan.9 Selain itu, Ia juga

memimpin langsung penyerangan aliansi Banten-Cirebon

terhadap Kerajaan Pakuan-Pajajaran di tahun 1579 M.10

Setahun setelah menaklukkan Pajajaran, Maulana Yusuf wafat

dan dimakamkan di kawasan Pakalangan yang terletak di luar

kota Banten. Setelah mangkat, ia digelari Pangeran Pasarean,

yang juga merujuk pada tempat pemakamannya.11

Penguasa selanjutnya adalah Muhammad Nasruddin

atau Maulana Muhammad (1594-1596 M). Ia mulai memegang

kuasa di tahun 1594 M, ketika usianya sekitar 23 tahun. Adanya

jarak antara akhir kekuasaan Maulana Yusuf dengan

berkuasanya Maulana Muhammad bukannya tanpa sebab.

Sepeninggal Maulana Yusuf, ada dilema yang terjadi karena

sang pewaris tahta masih berumur 9 tahun, usia yang relatif

muda untuk memimpin sebuah kerajaan. Oleh sebab itu, sistem

kewalirajaan dibentuk dan kekuasaan Banten untuk sementara

dipegang oleh Patih Mangkubumi sebagai waliraja pertama

9 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 288. 10 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.

36-38. 11 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.

162-163.

Page 83: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

63

sejak 1580 M dan kekuasaan Banten akan dikembalikan

kepada Maulana Muhammad ketika yang bersangkutan telah

siap dan cukup dewasa untuk memimpin.

Usaha untuk menerapkan sistem ini pun tidaklah

mudah. Karena Pangeran Jepara—adik kandung dari Maulana

Yusuf yang dibesarkan oleh Ratu Kalinyamat—datang ke

Banten untuk mengisi kekosongan di Banten. ambisi untuk

berkuasa di Banten tergambar dari besarnya jumlah pasukan

yang ia bawa. Karena statusnya yang masih anggota kerajaan

Banten, ia disambut baik oleh para punggawa dan mantri.

Bahkan Mangkubumi juga menawarkan tahta Banten

kepadanya. Tentu saja tawaran ini disambut baik oleh Pangeran

Jepara. Akan tetapi langkah Pangeran Jepara kemudian

dikandaskan oleh Ki Ali Surasaji atau Kiyai Dukuh. Awalnya,

Kyai Dukuh bertemu dengan Mangkubumi dan para pembesar

negeri untuk membicarakan tahta Banten seharusnya

diserahkan kepada Maulana Muhammad, bukan Pangeran

Jepara. Usul dari Kyai Dukuh kemudian disetujui oleh

Mangkubumi sehingga dibuatlah sistem kewalirajaan.12

Akhirnya keputusan telah dibuat dan Mangkubumi

yang sebelumnya mendukung Pangeran Jepara kemudian

berbalik menentang. Pertempuran antara antara pasukan

Banten dan pasukan Jepara tak terhindarkan lagi. Meskipun

12 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.

39-41.

Page 84: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

64

demikian, pasukan Jepara kemudian dapat diusir keluar Banten

dan Pangeran Muhammad yang masih belia itu diangkat

menjadi penguasa Banten, dengan catatan Pemerintahan

Banten dipegang oleh waliraja untuk sementara waktu. Untuk

itu, Mangkubumi ditunjuk sebagai waliraja pertama di

Banten.13 Kegagalan Pangeran Jepara untuk mengambil alih

kekuasaan di Banten merupakan sebuah indikasi dari

kedaulatan Banten terhadap sisa-sisa kekuasaan Demak di

Jawa Tengah.14

Atas jasanya yang besar, Kyai Dukuh diberikan gelar

‘Pangeran Kasunyatan’ sebagai gelar kehormatan. Gelar ini

diberikan oleh Maulana Muhammad ketika ia berkuasa.15

Posisi Pangeran Kasunyatan menjadi sangat vital di Kerajaan

Banten dengan gelar baru tersebut. Selain mengurusi kegiatan

keagamaan di Istana, ia juga memiliki kewenangan dalam

persoalan politik.16 Maulana Muhammad dikenal juga sebagai

penguasa yang sering kali mewakafkan kitab. Selain itu, ia juga

membangun pawestren atau pawadonan di serambi Masjid

Agung, sebagai tempat shalat bagi kaum wanita.

13 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 290-297. 14 De Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa

(Jakarta: Grafiti, 2003). 139. 15 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 289. 16 Ayang Utriza Yakin, “The Transliteration and Translation of the

Leiden Manuscript Cod. Or. 5626 On The Sijill of The Qadi of Banten 1754-

1756 CE”. Heritage of Nusantara 5, no.1 (2016): 25-26.

Page 85: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

65

Kekuasaan Maulana Muhammad berjalan sangat

singkat, ia gugur dalam sebuah ekspedisi ke Palembang.

Mangkatnya Maulana Muhammad menghadirkan banyak

kesedihan bagi masyarakat Banten. Setelah mangkat, ia

digelari Prabu Seda Ing Palembang yang berarti merujuk pada

lokasi kematiannya.17. Selain itu, kepergiannya juga

memunculkan dilema baru karena Pangeran Ratu sebagai

pewaris tahta yang sah masih berumur 9 bulan.18 Oleh sebab

itu, sistem kewalirajaan kembali diaktifkan sebelum Pangeran

Ratu (1596-1651 M)19 berkuasa.

Ada banyak waliraja yang menjabat selama periode ini.

seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ada lima waliraja

yang silih berganti memegang kekuasaan. Akan tetapi, hanya

ada satu yang sangat termasyhur, yaitu Pangeran

Ranamanggala. Naiknya Ranamanggala sebagai waliraja juga

diiringi dengan sebuah peristiwa penting dalam Kesultanan

Banten. Peristiwa tersebut dikenal dengan Peristiwa Pailir.

Peristiwa ini secara harfiah berarti peristiwa di hilir. Bermula

dari terbunuhnya waliraja keempat oleh Dipati Yudanegara di

17 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 297-302.

Lihat juga Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah

Banten. 43. 18 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee:

guerres civiles a Banten 1580-1609”. Archipel 43 (1992): 57. 19 Pangeran Ratu adalah gelar Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir

semasa Muda, setidaknya sampai tahun 1638 M di mana ia mendapatkan

gelar ‘Sultan’ dari Mekkah. Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara

(Yogyakarta: Bentang Pustaka). 18.

Page 86: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

66

bulan Oktober 1608 M. Berselang satu hari setelah

pembunuhan tersebut, Ranamanggala menggantikannya

sebagai waliraja. Para punggawa yang merasa dirugikan

kemudian memunculkan Pangeran Kulon sebagai waliraja

tandingan bagi Ranamanggala.

Atas dasar perseteruan inilah, Banten terbagi menjadi

dua kubu. Pertama kubu aliansi Pangeran Kulon dan

Andamohi Keling yang sering diistilahkan sebagai kubu

‘Orang Kaya’. Kedua kubu yang dipimpin oleh Pangeran Arya

Ranamanggala yang mewakili golongan bangsawan atau

‘santana’.20 Perseteruan antara keduanya dalam mengambil

posisi waliraja sudah berlangsung sejak 1602 M dan terus

meruncing hingga tahun meletusnya perang pailir 1608 M.21

Untuk mengakhiri pertempuran ini, maka ditunjuklah Pangeran

Jakarta sebagai mediator. Akhirnya, disepakati bahwa

Pangeran Kulon dan Andamohi Keling dibawa ke Jakarta

bersama dengan para pengikutnya yang menentang waliraja

20 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee:

guerres civiles a Banten 1580-1609”: 61. Lihat juga Kathirithamby-Wells,

“Forces of Regional and State Integration in the Western Archipelago”.

Journal of Southeast Asian Studies 18, no.1 (1987): 34-35. 21 Lebih jauh mengenai peristiwa pailir, lihat Titik Pudjiastuti,

Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 302-312.

Page 87: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

67

Ranamanggala. Sekitar 7000 orang dipindahkan ke Jakarta

untuk memulihkan keamanan Kota Banten.22

Ranamanggala sendiri digambarkan oleh para

pedagang Eropa sebagai waliraja Banten yang tiran. Hal

tersebut tidak dilatarbelakangi oleh beberapa kebijakan

Ranamanggala yang cenderung merugikan pihak Eropa, baik

VOC (Veerenidge Oost-Indische Compagnie) maupun EIC

(East India Company). Kebijakan pertama adalah penghapusan

lada. Kebijakan ini diterapkan Ranamanggala setelah

disepakati bahwa lada yang membawa banyak peperangan ke

Banten. Sehingga, kebijakan pembabatan lada dipilih

Ranamanggala agar keadaan Banten menjadi lebih stabil.23

Kebijakan kedua yang memukul para pedagang Eropa adalah

kenaikan pajak ekspor. Tak tanggung-tanggung, tarif yang

dinaikkan mencapai 8%. Sementara itu, para pedagang Cina

hanya dikenai pajak ekspor sebesar 5%.24

22 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII

(Jakarta: KPG, 2008). 118-128. Lihat juga Hoesein Djajadiningrat,

Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 172-179. 23 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee:

guerres civiles a Banten 1580-1609”: 68. Lebih jauh mengenai beberapa

peperangan orang Eropa di Banten, lihat Lihat Bernard H.M Vlekke,

Nusantara: Sejarah Indonesia (Jakarta: KPG, 2016). 104-105. Lihat juga

D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara (Surabaya: Usaha Nasional, 1988).

242-254. 24 Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di

Nusantara (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016). 400-404.

Page 88: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

68

Atas dasar inilah, J.P Coen menjuluki Ranamanggala

sebagai ‘musuh besar’.25 Coen yang memang dikenal memiliki

sifat temperamen bahkan menyebut Ranamanggala sebagai

penguasa yang paling buruk dan perampas hak-hak orang

lain.26 Sementara itu, orang Inggris mengambil langkah yang

lebih konkret dengan memindahkan kantor dagangnya dari

Banten ke Jayakarta. Keputusan ini diambil setelah EIC terus

menerus mengalami kerugian.27

Meskipun memiliki sikap yang keras, Pangeran

Ranamanggala juga memiliki sisi ‘religius’. Schrieke

mengungkapkan bahwa para penulis awal Belanda

menyematkan kata “Priest” kepada Ranamanggala. Keadaan

ini menyiratkan pemahaman awal yang lemah tentang istilah

agama lokal di Banten. Selain itu, kondisi ini juga memberikan

gambaran informasi mengenai ilmu agama yang dikuasai oleh

Ranamanggala. Schrieke bahkan menyebut Ranamanggala

pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah bersama Pangeran

25 J.W Ijzerman, Cornelis Buijsero te Bantam 1616-1618 (‘S

Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1923). 34-37. Hubungan waliraja

Ranamanggala dan Gubernur Jenderal J.P Coen mulai diperbaiki tahun

1619 M. Lihat M.C Ricklefs, “Banten and the Dutch in 1619: Six Early

‘pasar malay’ Letters. Bulletin of SOAS 39, no.1 (1976): 132-134. 26 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee:

guerres civiles a Banten 1580-1609”: 67. 27 Sir William Foster, The Voyage of Thomas Best to the East Indies

1613-1614 (London: Hakluyt Society, 1934). 268-270.

Page 89: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

69

Ratu.28 Terlepas dari hal tersebut, kaum bangsawan sejatinya

memiliki akses yang cukup besar untuk memperoleh ilmu

agama di masa itu.29 Sehingga tak mengherankan apabila

Ranamanggala ataupun kaum bangsawan yang lain di

Kesultanan Banten memiliki pemahaman agama yang lebih

baik dibanding orang kebanyakan. Di tahun 1624 M, tahta

Banten kemudian diserahkan oleh Pangeran Ranamanggala

kepada Pangeran Ratu (1624-1651 M). Dua tahun berselang,

Pangeran Ranamanggala mangkat dan menyerahkan kekuasaan

Banten seutuhnya kepada Pangeran Ratu.

B. Kesultanan Banten di masa pemerintahan Sultan

Abul Mafakhir (1624-1651 M)

Pangeran Ratu ing Surosowan (1596-1651 M) adalah

Raja Banten keempat yang secara efektif memimpin Banten

sejak tahun 1624 M. Seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya, pemerintahan Banten dijalankan oleh seorang

waliraja untuk sementara waktu.30 Sistem Waliraja sendiri

bukan sesuatu yang baru di Banten. Sistem serupa pernah

diterapkan sebelum Maulana Muhammad berkuasa sejak tahun

28 B.J.O Schrieke, Indonesian Sociological Studies: Ruler and Realm

in Early Java book II (The Hague: Van Hoeve, 1959). 242-245. 29 de Graaf, “Titels en Namen Van Javaanse Vorsten en Groten Uit

de 16e en 17e Eeuw”. BKI 109 no.1 (1953): 67-69. 30 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.

163-164. Lihat juga Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten (Jakarta:

Gramedia, 1990). 26.

Page 90: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

70

1594-1596 M.31 Dalam sebuah dokumen dari British Library,

terdapat sebuah cap segel kerajaan Banten yang berbentuk

bulat dan berdiameter 55 mm.32 Di dalamnya tertulis sebuah

inskripsi yang berbunyi: “Ngalamat Pangeran Ratu Ingkang

pandara ngadi Surasowan kang putra Pangeran Sedangrana

kang putu Pangeran Pasareyan kang buyut Pangeran Ing

Sabakingking Ing Surasowan”.33 Dari keterangan tersebut,

tergambar jelas bahwa Pangeran Ratu adalah raja keempat dari

Kerajaan Banten.

Masa kekuasaan Pangeran Ratu atau kemudian dikenal

dengan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir34

membentang selama 27 tahun (1624-1651 M). Di awal

kepemimpinannya, Banten sedang berada dalam kondisi yang

terpuruk. Polarisasi masyarakat Banten akibat peristiwa Pailir

yang berlangsung sekitar tahun 1608 M. Merosotnya jumlah

penduduk Banten akibat wabah penyakit pes di tahun 1625 M.

31 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.

39-41. Lihat juga Ayang Utriza Yakin, “The Transliteration and Translation

of The Leiden Manuscript”: 26. 32 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in

The Public Record Office”. Indonesia and The Malay World 31, no.91

(2003): 418-421. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang,

Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2007). 16-18. 33 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in

The Public Record Office”: 420. 34 Gelar Pangeran Ratu digunakan di tahun 1624-1638 M. Sedangkan

gelar ‘Sultan’ digunakan sejak tahun 1638 M, setelah utusan Banten pulang

dari Mekkah.

Page 91: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

71

Wabah ini disebut-sebut menewaskan sepertiga penduduk

Banten.35 Selain itu, perdagangan Banten yang masih lesu

akibat kebijakan Ranamanggala yang kontraproduktif menjadi

masalah lain yang harus dihadapi oleh Pangeran Ratu di awal

pemerintahannya adalah wabah penyakit pes yang

menewaskan sepertiga penduduk Banten di tahun 1625 M.

Akibatnya, jumlah penduduk Banten menjadi semakin

tergerus. Masalah yang muncul kemudian adalah sumber daya

manusia yang semakin langka. Dalam perhitungan Guillot,

penduduk Banten tak lebih dari 50.000 jiwa di tahun 1630 M.

Padahal populasi Banten di akhir abad ke-16 menyentuh angka

80.000 hingga 100.000 jiwa.36

Di tahun 1628 M. Pangeran Ratu kembali mengundang

Inggris untuk membuka kembali kantor dagangnya di Banten.

Undangan ini diterima dengan tangan terbuka oleh Henry

Hawley (President of East India Company 1625-1628 M).

Agaknya, datang ke Banten dinilai lebih baik dibanding

kembali ke Jakarta. Empat tahun sebelumnya, Hawley memilih

keluar dari Batavia dan mendirikan kantor dagang di Pulau

Lagundi yang ada di Selat Sunda. Keputusan ini diambil oleh

Hawley berselang setahun setelah sengketa yang terjadi antara

35 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-

1682)”. Archipel 50, (1995): 97. 36 Claude Guillot, Banten; Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII.

202-203.

Page 92: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

72

Inggris dan Belanda.37 Setelah pindah ke Banten, Inggris

menjadi mitra dagang strategis sekaligus sekutu utama bagi

Banten.

Kedatangan Inggris juga menjadi titik balik dari

keterpurukan Banten. Salah satunya adalah dengan

memunculkan komoditas perdagangan yang baru. Alih-alih

memaksa masyarakat menanam lada, Banten lebih baik

mengembangkan potensi yang ada. Dalam hal ini, gula

merupakan potensi besar yang dikembangkan oleh Inggris.

Masyarakat lebih memilih padi dan tebu daripada lada untuk

dibudidayakan.38 Dalam Sajarah Banten, dua kebijakan

pangan yang diambil oleh Pangeran Ratu adalah pembukaan

lahan dan pembangunan lumbung.39 Boleh jadi, seserangan

yang dimaksud oleh Pangeran Ratu adalah lahan pertanian tebu

yang sudah disiapkan sebelumnya. Di tahun 1629-1631 M,

sumber Inggris mencatat bahwa Banten tengah membangun

saluran irigasi yang ditujukan untuk lahan yang cukup luas.40

Hubungan yang sudah dijalin dengan Inggris kemudian

berkembang dari hubungan dagang menjadi persekutuan . Di

37 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-

1682)”: 105. Lihat juga D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara. 242-254. 38 Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan Claudine Salmon, “Les

Sucriers chinois de Kelapadua, Banten, XVIIe siècle. Textes et vestiges”.

Archipel 39 (1990): 141-142 39 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 372-373. 40 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-

1682)”: 106.

Page 93: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

73

tahun 1629 M, Pangeran Ratu mengirim surat kepada Raja

Inggris. Dalam surat tersebut, Pangeran Ratu menyampaikan

kegembiraannya atas orang-orang Inggris yang kembali

membuka kantor dagang di Banten. ia juga meminta bantuan

senjata beserta bubuk mesiu untuk mempertebal persenjataan

Banten.41 Maklum saja, pasukan Mataram yang datang dengan

ambisi menyatukan tanah Jawa menjadi kekhawatiran besar

bagi Banten.42 Di tahun 1628 M, mereka bahkan sudah

mengepung Batavia. Pengepungan tersebut merupakan tanda

bahaya bagi Banten, karena mereka sudah sampai di pintu

depan Banten. Meskipun demikian, menurut Guillot,

pengepungan terhadap Batavia atau Jayakarta oleh Mataram

tak ubahnya sebagai pengepungan terhadap wilayah Banten,

lebih jauh lagi sebagai upaya Mataram menguasai Pulau

Jawa.43

Sikap Banten yang bersahabat terhadap Inggris sangat

bertolak belakang dengan sikap mereka terhadap Belanda. Di

tahun 1633 M, Batavia menuduh Banten mendalangi beberapa

aksi perompakan dan perampokan di laut Jawa. Sebagai aksi

balasan, Batavia mengirimkan ekspedisi militer ke wilayah

Banten seperti Lampung, Tanahara dan Anyer. Aksi balasan ini

41 Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat

Sultan Banten. 16-19. Lihat juga Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-

Century Indonesian Letters in The Public Record Office”: 420-421. 42 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu

Banten (Serang: Proyek Pembangunan Masjid Agung Serang, 1990). 71-72. 43 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban. 187

Page 94: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

74

juga dilanjutkan dengan serangkaian blokade atas pelabuhan

Banten. Banten yang tak terima dengan blokade Batavia

kemudian membakarnya. Dalam Sajarah Banten, pembakaran

blokade atau lebih tepatnya kapal Barungut dikenal dengan

peristiwa pabaranang.44 Peristiwa pabaranang terjadi di awal

bulan Januari 1634 M yang terbagi dalam dua sesi. Pertama,

malam hari di tanggal 4 dan 5 Januari dan upaya kedua

dilancarkan pada malam 10 dan 11 Januari.45

Pada tahun 1635 M, Belanda menyerang kapal Banten

yang mengangkut cengkeh dari Ambon. Atas kejadian ini,

hubungan antara Banten dan Batavia jadi semakin meruncing.

Bagi Banten, serangan tersebut merupakan ajakan perang

secara terbuka dari Belanda. Pangeran Anom46 yang baru

diangkat menjadi wakil dari sang ayah kemudian mengirimkan

surat kepada Raja Charles di Inggris. Boleh jadi, diplomasi

dengan Inggris merupakan kebijakan pertama yang diambil

oleh Pangeran Anom sebagai seorang penguasa. Sementara itu,

maksud dan tujuannya permintaan Banten agar Inggris

membantu Banten dalam menghadapi serangan Batavia.

Namun, apabila Inggris tidak bersedia untuk membantu,

Banten hanya akan meminta bantuan senjata meriam beserta

44 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 139. 45 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189. 46 Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten. 35.

Page 95: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

75

peluru dan bubuk mesiunya.47 Permintaan tersebut agaknya

hampir serupa dengan surat yang dikirim tahun 1629 M oleh

Pangeran Ratu.

Situasi ini kemudian berubah seiring dengan

dijajakinya kesepakatan damai dengan Belanda di tahun 1636

M. Akan tetapi, kesepakatan damai antara keduanya baru

terjadi tiga tahun kemudian.48 Setelah menjajaki kesepakatan

damai, Banten kemudian mulai fokus mengembangkan

perdagangannya. Masih di tahun 1636 M, himbauan

pemerintah untuk menanam kembali lada menjadi semakin

masif disuarakan ke berbagai penjuru negeri. Beberapa tahun

kemudian, himbauan pemerintah yang cenderung ‘memaksa’

ternyata menimbulkan berbagai resistensi. Bengkulu,

Lampung dan Silebar menolak tunduk di bawah pemerintah

pusat. Terkait dengan lada, ketiganya lebih memilih menjual

langsung daripada menyetornya kepada pemerintah pusat.

Menurut Guillot, resistensi terhadap himbauan penanaman lada

oleh pemerintah Banten bukan saja berasal dari wilayah

Sumatera, melainkan juga memicu peristiwa palumaju yang

berlangsung di Banten. Dalam Sajarah Banten, peristiwa

47 Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat

Sultan Banten. 21-23. 48 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189.

Page 96: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

76

palumaju yang terjadi sekitar tahun 1638/39 M nampaknya

lebih bersifat personal daripada terkait dengan lada.49

Bagaimanapun juga, langkah penyelesaian yang

diambil Banten selalu sama, yaitu mengirim pasukan dalam

jumlah besar ke lokasi yang dianggap memberontak. Dari

berbagai resistensi yang muncul, boleh jadi himbauan yang

diberikan oleh pemerintah belum mampu diserap oleh

masyarakat Banten.50 Saat itu, masyarakat Banten lebih

berminat menanam padi dan tebu daripada lada. Sekitar tahun

1635-1636 M, Pangeran Ratu memerintahkan jajarannya untuk

membangun lumbung padi besar di darparagi, guna

menampung produksi padi negara.51 Sementara itu, komoditas

gula Banten yang sudah ada sejak tahun 1620’an sudah

mencapai tahap industri yang berpusat di Kelapadua (sekitar 7

kilometer ke arah selatan Surosowan) sejak tahun tahun

1637’an.52

Masa damai juga digunakan Banten untuk mengirim

utusan ke beberapa negara sahabat. Dua di antaranya adalah

yang dikirim ke Mekkah dan Ranir, India. menariknya,

49 Djajadiningrat, tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 199. Lihat

juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 373-383. 50 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-

1682)”: 106-107. 51 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 59.

Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-1682)”. 87. 52 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”:141-

142.

Page 97: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

77

keduanya lebih bersifat ‘mencari ilmu’ serta otoritas agama

daripada sekedar mencari gelar. Sekitar tahun 1636 M,

Pangeran Ratu mengutus Lebe Panji, Demang Tisnajaya dan

Demang Wangsaraja ke Mekkah. Utusan Banten yang

dipimpin oleh Lebe Panji ini membawa berbagai hadiah serta

beberapa pertanyaan titipan dari Pangeran Ratu untuk Syarif

Mekkah (Syarif Zayd Ibn Muhsin yang memerintah antara

tahun 1631-1666 M). Dalam Sajarah Banten, pertanyaan yang

dimaksud terkait dengan permintaan tafsir atas kitab berjudul

Marqum, Muntahi dan Wahdatul Wujud yang diduga kuat

merupakan karya Hamzah Fansuri (w. 1607 M).53 Dalam

sumber yang lebih mutakhir, diketahui bahwa Pangeran Ratu

juga meminta penjelasan atas kitab Nasihat al-Muluk karya al-

Ghazali (w. 1111 M).54 Pangeran Ratu juga secara khusus

meminta Syarif Zayd mengirimkan seorang ahli fiqih untuk

mencerahkan Banten.55

Utusan tersebut kembali di tahun 1638 M. Dalam

Sajarah Banten, utusan yang berhasil kembali ke negeri Banten

hanya Demang Tisnajaya dan Demang Wangsaraja, sedangkan

Lebe Panji meninggal di tanah Mekkah.56 sekembalinya ke

53 Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890

(Jakarta: KPG-EFEO, 2013). 15-17. 54 Oman Fathurahman, Ithaf ad-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi

Muslim Nusantara (Jakarta: Mizan, 2012). 49. Lihat juga Jajat

Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan (Jakarta: Mizan, 2012). 45-47. 55 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 340. 56 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 53.

Page 98: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

78

Banten, Tisnajaya dan Wangsaraj dikukuhkan sebagai ‘Haji’

serta disambut dengan perayaan luar biasa. Pesta besar-besaran

diadakan oleh Pangeran Ratu untuk menyambut keduanya.

Seluruh pembesar negeri, punggawa bahkan seluruh rakyat

dilibatkan dalam perayaan ini. Berbagai macam ‘oleh-oleh’

yang dibawa dari Mekkah juga dipamerkan di hadapan seluruh

rakyat Banten dalam momen tersebut. Mulai dari jejak kaki

Nabi Muhammad, bendera kebesaran Nabi Ibrahim, kitab al-

Mawahib ar-Rabbaniyyah karangan Ibnu Ngalam

(Muhammad bin Allan) serta gelar ‘Sultan’ bagi Pangeran Ratu

(Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir) dan Pangeran

Anom (Sultan Abul Ma’ali Ahmad).57 Sejak saat itu, gelar

Pangeran Ratu kemudian ditanggalkan dan diganti dengan

gelar Sultan.

Selain ke Mekkah, Sultan Abul Mafakhir juga

mengirim utusannya ke Nurudin al-Raniry yang berada di

Ranir, India Selatan.58 Utusan Banten dikirim sekitar tahun

1640 M dan sepertinya memiliki keterkaitan dengan konflik

yang terjadi di Aceh beberapa tahun sebelumnya antara

57 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 340. Lihat

juga Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara (Jakarta: Kencana, 2013). 48-49. 58 Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren:

Religious Institutions in Banten Sultanate”: 167-168. Lihat juga Ahmad

Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry

(Jakarta: Rajawali, 1983). 55-56.

Page 99: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

79

Nurudin al-Raniry dengan simpatisan Hamzah Fansuri.59 Di

satu sisi, al-Raniry mengusung gagasan keislaman yang

berorientasi kepada syariat islam. Sementara itu, sisi yang lain

mengusung gagasan yang dikenal sebagai wahdatul wujud. Hal

tersebut sepertinya mendorong rasa penasaran bagi Sultan Abul

Mafakhir. Masih belum diketahui isi dari pertanyaan Sultan

Banten, akan tetapi untuk menjawab pertanyaan dari Banten,

al-Raniry menelurkan sebuah karya diberi judul Al-Lama’an fi

takfir bi khalqi’l-Quran (Cahaya terang pada mengkafirkan

orang yang berkata Qur’an itu Makhluk). Naskah tersebut

menguraikan sanggahan dan kritik dari Nurudin al-Raniry atas

ajaran Hamzah Fansuri.60 Menurut Mufti Ali, ringkasan dari

naskah ini juga terangkum dalam naskah Jauhar al-Haqaiq.61

Di tahun 1637, Mataram meminta Cirebon untuk

membujuk orang Banten untuk mempersembahkan baktinya

kepada Mataram.62 Beberapa utusan dari Cirebon datang ke

Banten. Mulai dari utusan biasa hingga pembesar negeri

Cirebon datang ke Banten untuk membujuk Sultan Abul

Mafakhir mengakui Mataram sebagai penguasa Jawa. Salah

59 Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara. 18. 60 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh

Nurudin ar-Raniry. 55-56. 61 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-

Karim al-Jili dalam Naskah al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa

al-Awa’il (1) Salinan dari Banten 1893 M (Serang: Pusat Penelitian dan

Penerbitan LP2M IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2015). 3. 62 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 202

Page 100: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

80

satu pembesar negeri Cirebon yang datang untuk membujuk

Sultan Banten adalah Pangeran Martasari. Seluruh utusan

Cirebon yang datang ke Banten diperlakukan dengan layak dan

pantas. Akan tetapi Sultan Abul Mafakhir menolak tunduk di

bawah kekuasaan Mataram. Ia hanya tunduk di bawah kuasa

Syarif Zahd dari Mekkah yang telah memberikannya gelar

‘Sultan’.63

Dekade 1640’an aroma peperangan semakin pekat

tercium. Sultan Abul Mafakhir mengirim utusan ke Mataram

untuk menjalin kerja sama. Akan tetapi, utusan Banten

mendapat perlakuan yang kurang baik. Pengalaman yang

meresahkan dari utusan Banten ini dijadikan sebagai dasar

untuk mempersiapkan diri menahan serangan Mataram yang

bisa datang kapan saja. Sultan Abul Mafakhir dan Sultan Abul

Ma’ali memerintahkan untuk membuat beberapa kapal untuk

membentuk pertahanan. Serangan yang dinanti akhirnya tiba

juga. Serangan yang diinisiasi oleh koalisi Mataram dan

Cirebon berlangsung di tahun 1650. Serangan ini Bermula dari

kegagalan Cirebon membujuk Banten untuk tunduk di bawah

kekuasaan Mataram. Hal tersebut memantik amarah Pangeran

Cirebon. Amarah tersebut kemudian berwujud pengiriman

pasukan perang Cirebon ke Banten. Pasukan tersebut terdiri

dari 60 kapal yang dipimpin oleh Pangeran Panjangjiwa. Untuk

‘menyambut’ pasukan Cirebon, Sultan Abul Mafakhir

63 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 405.

Page 101: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

81

mengirim 50 kapal yang dipimpin oleh Lurah Astrasusila

beserta Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa.64 Pasukan

Cirebon dapat dikalahkan oleh Banten, akan tetapi

kemenangan ini tercoreng oleh kebengisan dari Astrasusila dan

pasukannya. Ia membantai orang-orang Cirebon yang sudah

tidak berdaya. Atas tindakannya ini, Sultan Agung marah dan

mencabut hadiah yang sebelumnya dijanjikan.

Berselang satu tahun dari peristiwa pagerage, Sultan

Abul Mafakhir mangkat. Raja Banten yang berhasil

mengangkat Banten dari keterpurukan meninggal di usianya

yang ke 55 tahun.65 Ia mangkat di tahun 1651 M dan disebelah

anaknya, Sultan Abul Ma’ali dan ibundanya, Nyai Gedhe

Wanagiri di Komplek Makam Kenari.66 Sultan Abul Mafakhir

dikenang dalam sejarah Banten sebagai seorang penguasa yang

adil dan agung. Di bawah kekuasaannya, Banten berhasil

64 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 205-207.

Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 407. 65 Dalam Sajarah Banten, disebutkan bahwa Sultan Abul Mafakhir

Mahmud Abdul Kadir mangkat di usia 58 tahun. Hal ini berarti Sultan Abul

Mafakhir yang lahir di tahun 1596 M meninggal di tahun 1654 M.

Sedangkan menurut Hoesein Djajadiningrat yang merujuk pada laporan

Belanda, Sultan Abul Mafakhir mangkat di usia ke-55. Hal ini berarti ia

meninggal di tahun 1651 M atau setahun setelah peristiwa pagerage. Uraian

lebih lanjut lihat Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 417.

Sebagai pembanding lihat juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang

Sajarah Banten. 205. 66 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 56. Lihat

juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 362-363.

Page 102: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

82

mempertahankan kemerdekaannya, baik dalam bidang politik

maupun ekonomi.

C. Inggris dan Belanda: Kawan di satu sisi dan Lawan

di sisi yang lain.

Hubungan Banten dengan dunia luar sudah seperti dua

sisi mata pisau. Menguntungkan di satu sisi, akan tetapi juga

merugikan di sisi yang lain. Selama 29 tahun Pangeran Ratu—

kemudian kita kenal dengan Sultan Abul Mafrakhir sejak tahun

1638—berkuasa, ia banyak berhubungan dengan para

pedagang yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Dari

berbagai macam negeri yang berhubungan dengan Banten, dua

negara yang sangat dominan adalah Belanda dan Inggris.

Pangeran Ratu pun menggunakan pendekatan yang berbeda

dalam berhubungan dengan keduanya. Hubungan dengan

Belanda lebih bersifat antagonis, Banten dan Belanda

nampaknya lebih sering berperang daripada bermitra.

Sementara itu, hubungan Banten dan Inggris bersifat

protagonis, keduanya memiliki hubungan yang baik dan saling

bermitra. Bagaimanapun juga, hubungan Banten dengan

keduanya menggambarkan dinamika yang menarik selama

Pangeran Ratu (1596-1651 M) berkuasa.

Hubungan Banten dan Belanda yang kurang harmonis

di masa kepemimpinan Pangeran Ratu ternyata tidak muncul

Page 103: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

83

dari ruang hampa. hubungan keduanya yang saling bersitegang

sudah dimulai sejak kedatangan Belanda di tahun 1598 M. Hal

tersebut dipicu oleh sikap Cornelis de Houtman yang

menyinggung masyarakat Banten dengan sikap arogan dan

kesombongannya.67 Hubungan keduanya menjadi semakin

keruh setelah waliraja Ranamanggala (1608-1624 M)

mengeluarkan kebijakan baru terkait dengan perdagangan lada

di tahun 1616 M. Ia menggandeng para pedagang Cina dalam

menjalankan kebijakan tersebut. Koalisi antara pemerintah

Banten dan saudagar Cina ini jelas mengundang kecurigaan

dari pihak Belanda.68

Harga lada di awal tahun 1618 M berkisar di harga 10

real per pikul (2 karung). Pada bulan April di tahun yang sama,

harga lada Banten turun ke posisi 6 sampai 6 ½ real per pikul.

Penurunan harga lada ini disebabkan oleh sentimen negatif

yang diciptakan oleh Coen. Ia mengancam akan melucuti

muatan lada dari jung-jung Cina yang mengambil lada dari

Banten. Empat bulan kemudian, lada Banten kembali menguat

di harga 9,6 real per pikul. Merapatnya jung-jung yang datang

langsung dari Cina di pelabuhan Banten menjadi sebuah

sentimen positif bagi komoditas unggulan Banten. Satu bulan

kemudian, Belanda kembali mengancam akan melucuti jung-

67 D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara. 242-254. 68 J.W Ijzerman, Cornelis Buijsero te Bantam 1616-1618. 34-37.

Page 104: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

84

jung Cina. Hal tersebut kembali berimbas pada harga lada yang

kembali turun ke harga 6-6 ½ real per pikul. 69

Dekade kedua abad XVII juga menjadi momentum

krusial bagi perdagangan bebas di Banten. Di tahun 1608,

usaha untuk mengendalikan fluktuasi harga lada adalah dengan

menaikkan tarif bea cukai, baik impor maupun ekspor. Tarif

yang dikenakan untuk pedagang Eropa adalah 8% sedangkan

untuk pedagang Cina sebesar 5%.70 Kebijakan ini

memunculkan gejolak di antara para pedagang Eropa. Wacana

untuk meninggalkan Banten pun menyeruak ke permukaan.

Atas kebijakannya yang hampir selalu merugikan Belanda,

Coen bahkan menyebut waliraja Ranamanggala sebagai

penguasa zalim yang sangat sewenang-wenang.71

Keadaan inilah yang sepertinya merugikan kedua

pihak. Di akhir 1619 M, kedua belah pihak menjajaki

kesepakatan damai. Tanggal 21 November, Coen menyatakan

keinginannya untuk berdamai dengan Banten. keinginan ini

diterima dengan tangan terbuka oleh waliraja Ranamanggala

dan Pangeran Ratu. Tanggal 7 Desember, Tiga surat balasan

69 Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di

Nusantara. 404. Lihat juga Johan Talens, Een Feodale Samenleving in

Koloniaal Vaarwater (Hilversum: Verloren-KITLV, 1999). 64-66. 70 Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di

Nusantara. 402 71 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee”: 67-

68.

Page 105: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

85

dari Banten kemudian tiba di Batavia, salah satu surat balasan

tersebut ditulis oleh waliraja Ranamanggala:

Surat Pangeran Arya Ranamanyqggala, datang akan Kapitan,

adapon Kapitan suruhan sarta dengen surat, mangataken mahu bardame,

saparti awal zaman dahulu, adapon Kapitan jika ati betul, saparti zaman

Kapitan WIiter, dan zamdn Kapitan Jam Bul, bahik, apa salahnya,

Pangeran Ratu pon suka, sakarang aru biru pon, orang Walanda juga yang

dahulu, bukan sabab Pangeran Ratu yang salah,,72

Dua hari berselang, Coen mengirim surat balasan ke

Banten. Dalam laporannya terhadap Heeren XVII, Coen

menyebut bahwa kesepakatan dengan Banten sudah tercapai

terkait dengan pencegahan praktek ‘monopoli’ di pasar Banten,

baik para pedagang Cina maupun pedagang lainnya. Pihak

Banten juga menyebut bahwa apabila ada kecurangan dari

pihak Belanda, keadaan damai akan berubah menjadi ‘perang’.

Sedangkan dalam penggalan salah satu surat Banten yang

sampai di Batavia tanggal 22 Desember, dikatakan bahwa

“...jangan ada kuciwa, barangkali ada kuciwa, bukan badame

namanya, manyakiti juga namanya...”. Berbeda dengan Coen,

dalam surat yang dikirim Ranamanggala itu tidak ada kata

‘perang’, melainkan ‘menyakiti’. 73

72 M.C Ricklefs, “Banten and the Dutch in 1619”. Bulletin of SOAS

39, no.1 (1976): 131-133. 73 Menurut Ricklefs, ada dua kemungkinan yang perlu diperhatikan

dalam memahami kata ‘perang’ yang disampaikan oleh Coen. Pertama,

penerjemah di Batavia keliru dalam memahami surat yang dikirim dari

Banten. Kedua, J.P Coen dengan sengaja menyesatkan Heeren XVII. Lihat

M.C Ricklefs, “Banten and the Dutch in 1619”: 133-135.

Page 106: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

86

Proses perdamaian ini berlangsung antiklimaks bagi

kedua pihak. Perdamaian yang dicita-citakan tak pernah terjadi.

Di tahun 1624 M, waliraja Ranamanggala kembali

menyerahkan tahta kepada Pangeran Ratu yang ketika itu

berumur 28 tahun. Pihak Inggris menyiratkan bahwa bahwa

para saudagar Cina kemungkinan menekan Ranamanggala

untuk mundur dari jabatannya.74 Kemungkinan hal ini didasari

oleh keputusan Ranamanggala yang mencabut hak ‘monopoli’

lada bagi pedagang Cina, seperti yang diinginkan oleh Coen

sebelumnya.

Meskipun kepemimpinan Banten telah dialihkan

kepada Pangeran Ratu, konflik yang terjadi antara Banten dan

Belanda tak pernah surut. Tahun 1630’an menjadi titik nadir

dari hubungan keduanya. Di tahun 1633 M, Batavia mencurigai

Banten berada di balik serangkaian aksi perampokan yang

merugikan Belanda. Ekspedisi militer yang dikirim oleh

Batavia ke wilayah Lampung, Tanahara dan Anyer merupakan

respons dari kejadian ini. Tidak sampai di situ, pihak Belanda

juga melakukan blokade atas pelabuhan Banten.75 Dalam

Sajarah Banten, blokade yang dilakukan oleh Batavia tak

pernah menyurutkan semangat orang-orang Banten.

Perlawanan masyarakat Banten atas kejadian ini terekam

74 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee”: 68.

Lihat juga Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-

1682)”: 105. 75 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189.

Page 107: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

87

melalui Peristiwa Pabaranang. Secara harfiah, pabaranang

berarti ‘api pembakar’, dengan menggunakan sampah yang

dikumpulkan dalam sebuah perahu dan diletakkan dekat kapal-

kapal blokade Belanda. Pada malam hari, perahu tersebut

dibakar dan apinya juga menyambar ke kapal blokade

Belanda.76

Siasat ini sukses meredam blokade Belanda yang

digambarkan dengan sebuah kapal bernama ‘Barungut’.

Peristiwa ini digambarkan dalam Sajarah Banten sebagai

sebuah permainan belaka. Meskipun demikian, aksi ini

sepertinya benar-benar berlangsung pada awal Januari 1634 M.

Serangan yang dirancang oleh Wangsadipa ini terbagi menjadi

dua serangan. Serangan pertama terjadi di malam keempat dan

kelima Januari dan serangan kedua dilancarkan beberapa hari

kemudian, sekitar tanggal 10 dan 11 Januari 1634 M.77 Situasi

perang ini juga sampai ke kawasan timur Nusantara. Pangeran

Anom menyebut bahwa para pedagang Banten yang mencari

cengkeh di Ambon mendapat serangan dari orang-orang

Belanda.78 Bagaimanapun juga, Perseteruan antara keduanya

mereda di tahun 1636 M dan benar-benar berdamai tiga tahun

76 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 139. Lihat

juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 52. 77 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189.

Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 336-337. 78 Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat

Sultan Banten. 21-23. Lihat juga Annabel Teh-Gallop, “Seventeenth-

century Indonesian Letters in the Public Record Office”: 421-423.

Page 108: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

88

berselang. Perjanjian damai yang disepakati oleh keduanya

berlangsung di bulan Maret 1639 M.79

Berbeda dengan Belanda, hubungan Banten dengan

Inggris lebih bersahabat daripada negara Eropa lainnya. Tahun

1628 M Pangeran Ratu mengundang Inggris ke Banten, bahkan

ia mengizinkan Inggris membuka kembali kantor dagangnya di

Banten.80 Sambutan hangat dari penguasa Banten terhadap

perwakilan Inggris bukan sekali ini saja terjadi. Tahun 1602 M,

James Lancaster disambut dengan hangat oleh penguasa

Banten. ia juga diberikan izin untuk membuka kantor dagang

di Banten.81

Meskipun begitu, Inggris dan Banten tidak selalu

harmonis. Sama halnya dengan pihak Belanda, Inggris juga

menentang keras kebijakan waliraja Ranamanggala. Seperti

yang disebutkan sebelumnya, kebijakan yang dimaksud adalah

kenaikan bea cukai dan upaya penghapusan lada. Tanggal 24

Juni 1614, Thomas Best mendorong Inggris untuk

memindahkan lojinya keluar dari Banten. Kerugian yang terus

menerus diderita EIC (East India Company) menjadi alasan

79 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189. 80 Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten. 34. 81 Clement Markham (ed.), The Voyages of Sir James Lancaster to

The East Indies digital version (New York: Cambridge University Press,

2010). 99-102.

Page 109: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

89

utama dari Best.82 Keadaan ini dikonfirmasi tahun 1630’an

oleh kepala loji Inggris untuk Banten, G. Willoughby.

“When the Dutch and English fell out with Bantam and left their

there residence, then the King (Pangeran Gede) [i.e Pangeran

Ranamanggala] did assemble all His nobles and Great personnages

to Counsell and examine the cause of Bantam troubles by Dutch and

English warring therewith. In the counsell it was found that the

pepper and consequently the trade of Bantam was the cause of these

warrs, which if destroyed, then the warrs would cease and the

country be thereby in peace the which advice was the put in practice

namely the pepper trees all cut downe and destroyed with express

order for neither planting nor gathering of pepper to kill all trade of

Bantam”83

Dalam laporannya yang dimuat dalam India Office Record, ia

menyampaikan bahwa kebijakan penghapusan lada yang

diambil oleh waliraja Ranamanggala melalui proses

musyawarah yang melibatkan banyak pembesar negeri.

Terlepas dari proses kebijakan yang dilalui, Inggris dan

Belanda akhirnya meninggalkan Banten dan memicu

penurunan harga lada.

Inggris meninggalkan Batavia dan mendirikan kantor

dagang baru di Pulau Lagundi, Selat Sunda. Kantor dagang

yang didirikan tahun 1623 M ini selalu mengalami kerugian

dari tahun ke tahun. Sementara itu, kekuasaan di Banten sudah

beralih kepada Pangeran Ratu (1624-1651 M). Berbeda dengan

82 Sir William Foster, The Voyage of Thomas Best to the East Indies

1613-1614 (London: Hakluyt Society, 1934). 268-270. 83 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee”: 68.

Page 110: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

90

Ranamanggala, penguasa yang baru memiliki pandangan yang

cukup terbuka dengan orang asing. Oleh sebab itu, di tahun

1628 M Pangeran Ratu mengundang Inggris ke Banten untuk

membangkitkan kembali jaringan perdagangan yang dahulu

sudah terbentuk, langkah pertamanya adalah dengan

memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor

dagang di Banten.84

Sejak saat itu, Inggris bertransformasi dari mitra

dagang reguler menjadi sekutu utama Banten. Di tahun 1628

M, Pangeran Ratu mengirimkan surat kepada Raja Inggris

beserta beberapa barang bawaan yang terdiri dari sebuah belati

dengan pegangan emas, tombak yang dilapisi emas serta 500

pikul lada. Seserahan tersebut dikirimkan ke Inggris

menggunakan kapal yang diberi nama ‘Morris’ dan dibawa

langsung oleh Kapitan Mur Nindri Halli, yang kemudian

diketahui sebagai Henry Hawley (President OF East India

Company sejak tahun 1625-1628). Harapan dari Pangeran Ratu

adalah bantuan senjata dari Inggris guna mempersiapkan diri

atas serangan Mataram yang dirasa semakin dekat. Ia juga

merasa senang atas kembalinya para pedagang Inggris ke

Banten.85

84 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng”: 105. 85 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in

The Public Record Office”: 418-120. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Perang,

Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten. 16-19. Latar belakang

Page 111: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

91

Ini surat dimulai dengan nama Allah subhanahu wa-ta‘ala yang maha

tinggi dan maha besar dan mengasihani hambanya dunia akhirat. Adapun

kemudian dari itu ini surat Raja Bantten datang kepada Raja Inggeris

yang terbawa oleh Ratnar Bik. Mengatakan perri ihwal Raja Bantten

memberi khabar kepada Raja Inggeris hal orang Wolanda yang ada di

Jayakarta dikeppung oleh orang Mataram tatkala itulah gedung Inggeris

direbahkannya oleh orang Wolanda. Sebermula segala orang Inggeris

yang ada di Jayakarta itu pun sekarang semuhanya ada di negeri Banten,

terlalu sukacitta Raja Bantten oleh segala saudagar Inggeris pulang

seperti dahulu kala. Sebermula dahulu Raja Banten membawakan surat

dan lada seribu timbang dan kerris dan tombak, yang membawa dia

Kapitan Mur Nindri Halli. Raja Banten minta dikirim bedil dan punglu dan ubat. Jikalau Raja Inggeris suka, Kapitan Mur Nindri Halli

disuruhnya kiranya ke Bantten segera-segeri, karena Raja Banten sangat

harap akan datangnya Kapitan Mur Nindri Halli datang ke Bantten. Ini

kiriman Raja Bantten khasa dua kayuh dan rambuti dua kayuh.86

Akan tetapi, Raja Inggris tidak bisa mengirimkan

senjata dan bubuk mesiu seperti yang diinginkan oleh Pangeran

Ratu. Kapal yang membawa berbagai hadiah itu mengalami

bencana di perairan Belanda dan ditemukan dalam keadaan

rusak di dekat Pulau Scilly, barat daya Inggris. Dari bencana

tersebut, yang tersisa hanya surat dari Pangeran Ratu.

Sedangkan berbagai macam barang seserahan yang dikirim

bersama Morris sudah menghilang dari kapal. Sementara itu,

Henry Hawley yang bertugas membawa semua seserahan dari

Pangeran Ratu ditemukan meninggal dalam perjalanan ke

Inggris. Atas dasar inilah, Raja Charles I tidak bisa

memberikan apa-apa kecuali ucapan terima kasih yang tulus.

Untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, Raja Charles I

serangan Mataram lihat de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik

Ekspansi Sultan Agung. 150-157. 86 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in

The Public Record Office”: 419-420.

Page 112: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

92

mengirimkan surat balasan kepada Pangeran Ratu di Banten.

Surat tersebut dikirim tanggal 29 Maret 1629 M.87

“… he [the King of Banten] had sent his Majesty a memorial and a

princely token of his goodwill; the ship Morris being unfortunately cast

away his Majesty has not yet enjoyed the fruit of his desires, yet returns no

less hearty thanks …”

Beruntung bagi Banten, serangan Mataram di tahun 1628 tidak

pernah sampai ke Banten.

Permintaan serupa juga dikirimkan oleh Pangeran

Anom (mem. 1635-1650 M, kemudian menjadi Sultan Abul

Ma’ali Ahmad di tahun 1638) yang diangkat menjadi wakil

Raja Banten di tahun 1635 M.88 Di awal surat, Pangeran Anom

mengabarkan kepada Raja Inggris bahwa Banten dan Belanda

sedang dalam keadaan perang. Peperangan ini disebabkan oleh

pihak Belanda yang menyerang pedagang Banten yang baru

kembali dari Ambon. Selain itu, gudang Inggris yang ada di

Jayakarta juga menjadi sasaran Belanda. Oleh sebab itu,

Pangeran Anom mengabarkan situasi terkini sekaligus

meminta bantuan kepada Raja Charles I agar membantu Banten

menaklukkan Belanda. Akan tetapi, jika Inggris tidak ingin

membantu Banten, Pangeran Anom hanya meminta dikirimkan

senjata dan amunisi untuk berperang. Ia juga menjanjikan

sebuah gedung di Jayakarta apabila Banten berhasil merebut

87 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in

The Public Record Office”: 418-420. 88 Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten. 35.

Page 113: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

93

kembali Jayakarta dari tangan Belanda. Untuk melengkapi

suratnya, Pangeran Anom juga mengirimkan dua ekor burung

Kasuari, sebuah belati dan juga tombak.

“Ini surat daripada Pangeran Anum yang mempunyai perintah negeri

Bantten datang kepada Raja Inggeris. Adapun [kami] Pangeran Anum

berkirim surat kepada Raja Inggeris memberi khabar akan Raja Inggeris

akan hal Raja Banten sekarang berparang dengan orang Wolanda.

Bermula sebab berparang d[engan] Wolanda, bahwa orang Banten

datang beniaga daripada negeri Ambon memuat cengkih, m.a—p k.ng.ny

oleh Wolanda, akan sekarang tiadalah berputusan bertembak-tembakan

antara Ban[ten] [dengan?] Wolanda, dan rakiyyat Raja Inggeris pun

yang bergeddung di negeri Banten sama turut di—oleh Wolanda. Karena

inilah Pangeran Anum minta bantu kepada Raja Inggeris hendak

mengalahkan Wolanda yang ada di negeri Jayakatera; jika alah

Wolanda yang ada di negeri Jayakaterra ambillah oleh Raja Inggeris.

Jika orang Inggeris tiada berani mengalahkan Wolanda yang ada di

negeri Jayakatera, Pangeran Anum minta tolong kepada Raja Inggeris

beddil dan ubat lan punglu saja juga. Insha’Allah jika Raja Inggeris

membantu senjata dengan selengkapnya kepada Pangeran Anum, dapat

Raja Banten—akan gedung dalam negeri Jayakatera itu; adapun jika

alah negeri Jayakattera itu seolah-[olah] Raja Inggeris juga mengalahkan

diya. Adapun kiriman Pangeran Anum akan Raja Ing[ger]is suari dua

ekor dan kerris bertatah sebilah dan tombak sepucuk, jangan di[aibkan]

k—n berkenalan juga adanya.”89

Surat yang sampai ke Inggris di bulan April 1635 ini

sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Sainsbury

di tahun 1907.90 Bagaimanapun, perang antara Banten dan

Batavia mulai masuk ke fase perdamaian di tahun 1635 M

hingga akhirnya benar-benar berdamai di tahun 1639 M. Di sisi

89 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in

The Public Record Office”: 422-423. 90 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in

The Public Record Office”: 421.

Page 114: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

94

yang lain, surat ini juga memberikan gambaran mengenai cara

Banten bergaul dengan dunia Internasional.

Muncul dan berkembangnya komoditas gula di pasar

Banten juga masih terkait dengan hubungan Banten dan

Inggris. Dalam catatan India Office Record (IOR) tahun 1630

digambarkan sebuah pembangunan irigasi baru yang terdiri

dari bendungan dan kanal-kanal pengairan. Selain

pembangunan irigasi yang cukup masif, catatan tersebut juga

mengindikasikan bahwa masyarakat Banten sudah beralih dari

budi daya lada menjadi beras dan gula. Meskipun pemerintah

Banten sudah menghimbau penanaman lada yang masif.

Bahkan, di tahun 1636 pemerintah ‘memaksa dengan

sewenang-wenang’ penanaman lada. Menurut Guillot,

pemaksaan ini berujung pemberontakan yang silih berganti

sejak 1636 hingga 1641’an.

“The people relinquish the planting of pepper for rice and sugar canes... It

is almost incredible what watercouses they have cutand what a goody

conpass of ground they have these yeares past manured for those

purposes...” 91

Keduanya muncul akibat satu momen yang sama,

menurunnya perdagangan lada di Banten. Beras agaknya

dibudidayakan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari

masyarakat Banten. Dalam Sajarah Banten Pupuh XLVI,

Pangeran Ratu Abdul Kadir mengumumkan dua kebijakan

91 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng”: 106.

Page 115: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

95

pangan Banten di hadapan para punggawa, yaitu pembukaan

lahan pertanian baru dan pembangunan lumbung besar di

darparagi.92 Sementara itu, komoditas gula di Banten sudah

mulai muncul di tahun 1620’an. Bahkan, hadir dan

berkembangnya komoditas gula tak bisa dilepaskan dari

pengaruh Inggris.93

Antara tahun 1638 sampai 1640 M, produksi gula

Banten memasuki fase yang lebih tinggi lagi. Sebuah kontrak

produksi yang paling awal antara produsen gula yang terdiri

dari delapan penghasil dan enam keluarga di Kelapadua dengan

pihak Inggris berlangsung di teken. Kontrak ini berlangsung

sejak bulan Februari 1638 hingga 25 Januari 1640 dan kontrak

kedua di bulan Agustus 1640 M dengan pihak produsen yang

sama.94 Dalam kedua kontrak tersebut dijelaskan bahwa

seluruh produksi gula yang dihasilkan oleh enam keluarga di

Kelapadua hanya dijual kepada Inggris saja. Untuk menjamin

keamanan dan kenyamanan, Sultan Abul Mafakhir (1626-1651

M)—sebelumnya Pangeran Ratu—menjadi pengawas dari

kontrak produksi ini.95

92 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 372-373.

Lihat juga Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng”: 87. 93 Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten. 35. 94 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”:154. 95 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater.

76.

Page 116: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

96

Cukup sulit untuk menghitung jumlah produksi yang

ada dalam dua kontrak produksi di atas. Akan tetapi, dari

catatan Inggris diperoleh keterangan bahwa gula yang

dihasilkan selama kontrak pertama diperkirakan sekitar

100.000 tebu setiap tahunnya. Secara keseluruhan, produksi

tebu yang dihasilkan oleh enam keluarga di Kelapadua berkisar

di angka 600.000 tebu setiap tahun. Kedelapan penghasil gula

kemudian memproduksi 100.000 tebu menjadi 450 pikul atau

setara dengan 2,8 ton gula dengan kualitas yang bagus.96 Dari

perhitungan tersebut, para penghasil gula di Kelapadua akan

menghasilkan 2700 pikul setiap tahunnya dan 8100 pikul

sampai tahun 1640 M. Produksi yang tentu cukup luar biasa di

masa itu.

Produksi gula Banten yang begitu besar kemudian

disalurkan oleh EIC (East India Company) ke berbagai pasar

Nusantara, salah satunya adalah Batavia. Di tahun 1637, EIC

mengirim sekitar 3000 pikul gula ke pasar Batavia.97 Meskipun

ekspor ini dilakukan satu tahun sebelum kontrak produksi

dijalankan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa EIC

kembali melakukan hal serupa di tahun yang berikutnya. Gula

Banten juga dijual di pasar lokal oleh para pedagang Inggris.98

96 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 141. 97 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater.

77. 98 Heriyanti Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten

1522-1684 (Depok: FIB UI-Komunitas Bambu, 2007). 145-146.

Page 117: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

97

Selain itu, hasil produksi gula juga digunakan untuk konsumsi

pribadi Sultan Banten, maupun pihak Inggris. Mr. Gerrald

Pinson (President of East India Company) juga merasa tidak

keberatan apabila Sultan Abul Mafakhir membutuhkan gula

untuk keperluan pribadinya.99

Harga yang diperlukan untuk satu pikul gula Banten

adalah 6 Real Spanyol. Sedangkan di Batavia harganya bisa

mencapai 7,5 Real Spanyol. Menurut Talens, harga gula

Banten di masa itu hampir serupa dengan harga lada.100 Secara

keseluruhan, transaksi yang ada dalam kontrak pertama ini

berada di kisaran 21600 sampai 27000 real Spanyol. Sebuah

transaksi yang tentunya cukup besar ketika itu. Oleh sebab itu,

Untuk melindungi pihak-pihak yang bertransaksi, kedua

kontrak tersebut disertai jaminan dan diawasi langsung oleh

Sultan Abul Mafakhir.101 Salah satu jaminan yang diberikan

adalah penyerahan harta benda apabila sang penghasil gula

tidak mampu memenuhi kewajibannya.102

Keduanya juga memiliki pengaruh yang besar di pasar

Banten. Belanda misalnya, memiliki pengaruh yang cukup kuat

dalam perdagangan lada. Ancaman J.P Coen untuk merampok

99 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 141. 100 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater.

76. 101 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater.

76-77. 102 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”:

141.

Page 118: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

98

jung-jung Cina yang memuat lada dari Banten nyatanya

mempengaruhi harga lada di pasaran Banten. Belum lagi

blokade yang dilancarkan berjilid-jilid. Sedangkan Inggris

membawa angin perubahan baru di pasaran Banten, yaitu gula.

Komoditas gula lahir dari kerja sama yang dilakukan antara

Inggris, orang-orang Cina dan Istana. Di tahun 1629-1631,

lahan besar disiapkan khusus untuk menanam tebu. Di masa

kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir, Belanda dan Inggris

menjadi mitra yang sangat dekat dengan Banten. meskipun

demikian, Belanda menempati posisi yang antagonis

sedangkan Inggris sudah seperti sekutu utama. Belanda

mengintervensi harga lada, sedangkan Inggris menghasilkan

komoditas gula di Banten.

D. Mekkah dan India: Sumber otoritas keagamaan

bagi Kesultanan Banten.

Sepertiga akhir dari hidup dan kekuasaannya di Banten,

Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M)

senantiasa aktif mengirim utusan ke berbagai negeri dengan

tujuan memperdalam ilmu agama dan berusaha sebisa mungkin

membawanya ke Banten. Seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya, Sultan Abul Mafakhir mengirimkan beberapa

utusan ke Mekkah di tahun 1636 M dan India tahun 1640’an.

Hubungan Banten dengan Mekkah, khususnya kawasan Timur

Page 119: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

99

Tengah dan India tidaklah muncul dari ruang hampa, ketiganya

sudah saling bertalian sejak awal berdirinya Kerajaan Banten.

Hubungan antara Banten dan Mekkah sebagai pusat

keislaman dunia sudah dimulai oleh Raja pertama Banten,

Maulana Hasanuddin. Setelah tujuh tahun menetap di Banten,

Hasanuddin berangkat ke Mekkah bersama sang ayah,

Maulana Makhdum (Sunan Gunung Djati). Selain menunaikan

ibadah haji, mereka juga memperdalam ilmu agama.103

menurut Gabriel Facal, keduanya berafiliasi dengan beberapa

tarekat seperti Naqshabandiyyah, Syathariyyah, Qadiriyyah

serta Syadiliyah.104 Di tahun 1644, Syekh Yusuf al-Maqasari

(1626-1699 M) memasukkan tarekat Khalwatiyah ke Banten.

Ramainya tarekat yang ada di Banten juga agaknya berkaitan

juga dengan status Banten sebagai salah satu pintu masuk Islam

di Jawa Barat.105

Dalam Sajarah Banten, beberapa sosok ulama yang

berasal dari Timur Tengah kerap kali memegang posisi penting

di Kerajaan Banten. Salah satunya adalah Molana Judah, ia

disebut sebagai sosok yang keramat dan raja dari Jeddah.

Molana Judah ikut ambil bagian dalam Serangan Banten

103 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten.. 272. Lihat

juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 123. 104 Gabriel Facal, “Religious Specificities in the Early Sultanate of

Banten”: 102-103. 105 Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya Bagian II (Jakarta:

Gramedia, 2005). 136-138.

Page 120: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

100

terhadap Pajajaran pasukan Maulana Yusup ke Pajajaran di

sekitaran tahun 1579 M.106 Sosok lainnya yang tak kalah

penting adalah Ki Ali Surasaji atau Kiyai Dukuh, seorang

ulama berpengaruh yang berasal dari Madinah. Sebelum tiba di

Banten, Ki Ali Surasaji menjadi guru agama di lingkungan

bangsawan Minangkabau. Kondisi serupa juga terjadi ketika ia

berada di Banten. Ki Ali merupakan guru agama bagi Maulana

Yusuf, Maulana Muhammad, bahkan Sultan Abul Mafakhir

Mahmud Abdul Kadir.107

Peran penting lainnya yang dilakoni oleh Kiyai Dukuh

adalah upayanya dalam menjaga tahta Banten untuk Maulana

Muhammad. Muncul sebuah dilema ketika Maulana Yusuf

wafat dan Maulana Muhammad sebagai pewaris tahta yang sah

masih berusia 9 tahun. Pangeran Jepara108 yang mendengar

kabar ini kemudian datang ke Banten. Beberapa pembesar

negeri mendukung Pangeran Jepara untuk menjadi penguasa

Banten. akan tetapi, hal tersebut tak mendapat persetujuan dari

106 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 153.

Lihat juga De Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa

(Jakarta: Grafiti, 2003). 139. 107 Ayang Utriza Yakin, ““The Transliteration and Translation of

The Leiden Manuscript”: 25-26. Lihat juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis

Tentang Sajarah Banten. 163. 108 Pangeran Japara merupakan orang yang sama dengan Pangeran

Arya. Ia menjadi anak ketiga dari Maulana Hasanuddin setelah Ratu

Pambayun dan Pangeran Yusuf. Sejak kecil, Pangeran Arya dititipkan dan

dirawat oleh Ratu Japara. Oleh karenanya, ia lebih dikenal dengan nama

Pangeran Japara. Lihat Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah

Banten. 36.

Page 121: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

101

Kiyai Dukuh. Ia kemudian mendorong Mangkubumi dan

beberapa pembesar negeri untuk mengembalikan Maulana

Muhammad di tahta Banten. Kemudian disepakati bahwa

Pangeran Jepara harus pergi dari Banten dan di saat yang

bersamaan, Maulana Muhammad kembali dinobatkan sebagai

penguasa Banten yang sah.109

Untuk menyiasati keadaan Banten tanpa pemimpin,

kemudian Mangkubumi ditunjuk sebagai orang yang

bertanggung jawab atas pemerintahan Banten untuk sementara.

Ketika Maulana Muhammad sudah dianggap dewasa dan

mampu untuk bertanggung jawab atas tahtanya, maka

pemerintahan akan diserahkan kembali kepadanya. Sistem ini

kemudian dikenal dengan istilah ‘Waliraja’. Maulana

Muhammad kemudian berkuasa menjelang akhir abad ke-16.

Ia juga memberikan gelar Pangeran Kasunyatan kepada Kiyai

Dukuh. Gelar tersebut diberikan karena jasanya yang

melindungi tahta Maulana Muhammad dari ancaman Pangeran

Jepara.110 Pangeran Kasunyatan juga diberikan posisi penting

dalam kerajaan Banten, ia menjadi wali apabila Maulana

Muhammad dan Mangkubumi sedang tidak berada di

Surosowan. Menurut Utriza Yakin, gelar tersebut memiliki

otoritas yang kuat dalam politik. Sehingga ia melengkapi

109 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 39-41.

Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 290-297. 110 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 163.

Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 289.

Page 122: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

102

otoritas agama yang sudah dipegang oleh Kiyai Dukuh atau

Pangeran Kasunyatan.111

Molana Judah dan Pangeran Kasunyatan merupakan

figur ulama yang punya pengaruh besar di masa Maulana

Yusuf dan Maulana Muhammad. Keduanya pun berasal dari

kawasan Timur Tengah yang menjadi pusat keislaman masa

itu. Sekitar tahun 1630’an, Pangeran Ratu (1596-1651 M)

mengirim utusan ke Mekkah yang salah satu misinya adalah

meminta tafsir dari beberapa karangan Hamzah Fansuri serta

membawa pulang ulama dari Mekkah agar dapat mencerahkan

Banten.112 Dalam Sajarah Banten, utusan Banten terdiri yang

dari Lebe Panji, Demang Tisnajaya dan Demang Wangsaraja

berlayar dari Banten ke Maladewa, lalu ke wilayah yang

disebut Keling atau Koromandel sampai kemudian tiba di

Surat, di mana mereka menunggu kapal yang mengangkut

Jemaah Haji. Dari India mereka berlabuh di Jeddah dan

melanjutkan perjalanan darat menuju Mekkah.113 Di tahun

111 Ayang Utriza Yakin, ““The Transliteration and Translation of

The Leiden Manuscript”: 25-26. Lihat juga, Djajadiningrat, Tinjauan Kritis

Tentang Sajarah Banten. 39-43. 112 Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara. 18-19. Lihat juga

Voorhoeve, “Van en over Nurudin ar-Raniri”: 358. Lihat juga Oman

Fathurahman, Ithaf ad-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim

Nusantara. 49. 113 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 341-342.

Lihat juga Djajadningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sarajah Banten. 193-

194. Lihat juga Daghregister 1640-1641, 357-358.

Page 123: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

103

1641 M, Mataram juga menggunakan rute serupa untuk

meminta gelar ‘Sultan’ dari Mekkah.114

Meskipun demikian, keberangkatan utusan Banten ke

Mekkah seringkali dimaknai sebagai sebuah upaya

mendapatkan gelar ‘Sultan’.115 Agaknya, memperdalam ilmu

agama lebih bisa dikedepankan daripada hanya mencari gelar

saja. Terlebih lagi, Pangeran Ratu memiliki ketertarikan yang

cukup besar terhadap ajaran sufi.116 Selain beberapa karya

Hamzah Fansuri, Pangeran Ratu juga membaca Nasihat al-

Mulk karya al-Ghazali.117 Selain itu, ada al-Insan al-Kamil

karya ‘Abd al-Karim al-Jilli. Menurut Mufti Ali, Sultan Abul

Mafakhir melakukan penyalinan atas naskah ini.118 Wawacan

Seh atau Hikayat Seh karya al-Yafi’i agaknya menjadi salah

satu yang dibaca juga olehnya. Ketertarikannya terhadap ilmu

agama, khususnya tasawuf memang menjadi nilai lebih dari

penguasa Banten keempat ini.

Hikayat Seh sendiri merupakan terjemahan bahasa

Jawa (dengan dialek Banten-Cirebon) dari karya Abdallah b.

114 Daghregister 1661, 88. Lihat juga H.J De Graaf, Puncak

Kekuasaan Mataram.. 272-275. 115 Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren”:

167. M.C Ricklefs, Mystic Synthesis in Java (Connecticut: EastBridge,

2006). 159. 116 M.C Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 50. 117 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 45-47. Lihat juga

Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890. 15. 118 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd

al-Karim al-Jili. 197-199.

Page 124: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

104

As’ad al-Yafi’i (1298-1367 M) yang berjudul Khulasat al-

Mafakhir. kitab ini berisi tentang kisah Shaykh ‘Abd al-Qadir

al-Jilani. Terlepas dari bahan bacaan Abul Mafakhir yang

begitu luas, peran al-Yafi’i dengan Khulasat al-Mafakhir

menjadi sangat besar bagi penyebaran tarekat Qadiriyah di

Nusantara. Laffan pun menyebut bahwa nama Abul Mafakhir

Mahmud Abdul Kadir yang diberikan dari Mekkah merupakan

penghormatan bagi dua tokoh penting tarekat Qadiriyah di

Nusantara, al-Jilani dan al-Yafi’i.119

Utusan Banten kembali di tahun 1638 M dengan

membawa berbagai macam hadiah yang dibawa dari Mekkah,

di antaranya adalah gelar Sultan bagi Pangeran Ratu (Sultan

Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, w.1651 M) dan

Pangeran Anom (Sultan Abul Ma’ali Ahmad, w. 1649 M), kain

penutup ka’bah, kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah karya

Muhammad bin Allan, bendera berwarna kuning yang

dikatakan berasal dari Nabi Ibrahim, tapak kaki Nabi dan

berbagai barang lainnya.120

119 Michael Feener & Michael Laffan, “Sufi Scents Across the Indian

Ocean: Yemeni Hagiography and the Earliest History of Southeast Asian

Islam”. Archipel, 70 (2005): 202-206. Lihat juga van Bruinessen, “Shaykh

‘Abd al-Qadir al-Jilani and the Qadiriyya in Indonesia”. Journal of the

History of Sufism, 1-2 (2000): 369-371. 120 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 56. Titik

Pudiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 361-362. Lihat juga

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara. 48-49.

Page 125: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

105

Permintaan tafsir yang diminta oleh Abul Mafakhir

agaknya serupa dengan permintaan fatwa. Fatwa sendiri

merupakan sebuah pendapat atau sudut pandang dalam

persoalan hukum slam tertentu yang dikeluarkan oleh seorang

ahli. Sebuah fatwa biasanya berbentuk tanya-jawab, di mana

sebuah pertanyaan akan diikuti dengan jawabannya. Orang

yang mengeluarkan fatwa disebut dengan mufti, sedangkan

yang meminta fatwa adalah mustafti. Pertanyaan dari mustafti

biasanya disebut dengan istifta. Sebuah ‘fatwa’ biasanya

tersusun dari beberapa cerita ataupun ide yang berbeda guna

menjawab pertanyaan dari mustafti. Di sisi yang lain, istifta

sendiri akan merefleksikan keadaan sosial, politik maupun

keagamaan dari seorang mustafti.121 Oleh sebab itu, menurut

Kaptein, istifta lebih menarik daripada fatwa itu sendiri.

Format tersebut juga ditemukan dalam naskah al-

Mawahib al-Rabbaniyyah, yang dibawa pulang dari Mekkah

oleh utusan Banten. Format yang hampir sama juga ditemui

dalam naskah Jauhar al-Haqaiq. Naskah tersebut merupakan

ringkasan dari tanya jawab antara Sultan Abul Mafakhir

dengan Nurudin al-Raniry (w. 1658 M).122 Tanya jawab antara

keduanya terjadi sekitar tahun 1645 M, setelah kepulangan

Nurudin ke Ranir (Rander), India. Agaknya, Sultan Banten

121 Nico Kaptein & Michael Laffan, “Theme Issue: Fatwas in

Indonesia” Islamic Law and Society 12, no.1 (2005): 1. 122 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd

al-Karim al-Jili. 3.

Page 126: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

106

berusaha bertanya mengenai perbedaan pendapat antara al-

Raniry dengan pengikut Hamzah Fansuri dan Samsudin al-

Sumatrani di Aceh.123 Mendapat surat dari Sultan Banten, al-

Raniry menulis kitab yang diberi judul al-Lama’an fi takfir

man qala bi khalqi’l-Qur’an (Cahaya terang pada

mengkafirkan orang yang berkata Qaur’an itu makhluk). Isi

dari naskah tersebut adalah sanggahan dan kritik dari Nurudin

al-Raniry atas ajaran wujudiyyah yang dikembangkan oleh

Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani.124

Dari uraian di atas, ada beberapa poin penting yang

menggambarkan sosok dari Sultan Abul Mafakhir Mahmud

Abdul Kadir (1596-1651 M). mengirim utusan ke Mekkah

bukanlah usaha dalam mencari gelar semata. Melainkan sebuah

usaha mencari fatwa, dan lebih jauh lagi mencari otoritas

agama.

123 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh

Nurudin ar-Raniry. 39-47. Lihat juga Voorhoeve, “Van en over Nurudin ar-

Raniri”: 354-360. 124 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh

Nurudin ar-Raniry. 55-56.

Page 127: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

107

BAB V

SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD

ABDUL KADIR: RAJA SUFI DARI

KESULTANAN BANTEN

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai perkembangan

Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1598-1651 M)

dari seorang Raja Jawa menjadi Raja Sufi. Penulis akan

berusaha menguraikan secara kronologis perjalanan Sultan

Abul Mafakhir dari Raja Jawa yang menggunakan gelar

‘Pangeran’ sampai menjadi seorang Raja Sufi. Sebelum masuk

ke pembahasan tersebut, penulis terlebih dulu menjelaskan

posisi al-Mawahib ar-Rabbaniyyah sebagai sumber kekuatan

dan pedoman bagi Sultan Abul Mafakhir dalam merespons

kondisi real politik di Kesultanan Banten.

A. Al-Mawahib ar-Rabbaniyyah dan Sultan Abul

Mafakhir Mahmud Abdul Kadir.

Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, ada

beberapa warisan (legacy) yang ditinggalkan oleh Sultan Abul

Mafakhir untuk para penerusnya. Salah satunya adalah usaha

mengirimkan utusan ke luar negeri. Dalam hal ini, yang paling

menyita perhatian adalah utusan yang dikirimkan ke Mekkah.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, langkah serupa

juga dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Meskipun

Page 128: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

108

demikian, ada perbedaan besar antara keduanya dari tujuan

pengiriman utusan Banten. Dalam Sajarah Banten, Sultan

Ageng Tirtayasa mengirim utusan ke Mekkah dengan tujuan

memberitakan kepada Sultan Mekkah bahwa kakeknya telah

mengkat dan meminta nama ataupun gelar yang pantas penerus

Kesultanan Banten.1 Sedangkan dalam sumber yang sama,

tujuan dari Sultan Abul Mafakhir adalah untuk meminta fatwa

atas kitab Hamzah Fansuri serta meminta seorang ahli fiqih

untuk menerangi Banten.2

Salah satu hadiah penting yang dibawa pulang oleh

utusan Banten adalah kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah yang

dibawa ke Banten tahun 1638 M. Sejauh penelusuran penulis,

naskah al-Mawahib hanya ada dua bundel di dunia ini.

Pertama, tersimpan di Perpustakaan Leiden dengan nomor

panggil Cod. Or. 7405 (4) yang merupakan naskah asli. Kedua,

tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

dengan nomor panggil A 105 sebagai naskah salinannya.3

Dari susunannya ini, al-Mawahib agaknya memiliki ciri

sebagai kitab fatwa. Dalam hal ini, ada empat aspek yang

1 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 207. 2 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 53-56. 3 P. Voorhoeve, Handlist of Arabic Manuscripts in The Library of

University of Leiden and Others Collection. 204-205. Behrend T.E (ed.).

Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid IV Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia. Lihat juga

https://lektur.kemenag.go.id/naskah/index.php?filterBy=title&title=20080

725144141 diakses pada 8 November 2018 Pukul 15.36 WIB.

Page 129: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

109

setidaknya harus dipenuhi, yaitu: Mustafti (orang yang

meminta fatwa), Istifta (pertanyaan), Mufti (Ulama yang

menjawab pertanyaan) dan fatwa (jawaban).4 al-Mawahib

sendiri tersusun atas sepuluh Istifta. Menurut Kaptein, Istifta

atau pertanyaan yang ada pada sebuah kitab permintaan fatwa

menyimpan informasi menarik terkait keadaan sosial, politik

bahkan aspek peribadatan.5 Lebih jauh lagi, al-mawahib juga

menjadi sumber penting dari kontak intelektual yang

berlangsung antara Muslim Nusantara dengan Mekkah sebagai

pusat keislaman dunia.6 Seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya, al-Mawahib tersusun atas sepuluh pertanyaan,

diantaranya:

Pertama, pertanyaan pertama berkutat mengenai

balasan serta larangan bagi para penguasa yang melanggar

batasan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dalam al-Mawahib

disebutkan:

“Berkata Rasulullah SAW: datanglah kepada penguasa di hari kiamat.

Maka berkata Allah yang Tinggi, ‘Anda adalah gembala dari mahluk saya

dan ketabahan? Kerajaan di bumi kemudian berkata salah satu dari mereka

memukul/menghukum hamba-hamba saya di atas yang telah ditentukan

kepada mereka. Maka berkata, wahai Tuhan kami, sesungguhnya mereka

adalah musuh-Mu dan mereka telah melanggar(perintah?)-Mu. Maka

berkata, seharusnya kemarahan(hukuman)mu? Tidak mendahului

kemarahan-Ku. Kemudian dia berkata, saya menghukum hamba-hamba

4 Nico Kaptein & Michael Laffan, “Theme Issue: Fatwas in

Indonesia”: 1. 5 Nico Kaptein & Michael Laffan, “Theme Issue: Fatwas in

Indonesia”: 6-7. 1 6 Oman Fathurahman, Ithaf ad-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi

Muslim Nusantara (Jakarta: Mizan, 2012): 49.

Page 130: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

110

saya kurang dari batas yang sudah diperintahkan?(ditentukan). Maka

berkata, wahai Tuhanku kasihilah mereka ... dari Nasihat al-Muluk, Imam

Ghazali berkata”.7

Kedua, pertanyaan mengenai bagaimana keadilan harus

ditegakkan oleh seorang penguasa. Dalam pertanyaan ini,

Sultan Banten mengutip sebuah kisah yang ada di dalam

naskah Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali (1111 M) yang

berkisah tentang seorang Gubernur Iraq bernama Ziyad ibn

abihi. Dalam al-Mawahib disebutkan:

“Hikayat ini tentang Abi Sufyan dan anaknya, Ziyad bin ayahnya yang lahir

di hari Jahiliyyah ... ketika Abu Sufyan memerintah di (Dinasti?)

Mu’awiyyah ... Ketika Ziyad menjadi penguasa (Gubernur) Iraq, orang

Iraq dikenal sebagai kaum yang berbuat kerusakan dan suka mencuri. Di

atas mimbar selepas sholat berjama’ah, Ziyad berkhutbah, kemudian

berkata: setelah khutbah ini, demi Allah, barangsiapa keluar rumah setelah

Isya akan dipenggal kepalanya, Ziyad bersaksi kepada yg ghaib. Kemudian

memerintahkan untuk mengawasi selama tiga malam. Kemudian pada

malam keempat, Ziyad ikut serta menyisir wilayah Iraq bersama para

penjaganya. Kemudian ia menemukan seorang laki-laki Arab yang..... dari

Nasihat al-Muluk, Imam Ghazali berkata”.8

Ketiga, masih merujuk pada Nasihat al-Muluk, Sultan

Banten bertanya tentang posisi ‘adil’ dalam sebuah kerajaan.

Dalam melontarkan pertanyaan ini, Sultan Abul Mafakhir

mengutip pernyataan Ulama yang secara tersirat menyebut,

‘ketika keadilan dapat ditegakkan di sebuah negeri, maka

kesejahteraan akan mengikuti. Lebih jauh lagi menjadikan

7 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 6-8.

8 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 52-55. Lihat juga F.R.C Bagley &

H.D Isaacs. Ghazali Book of Counsel for Kings. (London: Oxford

University Press, 1964). 78-79.

Page 131: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

111

agama di negeri tersebut dapat berdiri tegak. Dalam al-

Mawahib disebutkan:

“Raja-Raja kuno itu adalah inspirasi mereka, dan upaya mereka dalam

membangun wilayah mereka ... seorang ulama shahih berkata,

“sesungguhnya agama (berdiri?) dengan kerajaan, dan kerajaan (berdiri?)

dengan pasukan, dan pasukan (berdiri?) dengan harta, dan harta (berdiri?)

dengan kesejahteraan negeri, dan kesejahteraan negeri (berdiri?) dengan

keadilan ... dari Nasihat al-Muluk”.9

Keempat, dalam pertanyaan ini, Sultan Abul Mafakhir

bertanya mengenai cara bagi seorang penguasa untuk berbuat

adil tanpa harus melebihi batasan. singkatnya, pertanyaan

keempat ini merupakan lanjutan dari pertanyaan sebelumnya.

Dalam al-Mawahib disebutkan:

“Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa para penguasa yang melebihi

batas atau membatas-batasi batas Tuhan akan disiksa. Dalam Nasihat al-

Muluk, berkata sang periwayat. Kabarkanlah bahwa orang terdahulu dan

orang yang terpercaya bahwa dari kebijakan sulthon. Maka sulthon

menjawab kebijakan politik dengan politik yang adil. Sesungguhnya

Sulthon adalah wakil Allah di Bumi. Maka bagaimana wahai tuan kami,

batasan-batasan dari syari’ah dan batasan-batasan dalam politik. Dan

bagaimana dengan menemukan keadilannya?...”.10

Kelima, pertanyaan ini serupa dengan pertanyaan

keempat yang menjadi sambungan atau lanjutan dari

pertanyaan-pertanyaan terdahulu. Sultan Abul Mafakhir

bertanya bagaimana sebuah ‘keadilan’ dapat membawa

9 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 75-76. 10 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 84-85.

Page 132: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

112

kemakmuran untuk sebuah negeri. Dalam al-Mawahib

disebutkan:

“Ulama dan ahli hukum berkata, sesungguhnya agama berdiri dengan

kerajaan, dan kerajaan berdiri dengan pasukan, dan pasukan berdiri

dengan harta, dan harta berdiri dengan kesejahteraan negeri, dan

kesejahteraan negeri berdiri dengan keadilan. Dan jika dikatakan bahwa

pasukan/tentara berdiri dengan harta, maka harta manakah yang

dimaksud? Apakah harta yang berasal dari kerajaan ataukan harta yang

dimiliki oleh para tentara? Dan jika dikatakan bahwa harta yang berasal

dari kerajaan, maka dari harta yang mana? Dan jika dikatakan harta yang

berasal dari kesejahteraan negeri, harta mana yang bisa membuat negeri

makmur? Dan jika dikatakan bahwa kemakmuran negeri berasal dari

keadilan, keadilan yang bagaimana yang mampu memakmurkan negeri” 11

Keenam, pertanyaan mengenai batasan bagi seorang

Sultan dalam memberi dan mengambil sesuatu.

“dalam nasihat disebutkan bahwa seorang Sulltan dalam mengambil

sesuatu dari rakyatnya dan memberikan sesuatu juga bagi rakyatnya.

Maka, bagaimana batasan dalam mengambil dan memberi itu?”. 12

Ketujuh, merupakan pertanyaan yang menyinggung

aspek ibadah, di mana Sultan Banten meminta berkah dan

diajarkan sebuah do’a setelah shalat. Dalam al-Mawahib

disebutkan:

“saya meminta berkat dari anda untuk mengajarkan sholat dan apa yang

dibaca dan apa yang disebut dalam hati. Dan ajarkan do’a yang dibaca

setelahnya dan doa ‘mutayassir’ dalam lisan.” 13

11 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 105-107. 12 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 113-114. 13 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 120.

Page 133: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

113

Kedelapan, pertanyaan mengenai tanah wakaf, dalam

hal ini Sultan Abul Mafakhir bertanya apakah diperbolehkan

bagi seorang penguasa memberikan tanah kepada tentara dan

keturunannya? Lebih jauh lagi Sultan Abul Mafakhir juga

bertanya, apakah diperbolehkan untuk seorang penguasa

mengambil alih tanah yang sebelumnya telah

diwakafkan/dihibahkan oleh penguasa terdahulu. Dalam al-

Mawahib disebutkan:

‘apakah diperbolehkan bagi seorang sultan untuk memberikan tanah

kepada para tentara dan ahli warisnya. Jika anda mengatakan boleh, maka

bagaimana seorang sultan yang setelah sultan yang memberikan tanah

tersebut mengambil alih lagi tanah yang sudah diberikan di awal tadi”.14

Kesembilan, pertanyaan terkait dengan pajak tanah

terhadap orang kafir dan pajak dagang terhadap para pedagang

muslim.15 Kesepuluh, pertanyaan kesepuluh terdiri dari tiga

pertanyaan agaknya menyinggung tentang ajaran

wujudiyyah.16

Dari sepuluh pertanyaan (ifta) yang ditanyakan oleh

Sultan Banten, lebih dari setengahnya membicarakan mengenai

‘keadilan’. Hal tersebut tidak terlepas dari Sultan Banten yang

merujuk pada kitab Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali. Dari

14 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 136-137. 15 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 141-143. 16 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 148-151.

Page 134: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

114

keterangan tersebut, muncul indikasi bahwa kitab Nasihat al-

Muluk memang sudah dikenal di Nusantara, khususnya

Kesultanan Banten. Lebih jauh lagi, Sultan Banten agaknya

berusaha untuk memahami lebih jauh teks Nasihat al-Muluk.

Pada akhirnya mengintegrasikan konsep ‘adil’ yang ada di

dalamnya dengan situasi politik di kerajaan Banten.17 Dalam

hal ini, lahirnya naskah al-Mawahib ar-Rabbaniyyah juga tak

bisa dilepaskan dari alasan di atas. al-Mawahib lahir mengikuti

gerak zaman di abad ke-17, di mana teks-teks sastra

didedikasikan sebagai nasihat kepada para raja.18 Maka tak

mengherankan apabila kitab Nasihat al-Muluk muncul sebagai

referensi penting bagi raja-raja Nusantara, salah satunya

Banten.

Bagi Sultan Abul Mafakhir, al-Mawahib merupakan

sumber referensi untuk mengambil keputusan politik. Konsep

‘adil’ yang dipelajarinya dalam naskah tersebut juga menjadi

pegangan baginya dalam memutus perkara hukum. Di

masanya, Sultan Abul Mafakhir juga berperan sebagai hakim

tertinggi di Kesultanan Banten. Contoh realpolitik terjadi

selama dekade 1640-an, ketika itu Sultan Abul Mafakhir

dihadapkan pada dua pilihan sulit; menyerah pada Mataram

yang saat itu sangat kuat atau melawan Mataram demi

kemerdekaan Banten yang utuh. Abul Mafakhir kemudian

17 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 47. 18 G.E Marrison, “Persian Influences in Malay Life (1280-1650)”.

JMBRAS 28, no.1 (1955): 61.

Page 135: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

115

memilih pilihan kedua. Menariknya, alih-alih tunduk kepada

Mataram, ia hanya mau tunduk dan mengakui Syarif Mekkah.

Sultan Abul Mafakhir menyebut bahwa Syarif Mekkah yang

memberkati Banten dan bukannya Mataram. oleh sebab itu, ia

lebih memilih Syarif Mekkah sebagai patronnya.19

B. Perjalanan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul

Kadir sebagai Raja Sufi

Seperti yang dicantumkan sebelumnya, Sultan Abul

Mafakhir berkuasa sejak 1624 sampai 1651 M atau hampir lima

abad yang lalu. Meskipun demikian, sosok Sultan Abul

Mafakhir masih abadi hingga kini. Setidaknya hal tersebut

tercermin dalam berbagai temuan sejarah yang memiliki

korelasi dengan Sultan Abul Mafakhir. Beberapa di antaranya

bahkan merefleksikan perjalanan spiritualnya sebagai Raja

Sufi. Salah satu indikator dari perjalanan tersebut adalah gelar

yang digunakan olehnya.

Dari beberapa sumber sejarah yang tersedia seperti surat

dan mata uang, diketahui bahwa Raja Banten keempat ini lebih

aktif menggunakan gelar ‘Pangeran’. Gelar tersebut digunakan

sejak ia berkuasa di tahun 1624 sampai tahun 1638 M. Periode

ini penulis kategorikan sebagai era ‘Kepangeranan’. Gelar

19 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 405-406.

Lebih jauh mengenai pertempuran antara Cirebon dan Banten, lihat bab IV

skripsi ini.

Page 136: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

116

Pangeran kemudian diganti dengan ‘Sultan’ setelah ia

mendapatkannya dari Syarif Mekkah di tahun 1638 M.

Kemudian, sejarah mencatat bahwa Abul Mafakhir

menggunakan gelar ‘Sultan’ sampai akhir hayatnya. Dari tahun

1638 hingga 1651 M penulis sebut dengan era ‘Kesultanan’.

Baik periode Kepangeranan ataupun Kesultanan memiliki

signifikansi yang penting untuk dijelaskan dalam bab ini.

Meskipun memiliki beberapa perbedaan, keduanya menjadi

sebuah proses yang tak terpisahkan dari sosok Sultan Abul

Mafakhir yang berkembang sebagai Raja Sufi.

Sejauh penelusuran penulis, ada dua sumber penting

yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan periode

‘Kepangeranan’. Pertama, sumber artefaktual berupa mata

uang Kesultanan Banten yang berasal dari masa kepemimpinan

Sultan Abul Mafakhir. Kedua, sumber tertulis berupa surat-

surat yang dikirimkan oleh Sultan Abul Mafakhir kepada Raja

Charles dari Kerajaan Inggris.

Kesultanan Banten pernah mengeluarkan sebuah mata

uang koin dengan yang disebut sebagai koin ‘Kasha’. Di atas

permukaannya, tertulis inskripsi “Pangeran Ratu Ing Banten”

yang merujuk pada gelar Abul Mafakhir.20 Dalam laporan

penelitian Banten di tahun 1976, koin ‘kasha’ dikategorikan

20 Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan Claudine Salmon, “Les

Sucriers chinois de Kelapadua, Banten, XVIIe siècle. Textes et vestiges”.

Archipel 39 (1990): 149.

Page 137: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

117

sebagai koin bulat dengan lubang segi enam di tengahnya. Koin

‘kasha’ terbuat dari tembaga dengan diameter keseluruhan

mencapai 2,6 cm dan diameter lubang 1,5 cm.21

Mengingat bahwa temuan mata uang sering kali

dikategorikan sebagai artefak bertanggal mutlak.22 Maknanya,

di dalam mata uang kuno, tersimpan informasi kuat mengenai

siapa yang menerbitkan dan kapan ia diterbitkan.23 Dalam hal

ini, poin penting yang ingin ditekankan pada mata uang ‘kasha’

adalah penggunaan gelar ‘Pangeran Ratu’ yang merujuk pada

awal kepemimpinannya Sultan Abul Mafakhir di Banten. Kini,

mata uang ‘kasha’ Kesultanan Banten dapat dijumpai di

Gedung Arca lantai 2 (Dua) Museum Nasional Republik

Indonesia. Selain itu, koin serupa juga dapat dijumpai pada

Museum Kepurbakalaan Banten.

Gelar ‘Pangeran Ratu Ing Banten’ juga tercantum pada

stempel surat Raja Banten kepada Raja Inggris di tahun 1628

M.24 Stempel tersebut berbentuk bulat dengan outline ganda

dan berdiameter 55 mm. Muncul dugaan yang kuat bahwa

21 Mundardjito, Hasan Muarif Ambary & Hasan Djafar, Laporan

Penelitian Arkeologi Banten 1976. 47-48. 22 Mundardjito, Hasan Muarif Ambary & Hasan Djafar, Laporan

Penelitian Arkeologi Banten 1976 Cet. II (Jakarta: Puslit Arkenas, 1986).

47. 23 Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago:

University of Chicago Press, 1988). 45-46. 24Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in

The Public Record Office”. Indonesia and The Malay World 31, no.91

(2003): 418-419.

Page 138: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

118

stempel tersebut merupakan stempel resmi Kerajaan Banten

saat itu. Hal tersebut didasari pada keterangan stempel tersebut

yang memuat informasi tentang silsilah raja-raja Banten.25

Informasi yang terdapat surat Raja Banten ini sekaligus

menguatkan keterangan dari koin ‘kasha’, karena surat tersebut

berangka tahun 1628 M atau sekitar 4 tahun sejak Abul

Mafakhir memegang tahta.

Dekade 1630-an menjadi periode krusial dalam

perjalanan spiritual Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi.

Setidaknya ada dua peristiwa penting yang terjadi pada periode

krusial ini. Pertama, adanya perintah yang dikeluarkan oleh

Sultan Abul Mafakhir untuk menyalin tulisan Abd al-Karim al-

Jili yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa

al-Awa’il dan memberikan terjemahan bahasa Jawa dalam

setiap lariknya.26 Sejatinya masih belum diketahui secara pasti

waktu penyalinan kitab al-Insan al-Kamil, namun muncul

dugaan kuat bahwa kitab tersebut disalin pada dekade 1630-an.

Kedua, peristiwa penting lainnya adalah pengiriman

utusan Banten ke Mekkah di awal 1630-an. Dalam Sajarah

Banten, utusan ini terdiri dari tiga orang, yaitu; Lebe Panji

sebagai ketua serta Demang Tisnajaya dan Demang

Wangsaraja. Ketiganya diberikan tugas untuk menyampaikan

25 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in

The Public Record Office”: 420. 26 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-

Karim al-Jili: 13-14.

Page 139: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

119

surat yang berisi sepuluh pertanyaan Abul Mafakhir dan

membawa pulang seorang ahli agama untuk menjadi Ulama

Kesultanan.27 Utusan Banten berhasil kembali di tahun 1638 M

dengan membawa berbagai hadiah dari Mekkah, di antaranya;

gelar Sultan untuk Abul Mafakhir, kitab al-Mawahib ar-

Rabaniyyah, bendera Nabi Ibrahim, tapak kaki Nabi

Muhammad, sepotong kiswah dan seterusnya.28 Kepulangan

para utusan ini disambut dengan meriah dan seluruh

masyarakat Banten dikumpulkan untuk menyambutnya.

Hadiah-hadiah yang diperoleh dari Mekkah juga dianggap

mempunya berkah tersendiri, sehingga hadiah-hadiah tersebut

diarak keliling kota Banten dengan tujuan berkah tersebut bisa

tersebar ke penjuru negeri. 29

Kedua peristiwa tersebut mencerminkan ketertarikan

Sultan Abul Mafakhir yang lebih dalam mengenai ajaran Islam,

doktrin insan kamil dan ‘menjadi raja yang adil’. Hal tersebut

dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam

naskah al-Mawahib ar-Rabbaniyyah. Dari sepuluh pertanyaan

yang diajukan, enam di antaranya terkait dengan ‘keadilan’ dan

bagaimana menjadi raja yang adil. Uniknya lagi, ia mengutip

27 Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara. 18-19. Lihat juga Titik

Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 341-342. Lihat juga

Djajadningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sarajah Banten. 193-194. 28 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara. 48-49. 29 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 56. Titik

Pudiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 361-362.

Page 140: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

120

beberapa keterangan yang ada pada kitab Nasihat al-Muluk

karya al-Ghazali (w.1111).

Pada dekade 1640-an, Sultan Abul Mafakhir mengirim

utusan ke Nurudin ar-Raniry yang saat itu berada di India.

Masih belum diketahui secara pasti mengenai pertanyaan

Sultan Banten, namun kuat dugaan bahwa ia bertanya

mengenai kebijakan Nurudin yang menolak bahkan memusuhi

kaum wujudiyyah di Aceh. Untuk menjawab surat dari Sultan

Banten, Nurudin menulis sebuah kitab yang diberi judul Al-

Lama’an fi takfir bi khalqi’l-Quran (Cahaya terang pada

mengkafirkan orang yang berkata Qur’an itu Makhluk).

Naskah tersebut menguraikan sanggahan dan kritik dari

Nurudin al-Raniry atas ajaran Hamzah Fansuri.30 Utusan

Banten yang dikirim ke Nurudin agaknya perlu diletakkan pada

konteks ‘menjaga stabilitas dan keamanan Banten’. Sultan

Abul Mafakhir menaruh perhatian pada konflik keagamaan

yang terjadi di Aceh dan mungkin terbesit kekhawatiran di

benaknya bahwa konflik serupa akan terjadi di Banten. Oleh

sebab itu, utusan ke India ini perlu dilihat sebagai upaya Sultan

Abul Mafakhir menjaga stabilitas dan keamanan di Banten.

Di penghujung dekade 1640-an sosok Sultan Abul

Mafakhir menjadi semakin matang. Hal tersebut nampak dari

30 Penjelasan lebih jauh mengenai Nurudin ar-Raniry, lihat Ahmad

Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry. 55-

56.

Page 141: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

121

cara Sultan Abul Mafakhir menghadapi Mataram. Meskipun

penguasa Mataram sudah beralih dari Sultan Agung Mataram

kepada Amangkurat I, namun usaha untuk menaklukkan

Banten dan ‘menyatukan Jawa’ masih belum sirna. Di tahun

1637 M, Amangkurat I meminta Cirebon untuk membujuk

Sultan Banten mempersembahkan baktinya dan tunduk kepada

Mataram.31 Sejak saat itu, Cirebon secara aktif dan berkala

mengirim utusan ke Banten. utusan yang dikirim pun beragam,

dari utusan biasa hingga pembesar negeri datang secara

bergantian ke Banten untuk membujuk Sultan Abul Mafakhir

mengakui Mataram.

Salah satu pembesar negeri Cirebon yang datang untuk

membujuk Sultan Banten adalah Pangeran Martasari.

Matangnya sikap Sultan Abul Mafakhir juga terlihat ketika ia

memperlakukan utusan Cirebon yang datang ke Banten dengan

perlakuan yang layak dan pantas. Meskipun diminta untuk

tunduk, namun Sultan Abul Mafakhir tetap memandang

Cirebon sebagai saudara kandung Banten yang harus

diperlakukan dengan baik. Terkait dengan keinginan Mataram,

Sultan Abul Mafakhir kemudian membicarakannya di depan

dewan kesultanan dan secara tegas menolak untuk memenuhi

keinginan Mataram. Baginya, Banten tidak perlu tunduk

kepada Mataram, karena yang memberikan berkah kepada

Banten adalah Syarif Mekkah. Oleh sebab itu, Sultan Abul

31 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 202

Page 142: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

122

Mafakhir hanya mengakui Syarif Mekkah sebagai rajanya dan

tidak ada orang lain yang harus ia akui. Ia juga menyebut lebih

baik lebih baik hancur lebur dalam perang daripada mengirim

bakti kepada Mataram.32 Kelanjutan dari peristiwa ini adalah

perang pagerage.

Sultan Abul Mafakhir yang menolak tunduk kepada

Amangkurat I dan Mataram harus dilihat sebagai upaya

mempertahankan diri dan menjaga stabilitas negeri. Peristiwa

ini juga perlu dilihat sebagai kematangan Sultan Abul Mafakhir

sebagai Raja Sufi, karena ia berani menghadapi serangan

Mataram dengan kekuatan sendiri dan percaya kepada

kekuatan pasukannya. Kondisinya cukup jauh berbeda dari

tahun 1629 M ketika Mataram mengepung Batavia. Saat itu,

Abul Mafakhir meminta bantuan kepada Inggris dan tidak

berdiri di atas usahanya sendiri.

Hasilnya, Banten berhasil mempertahankan diri dari

serangan Mataram dan Cirebon. Di sanalah posisinya sebagai

Raja Sufi menjadi semakin kokoh. Karena ia mampu menejaga

stabilitas dan keamanan Banten dari ancaman pihak luar.

32 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 405.

Page 143: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

123

BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Raja Sufi merupakan seorang penguasa yang telah

memiliki kesadaran utuh atas kesatuannya dengan Tuhan. Oleh

sebab itu, seorang Raja Sufi diyakini mampu berbuat adil

karena ia memahami dan menyadari tugasnya sebagai wakil

Tuhan di Bumi. Keadilan yang mampu ia tegakkan kemudian

akan berimplikasi pada stabilitas dan keamanan negeri yang ia

pimpin. Untuk bisa mencapai tingkatan Raja Sufi, sang

penguasa harus mampu memahami dan mempelajari ajaran-

ajaran Islam, khususnya ajaran sufistik. Dalam hal ini, kitab al-

Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili merupakan salah

satu pembentuk sosok Raja Sufi di Nusantara, konsep

mengenai Raja Sufi lahir dari doktrin insan kamil atau “perfect

man” yang ada di kitab al-Insan al-Kamil.

Doktrin insan kamil diaktualisasikan dan dibentuk oleh

para ulama kerajaan untuk menyokong legitimasi dan karisma

sang penguasa. Di tanah Melayu, muncul konsep ‘Raja Adil’

yang menggambarkan kesempurnaan seorang Raja sebagai

penguasa yang adil. Konsep tersebut muncul dari hubungan

patron-klien antara Raja dan Ulama. Sementara itu, di tanah

Jawa muncul konsep Sufi Warrior King digunakan untuk

menggambarkan penguasa Jawa yang menjalankan

Page 144: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

124

pemerintahannya berdasarkan ajaran-ajaran sufistik.

Menariknya, istilah tersebut muncul dari dalam lingkaran

keluarga Raja. Di Banten sendiri, salah satu penguasa yang

layak dikategorikan sebagai ‘Raja Sufi’ adalah Sultan Abul

Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M).

Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M)

merupakan Raja Banten keempat yang berkuasa dari tahun

1624 hingga 1651 M. Ia menjadi penguasa Jawa pertama yang

memperoleh gelar ‘Sultan’ dari Syarif Mekkah di tahun 1638

M dan menggunakannya sejak saat itu sampai akhir hayatnya.

Sebelum mendapatkan gelar Sultan, ia menggunakan gelar

‘Pangeran Ratu Ing Banten’ sejak tahun 1624-1638 M. Oleh

sebab itu, periode kekuasaan Abul Mafakhir Mahmud Abdul

Kadir dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, ketika ia

menggunakan gelar ‘Pangeran’ (Kepangeranan) sejak 1624-

1638 M. Penggunaan gelar ‘Pangeran’ kemudian diperkuat

dengan bukti mata uang ‘kasha’ Kesultanan Banten yang

kemungkinan beredar di abad ke-17 dan surat Raja Banten

kepada Raja Inggris tahun 1629 M. Kedua, sejak ia

memperoleh gelar ‘Sultan’ (Kesultanan) dari Syarif Mekkah di

tahun 1638 dan digunakan hingga akhir hayatnya. Hal tersebut

juga diperkuat dengan keterangan yang ada Pada bagian

pengantar manuskrip al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila

al-Jawiyya, di mana tercantum nama Sultan Abul Mafakhir

Abdul Kadir.

Page 145: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

125

Keduanya secara tidak langsung mencerminkan proses

perjalanan spiritual Abul Mafakhir dari seorang Raja Jawa

menjadi Raja Sufi. Proses itu dapat dilihat dari titik awal

sebagai Raja Jawa sebagai ‘Pangeran’ dan pada titik lainnya ia

menggunakan gelar ‘Sultan’ yang lebih bercitrakan Islam. Oleh

sebab itu, titik awal dari perjalanan spiritual Abul Mafakhir

adalah ketika ia menggunakan gelar ‘Pangeran’ di masa awal

pemerintahannya. Hal tersebut dapat diketahui dari

cap/stempel surat Kerajaan Banten yang dikirim kepada Raja

Inggris di tahun 1629 M. Lebih jauh lagi, surat itu ditujukan

untuk memberi kabar kepada Raja Inggris bahwa Mataram

yang dipimpin oleh Sultan Agung1 sudah mengepung Batavia,

sehingga ia ingin meminta bantuan persenjataan dalam

mengantisipasi pasukan Mataram yang sudah berada di

halaman depan Banten. Namun, bantuan Inggris tak pernah

datang dan serangan Mataram pun tak pernah benar-benar

sampai ke Banten. Gelar ‘Pangeran Ratu Ing Banten’ juga

tertera pada sebuah koin yang diduga kuat berasal dari periode

pemerintahan Sultan Abul Mafakhir di Banten.

Perjalanan Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi

menemui titik krusialnya pada dekade 1630-an. Abul Mafakhir

secara aktif mulai membaca dan mendalami kitab-kitab yang

memuat doktrin insan kamil dan panduan menjadi raja yang

1 Perlu ditekankan di sini bahwa gelar ‘Sultan’ baru diperoleh dari

Mekkah dan digunakan sejak tahun 1641 M. Lihat M.C Ricklefs, Mystic

Synthesis in Java. 34.

Page 146: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

126

adil. Hal tersebut dapat terlihat ketika Abul Mafakhir sendiri

memerintahkan kepada punggawa Istana Surosowan untuk

menyalin kitab al-Insan al-Kamil. Tak sampai di situ, ia juga

mengirim utusan ke Mekkah di tahun 1630-an untuk bertanya

kepada Syarif Mekkah untuk menjadi raja yang adil. Sebagian

besar pertanyaan yang diajukan oleh Abul Mafakhir ternyata

didominasi oleh pertanyaan terkait ‘keadilan’ dan bagaimana

ia menjadi raja yang adil. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

oleh Abul Mafakhir dapat dilihat pada kitab al-Mawahib.

Menariknya, Abul Mafakhir sering kali mengutip keterangan

al-Ghazali yang ada di dalam kitab Nasihat al-Muluk. Hal

tersebut mencerminkan

Utusan Abul Mafakhir kemudian tiba di Banten tahun

1638 M dengan membawa berbagai hadiah, di antaranya; gelar

‘Sultan’, kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila

Jawiyyah, bendera Nabi Ibrahim, tapak kaki Nabi Muhammad

dan beberapa hadiah lainnya. Hadiah-hadiah tersebut

diperlakukan dengan istimewa dan dianggap dapat

menghadirkan berkah. Oleh sebab itu, perayaan diadakan untuk

menyambut hadiah-hadiah tersebut dan diadakan pawai

keliling kota untuk menyebarkan berkahnya ke penjuru kota

Banten. tak bisa dipungkiri bahwa pemberian yang didapatkan

dari Syarif Mekkah membawa berkah tersendiri bagi legitimasi

dan karisma Sultan Abul Mafakhir. Selain itu, keadaan

Page 147: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

127

ekonomi dan politik di Kesultanan Banten mulai membaik dan

stabil.

Akhir dekade 1630-an, penolakan terhadap kaum

wujudiyyah muncul di Aceh. Tokoh sentral dari keluarnya

penolakan ini adalah Nurudin ar-Raniry yang ketika itu

menjabat sebagai Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh. Karena

alasan yang belum diketahui pasti, Nurudin pulang ke kampung

halamannya di Ranir, India. Hal tersebut agaknya

menimbulkan rasa penasaran pada diri Sultan Abul Mafakhir

dan pada akhirnya mendorong dirinya untuk mengirim utusan

ke India pada dekade 1640-an. Utusan tersebut dikirim untuk

bertanya kepada Nurudin terkait penolakannya terhadap kaum

wujudiyyah. Pertanyaan tersebut dibalas Nurudin dengan

sebuah kitab berjudul Al-Lama’an fi takfir bi khalqi’l-Quran

(Cahaya terang pada mengkafirkan orang yang berkata Qur’an

itu Makhluk). Pengiriman utusan Banten ke Nurudin agaknya

perlu diletakkan pada upaya Sultan Abul Mafakhir

mengantisipasi penolakan serupa muncul di Banten dan lebih

jauh lagi guna menjaga stabilitas dan keamanan di Kesultanan

Banten.

Di tahun 1650, Mataram yang saat itu dipimpin oleh

Amangkurat I berupaya menaklukkan Banten. Ia pun meminta

Cirebon untuk membujuk Banten mengakui Mataram sebagai

pelindungnya. Pertama-tama, Cirebon mengirim beberapa

utusan secara berkala pada dekade 1640-an ke Banten. Upaya

Page 148: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

128

tersebut selalu menemui kegagalan dan penolakan. Akibat

penolakan tersebut, Cirebon merespons dengan mengirim

pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Panjangjiwa. Namun,

pasukan Cirebon berhasil dihalau oleh pasukan Banten. Dalam

naskah Sajarah Banten, peristiwa ini dikenal dengan istilah

peristiwa pagerage

Sultan Abul Mafakhir yang menolak tunduk kepada

Amangkurat I dan Mataram harus dilihat sebagai upaya

mempertahankan diri dan menjaga stabilitas negeri. Peristiwa

ini juga perlu dilihat sebagai kematangan Sultan Abul Mafakhir

sebagai Raja Sufi, karena ia berani menghadapi serangan

Mataram dengan kekuatan sendiri dan percaya kepada

kekuatan pasukan Banten.

B. Saran

Penelitian mengenai masa kepemimpinan Sultan Abul

Mafakhir Mahmud Abdul Kadir ini sejatinya masih memiliki

banyak kekurangan. Keterbatasan biaya dan waktu menjadi

alasan dari banyaknya kekurangan dalam penelitian ini.

Meskipun demikian, besar harapan penulis agar penelitian ini

dapat memberikan sudut pandang baru atas sejarah Kesultanan

Banten yang seolah terfokus pada Sultan Ageng Tirtayasa.

Lebih jauh lagi, penulis juga berharap agar kajian ini mampu

meningkatkan perhatian dan kepekaan para pembaca serta

Page 149: Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir

129

masyarakat luas terhadap Sultan Abul Mafakhir dan situs

Kenari beserta danau Tasikardi yang menjadi bagian tak

terpisahkan dari sejarah Kesultanan Banten. Akhir kata, penulis

juga ingin memberikan beberapa saran kepada para peneliti,

penggiat maupun para pemangku kebijakan, di antaranya:

1. Melakukan kajian yang lebih komprehensif lagi

mengenai Sultan Abul Mafakhir. Seperti kajian

arkeologis terhadap peninggalan yang ada di situs

Kenari maupun kajian mengenai pemikiran Sultan

Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dengan

menggunakan sumber-sumber, baik primer maupun

sekunder yang terkait dengan Sultan Abul Mafakhir

Mahmud Abdul Kadir.

2. Memberikan perhatian lebih, baik moril maupun

materiil yang lebih besar terhadap peninggalan-

peninggalan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul

Kadir, salah satunya adalah situs Kenari. Hal tersebut

sangatlah penting, agar nilai-nilai sejarah yang ada di

situs tersebut dapat terjaga dalam waktu yang lama.