Upload
muhamad-ghadafi
View
229
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Menjelaskan tentang peranan Radiokimia untuk kesehatan yang bersasarkan Jurnal pelabelan Chitosan dengan Ho-166
Citation preview
RADIOAKTIF UNTUK KESEHATAN BESERTA PEMBAHASAN JURNAL PENANDAAN CHITOSAN DENGAN RADIONUKLIDA HOLMIUM-166
(Tugas Makalah Matakuliah Kimia Inti dan Radiokimia)
Disusun Oleh
Intan Ayu A (113234008) Muhamad Ghadafi (113234019) Ananda Brian K (113234203)
JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA SURABAYA
2013
2
KATA PENGANTAR
Radioaktif adalah sejenis zat yang berada di permukaan atau di dalam benda padat, cair atau gas
yang mana kehadirannya dapat berbahaya bagi tubuh manusia. Radioaktif berasal dari
radionuklida (radioisotop) sebuah inti tak stabil akibat energi yang berlebihan.Tetapi radioaktif
juga dapat bermanfaat di bidang kesehatan.
Makalah yang berjudul RADIOAKTIF UNTUK KESEHATAN PENANDAAN CHITOSAN
DENGAN RADIONUKLIDA HOLMIUM-166 ini dibuat sebagai salah satu syarat bagi
penulis untuk memenuhi matakuliah terkait, Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Negeri
Surabaya.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat memberi sumbangan terhadap perkembangan
Dunia kesehatan, khususnya pengetahuan tentang radioaktif untuk kesehatan di tanah air yang
masih sangat langka. Kritik dan saran guna perbaikan makalah ini penulis akan sangat harapkan
dan hargai.
Surabaya, November 2013,
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .........................................................................................
KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 4
B. Tujuan Makalah .......................................................................................... 5
II.ISI
A. Satuan Radiasi ............................................................................................ 6
B. Radioaktifitas yang Direkomendasikan ...................................................... 7
C. Penggunaan Radioisotop ............................................................................. 7
D. Kedokteran Nuklir ....................................................................................... 9
E. Penandaan Chitosan Dengan Radionuklida Holmium-166 ......................... 13
F. Dampak Radioaktif ...................................................................................... 25
III.KESIMPULAN
A. Kesimpulan ................................................................................................. 26
B. Saran ........................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
4
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tahukah anda bahwa di sekitar kita ternyata banyak sekali terdapat radiasi. Disadari ataupun
tanpa disadari ternyata disekitar kita baik dirumah, di kantor, dipasar, dilapangan, maupun
ditempat-tempat umum lainnya ternyata banyak sekali radiasi. Yang perlu diketahui selanjutnya
adalah sejauh mana radiasi tersebut dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan kita.
Namun terdapat pula manfaat dari radiasi khususnya dalam dunia kesehatan khususnya
kedokteran. Akhir-akhir ini, kegiatan kedokteran nuklir di Indonesia berkembang dengan pesat
dan telah mampu memanfaatkan radiofarmaka untuk tujuan pengobatan/terapi [1]. Radionuklida
yang cocok untuk tujuan terapi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : pemancar partikel beta (-
emitter), pemancar partikel alfa (-emitter), pemancar elektron Auger dan elektron Coster-
Kronig.
Sampai saat ini, yang terbanyak digunakan adalah radionuklida pemancar karena
partikel ini mempunyai nilai LET (Linear Energy Transfer) yang rendah dan RBE (Relative
Biological Effectiveness) tunggal [1,5]. Selain itu jarak tembus (path length) partikel ini sangat
bervariasi, berkisar dari 1,0 mm untuk partikel dari 169
Er (erbium-169) sampai 12,0 mm untuk
90
Y (ytrium-90).
Radiofarmaka telah digunakan secara klinis dalam terapi bermacam-macam keadaan
malignan dan benign. Di antara bervariasinya penggunaan radionuklida untuk terapi, yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah untuk terapi intracavitary dan terapi regional pada tumor hati.
Pemberian radiofarmaka secara langsung pada intracavity (rongga) di dalam tubuh secara direct
intracavitary administration artinya memberikan radiofarmaka dengan konsentrasi yang tinggi
pada tumor yang tersebar sekitar mukosa yang membatasi rongga (serosal linings of cavities) dan
sel-sel tumor (malignant effusion), dan biasanya terjadi kebocoran radionuklida dari cavity
(rongga) tersebut.
5
Beberapa radiofarmaka yang sudah diaplikasikan secara klinis untuk pengobatan,
diantaranya 131
I-MIBG untuk tumor endokrin, 89
Sr-klorida, 153
Sm-EDTMP dan 186
Re-MDP untuk
terapi paliatif metastase tumor tulang. Selain itu untuk pengobatan tumor hati dan peradangan
sendi digunakan radiofarmaka yang berbentuk partikel yaitu 90
Y-resin mikrosfer, 90
Y-gelas
mikrosfer dan 90
Y-lipiodol, sedangkan untuk pengobatan intracavitary umumnya digunakan
radiofarmaka dalam bentuk partikel mikroagregat terdegradasi misalnya 165
Dy-makroagregat feri
hidroksida (165
Dy-FHMA), 165
Dy-makroagregat hidroksida (165
Dy-HMA) dan 153
Sm-partikulat
hidroksi apatit (153
Sm-PHYP).
Chitosan adalah polimer alam yang banyak terkandung dalam kulit udang dan kepiting.
Senyawa chitosan bila ditandai dengan radionuklida holmium-166 (166
Ho) akan membentuk
senyawa kompleks 166
Ho-chitosan yang dapat digunakan sebagai radiofarmaka untuk terapi
intracavitary, kanker/tumor hati serta penyakit radang sendi. Senyawa kompleks 166
Ho-chitosan
dibuat dengan jalan mereaksikan larutan chitosan suasana asam dengan 166
Ho(NO3)3
atau
166
HoCl3. Beberapa parameter yang mempengaruhi reaksi pembentukan kompleks ini, seperti
pH, jumlah chitosan, jumlah holmium, waktu dan kondisi inkubasi merupakan parameter yang
dipelajari dalam penelitian ini.
Dari penelitian ini diharapkan diperoleh kondisi optimal dalam membuat senyawa
kompleks 166
Ho-chitosan yang dapat digunakan untuk terapi intracavitary, tumor/kanker hati dan
peradangan sendi [3,4].
B. Tujuan Pembuatan Makalah
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dampak radiasi (efek samping radiasi) bagi kesehatan manusia
2. Untuk mengetahui penggunaan radiasi secara umum dan secara khusus dari Holium-166
dalam dunia kesehatan
6
BAB II. ISI
Zat-zat radioaktif adalah suatu zat yang aktif memancarkan radiasi baik berupa partikel
maupun berupa gekombang elektromagnetik.
A. Satuan Radiasi
Berbagai satuan digunakan untuk menyatakan intensitas atau jumlah radiasi bergantung
pada jenis yang diukur.
1. Curie(Ci) dan Becquerrel (Bq)
Curie dan Bequerrel adalah satuan yang dinyatakan untuk menyatakan keaktifan yakni jumlah
disintegrasi (peluruhan) dalam satuan waktu. Dalam sistem satuan SI, keaktifan dinyatakan
dalam Bq. Satu Bq sama dengan satu disintegrasi per sekon.
1Bq = 1 dps
dps = disintegrasi per sekon
Satuan lain yang juga biasa digunakan ialah Curie. Satu Ci ialah keaktifan yang setara dari 1
gram garam radium, yaitu 3,7.1010 dps.
1Ci = 3,7.1010 dps = 3,7.1010 Bq
2. Gray (gy) dan Rad (Rd)
Gray dan Rad adalah satuan yang digunakan untuk menyatakan keaktifan yakni jumlah
(dosis) radiasi yang diserap oleh suatu materi. Rad adalah singkatan dari 11 radiation absorbed
dose. Dalam sistem satuan SI, dosis dinyatakan dengan Gray (Gy). Satu Gray adalah absorbsi
1 joule per kilogram materi.
1 Gy = 1 J/kg
Satu rad adalah absorbsi 10-3 joule energi/gram jaringan.
1 Rd = 10-3 J/g
Hubungan grey dengan fad
1 Gy = 100 rd
3. Rem
Daya perusak dari sinar-sinar radioaktif tidak saja bergantung pada dosis tetapi juga pada jenis
radiasi itu sendiri. Neutron, sebagai contoh, lebih berbahaya daripada sinar beta dengan dosis
7
dan intensitas yang sama. Rem adalah satuan dosis setelah memperhitungkan pengaruh radiasi
pada mahluk hidup (rem adalah singkatan dari radiation equiwlen for man).
B. Radioaktifitas yang Direkomendasikan
Berdasarkan ketentuan International Atomic Energy Agency, zat radioaktif adalah setiap
zat yang memancarkan radiasi pengion dengan aktifitas jenis lebih besar dari 70 kilo Becquerel
per kilogram atau 2 nanocurie per gram. Angka 70 kBq/kg atau 2 nCi/g tersebut merupakan
patokan dasar untuk suatu zat dapat disebut zat radioaktif pada umumnya. Jadi untuk radioaktif
dengan aktifitas lebih kecil dapat dianggap sebagai radiasi latar belakang.
Besarnya dosis radiasi yang diterima oleh pekerja radiasi tidak boleh melebihi 50
milisievert per tahun, sedangkan besarnya dosis radiasi yang diterima oleh masyarakat pada
umumnya tidak boleh lebih dari 5 milisievert per tahun.Di koran-koran dan televisi, kita sering
melihat artikel-artikel atau tayangan yang berkaitan dengan nuklir, apakah itu mengenai rencana
pembangunan PLTN di Muria atau mengenai kebocoran air radioaktif dari PLTN Jepang setelah
diguncang gempa. Sering diberitakan pula mengenai kecelakaan reaktor Chernobyl di Uni
Sovyet yang menyebabkan kerusakan lingkungan, dan menyebabkan penyebaran zat radioaktif
kemana mana. Juga bahaya-bahaya yang ditimbulkannya.
Apabila kita mendengar kata radiasi nuklir atau unsur-unsur radioaktif pada tayangan
tersebut, yang terbayang dalam benak kita adalah ledakan bom atom, orang yang terkena kanker
dan bayangan-bayangan mengerikan lainnya. Padahal, kalau kita membaca buku fisika atau
kimia mengenai radiasi nuklir dan partikel radioaktif (radionuklida), kita akan tahu bahwa
sebenarnya yang kita makan, kita hirup dan kita serap sehari-hari juga mengandung hal-hal itu.
Jadi radiasi nuklir atau partikel radioaktif bukanlah semata-mata sesuatu yang terpendam di bumi
dan diambil orang untuk membuat bom atom atau untuk mencemari lingkungan dengan air
radioaktif, seperti yang banyak dipropagandakan.
C. Penggunaan Radioisotop
Radioaktif Sebagai Perunut.
Sebagai perunut, radoisotop ditambahkan ke dalam suatu sistem untuk mempelajari sistem itu,
baik sistern fisika, kimia maupun sistem biologi. Oleh karena radioisotop mempunyai sifat kimia
8
yang sama seperti isotop stabilnya, maka radioisotop dapat digunakan untuk menandai suatu
senyawa sehingga perpindahan perubahan senyawa itu dapat dipantau.
Bidang kedokteran
Abad 20 ditandai dengan perkembangan yang menakjubkan di bidang ilmu dan teknologi,
termasuk disiplin ilmu dan teknologi kedokteran serta kesehatan. Terobosan penting dalam
bidang ilmu dan teknologi ini memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam diagnosis
dan terapi berbagai penyakit termasuk penyakit penyakit yang menjadi lebih penting secara
epidemilogis sebagai konsekuensi logis dari pembangunan di segala bidang yang telah
meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Penggunaan isotop radioaktif dalam kedokteran telah dimulai pada tahun 1901 oleh Henri
DANLOS yang menggunakan radium untuk pengobatan penyakit tuberculosis pada kulit.
Namun yang dianggap Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C. De HEVESSY, dialah
yang meletakan dasra prinsip perunut dengan menggunakan zat radioaktif. Waktu itu dia
menggunakan rasioisotop alam Pb-212. Dengan ditemukannya radioisotop buatan maka
radioisotop alam tidak lagi digunakan.
Gambar C.1 Sidik otak menggunakan 25 miliCurie99mTc-DTPA
Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan kedokteran
nuklir adalah I-131. Akan tetapi pemakaiannya kini telah terdesak oleh Tc 99m selain karena
sifatnya yang ideal dari segi proteksi dan pembentukan citra juga dapat diperoleh dengan mudah
serta relatif murah harganya. Namun demikian I-131 masih sangat diperlukan untuk diagnostik
dan terapi, khususnya kanker kelenjar tiroid.
9
Perkembangan ilmu kedokteran nuklir yang sangat pesat tersebut dimungkinkan berkat
dukungan dari perkembangan teknologi instrumentasi untuk pembuatan citra terutama dengan
digunakannya komputer untuk pengolahan data sehingga system instrumentasi yang dahulu
hanya menggunakan detektor radiasi biasa dengan system elektronik yang sederhana, kini telah
berkembang menjadi peralatan canggih kamera gamma dan kamera positron yang dapat
menampilkan citra alat tubuh, baik dua dimensi maupun tiga dimensi serta statik maupun
dinamik.
Dewasa ini, aplikasi tenaga nuklir dalam bidang kesehatan telah memberikan sumbangan
yang sangat berharga dalam menegakkan diagnosis maupun terapi berbagai jenis penyakit.
Berbagai disiplin ilmu kedokteran seperti ilmu penyakit dalam, ilmu penyakit syaraf, ilmu
penyakit jantung, dan sebagainya telah mengambil manfaat dari teknik nuklir ini.
D. Kedokteran Nuklir
Ilmu kedokteran nulkir adalah cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber
radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan, untuk mempelajari perubahan
fisiologi, anatomi dan biokimia, sehingga dapat digunakan untuk tujan diagnostik, terapi dan
penelitian kedokteran.
Pada kedokteran nuklir, radioisitop dapat dimasukkan ke dalam tubuh pasien (study in-
vivo) maupun hanya direaksikan saja dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung,
urine dan sebagainya, yang diambil dari tubuh pasien yang lebih dikenal sebagai study in-vitro
(dalam gelas percobaan).
10
Gambar D.1 Pasien Kanker Usus Besar
Pada study in-vivo, setelah radioisotop dapat dimasukkan ke dalam tubuh pasien melalui
mulut atau suntikan atau dihirup lewat hidung dan sebagainya maka informasi yang dapat
diperoleh dari pasien dapat berupa :
1. Citra atau gambar dari organ atau bagian tubuh pasien yang dapat diperoleh dengan
bantuan peralatan yang disebut kamera gamma ataupun kamera positron (teknik
imaging).
2. Kurva-kurva kinetika radioisotop dalam organ atau bagian tubuh tertentu dan angka-
angka yang menggambarkan akumulasi radioisotop dalam organ atau bagian tubuh
tertentu disamping citra atau gambar yang diperoleh dengan kamera positron.
3. Radioaktivitas yang terdapat dalam contoh bahan biologis (darah, urine,dsb) yang
diambil dari tubuh pasien, dicacah dengan instrumen yang dirangkaikan pada detector
radiasi (teknik non-imaging).
Data yang diperoleh baik dengan teknik imaging maupun non-imaging memberikan
informasi mengenai fungsi organ yang diperiksa. Pencitraan (imaging) pada kedokteran nuklir
dalam beberap hasl berbeda dengan pencitran dalam radiologi. (tabel 1)
TABEL 1 : Perbandingan Pencitraan pada Kedokteran Nuklir dengan Pencitraan pada
Radiologi
11
KEDOKTERAN
NUKLIR
RADIOLOGI
Sumber Radiasi Zat radioaktif yang
terbuka
Pesawat pembangkit
radiasi
Pembentukan Citra Emisi radiasi, perbedaan
akumulasi radioisotope
dalam berbagai bagian
tubuh
Transmisi radiasi;
perbedaan daya tembus
radiasi terhadap berbagai
bagian tubuh
Informasi yang diberikan Terutama fungsional Terutama anatomis -
morfologis
Pada studi in-vitro, dari tubuh pasien diambil sejumlah tertentu bahan biologis misalnya 1
ml darah. Cuplikan bahan biologis tersebut kemudian direaksikan dengan suatu zat yang telah
ditandai dengan radioisotop. Pemeriksaannya dilakukan dengan bantuan detektor radiasi gamma
yang dirangkai dengan suatu sisteminstrumentasi. Studi semacam ini biasanya dilakukan untuk
mengetahui kandungan hormon hormon tertentu dalam darah pasien seperti insulin, tiroksin
dan lain-lain.
Pemeriksaan kedokteran nuklir banyak membantu dalam menunjang diagnosis berbagai
penyakit seperti penyakt jantung koroner, penyakit kelenjar gondok, gangguan fungsi ginjal,
menentukan tahapan penyakit kanker dengan mendeteksi penyebarannya pada tulang,
mendeteksi pendarahan pada saluran pencernaan makanan dan menentukan lokasinya, serta
masih banyak lagi yang dapat diperoleh dari diagnosis dengan penerapan teknologi nuklir yang
pada saat ini sangat berkembang pesat.
Di samping membantu penetapan diagnosis, kedokteran nuklir juga berperanan dalam
terapi penyakit penyakit tertentu, misalnya kanker kelenjar gondok, hiperfungsi kelenjar
gondok yang membandel terhadap pemberian obat obatan non radiasi, keganasan sel darah
merah, inflamasi (peradangan) sendi yang sulit dikendalikan dengan menggunakan terapi obat-
obatan biasa. Bila untuk keperluan diagnosis, radioisotope diberikan dalam dosis yang sangat
kecil, maka dalm terapi radioisotop sengaja diberikan dalam dosis yang besar terutama dalam
pengobatan terhadap jaringan kanker dengan tujuan untuk melenyapkan sel-sel yang menyusun
jaringan kanker itu.
12
Gambar D.2 Pasien Kelenjar Gondok Didiagnosa
Di Indonesia, kedokteran nuklir diperkenalkan pada akhir 1960-an, yaitu setelah reaktor
atom Indonesia yang pertama kali mulai dioperasikan di Bandung. Beberapa tenaga ahli
Indonesia dibantu oleh tenaga ahli dari luar negeri merintis pendirian suatu unit kedokteran
nuklir di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Nuklir di Bandung. Unit ini merupakan
cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir RSU Hasan Sadikin, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran. Menyusul kemudian unit-unit berikutnya di Jakarta (RSCM, RS Pusat Pertamina, RS
Gatot Subroto) dan di Surabaya (RS Soetomo). Pada tahun1980-an didirikan unit-unit
kedokteran nuklir berikutnya di RS Sardjito (Yogyakarta), RS Kariadi (Semarang), RS jantung
Harapan Kita (Jakarta) dan RS Fatmawati (Jakarta). Dewasa ini di Indonesia terdapat 15 rumah
sakit yang melakukan pelayanan kedokteran nuklir dengan menggunakan kamera gamma,
disamping masih terdapat 2 buah rumah sakit lagi yang hanya mengoperasikan alat penatah
ginjal yang lebih dikenal dengan nama Renograf.
Berbagai jenis radio isotop digunakan sebagai perunut untuk mendeteksi (diagnosa)
berbagai jenis penyakit misal :teknesium (Tc-99), talium-201 (Ti-201), iodin 131(1-131),
natrium-24 (Na-24), ksenon-133 (xe-133) dan besi (Fe-59). Tc-99 yang disuntikkan ke dalam
pembuluh darah akan diserap terutama oleh jaringan yang rusak pada organ tertentu, seperti
13
jantung, hati dan paru-paru. Sebaliknya Ti-201 terutama akan diserap oleh jaringan yang sehat
pada organ jantung. Oleh karena itu, kedua isotop itu digunakan secara bersama-sama untuk
mendeteksi kerusakan jantung. 1-131 akan diserap oleh kelenjar gondok, hati dan bagian-bagian
tertentu dari otak. Oleh karena itu, 1-131 dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan pada
kelenjar gondok, hati dan untuk mendeteksi tumor otak. Larutan garam yang mengandung Na-24
disuntikkan ke dalam pembuluh darah untuk mendeteksi adanya gangguan peredaran darah
misalnya apakah ada penyumbatan dengan mendeteksi sinar gamma yang dipancarkan isotop
Natrium tsb. Xe-133 digunakan untuk mendeteksi penyakit paru-paru. P-32 untuk penyakit mata,
tumor dan hati. Fe-59 untuk mempelajari pembentukan sel darah merah. Kadang-kadang,
radioisotop yang digunakan untuk diagnosa, juga digunakan untuk terapi yaitu dengan dosis
yang lebih kuat misalnya, 1-131 juga digunakan untuk terapi kanker kelenjar tiroid.
E. Penandaan Chitosan Dengan Radionuklida Holmium-166
Cara Kerja Beserta Alat dan bahan :
Bahan :
- holmium oksida (Ho2O
3) buatan Aldrich
- chitosan buatan Sigma
- HCl
- asam asetat glacial
- metanol
- air steril
Alat :
- ITLC-SA (PALL)
- kertas pH-universal
- vial
- alat suntik disposable
- pipa kapiler.
- dose calibrator (Schlumberger)
- alat pemanas (Nuova II)
14
- alat pencacah saluran tunggal (Ortec)
- pengaduk vortex
- seperangkat alat kromatografi kertas
- fasilitas reaktor nuklir untuk iradiasi target holmium
15
Persiapan larutan radionuklida holmium-166
Penandaan chitosan dengan radionuklida holmium-166
50 mg Ho-
oksida
- Dimasukkan dalam ampul kuarsa
- Ditutup ampul dengan cara pemanasan
target
- Dikemas target dalam kontiner aluminium untuk radiasi
- Dimasukkan ke fasilitas iradiasi dalam reaktor nuklir
TRIGA- 2000 dengan fluks neutron 4,7 x 1013
n/cm-1
/det
holmium
radioaktif
(166
Ho)
- Dilarutkan dalam 1 tetes HCl 1N
- ditambah 1 mL HCl 0,002 N sampai larut sempurna
- Di tentukan pH dengan kertas pH universal
- Diukur radioaktivitas larutan menggunakan alat dose
calibrator
Hasil
35 mg chitosan
- Dilarutkan dalam 4 mL asam asetat glasial 1 %
- Dihangatkan
Campuran chitosan
dan asam asetat
glasial
- Didinginkan campuran tersebut
- Dimasukkan 0,13 mL larutan 166
HoCl3
- Diukur radioaktivitasnya dengan alat dose calibrator
- Diinkubasi pada suhu kamar
- Dikocok dengan pengaduk vortex selama 30 menit
Hasil penandaan
16
Penentuan efisiensi penandaan
35 mg chitosan
- Dilarutkan dalam 4 mL asam asetat glasial 1 %
- Ditambah 40 mg vitamin C
- Dihangatkan
Campuran chitosan+as.
Asetat glasial+vitamin C
- Didinginkan campuran tersebut
- Diukur pH dan diatur menjadi pH 3
- Dimasukkan 0,13 mL larutan 166
HoCl3
- Diukur radioaktivitasnya dengan alat dose calibrator
- Diinkubasi pada suhu kamar
- Dikocok dengan pengaduk vortex selama 30 menit
Hasil penandaan
Hasil penandaan
- Ditotolkan menggunakan pipa kapiler ke atas fase
diam ITLC-SA (1x10cm) pada titik nol
- Dikembangkan menggunakan kromatografi
dalam fase gerak campuran metanol:air:asam asetat
dengan perbandingan 49:49:2
- Dihentikan kromatografi saat fase gerak mencapai
titik akhir kromatogram
- Dikeringkan kromatogram
- Dipotong-potong setiap satu sentimeter
- Dicacah setiap potongan dengan pencacah saluran
tunggal pada jendela energi yang sesuai untuk holmium-
166
Hasil
17
Optimalisasi metode penandaan chitosan dengan radionuklida 166Ho
Optimalisasi waktu inkubasi
35 mg chitosan
- Dilarutkan dalam 4 mL asam asetat glasial 1 %
- dihangatkan
Campuran chitosan dan
asam asetat glasial
- Didinginkan campuran tersebut
- Dimasukkan 0,13 mL larutan 166
HoCl3
- Diukur radioaktivitasnya dengan alat dose calibrator
- Diinkubasi pada suhu kamar
- Dikocok dengan pengaduk vortex selama 30 menit
- Diambil cuplikan sediaan setiap 5, 10, 15, 20, 25, dan 30
menit
Hasil
Hasil penandaan
- Ditotolkan ke ITLC-SA
- Dilakukan kromatografi untuk menentukan besarnya
efisiensi penandaan
- Diulangi percobaan 3-5 kali
18
35 mg chitosan
- Dilarutkan dalam 4 mL asam asetat glasial 1 %
- Ditambahkan 40 mg vitamin C
- Dihangatkan
Campuran chitosan dan
asam asetat glasial+vit C
- Didinginkan campuran tersebut
- Diukur pH dan diatur menjadi pH 3
- Dimasukkan 0,13 mL larutan 166
HoCl3
- Diukur radioaktivitasnya dengan alat dose calibrator
- Diinkubasi pada suhu kamar
- Dikocok dengan pengaduk vortex selama 30 menit
- Diambil cuplikan sediaan setiap 5, 10, 15, 20, 25, dan 30
menit
Hasil
Hasil penandaan
- Ditotolkan ke ITLC-SA
- Dilakukan kromatografi untuk menentukan besarnya
efisiensi penandaan
- Diulangi percobaan 3-5 kali dan dibandingkan hasilnya
19
Optimalisasi pH penandaan
Optimalisasi jumlah chitosan
Penandaan dilakukan dengan kondisi penandaan seperti percobaan sebelumnya tetapi
dengan jumlah chitosan yang bervariasi, yaitu 0; 25; 30; 35; 40; 45 dan 50 mg. Efisiensi
penandaan ditentukan dengan kromatografi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pemaparan Cara Kerja dapat dilakukan suatu pembahasan tentang
Radioisotop-166. Radioisotop-166 diperoleh dengan mengiradiasi target 165Ho dalam reaktor
nuklir melalui reaksi :
165Ho (n, ) 166Ho + 166Er
Perlu diketahui bahwa 166Ho mempunyai umur paruh 26,7 jam, dengan memancarkan
radiasi beserta energi E = 1,85 MeV (50%) dan 1,75 MeV (48,7%) yang paling cocok
untuk terapi paliatif (penghilang rasa sakit) pada tulang yang diakibatkan oleh metastase
40 mg chitosan
- Dilarutkan dalam 4 mL asam asetat glasial 1 %
- dihangatkan
Campuran chitosan dan
asam asetat glasial
- Didinginkan campuran tersebut
- Dimasukkan 0,1 mL larutan 166
HoCl3
- Diukur pH dan diatur menjadi pH 2,0; 2,5; 3,0; 3,5; 4,0;
4,5 dan 5,0
- Diukur radioaktivitasnya dengan alat dose calibrator
- Diinkubasi pada suhu kamar
- Dikocok dengan pengaduk vortex selama 30 menit
- Dilakukan kromatografi untuk menentukan besarnya
efisiensi penandaan
-
Hasil
20
kanker. Selain itu 166Ho juga memancarkan radiasi dengan energi E = 80,6 keV (6,7%).
Dalam penelitian yang dialkukan pada jurnal ini menggunakan Ho2O3 alam sebagai target
165Ho dikarenakan harganya yang murah. Pada diagram alur kerja Persiapan larutan
radionuklida holmium-166 dihasilkan 166HoCl3 yang lebih larut dari senyawa asalnya.
Larutan 166HoCl3 yang diperoleh merupakan radioisotop tidak bebas pengemban dengan
aktivitas jenis bervariasi, yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Perubahan hasil iradiasi kemungkinan disebabkan oleh kinerja reaktor yang menurun,
akibatnya fluks neitron dalam reaktor menjadi menurun.
Larutan radionuklida 166HoCl3 yang terbentuk sebelum digunakan untuk menandai
chitosan harus diketahui karakteristiknya, seperti aktivitas jenis, konsentrasi radioaktif, pH
dan kemurnian radiokimianya. Berdasarkan proses pembuatan sediaan 166HoCl3 maka
pengotor radiokimia yang mungkin ada dalam sediaan adalah 166Ho2O3. Penentuan besarnya
pengotor radiokimia dilakukan dengan memilih suatu sistem kromatografi yang dapat
memisahkan 166Ho2O3 dari 166HoCl3.
Kromatografi yang digunakan adalah Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan fase
diamnya adalah ITLC-SA (1x20 cm) dan fase geraknya adalah campuran metanol; air; asam
21
asetat (49: 49: 2). Penggunaan satu sistem kromatografi dapat mengetahui kemurnian
radiokimia larutan penandaan yang dicapai serta kemurnian dari senyawa bertanda 166Ho-
chitosan tersebut.
Sementara itu chitosan adalah deacetylated chitin atau poli-[1-4]--D-glucosamine
dan yang terdeasetilasi minimum sebanyak 85%. Chitin ini merupakan biopolimer berbentuk
padat amorf tidak larut dalam air, asam encer, basa encer dan pekat juga tidak larut dalam
pelarut organik. Oleh karena itu, dalam proses [enandaan senyawa tersebut dilarutkan dalam
asam asetat 1% dan pH diatur maksimum 3,0.
Proses penandaan chitosan dengan radionuklida 166Ho melalui reaksi sebagai berikut :
166HoCl3 + chitosan 166Ho-chito + 166HoCl3 bebas
Penandaan yang dilakukan dalam berbagai variasi waktu inkubasi, menghasulkan
waktu inkubasi yang optimal pada temperatur kamar. Waktu inkubasi 10 menit memberikan
hasil penandaan 80%, kemudian setelah 30 menit efisiensi penandaan menjadi lebih tinggi
yaitu diatas 90%, seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 3 menunjukkan, bahwa penambahan vitamin C pada proses penandaan
ternyata tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap keberhasilan penandaan setelah
waktu inkubasi 20 menit.
22
Vitamin C dapat mempertahankan kestabilan sediaan 166HoCl3, karena terjadinya oksidasi
oleh oksigen udara diperlambat karena vitamin C bertindak sebagai redoktor (antioksidan).
Mekanisme Kerja Vitamin C sebagai antioksidan
Struktur Asam Askorbat
Vitamin C adalah nutrien dan vitamin yang larut dalam air dan penting untuk
kehidupan serta untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari
bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin C dikenal sebagai antioksidan terlarut air
23
paling dikenal, vitamin C juga secara efektif memungut formasi ROS dan radikal bebas (Frei
1994).
Sebagai antioksidan, vitmin C bekerja sebagai donor electron, dengan cara
memindahkan satu electron ke senyawa logam Cu. Selain itu, vitamin C juga dapat
menyumbangkan electron ke dalam reaksi biokimia intraseluler dan ekstraseluler. Vitamin C
mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif di dalam sel netrofil, monosit, protein lensa,
dan retina. Vitamin ini juga dapat bereaksi dengan Fe-ferritin. Diluar sel, vitamin C mampu
menghilangkan senyawa oksigen reaktif, mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer
electron ke dalam tokoferol teroksidasi dan mengabsorpsi logam dalam saluran pencernaan
(Levine, et al., 1995).
Askorbat dapat langsung menangkap radikal bebas oksigen, baik dengan atau tanpa
katalisator enzim. Secara tidak langsung, askorbat dapat meredam aktivitas dengan cara
mengubah tokoferol menjadi bentuk tereduksi. Reaksinya ternadap senyawa oksigen reaktif
lebih cepat dibandingkan dengan komponen lainnya. Askorbat juga melindungi
makromolekuk penting dari oksidatif. Reaksi terhadap radikal hidroksil terbatas hanya
melalui proses difusi
Vitamin C bekerja secara sinergis dengan vitamin E. Vitamin E yang teroksidasi
radikal bebas dapat beraksi dengan vitamin C kemidian akan berubah menjadi tokoferol
setelah mendapat ion hidrogen dari vitamin C (Belleville-Nabeet,1996)
Sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin C dapat langsung bereaksi dengan anion
superoksida, radikal hidroksil, oksigen singlet dan lipid peroksida. Sebagai reduktor asam
askorbat akan mendonorkan satu elektron membentuk semidehidroaskorbat yang tidak
bersifat reaktif dan selanjutnya mengalami reaksi disproporsionasi membentuk
dehidroaskorbat yang bersifat tidak stabil. Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk
asam oksalat dan asam treonat. Oleh karena kemampuan vitamin C sebagai penghambat
radikal bebas, maka peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran sel
(Suhartono et al. 2007).
Reaksi askorbat dengan superoksida secara fisologis mirip dengan kerja enzim SOD
sebagai berikut.
2O2 + 2H+ +Askorbat 2H2O2 + Dehiroaskorbat
Reaksi dengan hidrogen peroksida dikatalisis oleh enzim askorbat peroksidase
(Asada, 1992)
H2O2 + 2 Askorbat 2H20 + 2 Monodehidroaskorbat
24
Askorbat ditemukan dalam kloroplas, sitosol, vakuola, dan kompartemen
ekstraseluler. Kloroplas mengandung semua enzim yang berfungsi untuk meregenerasi
askorbat tereduksi dan produk-produk terioksidasi. Hidrogen peroksida juga dihancurkan
dalam kloroplas melalui reaksi redoks askorbat dan pemanfaatan kembali glutation.
Superoksida diubah menjadi hidrogen peroksida secara spontan melalui reaksi dismutasi atau
oleh enzim SOD. Hidrogen peroksida ditangkap oleh askorbat dan enzim askorbat
peroksidase (Asada, 1992). Dalam hal ini monodehiroaskorbat memiliki 2 jalur regenerasi.
Salah satunya melalui monodehidrosiaskorbat reduktase, yang lainnya melalui
dehidroaskorbat reduktase dan glutation, sementara yang berperan sebagai donor elektron
adalah NADPH. Jalur ini juga memberikan 2 manfaat, yaitu detoksifikasi hidrogen peroksida
yang didiga berperan dalam reaksi Feton dan oksidasi NADPH. (Sumber : Hariyatmi. 2004.
Kemampuan vitamin C sebagai antioksidan Terhadap radikal bebas pada lanjut usia.
Jurnal MIPA vol 14 No.1.Surakarta. UMS)
Reaksi penandaan 166Ho-chitosan ternyata sangat dipengaruhi oleh pH, seperti terlihat
pada Gambar 4. Pada pH 2-2,5 efisiensi penandaan lebih besar dari 90%. Dan yang lainyya
terlihat pada gambar diagram 4.
Keberhasilan penandaan dipengaruhi pula oleh jumlah chitosan yang bereaksi.
Terlihat pada Gambar 5 bahwa efisiensi penandaan tertinggi diperoleh pada jumlah chitosan
sebanyak 40 mg dengan menghasilkan efisiensi penandaan diatas 90%. Dapat diliahat pada
gambar 5.
25
F. Dampak Radioaktif
Pengertian atau arti definisi pencemaran radioaktif adalah suatu pencemaran lingkungan yang
disebabkan oleh debu radioaktif akibat terjadinya ledakan reaktor-reaktor atom serta bom
atom. Yang paling berbahaya dari pencemaran radioaktif seperti nuklir adalah radiasi sinar
alpha, beta dan gamma yang sangat membahayakan makhluk hidup di sekitarnya. Selain itu
partikel-partikel neutron yang dihasilkan juga berbahaya. Zat radioaktif pencemar lingkungan
yang biasa ditemukan adalah 90SR merupakan karsinogen tulang dan 131J. Apabila ada
makhluk hidup yang terkena radiasi atom nuklir yang berbahaya biasanya akan terjadi mutasi
gen karena terjadi perubahan struktur zat serta pola reaksi kimia yang merusak sel-sel tubuh
makhluk hidup baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan atau binatang. Efek serta Akibat yang
ditimbulkan oleh radiasi zat radioaktif pada umat manusia seperti berikut di bawah ini :
Pusing-pusing
Nafsu makan berkurang atau hilang
Terjadi diare
Badan panas atau demam
Berat badan turun
Kanker darah atau leukemia
Meningkatnya denyut jantung atau nadi
Daya tahan tubuh berkurang sehingga mudah terserang penyakit akibat sel darah
putih yang jumlahnya berkurang
26
BAB III. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari paparan diatas yaitu :
1. Zat radioaktif dan radioisotop berperan besar dalam ilmu kedokteran yaitu untuk
mendeteksi berbagai penyakit, diagnosa penyakit yang penting antara lain tumor
ganas. Kemajuan teknologi dengan ditemukannya zat radioaktif dan radioisotop
memudahkan aktifitas manusia dalam berbagai bidang kehidupan.
2. Metode penandaan yang dilakukan memberikan hasil senyawa bertanda 166Ho-
chitosan dengan kemurnian radiokimia > 90%. Hasil tersebut diperoleh pada kondisi
penandaan optimal yaitu pada pH 2-2,5, jumlah chitosan 40 mg dan waktu inkubasi
selama minimal 30 menit pada temperatur kamar, menggunakan larutan radioisotop
tidak bebas pengemban 166HoCl3 dengan konsentrasi total Holium 5 mg/0,1 mL.
Penambahan Vitamin C tidak mempengaruhi efisiensi penandaan, tetapi dapat
mempertahankan kestabilan sediaan dari pengaruh oksidasi udara.
3. Efek serta Akibat yang ditimbulkan oleh radiasi zat radioaktif pada umat manusia
seperti berikut di bawah ini :
Pusing-pusing
Nafsu makan berkurang atau hilang
Terjadi diare
Badan panas atau demam
Berat badan turun
Kanker darah atau leukemia
Meningkatnya denyut jantung atau nadi
Daya tahan tubuh berkurang sehingga mudah terserang penyakit akibat sel darah
putih yang jumlahnya berkurang
27
B. Saran
Adapun saran untuk menjadikan yang lebih baik adalah
1. Masalah zat radioaktif dan radioisotop hendaknya tidak ditafsirkan sebagai
satu fenomena yang menakutkan.
2. Penggunaan radioaktif dan radioisotop hendaknya dibarengi pengetahuan dan
teknologi yang tinggi.
3. Penerapan dalam diagnosa berbagai penyakit hendaknya memikirkan efek-efek yang
akan ditimbulkan.
4. Diharapkan penggunaan zat radioaktif dan radioisotop ini untuk kemakmuran dan
kesejahteraan umat manusia.
28
DAFTAR PUSTAKA
Hariyatmi. 2004. Kemampuan vitamin C sebagai antioksidan Terhadap radikal bebas pada lanjut usia. Jurnal MIPA vol 14 No.1.Surakarta. UMS Kartini, Nanny dan Zainuddin, Nurlaila. Penandaan Chitosan Dengan Radionuklida Holmium-166. PTNBR-BATAN. Bandung
www.radioaktif.com
www.wikipedia.co.id
www.limbahradioaktif.com
radioaktif/bahaya%20radioaktif.htm
www.pencemaranlimbah.com
www.departemenkesehatan.com