94
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh : FREDYASTUTI ANDRYANA K4407019 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

  • Upload
    lamkhue

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920

SKRIPSI

Oleh :

FREDYASTUTI ANDRYANA

K4407019

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 2: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920

Oleh :

FREDYASTUTI ANDRYANA

K4407019

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana

Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan

Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 3: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 4: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 5: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRAK

Fredyastuti Andryana. RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-

1920. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret. 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang

radikalisme Muslim di Surakarta tahun 1850-1920, (2) Bahwa ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di Surakarta, (3) Peran para pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah- langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan

historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu

analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1) Latar belakang

terjadinya radikalisme Muslim di Surakarta tahun 1850-1920, yaitu sebagai akibat adanya dominasi Barat beserta perubahan sosial dan ekonomi yang mengikutinya, serta reorganisasi Administrasi dan Agraria yang menciptakan kondisi-kondisi

yang cenderung bagi rakyat untuk mengadakan pergerakan sosial. Dominasi Barat memasuki kekuasaan politik kerajaan yang menimbulkan kemunduran kekuasaan

raja-raja Surakarta. Dengan adanya berbagai faktor yang ada, muncullah ketidakpuasan dari golongan besar masyarakat di abad XIX dan awal abad XX, maka banyak menimbulkan radikalisme masyarakat Muslim dengan ideologi

Islam sebagai pengobar semangat rakyat untuk melawan kolonialisme. (2) Ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di Surakarta, karena

agama secara garis besar berfungsi sebagai alat legitimasi. Setelah suatu otoritas dimiliki oleh sekelompok kaum elite, maka kemudian kaum elite ini menggunakan sistem simbol agama untuk mempertahankan kekuasaannya.

Gerakan sosial keagamaan menggunakan ideologi Islam sebagai faktor penggeraknya, dan sebagai aktivitas kolektif, gerakan tersebut memerlukan

ideologi Islam untuk pembenaran tujuannya yang akan memperkuat inspirasi dan motivasi kelompoknya dalam menghadapi kekuatan Belanda. Karena berbagai tekanan dari pemerintah kolonial, maka menciptakan ideologi Islam yang

memperkuat semangat perjuangan jihad melawan penjajah sebagai orang “kafir”, sehingga mendorong munculnya gerakan sosial keagamaan terhadap

pemerintahan kolonial. (3) Pemimpin Islam terdiri dari para ulama dan kaum intelektual dalam menghadapi hegemoni Belanda. Para ulama mempunyai peran yang dapat merangsang timbulnya gerakan-gerakan keagamaan, sehingga mudah

dalam membangkitkan loyalitas pengikutnya untuk memobilisasikan massa demi tujuan tertentu. Dengan adanya Politik Etis, maka semakin bertambahnya jumlah

kaum intelektual yang berpendidikan barat, yang kemudian memunculkan organisasi politik yang dipimpin kaum intelektual. Elite modern ini merupakan unsur kepemimpinan dari pergerakan nasional di awal abad XX, yang

menegakkan cita-cita nasionalisme, dengan Islam sebagai ajaran yang dianggap dasar, dan yang berperan dalam politik kebangsaan.

Page 6: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRACT

Fredyastuti Andryana. MUSLIM RADICALISM IN SURAKARTA 1850-

1920. Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas

Maret University Surakarta, March. 2011.

The objective of research is to know: (1) the background of Muslim radicalism in Surakarta 1850-1920, (2) the ideology is became promoter of

Islamic political in Surakarta, (3) the role of Islamic leaders in Muslim radicalism power in Surakarta 1850-1920.

This research uses historis method. The steps of historis method such as:

heuristics, critics, interpretation, and historiography. The source of data is primary and secondary sources. The technique of collecting data was library study. The

technique of analyzis data used was historical analysis. That gave priority to sharpness interpretation of the historical fact.

Based on the result of research, it can be concluded that: (1) the

background of Muslim radicalism in Surakarta 1850-1920 is namely as a result of western domination and its social and economic changes that followed, and the

reorganization of Administration and Agrarian which creates conditions that tend to the people for social movements. The western domination of political power to enter the kingdom which cause deterioration of power of the kings of Surakarta.

With a variety of factors that exist, came the dissatisfaction of a large class of rural society in the nineteenth century and early twentieth century, it causes a lot

of ideological radicalism of the Muslim community with Islam as spirit of the people to fight colonialism. (2) Islam ideology is became Islam political promoter in Surakarta because religion has important function as legitimitation device.

After the elite community has authority, they use religion symbol system to defend authority. The social religion community uses Islam ideology as activator

and collective activity, the action need Islam ideology for correction‟s purpose. It uses to give inspiration and motivation for their community in Dutch power. Because of many pressures from colonial government, Islam ideology is able to

give spirit for jihad‟s fight to face kafir, so that it causes social religion action to colonial government. (3) The leader Islam leader‟s consists of leaders and

intellectual community to face hegemony Dutch. The leader institution have influences lead to religion action. The leader institution have a role to stimulate the emergence of religious movements, making it easy by encouraging the loyalty

of his followers to mobilize them for a particular purpose. The Ethical Policy is increasingly growing number of western-educated intellectuals, who then bring

the political organization lead by the intelligentsia. This is an element of modern elite leadership of the national movement in the early twentieth century, who uphold the ideals of nationalism, with Islam as a doctrine which is considered

fundamental, and which play a role in national politics.

Page 7: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

MOTTO

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia

yang memberi kekuatan kepadaku.

(Filipi 4:13)

Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita

adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba

itulah kita menemukan dan belajar membangun

kesempatan untuk berhasil.

(Mario Teguh)

Kita mengalami kegagalan supaya kita belajar

bangkit.

(Penulis)

Page 8: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada :

Bapak dan Ibuku tercinta yang selalu memberikan

doa dan dukungannya kepadaku

Adikku Nia dan Dio, serta eyang putri terkasih

Saudara-saudariku KPA(Mz Qq, Nia, Uut, Nesia,

Mz Endra), yang selalu mendoakanku

Teman-teman Seperjuanganku Hiscom „07 (Wulan,

Lele, Puji, Joko, Margi) Prodi Pendidikan Sejarah

Angkatan 2007 dan teman-teman yang lain, yang

sudah berbagi banyak hal denganku

Teman-temanku DEBRAIN (Kak Dindin, Irul, Bety,

Andre, Nora, Eri), yang senantiasa menyemangatiku

dan menemaniku

Almamater

Page 9: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME, karena

atas berkat dan pertolongan-Nya, skripsi ini dapat penulis selesaikan untuk

memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan yang penulis temui dalam penyelesaian penulisan

skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-

kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk segala bentuk bantuannya, penulis

mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta, yang telah memberikan ijin penulisan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, yang telah menyetujui

permohonan penyusunan skripsi ini.

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang

telah memberikan pengarahan dan rekomendasi atas penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Hermanu Jubagyo, selaku pembimbing I yang telah memberikan masukan

dan pengarahan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

5. Drs. Saiful Bachri, M.Pd, selaku pembimbing II yang telah pula memberikan

masukan dan pengarahan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu

Pengetahuan Sosial yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama ini,

mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.

7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan pengarahan kepada penulis

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga semua mendapat

balasan dari Tuhan YME.

Penulis menyadari akan adanya kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh

karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.

Surakarta, 31 Maret 2011

Page 10: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................ i

HALAMAN PENGAJUAN .................................................................. ii

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................. iii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iv

ABSTRAK ......….. ............................................................................. v

ABSTRACT ............................................................................................ vi

HALAMAN MOTTO .......................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................... viii

KATA PENGANTAR .......................................................................... ix

DAFTAR ISI .............. ........................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................................. 7

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8

D. Manfaat Penelitian ............................................................... 8

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka ................................................................. 9

1. Gerakan Islam ................................................................. 9

2. Radikalisme .................................................................. 12

3. Marginalisasi Masyarakat Islam...................................... 16

4. Konflik ............................................................................ 21

B. Kerangka Berfikir ................................................................. 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 26

B. Metode Penelitian.................................................................. 26

C. Sumber Data ................................................................ ......... 28

D. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 30

E. Teknik Analisis Data ............................................................ 31

Page 11: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

F. Prosedur Penelitian ................................................................ 32

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Terjadinya Radikalisme Muslim di Surakarta

Tahun 1850-1920 ................................................................ 38

1. Perubahan Sosial Dan Ekonomi Di Surakarta................. 38

2. Penetrasi Politik, Ekonomi, dan Sosial Pemerintah

Hindia Belanda ............................................................... 42

3. Reorganisasi Administrasi Dan Agraria.......................... 51

B. Ideologi Islam Dijadikan Pendorong Gerakan Politik Islam

di Surakarta ........................................................................... 56

1. Gerakan Politik Islam Di Surakarta................................... 57

C. Peran Pemimpin Islam Dalam Gerakan Politik Islam........... 61

1. Peran Ulama Dalam Gerakan Sosial Keagamaan ........... 61

2. Peran Kaum Intelektual Dalam Gerakan Sosial

Keagamaan ................................................................... 66

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................ 73

B. Implikasi ................................................................................ 74

C. Saran ...................................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 78

LAMPIRAN .......................................................................................... 82

Page 12: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1. Peta Vorstenlanden .................................................................. 82

Lampiran 2. Rapport Omtrent het gebeurde te ”Srikaton” op den 11den

en 12den October 1888 ............................................................ 83

lampiran 3. Memori van Overgave, Opgemaakt door den Aftredenden

Residen van Surakarta ............................................................. 89

Lampiran 4. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ............................... 110

Lampiran 5. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan ................................................................................ 111

Page 13: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketidakpuasan masyarakat diutamakan pada pemikiran sektaris yang

sering mempunyai sifat mistik, atau dalam gerakan messianis atau millenaris,

yang bisa ditafsirkan sebagai suatu usaha untuk melarikan diri dari kenyataan

yang menekan. Namun, sebagai anggota dari gerakan-gerakan ini, para pengikut

umumnya tunduk tanpa syarat pada keinginan pemimpin-pemimpin spiritual dari

para pengikut tersebut.

Agama, dalam hal pergerakan-pergerakan messianis atau millenaris,

boleh dikatakan merupakan lambang dari protes sosial. Menurut Clifford Geertz

(1992:5), agama dipahami sebagai sebuah simbol yang berlaku untuk

memunculkan motivasi yang kuat dan realistis bagi para pengikutnya. Agama

dengan simbol-simbol yang dilahirkannya seringkali diambil oleh para pemegang

kekuasaan sebagai sumber legitimasi. Inilah yang mendorong elit penguasa untuk

mengambil berbagai simbol dalam agama, bukan untuk diimplementasikan da lam

kehidupannya bermasyarakat, melainkan untuk memberi legitimasi dalam

menjalankan dan melanggengkan kekuasaannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perlawanan yang dilakukan oleh para raja

Jawa merupakan gerakan yang utama dalam melawan pemerintah kolonial dengan

menggunakan para santri dan ulama sebagai kekuatan politik utama, dan aristokrat

yang disantrikan sebagai mediatornya. Sartono Kartodirdjo (1983:vii), membagi

aristokrat dalam dua orientasi politik yang berbeda, yakni aristokrat protagonis,

yaitu aristokrat yang memegang kepemimpinan serta melancarkan pembaharuan

dan mendukung pergerakan kebangsaan, dan aristokrat status quo, yaitu aristokrat

yang memandang setiap perubahan sebagai ancaman bagi mereka dan lebih

memihak pemerintah Belanda.

Anthony Giddens menjelaskan bahwa pelaku (the actor) direduksi menjadi

produk kekuatan-kekuatan sosial yang impersonal. Seorang pelaku memerankan

Page 14: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sebagai agen pembawa perubahan yang rela berkorban untuk masyarakat luas

(Daniel Ross, 2005: 192). Dalam gerakan Islam, yang menjadi aktor atau pelaku

adalah aristokrat protagonis dan para ulama, yang berjuang demi kepentingan

rakyat pribumi dalam menghadapi pemerintah kolonial.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, dengan

demikian memiliki ciri penting, yaitu santri, kyai, masjid, dan pondok. Hubungan

keempat unsur tersebut sangat erat, lebih- lebih hubungan antara kyai dan santri

yang menggambarkan hubungan “guru-murid”, sangat khas dalam dunia

kehidupan pesantren, yang juga mencakup komunitas orang Muslim atau kaum

Muslimin yang memiliki identitas, simbol, dan tradisi budaya sebagai sebuah

subkultur Islam di Jawa (Djoko Suryo, 2005: 1169). Dalam membangun sebuah

kekuatan seorang pemimpin, perlu dibangun jejaring dan komunikasi politik.

Pesantren digunakan sebagai wadah legitimasi politik para aristokrat Jawa, karena

dianggap memiliki basis massa yang cukup kuat. Pesantren dilihat sebagai

institusi pelindung, karena pesantren dapat mencetak intelektual Islam yang

dipandang mampu membangun dan memperkuat ajaran dan daya tahan Islam

dalam tekanan pemerintah Belanda.

Clifford Geertz memandang kehadiran Islam di Jawa telah menyebabkan

terbentuknya golongan sosio-kultural lainnya, yaitu abangan dan priyayi (Djoko

Suryo, 2005: 1167). Tradisi santri ditandai dengan wujud perilaku ketaatan para

pendukungnya dalam menjalankan ibadah agama Islam yang sesuai dengan ajaran

syariat agama, sementara tradisi abangan ditandai dengan orientasi kehidupan

sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu, dan tradisi priyayi

lebih ditandai dengan orientasi kehidupan yang berakar pada tradisi aristokrasi

Hindu-Jawa. Tradisi santri dan kepemimpinan kyai atau ulama merupakan unsur

kebudayaan Islam-Jawa yang memiliki pengaruh besar terhadap dinamika

kehidupan agama, sosial, dan politik dalam masyarakat Jawa. Kecenderungan ini

berlangsung secara berkelanjutan dari masa tradisional sampai dengan masa

kolonial dan masa Indonesia merdeka. Tidak lain, karena tradisi santri dan kyai,

bukan hanya menjadi segmen sosial-kultural, melainkan juga menjadi basis

kekuatan sosial dan politik (Djoko Suryo, 2005: 1167- 1168).

Page 15: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pada abad ke-19, yaitu setelah kerajaan-kerajaan Islam runtuh, tradisi

santri menjadi basis kekuatan sosial politik masyarakat pedesaan dalam melawan

kekuasaan kolonial Belanda. Santri memiliki peran dan kedudukan dalam proses

pembaharuan atau perubahan dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan,

kebudayaan, dan politik di masyarakat Jawa, dan kyai ditempatkan sebagai

pemegang peran sentral dalam proses perubahan dan pembaharuan. Dalam

gerakan sosial dan keagamaan pada masa kolonial menempatkan kepemimpinan

kyai dari tradisi pesantren sebagai pemegang peran dalam menggerakkan

pemberontakan dan protes-protes sosial rakyat pedesaan terhadap pemerintah

kolonial (Djoko Suryo, 2005: 1167).

Di Jawa, bangkitnya pemberontakan lokal secara periodik, di bawah

pimpinan seseorang yang fanatik yang memakai simbol keagamaan dengan

sebutan Ratu Adil dan yang menjadikan kekebalan pada pengikut-pengikutnya,

merupakan kesamaan umum dari gerakan millenaries, yang mengambil simbol

keagamaan untuk melegitimasi kekuatan pemimpin dan gerakannya (Taufik

Abdullah, 1974: 59 ).

Pergerakan rakyat itu lazimnya dianggap arkais sifatnya, oleh karena

organisasi, program, strategi, dan taktiknya yang masih terlalu sederhana apabila

dibandingkan dengan pergerakan sosial modern. Terbukti juga dari orientasi

tujuan yang kabur, partisipan yang tidak mempunyai gambaran bagaimana tata

masyarakat dan tata pemerintahan yang akan direalisasikan apabila perjuangannya

mencapai kemenangan. Oleh sebab itu, gerakan yang terjadi dengan mudah

ditindas oleh kekuatan militer kolonial. Pergerakan semacam itu pada umumnya

abortif atau sangat pendek umurnya (Sartono Kartodirdjo, 1975: 241).

Selama abad XIX, gerakan-gerakan bertambah kuat, mengikuti makin

dalamnya pengaruh Islam pada penduduk pedesaan Jawa. Gerakan Ratu Adil ini

pada umumnya, merupakan pernyataan ketidakpuasannya pada pemerintahan

kolonial Belanda. Sebagai gerakan rakyat yang merupakan penjelmaan dari suatu

protes sosial, mereka umumnya kurang emosional, karena mereka menganjurkan

suatu perubahan masyarakat dengan tiba-tiba secara tidak rasional dan ajaib.

Pergerakan yang arkais ini akan hilang dengan cepat karena tidak ada arah

Page 16: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

struktur yang baik. Protes sosial lahir bukan semata-mata karena spontanitas,

tetapi kemunculannya dibangun berdasarkan proses yang panjang.

Situasi keterpurukan pribumi dengan hadirnya sistem eksploitasi

kolonialisme nampak dengan dibukanya Surakarta menjadi salah satu sumber

kebutuhan pasar Eropa terhadap hasil-hasil perkebunan. Pada akhir kekuasaan

Hindia Belanda di Surakarta, terutama di kabupaten-kabupaten Sragen dan Klaten,

terdapat lebih dari seratus perusahaan perkebunan. Hasil ekploitasi itu berhasil

sukses menghantarkan keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan Eropa,

namun di satu sisi juga menjadi akar dari konflik antara penguasa kerajaan dan

penduduk pribumi di Surakarta.

Dengan kemunculan para pengusaha perkebunan Eropa maka terjadi

perubahan-perubahan mendasar pada hubungan-hubungan produksi terutama

menyangkut sistem tanah lungguh. Sistem tanah lungguh biasanya diberikan

kepada para pejabat-pejabat kerajaan atau pemerintahan dengan menghasilkan

kontribusi dalam bentuk pajak in natura dari kelompok-kelompok tani yang

menggarap lahan pertanian tersebut. Sedangkan proses pengumpulan hasil pajak

itu dilakukan oleh bekel yang mendapat hasil dalam bentuk komisi. Sistem tanah

lungguh yang semula menghasilkan pajak yang dibayarkan melalui pajak in

natura telah diganti dengan pajak dalam bentuk uang. Karena perubahan itu pula

maka hubungan sewa tanah langsung dilakukan antara pengusaha perkebunan dan

pihak pejabat kelurahan. Sistem ini juga membawa perubahan pada sistem kerja,

terhapuskannya sistem kerja rodi dan dimulainya sistem kontrak kerja dengan

buruh tani (www.pdfchaser.com/pdf/gerakan-sosial-keagamaan.html).

Sistem ini mendorong banyak munculnya petani-petani melarat yang

biasa disebut dengan ploletariat desa. Kondisi terpuruknya mayoritas rakyat

Surakarta tersebut banyak membawa konsekuensi pada memudar dan merosotnya

pamor kekuasaan kerajaan. Ditambah lagi konflik-konflik internal keraton yang

terus menerus membawa ketidakpercayaan rakyat terhadap kepemimpinan

keraton.

Kesenjangan struktur sosial masyarakat yang ada kerap kali melahirkan

berbagai ketegangan dalam masyarakat, ketegangan-ketegangan ini akan

Page 17: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

mempengaruhi derajat kepercayaan masyarakat terhadap suatu kondisi yang ada,

maka besar kemungkinan ideologi yang digunakan oleh masyarakat adalah

radikalisasi. Perkembangan radikalisasi dimotori oleh kaum tertindas.

Radikalisme kaum tertindas lahir dari akumulasi kebencian sosial dan rasa frustasi

terhadap kondisi yang ada.

Selama abad XIX-XX di Indonesia terus menerus terjadi pemberontakan,

kerusuhan, brandal, yang semuanya itu mengoncangkan masyarakat dan

pemerintah. Gerakan-gerakan tersebut hampir setiap tahun terjadi di daerah-

daerah pedesaan diwujudkan sebagai tindakan yang bersifat agresif dan radikal.

Radikalisme muncul karena berbagai faktor, salah satunya justru karena tidak

dijalankannya prinsip-prinsip pemerintahan dan politik yang demokratis. Gerakan

dan pemberontakan pada dasarnya adalah reaksi spontan terhadap perubahan

sosial yang cepat, yang menimbulkan frustasi dalam kehidupan masyarakat.

Muncul gerakan periferal dan semiperiferal, di mana gerakan periferal

merupakan perlawanan yang muncul di luar lingkungan keraton, gerakan-gerakan

ini bersifat lokal dan berlangsung singkat karena gerakan-gerakan itu muncul dari

protes-protes sosial-ekonomi yang konkret, sedangkan gerakan semiperiferal

adalah perlawanan yang berada di daerah-daerah perbatasan dan memiliki kaitan

dengan keraton. Gerakan-gerakan tersebut dipimpin orang yang kharismatis dan

memiliki pengikut-pengikut yang setia, dan menggunakan tulisan-tulisan yang

sifatnya menghasut untuk mengajak rakyat memberontak. Dalam gerakan

periferal, para pejabat lokal dan elit-elit agama memainkan peranan utama,

sedangkan para pemimpin gerakan semiperiferal yaitu para anggota elit istana

sendiri yang menjadi simbol-simbol perlawanan di pusat kerajaan (Houben,

2002:491).

Munculnya gerakan Islam dipandang berbahaya oleh pemerintah Belanda

dan harus dihadapi dengan kewaspadaan. Pemerintah Belanda yakin bahwa

gerakan Islam akan bisa dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai

basis kekuatan untuk memberontak. Oleh karena itu, pemerintah Belanda selalu

waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat membahayakan kekuasaannya

(Aqib Suminto, 1986: 64).

Page 18: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Terjadinya masalah wabah penyakit pes telah mempengaruhi polemik

politik di Surakarta, bahkan telah digunakan oleh para musuh keraton dalam

melakukan kritiknya terhadap pemerintah Belanda. Wabah pes baik di Surakarta

maupun di daerah lain sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Hindia

Belanda dalam penanganan pangan di Jawa. Untuk memberantas wabah tersebut,

pemerintah Belanda bekerja sama dengan raja-raja pribumi, dengan memperbaiki

rumah penduduk yang terkena wabah pes, yang ternyata menimbulkan rasa tidak

senang bagi penduduk. Gubernur Idenburg menentukan supaya seluruh Kota

Surakarta secara sistematis diperbaiki blok demi blok (Restu Gunawan, 2005:

987). Kebanyakan orang tidak bisa membiayai perbaikan rumah, sehingga

gubernemen memberi uang muka dalam bentuk bahan bangunan dan tenaga kerja,

dan masyarakat harus membayarkan kembali dalam angsuran bulan berikutnya

kepada raja-raja setempat, kemudian raja mengembalikan ke pemerintah Belanda.

Keraton dilihat oleh masyarakat sebagai tempat yang potensial untuk berlindung,

tetapi pada saat itu ternyata telah dimanfaatkankan oleh pemerintah Belanda untuk

menancapkan kekuasaannya di wilayah Vorstenlanden (Restu Gunawan, 2005:

986).

Gerakan perlawanan di abad ke-19, merupakan pendorong pergerakan

kebangsaan di abad ke-20. Kemudian, di abad ke-20 muncul tokoh-tokoh radikal

yang berjuang melawan tekanan pemerintah kolonial. Di garis depan perlawanan

terhadap pemerintah Belanda adalah dua anggota Insulinde cabang Solo, Haji

Miscbah, aktifis utama dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang umumnya dianggap

sebagai otak di balik gerakan yang sedang timbul di Surakarta (Restu Gunawan,

2005: 987). Cipto adalah orang pertama yang mengajukan kritik terhadap tindakan

gubernemen untuk memberantas wabah pes. Dalam pidatonya, Cipto mengecam

pemerintah dalam kebijakan pertaniannya dan kurangnya tinjauan masa depan dan

karena perasaan senang sendiri dalam mengurus pajak orang pribumi.

Perlawanan terhadap kolonialisme, dipimpin oleh orang-orang dari

golongan tertentu dalam masyarakat. Golongan agama yaitu para ulama, yang

memegang pimpinan ini bertindak sebagai penasihat, pemberi landasan keyakinan

untuk mempertebal semangat dan tekad berperang. Pengaruh pemimpin menjadi

Page 19: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

lebih kuat apabila di samping ia berasal dari golongan bangsawan, juga tergolong

orang yang saleh dan mahir dalam soal keagamaan. Dalam keadaan demikian

loyalitas pengikut pada pemimpin juga bertambah kuat (William H. Frederick dan

Soeri Soeroto, 1982: 218). Gerakan terjadi di Surakarta, karena Surakarta

merupakan tempat keraton-keraton Jawa, selain Yoyakara, dan dianggap sebagai

tempat pusatnya tradisi Jawa. Surakarta sebagai arena pusat pergerakan karena

semua kekuatan sosial bergabung dalam pergerakan atau bahkan anti pergerakan

(Takashi Shiraishi, 1997: 16). Gerakan-gerakan ini memiliki pengaruh lokal dan

berlangsung singkat karena gerakan-gerakan itu muncul dari protes-protes sosial-

ekonomi yang konkret.

Dominasi politik kolonial Barat yang menimbulkan perubahan sosial telah

menciptakan kondisi yang memungkinkan lahirnya pergolakan sosial. Perlawanan

terhadap penguasa asing dilancarkan, terutama dengan menggunakan istilah-

istilah keagamaan, yang didorong dengan bangkitnya semangat Islam di Jawa.

Tahun 1850 dipakai sebagai titik awal penelitian ini karena sekitar tahun tersebut

terdapat buku-buku dan selebaran-selebaran yang membangkitkan semangat pan-

Islam, yang mendorong terjadinya gerakan-gerakan melawan pemerintah kolonial.

Sedangkan tahun 1920 dijadikan batasan dari judul karena merupakan tahun

berakhirnya gerakan radikal sebagai reaksi yang kuat terhadap perubahan yang

dilakukan oleh pemerintah kolonial dan munculnya gerakan-gerakan yang

terorganisir melalui organisasi-organisasi yang berorientasi barat, sehingga dasar

motivasi gerakan telah berubah (Houben, 2002:486).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan kajian tentang

gerakan politik Islam di Surakarta. Kajian tentang gerakan politik Islam tersebut

di bawah judul “RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA TAHUN 1850-

1920”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang terjadinya radikalisme Muslim di Surakarta

tahun 1850-1920 ?

Page 20: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. Mengapa ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di

Surakarta ?

3. Bagaimanakah peran pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apa yang mendorong radikalisme Muslim di Surakarta

tahun 1850-1920

2. Untuk mengetahui bahwa ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan

politik Islam di Surakarta

3. Untuk mengetahui peran para pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam

D. Manfaat

Penelitian ini meskipun sederhana, diharapkan dapat memberikan manfaat,

baik secara pribadi maupun bagi masyarakat pada umumnya. Manfaat yang

diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a) Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi peneliti

b) Memberikan pengetahuan lebih luas Ilmu Pengetahuan Sosial dan Sejarah

Indonesia Madya bagi peneliti dan pembaca

2. Manfaat Praktis

a) Dapat menarik minat peneliti lain untuk ikut serta berpartisipasi dalam

mengkaji gerakan-gerakan Islam di Surakarta untuk mengetahui mana

yang benar dan yang belum terjangkau dalam penelitian ini

b) Dapat menambah koleksi penelitian di perpustakaan khususnya, mengenai

Radikalisme Muslim Di Surakarta Tahun 1850-1920

c) Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana pendidikan

pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan Jurusan IPS Program

Studi Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta

Page 21: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Gerakan Islam

Usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk mengubah

suatu kondisi tertentu tanpa disadari merupakan suatu rangkaian aktivitas yang

bisa disebut sebagai suatu gerakan. Suatu gerakan selalu mendapat citra yang

buruk atau negatif di bawah seorang penguasa yang lalim dan despostis. Menurut

Robert Hill, gerakan selalu berasosiasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan

untuk memberikan reaksi atau respon terhadap kondisi tertentu yang terjadi da lam

masyarakat. Respon atau reaksi yang dimaksud adalah respon oleh pihak-pihak

tertentu dalam masyarakat yang ingin mendorong suatu perubahan (Robert Hill,

1998: 1-3). Henry A. Landsberger (1981:24) mendefinisikan gerakan sebagai

suatu reaksi kolektif terhadap kedudukan yang rendah atau reaksi terhadap

keadaan tidak adil.

Terjadinya suatu gerakan dapat bermakna sebagai bentuk perlawanan

terhadap penguasa yang menindas. Gerakan merupakan suatu kumpulan dari

keinginan dan kepentingan untuk mengubah keadaan. Reaksi yang muncul pada

dasarnya menginginkan suatu perubahan pada keadaan yang baru yang lebih baik

dan lebih bermakna. Pada intinya, gerakan dapat dipahami sebagai usaha untuk

mengubah suatu kondisi pada kondisi yang baru. Dalam kerangka kehidupan

masyarakat, maka gerakan dapat diartikan berbagai upaya yang dimaksudkan

untuk mengubah tatanan yang tidak adil, menuju sebuah tatanan baru yang lebih

member jaminan pada realisasi keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan umat

manusia (Robert Hill, 1998:5).

Suatu kelompok yang simpati terhadap pandangan sosial atau doktrin

tertentu yang menampakkan dirinya dalam perdebatan politik dan siap berperan

dalam kegiatan seperti demonstrasi atau pemberontakan dan lain- lain termasuk ke

dalam suatu gerakan, sehingga gerakan seperti ini sering kali disamakan dengan

gerakan protes karena gerakan ini merupakan suatu tindakan protes dari

Page 22: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

masyarakat terhadap penguasa. Gerakan yang timbul berusaha untuk melepaskan

diri dari kekuasaan dan keadaan yang tidak menyenangkan dari penguasa terhadap

pihak yang tertindas menyebabkan munculnya gerakan atau perlawanan terbuka

(Peter Burke, 2003:132).

Eric Hoffer (1988:ix) menyatakan bahwa gerakan lebih banyak digerakkan

oleh kaum frustasi yang fanatik. Anggota gerakan diidentifikasikan sebagai orang

yang tidak puas dan kecewa, yaitu mereka yang tersingkir dalam masyarakat

sampai kelompok minoritas yang tertekan. Berhasil tidaknya suatu gerakan sangat

tergantung pada kualitas dari kekuatan yang menghendaki perubahan. Kekuatan

yang menghendaki perubahan pada gilirannya harus mampu mengatasi mereka

yang tidak menghendaki perubahan (Robert Hill, 1998:14). Hal ini sejalan dengan

pendapat Eric Hoffer (1988:3) bahwa tujuan utama gerakan adalah suatu

perubahan. Kekuatan gerakan yang paling utama berasal dari kecenderungan para

pengikutnya untuk melakukaan aksi bersama dan mengorbankan dirinya. Dalam

membentuk kekuatan ini, gerakan dipersatukan oleh kesamaan keyakinan,

fanatisme, doktrin, kepemimpinan, dan bahkan kekejamannya. Gerakan

mempunyai sifat sebagai berikut :

1) Arkais oleh karena orangnya, programnya, strategi dan taktiknya masih

sangat sederhana. Hal ini disebabkan gerakan tersebut tidak dapat

mengorganisasikan diri dengan baik dan tidak dapat merencanakan

program, strategi dan bentuknya.

2) Waktunya sangat pendek, hal ini sangat berhubungan dengan sifat yang

pertama yang menyebabkan gerakan ini mudah ditumpas oleh penguasa

yang ada

3) Scope atau wilayah terjadinya sangat sempit (lokal) dan erat kaitannya

dengan religiomagis (Sartono Kartodirdjo, 1973:5)

Robert Hill (1998:55) melakukan pembagian gerakan dilihat dari sifat dan

tujuannya menjadi dua, yaitu:

1) Gerakan sebagai suatu reaksi spontan, penyebabnya tidak betul jelas, dan

menggunakan jaringan informasi yang tidak tertata terhadap keadaan

tertentu.

Page 23: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2) Gerakan sebagai langkah- langkah terorganisir dengan tujuan, strategi dan

cara-cara yang dirumuskan secara jelas, sadar, dan didasarkan pada

analisis sosial yang kuat.

Menurut Awani Irewati, dkk (2001: 30-31) gerakan sosial-massa

ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

1) Daya dukung struktural di mana suatu gerakan sosial-massa akan mudah

terjadi dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu yang berpotensi

untuk melakukan suatu gerakan massa secara spontan dan

berkesinambungan.

2) Adanya tekanan-tekanan struktural akan mempercepat orang untuk

melakukan gerakan massa secara spontan karena keinginan mereka untuk

melepaskan diri dari situasi yang menyengsarakan

3) Menyebarkan informasi yang dipercayai oleh masyarakat luas. Informasi

tersebut akan menguatkan dan memperluas gerakan sosial-massa

4) Karena emosi yang tidak terkendali

5) Upaya mobilisasi orang-orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang

telah direncanakan. Faktor persuasi dan komunikasi bisa mempengaruhi

tindakan sosial secara drastis juga faktor kepemimpinan sangat

berpengaruh dalam mengambil inisiatif para anggotanya untuk melakukan

tindakan.

Kesimpulan dari beberapa konsep gerakan di atas yaitu pada dasarnya

gerakan adalah suatu reaksi atau protes terhadap keadaan yang tidak adil. Keadaan

seperti ini diciptakan oleh seorang penguasa terhadap lapisan masyarakat di

bawahnya.

Gerakan rakyat yang tampil dalam surat kabar dan jurnal, rapat dan

pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian

dan teater, serta pemberontakan, merupakan fenomena kebangkitan bumiputera.

Pada awal abad ke-20, kesadaran baru dan bahasa yang digunakan menjadi arti

penting utama dari pergerakan. Surakarta sebagai arena yang strategis bagi tujuan

pergerakan, karena merupakan satu-satunya pusat pergerakan dan semua kekuatan

sosial bergabung dalam gerakan. Para bangsawan kerajaan, kaum intelektual,

Page 24: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

orang-orang Islam dengan pendidikan pesantren, para petani ikut bergabung

dalam pergerakan melawan kolonial. Seperti ketika PB IX yang melakukan

jejaring politik dengan ulama-ulama di pesantren untuk membangun kekuatan

massa dalam menghadapi hegemoni politik Belanda, serta dengan adanya

pendidikan memberikan pintu masuk bagi kaum intelektual dalam mencapai

kesetaraan dengan orang-orang Eropa, baik secara sosial, ekonomi, dan politik.

Pada abad 20, muncul SI yang memiliki tujuan untuk membuat anggota

perkumpulan sebagai saudara satu sama lain, memperkuat solidaritas dan tolong-

menolong di antara umat Islam, dan mencoba mengangkat rakyat untuk mencapai

kemakmuran dan kesejahteraan. Organisasi itu ditetapkan sebagai perkumpulan

kaum Muslim yang bekerja demi kemajuan, Islam menjadi tanda atau identitas

bagi bumiputera (Takashi Shiraishi, 1997: 57).

2. Radikalisme

Menurut Komaruddin (2002:212) bahwa radikalisme berasal dari bahasa

Latin radix, yang berarti akar, kaki, atau dasar. Jadi, radikalisme berarti suatu

paham yang menginginkan pembaharuan atau perubahan sosial dan politik dengan

ekstrim dan drastik hingga ke akarnya.

Radikalisme merupakan gerakan-gerakan dari kaum pinggiran, karena

sebab-sebab tertentu. Mereka menggunakan cara-cara yang radikal, keras dan

secara tiba-tiba, baik itu mengenai strategi, taktik, tujuan maupun sasaran dari

gerakan itu.

Gerakan radikal menurut Sartono Kartodirdjo (1975:241) adalah gerakan-

gerakan rakyat yang bersifat tradisional, sehingga strategi dan taktiknya masih

terlalu sederhana, berumur sangat pendek, berada dalam lingkup lokal atau

regional dan umumnya dilakukan untuk melawan keadaan yang dianggap tidak

adil.

Sebuah gerakan dapat terjadi apabila terdapat sejumlah faktor penentu,

yaitu sebagai berikut (http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_sosial) :

1) Structural Conduciveness (Kondisi Struktural), yaitu suatu struktur sosial

yang mendukung terjadinya suatu gerakan. Terdiri dari under conditions of

Page 25: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

economic pressure (tekanan ekonomi) dan the structure of the social and

politic situation (struktur keadaan sosial dan politik).

2) Structural Strain (Ketegangan Struktural), yaitu adanya ketegangan

struktural yang timbul. Terdiri dari extreme religious movement (gerakan

keagamaan yang ekstrem), race riots (rasisme), dan economic deprivation

(depresi ekonomi).

3) The Precipitating Factor (Faktor Pemercepat), yaitu faktor pencetus yang

berupa suatu dramatik, suatu peristiwa empirik.

4) Mobilization into action (Mobilisasi Untuk Mengadakan Aksi), yaitu suatu

mobilisasi untuk bertindak, dalam hal ini peranan seseorang amat

menentukan. Situasi dapat berkembang dari kepanikan, timbulnya

kerusuhan dan kemudian diteruskan dengan agitasi untuk reform atau

revolusi.

5) The Operation of Social Control (Kontrol Sosial), yaitu pengoperasian

kontrol sosial atau faktor penentu yang berbalik mencegah, mengganggu,

membelokkan, atau merintangi gerakan itu.

Definisi kekerasan dari New Oxford Dictionary adalah perilaku yang

melibatkan kekuatan fisik dan dimaksudkan untuk menyakiti, merusakan, atau

membunuh seseorang atau sesuatu. Menurut Colombijn (I Ngurah Suryawan,

2010: 20), mengkategorikan kekerasan menjadi 4 bagian :

1) Kekerasan oleh negara atau lembaga negara

2) Kekerasan oleh kelompok masyarakat

3) Kekerasan oleh kelompok jagoan dan milisi

4) Kekerasan oleh perorangan yang berkumpul untuk sementara dalam

kerumunan

Secara etimologis, kekerasan merupakan terjemahan dari kata “violence”,

berasal dari bahasa Latin “violentia”, yang berarti force, kekerasan. Dalam kamus

besar bahasa Indonesia, kata kekerasan digunakan sebagai padanan “violence”,

yaitu perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau

matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.

Page 26: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Menurut Dom Helder Camara yang mengemukakan mengenai teori spiral

kekerasan, di mana ada tiga bentuk kekerasan, yaitu: kekerasan yang bersifat

personal, institusional, dan struktural. Kekerasan yang bersifat personal

merupakan sebagai gejala yang menimpa baik perseorangan, kelompok, maupun

negara, yang diakibatkan oleh bekerjanya ketidakadilan sosial dan ketimpangan

ekonomi. Ketidakadilan ini juga terjadi sebagai akibat dari upaya sekelompok elit,

yang mempertahankan kepentingan mereka, sehingga membuat kondisi kelompok

bawah hidup di bawah standar yang layak sebagai manusia. Kondisi tersebut yang

mendorong munculnya kekerasan institusional, yaitu pemberontakan dan protes di

kalangan masyarakat sipil. Ketika kondisi tersebut telah terjadi, maka kemudian

penguasa memandang dirinya berkewajiban memelihara ketertiban, meski harus

menggunakan cara-cara kekerasan. Hal tersebut memunculkan kekerasan

struktural yaitu represi penguasa, di mana digunakan cara-cara kekerasan oleh

lembaga negara untuk menekan pemberontakan sipil. Represi negara yang

dilakukan akan memperparah kondisi ketidakadilan (I Ngurah Suryawan,

2010:92-93).

Teori Hegemoni dari Antonio Gramsci, yaitu agar yang dikuasai mematuhi

penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan

menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, melainkan juga harus

menyetujui dominasi kekuasaan mereka. Pengertian hegemoni menurut Gramsci

yaitu penguasaan oleh satu atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan

menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis dan bukan hubungan dominasi

dengan menggunakan kekuasaan. Untuk mendapatkan kekuatan sosial yaitu

dengan cara melalui perjuangan politik dan ideologi. Hegemoni tidak pernah

diperoleh begitu saja, tetapi harus selalu diperjuangkan. Hal ini jelas menuntut

kegigihan yang tinggi dari kelas penguasa untuk mempertahankan dan

memperkuat otoritas sosial dalam berbagai kekuatan sosial (Roger Simon,

2000:19-20).

Menurut Habermas yang dikutip oleh Zainuddin Maliki (2004: 25-26),

penguasa diberi hak oleh publik dalam menjalankan kekuasaan dan bahkan

dominasi, baik melalui kekerasan maupun legitimasi. Namun, dominasi bisa

Page 27: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

terjadi ketika seorang penguasa memaksakan kehendaknya pada pihak lain dengan

memberi pandangan bahwa tindakan itu benar. Penguasa membungkus kekerasan

dengan memanipulasi sentimen masyarakat dan memberikan justifikasi politik

dengan menggunakan ideologi tertentu.

Dalam kekerasan masyarakat terdapat juga faktor politik yang kemudian

mengakibatkan terjadinya kekerasan masyarakat berlatar politik. Pada dasarnya,

kekerasan masyarakat adalah kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat

akibat ketidakadilan, penindasan, represi yang dialami oleh kelompok masyarakat.

Kekerasan politik terjadi karena diterapkannya sistem politik kekerasan di

masyarakat yang dipelopori oleh negara atau pemerintah ke dalam sistem

pelaksanaan pemerintahan. Ada kaitan yang erat antara kekerasan politik dan

sistem pemerintahan yang diterapkan atau dianut oleh suatu negara. Di situ

sebenarnya terdapat kaitan langsung antara partisipasi, stabilitas, dan kekerasan (I

Ngurah Suryawan, 2010: 18).

Kekerasan politik sering dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk

psikologis. Kekerasan politik ini berbentuk indoktrinasi, ancaman, tekanan, dan

pembatasan informasi. Kekerasan oleh negara dan aparaturnya terjadi untuk

kepentingan mempertahankan kekuasaan atau kepentingan ideologis negara.

Pemerintah menganggap dirinya mempunyai hak untuk menempuh cara kekerasan

apabila ada yang mengganggu integrasi dan ideologi bangsa. Ketika bermunculan

dokumen-dokumen yang didasari semangat keagamaan, yang kebanyakan dibuat

oleh para ulama di Surakarta, dokumen-dokumen tersebut berisi mengenai ajakan

untuk menggulingkan dan mengusir “orang-orang kafir” yang dipimpin oleh

pemimpin yang berkharisma. Di Jawa, bangkit pemberontakan lokal yang

periodik, di bawah pimpinan seseorang yang fanatik yang memakai simbol Ratu

Adil. Selama abad ke-19, gerakan-gerakan bertambah kuat, mengikuti makin

mendalamnya pengaruh Islam pada penduduk pedesaan Jawa. Pemberontakan-

pemberontakan dengan menggunakan simbol keagamaan ini, pada umumnya

merupakan pernyataan dari ketidakpuasannya pada pemerintah ko lonial Belanda

(Taufik Abdullah, 1987: 59).

Page 28: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Gasasan politik sepenuhnya berpusat pada hubungan kekuasaan dan

kepentingan. Politik Islam merupakan Islam digunakan sebagai alat politik untuk

memperoleh legitimasi kekuasaan, karena Islam dianggap dapat mengatasi

berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, serta dapat digunakan

untuk mendapatkan basis massa yang banyak (Hermanu, 2010: 81). Penggunaan

Islam sebagai alat politik adalah untuk menumbuhkan harapan dan semangat

masyarakat yang tertindas secara politis maupun ekonomi.

Menurut Snouck Hurgronje bahwa agama Islam mempunyai potensi

menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik.

Pemikirannya berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya yang menjadi

landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai

agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik”.

Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah

sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada

beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai

kalangan „modernis‟, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh

gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu

saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama

lain” (Aqib Suminto, 1986:11-12).

Gerakan politik Islam dapat dilakukan dengan kerja sama antara ulama,

kaum intelektual, dan pengusaha Muslim untuk menciptakan perubahan sosial,

ekonomi, dan politik. Selain itu, juga melalui tumbuhnya organisasi sosial dan

organisasi politik di Surakarta.

3. Marginalisasi Masyarakat Islam

a. Pengertian Marginalisasi

Marginalisasi disebut juga keterasingan. Masyarakat dengan peradaban

buatannya mengasingkan manusia dari hakikatnya yang alamiah. Untuk

mengakhiri keterasingan itu merupakan proses emansipasi: manusia harus

membebaskan diri dari masyarakat dan pemerintahan yang menekan. Menurut

Page 29: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Marx yang dikutip oleh Franz Magnis (1988:261) manusia mencari suatu realitas

khayalan dalam agama untuk mendapat pengakuan dan penghargaan, karena

keadaan masyarakat tidak mengizinkan individu untuk merealisasikan

kepercayaannya secara sungguh-sungguh.

Alienisasi atau dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan menjadi proses

menuju keterasingan, adalah teori yang dikeluarkan oleh Karl Marx tentang

munculnya sebuah keadaan dimana buruh atau proletar mendapatkan sebuah

keadaan yang terasing dari kehidupannya. Ia percaya bahwa Alienisasi adalah

hasil dari eksploitasi Kapitalisme terhadap buruh dengan mengartikannya sebagai

modal. Konsep Keterasingan buatan Marx berasal dari fakta ekonomi yang ada di

masanya. Hal ini tertulis dalam karyanya Das Kapital dan terbesit dalam karya-

karyanya yang lain. Sebenarnya Marx sendiri mengurangi penggunaan kata

alienisasi atau keterasingan dalam karya-karya di fase kedua hidupnya. Hal ini

dikarenakan Marx tidak mau kata ini berkurang nilainya, sebagai akibat dari

banyaknya para filsuf sejaman Marx yang menggunakan kata tersebut sebagai

konsep mereka yang sebenarnya jauh dari yang dimaksud o leh Marx (Anthony

Giddens, 1986:12).

Keterasingan terjadi jika semakin banyaknya modal terkumpul untuk

Kapitalis, dan semakin miskin pula buruh akibat dari hasil eksploitasi kapitalis.

Artinya kapitalis menimbun banyak harta yang sebenarnya merupakan Nilai Lebih

barang yang telah diciptakan buruh. Karena buruh tidak memiliki kekuasaan

untuk menjual barang tersebut seperti layaknya yang dilakukan kapitalis, maka

kapitalis yang memiliki hak untuk menjual barang tersebut yang akan mendapat

nilai lebih tersebut. Jika nilai lebih ini diakumulasikan dengan apa yang di dapat

buruh (gaji), akan memunculkan variabel yang berbalik. Buruh akan menjadi

lebih murah atau tak berharga saat nilai lebih dari barang-barang yang dia buat

jauh lebih tinggi dan tidak sepadan dengan nilai yang ia dapat. Hal tersebut akan

memunculkan keadaan yang disebut Karl Marx sebagai obyektivikasi atau bisa

dibilang buruh dijadikan obyek dalam satuan modal di mata kapitalis, bukan

sebagai subyek atau pencipta benda. Pengendalian kapitalis terhadap apa yang

diciptakan buruh dan keadaan sistem kemasyarakatan yang tidak mendukungnya

Page 30: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

akan memunculkan sebuah kekuatan eksternal yang memaksanya. Kekuatan

tersebut seakan-akan (bagi buruh) memusuhinya. Artinya, sebagai barang modal

milik kapitalis, buruh tak lain dianggap sebagai budak dan bisa dipakai oleh

kapitalis asal dalam batas-batas perjanjian atas buruh dan majikan yang pro-

keuntungan majikan dan bukan perjanjian yang seimbang, sering ini menjadi

sebagai perangkap kerja buat buruh karena buruh yang tak punya pilihan lain

selain menerima perjanjian tersebut. Dengan kata lain, produk kerja dari kaum

buruh tidak menjadi kepunyaannya dan bersifat eksternal.

Pandangan tentang alienisasi tak lepas dari kritik Karl Marx terhadap

Ludwig Feuerbach, seorang filsuf di eranya. Namun Marx berfikir justru lebih

konkrit dari pada Feuerbach. Ada beberapa dimensi utama dari pembaharuan

Marx tentang keterasingan (Anthony Giddens, 1986:14-15).

1. Buruh tidak mempunyai kuasa untuk memasarkan produk-produknya,

dikarenakan itu akan menjadi hak kapitalis, sehingga dia tidak akan menarik

keuntungan dari produk tersebut. Dalam prinsip ekonomi pasar bahwa produk

yang dipertukarkan akan diawasi oleh pasar. Bahkan buruh juga menjadi sebuah

komoditi yang diperjualkan di pasaran dan tidak bisa mengatur sendir i nasib

benda yang ia produksi.

2. Buruh terasing dengan pekerjaannya sendiri. Tugas kerja tidak memberi

kepuasan hati yang hakiki, yang mana buruh tidak diberi kesempatan untuk

mengatur keadaan fisik atau batin dirinya sendiri sebab dikuasai oleh kekuatan

eksternalnya.

3. Pola hubungan sosial membawa buruh menjadi terasing secara langsung

dari percabangan-percabangan sosial. Dalam hal ini hubungan masyarakat

cenderung disederhanakan menjadi kegiatan-kegiatan pasar. Uang meningkatkan

rasionalisasi pola hubungan sosial, karena ia menjadi standar abstrak dalam

pengertian bahwa sifat-sifat yang paling heterogen dapat dibandingkan dan

ditukarkan.

4. Manusia hidup dalam hubungan aktif dengan alam yang merupakan

ekspresi dan hasil hubunganya dan menjadi pembeda antara manusia dengan

hewan. Pekerjaan yang terasing lebih menurunkan kegiatan produktif manusia ke

Page 31: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

tingkat adaptasi pada alam, layaknya hewan. Padahal yang membedakan antara

keduanya adalah sikap kecakapan mereka dalam mengarungi hidup.

Dalam keagamaan, Marx menganggap bahwa keterasingan bisa diciptakan

dalam fase kepercayaan manusia atas fantasi ketuhanan mereka. Marx

menganggap bahwa agama adalah sebuah candu yang akan memberi pengaruh

fantasi akan hari depan sebagai sebuah harapan subsitusi kehidupannya saat ini.

Agama juga kadang-kadang sebagai alasan suatu gerakan eksploitasi masyarakat

yang menyudutkan gerakan buruh memihak hak-hak kerjanya. Memang beberapa

pemuka agama melakukan hal-hal tersebut, inilah yang membuat orang-orang

kepercayaan dan mengkhianati kepercayaan para buruh ini menjadi ular berkepala

dua guna mendapatkan keuntungan pribadinya. Namun, gerakan kaum agama

yang mendukung buruhpun juga terhitung. Merekalah yang mencoba untuk

mengembalikan pemikiran masyarakat dan dengan ajaran mereka, buruh atau

siapapun yang terbilang proletar tidak perlu mengkhawatirkan agama hanya akan

menjadi fantasi subsitusi mereka melainkan sebagai sebuah gerakan yang akan

membuat mereka lebih baik dan punya nilai lebih perundingan di hadapan

majikan (Anthony Giddens, 1986:12-16).

b. Pengertian Masyarakat Islam

Masyarakat adalah alat manusia yang sengaja diciptakan guna

mengimbangi kelemahan manusia dan memperbesar peluang-peluangnya untuk

mempertahankan hidup. Ada tiga alasan utama mengapa manusia bersatu untuk

hidup bersama dalam sebuah kelompok yang disebut masyarakat, antara lain (1)

alasan ekonomi, yaitu alasan untuk saling menolong secara ekonomis yang hasil-

hasilnya dibentengi oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh

pembagian kerja, (2) alasan keamanan, oleh karena manusia berkumpul atau

berkelompok di kota-kota untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, (3)

alasan otoritas, karena kebutuhan otoritas manusia yang mampu mempertahankan

daerah-daerah perbatasannya (Zainal Abidin, 2002:33).

Masyarakat tidak lebih dari sekumpulan individu dan keluarga. Upaya

memperbaiki masyarakat harus dilakukan dengan mengadakan perubahan pada

Page 32: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

individu dengan harapan banyak orang yang mulai bergabung dengan kegiatan

mereka, kemudian situasi akan menjadi lebih baik. Menurut Salim Frederick

(2001:3) masyarakat terdiri atas individu yang di dalamnya terdapat tiga

komponen berikutnya, yang menentukan hubungan antar masing-masing individu

tersebut, yaitu :

1. Pemikiran-pemikiran yang paling berpengaruh yang diemban masyarakat

2. Perasaan-perasaan yang paling berpengaruh yang diemban oleh

masyarakat

3. Sistem pemerintahan yang berkuasa

Ketiga hal inilah yang membentuk ikatan umum antarindividu dalam

masyarakat. Masyarakat Islam adalah kelompok manusia yang mempunyai

kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan agama,

yakni agama Islam. Menurut Faisal Ismail yang dikutip oleh M. Dawam Rahardjo

(1985: 23) bahwa Islam adalah wahyu yang diturunkan Tuhan dengan cara

mewahyukannya kepada Nabi.

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang taat dalam menerapkan ajaran

Islam, baik keyakinan dan ibadahnya, syariat dan sistemnya, akhlak dan

prilakunya, atau dengan kata lain masyrakat rabbani (berketuhanan), Insani

(berperikemanusiaan), berakhlak dan seimbang. Karena itu masyarakat Islam

adalah masyarakat yang taat, yang memiliki karakteristik dan sifat tersendiri dari

yang lainnya, masyarakat yang istimewa dari segi ideologinya, nilai-nilainya,

akhlaknya, undang-undangnya, sistem hidupnya, perilakunya dan adat istiadatnya

(http://www.al- ikhwan.net/karakteristik-masyarakat- islam-dalam-surat-al-ahzab-

kajian-tematik-257/).

Dalam kajian sosiologi, masyarakat Islam dibedakan dari segi identitas

keagamaan masyarakat serta tradisi agama Islam yang hidup dan berkembang

dalam masyarakat (Zainal Abidin, 2002:47). Marginalisasi masyarakat disebabkan

oleh kepemilikan hak milik penguasa atas tanah dan tenaga kerja. Namun, pemilik

modallah yang menguasai perekonomian.

Page 33: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Diskriminasi masyarakat Muslim terlihat dalam, keterbelakangan dan

kebodohan umat Muslim di hamper semua segi kehidupan, kondisi politik yang

dihadapi masyarakat Islam memaksa mereka berada dalam keterbelakangan,

sistem pendidikan yang diperoleh anaak-anak Muslim hanya mengandalkan pada

pendidikan non-formal (pesantren). Hal tersebut dikarenakan oleh :

1. Pemerintah kolonial memberikan monopoli penyelenggaraan pendidikan

formal kepada Zending dan Missi

2. Sekolah-sekolah umum yang dikelola Zending dan Missi lebih

mengutamakan anak-anak pangreh praja

3. Ketakutan pemerintah kolonial menganggap ideologi Islam berseberangan

dengan kepentingan kapitalisme Belanda

Akibat adanya tekanan-tekanan sosial, ekonomi, dan politik yang

dilakukan oleh pemerintah kolonial, maka terjadilah diskriminasi, yang

memunculkan gerakan perlawanan, yang menggunakan Islam sebagai landasan

dalam menghadapi pemerintah kolonial.

4. Konflik

a. Pengertian Konflik

Konflik merupakan suatu kondisi pertentangan dari dua kepentingan, yang

antara keduanya saling memperebutkan, bahkan saling bertabrakan dan

berlawanan. Konflik sebagai suatu proses sosial di mana dua orang atau kelompok

berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkannya atau

membuatnya tidak berdaya. Istilah konflik sering diartikan “suatu proses

pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan tanpa memperhatikan

norma dan nilai yang berlaku. Clinton F dalam Kartini Kartono (2005: 246)

mendefinisikan konflik sebagai interaksi yang antagonistis mencakup tingkah laku

lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus terkontrol,

tersembunyi, sampai pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan perjuangan tidak

terkontrol, benturan laten, pemogokan, huru hara, gerilya, dan perang.

Konflik pada dasarnya adalah usaha yang disengaja untuk menentang,

melawan atau memaksa kehendak terhadap orang lain. Bentuk-bentuk konflik

Page 34: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

yaitu, pertama, bentuk konflik teringan yaitu perbedaan pendapat dan jika dikelola

dengan baik akan memberikan manfaat pada masyarakat. Kedua, unjuk rasa

demonstrasi yang non-kekerasan, yang muncul apabila tidak dapat diselesaikan

dengan proses negosiasi. Ketiga, serangan bersenjata, merupakan bentuk konflik

yang tertinggi (Abu Ahmadi, 1975:93).

b. Faktor penyebab terjadinya konflik

1) Komunikasi, bahasa yang sulit dimengerti atau informasi yang tidak

lengkap

2) Manusia dan pelakunya, gaya kepemimpinan, sistem nilai, ambisi

3) Adanya kepentingan yang bertentangan, terutama kepentingan ekonomi

dan sering juga karena perebutan kekuasaan dan kedudukan (Abu Ahmadi,

1975:93).

Melihat faktor penyebab tersebut, konflik dalam gerakan radikalisme di

Surakarta 1850-1920 ini disebabkan oleh adanya kepentingan yang bertentangan,

terutama kepentingan ekonomi dan sosial. Pemerintah Belanda menerapkan

kebijakan-kebijakannya yang merugikan masyarakat pribumi baik bagi

masyarakat pedesaan maupun elit istana, sedangkan kehidupan masyarakat sangat

memprihatinkan dengan adanya eksploitasi oleh pemerintah kolonial.

c. Penyelesaian konflik

1) Konsolidasi, dengan mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna

mencapai persetujuan bersama untuk berdamai

2) Mediasi, dengan menggunakan mediator

3) Arbitrasi, melalui pengadilan dengan seorang hakim sebagai pengambil

keputusan

4) Paksaan, dengan menggunakan paksaan fisik atau psikologis (Awani

Irewati, 2001:25)

Dalam penanganan gerakan radikal, ada beberapa penyelesaian yang

dilakukan secara paksaan, antara lain sebagai berikut (Suhartono, 1991: 92-93) :

1. Perlawanan terhadap para penguasa, kebanyakan para pemimpin dan

pengikut gerakan akan mendapat hukuman yaitu dibuang ke luar Jawa,

meskipun itu masih anggota di kerajaan sendiri.

Page 35: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. Residen membentuk sebuah asisten residen di beberapa wilayah kekuasaan

residen, hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan.

3. Pemerintah kolonial ataupun kerajaan selalu menggunakan cara kekerasan

dalam penyelesaian gerakan protes, dengan menumpas gerakan yang

radikal menggunakan pasukan bersenjata.

Pada tanggal 25 Desember 1868 di Solo, ada artikel yang menyebutkan

bahwa seorang anak yang buta, yang ayahnya seorang mantri mengaku dirinya

sebagai Imam Mahdi, kemudian J.P. Zoetelief menahan anak itu dan ayahnya.

Para ulama yang dirasa berpotensi melakukan suatu gerakan, dilakukan

penangkapan oleh polisi (Houben, 2002:457). Bentuk represi politik pun

diwujudkan dengan diberlakukannya sistem politik Beamtenstaat, yaitu struktur

birokrasi pemerintah kolonial diurusi oleh pegawai pemerintah, dan didukung

oleh dinas polisi rahasia untuk memapankan birokrasi itu sendiri, serta

mengisolasi gerakan perlawanan berlandaskan pada ideologi Islam (Hermanu,

2010:XIV). Sehingga aktivitas-aktivitas organisasi dan perkumpulan yang

dimotori oleh kaum intelektual dibatasi, bahkan diilegalkan untuk membuat suatu

organisasi, karena untuk membatasi aktivitas politik pribumi yang mengarah pada

nasionalisme.

A. Kerangka Berpikir

×

×

Periferal

Intelektual Gerakan

Radikal

Semi

Periferal

Politik

Ekonomi

Marginalisasi

Masyarakat

Muslim

Sosial

Ulama

Elit Istana

Pemerintah

Kolonial

Page 36: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Keterangan :

Di wilayah Surakarta diterapkan sistem penyewaan tanah. Para pengusaha

swasta menyewa tanah dari para abdi dalem dan raja sendiri, untuk ditanami

berbagai tanaman komersial yang sama dengan yang diperintahkan oleh

pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksa. Keadaan tersebut telah

mengubah cara pemanfaatan faktor-faktor produksi tanah dan tenaga kerja, serta

stratifikasi sosial di masyarakat Surakarta. Sementara itu, jumlah petani yang

tidak memiliki tanah menjadi semakin besar, dan monetisasi menjadi ciri penting

dalam ekonomi desa. Para penyewa juga memanfaatkan birokrasi lokal untuk

memudahkan mendapatkan tenaga kerja yang cukup dan murah (Houben,

2002:ix).

Keberadaan para pengusaha swasta itu ternyata tidak hanya berdampak

terhadap kehidupan sosial dan ekonomi, tetapi juga pada kehidupan politik. Para

pengusaha perkebunan itu menjadi kelompok pendukung utama kebijakan politik

ekspansif kolonial, karena sebagian dari para pengusaha perkebunan adalah para

bekas pejabat pemerintah kolonial beserta keluarganya, dan memungkinkan

mereka memanfaatkan birokrasi kolonial untuk menentukan kebijakan penguasa

lokal yang dapat terus menguntungkan mereka. Kondisi tersebut semakin

diperburuk dengan semakin banyaknya para elite politik lokal di Surakarta yang

terjebak dalam hutang, sehingga semakin tergantung pada penyewa tanah.

Eksploitasi tanah dan tenaga kerja untuk pasar Eropa telah membuat masyarakat

di Surakarta menderita, dan penetrasi ekonomi, sosial, dan politik mengakibatkan

runtuhnya tata kehidupan tradisional dan kemiskinan struktural.

Muncul gerakan periferal dan semiperiferal, gerakan periferal merupakan

perlawanan yang muncul di luar lingkungan keraton, gerakan-gerakan ini bersifat

lokal dan berlangsung singkat karena gerakan-gerakan itu muncul dari protes-

protes sosial-ekonomi yang konkret, sedangkan gerakan semiperiferal adalah

perlawanan yang berada di daerah-daerah perbatasan dan memiliki kaitan dengan

keraton. Gerakan-gerakan tersebut dipimpin orang yang kharismatis dan memiliki

pengikut-pengikut yang setia, dan menggunakan tulisan-tulisan yang sifatnya

menghasut untuk mengajak rakyat memberontak. Dalam gerakan periferal, para

Page 37: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

pejabat lokal dan elit-elit agama memainkan peranan utama, sedangkan para

pemimpin gerakan semiperiferal yaitu para anggota elit istana sendiri yang

menjadi simbol-simbol perlawanan di pusat kerajaan (Houben, 2002:491).

Di abad 19, gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonialisme bersifat

messianis, di mana para pemimpin gerakan berperan besar dalam memprovokatori

pemberontakan, yang mengumandangkan untuk melawan kekafiran. Sedangkan di

awal abad 20, lebih bersifat politis, di mana muncul kaum inte lektual dan

organisasi politik, seperti SI dan Insulinde yang merupakan organisasi politik

kebangsaan yang berpengaruh besar.

Kaum intelektual merupakan semua orang yang mempunyai fungsi

sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat, dalam wilayah produksi

sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan (Roger Simon, 2000:141).

Salah satunya adalah sekelompok aktivis politik yang selama beberapa tahun telah

merencanakan sebuah gerakan nasionalis baru yang didasarkan pada Islam.

Tujuan mereka adalah menciptakan suatu gerakan massa yang sadar politik, dan

kemudian bersama gerakan ini mengadakan konfrontasi dengan pemerintah

Hindia Belanda dari suatu posisi yang kuat, dan dengan demikian akan dapat

memaksakan konsesi-konsesi. Diharapkan melalui organisasi dan kebijakan yang

dibuat akan dapat menjadi pendorong rasa kebangsaan bagi rakyat pribumi. Di

Surakarta- lah muncul gerakan-gerakan radikal yang dipimpin baik ulama atau

bangsawan yang berseberangan dengan pemerintah, baik dari segi politik maupun

ekonomi-sosial.

Page 38: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul "Radikalisme Muslim Di Surakarta, 1850-

1920", dilaksanakan penelitian dengan teknik pengumpulan data melalui berbagai

sumber, baik sumber primer maupun sekunder. Sumber yang digunakan untuk

melaksanakan penelitian ini terdapat di perpustakaan :

a. Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan PIPS FKIP Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

b. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

c. Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

d. Rekso Pustaka Mangkunegaran.

e. Monumen Pers Surakarta.

Selain itu, juga menggunakan situs internet untuk menambah sumber guna

penelitian ini.

2. Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan untuk penelitian ini adalah sejak pengajuan judul

skripsi yaitu bulan Juli 2010 sampai dengan bulan Maret 2011. Adapun kegiatan

yang dilakukan dalam jangka waktu penelitian tersebut adalah mengumpulkan

sumber, melakukan kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan

makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir

menyusun laporan hasil penelitian.

B. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos yang berarti cara

atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah

26

Page 39: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu

yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977: 16). Gilbert J. Garraghan yang

dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 43) mengemukakan bahwa metode

penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk

mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis, dan

mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.

Metode dapat didefinisikan sebagai cara, jalan, dan teknik yang ditempuh

sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah- langkah

sistematis. Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji serta tujuan yang akan

dicapai, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis.

Pemilihan metode historis didasarkan pada pokok permasalahan yang dikaji yaitu

peristiwa masa lampau, untuk direkonstruksikan menjadi cerita sejarah melalui

langkah atau metode historis. Dengan demikian metode historis merupakan

langkah (cara) ilmiah yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Tujuan

penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara

sistematis dan objektif (Sumadi S, 1992: 16).

Penyelidikan yang mempergunakan metode historis adalah penyelidikan

yang mengaplikasikan metode pemecahan yang ilmiah dari perspektif historis.

Metode historis merupakan sebuah proses yang meliputi pengumpulan dan

penafsiran gejala, peristiwa ataupun gagasan yang timbul di masa lampau, untuk

menemukan generalisasi yang berguna dalam usaha untuk memahami kenyataan-

kenyataan sejarah, malahan yang juga dapat berguna untuk memahami situasi

sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang (Winarno S,

1982:132).

Pada umumnya metode historis berlangsung menurut pola sebagai berikut:

1) pengumpulan data, 2) penilaian data, 3) penafsiran data, 4) penyimpulan

(Winarno S, 1982:133). Penelitian dengan metode historis merupakan metode

kritis terhadap keadaan-keadaan dan perkembangan, serta pengalaman masa

lampau dan menimbang secara teliti dan hati-hati terhadap validitas sumber-

sumber sejarah agar fakta yang diperoleh bersifat obyektif.

Page 40: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode historis adalah

suatu kegiatan mengumpulkan, mengkaji, menganalisis, dan menafsirkan gejala-

gejala atau peristiwa masa lampau yang secara imajinasi didasarkan dari data yang

diperoleh serta menyertakan suatu sintesa hasil yang dicapai dalam penulisan

sejarah sehingga membentuk suatu historiografi.

Penelitian ini menggunakan metode historis karena substansi tema

penelitian ini tentang peristiwa masa lampau, maka metode historis dipergunakan

dengan alasan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi radikalisme Muslim

di Surakarta tahun 1850-1920, dan tahun tersebut tersebut menjadi dasar

penelitian historis. Kegelisahan masyarakat bawah yang terjadi di abad XIX dan

awal abad XX, yaitu antara tahun 1850-1920, yang dimanifestasikan dari

munculnya gerakan-gerakan keagamaan. Walaupun di setiap daerah berbeda

macam gerakannya, namun selama bagian pertama abad XIX dari tahun ke tahun

mengalami kerusuhan dan setiap tiga tahun pemberontakan yang luas.

C. Sumber Data

Sumber data sering disebut juga data sejarah. Menurut Kuntowijoyo

(1995: 94) perkataan ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum

(bahasa latin) yang berarti pemberitaan. Menurut Dudung Abdurrachman (1999:

30) data sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan pengolahan,

penyeleksian, dan pengkategorian. Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun

(1996: 61) sumber sejarah ialah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk

mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau.

Sehubungan dengan hal tersebut maka sumber sejarah dapat berupa lisan,

tertulis ataupun benda-benda sejarah. Sumber sejarah dapat dibedakan menjadi

sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian sejarah

adalah sumber asli atau sumber tangan pertama dari pelaku sejarah. Sedangkan

sumber sekunder berisi data dari tangan kedua atau dari tangan kesekian (Winarno

S, 1982: 163). Louis Gottschalk (1975: 17) berpendapat bahwa penelitian historis

tergantung kepada dua macam data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer

Page 41: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

diperoleh dari sumber primer, yaitu peneliti secara langsung melakukan observasi

atau penyaksian yang dituliskan pada waktu peristiwa terjadi. Data sekunder

diperoleh dari sumber sekunder, yaitu penulis melaporkan hasil observasi orang

lain yang satu kali atau lebih lepas dari aslinya. Di antara kedua sumber tersebut,

sumber primer dipandang memiliki otentisitas sebagai bukti tangan pertama dan

diberi prioritas dalam pengumpulan data. Karena terhadap data yang berasal dari

sumber-sumber sekunder senantiasa perlu lebih dahulu diadakan penelitian

mengenai isi dan keasliannya dapat dijamin untuk dipergunakan sebagai data,

misalnya dengan menerapkan cara kritik intern dan kritik ekstern.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data

primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer tersebut di antaranya :

Rapport Omtrent het gebeurde te “Srikaton” op den 11den en 12den October

1888, yaitu laporan mengenai peristiwa pendudukan Pasanggrahan Srikaton oleh

beberapa puluh pemberontak, yang berakhir dengan tewasnya 7 orang dari

mereka. Selanjutnya, Memori van Overgave, Opgemaakt door den Aftredenden

Residen van Surakarta, tahun 1914, merupakan sebuah catatan di Solo tahun

1909-1914, mengenai catatan pada serah terima jabatan yang d ibuat oleh Residen

Surakarta G. F. Van Wijk.

Adapun sumber sekunder yang digunakan di dalam penelitian ini berupa

buku-buku literatur, maupun jurnal-jurnal ilmiah yang relevan dengan penelitian.

Sumber data sekunder yang digunakan seperti buku karangan Vincent J. H.

Houben, 1994 yang berjudul Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta

1830-1870, Takashi Shiraisi, 1997 yang berjudul Zaman Bergerak: Radikalisme

Rakyat Di Jawa 1912-1926, Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942,

1980 penulis Deliar Noer, penulis Djoko Suryo, 2005 Tradisi Santri Dalam

Historiografi Jawa: Pengaruh Islam Di Pesisir Utara Jawa.

Berdasarkan uraian di atas, pengumpulan data dalam penelitian ini

digunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan

data tertulis dengan menggali data dari buku-buku,surat kabar dan bentuk pustaka

lainnya. Sumber-sumber ini diperoleh melalui kunjungan pustaka, analisis dan

lain- lain.

Page 42: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian historis, pengumpulan data dinamakan heuristik.

Berdasarkan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam pengumpulan

data dilakukan melalui studi pustaka. Menurut Koenjaraningrat (1986: 36), bahwa

keuntungan dari studi pustaka ada empat hal, yaitu: (1) memperdalam kerangka

teoritis yang digunakan sebagai landasan pemikiran, (2) memperdalam

pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan

sehingga memperdalam dalam perumusan, (4) menghindari terjadinya

pengulangan suatu penelitian.

Menurut Hermawan Wasito (1993:100-101), mengemukakan bahwa

catatan-catatan dalam pengumpulan data ada dua bentuk, yaitu kutipan langsung

dan kutipan tidak langsung. Kutipan langsung ditulis persis sama dengan aslinya

(baik kata, ejaan, maupun tanda bacanya). Kutipan semacam ini biasanya

diperlukan untuk mengutip: surat keputusan, rumus, peraturan hukum, definisi,

dsb. Sedangkan kutipan tidak langsung merupakan uraian penulis (dengan kata-

kata sendiri) berdasarkan pendapat atau hasil karya penulis lain.

Kutipan bermaksud menekankan, mempertentangkan, membandingkan,

menjelaskan, ataupun membuktikan suatu aspek. Untuk setiap kutipan itu, perlu

dijelaskan sumbernya dengan teliti, dan penjelasan ini dengan sendirinya menjadi

catatan. Dalam penulisan ini, digunakan kedua kutipan di atas untuk menunjang

penulisan tersebut dan pertanggungjawaban terhadap kebenaran isi tulisan.

Kutipan langsung, seperti digunakan untuk mengutip surat dari PB VI yang

menuntut konsesi terhadap pemerintah Belanda. Sedangkan kutipan tidak

langsung, seperti digunakan untuk mengutip tulisan dari sumber-sumber sekunder,

misalnya buku ”Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942”, 1980 penulis

Deliar Noer.

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data melalui studi pustaka yang

dilakukan terhadap arsip, buku, majalah, surat kabar yang terbit pada masa itu

atau yang terbit kemudian. Bahan ini dapat digunakan untuk menjelaskan

Page 43: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

peristiwa yang diteliti. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

dilaksanakan sebagai berikut:

a. Mengumpulkan sumber primer dan sekunder yang berupa buku-buku

literatur dengan tema Radikalisme Muslim Di Surakarta 1850-1920 yang

tersimpan di beberapa perpustakaan.

b. Membaca, mencatat, meminjam dan memfotokopi buku-buku literatur

karangan sejarawan yang dianggap penting dan relevan dengan tema

penelitian yang tersimpan di perpustakaan berdasarkan periodisasi waktu

atau secara kronologis.

c. Mengumpulkan data yang telah diperoleh dari perpustakaan untuk

digunakan dalam menyusun karya ilmiah.

E. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik

analisis historis. Tujuan analisis data adalah untuk menyederhanakan, sehingga

mudah ditafsirkan. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung

Abdurrahman (1999: 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut

dengan analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara

terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan

sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut

Helius Syamsuddin (1996: 89) teknik analisis data historis adalah analisis data

sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-

sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah.

Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64),

analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh

dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dilakukan analisis teori melalui

suatu interpretasi sehingga menghasilkan fakta sejarah. Menurut Sartono

Kartodirdjo (1992: 2) analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka

pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang

akan dipakai dalam membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh

Page 44: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka

teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan

penelitian.

Setelah data selesai dianalisis, kegiatan yang harus dilakukan adalah

menafsirkan hasil analisis tersebut. Penafsiran hasil analisis ini bertujuan untuk

menarik kesimpulan penelitian yang telah dilaksanakan. Penarikan kesimpulan ini

dilakukan dengan cara membandingkan hipotesis yang telah dirumuskan dengan

hasil analisis yang didapat. Dengan demikian, akhirnya memperoleh kesimpulan

pokok, yaitu menerima atau menolak hipotesis yang telah dirumuskan. Dalam

melaksanakan penafsiran ini, perlu diperiksa kembali langkah- langkah yang telah

dilaksanakan dalam penelitian. Langkah ini berguna untuk melihat kesahihan hasil

penafsiran. Apabila semua langkah penelitian telah dilakukan dengan tepat,

kesahihan hasil penafsiran dapat dijamin dan hasil penelitian dapat digunakan

untuk keperluan pemecahan masalah praktis yang berhubungan dengan penelitian

tersebut (Hermawan W, 1993: 89).

Analisis data merupakan langkah yang penting dimulai dari melakukan

kegiatan mengumpulkan data kemudian melakukan kritik ekstern dan intern untuk

mencari otensitas dan kredibilitas sumber yang didapatkan. Dari langkah ini dapat

diketahui sumber yang benar-benar dibutuhkan dan relevan dengan materi

penelitian. Selain itu, membandingkan data dari sumber sejarah tersebut dengan

bantuan seperangkat kerangka teori dan metode penelitian sejarah, kemudian

menjadi fakta sejarah. Agar memiliki makna yang jelas dan dapat dipahami, fakta

tersebut ditafsirkan dengan cara merangkaikan fakta menjadi karya yang

menyeluruh dan masuk akal.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah- langkah penelitian awal yaitu

persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Adapun

prosedur penelitian ini adalah melalui empat tahap yang merupakan proses

metode sejarah. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan

Page 45: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Historiogra

fi Interpretasi Kritik

Sumber Heuristik

Fakta Sejarah

historiografi. Adapun prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Gambar 2. Bagan Metode Penelitian Historis

Keterangan:

1. Heuristik

Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 55) heuristik berasal dari kata

Yunani, Heuriskein yang artinya memperoleh. Menurut Helius Syamsuddin

(1996: 99) heuristik adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah. Heuristik

adalah kegiatan mencari dan mengumpulkan data dan peninggalan masa lampau

baik berupa bahan-bahan tertulis dan tercetak.

Pada tahap ini, dikumpulkan sumber atau data yang relevan dengan

permasalahan yang akan dikaji, yaitu mengenai Radikalisme Muslim Di Surakarta

1850-1920 melalui teknik studi pustaka. Dalam hal ini dilakukan pengumpulan

data dan sumber. Sumber - sumber sejarah dalam penelitian ini adalah berupa

Arsip-Arsip dan Dokumen. Kegiatan heuristik yang dilakukan dalam penelitian

ini, antara lain :

a. Mengumpulkan sumber primer dan sekunder yang berupa buku-buku

literatur dengan tema Radikalisme Muslim Di Surakarta 1850-1920 yang

tersimpan di beberapa perpustakaan.

Page 46: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

b. Membaca, mencatat, meminjam dan memfotokopi buku-buku literatur

yang dianggap penting dan relevan dengan tema penelitian berdasarkan

periodisasi waktu atau secara kronologis.

2. Kritik

Kritik yaitu kegiatan untuk menyelidiki apakah sumber-sumber sejarah itu

sejati atau otentik dan dapat dipercaya atau tidak. Pada tahap ini kritik sumber

dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Menurut Winarno

S (1982: 135) kritik ekstern meneliti keaslian (authenticity) data, yakni dengan

bertanya apakah sumber data itu adalah sumber yang asli ataukah sumber palsu

atau tiruan, kapan waktu pembuatannya, tempat pembuatannya, dan segala

sesuatu yang berkaitan dengan penelitian mengenai asli tidaknya sumber tersebut.

kritik intern adalah kelnajutan dari kritik ekstern, bertujuan untuk meneliti

kebenaran isi sumber itu. Apabila telah diketahui bahwa sumber itu benar adalah

sumber asli (melalui pengujian kritik ekstern), maka penelitian perlu dilanjutkan

dengan bertanya apakah isi sumber itu dapat dipercayai kebenaran dan

ketelitiannya.

Kritik ekstern dilakukan pada sumber tertulis dengan menyeleksi segi-segi

fisik dari sumber yang ditemukan dilihat dari jenis kertasnya, gaya penulisannya,

bahasa yang digunakan, tahun pembuatan, siapa yang membuat, dan dimana buku,

arsip atau surat kabar tersebut dibuat. Kritik ekstern dalam penelitian ini

dilakukan dengan pengujian fisik misalnya pada sumber primer dari tulisan

Rapport Omtrent het gebeurde te “Srikaton” op den 11den en 12den October

1888, yaitu laporan mengenai peristiwa pendudukan Pasanggrahan Srikaton oleh

beberapa puluh pemberontak. Kritik ekstern dapat dilihat dari tahun laporan

tersebut, yaitu pada tanggal 11 dan 12 Oktober 1888 pada masa pemerintahan Sri

Mangkunegara V, bahasa yang digunakan pun adalah bahasa Belanda, karena saat

itu pemerintah Belanda melalui residennya masih berkuasa di Surakarta. Begitu

juga dalam Memori van Overgave, Opgemaakt door den Aftredenden Residen van

Surakarta, tahun 1914, merupakan sebuah catatan di Solo tahun 1909-1914, yang

ditulis dalam bahasa Belanda, saat pemerintah Belanda telah melakukan

penetrasinya di wilayah Vorstenlanden.

Page 47: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Kritik intern dilakukan dengan membandingkan antara isi sumber yang

satu dengan isi sumber yang lain sehingga data yang diperoleh dapat dipercaya

dan dapat memberikan sumber yang dibutuhkan. Hal tersebut dilaksanakan agar

dapat mengetahui bagaimana isi sumber sejarah dan relevansinya dengan masalah

yang dikaji. Sebuah tulisan dapat diuji kebenaran isinya dengan menghubungkan

berbagai faktor seperti bahasa yang dipakai saat tulisan itu dibuat, integritas

pribadi penulisnya, situasi ditulisnya dokumen itu, dan tujuan tulisan itu. Kritik ini

bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu sumber sejarah

dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang diperlukan. Misalnya

dengan membaca buku karangan Deliar Noer yang berjudul “Gerakan Moderen

Islam Di Indonesia 1900-1942”, mengenai masuknya semangat pan- islamisme

yang dibawa oleh para pemimpin yang naik haji di Mekkah, yang didengungkan

oleh pemimpin agama kepada masyarakat untuk melawan kolonialsme barat,

sehingga memudahkan untuk memobilisasi massa dalam melawan Belanda, dan

dengan membaca buku karangan Vincent J. H. Houben yang berjudul “Keraton

dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870”, yang mengungkapkan

sebab-sebab terjadinya gerakan-gerakan di wilayah periferal dan semiperiferal,

yang dimotori oleh ulama dan elit istana yang menentang penetrasi Belanda di

Jawa.

3. Interpretasi

Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan

atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga

dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang

menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna

dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut

sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji.

Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan

fakta sejarah atau sintesis sejarah. Langkah interpretasi data dalam penelitian ini

menyangkut kegiatan menyeleksi dan membuat periodisasi sejarah. Langkah –

langkah operasional dalam interpretasi penelitian ini adalah :

Page 48: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

a. Membaca buku – buku, majalah, surat kabar yang berisi tentang peristiwa

yang berkaitan dengan penelitian. Membandingkan dengan sumber lain

sehingga penulis dapat memilih fakta – fakta yang relevan dan

menyingkirkan fakta – fakta yang tidak relevan.

b. Langkah selanjutnya, penulis menghubungkan fakta yang satu dengan

fakta yang lain sehingga dapat diketahui hubungan sebab – akibat antara

peristiwa satu dengan yang lain.

c. Yang terakhir penulis melakukan penafsiran semua hasil data yang telah

dibuat untuk di hubungkan antara data yang satu dengan yang lain.

Sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh kemudian

menjadi suatu fakta sejarah.

Untuk merekonstruksikan peristiwa sejarah berdasar hasil interpretasi dari

data sejarah yang ada, juga diperlukan eksplanasi. Eksplanasi dalam ilmu sejarah

adalah menjelaskan atau menerangkan data sejarah yang ada sehingga didapat

hubungan antara data yang satu dengan yang lain. Eksplanasi didasarkan atas

pendapat bahwa setiap peristiwa mempunya keunikan dan individualitas. Setiap

peristiwa perlu dilacak kembali ke peristiwa yang mendahuluinya. Dengan

demikian, peristiwa merupakan mata rantai dari rentetan sebab akibat dengan

pengertian bahwa setiap akibat menjadi sebab peristiwa berikutnya, dan

seterusnya (Sartono Kartodirdjo, 1992: 233).

4. Historiografi

Historiografi adalah merangkai fakta yang kemudian menghasilkan fakta

sejarah dengan menggunakan bahasa ilmiah yang logis dan mudah dipahami.

Historiografi merupakan kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi suatu kisah

sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Kegiatan historiografi

dalam penelitian ini dilakukan dengan memaparkan hasil interpretasi terhadap

sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan pada tahap heuristik dan telah

diverifikasi pada tahap kritik. Dalam penulisan penelitian ini dipaparkan hasil

penelitian yang obyektif berdasarkan data sumber sejarah yang telah melalui tahap

heuristik, kritik, interpretasi, sehingga apa yang dituliskan merupakan fakta yang

Page 49: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dapat dipertanggungjawabkan validitasnya sesuai dengan permasalahan yang

dikaji.

Langkah- langkah yang dilakukan yaitu dengan menulis jejak-jejak sejarah

yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa dan ditafsirkan. Dalam hal ini

imajinasi penulis sangat diperlukan untuk merangkai fakta satu dengan yang lain

sehingga menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan juga diperlukan

kemahiran dalam memilih dan merangkai kalimat serta penggunaan bahasa yang

baik dan benar. Peneliti juga tidak lupa memperlihatkan unsur keindahan bahasa

sehingga didapatkan cerita sejarah yang diharapkan mampu menarik minat

pembaca. Dari langkah- langkah tersebut dapat tersusun sebuah hasil karya

penelitian yang berwujud skripsi dengan judul “Radikalisme Muslim Di

Surakarta Tahun 1850-1920”.

Gerakan-gerakan keagamaan dalam sejarah Indonesia mencakup

fenomena historis, semuanya itu merupakan manifestasi dari usaha kolektif untuk

mengadakan atau menolak perubahan kehidupan masyarakat. Selama abad XIX

dan XX, muncul banyak gerakan-gerakan protes, baik di wilayah periferal

maupun semiperiferal. Penetrasi barat dalam masyarakat tradisional Jawa

menimbulkan keretakan sosial berdasarkan sistem nilai dan akhirnya menciptakan

konflik. Reaksi kolektif terhadap penetrasi barat digerakkan melalui saluran

kepemimpinan tradisional menjadi organisasi perlawanan terhadap kolonialisme.

Kepemimpinan elite religius diperkuat dengan ikatan institusional yaitu hubungan

guru dan murid, pemakaian simbol-simbol religio-magis dan ideologi. Pada awal

abad XX, muncul organisasi-organisasi politik yang dimobilisasi oleh kaum

intelektual berpendidikan barat, yang memperkuat rasa nasionalisme dalam

mengahadapi kolonialisme barat.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, yaitu gambaran historiografi

kolonial, yang pada umumnya memandang masyarakat bawah bersikap pasif dan

apatis, ternyata mereka dapat melakukan aktifitas politik sebagai partisipan dalam

gerakan-gerakan protes, dan masuk dalam organisasi yang dimotori oleh kaum

intelektual.

Page 50: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Terjadinya Radikalisme Muslim di Surakarta

Tahun 1850-1920

Setelah berakhirnya perang Jawa (1825-1830) di Vorstenlanden muncul

suatu struktur sosial baru dalam masyarakat akibat dari perubahan kedudukan

tanah lungguh, yang dimonopoli oleh swasta. Munculnya gerakan radikalisme

merupakan akibat dari represi ekonomi, sosial, dan politik yang dilakukan oleh

pemerintah kolonial, yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat.

Represi ekonomi, sosial, dan politik memicu tumbuhnya diskriminasi dan

marginalisasi masyarakat oleh pemerintah kolonial, yang berpengaruh pada

perubahan struktur sosial dalam masyarakat dan kerugian bagi elite istana yang

memiliki tanah lungguh. Sehingga membuat elite-elite istana atau pihak-pihak

yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah kolonial melibatkan diri dalam

gerakan perlawanan.

1. Perubahan Sosial dan Ekonomi di Surakarta

Surakarta lahir pada tahun 1755 akibat dari dibelahnya kerajaan Mataram

menjadi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Surakarta

merupakan bagian dari wilayah Vorstenlanden, yaitu wilayah yang dikuasai oleh

raja-raja pewaris kerajaan Mataram. Setelah berakhirnya perang Jawa tahun 1830

dan diambilalihnya mancanegara oleh Belanda, para penguasa Jawa dipaksa

untuk menyerahkan wilayah kekuasaannya yang belakangan diduduki oleh

karesidenan-karesidenan Kedu, Banyumas, Bagelen, Madiun, dan Kediri, hanya

jantung kerajaan Mataram yang tetap berada di tangan para penguasa Jawa.

Letak karesidenan Surakarta sangat strategis dan mudah dijangkau dari

berbagai penjuru. Sepanjang jalan besar dari Semarang dan Yogyakarta banyak

didirikan pos dan benteng untuk memudahkan pengawasan dan komunikasi.

Demikian pula jalan kereta api Semarang-Vorstenlanden yang dipasang sejak

tahun 1864 dan jalan trem yang menghubungkan pusat-pusat perkebunan di

Page 51: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

pedalaman sudah membentuk jaringan transportasi yang efektif dengan kota-kota

pada akhir abad ke-19 (Suhartono, 1991:24).

Karesidenan Surakarta terdiri atas wilayah Kasunanan dan

Mangkunegaran. Batas wilayahnya sebagian dibentuk oleh Gunung Lawu di

sebelah timur dan Gunung Merapi serta Merbabu di sebelah barat. Di bagian

tengah karesidenan itu membentang dataran Solo yang subur, dikelilingi oleh kaki

Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah barat serta kaki Gunung Lawu di sebelah

timur. Di sebelah selatan berjajar deretan bukit kapur dan Gunung Sewu,

sementara di sebelah utara wilayah ini bertemu dengan rangkaian gunung.

Bengawan Solo mengalir melalui dataran Solo dari selatan ke utara, dalam

perjalanannya ke Jawa Timur dan Laut Jawa, sungai Bengawan Solo melintasi

kota Surakarta dan memberikan kesuburan bagi tanah di dataran Solo (Takashi

Shiraishi, 1997:2).

Kota Surakarta menjadi tempat kedudukan bagi keraton Kasunanan dan

Mangkunegaran serta kantor Residen Belanda. Kota Surakarta berada di pinggir

kiri Bengawan Solo, dan Kali Pepe mengalir melintasinya. Bagian terbesar kota

Surakarta menjadi milik Kasunanan, sedangkan seperlimanya milik

Mangkunegaran. Wilayah Vorstenlanden merupakan daerah yang otonom, karena

kekuasaan raja sebagai penguasa tradisional diakui oleh pemerintah kolonial.

Meskipun tidak berlaku sistem tanam paksa, namun saat itu telah berkembang

usaha perkebunan swasta dengan jalan menyewa tanah dari para patuh (pemegang

lungguh).

Setelah daerah-daerah pesisir utara Jawa beralih ke tangan Belanda,

penyerahan hasil bumi oleh raja kepada pemerintah kolonial diganti dengan

penyerahan wajib oleh para bupati. Penyerahan tersebut tidak lama sesudah tahun

1800 diganti dengan pajak tanah (D. H. Burger, 1983:12)

Periode setelah berakhirnya perang Jawa (1825-1830) sampai dengan

akhir abad XIX, di Vorstenlanden muncul suatu struktur sosial baru dalam

masyarakat. Selain itu, juga muncul perpaduan dua modal ekonomi yang berbeda,

yaitu sistem perekonomian agraris yang feodalistis dan kapitalistis. Meluasnya

pengaruh ekonomi dari barat selama masa ekonomi liberal menyebabkan

Page 52: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

terjadinya penetrasi ekonomi uang yang lebih mendalam pada masyarakat

Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Munculnya para pemilik modal asing yang

bebas menyewa tanah-tanah di Jawa tidak dapat dihindarkan lagi. Hal ini terjadi

karena pada awal abad XIX pemerintah kolonial menerapkan kebijakan liberal

dengan tujuan membuka kesempatan yang seluas- luasnya bagi para pemilik modal

asing masuk ke Vorstenlanden untuk menyewa tanah, sehingga muncul

kepentingan swasta dan pemerintah kolonial di tanah Jawa.

Sistem kolonial Belanda dengan pemerintahan yang tak langsung selama

abad XIX membawa akibat bahwa sejenis feodalisme dengan otoritas membiarkan

para penguasa daerah atau bupati menjalankan kekuasannya berdasarkan otoritas

tradisional dengan sifat-sifat tradisionalisme (Sartono Kartodirdjo, 1982:231).

Sistem kapitalis dan perkebunan besar milik swasta yang berkembang di

Surakarta telah berakar antara tahun 1830 dan 1870. Maka dibangunlah jalan

kereta api dari daerah pelabuhan Semarang sejak tahun 1860-an yang

dihubungkan dengan pusat-pusat perkebunan swasta di Surakarta dan Yogyakarta.

Surakarta menjadi tempat berlangsungnya sistem sewa, yang masih dikuasai para

penguasa keraton pewaris dinasti Mataram. Para pengusaha swasta menyewa

tanah dari para abdi dalem dan raja sendiri untuk ditanami berbagai tanaman

komersial yang diperintahkan oleh pemerintah Belanda. Para penyewa tanah telah

menggantikan posisi pemilik lungguh yang menerima uang sewa dan para bekel

sebagai patron para sikep yang jumlahnya secara sengaja dikurangi.

Telah terjadi tiga perubahan sosial ekonomi yang disebabkan oleh praktik

penyewaan tanah di Surakarta, yaitu penggunaan tanah yang intensif, eksploitasi

petani yang sistematis, dan perubahan drastis pada struktur sosial. Perubahan

sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh sistem sewa tanah di Surakarta

mengganggu hubungan sosial antara pemilik apanase beserta bekel dan sikep,

yang dibuat saling bermusuhan (Houben, 2002:xiii).

Perkembangan ekonomi liberal berdampak pada perubahan sistem

ekonomi dan munculnya kelas-kelas baru dalam pelapisan masyarakat. Masuknya

paham barat dan budaya barat merupakan akibat dari paham liberal. Para penyewa

Page 53: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

tanah yang pada umumnya orang Eropa membawa budaya dari Eropa yang tidak

sesuai dengan budaya Jawa.

Keberadaan para pengusaha perkebunan swasta tidak hanya berdampak

terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di Surakarta, melainkan juga

pada kehidupan politik. Houben (2002:xiv) menjelaskan bahwa para penyewa

tanah dihubungkan oleh ikatan- ikatan keluarga dan bisnis, ikatan tersebut

memungkinkan mereka memanfaatkan birokrasi kolonial untuk menentukan

kebijakan penguasa lokal yang dapat terus menguntungkan mereka.

Houben (2002:xv) melihat proses kekacauan politik dalam rangka suksesi

kekuasaan yang terjadi di Surakarta tahun 1854-1858, merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari permainan politik yang dihasilkan oleh hubungan yang

dibangun antara penyewa tanah yang berorientasi ekonomis dengan para birokrat

yang memiliki kepentingan ekonomis-politis. Semakin banyak elit politik lokal di

Surakarta yang terjebak dalam hutang dan kesulitan keuangan, sehingga

ketergantungannya kepada para penyewa tanah semakin besar. Jika sebelumnya

para elit lokal di Surakarta telah kehilangan otoritas politisnya yang diambil alih

oleh para birokrat kolonial, lalu kemudian juga kehilangan sumber ekonomi utama

mereka yang diambil alih oleh para investor swasta.

Sejak perluasan perkebunan pada abad XIX, keadaan di pedesaan

Surakarta mulai terjadi gangguan pencuri dan kecu. Keadaan semacam ini

menggelisahkan perusahaan perkebunan dan residen, sebagai pejabat kolonial

tertinggi di Surakarta. Dalam menghadapi gangguan keamanan ini terjadi

perbedaan pendapat antara perusahaan perkebunan dengan residen. Residen

menganggap bahwa perusahaan hanya mengejar keuntungan dan menuntut hak-

hak istimewa, dan sebaliknya, perusahaan perkebunan menuduh bahwa

pemerintah tinggal menikmati retribusi. Perluasan perkebunan tampaknya

mengundang meningkatnya kerusuhan sehingga penjagaan keamanan yang sudah

ada telah tidak memadai lagi. Perbaikan keamanan yang dilakukan oleh residen

Zoutelief dengan menggiatkan ronda malam pada tahun 1860-an dan yang

dilakukan oleh residen Burnaby Lautier dengan perbaikan gaji penjaga keamanan

pada tahun 1890-an tidak membawa hasil (Suhartono, 1991:91-92).

Page 54: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Keamanan di pedesaan belum berhasil diperbaiki, yang kemudian

memunculkan gerakan protes masyarakat terhadap perusahaan perkebunan. Tahun

1906, para petani perkebunan melakukan protes karena tekanan beban kerja wajib

dan perlakuan yang sewenang-wenangnya dari para pemimpin perkebunan

terhadap para petani. Tentu saja protes tersebut merupakan masalah penting yang

harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah

berada dalam posisi yang sulit sebab harus bertanggung jawab kepada Sunan di

satu pihak dan kepada perusahaan perkebunan di pihak lain. Kepada perusahaan

perkebunan, pemerintah harus memberikan layanan sebaik-baiknya karena

keuntungan yang diperoleh perusahaan perkebunan juga memberikan keuntungan

bagi pemerintah. Terhadap Sunan, pemerintah harus bersikap hati-hati karena

Sunan telah menyewakan tanah-tanah apanage-nya (Suhartono, 1991: 93).

Para pemimpin gerakan protes yang mengganggu pemerintah dalam

melaksanakan rust en orde, ditangkap dan dijatuhi hukuman. Kemudian Residen

Schneider membuat peraturan pada tanggal 1 Juni 1906 No. 4811/ 29, yang

diajukan kepada Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VI, yaitu semua bawahan

di bawah Mangkunegaran, yang sudah terbukti menjadi penjahat, yang telah

disepakati oleh Wedono Gunung dengan Asisten Residen untuk menentukan

sebuah rumah bagi para penjahat tersebut, yang dibuat di kota Kawedanan

Gunung atau di tempat lain yang sudah ditentukan. Tempat itu dinamakan

Hinoloko, lamanya tinggal ditentukan menurut Wedono Gunung yang dengan

Asisten Residen. Tempat tersebut dijaga oleh Reksohangkoro, yang digaji oleh

pemerintah. Tempat penampungan tersebut diperuntukkan bagi para penjahat atau

pemimpin gerakan yang mengganggu jalannya politik pemerintah, supaya mereka

jera dan tidak berani melakukan protes lagi.

2. Penetrasi Politik, Ekonomi, dan Sosial Pemerintah Hindia Belanda

Sistem kolonial yang diterapkan pemerintah Belanda pada daerah

jajahannya telah menciptakan sistem hubungan antara pihak penguasa kolonial

dan penduduk pribumi yang dikuasai, dan antara pihak penjajah dengan negara

induknya. Pola hubungan berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi,

Page 55: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

diskriminasi, dan dependensi, karena pola-pola tersebut dipakai oleh pemerintah

kolonial untuk mencapai tujuannya. Perwujudan dominasi kolonial yakni berpusat

pada dominasi golongan minoritas yang memerintah terhadap mayoritas golongan

yang diperintah.

Penetrasi kekuasaan kolonial menciptakan transformasi politik, khususnya

sistem kekuasaan di pedesaan yang menyangkut perubahan peranan bekel. Dalam

sistem apanage, selain fungsi tanah, bekel memegang peranan penting dalam

struktur kelembagaannya. Pola kelembagaan tidak bercorak wewenang tradisional

maupun kharismatik, tetapi sudah bergeser dan menerima pola dan norma politik

kolonial. Diterapkannya administrasi kolonial berarti diperlemahnya struk tur dan

hubungan pola kerajaan, walaupun kekuasaan kerajaan dan kolonial berjalan

sendiri-sendiri, pada hakekatnya merupakan dua kekuasaan yang berbeda, dalam

perkembangannya dominasi kolonial lebih nyata daripada kekuasaan kerajaan.

Kekuasaan raja berangsur-angsur dikurangi oleh pemerintah Belanda, namun

keuasaan raja tetap diakui dengan maksud agar pemerintah kolonial dapat

mengambil keuntungan dari hubungan ikatan politik yang berlaku (Suhartono,

1991:77).

Dalam bidang politik banyak ketegangan dan ketidakstabilan timbul

karena dominasi yang semakin meluas dari administrasi yang bersifat legal-

rasional, sedangkan lembaga- lembaga politik tradisional semakin terdesak. Proses

birokratisasi menurut nilai-nilai atau standart barat itu menggantikan penguasa

tradisional menjadi aparat birokratis yang ditempatkan sepenuhnya di bawah

pengawasan kekuasaan kolonial.

Dominasi tersebut tidak hanya diwujudkan dalam sentralisasi kekuasaan

politik, tetapi dalam eksploitasi dan akumulasi sumber kekayaan tanah jajahan

untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil

produksinya untuk diserahkan kepada pihak penjajah. Pendiskriminasian ras atau

etnis juga menjadi ciri dari sistem kolonial. Golongan penjajah dianggap sebagai

bangsa yang superior, sedangkan penduduk pribumi dipandang hina dan rendah.

Dengan perbedaan tersebut menimbulkan jurang pemisah, negara penjajah

semakin besar dan kuat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kekuasaan,

Page 56: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sehingga menimbulkan pola dependensi atau timbul ketergantungan dari

masyarakat jajahan (Noer Fauzi, 1999:20).

Sistem ekonomi liberal berakibat munculnya peredaran uang serta

dominasi ekonomi uang ke dalam masyarakat Jawa, terutama daerah

Vorstenlanden. Hal ini disebabkan oleh penyewaan tanah penduduk yang

dilakukan oleh para pengusaha swasta asing untuk dijadikan daerah perkebunan,

sehingga membawa perubahan terhadap pola pemilikan tanah rakyat di

Vorstenlanden.

Dengan diterimanya upah kerja oleh petani dari perusahaan perkebunan

dan pabrik, terjadilah proses monetisasi di pedesaan. Sejak tahun 1830 penyewaan

tanah apanage untuk perluasan areal perkebunan makin bertambah. Tanaman-

tanaman ekspor sudah ditanam sejak abad ke-18 dan terus diperluas setelah tahun

1830, dari tanaman ekspor tersebut pemerintah kolonial memperoleh keuntungan

yang besar, namun menimbulkan kesengsaraan bagi petani. Pengaruh monetisasi

yang terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 meresap ke masyarakat

pedesaan. Akan tetapi, meresapnya pengaruh itu tidak menyejahterakan petani

karena sumber daya pedesaan yang diekspolitasi itu tidak menyalurkan hasilnya

sehingga petani tetap terbelakang dan tingkat hidupnya ada dalam subsistensi.

(Suhartono, 1991:117).

Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa dominasi barat beserta perubahan

sosial yang mengikutinya menciptakan kondisi-kondisi yang cenderung bagi

rakyat untuk mengadakan pergerakan sosial. Dalam situasi kolonial dominasi

ekonomi, politik, dan kultural mengakibatkan disorganisasi masyarakat tradisional

beserta lembaga- lembaganya. Dengan masuknya ekonomi keuangan faktor- faktor

produksi, seperti tanah, tenaga buruh, dan hasil bumi diperdagangkan, sistem

pajak dijalankan sehingga menambah beban rakyat. Dengan subordinasi ekonomis

itu pengerahan tenaga dan kondisi kerja tergantung dari penguasa kolonial.

Dengan perkembangan perdagangan dan industri pertanian, muncullah

diferensiasi struktural dalam masyarakat Indonesia sehingga ada peranan sosial

baru yang dapat diperoleh dengan jalan lain dari pada peranan tradisional.

Page 57: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Ikatan susunan tradisional semakin diperlemah oleh ide baru tentang

kehidupan sosial. Perubahan-perubahan itu menempatkan golongan-golongan

sosial di luar kerangka sosial dari masyarakat tradisional, sehingga mereka

mengalami disorientasi. Pengaruh budaya asing menerobos lingkungan tradisional

dan merongrong kekuatan norma-norma tradisional sebagai pedoman hidup

(Sartono Kartodirjo, 1971: 40).

Tekanan politik dan ekonomi pemerintah kolonial Belanda sangat

merugikan kekuasaan para penguasa Jawa, di mana pemerintah Belanda berniat

untuk menjadikan para bupati Jawa menjadi aristokrat herediter (turunan) yang

bergantung kepada pemerintah, sehingga para bupati tersebut bisa dijauhkan dari

raja-raja pribumi. Hal tersebut menyebabkan putusnya ikatan antara bupati dan

para penguasa Jawa. Namun, para penguasa Jawa itu tetap perlu dilindungi untuk

memberikan kesan kepada rakyat bahwa, melalui perantaraan para bupati, mereka

masih tetap diperintah oleh raja-raja mereka sendiri. PB VI pun menyadari bahwa

hilangnya hubungan patron-klien antara keraton dan para bupati, akan hilang juga

kekuasaan teritorial atas distrik-distrik di sekitar keraton (Houben, 2002:60).

Reaksi yang timbul terhadap tekanan lembaga tradisional menyebabkan

kelompok-kelompok sosial beraliansi dengan kelompok sosial lain untuk

memperkuat gerakan antipemerintah kolonial. Reaksi dan gerakan antipemerintah

kolonial dimanifestasikan dan dihimpun dalam gerakan radikal. Reaksi politik di

kalangan istana dilakukan oleh PB VI karena daerah mancanegara dianeksasikan

oleh gubernemen.

Komisaris pemerintah Belanda yang diutus untuk menangani

pengambilalihan wilayah mancanagara dari kekuasaan para raja-raja Jawa. PB VI

mendesak supaya para bupati yang berada di distrik-distrik yang akan diambil alih

harus diijinkan untuk mengunjungi Solo setahun sekali untuk memberikan

penghormatan kepada Sunan. Namun, komisaris yang diutus tersebut menolak

keinginan Sunan. Hal tersebut menunjukkan hilangnya wilayah pinggiran kerajaan

berarti lebih dari sekedar kehilangan pendapatan. Karena hal itu akan mengarah

pada kehancuran parsial pada jaringan hubungan-hubungan personal yang

Page 58: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sesungguhnya melandasi kekuasaan dan kekuatan para pangeran serta warga

istana Jawa lainnya. PB VI menuntut konsesi, sebagai berikut (Houben, 2002:60):

“Saya menuntut kepada pemerintah agar martabat saya sekarang ini

diwariskan secara turun-temurun tanpa ada perubahan kepada keturunan-keturunan saya, sehingga martabat ini akan terus berlanjut meskipun

Keraton Soerakarta dipindahkan, yaitu bahwa bupati-bupati dari tanah-tanah Mancanagara, Bagelen, dan Banyumas selamanya akan selalu menghadap anak-cucuku, yang akan menjadi pengganti-penggantiku di

atas takhta ini, dan para bupati itu akan memenuhi kewajiban-kewajiban mereka kepada para penggantiku itu dan membayarkan piutang-piutang

mereka, seperti yang selama ini sudah menjadi adat kebiasaan.” PB VI tidak senang terhadap tindakan gubernemen tersebut, maka PB VI

mengasingkan diri dan mencari ketenangan dengan berziarah ke makam

leluhurnya dan ke Laut Selatan. Takut akan terjadinya perang besar, Sunan

ditangkap dan dibuang oleh gubernemen ke Ambon kemudian pengganti-

penggantinya dipaksa menjadi bawahan gubernemen, di dalam kontrak tahun

1862 Sunan PB IX dianggap sebagai path daerah Surakarta. Hubungan antara

pusat kerajaan dengan daerah-daerah pinggiran tidak selalu berjalan baik sebab

Sunan harus tunduk pada kontrak, sedangkan kepala-kepala rendahan di pedesaan

masih mempunyai kebebasan, tetapi mereka dipaksa loyal pada patuh dan Sunan

(Suhartono, 1991:66).

Setelah daerah mancanegara diambil oleh gubernemen, daerah kerajaan

Surakarta semakin sempit, daerah yang diambil ini akan diatur kembali dan

dieksploitasi. Oleh karena itu, langkah pertama yang ditempuh oleh gubernemen

ialah perbaikan sistem administrasi agar terwujud kesejahteraan kolonial. Dengan

demikian diharapkan pemerintah dapat menarik keuntungan yang sebesar-

besarnya. Langkah- langkah yang diambil oleh pemerintah kolonial untuk

mengatasi perbaikan keuangan tidak cukup hanya dari segi ekonomi, tetapi

diperlukan jalur-jalur politik yang lebih luas. Jalur politik ini memberi jalan setiap

usaha pihak swasta mauun pemerintah sendiri dalam melakukan eksploitasinya.

Untuk memperkuat kedudukannya sebagai pengausa kolonial yang lebih tinggi

daripada raja-raja, dibuatlah kontrak yang mengikat raja-raja itu sehingga dengan

sah raja-raja itu adalah vasal pemerintah kolonial.

Page 59: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Kontrak yang mengikat raja tersebut menimbulkan dampak yang berbeda-

beda, di satu pihak memberikan keleluasaan pemerintah kolonial untuk bergerak

dan mengubah strategi sesuai dengan kepentingan eksploitasinya, sedangkan di

pihak lain kekuasaan raja dibatasi dengan adanya kontrak-kontrak. Di dalam

kontrak itu disebutkan bahwa Sunan tidak lebih dari seorang leenman, yaitu

Sunan adalah patuh dari pemerintah kolonial (Suhartono, 1991:75-76).

Kekuasaan raja tetap diakui dengan maksud supaya pemerintah kolonial

dapat mengambil keuntungan dari hubungan dan ikatan politik yang berlaku.

Dalam salah satu ketentuan sewa-menyewa tanah disebutkan bahwa penyewa

tanah harus mendalami dan menguasai kebudayaan Jawa. Ini dimaksudkan agar

eksploitasi kolonial tidak terganggu dan tidak muncul ketegangan sosio-kultural.

Nampaknya, tidak ada jaminan bahwa pendalaman kebudayaan Jawa berarti tidak

timbul kerusuhan. Untuk menghilangkannya, pemerintah kolonial melakukan

reorganisasi di bidang peradilan dan polisi.

Masyarakat Surakarta terbagi dalam dua golongan sosial yang besar yaitu

golongan atas yang terdiri dari para bangsawan dan priyayi, dan golongan bawah

yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang perajin, dll. Bangsawan

adalah golongan sosial atas yang mempunyai hubungan genealogi dengan raja.

Mereka merupakan sentana atau keluarga raja, priyayi juga termasuk golongan

sosial atas dan mereka merupakan pejabat dalam pemerintahan kerajaan atau

narapraja. Dua golongan sosial yaitu priyayi dan golongan bawah menempati

wadah budaya yang berbeda. Di satu pihak, priyayi dengan gaya hidupnya,

kebiasaan, pakaian, dan makanan, serta simbol-simbolnya menunjukkan gaya

aristokrat. Keadaan semacam ini menjadi pola ideal bagi priyayi. Di lain pihak,

bagi golongan bawah lingkungan pedesaan banyak mempengaruhi tingkah laku

mereka, kebiasaan polos, terbuka, dan kasar merupakan bentuk budaya pedesaan

(Suhartono, 1991:32-33).

Adanya kesenjangan struktur sosial masyarakat kerapkali melahirkan

berbagai ketegangan dalam masyarakat. Ketegangan-ketegangan ini akan

mempengaruhi derajat kepercayaan masyarakat karena suatu kondisi yang represif

dari para penguasa. Jika ditambah dengan faktor- faktor pemicu, maka besar

Page 60: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kemungkinan ideologi yang digunakan oleh masyarakat adalah radikalisasi.

Perkembangan radikalisasi dimotori oleh kaum frustasi. Ideologi kaum tertindas

lahir dari akumulasi kebencian sosial dan rasa frustasi terhadap kondisi yang ada.

Terhadap kekuatan disintegratif dari pengaruh penetrasi kebudayaan barat

masyarakat Indonesia mempunyai cara-cara untuk membuat reaksi. Oleh karena

dalam sistem kolonial tidak terdapat lembaga- lembaga untuk menyalurka

perasaan ketidakpuasan mereka, maka jalan yang dapat ditempuh ialah gerakan-

gerakan protes keagamaan yang menjadi gerakan sosial-politik. Timbullah

kekuatan-kekuatan dari kepercayaan religius yang berakar dalam tradisi rakyat

melawan bahaya ekspansi kolonial (Sartono Kartodirdjo, 1971: 41).

Oliver Roy yang dikutip oleh Riza Sihbudi (2005: 385) menafsirkan Islam

politik sebagai aktivitas kelompok-kelompok yang meyakini Islam sebagai agama

dan sekaligus sebagai ideologi politik. Istilah radikalisme umumnya dipakai untuk

merujuk pada gerakan-gerakan Islam yang berkonotasi negatif seperti ekstrim,

militan, dan non-toleran, serta anti Barat. Radikalisme muncul karena berbagai

faktor, salah satunya justru karena tidak dijalankannya prinsip-prinsip

pemerintahan dan politik yang demokratis. Gerakan dan pemberontakan pada

dasarnya adalah reaksi spontan terhadap perubahan sosial yang cepat, yang

menimbulkan frustasi dalam kehidupan masyarakat.

Abad XIX dan awal abad XX terjadi rentetan peristiwa berupa

pemberontakan, kerusuhan, dan pergolakan sosial. Tidak jarang pergolakan atau

kerusuhan yang terjadi itu diwujudkan dalam tindakan yang bersifat agresif dan

radikal, yang mencerminkan ledakan ketegangan, pertentangan, dan permusuhan

yang terjadi di masyarakat. Hal ini terbukti dari peristiwa-peristiwa yang

melibatkan masyarakat bawah yang dimotori oleh kaum elit untuk menentang

penindasan pemerintah kolonial (Sartono Kartodirdjo, 1971: 39).

Keresahan-keresahan yang mengarah kepada gerakan atau pemberontakan

tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi, yaitu tekanan pajak, beban ikatan feudal,

persewaan tanah, dll. Dengan demikian keresahan itu didukung oleh konflik-

konflik yang lebih luas yang tidak lepas dari keanekaragaman yang muncul

Page 61: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

bersamaan dengan timbulnya hubungan sosial ekonomi, patron-klien, dan

kelompok-kelompok politik di pedesaan.

Gerakan radikalisme di Jawa sangat ditakuti oleh pemerintah kolonial

karena gerakan itu didasari dengan pemikiran Islam yaitu nilai-nilai jihad dalam

melawan kolonialisme. Orang-orang Belanda digambarkan sebagai bangsa “kafir”

yang merampok lahan dan pangan rakyat. Oleh karena itu, gerakan radikal sebagai

reaksi yang diwujudkan dalam bentuk kekerasan oleh massa dipandang sebagai

aspirasi politik untuk memaksa pemerintah kolonial agar memperhatikan

kesejahteraan rakyat.

Surakarta merupakan salah satu daerah di Jawa yang kehidupan

masyarakatnya diwarnai dengan gerakan protes terhadap pemerintah kolonial.

Keresahan dan gerakan yang terjadi di pedesaan Surakarta sebagai akibat dari

adanya tekanan dan pengaruh Barat yang dikembangkan secara intensif oleh

pemerintah kolonial, tekanan ekonomi dan politik memunculkan ketidakadilan

yang terjadi pada masyarakat. Masyarakat Muslim pun berani menghadapi

pemerintah kolonial karena tidak tersedianya lembaga yang menyalurkan aspirasi

mereka mengenai situasi ekonomi dan politik yang mereka hadapi. Kondisi

tersebut mendorong gerakan protes masyarakat yang berpegang pada ideologi

keagamaan. Gerakan protes menjadi kekuatan politik untuk menentang kekuasaan

kolonial.

Ada tiga tipe dalam gerakan perlawanan, antara lain (Hermanu, 2010:27):

1. Munculnya perbedaan sosial sebagai akibat perubahan sistem sosial yang

memacu munculnya kaum intelektual dan pengusaha Muslim.

2. Munculnya gerakan massa yang sadar terhadap tujuan, dan didukung oleh

ideologi agama dan organisasi massa yang dengan sengaja ingin

menggulingkan tatanan politik atau tatanan sosial yang sedang berlaku.

Gerakan massa yang terdiri dari masyarakat bawah, yang dimotori oleh

kaum intelektual dan pengusaha Muslim yang menggerakkan organisasi

massa untuk menghadapi pemerintah kolonial.

3. Gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan bersifat radikal dan

bertarung menentang kelas penguasa. Radikalisme merupakan gerakan-

Page 62: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

gerakan dari kaum pinggiran, karena sebab-sebab tertentu. Mereka

menggunakan cara-cara yang radikal dan secara tiba-tiba, baik itu

mengenai strategi, taktik, tujuan maupun sasaran dari gerakan itu, yang

bersifat tradisional, sehingga strategi dan taktiknya masih terlalu

sederhana, berumur sangat pendek, berada dalam lingkup lokal atau

regional dan umumnya dilakukan untuk melawan keadaan yang dianggap

tidak adil.

Gerakan-gerakan yang terjadi pada abad XIX dan awal XX di pulau Jawa

hampir semuanya mencerminkan ketiga tipe tersebut, yang selalu diwarnai dengan

gerakan protes dari masyarakat yang tidak senang akan kondisi yang ada.

Pengaruh perkembangan waktu menjadi salah satu faktor pendukung terhadap

perubahan dalam setiap gerakan sosial keagamaan.

Gerakan radikal yang terjadi di Girilayu, Matesih, tahun 1888 dapat

disebut sebagai gerakan periferal merupakan perlawanan yang muncul di luar

lingkungan keraton, gerakan-gerakan ini bersifat lokal dan berlangsung singkat

karena gerakan-gerakan itu terjadi oleh karena kekecewaan masyarakat yang

disebabkan penerapan kerja rodi bagi petani untuk pelunasan hutang

Mangkunegaran karena krisis keuangan yang terjadi. Keadaan rakyat semakin

menderita karena tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Muncul gerakan

protes, yang ditulis dalam Rapport Omtrent het gebeurde te “Srikaton” op den

11den en 12den October 1888, yaitu laporan mengenai peristiwa pendudukan

Pasanggrahan Srikaton, yang dianggap sebagai tempat suci yang tidak boleh

didatangi oleh orang lain tanpa ijin khusus dari raja, sehingga segala bentuk

pendudukan di tempat tersebut dipandang sebagai bentuk kejahatan atau

pemberontakan dari kacamata penguasa kerajaan maupun pemerintah kolonial

Belanda. Oleh karena itu, pendudukan beberapa puluh pemberontak di

pesanggrahan Srikaton dianggap sebagai bentuk kejahatan yang melawan

penguasa. Kemudian prajurit infantri bergerak melalui jalan utama yang langsung

menuju bagian depan bangunan pesanggrahan, prajurit kavaleri menyebar di

sekeliling jalan keluar yang lain. Terjadilah perlawanan yang menegangkan

dengan menggunakan senjata, saat itu juga Imam Rejo tertembak, yang berakhir

Page 63: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dengan tewasnya 7 orang dari mereka. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 11 dan 12

Oktober 1888 pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara V. Terbunuhnya Imam

Rejo menandakan berakhirnya gerakan Srikaton, yang berumur singkat.

Gerakan Srikaton dipimpin Imam Rejo, ia mengajarkan ajaran Islam

kepada para pengikutnya, dan menekankan bahwa orang-orang Belanda harus

dilenyapkan dari tanah Jawa. Gerakan-gerakan yang terjadi bertujuan untuk

meruntuhkan pemerintahan kolonial dan mendirikan kerajaan Islam. Di dalam

gerakan itu, Imam Rejo mendapat dukungan dari para bekel, solidaritas antar

bekel yang paternalistik menunjukkan usaha bersama dalam menghadapi tekanan

dari kebijakan kolonial (Suhartono, 1991:146).

Gerakan-gerakan itu oleh pemerintah kolonial disebut dengan istilah

seperti geestdrijverij (gerakan rohani), rustverstoring (gangguan ketentraman),

woelingen (huru-hara), fanatisme, onlusten (kerusuhan). Gerakan-gerakan tersebut

dipandang berbahaya karena bertujuan melawan bangsa Belanda dan

pemerintahannya. Gangguan keamanan di pedesaan berupa kriminalitas dan

gerakan protes, yang penanganannya tidak cukup dilakukan oleh po lisi kerajaan,

maka pemerintah kolonial harus langsung mengawasi pedesaan. Kemudian pada

tahun 1873 diangkat empat asisten residen yang berkedudukan di Klaten,

Boyolali, Sragen, dan Karangpandan (Sartono Kartodirdjo, 1971:22).

3. Reorganisasi Administrasi dan Agraria

Reorganisasi adalah salah satu cara untuk memperbaiki keadaan di

pedesaan. Di awal 1900-an terjadi reorganisasi atau reformasi administrasi dan

agraria oleh pemerintah Belanda di Vorstenlanden. Reorganisasi merupakan usaha

menempatkan mesin administrasi di bawah perintah langsung residen Belanda

serta meluaskan kekuasaan dan kewibawaan negara Hindia ke wilayah yang

selama ini diserahkan kepada sistem lungguh yang sudah terkikis.

Reorganisasi tersebut dianggap sebagai usaha negara Hindia yang utama di

daerah itu dan dapat untuk memperbaiki kondisi pertanian dan menjamin rust en

orde di Vorstenlanden oleh para pegawai Belanda dan para residen Belanda,

walaupun pada kenyataannya menyimpang dari kebijakan yang ada. Karena usaha

Page 64: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

tersebut sama sekali tidak memperbaiki kondisi yang ada, termasuk konflik yang

terjadi antara petani dan perkebunan mengenai jumlah sewa, pelonggaran kerja

paksa yang tidak dibayar, yang diubah menjadi kerja paksa yang dibayar, dan

jumlah upah yang dibayar kepada para pekerja paksa itu. Selama pertumbuhan

kepentingan ekonomi petani lebih rendah dibandingkan pendapatan yang mungkin

mereka peroleh jika menanam padi tanpa tanaman perkebunan, konflik akan

selalu muncul, dan makin tajam karena perlakuan pegawai Belanda yang

sewenang-wenangnya dan arogan terhadap petani (Takashi Shiraishi, 1997: 28-

29).

Tujuan reorganisasi tanah apanage adalah untuk mengintegrasikan tanah-

tanah yang terpencar dan terpotong-potong menjadi sebuah areal perkebunan yang

luas. Terbentuknya satu blok areal perkebunan memudahkan pengaturannya jika

dilihat dari segi manajemennya, letak tanahnya, kebutuhan tenaga kerja,

transportasinya, dll. Dalam melaksanakan reorganisasi muncul reaksi dari para

bekas patuh yang tanahnya dihapus. Hal itu dilakukan karena ketika perusahaan

perkebunan menyewa tanah-tanah apanage dari patuh, tanah-tanah tersebut

letaknya terpencar, sehingga menghambat pengelolaannya. Mereka tidak senang

kalau batas tanah apanage-nya dihapus karena akan mengaburkan ikatan loyalitas

petani dengan mereka yang sudah terjalin lama (Suhartono, 1991:96).

Reorganisasi agraria tidak lepas dari kerangka Politik Etis, sebab

pemerintah kolonial memerlukan kepastian hukum, hak-hak, dan kewajiban

petani. Karena Politik Etis yang sedang dijalankan pada awal abad XX, mencakup

tiga unsur pokok, yaitu: pertama, konsolidasi kekuasaan di bawah naungan Pax

Neerlandica, kedua, perlindungan perusahaan swasta, dan ketiga, peningkatan

kehidupan sosial ekonomi penduduk. Khususnya mengenai peningkatan

kehidupan sosial ekonomi penduduk hubungannya erat dengan pemanfaatan

faktor- faktor produksi biaya rendah yang dapat dijalankan di Surakarta. Hal ini

berarti kedudukan tanah apanage sebagai penghambat harus diubah untuk

peningkatan efisiensi eksploitasi (Suhartono, 1991: 94).

Reorganisasi tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan keluhan-keluhan

petani karena beban wajib yang berat dan untuk mencegah terjadinya kerusuhan-

Page 65: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kerusuhan yang muncul di pedesaan. Dengan demikian hanya Sunanlah yang

berhak menyewakan tanahnya kepada perusahaan perkebunan, sedangkan tenaga

kerja untuk perusahaan perkebunan itu dilakukan dengan kerja bebas. Dengan

cara ini kerja wajib yang berat dapat dikurangi. Sehubungan dengan sangat

diperlukannya penjagaan keamanan di pedesaan, tugas kepolisian dibebankan juga

kepada para kepala desa.

Reorganisasi tidak hanya didasarkan atas kesatuan organisasi politik dan

pemerintahan, tetapi atas kesatuan pajak desa. Desa-desa ada di bawah kekuasaan

lurah, dan lurah tidak dipilih oleh rakyat, tetapi diangkat oleh bupati dengan

persetujuan asisten residen (Suhartono, 1991:95).

Ada empat tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan reorganisasi

tersebut, antara lain : (1) Penghapusan tanah lungguh, (2) Pembentukan desa

sebagai unit administrasi, (3) Pemberian hak-hak penggunaan tanah yang jelas

kepada petani, (4) Perbaikan aturan sewa tanah.

Dimulainya reorganisasi, khususnya terhadap tanah-tanah apanage, maka

secara struktural terjadi perubahan kedudukan tanah. Penguasaan tanah oleh patuh

dengan hak anggadhuh (pinjam sementara) telah dihapuskan dan hak tanah itu

diberikan kepada petani dengan hak andarbe (milik) secara individual. Dengan

berubahnya kedudukan tanah berarti petani memiliki kebebasan terhadap

tanahnya. Tanah tidak hanya ditanami bahan pangan tetapi juga disewakan pada

perusahaan perkebunan untuk tanaman ekspor. Cara ini dimaksudkan agar

perusahaan perkebunan mudah mendapat tanah-tanah dari petani. Terjadinya

perubahan kedudukan tanah dari kedudukan statis ke dinamis menyebabkan

terjadinya komersialisasi tanah. Ekstraksi tanah ditingkatkan sesuai dengan

kemajuan komersialisasi komoditas ekspor (Suhartono, 1991:97).

Tujuan yang tersurat dari reorganisasi adalah memajukan ekonomi petani,

namun kenyataannya kehidupan petani tidak menjadi lebih baik. Sawah petani

semakin terdesak karena perusahaan perkebunan menggunakan sekitar 40 %

sawah petani. Perubahan kedudukan tanah apanage tetap menguntungkan elite

desa. Mereka bekerja sama dan membantu kepentingan pabrik dan perusahaan

perkebunan, terlebih mereka mendapat rangsangan berupa uang tunai jika mereka

Page 66: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

berhasil menyediakan tanah, sehingga tidak mustahil mereka mengorbankan

kepentingan lapisan bawah dari masyarakat pedesaan. Kekuasaan perusahaan

perkebunan ternyata besar sekali terhadap petani dan buruh tani. Ketergantungan

petani tidak dapat dihindari lagi selama perusahaan perkebunan dianggap sebagai

penyelamat. Sebaliknya, perusahaan itu tidak lebih dari sebuah kekuatan

pendorong ke arah pemelaratan petani (Suhartono, 1991:103).

Perubahan administrasi kolonial yang bersifat legal- rasional tidak

selamanya dijalankan, sebab selalu terjadi pertentangan antara kepentingan

jabatan dengan kepentingan pribadi. Seringkali kepentingan pribadi lebih dominan

daripada kepentingan jabatan sehingga para birokrat melakukan penyimpangan.

Pemerintah kolonial menganggap tindakan seperti itu sebagai pemerasan dan

penyalahgunaan wewenang. Seperti R.T. Gondosaputro, seorang patih

Mangkunegaran, yang dituduh menyelewengkan doewit gantoengan, padahal

uang itu digunakan untuk membayar para narapraja, namun tindakan itu oleh

pemerintah dianggap sebagai penyelewengan, yang kemudian dia ikut dalam

gerakan Srikaton. Hal itu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kolonial

membuat tekanan bagi elite istana, sehingga dapat dipastikan mereka mencari

kelompok sosial yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah kolonial, agar

mendapat pendukung untuk melawan represi kolonial (Suhartono,1991:72).

Sebagai kelompok yang dimarginalkan oleh pemerintah kolonial, mereka

mengisolasi diri dan membentuk kelompok untuk mempertahankan hidupnya.

Oleh karena tidak tersedia jalan untuk mengadukan nasibnya, mereka bergerak

melalui kekerasan dan kekuatan untuk mendapatkan haknya yang telah diambil

oleh pemerintah kolonial. Karena inilah pemerintah kolonial cenderung untuk

menganggap kerusuhan itu sebagai tindakan kriminal tanpa melihat sebab-

sebabnya yang lebih mendalam.

Dominasi barat menciptakan desintegrasi yang meliputi: dominasi

ekonomi, politik, dan kultural. Dominasi ekonomi yang berupa perluasan

monetisasi faktor-faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja, komoditas ekspor,

dan pengenalan pajak baru jelas memperberat beban. Kehidupan petani menjadi

sangat tergantung pada perusahaan perkebunan maupun penguasa kolonial.

Page 67: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Sehubungan dengan perluasan agro- industri dan birokrasi timbullah diferensiasi

struktural yang menciptakan peranan baru dalam masyarakat. Dominasi politik

membuahkan hubungan yang tidak wajar sehingga terjadi ketegangan dan

ketidakserasian. Perluasan administrasi kolonial yang legal-rasional menempatkan

penguasa kerajaan di bawah kekuasaannya, dan mendesak lembaga- lembaga

tradisional. Dominasi kultural barat mendesak norma-norma yang ada sehingga

masyarakat kehilangan orientasi. Dalam keadaan seperti ini diperlukan pegangan

hidup yang menuntun ke arah orientasi baru yang menentramkan. Jadi, protes

sosial dan kerusuhan merupakan jalan keluar yang ditempuh oleh pimpinan

gerakan untuk mengembalikan situasi lama yang aman (Suhartono, 1991:153).

Di awal abad XX, muncul organisasi seperti SI (Sarekat Islam) yang hidup

subur dan mendapat tempat di pedesaan Surakarta. Ini merupakan bukti bahwa

gerakan politik di Surakarta mendapat dukungan dari semua lapisan atas yang

terdiri dari para bangsawan dan priyayi, tetapi juga lapisan bawah. Dalam dua

dasawarsa, situasi politik di Surakarta berkembang cepat karena di daerah ini

tumbuh beberapa jenis organisasi modern yang dijadikan dasar perkembangan

organisasi politik selanjutnya. SI muncul sebagai reaksi terhadap pemerintah

kolonial yang melindungi kepentingan ekonominya sendiri. Karena melalui

diskriminasi dan eksploitasi usaha-usaha, perbaikan ekonomi pribumi selalu

ditekan (Suhartono, 1991:80).

Perlawanan terhadap para penguasa, kebanyakan dari para pemimpin dan

pengikut gerakan akan mendapat hukuman yaitu dibuang ke luar Jawa, meskipun

itu masih anggota di kerajaan sendiri. Seperti ketika Residen Surakarta, G.F. Van

Wijk bertugas, ditangkaplah para pemimpin yang membuat kerusuhan di

Surakarta. Seorang dari pemimpin kerusuhan itu, dimotori oleh elite istana, yaitu

seorang kemenakan Sunan sendiri. Kemudian berdasarkan Keputusan Pemerintah

tgl. 9 Nopember 1910 No. 6, para pemimpin kerusuhan tersebut dibuang ke luar

Jawa, supaya tidak mengganggu jalannya pemerintahan kolonial.

Dapat dilihat bahwa gerakan-gerakan yang terjadi mendapat dukungan dari

kalangan bangsawan yang tidak puas terhadap pemerintahan yang sedang

berjalan. Munculnya gerakan ini tidak dapat dipisahkan dari besarnya kekuasaan

Page 68: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

asing sehingga menciptakan reaksi kuat untuk melenyapkannya. Meluasnya

kekuasaan asing berarti merosotnya ketertiban di berbagai bidang kehidupan, dan

pengusiran bangsa barat termasuk sekutunya menjadi tujuan utama gerakan itu

karena mereka membentuk kelompok penguasa.

Gerakan-gerakan itu merupakan indikator dan reaksi masyarakat yang

sudah merata di pedesaan. Hal ini merupakan bukti bahwa dominasi kekuasaan

kolonial yang disertai perubahan sosial sudah mengganggu ketertiban dan

menggoncangkan masyarakat. Walaupun terjadi secara mikro, reaksi terhadap

penetrasi ini menjangkau daerah pedesaan yang luas, dan rupanya reaksi ini tidak

dapat dikendalikan lagi. Gerakan radikalisme merupakan kekuatan laten yang

diwujudkan secara agresif. Harapan tentang kesejahteraan dan ketentraman

diperkuat oleh simbol-simbol keagamaan menjadi penggerak massa sehingga

gerakan itu menjadi militan dan radikal.

B. Ideologi Islam Dijadikan Pendorong Gerakan Politik Islam

di Surakarta

Menurut Weber yang dikutip oleh A. S. Maarif (1992:23), mengemukakan

fungsi agama, yang secara garis besar berfungsi sebagai alat legitimasi. Setelah

suatu otoritas dimiliki oleh sekelompok kaum elite, maka kemudian kaum elite ini

menggunakan sistem simbol yang ada, misalnya agama untuk mempertahankan

kekuasaannya. Agama juga digunakan sebagai penjelas terhadap situasi kritis.

Situasi kritis itu terjadi apabila realitas di masyarakat berada pada kondisi yang

jauh dari tatanan yang harmonis, dan tidak dapat dijelaskan oleh pengetahuan lain.

Situasi kritis ini disebut sebagai situasi marginal, yang bisa saja berupa

pengalaman individu, kelompok sosial atau bahkan suatu masyarakat yang dalam

waktu kritis menghadapi situasi ini secara bersama-sama. Seperti PB X yang

memanfaatkan Islam sebagai kekuatan politik atau alat politik untuk menghadapi

hegemoni politik kolonial yang menekan rakyat bawah.

Ideologi Islam digunakan untuk memobilisasi massa, dan Islam sebagai

suatu kriteria pengukur loyalitas dan dasar persatuan di Indonesia merupakan hal

Page 69: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

yang penting karena berhubungan dengan berkembangnya kekuasaan Belanda ke

seluruh tanah air. Dapat dimengerti bahwa Belanda memandang Islam sebagai

suatu kemungkinan ancaman terhadap mereka dan bahwa sebaliknya, datangnya

Belanda dalam pandangan pribumi merupakan penyerangan terhadap Islam

(Deliar Noer, 1980: 30).

Menurut Clifford Geertz yang dikutip oleh Hermanu (2010:20), bahwa

ideologi Islam berperan dalam membentuk solidaritas sosial yang berguna bagi

kepentingan pergerakan kebangsaan, dan saluran-saluran untuk melampiaskan

gerakan politik massa, dengan cara menampilkan simbol perlawanan secara

kekerasan dan membangun jejaring politik maupun jejaring sosial yang

berideologi sama, sehingga aksi-aksi perlawanan yang dilakukan dapat tepat

sasaran. PB IX menempatkan pesantren sebagai jejaring politik, yang kemudian

diperluas dengan kelompok-kelompok agama yang melakukan gerakan

perlawanan terhadap hegemoni politik Belanda.

Islam sebagai suatu kriteria pengukur loyalitas dan dasar persatuan di

Indonesia, merupakan hal yang penting karena berhubungan dengan

berkembangnya kekuasaan Belanda ke seluruh tanah air, dan dapat dimengerti

bahwa Belanda memandang Islam sebagai suatu kemungkinan ancaman terhadap

kedudukan mereka (Deliar Noer, 1980:30). Pemerintah kolonial Belanda

melakukan tekanan-tekanan terhadap masyarakat secara politik, ekonomi, dan

kultural, karena secara konseptual Islam akan berusaha sekuat tenaga untuk

melakukan pemberdayaan diri.

1. Gerakan Politik Islam Di Surakarta

Saat Paku Buwono X memerintah di Kasunanan, ia berusaha membangun

jejaring politik dan sosial antar elit politik untuk menghadapi pemerintah kolonial.

PB X membangun sinergi dengan kaum intelektual, ulama, dan pengusaha batik

Laweyan untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat. PB X memanfaatkan

kaum intelektual dan pengusaha Muslim sebagai jejaring politik dan komunikasi

politik untuk menggerakkan organisasi politik massa. Hal tersebut juga

memberikan dorongan bagi elit istana lainnya untuk berpartisipasi dalam

Page 70: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

membangun kekuatan masyarakat Muslim yang berdampak pada tumbuhnya rasa

nasionalisme (Hermanu, 2010:20).

Sebuah kedaulatan yang dimiliki oleh suatu bangsa membutuhkan agen

pembaharu yang memiliki kekuatan dan kewibawaan, serta dapat menyatukan

solidaritas sosial masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol Islam ke dalam

kehidupan masyarakat untuk menggugah kesadaran nasionalisme. Kaum

intelektual dan pengusaha Muslim berpandangan bahwa ideologi Islam

merupakan ideologi yang ideal dalam menghadapi kolonialisme, karena melalui

ideologi tersebut dapat menarik kekuatan massa sebanyak-banyaknya. Ideologi

Islam pun dipahami sebagai ideologi yang anti kolonialisme.

Menurut Niccolo Machiavelli yang dikutip oleh Hermanu (2010: 29),

penggunaan ideologi agama dalam menghadapi dominasi kolonial identik dengan

penggunaan ideologi sebagai alat politik, yaitu untuk menumbuhkan harapan dan

semangat masyarakat yang tertindas secara politis maupun ekonomi. Ideologi

islam sangat berkepentingan dalam membangun moral dan sikap para penguasa,

karena kekuasaan tanpa landasan agama tidak akan bertahan lama. Karena saat

kekuasaan berhasil didapat, dan politisi meninggalkan etika dan moral, maka

kekuasaan menjadi tidak berarti, oleh karena kekuasaan itu diperuntukkan untuk

kesejahteraan rakyat bukannya kepentingan individu atau golongan.

Ideologi yang menambah kharisma pemimpin agama dan memperkuat

semangat perjuangan melawan penjajah sebagai orang kafir ialah jihad. Elite

birokrasi pribumi yang berkerja sama dengan penjajah juga dipandang hina di

mata masyarakat. Dalam pergolakan sosial, ideologi perang sabilillah yang

megobarkan semangat pemberontakan. Semangat perang tersebut dikobarkan

dengan munculnya selebaran-selebaran yang mengajak untuk menggulingkan

kekuasaan Belanda, dan muncul sebuah kesadaran akan realitas yang ada, yaitu

pemerintah Belanda merampok kekuasaan Sunan, dan mengeruk sumber-sumber

alam Jawa untuk kepentingan mereka sendiri (Houben, 2002:483).

Pertahanan Islam terhadap penetrasi barat melalui sikap kolonialnya, tidak

lepas dari perhatian orang-orang Indonesia Muslim. Jumlah orang-orang yang

dapat membaca dan menulis memang kecil, dan jumlah persuratkabaran pun

Page 71: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sedikit jumlahnya, tetapi hal-hal tersebut tidak menyebabkan terisolasinya orang-

orang Indonesia dari kejadian-kejadian penting di dunia. Orang-orang Islam di

Indonesia dapat mengikuti perkembangan di luar negeri itu melalui surat kabar

yang dimasukkan dari Timur Tengah atau dari berita-berita yang dibawa oleh

orang-orang yang pulang haji. Berita-berita ini disebarkan melalui cerita-cerita

dari mulut ke mulut dalam percakapan-percakapan yang dilakukan di warung-

warung ataupun di langgar-langgar dan masjid terutama setelah sembahyang

maghrib (Deliar Noer, 1980: 35).

Kesadaran politik masyarakat Muslim di pedesaan yang dibangkitkan oleh

ulama dan pesantren memacu mereka untuk melakukan gerakan protes menentang

diskriminasi dan ketidakadilan dalam pengelolaan tanah lungguh di

Vorstenlanden. Gerakan protes yang dilakukan menggunakan ideologi Islam,

karena dinamika perluasan pendidikan makin kokoh seiring dengan banyaknya

masyarakat Muslim yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Mereka melakukan

komunikasi politik dengan haji-haji di seluruh dunia, sehingga membuka

pemikiran politik mereka. Pendirian organisasi-organisasi Muslim merupakan

pencerminan dari keengganan para pendirinya untuk tetap tertinggal dari

kemajuan yang dicapai oleh orang-orang barat, serta prestasi yang dicapai oleh

orang-orang Cina yang telah dapat berhasil menegakkan sebuah organisasi sosial.

Islam politik adalah sebuah paradigma, pandangan, sikap mendasar dan

tingkah laku politik baku organisasi-organisasi dan para politisi Islam yang

tersesuaikan di dalam struktur hubungan tak seimbang dengan wajah kekuatan

barat. Sebab hanya dengan poltiiklah jalan bagi artikulasi diri terbuka bagi

kalangan Islam. Di bawah pengaruh kekuatan barat yang hegemonic secara

politik, militer, dan ekonomi, serta budaya, kekuatan Islam yang laten dan tidak

pernah mau terdudukkan dalam posisi tersudut, lebih mentransformasikan ke

dalam bentuk ideologi politik dengan menggunakan simbol-simbol kegamaan

(Fachry Ali, 2004:320).

Munculnya gerakan politik Islam merupakan gejala bahwa kekuatan Islam

dapat dibangkitkan untuk menghadapi kolonialisme Belanda. Seperti yang

dilakukan oleh PB X dalam menghadapi tekanan ekonomi, polit ik, dan sosial. PB

Page 72: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

X memasukkan simbol-simbol Islam melalui pendirian madrasah atau pesantren.

Berdirinya madrasah membangkitkan kemandirian masyarakat Muslim, dan

merupakan simbol perlawanan untuk meraih keseimbangan sosial, ekonomi, dan

politik (Hermanu, 2010: 13).

Pendirian organisasi-organisasi Muslim merupakan pencerminan dari

kengganan para pendirinya untuk tetap tertinggal dari kemajuan yang dicapai oleh

orang-orang barat, serta prestasi yang dicapai oleh orang-orang Cina yang telah

dapat berhasil meneggakkan sebuah organisasi sosial di kalangan mereka, seperti

pendirian SDI yang kemudian menjadi SI di Surakarta. SI telah mencerminkan

suatu usaha sadar dari pemimpin-pemimpinnya untuk menyebarkan dan

menegakkan cita-cita nasionalisme, dengan Islam sebagai ajaran yang dianggap

dasar dalam pemikiran tersebut. Sifat politik dari organisasi ini dirumuskan dalam

keterangan pokok (Asas), yang mengemukakan kepercayaan SI, bahwa agama

Islam itu membuka rasa pikiran perihal persamaan derajat manusia sambil

menjunjung tinggi kepada kuasa negeri dan Islam untuk mendidik budi pekertinya

rakyat (Deliar Noer, 1980: 36).

Kekuatan SI terletak pada basis kekuatan ulama, karena dalam Islam ada

sebuah amanat bahwa umat Islam harus berdagang, maka dari situ kekuatan Islam

terbentuk. Dengan meningkatnya pendidikan dan ekonomi para pedagang

Muslim, maka secara ekonomi, orang Muslim termasuk golongan yang

berpengaruh atau sejajar dengan pedagang Cina, walaupun dalam struktur social

Eropa masih termasuk golongan bawah.

Gerakan politik Islam mengokohkan akar-akar keagamaan yang tersurat

dalam pendirian lembaga pendidikan Islam. Secara simbolik madrasah menjadi

tempat perlawanan Muslim terhadap kebijakan publik yang tidak berdasarkan

pada etika dan moral politik. Gerakan politik Islam di keraton Surakarta lebih

menonjolkan identitas Islam, karena dipandang berkaitan dengan martabat dan

harga diri Muslim.

Sikap Belanda dalam menghadapi munculnya Pan-Islamisme, sehingga

merasa khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam yang fanatik.

Dalam rangka menghadapi Islam di Indonesia, pemerintah kolonial bekerja sama

Page 73: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dengan para kepala adat, dan menggunakan lembaga adat untuk membendung

pengaruh Islam. Politik Islam yang dilakukan pemerintah kolonial yaitu

menerapkan kebijaksanaan pemerintah kolonial dalam mengelola masalah-

masalah Islam di Indonesia (Aqib Suminto, 1986: 9-10).

Tarekat yang menjadi katalisator untuk mempersatukan umat Muslim,

dianggap sebagai aliran yang keras oleh pemerintah Belanda, sehingga banyak

orang-orang tarekat dibuang dan dilakukan pengawasan yang ketat sekali, dengan

pelarangan tarekat oleh kepala pribumi (K. A. Steenbrink, 1984: 59).

C. Peran Pemimpin Islam Dalam Gerakan Politik Islam

Radikalisasi yang terjadi dalam masyarakat tidak terlepas dari sosok

pemimpin kharismatik, didahului oleh suatu kondisi yang kondusif untuk

munculnya gerakan, hal ini ditandai dengan rusaknya nilai tradisional, di sisi lain

masyarakat menolak keberadaan penguasa kolonial dengan aturan-aturannya

waktu itu. Kondisi ini mampu menghilangkan norma yang sudah jelas dalam

masyarakat, sehingga munculnya pemimpin kharismatik dapat diterima oleh

masyarakat sebagai legitimasi kekuasaan dan semua bentuk perubahan yang

menyertainya. Keresahan yang terjadi dalam masyarakat menciptakan suatu

keadaan yang dirasa perlu adanya figur pemimpin yang dapat menjembatani

antara aturan kolonial yang menekan masyarakat dan keinginan untuk

menciptakan masa depan yang lebih baik. Ulama yang merupakan elemen paling

esensial dari suatu pesantren, yang dilihat sebagai orang yang dapat memahami

keagungan Tuhan, sehingga dianggap memiliki kedudukan yang tinggi dan

symbol dari kealiman (Zamakhsyari Dhofier, 1982: 56).

1. Peran Ulama Dalam Gerakan Sosial Keagamaan

Munculnya gerakan sosial keagamaan tidak lepas dari peranan pemimpin

yang mampu memobilisir massa sehingga menjadi sebuah kekuatan yang besar,

pemimpin yang kharismatik, yang dapat berasal baik dari elite kota maupun dari

elite desa sendiri. Pemimpin kharismatik mampu menjadi daya tarik untuk

mencari pengikut dalam suatu gerakan radikal keagamaan. Konsep mengenai

kepemimpinan erat hubungannya dengan masyarakat tradisional, modern, maupun

Page 74: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

masyarakat yang sedang mengalami transisi ke arah modern. Kepemimpinan

terdapat dalam komunitas kecil maupun dalam suatu nation, baik oleh masyarakat

tradisional maupun yang sudah bersifat modern (Suhartono, 1991: 165). Ada

banyak kasus yang menunjukkan pemberontakan yang dipimpin oleh para

bangsawan, dan lebih banyak lagi kasus pemberontakan yang dipimpin oleh

ulama pedesaan.

Mobilisasi massa kebanyakan memakai ideologi ratu adil atau jihad fi-

sabilillah sebagaimana tampak dalam gerakan messianisme dan millenarianisme

pada abad ke-19. Bahkan gerakan-gerakan modern seperti SI tidak jarang

memakai ideologi ratu adil di tingkat pengikut bawahan. SI lokal banyak terlibat

dalam radikalisasi dengan sasaran kultural, ekonomis, maupun sosial. Sasaran

kultural biasanya ditujukan kepada pembasmian simbol-simbol adat yang

bertentangan dengan agama, sasaran ekonomis ditujukan pada dominasi ekonomi

pedagang Cina, dan sasaran sosial ditujukan kepada kaum ambenaar atau priyayi

yang melambangkan kekuasaan kolonial (Kuntowijoyo, 2002:6-7).

Perlawanan terhadap kolonialisme, dipimpin oleh orang-orang dari

golongan tertentu dalam masyarakat. Golongan agama yaitu para ulama, yang

memegang pimpinan ini bertindak sebagai penasihat, pemberi landasan keyakinan

untuk mempertebal semangat dan tekad berperang. Pengaruh pemimpin menjadi

lebih kuat apabila di samping ia berasal dari golongan bangsawan, juga tergolong

orang yang saleh dan mahir dalam soal keagamaan. Dalam keadaan demikian

loyalitas pengikut pada pemimpin juga bertambah kuat (William H. Frederick dan

Soeri Soeroto, 1982: 218).

Berdasarkan nilai agama, para pemuka agama, yaitu kyai, haji, ulama

semacam elite religius mempunyai kewibawaan sosial yang tinggi di kalangan

rakyat di pedesaan. Para kyai mempunyai identitas yang sama dengan petani

sehingga mempunyai lebih banyak alat komunikasi dengan rakyat pedesaan.

Dalam menggerakkan pengikutnya, para ulama memegang peranan utama.

Perasaan tidak puas terhadap peraturan-peraturan pemerintah menciptakan kondisi

yang baik untuk menghimpun pendukung pergerakan. Melalui pesantren dan

Page 75: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

tarekatnya, kyai dapat mengadakan kontrol pada masyarakat desa dan dengan

demikin secara mudah dapat mengerahkan massa secara massive.

Menurut tradisi Islam, para ulama sangat terpandang, karena memiliki

pengetahuan agama yang luas, dan memiliki moralitas yang tinggi, serta memiliki

otoritas kharismatis, yang tidak hanya dilihat di lingkungan murid-muridnya tetapi

juga di kalangan rakyat luas. Otoritas seorang ulama sebagai guru tarekat sangat

tinggi karena hubungan yang erat antara guru dan murid, bahkan tidak sedikit

yang menganggapnya sebagai wali Tuhan. Otoritas kharismatis dari elite religious

sebagai counter-elite secara potensial merupakan ancaman terhadap establishment

kolonial. Dikarenakan bahwa sebagian besar dari kerusuhan atau pergerakan di

daerah pedesaan dipimpin oleh elite religius itu (Sartono Kartodirdjo, 1982:233).

Para kyai bertindak sebagai cultural broker bagi masyarakat bawah,

terutama bagi para santri yang merupakan massa yang diberikan gagasan-gagasan

abstrak mengenai perlawanan terhadap kolonial. Pada abad XIX, masyarakat

Islam di pedesaan telah memiliki kesadaran politik yang dibangkitkan oleh

pemimpin agama. Pemimpin agama merupakan elit politik sekaligus elit sosial

dalam struktur masyarakat pedesaan. Ulama dan pesantren merupakan sumber

kekuatan dalam menghadapi kekuatan kolonial.

Pesantren ialah tempat pendidikan para santri. Santri ialah orang dewasa

yang belajar tentang dasar dan inti kepercayaan Islam, di bawah pimpinan seorang

guru agama atau kyai. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional,

dengan demikian memiliki ciri penting, yaitu santri, kyai, masjid, dan pondok.

Hubungan keempat unsur tersebut sangat erat, lebih- lebih hubungan antara kyai

dan santri yang menggambarkan hubungan “guru-murid”, sangat khas dalam

dunia kehidupan pesantren, yang juga mencakup komunitas orang Muslim atau

kaum Muslimin yang memiliki identitas, simbol, dan tradisi budaya sebagai

sebuah subkultur Islam di Jawa (Djoko Suryo, 2005: 1169). Pesantren kemudian

menjadi alat penghubung yang penting antara umat Islam Indonesia dengan pusat

asal agama dan kebudayaan Islam di Arab.

Faktor yang menyebabkan seseorang menjadi kyai besar, antara lain : 1)

pengetahuannya, 2) kesalehannya, 3) keturunannya, 4) jumlah muridnya.

Page 76: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pengabdiannya pada masyarakat dan kewibawaannya, serta perantara wahyu

menempatkan kyai pada kedudukan yang khas dalam kalangan umat Islam (K. A.

Steenbrink, 1974:109-110).

Kyai mempunyai kewibawaan yang didasarkan atas kedalaman

pengetahuannya tentang ilmu agama Islam. Dalam abad ke-18 dan 19,

kewibawaan para kyai itu menjadi lebih tinggi, karena kyai sudah melakukan

ibadah haji ke Mekkah sebagai salah satu rukun Islam. Sebagai haji, kyai lebih

dihormati dan disegani oleh para santri dan masyarakat sekelilingnya. Kyai

sebagai pemimpin pesantren sangat besar pengaruhnya terhadap para santri, umat

Islam yang ada di sekeliling pesantren bahkan di luarnya. Besar pengaruh seorang

kyai terutama bergantung dari (S.Soebardi,1978:69-70):

1) keluasan ilmu pengetahuannya tentang agama Islam yang dimilikinya,

2) integritas spiritual dan moral daripada kyai,

3) kebijaksanaan pimpinannya,

4) hubungannya dengan umat Islam di luar pesantrennya,

5) telah menjalankan rukun Islam yang kelima, yaitu pergi naik haji dan atau

bermukim di kota suci Mekkah, dan

6) bergantung dari kekayaannya

Pengaruh kyai tidaklah terbatas hingga di lingkungan pesantren saja,

melainkan juga terasa ke seluruh desa. Kyai yang bersangkutan sangat dihormati

oleh seluruh penduduk desa. Dalam masalah sehari-hari pun pendapat dan

nasihatnya sering dimintai oleh orang-orang kampungnya. Perkataan seorang kyai

sangat ditaati, fatwanya dianggap benar (Deliar Noer, 1982:18).

Hancurnya relasi antara raja dan ulama merupakan salah satu penyebab

merosotnya kekuasaan politik kerajaan tradisional di Jawa. Oleh karena, ulama

memiliki peranan sebagai kelompok penekan dalam menyalurkan aspirasi

masyarakat, dan sebagai kelompok kepentingan yang memperjuangkan

kepentingan dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik kerajaan untuk

memperoleh keputusan yang menguntungkan dan menghindari keputusan yang

merugikan. Namun, ketika perannya sebagai kedua kelompok tersebut hilang,

maka para ulama dapat berperan sebagai kelompok oposisi (Hermanu, 2010:4).

Page 77: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Ulama yang mempertahankan kemurnian agama menolak pengaruh Barat

yang makin meluas. Pengembaraan para haji dan pesatnya kemajuan pesantren

menimbulkan kekhwatiran pemerintah kolonial. Para residen di Jawa mencegah

pengaruh ulama dan pengaruh yang masuk ke Jawa. Mereka saling mengingatkan

kemungkinan terjadinya gerakan-gerakan agama. Ulama di pedesaan berpengaruh

di kalangan lapisan bawah, tetapi ulama atau penghulu yang ada di kalangan

birokrat tidak memiliki pengaruh. Salah satu sebabnya ialah karena pengaruh

barat lebih cepat diterima oleh lapisan atas, sedangkan lapisan bawah masih dalam

proses pengenalan ke dalam lembaga- lembaga kolonial. Oleh karena itu, dapat

dimengerti bahwa lapisan bawah jauh lebih kuat menganut ajaran agama Islam

sebagai pegangan dalam menghadapi pengaruh barat (Suhartono, 1991:75).

Sejak tahun 1860-an di dalam Aglemeen Verslag der Residentie

Soerakarta dimuat banyaknya jemaah haji yang datang dan pergi setiap tahun.

Jumlah jemaah yang pergi tercatat tidak banyak, tetapi yang pulang pada tahun-

tahun tertentu jumlahnya meningkat. Hal ini disebabkan jemaah tinggal beberapa

tahun di Mekkah untuk mempelajari ilmu agama dan mereka pulang dalam

rombongan besar. Pada tahun 1887, di Surakarta tercatat 834 orang haji, di antara

merekalah bangkit semangat revivalisme agama (Suhartono, 1991:74).

Dalam masyarakat, para ulama mempunyai kedudukan mantap karena

mereka memiliki otoritas tradisional dan kebebasan baik ekonomi maupun politik.

Antara ulama dengan masyarakat terjalin hubungan timbal balik, artinya di satu

pihak mereka memberikan perlindungan, dan di pihak lain masyarakat

memberikan penghormatan dan pelayanan sosial. Hubungan dua golongan sosial

ini membentuk jalinan kehidupan di pedesaan yang harmonis. Oleh karena itu,

wajar jika mereka mampu memobilisasi massa untuk berpartisipasi penuh untuk

menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial dan memiliki loyalitas tinggi.

Dalam hal imbangan kekuatan, ulama yang tidak kuat menghadapi

penguasa kerajaan maupun kolonial bersekutu dengan kelompok lain yang

dianggapnya dapat membantu tujuan politiknya, terutama kelompok yang kecewa

dan tidak puas terhadap pemerintah kolonial. Dalam keadaan seperti ini yang

ditemukan adalah sebagian dari elite istana.

Page 78: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. Peran Kaum Intelektual Dalam Gerakan Sosial Keagamaan

Memasuki abad XX, seiring dengan berkembangnya organisasi sosial dan

politik, serta bertambahnya jumlah kaum intelektual yang berpendidikan barat,

membuat peran ulama beserta pesantren digantikan oleh organisasi politik yang

dipimpin kaum intelektual. Dengan perkembangan diferensiasi dalam sistem

sosial-ekonomis baru dan sistem pendidikan baru muncullah sistem stratifikasi

sosial baru serta struktur-struktur organisasi dan lembaga- lembaga baru. Sistem

pendidikan baru menghasilkan golongan intelektual yang mulai memegang

peranan dalam fungsi- fungsi baru diciptakan oleh perkembangan proses

birokratisasi, komersialisasi, dan urbanisasi. Kaum intelektual memperoleh

pengetahuan baru dan mengenal nilai-nilai baru yang berasal dari masyarakat

industrial, seperti mempertinggi taraf kehidupan rakyat, partisipasi rakyat dalam

pemerintahan, persamaan, keadilan sosial, pengetahuan dan teknologi modern.

Kesadaran akan perbedaan ide- ide itu dengan kenyataan di negerinya sendiri

membangkitkan pergerakan nasional yang merupakan kelompok-kelompok

solidaritas baru. Organisasi-organisasi nasional dan partai-partai politik tidak

hanya menjadi pelaku pokok dari solidaritas politik elite modern tetapi juga

berfungsi sebagai institusionalisasi otoritas golongan-golongan baru tersebut.

sebagai pemimpin pergerakan nasional, kaum intelektual memperoleh kharisma,

terutama karena sebagai pendukung utama ide- ide baru memainkan peranan pusat

dalam memperjuangkan perwujudannya (Sartono Kartodirdjo, 1982:235).

Kaum intelektual yang mencita-citakan suatu orde baru dan yang lebih

baik bertindak sebagai pemimpin dari masyarakat yang mendatang, maka

modernisasi yang diperjuangkan itu merongrong kedudukan dan kepemimpinan

aristokrasi lama. Pada hakikatnya elite modern bersikap idealistis dan sangat

menyadari peranannya yang simbolis sebagai pendukung ideologi- ideologi

modern, seperti antikolonialisme, demokrasi, humanitarianisme, sosialisme, dan

sebagainya. Elite modern ini merupakan unsur kepemimpinan dari pergerakan

nasional dan negara merdeka yang dihasilkan oleh perjuangannya.

Page 79: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Di Surakarta muncul borjuasi bumiputera yang kuat, yaitu pengusaha dan

pedagang batik, dimana industri batik di Surakarta yang mengontrol pasar

nasional. Gerakan terjadi di Surakarta, karena Surakarta merupakan tempat

keraton-keraton Jawa, selain Yogyakarta, dan dianggap sebagai tempat pusatnya

tradisi Jawa. Surakarta sebagai arena pusat pergerakan di mana semua kekuatan

sosial bergabung dalam pergerakan atau bahkan anti pergerakan. Semua insiden,

oleh residen Surakarta dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban (rust en

orde) (Takashi Shiraishi, 1997: 16).

Menurut Suhartono (1991: 91), secara defacto, residen yang bertanggung

jawab terhadap keamanan di wilayahnya, tetapi residen merasa canggung untuk

bertindak karena ada dua kerajaan yang masing-masing mempunyai otonomi dan

kekuasaan walaupun terbatas. Walaupun demikian pengaruh kolonial telah

mendominasi struktur birokrasi kerajaan di Jawa, sehingga segala sesuatu yang

terjadi pada kerajaan harus sepengetahuan residen yang merupakan wakil

pemerintah Belanda.

Struktur birokrasi kolonial, wewenang merupakan bagian yang

diperhatikan. Walaupun kerajaan di daerah Vorstenlanden mempunyai otonom

dan juga hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri, keamanan, dan juga

ketertiban merupakan bagian dari tugas daerah Vorstenlanden yang selalu diawasi

oleh residen masing-masing daerah. Dalam penyelasaian konflik, sangat tidak

mungkin kerajaan sebagai pemerintah otonom berjalan sendiri tanpa adanya

pelaporan terhadap pemerintah kolonial saat itu. Setiap kali terjadi konflik baik

pihak pemerintah kerajaan dan juga pemerintah kolonial selalu menjadi satu

kesatuan.

Gerakan radikal menurut Sartono Kartodirdjo (1975:241) adalah gerakan-

gerakan rakyat yang bersifat tradisional, sehingga strategi dan taktiknya masih

terlalu sederhana, berumur sangat pendek, berada dalam lingkup lokal atau

regional dan umumnya dilakukan untuk melawan keadaan yang dianggap tidak

adil. Dua pimpinan Insulinde cabang Solo yaitu Haji Miscbah dan Dr. Tjipto

Mangunkusumo yang umumnya dianggap sebagai otak di balik gerakan yang

sedang timbul di Surakarta. Dr. Tjipto Mangunkusumo dan H. Misbach memilih

Page 80: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perlawanan propaganda dengan memobilisasi massa petani, padahal jika dilihat

kekuatan petani sangat tidak sebanding dengan kekuatan Belanda. Sikap

perlawanan Dr. Tjipto Mangunkusumo dilakukan dengan mengendarai kereta

kuda mengelilingi alun-alun utara Keraton Surakarta.

Gerakan radikal menentang kekuasaan feodal dan kolonial, serta

eksploitasi oleh perusahaan perkebunan yang dianggap sebagai penyebab semakin

menurunnya kesejahteraan rakyat. Tampilnya Tjipto Mangunkusumo dan H.

Misbach dalam gerakan radikal dapat dianggap sebagai perwujudan perasaan

tidak puas terhadap dampak peraturan baru, khususnya mengenai reorganisasi.

Selain itu, syarat perburuhan yang tidak layak merupakan penyebab timbulnya

gerakan protes.

Di kelurahan Nglungge, semua kuli kenceng diberi ½ bau tanah sawah dari

tanah komunal desa dan diharuskan membayar pajak tanah untuk tanah

pekarangan rumah dan lahan sawah mereka serta melakukan kerja wajib bagi desa

dan negara. Kemudian muncul gerakan protes menuntut penguasa supaya

pekerjaan mereka diperingan. Namun, penguasa menciduk pemimpin gerakan

tersebut karena aksi tersebut dikatakan illegal. Oleh karena itu, Tipto

Mangunkusumo dan H. Misbach menyerang penguasa yang menangkapi

pemimpin gerakan tersebut, dan mendorong para petani untuk terus melakukan

protes. Akan tetapi, pemimpin gerakan tersebut tetap dijatuhi hukuman, dan para

petani dibubarkan secara paksa. Setelah itu gerakan radikal yang tradisional

tersebut lenyap dan berhenti (Takashi Shiraishi, 1997: 213-214).

Dalam pemogokan di perkebunan Tegalgondo, Misbach selalu menentang

polisi dalam menghadiri pertemuan Insulinde dan menolak member daftar

kepemimpinan kelompok Insulinde yang mereka minta. Ketika menghadapi

polisi, Misbach menekan rasa takutnya dengan mengutip dan menyerukan ayat-

ayat Alquran. Jadi, pertemuan Insulinde yang dipimpin Misbach membuat

kekuasaan negara menjadi telanjang, sama sekali tidak memiliki legitimasi dan

kewibawaan. Hal tersebut yang dianggap residen mengganggu rust en orde.

Terjadi aksi mogok di Polanharjo, yang menolak kerja wajib bagi

perkebunan. Sekitar 1.500 petani pergi ke kota berjalan kaki membawa kartu

Page 81: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

anggota Insulinde, untuk menyatakan ketidakpuasan mereka dan menuntut

penyelesaian. Di bawah komando asisten residen, polisi segera membuat barikade

di pintu barat kota, jalan raya Solo, dan memblokade petani, serta para pemimpin

pemogokan ditangkap dan diintimidasi oleh polisi (Takashi Shiraishi, 1997: 230).

Terjadinya masalah wabah penyakit pes telah mempengaruhi polemik

politik di Surakarta, bahkan telah digunakan oleh para musuh keraton dalam

melakukan kritiknya terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1915, penyakit pes

sudah sampai di Surakarta (Restu Gunawan, 2005: 976-977). Untuk memberantas

wabah tersebut, pemerintah Belanda bekerja sama dengan raja-raja pribumi,

dengan memperbaiki rumah penduduk yang terkena wabah pes, yang ternyata

menimbulkan rasa tidak senang bagi penduduk. Gubernur Idenburg menentukan

kebijakan supaya seluruh Kota Surakarta secara sistematis diperbaiki blok demi

blok. Kebanyakan orang tidak bisa membiayai perbaikan rumah, sehingga

gubernemen memberi uang muka dalam bentuk bahan bangunan dan tenaga kerja,

dan masyarakat harus membayarkan kembali dalam angsuran bulan berikutnya

kepada raja-raja setempat, kemudian raja mengembalikan ke pemerintah Belanda.

Pemerintah menetapkan setiap rumah tiangnya diganti dengan kayu, atapnya

diganti dengan genting, dan gentingnya dicat putih. Bahan-bahan tersebut diberi

oleh pemrintah dengan cara mencicilnya setiap bulannya. Ketika pembayaran

tidak berjalan lancar, maka diganti dengan menngunakan sistem pajak yang sangat

memberatkan rakyat (Restu Gunawan, 2005: 982).

Di garis depan perlawanan terhadap pemerintah Belanda adalah Haji

Miscbah dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Dr. Tjipto Mangunkusumo adalah orang

pertama yang mengajukan kritik terhadap tindakan gubernemen untuk

memberantas wabah pes, yang dimanfaatkan untuk mencari keuntungan

pemerintah kolonial. Dalam pidatonya, Cipto mengecam pemerintah dalam

kebijakan pertaniannya dan kurangnya tinjauan masa depan serta karena perasaan

senang sendiri dalam mengurus pajak orang pribumi. Wabah pes baik di Surakarta

maupun di daerah lain sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Hindia

Belanda. Khusus di daerah Surakarta akibat adanya wabah pes telah berkembang

menjadi masalah politik di Surakarta. Oleh karena meningkatnya persebaran

Page 82: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

wabah di berbagai daerah, pemerintah kolonial mengambil kebijakan untuk

perbaikan rumah penduduk baik yang terkena wabah maupun yang tidak dan

dilakukan kampanye anti wabah yang menyeluruh di negeri Belanda yang

dibiayai oleh penduduk Hindia Belanda (Restu Gunawan, 2005: 986-987).

Dr. Tjipto Mangunkusumo dipandang sebagai sumber inspirasi intelektual

penting oleh aktivis SI yang radikal. Insulinde Surakarta membentuk satu komite

untuk menyelidiki kegelisahan penduduk akibat program perbaikan rumah secara

paksa untuk mencegah wabah penyakit dan berbagai tindakan administratif dari

pemerintah yang berlebihan.

Dr. Tjipto Mangunkusumo terus memperjuangkan nasib rakyat terhadap

tekanan pemerintah kolonial dan pemerintah kerajaan. Di Voksraad, ia melakukan

kampanye yang berapi-api, yang mengkritik pemerintah kolonial. Sehubungan

dengan banyaknya agitasi dan pemogokan, pada bulan Mei 1920, Misbach ditahan

oleh polisi kolonial, dan setiap kegiatan yang berupa rapat-rapat dilarang oleh

pemerintah. Kemudian waktu itu tidak diperkenankan adanya politik massa dan

pemerintahan Belanda adalah politik yang diwujudkan dalam sistem politik

Beamtenstaat, yaitu sistem negara yang mendasarkan kekuatannya pada pegawai

atau negara birokrasi, ditujukan untuk mengabdi pada negara dan mengawasi

dinamika masyarakat sehingga kekuatan intelejen harus muncul. Hal tersebut

membuat aktivitas politik secara otomatis dibatasi oleh kebijakan tersebut. Sistem

dominasi itulah yang melumpuhkan inisiatif dan kreativitas bumiputra (Hermanu,

2010: xxi).

Pada tanggal 20 April 1919, Misbach menggambar kartun di Islam

Bergerak yang isinya menyinggung kapitalis Belanda dan Pakubuwono X, yang

menghisap para petani dan mempekerja-paksakan mereka. Akibatnya ia ditangkap

pada tanggal 7 Mei 1919, kemudian ia dibebaskan pada 22 Oktober 1919.

Misbach merupakan tokoh pergerakan Insulinde, Misbach selalu mengutip ayat-

ayat Alquran sebagai basis propagandanya selama berada di Insulinde. Hal ini

menjadi ciri khas Misbach, sehingga ia tidak hanya dikenal sebagai aktivis

pergerakan, tetapi juga seorang mubaligh. Insulinde afdeling sepanjang

pergerakan tahun 1918-1920 berhasil memobilisir petani, yang memicu

Page 83: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

radikalisasi petani yang ternyata diluar kendali sehingga Insulinde mendapat

tekanan dari pemerintah (http://kampoengkauman.blogspot.com/kh-misbah-yang-

terlupakan.html).

Misbach aktif dalam gerakan-gerakan mobilisir rakyat, terutama petani

dan buruh. Keterlibatannya memberikan nuansa tersendiri, karena ia dikenal

sebagai orang yang tetap teguh menyampaikan dalil-dalil Alquran dalam ranah

perjuangannya. Misbach lebih memilih organisasi tempat ia berjuang, berdasar

pada pola geraknya. Itulah sebabnya ia tidak lagi aktif di Muhammadiyah serta SI

yang dipandangnya terlalu kooperatif dan lunak terhadap pemerintah, dan

memilih untuk bergabung dengan PKI yang lebih revolusioner dalam

memperjuangkan hak rakyat. Bahkan Misbach mengidentikkan perjuangan

muslim progresif sebagai “Islam Sejati”. Karena di dalam Islam terdapat anjuran

untuk menegakkan keadilan, kebenaran, kemanusiaan dan sebagainya, yang harus

diterapkan melalui politik dan sosial. Misbach memperjuangkan semangat religius

untuk membebaskan rakyat dari ketertindasan. Perlawanan yang mereka lakukan

dapat disebut sebagai gerakan semiperiferal, yaitu perlawanan yang berada di

daerah-daerah perbatasan dan memiliki kaitan dengan keraton.

Menurut Suhartono (1991: 92-93) dalam penanganan gerakan radikal, ada

beberapa solusi yang dilakukan, yaitu kebanyakan para pemimpin dan pengikut

gerakan akan mendapat hukuman yaitu dibuang ke luar Jawa, meskipun itu masih

anggota kerajaan sendiri. Pada bulan Oktober 1920, Misbach dijatuhi hukuman

dua tahun oleh pengadilan kolonial dan pada bulan Desember 1920, Dr. Tjipto

Mangunkusumo dijatuhi hukuman yaitu dibuang keluar Vorstenlanden. Dengan

ditindaknya dua orang tokoh tersebut berakhirlah gerakan radikal di Surakarta

tahun 1920 (Suhartono, 1991:87-88). Selain itu, juga digunakannya cara ronda

malam untuk mengatasi kerusuhan yang terjadi, tetapi juga tidak berhasil.

Kemudian residen membentuk sebuah asisten residen di beberapa wilayah

kekuasaan residen, hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan oleh

residen melalui kepanjangan tangan asisten residen, dan pemerintah kolonial

ataupun kerajaan selalu menggunakan cara kekerasan dalam penyelesaian gerakan

protes.

Page 84: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Sebuah gerakan dapat terjadi apabila terdapat faktor penentu, yaitu suatu

struktur sosial yang mendukung terjadinya suatu gerakan, yang terdiri dari

tekanan ekonomi dan struktur keadaan sosial dan politik. Pemerintah Belanda

yang pelan tapi pasti melakukan represi politik terhadap raja-raja pribumi untuk

melancarkan hegemoninya di Vorstenlanden. Paku Buwono X, yang

menggunakan simbol publik yaitu pemeliharaan tradisi budaya Jawa dan Islam

sebagai identitas, pendirian madrasah dan sekolah umum, membangun sarana dan

prasarana, mendorong berdirinya organisasi sosial dan politik di Surakarta. Hal

tersebut secara simbolik dapat dijadikan tempat perlawanan masyarakat Muslim

terhadap pemerintah kolonial. Politik simbol tersebut disebut sebagai gerakan

politik Islam, karena inti gerakan politik adalah mengokohkan nilai-nilai

keagamaan melalui pendidikan Islam. PB X memberi dorongan kepada kaum

intelektual untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap kolonialisme melalui

pendirian organisasi sosial dan politik, dan mendanai terbitnya surat kabar, seperti

Bromartani dan Timboel. Surat kabar menjadi alat untuk mengekspresikan

pemikiran kebangsaan, membentuk opini masyarakat, dan sarana untuk

menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah kolonial (Hermanu, 2010: 75).

Page 85: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Latar belakang terjadinya radikalisme Muslim di Surakarta tahun 1850-1920,

yaitu sebagai akibat adanya dominasi barat beserta perubahan sosial dan

ekonomi yang mengikutinya, serta reorganisasi Administrasi dan Agraria yang

menciptakan kondisi-kondisi yang cenderung bagi rakyat untuk mengadakan

pergerakan sosial. Dominasi barat memasuki kekuasaan politik kerajaan yang

menimbulkan kemunduran kekuasaan raja-raja Surakarta, sehingga Sunan

dianggap vasal oleh pemerintah kolonial. Muncullah ketidakpuasan dari

golongan besar masyarakat pedesaan di abad XIX dan awal abad XX, dengan

adanya berbagai faktor yang ada, maka banyak menimbulkan radikalisme

masyarakat Muslim dengan ideologi Islam sebagai pengobar semangat rakyat

untuk melawan kolonialisme.

2. Ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di Surakarta, karena

agama secara garis besar berfungsi sebagai alat legitimasi. Setelah suatu

otoritas dimiliki oleh sekelompok kaum elite, maka kemudian kaum elite ini

menggunakan sistem simbol agama untuk mempertahankan kekuasaannya.

Gerakan sosial keagamaan menggunakan ideologi Islam sebagai faktor

penggeraknya, dan sebagai aktivitas kolektif, gerakan tersebut memerlukan

ideologi Islam untuk pembenaran tujuannya yang akan memperkuat inspirasi

dan motivasi kelompoknya dalam menghadapi kekuatan Belanda. Karena

berbagai tekanan dari pemerintah kolonial, maka menciptakan ideologi Islam

yang memperkuat semangat perjuangan jihad melawan penjajah sebagai orang

“kafir”, sehingga mendorong munculnya gerakan sosial keagamaan terhadap

pemerintahan kolonial.

3. Peran pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam, yang terdiri dari para

ulama dan kaum intelektual dalam menghadapi hegemoni Belanda. Para ulama

Page 86: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

mempunyai peran yang dapat merangsang timbulnya gerakan-gerakan

keagamaan, sehingga mudah dalam membangkitkan loyalitas pengikutnya

untuk memobilisasikan mereka demi tujuan tertentu. Dengan adanya Politik

Etis, maka semakin bertambahnya jumlah kaum intelektual yang berpendidikan

barat, yang kemudian memunculkan organisasi politik yang dipimpin kaum

intelektual. Kaum intelektual ini bersikap idealistis dan sangat menyadari

peranannya yang simbolis sebagai pendukung ideologi- ideologi modern,

seperti antikolonialisme, demokrasi, humanitarianisme, sosialisme, dan

sebagainya. Elite modern ini merupakan unsur kepemimpinan dari pergerakan

nasional di awal abad XX, yang menegakkan cita-cita nasionalisme, dengan

Islam sebagai ajaran yang dianggap dasar, dan yang berperan dalam politik

kebangsaan. Jadi, otoritas kharismatik para pemimpin Islam dalam

memobilisasi massa merupakan ancaman, baik terhadap raja-raja maupun

terhadap penguasa kolonial.

B. IMPLIKASI

1. Teoritis

Adanya dominasi barat menyebabkan munculnya gerakan-gerakan

keagamaan yang radikal. Gerakan sosial keagamaan mempunyai kaitan erat

dengan poses perubahan sosial di satu pihak dan proses adaptasi di lain pihak.

Tidak dapat ditolak bahwa gerakan-gerakan itu sebagai gejala historis merupakan

reaksi terhadap situasi kolonial dan dominasi asing. Gerakan lebih banyak

digerakkan oleh kaum frustasi yang fanatik, anggota gerakan diidentifikasikan

sebagai orang yang tidak puas dan kecewa, yaitu mereka yang tersingkir dalam

masyarakat sampai kelompok minoritas yang tertekan yang disebut golongan

marginal. Gerakan radikal merupakan gerakan-gerakan rakyat yang bersifat

tradisional, sehingga strategi dan taktiknya masih terlalu sederhana, berumur

sangat pendek, berada dalam lingkup lokal atau regional dan umumnya dilakukan

untuk melawan keadaan yang dianggap tidak adil. Timbulnya gerakan sosial

keagamaan tidak lepas dari faktor kepemimpinan yang kharismatik, orientasi

gerakan, dan situasi kultural yang mendukungnya. Jadi, para pemimpin

Page 87: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

membutuhkan alat politik untuk melegitimasi kekuasaan mereka, dalam

mempertahankan kekuasaannya maupun melaksanakan kebijakan politiknya.

Maka digunakanlah simbol keagamaan untuk melegitimasi kekuasaannya.

2. Praktis

Implikasi praktis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah arah

kebijakan para penguasa yang kiranya selalu mengutamakan kesejahteraan rakyat,

bukannya menggunakan rakyat bawah sebagai alat kekuasaannya. Penelitian ini

berupaya menggali suatu wacana baru dalam penulisan sejarah. Wacana baru yang

dimaksud adalah tulisan-tulisan mengenai sejarah lokal di Surakarta, mengenai

gerakan radikal Muslim dalam menghadapi kekuatan Belanda dan aristokrasi

status quo yang merongrong kehidupan rakyat, sehingga melalui tulisan ini

mampu menilai dan memaknai perjuangan para patriotis yang berjuang untuk

kepentingan rakyat bawah serta mampu mendorong pembuat kebijakan di

pemerintahan untuk bersikap secara adil, bijaksana dalam setiap pengambilan

keputusan dan lebih mementingkan kepentingan rakyat agar diperoleh suatu

kesejahteraan yang adil dan makmur.

3. Metodologis

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis.

Pemilihan metode ini didasarkan pada kegiatan pemecahan masalah dengan

mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang

akan dikaji, untuk memahami kejadian pada masa lalu. Kemudian menguji dan

menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam

bentuk tertulis. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah dalam pencarian sumber

arsip atau dokumen tertulis tidak secara lengkap. Hal ini dikarenakan sumber arsip

dan dokumen yang memuat tentang radikalisme Muslim di Surakarta sebagian ada

yang hilang. Oleh karena itu, tidak ditemukan sumber primer secara lengkap dan

menyeluruh. Keterbatasan lain yaitu sumber-sumber yang ditemukan berupa arsip

dengan menggunakan naskah tulisan Jawa maupun bahasa Belanda, sehingga di

dalam penulisan tidak dapat dikaji secara mendalam sesuai dengan sumber primer

yang diperoleh.

Page 88: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

C. SARAN

Dari hasil penelitian tersebut di atas, maka saran yang dapat diberikan

adalah sebagai berikut :

1. Bagi Guru

Kiranya para guru Sejarah dapat membaca hasil penelitian ini apabila ada

kegiatan seminar atau pelatihan di FKIP, dan melalui buku apabila penelitian ini

dibukukan oleh penulis. Bagi para guru Sejarah sekolah menengah pertama

maupun atas, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kesejarahan

mengenai gerakan Islam di Surakarta pada abad XIX, yang dapat digunakan

dalam Kompetensi Dasar dalam mendeskripsikan sejarah gerakan Islam lokal

abad ke-19 dan 20, yang dapat diterapkan dalam pembuatan Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP). Selain itu, dalam perkembangan Pendidikan Sejarah, belum

banyak materi yang membahas tentang gerakan Islam di Surakarta pada abad

XIX, sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif

materi pelajaran yang disampaikan oleh para guru kepada siswa.

2. Bagi Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah

Bagi para mahasiswa Pendidikan Sejarah, hendaknya penelitian ini dapat

dijadikan referensi dalam penelitian yang memiliki permasalahan yang sama

sebagai sumber referensi penelitian selanjutnya. Selain itu, untuk menambah

pemahaman tentang Sejarah Indonesia Madya dan Sejarah Sosial di kota

Surakarta, terutama mengenai gerakan radikal Islam pada abad ke XIX. Referensi

dapat digali dari berbagai sumber yang ada, dan kekurangan sumber yang

menggunakan bahasa yang sulit dimengerti dapat dilakukan dengan belajar bahasa

Belanda dan tulisan Jawa seperti misalnya di perpustakaan Rekso Pustoko

maupun Kasunanan, serta sumber dapat dilakukan dengan mengunduh dari

internet berbagai sumber asing dari universitas luar mengenai pembahasan

tersebut, seperti dari KITLV.

Page 89: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3. Bagi Polisi

Hendaknya seorang polisi itu dapat berdialog dengan masyarakat apabila

masyarakat memiliki masalah yang sulit diselesaikan atau menjadi mediator

dalam konflik yang terjadi di masyarakat, sehingga dapat melindungi dan

memberi rasa aman bagi masyarakat. Menjadi seorang pelindung masyarakat

harus mempunyai sikap yang bijaksana, tegas, arif, peduli dan tidak terpengaruh

oleh orang lain, tetapi melakukan apa yang diyakininya walaupun tidak dapat

memuaskan semua pihak.

Page 90: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Buku

Abu Ahmadi. 1975. Pengantar Sosiologi. Solo: Romadoni.

Aqib Suminto. 1986. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.

Awani Irewati, dkk. 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia. Jakarta: PT

Grasindo.

Burger, D. H., 1983. Perubahan-perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa.

Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Craib, Ian.1986. Teori-teori Sosial Modern. Jakarta: CV. Rajawali.

Deliar Noer. 1980. Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942. Jakarta:

Pustaka LP3ES.

Djoko Suryo. 2005. Tradisi Santri Dalam Historiografi Jawa: Pengaruh Islam Di

Pesisir Utara Jawa. Jakarta: LIPI Press.

Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos

Wacana.

Fachry Ali. 2004. Keharusan Demokrasi Dalam Islam Indonesia. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada.

Frederick, William H. dan Soeri Soeroto (peny). 1982. Pemahaman Sejarah

Indonesia: Sebelum Dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.

Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: UI

PRESS.

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press

Helius Syamsuddin & Ismaun.1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hermanu Joebagio. 2010. Merajut Nusantara: Paku Buwono X dalam Gerakan

Islam dan Kebangsaan. Surakarta: CakraBooks.

Hermawan Wasito. 1993. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia.

78

Page 91: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Hill, Robert. 1998. Gerakan Massa. Jakarta: Lapera.

Hoffer, Eric. 1988. Gerakan Massa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Houben, Vincent J.H. 2002. Keraton Dan Kompeni: Surakarta Dan Yogyakarta

1830-1870. Jogyakarta: Bentang Budaya.

I Ngurah Suryawan. 2010. Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara

di Bali Utara. Jakarta: PRENADA.

Kartini Kartono. 2005. Pemimpin Dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Koentjaraningrat. 1977. Metode Penelitian-Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT

Gramedia.

______________. 1986. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:

Gramedia.

Komaruddin. 2002. Analisis Putusan Hakim Dalam Memutus Pidana Bersyarat .

Surakarta: UNS.

Kuntowijoyo. 1995. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

___________. 2002. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Landsberger, Henry A. 1981. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Jakarta:

Rajawali.

Maarif, A. S. 1992. “Peranan Islam Dalam Menangani Krisis Abad Ke-21”.

PROSPEKTIF, No. 1, Vol 4, 23.

Magnis, Franz-Suseno. 1988. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar

Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia.

Dawam Rahardjo, M.1985. Persepsi Gerakan Islam Terhadap Kebudayaan.

Jakarta: Gramedia.

Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Restu Gunawan. 2005. Wabah Pes Di Jawa1915-1925. Jakarta: LIPI Press.

Riza Sihbudi. 2005. Islam, Radikalisme, Dan Demokrasi. Jakarta: LIPI Press.

Ross, Daniel. 2005. Teori-teori Sosial. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.

Page 92: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Salim Frederick dan Muhammad al-Khazhath. 2001. Menuju Masyarakat Islam

Kaffah. Bogor: PSKII.

Sartono Kartodirjo. 1971. Juni. “Messianisme dan Millenarisme dalam Sedjarah

Indonesia”. Lembaran Sedjarah, No. 7. Jogjakarta: UGM Press, 39-41.

________________. 1973. Protest Movement In Rural Java. Kuala Lumpur:

Oxford University Press.

________________. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta:

Depdikbud.

________________. 1982. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi

Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

________________. 1983. Elite dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES.

________________. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Shiraisi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912-

1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Simon, Roger. 2000. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: PUSTAKA

PELAJAR.

Soebardi. S. 1978. “Islam di Indonesia”. PRISMA, No Ekstra. Jakarta: LP3ES, 69-

70.

Steenbrink, Karel A. 1974. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES.

________________. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad

ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.

Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel. Yogyakarta: TIARA WACANA

Sumadi Suryabrata. 1992. Metodologi Penelitian. Jakarta: CV Rajawali

Taufik Abdullah (ed). 1974. Islam di Indonesia. Jakarta: Tintamas Indonesia.

_________________. 1987. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di

Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Winarno Surakhmad. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metoda Teknik .

Bandung: Tarsito

Page 93: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Zainal Abidin. 2002. Sosiologi Islam Berbasis Hikmah. Bandung: CV PUSTAKA

SETIA.

Zainuddin Maliki .2004. Agama Priyayi. Yogyakarta: Pustaka Marwa.

Zamakhsyari Dhofier, 1982. Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup

Kyai). Jakarta: LP3ES.

B. Sumber Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_sosial, diakses Kamis 10 Februari 2011.

http://kampoengkauman.blogspot.com/kh-misbah-yang-terlupakan.html, diakses

Kamis 15 Juli 2010.

http://www.al- ikhwan.net/karakteristik-masyarakat- islam-dalam-surat-al-ahzab-

kajian-tematik-257, diakses kamis 15 Juli 2010.

http://www.pdfchaser.com/pdf/gerakan-sosial-keagamaan.html,diakses Kamis,10

Februari 2011.

Page 94: RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920/Radikalisme-Muslim-Di... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920 SKRIPSI Oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i