87
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN COURT OF ETHICS DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA (Suatu Kajian Kritis Terhadap Penegakan Etika Penyelenggaraan Pemilu Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) PENULISAN HUKUM OLEH : SYAM HADIJANTO NIM : 10.26.21.81.0064 UNIVERSITAS WIDYAGAMA FAKULTAS HUKUM MALANG 2013

Proyeksi Pembentukan Mahkamah Etika (Supreme Court Of Ethics)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hukum dan Etika Dapat Di Ibaratkan Seperti 2 Sisi Mata Uang yakni Dapat Dibedakan Namun Tidak Dapat Dipisahkan Sehingga Dengan Merujuk Konsep Negara Hukum Pancasila Maka Disamping Penegakan Hukum JUga Terdapat penegakan etika secara terpisah

Citation preview

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN COURT OF ETHICS

DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

(Suatu Kajian Kritis Terhadap Penegakan Etika

Penyelenggaraan Pemilu Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)

PENULISAN HUKUM

OLEH :

SYAM HADIJANTO

NIM : 10.26.21.81.0064

UNIVERSITAS WIDYAGAMA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2013

i

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN COURT OF ETHICS

DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

(Suatu Kajian Kritis Terhadap Penegakan Etika Penyelenggaraan Pemilu Oleh

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)

PENULISAN HUKUM

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat-syarat

dan tugas dalam mencapai gelar kesarjanaan

dalam bidang Ilmu Hukum

OLEH :

SYAM HADIJANTO

NIM : 10.26.21.81.0064

UNIVERSITAS WIDYAGAMA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2014

ii

LEMBAR PENGESAHAN

ISI DAN FORMAT PENULISAN HUKUM

Penulisan hukum yang dibuat oleh :

Nama : Syam Hadijanto

Nim : 10.26.21.81.0064

Konsentrasi : Hukum Tata Negara

Judul : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN

COURT OF ETHICS DALAM PENYELENGGARAAN

PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA. (Suatu Kajian

Kritis Terhadap Penegakan Etika Penyelenggaraan Pemilu

Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)

Isi dan Formatnya telah disetujui dan disahkan

Malang, 23 Januari 2014

Mengesahkan, Menyetujui,

Ketua Bagian Hukum Ketatanegaraan Pembimbing

Dr. Fatkhurrohman. SH.MH Dr. Fatkhurrohman. SH.MH

NDP. 1993 218 NDP. 1993 218

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Dr.Fatkhurrohman. SH. MH

NDP. 1993 218

iii

MOTTO : MOTTO : MOTTO : MOTTO :

Hukum Bernilai Bukan karena Itu Adalah Hukum, Melainkan Karena Ada Kebaikan di Dalamnya. ((((Henry Ward BeecherHenry Ward BeecherHenry Ward BeecherHenry Ward Beecher))))

Kalian Boleh Maju Dalam Pelajaran Mungkin Mencapai Deretan Gelar Kesarjanaan Apa Saja,

Tapi Tanpa Mencintai Sastra, Kalian Hanya Tinggal Hewan Yang Pandai!!

(Pramoedya Ananta Toer)(Pramoedya Ananta Toer)(Pramoedya Ananta Toer)(Pramoedya Ananta Toer) Sajak Orang Sajak Orang Sajak Orang Sajak Orang MiskinMiskinMiskinMiskin Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya. Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.

Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan. Bila kamu remehkan mereka, di jalan kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan, dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Jangan kamu bilang negara ini kaya karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.

Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau tertuju ke dada kita, atau ke dada mereka sendiri. O, kenangkanlah : orang-orang miskin juga berasal dari kemah Ibrahim.. (WS. RENDRA)(WS. RENDRA)(WS. RENDRA)(WS. RENDRA)

Skripsi ini Kupersembahkan Kepada

Kedua orang tuaku yang sangat kusayangi

Samsul Bahri & Sutimah Kahfiyati

Adikku yang tercinta

Annisa Tul Husnah

Semua keluargaku yang selalu mendukung dan memberikan motivasi

iv

ABSTRAK

Penelitian ini berangkat dari tingginya pelanggaran etika yang terjadi dalam

penyelenggaraan pemilu di Indonesia, sehingga perlu untuk dilakukan sebuah

pengkajian terhadap urgensi mendasar pelaksanaan court of ethics dalam

penyelenggaraan pemilu, agar dapat memperbaiki kualitas pemilu, dan

menciptakan sebuah konsep penegakan etika yang baku di Indonesia.

Untuk melakukan pengkajian tersebut, maka dalam penelitian ini

digunakan jenis penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan

statute approach, pendekatan conseptual approach, pendekatan case approach,

dan comparative approach. Untuk kemudian bahan hukum yang terkumpul

dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian ini ditemukan bahwa,

munculnya konsep penegakan etika dilaksanakan pada pemilu tahun 2009, yang

dilakukan oleh Dewan Kehormatan dan dibentuk secara ad hoc, barulah dengan

lahirnya UU No. 15 Tahun 2011 dibentuklah lembaga baru yakni DKPP yang

bersifat tetap dan berfungsi sebagai penegak etika, yang menjalankan mekanisme

quasi peradilan, kemudian mengenai kedudukan hukum dan etika, dapat

ditelusuri dari konsep negara hukum pancasila, yang bercirikan rule of

moral/rule of justice, sehingga memunculkan gejala diferensiasi antara hukum

dan etika dalam penegakannya. Hasil penelitian ini kemudian dianalisis dan

menghasilkan kesimpulan: (1) urgensi mendasar yang melatarbelakangi

pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan pemilu ialah pertama,

tingginya pelanggaran etika sehingga menegaskan persoalan ini harus segera

ditangani untuk memperbaiki kualitas pemilu, kedua, demokrasi dan sistem

hukum yang diterapkan di Indonesia yang bersumber dari pancasila,

mengkehendaki adanya kesatuan fungsional antara penegakan hukum dan etika,

karena antara hukum dan etika memiliki perbedaan dalam penegakannya, ketiga,

pelaksanaan court of ethics merupakan sebuah ius constituendum guna

membentuk sebuah konsep penegakan etika yang baku, karena dalam sistem

peradilan di Indonesia belum didukung dengan format penegakan etika (2)

hambatan dan kekurangan dalam pelaksanaan court of ethics dalam

penyelenggaraan pemilu, ialah pertama, faktor internal yang dipengaruhi oleh

political will dari legislator dan penguasa dalam melihat urgensi court of ethics

sebagai jawaban atas terjadinya dekadensi etika, kedua, faktor eksternal yang

dipengaruhi oleh minimnya partisipasi masyarakat dalam penegakan etika.

Mengingat permasalahan penegakan etika, khususnya pelaksanaan court of

ethics, sangatlah berpengaruh terhadap kualitas pemilu dan perbaikan etika

penyelenggara negara, maka diajukan rekomendasi untuk perlunya sebuah

rekonstruksi dan desentralisasi terhadap sistem peradilan, guna menjawab

munculnya diferensiasi structural, dengan memasukkan penegakan etika kedalam

sistem peradilan, serta perlunya merealisasikan gagasan pembentukan Mahkamah

Etika dalam penyelenggaraan negara, guna menegaskan konsep negara hukum

pancasila.

Kata Kunci : Etika, Court Of Ethics, Pemilu

v

KATA PENGATAR

Puji syukur kita persembahkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan

nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN COURT OF ETHICS

DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

(Suatu Kajian Kritis Terhadap Penegakan Etika Penyelenggaraan Pemilu oleh

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)” dengan baik dan lancar. Skripsi ini

merupakan tugas akhir untuk meraih gelar sarjana dibidang ilmu hukum pada

program sarjana ilmu hukum Universitas Widyagama Malang.

Dalam penulisan skripsi ini mulai dari persiapan sampai dengan tahap

penyelesaian senantiasa mengahadapi beberapa tantangan dan cobaan baik yang

berupa material maupun moril, namun itu semua dapat diatasi berkat ketabahan

dan kesabaran, restu dari orang tua dan tekad kuat untuk meraih gelar sarjana,

serta menganggap itu semua adalah ibadah dan juga didukung oleh bantuan

maupun petunjuk dari berbagai pihak yang tak bosan-bosannya membimbing dan

mengarahkan penulis. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala

kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya

kepada :

1. Tuhan Yang Maha yang telah menciptakan dan memberikan limpahan

nikmat-Nya kepada penulis.

2. Bapak Dr. Fatkhurrohman. SH. MH selaku Dekan Fakultas Hukum

Universias Widyagama Malang dan juga pembimbing penulis yang telah

vi

memberikan motivasi dan sumbangsih pemikiran kepada penulis dalam

menyelesaikan tugas akhir.

3. Bapak Prof. Ir. H. Iwan Nugroho. MS. Selaku Rektor Universitas

Widyagama Malang.

4. Bapak Dr. Sirajuddin. SH. MH selaku Wakil Dekan Fakultas Hukum

Universitas Widyagama Malang.

5. Bapak Zulkarnain. SH. MH selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum

6. Bapak Ibnu Subarkah. SH. M.Hum yang selalu bersedia meluangkan

waktunya untuk berdiskusi dengan penulis dan begitu banyak

memberikan saran dan masukan kepada penulis.

7. Bapak Dr. Lukman Hakim. SH. M.Hum yang telah bersedia memberikan

masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

8. Untuk semua dosen Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang

yang telah memberikan ilmu yang berarti kepada penulis.

9. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Widayagama

Malang.

10. Kedua orang tuaku yang amat kusayangi Bapak Samsul Bahri dan Ibu

Sutimah Kahfiyati dan adikku satu-satunya Annisa Tul Husnah, yang

selalu memperjuangkan penulis untuk tetap dapat menggapai pendidikan

tinggi.

vii

11. Kepada 2 orang teman kost penulis yang selalu menghibur dan

memberikan begitu banyak inspirasi, Aji Purnomo alias Botak dan Jefri

Pratama Putra alias Gigi, semoga kalian betah ya di kost!!!!.

12. Semua teman-teman seperjuangan angkatan 2010 di Fakultas Hukum

Universitas Widyagama Malang, Mas. Mochammad Syauqi Alaik (Pak

Ustad), Retno (Gembul), Fian Hermawan (Raja Tidur), Findi (Master Of

Kloso), M. Mas’ud Ja’far (Tomat).

13. Kepada teman-teman DPC GMNI Malang Raya, DPC GMNI Kota

Surabaya, Korda GMNI Jatim, DPC HMI Malang, Komisariat PMII

Unisma, FRAME, Bunga Api, Renaisance Debating Club, terima kasih

sudah memberikan begitu banyak pengetahuan kepada penulis.

14. Kepada Aidil Fitrianto selaku Komisaris Gerakan Mahasiswa Nasional

Indonesia (GmnI) Universitas Widyagama dan juga kakak bagi penulis

selama di malang, yang telah banyak memberikan masukan kepada

penulis.

15. Kepada Bu Nur dan Pak Tono (Warung Pojok) yang selalu memberikan

tempat untuk penulis berdiskusi, dan menikmati Mie Sedap dan Indomie

yang selalu setia menemani perjalanan penulis selama di Malang.

16. Kepada Rabiatul Adawiyah. S.Pd yang selalu menjadi inspirator bagi

penulis.

17. Semua Pihak Yang Tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah

membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

menyelesaikan penulisan hukum ini.

viii

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa skripsi ini masing sangat jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari

segenap pembaca demi kesempurnaan skripsi ini

Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak yang turut

membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, dan juga mendapat mendapat imbalan

dari Allah SWT.

Malang, 23 Januari 2014

Penulis

Syam Hadijanto

ix

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul .............................................................................................. i

Lembar Pengesahan ...................................................................................... ii

Motto ............................................................................................................ iii

Abstrak ......................................................................................................... iv

Kata Pengantar .............................................................................................. v

Daftar Isi ....................................................................................................... ix

Daftar Tabel .................................................................................................. xi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1

B. Perumusan Masalah ................................................................................. 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................. 6

D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 8

E. Metode Penelitian .................................................................................... 20

F. Jadwal dan Sistematika ............................................................................ 25

BAB II : HASIL PENELITIAN

A. Urgensi Pelaksanaan Court Of Ethics dalam Penyelenggaraan

Pemilihan Umum di Indonesia

1. Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia ................................ 27

2. Penegakan Kode Etik Pemilihan Umum di Indonesia ......................... 40

3. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

Sebagai Embrio Awal Dari Court Of Ethics ....................................... 47

B. Hambatan dan Kekuarangan Pelaksanaan Court Of Ethics Dalam

Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia ..................................... 51

x

BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Terhadap Urgensi Pelaksanaan Court Of Ethics

Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia .......................... 56

B. Analisis Terhadap Hambatan dan Kekurangan Pelaksanaan

Court Of Ethics Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum

di Indonesia ............................................................................................. 64

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................. 68

B. Saran ....................................................................................................... 70

Daftar Pustaka

Daftar Riwayat Hidup

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Pemilu

Orde Baru .............................................................................. 31

Tabel 2 Pemilu Sudah Luber dan Jurdil ? ............................................ 31

Tabel 3 Penyimpangan Pemilu 1999 dan Penanganannya ................... 34

Tabel 4 Pelanggaran Administratif Pemilu Legislatif 2004 dan

Penanganannya ...................................................................... 36

Tabel 5 Rekapitulasi Pelanggaran Dalam Setiap Tahapan Pemilu

Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2009 ......................... 39

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai sebuah negara, Indonesia telah mengalami begitu banyak

perubahan yang terjadi secara dramatis dan dinamis,1 dalam setiap aspek

kehidupan dan berjalan dalam kecepatan yang tak pernah diduga sebelumnya,

yang akhirnya mengantarkan Indonesia menuju sebuah peralihan dari era orde

baru menjadi era reformasi yang lebih demokratis, tepatnya tanggal 21 Mei

1998. Peralihan dari era orde baru menuju orde reformasi tentunya disertai

dengan adanya peralihan persoalan-persoalan yang belum terselesaikan, yang

di mana persoalan ini tidaklah hanya terletak pada satu bidang tertentu saja,

namun persoalan tersebut telah muncul di hampir seluruh sendi kehidupan

bernegara, dan terdapat sebuah kecenderungan bahwa persoalan tersebut

bukan semakin menyederhana, tetapi kian kompleks dan rumit untuk

diselesaikan.2

Selama 15 tahun berjalannya era reformasi di Indonesia, telah dilakukan

pembenahan yang merupakan hakekat dari era reformasi, yaitu proses

perubahan atau perombakan sistem nilai dan tatanan lama yang dianggap

telah keliru,3 ada beberapa bidang yang di klaim telah mengalami sebuah

perbaikan, yakni bidang ekonomi, namun tidak sedikit pula bidang-bidang

1 Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca

Orde Baru (Bandung, 2000), hlm. xxv 2 http//www.ilmunusantara.com//polemik era reformasi, diakses tanggal 13 November 2013 3 Eep Saefulloh Fatah, Op.Cit., hlm. xxvi

2

yang ternyata justru semakin terpuruk dari kondisi sebelumnya, yakni bidang

hukum dan politik. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk dapat

memperbaiki wajah hukum dan politik di Indonesia, namun ini belum juga

menunjukkan sebuah hasil yang maksimal, di mana hukum dan segenap

institusinya juga tak mampu meredam kecenderungan penyalahgunaan

kekuasaan, korupsi dan praktik-praktik kotor lainnya.

Salah satu bidang yang cukup mendapatkan sorotan tajam dari publik

dalam era reformasi saat ini ialah, penyelenggaraan pemilihan umum

(pemilu), yang merupakan perwujudan dari konsep negara demokrasi di

Indonesia, di mana menempatkan partisipasi rakyat dalam negara sebagai

sebuah kekuasaan tertinggi, yang secara simbolis kemudian digambarkan

sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (from the

people, of the people, for the people).4

Pelaksanaan pemilu di Indonesia merupakan sebuah pencerminan dari

penerapan konsep demokrasi yang ditegaskan di dalam UUD 1945 yakni

Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan

rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, yang kemudian

kembali dipertegas dalam pasal 22 E ayat (1) yang menyebutkan bahwa

“pemilihan umum diselenggarakan, secara langsung, umum, bebas, dan

rahasia”. Dengan demikian dalam penyelenggaraan pemilu haruslah

mengedepankan prinsip moral dan etika agar dapat mencapai tujuan pemilu,

4 Fatkhurrohman dan Achmadi Tri Widodo, “Pemilihan Umum Sebagai Wahana

Peningkatan Kualitas Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Konstitusi Universitas Widyagama

Malang, No. 2/Vol II, November 2009, hlm. 7 mengutip Bagir Manan dan Kuntana Magnar,

Peranan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pembinaan Hukum Hukum Nasional (Bandung, 1998), hlm. 56

3

yakni adanya sirkulasi kekuasaan dalam sebuah negara, pembentukan atau

pemupukan kekuasaan yang absah (otoritas), serta mencapai keterwakilan

politik (political representativeness).

Salah satu koreksi yang dilakukan terhadap penyelengaraan pemilu tahun

2009 ialah, dengan melahirkan sebuah lembaga baru yakni Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang memiliki tugas yang

berkaitan dengan orang per orang pejabat penyelenggara pemilu, baik Komisi

Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU),5

hal ini dilakukan guna menghasilkan sebuah perbaikan kualitas demokrasi,

khususnya penyelenggaraan pemilu agar mampu menghasilkan sosok

pemimpin yang bermartabat. DKPP merupakan lembaga negara yang

kewenangannya terkait dengan penyelenggaraan pemilu, dan dalam

menyelesaikan permasalahan pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu,

putusan yang dikeluarkan oleh DKPP bersifat final dan mengikat, yang

berarti tidak adanya upaya hukum lagi yang dapat dilakukan pasca

dikeluarkannya putusan DKPP dan wajib untuk dilaksanakan.6 Hal inilah

yang kemudian cenderung menjadikan DKPP seperti sebuah lembaga

peradilan (quasi peradilan), yang berfungsi sebagai sebuah penegak kode etik

penyelenggaraaan pemilu, dan memiliki kesatuan fungsi yang selaras dan

harmonis dalam penyelenggaraan pemilu bersama KPU dan Bawaslu,

sehingga akhirnya memunculkan sebuah format “DKPP heavy”.

5 Lihat pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang penyelenggaraan

pemilu 6 Lihat pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan

Pemilu

4

Sejak berdirinya DKPP, yakni tanggal 12 Juni 2012 sampai dengan 6

september 2013, DKPP telah memutuskan 110 perkara terkait dengan

pelanggaran kode etik pemilu, dengan memberhentikan 93 orang

penyelenggara pemilu, pemberhentian sementara 8 orang, peringatan tertulis

sebanyak 82 orang, sedangkan yang direhabilitasi sebanyak 293 orang,7 hal

ini sejalan dengan regulasi yang mengatur, bahwa sanksi yang dapat

diterapkan oleh DKPP terhadap pelanggaran kode etik ialah berupa: teguran

tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap.8 Dari adanya

fakta ini seolah-olah telah memberikan sebuah justifikasi bahwa telah terjadi

dekadensi moral dan etika dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia,

namun ketika kita cermati kembali, hal ini dapat juga bermakna sebagai

sebuah bentuk arogansi dari DKPP sebagai sebuah lembaga penegak etika

penyelenggara pemilu.

Kasus pelanggaran etika yang ditangani oleh DKPP ini merupakan

sebuah sisi gelap dari penyelenggaraan pemilu di Indonesia, di mana

seharusnya pemilu yang merupakan sebuah pengejawantahan dari demokrasi

yang dianut di Indonesia harus terhambat dengan hilangnya moral dan etika

dari penyelenggara pemilu, hal ini membuktikan bahwa hukum dengan segala

institusinya ternyata tidaklah mampu untuk menyelesaikan permasalahan

dekadensi moral dan etika, hal ini dikarenakan penegakan hukum yang ada

tidaklah didukung dengan sistem penegakan etika yang bersifat fungsional,

7 http//www.gatra.com// DKPP Idola Baru Sistem Peradilan di Indonesia, diakses tanggal

13 November 2013 8 Lihat Pasal 17 ayat (2) Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP No. 13, 11, 1

Tahun 2013 Tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu

5

sedangkan demokrasi yang dijalankan di Indonesia menghendaki adanya

sebuah penghormatan terhadap hukum dan etika yang berlaku, sehingga pada

dasarnya kehadiran DKPP sebagai lembaga penegak moral dan etika

penyelenggaraan pemilu telah berjalan efektif, di mana dengan begitu

banyaknya pengabaian terhadap etika penyelenggaraan pemilu yang akan

bermuara pada penurunan kadar kualitas demokrasi di Indonesia, mampu

diselesaikan dengan baik oleh DKPP.

Beranjak dari pemaparan terhadap tingginya kasus pelanggaran etika

penyelenggaraan pemilu di Indonesia dan juga penegakan kode etik

penyelenggara pemilu yang dilaksanakan oleh DKPP, penulis merasa perlu

untuk melakukan sebuah kajian terhadap pentingnya pelaksanaan Peradilan

Etika (Court Of Ethics) dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, hal ini

dilakukan untuk mengupayakan sebuah kesatuan format yang secara

fungsional antara penegakan hukum dengan penegakan etika, sehingga perlu

adanya rekonstruksi terhadap lembaga penegak etika yang ada, khususnya

dalam penyelenggaraan pemilu, karena pada dasarnya antara hukum dan etika

merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Hal inilah yang kemudian

mendasari penulis untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan judul

Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Court Of Ethics Dalam

Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia (Suatu Tinjauan Kritis

Terhadap Penegakan Etika Penyelenggaraan Pemilu Oleh Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilu)

6

B. Perumusan Masalah

Bertolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam

penelitian ini terdapat beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti, yang

kemudian dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah urgensi mendasar yang melatarbelakangi pelaksanaan court of

ethics dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia ?

2. Hambatan dan kekurangan apakah yang terdapat pada pelaksanaan court

of ethics dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak

dicapai di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui secara mendalam mengenai konsepsi dasar yang

melatarbelakangi pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan

pemilihan umum di Indonesia.

b. Untuk mengetahui secara komprehensif mengenai hambatan dan

kekurangan yang terdapat pada pelaksanaan court of ethics dalam

penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan nilai dan guna kepada

semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini ialah sebagai berikut :

7

a. Kegunaan Teoritis

1) Diharapkan dari penelitian dapat bermanfaat untuk memberikan

sebuah kontribusi pemikiran dan sumbangsih secara ilmiah dalam

upaya penegakan etika dalam penyelenggaraan pemilihan umum

di Indonesia.

2) Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperjelas format

penegakan etika melalui keberadaan lembaga peradilan etika

dalam penyelenggaraan pemilihan umum,

b. Kegunaan Praktis

1) Bagi Masyarakat

a) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai parameter dalam

melakukan pengawasan terhadap etika penyelenggaraan

pemilihan umum.

b) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar acuan bagi

pihak yang tertarik meneliti pada persoalan yang sama dalam

tahap selanjutnya.

2) Bagi Pemerintah

a) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dan referensi

untuk melakukan evaluasi penegakan etika dalam

penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia, dan sebagai

embrio terbentuknya Mahkamah Etika (Suprame Court Of

Ethics)

8

3) Bagi Universitas

a) Hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah sumbangsih

dalam bidang akademik guna pengembangan kajian keilmuan

terkait dengan penegakan etika di Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

1. Prinsip-Prinsip Negara Hukum

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa gagasan tentang negara

hukum merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak prespektif dan

boleh dikatakan selalu aktual, munculnya sebuah konsep mengenai negara

hukum bukanlah terjadi secara cepat dan bersifat reaksionis, namun

perkembangan konsep mengenai negara hukum telah ada semenjak

berkembangnya pemikiran cita negara hukum itu sendiri.

Istilah Negara Hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah

“rechsstaat”.9 Keberadaan tentang konsepsi negara hukum sudah ada

semenjak berkembangnya pemikiran cita negara hukum itu sendiri. Plato dan

Aristoteles merupakan penggagas dari pemikiran negara hukum. Pemikiran

negara hukum dimunculkan plato melalui karya monumentalnya yakni

Politicos. Plato dalarn buku ini sudah menganggap adanya hukum untuk

mengatur warga negara. Pemikiran ini dilanjutkan ketika plato mencapai usia

9 Jimly Asshiddiqie,“Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”

(Laporan Penelitian Hukum, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2005), hlm. 14

9

lanjut dengan memberikan perhatian yang tinggi pada hukum. Menurutnya,

penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang diatur oleh hukum.10

Di Indonesia, istilah Negara hukum sudah sangat popular. Istilah Negara

hukum tersebut dinggap sebagai terjemahan yang tepat dari dua istilah, yaitu

rechsstaat dan the rule of law.11 Kemudian didalam terminologi negara-

negara di Eropa dan Amerika, untuk Negara Hukum menggunakan istilah

yang berbeda-beda. Di Jerman dan Belanda digunakan istilah rechtsstaat,

sementara di Perancis memakai istilah etat de droit. Istilah estado dederecho

dipakai di Spanyol, Istilah stato di diritto digunakan di Italia. Dalam

terminologi Inggris dikenal dengan ungkapan the state according to law atau

according to the rule of law.12

Muhamad Yamin menggunakan kata negara hukum sama dengan

rechstaat atau government of law, jelasnya mengatakan :

“Republik Indonesia ialah negara hukum (rechsstaat, government of

law) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau

negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan

keadilan, bukanlah pada negara kekuasaan (machstaat) tempat tenaga

senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang”13

10 http://www.kesimpulan.com//teori-negara-hukum.html, diakses tanggal 14 maret 2012

11 Moh. Mahfud. MD, Membangun Politik Hukum: Menegakkan Konstitusi (Jakarta,

2011), hlm. 178 12 Fatkhurohman, Pengaruh Parliementary Threshold Terhadap Penguatan Sistem

Presidensial Untuk Mewujudkan Sistem Pemerintahan Kuat dan Efektif Di Indonesia. (Penelitian fundamental Univ. Widyagama, Malang, 2009, hlm. 8 mengutip Allan R. Brewer-

Carias, Judicial Review in Comparative Law (Cambridge University Press, 1989), hlm 7 13 Muhamad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (Jakarta, 1982), hlm.

72

10

Di zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental

dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl,

Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu

“rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara

hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey seorang pemikir inggris

dengan sebutan, The Rule of Law. Menurut Julius Stahl,14 konsep negara

hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat

elemen penting, yaitu:

a. Perlindungan hak asasi manusia;

b. Pembagian kekuasaan;

c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;

d. Peradilan tata usaha negara.

Sedangkan Albert Van Dicey, yang dalam bukunya yaitu introduction

to the study of the law of the constitution, mengungkapkan bahwa dalam

sebuah negara hukum harus ada 3 unsur utama yakni : 15

1. Supermacy of law adalah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam

suatu Negara hukum ialah hukum (kedaulatan hukum).

2. Equality before the law ialah kesamaan bagi kedudukan di depan

hukum untuk semua warga Negara, baik selaku pribadi maupun

statusnya sebagai pejabat Negara.

14 Ibid, hlm. 52

15 Abdul Azis Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia (Yogyakarta, 2011),

hlm. 13 mengutip Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi

(Yogyakarta, 1999), hlm. 24

11

3. Constitution based on individual right ialah konstitusi tidak

merupakan sumber dari hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia

tersebut di letakkan dalam konstitusi, maka hanyalah sebagai

penegasan bahwa hak asasi manusia harus dilindungi.

Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl

tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip

Rule of Law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-

ciri negara hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, Moh. Mahfud. MD

menyebutkan bahwa perumusan kembali ciri-ciri tersebut, antara lain

dihasilkan oleh The International Commission of Jurist, yang pada

konfrensinya di Bangkok pada tahun 1965 yang mencirikan konsep negara

hukum yang dinamis ialah sebagai berikut: 16

1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak individu

konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh

perlindungan atas hak-hak yang dijamin.

2. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak

3. Adanya pemilihan umum yang bebas.

4. Adanya kebebasan menyatakan pendapat.

5. Adanya kebebasan berserikat, berorganisasi, dan beroposisi.

6. Adanya pendidikan kewarganegaraan.

Menurut M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, negara hukum adalah

negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga

16 H. Zainudin Ali, Filsafat Hukum (Jakarta, 2008), hlm. 85 mengutip Moh. Mahfud MD,

Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi (Yogyakarta, 1999), hlm. 131

12

negaranya.17 Kemudian Sudargo Gautama berpendapat bahwa dalam suatu

negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap

perseorangan. Sehingga sebuah negara tidak maha kuasa dan tidak dapat

bertindak sewenang-wenang, karena tindakan negara terhadap warganya

dibatasi oleh hukum.

Didalam konstitusi Negara Indonesia kemudian ditegaskan bahwa

Negara Indonesia adalah Negara hukum (rechsstaat), dan bukan Negara

kekuasaan (Machtsstaat). Jimlly Asshiddiqie,18 kemudian mengungkapkan

bahwa didalam konsep Negara hukum tersebut terkandung pengertian

mengenai adanya pengakuan terhadap prinsip supermasi hukum dan

konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut

sistem konstitusional yang diatur di dalam UUD, adanya jaminan-jaminan

hak asasi manusia dalam UUD, adanya prinsip peradilan bebas dan tidak

memihak yang menjamin persamaan setiap warga Negara dalam hukum

(equality before the law), serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk

terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Dengan

demikian suatu pemerintahan yang berdasarkan atas hukum (government by

law), maka kekuasaan negara dan politik dalam negara tersebut jelas memiliki

batasan-batasan untuk menghindari kesewenang-wenangan dari pihak

penguasa, atau dengan kata lain hukum memiliki peranan sangat penting yang

berada diatas kekuasaan Negara dan politik.19

17 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia

(Jakarta, 1988), hlm. 153 18 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta, 2010) , hlm. 57

19 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (rechtsstaat) (Bandung, 2009), hlm. 2

13

Tidak jauh berbeda dengan Jimlly Asshiddiqie, Franz Magnis Suseno 20

mengatakan bahwa terdapat beberapa unsur-unsur yang harus dipenuhi/ harus

ada didalam sebuah negara hukum yang satu sama lain saling berhubungan,

yaitu :

1. Adanya asas legalitas yang berarti pemerintah bertindak semata-mata

atas dasar hukum yang berlaku.

2. Adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama

dalam fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan.

3. Adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

4. Adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau hukum

dasar.

Dengan demikian dalam suatu paham Negara hukum, harus diadakan

jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-

prinsip demokrasi, karena prinsip supermasi hukum dan kedaulatan hukum

itu berasal dari kedaulatan rakyat,21 sehingga secara umum sebuah Negara

Hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai

dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis

maupun berdasarkan hukum tidak tertulis.22

2. Relasi Antara Demokrasi, Hukum, dan Etika

Secara etimologis (tinjauan bahasa), demokrasi berasal dari bahasa

yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu demos dan cratein. Demos berarti

20 Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta,

1993), hlm. 298-301 21 Jimly Asshiddiqie, Loc.cit.

22 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta, 1997), hlm. 1

14

rakyat, dan cratein berarti pemerintahan, karena itu secara sederhana

demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat.23 Gagasan demokrasi

sangatlah sejalan dengan pengertian kedaulatan rakyat, gagasan demokrasi ini

pada mula pertumbuhannya telah mencakup beberapa asas dan nilai yang

diwariskan dari kebudayaan Yunani kuno dan gagasan kebebasan beragama

yang dihasilkan oleh aliran reformasi, serta perang agama yang menyusulnya,

perkembangan demokrasi yang bersumber dari kebudayaan Yunani kuno ini

kemudian mulai tenggelam dalam abad pertengahan, dan kemudian baru

dihidupkan kembali pada zaman Renaissance, yang mempersiapkan eropa

pada kurun waktu 1650-1800 untuk menyelami masa “aufklarung”, yang

pada masa itu didominasi dengan aliran rasionalisme yang ingin

memerdekakan pikiran-pikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan

gereja dan mendasarkannya semata-mata pada rasio (akal manusia.). 24

Hal penting yang kemudian perlu dicatat dalam perkembangan

demokrasi ini ialah, di mana demokrasi merupakan sebuah gagasan yang

dinamis (dynamic concept) dan tidak bermula dari ruang yang hampa.25

Demokrasi juga merupakan istilah yang ambiguous,26 yang berarti bahwa

demokrasi tida bersifat monolistik, sehingga negara yang mengklaim diri

sebagai negara demokrasi tidak mempunyai bentuk aplikasinya yang

seragam, sehingga menyebabkan apa yang dianggaap sebagai demokrasi di

23 Kuntana Magnar, Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Otonom dan Wilayah

Administratif (Bandung, 1984), hlm. 22 24 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta,2008), hlm. 108-111

25 Lukman Hakim, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia: Eksistensi Komisi-

Komisi negara (State Auxiliary Agency) Sebagai Organ Negara Yang Mandiri Dalam Sistem

Ketatanegaraan (Malang, 2010), hlm. 111 26 Miriam Budiardjo, Op.Cit., hlm 105

15

negara tertetu belum tentu dianggap demokratis di negara lain. Pada

umumnya terdapat dua corak demokrasi, yakni demokrasi yang berorientasi

pada paham negara kekuasaan, dan demokrasi yang berorientasi pada paham

negara hukum. Demokrasi yang berorientasi pada paham negara hukum ini

lebih dikenal dengan istilah demokrasi konstitusional, di mana kekuasaan

negara haruslah dibatasi melalui konstitusi.27

Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut

selama berdirinya Negara Republik Indonesia, salah satu penggagas

demokrasi di Indonesia ialah Bung Hatta yang merupakan salah satu

founding father’s Indonesia, yang mempelopori perkembangan demokrasi

yang tidak hanya bercorak politik, tetapi juga ekonomi, yang digali tidak saja

dari pengalama demokrasi yang tumbuh di negara lain, tetapi juga menangkap

pengalaman dan tradisi-tradisi demokrasi yang tumbuh dalam masyarakat

pedesaan Indonesia dari masa ke masa, yang kemudian hasil kristalisasi

pemikirannya tersebut dituangkan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar

1945.28

Dengan demikian, demokrasi memiliki makna sebagai dasar hidup

bermasyarakat dan bernegara yang mengandung pengertian bahwa rakyatlah

yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai

kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan

tersebut akan menentukan kehidupan rakyat, maka hakekat dari demokrasi

(kedaulatan rakyat) merupakan sebagai suatu sistem bermasyarakat dan

27 Dian Bakti Setiawan, Pemberhentian Kepala Daerah : Mekanisme Pemeberhentiannya

Menurut Sistem Pemerintahan Indonesia (Jakarta, 2011), hlm. 17-19 28 Ibid., hlm. 19-20

16

bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan

kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun

pemerintahan.29

Kemudian setelah mengetahui makna dari demokrasi sebagaimana yang

telah dijelaskan sebelumnya, maka untuk mengontrol jalannya demokrasi

tersebut haruslah terdapat sebuah aturan main yang memberikan sebuah

koridor pembatas guna dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan. Hukum

secara harfiah merupakan suatu tata aturan (order) sebagai suatu sistem

aturan-aturan (rules) yang mengatur mengenai prilaku manusia dan dibuat

oleh pejabat yang berwenang yang di dalamnya terdapat sanksi yang tegas

bagi yang melanggarnya.

Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal, tetapi

seperangkat aturan yang memiliki satu kesatuan, sehingga dapat dipahamai

sebagai suatu sistem.30 Indonesia merupakan sebuah negara yang menerapkan

prinsip-prinsip negara hukum, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1

ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yakni “Indonesia Adalah Negara

Hukum (rechtstaat), dalam era reformasi saat ini hukum diharapkan dapat

berperan untuk membawa masyarakat ke arah perubahan-perubahan yang

dikehendaki demi terciptanya tujuan yang dikehendaki. Fungsi hukum disini

digunakan sebagai alat untuk mengatur dan mengarahkan masyarakat,

sehingga hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Roscoe Pound, di

29 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945 (Jakarta, 2010), hlm. 69 30 Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum (Jakarta, 2006), hlm. 13

17

mana hukum berperan sebagai “a tool of social engineering” atau alat untuk

mendesain perubahan sosial.31

Sebagai sebuah norma, hukum memiliki tujuan yakni menciptakan rasa

keadilan, kepastian hukum dalam masyarakat, serta kemanfaatan, dalam

tujuan hukum yang berusaha untuk menciptakan keadilan, hal ini sangatlah

tidak dapat dipisahkan dengan persoalan etika, di mana etika secara

etimologis berasal dari bahasa yunani, yakni ethos yang berarti tempat

tinggal, watak, kebiasaan, adat istiadat, perasaan, cara berpikir, dan

kebiasaan. Definisi etika ini seringkali disamakan dengan moral yang berasal

dari bahasal latin mos (mores) yang artinya kebiasaan atau adat.32 Franz

Magnis Suseno memberikan definisi bahwa etika merupakan sebuah ilmu

yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang

bersifat fundamental, bagaimana saya harus hidup dan bertindak.33

Dalam konteks kehidupan bernegara etika menempati sebuah posisi yang

sangat strategis, di mana etika menjadi sebuah pondasi yang memberikan

sebuah koridor bagi manusia dalam melakukan sosialisasi dengan manusia

lainnya, dalam hubungannya dengan demokrasi dan hukum, etika memiliki

wilayah yang berbeda dalam konsepnya, namun karena ketiganya selalu

bersentuhan dalam masalah kemanusian, sehingga mengakibatkan ketiganya

selalu bertemu dalam satu wilayah yang saling berhubungan dalam

membangun sebuah negara.

31 Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial (Jakarta,

2000), hlm. 208 32 K. Bertens, Etika (Jakarta, 2007), hlm. 119 33 Fransz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral

(Yogyakarta, 2010), hlm. 13

18

Antara demokrasi, hukum, dan etika memiliki relasi yang jelas, di mana

demokrasi berfungsi sebagai sebuah wahana yang memungkinkan terbukanya

ruang kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam negara, serta mengontrol

jalannya pemerintahan, dalam hal inilah hukum akan berfungsi sebagai

sebuah kontrol agar jalannya demokrasi ini tetap sesuai dengan koridor yang

ada, dan etika berfungsi sebagai sebuah pedoman dalam menjalankan hukum

dan demokrasi agar sesuai dengan apa yang cita-citakan, sehingga antara

demokrasi, hukum, dan etika merupakan sesuatu yang tak dapat dipisahkan

satu sama lain, dan dengan tingginya tingkat pelanggaran etika yang terjadi

dalam penyelenggaraan pemilihan umum, maka relevansi adanya keberadaan

court of ethics sangatlah memiliki sebuah urgensi yang jelas, di mana pada

dasarnya sistem demokrasi di Indonesia mensyaratkan adanya penghormatan

terhadap hukum dan etika secara bersamaan, agar mampu menciptakan sistem

demokrasi yang sehat, sehingga haruslah ditopang dengan konsep “the rule of

law and the rule of ethics”.

3. Sekilas Tentang Peradilan Etika (Court Of Ethics)

Dalam sistem peradilan di Indonesia belumlah dikenal istilah mengenai

court of ethics (peradilan etika), hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal

18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

yang menyebutkan sebagai berikut :

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

19

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi”.

Dengan demikian court of ethics ini merupakan sebuah istilah baru dalam

bidang hukum, khususnya badan peradilan di Indonesia, secara harfiah

peradilan merupakan sebuah badan atau lembaga yang menyelenggarakan

penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan dalam perkara

tertentu,34 sehingga court of ethics (peradilan etika) dapat didefinisikan

sebagai sebuah lembaga peradilan yang menyelesaikan permasalahan

pelanggaran terhadap etika.

Di dalam perkembangan struktur ketatanegaraan di Indonesia, saat ini

telah banyak berkembang lembaga-lembaga yang meskipun secara eksplisit

tidak disebutkan dalam regulasi sebagai sebuah pengadilan, namun

menjalankan kewenangan dan mekanisme kerja mengadili, dan keputusannya

bersifat final dan mengikat sama seperti sebuah peradilan (quasi Peradilan),

antara lain ialah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi

Penyiaran Indonesia (KPI), Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), dan

termasuk yang akan menjadi objek dalam penelitian dalam skripsi ini ialah

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).35

DKPP dapatlah disebut sebagai embrio awal dari keberadaan court of

ethics di Indonesia khususnya dalam penyelenggaraan pemilihan umum, di

mana lembaga ini memiliki mekanisme kerja yang menyerupai sebuah

lembaga peradilan, dan memiliki putusan yang bersifat final dan mengikat,

34 http//www.rumahistilah.com//. Definisi peradilan, diakses tanggal 18 Nopember 2013 35 Jimly Asshiddiqie, Pengadilan Khusus, dalam http//www. hukumonline.com., diakses

tanggal 18 Nopember 2013

20

namun fenomena yang ada ialah DKPP seolah telah bertindak arogan

terhadap lembaga penyelenggara pemilihan umum yakni Komisi Pemilihan

Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), di mana

banyaknya para anggota dari KPU dan Bawaslu, baik di tingkat nasional

maupun daerah telah diberhentikan oleh DKPP akibat kasus pelanggaran

etika, yang dapat berefek buruk terhadap penyelenggaraan pemilihan umum

di Indonesia.

Berangkat dari fenomena ini, akhirnya memunculkan sebuah opini untuk

melaksanakan court of ethics dalam penyelenggaraan pemilihan umum di

Indonesia, hal ini dilakukan untuk dapat mengefektifkan format

penyelenggaraan pemilihan umum, serta membentuk sebuah format sistem

penyelenggaraan pemilihan umum yang didukung dengan sistem hukum dan

sistem etika yang bersifat fungsional agar dapat membentuk satu kesatuan

sistem penyelesaian permasalahan etika dalam penyelenggaraan pemilihan

umum, dan dapat menjadi sebuah langkah awal dari pembukaan kran wacana

pembentukan Mahkamah Etika (supreme court of ethics) di Indonesia sebagai

sebuah jawaban atas terjadinya dekadensi moral dan etika di Indonesia.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan

Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian yang tidak

hanya sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu objek yang mudah

21

terpegang di tangan,36 namun penelitian merupakan sebuah kegiatan ilmiah

yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara

metodologis, sistematis dan konsisten. Kemudian metodologi berasal dari

kata “metode” yang artinya tepat melakukan sesuatu dan “logos” yang

artinya ilmu pengetahuan, dengan demikian penelitian hukum merupakan

suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metede, sistematika, dan

pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa

gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya dan kemudian

mengusahakan suatu pemecahan permasalahan-permasalahan yang timbul di

dalam gejala bersangkutan.37

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan merupakan jenis

penelitian yuridis normatif, yang dimaksudkan untuk menginventarisasi

hukum dengan penggunaan konsepsi legisme yang positivistis yang

berpendapat bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat

dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang,38 selain

itu penelitian yuridis normatif ini dimaksudkan agar dapat mengetahui dan

memahami secara jelas mengenai konsepsi dasar yang melatarbelakangi

pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan pemilihan umum di

Indonesia dan juga untuk menganalisis hambatan dan kekurangan yang

terdapat pada pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan pemilu di

Indonesia.

36 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta, 2012), hlm. 27

37 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta,1986), hlm. 43.

38 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta; 1990),

hlm.13-14.

22

Sebagaimana pendapat Peter Mahmud Marzuki, bahwa pendekatan-

pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan

undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),

pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif

(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conseptual

approach).39

Dalam penelitian ini lebih menitikberatkan pada pendekatan undang-

undang (statute approach), yaitu suatu metode pendekatan dengan menelaah

semua undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti, sehingga akan

kelihatan konsistensi antara undang-undang yang satu dengan undang-undang

lainnya,40 dan pendekatan konseptual (conseptual approach) yang didasarkan

pada beberapa konsep yang telah ada dan dibangun oleh para ahli hukum,

kemudian sebagai penunjang dalam penelitian ini, maka digunakan juga

pendekatan kasus (case approach) yakni, kasus pemecatan anggota

penyelenggara pemilu oleh DKPP karena pelanggaran kode etik pemilu, yang

mengindikasi terjadinya dekadensi moral dan etika, kemudian pendekatan

perbandingan (comparative approach) yang berfungsi untuk membandingkan

pelaksanaan quasi peradilan di negara-negara lain, guna sebagai bahan

pertimbangan dalam pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan

pemilu di Indonesia.

39 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta, 2005), hlm. 93

40 Ibid.

23

2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang diambil dalam melakukan penelitian ini

adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier, dan juga penulis menggunakan bahan kajian pustaka antara lain:

a. Bahan Hukum Primer, (primary sources or authorities) yaitu sumber

bahan yang berupa peraturan hukum yang berkaitan dengan

permasalahan yang dianut berupa: Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Peraturan

Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP No. 13, 11, 1 Tahun 2013

Tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu, Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

b. Bahan Hukum Sekunder, (secondary sources or authorities), yaitu

sumber bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer yang diperoleh dari buku, makalah, artikel yang berkaitan

dengan masalah.

c. Bahan Hukum Tersier, (teritieary sources or authorities), yaitu

sumber bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti

Kamus Bahasa Inggris, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum.41

41 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat (Jakarta, 1990), hlm. 41

24

3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum ini untuk memperoleh dan mengumpulkan

bahan, peneliti mencari serta mengumpulkan bahan dari media cetak, internet,

jurnal ilmiah, buku-buku, UUD 1945 dan literature hukum, serta catatan lain

yang berkaitan dengan objek penelitian guna mendapatkan suatu penelaahan

yang maksimal, maka pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui prosedur

identifikasi dan inventarisasi untuk dilakukan klasifikasi sesuai dengan

permasalahan yang ditelaah, maka digunakan teknik studi kepustakaan

(Library Research).

4. Metode Analisis Bahan Hukum

Setelah terkumpulnya bahan yang terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, kemudian dilakukan

perbandingan, sehingga bisa ditemukan dasar yang kuat dan tepat untuk

membahas permasalahan yang diangkat oleh peneliti, maka kemudian

dilakukanlah tahap analisis yang dilakukan secara deskriptif kualitatif, yang

merupakan pemilihan teori, asas, norma, doktrin, dan pasal di dalam undang-

undang terpenting yang relevan dengan permasalahan.

Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam uraian

secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis

data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan

secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar

hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang

dimaksud.

25

F. Jadwal dan Sistematika Penulisan

1. Jadwal Penelitian

Penulisan hukum ini direncanakan akan berlangsung selama 3 (tiga) bulan,

dengan jadwal sebagai berikut :

No Kegiatan

Waktu Pelaksanaan (Bulan ke)

I II III Dst

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Persiapan

Pengajuan Usulan

Seminar Proposal

Revisi Usulan

Pengurusan Izin

Pengumpulan Data

Analisis Data

Penyusunan Laporan

Ujian

Revisi Laporan

(jika ada revisi)

xx

xx

x

x

xx

xx

xx

xx

x

x

2. Sistematika Penulisan

Dalam suatu kegiatan ilmiah sudah lazim jika terdapat suatu sistematika,

agar suatu penelitian hukum dapat disajikan secara sistematis dan terarah,

adapun penulisan hukum dalam bentuk skripsi ini dirancang dalam 4 (empat)

bab, sebagai berikut :

26

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diketengahkan mengenai latar belakang,

perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan

pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : HASIL PENELITIAN

Pada bab ini penulis akan memaparkan data tentang konsepsi

dasar yang melatarbelakangi pelaksanaan court of ethics dalam

penyelenggaraan pemilu di Indonesia, dan data tentang hambatan

dan kekurangan yang terdapat dalam pelaksanaan court of ethics

dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

BAB III : ANALISIS HASIL PENELITIAN

Pada bab ini penulis akan memaparkan dan membahas hasil

analisis dari bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan

yang dikaji, meliputi analisis terhadap konsepsi dasar yang

melatarbelakangi pelaksanaan court of ethics dalam

penyelenggaraan pemilu di Indonesia, dan analisis terhadap

hambatan dan kekurangan yang terdapat dalam pelaksanaan court

of ethics dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

BAB IV : PENUTUP

Dalam Bab akhir ini, penulis akan memberikan kesimpulan

dari analisi hasil penelitian yang telah diuraikan dalam bab

sebelumnya, serta saran-saran yang relevan dengan pokok

permasalahan yang diangkat.

27

BAB II

HASIL PENELITIAN

A. Urgensi Pelaksanaan Court Of Ethics dalam Penyelenggaraan Pemilihan

Umum di Indonesia

1. Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia

Hampir tidak ada sistem pemerintahan yang bersedia menerima sebuah

predikat tidak demokratis, karena tidak menjalankan pemilu,42 maka hampir

tidak ada sistem pemerintahan yang tidak menjalankan pemilu. Pemilu pada

hakikatnya merupakan sebuah sistem penjaringan pejabat publik yang banyak

digunakan oleh negara-negara di dunia dengan sistem pemerintahan

demokrasi, bahkan sejumlah negara yang menerapkan atau mengklaim diri

sebagai negara demokrasi (berkedaulatan rakyat), pemilu memang dijadikan

sebagai lambang sekaligus tolak ukur utama dan pertama dari sebuah

demokrasi,43 artinya pelaksanaan pemilu ini merupakan refleksi dari suasana

keterbukaan dan aplikasi dari nilai dasar demokrasi.

Pemilu di Indonesia dalam perspektif sejarah telah dilangsungkan

sebanyak 10 (sepuluh) kali penyelenggaraan, yakni Pertama, pemilu 1955,

Kedua, pemilu 1971, Ketiga, pemilu 1977, Keempat, pemilu 1982, Kelima,

pemilu 1987, Keenam, pemilu 1992, Ketujuh, pemilu 1997, Kedelapan,

42 Hanya sejumlah kecil saja negara yang tidak menjalankan pemilu seperti Brunei

Darussalam dan sejumlah negara monarki di Timur Tengah, bahkan di negara komunispun

sebelum mereka runtuh juga mengadakan pemilu, sekalipun hanya sebatas formalitas politik

semata. Eep Saefullah Fatah, Pemilu dan Demokratisasi : Evaluasi Terhadap Pemilu Orde Baru

(Jakarta, 1997), hlm. 14 43 Dhurorudin Mashad, Korupsi Politik, Pemilu, dan Legitimasi Pasca Orde Baru (Jakarta,

1999), hlm. 1

27

28

pemilu 1999, Kesembilan, pemilu 2004, Kesepuluh, pemilu 2009.44 Secara

umum penyelenggaraan pemilu di Indonesia ini dapat dibagi kedalam 3

lintasan zaman, yakni pada zaman orde lama, orde baru, dan era reformasi,

yang perlu menjadi catatan bersama ialah pada pelaksanaan pemilu pertama,

yakni pemilu 1955 yang berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur,

dan adil, serta sangat demokratis, bahkan pada pelaksanaan pemilu ini

mendapat pujian dari berbagai pihak, yang sangat menarik dari pelaksanaan

pemilu ini ialah tingginya tingkat kesadaran berkompetisi secara sehat,

misalnya walaupun yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri

dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas

negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih

yang menguntungkan partainya,45 namun kesuksesan pemilu yang terjadi

pada tahun 1955 tidaklah berlanjut pada pemilu-pemilu berikutnya, hal ini

dikarenakan berubahnya format politik dengan dikeluarkannya Dekrit

Presiden 5 Juli 1959, yang merupakan sebuah keputusan presiden untuk

membubarkan konstituante dan menyatakan kembali kepada Undang-Undang

Dasar 1945. Dekrit ini secara simbolis telah mengakhiri sebuah rezim

demokrasi dan mengawali otoritarianisme kekuasaan di Indonesia.

Setelah pemilu 1955 ini pemerintahan Soekarno di bawah era demokrasi

terpimpin tidak pernah lagi menyelenggarakan pemilu sampai kemudian

soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui sidang istimewa bulan maret

1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/1967), yang dikibatkan oleh meluasnya

44 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hlm. 343

45 Ibid, hlm. 347

29

krisis politik, ekonomi dan sosial pasca kudeta G 30 S/PKI, dan akhirnya

mengangkat Jenderal Soeharto sebagai presiden untuk menggantikan

Soekarno.46 Dengan beralihnya tampuk kekuasaan kepada Soeharto hal ini

juga akhirnya mengawali sebuah rezim baru dalam pemerintahan Indonesia,

yakni orde baru, namun pemilu juga tidak secepatnya dilaksanakan dan baru

terlaksana pada 5 Juli 1971, yang berarti 4 tahun setelah Soeharto berada di

kursi kepresidenan. Sebuah catatan yang dapat diambil dalam pelaksanaan

pemilu pada masa orde baru ialah, di mana pemilu pada masa orde baru

dilaksanakan sebanyak 6 kali, yakni pada medio 1971 sampai dengan 1997.

Dari hasil evaluasi pemilu pada zaman orde baru telah menghasilkan pola

perimbangan antar kekuatan politik yang khas dan terjaga, di mana

melahirkan Golongan Karya (Golkar) senantiasa menjadi pemenang dengan

perolehan suara mutlak, antara 62, 11% hingga 73, 16%, sementara suara

yang diperoleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai demokrasi

Indonesia (PDI) sangat jauh terpaut di bawah suara golkar.47

Dalam catatan penyelenggaraan pemilu zaman orde baru keberkalaan

yang ada belumlah dibarengi oleh adanya peningkatan kualitas pemilu secara

signifikan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, kemenangan yang dicapai

oleh Golkar hanya didapatkan melalui praktik pemilu yang tidak elegan dan

sehat. Kritik umum yang ditujukan pada pemilu zaman orde baru ialah,

belum dijalankan sepenuhnya asas langsung, umum, bebas, dan rahasia

(Luber), hal ini senada dengan kritik yang disampaikan oleh Liddle setelah

46 Ibid., hlm. 351 47 Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-agenda Bessar Demokratisasi Pasca

Orde Baru, Op.Cit., hlm. 122

30

melakukan penelitian secara cukup serius terhadap pemilu yang dilaksanakan

pada zaman orde baru, yaitu bahwa pemilu orde baru bukanlah alat yang

memadai untuk mengukur suara rakyat, karena pemilu itu dilaksanakan

melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi yang

tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemilu, tetapi juga

berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi “partai milik

pemerintah”, di mana kompetisi ditekan seminimal mungkin, dan keragaman

pandangan tidak memperoleh tempat yang memadai.48

Dari hasil penelitian Liddle ini pada akhirnya menggambarkan betapa

pemilu orde baru masih mengidap penyakit-penyakit yang serius, dan belum

sampai pada tingkatan demokratis. Fakta ini yang kemudian terkonfirmasikan

pada jajak pendapat yang diadakan oleh Republika pada Maret 1995, yang di

mana dalam jajak pendapat ini menghimpun 320 responden yang terdiri dari

kalangan akademisi (77 orang), anggota DPR pusat (30 orang), mahasiswa

(213 orang), dan penjaringan responden dan mahasiswa ini dilakukan dalam

3 (tiga) kota yakni, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, yang kemudian dapat

diketahui bahwa banyak terdapat penyimpangan dalam pemilu orde baru,

ialah sebagai berikut :49

48 R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta,

1992), hlm. 50 49

Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-agenda Bessar Demokratisasi Pasca

Orde Baru, Op.Cit., hlm.126

31

Tabel 1

Penyimpangan-Penyimpangan dalam Pemilu Orde Baru

Bentuk Penyimpangan Jumlah Persen

Campur tangan birokrasi terlampau besar dalam

mempengaruhi pikiran masyarakat

255 79,7

Panitia pemilu tidak independen, memihak salah

satu kontestan

16 50,3

Kompetisi antar kontestan tidak leluasa 134 41,9

Penghitungan suara tidak jujur 121 37,8

Kontestan tidak bebas kampanye karena dihambat

aparat keamanan/perizinan

94 29,4

Rakyat tak bebas mendiskusikan dan menentukan

pilihan

90 28,1

Dengan adanya berbagai penyimpangan yang terdapat dalam pemilu

zaman orde baru, akhirnya kemudian melahirkan sebuah pendapat dari

responden yang kemudian disimpulkan bahwa pemilu zaman orde baru

belumlah menjalankan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber),

serta jujur dan adil (Jurdil), yang kemudian digambarkan sebagai berikut :50

Tabel 2

Pemilu Sudah Luber dan Jurdil ?

Pemilu Sudah Luber dan Jurdil ? Jumlah Persen

Tak Menjawab 4 1,3

Sudah secara optimal 2 0,6

Sudah, namun belum optimal 128 40,0

Belum 186 58,1

50 Ibid., hlm. 127

32

Adanya sebuah indikasi kecurangan di dalam penyelenggaraan pemilu

pada masa orde baru ini merupakan sebuah konsekuensi dari adanya

ketentuan-ketentuan hukum penyelenggaraan pemilu yang bias kepentingan

Golkar, di mana pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan

pemilu tidak lain ialah orang-orang yang juga ditunjuk menjadi fungsionaris

Golkar pada setiap tingkatan.51 Salah satu cara yang digunakan oleh rezim

orde baru untuk dapat mempertahankan suara dan untuk mampu membentuk

sebuah formasi DPR/MPR yang berada langsung di bawah kontrol Soeharto

ialah dengan menerapkan 3 (tiga) strategi yakni, Pertama, pemerintah

menciptakan organisasi peserta pemilu sendiri yang bernama sekretariat

bersama golongan karya (Sekber-Golkar), Kedua, pemerintah mengangkat

anggota DPR/MPR dari unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

(ABRI) dan kelompok-kelompok lain, Ketiga, guna menjaga kemenangan

Golkar, pemerintah tidak mau berbagi dengan partai politik dalam

kepanitiaan pemilu.52

Akibat strategi yang diterapkan oleh pemerintah di dalam

penyelenggaraan pemilu ini akhirnya menimbulkan sebuah protes keras yang

dilakukan oleh PPP dan PDI, akhirnya pemerintah kemudian membentuk

lembaga baru dalam tubuh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yakni, Panitia

Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu), namun ketika dicermati

ternyata lembaga ini yang diharapkan dapat mengusung sebuah pelaksanaan

pemilu yang lebih baik dan bersih, ternyata tidak akan pernah terwujud

51 Topo Santoso, et.al., Penegakan Hukum Pemilu, Praktik Pemilu 2004 dan Kajian

Pemilu 2009-2014 (Jakarta, 2006), hlm. 36 52 Ibid., hlm. 35

33

karena Panwaslak Pemilu ini juga didominasi oleh aparatur negara yang

merupakan pendukung Golongan Karya (Golkar).53

Sejak tahun 1997 di mana rezim orde baru kemudian diterpa adanya krisis

moneter, yang kemudian juga mengalami desakan arus reformasi yang begitu

kuat, dan dimotori oleh mahasiswa, di mana tujuan dari arus reformasi ini

tidak hanya ingin menumbangkan rezim orde baru, tetapi juga menginginkan

sebuah negara yang lebih demokratis maka, untuk memenuhi tuntutan

reformasi tersebut maka dilakukan sidang istimewa MPR 1998, yang salah

satu hasilnya ialah Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 Tentang Pokok-

Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan

Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, yang

mengamanatkan penyelenggaraan pemilu pada bulan juni 1999,54 salah satu

akses yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pemilu yang lebih bersih

ialah dengan di reformasinya LPU menjadi Komisi Penyelenggara Pemilu

(KPU), di mana jika sebelumnya LPU diposisikan sebagai mesin

pemenangan Golkar, maka KPU diposisikan sebagai lembaga penyelenggara

pemilu yang sebenarnya yaitu, mewujudkan free and fair election (pemilu

yang jujur dan adil), sehingga KPU tidak bisa lagi digunakan sebagai mesin

pemenangan salah satu pihak,55 dengan adanya angin segar reformasi ini

maka akhirnya pelaksanaan pemilu tahun 1999 ini dapat terlaksana dengan

lebih bebas, jujur, dan adil dari pada penyelenggaraan pemilu pada masa orde

53 Ibid., hlm. 37

54 Janedjri M. Gaffar, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia (Jakarta, 2013), hlm. 122 55 Andi Alfian Malarangeng, Komisi Pemilihan Umum: Dalam Kajian Pemilu 1999

(Jakarta, 1999), hlm. 20

34

baru, namun dalam pelaksanaanya pemilu tahun 1999 ini masih menyisakan

sebuah pekerjaan rumah yang cukup berat, di mana dalam pemilu 1999 ini

masih banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, yakni

terdapat 4.290 kasus pelanggaran pemilu yang terjadi, hal kemudian di

ilustrasikan sebagai berikut:56

Tabel 3

Penyimpangan Pemilu 1999 dan Penanganannya

Jenis

Penyimpangan

Diselesaikan

Panwas

Dilimpahkan

kepolisian

Dilimpahkan

pengadilan

Jumlah

Administratif 1.394 3 1 1.398

Tata Cara 1.785 12 - 1.797

Pidana Pemilu 347 236 24 707

“Money Politik” 122 18 - 140

Netralitas

birokrasi

234

1

1

236

Jumlah 3.992 270 26 4.290

Pasca dilakukannya reformasi di bidang hukum yang telah

mengakibatkan diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945, yang

sebelumnya sangat diskralkan oleh pemrintahan rezim orde baru, ini

membuka sebuah peluang untuk dapat melaksanakan sebuah pemilu yang

benar-benar bersih dan berpihak kepada rakyat, hal ini dapat dilihat dari

diaturnya ketentuan mengenai pemilu di dalam Bab VIIB dengan judul

pemilihan umum, yakni tepatnya pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945

yang merupakan hasil dari amandemen ketiga, di mana dalam pasal tersebut

56 Tim Peneliti Perludem, Efektifitas Panwas : Evalauasi Pengawasan Pemilu 2004,

Disertai Resume Laporan Pengawasan Pemilu 2004 (Jakarta, 2006), hlm. 15

35

menyebutkan bahwa: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”,57 kemudian

hal ini kembali dipertegas dengan adanya sebuah lembaga penyelenggaraan

pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, yakni KPU.58

Dalam sisi pengawasan penyelenggaraan pemilu terdapat sebuah

kemajuan jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999

Tentang Penyelenggaraan Pemilu, di mana sebelum pelaksanaan pemilu

tahun 2004 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang

Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, di mana pengawas pemilu memiliki

wewenang yang lebih tegas dan memadai dalam menjalankan pengawasan

pemilu, yakni memiliki wewenang pengawasan dalam setiap tahapan

pelaksanaan pemilu, dan menerima laporan adanya pelanggaran pemilu,

meneruskan adanya pelanggaran administrasi pemilu kepada penyelenggara

pemilu, meneruskan laporan pelanggaran pidana pemilu kepada kepolisian

(selanjutnya diteruskan kekejaksaan dan diajukan ke pengadilan) untuk diberi

sanksi, dan menyelesaikan sengketa dalam penyelenggaraan pemilu.59

Dengan adanya perbaikan dari sisi pengawasan terhadap penyelenggaraan

pemilu tahun 2004, namun dalam pelaksanaanya masih banyak terdapat

pelanggaran terutama dalam hal pelanggaran administratif, sebagaimana

terdapat dalam tabel berikut ini :60

57 Lihat Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

58 Lihat Pasal 22 E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945

59 Topo Santoso, Op.Cit., hlm. 43

60 Tim Peneliti Perludem, Op.Cit., hlm. 36

36

Tabel 4

Pelanggaran Administratif Pemilu Legislatif 2004 dan Penanganannya

No

Tahapan

Temuan/

Laporan

Diteruskan

Ke KPU

Ditangani

KPU

1 Pendaftaran Pemilih (P4B) 0 0 0

2 Verifikasi Calon Peserta

Pemilu

314 235 67

3 Penetapan Daerah Pemilihan

dan Jumlah Kursi

0 0 0

4 Verifikasi Calon Legislatif 683 621 147

5 Kampanye 5.965 5.382 2.230

6 Pemungutan Penghitungan

Suara

1.957 1.391 378

7 Penetapan Hasil Pemilu 4 2 NA

8 Penerapan Perolehan Kursi

dan Calon Terpilih

383 382 0

9 Pengucapan Sumpah atau

Janji

0 0 0

JUMLAH 8.946 8.013 2.822

Dari data di atas dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan pemilu tahun

2004 masih banyak sekali terjadi pelanggaran pemilu, terutama dalam hal

administratif pemilu, hal ini dikarenakan lemahnya efektifitas pengawasan

penyelenggaraan pemilu, karena dalam hal ini panwas seolah tidak berdaya

37

dan hanya menjadi “tukang pos” atau kurir yang pekerjaannya membawa

kasus-kasus ke institusi lain.61

Dengan begitu banyak pelanggaran pemilu yang terjadi pada tahun 2004,

maka guna memperbaiki kualitas penyelenggaraan pada tahun 2009

dilakukanlah beberapa penyempurnaan terhadap Undang-Undang

Penyelenggaraan Pemilu, terutama dalam hal fungsi perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi.62 Salah satu esensi dalam upaya memperbaiki

pengawasan dalam penyelenggaraan pemilu ialah dengan membentuk sebuah

Dewan Kehormatan yang bersifat ad hoc, yang berfungsi untuk memeriksa

pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaraan kode etik yang dilakukan

oleh anggota KPU dan anggota KPU Provinsi,63 kemudian dalam hal

pengawasan penyelenggaraan pemilu ditegaskan sebuah lembaga yakni

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang bertugas mengawasi

penyelenggaraan pemilu di seluruh Indonesia, dan untuk mengoptimalkan

pengawasan maka Bawaslu membentuk Panitian Pengawas Pemilu (Panwas)

di setiap provinsi, kabupaten dan kota,64 yang memiliki kedudukan hierarkis

sama halnya dengan kedudukan KPU dengan KPU provinsi dan KPU

kabupaten/kota.65

61 Ibid., hlm. 39

62 Lihat Konsideran Menimbang huruf (d) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggaraan Pemilihan Umum 63 Lihat Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan

Pemilu 64 Lihat Pasal 1 angka 15 dan 16 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggaraan Pemilu 65 Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hlm. 144

38

Namun sangat disayangkan, pemilu 2009 yang diharapkan akan jauh

lebih baik dari pemilu-pemilu tahun sebelumnya, masih menimbulkan banyak

kekecewaan, terutama terkait dengan banyaknya jumlah pelanggaran pemilu

dan indikasi adanya korupsi pemilu yang dilakukan oleh Partai Politik dan

Calon Legislatif (Caleg), yang di mana hal ini akan memberikan sebuah efek

negatif bagi masyarakat Indonesia, dan kualitas penyelenggaraan pemilu.66

Sebagaimana diketahui pasca pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2009,

Kejaksaan Agung (kejagung) telah menerima 352 kasus terkait dengan tindak

pidana pemilu, kemudian hal ini kembali dipertegas dengan data dari

lembaga survei pemilu, di mana disebutkan bahwa pelaksanaan kampanye

rapat umum saja dalam pemilu 2009 diwarnai 2.228 pelanggaran, yang

kemudian Partai Golkar menjadi partai peserta pemilu yang paling banyak

melakukan pelanggaran, yakni 158 pelanggaran, kemudian disusul oleh

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebanyak 116 pelanggaran,

dan Partai Demokrat dengan 115 pelanggaran, 67 secara umum pelanggaran

pemilu yang terjadi selama pelaksanaan pemilu tahun 2009 dalam setiap

tahapan ini dapat dilihat dalam table berikut:

66 Zulkarnain, “Kajian Keriminologi Terhadap Tindak Pidana Pemilu: Membedah

Akar-Akar Pemicu Tindak Pidana Pemilu Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemilu 2009 dan

Problematika Penyelesaiaannya”, Jurnal Konstitusi Universitas Widyagama, No. 2/Vol. II,

November 2009, hlm. 60 67 Ibid., hlm. 61

39

Tabel 5

Rekapitulasi Pelanggaran Dalam Setiap Tahapan Pemilu Anggota DPR,

DPD, dan DPRD Tahun 2009

No

Tahapan Pemilu

Jumlah

Administrasi Pidana

1

Pemutakhiran

Data Pemilih dan

Penyusunan Data

Pemilih

391

26

417

2

Pendaftaran dan

Penetapan Peserta

Pemilu Legislatif

110

13

123

3

Penetapan Jumlah

Kursi dan Daerah

Pemilihan (Dapil)

-

-

-

4

Pencalonan

Anggota DPR,

DPD, dan DPRD

493

38

531

5 Masa Kampanye 12.322 4.626 16.948

6 Masa Tenang 340 193 533

7

Pemungutan dan

Penghitungan

Suara

1.618

1.091

2.709

8 Penetapan Hasil

Pemilu

67

32

99

Jumlah 15.341 6.019 21.360

Pelanggaran Pemilu

40

2. Penegakan Kode Etik Pemilihan Umum di Indonesia

Kode etik pemilihan umum merupakan satu kesatuan landasan norma

moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara

pemilihan umum yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan

dalam semua tindakan dan ucapan.68 Munculnya model penegakan etika

dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia ini diawali pada saat pemilu

tahun 2009, di mana dalam hal pengaduan terhadap pelanggaran kode etik

penyelenggaraan pemilu yang dilakukan oleh KPU dan KPU provinsi,

dibentuklah sebuah dewan kehormatan yang bersifat ad hoc berdasarkan

ketetapan KPU.69

Dewan Kehormatan ini dari sisi kompetensi keanggotaan cukup baik,

tetapi dari aspek struktural kurang balance karena didominasi oleh

penyelenggara pemilu, dan dalam pelaksanaannya kinerja dari Dewan

Kehormatan ini menunjukan sebuah sinyal positif yang tidak mengecewakan

publik termasuk pemerintah dan DPR, hal ini dapat dilihat dari terobosan-

terobosan yang dilakukan oleh lembaga ini guna menegakkan etika

penyelenggara pemilu. Melihat prestasi yang ditunjukkan oleh lembaga ini

dalam hal menegakkan etika, akhirnya kemudian menjadi titik tolak lahirnya

institusi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), di mana

Pemerintah, DPR, lembaga yudikatif dan lembaga-lembaga pemantau Pemilu

sontak mendorong misi mulia ini dengan meningkatkan kapasitas wewenang

68Lihat Pasal 1 angka (6) Pertauran Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas

Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Nomor 13, 11, 1

Tahun 2012 Tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilihan Umum 69 Lihat Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan

Pemilihan Umum

41

dan memastikan institusi ini jadi tetap dan tidak hanya menangani kode etik

pada KPU tapi juga Bawaslu di tiap tingkatan melalui produk hukum

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu.70

Lahirnya institusi penegakan etika, khususnya dalam penyelenggaraan

pemilu di Indonesia merupakan sebuah perwujudan dari penerapan konsep

Negara Hukum Indonesia dan Hukum Progresif, di mana Satjipto Rahardjo

menyatakan bahwa hukum adalah institusi sosial yang memiliki struktur

sosiologis dan akar budaya sendiri,71 dengan menyandarkan pada hal

demikian akhirnya menyebabkan doktrin dan prinsip negara hukum akan

berbeda antara satu negara dengan negara lain, sehingga doktrin dan prinsip

the rule of law, tidak dapat begitu saja diterima dan diterapkan di Indonesia,

karena the rule of law merupakan doktrin yang tumbuh dan berkembang

ratusan tahun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan bangsa-bangsa

eropa, sehingga penerapan doktrin dan prinsip the rule of law di Indonesia

secara kaku merupakan sebuah cara berbuat yang kurang merdeka.72

The rule of law bukan merupakan sebuah institusi yang netral karena

mengandung wawasan sosial tentang hubungan antar manusia, masyarakat,

dan negara, dan dalam struktur sosiologisnya konsep the rule of law

merupakan aliran pemikiran hukum liberal.73 Indonesia memiliki akar

sosiologis yang berbeda dengan masyarakat di mana doktrin the rule of law

berkembang, sehingga Indonesia memiliki kebebasan dan keharusan untuk

70 http//www.dkpp.go.id//Sejarah DKPP, diakses tanggal 1 Januari 2014

71 Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hlm. 77 72 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Indonesia (Jakarta, 2003), hlm. 7-8

73 Ibid., hlm. 10

42

secara merdeka menentukan watak dan karakteristik negara hukum yang

sesuai dengan akar sosiologis masyarakat Indonesia.

Sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia, yakni Pancasila, maka Satjipto

Rahardjo menyatakan bahwa negara hukum yang dianut harus berdasarkan

pada Pancasila yang lebih menekankan pada subtansi, bukan pada prosedur

dalam peraturan perundang-undangan semata-mata, hal ini dikarenakan di

dalam Negara Hukum Pancasila yang lebih diungulkan ialah “olah hati

nurani” untuk mencapai keadilan, karena itu negara Hukum Pancasila lebih

bercirikan rule of moral atau rule of justice.74

Dengan adanya penegasan bahwa konsep negara hukum yang dianut di

Indonesia merupakan konsep negara hukum yang bersumber dari Falsafah

Pancasila, yang bercirikan rule of moral, maka dalam hal ini antara hukum

dan etika memiliki sebuah hubungan yang sangat erat, hal ini sebagaimana

dikemukakan oleh Talcott Parson, melalui teori sibernetika, di mana sistem

sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial yang saling

mengalami ketergantungan dan keterkaitan, serta interaksi.75 Teori

Sibernetika ini menyimpulkan bahwa hukum dalam kehidupan masyarakat

“tidaklah bersifat otonom”, karena senantiasa dipengaruhi oleh beberapa

faktor antara lain faktor ekonomi, politik, sosial, budaya termasuk

antropologi dan psikologi.

74

Ibid., hlm. 16 75 http://fitriaade17.blogspot.com/2011/10/teori-sibernetika.html, diakses tanggal 1 Januari

2014

43

Dalam perspektif hukum sebagai sarana mengekspresikan nilai dan

moral, serta posisi hukum untuk manusia dan masyarakat, hukum tidak dapat

didekati secara utuh hanya dari ilmu hukum positif atau paradigma

positivisme, namun hukum dan etika harus dapat dilihat secara terpisah,

bahwa etika ini akan menjadi salah satu tolak ukur dalam hukum, menurut

Franz Magnis Suseno etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik

berkaitan dengan pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral.

Dalam arti yang lebih luas etika diartikan keseluruhan mengenai norma dan

penelitian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana

manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.76

Secara historis etika sebagai usaha dari filsafat, yang lahir dari kerusakan

tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu, pada zaman

ini pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai,

maka para filosof yang peka terhadap kondisi ini mulai mempertanyakan

kembali norma-norma dasar bagi perilaku manusia. Situasi tersebut berlaku

pula pada zaman sekarang ini, di mana persoalan yang muncul bukan hanya

membedakan antara kewajiban dan yang bukan merupakan kewajiban,

melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa-apa yang harus

dianggap sebagai kewajiban. Norma-norma moral sendiri dipersoalkan.

Misalnya di bidang etika seksual, hubungan anak dan orang tua, kewajiban

terhadap negara, etika sopan santun dan pergaulan dan penilaian terhadap

harga nyawa manusia, terdapat pandangan-pandangan yang sangat berbeda

76 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa (Jakarta, 2001), hlm. 6

44

satu sama lain, dan untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan

pandangan-pandangan moral ini diperlukan sebuah refleksi kritis etika.77

Berbeda dengan Franz Magnis Suseno, dalam pemikiran Aristoteles etika

dipandang sebagai ilmu tentang tindakan tepat dalam bidang khas manusia, di

mana objek etika adalah alam yang berubah terutama alam manusia, oleh

karena itu etika bukan merupakan episteme atau bukan ilmu pengetahuan.

Tujuan etika disini digunakan bukan untuk mengetahui apa itu hidup yang

baik, melainkan membuat orang untuk hidup yang lebih baik, secara umum

pemikiran Aristoteles ini sama sekali tidak terpengaruh oleh berbagai

keyakinan mistik agama, sehingga kurang memiliki nilai-nilai intrinsik.78

Dalam filsafat yunani klasik, Socrates kemudian mengajukan eudaimonia

(kebahagian manusia) sebagai ukuran tindakan yang baik secara etis. Untuk

mencapai eudaimonia, harus melalui arête (virtue),79 hal ini tergambarkan di

mana seseorang yang sudah memiliki arête sudah pasti akan mengetahui apa

yang bai, dan hidup yang baik tidak berarti lain daripada mempraktikkan

pengetahuan tentang yang baik, karena mumpuni dalam hal pengetahuan

yang baik, harus juga mumpuni dalam moral.80

Secara umum antara hukum dan etika dapat disimbolisasikan seperti

kedua sisi mata uang yang dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan,

77

Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral , Op.Cit.,

hlm. 15 78 Betrand Russell, Sejarah Filsafat barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman

Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko (Yogyakarta, 2007), hlm. 233-248 79 Arete dalam bahasa yunani diartikan sebagai “keutamaan” yang merujuk kepada cirri khas

yang berkaitan dengan fungsi optimal (excellency) dalam suatu hal, dalam hal ini arête manusia

merujuk kepada kondisi optimal manusia 80 Bernard L. Tanya, Penegakan Hukum Dalam Terang Etika (Yogyakarta, 2011), hlm. 17

45

karena antara hukum dan etika memiliki sebuah titik pertemuan, di mana

keduanya saling mengisi, hal ini dapat dibuktikan di mana hukum yang pada

umumnya merupakan sebuah kumpulan norma yang memberikan sebuah

batasan-batasan bagi masyarakat dalam bertingkah laku, akan dapat berjalan

secara efektif ketika di dalam sebuah masyarakat tersebut telah memiliki

sebuah kesadaran etis, yang merupakan hal intrinsik (hakiki) dalam diri

manusia, karena hanya dengan kesadaran inilah, masyarakat akan terdorong

untuk harus melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan sedapat mungkin

tidak melakukan apa yang tidak seharusnya ia lakukan.81

Di dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, posisi penegakan etika

ini lahir dari adanya sebuah reaksi dari penyelenggaraan pemilu tahun 2004

yang telah menjadi catatan sejarah baru bangsa Indonesia, dengan diawalinya

penyelenggaran Pemilu Anggota Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden secara langsung dan pertama kalinya. Hal ini merupakan suatu

loncatan demokrasi yang sangat cepat dan evolusioner, mengakibatkan

kredibilitas dan intergitas KPU menjadi taruhan politik. Cerita KPU sebagai

lembaga super power dalam penyelenggara pemilu tahun 2004 dan berjalan

aman dan sukses, harus berakhir dengan kasus Korupsi yang dilakukan oleh

Komisioner KPU.82

Sebagai sebuah koreksi dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2004,

akhirnya pada pemilu tahun 2009 pengawasan terhadap jalannya pemilu

sangat mutlak diperlukan, dengan lahirnya Bawaslu yang memiliki fungsi

81 Ibid., hlm. 30 82 http://didikariyantoblogspot.com// Telaah Etika Penyelenggaraan Pemilu Dalam Sidang

DKPP, diakses tanggal 1 Januari 2014

46

sebagai pengawas jalannya pemilu di seluruh wilayah Republik Indonesia,83

namun terdapat sebuah kelemahan dalam pemilu 2009, di mana pelanggaran-

pelanggaran yang terjadi tidak dapat diselesaikan secara maksimal, karena

kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para komisioner KPU tidak dapat

diadili secara administratif, hal ini kemudian yang menjadi salah satu

landasan politis dari pihak legislator untuk memecah kembali tata kelola

dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, guna memperbaiki kualitas

pemilu yang akan datang yakni tahun 2014, dengan melahirkan sebuah

lembaga baru yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, yang

berfungsi sebagai eksekutor atau penegak etika penyelenggaraan pemilu.

Di dalam pelaksanaan penegakan etika penyelenggaraan pemilu di

Indonesia, DKPP berpedoman pada sebuah mekanisme beracara, di mana hal

ini bermula dari adanya sebuah dugaan adanya pelenggaran kode etik yang

diajukan kepada DKPP dalam bentuk pengaduan, laporan, dan rekomendasi

dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),84 yang dapat diajukan oleh

penyelenggara pemilu, peserta pemilu, tim kampanye, masyarakat, dan juga

pemilih.85 Dalam menjalankan sebuah persidangan dalam dugaan

pelanggaran etika penyelenggara pemilu, DKPP menjalankannya dengan

mengedepankan prinsip cepat dan sederhana, kemudian dalam amar putusan

DKPP dapat memberikan sanksi yang berupa teguran tertulis, pemberhentian

83 Lihat Pasal 1 angka (15) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggaraan Pemilihan Umum 84 Lihat Pasal 3 ayat (1) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum

Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum 85 Lihat Pasal 3 ayat (2) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum

Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum

47

sementara, dan pemberhentian secara tetap.86 Dari model penegakan etika

yang kemudian dijalankan oleh DKPP ini, dapat terlihat bahwa DKPP

merupakan sebuah lembaga semi peradilan (quasi peradilan), karena terdapat

sebuah mekanisme peradilan yang dijalankan dalam memutus dugaan

pelanggaran etika penyelenggara pemilu, hal ini kemudian diperkuat dengan

adanya sifat putusan dari DKPP yang bersifat final dan mengikat, serta wajib

untuk dilaksanakan paling lambat 7 hari setelah putusan dibacakan.87

3. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Sebagai Embrio

Awal Dari Court Of Ethics

Berdasarkan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011

Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, terdapat 3 (tiga) fungsi yang

kemudian diinstitusionalkan ke dalam 3 (tiga) kelembagaan, yakni KPU,

Bawaslu, dan DKPP. DKPP disini bukanlah sebagai lembaga

penyelenggaraan pemilu di Indonesia, namun tugas dan kewenangannya

terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu.

Dalam sistem sistem ketatanegaraan Indonesia sudah cukup banyak

berdiri lembaga-lembaga penegak kode etik dalam jabatan-jabatan publik. Di

bidang kehakiman, misalnya, sudah ada Komisi Yudisial, di samping adanya

Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dalam sistem internal Mahkamah Agung.

Di Mahkamah Konstitusi juga ada mekanisme Majelis Kehormatan Hakim

86

Lihat Pasal 22 dan Pasal 33 ayat (3) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara

Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara

Pemilihan Umum 87

Lihat Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara

Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara

Pemilihan Umum

48

(MKH) MK, di dunia pers dan jurnalistik, terdapat Dewan Pers, kemudian di

lingkungan lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPD telah ada Badan

Kehormatan DPR dan Badan Kehormatan DPD.88

Di dalam lingkungan profesi juga telah banyak dikenal keberadaan dari

lembaga penegak kode etik yang berkaitan dengan profesi tersebut, yang

semuanya dilembagakan secara internal dalam organisasi masing-masing

profesi, namun sebuah catatan penting yang terdapat dalam lembaga-lembaga

penegak kode etik tersebut, ialah hanya bersifat performa semata, bahkan

sebagian di antaranya belum pernah menjalankan tugasnya dengan efektif

dalam rangka menegakkan kode etik yang dimaksud. Salah satu sebabnya

ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut di atas tidak

memiliki kedudukan yang independen, sehingga kinerjanya tidak efektif.

Karena itu, sebagai solusinya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode

etik tersebut harus direkonstruksikan sebagai lembaga peradilan etika yang

diharuskan menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia

modern.89

Kehadiran DKPP sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara

pemilu, merupakan sebuah langkah awal dalam menciptakan sebuah sistem

hukum dan sistem etika yang bersifat fungsional dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia, hal ini dikarenakan selama ini belum terdapatnya sebuah sistem

yang baku dalam penegakan etika, selain itu kehadiran DKPP ini merupakan

88 Jimly Asshiddiqie, “Pengenalan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemiihan

Umum” (Makalah Dalam Forum Rapat Pimpinan Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta,

Februari 2013), hlm. 6 89 Ibid., hlm. 8

49

sebuah aktualisasi dari adanya visi pembangunan bangsa melalui peningkatan

kualitas demokrasi, maka sangat diperlukan institusi-institusi negara untuk

mengawal proses penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilu Kada di

seluruh Indonesia, sehingga mampu memperbaiki kualitas penyelenggaraan

pemilu di Indonesia.

Sejak kelahiran DKPP pada tanggal 12 Juni 2012, lembaga ini langsung

aktif bergerak cepat, kreatif, profesional, dan produktif dalam melakukan

penegakan kode etik penyelenggaraan pemilu di Indonesia, dan dari kinerja

yang ditunjukkan oleh DKPP selama 1 (satu) tahun terhitung pada tanggal 12

Juni 2013, berdasarkan hasil poling yang dilakukan secara online melalui

situs resmi DKPP, sebanyak 65,66% responden mengatakan bahwa DKPP

memiliki kinerja yang “sangat efektif” dalam melakukan penegakan kode etik

pemilu, kemudian 18, 6% responden mengatakan “biasa saja”,90 kemudian

Abdul Muktie Fadjar mengatakan bahwa DKPP merupakan “idola baru”

dalam sistem peradilan di Indonesia, hal ini dikarenakan sistem peradilan

etika yang dijalankan oleh DKPP lebih efektif ketimbang sistem peradilan

hukum.91

Penegakan etika penyelenggaraan pemilu di Indonesia, sangatlah

diperlukan, karena pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara

pemilu bukanlah persoalan etika biasa, namun dapat berdampak luas dan

berkepanjangan, serta merugikan keuangan negara, dan bahkan dapat

90 Dalam http//www.dkpp.go.id// Efektifkah Kinerja DKPP, diakses tanggal 1 Januari 2014 91 http://www.gatra.com// DKPP Idola Baru Dalam Sistem Peradilan Indonesia, diakses

tanggal 1 Januari 2014

50

merampas hak konstitusional warga negara, sehingga kehadiran DKPP

dengan formatnya sebagai sebuah lembaga quasi peradilan, sangat

diharapkan mampu menjadi pelopor dalam sistem peradilan etika di

Indonesia.92

Sebagai sebuah pembanding dalam pelaksanaan penegakan etika

penyelenggara pemilu di Indonesia, yang dilaksanakan oleh DKPP dalam

format quasi peradilan, perkembangan dari quasi peradilan juga sangat pesat

terjadi di negara-negara lain, salah satunya ialah Amerika Serikat, di mana di

dalam tradisi sistem hukum common law yang diterapkan di Amerika Serikat

tidak dikenal adanya lembaga peradilan tersendiri di bidang hukum

administrasi, karena itu, yang tumbuh dalam praktik adalah pelembagaan

fungsi-fungsi ‘mengadili’ itu dalam lingkungan eksekutif pemerintahan

melalui badan-badan yang menjalankan fungsi quasi peradilan, karena itu,

Quasi-judicial administrative agencies itu sendiri biasa dipahami sebagai

tindakan yang dilakukan oleh badan administrasi negara (an action by an

administrative agency), perkembangan badan-badan administrasi semacam

ini banyak sekali berkembang di Amerika serikat dengan kewenangan yakni:

(i) mengadakan pemeriksaan persidangan seperti yang biasa dilakukan oleh

badan-badan peradilan dan gugatan-gugatan persengketaan yang diajukan

pihak-pihak diperiksa melalui persidangan, (ii) mendengarkan fakta-fakta

pembuktian dan pembelaan diri pihak tergugat, (iii) kesimpulan dan putusan

92 http://www.metrotvnews.com// Pelanggaran Etika Pemilu Berakibat Dahsyat, diakses

tanggal 1 Januari 2014

51

yang mengikat (binding decision).93 Terkait dengan penegakan hukum

pemilu dalam hal penegakan etika dalam sebuah konsep peradilan, hal ini

dapat dilihat dari adanya sebuah penerapan peradilan khusus pemilu yang

dilaksanakan di Zimbabwe, yang memiliki kompetensi dalam hal menangani

pelanggaran pidana pemilu, termasuk kekerasan-kekerasan yang bermotif

politik yang muncul selama penyelenggaraan pemilu, kemudian melakukan

penegakan terhadap kode etik pemilu.94

B. Hambatan dan Kekurangan Pelaksanaan Court Of Ethics Dalam

Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia

Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang berlandaskan atas

hukum, hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam Undang-Undang Dasar

1945 yang menyebutkan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”,

dengan demikian semua pelaksanaan dalam sistem ketatanegaraan di

Indonesia haruslah berlandaskan kepada aturan (rule) yang sudah ditetapkan.

Di dalam sistem peradilan yang dianut di Indonesia, tidak dikenal adanya

konsep peradilan etika (court of ethics), pelaku kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan

dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan

sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).95

93 Jimly Asshiddiqie, Pengadilan Khusus, Loc.Cit.

94 http://www.wartanews.com// Zimbabwe Bentuk Pengadilan Khusus Pemilu, diakses

tanggal 6 Januari 2014 95 Lihat Pasal 48 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

52

Pelaksanaan peradilan etika (court of ethics) dapat kita telusuri dalam

penyelenggaraan pemilu di Indonesia, di mana terdapat sebuah lembaga yang

memiliki kewenangan sebagai penegak kode etik penyelenggara pemilu,

yaitu DKPP yang model penegakannya menerapkan sistem peradilan modern,

dan dilengkapi dengan kekuatan putusan yang bersifat final dan mengikat,

sehingga lembaga ini memiliki fungsi seperti lembaga peradilan (quasi

peradilan). Kelahiran DKPP sebagai penegak etika penyelenggara pemilu ini

merupakan sebuah jawaban dari banyaknya pelanggaran-pelanggaran etika

penyelenggara pemilu, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas

penyelenggaraan pemilu di Indonesia, munculnya pelanggaran etika dalam

penyelenggaraan pemilu ini merupakan sebuah akibat dari adanya

ketidakjujuran dan praktik kecurangan, yang semuanya diakibatkan oleh

lemahnya penegakan hukum pemilu di Indonesia, yang akhirnya akan

menjadi sumber permasalahan integritas.96

Pelaksanaan penegakan etika penyelenggara pemilu merupakan

mekanisme untuk menegakkan kode etik penyelenggaraan pemilu di

Indonesia, dengan tujuan untuk menjaga kemandirian, integritas,

akuntabilitas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu, agar mampu

memberikan jaminan terselenggaranya pemilu yang langsung, umum, bebas,

dan rahasia. Mengenai hambatan dan kekurangan dalam penyelenggaraan

court of ethics dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, ini disebabkan

belum terselenggaranya format peradilan di Indonesia yang secara khusus

96 Topo Santoso, “Penguatan Penegakan Hukum Pemilu”, Jurnal Pemilu & Demokrasi,

No. 2, Februari 2012, hlm. 83

53

menangani pelanggaran etika, selama ini di dalam penyelenggaraan pemilu di

Indonesia mekanisme penegakan hukum pemilu yang ada hanya

terkonstruksi pada peradilan umum untuk wilayah pelanggaran pidana

pemilu, dan KPU untuk pelanggaran administrasi, kemudian untuk

pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diselesaikan oleh DKPP, serta

sengketa pemilu yang lainnya di selesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara

(PTUN), dan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) diselesaikan di

Mahkamah Konstitusi (MK),97 kemudian wacana yang berkembang untuk

memperbaiki penegakan hukum pemilu di Indonesia ialah salah satunya

dengan membentuk pengadilan pemilu (election court), yang berfungsi untuk

menyelesaikan pelanggaran yang terjadi selama penyelenggaraan pemilu. 98

Gagasan untuk membentuk sebuah peradilan khusus pemilu ini

merupakan salah satu komponen terpenting dalam azas-azas penyelengaraan

pemilu diantaranya adalah “kepastian hukum”. Dalam konteks kepastian

hukum, adalah bahwa antara penyelenggara pemilu, pengawas pemilu,

pemantau pemilu dan peserta pemilu menerima secara baik dari proses

tahapan, program dan jadwal waktu penyelenggaran pemilu. Apabila ada

pihak-pihak yang belum puas atas hasil kerja yang diberikan oleh KPU

sebagai Penyelenggara Pemilu, dapat mengajukan sengketanya di Pengadilan

Khusus Pemilu, namun pada akhirnya gagasan pembentukan pengadilan

khusus pemilu (election court) ini tidak dimasukkan kedalam draf revisi

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD

97 Ibid., hlm. 88-92 98 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c478511d7141/pengadilan-khusus-pemilu-

tidak-eliminir-peran-mk, diakses tanggal 6 Januari 2014

54

dan DPRD, hal ini dikarenakan pihak legislator lebih memandang bahwa hal

ini akan mengakibatkan adanya tumpang tindih kewenangan dalam

menyelesaikan pelanggaran yang terjadi, selain itu usulan pembentukan

sebuah peradilan khusus pemilu yang muncul dalam pembahasan di DPR

yang diusulkan oleh fraksi PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan)

ini ditolak oleh para anggota komisi II DPR,99 dan juga ahli pidana pemilu

Topo Santoso, karena bahwa tidak perlu ada pengadilan khusus pemilu,

mengingat sudah ada lembaga pengawas pemilu yang bersifat permanen baik

ditingkat Nasional maupun di tingkat Provinsi, sehingga seharusnya lembaga

pengawas tersebut dapat dimaksimalkan fungsi adjudikasinya untuk

menyeleksi perkara pemilu baik tindak pidana dan sengketa pemilu. Jadi,

dalam konteks penegakan hukum pemilu, majelis hukum khusus untuk

memeriksa dan mengadili Tindak Pidana Pemilu saja sudah cukup.100

Salah satu perubahan besar yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu di

Indonesia ialah, dipermanenkannya Dewan Kehormatan (DK) KPU, menjadi

DKPP yang memiliki kewenangan dalam ranah penegakan etika

penyelenggara pemilu, yang dalam mekanisme penegakannya menerapkan

konsep seperti sebuah lembaga peradilan (quasi peradilan), namun Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum

tidak menyatakan secara tegas bahwa DKPP merupakan sebuah lembaga

peradilan yang secara khusus menangani pelanggaran etika penyelenggara

99 http://www.tempo.co/read/news/ Usulan Peradilan Pemilu Muncul di DPR, diakses

tanggal 6 Januari 2014 100 Topo Santoso, Quo Vadis Penegakan Hukum Pemilu, dalam http//www.gogle.com,

diakses tanggal 6 Januari 2014

55

pemilu, inilah yang kemudian menghambat pelaksanaan court of ethics di

Indonesia khususnya dalam penyelenggaraan pemilu, karena pelaksanaan

peradilan etika sangatlah berbeda dengan sistem hukum dan sistem peradilan

yang sekarang sedang berlaku di Indonesia, namun sesungguhnya perdilan

etika (court of ethics) ini dapat dikatakan bersifat melengkapi terhadap sistem

peradilan hukum yang sudah ada, selain itu masuknya konsep peradilan etika

(court of ethics) dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia ini dapat

mendukung proses penegakan etika, karena sesuangguhnya, suatu

pelanggaran hukum dapat disebut juga merupakan pelanggaran etika, tetapi

pelanggaran etika belum tentu merupakan sebuah pelanggaran hukum.101

Selain berbedanya sistem hukum dan sistem peradilan yang ada di

Indonesia, salah satu faktor yang kemudian menjadi penghambat dan

kekurangan dalam pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan

pemilu di Indonesia ialah minimnya peran serta masyarakat dalam

mendukung penegakan etika penyelenggaraan pemilu di Indonesia,102 peran

serta masyarakat sangatlah penting untuk mendukung lahirnya sebuah pemilu

yang demokratis dan berkualitas di Indonesia, karena pada akhirnya

masyarakatlah yang nantinya akan menjadi penentu dari keberhasilan

pelaksanaan pemilu.

101 Jimly Asshiddiqie, Pengadilan Khusus, Loc.Cit 102 Diolah dari Putusan-Putusan yang telah dikeluarkan oleh DKPP dalam menangani

pelanggaran etika, yang sebagian besar pemohonnya didominasi oleh peserta pemilu

56

BAB III

ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Analisis Terhadap Urgensi Pelaksanaan Court Of Ethics dalam

Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia

Sebagaimana yang terdapat dalam bab sebelumnya yang merupakan

bahan-bahan hukum dari hasil penelitian mengenai urgensi pelaksanaan court

of ethics dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia, maka dapat

diketahui bahwa munculnya sebuah konsep penegakan etika penyelenggaraan

pemilu di Indonesia, barulah muncul pada pemilu yang dilaksanakan pada

tahun 2009, di mana hal ini dilandasi adanya sebuah keinginan untuk

memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia, dengan

menekankan kepada penciptaan penyelenggara pemilu yang memiliki

integritas, akuntabilitas, dan profesionalitas, hal ini sebagaimana yang

tertuang di dalam konsideran menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yang menyebutkan

sebagai berikut :

“Bahwa penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan

oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas,

profesionalitas, dan akuntabilitas”

Konsep penegakan etika yang dilakukan dalam penyelenggaraan pemilu

tahun 2009 ini dilakukan oleh sebuah lembaga yakni Dewan Kehormatan

56

57

(DK) KPU, yang dibentuk oleh anggota KPU dan anggota KPU Provinsi,

yang bersifat ad hoc, karena keberhasilan dari lembaga ini dalam

menegakkan etika penyelenggara pemilu, maka akhirnya sebagai sebuah

evaluasi pelaksanaan pemilu tahun 2009, akhirnya lembaga Dewan

Kehormatan (DK) ini kemudian dipermanenkan kedudukannya menjadi

Dewan Kehomatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yang

memiliki kompetensi menjalankan penegakan etika dengan menerapkan

sistem peradilan modern, sehingga akhirnya menjadikan DKPP memiliki

konsep seperti lembaga peradilan (quasi peradilan).

Di dalam perjalanannya, DKPP telah memberikan sebuah terobosan-

terobosan baru dalam hal penegakan etika penyelenggara pemilu di

Indonesia, dan telah memperlihatkan adanya sebuah efektifitas daari

kehadiran lembaga ini dalam hal menegakkan etika penyelenggara pemilu,

guna menjamin kualitas penyelenggara pemilu yang memiliki integritas,

akuntabilitas, dan profesionalitas. Efektifitas dari kehadiran DKPP sebagai

salah satu lembaga penyelenggara pemilu, yang berfungsi dalam ranah etika,

ini dapat dilihat dari statistik perkara yang diselesaikan oleh DKPP, di mana

sejak 1 (satu) tahun berdirinya DKPP, lembaga ini telah memutuskan 110

perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, dan kemudian hal ini

kembali diperkuat dari adanya survei yang dilakukan secara online, sebanyak

65,66% responden mengatakan bahwa DKPP memiliki kinerja yang “sangat

efektif” dalam melakukan penegakan kode etik pemilu, dengan demikian

58

dapat dikatakan bahwa kehadiran DKPP sebagai sebuah institusi penegak

etika penyelenggara pemilu, merupakan sebuah terobosan yang sangat luar

bias, mengingat pentingnya penegakan terhadap etika yang selama ini seolah

selalu dikesampingkan.

Sebuah catatan penting dalam kehadiran DKPP ini ialah, bahwa

kehadiran DKPP ini dapat dijadikan sebagai sebuah embrio awal dari

pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, hal

ini dikarenakan di dalam proses penegakan etika penyelenggara pemilu ini

DKPP hanyalah bersifat quasi peradilan, dan bukan sebagai sebuah lembaga

peradilan yang benar-benar memiliki sebuah kewenangan khusus yang berada

dalam ranah penegakan etika. Pelaksanaan court of ethics dalam

penyelenggaraan pemilu di Indonesia, dapat dilakukan dengan mendasarkan

kepada sebuah konsep perbandingan hukum penegakan pemilu yang

diselenggarakan oleh negara lain, salah satu negara yang kemudian

menerapkan sebuah peradilan khusus pemilu, yang berfungsi untuk

menyelesaikan peramsalahan yang timbul selama penyelenggaraan pemilu

ialah Zimbabwe, di mana di negara ini diterapkan sebuah peradilan khusus

pemilu yang salah satu kompetensinya ialah menegakkan kode etik pemilu,

hal ini didasari atas sebuah perkembangan dinamika politik yang terjadi di

Zimbabwe, yang akhirnya mendesak agar permasalahan yang timbul selama

penyelenggaraan pemilu dapat diselesaikan oleh sebuah lembaga peradilan,

guna mampu menjamin kepastian hukum dan stabilitas politik di negara

tersebut.

59

Dengan tingginya kasus pelanggaran etika yang diselesaikan oleh DKPP,

hal ini membuktikan bahwa permasalahan serius yang dihadapi bangsa

Indonesia ialah bukan terletak dalam kualitas aturan hukum pemilu, tetapi

lebih kepada persoalan etika, khususnya dalam penyelenggaraan pemilu di

Indonesia, namun hal ini belumlah didukung dengan konsep sistem

penegakan hukum dan etika yang bersifat fungsional.

Urgensi pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan pemilu di

Indonesia ini lahir dari rendahnya kesadaran etika dalam penyelenggaraan

pemilu, yang diakibatkan terjadinya dekadensi etika, yang terjadi di

Indonesia, selain itu pelaksanaan court of ethics ini sejalan dengan konsep

negara hukum pancasila yang diterapkan di Indonesia, di mana konsep negara

hukum (the rule of law) yang ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-

Undang Dasar 1945, ini bersumber dari pokok-pokok pikiran pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945, di mana meletakkan pancasila sebagai falsafah

negara Indonesia yang memiliki “posisi ganda” dalam sistem hukum

nasional, yakni sebagai cita hukum (rechtside) yang memiliki fungsi

konstitutif serta fungsi regulatif, dan berkedudukan sebagai sebuah norma

dasar (grundnorm),103 hal ini dikarenakan pancasila memiliki sebuah konsep

nilai-nilai moral dan budi pekerti yang digali dari budaya lokal yang hidup di

dalam masyarakat Indonesia, sehingga secara parsial dapat diketahui bahwa

konsep negara hukum pancasila memiliki sebuah kesatuan yang erat antara

hukum dan etika, hal ini pun sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto

103 I Dewa Gede Atmadja, et.al, Membangun Hukum Yang Bermartabat (Malang, 2013),

hlm. 115

60

Rahardjo, di mana ciri dari negara hukum pancasila ialah rule of moral atau

rule of justice.

Keberadaan court of ethics khususnya dalam penyelenggaraan pemilu di

Indonesia, diharapkan mampu mendukung kesatuan penegakan hukum dan

etika di Indonesia, di mana selama penyelenggaraan pemilu di Indonesia,

yang telah melintasi 3 (tiga) zaman, yakni orde lama, orde baru, dan era

reformasi, Indonesia telah melaksanakan pemilu sebanyak 10 (sepuluh) kali,

terhitung sejak 1955-2009, namun belumlah menerapkan sebuah mekanisme

penegakan etika yang baku, seperti dalam penegakan hukum, terlebih lagi

dalam setiap penyelenggaraan pemilu tersebut sangatlah banyak terjadi

pelanggaran-pelanggaran, yang sebenarnya sangtlah didominasi oleh

rendahnya kesadaran etika. Penegakan terhadap etika penyelenggara pemilu

di Indonesia, sangat perlu mendapatkan perhatian serius, hal ini dikarenakan

pelanggaran terhadap etika ini memiliki dampak yang luar biasa terhadap

kualitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Fenomena ini akan berbeda

jika kita melihat kesadaran etika yang terdapat di negara lain, seperti Jepang,

di mana ketika seorang pejabat publik tersangkut dengan sebuah perkara,

walaupun hanya sebuah perkara kecil, namun secara kesatria akan

mengundurkan diri dengan sendirinya,104 hal inilah yang masih sangat langka

terjadi di Indonesia, di tengah rendahnya kesadaran etika bernegara,

khususnya dalam penyelenggaraan pemilu, walaupun secara filosofis

cerminan pentingnya sebuah etika ini sudah sangat akrab dengan budaya

104 http//www.gogle.com.//Fenomena Pemilukada, Etika Politik, dan Nilai Moral

Kekeuasaan, diakses tanggal 6 Januari 2014

61

yang tumbuh di Indonesia, yang kemudian diilustrasikan dalam sebuah

konsep pewayangan, di mana dalam cerita pewayangan, ada seorang tokoh

bernama Abiyasa, yang dikenal sebagai pemimpin yang Rancakaprawa

(bijaksana) dan sutiknaprawa (empati terhadap penderitaan rakyatnya), serta

bergelar Dewayana (seperti dewa). Dia adalah seorang raja yang tidak haus

dengan kekuasaan, ketika masa jabatannya selesai, jabatannya langsung

diserahkan kepada Pandu sebagai penerus tahta kerajaan Astina, abiyasa lebih

memilih untuk melakukan tapa di Wukir Retawu dan bergelar Begawan

Abiyasa, hingga dikemudian waktu mampu mencapai tingkatan ngerti

sadurunge winarah (mengerti kejadian yang akan datang/ futurolog).105

Kedudukan etika dan hukum, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam

bab sebelumnya, yakni dapat diibaratkan seperti 2 (dua) sisi mata uang, yang

dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan, hal dikarenakan terdapat

sebuah relasi antara hukum dan etika, di mana keduanya sama-sama menjadi

sebuah pedoman dalam kehidupan masyarakat, namun dalam hal

penegakannya memiliki ruang yang berbeda, karena pelanggaran terhadap

hukum dapat dikatakan sebagai sebuah pelanggaran etika, namun

pelanggaran terhadap etika tidaklah selalu merupakan sebuah pelanggaran

terhadap hukum. Dengan demikian kehadiran dari court of ethics dalam

penyelenggaraan pemilu di Indonesia, merupakan sebuah konsekuensi logis

dari adanya pemisahan antara hukum dan etika di dalam penegakannya, di

mana penegakan hukum bekerja berdasarkan code of law, sedangkan

105 Ibid.

62

penegakan etika bersumber dari code of ethics, sehingga akan tercipta sebuah

kondisi demokrasi yang sehat, dengan penghormatan terhadap hukum dan

etika secara bersamaan, hal ini sejalan dengan adanya sebuah relasi antara

hukum, etika dan, demokrasi, di mana hukum difungsikan sebagai pengontrol

jalannya demokrasi agar tetap sesuai dengan koridor yang ditentukan,

sedangkan etika disini berfungsi sebagai pedoman atau tata nilai dalam

menjalankan hukum dan demokrasi agar sesuai dengan apa yang di cita-

citakan, kondisi ini sejalan dengan teori Sibernetika yang dikemukankan oleh

Talcott Parson, di mana sistem sosial merupakan suatu sinergi antara

berbagai sub sistem sosial yang saling mengalami ketergantungan dan

keterkaitan, serta interaksi, sehingga kedudukan hukum di dalam masyarakat

tidaklah bersifat otonom, sehingga hukum sangatlah dipengaruhi oleh faktor-

faktor lain di luar hukum itu sendiri, dengan demikian hal ini memberikan

sebuah penegasan bahwa pelaksanaan court of ethics sangatlah memiliki

sebuah urgensi, guna mendukung sistem penegakan hukum yang ada, selain

itu melalui pelaksanaan court of ethics ini, akan mampu membentuk sebuah

kesadaran etika, khususnya dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia,

karena akan mampu memberikan sebuah prinsip “lebih baik diperlakukan

secara tidak adil daripada melakukan ketidakadilan”, sehingga seseorang

yang melakukan pelanggaran etika sudah selayaknya di hukum supaya

harmoni jiwa bisa dikembalikan.106

106 A. Setyo Wibowo, Arete, Hidup Sukses Menurut Platon (Yogyakarta, 2010), hlm. 89

63

Sehingga secara umum urgensi mendasar yang melatarbelakangi

pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, ialah

yang pertama, bahwa dengan tingginya pelanggaran etika yang terjadi selama

pelaksanaan pemilu, hal ini membuktikan bahwa persoalan etika, merupakan

sebuah persoalan serius yang harus segera ditangani, agar mampu

memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia, yang kedua,

bahwa demokrasi dan sistem hukum yang diterapkan di Indonesia, yang

bersumber dari pancasila, sangatlah mengkehendaki adanya sebuah kesatuan

secara fungsional antara penegakan hukum dan etika, karena sesungguhnya

antara hukum dan etika memiliki sebuah perbedaan di dalam penegakannya,

yang ketiga, bahwa pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan

pemilu di Indonesia, merupakan sebuah ius constituendum (hukum yang

dicita-citakan), guna membentuk sebuah konsep penegakan etika yang baku,

khususnya dalam penyelenggaraan pemilu, karena di dalam sistem peradilan

di Indonesia belumlah didukung dengan format penegakan etika yang

terpisah dengan penegakan hukum, sehingga kedepannya sangatlah perlu

untuk melakukan sebuah pembenahan dalam sistem peradilan di Indonesia,

dengan memasukkan sebuah konsep penegakan etika, khususnya dalam

penyelenggaraan pemilu, melalui pelaksanaan peradilan etika (court of

ethics).

64

B. Hambatan dan Kekurangan dalam Pelaksanaan Court Of Ethics dalam

Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia

Sesuai dengan apa yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa

salah satu hal yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan court of ethics

dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia ialah, karena di dalam sistem

peradilan yang dijalankan di Indonesia, tidaklah menempatkan etika berada

di dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, kemudian minimnya peran serta

masyarakat dalam mengontrol jalannya penegakan etika penyelenggara

pemilu di Indonesia, maka secara umum hambatan dan kekurangan yang

terdapat dalam Pelaksanaan court of ethics ini dapat dibedakan kedalam 2

(dua) faktor, yang pertama ialah faktor internal, di mana faktor ini sebagian

besar bersumber dari penentu kebijakan, yang dalam hal ini ialah pihak

legislator dan penguasa, dalam faktor internal ini yang sangat berpengaruh

ialah dari sisi political will (kemauan politik) dari pihak legislator dan

penguasa, karena lahirnya sebuah kebijakan dalam pelaksanaan court of

ethics dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia sangatlah bergantung

kepada political will, hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Abdul

Muktie Fadjar, bahwa perkembangan pelaksanaan pemilu di Indonesia

sangatlah dipengaruhi oleh perkembangan sistem politik atau ketatanegaraan

yang diterapkan, sehingga baik itu asas-asas pemilu, peserta pemilu,

penyelenggaraan pemilu, maupun macam-macam pemilu juga akan terus

65

mengalami dinamika yang ada.107 Dalam perkembangan penyelenggaraan

pemilu di Indonesia, konsep penegakan etika pemilu ini sesungguhnya sudah

menjadi salah satu fokus pembahasan dalam mengupayakan perbaikan dalam

penyelenggaraan pemilu di Indonesia, namun hal ini hanya diwujudkan

dalam bentuk quasi peradilan, di mana keberadaan DKPP bukanlah termasuk

salah satu pelaku dari kekuasaan kehakiman, namun hanya menjalankan

fungsi selayaknya sebuah pengadilan, namun DKPP mampu menjalankan

fungsinya secara maksimal dalam melakukan penegakan etika penyelenggara

pemilu, sehingga dengan demikian hambatan dan kekurangan dalam

pelaksanaan court of ethics ini mampu diatasi dengan adanya political will

dari pihak legislator dan penguasa, mengingat saat ini Indonesia sedang

dalam kondisi dekadensi etika, khususnya dalam penyelenggaraan pemilu,

sehingga sebagaimana yang telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya

bahwa pelaksanaan court of ethics ini merupakan sebuah ius constituendum

(hukum yang dicita-citakan), maka untuk merealisasikan hal tersebut, maka

memunculkan political will dari pihak legislator dan penguasa, merupakan

sebuah keniscayaan, sehingga pelaksanaan court of ethics dalam

penyelenggaraan pemilu di Indonesia dapat menjadi pilihan yang tak

terelakkan.

Faktor yang kedua yang menjadi hambatan dan kekuarangan dalam

pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia

ialah, faktor eksternal, dalam faktor ini lebih di dominasi dari faktor yang

107 Abdul Muktie Fadjar, Pemilu: Perselisihan Hasil Pemilu & Demokrasi (Malang, 2013),

hlm. 13

66

berada di luar kekuasaan, namun memiliki pengaruh terhadap penegakan

etika penyelenggara pemilu di Indonesia, dalam hal ini ialah partisipasi

masyarakat, tolak ukur partisipasi masyarakat di sini dapat diukur dari adanya

peran serta masyarakat dalam mengawasi etika penyelenggara pemilu, selama

ini tingkat partisipasi masyarakat dalam penegakan etika penyelenggara

pemilu masih sangat minim, hal ini dapat dilihat dari salinan putusan DKPP

dalam penyelesaian pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, di mana

yang mendominasi pengauduan ialah berasal dari peserta pemilu, kondisi ini

akan sangat berpengaruh dalam hal pelaksanaan court of ethics, di mana

masyarakat seharusnya dapat menjadi pelopor dalam hal penegakan etika

penyelenggara pemilu, karena dalam hal ini partisipasi masyarakat dapat

memberikan sebuah angin segar dalam hal perbaikan kualitas

penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Faktor eksternal ini dapat dikatakan sebagai sebuah faktor yang memiliki

pengaruh yang cukup besar dalam pelaksanaan court of ethics, di mana

perubahan terhadap sebuah sistem peradilan yang diterapkan di Indonesia

hanyalah dapat terwujud dari adanya peran serta masyarakat yang

menginginkan adanya sebuah perbaikan dari konsep peradilan yang ada di

Indonesia, hal ini sejalan dengan adanya konsep hukum responsif yang

dikemukakan Philipe Nonet dan Philip Selznick, yang mengatakan bahwa

hukum haruslah dikonsepkan untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan

67

terhadap kebutuhan sosial yang mendesak dan masalah-masalah keadilan

keadilan sosial.108

Secara ringkas hambatan dan kekurangan dalam pelaksanaan court of

ethics dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, ialah terdiri atas 2 (dua)

faktor, yakni faktor Internal dan faktor eksternal, di mana faktor internal ini

terkait dengan political will (keamuan politik) dari pihak legislator dan

penguasa, apakah mampu untuk lebih melihat urgensi mendasar mengenai

pentingnya pelaksanaan court of ethics di Indonesia sebagai sebuah jawaban

dari terjadinya sebuah krisis etika dalam penyelenggaraan pemilu, sehingga

dengan adanya political will ini akhirnya akan mampu untuk memperbaiki

kualitas pemilu di Indonesia, kemudian faktor eksternal ini terkait dengan

adanya partisipasi masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan sebuah

kebijakan, dan perombakan hukum yang masih berlaku, sehingga akan

mempengaruhi kemunculan political will dari pihak legislator dan penguasa

untuk melaksanakan court of ethics dalam penyelenggaraan pemilu di

Indonesia.

108 Abdul Muktie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer (Malang, 2013), hlm. 49

68

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam analisis hasil di atas, maka dapat

diperoleh beberapa kesimpulan, yakni sebagai berikut :

1. Urgensi mendasar yang melatarbelakangi pelaksanaan court of ethics

dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia ialah yang

pertama, tingginya pelanggaran etika yang terjadi selama pelaksanaan

pemilihan umum, sehingga memberikan penegasan bahwa persoalan

etika, merupakan sebuah persoalan serius yang harus segera

ditangani, sehingga mampu memperbaiki kualitas penyelenggaraan

pemilihan umum di Indonesia, yang kedua, konsep demokrasi dan

sistem hukum yang diterapkan di Indonesia, yang bersumber dari

pancasila, sangtlah mengkehendaki adanya sebuah kesatuan secara

fungsional antara penegakan hukum dan etika, karena antara hukum

dan etika memiliki sebuah perbedaan di dalam ranah penegakannya,

yang ketiga, bahwa pelaksanaan court of ethics dalam

penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia, merupakan sebuah

ius constituendum (hukum yang dicita-citakan), guna membentuk

sebuah konsep penegakan etika yang baku dalam penyelenggaraan

pemilihan umum, karena di dalam sistem peradilan di Indonesia

68

69

belumlah didukung dengan format penegakan etika yang terpisah

dengan penegakan hukum.

2. Hambatan dan Kekurangan pada pelaksanaan court of ethics dalam

penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia dapat dilihat dari 2

(dua) faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal, yang pertama,

ialah faktor internal yang dipengaruhi oleh political will (kemauan

politik) dari pihak legislator dan penguasa, dalam melihat urgensi dari

pelaksanaan court of ethics dalam penyelenggaraan pemilihan umum

di Indonesia, sebagai sebuah jawaban atas adanya kondisi dekadensi

etika yang tejadi di Indonesia, kemudian yang kedua, ialah faktor

eksternal, yang didominasi oleh faktor yang berasal dari luar

kekuasan, namum dapat mempengaruhi pembentukan sebuah

kebijakan, dalam hal ini ialah minimnya partisipasi masyarakat dalam

hal penegakan etika penyelenggara pemilihan umum di Indonesia,

yang nantinya akan mempengaruhi perombakan hukum yang ada,

sehingga akan mampu menciptakan political will dari pihak legislator

dan penguasa untuk mewujudkan court of ethics sebagai sebuah ius

constituendum (hukum yang dicita-citakan) dalam penyelenggaraan

pemilihan umum di Indonesia.

70

B. Saran

Karena permasalahan mengenai penegakan etika dalam penyelenggaraan

pemilihan umum, khususnya dalam pelaksanaan court of ethics (peradilan

etika) di Indonesia, sangatlah berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan

pemilihan umum dan juga perbaikan etika penyelenggaraan negara, maka

penulis merasa perlu untuk mengajukan beberapa rekomendasi sebagai

berikut:

1. Perlu adanya sebuah rekonstruksi dan desentralisasi terhadap sistem

peradilan yang diterapkan di Indonesia, guna menjawab munculnya

sebuah gejala diferensiasi structural, dengan memasukkan penegakan

etika kedalam sistem peradilan, guna mendukung penegakan hukum

yang dilakukan di Indonesia.

2. Perlu direaliasasikannya gagasan pembentukan Mahkamah Etika

(Supreme Court Of Ethics) dalam penyelenggaraan negara, sebagai

upaya perbaikan kualitas etika penyelenggara negara, guna

menegaskan konsep negara hukum pancasila di Indonesia yang

bercirikan rule of moral atau rule of justice.

71

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:

Ali, H. Zainudin. 2008. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:

Sinar Grafika

------------------------. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta:

Konstitusi Press

Atmadja, I Dewa Gede. et.al. 2013. Membangun Hukum Yang Bermartabat.

Malang: Setara Press

Azis Hakim, Abdul. 2011. Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bertens, K. 2007. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama

Fadjar, Abdul Muktie. 2013. Pemilu: Perselisihan Hasil Pemilu & Demokrasi.

Malang: Setara Press

------------------------. 2013. Teori-Teori Hukum Kontemporer. Malang: Setara

Press

Fatah, Eep Saefulloh. 2000. Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar

Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung: Mizan

------------------------. 1997. Pemilu dan Demokratisasi : Evaluasi Terhadap

Pemilu Orde Baru. Jakarta : Ghalia Indonesia

Fuady, Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern (rechtsstaat). Bandung:

Refika Aditama

Gaffar, Janedjri M. 2013. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia. Jakarta:

Konstitusi Press

Hakim, Lukman. 2010. Kedudukan Hukum Komisi Negara Di Indonesia.

Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang

72

Harahap, Zairin. 1997. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada.

Kusnardi, Moh & Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara

Indonesia. Jakarta: Sinar Bakti

Liddle, R. William. 1992. Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan

Politik. Jakarta: LP3ES

Magnar, Kuntana. 1984. Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Otonom dan

Wilayah Administratif, Bandung: Armico.

Mahfud. MD, Moh. 2011. Membangun Politik Hukum: Menegakkan Konstitusi.

Jakarta: Rajawali Pers

Malarangeng, Andi Alfian. 1999. Komisi Pemilihan Umum: Dalam Kajian

Pemilu 1999 Jakarta: Puskap, Depdagri dan Biro Humas KPU

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Predana

Media Group

Mashad, Dhurorudin. 1999. Korupsi Politik, Pemilu, dan Legitimasi Pasca Orde

Baru. Jakarta: Pustaka Cidesindo

Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Indonesia. Jakarta: Kompas

-----------------------. 2000. Hukum Dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan

Sosial, Jakarta: Rajawali Press

Russell, Betrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi

Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Santoso, Topo, et.al. 2006. Penegakan Hukum Pemilu, Praktik Pemilu 2004 dan

Kajian Pemilu 2009-2014. Jakarta: Perludem

Setiawan, Dian Bakti. 2011. Pemberhentian Kepala Daerah : Mekanisme

Pemeberhentiannya Menurut Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Normatif, Jakarta: UI Press

Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji. 1990. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press

73

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri.

Jakarta: Ghalia Indonesia

Sunggono, Bambang. 2012. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press

Suseno, Fransz Magnis. 2010. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat

Moral Yogyakarta: Penerbit Kanisius

------------------------------. 2001. Etika Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama

------------------------------. 1993. Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern, Jakarta: Gramedia.

Tanya, Bernard L. 2011. Penegakan Hukum Dalam Terang Etika. Yogyakarta:

Genta Publishing

Tim Peneliti Perludem. 2006. Efektifitas Panwas : Evalauasi Pengawasan

Pemilu 2004, Disertai Resume Laporan Pengawasan Pemilu 2004. Jakarta: Peruldem

Tutik, Titik Triwulan, 2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945, Jakarta: Prenada Media.

Wibowo, A. Setyo. 2010. Arete, Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta:

Penerbit Kanisius

Yamin, Muhamad. 1982. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia.

Jakarta: Ghalia Indonesia

LAPORAN PENELITIAN, MAKALAH & JURNAL ILMIAH:

Asshiddiqie, Jimly. 2013. “Pengenalan Dewan Kehormatan Penyelenggara

Pemiihan Umum” (Makalah Dalam Forum Rapat Pimpinan Kepolisian Republik

Indonesia, Jakarta, Februari 2013)

-------------------------, 2005, “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi” (Laporan Penelitian Hukum, Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, Jakarta).

Fatkhurohman. 2009. Pengaruh Parliementary Threshold Terhadap Penguatan

Sistem Presidensial Untuk Mewujudkan Sistem Pemerintahan Kuat dan Efektif Di Indonesia. (Penelitian fundamental Univ. Widyagama, Malang).

74

Fatkhurohman & Achmadi Tri Widodo. 2009. “Pemilihan Umum Sebagai

Wahana Peningkatan Kualitas Demokrasi di Indonesia” dalam Jurnal

Konstitusi Universitas Widyagama Malang, No. 2/Vol II, November 2009.

Malang: Puskasi Universitas Widyagama.

Santoso, Topo. 2012. “Penguatan Penegakan Hukum Pemilu”. dalam Jurnal

Pemilu & Demokrasi, No. 2, Februari 2012. Jakarta: Peruldem

Zulkarnain. 2009. “Kajian Keriminologi Terhadap Tindak Pidana Pemilu:

Membedah Akar-Akar Pemicu Tindak Pidana Pemilu Dalam Sistem

Penyelenggaraan Pemilu 2009 dan Problematika Penyelesaiaannya”,

dalam Jurnal Konstitusi Universitas Widyagama, No. 2/Vol. II, November

2009. Malang: Puskasi Universitas Widyagama

WEBSITE:

Asshiddiqie, Jimly, Pengadilan Khusus, dalam http//www. hukumonline.com.,

diakses tanggal 18 Nopember 2013

Santoso, Topo. Quo Vadis Penegakan Hukum Pemilu, dalam

http//www.gogle.com, diakses tanggal 6 Januari 2014

http//www.ilmunusantara.com//polemik era reformasi, diakses tanggal 13

Nopember 2013

http//www.gatra.com//DKPP Idola Baru Sistem Peradilan di Indonesia, diakses

tanggal 13 Nopember 2013

http://www.kesimpulan.com//teori-negara-hukum.html, diakses tanggal 18

Nopember 2013

http//www.rumahistilah.com//.Definisi peradilan, diakses tanggal 18 Nopember

2013

http//www.dkpp.go.id//Sejarah DKPP, diakses tanggal 1 Januari 2014

http://fitriaade17.blogspot.com/2011/10/teori-sibernetika.html, diakses tanggal 1

Januari 2014

http://didikariyantoblogspot.com// Telaah Etika Penyelenggaraan Pemilu Dalam

Sidang DKPP, diakses tanggal 1 Januari 2014

http//www.dkpp.go.id// Efektifkah Kinerja DKPP, diakses tanggal 1 Januari

2014

75

http://www.gatra.com// DKPP Idola Baru Dalam Sistem Peradilan Indonesia,

diakses tanggal 1 Januari 2014

http://www.metrotvnews.com// Pelanggaran Etika Pemilu Berakibat Dahsyat,

diakses tanggal 1 Januari 2014

http://www.wartanews.com// Zimbabwe Bentuk Pengadilan Khusus Pemilu,

diakses tanggal 6 Januari 2014

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c478511d7141/pengadilan-khusus-

pemilu-tidak-eliminir-peran-mk, diakses tanggal 6 Januari 2014

http://www.tempo.co/read/news/ Usulan Peradilan Pemilu Muncul di DPR,

diakses tanggal 6 Januari 2014

http//www.gogle.com.//Fenomena Pemilukada, Etika Politik, dan Nilai Moral

Kekeuasaan, diakses tanggal 6 Januari 2014

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan

Umum

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan

DPRD

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan

Umum

Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP No. 13, 11, 1 Tahun 2013

Tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu,

Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun

2012 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan

Umum